OPTIMALISASI PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN SEBAGAI
EASE OF DOING BUSINESS DALAM MENARIK INVESTOR ASING KE
BISNIS SYARIAH DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rifqon Khairazi
NIM 11140460000019
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018
OPTINIALISASI PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN SEBAGAI
EASE OF DOING BUSINESS DALAM MENARIK INVESTOR ASING KE
BISNIS SYARLA.H DI INDONESIA
SKRIPST
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rifoon Khairazi
lll4046fixm0le
FRODT HTIKUN{ EKONONTT SYARIAI"I
F'AKI-ILTAS SYARIAH DAN TITIKTiNI
UII{ SY ARIF H IDAYATLILI,AH
"[AKARTA1440 H /2018
NIP. I 9670203201 41 1I 001
l-,,EM.BAR P ENG ESTLHT{N
Skripsi beliudul "Oplitlahsasi Pen,velesaian Perkara Kepaititan se.bagai
fittse of [)oing ]Ju.:'itre.;s dalatrr N'lcnarik .lnverstor Asin-e ke gi5r,x Syarialr cli
hrdoresia", -vang ditulis olelr Rifqon Khairazi, NIIN/[. 111,10460000019. telah
ditrjikan dalatn t4ian skripsr pada.lLrnrat,05 Oktober 20i8. Sh'ipsi i1i te.latr
diterinla seba-eat saiaii sattr syarat ultLr[" rnempero.leh gelar Sarlana ]J1kun (S H.)pada Prograrn StLrdi LIlLkLrm Iikonomi S),ariah (N,{uanralat) Fakutrtas Syar.iatrr rlan
Hukurn Universitas Islarn Nege,ri Sy,arif Hidayanrllah .lakafla.
Panitia Sidang:
Ketua All.flasan Ali H,! A.NIP.19751201 20050 i 1 00s
:Dt {bdruraut. M.A.NrP.l973l2is 20050t I 002
Pernbj:nbing : Dr. N4uharnnud Ali Hanafiah Selian. S.FI.N.IINIP.t 9670203 20141 1 1 001
Penguji I ij.r liqrhaseqeh. 1,4 Ae.
i\iP. 1c)740817 200212 2 013
.iyiu slq t ih, _1lij-11tF-!Uf.i\i j j-)li. j,iii ij08t C0 i
Sekretaris
Pengrljr 1l
irr
Jakarta, Oktober 20 i 8
roe (. -,-i,,1, ,l^,, I1,,1-,,,.(fli) .rJ (il rfllr UrUJ I ttlht-riii.
215 199603 I 001
LEN[BAR PE.R.NYATAAN
Dengan r-ni saya menyatakan bahlva :
]. Skripsi ini merupakan karya asii saya yang diajukan untuk rnenaenuhi salah
satlr pemyaratan memperoleh gelal Strata satu (S1) di Univers'ita-s Islam
Negeri G[$ Syarif Hrdavatrr,ri]ah Jakarta.
2- Sernua sumber yang saya -uunakan clalarn penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentnan yang berlaku di Uuiversitas' Islarn
Negen (UIN) Syarif Hidayatullah .lakarta-
3. Jika clikernudian hari terbukti bahrva penulisan ini merupakan hasrl plagrasi
dari karya ora.ng traitr, maka konsekuensinya saya berseclia mener,inra sanksi
berdasarkan httkum yang berlaku-
IV
iv
ABSTRAK
Rifqon Khairazi. NIM 11140460000019. “OPTIMALISASI PENYELESAIAN
PERKARA KEPAILITAN SEBAGAI EASE OF DOING BUSINESS DALAM
MENARIK INVESTOR ASING KE BISNIS SYARIAH DI INDONESIA”.
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M. X + 80 halaman 26
halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya pengaruh hak imunitas
terhadap Profesi Kurator dan Pengurus dalam menjalankan pengurusan dan
pemberesan harta pailit dalam penyelesaian perkara kepailitan, dan untuk
mengetahui hubungannya dengan kegiatan investasi global dalam indikator Ease of
Doing Business dengan menggunakan parameter Penyelesaian Perkara Kepalitan
(Resolving Insolvency) guna menciptakan iklim investasi dan bisnis syariah yang
baik.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif melalui Pendekatan
Perundang-undangan (Statue approach) dan Pendekatan Konseptual (Conseptual
Aprroach),. Sumber penelitian ini didapatkan dengan melakukan penelusuran
peraturan prundang-undangan, buku-buku, jurnal, dan data-data yang diperoleh
dari Otoritas Jasa Keuangan dan BKPM.
Hasil penelitian menemukan bahwa upaya memberikan perlindungan kepada
Profesi Kurator dan Pengurus dalam mengoptimalkan penyelesaian perkara
kepailitan dengan cara memberikan hak imunitas dapat mengarahkan kepada
hukum kepailitan Indonesia yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena UU No.
37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sudah tidak sesuai dengan kegiatan bisnis
global dan ditemukan beberapa Pasal di dalamnya dapat mengarahkan kepada
kepentingan tertentu. Sehingga dengan adanya perbaikan regulasi hukum kepailitan
Indonesia, diharapkan mampu meningkatkan peringkat Kemudahan Berusaha di
Indonesia dalam menarik Investor baik lokal maupun asing untuk dapat
menanamkan modalnya di Indonesia. Terutama dalam bisnis syariah yang semakin
berkembang.
Kata kunci : Hak Imunitas, Hukum Kepailitan, Ease of Doing Business,
Investasi syariah
Pembimbing : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1975 s.d 2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas nikmat Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW. Alhamdulillah, penelitian yang berjudul “Optimalisasi
Penyelesaian Perkara Kepailitan sebagai Ease Of Doing Business dalam
Menarik Investor Asing ke Bisnis Syariah di Indonesia” dapat diselesaikan
dengan baik. Penulisan karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan penulis
hadapi. Namun, berkat usaha dan kerja keras, tidak lupa doa dan dukungan
banyak pihak dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang teal membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini, perkenankan saya untuk mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak A.M Hasan Ali, MA dan Bapak Dr. Abdurrauf Lc., MA, selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. selaku Dosen
Pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan arahan, motivasi serta
saran-saran dan telah bersedia meluangkan waktu dan kesabaran dalam
membimbing penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang senantiasa ikhlas dalam menyalurkan ilmunya kepada Penulis selama
masa kuliah.
5. Staff karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan
Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staff akademik Fakultas
Syariah dan Hukum atas kerja samanya dalam memberikan pelayanan
terbaik dalam pengumpulan materi skripsi yang diperlukan.
vi
6. Kepada keluarga tercinta, Ayahanda H. Pahyatmir, Ibunda Hj. Wisnarni,
Adik tersayang Ulya Gina Fauziya, dan Abangku Mufdil Tuhri. Terima
kasih telah memberikan motivasi, dukungan, do’a serta kasih sayang selama
ini. Kalian selalu menjadi motivasi Penulis hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Keluarga Abdul Sidiq dpt Kerinci dan Jakarta, yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis.
8. Keluarga IMK Ciputat yang selalu setia mendukung Penulis selama ini,
terkhusus kepada sahabat Arya Rangga Putra, Muhammad Rifdol, kkd. Oga
Satria, kkd. Joko Arizal. kkd. Septa Dinata,
9. Keluarga C.O.I.N.S dan Galeri Investasi BEI FSH yang telah memberikan
banyak kesempatan dan peluang mengenal dunia investasi lebih luas kepada
Penulis.
10. Keluarga KKN Amoeba 038 yang telah sama-sama berjuang di Desa
Palasari; suka dan duka yang dilalui bersama akan selalu Penulis ingat.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang selalu
membantu dan memberikan saran selama perkuliahan. Terkhusus sahabat
Penulis Adam Aprilianto, Ahmad Fauzan Nashrullah, Ahmad Fauzan
Khairy, Imam Dwiky, Mohamad Alen Aliansyah, Rizky Fahruniza Saragih.
12. SCBD Toastmasters terima kasih atas do’a dan dukungan kepada Penulis
dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Serta teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih atas doa-doa terbaiknya.
Jakarta, 08 Oktober 2018
Rifqon Khairazi
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Pokok Permasalahan ................................................................................. 3
1. Identifikasi Masalah .............................................................................. 3
2. Pembatasan Masalah ............................................................................. 3
3. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1. Manfaat Teoritis .................................................................................... 4
2. Manfaat Praktis ..................................................................................... 5
E. Review Studi Terdahulu ........................................................................... 5
F. Kerangka Penelitian ..................................................................................... 7
1. Kerangka Teori Penelitian .................................................................... 7
2. Kerangka Konseptual Penelitian ........................................................... 9
G. Metode Penelitian ................................................................................... 10
1. Pendekatan .......................................................................................... 10
2. Jenis Penelitian ................................................................................... 11
viii
3. Data Penelitian .................................................................................... 11
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data.............................................. 12
5. Analisis Data ....................................................................................... 12
H. Rancangan Sistematika Penelitian .......................................................... 13
1. Bab I Pendahuluan .............................................................................. 13
2. Bab II Tinjauan Teoritis ...................................................................... 13
3. Bab III Gambaran Umum Hak Imunitas dan EoDB ........................... 13
4. Bab IV Analisa Keterkaitan Hak Imunitas Kurator dengan EoDB
dalam Investasi Syariah................................................................................. 13
5. Bab V Kesimpulan dan Saran ............................................................. 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS ....................................................................... 15
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Kepailitan ......................................... 15
1. Pengertian Kepailitan .......................................................................... 15
2. Tujuan Hukum Kepailitan .................................................................. 16
3. Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan .......................................... 18
4. Akibat Hukum Kepailitan ................................................................... 20
B. Kurator .................................................................................................... 22
1. Pengertian Kurator .............................................................................. 22
2. Profesi Hukum Kurator di Indonesia .................................................. 24
3. Pengangkatan Kurator......................................................................... 25
4. Tugas dan Wewenang Kurator ........................................................... 26
C. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 30
1. Teori Perlindungan Hukum ................................................................ 30
2. Teori Kewajiban dan Paksaan............................................................. 30
3. Teori Perintah ..................................................................................... 31
ix
4. Contempt of Court .............................................................................. 32
BAB III TINJAUAN UMUM HAK IMUNITAS DAN EASE OF DOING
BUSINESS (EODB) ............................................................................................ 33
A. Hak Imunitas .......................................................................................... 33
1. Pengertian Hak Imunitas ..................................................................... 33
2. Hambatan Kurator dan Pengurus di Indonesia ................................... 35
B. The Doing Business ................................................................................ 37
1. Ease of Doing Business ...................................................................... 37
2. Paramater Ease of Doing Business ..................................................... 38
3. Peringkat Ease of Doing Business ...................................................... 42
C. Investasi Syariah di Indonesia ................................................................ 45
4. SK Otoritas Jasa Keuangan No. 59/D.04/201..................................... 46
5. SK Otoritas Jasa Keuangan No. 24/D.04/2018................................... 46
BAB IV ANALISA KETERKAITAN HAK IMUNITAS DENGAN EODB
DALAM INVESTASI SYARIAH ...................................................................... 48
A. Penguatan Hak Imunitas Kurator dan Pengurus ..................................... 48
B. Parameter Hak Imunitas Kurator dan Pengurus ..................................... 54
1. Itikad Baik........................................................................................... 56
2. Tidak Melebihi Kewenangan yang Diberikan UUK PKPU ............... 56
3. Tidak Mennyalahgunakan Hak Imunitas ............................................ 56
C. Hak Imunitas dan Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving
Insolvency) ........................................................................................................ 57
D. Analisis Penguatan Hak Imunitas dengan EODB dalam Menarik Investor
Asing (syariah) .................................................................................................. 58
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 72
A. Kesimpulan ............................................................................................. 72
x
B. Saran ....................................................................................................... 74
1. Bagi Kepolisian dan Kejaksaan .......................................................... 74
2. Bagi Pemerintah .................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 76
LAMPIRAN ......................................................................................................... 81
xi
DAFTAR TABEL
NO Judul Tabel Halaman
Tabel 1.0 Kerangka Konseptual Penelitian 9
Tabel 1.1 Peringkat Ease of Doing Business Global 43
Tabel 1.2 Peringkat Ease of Doing Business Indonesia
2017/2018
44
Tabel 2.1 Data Doing Business 2018 Menggambarkan
Kondisi Berusaha Di Indonesia Dengan
Perbandingan Tahun Sebelumnya 2017
60
Tabel 2.2 Data 10 teratas Peringkat Ease of Doing Business
2017-2018
63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika Investasi dalam suatu negara banyak dipengaruhi oleh adanya
pelaku usaha dan atau perusahaan. Perkembangan dan persaingan
perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 menuju kepada titik terlemahnya.
Hingga pada tahun 1998 terjadinya krisis moneter menjadikan banyak
perusahaan-perusahaan besar menderita kerugian dan tidak sedikit pula yang
harus menutup usahanya disebabkan berbagai permasalahan utang piutang.
Penyelesaian masalah seputar utang piutang menjadi salah satu hal terpenting
dalam kelancaran kegiatan perekonomian bagi suatu negara. Di samping adanya
persaingan yang kuat antar pelaku bisnis dalam dunia usaha, perusahaan
maupun industri dihadapkan dengan tantangan kompetitif, perlombaan
memenangkan pasar, di mana yang kuat adalah mereka yang memiliki finansial
dan strategi pasar yang bagus.
Dalam laporan tahunan World Economic Forum (WEF)1. Peringkat daya
saing global Indonesia tahun 2016-2017 adalah 41 dari 138 negara yang
disurvei. Kemudian pada tahun berikutnya 2017-2018 peringkat Indonesia naik
ke 36 dari 137 negara. Laporan ini menempatkan Indonesia pada 4 besar negara
di ASEAN di bawah Singapura (3), Malaysia (23) dan Thailand (32).
Peningkatan ini mengindikasikan adanya kompetisi berusaha yang baik bagi
perusahaan maupun industri yang ada.
Fenomena ini tiada tanda risiko, salah satunya adalah kepailitan.
Penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dapat dikatakan jauh dari ideal.
Begitu pula dengan pengaturannya dalam UU No. 37/2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK
PKPU) yang harus segera direvisi. Terdapat banyak kasus yang belum dan tidak
1 World Economic Forum. Global Competitiveness Report 2017-2018.
https://www.weforum.org/reports/the-global-competitiveness-report-2017-2018. Diakses pada 21
Februari 2018.
2
terselesaikan dengan baik, UUK PKPU dapat menimbulkan berbagai persoalan
baik pre-insolvency maupun post-insolvency. Berbagai pemasalahan pun sering
menghambat pengurusan harta pailit.
Hambatan dan penundaan pemberesan harta pailit terjadi pada masa
pengurusan dan pemberesan (post-insolvency), kurator yang mengemban tugas
tersebut sering dihalang-halangi dalam melakukan tugasnya. Terhambatnya
pengurusan harta pailit mengakibatkan tertundanya pemberesan dan pembagian
harta kepada kreditur, sehingga merugikan berbagai pihak; kreditur tidak
mendapatkan pelunasan piutang dengan cepat, dan kurator tidak mendapatkan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya mengurus dan
membereskan harta pailit.
Dasar pentingnya pengaturan ini adalah merujuk kepada ketentuan dalam
UUK PKPU yang dituntut harus segera dilakukan perbaikan. Penulis
memfokuskan penelitian ini kepada Profesi Kurator dan Pengurus yang dalam
pengurusan dan pemberesan pada praktiknya rentan diintervensi oleh pihak
yang berkepentingan terhadap harta pailit dengan menggunakan delik-delik
pidana, sehingga menyebabkan harta pailit membutuhkan waktu yang lama
untuk diselesaikan. Hal ini berimbas kepada tertundanya pemberesan harta
pailit yang pada akhirnya merugikan stakeholders dalam perkara kepailitan dan
secara tidak langsung menghambat laju investasi asing ke Indonesia.
Yang menarik dari pembahasan ini adalah ketika secara hukum kurator
berwenang melakukan pengurusan harta pailit dengan tanpa ada intervensi dari
pihak lain akan tetapi kewenangan tersebut masih samar untuk diketahui.
Sehingga intervensi dari pihak lain rentan terjadi demi kepentingan menunda
likuidasi harta debitor pailit. Selanjutnya, dari permasalahan tersebut penulis
akan mengaitkannya dengan indikator investasi Ease of Doing Business, yang
dalam penilaiannya dilakukan terhadap 10 parameter, salah satunya adalah
Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency). Sejatinya hukum
kepailitan yang baik tidak membutuhkan waktu yang lama dalam
penyelesaiannya akan tetapi di Indonesia pengaturan tentang Hukum
kepailitannya masih menuntut untuk segera diperbaiki.
3
Berdasarkan pemaparan tersebut penulis bermaksud untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam lagi mengenai hak imunitas kurator serta hubungannya
dengan iklim investasi di Indonesia . Oleh karena itu penulis memilih judul
“Optimalisasi Penyelesaian Perkara Kepailitan sebagai Ease Of Doing
Business dalam Menarik Investor Asing ke Bisnis Syariah di Indonesia”
B. Pokok Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang penulis telah uraikan maka
permasalahan yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Debitor, kreditor atau pihak lain dapat mengajukan laporan
ke kepolisian atas tugas yang dilakukan kurator.
b. Konsep hak imunitas kurator dalam UU masih belum jelas.
c. Pihak kepolisian rentan menerima laporan pihak tertentu atas
kurator yang menjalankan tugas.
d. Adanya indikasi kesewenang-wenangan kurator dalam
mengurus harta pailit berdasarkan tugas dan wewenangnya.
e. Minimnya penerapan asas globally accepted principles
dalam hukum kepailitan Indonesia.
f. Perkembangan produk investasi yang baik di Indonesia.
g. Perlindungan hukum terhadap debitur, kreditur, dan kurator.
h. Ketentuan hukum kepailitan di Indonesia tidak cukup ideal
untuk perkembangan bisnis saat ini.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan permasalahan dalam rangka
optimalisasi penyelesaian perkara kepailitan, maka ruang lingkup
permasalahan dalam penelitian ini dibatasi, yaitu kepada tugas,
kewenangan dan aspek perlindungan hukum terhadap Kurator dan
Pengurus, sebagai aktor utama dalam penyelesaian perkara kepailitan,
yang berdampak kepada proses kepailitan post-insolvency.
4
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pembahasan masalah yang penulis telah uraikan
di latar belakang, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas,
yaitu:
1. Bagaimana pengaturan mengenai hak imunitas terhadap kurator dan
pengurus dalam UU No. 37/2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masih dapat dintervensi
oleh pihak lain?
2. Bagaimana upaya optimalisasi melalui penguatan hak imunitas
dalam hubungannya dengan Ease of Doing Business dapat menarik
investor asing ke bisnis syariah di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan
penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui pengaturan mengenai hak imunitas terhadap kurator
dan pengurus dalam UU No. 37/2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masih dapat dintervensi
oleh pihak lain.
2. Mengetahui upaya optimalisasi melalui penguatan hak imunitas
dalam hubungannya dengan Ease of Doing Business dapat menarik
investor asing ke bisnis syariah di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap hasil penelitian yang dilakukan ini dapat
memberikan kontribusi pemikiran dalam Ilmu Hukum, khususnya
Hukum Kepailitan yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit debitor
yang dinyatakan pailit oleh pengadilan.
5
2. Manfaat Praktis
Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa, mengenai penguatan hak
imunitas profesi kurator dalam membereskan harta pailit. Penelitian ini
juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
Pemerintah dalam merancang dan membentuk peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah kepailitan.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam hal menghindari kesamaan dengan penelitian yang sudah ada dan
sebagai upaya pencegahan kesamaan tema dan materi penelitian, penulis
melakukan tinjauan kajian terdahulu yang memiliki kesamaan terhadap
penelitian mengenai hak imunitas kurator dalam pemberesan harta pailit.
Penulis telah melakukan review terhadap jurnal dan skripsi, serta tinjauan ke
official website beberapa kampus, yaitu:
1. Urgensi Pemberian Hak Imunitas Kepada Kurator Saat Pengurusan
Dan Pemberesan Harta Pailit, merupakan tesis yang ditulis oleh Happy
Rayna Stephany (2015) Mahasiswi Universitas Indonesia, yang membahas
mengenai hak imunitas kurator, sekilas tampak kesamaan dengan penelitian
yang penulis lakukan. Namun, kenyataannya terdapat perbedaan yang
siginifikan. Ia melakukan fokus penelitian terhadap hak imunitas kurator
dalam kaitannya dengan perlindungan hukum kurator mengurus harta pailit
sedangkan penulis menghubungkan hak imunitas kurator sebagai cara untuk
memperlancar proses pemberesan harta pailit yang berkaitan dengan
terpenuhinya hak debitor dan kurator sebagai salah satu alternatif
menaikkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia guna menarik
investor dengan usaha bebrbasis syariah ke Indonesia.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Kurator dalam Melaksanakan Tugas
Mengamankan Harta Pailit dalam Praktik Berdasarkan Kajian
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, jurnal terbitan Universitas
6
Padjajaran tahun 2015, ini ditulis oleh Indra Nurcahya, membahas
kewenangan kurator dalam melaksanakan tugas mengamankan harta pailit
dan menganalisis kewenangan tersebut atas perlawanan debitor pailit
berdasarkan UUK PKPUdan menentukan tindakan kurator dalam
meningkatkan harta pailit atas perlawanan pihak ketiga. Berbeda dengan
penelitian yang penulis lakukan yakni, dengan mengkaji UUK
PKPUmengenai hak kurator atas hak imunitas dalam menjalankan tugas
pemberesan harta pailit.
3. Pengaturan Tanggung Jawab Kurator Terhadap Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit dalam Kaitannya dengan Hak Kreditor
Separatis, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 19, Nomor 1 tahun
2017 ini merupakan karya tulis Dewi Tuti Muryati dkk, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Semarang, yang membahas pengurusan harta pailit
dalam kaitannya dengan hak kreditor separatis yang kedudukannya memang
dipisahkan dari kreditur lainnya dalam pemberesan harta pailit. Jurnal ini
memiliki kesamaan berupa pemberesan harta pailit yang berkaitan dengan
hak para kreditur, namun terdapat perbedaan dengan penelitian penulis
yakni terhadap hak para pihak yang saling dihubungkan dalam proses
pemberesan debitor pailit.
4. Upaya Pemerintah Dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di
Indonesia (The Government Efforts In Realizing Ease of Doing Business
in Indonesia), Jurnal Rechtsvinding Volume 6, Nomor 3, Desember 2017,
ditulis oleh Edward James Sinaga yang membahas konsep kemudahan
berusaha di Indonesia secara umum, dengan menekankan aspek perusahaan
terbatas sebagai subjek dalam penelitiannya. Ia berusaha menganalisis
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan berusaha,
serta peran strategis Kementerian Hukum dan HAM dalam mendukung
kemudahan berusaha. Berbeda dengan penulis yang menempatkan peranan
kepailitan dalam mendukung kemudahan berusaha di Indonesia, dari
perspektif penyelesaian sengketa kepailitan yaitu pemberesan harta debitor
yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.
7
F. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teori Penelitian
Dalam mengartikan teori, Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation
of Behavioral Research menjelaskannya sebagai “Seperangkat konsep,
batasan dan proporsi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang
fenomena dengan merinci hubungan antar variabel dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.2 Menurut Shorter Oxford
Dictionary “teori” mempunyai beberapa definisi, yang salah satunya yang
lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu” skema atau sistem
gagasan atau pertanyaan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan
dari sekelompok fakta atau fenomena; suatu pertanyaan tentang sesuatu
yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang
diketahui atau diamati.3 Menurut Sarantakos teori dibangun dan
dikembangkan melalui research dan dimaksudkan untuk menggambarkan
dan menjelaskan suatu fenomena.4 Yang jadi landasan kerangka teoritis
dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan unsur yang harus ada dalam
suatu negara. Setiap pembentukan negara pasti di dalamnya ada
hukum untuk mengatur warga negaranya. Hubungan inilah yang
melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan hukum akan
menjadi hak bagi warga negaranya, namun di sisi lain
perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara. Negara
wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya,
sebagaimana di Indonesia yang mengukuhkan dirinya sebagai
2 Mukti Fajar Nur Dewata and Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Normatif & Empiris,
III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 134. 3H.R. Otje Salman and Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, Dan
Membuka Kembali) (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h. 22. 4 Salman and Anthon F. Susanto, h. 22.
8
negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3)
yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum.”
b. Teori Kewajiban dan Paksaan
Salah satu hakikat dari hukum adalah dapat dipaksakan
berlakunya bila perlu dengan campur tangan negara. Karena itu,
dalam hukum itu sendiri terdapat unsur kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap orang yang tunduk kepada hukum yang
bersangkutan. Sebagai ekuivalensi dari kewajiban, hukum juga
menyediakan dan negara menjamin hak-hak tertentu bagi warga
negaranya.5
c. Teori Perintah
HLA Hart menyatakan bahwa perintah (command) adalah
“to exercise authority over men, not power to inflict harm, and
though it may be combined with threats of harm the command is
primarily an appeal not to fear but to respect for authority”
dalam hal ini, perintah utamanya dimaksudkan bukan untuk
ditakuti tetapi untuk dihormati. Perintah seperti inilah yang
dimaksudkan oleh hukum, yang dalam hal hukum dianggap
sebagai “perintah” yang harus dijalankan oleh orang yang
menjadi objek pengaturan hukum.6
d. Contempt of Court
Teori ini berdasarkan kepada independensi pengadilan
dalam memutus suatu perkara. Artinya, orang tidak bisa semata-
mata tidak menerima suatu putusan pengadilan atau
mengingkari adanya suatu putusan atas dirinya. Adanya
tindakan demikian dianggap sebagai contempt of
court/penghinaan terhadap pengadilan.
5 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cetakan kedua (Jakarta:
Kencana, 2013), h. 105. 6 Fuady, Teori-teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. h. 98.
9
2. Kerangka Konseptual Penelitian
Table 1.0 Kerangka Konseptual Penelitian
No Definisi Deskripsi
1 Kepailitan
(UUK-PKPU)
Kepailitan, ialah adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam
UndangUndang ini
2 Bankruptcy
(Black law’s
Dictionary 9th)7
A statutory procedure by which a (usu.
insolvent) debtor obtains financial relief and
undergoes a judicially supervised
reorganization or liquidation of the debtor's
assets for the benefit of creditors;
3 Kepailitan8 Sita umum atas harta kekayaan Debitor
untuk kepentingan semua Kreditor yang
pada waktu Kreditor dinyatakan pailit
mempunyai utang.
4 Immunity (14c -
Black law’s
Dictionary 9th)9
Any exemption from a duty, liability, or
service of process; esp., such an exemption
granted to a public official or governmental
unit.
Absolute
immunity. (17c
- Black law’s
Dictionary 9th)10
A complete exemption from civil liability,
usu. afforded to officials while performing
particularly important functions, such as a
representative enacting legislation and a
judge presiding over a lawsuit.
7 Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, Abridged: 9th-West (2010) h. 166
8 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepaiilitan di Indonesia, (Kencana: Jakarta,
2009) h. 72 9 Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, h. 817 10 Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, h. 818
10
Judicial
immunity (1850
- Black law’s
Dictionary 9th)11
The immunity of a judge from civil liability
arising from the performance of judicial
duties
5 Kurator Segala ketentuan mengenai kurator diatur
dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 78 UU
Kepailitan, kurator adalah perorangan yang
melakukan pengurusan dan/atau
pemberesan harta pailit. 12
Kurator mempunyai dua kewajiban hukum
dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya. Pertama, kurator
mengembang statutory duties, Kedua,
berupa fiduciary duties atau fiduciary
litigations.13
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode Penelitian hukum
normatif, dalam penelitian ini penulis menggunakan Pendekatan
Perundang-undangan (Statue Aprroach), Undang-undang yang penulis
gunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No.37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
menjadi pedoman dalam pernyataan putusan pailit dan pedoman eksekusi
harta pailit.
11 Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary. h. 818
12 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang, (Alumni:
Bandung, 2010) h. 141 13 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan. (Grafiti: Jakarta, 2010) h. 228
11
Pendekatan Konseptual (Conseptual Aprroach), dengan mengkaji
konsep dan hakikat kepailitan, konsep Ease of Doing Business, Konsep
kewenangan, dan Konsep Keadilan. Selanjutnya, dalam penelitian ini juga
berdasarkan Case Aprroach, dalam Pendekatan Kasus ini penulis secara
singkat mengkaji beberapa putusan pengadilan yang ada keterkaitannya
dengan topik penelitian yaitu berupa; hambatan-hambatan yang dialami
kurator selama menjalankan tugas, hingga kurator yang diputus tidak
bersalah dana atau bersalah.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, jenis
penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap
pantas.14
3. Data Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer, data
sekunder, dan tersier. Yaitu:
a. Data Primer, ialah data yang didapatkan secara langsung tanpa perantara
atau langsung dari sumbernya, dalam hal ini penulis menggunakan
Undang-Undang No.37 Tahun 2004 (UU Kepailitan) dan peraturan
hukum lainnya yang berhubungan dengan kepailitan, Data Daftar Efek
Syariah (DES) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
Laporan Ease of Doing Business Grade yang dikeluarkan oleh World
Bank, dan Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
b. Data Sekunder, ialah data-data hukum yang dapat memberikan
informasi dan penjelasan terhadap data primer, data sekunder yang
penulis gunakan antara buku-buku, jurnal ilmiah, dan berita internet.
Data sekunder yang terutama adalah buku hukum studi kepailitan dan
14 Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Cet I. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004) h. 118.
12
hasil interview ahli hukum yang penulis peroleh dari beberapa sumber
berita terpercaya di internet.
c. Data Tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya:
kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif dan
sebagainya.15
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustakaan (Library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku,
jurnal, artikel, kamus, dan berita terpercaya dari internet.16 Yang memiliki
keterkaitan dengan kepailitan, kurator, hak imunitas, investasi, penaman
modal, dan sebagainya
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini keseluruhan bahan dan data-data dikumpulkan,
data primer, sekunder, dan data tersier, selanjutnya dilakukan
pengelompokan berdasarkan isu yang akan penulis bahas. Kemudian
bahan diuraikan dan diteliti sehingga memperoleh informasi dan
pembahasan yang sistematis. Metode analisis data yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan
yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan secara
khusus. Data-data tersebut diolah dan diuraikan untuk kemudian penulis
analisa dan simpulkan, sehingga isu hukum yang telah dirumuskan dalam
perumusan masalah dapat terjawab.
15 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet. VI (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003) hlm.114 16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 65
13
H. Rancangan Sistematika Penelitian
Penulis akan menyajikan penelitian ini ke dalam lima bab, masing-masing
bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut:17
1. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
2. Bab II Tinjauan Teoritis
Dalam bab ini, Penulis menguraikan teori-teori hukum kepalitan
dalam hubungannya dengan kepailitan di Indonesia yang dijadikan
sebagai alat interpretasi tema permasalahan.
3. Bab III Gambaran Umum Hak Imunitas dan EoDB
Dalam bab ini, penulis menguraikan hal yang berkaitan dengan
konsep hak imunitas dan Ease of Doing Business (EoDB) secara umum
disertai dengan hubungan hak imunitas kurator dalam UU No.37/2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dan
beberapa kasus yang berhubungan dengan hak imunitas kurator dalam
pengurusan harta pailit.
4. Bab IV Analisa Keterkaitan Hak Imunitas Kurator dengan EoDB
dalam Investasi Syariah
Dalam bab ini diuraikan hasil analisis penulis mengenai perlunya
penguatan hak imunitas kurator dan pengurus dalam proses pemberesan
harta pailit yang berkaitan dengan Ease of Doing Business di Indonesia
dalam rangka menarik investor asing (syariah), serta menjelaskan
17 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: FSH
UIN Jakarta, 2017) h.39
14
produk-produk dan berbagai instrumen investasi syariah yang ada di
Indonesia secara umum.
5. Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan, yang
berisi penjelasan secara singkat dari hasil pembahasan dan analisa, dan
penulis juga mengemukakan beberapa saran yang dianggap perlu
sebagai bahan masukan bagi para pembaca.
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Kepailitan
1. Pengertian Kepailitan
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu
membayar hutang-hutang atas para kreditor yang dimilikinya. Hal ini
disebabkan karena pasiva lebih besar dari aktiva, artinya hutang yang
dimiliki debitor lebih besar dari aset yang ada. Sedangkan kepailitan
adalah suatu kondisi yang mengakibatkan harta debitor berada di bawah
sita umum akibat dari adanya putusan pailit dari pengadilan. Debitor dalam
melakukan kegiatan bisnis kemudian mengalami masalah keuangan dapat
mengajukan permohonan penetapan pailit atas dirinya sendiri (voluntary
petition) atau bagi para kreditor yang merasa piutang yang dimilikinya atas
debitor tidak mampu untuk dibayar oleh debitor dengan pertimbangan
bisnis debitor dalam kondisi yang sangat buruk dan membahayakan
piutang yang dimilikinya, ia dapat mengajukan permohonan penetapan
pailit terhadap debitor (involuntary petition).
Pengertian kepailitan menurut Undang-undang No.37 Tahun 2004
Pasal 1 angka 1 adalah “sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini”. Pengertian kepailitan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni
“keadaan atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi
membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang”.
Dalam Kepustakaan, Algra Mendefinisikan kepailitan adalah
faillissementis een gerechtejijk beslag op het gehele vermogen van een
schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser. (kepailitan
adalah suatu sitaan umum terhadap semua arta kekayaan dari seorang
debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si
16
berpiutang).18 Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat
komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit
seorang debitor, di mana debitor tersebut sudah memiliki ketidakmampuan
lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.19
Pengertian kepailitan juga dapat ditemukan di Black Law’s Dictionary,
yang menjelaskan:
“A statutory procedure by which a (usu. insolvent) debtor obtains
financial relief and undergoes a judicially supervised
reorganization or liquidation of the debtor's assets for the benefit of
creditors”20
Bahwa kepailitan merupakan suatu prosedur perundang-undangan
yang menghadapkan debitur pada keadaan kondisi keuangan yang tidak
stabil dan secara hukum mengakibatkan reorganisasi atau likuidasi
terhadap harta debitur demi kepentingan para kreditor.
2. Tujuan Hukum Kepailitan
Kreditur pada dasarnya memiliki kesamaan kedudukan dengan
kreditur lain yang juga memiliki piutang terhadap debitur (paritas
creditorium). Sehingga pada saat debitur dalam kondisi pailit, para
kreditur ini akan saling mendahului satu dengan yang lain untuk
mendapatkan pelunasan hutang paling awal dengan asumsi mendapat
porsi yang besar dengan kata lain piutangnya terbayar lunas. Di lain sisi,
kreditur yang menagih piutang terakhir berkemungkinan tidak
mendapat pelunasan hutang secara maksimal. Oleh sebab itu, perlu
adanya suatu lembaga yang mengatur pembagian piutang ini secara
berkeadilan, maka muncul lembaga kepailitan yang di Indonesia berada
di bawah pengadilan niaga yang diatur dalam UUK PKPU.
18 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma Dan Praktik Di Peradilan, 5th ed.
(Kencana, 2015), h. 1. 19 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma Dan Praktik Di Peradilan, h. 2. 20 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (9th-West: Abridged, 2010), h. 166.
17
Kepustakaan hukum para ahli menjelaskan, tujuan kepailitan
adalah pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor
dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.21 Dalam
hubungan dengan peraturan perundang-undangan kepailitan, peraturan
bermaksud juga berfungsi untuk melindungi kepentingan pihak-pihak
terkait dalam hal ini kreditor dan debitor, atau masyarakat. Mengenai
hal ini, penjelasan umum UUK PKPU menyebutkan beberapa faktor
pelunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang. faktor-faktor yang dimaksud yaitu:22
a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila
dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang
menagih piutangnya dari debitur
b. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak
jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara
menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan
kepentingan-kepentingan debitor atau para kreditor
lainnya.
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan
yang dilakukan salah seorang kreditor atau atau debitor
sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor
tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya
perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua
harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan
tanggung jawabnya terhadap para kreditor.
Pada zaman dahulu debitor yang tidak mampu membayar hutangnya
dimasukkan ke dalam penjara sebagai akibat hukum karena merugikan
21 Sentosa Sembiring, “Eksistensi Kurator Dalam Pranata Hukum Kepalitan,” Jurnal
Hukum Acara Perdata Adhaper Vol. 3, no. 1 (2017): h. 96. 22 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung:
Alumni, 2010), 72.
18
kreditor, bahkan terkadang dipotong anggota tubuh si debitor. Di era
sekarang secara yuridis debitor diberikan banyak hak sebagai bentuk
perlindungan, karena pemahaman selama ini yang salah adalah
kepailitan diidentikkan dengan suatu tindakan kriminal padahal tidaklah
seperti itu.
3. Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan
Untuk dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga
pemohon pailit terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat pailit yang
disebut di UUK PKPU. Apabila permohonan pernyataan pailit tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan
dapat dikabulkan oleh pengadilan, adapun syarat-syarat pengajuan
permohonan pailit adalah:
a. Utang
Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utag adalah perikatan,
yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak
dipenuhi, kreditur berhak mendapat pemenuhan dari harta debitur.
Pada dasarnya UU Kepailitan tidak hanya membatasi utang sebagai
suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-
meminjam uang saja.23
Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan
permohonan pailit ialah harus adanya utang. Definisi utang dalam
UUK PKPU disebutkan dalam Pasal 1 angka 6. Dalam Pasal 2 ayat
1 UUK PKPU disebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
23 Jono, Hukum Kepailitan, III (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 11.
19
permohonan yang diajukan kreditornya. Dengan demikian
ketentuan utang dalam permohonan pailit ialah;
1) Telah jatuh tempo dan dapat ditagih
2) Debitor tidak membayar lunas setidaknya satu utang.
b. Dua atau Lebih Kreditor
Pengertian kreditor menurut Pasal 1 angka 2 adalah
“orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-
undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”. Kreditor adalah
orang yang berdasarkan suatu perikatan mempunyai hak
subjektif untuk menuntut debitornya memenuhi kewajiban
(prestasi) tertentu dan dapat mengajukan pemenuhan tagihannya
tersebut atas kekayaan debitor.24
Pengertian "kreditor" dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah kreditor konkuren,
kreditor separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai
kreditor separatis, mereka dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan
yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-
masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.37 Tahun 2004.
c. Pihak-Pihak Pemohon pailit
Permohonan kepailitan dalam ketentuan hukum
kepailitan di Indonesia Pasal 2 ayat (2), (3) dan (4) UUK PKPU
mengatur bahwa, yang dapat mengajukan permohonan
kepailitan adalah:
a. Debitor;
b. Kreditor;
24 Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan
Di Indonesia, Cetakan I (Yogyakarta: Total Media, 2008), h. 111.
20
c. Kejaksaan, dalam hal untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya merupakan bank;
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dalam hal hal
debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, atau lembaga
kliring dan penjamin simpanan;
f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung di bidang
kepentingan publik.
Dengan diundangkannya UU No. 21/2011 Tentang OJK
maka kewenangan permohonan pailit oleh Bapepam, Menteri
Keuangan, dan Bank Indonesia menjadi kewenangan OJK
berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55. Dengan ketentuan
terlebih dahulu harus memenuhi dua unsur kepailitan. Pertama,
ada hutang yang jatuh tempo serta tidak dibayar lunas. Kedua,
adanya lebih dari dua kreditor.
Permohonan pailit yang dilakukan oleh debitor atau
kreditor wajib didampingi oleh advokat, ketentuan ini bertujuan
agar proses beracara pada peradilan kepailitan menekankan pada
efisiensi dan efektivitas beracara, dengan harapan tidak ada lagi
masalah teknis atau administrasi di persidangan karena advokat
dianggap telah memahami tentang hukum acara.
4. Akibat Hukum Kepailitan
Debitor yang dinyatakan pailit ialah berdasarkan kepada putusan
pernyataan pailit yang dikeluarkan kan oleh Hakim Pengadilan Niaga
dalam suatu putusan (vonnis) yang menimbulkan suatu akibat hukum
dimana harta debitur di berada pada sitaan umum, serta tidak lagi
memiliki kewenangan mengatur dan menguasai hartanya.
21
Putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga, dalam Pasal
15 ayat (1) disebutkan harus berisikan:
a. Pengangkatan Kurator; Kurator dapat ditunjuk oleh debitur
atau kreditur sebagai bentuk suatu usulan kepada hakim,
dengan tetap kewenangan mengangkat kurator berada pada
hakim. Apabila tidak diajukan usulan kurator oleh debitor
maupun kreditor maka yang diangkat sebagai kurator adalah
Balai Harta Peninggalan (BHP).
b. Pengangkatan Hakim Pengawas; ditunjuk dari hakim
pengadilan.
Secara khusus UUK PKPU mengatur mengenai akibat-akibat
hukum kepailitan yaitu pada Bab II Bagian Kedua, yaitu:
a. Akibat terhadap harta kekayaan. Pasal 21 menyebutkan
bahwa kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitor
pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan. Kemudian pada Pasal 24
ayat (1) disebutkan, debitor demi hukum kehilangan haknya
untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk
dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan.
b. Sitaan umum (public attachment); hakikat dari sitaan umum
terhadap harta debitur adalah bahwa maksud adanya
kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap
perebutan harta pailit oleh para kreditornya serta
menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh
debitor yang kemungkinan akan merugikan harta pailit.
c. Putusan serta merta; pada asasnya putusan kepailitan adalah
serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun
22
terhadap putusan tersebut masih dilakukan suatu upaya
hukum.25
d. Pasal 25 menyebutkan akibat terhadap perikatan yang terjadi
sesudah adanya putusan pailit, yaitu tidak dapat dibayar
menggunakan harta pailit,. Jika ketentuan ini dilanggar oleh
debitor pailit, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaan
tersebut, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta
pailit. Penjelasan kalimat “menguntungkan harta palit” tidak
dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 25 UUK
PKPU.
B. Kurator
1. Pengertian Kurator
Akibat hukum dari suatu putusan pailit terhadap debitor adalah
melekatnya sita umum pada seluruh harta kekayaan debitor pailit. Dengan
berlakunya sitaan umum, debitor demi hukum kehilangan haknya mengurus
dan menguasai harta pailit sebagaimana penulis telah uraikan sebelumnya.
Lebih lanjut, setelah berlakunya ketentuan Pasal 24 UUK PKPU mengenai
sita umum ini, kemudian dituntut segera untuk dilaksanakan pengurusan
dan pemberesan harta pailit oleh Institusi yang berwenang dalam melakukan
hal demikian, dalam hal ini adalah kurator.
Secara umum, kurator adalah suatu profesi yang bertugas mengurus
segala kepentingan harta debitor pailit dalam rangka pelunasan piutang yang
dimiliki para kreditor yang mempunyai bukti kepemilikan piutang.
Pengertian kurator dapat dijumpai pada Pasal 1 angka (5) UUK PKPU yakni
“Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor
Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas”
25 Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma Dan Praktik Di Peradilan, 163.
23
Kurator, yaitu orang atau persekutuan swasta yang berdomisili di
Indonesia, mempunyai kepakaran khusus yang diperlukan dalam rangka
harta pailit, terdaftar dan mendapatkan izin dari Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam praktiknya, yang terdaftar menjadi
kurator ialah para advokat dan akuntan publik.26
Vollmar menyatakan bahwa “De kurator is belast, aldus de wet, met
het beheer en de vereffening van de failliete boedel”. (kurator adalah
bertugas, menurut undang-undang, mengurus dan membereskan harta
pailit). Dalam setiap putusan pailit oleh pengadilan, maka di dalamnya
terdapat pengangkatan kurator yang ditunjuk untuk melakukan pengurusan
dan pengalihan harta pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.27
Kurator juga dikenal dengan berbagai istilah yang berbeda, di Inggris
kurator biasa disebut liquidator, pengertian liquidator dapat dijumpai dalam
hukum kepailitan Inggris, yaitu Insolvency act.
“The functions of the liquidator of a company which is being wound
up by the court are to secure that the assets of the company are got
in, realised and distributed to the company's creditors and, if there
is a surplus, to the persons entitled to it”
Berbeda dengan Inggris, di Amerika kurator disebut dengan Trustee,
disebutkan dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat;
“Trustee A person appointed by the U.S. Trustee or elected by
creditors or appointed bya judge to administer the bankruptcy
estate during a bankruptcy case”28
Kurator juga biasa disebut dengan receiver, Dalam Black law’s
dictionary,
26 Tata Wijayanta, Undang-Undang Dan Praktik Kepailitan: Perbandingan Indonesia Dan
Malaysia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), h. 183. 27 Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma Dan Praktik Di Peradilan, 108. 28 Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1656.
24
“disinterested person appointed by a court, or by a corporation or
other person, for the protection or collection of property that is the
subject of diverse claims (for example, because it belongs to a
bankrupt or is otherwise being litigated)”.29
Dengan membandingkan dengan beberapa negara, kurator
sejatinya memiliki peranan yang sama. Kurator ditunjuk atau diangkat
oleh pengadilan untuk melakukan pengurusan terhadap harta debitor
yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.
2. Profesi Hukum Kurator di Indonesia
Perlu terlebih dahulu memahami dan menyamakan sudut pandang
terkait dengan kedudukan kurator sebagai sebuah profesi hukum.
Secara garis besar, ada 3 (tiga) hal yang mendasari suatu profesi yaitu:
1) Based on knowledge, dan bukan atas dasar common sense.
Artinya, suatu profesi diperoleh dari adanya proses belajar keilmuan
secara berkesinambungan.
2) Memiliki skill yaitu tidak sekedar memiliki pengetahuan, namun
pengetahuan tersebut harus didukung oleh suatu keahlian.
3) Terikat oleh adanya suatu standar moral, di mana hal ini
berkaitan erat dengan nilai-nilai etika.30
Untuk menjadi kurator terlebih dahulu mesti mengikuti kursus dan
lulus tes yang diselenggarakan asosiasi kurator yang bekerjasama
dengan Departemen Hukum dan HAM. Saat ini asosiasi kurator
yang diakui oleh Departemen Hukum dan HAM hanya ada dua,
29 Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1383.
30 Sriti Hesti Astiti, “Pertanggungjawaban Pidana Kurator Berdasarkan Prinsip
Independensi Menurut Hukum Kepailitan,” Jurnal Hukum Dan Peradilan Volume 5, no. 2 (2016):
h. 282.
25
yakni AKPI (Asosiasi Kurator Pengurus Indonesia) dan IKAPI
(Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia).31
Pengaturan profesi kurator dan pengurus di Indonesia dapat
ditemukan dalam beberapa Pasal UUK PKPU, mulai dari proses
pengangkatan, kualifikasi kurator, Syarat menjadi kurator, tugas,
kewenangan, dan pengaturannya lebih lanjut. Mengenai tata cara dan
persyaratan pendaftaran tentang Kurator diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus. Pendaftaran
diajukan secara tertulis sebagai Kurator kepada Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jenderal Administrasi Hukum dengan
cara mengisi formulir yang telah disediakan. Sesuai Peraturan Menteri
Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pendaftaran Kurator dan Pengurus
3. Pengangkatan Kurator
Setiap orang yang berkehendak untuk diangkat sebagai kurator
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Hukum dan Perundang-undangan Kementerian Kehakiman dan HAM
RI. Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi kurator, yaitu pemohon
harus berdomisili di Indonesia dan lulus ujian dalam ujian kurator yang
diadakan oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).32
Pengangkatan kurator dalam hukum kepailitan Indonesia
dilakukan saat pembacaan putusan pailit. Pasal 15 ayat 1 UUK PKPU
menentukan, dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat;
a. Kurator
31 Yalid, “Persyaratan Dan Prospek Serta Gagasan Imunitas Terhadap Kurator Yang
Beritikad Baik,” Jurnal Hukum Respublica Vol. 16, no. 1 (2016): h. 38.
Asosiasi kurator yang diakui oleh Departemen Hukum dan HAM di Indonesia sebetulnya ada tiga;
AKPI, IKAPI, dan HKPI. 32 Wijayanta, Undang-Undang Dan Praktik Kepailitan: Perbandingan Indonesia Dan
Malaysia, h. 184.
26
b. Hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
Sebagaimana pengertiannya, kurator adalah Balai Harta
Peninggalan (BHP) atau orang perseorangan yang diangkat oleh
Pengadilan. Dalam Pasal 15 ayat 2 dijelaskan mengenai penunjukan
kurator oleh debitor atau kreditor dalam permohonan pailit yang
dilakukannya, dalam hal debitor atau kurator tidak mengajukan usul
pengangkatan kurator kepada pengadilan maka yang ditunjuk sebagai
kurator adalah Balai Harta Peninggalan.
Dengan menafsirkan Pasal 15 ayat 1 secara contrario, berarti
baik debitor, kreditor atau siapa pun yang berwenang mengajukan
permohonan pernyataan pailit dapat mengusulkan siapa yang diinginkan
untuk diangkat sebagai kurator oleh pengadilan. UUK PKPU tidak
memberikan ketentuan mengenai bagaimana halnya apabila baik
debitor, kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan
pernyataan pailit masing-masing menunjuk kurator yang berbeda,
sedangkan mereka tidak bersepakat menunjuk kurator yang sama. Dari
bunyi ketentuan Pasal 15 ayat 2 dapat diketahui bahwa pengangkatan
kurator itu adalah kewenangan Pengadilan Niaga.33
Sehingga walaupun debitor atau kurator mengusulkan kurator
yang berbeda, akan tetapi kewenangan pengangkatan dan penunjukan
kurator tetap berada pada pengadilan.
4. Tugas dan Wewenang Kurator
Tugas utama kurator dalam kepailitan Indonesia disebutkan dalam
Pasal 69 ayat 1 dengan sangat singkat “Tugas kurator adalah
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit”. Dengan
penjelasan “cukup jelas” pada bagian penjelasan pasal. Akan tetapi
pengurusan dan pemberesan sebagaimana tugas kurator ini terdapat di
33 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan (Jakarta: Grafiti, 2010), 205.
27
berbagai pasal dalam UUK PKPU. adapun tugas kurator dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Mengamankan Harta Pailit
Ketentuan dalam Pasal 98 UUK PKPU menyebutkan
bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus segera
melakukan segala bentuk upaya pengamanan terhadap harta
pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan,
efek dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda
terima. Dalam pelaksanaannya kurator dapat meminta juru sita
untuk melakukan penyegelan harta pailit melalui hakim
pengawas dengan dihadiri oleh dua orang saksi yang salah satu
di antaranya adalah wakil pemerintah setempat.
Rasio legis dari pengamanan harta debitor pailit ini adalah
adanya kemungkinan debitor pailit tidak beritikad baik yang
sewaktu-waktu dapat membahayakan harta pailit sehingga
berdampak kepada kerugian kreditor.
b. Pencatatan Harta Pailit
Kurator setelah menerima surat putusan pengangkatan
sebagai kurator, secepatnya kemudian mulai melakukan
pencatatan harta pailit. Dalam Pasal 100 ayat 2 disebutkan
pencatatan harta pailit tersebut dilakukan di bawah tangan
sepanjang disetujui oleh hakim pengawas tanpa harus melalui
notaris. Validitas dari aksi ini ialah dengan dihadirinya para
kreditor sementara dalam pencatatan harta pailit. Begitu
ketentuannya yang disebutkan dalam Pasal 100 ayat 3 UUK
PKPU.
Dalam Pasal 102 selanjutnya ditentukan agar segera setelah
dibuat pencatatan harta pailit, kurator membuat daftar yang
menyatakan sifat dan jumlah piutang harta pailit, sifat dan
28
jumlah utang harta pailit, serta nama dan tempat tinggal kreditor
beserta jumlah piutang masing-masing kreditor.
c. Menyimpan Harta Pailit
Tidak hanya sekedar mengamankan dan mencatat, kurator
juga harus menyimpan harta pailit. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 108 UUK PKPU; Kurator wajib menyimpan uang,
perhiasan, efek dan surat berharga lainnya. Kemudian pada ayat
2 disebutkan kurator wajib menyimpan uang tunai yang tidak
diperlukan untuk pengurusan harta pailit di bank setelah
mendapat izin dari hakim pengawas.
d. Menjual Harta Pailit
Menjual harta pailit merupakan suatu langkah pemberesan
dalam membayar piutang para kreditor, Penjualan harta pailit
dalam Pasal 185 disebutkan bahwa semua benda harus dijual di
muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Penjualan di muka umum ini
biasanya adalah melalui mekanisme lelang, akan tetapi jika
penjualan melalui lelang ini tidak tercapai atau gagal maka
kurator dapat melakukan penjualan di bawah tangan dengan
terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas.
e. Membagikan Harta Pailit
Setelah segela bentuk tindakan pengurusan dan pemberesan
dilakukan, selanjutnya kurator membagikan harta yang
diperoleh kepada para kreditor sesuai dengan daftar pembagian.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 189 ayat 4 UUK PKPU
pembayaran kepada kreditur:
a. Yang mempunyai hak yang diistimewakan, termasuk di
dalamnya hak istimewanya dibantah; dan
29
b. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh
mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55
Dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap
mana mereka mempunyai hak istimewa atau terhadap
benda yang digunakan kepada mereka dengan hak-hak
jaminan tersebut.
Dalam tahap pembagian ini kurator harus tetap
memperhatikan asas-asas kepailitan (paritas creditorium, pari
passu prorate porte, secured creditor).
Kendati demikian, kurator bukan berarti dapat melakukan tindakan
pengurusan pemberesan sesukanya. Kurator harus memerhatikan
beberapa hal, yaitu:34
1. Apakah dia berwenang untuk melakukan hal tersebut;
2. Apakah merupakan saat yang tepat untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu;
3. Apakah terhadap tindakan tersebut diperlukan terlebih
dahulu persetujuan/ izin/ keikutsertaan dari pihak-pihak
tertentu, seperti hakim pengawas, pengadilan niaga, panitia
kreditor, dan debitor;
4. Apakah tindakan tersebut memerlukan prosedur tertentu,
seperti harus dalam rapat dengan kuorum tertentu, harus
dalam sidang yang dihadiri/dipimpin oleh hakim pengawas,
serta
5. Harus dilihat bagaimana cara yang layak dari segi hukum,
kebiasaan, dan sosial dalam menjalankan tindakan-tindakan
34 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktik, IV (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010), 46.
30
tertentu. Misalnya, jika melalui asset tertentu apakah melalui
pengadilan, lelang, bawah tangan, dan sebagainya.
C. Kerangka Pemikiran
1. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan unsur yang harus ada dalam suatu
negara. Setiap pembentukan negara pasti di dalamnya ada hukum untuk
mengatur warga negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan
kewajiban. Perlindungan hukum akan menjadi hak bagi warga negaranya,
namun di sisi lain perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara.
Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya,
sebagaimana di Indonesia yang mengukuhkan dirinya sebagai negara
hukum yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi
“Indonesia adalah negara hukum.”
Menurut Philipus M. Hadjon pada hakikatnya perlindungan hukum
berkaitan dengan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subjek
hukum yang dilanggar haknya.35
Dalam penelitian ini, intervensi terhadap tugas kurator yang berimplikasi
kepada adanya laporan kepolisian bahkan hingga pemidanaan kurator
menyebabkan kurator secara hukum tidak terlindungi dengan baik. Teori
Perlindungan hukum memberikan kesamaan hak. Bagi kurator dan
pengurus hak itu berupa hak menjalankan tugas bebas intervensi dari pihak
mana pun dengan tetap bertanggung jawab atas kelalaian dalam
menjalankan tugas.
2. Teori Kewajiban dan Paksaan
Salah satu hakikat dari hukum adalah dapat dipaksakan berlakunya bila
perlu dengan campur tangan negara. Karena itu, dalam hukum itu sendiri
terdapat unsur kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang
tunduk kepada hukum yang bersangkutan. Sebagai ekuivalensi dari
35 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 2.
31
kewajiban, hukum juga menyediakan dan negara menjamin hak-hak
tertentu bagi warga negaranya.36
Penggunaan teori kewajiban dan paksaan kaitannya dengan penelitian
pada penulisan ini, di mana kurator yang berwenang melakukan tindakan
pengurusan asset/ boedel pailit. Tindakan penyitaan misalnya diatur pada
Pasal 99 UUK PKPU; bahwa dalam melakukan penyitaan oleh kurator
dapat dimintakan kepada juru sita di pengadilan. Teori Kewajiban dan
Paksaan ini mengharuskan debitur pailit utuk mematuhi tindakan penyitaan
oleh juru sita. Karena pada dasarnya debitor pailit kehilangan haknya atas
kekayaan yang dimiliki berdasarkan putusan palit Pengadilan Niaga.
3. Teori Perintah
John Austin memiliki pandangan mengenai “perintah” sebagai “….
Being commands (and therefore being established by determinate
individuals or bodies), they are laws properly so called: they are armed with
sanction, and impose duties, in the proper acceptation of the term”;37
Perintah dapat dijelaskan sebagai suatu hukum, yang berisi sanksi, dan tugas
atau pertanggungjawaban, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
HLA Hart menyatakan bahwa perintah (command) adalah “to exercise
authority over men, not power to inflict harm, and though it may be
combined with threats of harm the command is primarily an appeal not to
fear but to respect for authority” dalam hal ini, perintah utamanya
dimaksudkan bukan untuk ditakuti tetapi untuk dihormati. Perintah seperti
inilah yang dimaksudkan oleh hukum, yang dalam hal hukum dianggap
sebagai “perintah” yang harus dijalankan oleh orang yang menjadi objek
pengaturan hukum.38
36 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cetakan kedua (Jakarta:
Kencana, 2013), h. 105. 37 Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum h. 96. 38 Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum h. 98.
32
4. Contempt of Court
Contempt of court adalah setiap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat
dan kehormatan badan peradilan.
Di Indonesia pertama kali diternukan istilah Contempt of Court adalah
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 butir 4
alinea ke-4 sebagai berikut ; “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin
terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur
penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan
yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan
kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.
Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan
definisinya.”.39
Selain itu, istilah Contempt of Court juga telah diartikan sebagai
perbuatan yang diklasifikasi sebagai bentuk penghinaan terhadap
pengadilan. Apabila diklasifikasikan perbuatan tersebut antara lain;
berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court);
tidak menaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders);
menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the
Court); menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing
Justice); dan perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang
dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (Sub-Judice Rule).
39 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis Penelitian Contempt
of Court 2002 (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2002), h. 7.0
33
BAB III
TINJAUAN UMUM HAK IMUNITAS DAN 1EASE OF DOING BUSINESS
(EODB)
A. Hak Imunitas
1. Pengertian Hak Imunitas
Secara bahasa imunitas atau immunity berarti kekebalan.40 Imunitas
dapat juga dijumpai dalam Kamus Hukum Indonesia, ialah hal atau keadaan
tidak dapat diganggu gugat; kekebalan.41 R. Subekti mendefinisikan
imunitas sebagai, kekebalan tidak tunduk kepada kepada hukum yang
berlaku di suatu negara.42
Dengan begitu, hak imunitas dalam bahasa Indonesia diartikan dengan
hak kekebalan, kekebalan atas suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh
seseorang atau institusi berdasarkan suatu perintah yang menimbulkan
kewenangan.
Pengertian hak imunitas dalam Black Law’s Dictionary “Any exemption
from a duty, liability, or service of process; esp., such an exemption granted
to a public official or governmental unit”;43 disebutkan sebagai suatu
pengecualian pertanggungjawaban; suatu tindakan yang pada dasarnya
memiliki konsekuensi hukum jika dilakuan akan tetapi dengan adanya hak
imuntas tindakan tersebut dikecualikan dari perbuatan yang melanggar
hukum. Selain itu, bahasan mengenai hak imunitas juga ditemukan dalam
Law Dictionary, bahwa imunitas adalah hak untuk dikecualikan dalam suatu
pelanggaran; suatu keistimewaan yang diberikan kepada seseorang dan
objek keistimewaan tersebut memiliki sifat bertentengan dengan aturan
yang ada.44
40 I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Cetakan IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 329.
41 B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Cetakan I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2009), h. 120. 42 R Subekti, Kamus Hukum, Cetakan XVI (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 57. 43 Garner, Black’s Law Dictionary, 817. 44 Steven H. Gifis, Law Dictionary (New York: Barron’s Education Series, 1975), h. 98.
34
Gagasan mengenai hak imunitas ini lebih dikenal di bidang hukum
internasional, hak imunitas diplomat, yang memberikan kewenangan
untuk dapat melakukan suatu tindakan hukum yang pada dasarnya
tindakan tersebut memiliki konsekuensi yuridis sebagai suatu tindakan
melanggar hukum.
“… the doctrine of diplomatic immunity bestows a right to
do wrong. Diplomats covered under the immunity enjoy a right
against prosecution and often also against civil liability for
violations of the laws of their hosting state. Yet, such diplomats are
still subject to the laws of their hosting state. In other words,
diplomats have duties and obligations under the law of the host
state, yet are immune from most forms of legal sanction and liability
for violating those laws. They have, therefore, a legal right to violate
what are their legal duties and obligation, which is, in other words,
a legal right to do legal wrong”.45
Dari tulisan Herstein di atas, jelas imunitas yang diberikan kepada
diplomat oleh host-state (negara penerima) ialah terbebas dari berbagai
akibat hukum, seperti sanksi atau bentuk pertanggung jawaban lainnya,
dari suatu tindakan yang dilakukannya. Dalam arti, mereke (diplomat)
mempunyai hak untuk melanggar ketentuan hukum dengan catatan
“bertugas”.
Terdapat juga imunitas yang dikenal dengan Judicial immunity,
Dalam Black Law’s Dictionary;
“Judicial immunity, The immunity of a judge from civil liability
arising from the performance of judicial duties”46
45 Ori J. Herstein, “A Legal Right to Do Legal Wrong,” Oxford Journal of Legal Studies
34, no. 1 (March 1, 2014): h. 24, https://doi.org/10.1093/ojls/gqt022. (diakses pada 12 Juli 2018) 46 Garner, Black’s Law Dictionary, h. 818.
35
Dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa judicial immunity
memberikan hak kepada profesi hukum untuk bebas dari tuntutan yang
suatu saat dapat muncul atas pelaksanaan tugasnya.
2. Hambatan Kurator dan Pengurus di Indonesia
Penyelesaian suatu perkara kepailitan sangat ditentukan dengan
bagaimana aturan/pengaturan hukum kepailitan suatu negara. Di Indonesia
kepailitan diatur dalam UUK PKPU. Secara umum, UUK PKPU dapat
dinilai cukup baik tapi di lain sisi di beberapa Pasal UUK PKPU
menunjukkan ketidaksesuain dan keberpihakan kepada stakeholders
kepailitan. Aturan yang seharusnya melindungi kemudian malah seolah
menjadi mesin pembunuh bagi kelanjutan usaha dari debitor. Beberapa
permasalahan terjadi, antara lain: Syarat minimum kreditor sebagai
pemohon pailit yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) , Jangka waktu PKPU
yang sangat singkat, Jika kreditor yang mengajukan PKPU. Debitor
dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian untuk seluruh kreditor.47
Lebih dalam, permasalahan inti dalam penelitian ini mengacu kepada
lemahnya pengaturan UUK PKPU dalam melindungi kurator yang sedang
bertugas dalam proses kepailitan. Dalam menjalankan tugas pengurusan
dan pemberesan harta pailit seperti disebutkan pada Pasal Pasal 69 ayat 1
UUK PKPU “Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan
pemberesan harta pailit”, tidak selamanya berjalan dengan lancar. Para
kurator dan pengurus kerap dihadapkan dengan berbagai persoalan yang
berimplikasi menghambat proses pemberesan harta pailit. Seperti yang
dialami oleh kurator asal Jakarta, Jandri Oasis Siadari, yang ditangkap
oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur.
Penangkapan oleh Polda Jawa timur ini menimbulkan perhatian dan
keprihatinan luas dari Organisasi Kurator dan Pengurus serta Advokat
47 Niru Anita Sinaga and Nunuk Sulisrudatin, “Hukum Kepailitan Dan Permasalahannya
Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara Volume 7, no. 1 (2016): h. 172.
36
karena penangkapan terjadi terkait pelaksanaan pekerjaan penanganan
proses kepailitan dan PKPU yang sedang ditangani oleh Jandri sehingga
dugaan dan kecurigaan adanya upaya “kriminalisasi” menjadi menguat. 48
Tidak hanya laporan kepolisian, Jandri bahkan kemudian menjadi
terdakwa atas kasus dugaan pemalsuan surat dan keterangan palsu.
Dugaan kriminalisasi ini diperkuat dengan terbuktinya kurator Jandri
Oasis Siadari tidak bersalah pada Pengadilan tingkat pertama dan Kasasi
berdasarkan Putusan MA No. 231/K/Pid/2015.49
Adapun hambatan-hambatan yang sering dihadapi kurator. adalah (1)
tidak diizinkan oleh Debitor pailit atau dihalang-halangi untuk memasuki
kantor atau tempat kediamannya serta diancam oleh Debitor atau kuasa
hukumnya untuk dilaporkan secara pidana telah memasuki pekarangan
secara melawan hukum (Pasal 167 KUHP), (2) dilaporkan oleh Debitur ke
Polisi atas dasar memasukkan keterangan palsu karena menolak tagihan
kreditor yang menurut Debitor merupakan kreditornya (Pasal 263 KUHP),
(3) Dilaporkan oleh Debitor ke Polisi karena melakukan pencemaran nama
baik atas pengumuman kepailitan yang dilakukan oleh Kurator, (4)
Dilaporkan oleh Debitor ke Polisi atas dasar penggelapan karena telah
melakukan penjualan harta pailit tanpa persetujuannya. Anehnya,
meskipun laporan-laporan tersebut terkesan dipaksakan, tidak sedikit
laporan-laporan tersebut yang diproses, dan bahkan menjadikan Kurator
atau Pengurus sebagai tersangka. Lebih parah lagi ketika dilanjutkan
dengan proses penahanan sebagaimana dialami oleh Kurator Jandri Onasis
Siadari. 50
48 Alfin Sulaiman, Hak Imunitas Profesi Kurator dan Pengurus, Artikel ini diakses pada 5
Juli 2018 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53560215cad4f/hak-imunitas-profesi-
kurator-dan-pengurus-broleh--alfin-sulaiman--sh--mh- 49 Putusan MA No. 231/K/Pid/2015, Jandri Oasis Siadari terbukti tidak melakukan
pemalsuan surat dan melakukan keterangan palsu dalam proses pengurusan dan pemberesan harta
pailit. Pengadilan menolak kasasi dari pihak Pemohon Kasasi/ Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Surabaya. 50 Alfin Sulaiman, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53560215cad4f/hak-
imunitas-profesi-kurator-dan-pengurus-broleh--alfin-sulaiman--sh--mh-
37
B. The Doing Business
The Doing Business merupakan suatu project Global International Finance
Corporation oleh World Bank Group yang menyediakan penilaian dalam
regulasi bisnis secara objektif dan penerapannya (regulasi) terhadap 190 negara
serta kota-kota terpilih di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota dalam bentuk
sebuah laporan. Proyek yang telah ada sejak tahun 2002 ini melakukan
penelitian kepada perusahaan dari yang berskala kecil hingga perusahaan-
perusahaan besar di suatu negara dan mengukur suatu aturan yang diterapkan
kepada mereka (perusahaan) dalam kegiatan bisnis yang mereka lakukan.
Doing Business ini menyediakan berbagai laporan atas regulasi-regulasi
tentang bisnis dalam penerapannya oleh perusahaan. Laporan-laporan ini
berupa data tentang kemudahan berusaha (ease of doing business), dan
rokemendasi-rekomendasi untuk meningkatkan pelaksanaan kemudahan
berusaha di suatu negara.
1. Ease of Doing Business
Ease of Doing business (EoDB) merupakan peringkat atau indeks
kemudahan berusaha yang dibuat oleh World Bank. Indeks ini merupakan
peringkat ekonomi dengan skala 1 – 190 (tergantung kepada jumlah negara
yang menjadi objek survei oleh World Bank) tentang kemudahan berusaha
dalam suatu negara yang diukur berdasarkan penerapan regulasi bisnis
kepada perusahaan dan atau pelaku usaha serta pengalaman mereka dalam
kegiatan berusaha dan berbisnis.
Gibran, dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa Data Doing
Business kerap digunakan untuk menilai kondisi perekonomian dan
peraturan dalam melakukan penanaman modal asing ke suatu
negara/foreign direct investmen (FDI). 51
51 Adrian Corcoran and Robert Gillanders, “Foreign Direct Investment and the Ease of
Doing Business,” Review of World Economics 151, no. 1 (February 1, 2015): h. 104,
https://doi.org/10.1007/s10290-014-0194-5.
38
2. Paramater Ease of Doing Business
a. Memulai Usaha (Starting a Business)
Sebagaimana kerangka kerja dasar dalam studi Doing Business, tahapan
Memulai Usaha dimaksudkan sebagai fase awal berusaha yang berisi
presedur, lama waktu dan jumlah biaya yang harus dipenuhi pengusaha
saat mendirikan badan usaha dan menjalankan operasional bisnis secara
resmi.52 Dan segala bentuk proses kegiatan pengurusan berbagai
perizinan yang perlu dilakukan untuk memulai usaha Kecil dan
Menengah.
b. Perizinan Mendirikan Bangunan (Dealing with Construction
Permits)
Pendirian bangunan usaha merupakan indikator terpisah yang memiliki
prosedur tersendiri. Indikator tersebut menjadi faktor penting pada saat-
saat awal usaha, terutama bagi perusahaan yang pada fase operasional
memiliki kegiatan utama perdagangan, penyimpanan barang dan
distribusi hasil produk. Dengan melihat siklus usaha tersebut maka
kemudahan dalam mengurus dan mendapatkan izin-izin pendirian
bangunan (gudang) menjadi hal penting yang harus disederhanakan.53
c. Pendaftaran Properti (Registering Property)
Tanah menjadi objek penting dalam penilaian indikator ini, tanah tanpa
kepastian status kepemilikan atau berbelit dalam pengurusan peralihan
hak, jelas menghambat nilai manfaat penggunaanya. Indikator ini berisi
rangkaian proses bisnis yang wajib diurus penjual dan pembeli agar
properti bisa beralih hak secara sah. Sebagaimana kedua indikator
lainnya, indikator Registering Property berisi data-data utama yang
sama (prosedur, waktu, biaya); dengan perbedaan terletak pada data
khusus perihal kualitas pelayanan administrasi. Sebagian interaksi
berlangsung dengan instansi vertikal Pusat di daerah (BPN), sebagian
52 Robert Na Endi Jawaeng dkk., “Reformasi Kemudahan Berusaha” (Jakarta: KPPOD,
2016), h. 11. 53 Na Endi Jawaeng dkk., “Reformasi Kemudahan Berusaha”18.
39
lainnya dengan instansi Pemda dan para pihak ketiga seperti
Notaris/PPAT. Rangkaian prosedur, waktu dan biaya dilakukan
bersamaan atau terpisah menurut klasifikasi tahapan: pra-registrasi,
registrasi dan postregistrasi.54
d. Pembayaran Pajak (Paying Taxes)
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007).
Indikator pembayaran pajak mencerminkan jumlah total pajak dan
iuran yang dibayarkan, metode pembayaran, frekuensi pembayaran,
dan jumlah lembaga yang terlibat untuk studi kasus selama tahun kedua
operasi. Ini termasuk pajak yang dipotong oleh perusahaan, pajak
pertambahan nilai (PPN) dan pajak tenaga kerja karyawan (PPh 21).
Pajak ini dipungut/dipotong oleh perusahaan dari konsumen atau
karyawan. Meskipun mereka tidak mempengaruhi laporan laba rugi
perusahaan, mereka menambah beban administrasi sesuai dengan
sistem pajak dan termasuk dalam ukuran pembayaran pajak.
http://eodb.ekon.go.id/indikator-eodb/paying-taxes/
e. Akses Perkreditan (Getting Credits)
Getting credit menyoroti permasalahan hak legal peminjam dan
pemberi pinjaman berkaitan dengan transaksi yang dijamin dan detail
informasi dalam pemberian kredit. Indikator Getting Credits termasuk
juga yang menjadi objek penilaian dalam rangkaian Kemudahan
berusaha.
54 Na Endi Jawaeng dkk. Reformasi Kemudahan Berusaha, h. 7.
40
f. Penegakan kontrak (Enforcing Contracts)
Enforcing contracts adalah indikator yang mengukur biaya dan
waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan sengketa berkaitan
dengan penegakan kontrak melalui pengadilan, mengukur kualitas
proses persidangan, serta menilai kemudahan berusaha melalui
rangkaian proses pada pengadilan.
g. Penyambungan Listrik (Getting Electricity)
Mendapatkan sambungan listrik adalah salah satu indikator
penilaian World Bank dalam EODB. Asumsi bangunan yang digunakan
oleh Bank Dunia dalam mengukur indikator Getting Electricity
adalah:55
1) Hanya untuk sambungan listrik bangunan gudang
berukuran minimal 929 m2 (luas tanah minimal 1.300,6
m2)
2) Bangunan baru dan pertama kali tersambung listrik.
3) Listrik yang tersambung dengan daya 140 KVA.
4) Pemakaian minimal listrik sebulannya minimal 0,07
GWH.
h. Perdagangan Lintas Negara (Trading across borders)
Trading across borders juga termasuk salah satu yang dinilai oleh
World Bank dalam melakukan survey Kemudahan Berusaha (EoDB)
yakni berkenaan dengan masalah impor dan ekspor dalam kegiatan
perdagangan oleh pelaku usaha/perusahaan di Indonesia. Indikator ini
menilai sejauh mana kemudahan ekspor dan impor barang dilakukan.
i. Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency)
Ini adalah indikator yang menjadi fokus penelitian penulis. indikator
Penyelesaian Perkara Kepailitan, mengukur waktu penyelesaian
perkara, biaya yang dikeluarkan untuk selama perkara, dan hasil
55 Na Endi Jawaeng dkk., “Reformasi Kemudahan Berusaha” h. 33.
41
persidangan perkara. Semua ini dalam konteks keberhasilan
penyelesaian perkara kepailitan.56
j. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas (Protecting Minority)
Indikator Protecting Minority Investors (Perlindungan Pemegang
Saham Minoritas) adalah salah satu dari Indikator penilaian yang ada
dalam Survey Ease of Doing Business yang dilakukan oleh World
Bank. Indikator ini berfokus pada aturan/praktik perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas di suatu negara.
56 The World Bank, Doing Business, http://www.doingbusiness.org/data/exploretopics/resolving-
insolvency/why-matters (Diakses pada 19 Juli 2018)
42
3. Peringkat Ease of Doing Business
a. Peringkat Ease of Doing Business di Indonesia
Tabel 1.1 Peringkat Ease of Doing Business Global
Tabel di atas menunjukkan peringkat Kemudahan berusaha
(Ease of Doing Business) tahun 2018 atas survey yang dilakukan
43
World Bank terhadap 190 negara. Indonesia berada pada peringkat
ke 72 indikator Ease of Doing Business secara umum, meningkat
dari posisi 92 pada tahun sebelumnya 2016/2017. Adanya
peningkatan dalam kurun waktu dua tahun ini mengindikasikan
kepedulian Indonesia pada Ease of Doing Business.
Pada indikator Starting a Business, Indonesia dinilai sebagai
negara dengan prosedur yang cukup banyak dan biaya yang cukup
tinggi, sehingga menempatkan Indonesia pada peringkat ke
144/190. Dari sisi indikator Dealing with Construction Permits
(108), Getting Electricity (138), Registering Property (106), Getting
Credit (55), Protecting Minority Investors (43), Paying Taxes (114),
Trading across Borders (112), Enforcing Contract (145), dan
Resolving Insolvency (38).
Peringkat Resolving Insolvency Indonesia pada dasarnya
sudah cukup baik jika dibandingkan dengan parameter lain yang
juga dinilai. Akan tetapi dengan bertitik tolak kepada regulasi atau
pengaturan kepailitan di Indonesia yang tidak relevan lagi dengan
bisnis global. Hipotesa penulis adalah bahwa peringkat resolving
insolvency Indonesia masih sangat berpotensi untuk terus membaik.
Tabel 1.3 Peringkat Ease of Doing Business Indonesia
2017/2018
Negara Ease of Doing Business Resolving Insolvency
Singapore 2 27
United States 6 3
Thailand 26 26
Malaysia 24 46
Japan 34 1
India 100 103
Indonesia 72 38
44
b. Peringkat Ease of Doing Business di Negara Lain
Peningkatan ranking yang lebih baik tidak hanya dirasakan
oleh Indonesia, India juga mengalami peningkatan terhadap
ranking ease of doing business. Peningkatan ini tidak lepas dari
upaya India meningkatkan efisiensi beberapa parameter EoDB,
diantaranya Perizinan mendirikan bangunan (construction
permits), Pembayaran pajak (paying taxes), Memulai usaha
(starting business), dan Penyelesaian perkara kepailitan
(resolving insolvency). Itu beberapa parameter EoDB yang
berkontribusi besar meningkatkan peringkat Kemudahan
berusaha India menjadi naik 30 ke peringkat 100 dari 190 negara
yang disurvey World Bank.
Seperti yang disampaikan top government official India
melalui Economic Times, “The successful implementation of the
insolvency code and the goods and services tax (GST) has given
a big boost to India’s business environment”57 kesuksesan India
dalam menerapkan the insolvency code dan pajak barang dan
jasa memberikan kontribusi besar dalam kegiatan bisnis di India.
New Insolvency and Bankrupcty Code India (revisi UU
Kepailitan) juga berperan meningkatkan peringkat ease of doing
business India, yaitu melalui pengurangan waktu penyelesaian
perkara kepailitan dan memaksimalkan pembayaran utang-utang
kreditor.
Hal senada juga ditemukan pada laporan Indian
Development Update Edisi May 2017, “Timely and smooth
57 Deepshikha Sikarwar, Big jump likely in ranking for India in ease of doing business,
https://economictimes.indiatimes.com/news/economy/policy/big-jump-likely-in-ranking-for-india-
in-ease-of-business/articleshow/61328326.cms (Diakses pada 7 July 2018)
45
implementation of landmark reforms such as the GST and a new
code to deal with bankruptcies, as well as decisive action to
resolve the NPA challenge of public sector banks, is crucial to
enhance the economy’s potential growth”58
C. Investasi Syariah di Indonesia
Perkembangan produk-produk investasi syariah di Indonesia hingga saat ini
masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Deputi Direktur Pasar
Modal Syariah OJK, Muhammad Thoriq, menyebutkan jumlah investor
pemegang saham syariah saat ini ada 203 ribu investor, meningkat 100 persen
dibandingkan 2015 baru sekitar 100 ribuan investor. Sedangkan jumlah
pemegang unit efek reksadana ada 72 ribu investor, dibadingkan 2015 baru
sekitar 50 ribu investor. Dari sisi produknya, sudah ada 362 saham yang masuk
kategori syariah.59
Sementara itu produk-produk investasi syariah juga kian berkembang, Pasar
modal menjadi implementasi konkrit yang menggambarkan kondisi
perkembangan bisnis (syariah) di Indonesia. Pasar modal (Bursa Efek
Indonesia) menjadi institusi yang menyelenggarakan perdagangan efek antara
pelaku usaha atau emiten dengan investor yang berminat terhadap suatu
perusahaan.
Hingga tahun 2017, berdasarkan hasil pers rilis PT Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI), tercatat jumlah Single Investor Identification (SID)
meningkat 14,7 % dari 894.116 pertahun 2016 menjadi 1. 025. 414 per Juli
tahun 2017.60 Peningkatan ini tentu menunjukkan gairah dan semangat
58 The World Bank, India’s Economic Fundamentals Remain Strong; Investment Pick-up
Needed for Sustained Growth, says New World Bank Report. Artikel ini diakses pada 7 Juli 2018,
dari http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2017/05/29/india-economic-fundamentals-
remain-strong-investment-pick-up-needed-sustained-growth-says-new-world-bank-report 59 Binti Sholikah, OJK Sebut Perkembangan Pasar Modal Syariah Semakin Baik, Artikel ini
diakses pada 7 Juli 2018 dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-
ekonomi/17/11/13/ozcigv-ojk-sebut-perkembangan-pasar-modal-syariah-semakin-baik 60 Press release KSEI, KSEI Terus Upayakan Kemudahan Pembukaan Rekening Investasi,
Jakarta: 11 Agustus 2017.
46
investasi di Indonesia yang secara tidak langsung berkontribusi terhadap
pertumbuhan perekonomian negara.
Di sisi lain, pertumbuhan investasi syariah tidak hanya terjadi terhadap
investor melainkan juga perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia.
Tercatat tahun 2017 sebanyak 360 perusahaan yang listing di BEI masuk ke
dalam Daftar Efek Syariah, artinya perusahaan tersebut terbebas dari praktik
yang dilarang oleh syariah, 2 di antaranya masih dalam proses listing. Pada
tahun 2018 terjadi peningkatan menjadi 372 perushaan yang masuk ke dalam
Daftar Efek Syariah (DES).
4. SK Otoritas Jasa Keuangan No. 59/D.04/201
Dokumen Terlampir
5. SK Otoritas Jasa Keuangan No. 24/D.04/2018
Dokumen Terlampir
48
BAB IV
ANALISA KETERKAITAN HAK IMUNITAS DENGAN EODB DALAM
INVESTASI SYARIAH
A. Penguatan Hak Imunitas Kurator dan Pengurus
Munculnya berbagai isu kriminalisasi terhadap profesi kurator dan
pengurus di media menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum di
Indonesia dan menjadikan posisi kurator sangat rentan atas laporan pidana.
Kelemahan itu berupa ketidakjelasan aturan mengenai perlindungan hukum
bagi kurator. Beberapa pasal dalam UUK PKPU lebih menjurus kepada bentuk
kewenangan kurator tidak lebih lanjut mengatur perlindungan bagi kurator.
Debitur dan atau pihak-pihak yang tidak beritikad baik tentu akan melihat ini
sebagai peluang menunda eksekusi harta palit.
Jandri Oasis Siadari adalah salah satu contoh kurator yang dilaporkan
oleh Debitur, PT Surabaya Agung Industri Kertas dan Pulp Tbk, dalam kasus
yang ditanganinya. Ia bersama temannya Joko Prabowo
(penyidikan/penuntutan terpisah) ditangkap oleh Kepolisian Jawa Timur pada
tahun 2014. Ia dijerat dengan Pasal 263 dan 266 KUHP tentang dugaan tindak
pidana pemalsuan surat dan keterangan palsu. Surat yang dimaksud adalah
laporan tim pengurus kepada Hakim Pengawas Nomor 50.01/PKPU-SAIP/JP-
JOS/IV/13,61 tanggal 15 April 2013 perihal Laporan Hasil Pemungutan Suara
terhadap Usulan Perpanjangan PKPU dan Usulan Rencana Perdamaian PT
SAIP.62 Akibat adanya laporan ini, Jandri ditahan bahkan hingga menjadi
terdakwa dalam persidangan.
Hal ini tidak mengherankan karena mengingat kewenangan kurator
dalam UUK PKPU sangat luas diberikan. Akan tetapi, kewenangan yang luas
61 Putusan MA No. 231/K/Pid/2015
62 Surat Nomor 50.01/PKPU-SAIP/JP-JOS/IV/13 adalah surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh Kurator Jandri dan rekannya Joko sebagai kurator dalam perkara pailit PT
SAIP. Surat tersebut berisi penolakan Jandri terhadap tagihan Kreditur ZT Holding Pte. Ltd.
Sebesar USA $403.012.783
49
ini tidak diimbangi dengan perlindungan bagi kurator. UUK PKPU tidak
menyebutkan adanya perlindungan hukum bagi kurator dalam menjalankan
tugasnya mengurus dan membereskan harta pailit.
UUK PKPU dalam memberikan perlindungan hukum kepada kurator
masih sangat lemah mengingat tugas dan kewenangan yang diberikan yang
cukup luas, selain itu perlindungan kurator dalam melaksanakan tugas tersebut
tidak disebutkan secara jelas. Kurator tidak dapat selamanya berharap kepada
ketidakpastian perlindungan dalam kewenangan yang diberikan.
Seperti diketahui tugas dan wewenang kurator dan pengurus ditemui
dalam beberapa Pasal UUK PKPU, diantaranya; Pasal 69 ayat (1), Pasal 98, 99,
dan Pasal 100 ayat (1), Pasal 102, Pasal 104, Pasal 184, 185 dan Pasal 186.
Luasnya kewenangan tersebut harusnya diimbangi dengan perlindungan dalam
menjalankan kewenangan tersebut. Sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi
Kurator dan tidak menghambat proses pemberesan harta pailit yang juga
berpengaruh kepada Hukum kepailitan di Indonesia. Selain itu, pasal 50 KUHP
juga memberikan perlindungan bagi profesi hukum yang menjalankan tugas
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang tidak di pidana”. Hal inilah yang menyebabkan rentannya kriminalisasi
terhadap kurator dan pengurus.
Berkaitan dengan tugas kurator berdasarkan ketentuan yang dijelaskan
dalam Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana
disebutkan di atas menjadi dasar terhadap terjaminnya pelaksanaan tugas dari
Kurator, dimana Kurator sebagai pejabat yang diangkat dan ditugaskan oleh
pengadilan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dan sepanjang
melakukan tugas dan kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang
dalam hal ini yaitu undang-undang Kepailitan, maka tidak ada alasan untuk
diklasifikasikan melakukan tindakan pidana.63
63 Freisy Maria Kukus, “Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Kurator Dalam Perkara
Kepailitan,” Lex Privatum Vol. 3, no. 2 (2015): h. 148.
50
Akan tetapi tetap saja beberapa ketentuan tersebut tidak berkontribusi
besar melindungi kurator dalam tugasnya. Ini dibuktikan dengan masih adanya
kurator yang terhadapnya dilakukan penangkapan dan penahanan.
Melihat upaya kriminalisasi dan ketidakpastian hukum yang dialami
profesi kurator yang begitu jelas, maka perlu dipertimbangkan untuk diberikan
kewenangan diikuti dengan perlindungan yang jelas yaitu pemberian hak
imunitas sebagai penguat kewenangan yang sudah ada di beberapa pasal UUK
PKPU. Upaya ini dilakukan dengan melakukan revisi terhadap UUK PKPU dan
menambahkan Pasal Imunitas Kurator, Lebih lanjut upaya lain adalah RUU
Profesi Kurator dan Pengurus, sama halnya seperti hak imunitas yang dimiliki
Profesi Advokat pada Pasal 16 Undang-Undang Advokat.
Redaksi pemberian imunitas kepada kurator juga sama; memberikan
jaminan kepada kurator dan pengurus untuk tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan profesi dengan itikad baik. Frasa
Itikad baik mengukuhkan penguatan perlindungan terhadap kurator dalam
menjalankan perintah UUK PKPU dan sebagai batasan dan peringatan bagi
kurator selama masa tugasnya. Penguatan ini dimaksudkan agar kurator dapat
bekerja mengurus dan membereskan harta pailit dengan cepat tanpa
kekhawatiran dan perasaan dibayang-bayangi dilaporkan oleh debitur atau
pihak mana saja yang bermaksud menunda pemberesan harta pailit.
Perlindungan bagi kurator dalam UUK PKPU hanya dapat diketahui
dengan memahami terlebih dahulu kewenangan yang diberikan. Ini juga
menjadi sebab laporan oleh debitur diterima oleh pihak kepolisian tanpa ada
pertimbangan lebih lanjut dari interpretasi kewenangan kurator dalam UUK
PKPU. Sutan Remy Sjahdeni dalam bukunya menegaskan dua kewajiban
hukum yang dimiliki kurator. Pertama, adalah sebagaimana ditentukan dalam
UUK PKPU. Dengan kata lain, kurator mengemban statutory duties, yaitu
kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang. Kedua, fiduciary
51
duties atau fiduciary obligations.64 Kurator dalam menjalankan tugasnya
membereskan harta pailit diberikan kewenangan oleh undang-undang sehingga
melekat padanya statutiory duties, artinya kurator bertugas berdasarkan
perintah undang-undang dan secara tidak langsung menjadi perwakilan
pengadilan.
Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan
mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya
dengan tidak memihak. Dalam hubungan ini Keay mengemukakan sebagai
berikut:65
“… a liquidator is a representative of the court and entrusted with the
reputation of the court for impartial dispatch of her or his duties”
Lebih lanjut Keay Mengemukakan:66
“Being under the control and discipline of the court, the liquidator is
required at all times to act in and honest, impartial, and high-minded
fashion and is directly responsible to the court for the due performance of
her or his duties”
Dalam hukum kepailitan inggris juga dianut pendirian bahwa
liquidator adalah pejabat atau petugas pengadilan. dikemukakan dalam
Milman & Duran bahwa “Liquidator in a compulsory winding up is an
officer of the court and, as such, is subject to the strict duties imposed by
the rule.67
Sebagai perwakilan pengadilan kurator sudah seharusnya mendapat
perlakuan sarat kuat perlindungan, karena kurator bertindak atas nama
pengadilan. dan seharusnya dapat bekerja tanpa ada gangguan atau
hambatan dari pihak-pihak tertentu dengan tetap menjunjung tinggi
64 Sjahdeini, Hukum Kepailitan, h. 228.
65 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan, Cetakan II (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h. 327. 66 Sjahdeini, Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan, h. 327. 67 Sjahdeini, Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan. h. 328.
52
kejujuran, tidak berpihak ke salah satu pihak, dan bertanggung jawab atas
kewenangan yang diberikan.
Sejatinya kurator dalam menjalankan tugas harus bebas dari
intervensi pihak mana pun yang dapat merugikan kurator secara khusus dan
kreditor secara umum. Dalam teori perlindungan hukum, seorang petugas
pelaksana undang-undang secara langsung diberikan suatu hak. Hak untuk
bebas melaksanakan tugas yaitu berupa perintah dari undang-undang.
Menurut Philipus M. Hadjon pada hakikatnya perlindungan hukum
berkaitan dengan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subjek
hukum yang dilanggar haknya.68 Tidak begitu halnya dengan UUK PKPU
dalam mengatur dan memberikan perlindungan bagi Kurator. Tujuan
perlindungan hukum adalah memberikan keadilan seluas-luasnya. UUK
PKPU tidak mencerminkan demikian, Kurator diberi kewenangan
mengurus dan membereskan harta pailit, akan tetapi tidak diberi
perlindungan selama menjalankan tugas. Perlindungan hukum dalam
kewenangan yang dimiliki Kurator ini masih tidak cukup untuk
membentengi kurator dari pihak-pihak yang ingin menghalangi proses
kepailitan.
Oleh karena itu, gangguan atau hambatan yang dilakukan oleh pihak
berkepentingan tertentu harus benar-benar dihilangkan, Sutan Remy
Sjahdeny menyebutkan hambatan oleh suatu pihak terhadap pelaksanaan
tugas kurator dapat dikategorikan Contempt of Court.69 Hambatan tersebut
berupa intervensi terhadap kewenangan Kurator dalam menjalankan tugas,
yang seharusnya tidak boleh diintervensi karena Kurator diangkat oleh
pengadilan (Pengadilan Niaga) dan dalam menjalankan tugas adalah demi
68 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 2. 69 Contempt of Court, ialah perbuatan yang diklasifikasi sebagai bentuk penghinaan
terhadap pengadilan. perbuatan tersebut antara lain; berperilaku tercela dan tidak pantas di
pengadilan (Misbehaving in Court); tidak menaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court
Orders); menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court); menghalangi
jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice); dan perbuatan-perbuatan penghinaan
terhadap pengadilan yang dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (Sub-Judice Rule).
53
kepentingan pengadilan, di samping demi kepentingan debitur dan
keseluruhan para kreditur, sehingga tindakan berupa intervensi atau
menghalangi tugas kurator dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court.
Ini sejalan seperti apa yang diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
melarang adanya campur tangan pihak lain dalam urusan peradilan.
Kurator juga tidak dapat digugat dalam pelaksaan tugasnya
mengurus dan membereskan harta pailit. Karena akan bertentangan dengan
hukum jika kurator digugat atau dilaporkan ke kepolisian dengan delik-delik
pidana tertentu karena melaksanakan ketentuan undang-undang atau
statutory obligation-nya.
Pemberian hak imunitas bagi kurator memang harus segera
dilakukan sebagai bentuk penguatan terhadap kewenangan yang diberikan
dalam UUK PKPU. Tugas kurator yang disebutkan dalam UUK PKPU
antara lain; (1) Mengamankan harta pailit; Seperti bunyi Pasal 98 UUK
PKPU “bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus segera
melakukan segala bentuk upaya pengamanan terhadap harta pailit dan
menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat
berharga lainnya dengan memberikan tanda terima” (2) Melakukan
pencatatan harta pailit Pasal 100 ayat 2 “Pencatatan harta pailit tersebut
dilakukan di bawah tangan sepanjang disetujui oleh hakim pengawas tanpa
harus melalui notaris.” (3) Menyimpan harta pailit (Pasal 108 ayat 2
“kurator wajib menyimpan uang tunai yang tidak diperlukan untuk
pengurusan harta pailit di bank setelah mendapat izin dari hakim
pengawas”); (4) Menjual harta pailit (Pasal 185 “semua benda harus dijual
di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan”); dan (5) Membagikan harta pailit yang disebutkan
pada Pasal 189 ayat 4.
54
B. Parameter Hak Imunitas Kurator dan Pengurus
Pemberian hak imunitas kepada kurator tidak semata-mata diberikan
secara mutlak yang dapat menjadikan kurator bebas dari segala tuntutan, hal ini
dikhawatirkan tidak semua kurator memiliki itikad baik, ada juga oknum
kurator yang terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam mengurus harta
pailit. Seperti yang terjadi pada Kurator Puguh Wirawan ia terbukti menyuap
Hakim Pengawas Kepailitan Syarifuddin agar aset tanah PT Sky Camping
Indonesia (SCI) diubah dari aset boedel menjadi non boedel. Tanah yang
awalnya SHBG 7251 milik PT SCI itu adalah aset boedel. Tapi terdakwa
berencana menjual tanah tersebut secara non boedel.70 hal tersebut semata-mata
disebabkan karena lemahnya fungsi pengawasan pada kurator.
Disamping itu, UU Kepailitan Indonesia pada dasarnya tidak
mencerminkan undang-undang yang semestinya sebagai penjamin kepastian
hukum. UUK PKPU dapat dikatakan sudah tidak ideal sebagai sebagai
Insolvency Resort di Indonesia, berbagai pasal di dalamnya tidak
merepresentasikan kepentingan pihak-pihak dalam proses kepailitan. UUK
PKPU seharusnya menjadi upaya hukum yang melindungi kepentingan seluruh
kreditor; Pasal 2 ayat (1) memberikan keleluasaan kepada kreditor untuk dapat
mengajukan permohonan pailit, akibatnya kreditor yang tidak berniat
memailitkan suatu debitur terpaksa ikut mendaftar sebagai kreditor.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UUK PKPU juga disebutkan bahwa “debitur
yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan…”
Utang dalam pasal tersebut menjadi suatu parasit bagi debitur, kreditor
dalam mengajukan permohonan pailit terhadap debitur selain cukup dengan
persyaratan bahwa Debitur memiliki dua orang atau lebih Kreditor, juga apabila
70 Hukumonline. Artikel hukum. “Terbukti Suap Hakim Puguh Divonis 35 Tahun”.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/t4eaf9419ac30c/terbukti-suap-hakim-puguh-divonis-35-
tahun Diakses pada 10 Agustus 2018
55
satu utang kepada salah satu kreditornya telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Pengertian detail mengenai utang dalam UUK PKPU tidak dijelaskan. Bahkan
dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) perihal perbedaan besaran jumlah utang yang
dimiliki kreditor tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit oleh pengadilan.
Dalam artian, ketidak-ideal-an UUK PKPU memberikan peluang
penyalahgunaan peraturan kepailitan, hanya karena seorang debitur tidak
membayar utang salah satu kreditornya yang jumlah piutang yang dimilikinya
relatif kecil dibandingkan dengan piutang yang dimiliki oleh kreditor lain yang
relatif lebih besar, tetap dapat mengajukan permohonan pailit.
Sehingga dengan dasar utang, kreditor dapat kapan saja mengajukan
permohonan pailit kepada seorang debitur. Hal ini dapat juga dimanfaatkan oleh
kurator. Pihak yang beritikad buruk,71 dapat saja bersekongkol dengan kurator
dalam memanfaatkan makna utang pada Pasal 2 ayat 1 tersebut. Modus
demikian dilakukan dan ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dengan aset
besar, dengan mengajukan permohonan pailit. Dengan pailitnya perusahaan
tersebut, Kurator kemudian melakukan tindakan yang dapat merugikan aset
debitur pailit dan berharap imbalan atas jasa kurator. Sebagai mana diketahui
bahwa imbalan yang didapatkan terbilang besar karena didapat dari persentase
dari nilai aset debitur pailit. Lebih lanjut imbalan jasa kurator diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pedoman Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus.
Oleh karena itu perlu kiranya memberikan batasan bagi atas usulan
penguatan hak imunitas profesi Kurator dan Pengurus. Sehingga Debitur dan
Kreditor dalam suatu proses perkara kepailitan tetap dapat meminta
pertanggungjawaban atas tindakan kurator yang tidak bertanggung jawab
dengan perintah pengurusan dan pemberesan seperti yang disebutkan dalam
71 Oknum kreditor yang memiliki piutang dengan nominal kecil, misalnya kreditor yang
memiliki piutang Rp. 20.000.000,- dapat sewaktu-waktu mengajukan permohanan pailit terhadap
debitor yang memiliki asset diatas Rp. 20 T, atau dibandingkan dengan kreditor lain yang memiliki
piutang Rp. 20 M. sangat tidak adil bagi debitor yang diajukan permohonan pailit tersebut.
56
UUK PKPU. Adapun batasan atau parameter hak imunitas bagi kurator ialah,
sebagai berikut:
1. Itikad Baik
Dalam melaksanakan tugas mengurus dan membereskan harta pailit
agar dapat diselesaikan dengan baik dan memberikan kepuasan kepada
masing-masing pihak kepailitan, seorang kurator harus memiliki itikad baik
selama menjalankan tugas, itikad baik dapat dimaknai dengan intensi
melaksanakan tugas atau kewenangan dengan kesungguhan untuk
menegakkan keadilan tanpa ada keinginan merugikan salah satu pihak atau
menguntungkan diri kurator. Sehingga, bagi kurator yang menjalankan
tugas, kewenangan dan perintah dalam UUK PKPU berdasarkan dengan
itikad baik maka kurator harus bebas dari segala tuntutan baik pidana
maupun perdata
2. Tidak Melebihi Kewenangan yang Diberikan UUK PKPU
Kurator atau pengurus harus menjalankan tugas pengurusan dan
pemberesan boedel pailit berdasarkan terhadap apa yang diperintahkan
dalam Undang-undang yang berlaku. Ia tidak boleh menyalahgunakan
kewenangan yang diberikan, ini dimaksudkan untuk memaksimalkan
pengurusan harta pailit hingga pada tahap distribusi kepada para kreditor.
3. Tidak Menyalahgunakan Hak Imunitas
Hak imunitas yang diberikan kepada kurator sejatinya harus
berpihak untuk kepentingan stakeholders perkara kepailitan; harta pailit
dapat diselamatkan secara maksimal untuk dapat menyelesaikan masalah
utang piutang, sehingga kreditor dapat terlunasi piutangnya. Begitu pula
debitur, tidak terbebani dengan piutang yang masih ada.
Sebaliknya, hak imunitas tidak boleh dijadikan senjata bagi kurator
untuk dapat melakukan perbuatan merugikan boedel pailit. Karena hak
imunitas ini diberikan bersinergi dengan itikad baik. Betapa pun kurator itu
57
berlindung dibalik hak imunitas, jika tidak bekerja berdasarkan itikad baik.
Maka kurator tetap dapat dituntut baik pidana maupun perdata.
C. Hak Imunitas dan Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency)
Pemberian hak imunitas kepada kurator dan pengurus diberikan sebagai
bentuk penguatan perlindungan terhadap kurator, agar tidak ada lagi oknum-
oknum yang memanfaatkan kelemahan UUK PKPU sebagai dalih menunda
pemberesan harta pailit. Dengan adanya suatu bentuk penguatan seperti ini
maka diharapkan mempercepat proses kepailitan di Indonesia dan menjamin
efisiensi kurator dalam bertugas.
Efisiensi penyelesaian perkara kepailitan sangat berpengaruh kepada
cepat atau lambatnya penyelesaian perkara. Berdasarkan penilaian pada
indikator Ease of Doing Business (EODB), perkara pailit di Indonesia masih
membutuhkan paling cepat delapan bulan hingga selesai.
Proses penyelesaian perkara kepailitan sebetulnya telah ditentukan oleh
UU Kepailitan. Pasal 8 ayat (5) UUK PKPU disebutkan bahwa putusan
pengadilan atas pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Sementara proses kasasi
seperti diatur pada Pasal 13 ayat (3) juga harus selesai dalam jangka waktu 60
hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung. Sehingga,
proses kepailitan di Indonesia dilakukan selambat-lambatnya selama 120 hari.
Akan tetapi, masalah yang menghambat proses pailit ini muncul setelah putusan
diucapkan.
Pasca putusan pailit, perkara kepailitan tidak semata-mata selesai.
Kuratorlah yang selanjutnya mengambil alih perkara, ada mekanisme yang
harus dijalani kurator dalam mengurus harta pailit. Rapat kreditur, mencatat
aset, menjual aset yang harus melalui mekanisme lelang, belum lagi masalah
penuntutan dan kriminalisasi yang harus dihadapi kurator.
Oleh karena itu, Penguatan perlindungan kurator dalam bentuk
pemberian hak imunitas diharapkan mampu mendorong dan mempercepat
58
proses harta pailit dan tentunya berimplikasi juga kepada peringkat di indikator
Ease of Doing Business.
Dalam Indikator EODB Penyelesaian Perkara Kepailitan termasuk salah
satu yang menjadi parameter penilaian tingkat Kemudahan Berusaha di suatu
negara. Dengan demikian usulan penguatan hak imunitas ini ditujukan untuk
meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (EODB) Indonesia melalui
perbaikan hukum kepailitan secara umum, dan lebih khusus lagi pada persoalan
kurator dalam rezim kepailitan di Indonesia.
D. Analisis Penguatan Hak Imunitas dengan EODB dalam Menarik Investor
Asing (syariah)
Dengan mewujudkan perlindungan bagi kurator selama masa tugasnya
mengurus dan membereskan harta pailit, semestinya proses penyelesaian
perkara kepailitan akan semakin cepat diselesaikan. Pemberian hak imunitas
kepada kurator adalah sebagai bentuk penguatan terhadap lemahnya
perlindungan yang selama ini tidak jelas diberikan dalam UUK PKPU.
Pemberian hak imunitas secara khusus akan memberikan kontribusi
terhadap perbaikan UUK PKPU, yang dapat mempercepat proses penyelesaian
perkara kepailitan yang selama ini tertunda penyelesaiannya salah satunya
disebabkan oleh kurator yang harus menghadapi proses pemidanaan yang
dilakukan oknum kreditor atau pihak tertentu lainnya. Kondisi ini tentu juga
akan berimplikasi kepada peringkat Kemudahan Berusaha, karena salah satu
objek pemeringkatan adalah bagaimana proses Penyelesaian Perkara Kepailitan
(Resolving insolvency) di suatu negara.
Hubungan antara Hukum Kepailitan dengan Ease of Doing Business
adalah sangat berkaitan, banyak kepentingan yang terlibat jika dihubungkan
parameter Resolving Insolvency dengan sembilan parameter lain yang dinilai
dalam pemeringkatan Ease of Doing Business. Kepailitan tidak hanya sebatas
kreditor, debitur, atau stakeholder yang lain. Tetapi juga suatu perusahaan,
59
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diakui bahwa yang
terkait dengan kehidupan suatu perseroan ialah:72
1) Kepentingan Perseroan;
2) Kepentingan Pemegang Saham;
3) Kepentingan Karyawan dan Buruh perseroan;
4) Kepentingan Masyarakat, antara lain pemasok, distributor dan
konsumen
5) Kepentingan persaingan sehat dalam melakukan usaha
Putusan pailit terhadap seorang debitur, terutama perusahaan sangat
berpengaruh besar terhadap kelancaran kegiatan bisnis di suatu negara.
UUK PKPU yang mengatur kepailitan di Indonesia tidak menjamin
kelancaran bisnis, ia terkesan sangat rentan dijadikan senjata untuk
melakukan kecurangan. Terutama perihal pengajuan permohonan pailit.
Sebelumnya, dalam Faillissements-verordening (Fv), Pengajuan
permohonan pailit baik volunteer atau involunteer mensyaratkan seorang
debitur tidak mampu dan telah berhenti membayar utang yang dimilikinya.
Ada syarat Insolvensi di dalamnya; Sutan Remy Sjahdeni kemudian
membagi insolvensi ke dalam dua jenis:
1) Balance Sheet Insolvency
2) Cash Flow Insolvency
Ketentuan yang mempersyaratkan debitur insolven memberikan
batasan dalam mengajukan kepailitan sehingga dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan. Namun, Tidak demikian dengan UUK PKPU No.
37/2004, Syarat yang tercantum dalam dalam Pasal 1 ayat 1 Fv tidak
dicantumkan lagi dalam UUK PKPU. Dengan demikian, syarat seorang
debitur harus dalam keadaan insolven sebelum mengajukan permohonan
72 Sjahdeini, Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan, h. 169.
60
pailit menjadi tidak ada, sehingga siapa saja dapat mengajukan permohonan
pailit walaupun kondisi perusahaan dalam keadaan baik/solven.
Kondisi seperti ini dapat memudahkan terjadinya kepailitan.
Kondisi ini dapat menyebabkan masalah berlanjut dan tidak berhenti pada
putusan pailit. Karena UUK PKPU memuat berbagai persoalan; Pre-
insolvency dan Post-insolvency. Pasca-putusan pailit, harta pailit beralih
dari debitur pailit menjadi kewenangan kurator, sebagai petugas yang
menjalankan proses kepailitan. Kurator harus segera membereskan harta
pailit untuk kemudian dibagikan ke para kreditur, dalam masa pemberesan
harta pailit ini kurator rentan diintervensi kewenangannya dan menunda
pelunasan harta pailit. Dari sudut pandang kreditor, kreditor yang tidak
mengharapkan debitur pailit harus segera mendaftarkan diri kreditor untuk
pelunasan utang, begitu pula yang lainnya.
Pembahasan hukum kepailitan juga dilakukan oleh World Bank,
Ease of Doing Business adalah satu alat sebagai tolak ukur investasi,
Mereka melakukan penilaian terhadap 10 parameter, salah satu penilaiannya
adalah Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency) dan data
Doing Business resmi dikeluarkan oleh World Bank.
Data Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) menunjukkan
Indonesia saat ini berada pada peringkat 72/190, Indonesia masih
berkesempatan untuk terus meningkatkan daya saing investasi dalam rangka
Kemudahan Berusaha. Empat tahun terakhir tercatat sejak tahun 2014,
Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dalam Kemudahan Berusaha,
2014 (120), 2015 (106), 2016 (91), dan terakhir tahun 2017 naik ke
peringkat (72). Peningkatan peringkat ini juga diikuti dengan peningkatan
nilai investasi. Dari data yang dikeluarkan BKPM, Realisasi penanaman
modal tahun 2015 ialah 545,4 triliun, kemudian di tahun 2016 Nilai realisasi
investasi meningkat 12,36% menjadi Rp. 612,8 triliun dibanding pada tahun
61
2015.73 Begitu pula tahun 2017, menembus angka Rp 692,8 triliun,
melampaui target realisasi investasi PMDN dan PMA tahun 2017 sebesar
Rp 678,8 triliun.
Peran pemerintah sangat dibutuhkan saat ini, khususnya dalam
penelitian ini seputar masalah kepailitan. Revisi UUK PKPU, merupakan
jalan memperbaiki dan mendukung terciptanya rezim kepailitan yang baik
dan berpihak kepada stakeholders kepailitan, terlebih kepada kegiatan
bisnis Indonesia.
Tabel 2.1 Data Doing Business 2018 Menggambarkan Kondisi
Berusaha Di Indonesia Dengan Perbandingan Tahun Sebelumnya
2017
Sumber: Doing Business 2018.74
Data pada Tabel 2.4 di atas menunjukkan kecenderungan
positif (possitive trend) atas keseluruhan indikator Kemudahan
Berusaha Indonesia. Dari Starting Business hingga Resolving
Insolvency, semuanya menunjukkan peningkatan dengan
73 Laporan Kinerja Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Tahun 2016.
74 Doing Business. The World Bank Group, Ease of Doing Business (EoDB) Data 2018;
http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia. Diakses pada 27 Agustus 2018.
62
perbandingan tahun 2017 – 2018. Peningkatan ini terjadi atas
adanya berbagai upaya pemerintah Indonesia dalam terus
mendorong dan memperbaiki berbagai kendala yang dihadapi
selama proses perbaikan tingkat kemudahan berusaha Indonesia.
Lebih lanjut, jika melihat data di atas. Ditemukan beberapa
indikator yang telah dikeluarkan kebijakan yang mendorong
perbaikan dari indikator tersebut. Dapat dilihat dari marks √ di
samping indikator yang disebutkan. Berikut kebijakan yang
dilakukan terhadap DB2018:75
DB2018
Starting a Business: Indonesia made starting a business less costly by
reducing the start-up fees for limited liability companies. This reform
applies to both Jakarta and Surabaya.
Getting Electricity: Indonesia made getting electricity less costly by
reducing connection and internal wiring certification fees. In Jakarta,
getting electricity was also made easier after the utility streamlined
the processing of new connection applications.
Registering Property: Indonesia made registering property easier by
reducing the transfer tax. This reform applies to Jakarta and
Surabaya.
Getting Credit: Indonesia improved access to credit information by
launching a new credit bureau. This reform applies to both Jakarta
and Surabaya.
Protecting Minority Investors: Indonesia strengthened minority
investor protections by increasing shareholder rights and role in
major corporate decisions and requiring greater corporate
transparency. This reform applies to both Jakarta and Surabaya.
75 Doing Business. The World Bank Group, Ease of Doing Business (EoDB) Data 2018;
http://www.doingbusiness.org/reforms/overview/economy/indonesia. Diakses pada 27 Agustus
2018
63
Paying Taxes: Indonesia made paying taxes easier by promoting the
online filing of taxes and by lowering the rate for capital gains tax.
Indonesia also increased the ceiling used in the calculation of health
care contribution. These reforms apply to both Jakarta and Surabaya.
Trading across Borders: Indonesia made importing faster by
introducing an electronic single billing system. This reform applies to
both Jakarta and Surabaya.
Dalam data World Bank, Data Reformasi Kebijakan Indonesia
dalam meningkatkan kemudahan berusaha sudah dimulai sejak tahun 2008.
Namun dalam rentang tahun 2008 – 2018 Penulis tidak menemukan, adanya
kebijakan mengenai Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving
Insolvency). Padahal dengan tingkat ketidaksesuaian UUK PKPU dengan
prinsip kepailitan internasional dan ketidaksesuaiannya dengan masa
sekarang, sudah semestinya dilakukan perbaikan dalam bentuk revisi
Undang-undang Kepailitan. Selain itu, Undang-Undang Kepailitan harus
dapat mendorong gairah investasi dan pasar modal, serta memudahkan
perusahaan dalam negeri mendapatkan kredit luar negeri.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, Undang-Undang Kepailitan
seyogianya memuat asas-asas dan ketentuan yang dapat diterima secara
global (globally accepted principles).76 Asas-asas tersebut harus sejalan
dengan asas-asas hukum kepailitan dari negara-negara pemodal (investor)
dan kreditur asing yang diinginkan pemerintah untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Dengan demikian, UUK PKPU sudah seharusnya
berpedoman dan menerapkan globally accepted principle di dalamnya.
Revisi UUK PKPU adalah jalan melakukan inisiasi tersebut. Adanya asas
“Hukum Kepailitan jangan sampai meredam minat investor, terutama
investor luar negeri untuk berinvestasi” menguatkan pandangan bahwa
76 Sjahdeini, Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan, h. 95.
64
Hukum Kepailitan tidak dapat dipandang sebelah mata, ia memiliki
kontribusi yang besar dalam perekonomian bangsa.
Hukum kepailitan dapat disandingkan dengan Indikator investasi
global, Ease of Doing Business, yang menjadikan hukum kepailitan sebagai
objek penilaian perekonomian suatu negara. Selama ini, pemerintah
terkesan membiarkan hukum kepailitan di Indonesia, dengan lebih fokus
kepada indikator-indikator lain, Starting Business, Paying Taxes, dan
sebagainya. Padahal Resolving Insolvency satu sisi mendesak untuk
dilakukan revisi atau perbaikan, di sisi lain Hukum Kepailitan memiliki
kontribusi besar bagi perekonomian dan kelancaran bisnis di Indonesia.
Oleh karena itu, UUK PKPU secepatnya untuk dapat diselaraskan dengan
hukum kepailitan dengan memuat globally accepted principles dari
Undang-Undang Kepailitan yang modern, seperti yang berlaku di negara-
negara maju, Amerika Serikat, Jepang, German, China dan negara-negara
lain dengan konsep hukum kepailitan yang berpihak kepada stakeholders
kepailitan dan sejalan dengan asas-asas yang mendukung kegairahan
investasi global.
Tabel 2.2 Data 10 teratas Peringkat Ease of Doing Business
2017-2018
Economy
Rankings
DB SB DC GE RP GC PMI PT TAB EC RI
New Zealand 1 1 3 37 1 1 2 9 56 21 32
Singapore 2 6 16 12 19 29 4 7 42 2 27
Denmark 3 34 1 16 11 42 33 8 1 32 7
Korea, Rep. 4 9 28 2 39 55 20 24 33 1 5
Hongkong 5 3 5 4 55 29 9 3 31 28 43
United States 6 49 36 49 37 2 42 36 36 16 3
United Kingdom 7 14 14 9 47 29 10 23 28 31 14
Norway 8 19 21 23 14 77 10 28 22 8 6
65
Georgia 9 4 29 30 4 12 2 22 62 7 57
Sweden 10 13 27 6 9 77 29 27 18 36 16
Indonesia 72 144 108 38 106 55 43 114 112 145 38
Sumber: Doing Business 2018.77
Tabel 2.2 di atas menunjukkan sepuluh negara dengan Top 10th Ease
of Doing Business Grade dengan menambahkan Indonesia sebagai
perbandingan, Jika dilakukan pemeringkat berdasarkan Resolving
Insolvency dari sepuluh negara tersebut, maka Indonesia akan berada pada
posisi 9/11. Di atas Georgia (57) dan HongKong (53). Jika dibandingkan
dengan 190 negara, Indonesia berada pada Peringkat 38/190 tergolong
cukup baik dibandingkan penilaian negara lain. Peringkat Resolving
Insolvency Indonesia (38) sebenarnya tergolong cukup baik jika
dibandingkan dengan penilaian terhadap parameter lain. Sehingga apabila
dikomparasi dengan Georgia dan Hongkong, memang Peringkat Resolving
Insolvency mereka berada di bawah Indonesia, akan tetapi parameter lain
kedua negara tersebut jauh lebih baik dari Indonesia.; seperti Starting
Business, Perlindungan terhadap Investor Minoritas, dan sebagainya.
Peningkatan peforma Resolving Insolvency akan saling berkaitan
secara tidak langsung dengan parameter lain dalam EODB. Peningkatan ini
dapat diupayakan dengan Revisi Undang-Undang Kepailitan terhadap
beberapa pasal yang tidak sesuai dengan globally accepted principles,
ditambah dengan persoalan mengenai hak imunitas Kurator yang sangat
mendesak untuk segera dibereskan, agar hak profesi hukum dalam hal ini
Kurator dan Pengurus terpenuhi dengan jelas dengan tidak merugikan pihak
lain dalam proses kepailitan. Selanjutnya, peran Pemerintah dan DPR sangat
77 Doing Business. The World Bank Group, Ease of Doing Business (EoDB) Data 2018;
http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia. Diakses pada 1 September 2018
66
dibutuhkan dalam hal ini, terutama demi mewujudkan hukum kepailitan
Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan.
Upaya memberikan hak imunitas adalah salah satu cara dalam
menjadikan Undang-undang Kepailitan menjadi lebih baik, karena secara
umum akan menjadi sangat baik apabila UUK PKPU direvisi secara
menyeluruh; Revisi UUK PKPU. Lebih spesifik ialah RUU Profesi Kurator
dan Pengurus. Undang-undang Kepailitan Indonesia terakhir dilakukan
perubahan pada tahun 2004 atas UU Kepailitan sebelumnya tahun 1998.
Upaya penguatan hak imunitas ini dalam hubungannya dengan
menarik investor asing (syariah) adalah untuk meningkatkan peringkat
Kemudahan Berusaha, sebagaimana diketahui bahwa World Bank dalam
indikator Ease of Doing Business sangat memperhatikan regulasi dan/atau
peraturan yang berhubungan dengan kegiatan usaha di suatu negara.
Sehingga mereka melakukan penilaian terhadap aspek regulasi tersebut.
Penilaian terhadap parameter Resolving Insolvency ditekankan
kepada efektivitas beberapa faktor dalam proses penyelesaian perkara
kepailitan yang diatur dalam suatu regulasi di suatu negara, Indonesia dalam
hal ini adalah UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Adapun
faktor-faktor yang dinilai tersebut diantaranya:
1) Jangka waktu
Jangka waktu penyelesaian perkara kepailitan. Penyelesaian
perkara kepailitan dalam jangka waktu yang cepat dapat
menunjukkan pengaturan kepailitan yang baik dalam suatu
negara. Indonesia masih membutuhkan paling cepat delapan
bulan untuk menyelesaikan perkara kepailitan, biasanya tertunda
pada Post-insolvency, yaitu saat pemberesan harta pailit oleh
kurator.
2) Biaya
67
Besaran biaya penyelesaian perkara kepailitan juga dinilai oleh
World Bank. Besaran biaya di pengadilan dan pajak pemerintah;
biaya atau bayaran jasa administrasi juru lelang (auctioneers);
Kurator (trustee); Penaksir (assessors), serta Pengacara.
3) Outcome
Penilaiannya dilakukan terhadap pasca perkara kepailitan.
Doing Business menghitung bagamaina tingkat pelunasan
piutang kreditor; apakah terhadap debitur pailit dimaafkan untuk
dilanjutkan (going concern), diberikan reorganisasi, atau harta
debitur pailit dijual satu per satu.
4) Recovery Rate
Recovery rate, ialah penilaian terhadap tingkat pemulihan harta
kreditor preferen (secured creditor). Baik setelah melalui proses
reorganisasi, atau pemberesan harta pailit dalam mekanisme
kepailitan.
5) Strength Of Insolvency Framework Index
Faktor ini berhubungan dengan empat indikator lainnya;
bagaimana proses kepailitan dari pertama dimohonkan
(commencement of proceedings index), pengurusan aset debitur
pailit setelah adanya putusan pailit (management of debtor’s
assets index), indeks proses reorganisasi, (reorganization
proceedings index), dan keikutsertaan para kreditor dalam
mendaftarkan tagihan Post-insolvency (creditor participation
index).
Kelima faktor inilah yang harus diperhatikan dalam UUK PKPU,
sehingga dengan meningkatkan dan memperbaiki regulasi kepailitan
Indonesia dapat memberikan dampak yang baik bagi Kemudahan Berusaha
Indonesia melalui parameter Resolving Insolvency, karena penilaian utama
EoDB oleh World Bank adalah regulasi/peraturan kegiatan berbisnis. Salah
satunya adalah regulasi kepailitan yang di Indonesia diatur dalam UUK
PKPU No.37 tahun 2004.
68
Dalam UUK PKPU yang sekarang digunakan jika diteliti lebih
lanjut maka akan banyak ditemukan pasal-pasal yang sudah tidak sesuai
dengan peraturan kepailitan yang seharusnya, salah satunya adalah
persoalan kurator yang tidak diberikan perlindungan yang kuat dalam
menjalankan perintah UUK PKPU sehingga memberikan dampak tidak baik
bagi keberlanjutan pemberesan harta pailit. Dampak tersebut berupa:
1. Menghambat penyelesaian perkara kepailitan
Lemahnya perlindungan kurator selama menjalankan tugas
dalam proses perkara kepailitan, menyebabkan profesi kurator
dan pengurus menjadi rentan dilaporkan ke kepolisian dengan
delik-delik pidana tertentu. Sehingga harta pailit menjadi
terbengkalai untuk sementara waktu, karena dalam UUK PKPU
ada prosedur kepailitan yang harus dilalui untuk dapat
mengganti kurator baik karena kurator ditahan atau karena ia
tidak menjalankan perintah Undang-undang sebagaimana
semestinya. Sehingga menyebabkan harta pailit tertunda
penyelesaiannya.
2. Pembagian Harta Pailit Menjadi Tertunda
Harta pailit yang tertunda penyelesaiannya memberikan
dampak kepada lamanya waktu penyelesaian perkara
kepailitan. Sebagaimana diketahui dalam indikator
Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) lamanya
waktu penyelesaian perkara kepailitan (Time measuring)
menjadi salah satu objek penilaian bagaimana pengaturan
masalah kepailitan dalam suatu negara. Idealnya aturan
kepailitan salah satunya ialah waktu penyelesaian perkara
kepailitan yang cepat. Di Indonesia tertundanya penyelesaian
perkara kepailitan terjadi pada fase pasca-putusan pailit.
Penundaan terjadi akibat dari lemahnya UUK PKPU dalam
mengatur perlindungan hukum bagi kurator dalam
69
menjalankan tugasnya, sehingga berdampak tidak hanya
kepada kerugian para kreditur, melainkan mencederai hak
kurator sebagai pelaksana UU Kepailitan. Yang secara tidak
langsung merugikan pribadi dari kurator yang bersangkutan.
3. Ketidakpastian Hukum bagi Kurator dalam UUK PKPU
Dalam menjalankan perintah UUK PKPU, kurator akan
selalu merasa gelisah. Kurator akan merasa selalu dibayang-
bayangi dengan penangkapan, penahanan oleh kepolisian akibat
dari lemahnya perlindungan yang diberikan UUK PKPU dan
dimanfaatkan oleh oknum kreditor atau pihak mana pun yang
memiliki kepentingan terhadap harta debitur pailit.
Kewenangan yang diberikan kepada kurator semestinya tidak
dapat dilakukan intervensi oleh oknum tertentu karena
merupakan perintah undang-undang. Sebaliknya,
ketidakpastian ini malah dijadikan senjata bagi pihak yang
bermaksud menunda dan atau memiliki kepentingan tertentu.
Meningkatkan peringkat Kemudahan Berusaha/Ease of Doing
Business melalui rezim kepailitan Indonesia merupakan salah satu strategi
yang tepat. Mengingat beberapa pasal dalam UUK PKPU yang mampu
memberikan beragam dampak kepada stakeholders perkara kepailitan yang
mengarah kepada kerugian, dan pada sisi lain dapat menguntungkan salah
satu pihak. Regulasi memang bukan segalanya, tetapi regulasi akan
menentukan tindakan dan arah kepailitan di Indonesia. Apalagi World Bank
dalam Indikator EoDB mengutamakan penilaian terhadap suatu regulasi.
Regulasi dalam hal ini adalah Undang-Undang yang memiliki sifat
memaksa objek peraturan perundang-undangan untuk menaati perintah
Undang-Undang.
HLA Hart menyatakan bahwa perintah (command) utamanya
dimaksudkan bukan untuk ditakuti tetapi untuk dihormati. Perintah seperti
70
inilah yang dimaksudkan oleh hukum, yang dalam hal hukum dianggap
sebagai “perintah” yang harus dijalankan oleh orang yang menjadi objek
pengaturan hukum.78 Sehingga perbaikan regulasi (UUK PKPU) dapat
mengarahkan penyelesaian perkara kepailitan menjadi berpihak dan
menciptakan rezim kepalitan yang ideal bagi Indonesia.
Fenomena seperti ini menjadi peluang bagi pemerintah dalam
meningkatkan peringkat Kemudahan Berusaha dengan cara memperbaiki
UUK PKPU. Serta menarik investor untuk dapat menanamkan modalnya di
Indonesia terutama dalam core bisnis syariah. EoDB adalah sebagai
rekomendasi dan bahan pertimbangan yang dikeluarkan oleh World Bank
bagi investor asing sebelum berinvestasi pada suatu negara. Tentu dengan
memperhatikan parameter-parameter dalam Ease of Doing Business.
Penyelesaian perkara kepailitan (Resolving Insolvency) dapat
mendorong peningkatan itu, seperti yang terjadi di India misalnya, India
melakukan reformasi pada sektor kepailitan dan pajak. Dalam New
Insolvency and Bankrupcty Code India dilakukan pengurangan waktu
penyelesaian perkara kepailitan dan memaksimalkan pembayaran utang-
utang kreditor. Tidak sia-sia, upaya tersebut berhasil meningkatkan
peringkat India dari 130 ke peringkat 100 pada tahun 2018. Oleh karena itu,
Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama, apalagi dengan kondisi
Indonesia yang belum pernah menjadikan hukum kepailitan sebagai objek
mendorong perbaikan kemudahan berusaha (Ease of Doing Business).
Sehingga akan mengarah kepada kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia
yang lebih baik.
Dari data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) mempublikasikan data realisasi investasi Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) periode
Triwulan II (April-Juni) Tahun 2018 yang mencapai angka sebesar Rp 176,3
78 Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. h. 98.
71
triliun, mengalami peningkatan sebesar 3,1% apabila dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 2017 (sebesar Rp 170,9 triliun). Realisasi investasi
tersebut menyerap 289.843 Tenaga Kerja Indonesia. Sedangkan realisasi
investasi PMDN dan PMA selama Januari – Juni tahun 2018 mencapai
angka Rp 361,6 triliun. Terlihat kecenderungan terjadinya perlambatan
pertumbuhan realisasi investasi menjadi 3,1% (triwulan II tahun 2018
dibanding triwulan II tahun 2017), dari sebelumnya 11,8% (triwulan I tahun
2018 dibanding triwulan I tahun 2017) dan 12,7% (triwulan II tahun 2017
dibanding triwulan II tahun 2016).79 Walaupun cenderung melambat, tetapi
itu sebagai reaksi yang wajar dari terjadinya berbagai peristiwa yang
mengganggu kegiatan perekonomian seperti; gejolak kurs rupiah, perang
dagang Amerika dan China. Akan tetapi peningkatan 3,1% ini tetap
menunjukkan aksi investasi yang baik di Indonesia.
Di samping itu, produk-produk investasi syariah juga kian
berkembang, Pasar modal menjadi implementasi konkret yang
menggambarkan kondisi perkembangan bisnis (syariah) di Indonesia. Pasar
modal (Bursa Efek Indonesia) menjadi institusi yang menyelenggarakan
perdagangan efek di Indonesia. Pada tahun 2017 berdasarkan SK Otoritas
Jasa Keuangan No. 59/D.04/2017 tercatat sebanyak 360 perusahaan yang
listing di BEI masuk ke dalam kategori Daftar Efek Syariah, artinya
perusahaan tersebut terbebas dari praktik yang dilarang oleh syariah.
Berdasarkan SK Otoritas Jasa Keuangan No. 24/D.04/2018 pada tahun 2018
terjadi peningkatan menjadi 372 perusahaan yang masuk ke dalam Daftar
Efek Syariah (DES).
Kecenderungan dua sektor; hukum dan ekonomi; menjadi
kombinasi terbaik bagi kelancaran kegiatan perekonomian Indonesia.
Dengan adanya peningkatan kemudahan berusaha, memberikan dukungan
yang besar atas keberlanjutan perekonomian nasional. Tidak hanya itu,
79 Press release BKPM, Realisasi Investasi Triwulan II - 2018 Sebesar 176,3 T, Naik 3,1 %
Dibanding Triwulan II - 2017, Jakarta: 14 Agustus 2018.
72
kondisi ini diharapkan akan mampu menarik lebih banyak investor; tidak
hanya investor lokal tapi juga foreign investor, yang nanti akan melihat
begitu baiknya perkembangan iklim investasi (syariah) di Indonesia. SK
Otoritas Jasa Keuangan No. 24/D.04/2018 menjadi bukti investasi (syariah)
di Indonesia patut dijadikan acuan bagi negara-negara lain yang juga dalam
proses pengembangan terhadap investasi syariah.
Oleh karena itu, Hukum Kepailitan, Ease of Doing Business, dan
adanya peran Investor adalah tiga subjek yang saling berkaitan satu dengan
yang lain dalam mencapai tatanan hukum dan perkembangan ekonomi
Indonesia yang lebih baik.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis yang telah diuraikan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Masalah seputar hukum kepailitan di Indonesia tidak terlepas dari
peran UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Proses penyelesaian sengketa kepailitan
benar-benar berdasarkan suatu peraturan perundangan. Dalam penelitian
ini Penulis menemukan beberapa Pasal dalam UUK PKPU memiliki
potensi menghambat terselenggaranya hukum kepailitan yang baik dan
tidak berpihak kepada masing-masing pihak kepailitan, serta
ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan saat ini.
Beberapa pasal tersebut diantaranya; Pasal 2 ayat (1) mengenai syarat
permohonan pailit, Pasal 2 ayat (2), (3) dan (4) mengenai pihak pemohon
kepailitan. Dan beberapa pasal yang mengatur tugas dan kewenangan
Kurator dan Pengurus.
Pasal-pasal yang mengatur tugas dan wewenang kurator dan
pengurus dalam UUK PKPU dapat dikatakan cukup banyak, akan tetapi
jumlah tersebut tidak diikuti dengan perlindungan bagi kurator dalam
menjalankan tugas. Pasal 69 ayat (1), kurator diperintahkan UU untuk
mengurus dan membereskan harta pailit. Pada prinsipnya, Pasal ini dapat
dijadikan pedoman dan pegangan yang kuat bagi profesi kurator karena
merupakan Statutiary Duties atau perintah Undang-undang yang jika
dihubungkan dengan Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak boleh
diintervensi oleh pihak mana pun karena tindakannya (kurator) adalah
berdasarkan perintah hakim yaitu sejak dibacakannya putusan pailit.
Akan tetapi masih ada saja intervensi baik dari pihak kreditur atau
kepolisian yang tidak memahami Pasal 69 ayat (1) dengan baik.
73
Itulah sebabnya sampai saat ini, kurator masih rentan dengan
laporan kepolisian oleh pihak yang melaporkan dengan delik-delik
pidana tertentu.
2. Data Kemudahan Berusaha atau Ease of Doing Business (EODB)
yang dikeluarkan secara resmi oleh World Bank melakukan kajian bisnis
dalam suatu negara. Penelitian itu dilakukan terhadap 190 Negara
termasuk Indonesia yang menjadi salah satu negara yang disurvei. Survei
Kemudahan Berusaha ini menempatkan Indonesia pada Peringkat
72/190. Penelitian terhadap EODB dilakukan pada sepuluh parameter,
salah satunya adalah Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving
Insolvency). Peringkat Resolving Insolvency Indonesia pada
kenyataannya cukup baik yaitu 38/190, akan tetapi berdasarkan data
Reformasi Kebijakan Pemerintah Indonesia dari tahun 2008 hingga
2018, tidak pernah melakukan kebijakan memperbaiki pengaturan
kepailitan.
Upaya penguatan hak imunitas Kurator dan Pengurus adalah dalam
rangka menciptakan hukum kepailitan Indonesia yang lebih baik, karena
Penyelesaian Perkara Kepailitan adalah salah satu parameter yang dinilai
dalam Doing Business. Dan regulasi adalah bahan penilaian utama yang
dinilai oleh World Bank. Oleh karena itu, dengan upaya memperbaiki
pengaturan kepailitan Indonesia muaranya adalah kepada penyelesaian
perkara kepailitan yang baik; tidak membutuhkan biaya yang besar,
waktu penyelesaian perkara yang cepat, dan memberikan hasil terbaik
dalam pembagian piutang kreditor. Akan menjadi lebih baik dengan tetap
berfokus juga kepada perbaikan pada sektor-sektor lain, maka Peringkat
EODB Indonesia akan semakin baik.
Di lain sisi, iklim Investasi terutama basis syariah di Indonesia
terbilang sangat baik dan terus berkembang menuju performa terbaiknya.
Dari SK Otoritas Jasa Keuangan No. 24/D.04/2018 tentang Daftar Efek
Syariah, tercatat 378 Perusahaan yang menjalankan usaha berdasarkan
74
prinsip syariah. Dengan demikian adanya dukungan Ease of Doing
Business Ranking yang baik, dan Perkembangan Investasi (syariah)
diharapkan dapat menjadi daya tarik baik bagi Investor lokal maupun
Foreign Investor.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian penulis di atas, penyusun dapat memberikan saran
sebagai berikut:
1. Bagi Kepolisian dan Kejaksaan
Dalam menjalin kerja sama antar penegak hukum dalam penegakan hukum
yang saling bersinergi demi terwujudnya keadilan bagi setiap subjek
hukum, dalam hal ini stakeholders perkara kepailitan. Selayaknya setiap
institusi mengedepankan integritas penegakan hukum berdasarkan
peraturan yang ada. Kepolisian dan Kejaksaan sepatutnya memahami setiap
peraturan yang saling berhubungan, secara khusus aturan yang berkaitan
dengan UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dengan baik, agar polisi dapat memahami kewajiban dan
kewenangan kurator selama bertugas guna menghindari terjadinya
tindakan-tindakan yang sangat merugikan profesi kurator.
2. Bagi Pemerintah
Dalam menjamin hak profesi kurator sebagai bentuk kepastian
hukum, Profesi kurator dan pengurus seharusnya status perlindungan dalam
melaksanakan tugas “membereskan harta pailit” lebih dipertegas. Karena
masih dijumpai beberapa kasus kurator yang salah tangkap. Profesi hukum
sejatinya dilindungi dengan baik.
Dalam hal ini, pemberian hak imunitas pada profesi kurator dan
pengurus mutlak dilakukan. Hak imunitas kepada kurator ini sebagai bentuk
penguatan perlindungan pelaksaan tugas.
75
Peran pemerintah bersama dengan DPR agar perlindungan hukum
profesi kurator dapat terlaksana dalam bentuk RUU Profesi Kurator dan
Pengurus.
Lebih lanjut, dalam meningkatkan Indikator kemudahan berusaha
Indonesia. Revisi terhadap UUK PKPU juga mendesak untuk segera
dilakukan, mengingat beberapa permasalahan dan ketidaksesuaiannya
dengan kegiatan bisnis yang berkembang saat ini.
76
DAFTAR PUSTAKA
Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum
Kepailitan Di Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta: Total Media, 2008.
Astiti, Sriti Hesti. “Pertanggungjawaban Pidana Kurator Berdasarkan Prinsip
Independensi Menurut Hukum Kepailitan.” Jurnal Hukum Dan Peradilan
Volume 5, no. 2 (2016): 277–98.
Corcoran, Adrian, and Robert Gillanders. “Foreign Direct Investment and the Ease
of Doing Business.” Review of World Economics 151, no. 1 (February 1,
2015): 103–26. https://doi.org/10.1007/s10290-014-0194-5.
Dewata, Mukti Fajar Nur, and Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Normatif &
Empiris. III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Fuady, Munir. Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktik. IV. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010.
———. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. Cetakan kedua. Jakarta:
Kencana, 2013.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. 9th-West: Abridged, 2010.
Gifis, Steven H. Law Dictionary. New York: Barron’s Education Series, 1975.
Herstein, Ori J. “A Legal Right to Do Legal Wrong.” Oxford Journal of Legal
Studies 34, no. 1 (March 1, 2014): 21–45.
https://doi.org/10.1093/ojls/gqt022.
Jono. Hukum Kepailitan. III. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
77
Kukus, Freisy Maria. “Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Kurator Dalam
Perkara Kepailitan.” Lex Privatum Vol. 3, no. 2 (2015).
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina
Ilmu, 1987.
Marbun, B.N. Kamus Hukum Indonesia. Cetakan I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2009.
Muryati, Dewi Tuti. Dhian Septiandani, Efy Yulistyowati. Pengaturan Tanggung
Jawab Kurator Terhadap Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit dalam
Kaitannya dengan Hak Kreditor Separatis, Jurnal Dinamika Sosial Budaya,
Volume 19, Nomor 1: Fakultas Hukum Universitas Semarang, 2017.
Na Endi Jawaeng, Robert, M. Yudha Prawira, Boedi Rheza, and Tities Eka
Agustine. “Reformasi Kemudahan Berusaha.” Jakarta: KPPOD, 2016.
Nurcahya, Indra. Perlindungan Hukum Terhadap Kurator dalam Melaksanakan
Tugas Mengamankan Harta Pailit dalam Praktik Berdasarkan Kajian
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jurnal: Universitas Padjajaran
2017
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Naskah Akademis
Penelitian Contempt of Court 2002. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2002.
Ranuhandoko, I.P.M. Terminologi Hukum. Cetakan IV. Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Salman, H.R. Otje, and Anthon F. Susanto. Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali). Bandung: PT Refika Aditama,
2007.
Sastrawidjaja, Man S. Hukum Kepailitan Dan Kewajiban Pembayaran Utang.
Bandung: Alumni, 2010.
78
Sembiring, Sentosa. “Eksistensi Kurator Dalam Pranata Hukum Kepalitan.” Jurnal
Hukum Acara Perdata Adhaper Vol. 3, no. 1 (2017).
Shubhan, Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma Dan Praktik Di Peradilan. 5th
ed. Kencana, 2015.
Sinaga, Edward James. Upaya Pemerintah Dalam Merealisasikan Kemudahan
Berusaha di Indonesia (The Government Efforts In Realizing Ease of Doing
Business in Indonesia), Jurnal Rechtsvinding Volume 6, Nomor 3,
Desember 2017
Sinaga, Niru Anita, and Nunuk Sulisrudatin. “Hukum Kepailitan Dan
Permasalahannya Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara Volume
7, no. 1 (2016).
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan. Jakarta: Grafiti, 2010.
———. Sejarah, Asas, Dan Teori Hukum Kepailitan. Cetakan II. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
Stephany, Happy Rayna. Urgensi Pemberian Hak Imunitas Kepada Kurator Saat
Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit. Fakultas Hukum UI, Tesis:
2015
Subekti, R. Kamus Hukum. Cetakan XVI. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005.
Wijayanta, Tata. Undang-Undang Dan Praktik Kepailitan: Perbandingan
Indonesia Dan Malaysia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2016.
Yalid. “Persyaratan Dan Prospek Serta Gagasan Imunitas Terhadap Kurator Yang
Beritikad Baik.” Jurnal Hukum Respublica Vol. 16, no. 1 (2016): 36–52.
79
Regulasi
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Internet
Binti Sholikah, OJK Sebut Perkembangan Pasar Modal Syariah Semakin Baik,
Artikel ini diakses pada 7 Juli 2018 dari
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-
ekonomi/17/11/13/ozcigv-ojk-sebut-perkembangan-pasar-modal-syariah-
semakin-baik
Alfin Sulaiman, Hak Imunitas Profesi Kurator dan Pengurus,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53560215cad4f/hak-imunitas-
profesi-kurator-dan-pengurus-broleh--alfin-sulaiman--sh--mh-
Deepshikha Sikarwar, Big jump likely in ranking for India in ease of doing business,
https://economictimes.indiatimes.com/news/economy/policy/big-jump-
likely-in-ranking-for-india-in-ease-of-business/articleshow/61328326.cms
Doing Business. The World Bank, Ease of Doing Business (EoDB) Rankings 2017-
2018; http://www.doingbusiness.org/rankings. Diakses pada 26 Februari
2018.
World Economic Forum. Global Competitiveness Report 2017-2018.
https://www.weforum.org/reports/the-global-competitiveness-report-
2017-2018. Diakses pada 21 Februari 2018.
80
The World Bank, India’s Economic Fundamentals Remain Strong; Investment
Pick-up Needed for Sustained Growth, says New World Bank Report,
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2017/05/29/india-
economic-fundamentals-remain-strong-investment-pick-up-needed-
sustained-growth-says-new-world-bank-report
81
LAMPIRAN
LAMPIRAN
81