1
2
LAPORAN
PENELITIAN JARING KONTROL GEODESI
Kelompok Penelitian Jaring Kontrol Geodesi
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama
Badan Informasi Geospasial
Agung Syetiawan, S.T.
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Dadan Ramdani, S.T., M.T.
Ayu Nur Safi’I, S.T.
Bambang Riadi, S.T., M.Tech.
Prayudha Hartanto, S.T., M.T.
Yustisi Ardhitasari, S.T.
3
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir “Penelitian Jaring Kontrol Geodesi”. Laporan akhir ini bisa kami selesaikan dengan maksimal atas bantuan dari berbagai pihak. Beberapa pihak telah dilibatkan dalam tahapan “penyusunan dan pengembangan metode” baik praktisi maupun akademisi dari beberapa institusi. Data yang digunakan dalam kajian berasal dari berbagai sumber. Untuk itu Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan laporan akhir ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki laporan akhir ini menjadi lebih baik. Akhir kata kami berharap semoga laporan akhir penelitian Jaring Kontrol Geodesi dapat memberikan manfaat maupun dampak yang berarti kepada pembaca, baik di lingkungan Badan Informasi Geospasial maupun Kementrian serta lembaga.
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama Kepala
Dr. Ir. Wiwin Ambarwulan, M.Sc.
4
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Latar belakang
Tujuan
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Personil
Luaran (output)
Dampak (outcome)
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Penelitian Pembuatan Parameter Transformasi Koordinat SRGI2013
Permasalahan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan
Daftar Pustaka
5
PENDAHULUAN
Dalam perjalanannya, Indonesia pernah mempunyai beberapa datum sebagai sistem
referensi pemetaan. Berbagai datum tersebut antara lain Datum Genuk (Pulau Jawa)
menggunakan model ellisoid Bessel 1841 yang ditentukan menggunakan metode
triangulasi. Keterbatasan teknologi saat itu, pengukuran dilakukan dengan alat optis,
penyatuan sistem datum geodesi tidak lagi dimungkinkan sehingga jaring utama
triangulasi Jawa-Sumatera-Bali-Lombok tidak satu sistem dengan jaring utama Sulawesi
dan masing-masing mempunyai ketelitian berbeda-beda. Begitupula jaring utama
triangulasi di Kalimantan yang dilaksanakan oleh perusahaan eksplorasi minyak bumi,
tidak satu sistem. Ketelitian relatif yang dicapai dari jaring utama triangulasi tersebut
sekitar 1:100.000. datum lain yang pernah berlaku di Indonesia adalah Indonesia Datum
1974 (ID74) menggunakan ellipsoid referensi SNI (Sferoid Nasional Indonesia) dengan
pengamatan menggunakan metode Doppler. Pada awal tahun 1970-an penentuan posisi
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi TRANSIT Navy Navigation Satellite System
atau lebih dikenal dengan satelit Doppler, pertama kali bertujuan untuk keperluan
pemetaan rupabumi pulau Sumatera. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan kerangka
acuan geodesi yang baru, maka Indonesia (dalam hal ini Bakosurtanal sebelum menjadi
BIG) menetapkan suatu ellipsoid referensi yang mempunyai parameter sama dengan
parameter elipsoid GRS-67 (Geodetic Reference System 1967), yang diberi nama SNI
(Sferiod Nasional Indonesia). Untuk menentukan orientasi SNI dalam ruang, ditetapkan
suatu datum relatif, yaitu dengan titik eksentris (stasiun Doppler) BP-A (1884) di Padang
sebagai titik datum SNI. Penetapan SNI bersinggungan dengan sistem NWL9D (sumbu
koordinat kedua ellipsoid didefinisikan paralel) di titik datum maka koordinat BP-A Ecc
pada sistem SNI dikonversi ke koordinat kartesian tiga dimensi dengan memakai
parameter SNI sehingga dapat ditentukan pergeseran pusat sistem SNI terhadap pusat
sistem NWL9D dan pergeseran pusat sistem NWL9D terhadap pusat sistem SNI.
Selanjutnya pergeseran pusat kedua sistem tersebut satu sama lain, per definisi,
ditetapkan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, bertujuan untuk penetapan datum
tunggal geodesi di Indonesia yang diberi nama Indonesian Datum 1974 (ID-74) atau
Datum Indonesia 1974.
Realisasi jaring kontrol geodesi yang titik-titiknya ditentukan dengan memanfaatkan
satelit Doppler sudah dalam satu sistem akan tetapi ketelitian belum homogen karena
metode pengukuran (penentuan posisi absolut, translokasi) dan metode hitungan
(multistation mode, short arc mode) yang dipakai berbeda walaupun koordinat titik-titik
pada jaring kontrol geodesi tersebut secara teknis cukup memenuhi keperluan pemetaan
rupabumi skala 1:50.000.
Bakosurtanal (sekarang BIG) mendefinisikan datum baru seiring perkembangan
teknologi Global Positioning System (GPS) untuk keperluan survei dan pemetaan
menggantikan ID-74 yang disebut dengan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95).
DGN95 merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis, dimana perubahan
nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari pergerakan lempeng tektonik dan
deformasi kerak bumi, tidak diperhitungkan. Perubahan nilai koordinat terhadap waktu
6
perlu diperhitungkan dalam mendefinisikan suatu sistem referensi geospasial untuk
wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia terletak diantara pertemuan
beberapa lempeng tektonik yang sangat dinamis dan aktif, diantaranya lempeng Eurasia,
Australia, Pacific dan Philipine. Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan beberapa
lempeng inilah yang menyebabkan seluruh objek-objek geospasial yang ada diatasnya
termasuk titik-titik kontrol geodesi yang membentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional, juga
bergerak akibat pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi.
Teknologi penentuan posisi berbasis satelit seperti GPS dan Global Navigation Sattelite
System (GNSS) telah berkembang dengan pesat sehingga memungkinkan untuk
digunakan dalam penyelenggaraan kerangka referensi geodetik nasional yang terintegrasi
dengan sistem referensi global dan mampu memberikan ketelitian yang memadai untuk
memantau pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi yang berpengaruh
terhadap nilai-nilai koordinat. Pada 17 Oktober 2013, diluncurkannya sebuah Sistem
Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). SRGI adalah suatu terminologi
modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi Nasional (DGN) yang lebih dulu
didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel
dengan sistem koordinat global. SRGI mempertimbangkan perubahan koordinat
berdasarkan fungsi waktu, karena adanya dinamika bumi. Secara spesifik, SRGI 2013
adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi (X, Y, Z) yang geosentrik. Implementasi
praktis di permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat Geodetik lintang, bujur, tinggi,
skala, gaya berat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat
planimetrik (toposentrik).
SRGI 2013 akan mendefinisikan beberapa hal, yaitu:
1. Sistem Referensi Koordinat, yang mendefinisikan titik pusat sumbu koordinat,
skala dan orientasinya.
2. Kerangka Referensi Koordinat, sebagai realisasi dari sistem referensi koordinat
berupa Jaring Kontrol Geodesi Nasional;
3. Ellipsoid Referensi yang digunakan;
4. Perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari pengaruh
pergerekan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi di Wilayah Indonesia;
5. Sistem Referensi Tinggi;
6. Garis pantai nasional yang akurat dan terkini, yang dipublikasi secara resmi;
7. Sistem dan layanan berbasis web untuk mengakses SRGI 2013.
SRGI (Sistem Referensi Geospasial Indonesia) tunggal sangat diperlukan untuk
mendukung kebijakan Satu Peta (One Map) bagi Indonesia. Dengan satu peta maka
semua pelaksanaan pembangunan di Indonesia dapat berjalan serentak tanpa tumpang
tindih kepentingan. Pemerintah menilai kebijakan satu peta merupakan hal yang
7
mendesak dan dibutuhkan untuk menyatukan seluruh informasi peta produksi di tanah air.
Kebijakan ini merupakan arahan presiden yang tertuang dalam peraturan presiden No. 9
tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta (KSP) pada tingkat
ketelitian peta skala 1:50.00. Dengan diterbitkannya peraturan tersebut, maka tugas BIG
sebagai penyelenggara utama Informasi Geospasial Dasar (IGD) di Indonesia menjadi
semakin mendesak, IGD yang dibutuhkan sebagai data dasar dalam KSP harus segera
diselesaikan dengan skala 1:50.000, bahkan mungkin ke depannya sampai skala 1:1.000.
Selaras dengan amanah yang diemban BIG yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Selain BIG, kerja sama dengan pihak lain
seperti Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah sebagai walidata juga sangat
penting. Karena data tersebut yang akan digunakan sebagai IG Tematik (IGT) dalam
penyusunan Satu Peta (One Map). Satu referensi geospasial bisa menjadi pegangan
pembuatan kebijakan strategis seperti pemberian perijinan, untuk itu tumpang tindih peta
akan menimbulkan konflik sengketa dan akhirnya akan menghambat laju perekonomian
nasional. Dengan Kebijakan Satu Peta (KSP), maka data dan Informasi Geospasial berupa
peta akan mengacu pada Satu Georeferensi, Satu Geostandar, Satu Geodatabase dan Satu
Geocustodian (Satu Geoportal) pada tingkat akurasi skala peta 1:50.000.
Permen ESDM No. 33 tahun 2015 tentang tata cara pemasangan tanda batas wilayah
izin usaha pertambangan dan wilayah izin usaha pertambangan khusus mineral dan
batubara mewajibkan kegiatan pemasangan Tanda Batas dilakukan pada Sistem Referensi
Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013) menggantikan Datum Geodesi Nasional 1995
(DGN’95) sesuai dengan Kebijakan One Map Policy (Permen ESDM No. 33, 2015). Tanda
batas Tanda Batas WIUP dan WIUPK yang selanjutnya disebut Tanda Batas adalah patok
yang dipasang pada Titik Batas WIUP dan WIUPK di lapangan dan mempunyai ukuran,
konstruksi, warna serta penamaan tertentu. Badan Informasi Geospasial (BIG) saat ini
hanya mempublikasikan data Titik JKHN dalam SRGI 2013 sesuai dengan Keputusan
Kepala BIG No. 15 Tahun 2013 tentang Sistem Referensi Geospasial Indonesia
2013. Selisih nilai koordinat Titik JKHN antara DGN’95 dengan SRGI 2013 bervariasi,
tergantung pada lokasi geografis wilayah.
Perubahan suatu koordinat dengan datum tertentu ke koordinat dengan datum yang
lain secara matematis disebut dengan proses transformasi koordinat. Transformasi
dapat dilakukan dalam bentuk dua atau tiga dimensi, dalam proses transformasi ini
memerlukan sejumlah titik-titik sekutu. Titik sekutu merupakan titik yang memiliki
koordinat baik di sistem datum lama maupun sistem datum baru. Parameter transformasi
ini adalah dalam rangka penyelenggaraan sistem referensi tunggal di Indonesia. Sejak
berlakunya Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 tahun 2013 tentang
Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 maka ketersediaan parameter konversi
koordinat ini menjadi penting karena banyak peta-peta lama masih memiliki sistem
referensi yang berlaku pada saat itu.
Parameter perhitungan transformasi koordinat ini sangat kompleks, menginat vektor
kecepatan pergerakan lempeng di Indonesia tidak seragam. Lempeng aktif mendorong
sebuah posisi dengan kecepatan yang lebih besar, sementara terdapat daerah yang
8
bahkan tidak mendapatkan dorongan. Untuk itu diperlukan penelitian yang komprehensif
untuk menghasilkan parameter transformasi koordinat ke sistem SRGI 2013. Dengan
dibuatnya penelitian ini, harapanya bisa membantu pengguna data geospasial
menghasilkan koordinat pada sistem baru dalam hal ini adalah SRGI 2013 yang masih
berlaku hingga saat ini di Indonesia.
Rumusan Masalah
Jaring kontrol geodesi merupakan bagian dari Informasi Geospasial Dasar (UU
Informasi geospasial, 2011). Pada perjalanannya, beberapa titik Jaring Kontrol Geodesi
masih berada pada sistem koordinat lama DGN95. Perlu dilakukan sebuah perubahan
koordinat untuk membuat titik titik yang masih berada pada sistem koordinat lama
tersebut bisa digunakan untuk pengukuran sekarang. Datum lama, DGN95 merupakan
datum statik dan tidak memperhitungan perubahan koordinat terhadap fungsi waktu.
Informasi ini menjadi penting karena banyak sekali pengguna (user luar) merasa kesulitan
karena peta mereka dihasilkan dari titik-titik kontrol yang masih menggunakan datum
lama. Perlu dibuat sebuah mekanisme perubahan koordinat DGN95 ke SRGI2013.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana cara menentukan parameter
transformasi dari DGN95 ke SRGI2013. Penelitian ini akan mencoba menjawab
permasalahan tersebut.
Penentuan parameter transformasi koordinat dari DGN95 ke SRGI2013 menggunakan
titik-titik sekutu yang tersebar di seluruh Indonesia. Titik-titik sekutu memiliki arah dan
besaran pergerakan lempeng yang berbeda. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah
bagaimana cara membuat parameter yang berlaku untuk kondisi Indonesia yang dilalui
oleh banyak lempeng tektonik. Penelitian ini akan mencoba menjawab permasalahan
tersebut.
Penentuan parameter transformasi menggunakan hubungan kesamaan antar datum
(similiarity transformation model) dengan memecahkan nilai parameter tersebut menjadi
besaran 3dimensi atau 2dimensi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana
menguji akurasi parameter yang dihasilkan. Penelitian ini akan mencoba menjawab
permasalahan tersebut.
Batasan Penelitian
Sebaran titik titik jaring kontrol Geodesi yang digunakan adalah meliputi seluruh
wilayah Indonesia. Titik-titik jaring kontrol geodesi ini merupakan hasil pengukuran di
lapangan dan hasil pengolahan data menggunakan perangkat ilmiah. Titik sekutu yang
digunakan adalah titik yang memiliki koordinat di sistem koordinat DGN95 dan SRGI2013.
Parameter disusun menggunakan hubungan kesamaan antar datum (similarity
transformation model) dengan menggunakan 7 parameter dan 10 parameter yang harus
dipecahkan.
9
METODE PENELITIAN
Program pemetaan nasional diharapkan menggunakan datum geodetik nasional yaitu
Datum SRGI2013. Namun masih banyak peta atau data geodesi yang mempunyai datum
yang berbeda dengan SRGI2013, misalnya datum Indonesia Datum 1974 (ID74) dan
DGN95. Untuk itu perlu suatu model transformasi datum antara datum lama ke datum
baru SRGI2013.
Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 yang selanjutnya disingkat SRGI2013
adalah suatu Sistem Referensi Geospasial yang digunakan secara nasional dan konsisten
untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kompatibel dengan
sistem referensi geospasial global. SRGI2013 digunakan sebagai sistem referensi
geospasial tunggal dalam penyelenggaraan IG nasional. Setiap Penyelenggara IG wajib
menggunakan SRGI2013 dalam setiap penyelenggaraan IG.
Ketelitian dari transformasi koordinat sangat bergantung dari pemilihan metode,
ketelitian titik, jumlah dan distribusi titik-titik sekutu. Untuk itu diperlukan suatu model
transformasi yang menghubungkan antara dua datum yang berbeda. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam pemilihan suatu model transformasi, antara lain (Bakosurtanal,
2005):
• Luas wilayah yang dicakup oleh jaringan tersebut.
• Distorsi yang ada pada jaringan.
• Dimensi dari jaringan, 2-dimensi (2D) atau 3-dimensi (3D).
• Ketelitian yang diperlukan.
Secara praktis, perbedaan yang mendasar antara SRGI 2013 dengan DGN 1995 bisa
dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Perbedaan SRGI 2013 dan DGN 1995
Keterangan DGN95 SRGI2013
Sifat Sistem referensi Statik
Memperhitungkan perubahan
nilai koordinat sebagai fungsi
waktu
Sistem referensi
koordinat ITRS ITRS
Kerangka referensi
koordinat
Jaring Kontrol
Geodesi yang terikat
pada ITRF2000
Jaring Kontrol Geodesi yang
terikat pada ITRF2008
Datum Geodetik WGS84 WGS84
10
Keterangan DGN95 SRGI2013
Sistem referensi
geospasial vertikal MSL Geoid
Sistem akses dan
layanan Tertutup Terbuka dan Self service
Sumber: srgi.big.go.id
KONVERSI KOORDINAT
Geografis dan kartesian koordinat
1. Koordinat geografis 3 dimensi dapat didefinisikan sebagai sistem koordinat yang
digunakan untuk menunjukkan posisi titik di permukaan Bumi berdasarkan garis
lintang dan garis bujur.
Lintang: garis horizontal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan
garis katulistiwa. Titik di utara garis katulistiwa dinamakan Lintang Utara sedangkan
titik di selatan katulistiwa dinamakan Lintang Selatan.
Bujur: garis vertikal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan titik nol di
Bumi yaitu yang ditentukan di Greenwich (meridian utama).
Tinggi: jarak antara permukaan bumi terhadap bidang ellipsoid
2. Koordinat cartesian dapat didefinisikan sebagai sistem koordinat yang berasal dari 3
sumbu (X, Y dan Z) yang mengacu pada pusat dari bidang ellipsoid. Posisi titik
dipermukaan bumi akan mengacu pada titik pusat bidang ellipsoid.
Koordinat Geografis Koordinat Kartesian
Lintang, Bujur dan tinggi
(ϕ, λ, h) X Y Z
Tahapan Penelitian
Tahapan awal penelitian yaitu dengan mengumpulkan data koordinat titik sekutu.
Titik-titik sekutu adalah titik yang memiliki koordinat dalam dua sistem datum tersebut.
Koordinat datum lama DGN95 didapatkan dari deskripsi titik yang dikeluarkan oleh Badan
Informasi Geospasial dan koordinat pada datum baru SRGI2013 merupakan hasil
pengolahan menggunakan perangkat pengolahan data satelit ilmiah. Pengolahan data
satelit menggunakan informasi posisi satelit teliti dengan pemodelan ionosfer dan
troposfer menggunakan model global.
Apabila koordinat masih dalam sistem koordinat geodetik maka langkah pertama
adalah merubah koordinat geodetik tersebut menjadi koordinat kartesian 3D. Hal yang
11
sama dilakukan untuk titik sekutu yang menggunakan datum baru SRGI2013. Untuk tahap
awal, proses transformasi antar datum ini menggunakan beberapa metode yaitu model
Bursa-Wolf 3 dimensi (Helmert 7 parameter), model Molodensky (Helmert 10 parameter)
dan model Affin 3 dimensi (12 parameter). Pada tahap selanjutnya, transformasi koordinat
menggunakan model perhitungan lain seperti model persamaan multi regresi dan model
molodenski. Pemilihan model yang tepat sesuai dengan kondisi topografi Indonesia.
Transformasi Bursa Wolf melakukan transformasi di koordinat kartesiannya sehingga
semua titik sekutu yang digunakan harus pada sistem koordinat kartesian di datum
masing-masing. Keuntungan transformasi Bursa-wolf adalah cocok digunakan untuk
transformasi antar dua datum (Solomon, 2013). Tahapan proses transformasi koordinat
pada penelitian ini dapat dilihat pada diagram proses seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Tahapan proses transformasi metode Bursa-Wolf.
Diagram alir penelitian bisa dilihat pada gambar 2 dibawah ini, mekanisme
perhitungan dimulai dengan menentukan titik sekutu. Kemudian data titik sekutu
dilakukan filtering data untuk membuang data-data blunder yang memiliki selisih
perbedaan koordinat sebesar 0.75 meter di koordinat geodetiknya. Setelah koordinat
difilter langkah selanjutnya adalah melakukan transformasi koordinat menggunakan
geodetic tools box yang ada di Matlab. Kemudian untuk mengecek kualitas dari
pengolahan dengan cara melihat residu yang ada. Jika residu hasil masih besar maka kita
lakukan pengulangan transformasi koordinat hingga nilai residu pengolahan dibawah 0.2
12
meter. Parameter transformasi hasil pengolahan kemudian digunakan untuk menentukan
nilai koordinat SRGI titik check point. Selisih hasil pengolahan dengan nilai koordinat titik
check point merupakan deviasi hasil pengolahan. Kemudian tahapan selnajutannya
melakukan analisis dari hasil yang diperoleh.
Gambar 2. Alur penelitian proses transformasi koordinat.
Three Dimension Geocentric Transformation (Bursa-Wolf)
Bursa wolf mengasumsikan hubungan kesamaan antar datum (similarity
transformation model). Transformasi koordinat Bursa Wolf 3 dimensi menggunakan 7
parameter yang harus dipecahkan meliputi 3 parameter translasi (Tx, Ty, Tz), 3 parameter
rotasi (Rx, Ry, Rz) dan 1 skala. Penyusunan matriks untuk transformasi Bursa-Wolf dapat
dilihat pada persamaan 27 (Bursa, 1962; Wolf, 1963).
[𝑋′
𝑌′
𝑍′] = [
𝑑𝑋𝑑𝑌𝑑𝑍
] + (1 + 𝜅) [
1 𝜗𝑧 −𝜗𝑦
−𝜗𝑧 1 𝜗𝑥
𝜗𝑦 −𝜗𝑥 1] [
𝑋𝑌𝑍] (1)
Transformasi 3 dimensi bursa-wolf ini digunakan untuk melakukan konversi koordinat
dari koordinat lama ke koordinat baru yang biasanya berbeda datum atau sering disebut
dengan transformasi antar datum. Seperti dapat dilihat pada Gambar 3, sistem koordinat
lama yang terdiri dari Xs, Ys dan Zs digeser sejauh ∆X, ∆Y dan ∆Z serta diputar dengan
nilai a, b dan q pada setiap sumbunya menghasilkan titik origin yang berbeda di titik OR
dengan sistem baru XR, YR dan ZR
Gambar 3. Ilustrasi transformasi Bursa-Wolf 3 dimensi.
13
Model affine 3 dimensi
Ilustrasi model affin 3 dimensi bisa dilihat pada gambar 3. Model affin menggunakan
koordinat awal untuk menentukan pusat rotasi dan translasi perubahan koordinat.
Gambar 4. Ilustrasi transformasi Affin 3 dimensi.
Secara matematis, persamaan transformasi Affin 3 dimensi bisa dilihat sebagai berikut:
𝑉𝑇 = 𝑉𝑇0 + 𝑅 ∗ 𝑉𝑆 (2)
Dimana:
𝑉𝑇 = (
𝑋𝑇
𝑌𝑇
) 𝑉𝑇0 = (
𝐴0
𝐵0
) 𝑅 = (
𝐴1 𝐴2
𝐵1 𝐵2
) 𝑉𝑆 = (
𝑋𝑆
𝑌𝑆
) (3)
Dituliskan secara linier sebagai berikut:
𝑋𝑇 = 𝐴0 + 𝐴1 ∗ 𝑋𝑆 + 𝐴2 ∗ 𝑌𝑆 (4)
𝑌𝑇 = 𝐵0 + 𝐵1 ∗ 𝑋𝑆 + 𝐵2 ∗ 𝑌𝑆 (5)
Penyelesaian model matematik transformasi Bursa-Wolf 3 dimensi
Untuk menyelesaikan model matematik parameter transformasi koordinat yaitu
dengan menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil. Perhitungan kuadarat terkecil
pada proses transformasi menggunakan model seperti pada persamaan 1 diatas. Proses
perhitungan perataan kuadrat terkecil dengan membagi menjadi matriks-matriks
perhitungan sehingga memepermudah perhitungan kuadrat terkecil. Susunan titik sekutu
dapat dilihat pada tabel 3.
14
Tabel 2. Format susunan tabel titik sekutu
ID x y z X Y Z
1 x1 y1 z1 X1 Y1 Z1
2 x2 y2 z2 X2 Y2 Z2
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
n xn yn zn Xn Yn Zn
Keterangan:
n = nomer titik sekutu yang digunakan
[x y z] = koordinat pada datum DGN95 di sistem kartesian
[X Y Z] = koordiant pada datum SRGI2013 di sistem kartesian
Perataan Kuadrat terkecil:
Formula untuk menentukan koordinat SRGI2013
X= (ATA)-1 ATL (6)
V=AX-L (7)
F=AX
Matriks A [3n x 7] =
[ 𝑥1 0 – 𝑧1 𝑦1 1 0 0𝑦1 𝑧1 0 – 𝑥1 0 1 0𝑧1 − 𝑦1 𝑥1 0 0 0 1𝑥2 0 – 𝑧2 𝑦2 1 0 0𝑦2 𝑧2 0 – 𝑥2 0 1 0𝑧2 − 𝑦2 𝑥2 0 0 0 1
.
.
.𝑥𝑛 0 – 𝑧𝑛 𝑦𝑛 1 0 0𝑦𝑛 𝑧𝑛 0 – 𝑥𝑛 0 1 0𝑧𝑛 − 𝑦𝑛 𝑥𝑛 0 0 0 1]
Matriks L[3n x 1] =
[ 𝑋1 − 𝑥1
𝑌1 − 𝑦1
𝑍1 − 𝑧1
𝑋2 − 𝑥2
𝑌2 − 𝑦2
𝑍2 − 𝑧2...
𝑋𝑛 − 𝑥𝑛
𝑌𝑛 − 𝑦𝑛
𝑍𝑛 − 𝑧𝑛 ]
15
Matriks X[7 x 1] =
[ 𝑠𝑟𝑥𝑟𝑦𝑟𝑧𝑇𝑥
𝑇𝑦
𝑇𝑧]
Keterangan:
F= matriks koordinat di sistem baru (SRGI2013)
L= matriks selisih koordinat SRGI2013 dengan DGN95
A= matriks susunan berdasarkan rumus 1
X= matriks parameter
V= matriks residu
s= skala
𝑟𝑥= rotasi pada sumbu x
𝑟𝑦= rotasi pada sumbu y
𝑟𝑧= rotasi pada sumbu z
𝑇𝑥= Translasi pada sumbu x
𝑇𝑦= Translasi pada sumbu y
𝑇𝑧= Translasi pada sumbu z
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran titik sekutu yang digunakan bisa dilihat pada gambar 5. Total keseluruhan
titik sekutu yang digunakan berjumlah 646 titik. Titik berwarna merah merupakan titik uji
independent (check point) yaitu titik yang tidak digunakan pada proses penentuan
parameter transformasi. Titik check point nantinya akan digunakan untuk mengecek hasil
pengolahan parameter dengan cara membandingkan nilai koordinat SRGI2013 hasil dari
pengolahan transformasi dibandingkan dengan nilai koordinat SRGI titik check point
tersebut. Sementara titik hijau merupakan titik sekutu merupakan titik yang memiliki
koordinat di dua sistem datum DGN95 dan SRGI2013, titik sekutu ini yang akan
digunakan untuk mendapatkan besaran parameter koordinat untuk merubah koordinat
DGN95 ke SRGI2013. Menggunakan input total titik sekutu yaitu 646 titik dengan
koordinat input titik sekutu sebanyak 620 titik, 1 titik dihapus karena selisih koordinat
lama dan baru terlalu besar, sedangkan 26 titik digunakan sebagai checkpoint yang tidak
masuk ke dalam perhitungan penentuan transformasi koordinat.
Gambar 5. Sebaran titik sekutu dan check point.
Penentuan titik Check point
Gambar 6 menunjukkan sejarah kejadian gempa (historical earthquake records)
yang ada di Indonesia periode tahun 1990 hingga 2010 bersumber pada katalog gempa
milik USGS. Pengukuran GPS di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1990 dimulai saat
pekerjaan survey satelit untuk pemantau deformasi di pulau sumatera. Gambar 6 terlihat
bahwa wilayah Indonesia beberapa kali diguncang oleh gempa besar, dapat dilihat dari
besaran magnitude gempa yang terjadi. Gempa-gempa ini menyebabkan posisi koordinat
di wilayah Indonesia berubah mengikuti energi dorongan dari setiap lempeng yang
bergerak. Perubahan posisi koordinat ini tidak seragam di seluruh wilayah Indonesia
karena kompleksitas dari gempa yang terjadi.
Perubahan posisi koordinat akan berpengaruh terhadap kerangka pemetaan nasional
dalam hal ini adalah jaring kontrol geodesi. Untuk itu diperlukan sistem koordinat yang
mampu mengakomodir perubahan koordinat terhadap fungsi waktu dan terhadap
pergerakan lempeng tektonik di Indonesia.
17
Penentuan titik Check point menjadi penting, karena check point merupakan titik
validasi yang digunakan untuk melihat hasil keberhasilan transformasi koordiant yang
sudah dilakukan. Pemilihan titik check point dengan cara melakukan tumpang susun data
histori gempa dengan titik sekutu yang tersedia. Titik check point harus berada pada
lokasi yang dianggap tenang, tidak terganggu dengan aktivitas tektonik yang pernah
terjadi di Indonesia. Titik check point juga harus tersebar secara merata di dalam jaringan
titik sekutu yang ada, untuk melihat konsistensi parameter yang dihasilkan. Titik sekutu
dipilih sebisa mungkin jauh dari kejadian gempa besar di wilayah tersebut.
Gambar 6. Histori gempa dari tahun 1990 hingga 2010
Gambar 7 menunjukkan tumpang susun sejarah kejadian gempa dengan titik sekutu
di wilayah pulau Sumatera. Pulau Sumatera memiliki catatan gempa tektonik aktif, terlihat
pada gambar 7, beberapa kali Sumatera dihantam gempa dengan kekuatan besar dengan
magnitude di atas 7 Mw meskipun gempa-gempa kecil tercatat sering melanda sumatera
pada periode tahun 1990 hingga 2010. Kejadian gempa di Sumatera kebanyakan terjadi
di sepanjang pantai Barat pulau sumatera, akibat dari dorongan lempeng samudra Hindia.
Melihat kondisi ini, maka pemilihan check point untuk proses validasi hasil transformasi
koordinat dipilih pada lokasi yang jauh dari sumber gempa atau lokasi yang dianggap
stabil perubahan posisinya. Titik check point di pulau sumatera berjumlah 6 titik, dapat
ditunjukkan di peta dengan simbol segitiga berwarna merah.
18
Gambar 7. Distribusi sebaran titik sekutu dan check point pulau sumatera
Gambar 8 menunjukkan tumpang susun sejarah kejadian gempa dengan titik sekutu
di wilayah pulau Sulawesi. Tercatat ada beberapa sesar aktif di Sulawesi seperti sesar
Palu-koro, sesar matano dan lain sebagainya. Frekuensi kejadian gempa kebanyakan
berada di sebelah utara pulau Sulawesi dan di sekitar laut Maluku. Melihat kondisi ini,
maka pemilihan check point untuk proses validasi hasil transformasi koordinat dipilih pada
lokasi yang jauh dari sumber gempa atau lokasi yang dianggap stabil perubahan
posisinya. Titik check point di pulau Sulawesi berjumlah 5 titik, dapat ditunjukkan di
gambar 8 dengan simbol segitiga berwarna merah.
Gambar 8. Distribusi sebaran titik sekutu dan check point pulau Sulawesi
Gambar 9 menunjukkan tumpang susun sejarah kejadian gempa dengan titik sekutu
di wilayah kepulauan Nusa Tenggara. Tercatat kejadian gempa berkekuatan 5 hingga 7
magnitudo terjadi di kepulauan Nusa Tenggara pada periode 1990 hingga 2010. Kejadian
19
gempa terjadi secara merata hampir di seluruh kepulauan Nusa Tenggara, sehingga
kesulitan untuk menentukan titik ideal check point. Check point dipilih pada lokasi agak
jauh dengan gempa yang memiliki kekuatan relatif rendah. Titik check point di kepulauan
Nusa Tenggara berjumlah 4 titik, dapat ditunjukkan di gambar 9 dengan simbol segitiga
berwarna merah.
Gambar 9. Distribusi sebaran titik sekutu dan check point pulau Nusa Tenggara
Gambar 10 menunjukkan tumpang susun sejarah kejadian gempa dengan titik
sekutu di wilayah Papua dan Maluku. Wilayah Papua dijadikan satu dengan Maluku
dikarenakan jumlah titik sekutu yang tersedia sangat sedikit dan juga arah pergerakan
lempeng wilayah Papua dan Maluku relatif berada pada arah yang sama. Wilayah Maluku
snagat aktif gempa dikarenakan terdapat palung Banda di sekitar Maluku. Frekuensi
kejadian gempa kebanyakan berada di sebelah utara pulau Papua dan di sekitar laut
Maluku. Melihat kondisi ini, maka pemilihan check point untuk proses validasi hasil
transformasi koordinat dipilih pada lokasi yang jauh dari sumber gempa atau lokasi yang
dianggap stabil perubahan posisinya. Titik check point di wilayah Papua dan Maluku
berjumlah 4 titik, dapat ditunjukkan di gambar 10 dengan simbol segitiga berwarna
merah.
20
Gambar 10. Distribusi sebaran titik sekutu dan check point pulau Maluku dan Papua
Gambar 11 menunjukkan tumpang susun sejarah kejadian gempa dengan titik
sekutu di Pulau Kalimantan. Frekuensi kejadian gempa di pulau Kalimantan sangat sedikit,
sehingga bisa dibilang pulau Kalimantan stabil terhadap aktivitas tektonik dan perubahan
posisi koordinat tidak terlalu signifikan di Pulau Kalimantan. Sebaran dan jumlah titik
sekutu di wilayah Kalimantan sangat terbatas. Untuk itu, titik check point di pulau
Kalimantan ditentukan sebanyak 3 titik, dapat ditunjukkan di gambar 11 dengan simbol
segitiga berwarna merah.
Gambar 11. Distribusi sebaran titik sekutu dan check point pulau Kalimantan
21
Gambar 12 menunjukkan tumpang susun sejarah kejadian gempa dengan titik
sekutu di wilayah pulau Jawa dan Bali. Pulau Jawa dan Bali memiliki catatan gempa
tektonik aktif, kejadian gempa di Jawa dan Bali kebanyakan terjadi di sepanjang pantai
Selatan pulau Jawa dan Bali, akibat pengaruh dari dorongan lempeng samudra Hindia.
Tercatat gempa besar pernah terjadi di jogja pada tahun 2006 dengan kekuatan
magnitudo 5,9. Melihat kondisi ini, maka pemilihan check point untuk proses validasi hasil
transformasi koordinat dipilih pada lokasi yang jauh dari sumber gempa atau lokasi yang
dianggap stabil perubahan posisinya. Titik check point di pulau Jawa dan Bali berjumlah 4
titik, dapat ditunjukkan di peta dengan simbol segitiga berwarna merah.
Gambar 12. Distribusi sebaran titik sekutu dan check point pulau Jawa dan Bali
Proses Filtering data input
Pada tahap ini dilakukan proses filtering data input yang dijadikan sebagai titik
sekutu. Titik titik koordinat DGN95 dan SRGI2013 yang memiliki selisih koordinat besar
dianggap sebagai titik outlier dan harus dihapus dalam proses pengolahan data. Apabila
masih terdapat titik-titik outlier pada saat pengolahan data maka ketelitian hasil
pengolahan parameter transformasi akan rendah. Ketelitian hasil pengolahan bergantung
pada ketelitian data input yang digunakan.
22
Gambar 13. Outlier data di wilayah Jawa
Gambar 14. Outlier data di wilayah Sulawesi
Gambar 15. Outlier data di wilayah Kalimantan
Pada gambar 13 terdapat titik outlier di wilayah Gresik dengan perbedaan selisih di
koordinat kartesian X adalah 3 meter, Y adalah 7 meter. Sementara di Kalimantan
23
terdapat titik outlier yaitu N1.2012 seperti dapat dilihat pada gambar 15 dengan selisih
perbedaan koordinat DGN95 dengan SRGI2013 sebesar 3 meter di koordinat geodetiknya.
Terdapat outlier di wilayah Sulawesi seperti dapat dilihat pada gambar 14, seluruh data
outlier dihapus sebelum masuk ke tahap penentuan parameter transformasi koordinat.
SKEMA PENENTUAN PARAMETER TRANSFORMASI
Pengolahan data transformasi menggunakan beberapa skema untuk melihat
perbedaan hasil dari setiap skema yang digunakan. Perbedaan skema yang dilakukan
akibat data yang digunakan bersifat kompleks, sehingga perlu perlakuan khusus untuk
jenis data tertentu. Dasar pembagian skema berdasarkan dari sebaran titik yang
digunakan dan kualitas titik sekutu yang digunakan. Penentuan skema lebih lanjut bisa
dijabarkan sebagai berikut:
Skema pertama tipe 1: menggunakan titik sekutu seluruh wilayah Indonesia tanpa
dilakukan filtering data.
Skema pertama didapatkan titik sekutu berjumlah 620 titik, titik Check point
berjumlah 26 titik, jadi total titik yang digunakan berjumlah 646 titik. Skema pertama tipe
1 ini menggunakan seluruh data yang tersedia tanpa melihat kualitas data input. Proses
penentuan parameter transformasi SRGI2013 menggunakan perangkat lunak Matlab
dengan terlebih dahulu menyiapkan data input datum 1 dan datum 2. Datum 1
merupakan data input titik sekutu di sistem DGN95, sementara datum 2 merupakan data
input titik sekutu di sistem SRGI2013, keduanya berada pada koordinat kartesian 3
dimensi. Penentuan parameter transformasi menggunakan 3 formula persamaan similarity
transformation, yaitu Bursa Wolf, Molodensky dan Affin 3 dimensi.
Tabel 3. Contoh beberapa koordinat titik sekutu yang digunakan
IdTitik X_DGN95 Y_DGN95 Z_DGN95 X_SRGI2013 Y_SRGI2013 Z_SRGI2013
PKAT -2072875.37 6030511.22 130463.09 -2072875.57 6030511.46 130462.96
TABA -2064804.78 6033942.53 95399.38 -2064804.81 6033941.82 95399.23
N.2007 -2119630.64 6015643.93 -16185.75 -2119630.96 6015643.99 -16185.83
N1.2012 -2176546.47 5991914.05 -201060.96 -2176547.66 5991914.16 -201063.86
N1.2015 -2107259.04 6018103.55 150906.45 -2107259.03 6018102.82 150906.28
N1.2013 -2244155.41 5970327.92 13510.30 -2244155.77 5970327.93 13510.19
N.2006 -2352621.21 5920864.05 -298927.34 -2352621.45 5920863.65 -298927.51
Contoh beberapa koordinat titik sekutu bisa dilihat pada tabel 4, koordinat disusun
terlebih dahulu menjadi kolom-kolom yang berisi informasi koordinat berada di dua sistem
koordinat yaitu koordinat DGN95 dan SRGI2013. Penyajian koordinat menggunakan
sistem kartesian 3 dimensi, sehingga posisi pusatnya berada di pusat datum. Datum 1
dan datum 2 disimpan menggunakan format ASCII tanpa informasi nomor ID atau header
diatasnya, cukup susunan koordinat saja. Datum 1 dan datum 2 harus memiliki jumlah
titik dan susunan titik yang sama, yang nantinya akan dirubah menjadi sebuah matriks
24
persamaan saat pengolahan di Matlab. Matriks persamaan n x 3, dimana n merupakan
jumlah titik sekutu yang digunakan pada saat penentuan parameter transformasi.
Keluaran dari proses penentuan parameter transformasi ini adalah kumpulan set
parameter transformasi beserta akurasi parameter hitungan, residual datum 2 dan vektor
pusat rotasi di datum 1 (hanya ada di metode Molodensky). Set parameter transformasi
pada metode bursa wolf dan molodensky berisi 7 parameter transformasi. Sementara set
parameter transformasi Affin berisi 12 parameter transformasi. Residual datum 2
merupakan selisih koordinat antara koordinat datum 2 dengan koordinat hasil hitungan
parameter. Nilai residual resultan menggunakan skema pertama tipe 1 dapat dilihat pada
tabel 5.
Tabel 4. Residual resultan skema pertama tipe 1
Affine
Bursa-
Wolf Molodensky
min 0.015219 0.020505 0.020505
max 7.880318 7.909852 7.909852
rata-rata 0.271466 0.284493 0.284493
standart
deviasi 0.383136 0.384926 0.384926
Seperti dapat dilihat pada tabel 5, ketiga metode penentuan transformasi koordinat
yang digunakan menghasilkan nilai resultan residual maksimal pada nilai 7 m dan minimal
pada nilai berkisar 0.015 sampai 0.020m, artinya ada data input yang memiliki selisih
besar antar kedua datum tersebut. Setelah dilakukan filtering data input, maka ditemukan
ada beberapa titik sekutu memiliki selisih yang berbeda secara signifikan di kedua datum
tersebut. Selisih signifikan ini kemungkinan akibat terjadi gempa besar di titik tersebut,
sehingga koordinat DGN95 bergeser jauh di koordinat SRGI nya. Faktor lain kemungkinan
dalam proses pengolahan data satelit terdapat kesalahan penulisan koordinat ataupun
blunder saat pengolahan data.
Nilai parameter transformasi SRGI2013 beserta dengan akurasi perhitungan
parameter skema pertama tipe 1 dapat dilihat pada tabel 6-8. Tabel 6 menunjukkan nilai
parameter transformasi SRGI2013 menggunakan metode Affin dengan urutan 3
komponen translasi xyz (dalam unit datum) dan 9 komponen parameter Affin. Tabel 7
menunjukkan nilai parameter transformasi SRGI2013 metode Bursa-Wolf dengan urutan 3
komponen translasi xyz (dalam unit datum), 3 komponen rotasi xyz (dalam unit radians)
dan 1 komponen faktor skala. Tabel 8 menunjukkan nilai paramater transformasi
SRGI2013 metode Molodensky dengan urutan 3 komponen translasi xyz (dalam unit
datum), 3 komponen rotasi xyz (dalam unit radians), 1 komponen faktor skala dan vektor
pusat rotasi.
Tabel 5. Nilai parameter metode Affin skema pertama tipe 1
Affine parameter akurasi
Translasi-x 0.396381352 5.36E-16
Translasi-y 0.048469962 5.36E-16
25
Affine parameter akurasi
Translasi-z 5.15933712 5.36E-16
a1 0.999999996 9.40E-09
a2 -8.83E-08 4.44E-09
a3 1.47E-07 2.75E-08
a4 -1.69E-09 9.40E-09
a5 0.999999973 4.44E-09
a6 5.88E-08 2.75E-08
a7 2.53E-07 9.40E-09
a8 -7.83E-07 4.44E-09
a9 0.999999974 2.75E-08
Tabel 6. Nilai parameter metode Bursa-Wolf skema pertama tipe 1
Bursa-Wolf parameter akurasi
Translasi-x -0.19297596 0.0649343
Translasi-y 0.11458651 0.0606917
Translasi-z 0.35819915 0.16850819
Rotasi-x 9.38E-08 2.46E-08
Rotasi-y -8.36E-08 1.44E-08
Rotasi-z -2.99E-09 1.02E-08
Faktor skala 0.99999997 9.40E-09
Tabel 7. Nilai parameter metode Molodensky skema pertama tipe 1
Molodensky parameter akurasi
Translasi-x
-
0.155346774 0.011113544
Translasi-y
-
0.126859677 0.011113544
Translasi-z 5.35E-02 0.011113544
Rotasi-x 9.38E-08 2.46E-08
Rotasi-y -8.36E-08 1.44E-08
Rotasi-z -2.99E-09 1.02E-08
Faktor skala 1.00E+00 9.40E-09
Pusat rotasi
-
2579692.194
5697625.869
-405585.487 Skema pertama tipe 2: menggunakan titik sekutu seluruh wilayah Indonesia yang
sudah difilter
Proses filtering data skema pertama tipe 2 berdasarkan threshold selisih DGN95 dan
SRGI2013, dimana data yang digunakan adalah data dengan selisih kurang dari 1 meter
di koordinat geodetiknya. Acuan filtering data adalah titik sekutu yang digunakan tidak
mengalami perubahan posisi yang signifikan akibat gempa. Selain itu membuang data-
data input yang error sehingga tidak berpengaruh pada kualitas parameter transformasi
26
yang dihasilkan. Dari hasil proses filtering didapatkan titik sekutu berjumlah 610 titik, titik
Check point berjumlah 26 titik, jadi total titik yang digunakan berjumlah 636 titik.
Tabel 8. Resultan residu skema pertama tipe 2
Affine
Bursa-
Wolf Molodensky
min 0.026637 0.019696 0.019696
max 1.217512 1.20661 1.20661
rata-rata 0.24601 0.256951 0.256951
standart
deviasi 0.177239 0.177644 0.177644
Seperti dapat dilihat pada tabel 9, ketiga metode penentuan transformasi koordinat
yang digunakan menghasilkan nilai resultan residual maksimal pada nilai 1.2 m dan
minimal pada rentang 0.019-0.020m, artinya data input yang digunakan jauh lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan tipe 1 tanpa dilakukan filtering data. Meskipun masih
ada resultan residu yang menunjukkan nilai 1.2 meter. Nilai parameter transformasi
SRGI2013 beserta dengan akurasi perhitungan parameter skema pertama tipe 2 dapat
dilihat pada tabel 10-12.
Tabel 9. Nilai parameter metode Affin skema pertama tipe 2
Affine parameter akurasi
Translasi-x 0.904546533 3.41E-16
Translasi-y 0.400779202 3.41E-16
Translasi-z 4.170496672 3.41E-16
a1 1.000000031 6.22E-09
a2 -1.60E-07 2.94E-09
a3 1.38E-07 1.80E-08
a4 1.95E-08 6.22E-09
a5 0.999999919 2.94E-09
a6 7.70E-08 1.80E-08
a7 1.92E-07 6.22E-09
a8 -6.37E-07 2.94E-09
a9 0.999999981 1.80E-08
Tabel 10. Nilai parameter metode Bursa-Wolf skema pertama tipe 2
Bursa-Wolf parameter akurasi
Translasi-x -0.19779323 0.04345
Translasi-y 0.097910004 0.04071
Translasi-z 0.381551691 0.11167
Rotasi-x 9.33E-08 1.63E-08
Rotasi-y -7.29E-08 9.53E-09
Rotasi-z -1.37E-09 6.82E-09
Faktor skala 0.999999965 6.30E-09
27
Tabel 11. Nilai parameter metode Molodensky skema pertama tipe 2
Molodensky parameter akurasi
Translasi-x -0.14669836 0.00731
Translasi-y -0.14053115 0.00731
Translasi-z 5.04E-02 0.00731
Rotasi-x 9.33E-08 1.63E-08
Rotasi-y -7.29E-08 9.53E-09
Rotasi-z -1.37E-09 6.82E-09
Faktor skala 1.00E+00 6.30E-09
Pusat rotasi
-2567497.21
5707481.302
-406877.105
Skema kedua: menggunakan titik sekutu per wilayah pulau besar
Skema kedua membagi titik sekutu menjadi beberapa wilayah per pulau besar di
Indonesia. Sebaran penentuan titik sekutu bisa dilihat pada gambar 16. Wilayah
Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah yaitu antara lain Sumatera, Kalimantan, Jawa dan
Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara serta Papua dan Maluku. Berdasarkan kriteria ini maka titik
sekutu dibagi sebagai berikut:
- Pulau Sumatera : 150 titik sekutu
- Pulau Kalimantan : 72 titik sekutu
- Pulau Jawa dan Bali : 135 titik sekutu
- Pulau Nusa Tenggara : 77 titik sekutu
- Pulau Sulawesi : 119 titik sekutu
- Pulau Papua dan Maluku : 57 titik sekutu.
77 titik di Nusa Tenggara merupakan gabungan 5 titik dari wilayah Maluku yang
secara geografis sangat dekat dengan Nusa Tenggara, oleh karena itu 5 titik tersebut
dijadikan satu di titik sekutu Nusa Tenggara.
Gambar 16. Skenario pembagian pengolahan data per pulau besar.
28
Tabel 12. Resultan residu parameter menggunakan metode Affin
Residu Sumatera
Jawa dan
Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa
Tenggara
Papua dan
Maluku
MIN 0.030658515 0.015446075 0.034990097 0.040053446 0.034307681 0.063344591
MAX 1.052934471 1.08659199 0.55323736 1.127801209 0.770527371 0.739911382
AVERAGE 0.188990979 0.136492203 0.206781377 0.237786534 0.20664269 0.276989035
STDEV 0.155740134 0.11604897 0.145461676 0.179863614 0.157332204 0.147239242
Tabel 13. Resultan residu parameter menggunakan metode Bursa-Wolf
Residu Sumatera
Jawa dan
Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa
Tenggara
Papua dan
Maluku
MIN 0.035246926 0.012292735 0.036222785 0.008794144 0.033846732 0.02560823
MAX 1.169124052 1.087427201 0.551118986 1.211253607 0.801845595 0.885801392
AVERAGE 0.222651335 0.137442827 0.214120286 0.241124008 0.230608024 0.343660251
STDEV 0.180988545 0.117027542 0.143641321 0.189647282 0.151574467 0.174943235
Tabel 14. Resultan residu parameter menggunakan metode Molodensky
Residu Sumatera
Jawa dan
Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa
Tenggara
Papua dan
Maluku
MIN 0.035246926 0.012292736 0.036222786 0.008794144 0.033846731 0.025608229
MAX 1.169124053 1.087427202 0.551118987 1.211253607 0.801845595 0.885801392
AVERAGE 0.222651335 0.137442827 0.214120286 0.241124008 0.230608024 0.343660251
STDEV 0.180988546 0.117027542 0.143641321 0.189647282 0.151574467 0.174943235
Seperti dapat dilihat pada tabel 13 hingga tabel 15, ketiga metode penentuan
transformasi koordinat yang digunakan menghasilkan nilai resultan residual bervariatif.
Dari skema pembagian titik sekutu per pulau besar ini, metode Affin memberikan rata-
rata dan standart deviasi lebih kecil daripada metode Bursa-Wolf dan Molodensky kecuali
standart deviasi di wilayah nusa tenggara dan kalimantan dimana residual affin lebih
besar dibandingkan dengan metode Bursa-Wolf dan Molodensky. Untuk hasil per pulau,
nilai parameter pengolahan menggunakan titik sekutu hasil dari pulau Jawa dan Bali
menghasilkan nilai rata-rata dan standart deviasi paling kecil daripada titik-titik sekutu per
pulau lainnya. Sebaran titik sekutu di pulau Jawa dan Bali yang sangat merata membuat
konfigurasi dari pengolahan parameter lebih baik dari pada di pulau-pulau lain. Titik input
yang digunakan sebagai titik sekutu di wilayah Jawa dan Bali memiliki selisih sebesar 0.5
meter antara koordinat DGN95 dengan SRGI2013. Artinya koordinat titik input tidak
berubah secara signifikan akibat gempa atau kesalahan eksternal alinnya. Selain itu
pergerakan lempeng di Pulau Jawa relatif kurang aktif dibandingkan dengan pulau
Sumatera, Sulawesi ataupun Papua.
29
Gambar 17. Arah pergerakan lempeng berdasarkan hasil pengolahan data GPS.
Skema ketiga: membagi per wilayah berdasarkan dengan arah pergerakan titik DGN95
ke SRGI2013
Skenario pengolahan data ketiga adalah dengan membagi region menjadi 14 bagian
sesuai dengan arah pergerakan vektor koordinat titik sekutu. Arah vektor ini didapatkan
dari selisih koordinat DGN95 dan SRGI2013 di koordinat geodetiknya. Pada skema ketiga
ini, penentuan titik sekutu didasarkan pada pola visual vektor koordinat selisih DGN95
dengan SRGI2013. Titik titik yang memiliki arah vektor yang sama pada suatu wilayah
dijadikan satu region dan kemudian dari input titik tersebut ditentukan parameter
transformasi wilayah tersebut.
Pola arah dan besaran pergerakan lempeng di Indonesia berdasarkan dari hasil
perhitungan data GPS CORS bisa dilihat pada gambar 17. Melihat gambar 17, ada
beberapa arah vektor dari selisih koordinat yang tidak sama dengan arah pergerakan
lempeng hasil dari pengolahan data GPS. Mekanisme penentuan parameter transformasi
dengan membagi wilayah berdasarkan dari kesamaan arah vektor kecepatan titik sekutu.
Dari hasil pemilihan wilayah tersebut, maka didapatkan 12 region yang tersebar.
• Region01 Sumatera bagian Utara: 45
• Region02 Sumatera bagian Tengah: 47
• Region03 Sumatera bagian Selatan: 54
• Region06 Sulawesi bagian Selatan: 33
• Region07 Sulawesi bagian Tengah: 56
• Region08 Sulawesi bagian Utara, Maluku dan Papua: 91
30
• Region09 Nusa Tenggara bagian Selatan: 44
• Region10 Nusa Tenggara bagian Utara: 29
• Region11 Jawa: 136
• Region12 Kalimantan: 74
Gambar 18. Selisih dan arah koordinat DGN95 ke SRGI2013 di koordinat geodetik
Skema ketiga ini menerapkan pembatasan treshold yang digunakan, dengan asumsi
bahwa titik diluar rentang treshold merupakan titik dengan pergerakan deformasi yang
aktif sehingga tidak dilibatkan dalam proses pengolahan data. Demikian juga dengan
penerapan treshold bernilai 0, dengan asumsi bahwa titik tersebut tidak pernah berubah
dalam rentang tahun 1992 hingga 2012 maka titik tersebut tidak digunakan dalam proses
pengolahan data. Penentuan treshold dilihat dari jarak koordinat DGN95 dengan
SRGI2013, pengolahan jarak antar sistem koordinat menggunakan formula vicenty.
Mekanisme treshold bisa dijabarkan sebagai berikut:
• Treshold 0.0-0.40 titik yang digunakan sebanyak 416 dan ditolak sebesar 193 titik.
• Treshold 0.0-0.75 titik yang digunakan sebanyak 572 dan ditolak sebesar 33 titik.
• Treshold 0.2-0.40 titik yang digunakan sebanyak 353 dan ditolak sebesar 256 titik.
• Treshold 0.2-0.75 titik yang digunakan sebanyak 509 dan ditolak sebesar 100 titik.
Uji akurasi menggunakan check point
Uji akurasi hasil parameter menggunakan nilai koordinat check point yang sudah
ditentukan. Hasil perhitungan parameter per pulau kemudian diolah menggunakan titik-
titik check point keseluruhan di koordinat DGN95. Perbedaan nilai hasil olahan dengan
koordinat check point di koordinat SRGI2013 merupakan residu yang digunakan untuk
menguji akurasi hasil parameter yang didapatkan. Semakin kecil selisih perhitungan
31
dengan koordinat SRGI maka parameter transformasi yang digunakan akan semakin
bagus.
Untuk di beberapa lokasi hasil uji akurasi menggunakan skema perhitungan skema 3
(dengan memperhatikan arah peregrakan lempeng) lebih bagus dibandingkan dengan
pengolahan per pulau (tanpa memperhitungkan arah pergerakan lempengnya). Arah
pergerakan lempeng ini masih berdasarkan kenampakan visual dari vektor selisih antara
koordinat DGN95 dengan koordinat SRGI2013.
Tabel 15. Resultan Check Point menggunakan metode Affin
Check
point Sumatera
Jawa dan
Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa
Tenggara
Papua dan
Maluku
MIN 0.101529733 0.024309245 0.086584053 0.112017513 0.050801387 0.047943888
MAX 13.23939238 1.578188829 4.313032685 9.537730582 8.193018121 4.160877301
AVERAGE 3.10538789 0.426989625 0.826084734 2.705240323 1.771771358 1.266624205
STDEV 2.544697643 0.311193986 0.705472341 2.149967178 1.548239502 0.93035368
Tabel 16. Resultan Check Point menggunakan metode Bursa-Wolf
Check point Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa
Tenggara Papua dan Maluku
MIN 0.047502757 0.019301994 0.056925042 0.073585917 0.063077957 0.120624635
MAX 1.631443441 1.564565488 1.393924724 1.283621393 1.616697474 1.916285526
AVERAGE 0.402279437 0.417570413 0.492813608 0.520314542 0.555848831 0.803327803
STDEV 0.259878756 0.244121046 0.231355044 0.206794992 0.294701594 0.313982539
Tabel 17. Resultan Check Point menggunakan metode Molodensky
Check
point Sumatera
Jawa dan
Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa
Tenggara
Papua dan
Maluku
MIN 0.035257831 0.021492321 0.053577655 0.066238669 0.063077743 0.097481321
MAX 1.623597779 1.56460076 1.39796883 1.371742801 1.616677329 1.669269546
AVERAGE 0.393680106 0.416774625 0.482244907 0.355891611 0.55596274 0.620921409
STDEV 0.272290787 0.242996128 0.229276112 0.181218963 0.294679574 0.282886419
Setelah dilakukan validasi menggunakan titik check point, residual titik sekutu per
wilayah pulau besar dapat dilihat pada tabel 16 hingga tabel 18. Setelah divalidasi rata-
rata dan standart deviasi wilayah Jawa dan Bali memberikan hasil yang paling kecil
daripada pulau lain. Distribusi titik sekutu di Jawa dan Bali yang ideal membuat hasil
check point nya bagus. Pada tabel 16, nilai resultan check point menggunakan metode
Affin dengan titik sekutu di Pulau Sumatera mendapatkan nilai maksimal 13.239 meter.
Nilai besar ini akibat nilai CP di titik N.6004A di Pulau Papua. Titik N.6004A tidak cocok
menggunakan parameter transformasi hasil perhitungan dengan titik sekutu wilayah
Sumatera. Secara keseluruhan metode Affin menghasilkan nilai uji akurasi jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kedua metode lain. Nilai rata-rata dan deviasi metode Affin
lebih besar dibandingkan dengan kedua metode lain, dilihat dari masih terdapat titik
dengan selisih di atas 4 meter.
Gambar 19 menyajikan hasil lain pengolahan yaitu grafik hasil uji titik check point
yang berada di dalam konfigurasi titik sekutunya. Metode affin menghasilkan nilai yang
32
bagus untuk titik uji yang berada di dalam konfigurasi titik sekutu dengan nilai di bawah
0.3 meter di wilayah Sumatera. Berbeda dengan tabel 16, penggunaan parameter titik
sekutu Sumatera masih ditemukan titik check point dengan nilai residu yang besar di luar
dari konfigurasi titik sekutu wilayah Sumatera. Berdasarkan gambar 19, secara
keseluruhan wilayah kalimantan menghasilkan nilai akurasi paling bagus untuk semua
metode pengolahan data yang digunakan, rentang nilai akurasi di bawah 0.2 meter.
Gambar 19. Grafik uji akurasi titik di dalam konfigurasi titik sekutu
Transformasi affin bersifat linier, sehingga sifat objek geometris yang ditransformasi
adalah invariant. Dalam hal ini transformasi affin mempertahankan kesegarisan,
kesejajaran, dan perbandingan, namun tidak mengawetkan kesebangunan (Gunawan &
Suwanda, 2013). Metode Affin tidak cocok untuk menghasilkan parameter transformasi
dengan jumlah titik sekutu terbatas dan kurang bagus menentukan koordinat di luar dari
konfigurasi titik sekutunya.
Metode Molodensky memberikan nilai rata-rata dan standart deviasi yang lebih kecil
dibandingkan dengan metode Bursa-Wolf dan Affin, kecuali resultan check point Bursa-
Wolf di Sumatera yang memiliki standart deviasi lebih kecil dari pada std menggunakan
metode Molodensky.
Uji akurasi kedua dilakukan pada skema 3 hasil parameter menggunakan nilai
koordinat check point yang sudah ditentukan. Untuk di beberapa lokasi skema
perhitungan skema 3 (dengan memperhatikan arah peregrakan lempeng) lebih bagus
dibandingkan dengan pengolahan per pulau (tanpa memperhitungkan arah pergerakan
lempengnya). Hasil residual skema 3 bisa dilihat pada gambar 21 hingga gambar 28.
-1,000
-0,800
-0,600
-0,400
-0,200
0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
jaw
a
ka
lim
an
tan
Nu
sra
Pap
ua m
alu
ku
Su
law
es
i
Su
mate
ra
Su
mate
ra
Affin dx (m)
Affin dy (m)
Affin dz (m)
Affin resultan
Bursa-wolf dx (m)
Bursa-wolf dy (m)
Bursa-wolf dz (m)
Bursa-wolf resultan
Molodensky dx (m)
Molodensky dy (m)
Molodensky dz (m)
Molodensky resultan
33
Gambar 20. Residual titik check point menggunakan parameter Indonesia.
Gambar 21. Standard Deviasi dari Check Point dengan threshold 0.0-0.4
-0.600
-0.400
-0.200
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
dx dy dz S-1 dx dy dz S-2 dx dy dz S-3 dx dy dz S-1 dx dy dz S-2 dx dy dz S-3 dx dy dz S-1 dx dy dz S-2 dx dy dz S-3
Indonesia - Residuals
N.1045 N.1001 N1.1038 N1.1041 N.1089 JKU8_GPS N1.0269 N1.0321 N1.3081
N1.2056 N1.2076 N1.2065 KARU_GPS N1.4025 N1.4008 GT01_GPS N1.4069 N1.3074
N.3004 N1.3035 KAPA_GPS N1.5016 N1.5006 WAPO_GPS TPRA_GPS
Affine Bursa-Wolf Molodensky
Affine Bursa-Wolf Molodensky
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
Par0
7 Su
mR
eg1
Par1
0 Su
mR
eg1
Par1
2 Su
mR
eg1
Par0
7 Su
mR
eg2
Par1
0 Su
mR
eg2
Par1
2 Su
mR
eg2
Par0
7 Su
mR
eg3
Par1
0 Su
mR
eg3
Par1
2 Su
mR
eg3
Par0
7 STrR
eg6
Par1
0 STrR
eg6
Par1
2 STrR
eg6
Par0
7 STh
Reg7
Par1
0 STh
Reg7
Par1
2 STh
Reg7
Par0
7 SM
PR
eg8
Par1
0 SM
PR
eg8
Par1
2 SM
PR
eg8
Par0
7 N
usR
eg9
Par1
0 N
usR
eg9
Par1
2 N
usR
eg9
Par0
7 SN
sReg1
0
Par1
0 SN
sReg1
0
Par1
2 SN
sReg1
0
Par0
7 K
alReg1
1
Par1
0 K
alReg1
1
Par1
2 K
alReg1
1
Par0
7 JB
lReg1
2
Par1
0 JB
lReg1
2
Par1
2 JB
lReg1
2
Par0
7 JK
lReg4
Par1
0 JK
lReg4
Par1
2 JK
lReg4
Par0
7 N
usR
eg5
Par1
0 N
usR
eg5
Par1
2 N
usR
eg5
Par0
7 A
ll
Par1
0 A
ll
Par1
2 A
ll
Standard Deviasi dari Check Point
0.0-0.4
X Y Z R
34
Gambar 22. Standard Deviasi dari Check Point dengan threshold 0.0-0.75
Gambar 23. Standard Deviasi dari Check Point dengan threshold 0.2-0.4
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
Par0
7 Su
mR
eg1P
ar10
Sum
Reg1
Par1
2 Su
mR
eg1P
ar07
Sum
Reg2
Par1
0 Su
mR
eg2P
ar12
Sum
Reg2
Par0
7 Su
mR
eg3P
ar10
Sum
Reg3
Par1
2 Su
mR
eg3P
ar07
STrReg6
Par1
0 STrR
eg6P
ar12
STrReg6
Par0
7 STh
Reg7
Par1
0 STh
Reg7
Par1
2 STh
Reg7
Par0
7 SM
PR
eg8P
ar10
SMP
Reg8
Par1
2 SM
PR
eg8P
ar07
Nu
sReg9
Par1
0 N
usR
eg9P
ar12
Nu
sReg9
Par0
7 SN
sReg1
0P
ar10
SNsR
eg10
Par1
2 SN
sReg1
0P
ar07
KalR
eg11
Par1
0 K
alReg1
1P
ar12
KalR
eg11
Par0
7 JB
lReg1
2P
ar10
JBlR
eg12
Par1
2 JB
lReg1
2P
ar07
JKlR
eg4P
ar10
JKlR
eg4P
ar12
JKlR
eg4P
ar07
Nu
sReg5
Par1
0 N
usR
eg5P
ar12
Nu
sReg5
Par0
7 A
llP
ar10
All
Par1
2 A
llStandard Deviasi dari Check Point
0.0-0.75
X Y Z R
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
Par0
7 Su
mR
eg1P
ar10
Sum
Reg1
Par1
2 Su
mR
eg1P
ar07
Sum
Reg2
Par1
0 Su
mR
eg2P
ar12
Sum
Reg2
Par0
7 Su
mR
eg3P
ar10
Sum
Reg3
Par1
2 Su
mR
eg3P
ar07
STrReg6
Par1
0 STrR
eg6P
ar12
STrReg6
Par0
7 STh
Reg7
Par1
0 STh
Reg7
Par1
2 STh
Reg7
Par0
7 SM
PR
eg8P
ar10
SMP
Reg8
Par1
2 SM
PR
eg8P
ar07
Nu
sReg9
Par1
0 N
usR
eg9P
ar12
Nu
sReg9
Par0
7 SN
sReg1
0P
ar10
SNsR
eg10
Par1
2 SN
sReg1
0P
ar07
KalR
eg11
Par1
0 K
alReg1
1P
ar12
KalR
eg11
Par0
7 JB
lReg1
2P
ar10
JBlR
eg12
Par1
2 JB
lReg1
2P
ar07
JKlR
eg4P
ar10
JKlR
eg4P
ar12
JKlR
eg4P
ar07
Nu
sReg5
Par1
0 N
usR
eg5P
ar12
Nu
sReg5
Par0
7 A
llP
ar10
All
Par1
2 A
ll
Standard Deviasi dari Check Point
0.2-0.4
X Y Y Z
35
Gambar 24. Standard Deviasi dari Check Point dengan threshold 0.2-0.75
Gambar 25. RMS dari Check Point dengan threshold 0.0-0.4
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
Par0
7 Su
mR
eg1
Par1
0 Su
mR
eg1
Par1
2 Su
mR
eg1
Par0
7 Su
mR
eg2
Par1
0 Su
mR
eg2
Par1
2 Su
mR
eg2
Par0
7 Su
mR
eg3
Par1
0 Su
mR
eg3
Par1
2 Su
mR
eg3
Par0
7 STrR
eg6
Par1
0 STrR
eg6
Par1
2 STrR
eg6
Par0
7 STh
Reg7
Par1
0 STh
Reg7
Par1
2 STh
Reg7
Par0
7 SM
PR
eg8
Par1
0 SM
PR
eg8
Par1
2 SM
PR
eg8
Par0
7 N
usR
eg9
Par1
0 N
usR
eg9
Par1
2 N
usR
eg9
Par0
7 SN
sReg1
0
Par1
0 SN
sReg1
0
Par1
2 SN
sReg1
0
Par0
7 K
alReg1
1
Par1
0 K
alReg1
1
Par1
2 K
alReg1
1
Par0
7 JB
lReg1
2
Par1
0 JB
lReg1
2
Par1
2 JB
lReg1
2
Par0
7 JK
lReg4
Par1
0 JK
lReg4
Par1
2 JK
lReg4
Par0
7 N
usR
eg5
Par1
0 N
usR
eg5
Par1
2 N
usR
eg5
Par0
7 A
ll
Par1
0 A
ll
Par1
2 A
llStandard Deviasi dari Check Point
0.2-0.75X Y Z R
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Par
07
Su
mR
eg1
Par
10
Su
mR
eg1
Par
12
Su
mR
eg1
Par
07
Su
mR
eg2
Par
10
Su
mR
eg2
Par
12
Su
mR
eg2
Par
07
Su
mR
eg3
Par
10
Su
mR
eg3
Par
12
Su
mR
eg3
Par
07
STr
Reg
6
Par
10
STr
Reg
6
Par
12
STr
Reg
6
Par
07
STh
Reg
7
Par
10
STh
Reg
7
Par
12
STh
Reg
7
Par
07
SM
PR
eg8
Par
10
SM
PR
eg8
Par
12
SM
PR
eg8
Par
07
Nu
sReg
9
Par
10
Nu
sReg
9
Par
12
Nu
sReg
9
Par
07
SN
sReg
10
Par
10
SN
sReg
10
Par
12
SN
sReg
10
Par
07
Kal
Reg
11
Par
10
Kal
Reg
11
Par
12
Kal
Reg
11
Par
07
JB
lReg
12
Par
10
JB
lReg
12
Par
12
JB
lReg
12
Par
07
JK
lReg
4
Par
10
JK
lReg
4
Par
12
JK
lReg
4
Par
07
Nu
sReg
5
Par
10
Nu
sReg
5
Par
12
Nu
sReg
5
Par
07
All
Par
10
All
Par
12
All
RMSdari Check Point
0.0-0.4
X Y Z
36
Gambar 26. RMS dari Check Point dengan threshold 0.2-0.4
Gambar 27. RMS dari Check Point dengan threshold 0.0-0.75
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Par
07
Su
mR
eg1
Par
10
Su
mR
eg1
Par
12
Su
mR
eg1
Par
07
Su
mR
eg2
Par
10
Su
mR
eg2
Par
12
Su
mR
eg2
Par
07
Su
mR
eg3
Par
10
Su
mR
eg3
Par
12
Su
mR
eg3
Par
07
STr
Reg
6P
ar1
0 S
TrR
eg6
Par
12
STr
Reg
6P
ar0
7 S
ThR
eg7
Par
10
STh
Reg
7P
ar1
2 S
ThR
eg7
Par
07
SM
PR
eg8
Par
10
SM
PR
eg8
Par
12
SM
PR
eg8
Par
07
Nu
sReg
9P
ar1
0 N
usR
eg9
Par
12
Nu
sReg
9P
ar0
7 S
NsR
eg1
0P
ar1
0 S
NsR
eg1
0P
ar1
2 S
NsR
eg1
0P
ar0
7 K
alR
eg1
1P
ar1
0 K
alR
eg1
1P
ar1
2 K
alR
eg1
1P
ar0
7 J
BlR
eg1
2P
ar1
0 J
BlR
eg1
2P
ar1
2 J
BlR
eg1
2P
ar0
7 J
KlR
eg4
Par
10
JK
lReg
4P
ar1
2 J
KlR
eg4
Par
07
Nu
sReg
5P
ar1
0 N
usR
eg5
Par
12
Nu
sReg
5P
ar0
7 A
llP
ar1
0 A
llP
ar1
2 A
ll
RMS dari Check Point
0.2-0.4
X Y Z
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Par
07
Su
mR
eg1
Par
10
Su
mR
eg1
Par
12
Su
mR
eg1
Par
07
Su
mR
eg2
Par
10
Su
mR
eg2
Par
12
Su
mR
eg2
Par
07
Su
mR
eg3
Par
10
Su
mR
eg3
Par
12
Su
mR
eg3
Par
07
STr
Reg
6P
ar1
0 S
TrR
eg6
Par
12
STr
Reg
6P
ar0
7 S
ThR
eg7
Par
10
STh
Reg
7P
ar1
2 S
ThR
eg7
Par
07
SM
PR
eg8
Par
10
SM
PR
eg8
Par
12
SM
PR
eg8
Par
07
Nu
sReg
9P
ar1
0 N
usR
eg9
Par
12
Nu
sReg
9P
ar0
7 S
NsR
eg1
0P
ar1
0 S
NsR
eg1
0P
ar1
2 S
NsR
eg1
0P
ar0
7 K
alR
eg1
1P
ar1
0 K
alR
eg1
1P
ar1
2 K
alR
eg1
1P
ar0
7 J
BlR
eg1
2P
ar1
0 J
BlR
eg1
2P
ar1
2 J
BlR
eg1
2P
ar0
7 J
KlR
eg4
Par
10
JK
lReg
4P
ar1
2 J
KlR
eg4
Par
07
Nu
sReg
5P
ar1
0 N
usR
eg5
Par
12
Nu
sReg
5P
ar0
7 A
llP
ar1
0 A
llP
ar1
2 A
ll
RMS dari Check Point
0.0-0.75
X Y Z
37
Gambar 28. RMS dari Check Point dengan threshold 0.2-0.75
Dari hasil grafik pada gambar 22 hingga gambar 28, maka dapat dilihat bahwa
pemberian treshold rentang data yang digunakan untuk input titik sekutu tidak
berdampak secara signifikan ke hasil pengolahan data. Artinya selama data sudah tidak
mengandung outlier maka data tersebut bisa digunakan sebagai input pengolahan
transformasi koordinat. Hasil pengolahan data dengan mengelompokkan data
berdasarkan arah pergerakan lempeng, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan skema membagi titik sekutu per pulau besar.
KESIMPULAN
Titik sekutu yang sudah dikelompokkan berdasarkan skema 1 hingga skema 3
menghasilkan parameter-parameter transformasi koordinat untuk merubah koordinat
DGN95 ke SRGI2013. Pembagian wilayah titik sekutu sangat berpengaruh terhadap hasil
residu check point. Data inputan titik sekutu yang memiliki error besar akan
mempengaruhi hasil parameter transformasi yang didapatkan. Error titik sekutu bisa
dilihat dari selisih koordinat datum lama dengan koordinat datum baru. Error ini akibat
kejadian gempa besar di wilayah tersebut ataupun kesalahan saat pengolahan data
satelit, perlu ditelusuri lebih lanjut. Setelah dilakukan analisis arah vektor selisih koordinat
ini ada yang merupakan akibat dari proses pergerakan lempeng di wilayah tersebut dan
beberapa ada yang bukan merupakan kegiatan deformasi. Kesulitan dalam proses
membedakan pengaruh deformasi dalam penentuan transformasi koordinat ini sehingga
ke depannya dibutuhkan kajian yang lebih komprehensif untuk mendapatkan ketelitian
transformasi yang memadai.
Hasil pengolahan data dengan mengelompokkan data berdasarkan arah pergerakan
lempeng, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan skema membagi titik
sekutu per pulau besar. Akan tetapi skema pengelompokkan titik sekutu berdasarkan arah
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Par
07
Su
mR
eg1
Par
10
Su
mR
eg1
Par
12
Su
mR
eg1
Par
07
Su
mR
eg2
Par
10
Su
mR
eg2
Par
12
Su
mR
eg2
Par
07
Su
mR
eg3
Par
10
Su
mR
eg3
Par
12
Su
mR
eg3
Par
07
STr
Reg
6P
ar1
0 S
TrR
eg6
Par
12
STr
Reg
6P
ar0
7 S
ThR
eg7
Par
10
STh
Reg
7P
ar1
2 S
ThR
eg7
Par
07
SM
PR
eg8
Par
10
SM
PR
eg8
Par
12
SM
PR
eg8
Par
07
Nu
sReg
9P
ar1
0 N
usR
eg9
Par
12
Nu
sReg
9P
ar0
7 S
NsR
eg1
0P
ar1
0 S
NsR
eg1
0P
ar1
2 S
NsR
eg1
0P
ar0
7 K
alR
eg1
1P
ar1
0 K
alR
eg1
1P
ar1
2 K
alR
eg1
1P
ar0
7 J
BlR
eg1
2P
ar1
0 J
BlR
eg1
2P
ar1
2 J
BlR
eg1
2P
ar0
7 J
KlR
eg4
Par
10
JK
lReg
4P
ar1
2 J
KlR
eg4
Par
07
Nu
sReg
5P
ar1
0 N
usR
eg5
Par
12
Nu
sReg
5P
ar0
7 A
llP
ar1
0 A
llP
ar1
2 A
ll
RMSdari Check Point
0.2-0.75
X Y Z
38
pergerakan lempeng sangat susah saat diterapkan pada saat pelayanan data. Skema ini
menghasilkan banyak sekali parameter transformasi koordinat. Saat proses transformasi,
perangkat lunak transformasi yang akan dibuat nanti harus bisa mengakomodir
parameter transformasi yang ada tersebut. Perlu batasan berapa ketelitian yang bisa
dicapai menggunakan metode transformasi koordinat ini, sehingga akan ada satu
parameter transformasi yang akan digunakan untuk merubah koordinat DGN95 ke
SRGI2013.
Dari ketiga metode yang digunakan maka metode molodensky lebih bagus dari
kedua metode lainnya dilihat dari nilai deviasi pengolahan data. Meskipun demikian perlu
kajian lebih dalam lagi dengan metode lain sehingga dapat dihasilkan parameter
transformasi koordinat yang sudah mengakomodir pergerakan lempeng dan sangat sesuai
dengan ketelitian yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal. (2005). Panduan Teknis Datum dan Sistem Koordinat Peta Rupabumi
Indonesia. Bogor.
Bursa, M. (1962). The theory of the determination of the nonparallelism of the minor axis
of the reference ellipsoid, Polar axis of the Earth, and initial astronomical and geodetic
meridians from observation of artificial E arth satellites. Studia Geophysica et
Geodaetica, 6(2), 209–214.
Gunawan, G., & Suwanda. (2013). Transformasi affin pada bidang. Jurnal Matematika,
12(1), 1–8.
Republik Indonesia. (2015). Peraturan Mentri ESDM No. 33.
Republik Indonesia. (2011). Undang-undang Informasi Geospasial No. 4.
Sandi, E. H., Pahlevi, A. M., Aditiya, A., & Efendi, J. (2013). Status Stasiun Continuously
Operating Reference Station (CORS) Badan Informasi Geospasial (BIG) 2012. In
Ikatan Surveyor Indonesia.
Solomon, M. (2013). DETERMINATION OF TRANSFORMATION PARAMETERS FOR
MONTSERRADO COUNTY, REPUBLIC OF LIBERIA. Kwame Nkrumah University.
Wolf, H. (1963). Geometric connection and reorientation of three-dimensional triangulation
nets. Bulletin Geodesique, 68(1), 165–169.
39
LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN INTERFERENSI
GELOMBANG DI SEKITAR STASIUN CORS TANGERANG (CTGR)
METODE PENGAMATAN KEHANDALAN FUNGSI STASIUN CORS BIG
CTGR DI GEDUNG STO LENGKONG TELKOM-BSD
Kelompok Penelitian Jaring Kontrol Geodesi
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama
Badan Informasi Geospasial
40
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi navigasi membuat penggunaan spektrum radio magnetik menjadi
meningkat beberapa tahun belakangan ini. Peningkatan ini menyebabkan spektrum
frekuensi radio berubah secara signifikan. Ketika dua sistem menggunakan frekuensi yang
sama atau frekuensi yang saling berdekatan, menyebabkan terjadinya interferensi antar
kedua sistem tersebut. Radio Frequency Interference (RFI) dapat secara signifikan
mengurangi kinerja receiver GNSS atau bahkan sepenuhnya memblok akuisisi atau
pelacakan satelit. Efek RFI dapat menyebabkan loss of receiver tracking, kekuatan RFI
yang cukup kuat bisa mengganggu proses tracking sinyal satelit. Selain itu, RFI membuat
Signal to Noise (SNR) menjadi menurun dan meningkatkan noise pengukuran
pseudorange dan fase. Untuk penerima GNSS, penurunan kinerja dapat mengakibatkan
antara lain pengukuran rentang dan fase yang kurang akurat yang mengarah ke solusi
posisi yang kurang akurat. Karena aplikasi GNSS modern menuntut akurasi yang semakin
tinggi sehingga menjadikan subjek interferensi sangat penting.
Selama ini pemasangan stasiun CORS sebgaian besar ditempatkan di kantor Sentral
Telepon Otomat atau sering disebut dengan STO milik PT. Telekomunikasi Indonesia
(Telkom). Alasan pemilihan kantor STO telkom untuk tempat operasi CORS karena lokasi
stasiun telkom yang tersedia hampir di setiap ibukota kabupaten, selain itu alasan krusial
stasiun CORS ditempatkan disana karena pengiriman data pengamatan satelit GNSS
dikirimkan menggunakan layanan VPN (Virtual Private Network) milik telkom. Hubungan
ini dibangun melalui suatu tunnel virtual antara 2 node (Sandi, Pahlevi, Aditiya, & Efendi,
2013). BIG menggunakan VPN IP untuk mengkomunikasikan beberapa alatnya yang ada
di kantor STO telkom diseluruh Indonesia ke server yang ada di Cibinong. Untuk
komunikasi datanya bersifat Realtime. Gambar 29 menujukan status implementasi VPN IP
pada GNSS station di Badan Informasi Geospasial.
Gambar 29. Topologi VPN pada komunikasi data stasiun GNSS (Sandi et al., 2013)
Dalam pelaksanaannya, penempatan stasiun CORS di wilayah Kantor telkom perlu
kewaspadaan, karena kita sadari bersama di kantor telkom banyak terdapat pemancar-
pemancar gelombang Elektromagnetik (EM) berkekuatan tinggi seperti microwave, sinyal
GSM dan lain sebagainya yang ada kemungkinan bisa mengganggu penerimaan sinyal
satelit di stasiun CORS tersebut. Meskipun gangguan itu kecil dan tidak secara langsung
berdampak terhadap penerimaan data satelit, akan tetapi perlu dibuatkan standart dan
pedoman penempatan stasiun CORS yang bebas dari gangguan sinyal elektromagnetik.
Kerentanan sinyal GNSS dapat disebabkan oleh sinyal Elektromagnetik yang sengaja
dilakukan jammer (seperti pada era Selective Availibility) maupun dengan tidak sengaja
41
(seperti interference, multipath, radiated emission, cyber, ionosphere, segment errors).
Interferensi bisa terjadi di Continuous Wave (CW), Narrow Band (NB) or Wide Band (WB)
pada domain spektrum. Pengaruh interferensi pada perangkat GNSS adalah meningkatkan
noise in –band receiver dan mengurangi nilai Signal to Noise Ratio (SNR) pada receiver.
Kehadiran interferensi yang lebih kuat juga dapat menyebabkan kompresi atau saturasi
penerima dan menghasilkan produk harmonik dan intermodulasi yang masuk dalam jalur
pass penerima GNSS.
Sumber: https://www.novatel.com/tech-talk/velocity/velocity-2015/unintentional-interference/
Gambar 30. Interferensi di perangkat GNSS
Diperlukan pengujian lingkungan peralatan CORS untuk mengetahui apakah ada emisi
yang dikeluarkan perangkat lain baik sengaja maupun tidak disengaja yang dapat
mengganggu performa perangkat CORS. Untuk mengetahui hal tersebut maka
dilaksanakan kegiatan penelitian potensi gangguan interferensi gelombang
elektromagnetik dari sumber sinyal di sekitar satasiun CORS. Pengamatan interferensi
dilakukan di stasiun CORS BIG yang berada di gedung STO TELKOM BSD, Serpong mulai
tanggal 29 Januari 2018 sampai dengan 2 Februari 2018. Tujuan kegiatan penelitian
adalah untuk mengetahui kehandalan/integrity dari stasiun CORS BIG di gedung Telkom
khususnya dalam menghadapi potensi gangguan interferensi elektromagnetik dari sumber
sinyal di sekitar stasiun CORS BIG. Diharapkan dengan memiliki pengetahuan perihal
kehandalan stasiun CORS BIG dalam menghadapi potensi gangguan elektromagnetik dari
sumber sinyal di sekitar antenna penerimanya akan memberikan informasi perihal potensi
gangguan dan mitigasi dalam mengurangi potensi gangguan tersebut serta dapat
memberikan masukan terkait metodologi untuk perencanaan penempatan stasiun CORS
maupun metodologi evaluasi kehandalan stasiun CORS terkait gangguan elektromagnetik
dari lingkungan sekitarnya. Ilustrasi gangguan sinyal elektromagnetik bisa dilihat pada
gambar 31. Pada penelitian ini fokus gangguan adalah sinyal gelombang elektromagnetik
yang berasal dari tower-tower di sekitar STO Telkom. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini
dilakukan dengan koordinasi dan kerjasama tim lab EMC Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dengan tim bidang penelitian Badan Informasi Geospasial.
42
Gambar 31. Ilustrasi interferensi gelombang elektromagnetik yang menjadi gangguan saat
pengukuran GNSS.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan informasi kegiatan monitoring data CORS bahwa data yang diterima dari
stasiun CORS milik BIG terkadang mengalami gangguan seperti tiba-tiba kehilangan sinyal
ataupun sinyal dari satelit GNSS mengalami gangguan penerimaan dimana nilai Signal To
Noise Ratio (SNR) nya mengalami penurunan drastis. Hal ini akan sangat mempengaruhi
ketersediaan maupun keakuratan data yang diperoleh dari stasiun CORS tersebut.
Gangguan sinyal ini dapat terjadi disebabkan oleh beberapa hal yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Faktor yang disebabkan oleh alam: hal ini bisa disebabkan oleh terdapatnya
perubahan pada tingkat kandungan partikel elektronik di atmosfer (ionosfer dan
troposfer), maupun disebabkan oleh kondisi cuaca lainnya.
2. Faktor yang disebabkan oleh system GNSS: hal ini bisa disebabkan oleh kesalahan
orbital atau ketidak akurasian lokasi satelit GNSS, maupun konfigurasi lokasi satelit
GNSS yang digunakan terletak pada posisi geometris yang kurang baik sehingga
menimbulkan nilai tinggi pada nilai Dillution of Precision (DOP) nya.
3. Faktor yang disebabkan oleh lingkungan perangkat penerima GNSS: hal ini bisa
disebabkan oleh letak perangkat penerima GNSS yang berada di tengah gedung-
gedung tinggi/obstacles sehingga menimbulkan efek multipath, jumlah satelit yang
dapat diterima oleh perangkat penerima kurang dari minimum kebutuhan satelit
untuk menentukan posisi, ataupun penurunan kualitas sinyal satelit yang dapat
disebabkan oleh obstacles maupun sumber sinyal elektromagnetik yang letaknya
berdekatan dengan posisi perangkat penerima sinyal GNSS .
Pada kegiatan penelitian ini akan dikaji gangguan penerimaan sinyal satelit GNSS
akibat faktor yang diduga berasal dari faktor ketiga diatas yang dapat menyebabkan
43
gangguan pada sinyal GNSS pada perangkat penerima yaitu dalam hal ini adalah CORS
CTGR. Informasi lengkap perihal CORS yang akan menjadi objek uji (Device Under
Test/DUT) adalah sebagai berikut:
Nama Titik Kontrol CTGR
Desa / Kelurahan Lengkong
Kabupaten / Kota Tangerang
Kecamatan Serpong
Nama Lokal STO Lengkong Tangerang
Provinsi Banten
Keterangan Pilar Cor beton 30 x 30 x 100 cm
Lintang -6.290832
Bujur 106.663803
Tinggi Elipsoid 66.3642
X -1818043.81023
Y 6073794.02811
Z -694242.568
Alamat lokasi Jl. Civic Centre di belakang Kawasan Auto 2000 Bumi Serpong Damai
Tangerang.
METODE PENELITIAN
Pengambilan data untuk proses pengujian interferensi gelombang dilakukan di stasiun
CORS Tangerang (CTGR) tepatnya berada di kantor STO Telkom Bumi Serpong Damai,
Serpong yang beralamat di Jalan Civic centre, kelurahan Lengkong, Kecamatan Serpong,
Kabupaten Tangerang, Banten. Sample titik STO telkom BSD dipilih karena lokasi STO
dekat dengan lab EMC BPPT dan ada beberapa tower besar yang berhadapan langsung
dengan stasiun CORS CTGR.
Dalam rangka melaksanakan penelitian ini maka disiapkan metodologi pengujian
dengan melakukan monitoring kinerja perangkat penerima stasiun CORS CTGR selama
lima hari. Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan ini sebagai berikut:
1. Tahapan pertama:
a. Identifikasi sumber potensi gangguan Radio Frequency
Scan frekuensi yang dapat terdeteksi dari lingkungan di sekitar CORS CTGR
menggunakan perangkat spectrum analyzer Tektronix dan antenna directional
Rohde&Schwartz baik pada lokasi di bawah Tower Pemancar (untuk mendeteksi
kemungkinan side lobes yang ada) serta pada lokasi di atas atap dekat lokasi
antenna CORS CTGR (untuk mendeteksi kemungkinan sinyal baik side lobes maupun
main lobes dari Tower pemancar yang mengarah ke perangkat penerima CORS
CTGR). Identifikasi potensi ini khususnya dilakukan pada rentang frekuensi dan tipe
interferensinya.
b. Kekuatan sinyal frekuensi sekitar CORS CTGR yang terdeteksi baik di bawah tower
maupun di dekat perangkat penerima CORS CTGR di data menjadi potensi sumber
sinyal interferensi yang dapat mengganggu penerimaan sinyal GNSS pada perangkat
penerima CORS CTGR di STO Telkom Lengkong.
44
2. Tahapan kedua:
a. pengukuran sinyal yang ada di lingkungan CORS CTGR dengan menggunakan
perangkat spectrum analyzer Signal Hound pada rentang frekuensi hasil pantauan
scan pada tahapan pertama serta dilakukan perekaman sinyal pada rentang
frekuensi antara 175MHz s/d 2.7 GHz. Perekaman digunakan untuk mencari potensi
sinyal yang dapat menjadi sumber interferensi pada perangkat penerima sinyal
GNSS.
b. Perekaman sinyal GNSS yang diterima CORS CTGR pada periode pengujian dengan
interval 1 detik selama periode 29 januari s/d 2 februari 2018. Perekaman digunakan
untuk memonitor potensi terjadi gangguan pada penerimaan sinyal GNSS yang
kemungkinan dapat disebabkan oleh interferensi yang bersumber dari sinyal tower
pemancar di dekat perangkat penerima CORS CTGR.
3. Pada tahapan ketiga dilakukan pula pemantauan sinyal GNSS pada perangkat low-cost
(portable) GNSS receiver GT06 pada saat yang bersamaan dengan waktu pemantauan
CORS CTGR. Pemantauan dilakukan pada perangkat GT06 baik yang berada dekat
dengan perangkat penerima CORS CTGR maupun pada perangkat GT06 yang terletak
di titik kontrol Puspiptek dengan tujuan melakukan pembandingan kinerja perangkat
penerima GNSS.
4. Pada tahapan keempat dilakukan percobaan pada hari ketiga dengan menambahkan
material peredam sinyal pada frekuensi GSM (900 dan 1800MHz) yang diletakkan untuk
memblokir sinyal dari arah tower pemancar.
5. Pada tahapan kelima dilakukan:
a. Analisis dari hasil penerimaan sinyal tower pemancar pada periode pemantauan
b. Analisis dari hasil penerimaan sinyal GNSS pada perangkat CORS CTGR pada periode
pemantauan.
Setup pengujian untuk perekaman data dilakukan seperti pada gambar 32, dimana
terdapat 2 lokasi pengamatan yaitu lokasi di STO Lengkong dengan CORS CTGR nya serta
lokasi titik kontrol horizontal yang berada di dekat gedung Teknologi 3 Puspiptek Serpong.
45
Gambar 32. Setup pemantauan sinyal GNSS dan sinyal yang berpotensi menjadi sumber
interferensi di dua lokasi pengamatan.
Perangkat-perangkat yang digunakan untuk perekaman data pada lokasi STO
Lengkong adalah sebagai berikut:
1. Signal hound spectrum analyzer USB-SA44B
2. Antenna directional Rohde & Schwarz HE300 dan antenna omni directional
3. GT06 GPS receiver dengan GSM module
4. LEICA GNSS receiver dengan koneksi ke server BIG
5. Material absorber dengan campuran organik material, carbon dan bahan perekat.
6. Aplikasi pengukuran sudut elevasi/azimuth dari antenna pada tower pemancar pada
smartphone dengan OS android (azimuth cam).
Perangkat yang digunakan untuk perekaman data pada lokasi di Puspiptek Serpong
adalah:
1. GT06 GPS receiver dengan GSM Module
2. Virtual Private Server (VPS) untuk perekaman data dari perangkat GT 06 baik yang
di lokasi STO lengkong maupun yang berada di Puspiptek Serpong
3. Aplikasi navigasi bandara yang digunakan untuk pemantauan lokasi dari perangkat
GT06 secara real time pada smartphone dengan OS android
46
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1: Scan frekuensi yang berpotensi menjadi sumber sinyal pengganggu
penerimaan sinyal GNSS pada perangkat penerima CORS CTGR dengan
menggunakan spectrum analyzer Tectronix
Pelaksanaan scan frekuensi signal di sekitar CORS CTGR dilakukan baik di bawah
tower pemancar maupun di atas atap bangunan berdekatan dengan lokasi CORS CTGR
milik BIG. Pemantauan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran awal
perihal ambient noise di lingkungan sekitar perangkat penerima sinyal GNSS CORS CTGR,
utamanya sinyal elektromagnetik yang berasal dari tower pemancar dekat CORS CTGR.
Range frekuensi hasil pemantauan (scan) sinyal tersebut digunakan untuk menentukan
range frekuensi perekaman data yang akan dilakukan selama periode pengamatan.
GSM band Center Frequency
(MHz)
Uplink (MHz) Downlink(MHz)
(Mobile to base) (base to mobile)
GSM-710 710 698.2 – 716.2 728.2 – 746.2
GSM-750 750 777.2 – 792.2 747.2 – 762.2
T-GSM-810 810 806.2 – 821.2 851.2 – 866.2
GSM-850 850 824.2 – 848.8 869.2 – 893.8
P-GSM-900 900 890.0 – 915.0 935.0 – 960.0
DCS-1800 1800 1710.2 – 1784.8 1805.2 – 1879.8
PCS-1900 1900 1850.2 – 1909.8 1930.2 – 1989.8
Simulasi sebaran sumber potensi gangguan RF.
Pada tahapan ini dilakukan simulasi sebaran sumber potensi gangguan radio frekeunsi
di sekitar stasiun CORS Tangerang yang bertepat di kantor telkom STO lekong. Proses
simulasi dilakukan pada sinyal GSM 788 MHz, GSM 900 MHz dan GSM 1800 MHz. Tahapan
simulasi ini digunakan untuk data awal saat proses scan frekuensi sinyal.
1. Sebaran simulasi dari sinyal GSM 788MHz dengan daya 50 watt, antenna ITU
R-465 (k=27) parabola, azimuth 10 derajat
Gambar 33. Simulasi sinyal GSM 788 MHz
47
2. Sebaran simulasi dari sinyal GSM 900 MHz dengan daya 40 watt, antenna ITU
R-465 (k=27) parabola, azimuth 10 derajat
Gambar 34. Simulasi sinyal GSM 900 MHz
3. Sebaran simulasi dari sinyal GSM 1800 MHz dengan daya 20 watt, antenna ITU
R-465 (k=27) parabola, azimuth 10 derajat
Gambar 35. Simulasi sinyal GSM 1800 MHz
Scanning sinyal potensi gangguan Radio frekuensi di sekitar lokasi
pemasangan stasiun CORS.
Tahapan scanning sinyal potensi gangguan RF dilakukan untuk mengetahui sinyal apa saja
yang berada di sekitar stasiun CORS yang kemungkinan mengganggu penerimaan data
satelit ke receiver GNSS CORS. Stasiun CORS dipasang di atas atap gedung STO telkom,
untuk itu proses scanning dilakukan di sekitar lokasi stasiun CORS dan di bawah gedung
stasiun CORS lantai 1 tepatnya di bawah tower pemancar. Proses scanning dilakukan
selama 1 hari dengan menggunakan alat spectrum analyzer.
48
a. Pemantauan sinyal tower pemancar yang diterima di bawah tower pemancar
Gambar 36. Pemantauan kekuatan sinyal tower pemancar yang ada di bawah tower
b. Pemantauan sinyal tower pemancar yang diterima di dekat perangkat antenna
penerima sinyal GNSS CORS tangerang (CTGR) di atas bangunan STO telkom.
Gambar 37. Aktifitas pemantauan sinyal di atas bangunan STO telkom
49
Tahap 2: Perekaman sinyal tower pemancar dan sinyal GNSS
Pelaksanaan perekaman data sinyal baik yang berasal dari tower pemancar maupun
dari perangkat penerima sinyal GNSS CORS CTGR dilakukan pada periode tanggal
29 Januari s/d 2 Februari 2018, dengan waktu pengamatan dimulai pukul 09.00 sampai
dengan pukul 12.00 dan dilanjutkan kembali pada pukul 13.00 hingga pukul 14.00. Hasil
pengamatan dari sinyal elektromagnetik di lingkungan perangkat penerima CORS CTGR
direkam pada rentang frekuensi antara 175MHz s/d 2.7 GHz. Tujuan dari perekaman data
dari kedua sumber ini (sinyal dari tower pemancar dan sinyal GNSS yang diterima pada
perangkat penerima CORS CTGR) secara bersamaan waktu ini dengan harapan dapat
mengidentifikasi potensi interferensi maupun gangguan penerimaan sinyal GNSS terkait
sumber sinyal elektromagnetik yang berasal dari antenna stasiun pemancar.
a. Pemantauan sinyal tower pemancar dengan menggunakan perangkat sinyal hound
dan antenna directional.
Gambar 38. Set-up pelaksanaan pengukuran yang dilakukan di STO Lengkong BSD.
Gambar 39. Perekaman sinyal elektromagnetik yang diduga berpotensi mengganggu penerimaan
sinyal GNSS.
50
b. Perekaman sinyal GNSS pada perangkat penerima CORS CTGR milik BIG
Gambar 40. Set-up pelaksanaan pengukuran signal GNSS pada perangkat penerima CORS CTGR
yang dilakukan di STO Lengkong BSD.
Hasil pengolahan data CORS CTGR pada tanggal 29 Januari 2018 menggunakan perangkat
lunak RTKlib bisa dilihat pada gambar 41.
(a)
51
(b)
(c)
Gambar 41. Hasil olah data CORS CTGR
(a) Jumlah satelit tersedia dan nilai DOP (b) nilai SNR-Multipath-Elevation dari sinyal L1
(c) nilai SNR-Multipath-Elevation dari sinyal L2.
Tahap 3: Perekaman sinyal GNSS pada perangkat GT06:
Pelaksanaan perekaman sinyal GNSS pada perangkat GT06 dilakukan pada 2 lokasi
yaitu di titik kontrol horizontal dekat Gedung Teknologi 3 Puspiptek Serpong serta di lokasi
yang berdekatan dengan perangkat penerima sinyal GNSS CORS CTGR. Informasi posisi
dikirimkan dari kedua perangkat GT06 ke Virtual Private Server yang dikelola oleh PMI
BPPT melalui komunikasi TCP pada jaringan GPRS. Perekaman data dari kedua perangkat
GT06 ini diharapkan dapat menjadi pembanding apabila terjadi gangguan penerimaan
52
sinyal GNSS yang bukan disebabkan oleh faktor lingkungan tetapi misalnya disebabkan
oleh faktor alam atau faktor lainnya yang akan memiliki dampak yang relatif sama pada
setiap jenis penerima sinyal GNSS pada waktu tertentu.
a. Perekaman sinyal GNSS pada perangkat GT06 di Gedung Tekno 3 Puspiptek Serpong
Gambar 42. Perekaman sinyal GNSS pada perangkat GT06 di Puspiptek.
b. Pemantauan dan Perekaman sinyal GNSS pada perangkat portable GT06 (sebagai
referensi) yang diletakkan berdekatan dengan lokasi stasiun penerima CORS CTGR
Gambar 43. Setup perekaman sinyal GNSS pada perangkat portable GT06 yang diletakkan
berdekatan dengan lokasi stasiun penerima CORS CTGR.
53
Gambar 44. Lokasi dan arah potensi sumber sinyal pengganggu terhadap sinyal GNSS pada
perangkat GT06 di STO Lengkong
Tahap 4: Penambahan material absorber pada GT06 di STO Lengkong pada
arah kedatangan sinyal tower pemancar
Pelaksanaan penambahan material absorber pada perangkat penerima sinyal GNSS
GT06 di STO Lengkong bertujuan untuk mengurangi dampak gangguan yang mungkin
disebabkan oleh interferensi sinyal yang dipancarkan oleh antenna dari tower pemancar.
Diharapkan dengan menggunakan material absorber berhahan baku sekam padi+karbon
dan serbuk gergaji+karbon dapat mengurangi potensi gangguan sinyal elektromagnetik
pada frekuensi 900MHz dan 1800MHz dari sinyal GSM, tetapi diharapkan masih dapat
meneruskan gelombang sinyal L1 (1.5GHz) dan L2 (1.2GHz) dari sinyal satelit GNSS.
Gambar 45. Penambahan material absorber untuk mengurangi dampak potensi gangguan sinyal
elektromagnetik pada frekuensi 900MHz dan 1800MHz.
54
Tabel 4. Karakteristik material absorber untuk mengurangi dampak potensi gangguan sinyal
elektromagnetik pada frekuensi 900MHz dan 1800MHz.
Tahap 5: Analisis hasil perekaman data
a. analisis dari hasil penerimaan sinyal tower pemancar pada periode pemantauan
Pada saat awal persiapan pengujian dilakukan scanning (pemantauan) terhadap potensi
arah sumber sinyal elektromagnetik di sekitar lokasi stasiun penerima CORS CTGR. Seperti
telah digambarkan pada gambar 39 terdapat beberapa potensi sumber signal
elektromagnetik di sekitar lokasi stasiun penerima CORS CTGR. Dengan menggunakan
perangkat spectrum analyser dan Signal hound, maka dilakukan pemantauan dengan
mengarahkan antenna pari directional R&S ke arah barat, selatan, timur dan utara.
Berdasarkan data yang diperoleh dari perekaman pada perangkat spectrum analyzer signal
hound dan dengan memperhatikan lokasi potensi sumber sinyal pengganggu pada gambar
39, diperoleh hasil seperti bisa dilihat pada gambar 46.
55
Gambar 46. Perekaman data spectrum analyzer untuk mengukur potensi arah sumber sinyal
interferensi
Potensi gangguan dari arah selatan
Berdasarkan gambar 10 diatas terlihat bahwa sumber sinyal elektromagnetik yang
potensial berasal dari arah Selatan dari CORS CTGR dengan komposisi:
• 527.5MHz dengan kekuatan sinyal -35dBm
• 743.5MHz dengan kekuatan sinyal -41dBm
• 942.5MHz dengan kekuatan sinyal -37dBm
• 1838.5MHz dengan kekuatan sinyal -30dBm
• 2118.5MHz dengan kekuatan sinyal -33dBm
• 2326.5MHz dengan kekuatan sinyal -37dBm
Pada saat ini alokasi frekuensi yang digunakan operator telekomunikasi terdapat pada
beberapa rentang frekuensi, diantaranya adalah:
• frekuensi 800 MHz dengan lebar pita 7,5 MHz
• frekuensi 900 MHz dengan lebar pita 7,5 MHz
• frekuensi 1,8 GHz dengan lebar pita 22,5 MHz
• frekuensi 2,1 GHz dengan lebar pita 15 MHz
• frekuensi 2,3 GHz dengan lebar pita 30 MHZ
Sedangkan frekuensi lainnya berasal dari beberapa stasiun telekomunikasi ataupun dari
stasiun penyiaran TV digital, TV UHF ataupun layanan komunikasi bergerak lainnya,
sebagaimana dialokasikan di Indonesia seperti dibawah ini:
• Pita frekuensi 700MHz digunakan untuk analog TV.broadcast
• Pita Frekuensi 850 MHz digunakan untuk layanan FWA CDMA
• frekuensi 900 MHz digunakan untuk layanan GSM 2G.
56
• frekuensi 1800 MHz untuk layanan GSM 2G dengan 5 operator yang beroperasi
dengan lebar pita seluruhnya adalah 75 MHz.
• frekuensi 2100 MHz. digunakan untuk layanan UMTS 5 operator yang
menggunakan lebar pita 60 MHz. ( 12 blok ) frekuensi dengan lebar pita 5 MHz
• Frekuensi Radio 2.3 GHz ditetapkan bahwa pita ini menggunakan tegnologi
moda TDD (Time Division Duplex)
Potensi gangguan dari arah timur
Berdasarkan gambar 10, pada arah timur dari perangkat penerima CORS CTGR diperoleh
pula sinyal elektromagnetik yang cukup besar pada rentang-rentang frekuensi yang hampir
sama dengan dari arah selatan.. Hal ini kemungkinan disebabkan dengan adanya menara
pemancar lain di sebelah sisi timur dari lokasi CORS CTGR seperti digambarkan pada gambar
8.
Secara garis besar table dibawah ini memberikan ilustrasi kekuatan sinyal dari masing-
masing arah pengujian.
Berdasarkan table di atas, maka potensi sumber sinyal pengganggu penerimaan signal
GNSS pada CORS CTGR adalah dari arah selatan dengan kekuatan sinyal mencapai -28.7867
dBm dengan polarisasi horizontal serta -32.1074 dBm pada polarisasi vertical. Sedangkan
dari arah timur terdapat sumber sinyal dengan maksimum kekuatan sinyal mencapai -
31.2813 dBm pada polarisasi horizontal serta -29.3692dBm pada polarisasi vertical. Sumber-
sumber sinyal yang potensi menjadi pengganggu GNSS tidak berada pada frekuensi utama
dari signal GNSS tetapi memungkinkan atau berpotensi mengganggu . Alokasi frekuensi
sinyal GNSS digambarkan pada gambar dibawah ini.
57
sumber: http://www.gpsworld.com/wp-content/uploads/2013/03/SignalSpectrumGNSSDT-W.jpg
Gambar 47. Alokasi spectrum signal GNSS
Meskipun sumber sinyal di sekitar CORS CTGR tidak in-band dari sinyal GNSS tetapi
seperti misalnya sinyal GPS L1 yang berada pada frekuensi 1575.42 MHz, maka sumber
sinyal pada frekuensi 787.71MHz dapat mengganggu apabila memiliki 2nd harmonisa pada
2*787.71 MHz tepat di center dari frekuensi L1 GPS. Sehingga sinyal 743.5MHz pada gambar
10 dapat berpotensi menjadi pengganggu bila memiliki 2nd harmonisa sinyal. Demikian juga
sinyal pada rentang frekuensi 615MHz dapat berpotensi mengganggu L2 GPS bila memiliki
2nd harmonisa.
Pada gambar berikut terlihat bahwa frekuensi spectrum dari sumber sinyal yang
berpotensi mengganggu signal GNSS terkait lower band dari L-band adalah frekuensi 925
MHz dengan nilai -35.40 dBm dan 1069.5 MHz dengan nilai -56 dBm sedangkan pada higher
band dari L-band adalah frekuensi 1825.5 MHz dengan nilai -30dBm. Sehingga secara garis
besar terlihat bahwa penerimaan sinyal GNSS dari CORS CTGR relative aman dari gangguan
apabila perangkat-perangkat sumber sinyal tersebut beroperasi secara normal. Sumber
signal di sekitar CORS CTGR berpotensi mengganggu penerimaan sinyal GNSS seperti
gambar dapat dilihat pada gambar 48.
58
sumber: http://gpsworld.com/expert-advice-the-impact-of-rfi-on-gnss-receivers/
Gambar 48. Akuisisi sinyal GPS L1 C/A pada (a) lingkungan yang bebas dari sinyal interferensi
dibandingkan dengan lingkungan yang memiliki potensial gangguan sinyal
elektromagnetik (b) –140 dBW pada band Continuous Wave Interference (CWI); (c) –
135 DBW pada band CWI; (d) –130 dBW pada band Digital Wave Interference (DWI)
Kehadiran dari interferensi signal kemungkinan tidak sampai mengganggu terlalu besar
pada nilai SNR, karena SNR merupakan rasio dari daya signal yang diterima dibandingkan
dengan thermal noise yang tidak berubah apabila ada interferensi. Meskipun demikian
dengan masuknya sinyal interferensi pada saat tracking (output dari korelator) kemungkinan
akan terdapat penurunan nilai SNR yang disebabkan oleh (non-thermal) noise yang
ditimbulkan oleh sinyal interferensi tersebut.
Gambar 49.Alokasi frekuensi dan Bandwidths GNSS
59
Disebutkan pula bahwa interferensi dapat menyebabkan gangguan pada perangkat penerima
GNSS dalam bentuk:
1. Loss of receiver tracking: bila sinyal interferensi cukup kuat untuk menggagalkan
proses tracking dari semua satelit signal
2. Menurunkan kekuatan sinyal yang diterima: nilai SNR (C/NO) menurun diakibatkan
dengan adanya Radio Frequency Interference (RFI)
3. Meningkatkan noise pada pengukuran pseudo range dan pada pengukuran fase
Selain mengamati potensi gangguan terkait alokasi spectrum frekuensi sumber
elektromagnetik di sekitar lokasi CORS CTGR yang terlihat berdasarkan gambar-gambar
perekaman dari sinyal elektromagnetik dengan menggunakan signal hound, akan dilakukan
pula metode pemantauan perbandingan antara kualitas sinyal yang direkam oleh CORS CTGR
secara kontinu dengan periode perekaman per 1 detik selama masa pemantauan dengan
aktivitas sumber sinyal di sekitar CORS CTGR untuk melihat apakah ada korelasi antara sudut
arah kedatangan sinyal yang berpotensi mengganggu penerimaan sinyal GNSS dengan
kualitas penerimaan sinyal GNSS pada CORS CTGR.
Gambar 50. Perekaman data signal elektromagnetik pada perangkat penerima Signal Hound tanggal
30 Januari 2018
60
Gambar 51. Perekaman data signal elektromagnetik MaxHold pada perangkat penerima Signal
Hound 30/10/2018
61
Gambar 52. Perekaman data signal elektromagnetik MaxHold pada perangkat penerima Signal
Hound 30/10/2018 s/d 2/2/2018
b. analisis dari hasil penerimaan sinyal GNSS pada perangkat CORS CTGR pada periode
pemantauan.
Sehubungan dengan lebih dominannya potensi sinyal elektromagnetik dari arah sisi
selatan dari letak CORS CTGR, maka dilakukan pemantauan selama periode pengujian
dengan mengarahkan antenna pari R&S ke arah selatan (arah menara pemancar). Dalam
rangka mengamati potensi gangguan terkait alokasi spectrum frekuensi sumber
elektromagnetik di sekitar lokasi CORS CTGR yang terlihat berdasarkan gambar-gambar
perekaman dari sinyal elektromagnetik dengan menggunakan signal hound, akan dilakukan
pula metode pemantauan perbandingan antara kualitas sinyal yang direkam oleh CORS CTGR
secara kontinu dengan periode perekaman per 1 detik selama masa pemantauan dengan
aktivitas sumber sinyal di sekitar CORS CTGR untuk melihat apakah ada korelasi antara sudut
arah kedatangan sinyal yang berpotensi mengganggu penerimaan sinyal GNSS dengan
kualitas penerimaan sinyal GNSS pada CORS CTGR.
62
Gambar 53. Sudut elevasi dan azimuth dari antenna pada tower pemancar di STO Lengkong relative
terhadap posisi antenna penerima CORS CTGR.
Pada gambar 53 terlihat bahwa antenna pemancara terletak pada azimuth antara 144˚
sampai dengan 153˚ dan elevasi sekitar 52.49˚. Berdasarkan data tersebut, maka dicoba
untuk melakukan pengamatan kualitas signal GNSS yang diterima CORS CTGR pada sudut
azimuth dan elevasi yang berdekatan dengan sudut azimuth serta elevasi tersebut. Data
rekaman diterima dari BIG mulai periode 29/01/2018 sampai dengan 02/02/2018 dengan
interval perekaman setiap 1 detik.
63
Perekaman data tanggal 29/01/2018:
Gambar 54. Perekaman data tanggal 29 Januari 2018
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengamatan yang sudah dilakukan maka ada potensi sumber
gangguan Radio frekuensi Interferensi sinyal penerima GNSS L1 pada arah sebelah selatan
dari stasiun CORS CTGR yang direkam pada tnaggal 30 Januari 2018. Gangguan penerimaan
sinyal GPS L1 akan terjadi pada gelombang GSM 700 MHz harmonisasi kedua dan gelombang
GSM 500 MHz harmonisasi ketiga. Berdasarkan data yang diperoleh dari eprekaman sinyal
GNSS di stasiun CORS CTGR tanggal 29 Januari 2018 diperoleh indikasi bahwa DOP dari
sinyal GNSS paling tinggi terjadi sekitar pukul 14.32.26 sampai dengan 14.32.27 dimana
perolehan jumlah satelit minimal hanya sejumlah 7 satelit. Gambar 55 menjelaskan daftar
satelit yang dapat diterima pada saat distribusi tersebut.
Gambar 55. Jumlah penerimaan satelit
64
Dimana satelit pada kuadran kedua yang terletak pada azimuth antara 90˚ hingga 180˚
(arah antenna pada pemancar) tidak dapat diperoleh pada saat tersebut.
Melihat potensi gangguan ini ada dan kemungkinan bisa mengganggu penerimaan data
satelit GNSS maka perlu kehati-hatian pada proses pembangunan stasiun CORS. Peletakan
antenna CORS harus memperhatikan potensi gangguan radio frekuensi yang ada dengan
memilih lokasi yang seminimal mungkin bebas dari Radio Frequency Interference (RFI).
Hindari Obstruksi (halangan) di atas garis horisontal 10° dari antenna penerima. Keamanan
stasiun CORS dari RFI sangat penting untuk menghasilkan data sinyal dengan kualitas yang
baik. Kualitas sinyal berperan penting untuk menghasilkan posisi teliti koordinat stasiun
CORS tersebut.
Sehingga dalam perencanaan penempatan stasiun CORS harus memperhatikan potensi
gangguan interferensi. Tahapan-tahapan yang disarankan untuk mengecek potensi
gangguan interferensi gelombang disekitar stasiun CORS antara lain:
1. identifikasi sumber potensi gangguan Radio Frekuensi di sekitar area usulan
penempatan stasiun CORS, identifikasi dilakukan khususnya mengecek rentang
frekeunsi yang ada dan tipe interferensi di sekitar stasiun CORS.
2. Lakukan simulasi sebaran sumber potensi gangguan RF untuk mendapatkan arah
radiasi dan kekuatan sumber potensi gangguan RF.
3. Lakukan scanning sinyal potensi gangguan Rfdi sekitar lokasi antenna receiver
GNSS untuk mendapatkan spektrum frekuensi dari sumber potensi interferensi RF.
4. Lakukan perekaman data satelit GNSS dan analisis untuk menganalisisi
kemungkinan distorsi pada data GNSS khususunya untuk sinyal dari satelit ke arah
sumber potensi RFI.
Apabila terpaksa penempatan CORS berada di daerah dengan cakupan RFI, maka bias
dipasangkan perangkat tambahan berupa alat antenuator yang bisa untuk menguatkan
sinyal GNSS yang diterima. Tak hanya itu, antenna yang digunakan sebagai stasiun CORS
harus dipilih dengan spesifikasi mampu meredam gangguan dan noise sebaik mungkin.
65
LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN KERJA SAMA ANTARA
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN PT. ZITECH ASIA
ANALISIS PENENTUAN KOORDINAT DEFINITIF NAVE MENGGUNAKAN
SOFTWARE ILMIAH GAMIT10.7
Kelompok Penelitian Jaring Kontrol Geodesi
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama
Badan Informasi Geospasial
Ayu Nur Safi’I, S.T.
Agung Syetiawan, S.T.
Dadan Ramdani, S.T., M.T.
66
BIG melakukan kerjasama dengan PT. Zi-Techasia di tahun 2018 untuk melakukan
kegiatan penelitian mengenai penggunaan CORS di BIG dengan kemajuan satelit GPS
yang dikembangkan oleh Jepang, yaitu satelit QZSS. Harapan dari penelitian ini adalah
adanya pemnfaatan perangkat produk PT. Zi-Techasia untuk menunjang percepatan
pemetaan skala besar dan mendukung pengelolaan Jaring Kontrol Geodesi Nasional.
Dalam penelitian ini, metode pengukuran GPS yang digunakan adalah metode pengukuran
statik dengan alat ukur GPS Dual Frekuensi. Software yang digunakan untuk pengolahan
data GPS adalah Scientific Software GAMIT. Hasil pengolahan data adalah terbentuknya
koordinat base station/CORS dengan ketelitian tinggi. Koordinat definitif base ini nantinya
akan digunakan sebagai titik ikat dalam pengukuran di lapangan yang dilakukan secara
statik maupun radial, sehingga dapat diketahui bagaimana hasil ketelitian pengukuran
yang mengggunakan alat ukur GPS Dual Frequensi produksi PT. Zi-Techasia.
Kata Kunci : GPS, GAMIT
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama adalah pusat yang bertugas melakukan
berbagai kegiatan kerjasama dengan pihak luar di bawah kepengurusan Sekretaris Utama
Badan Informasi Geospasial. Salah satu tuganya adalah dengan mengadakan penelitian dan
kerjasama dengan PT. Zi-Techasia. Perjanjian kerjasama yang dilakukan antara BIG dengan
PT.Zi-Techasia adalah melakukan kajian kemampuan, fungsi dan integrasi peralatan ukur
berbasis sistem satelit navigasi global untuk menguji kemampuan dan kemanfaatannya.
Ruang lingkup yang ingin dicapai dalam bentuk kerjasama ini adalah sebagai berikut :
a. Kajian kemampuan dan integrasi Antenna GNSS, Model 3G + C dan Open Source
Receiver dari NavXperience, Germany, dalam mengakses Satelit Navigasi Global
Beidou, GPS, GLONASS dan Galileo
b. Kajian kemampuan dan integrasi Perangkat Lunak GNSMART dari Geo++, Germany
untuk pengoperasian Jaring Kontrol Geodesi (CORS), dalam kaitannya untuk studi
Geodinamika dan Meteorologi.
c. Kajian analisis optimalisasi penggunaan network RTK
d. Penelitian Pemanfaatan teknologi satelit QZSS Jepang untuk mendukung Pemetaan
Skala Besar di Indonesia
Dalam menunjang empat point kegiatan yang ingin dicapai adalah dengan mencoba
melakukan pengukuran GPS Geodetik untuk mendapatkan nilai koordinat titik sampel (NAVE)
yang diolah menggunakan software scientific dengan harapan titik yang telah diolah nantinya
memiliki tingkat keakurasian dan ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan software
pengolah data yang komersil.
67
I.2 MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui koordinat definitif hasil pengolahan data
GPS yang menggunakan Scientific Software GAMIT pada pengamatan GPS menggunakan
metode statik.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk koordinat definitif beserta simpangan baku hasil
pengolahan GPS menggunakan Scientific Software GAMIT.
I.3 PERUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian tugas akhir ini adalah :
1). Bagaimana nilai koordinat definitif dari titik NAVE yang diukur di BIG dari
tanggal 10-19 Januari 2018?
2). Bagaimana ketelitian dari koordinat definitif yang dihasilkan dari pengolahan
software GAMIT?
I.4 BATASAN MASALAH
Dalam penulisan penelitian ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut :
1). Daerah penelitian di Gedung Q Lantai 2, Badan Informasi Geospasial.
2). Pengumpulan data menggunakan GPS Geodetik NAVE yang dipasang di BIG
dan menggunakan metode statik.
3). Pengolahan data pengamatan GPS menggunakan Scientific Software GAMIT
sehingga dihasilkan koordinat titik pengamatan dan simpangan bakunya.
4). Penelitian berfokus pada penentuan koordinat definitif tanggal 10-19 Januari
2018.
II.1. TINJAUAN PUSTAKA
BAB 1 GPS (Global Positioning System)
GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang
dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan
kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia
tanpa bergantung waktu dan cuaca, dan bagi banyak orang secara simultan. Saat ini GPS
sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi yang
menuntut informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan ataupun waktu yang teliti. GPS
dapat memberikan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi dari beberapa millimeter
(orde nol) sampai dengan puluhan meter.
Beberapa kemampuan GPS antara lain dapat memberikan informasi tentang posisi,
kecepatan, dan waktu secara cepat, akurat, murah, dimana saja di bumi ini tanpa tergantung
cuaca. Hal yang perlu dicatat bahwa GPS adalah satu-satunya sistem navigasi ataupun
sistem penentuan posisi dalam beberapa abad ini yang memiliki kemampuan handal seperti
itu (Abidin, 2007). Ketelitian dari GPS dapat mencapai beberapa mm untuk ketelitian
posisinya, beberapa cm/s untuk ketelitian kecepatannya dan beberapa nanodetik untuk
ketelitian waktunya. Ketelitian posisi yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor
68
yaitu metode penentuan posisi, geometri satelit, tingkat ketelitian data, dan metode
pengolahan datanya.
Prinsip penentuan posisi dengan GPS yaitu menggunakan metode reseksi jarak, dimana
pengukuran jarak dilakukan secara simultan ke beberapa satelit yang telah diketahui
koordinatnya. Pada pengukuran GPS, setiap epoknya memiliki empat parameter yang harus
ditentukan : yaitu 3 parameter koordinat X,Y,Z atau L,B,h dan satu parameter kesalahan
waktu akibat ketidaksinkronan jam osilator di satelit dengan jam di receiver GPS. Oleh
karena diperlukan minimal pengukuran jarak ke empat satelit.
Ada tiga macam tipe alat GPS, dengan masing-masing memberikan tingkat ketelitian
(posisi) yang berbeda-beda. Tipe alat GPS pertama adalah tipe Navigasi (Handheld, Handy
GPS). Tipe nagivasi memiliki ketelitian posisi yang diberikan saat ini baru dapat mencapai
tiga sampai enam meter. Tipe alat yang kedua adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe
pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan yang membutuhkan ketelitian
posisi sekitar centimeter sampai dengan beberapa desimeter. Tipe terakhir adalah tipe
Geodetik dual frekuensi yang dapat memberikan ketelitian posisi hingga mencapai milimeter.
Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaring titik
kontrol, survey deformasi, dan geodinamika.
Metode penentuan posisi dengan GPS pertama-tama terbagi dua, yaitu metoda absolut
dan metoda diferensial. Masing-masing metode kemudian dapat dilakukan dengan cara real
time dan atau post-processing. Apabila obyek yang ditentukan posisinya diam maka
metodenya disebut metode statik. Sebaliknya apabila obyek yang ditentukan posisinya
bergerak, maka metodenya disebut kinematik. Selanjutnya lebih detail lagi akan
menemukan metoda-metoda seperti DGPS, RTK, Survei GPS, Rapid statik, pseudo kinematik,
dan stop and go, serta masih ada beberapa metode lainnya.
GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi yang paling populer dan
paling banyak diaplikasikan di dunia pada saat ini, baik di darat, laut, udara, maupun
angkasa. Disamping aplikasi-aplikasi militer, bidang-bidang aplikasi GPS yang cukup marak
saat ini antara lain meliputi survei pemetaan, geodinamika, geodesi, geologi, geofisik,
transportasi dan navigasi, pemantauan deformasi, pertanian, kehutanan, dan bahkan juga
bidang olahraga dan rekreasi. Di Indonesia sendiri penggunaan GPS sudah dimulai sejak
beberapa tahun yang lalu dan terus berkembang sampai saat ini baik dalam volume maupun
jenis aplikasinya.
BAB 2 GAMIT/ GLOBK
GAMIT ( GPS Analysis Package Developed at MIT) adalah sebuah paket perangkat lunak
ilmiah yang digunakan untuk pengolahan data pengamatan GPS yang dikembangkan oleh
MIT (Massachusetts Institute of Techology) dan SIO (Scripps Institution of Oceanography).
Perangkat lunak ini dapat menghasilkan posisi relative tiga dimensi dari pengamat dengan
ketelitian tinggi.
69
GLOBK adalah satu paket program yang dapat mengkombinasikan data survey terestris
ataupun data survey ekstra terestris. Kunci dari data input pada GLOBK adalah matriks
kovarian dari koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit dan koordinat hasil
pengamatan lapangan.
III.1 METODE PELAKSANAAN PENELITIAN
1) Persiapan
Tahap awal penelitian ini adalah :
a. Studi literatur mengenai semua informasi yang terkait penyusunan penelitian.
b. Persiapan peralatan baik hardware maupun software.
c. Pengadaan data dengan melakukan pengukuran titik kontrol horizontal GPS Dual
Frekuensi NAVE dari tanggal 10-19 Januari 2018.
d. Melakukan proses pengolahan data menggunakan Scientific Software GAMIT
2) Lokasi
Lokasi Penelitian dilakukan di Gedung Q, Badan Informasi Geospasial.
3) Alat dan Bahan
Alat
1) Laptop Aser seri E1-470G
2) GPS Dual Frekuensi
3) Scientific Software GAMIT.
Bahan
1) Data Pengukuran GPS Dual Frekuensi dari tanggal 10-19 Januari 2018.
4) Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
N
o Tahap Penelitian
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
2 Studi Literatur
3 Pengukuran GPS
4 Pengolahan Data
5 Laporan
70
5) Diagram Alir Penelitian
Diagram alir proses pengolahan data pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar
56.
Gambar 56. Diagram Alir Penelitian
71
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Baseline
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat akurasi titik pengamatan hasil
pengolahan menggunakan perangkat lunak GAMIT. Untuk penentuan Baselinenya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 18. Penentuan Baseline
Titik yang diukur IGS yang Digunakan
NAVE
BAKO
COCO
DARW
GUAM
IISC
NTUS
PIMO
Pembuatan Project Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakansuatu project (pembuatan folderisasi pengolahan data) . Hasil
yang diperoleh dari project nantinya dianalisis ketelitian titiknya. Konfigurasi project yang
digunakan tersebut adalah :
/NAVE
/brdc /igs /rinex /tables /met /ion
Gambar 57. Pembuatan Project Pengolahan Data /NAVE
/NAV2
/brdc /igs /rinex /tables /met /ion
Gambar 58. Pembuatan Project Pengolahan Data /NAVE
Pengolahan Data GPS
Data pengamatan yang akan diolah dengan GAMIT, sebaiknya dilakukan cek kualitas
menggunakan TEQC. Pengecekan data dilakukan untuk mengetahui waktu mulai dan
72
berakhirnya sebuah pengamatan, nilai multipath yang terjadi, interval perekaman, total
satelit, dan informasi lainnya yang mana dapat menggunakan software TEQC.
Perintah dasar untuk mengetahui kualitas data (lite quality check) terhadap file observasi
adalah:
teqc +qc <observation file >
Dalam pekerjaan ini contoh perintahnya adalah sebagai berikut :
teqc +qc navx0010.18o
Hasil Teqc dari masing-masing DOY adalah sebagai berikut :
1. DOY 010
73
2. DOY 011
2. DOY 012
74
3. DOY 013
4. DOY 014
75
5. DOY 015
6. DOY 016
76
7. DOY 017
8. DOY 018
77
9. DOY 019
Rekap Hasil TEQC dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 19. Rekap TEQC Rinex Data NAVE
No DOY Mp1 Mp2
1 010 0.126119 0.154812
2 011 0.094590 0.120595
3 012 0.097903 0.130869
4 013 0.098403 0.129616
5 014 0.110384 0.134290
6 015 0.105954 0.142089
7 016 0.114872 0.145129
8 017 0.105939 0.133885
9 018 0.121603 0.131716
10 019 0.096195 0.125117
Setelah melakukan pengecekan terhadap raw data pengukuran GPS, maka
dilanjutkan dengan proses Editing data untuk proses di sh_gamit. Editing data
dilakukan pada folder /tables. Proses ini dilakukan dengan mengedit file lfile,
station.info, sestbl., process.default, sittbl., dan sites.default pada masing – masing
project. Berikut beberapa hal yang menjadi perhatian dari proses editing adalah :
1). Sestbl
78
File sestbl merupakan file skenario yang digunakan untuk pengolahan. Editing file
sestbl. ini dengan mengubah cut of elevation : 10 dan cut of elevation : 0. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui hasil pengolahan apakah berbeda jauh atau tidak
nilai koordinatnya.
2). Station.info
Editing station info dapat dilakukan secara manual maupun otomatis dengan
perintah. Editing manual dilakukan berdasarkan informasi kondisi pengukuran
yang ada pada file rinex *.YYo. Perintah ini dijalankan pada folder/tables. Apabila
terdapat masalah pada proses updating station.info, maka perlu pengecekan yang
bisa dilakukan dengan melihat file hi.dat yang ada di folder~/gg/tables. Perlu
menjadi perhatian juga mengenai tinggi antena harus diinputkan secara manual
ke dalam station.info.
Setelah tahapan persiapan, input data dan editing data selesai dilakukan, langkah
selanjutnya adalah melakukan perhitungan dengan GAMIT.
Perlu menjadi perhatian juga sebelum running sh_gamit, perhatikan rinex data
pengamatan haruslah sama penamaan nama file rinex dengan yang berada di
station.info agar menghindari terjadinya fatal error pada saat proses pengolahan
data menggunakan GAMIT.
Setelah pengecekan yang dilakukan dirasa sudah sesuai semua, dapat dilakukan
proses perhitungan menggunakan GAMIT. Proses hitungan ini dapat
menggunakan perintah :
sh_gamit –s 2018 010 019 -expt nave -pres ELEV –met -ion -orbit IGSF -
copt x k p -dopts c -ao --> untuk cut of elevation : 0
sh_gamit –s 2018 010 019 -expt navx -pres ELEV –met -ion -orbit IGSF -
copt x k p -dopts c -ao --> untuk cut of elevation : 10
Hasil dari pengolahan data dengan GAMIT salah satunya berupa h-files dengan nilai
postfit, prefit, dan fract. Format nama h-files ini untuk seri “a” adalah
h<nama_project>a.<doy> misalnya hnavea.18010. Sebelum ke tahapan selanjutnya,
perlu dilakukan cek kualitas hasil hitungan GAMIT dengan melihat nilai postfit, prefit, dan
fractnya. Nilai postfit dan prefit nrms tidak boleh melebihi 0,5 dan nilai fract nya < 10
(Introduction GAMIT 10.04, 2011).
Selain itu, menurut Petunjuk Teknis Pengolahan Data PJKGG, selain mengecek tiga
komponen itu, harus juga dicek apakah terjadi fatal error, bagaimana ambiguity fase yang
dihasilka. Dari pengolahan folder /NAVE maupun /NAV2 semua kriteria lolosnya
pengolahan GAMIT sudah terpenuhi. Hal ini dapat dilihat pada lampiran folder /summary
dari tiap-tiap project.
Hasilnya dapat dilihat bahwa nilai posftit dan prefit nrms tidak boleh melebihi 0,5 untuk
semua Doy. Dan nilai fract-nya kurang dari 10. Hal ini menunjukkan hasil pengolahan data
dengan GAMIT diterima dan dapat dilakukan proses perhitungan dengan GLOBK.
Dalam pengolahan menggunakan GAMIT, dihasilkan pula skyplot dan phase residual vs
elevation angle satelit saat pengukuran. Contoh skyplot pada Gambar 4 sedangkan phase
residual vs elevation angle ada pada Gambar 5. Kedua gambar ini bisa dilihat pada folder
/figs yang berisi gambar plot skyplot dan phase residual vs elevation angle semua titik
79
pada semua DOY dalam format *.png. Pada Gambar xx dapat dilihat bahwa NAVE pada
DOY 011 menerima sinyal satelit dengan noise yang seperti ditampilkan pada gambar.
Banyak sedikitnya noise yang ada pada waktu pengukuran mempengaruhi kualitas data
pengamatan dan hasil hitungan nanti. Data lengkap untuk semua titik pengamatan dapat
dilihat pada folder /figs masing-masing project (/NAVE dan /NAV2).
Gambar 59. Skyplot Pengamatan NAVE DOY 011
Gambar 60. Phase Residual Vs Elevation Angle
80
Pengolahan Menggunakan GLOBK
Sebelum melakukan perhitungan menggunakan GLOBK perlu dilakukan persiapan
directory kerja. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membuat folder
/glbf. Folder /glbf berisi h-files global hasil olah global di processing PJKGG dan folder
/hgamit berisi data h-files hasil pengolahan GAMIT. H-files dari hasil pengolahan dengan
GAMIT berupa file ASCII. Tetapi untuk melakukan perhitungan dengan GLOBK, h-file
tersebut harus berupa data biner. Untuk itu perlu dilakukan konversi ke data biner. Cara
konversi data dilakukan dengan perintah sebagai berikut :
htoglb <directory output><ephemeris file ><inputfile >
Perintah dalam perkerjaan ini adalah
Htoglb ../glbf svt ../0??/h*a.*
Perintah ini dilakukan pada directory project, yaitu /NAVE dan /NAV2, /hgamit untuk
konversi /h-files hasil pengolahan GAMIT dan h-files untuk konversi data h-files global.
Hasil dari konversi ini adalah file *.glr dan *.glx pada folder /glbf. File *.glr merupakan
resolusi ambiguitas fase free dan file *.glx merupakan resolusi ambiguitas fase fix.
Pengolahan data dengan GLOBK dapat dilakukan dengan perintah glorg_com.cmd dan
globk_comb.cmd. Perintah ini dapat dicopy dari ~/gg/tables ke folder /gsoln dan dapat
dijalankan dengan dua cara, yaitu dengan melakukan kedua proses tersebut atau dengan
melakukan perintah globk_comb.cmd dan mengaktifkan glred secara otomatis.
Selain itu, sebelum menjalankan GLOBK, cek dulu apakah file svnav.dat, pmu.usno sudah
berada di direktori folder /glbf dan /tables. File-file di /tables harus terus diperhatikan
keupdate-annya dengan cara mengecek di http:everest.mit.edu/pub/tables. Selesai
melakukan pengecekan dapat dijalankan GLOBK pada folder project (/NAVE dan /NAV2).
Perintah yang digunakan adalah sebagai berikut :
Sh_combine -s <yr d1 yr d2> -ncomb 1 >> untuk mendapatkan koordinat harian.
Sh_combine -s <yr d1 yr d2> -ncomb 9 >> untuk mendapatkan satu koordinat rata-rata
dari 9 DOY pengukuran GPS.
Dari perintah tsb akan dihasilkan file .org di folder /gsoln untuk masing-masing DOY. File
ini berisikan hasil koordinat definitif pengolahan GAMIT/GLOBK beserta simpangan
bakunya. Tabel di bawah ini menggambarkan hasil pengolahan koordinat definitif pada
tabel 3 dan tabel 4.
Tabel 20. Koordinat Definitif NAVE X,Y,Z beserta simpangan bakunya
No DOY X (m) Y (m) Z (m) Std X
(m)
Std Y
(m)
Std Z
(m)
1 010 -1836970.30553 6065634.86530 -716187.50143 0.00551 0.01047 0.00348
2 011 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00526 0.01029 0.00346
3 012 -1836970.30764 6065634.86452 -716187.50533 0.00531 0.01060 0.00359
4 013 -1836970.31045 6065634.86653 -716187.50527 0.00587 0.01162 0.00398
5 014 -1836970.30409 6065634.86777 -716187.50698 0.00565 0.01087 0.00366
81
No DOY X (m) Y (m) Z (m) Std X
(m)
Std Y
(m)
Std Z
(m)
6 015 -1836970.30244 6065634.90185 -716187.51432 0.01110 0.03550 0.00972
7 016 -1836970.30374 6065634.72835 -716187.48207 0.00546 0.01029 0.00360
8 017 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00487 0.01019 0.00336
9 018 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00529 0.01050 0.00380
10 019 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00530 0.01034 0.00373
Tabel 21. Koordinat Definitif NAV2 X,Y,Z beserta simpangan bakunya
No DOY X (m) Y (m) Z (m) Std X
(m)
Std Y
(m)
Std Z
(m)
1 010 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00515 0.00959 0.00326
2 011 -1836970.30248 6065634.86918 -716187.50195 0.00459 0.00835 0.00306
3 012 -1836970.30745 6065634.86516 -716187.50515 0.00465 0.00854 0.00318
4 013 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00506 0.00931 0.00348
5 014 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00497 0.00887 0.00324
6 015 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.51414 0.00786 0.02513 0.00692
7 016 -1836970.30359 6065634.86664 -716187.50035 0.00478 0.00834 0.00319
8 017 -1836970.30432 6065634.86231 -716187.50359 0.00404 0.00811 0.00290
9 018 -1836970.29925 6065634.85703 -716187.50072 0.00453 0.00850 0.00337
10 019 -1836970.28899 6065634.72835 -716187.48207 0.00464 0.00851 0.00333
Selain itu, time series pengolahan juga dapat kita pada Gambar 6 dan Gambar 7 di bawah
ini.
82
Gambar 61. Time series NAVE
83
Gambar 62. Time Series NAV2