LAPORAN AKHIR SURVEI IPM PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN
`
i
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 7
BAB 2 KERANGKA TEORI .................................................................................................. 8
A. Profesionalisme .................................................................................................................. 8
B. Persepsi Masyarakat ......................................................................................................... 13
C. Operasionalisasi Konsep ................................................................................................... 16
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian ............................................................................................................. 19
B. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................................ 19
C. Populasi dan Sampel ......................................................................................................... 20
D. Teknik Penarikan Sampel ................................................................................................. 21
E. Teknik Analisis Data ......................................................................................................... 21
F. Uji Validitas dan Reliabilitas ............................................................................................ 23
BAB 4 ANALISIS HASIL .................................................................................................... 28
A. Analisis Hasil Survei Persepsi Masyarakat terhadap Profesionalitas ASN ...................... 28
B. Strategi Untuk Meningkatkan Profesionalitas dan Rebranding ASN ............................... 51
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 58
REFERENSI .......................................................................................................................... 59
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dimensi, Nilai, dan Aspek dari Profesionalisme Aparatur Negara ……... 10
Tabel 2.2. Operasionalisasi Konsep ………………………………………………... 16
Tabel 3.1. Jumlah Sampel Per Provinsi …………………………………………….. 21
Tabel 3.2. Nilai Indeks Persepsi Profesionalitas ASN ……………………………... 22
Tabel 3.3. Item Pernyataan yang Diuji ……………………………………………... 24
Tabel 3.4. Hasil Nilai r Hitung Dimensi Pengetahuan ……………………………... 25
Tabel 3.5. Hasil Nilai r Hitung Dimensi Keterampilan …………………………….. 26
Tabel 3.6. Hasil Nilai r Hitung Dimensi Sikap …………………………………….. 26
Tabel 3.7. Nilai Cronbach’s Alpha ……………………………………………….... 27
Tabel 4.1. Indeks Persepsi Masyarakat Mengenai Profesionalitas ASN …………... 50
Tabel 4.2. Indeks Persepsi Masyarakat Mengenai Profesionalisme ASN Per
Wilayah …………………………………………………………………. 50
iii
DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK
Gambar 1.1 Komparasi Indeks Efektivitas Pemerintahan …………………………….. 2
Gambar 1.2 Komparasi Indeks Birokrasi Pemerintah yang Inefisien …………………. 3
Gambar 1.3 Tren Jumlah ASN ………………………………………………………… 4
Gambar 1.4 Tren Realisasi Belanja Pegawai ………………………………………….. 4
Gambar 1.5 Pelayanan Publik pada Zona Hijau Tahun 2018 …………………………. 5
Gambar 1.6 Komposisi ASN ………………………………………………………….. 6
Grafik 4.1. Domisili Responden ………………………………………………………. 28
Grafik 4.2. Jenis Kelamin Responden …………………………………………………. 29
Grafik 4.3 Usia Responden ……………………………………………………………. 29
Grafik 4.4 Pendidikan Terakhir Responden …………………………………………… 30
Grafik 4.5 Pekerjaan Responden ………………………………………………………. 31
Grafik 4.6. Pemahaman Responden tentang ASN …………………………………….. 32
Grafik 4.7 Penerimaan Informasi tentang ASN ……………………………………….. 33
Grafik 4.8 Jenis Berita yang Paling Sering Didapatkan Responden tentang ASN ……. 33
Grafik 4.9 Kepercayaan Responden terhadap ASN setelah Mendapatkan Berita
tentang ASN ………………………………………………………………... 34
Grafik 4.10. Pernah/Tidaknya Responden Melihat Iklan/Kampanye mengenai ASN ... 35
Grafik 4.11 Cerminan ASN pada Iklan/Kampanye …………………………………… 35
Grafik 4.12 Media yang Paling Sering Digunakan/Diakses …………………………... 36
Grafik 4.13 Pernah/Tidaknya Responden Berinteraksi dengan ASN …………………. 37
Grafik 4.14 Frekuensi Interaksi Responden dengan ASN …………………………….. 38
Grafik 4.15 Kepemilikan Hubungan Responden dengan ASN ……………………….. 38
Grafik 4.16 Hal yang Sering Dirasakan oleh Responden saat Berinteraksi dengan
ASN ………………………………………………………………………... 39
Grafik 4.17 Kepercayaan Responden kepada ASN setelah Berinteraksi ……………... 40
Grafik 4.18. Dimensi Pengetahuan ……………………………………………………. 40
Grafik 4.19. Dimensi Pengetahuan Per Daerah ……………………………………….. 41
Grafik 4.20. Dimensi Keterampilan …………………………………………………… 43
Grafik 4.21. Dimensi Keterampilan Per Daerah ………………………………………. 43
Grafik 4.22 Dimensi Sikap ……………………………………………………………. 46
Grafik 4.23. Dimensi Sikap Per Daerah ……………………………………………….. 47
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada setiap fase perkembangan zaman, organisasi pemerintah selalu memiliki peran
vital untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Terdapat kebutuhan lahiriah dan batiniah yang
secara kolektif maupun individu dibutuhkan oleh masyarakat, yang tidak akan mau dan mampu
disediakan secara ekonomis dan non-diskriminatif oleh pihak lain selain organisasi pemerintah
(Said, 2007). Tatanan dunia saat ini tengah menghadapi sebuah perubahan masif yang ditandai
dengan pemanfaatan big data, otomatisasi dan komputerisasi, penggunaan kecerdasan
artifisial, presensi digital dan sebagainya, atau yang lazim disebut dengan Revolusi Industri
4.0. Gejolak perubahan yang dihembuskan oleh revolusi industri ini mempengaruhi semua
disiplin dan industri, termasuk birokrasi. Pemerintah dituntut untuk dapat adaptif dengan
transformasi dunia serta meninggalkan cara-cara kerja lama yang sudah tidak relevan dengan
iklim masa kini. Ekonom yang juga pendiri World Economic Forum, Klaus Schwab,
mengingatkan bahwa pemerintah adalah salah satu institusi yang paling terkena dampak dari
Revolusi Industri 4.0, sehingga kemampuan untuk menghadapi perubahan yang disruptif
merupakan kunci dari keberlangsungan pemerintahan (Schwab, 2016).
Mengingat tingginya disrupsi lingkungan yang berlangsung saat ini, Aparatur Sipil
Negara (ASN) selaku roda penggerak birokrasi perlu menyesuaikan keterampilan yang mereka
miliki agar dapat menjawab tantangan-tantangan perubahan. Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD) telah merumuskan empat kemampuan utama yang
dibutuhkan pemerintahan di era ini: (1) kemampuan sebagai penasihat kebijakan (policy
advisory skills), (2) kemampuan bekerjasama dengan seluruh pengguna jasa pemerintahan
(engagement skills), (3) kemampuan untuk mendesain dan mengatur perjanjian-perjanjian
kontraktual dengan pihak ketiga (commissioning skills), dan (4) kemampuan berkolaborasi
dengan seluruh pemangku kepentingan dalam menghadapi tantangan-tantangan kebijakan
(network management skills) (OECD, 2017). Keempat area keterampilan tersebut bertujuan
untuk menciptakan pemerintahan yang profesional. Bersikap dan bekerja secara profesional
merupakan kualitas yang menjadi syarat sebuah organisasi untuk dapat bertahan dan
berkembang di era perubahan ini. Menurut hasil survei OECD, profesionalisme adalah kualitas
ke-8 yang paling banyak dicari oleh para negara anggota OECD dalam sumber daya manusia
sektor publik mereka (OECD, 2016). Semakin kompleks permasalahan yang dihadapi
pemerintah, kebutuhan untuk meningkatkan profesionalisme para pegawai pemerintahan pun
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 2
otomatis meningkat (Bowman, et.al., 2004). Dengan kata lain, munculnya kebutuhan akan
sumber daya manusia sektor publik yang profesional merupakan konsekuensi logis dari
masuknya dunia global ke era Revolusi Industri 4.0. Namun, ternyata baik dari segi efektivitas
maupun efisiensinya, kualitas birokrasi di Indonesia bahkan masih jauh dari capaian negara
lain. Salah satunya dapat dilihat melalui Worldwide Governance Indicators (WGI) yang dirilis
oleh World Bank untuk mengukur kualitas tata kelola pemerintah di berbagai negara.
Grafik berikut menunjukkan kualitas tata kelola pemerintahan berdasarkan indeks
efektivitas pemerintahan selama lima tahun terakhir (2013-2017). Jika dibandingkan dengan
beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Brunei Darusalam, Malaysia, dan Thailand,
capaian skor yang diperoleh Indonesia berkisar pada angka rata-rata 50,92. Sementara itu,
Singapura memperoleh rata-rata skor 99, 91, Brunei 81, 13, Malaysia 77, 08, dan Thailand 65,
30. Pada tahun 2017 jika dilihat berdasarkan peringkatnya dari 214 negara di dunia, Singapura
menempati peringkat pertama sebagai pemerintah yang paling efektif. Brunei menempati
peringkat ke-34, Malaysia di peringkat ke-50, Thailand di peringkat ke-70, dan Indonesia
berada pada peringkat ke-95. Bahkan, posisi Indonesia justru semakin menurun dari tahun 2016
yaitu pada peringkat ke-86 (World Bank, 2018).
Gambar 1.1 Komparasi Indeks Efektivitas Pemerintahan
Sumber: Olahan penulis berdasarkan data World Bank, 2018
Data tersebut menggambarkan bahwa kinerja dan profesionalisme birokrasi masih
menjadi salah satu capaian yang perlu dioptimalkan. Masalah lain dalam birokrasi di Indonesia
adalah berkaitan dengan rendahnya efisiensi birokrasi. Pendapat tersebut dikuatkan oleh hasil
riset yang dirilis oleh World Bank dalam Global Competitiveness Report bahwa di Indonesia,
99
.53
10
0
10
0
10
0
10
0
74
.88
82
.21
82
.21
82
.21
84
.13
79
.15
76
.92
76
.92
75
.96
76
.44
62
.09
65
.38
65
.87
66
.35
66
.83
47
.39
53
.85
45
.67
52
.88
54
.81
2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7
Singapore Brunei Malaysia Thailand Indonesia
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 3
inefisiensi birokrasi masih menjadi faktor paling bermasalah dalam pemerintahannya setelah
masalah korupsi. Bahkan, inefisiensi tersebut justru menjadi pemicu adanya korupsi (World
Economic Forum, 2017). Data yang dirilis oleh World Bank melalui Inefficient Government
Bureaucracy Index (Indeks Birokrasi Pemerintah yang Inefisien) menunjukkan bahwa dalam
waktu 10 tahun (2008-2017) efisiensi pemerintahan Indonesia mengalami pertumbuhan rata-
rata pertahun mencapai -3,52% (World Bank, 2018). Artinya, Indonesia justru mengalami
penurunan dari sisi efisiensi birokrasinya dan dalam kata lain kinerja birokrasi pemerintah di
Indonesia justru semakin inefisien. Lebih lanjut gambar di bawah ini akan menggambarkan
tren indeks birokrasi pemerintah yang inefisien di lima negara ASEAN yaitu Singapura,
Kamboja, Malaysia, Indonesia, dan Thailand.
Gambar di atas menunjukkan tren Indeks Birokrasi Pemerintah yang Inefisien selama
2013-2017. Tren pada grafik di atas menggambarkan bahwa Singapura menjadi negara paling
efisien di antara negara-negara ASEAN dengan skor indeks rata-rata sebesar 2,4. Singapura
juga memiliki tingkat pertumbuhan skor indeks rata-rata yang cukup tinggi yaitu sebesar
6,31%. Peringkat kedua diraih oleh Kamboja dengan skor indeks rata-rata sebesar 9,54,
kemudian Malaysia dengan skor rata-rata sebesar 10,32, Indonesia sebesar 10,86, dan di
peringkat kelima Thailand dengan skor rata-rata sebesar 12,48 (World Bank, 2018). Data
tersebut menunjukkan bahwa efisiensi birokrasi akan sulit terwujud jika secara simultan tidak
dilakukan peningkatan profesionalisme dan pengontrolan kualitas Aparatur Sipil Negara
(ASN). Padahal, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN), ASN
merupakan salah satu sumber daya terbesar yang seharusnya menjadi kunci peningkatan
kualitas tata kelola birokrasi.
2.5
2.2
1.9 2.1 2
.7
13
.3
11
.4
8.8
8.4
5.8
13
.8
14
.7
8.8
10
.8
8.4
15
8.3
10
.6
9.3
11
.1
13
.4
12
.7
12
.3
11
.9
12
.1
2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7
Singapura Cambodia Malaysia Indonesia Thailand
Gambar 1.2 Komparasi Indeks Birokrasi Pemerintah yang Inefisien
Sumber: Olahan penulis berdasarkan data World Bank, 2018
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 4
Data yang dirilis oleh BKN menunjukkan bahwa hingga tahun 2019 tercatat sebanyak
4.286.918 warga Indonesia berprofesi sebagai ASN. Jumlah tersebut mengalami peningkatan
sekitar 100.000 pegawai dari bulan Desember 2018 (BKN, 2018).
Belanja pegawai sendiri memberikan kontribusi beban pengeluaran yang cukup besar bagi
keuangan negara. Dari seluruh pengeluaran negara, tanggungan terbesar adalah pada belanja
pegawai, melebihi belanja modal dan belanja barang/jasa. Selain itu, pengeluaran cenderung
meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 1.4. Pada tahun
2014, proporsi belanja pegawai pusat terhadap realisasi belanja sebesar 20,4 persen, demikian
juga di 2015 sebesar 24 persen, bahkan pada 2016 mencapai 31,3 persen. Besarnya komposisi
Gambar 1.3 Jumlah ASN
Sumber: BKN, 2019
Gambar 1.4 Tren Realisasi Belanja Pegawai
Sumber: Kemenkeu, 2016
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 5
ASN tersebut tentu memiliki konsekuensi terhadap anggaran yang dialokasikan. Tren alokasi
APBN untuk belanja pegawai terus meningkat. Dalam APBN 2019 pemerintah
mengalokasikan dana untuk belanja pegawai sebesar Rp 381,56 triliun. Belanja pegawai
tersebut meningkat 11,41% dari outlook 2018. Menteri Keuangan menyatakan bahwa realisasi
belanja pegawai pusat per bulan Mei 2019 naik 26,8 persen dibanding tahun sebelumnya
(CNN, 2019). Besarnya jumlah dan alokasi sumber daya tersebut menunjukkan bahwa ASN
merupakan salah satu aset terbesar Negara, sehingga menjaga kualitas dan profesionalisme
ASN adalah sebuah keharusan.
B. Perumusan Masalah
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara yang mengamanatkan dilakukannya reformasi di bidang manajemen
sumber daya manusia sektor publik, mulai dari proses rekruitmen, pengangkatan, promosi,
mutasi, hingga pemberhentian pegawai. Seluruh rangkaian reformasi manajemen aparatur
pemerintah ini dilakukan dengan mengedepankan prinsip merit dan diharapkan dapat
mendongkrak profesionalitas ASN dalam menjalani fungsinya selaku pelaksana kebijakan
publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Lima tahun telah berlalu sejak
ditetapkannya UU ASN. Kualifikasi, kompetensi, kinerja, dan disiplin ASN akan menjadi
acuan masyarakat dalam menilai profesionalitas ASN. Berdasarkan Peraturan Badan
Kepegawaian Negara Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Cara dan Pelaksanaan
Pengukuran Indeks Profesionalitas Aparatur Sipil Negara, profesionalitas adalah kualitas sikap
anggota suatu profesi serta derajat pengetahuan dan keahlian yang dimiliki untuk dapat
melakukan tugas-pekerjaan sesuai standar dan persyaratan yang ditentukan. Kualifikasi,
kompetensi, kinerja, dan disiplin dapat terangkum dalam suatu bentuk pelayanan publik yang
dapat langsung dinilai oleh masyarakat. Penilaian ini akan membentuk suatu persepsi
masyarakat terhadap profesionalitas ASN.
Terkait kinerja pemerintah pascaimplementasi UU ASN, data Ombudsman (2019)
menunjukkan bahwa pelayanan publik di tahun 2018 pada zona hijau belum mencapai target
yang sebelumnya sudah ditentukan dalam Road Map Reformasi Birokrasi.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 6
Gambar 1.5 Pelayanan Publik pada Zona Hijau Tahun 2018 Sumber: Ombudsman, 2019
Data tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik belum mencapai target dan hal ini
berdampak pada persepsi masyarakat terhadap kinerja ASN—yang akan berdampak pula pada
profesionalitas ASN. Selain itu, Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menegaskan
bahwa masih terdapat masalah dengan kualitas ASN, seperti rendahnya kompetensi dan tingkat
pendidikan ASN, rendahnya jumlah tenaga spesialis atau fungsional, serta tidak meratanya
distribusi keahlitas ASN (Redaksi Liputan6, 2019). Hal ini juga sejalan dengan data Deputi
Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PANRB) yang menjelaskan masih dominannya ASN yang tugas dan fungsinya
bersifat administratif. Selengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 1.6 Komposisi ASN Sumber: Kementerian PANRB, 2019
100 100 100
80 80
55.56
25
62.5
31.6636.73
0
20
40
60
80
100
120
Kementerian Lembaga Provinsi Kabupaten Kota
2018 Target
38
38
10
86
General Functions Teacher Managerial Technical Medical
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 7
Selain itu, berkenaan dengan disiplin ASN, data Badan Kepegawaian Negara pada
tahun 2018 mencatat sebanyak 1.759 PNS dijatuhi hukuman disiplin. Bentuk hukuman
bervariasi mulai dari tingkat berat, ringan, hingga sedang. PNS penerima hukuman disiplin
tersebar di berbagai instansi baik pusat maupun daerah (BKN, 2018). Kondisi tersebut
menggambarkan profesionalitas ASN yang kurang di mata masyarakat. Kementerian PANRB
selaku leading sector dalam hal ini telah melakukan rebranding ASN untuk memperbaiki citra
ASN di mata masyarakat. Mempertimbangkan kondisi profesionalitas ASN saat ini serta
upaya-upaya rebranding ASN yang telah dilakukan oleh Kementerian PANRB, pemerintah
menilai perlu untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai profesionalitas dan rebranding
ASN yang nantinya akan menjadi rujukan Kementerian PANRB dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang fokus pada rebranding ASN.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
untuk menyusun Indeks Persepsi Masyarakat tentang Profesionalitas dan Rebranding ASN.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 8
BAB 2 KERANGKA TEORI
A. Profesionalisme
Dalam literatur administrasi publik, profesionalisme birokrasi merupakan bagian dari
dimensi etis penyelenggaraan pemerintahan. Profesionalisme menyangkut aspek filosofis dan
normatif bagi perilaku aparatur negara dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Seorang
aparatur negara harus bertindak profesional dalam melaksanakan kewenangannya karena
secara normatif dia adalah pelayan publik (public servant) yang dibayar dengan uang publik
dan diberikan kewenangan untuk menggunakan sumber daya publik. Oleh karena itu, semua
tindakannya harus memberikan manfaat yang seluas-luasnya untuk publik.
Tema mengenai birokrasi yang professional sudah sejak lama menjadi perbincangan
para pakar administrasi publik. Secara umum, perdebatan tentang hal itu dapat dikategorikan
atas empat aliran paradigma yang menyertai perkembangan Ilmu Administrasi Publik itu
sendiri, yaitu paradigma Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM),
New Public Service (NPS), dan Governance. Dalam perspektif OPA, profesionalisme aparatur
negara sangat berkaitan erat dengan birokrasi rasional ala Weberian. Misi utama birokrasi
adalah menciptakan efisiensi dan efektivitas melalui hierarki, impersonalitas, disiplin, dan
ketaatan terhadap regulasi (Weber, 1947). Dari perspektif ini, sangat mudah dipahami mengapa
profesionalisme birokrasi hanya dilihat dari kepatuhan yang ketat dari aparatur negara dalam
melaksanakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (standard operating procedure).
Apabila aturan atau regulasi tersebut bertentangan dengan pencapaian tujuan yang lebih tinggi,
maka aturannya perlu direvisi sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Pada titik ini,
mustahil akan muncul terobosan atau inovasi dari aparatur negara karena perubahan jauh lebih
cepat daripada aturan.
Paradigma kedua atau New Public Management (NPM) mencoba mengkritisi kekakuan
birokrasi Weberian dengan menekankan pentingnya mengadopsi spirit pasar (market
mechanism) dalam mengelola sector publik. Paradigma ini membalik anggapan teoretikus
OPA yang terlalu menekankan pada kepatuhan terhadap aturan, menjadi berorientasi pada
tujuan (results oriented). Prinsipnya adalah tujuan itu lebih penting dari aturan. Untuk
mencapai tujuan itu, birokrasi dapat mengadopsi metode yang diterapkan oleh organisasi
privat. Prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh sector publik di antaranya adalah berorientasi
pada hasil, mengutamakan persaingan, digerakkan oleh misi (bukan aturan), dan berorientasi
pelanggan (Osborne & Gaebler, 1992). Profesionalisme dalam perspektif ini diukur dari sejauh
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 9
mana aparatur publik mampu mencapai target-target kinerja yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Di Amerika Serikat, prinsip ini diimplementasikan dalam kebijakan The National
Performance Review pada tahun 1993 (Thompson, 2000).
Dalam perkembangan selanjutnya, paradigma NPM mendapatkan kritik tajam dari
paradigma New Public Service (NPS). Salah satu kritik NPS terhadap NPM adalah
reduksionisme terhadap peran negara dan pemerintah hanya sebagai negara minimalis yang
hanya berfungsi sebagai pengarah (steering) dan posisi masyarakat sebagai konsumen
(customer). Menurut paradigma NPS, peran negara adalah melayani (serving) warga negara
(citizens) (Denhadrt & Denhardt, 2007). Teori ini memandang bahwa warga negara adalah
subjek penting dalam proses kepemerintahan. Warga negara adalah entitas yang terlibat aktif
dalam proses kepemerintahan. Orientasi dan misi pemerintah diarahkan sepenuhnya untuk
melayani warga negara karena esensi dari negara itu adalah melayani kepentingan warga
negara (public interest). Kedaulatan ada di tangan warga negara karena saham tertinggi negara
dimiliki oleh warga negara yang ikut membangun negara melalui pajak yang dibayarkannya
(Yudiatmaja, 2012). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, profesionalisme aparatur negara
ditentukan oleh kemampuan aparatur negara dalam menyelenggarakan pelayanan yang
menempatkan publik sebagai warga negara yang berdaulat penuh.
Paradigma terakhir dalam perdebatan ini adalah paradigma Governance. Dalam
paradigma Governance, negara dipandang hanya sebagai salah satu entitas dalam
penyelenggaraan urusan publik (public affairs). Di luar negara, terdapat aktor-aktor lain yang
juga berperan dalam menyediakan pelayanan dan infrastruktur publik, yaitu organisasi
masyarakat sipil, lembaga swasta, dan lembaga donor. Paradigma Governance berargumen
bahwa pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal yang mendominasi, tetapi pemerintah
menjadi aktor yang seharusnya memfasilitasi semua aktor dalam bingkai governance (Rhodes,
1996). Paradigma Governance memandang profesionalisme aparatur ditentukan oleh sejauh
mana mereka mampu membangun kolaborasi (collaboration) dan jaringan (networks) dengan
institusi dan aktor di luar negara, seperti masyarakat sipil (civil society) dan sektor bisnis.
Dari penjelasan berbagai paradigma tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
sudut pandang para ahli dalam memandang profesionalisme. Perdebatan filosofis tersebut
menimbulkan variasi konsep, dimensi, variabel, dan definisi profesionalisme. Profesionalisme
dapat didefinisikan sebagai penerapan pengetahuan umum, prosedur ilmiah untuk kasus-kasus
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 10
tertentu dengan cara yang ketat dan karenanya biasanya dilembagakan dalam mekanisme,
norma, dan nilai yang dianut oleh organisasi (Freidson, 2013).
Profesionalisme berkaitan erat dengan kemampuan seorang aparatur negara dalam
menjalankan tugasnya dan keterikatannya pada aturan organisasi. Oleh karena itu,
sebagaimana tertuang dalam Tabel 2.1, Noordegraaf (2007) mengungkapkan dua dimensi
dalam memahami profesionalisme, yaitu dimensi konten (substansi) dan kontrol (disiplin).
Profesionalitas seorang aparatur negara dilihat dari aspek pengetahuan, keahlian, pengalaman,
etika, dan kemampuan kerja. Dimensi ini dilandasi oleh rational and ethical judgement dimana
aparatur negara adalah manusia yang memiliki dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Di
sisi yang lain, aparatur negara juga tidak bias lepas dari disiplin dan norma organisasi. Nilai-
nilai ini secara sosial dan politik telah mengontrol birokrasi sehingga membuat aparatur negara
menjadi entitas yang tidak otonom. Dalam hal ini, organisasi, otoritas, transfer pengetahuan,
aturan, dan supervisi menjadi aspek-aspek organisasi yang mengontrol aparatur negara.
Tabel 2.1 Dimensi, Nilai, dan Aspek dari Profesionalisme Aparatur Negara
Dimensi Nilai Aspek
Konten Rasional, etis Pengetahuan, keahlian,
pengalaman, etika,
kemampuan kerja
Kontrol Politik, sosial Organisasi, otoritas, transfer
pengetahuan, aturan,
supervisi Sumber: Noordegraaf (2007, p. 768)
Profesionalisme dalam pandangan Korten dan Alfonso (1981) diukur melalui keahlian
yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan organisasi
kepada seseorang. Kecocokan antara disiplin ilmu atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang
diperlukan karena keahlian yang dimiliki seseorang tidak sesuai dengan tugas yang dibebankan
kepadanya dapat berdampak kepada inefektifitas organisasi. Tjokrowinoto (1996) menilai
bahwa profesional atau tidaknya birokrasi dapat diukur melalui kompetensi sebagai berikut:
a) Profesionalisme yang Wirausaha (Entrepreneurial-Professionalism) yakni Kemampuan
untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi
nasional, keberanian mengambil risiko dalam memanfaatkan peluang, dan kemampuan
untuk menggeser alokasi sumber dari kegiatan yang tingkat produktivitasnya rendah
kepada produktivitas tinggi yang terbuka dan memberikan peluang bagi terciptanya
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan nasional.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 11
b) Profesionalisme yang mengacu pada Misi Organisasi (Mission-driven Profesisonalism).
Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu dan mengacu
kepada misi yang ingin dicapai (mission-driven professionalism), dan tidak semata-mata
mengacu kepada peraturan yang berlaku (rule-driven professionalism).
c) Profesionalisme Pemberdayaan (Empowering-Professionalism). Kemampuan ini
diperlukan untuk aparatur pelaksana atau jajaran bawah (grassroots) yang berfungsi untuk
memberikan pelayanan publik (service provider). Profesionalisme yang dibutuhkan dalam
hal ini adalah profesionalisme-pemberdayaan (empowering professionalism) yang sangat
berkaitan dengan gaya pembangunan. Dalam konsep ini birokrasi berperan sebagai
fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan
kekuatan sendiri (enabler) (Osborne & Gaebler,1992).
Menurut Martin Jr dalam Kurniawan (2005) karakteristik profesionalisme dapat dilihat dari
empat aspek berikut:
1) Equality: Perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Hal ini didasarkan atas
tipe perilaku birokrasi rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang status sosial, politik, dan
sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan berlaku
jujur.
2) Keadilan (equity): Perlakuan yang sama kepada masyarakat tidak cukup, melainkan
juga diperlukan perlakuan adil. Untuk masyarakat yang pluralistik kadang-kadang
diperlukan perlakuan yang sama. Misalnya menghapus diskriminasi pekerjaan,
sekolah, perumahan, dan sebagainya. Terkadang diperlukan juga perlakuan yang adil
tetapi tidak sama kepada orang tertentu (pemberian kredit tanpa bunga kepada
pengusaha lemah).
3) Loyalty: Kesetiaan diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan
kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada kesetiaan
yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang
lainnya.
4) Accountability: Setiap aparat pemerintah harus siap menerima tanggung jawab atas
apapun yang ia kerjakan dan harus menghindarkan diri dari sindroma “saya sekedar
melaksanakan perintah atasan.”
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 12
Sementara itu, Suwardjono (2000) menilai profesionalisme adalah suatu sikap atau semangat
untuk mempertahankan suatu profesi dan memelihara citra publik terhadapnya serta untuk
menekuni ilmu dan substansi pekerjaan dalam bidangnya. Novin dan Tucker (1993)
mengidentifikasi profesionalisme sebagai penguasaan di bidang: pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill) dan karakteristik (ethics), sedangkan Hill et al. (1998) menyatakan bahwa
profesionalisme ditentukan oleh penguasaan dalam hal pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), dan sikap (attitudes).
Dari berbagai definisi mengenai profesionalisme di atas, dapat disimpulkan bahwa
profesionalisme adalah penguasaan pengetahuan, keterampilan serta sikap dari seseorang.
Pengetahuan sendiri menurut Nonaka, et al. (1996) dapat dibagi dua, yakni tacit knowledge
dan explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang terdapat di dalam otak atau
pikiran seseorang sesuai dengan pemahaman dan pengalaman orang itu sendiri. Pengetahuan
ini bersifat tidak terstruktur, susah untuk didefinisikan dan diberitahukan dengan bahasa formal
kepada orang lain, serta isinya mencakup pemahaman pribadi. Pengetahuan ini umumnya
belum terdokumentasikan karena pengetahuan ini masih terdapat di dalam pikiran seseorang.
Sementara itu explicit knowledge adalah pengetahuan yang sudah dikumpulkan serta
diterjemahkan ke dalam suatu bentuk dokumentasi (rangkuman) sehingga lebih mudah
dipahami oleh orang lain. Pengetahuan ini bersifat formal dan mudah untuk dibagikan ke orang
lain dalam bentuk dokumentasi karena umumnya merupakan pengetahuan yang bersifat
teoretis yang mempermudah seseorang dalam membagi pengetahuannya kepada orang lain
melalui buku, artikel dan jurnal tanpa harus datang langsung untuk mengajari orang tersebut.
Dalam proses penerapannya, pengetahuan explicit lebih mudah dipelajari/disebarluaskan
karena pengetahuan tersebut diperoleh dalam bentuk tulisan atau dokumentasi.
OECD (2017) menilai bahwa terdapat empat keterampilan yang dibutuhkan oleh aparat
pemerintah, yakni :
1) Policy advice and analysis: aparat pemerintah bekerja bersama dengan pejabat terpilih
untuk menginformasikan perkembangan kebijakan. Adanya perkembangan teknologi,
riset kebijakan dan pandangan masyarakat yang beragam menuntut adanya
keterampilan dari aparat pemerintah untuk dapat membuat kebijakan secara efektif dan
efisien.
2) Service delivery and citizen engagement: aparat pemerintah bekerja langsung dengan
masyarakat dan para pengguna layanan pemerintahan lainnya. Untuk itu, dibutuhkan
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 13
adanya keterampilan baru yang dapat membuat aparat pemerintah mampu secara efektif
melibatkan masyarakat, mengumpulkan ide-ide baru, serta membantu mengantarkan
pelayanan yang lebih baik.
3) Commissioning and contracting: meskipun tidak semua pelayanan publik diberikan
langsung oleh aparat, terkait dengan pihak ketiga dalam pelayanan publik, aparat
pemerintah juga dituntut untuk mampu mendesain dan mengatur kontrak dengan
organisasi lain.
4) Managing networks: Aparat pemerintah juga diharuskan untuk dapat bekerja sama
dengan organisasi lain untuk dapat mengatasi kompleksitas perubahan. Hal ini
menuntut adanya keterampilan untuk berkolaborasi dan meningkatkan pemahaman
bersama melalui kemampuan komunikasi, kepercayaan dan komitmen bersama.
Meyer-Sahling, et al. (2018) melihat bahwa terdapat tiga sikap mendasar yang ada dalam diri
aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik, yakni integritas dalam
bekerja, motivasi dalam melayani masyarakat, serta komitmen mereka terhadap sektor publik.
Integritas dalam bekerja dapat dilihat dari disiplin kerja, bersih dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, netralitas, serta memiliki motivasi kerja yang tinggi. Indikator kedua, yakni
termotivasi untuk melayani masyarakat dapat dilihat dari adanya sikap melayani, adil, ramah,
serta akomodatif dalam menanggani keluhan masyarakat. Indikator terakhir, yakni komitmen
terhadap sektor publik, dapat dilihat dari sikap-sikap seperti peka terhadap permasalahan sosial,
mengayomi, serta menghormati seluruh lapisan masyarakat.
B. Persepsi Masyarakat
Menurut Rakhmat (2008), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Persepsi ialah memberikan makna pada stimulus manusia. Walgito (2003) mendefinisikan
persepsi sebagai proses untuk mengoranisasi atau proses menginterpretasikan rangsang yang
diterima oleh individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang
terintegrasi dalam diri individu. Kotler dalam Mahmudah (2015) mengemukakan persepsi
sebagai proses yang dilakukan oleh individu untuk memilih, mengatur, menerjemahkan sebuah
informasi untuk menciptakan gambaran yang memiliki arti.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 14
Robbins dan Judge (2013) menjelaskan persepsi sebagai suatu proses seorang individu
mengatur dan menafsirkan tanggapan dan kesan yang bertujuan memberi makna pada
lingkungan, tetapi apa yang dirasakan seringkali dapat berbeda secara substansial dari realitas
objektif. Menurut Gibson et al dalam Amaliyah (2015), persepsi merupakan proses kognitif
yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitar (terhadap
objek). Persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Oleh karena itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda-beda meski
dengan objek yang sama. Dari berbagai definisi mengenai persepsi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa persepsi merupakan sebuah proses dalam memberikan pandangan atau tanggapan dari
sekumpulan individu dalam suatu kelompok (masyarakat) terhadap segala sesuatu yang berada
di ruang lingkup lingkungannya. Dengan demikian, persepsi adalah proses bagaimana seorang
individu memahami informasi yang diterima kemudian memberikan pendapatnya.
Robbins (2013) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat memengaruhi
persepsi. Pertama, faktor yang terletak dalam diri pembentuk persepsi. Pandangan dan
penafsiran seorang individu terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh karakteristik
individu itu sendiri. Karakteristik individu yang memengaruhi persepsi mencakup sikap, motif,
minat, pengalaman, dan harapan individu tersebut. Kedua, faktor dari target, yaitu karakteristik
dari target yang telah ditinjau dapat memengaruhi apa yang diartikan oleh pembentuk persepsi.
Karakteristik dari target dipengaruhi oleh gerakan, suara, ukuran, latar belakang, kedekatan
dan kemiripan. Ketiga, faktor dari situasi, yaitu waktu dan keadaan sosial untuk melihat
konteks dari objek atau peristiwa yang terjadi dapat memengaruhi persepsi yang akan dibentuk.
Menurut Irwanto (2002), persepsi dapat dibedakan menjadi persepsi positif dan
persepsi negatif. Persepsi positif menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau
kenal tidaknya) dan adanya tanggapan yang akan diteruskan dengan upaya pemanfaatan,
keaktifan atau menerima dan mendukung objek yang dipahami. Sementara itu, persepsi negatif
menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan adanya tanggapan
yang tidak selaras dengan objek yang dipahami, yang kemudian diteruskan secara pasif atau
menolak objek yang dipahami. Dengan demikian, persepsi positif maupun negatif
memengaruhi seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Munculnya persepsi positif maupun
negatif tergantung pada bagaimana cara individu menggambarkan pengetahuannya tentang
objek yang dipahami.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 15
Mahmud (1989) juga menjelaskan stimulasi atau situasi yang dihadapi oleh seseorang
dapat menjadi dasar terbentuknya persepsi terhadap suatu objek pada lingkungan sekitarnya.
Berkaitan dengan kondisi masyarakat, persepsi adalah proses yang berhubungan dengan
masuknya pesan atau informasi dalam otak manusia yang secara terus menerus mengadakan
hubungan dengan lingkungannya melalui indra seseorang terhadap suatu objek. Peristiwa ini
melibatkan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan objek tersebut melalui proses
kognisi (pengetahuan), afektif (perasaan), dan konasi (tindakan) untuk membentuk objek
tersebut. Rakhmat (2004) juga mengklasifikasikan tiga komponen penyusun persepsi, yakni
komponen kognitif (beliefs), komponen afektif (feelings), dan komponen konatif (behavior
tendencies) sebagai komponen sikap.
1. Kognitif (beliefs)
Menurut Hawkins dan Mothersbaugh dalam Elvi dan Siska (2013), kognitif merupakan
kepercayaan masyarakat terhadap suatu objek. Menurut Schiffman dan Kanuk (2010)
dalam Elvi dan Siska (2013), kognitif seseorang merupakan pengetahuan dan persepsi
yang diperoleh dari kombinasi pengalaman langsung dengan objek, bagaimana
bersikap, dan informasi yang terkait dengan berbagai sumber. Pengetahuan dan persepsi
yang dihasilkan umumnya mengambil bentuk keyakinan atau kepercayaan, yaitu
seseorang percaya bahwa objek sikap memiliki berbagai variasi atribut dan bahwa
perilaku tertentu akan menghasilkan suatu hasil yang spesifik. Menurut Azwar (2011)
dalam Liana (2013), komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai
oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi kepercayaan stereotip yang
dimiliki individu mengenai sesuatu yang dapat disamakan penanganannya (opini)
terutama apabila menyangkut masalah isu yang kontroversial.
2. Afektif (feelings)
Secord dan Bacman (1964) dalam Apsari (2009) menjelaskan bahwa afektif merupakan
komponen yang berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang sehingga
bersifat evaluatif. Komponen ini erat hubungannya dengan sistem nilai yang dianut
pemilik sikap. Menurut Azwar (2011, p. 24) dalam Liana (2013, p. 235), komponen
afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan
aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin mengubah
sikap seseorang. Komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 16
3. Konatif (behavior tendencies)
Loudon dan Bitta (1993) dalam Elvi dan Siska (2013) menjelaskan bahwa komponen
konatif meliputi kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap objek.
Menurut Secord dan Bacman dalam Indri (2009), komponen konatif merupakan
komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan
dengan objek sikap. Menurut Azwar dalam Liana (2013), komponen konatif merupakan
aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh
seseorang, serta berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi
terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Komponen ini berkaitan dengan objek yang
dihadapinya adalah logis, untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah
dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.
C. Operasionalisasi Konsep
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah profesionalisme yang
terdiri atas 3 dimensi yakni pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), serta sikap
(attitudes), sesuai pernyataan Hill, et al. (1998) yang kemudian akan diturunkan ke dalam
indikator. Dimensi pengetahuan atau knowledge diturunkan ke dalam dua indikator, yakni tacit
knowledge dan explicit knowledge (Nonaka, et.al, 1996). Dimensi keterampilan diturunkan ke
dalam tiga indikator yang dijelaskan oleh OECD (2017), yakni public service delivery
skills/work with citizens, policy development skills, dan interpersonal skills/collaborate in
network. Sementara itu dimensi sikap diturunkan ke dalam tiga indikator, yakni working with
integrity, motivated to serve public, dan committed to public sector (Meyer-Sahling, et al.,
2018). Berikut adalah tabel operasionalisasi konsep dari penelitian ini:
Tabel 2.2. Operasionalisasi Konsep
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan
Profesionalisme Knowledge
Tacit Knowledge
ASN memiliki pengetahuan (intelegensi)
umum yang baik
ASN memiliki pengetahuan sosial budaya
dan kemasyarakatan yang baik
Explicit Knowledge
ASN mengetahui dengan baik prosedur
pelayanan publik yang diselenggarakan
ASN memahami tugas dan fungsinya dengan
baik
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 17
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan
ASN memiliki pengetahuan yang baik terkait
kebijakan (di tingkat nasional/daerah) yang
dibuat oleh pemerintah
Skills
Public Service Delivery
Skills/Work With Citizens
ASN mampu memberikan pelayanan publik
secara tepat waktu
ASN mampu memberikan pelayanan publik
dengan tepat biaya (tidak ada biaya
tambahan)
ASN mampu memberikan pelayanan publik
yang inovatif
ASN mampu memberikan pelayanan publik
dengan memanfaatkan teknologi
ASN mampu memberikan respon yang tepat
terhadap pengaduan pelayanan publik
Policy Development
Skills
ASN membuat kebijakan yang dapat
menyelesaikan permasalahan masyarakat
ASN mampu melaksanakan kebijakan
dengan baik
ASN mampu memperbaiki kebijakan yang
belum optimal
Interpersonal Skills /
Collaborate in Network
ASN mampu mensosialisasikan kebijakan
dengan baik
ASN mampu beradaptasi dengan perubahan
ASN mampu bekerja sama dengan satu sama
lain
ASN memiliki kemampuan kepemimpinan
yang baik di dalam masyarakat
ASN mampu berkolaborasi dengan
masyarakat dan dunia usaha
ASN mampu menjelaskan dengan baik
prosedur yang berlaku dalam suatu
pelayanan
Attitudes
Working with Integrity
ASN bersikap disiplin dalam menaati
peraturan
ASN bersikap bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme dalam melaksanakan tugas
ASN bersikap netral dalam pilpres dan
pilkada
ASN memiliki motivasi kerja yang tinggi
Motivated to Serve
Public
ASN memiliki sikap melayani dalam
menghadapi masyarakat
ASN bersikap adil (tidak diskriminatif)
dalam memberikan pelayanan
ASN bersikap ramah dalam memberikan
pelayanan
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 18
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan
ASN bersikap akomodatif terhadap keluhan
atau pengaduan masyarakat
Committed to Public
Sector
ASN memiliki kepekaan sosial terhadap
masyarakat
ASN bersikap mengayomi masyarakat
ASN bersikap menghormati seluruh lapisan
masyarakat
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 19
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode mix method yaitu penggabungan metode kuantitatif
dengan survei dan metode kualitatif melalui Focus Group Discussion (FGD). Metode survei
digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat tentang profesionalitas ASN dan juga untuk
mengukur persepsi masyarakat mengenai iklan/kampanye ASN yang ada di media. Sementara
itu, metode FGD dilakukan terhadap perwakilan masyarakat, LSM, dan sektor swasta di lima
wilayah sampel, untuk menggali persepsi mereka terhadap profesionalitas dan rebranding
ASN.
Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan tahapan dalam suatu kegiatan penelitian, yaitu:
1) Persiapan Penelitian; pada tahap ini peneliti melakukan studi kepustakaan, perancangan
instrumen penelitian dan uji coba instrumen penelitian.
2) Pelaksanaan Penelitian; penelitian dilakukan dengan cara melakukan survei kepada
masyarakat mengenai profesionalitas dan iklan/kampanye ASN yang ada di media.
Survei dilakukan secara online dengan menggunakan aplikasi Survey Monkey, sehingga
responden cukup dikirimkan tautan kuesioner online, dan mengisinya secara online
pula. Selain itu, peneliti juga melakukan FGD kepada narasumber yang berasal dari tiga
kelompok yakni sektor swasta, LSM dan akademisi, serta tokoh masyarakat. Setelah
pengisian kuesioner, data yang terkumpul diolah untuk menghitung indeks persepsi
masyarakat yang akan dikategorikan ke dalam 5 kriteria, yakni sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
3) Pengolahan Data; data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner ditabulasikan dan
diolah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Package for Social
Sciences). Sementara itu data kualitatif diolah dengan menggunakan thematic coding,
melalui open coding, axial coding, dan selective coding.
4) Analisis Data, analisis data kuantitatif yang telah diolah maupun data kualitatif yang
diperoleh melalui wawancara diuraikan pada bagian analisis penelitian ini.
B. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Secara
kuantitatif, penelitian ini menggunakan survei yang dilakukan di 5 provinsi di Indonesia, yakni
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 20
DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Metode survei
yang dilakukan adalah self-administered survey dengan menggunakan aplikasi Survey Monkey.
Dalam hal ini, peneliti menyebarkan tautan survei kepada masyarakat di 5 provinsi yang
dibantu oleh mitra lokal.
Secara kualitatif, peneliti melakukan FGD yang dilaksanakan di 5 wilayah penelitian.
Partisipan dalam diskusi ini adalah perwakilan tokoh masyarakat, akademisi, LSM, serta sektor
swasta. Adapun jumlah peserta FGD bervariasi antara 6 hingga 10 orang. Diskusi ini digunakan
untuk menggali persepsi masyarakat atas profesionalitas dan rebranding ASN secara
mendalam. Adapun metode yang dilakukan dalam FGD ini adalah:
1. FGD dipimpin oleh seorang moderator yang akan memandu dan mengarahkan jalannya
diskusi.
2. Selama kurang lebih 3 jam pelaksanaan diskusi, peserta akan melakukan diskusi
mengenai profesionalitas dan rebranding ASN.
3. Setiap peserta diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat dalam
diskusi, dan menanggapi pendapat dari peserta lainnya.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang masuk ke dalam usia
angkatan kerja yang ada di 5 wilayah provinsi (DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Bali, Kepulauan
Riau dan Kalimantan Timur). Berdasarkan data BPS per Februari 2019, jumlah penduduk usia
angkatan kerja di kelima wilayah provinsi tersebut adalah sebanyak 13.127.026 jiwa. Jumlah
sampel diambil dengan menggunakan rumus slovin sebagai berikut:
𝑛 =𝑁
1 + 𝑁𝑒2
𝑛 =13127026
1 + 13127026 × 0,022= 2.499,5 ≈ 2.500
Dimana N = Jumlah Populasi
e = margin of error/tingkat kesalahan (penelitian ini menggunakan margin of error
sebesar 2%)
n = jumlah sampel minimum
Dengan demikian, jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak
2.500 orang.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 21
D. Teknik Penarikan Sampel
Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability
sampling dengan teknik quota. Teknik ini digunakan karena adanya keterbatasan dalam
kerangka sampel, dimana peneliti tidak mendapatkan kerangka sampel yang dibutuhkan.
Penggunaan teknik penarikan sampel non-probability sampling memiliki keterbatasan yaitu
hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan ke tingkat populasi. Hal ini karena tidak semua
anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Penentuan
jumlah sampel di tiap provinsi dilakukan dengan metode proporsional, dimana setiap provinsi
mendapatkan jumlah sampel sesuai dengan besaran persentase yang mereka miliki. Rincian
jumlah responden per provinsi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.1. Jumlah Sampel Per Provinsi
No Provinsi Populasi
(Angkatan Kerja)*
Persentase Jumlah
Sampel
(Target)
Jumlah
Responden
(Realisasi)
1 DKI Jakarta 5.447.511 41% 1.037 1.045
2 DI Yogyakarta 2.200.905 17% 419 435
3 Bali 2.539.578 19% 484 515
4 Kalimantan Timur 1.899.900 14% 362 370
5 Kepulauan Riau 1.039.132 8% 198 210
Total 13.127.026 100% 2.500 2.575
Sumber: Data BPS per Februari 2019 (diolah kembali oleh Peneliti)
Berdasarkan jumlah sampel tersebut, maka penentuan responden dilakukan dengan metode
accidental/convenience sampling, dimana peneliti akan menyebarkan tautan survei kepada
responden yang ada di kelima wilayah tersebut hingga mendapatkan jumlah sampel yang
diinginkan. Pada awalnya, penelitian ini menarget 2.500 orang responden. Namun hingga
periode penyebaran kuesioner berakhir, peneliti memperoleh 2.575 responden atau terdapat
surplus 75 orang atau 3% responden.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis data, yakni teknik analisis data
kuantitatif dan teknik analisis data kualitatif. Berikut adalah penjelasan dari kedua teknik
analisis data yang digunakan:
a) Teknik Analisis Data Kuantitatif
Teknik analisis data kuantitatif dilakukan untuk membuat deskripsi mengenai persepsi
masyarakat serta membuat perhitungan indeks persepsi masyarakat terhadap profesionalitas
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 22
ASN. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for Social
Sciences) dengan analisis univariat melalui pembuatan tabel frekuensi jawaban responden,
serta menentukan modus dari jawaban yang diberikan oleh responden.
Penghitungan indeks persepsi dilakukan untuk mengukur tingkat persepsi masyarakat terhadap
profesionalitas ASN. Penghitungan indeks ini dilakukan melalui tiga tahapan sebagai berikut:
1) Penentuan skor kriterium
Penentuan skor kriterium ini dilakukan untuk menentukan interval dari setiap kategori.
Skor ini dibuat dengan cara mengkalikan skor paling tinggi dan skor paling rendah
dengan jumlah responden untuk menentukan nilai maksimum dan nilai minimum.
Dalam penelitian ini, jumlah skor maksimum adalah 4 dan jumlah skor minimum
adalah 1, dengan demikian nilai bobot maksimum dan minimum adalah:
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = (4 x 2.500)/100 = 100
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = (1 x 2.500)/100 = 25
Penentuan interval tiap kategori dilakukan dengan cara mengurangi nilai bobot
maksimum dengan nilai bobot minimum dan kemudian dibagi dengan jumlah kategori
yang diinginkan. Dengan demikian, interval dari setiap kategori indeks ini adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.2. Nilai Indeks Persepsi Profesionalitas ASN
Nilai Interval Nilai Interval konversi Mutu Predikat
1 – 1,6 25 – 40 1 Sangat Rendah
1, 61 – 2,21 41 – 56 2 Rendah
2,22 – 2,82 57 – 72 3 Sedang
2,83 – 3,43 73 – 88 4 Tinggi
3,44 – 4 89 – 100 5 Sangat Tinggi
2) Penentuan jumlah skor per dimensi dan jumlah skor maksimum
Penentuan jumlah skor per dimensi dilakukan dengan menjumlahkan nilai skor dari tiap
indikator dalam dimensi tersebut, sementara penentuan jumlah skor maksimum
dilakukan dengan dengan cara mengkalikan jumlah skor maksimum dari setiap dimensi
dengan jumlah responden. Kemudian, untuk menentukan total skor per dimensi,
dilakukan dengan cara
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 23
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑘𝑜𝑟 = (𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟 𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑠𝑖
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑛) x 100
3) Penentuan nilai bobot tiap dimensi
Penentuan nilai persepsi tiap dimensi dilakukan dengan mengkalikan jumlah total skor
tiap dimensi dengan bobot per dimensi. Adapun bobot dari tiap dimensi adalah dimensi
knowledge sebesar 20%, dimensi skill sebesar 40%, dan dimensi attitudes sebesar 40%.
Penentuan bobot ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan seperti:
o Jumlah indikator dari setiap dimensi; dimensi knowledge memiliki bobot paling
sedikit karena dimensi ini hanya memiliki 5 indikator, sementara dimensi skill
dan attitudes memiliki jumlah bobot yang sama karena jumlah indikator yang
digunakan untuk mengukur dimensi ini lebih banyak, yakni 14 indikator untuk
dimensi skill, dan 11 indikator untuk dimensi attitude.
o Dimensi skill dan attitudes merupakan dua dimensi yang langsung dapat dilihat
dan dinilai oleh responden dalam interaksi sehari-hari, sementara dimensi
knowledge lebih sulit untuk dilihat secara nyata.
4) Penentuan nilai indeks
Penentuan nilai indeks persepsi secara keseluruhan dilakukan dengan menjumlahkan
nilai bobot dari setiap dimensi. Setelah itu, total jumlah tersebut disesuaikan dengan
kategorisasi indeks seperti yang terlihat pada Tabel 3.2.
b) Teknik Analisis Data Kualitatif
Data kualitatif yang didapatkan dari FGD diolah dengan membuat thematic coding
melalui open coding dan juga axial coding yang kemudian digunakan untuk menganalisis.
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah naratif deskriptif,
dimana peneliti akan menggambarkan dan menganalisis persepsi masyarakat terhadap
profesionalitas ASN di Indonesia secara naratif.
F. Uji Validitas dan Reliabilitas
Pada penelitian ini, uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap item-item
pernyataan yang dianalisis atau yang diukur dalam menilai profesionalitas ASN. Adapun item
pertanyaan yang diuji validitas dan reliabilitasnya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 24
Tabel 3.3. Item Pernyataan yang Diuji
Dimensi Indikator Pernyataan
Knowledge
Tacit Knowledge
ASN memiliki pengetahuan (intelegensi) umum yang
baik
ASN memiliki pengetahuan sosial budaya dan
kemasyarakatan yang baik
Explicit Knowledge
ASN mengetahui dengan baik prosedur pelayanan publik
yang ada di instansi masing-masing
ASN mampu memahami tugas dan fungsinya dengan
baik
ASN memiliki pengetahuan yang baik terkait kebijakan
(di tingkat nasional/daerah) yang dibuat oleh pemerintah
Skills
Public Service
Delivery Skills / Work
With Citizens
ASN mampu memberikan pelayanan publik secara tepat
waktu
ASN mampu memberikan pelayanan publik dengan tepat
biaya (tidak ada biaya tambahan)
ASN mampu memberikan pelayanan publik yang
inovatif
ASN mampu memberikan pelayanan publik dengan
memanfaatkan teknologi
ASN mampu memberikan respon yang tepat terhadap
pengaduan pelayanan publik
Policy Development
Skills
ASN membuat kebijakan yang dapat menyelesaikan
permasalahan masyarakat
ASN mampu melaksanakan kebijakan dengan baik
ASN mampu memperbaiki kebijakan yang belum
optimal
Interpersonal Skills /
Collaborate in
Network
ASN mampu mensosialisasikan kebijakan dengan baik
ASN mampu beradaptasi dengan perubahan
ASN mampu bekerja sama dengan satu sama lain
ASN memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik di
dalam masyarakat
ASN mampu berkolaborasi dengan masyarakat dan dunia
usaha
ASN mampu menjelaskan dengan baik prosedur yang
berlaku dalam suatu pelayanan
Attitudes
Working with Integrity
ASN bersikap disiplin dalam menaati peraturan
ASN bersikap bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
dalam melaksanakan tugas
ASN bersikap netral dalam pilpres dan pilkada
ASN memiliki motivasi kerja yang tinggi
Motivated to Serve
Public
ASN memiliki sikap melayani dalam menghadapi
masyarakat
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 25
Dimensi Indikator Pernyataan
ASN bersikap adil (tidak diskriminatif) dalam
memberikan pelayanan
ASN bersikap ramah dalam memberikan pelayanan
ASN bersikap akomodatif terhadap keluhan atau
pengaduan masyarakat
Committed to Public
Sector
ASN memiliki kepekaan sosial terhadap masyarkat
ASN bersikap mengayomi masyarakat
ASN bersikap menghormati seluruh lapisan masyarakat
1). Uji Validitas
Uji validitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai angka r hitung dan r tabel.
Jika r hitung lebih besar dari nilai r tabel, maka item dikatakan valid. Sebaliknya, jika r hitung
lebih kecil dari nilai r tabel, maka item dikatakan tidak valid. Untuk nilai r tabel, peneliti
menggunakan nilai signifikansi (tingkat kepercayaan) sebesar 5%. Uji validitas dalam
penelitian ini dilakukan terhadap 31 responden pre-test, dengan nilai r tabel sebesar 0,361.
Dengan demikian, item-item pertanyaan yang diuji dianggap valid jika memiliki nilai r hitung
lebih besar dibandingkan nilai r tabel. Berdasarkan hasil uji SPSS, berikut adalah hasil uji
validitas:
a. Dimensi Pengetahuan
Untuk dimensi pengetahuan, dari lima item pernyataan didapatkan hasil nilai korelasi Pearson
untuk semua item pernyataan lebih besar dibandingkan nilai r tabel, seperti yang terlihat pada
Tabel 3.4 berikut (hasil lengkap lihat lampiran 2). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
untuk dimensi pengetahuan, semua item pernyataan yang ditanyakan dalam kuesioner sudah
valid.
Tabel 3.4. Hasil Nilai r Hitung Dimensi Pengetahuan
Item Pernyataan Nilai r Hitung
ASN memiliki pengetahuan (intelegensi) umum yang baik ,782**
ASN memiliki pengetahuan sosial budaya dan kemasyarakatan yang baik ,726**
ASN mengetahui dengan baik prosedur pelayanan publik yang ada di
instansi masing-masing
,824**
ASN mampu memahami tugas dan fungsinya dengan baik ,828**
ASN memiliki pengetahuan yang baik terkait kebijakan (di tingkat
nasional/daerah) yang dibuat oleh pemerintah
,692**
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 26
b. Dimensi Keterampilan
Dimensi keterampilan memiliki 14 item pernyataan, dimana dari 14 item pernyataan,
hasil nilai korelasi Pearson lebih besar dibandingan nilai r tabel, seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 3.5 berikut ini (hasil lengkap pada lampiran 3). Dengan demikian, untuk dimensi
keterampilan, semua item pernyataan yang ada dalam kuesioner juga dinilai sudah valid.
Tabel 3.5. Hasil Nilai r Hitung Dimensi Keterampilan
Item Pernyataan Nilai r Hitung
ASN mampu memberikan pelayanan publik secara tepat waktu ,756**
ASN mampu memberikan pelayanan publik dengan tepat biaya (tidak ada
biaya tambahan)
,774**
ASN mampu memberikan pelayanan publik yang inovatif ,887**
ASN mampu memberikan pelayanan publik dengan memanfaatkan
teknologi
,699**
ASN mampu memberikan respon yang tepat terhadap pengaduan
pelayanan publik
,844**
ASN mampu membuat kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah
masyarakat
,889**
ASN mampu melaksanakan kebijakan dengan baik ,867**
ASN mampu memperbaiki kebijakan yang belum optimal ,820**
ASN mampu mensosialisasikan kebijakan dengan baik ,907**
ASN mampu beradaptasi dengan perubahan ,877**
ASN mampu bekerja sama dengan baik satu sama lain ,726**
ASN memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik di dalam masyarakat ,797**
ASN mampu berkolaborasi dengan masyarakat dan dunia usaha ,844**
ASN mampu menjelaskan dengan baik prosedur yang berlaku dalam suatu
pelayanan
,903**
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
c. Dimensi Sikap
Dimensi sikap memiliki 11 item pernyataan dengan hasil korelasi Pearson seluruh pernyataan
tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai r tabel, seperti yang dapat dilihat pada Tabel
3.6 berikut ini (hasil lengkap dapat dilihat pada lampiran 4). Dengan demikian, seperti halnya
dimensi pengetahuan dan keterampilan, untuk dimensi sikap, semua item pernyataan yang ada
dalam kuesioner juga dinilai sudah valid.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 27
Tabel 3.6. Hasil Nilai r Hitung Dimensi Sikap
Item Pernyataan Nilai r Hitung
ASN bersikap disiplin dalam menaati peraturan ,837**
ASN bersikap bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam
melaksanakan tugas
,865**
ASN bersikap netral dalam pilpres dan pilkada ,745**
ASN memiliki motivasi kerja yang tinggi ,834**
ASN memiliki sikap melayani dalam menghadapi masyarakat ,900**
ASN bersikap adil (tidak diskriminatif) dalam memberikan pelayanan ,879**
ASN bersikap ramah dalam memberikan pelayanan ,840**
ASN bersikap akomodatif terhadap keluhan atau pengaduan masyarakat ,851**
ASN memiliki kepekaan sosial terhadap masyarakat ,914**
ASN bersikap mengayomi masyarakat ,940**
ASN bersikap menghormati seluruh lapisan masyarakat ,819**
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
2). Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai angka Cronbach’s Alpha
dengan ketentuan nilai minimal Cronbach’s Alpha adalah 0,6. Hal ini berarti jika nilai
Cronbach’s Alpha yang didapatkan dari hasil perhitungan SPSS lebih besar dari 0,6, maka
disimpulkan bahwa kuesioner tersebut reliabel/konsisten. Sebaliknya, jika nilai Cronbach’s
Alpha lebih kecil dari 0,6 maka dapat disimpulkan bahwa alat ukur/kuesioner tidak reliabel.
Untuk uji reliabilitas, berdasarkan hasil SPSS, didapatkan hasil perhitungan Cronbach’s Alpha
sebagai berikut:
Tabel 3.7. Nilai Cronbach’s Alpha
Cronbach's Alpha N of Items
.975 30
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,975 atau lebih besar dari 0,6, maka dapat
disimpulkan bahwa semua item pernyataan dalam kuesioner ini sudah reliabel.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 28
BAB 4 ANALISIS HASIL
A. Analisis Hasil Survei Persepsi Masyarakat terhadap Profesionalitas ASN
1. Deskripsi Responden
Survei persepsi masyarakat terhadap profesionalitas ASN ini dilaksanakan di lima provinsi,
dengan jumlah responden sebanyak 2.575 orang dengan rincian sebagai berikut:
a) Domisili Responden
Berdasarkan domisili responden, mayoritas responden saat ini berasal dari Provinsi DKI
Jakarta sebanyak 1.045 responden (41%) dan Provinsi Bali sebanyak 515 responden (20%).
Berikut adalah grafik mengenai domisili responden:
Grafik 4.1. Domisili Responden
(n=2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
b) Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, dari 2.575 responden, mayoritas responden adalah perempuan
sebanyak 1.223 responden, sementara responden laki-laki berjumlah 1208 responden, dan 144
responden lainnya tidak menjawab. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hasil tersebut:
515
1045
370
210
435
0
200
400
600
800
1000
1200
Bali DKI Jakarta Kalimantan Timur Kepulauan Riau Yogyakarta
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 29
Grafik 4.2. Jenis Kelamin Responden
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
c) Usia
Responden pada survei ini merupakan penduduk yang berada di rentang usia produktif, dengan
mayoritas responden berusia 29 tahun ke bawah sebanyak 1.889 responden, sementara
responden lainnya berusia 30-44 tahun sebanyak 330 responden, 184 responden berusia 45-58
tahun, 15 responden berusia di atas 59 tahun, dan 157 responden tidak menjawab. Berikut
adalah grafik yang menggambarkan hasil tersebut:
Grafik 4.3 Usia Responden
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Laki-Laki46.90%
Perempuan47.50%
Tidak Menjawab5.60%
Laki-Laki Perempuan Tidak Menjawab
1889
330184
15157
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Usia Responden
< 29 Tahun 30 - 44 Tahun 45 - 58 Tahun > 59 Tahun Tidak menjawab
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 30
d) Pendidikan Terakhir
Demografi responden berdasarkan pendidikan terakhir dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Grafik 4.4 Pendidikan Terakhir Responden
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Berdasarkan grafik tersebut, mayoritas responden berpendidikan SMA/SLTA/MA/Sederajat,
yakni sebanyak 1.265 responden (49,1%), sementara yang berpendidikan Sarjana (S1) adalah
sebanyak 815 responden (31,7%), berpendidikan Pascasarjana sebanyak 154 responden (6 %),
Diploma sebanyak 149 responden (5,8%), SD/MI sebanyak 15 responden (0,6%),
SMP/SLTP/MTs/Sederajat sebanyak 27 orang (1%) dan 143 responden lainnya (5,6%) tidak
menjawab.
e) Pekerjaan
Berdasarkan pekerjaan, sebaran pekerjaan responden dapat dilihat pada grafik berikut ini:
7
27
1265
15
815
154
149
143
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Tidak Menjawab Diploma Pascasarjana (S2 & S3) Sarjana (S1)
SD/MI SMA/SLTA/MA/Sederajat SMP/SLTP/MTs/Sederajat Tidak Sekolah
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 31
Grafik 4.5 Pekerjaan Responden
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Berdasarkan grafik di atas, mayoritas responden merupakan pelajar/mahasiswa sebanyak 1.140
responden (44,3%), 451 responden bekerja sebagai pegawai swasta, 242 responden adalah
wiraswasta, 149 responden memiliki profesi lainnya, 119 responden tidak bekerja, 106
responden berprofesi sebagai ibu rumah tangga, 103 responden adalah guru/dosen, 102
responden adalah PNS, 27 responden merupakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(P3K), sementara 136 responden sisanya tidak menjawab.
2. Terpaan Informasi
Istilah Aparatur Sipil Negara (ASN) baru dikenal pada saat dikeluarkannya Undang-
Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), menggantikan Undang-
Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara. Sebelumnya,
masyarakat lebih banyak mengenal istilah PNS atau Pegawai Negeri Sipil untuk menyebut
pegawai yang bekerja pada sektor pemerintahan. Sementara itu pengertian Aparatur Sipil
Negara (ASN) menurut UU No. 5 Tahun 2014 adalah “Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat oleh pejabat pembina
kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara
lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, pengertian
ASN dengan PNS memang berbeda. Namun karena istilah ASN ini baru dikenal sejak 5 tahun
terakhir, maka masih banyak masyarakat yang kemudian menyamakan pengertian ASN dengan
103
106
27
451
1140
102
119
242
149
136
0 200 400 600 800 1000 1200
tidak menjawab
Lainnya
Wiraswasta
Tidak Bekerja
PNS
Pelajar/Mahasiswa
Pegawai Swasta
Pegawai Pemerintahdengan Perjanjian Kerja(P3K)Ibu Rumah Tangga
Guru/Dosen
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 32
PNS. Hal ini terlihat dari hasil survei yang mana mayoritas responden (1.407 atau 55%
responden) lebih banyak memahami ASN sebagai pegawai pemerintah/PNS/pegawai negeri.
Sementara itu, 195 responden memahami ASN sebagai abdi negara atau abdi pemerintah, dan
169 responden memahami ASN sebagai TNI/Polri. Dari hasil survei ini juga terlihat bahwa
hanya 145 responden yang memahami ASN sebagai PNS dan PPPK (kontrak). Berikut adalah
grafik yang menggambarkan hasil tersebut:
Grafik 4.6. Pemahaman Responden tentang ASN
(n=2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Selain pemahaman mengenai ASN yang masih tercampur dengan PNS, masyarakat
juga masih sering mengasosiasikan ASN dengan PNS. Hal ini tercermin saat masyarakat
ditanyakan mengenai 3 kata yang pertama kali terlintas di pemikiran mereka mengenai ASN.
Tiga kata yang paling banyak disebutkan oleh masyarakat adalah pegawai/PNS/Pejabat,
birokrasi/pemerintah, serta fasilitas/gaji/tunjangan.
Terkait dengan terpaan informasi, mayoritas responden selama tahun 2019 ini pernah
mendapatkan informasi mengenai ASN, yakni sebanyak 1.853 responden (72%). Sementara
itu 722 responden tidak pernah mendapatkan informasi mengenai ASN selama tahun 2019.
Adapun sumber informasi mengenai ASN paling sering didapatkan dari Media Sosial
(Facebook, Instagram, Twitter), media massa online (detik.com, kompas.com, dan
1407
195
169
72
54
145
47
132
57
29
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
Pegawai kontrak Pejabat
Pelayan publik/masyarakat Guru
PNS dan P3K Birokrat/Administratif
Aparat Negara/Pemerintah TNI/Polri
Abdi Negara/Abdi Masyarakat Pegawai Pemerintah/PNS/Pegawai Negeri
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 33
sebagainya), dan TV. Kemudian ada juga yang mendapatkan informasi dari website
pemerintah, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, dan sebagainya), koran, dan Youtube.
Sementara sumber informasi yang paling sedikit adalah dari majalah, radio, dan berita
selebaran. Berikut adalah grafik mengenai hasil tersebut:
Grafik 4.7 Penerimaan Informasi tentang ASN
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari 1.853 responden tersebut, 936 responden atau mayoritas responden (50,5%) lebih sering
mendapatkan berita negatif mengenai ASN, sementara 917 responden (49,5%) lebih sering
mendapatkan berita positif. Berikut adalah grafik yang menjelaskan hasil tersebut:
Grafik 4.8 Jenis Berita yang Paling Sering Didapatkan Responden tentang ASN
(n= 1853)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Adapun berita negatif yang paling sering didengar masyarakat mengenai ASN adalah
KKN/Pungli (38%), tidak disiplin (20%), penyalahgunaan wewenang (4,9%), tidak profesional
dan kinerja rendah (8%), skandal ASN (4%), radikal/anarkis/narkoba/kriminal (6%), tidak
netral dalam politik (0,5%), dan lainnya (22%). Sementara itu, untuk berita positif, yang paling
72%
28%
Ya Tidak
Positif42%Negatif
58%
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 34
sering didengar oleh responden adalah mengenai kinerja ASN, pembukaan lowongan ASN,
inovasi pelayanan publik, gaji, tunjangan dan fasilitas yang mendukung, prestasi ASN, serta
adanya reformasi dan perubahan di tubuh ASN.
Akan tetapi, meskipun berita yang paling sering didapatkan oleh responden mengenai
ASN adalah berita negatif, hal tersebut tidak membuat responden kemudian kehilangan
kepercayaan kepada ASN. Hal ini karena 1.137 responden (61,4%) merasa masih dapat
mempercayai ASN setelah mereka mendapatkan berita atau informasi mengenai ASN, dan
38,6% (716 responden) tidak percaya dengan ASN setelah mereka mendapatkan
berita/informasi tersebut. Berikut adalah grafik yang menjelaskan hasil tersebut:
Grafik 4.9 Kepercayaan Responden terhadap ASN setelah
Mendapatkan Berita tentang ASN
(n =1853)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Salah satu jenis terpaan informasi adalah iklan atau kampanye mengenai ASN. Namun
selama tahun 2019, mayoritas responden (52%) ternyata tidak pernah melihat iklan atau
kampanye mengenai ASN. Sementara itu 48% responden lainnya pernah melihat
kampanye/iklan mengenai ASN. Adapun iklan/kampanye mengenai ASN yang paling sering
mereka lihat adalah iklan mengenai lowongan pekerjaan ASN dan iklan mengenai pelayanan
publik. Sementara itu iklan mengenai kinerja ASN adalah iklan yang paling jarang mereka
lihat. Iklan/kampanye tersebut paling sering dilihat melalui media sosial (Facebook,
Instagram, Twitter), media massa online (detik.com, kompas.com, dan lain-lain), dan TV. Ada
pula responden yang melihat iklan/kampanye tersebut melalui aplikasi chatting, website
instansi pemerintah, dan koran. Sementara itu, Youtube, baliho/reklame, poster/selebaran,
Percaya61.40%
Tidak Percaya 38.60%
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 35
majalah, dan radio menjadi sumber media mengenai iklan/kampanye ASN yang paling sedikit
dilihat/didengar. Berikut adalah grafik yang menjelaskan mengenai hal tersebut:
Grafik 4.10. Pernah/Tidaknya Responden Melihat Iklan/Kampanye mengenai ASN
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari 1.237 responden yang pernah melihat iklan/kampanye ASN, 595 responden (48,1%)
merasa bahwa iklan tersebut tidak mencerminkan ASN yang sesungguhnya. Sementara itu 642
responden sisanya (51,9%) merasa bahwa iklan tersebut sudah mencerminkan ASN yang
sesungguhnya. Berikut adalah grafik yang menggambarkan hasil tersebut:
Grafik 4.11 Cerminan ASN pada Iklan/Kampanye
(n = 1237)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Adapun media yang paling sering digunakan/diakses untuk melihat atau mendapatkan berita
dan iklan tentang ASN adalah media Internet seperti Youtube, Instagram, Facebook, atau
Twitter sebanyak 747 responden, media massa online (kompas.com, detik.com, dan
sebagainya) sebanyak 233 responden, melalui televisi sebanyak 174 responden, media cetak
(koran, majalah, dan sebagainya) sebanyak 57 responden, baliho/reklame/spanduk sebanyak
Ya48%
Tidak52%
Ya 51.90%
Tidak48.10%
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 36
18 responden, melalui radio sebanyak 4 responden, dan media lainnya sebanyak 4 responden.
Berikut adalah grafik yang menggambarkan hasil tersebut:
Grafik 4.12 Media yang Paling Sering Digunakan/Diakses
(n = 1237)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Hasil survei juga memperlihatkan bahwa jenis iklan mengenai ASN yang paling
diinginkan oleh responden adalah iklan mengenai layanan masyarakat, iklan mengenai
program pemerintah, iklan mengenai lowongan kerja ASN, iklan prosedur pelayanan, iklan
inovasi ASN, serta iklan mengenai prestasi ASN. Hasil yang sama juga tercermin dari diskusi
kelompok terfokus (FGD) yang dilaksanakan di Jakarta pada 27 November. Narasumber
akademisi dan narasumber dari Kompas TV sepakat bahwa berita mengenai pelayanan publik,
terutama pelayanan publik yang inovatif, perlu lebih diangkat dan disebarluaskan. Selain
menjadi kampanye positif di kalangan masyarakat awam, pemberitaan mengenai prestasi
pelayanan publik tersebut dapat memicu terjadinya replikasi di instansi lain, "pertama
masyarakat melihat oh ya bagus, kedua pelayanan publik yang lain bisa ikut" (Rudita, 2019).
Narasumber dari Kompas TV mencontohkan Mall Pelayanan Publik sebagai salah satu inovasi
pemerintah yang sebenarnya bagus tetapi kurang mendapat sorotan. Selanjutnya ia pun
menyatakan bahwa terkadang pihak media massa sudah berinisiatif untuk memberitakan
pelayanan-pelayanan publik yang dinilai memiliki nilai lebih, tetapi seringkali terbentur
dengan sikap tertutup dari instansi pemerintah itu sendiri. "waktu itu media pun pernah
ngangkat soal bagaimana pelayanan publik, tapi dari pemerintah sendiri kurang gitu loh, jadi
ya tertutup gitu loh," ungkapnya (Astutiningrum, FGD Jakarta, 27 November 2019).
747
233
174
57
18
4
4
lainnya radio baliho/reklame/spanduk
Media cetak Televisi Media Massa Online
Media Sosial
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 37
3. Pengalaman Berinteraksi
Aspek kedua yang dilihat adalah pengalaman responden dalam berinteraksi dengan
ASN. Berdasarkan hasil survei, dari 2.575 responden, sebanyak 1.918 responden (74,5%)
menyatakan bahwa mereka pernah berinteraksi dengan ASN selama tahun 2019. Sementara itu
657 responden lainnya menyatakan bahwa mereka tidak pernah berinteraksi dengan ASN.
Grafik 4.13 Pernah/Tidaknya Responden Berinteraksi dengan ASN
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Sebagian besar responden mengaku bahwa mereka berinteraksi dengan ASN di kantor instansi
pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota. Tempat lain di mana responden
sering berinteraksi dengan ASN adalah di sekolah/lembaga pendidikan, tempat umum, serta
kantor instansi pemerintah pusat. Adapun mayoritas responden (1.183) berinteraksi dengan
ASN dalam satu bulan terakhir selama kurang dari 5 kali. Sementara itu responden yang
berinteraksi lebih dari 10 kali berjumlah 493 responden, dan yang berinteraksi antara 5-10 kali
adalah sebanyak 243 responden. Berikut adalah grafik yang menjelaskan hasil tersebut:
Ya74,5%
Tidak25,5%
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 38
Grafik 4.14 Frekuensi Interaksi Responden dengan ASN
(n=1.918)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Terkait dengan pengalaman responden dalam berinteraksi, sebagian besar responden,
yakni 2.070 responden (80,4%) memiliki hubungan dengan ASN, dan 19,6% sisanya tidak
memiliki hubungan dengan ASN. Adapun bentuk hubungan yang paling banyak adalah
hubungan pertemanan, saudara, hanya bertemu di tempat pelayanan, tetangga, hubungan
keluarga dan beberapa adalah ASN itu sendiri. Untuk hubungan keluarga, mayoritas hubungan
keluarga yang dimiliki adalah orang tua responden, baik itu ayah maupun ibu, berprofesi
sebagai ASN. Berikut adalah grafik yang menjelaskan hasil tersebut:
Grafik 4.15 Kepemilikan Hubungan Responden dengan ASN
(n=2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari 1.918 responden yang pernah berinteraksi dengan ASN, hal yang paling sering responden
rasakan adalah hal yang positif atau baik, yaitu sebanyak 1.509 responden (78,7%). Sementara
itu 409 responden sisanya (21,3%) merasakan hal yang buruk/negatif ketika berinteraksi
dengan ASN. Adapun hal positif yang paling sering dialami oleh responden adalah sikap ASN
1183
243
493
< 5 kali 5-10 kali > 10 kali
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Ya Tidak
80%
20%
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 39
dalam melayani, ASN yang bersikap informatif, ASN memberikan pelayanan yang baik, ASN
berwawasan luas, serta ASN mampu berkomunikasi dengan baik. Sementara itu, hal negatif
yang dirasakan oleh responden saat berinteraksi dengan ASN adalah sikap ASN yang tidak
menyenangkan, pelayanan yang lambat, berbelit-belit, bekerja tidak profesional, tidak
kompeten, serta sering melakukan pungutan liar. Berikut adalah grafik yang menggambarkan
hasil tersebut:
Grafik 4.16 Hal yang Sering Dirasakan oleh Responden saat Berinteraksi dengan ASN
(n=1918)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Meskipun seringkali interaksi yang terjadi antara responden dengan ASN bersifat
negatif/buruk, hal tersebut tidak membuat responden berhenti mempercayai ASN. Hal ini
terlihat dari hasil survei dimana dari 1.918 responden yang pernah berinteraksi dengan ASN,
1.418 responden (74%) menyatakan bahwa mereka masih memiliki kepercayaan terhadap
ASN. Sementara itu 500 responden lainnya (26%) menyatakan bahwa setelah berinteraksi
dengan ASN, mereka tidak lagi memiliki kepercayaan dengan ASN. Berikut adalah grafik yang
menggambarkan hasil tersebut:
79%
21%
Baik/Positif Buruk/Negatif
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 40
Grafik 4.17 Kepercayaan Responden kepada ASN setelah Berinteraksi
(n=1918)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
4. Penilaian Profesionalitas
Aspek terakhir yang diukur dalam kuesioner ini adalah penilaian masyarakat terhadap
dimensi-dimensi profesionalisme ASN. Terdapat 3 dimensi profesionalitas ASN yang diukur,
yakni dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan dan dimensi sikap. Berikut adalah
penjelasan dari ketiga dimensi tersebut:
a) Dimensi Pengetahuan
Dimensi pengetahuan terdiri atas 5 indikator yang dibedakan menjadi indikator
mengenai pengetahuan umum, pengetahuan sosial dan budaya, pengetahuan mengenai tugas
dan fungsi, pengetahuan mengenai pelayanan, serta pengetahuan mengenai kebijakan publik.
Berikut adalah hasil survei secara keseluruhan untuk dimensi pengetahuan:
Grafik 4.18. Dimensi Pengetahuan
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Grafik 4.18 di atas menunjukkan bahwa untuk dimensi pengetahuan, mayoritas responden
masih memiliki persepsi yang positif, yakni sebanyak 77,4%. Sementara 22,6% responden
Positif77.40%
Negatif22.60%
74%
26%
Ya Tidak
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 41
lainnya masih memiliki persepsi yang negatif mengenai pengetahuan ASN. Hasil yang sama
juga terlihat di lima provinsi yang disurvei, yakni Bali, Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan Timur,
dan Kepulauan Riau.
Di Bali, dari 515 responden, mayoritas responden (90,1%) memiliki persepsi positif
mengenai pengetahuan ASN, dan hanya 9,9% responden yang memiliki persepsi negatif. Di
Yogyakarta, jumlah responden yang memiliki persepsi positif mengenai pengetahuan ASN ada
sebanyak 324 responden (74,5%) dari 435 responden, dan 25,5% responden lainnya masih
memiliki persepsi negatif. Di Kalimantan Timur, dari 370 responden, 77,6% responden atau
sebanyak 287 orang berpersepsi positif, dan 83 orang (22,4%) berpersepsi negatif untuk
dimensi ini. Hasil yang sama juga terjadi di Kepulauan Riau dan Jakarta dengan hasil di
Kepulauan Riau, dari 210 responden, 60% memiliki persepsi positif, dan 40% sisanya
berpersepsi negatif. Sementara di Jakarta, dari 1045 responden, 75,9% atau 793 responden
berpersepsi positif, dan 24,1% atau 252 responden masih berpersepsi negatif mengenai
pengetahuan ASN. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hasil tersebut
Grafik 4.19. Dimensi Pengetahuan Per Daerah
{n = 515 (Bali), 435 (Yogyakarta), 370 (Kalimantan Timur), 210 (Kepulauan Riau), 1045
(Jakarta)}
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Tingginya nilai persepsi positif untuk dimensi ini memperlihatkan bahwa ASN di Indonesia
dinilai sudah memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam menjalankan tugasnya. Hasil ini
juga didukung oleh hasil diskusi kelompok terfokus. Untuk di Jakarta misalnya, narasumber
DKI Jakarta menilai bahwa sesungguhnya mayoritas ASN sudah memiliki pengetahuan yang
P…
N…
C…
Bali Yogyakarta KalimantanTimur
KepulauanRiau
Jakarta
90.10%
74.50% 77.60%60%
75.90%
9.90%
25.50% 22.40%
40%
24.10%
Positif Negatif
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 42
bagus mengenai pekerjaan mereka. ASN dalam persepsi mereka dianggap memiliki
kompetensi dan expertise pada bidang pekerjaan masing-masing, "… kompetensi, saya lihat
sudah kompeten lah ya, karena memang mungkin dia tahu sebetulnya gitu loh. Dia karena kan
memang didukung oleh job desc-nya juga dia tahu, cuma memang karena tadi willingness
untuk berbuat baik itu belum ada, willingness-nya." (Widya, FGD Jakarta, 27 November
2019). Namun terkait dengan kompetensi, salah seorang narasumber di Kalimantan Timur
menuturkan bahwa LAN Samarinda sudah memberikan berbagai pelatihan untuk peningkatan
kompetensi ASN. Namun yang terjadi, “..Mereka cuma sekedar untuk kegiatan saja itu ya
jadi.. belum dijadikan alat untuk meningkatkan kompetensi mereka, cuma sekedar kegiatan aja
karena ini udah di anggarkan kok” (FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019). Jadi, di
Kalimantan Timur, peningkatan kompetensi dalam bentuk latihan masih dianggap sebagai
sebuah formalitas dan dilaksanakan karena sudah dianggarkan oleh pemerintah. Narasumber
tersebut juga menambahkan bahwa kompetensi ASN di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh
mutasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Menurutnya, “..kalau tempatnya dipindah nanti
orang kan belajar lagi dari nol, itu kan jadi gak kompeten lagi kan, harus ngulang lagi dari
nol, ketika ada mutasi-mutasi dalam waktu setahun itu ada berapa kali mutasi, jadi tidak efektif
mereka akan dibilang jadi tidak profesional” (FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019.
Dengan demikian, fakta di kedua daerah tersebut menunjukkan bahwa ASN sudah dianggap
memiliki kompetensi dan kompetensi ASN dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Namun,
pelatihan yang ada masih dianggap sebatas formalitas dan kebijakan mutasi yang tidak
memperhatikan kompetensi pegawai dapat berpengaruh terhadap profesionalitas ASN.
b) Dimensi Keterampilan
Di dimensi ini, profesionalitas ASN diukur melalui 3 aspek, yakni keterampilan dalam
melakukan pelayanan publik, keterampilan dalam membuat kebijakan, serta keterampilan
interpersonal. Hasil survei secara keseluruhan menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
dengan hasil pada dimensi pengetahuan. Mayoritas responden, yakni 65,6%, memiliki persepsi
positif terhadap keterampilan yang dimiliki oleh ASN, dan 34,4% sisanya masih memiliki
persepsi negatif mengenai keterampilan ASN. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan
hasil tersebut:
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 43
Grafik 4.20. Dimensi Keterampilan
(n = 2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Seperti halnya dimensi pengetahuan, masih banyaknya responden yang berpersepsi positif di
dimensi keterampilan juga ditunjukkan di empat wilayah survei, seperti yang ditunjukkan oleh
grafik berikut ini:
Grafik 4.21. Dimensi Keterampilan Per Daerah
{n = 515 (Bali), 435 (Yogyakarta), 370 (Kalimantan Timur), 210 (Kepulauan Riau), 1045
(Jakarta)}
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari grafik 4.21 di atas dapat dilihat bahwa dari kelima wilayah, jumlah responden yang
berpersepsi positif mengenai keterampilan ASN ada di wilayah Bali, yakni sebesr 84,3%,
diikuti oleh wilayah Yogyakarta sebesar 70,60%, Jakarta sebesar 66,7%, dan Kalimantan
Timur sebesar 65,1%. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh hasil survei di wilayah Kepulauan
Riau, dimana untuk Kepulauan Riau, mayoritas responden justru masih berpersepsi negatif
Positif65.60%
Negatif34.40%
Bali Yogyakarta KalimantanTimur
KepulauanRiau
Jakarta
84.30%70.60%
65.10%
45.70%
66.70%
15.70%29.40% 34.90%
54.30%
33.30%
Positif Negatif
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 44
mengenai keterampilan yang dimiliki oleh ASN, yakni sebesar 54,3%, sementara 45,7%
sisanya sudah memiliki persepsi positif mengenai keterampilan ASN.
Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai melihat bahwa keterampilan yang
dimiliki oleh ASN sudah semakin membaik, seperti yang dinyatakan oleh salah satu peserta
FGD di Bali berikut ini:
“Kalau saya, skill itu, saya tidak berani kasih kecil. Buktinya, PAD Bali ini lumayan besar, tidak
punya migas. Itu skill orang Bali itu luar biasa. Karena kita di Bali, Arab bisa kaya karena dia
punya minyak. Coba kalau dia nggak punya minyak kan. Emang dia punya apa? Itu kalau orang
Bali ini, kalau skill-nya ini udah besar lah”. (Widyani, Focus Group Discussion Bali, 16
November 2019).
Akan tetapi, masih adanya wilayah dengan nilai persepsi negatif yang cukup tinggi
mengindikasikan bahwa untuk dimensi keterampilan ini masih banyak kekurangan, salah
satunya terkait dengan penempatan serta proses mutasi pegawai. Hal ini terlihat pada hasil
diskusi kelompok terfokus yang dilaksanakan di Bali berikut ini:
“Kemudian saya lihat, yang menghambat, penempatannya itu kan tanda tanya.
Bagaimana sebenernya recruitment-nya? Terus kemudian, mutasinya itu kadang-
kadang cepet sekali. Sepertinya kok nggak ada aturan, SOP yang jelas, bagaimana
memutasi mereka. Nah, kemudian kadang cepet banget dirolling. Itu kan membuat
mereka melambat. Sekarang ada di dinas pertanian, besok di dinas pemberdayaan
perempuan. Gimana nggak—logikanya kan mereka butuh waktu, jadi melambatkan
kinerja mereka, kalau saya pikir ya. Kenapa nggak itu, apakah ada aturan, mereka
berkarier di bidang yang sesuai dengan mereka, kemudian di situ aja, sampai di top of
jabatan lah.” (Dewi, Focus Group Discussion Bali, 16 November 2019)
“Kalau menurut saya, dari mahasiswa, kenapa ASN itu dia cenderung lambat, priyayi,
karena tidak sesuai dengan kompetensinya. Mutasi berulang-ulang, pindah sana-sini,
tapi tidak sesuai dengan kemampuannya dia…Kemudian, pemerintah itu kurang
memetakan talenta ASN-nya, sehingga ketika dia bekerja, dia harus mencari tahu
sekian lama, kemudian bawahannya juga no care. Itu yang terjadi. Kemudian beban
pekerjaan pemerintah itu kan berbeda-beda…Tapi kompetensinya dia tidak mau
ditingkatkan. Dia mampunya gimana, dia nggak tahu. Di mana kemampuannya
bekerja. Itu yang terjadi sekarang. Kemudian terkait dengan inovasi, itu menciptakan
ASN itu kalau diklat, menciptakan inovasi. Nah, cenderung peserta ASN itu untuk
menciptakan inovasi itu dia tidak tahu permasalahannya apa. Untuk menjawab
permasalahannya itu seperti apa.” (Widiantini, Focus Group Discussion Bali, 16
November 2019)
Dari hasil FGD di Bali, dapat dilihat bahwa salah satu permasalahan terkait dengan
keterampilan ASN adalah banyaknya kesalahan penempatan pegawai pada jabatan atau tugas
yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan maupun kompetensinya. Di Kepulauan Riau
misalnya, ditemukan adanya bidan yang harus bertugas di bagian administrasi keuangan (hasil
diskusi kelompok terfokus Kepulauan Riau, 12 November 2019). Hal ini juga ditambah dengan
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 45
tidak adanya transfer pengetahuan yang baik pada saat terjadi perubahan jabatan (mutasi), dari
pejabat yang lama kepada pejabat yang baru, seperti yang dikemukakan oleh narasumber dari
FGD di Jakarta berikut ini: "... kemudian ya rotasi mutasi, dengan apa namanya juga kaitanya
dengan yang pengelolaan pengetahuan. Karena itu tuh jadinya, yaudah, kayak dari nol lagi.
Iya Mba nggak dapat itu nya dari yang pertama gitu kan" (Rostanty, FGD Jakarta, 27
November 2019). Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan expertise seorang
ASN dengan jabatan yang dipangkunya merupakan sebuah poin problem tersendiri yang
muncul ketika mendiskusikan keterampilan kerja ASN. Narasumber yang berasal unsur
pengusaha mengangkat isu tersebut dalam diskusi, "... banyak sekali crossing ini loh Pak e
crossing jabatan, dari kepala bidang ini menjadi tiba-tiba e orang dari laut tiba-tiba di darat,
dari darat ke laut misalnya gitu loh. … Jalur karir-nya nggak sesuai" (Widya, FGD Jakarta,
27 November 2019). Menurut narasumber pengusaha, konsep the right person at the right
place masih belum diterapkan secara optimal dalam proses penempatan ASN.
Hal senada juga terjadi di Kalimantan Timur. Hasil diskusi terfokus menunjukkan
bahwa mutasi sangat lekat dengan ASN. “Pengalaman waktu saya di daerah itu ya, dalam
waktu satu tahun ada tuh yang dilantik tiga kali..itu luar biasa..berarti kan artinya kan
beberapa jabatan kan dalam setahun belum nyampe setahun udah di pindah lagi”, ungkapnya
(FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019). Faktor politik ditengarai sebagai faktor penentu
terjadinya mutasi di Kalimantan Timur. Seorang narasumber diskusi kelompok terfokus
menyatakan bahwa “..jadi ada, memang kalau di daerah itu memang faktor politis itu sangat
ini ya..” (FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019). Sementara itu faktor politik
menyebabkan terjadinya like dan dislike dan menjadi dasar dalam memindahkan pegawai,
seperti dituturkan oleh salah seorang narasumber, yaitu “..yaa, kondisinya memang begitu,
karena ada sistem politik yang like dislike aaa itu yang bisa-bisa me.., kalau di Kaltim sendiri
jangankan guru jadi camat, di sini ada yang guru jadi kepala dinas ada.. dinas pasar..haha..
“ (FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019).
Dengan demikian, proses manajemen SDM juga menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi keterampilan dari ASN itu sendiri. Mutasi yang terjadi di berbagai daerah
dianggap sebagai faktor penghambat peningkatan keterampilan ASN. Hal ini karena mutasi
tidak didasarkan atas keahlian ASN melainkan didasarkan atas like dan dislike yang
dipengaruhi oleh faktor politik.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 46
c) Dimensi Sikap
Dimensi sikap terdiri atas 3 aspek, yakni bekerja dengan integritas (working with
integrity), motivasi untuk melayani masyarakat (motivated to serve public), dan komitmen
terhadap sektor publik (committed to public sector). Dimensi sikap ini merupakan dimensi yang
paling nyata untuk dinilai oleh masyarakat karena dimensi ini yang akan terlihat pada saat
masyarakat berinteraksi dengan ASN. Secara keseluruhan, hasil survei untuk dimensi sikap ini
dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 4.22 Dimensi Sikap
(n=2575)
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk dimensi sikap, meskipun mayoritas
responden masih memiliki persepsi yang positif mengenai sikap ASN, yakni sebesar 56%,
namun jumlah responden yang memiliki persepsi negatif juga cukup besar, yakni 44%. Jika
dibandingkan dengan kedua dimensi lainnya, nilai persepsi untuk dimensi sikap ini memiliki
nilai persepsi positif yang paling kecil dan nilai persepsi negatif yang paling besar.
Hasil untuk dimensi sikap di 5 wilayah survei juga sangat bervariasi. Untuk, wilayah
Bali dan Kalimantan Timur, mayoritas responden memiliki persepsi positif mengenai sikap
dari ASN, akan tetapi di wilayah Yogyakarta dan Kepulauan Riau, mayoritas responden
memiliki sikap negatif mengenai sikap ASN. Sementara di Jakarta, jumlah responden yang
memiliki persepsi negatif dengan responden yang memiliki persepsi positif cenderung
berimbang. Berikut adalah grafik yang memperlihatkan hasil survei untuk dimensi sikap di
lima wilayah tersebut:
56%44%
Positif Negatif
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 47
Grafik 4.23. Dimensi Sikap Per Daerah
{n = 515 (Bali), 435 (Yogyakarta), 370 (Kalimantan Timur), 210 (Kepulauan Riau), 1045
(Jakarta)}
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari grafik 4.23 di atas dapat dilihat bahwa, dimensi persepsi positif terbesar ada di
wilayah Bali, dan dimensi persepsi positif terkecil ada di wilayah Yogyakarta. Akan tetapi,
meskipun di wilayah Bali dimensi sikap memiliki persepsi yang cenderung positif, namun hasil
FGD di Bali juga memperlihatkan masih adanya kekecewaan dari masyarakat mengenai sikap
ASN, seperti yang dikemukakan oleh salah satu peserta FGD berikut: “Kalau skill, knowledge
itu jangan kasih 7. Kasih 8 atau 9. Tapi kalau attitude ini, saya kasih 6 aja. Karena memang ini yang
kuncinya. Karena attitude ini pengaruh dari lingkungan.” (Winata, Focus Group Discussion Bali, 16
November 2019).
Dari hasil FGD juga ditemukan bahwa alasan mengapa dimensi sikap di Bali memiliki
nilai persepsi positif paling kecil dan nilai persepsi negatif paling besar dibandingkan kedua
dimensi lainnya. Salah satunya adalah masih tingginya sikap tidak disiplin di kalangan ASN,
yang bahkan kemudian sudah berkembang menjadi sebuah budaya organisasi. Bahkan di Bali
terdapat rumusan 704, yakni ASN yang absen pada pukul 7, kemudian pergi dari kantor di
tengah hari, dan datang kembali pukul 4 sore untuk absen, seperti yang diutarakan oleh salah
satu peserta FGD berikut ini:
“Ini ada beberapa penelitian dari mahasiswa, itu ada mereka punya istilah rumus 704.
Mereka dateng absennya jam 7, kemudian di tengahnya itu hilang, nanti jam 4 datang
lagi absen. Itu mereka istilahkan 704. dengan alasan yang, alasannya tidak jelas.
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
Bali Yogyakarta KalimantanTimur
KepulauanRiau
Jakarta
76.10%
46.90%
59.70%
47.60% 50%
23.90%
53.10%
40.30%
52.40% 50%
Positif Negatif
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 48
Mereka itu budayanya seperti itu, mereka saling toleransi. Sekarang si A, B, C,
besoknya si DEF seperti itu. Jadi mereka seolah menciptakan budaya organisasi
seperti itu. Nah, kemudian, pada saat mau apel itu, mereka juga begitu. Diabsenkan.
Mereka kadang pada saat ini, sebelum absen wajah ya, menggunakan absen sidik jari,
mereka gantian sama temennya.” (Widiantini, Focus Group Discussion Bali, 16
November 2019)
Sikap lain dari ASN yang dirasakan masih buruk adalah sikap kurang melayani masyarakat,
seperti yang dikemukakan oleh salah satu peserta FGD berikut ini:
“Kebetulan saya juga bisnis itu banyak, di PLN juga, di pemerintah juga. Merasakan
gimana kinerja ASN itu kurang melayani. Contoh, urusan HAKI misalnya. Kebetulan
saya pengusaha, tapi punya 7 HAKI. Itu prosesnya rumit bukan main. Sudah online
sekalipun, masih macet sana-sini. Bayangkan, hanya untuk menerbitkan HAKI itu perlu
satu tahun.” (Jondra, Focus Group Discussion Bali, 16 November 2019).
Hasil FGD di Jakarta juga memperlihatkan keluhan yang hampir sama untuk sikap
ASN, meskipun hasil survei di Jakarta memperlihatkan jumlah responden yang berpersepsi
positif dengan yang berpersepsi negatif berimbang. Narasumber mahasiswa mengeluhkan
adanya mentalitas silo yang masih nampak di dalam instansi pemerintah, "... mengenai
egosentrisme tadi bener antara di Departemen. Padahal 1 point yang sama tapi kadang waktu
e saya pernah magang, itu minta data saja kayak sulit, kayak Departemen yang lain gitu loh"
(Maulidianto, FGD Jakarta, 27 November 2019).
Narasumber lain mengeluhkan adanya sikap arogan dari ASN pada saat memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Di level jabatan menengah ke bawah, arogansi ASN dirasakan
dalam bentuk perbedaan perilaku pada golongan masyarakat tertentu. Para narasumber menilai
bahwa kinerja pelayanan ASN kerap dipengaruhi oleh status orang yang mereka hadapi. "…
lah itu sikapnya itu sudah nggak bisa Bu gini gini gini gini dengan agak arogan, begitu dia
tahu kita kenal menterinya, misalnya kita WA menterinya, terus nanti kita telfon menterinya di
depan dia, itu langsung sikapnya berbeda" (Widya, FGD Jakarta, 27 November 2019).
Narasumber mahasiswa sendiri menambahkan bahwa para mahasiswa yang membutuhkan data
untuk kajian Badan Eksekutif Mahasiswa kerap mendapat perlakuan tidak ramah dari ASN,
"... pada saat kita survey langsung datang ketemu ASN itu sendiri kadang kita mendapatkan
perlakuan yang justru malah nggak enak, dan dia malah ee intinya memberikan sikap-sikap
yang menunjukkan kurang profesionalnya" (Maulidianto, FGD Jakarta, 27 November 2019).
Arogansi di level pejabat senior tercermin dari keengganan mereka untuk meng-upgrade
keterampilan mereka sesuai perkembangan jaman. "Karena ASN itu mohon maaf ya untuk level
menengah ke atas itu sudah dalam level arogan, mereka arogan kan? Mereka merasa
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 49
penguasa atau apa gitu, jadi itu ya nggak upgrade nggak papa kan ada sekretaris" (Widya,
2019). Pejabat level menengah ke atas cenderung menunjukkan sikap ingin dilayani dan
mengandalkan asisten/sekretaris untuk melakukan pekerjaan yang remeh temeh.
Di Kalimantan Timur, sikap ASN juga banyak mendapatkan sorotan. Salah seorang
narasumber mahasiswa menyoroti masalah kedisiplinan ASN. “..jadi kan kadang kan kalau
kita di pemerintahan ataupun kantor itu jam 2 tuh baru ada pelayanan lagi..,” tuturnya (FGD
Kalimantan Timur, 20 November 2019). Selain masalah kedisiplinan, kerahaman ASN juga
masih menjadi hal yang perlu ditingkatkan. Salah seorang narasumber menceritakan
pengalamannya dalam mengurus perizinan. Dirinya mengatakan “..wah kalau ramah mah jauh
Mas.. haha.. sampeyan coba aja dateng kesana ke Disdukcapil, mengurus KTP..” (FGD
Kalimantan Timur, 20 November 2019).
Netralitas ASN menjadi poin tersendiri yang disorot oleh para narasumber. "He’eh jadi
mesin politik, lalu memang orientasi pegawai ini masih ada mereka berfikir tuh siapa
pemimpinnya yang itu e itu mempengaruhi nasibnya dia gitu loh. Kalau mereka nggak
membangun kedekatan sama penguasa gitu loh, itu jadi apa kira-kira begitu" (Rudita, FGD
Jakarta, 27 November 2019). Preferensi politik ASN ini secara tidak langsung mempengaruhi
profesionalitas mereka dalam bekerja. Narasumber pengusaha mengungkapkan
pengamatannya bahwa kinerja oknum ASN dapat meningkat atau menurun tergantung apakah
mereka suka latar belakang politik pemimpin yang memimpinnya saat itu.
Dalam menjelaskan sikap-sikap ASN yang tidak profesional, motivasi awal seorang
individu saat mendaftar dan mengikuti proses rekruitmen CASN perlu dipertanyakan. Menurut
narasumber dari Kompas TV:
"... karena ee balik lagi ketika kita mau bekerja kan mungkin mindset-nya kita itu apa.
… biasanya jawabnya jadi PNS karena apa? 'Karena saya pengen e disuruh orang tua'
gitu. ... Kalau misalkan istilahnya kalau mentalitas mereka aja tidak kuat dari awal
gitu dari masuk itu juga mungkin akhirnya berpengaruh sampai ke mereka menjabat di
suatu posisi jabatan tertentu gitu" (Astutiningrum, FGD Jakarta, 27 November 2019).
Pembekalan dan penanaman nilai-nilai profesionalitas sebenarnya telah masuk di kurikulum
pelatihan pra-jabatan yang wajib diikuti para calon ASN sebelum memulai pengabdian.
Namun, narasumber dari PATTIRO menilai bahwa pada akhirnya lingkungan organisasi
kembali membentuk mentalitas para ASN, "Saya ngelihat bagaimana si ASN yang muda-muda
itu kemudian, nah itu mereka muda tapi akhirnya juga sudah terkontaminasi gitu" (Rostanty,
FGD Jakarta, 27 November 2019).
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 50
d) Hasil Indeks Persepsi Masyarakat Mengenai Profesionalitas ASN
Dari hasil survei untuk ketiga dimensi profesionalitas yang diukur di atas, kajian ini
kemudian membuat indeks persepsi masyarakat mengenai profesionalitas ASN. Secara
keseluruhan, nilai indeks persepsi masyarakat mengenai profesionalitas ASN dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4.1. Indeks Persepsi Masyarakat Mengenai Profesionalitas ASN
Dimensi Jumlah
Skor
Skor
Maksimum
Total
Skor
Bobot Nilai
Indeks
Persepsi
Kategori
Pengetahuan 36.192 51.500
70,28
14,06
67,2
Profesionalisme
Sedang Keterampilan 97.086 144.200 67,33 26,93
Sikap 74.250 113.300 65,53 26,21
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Untuk hasil indeks persepsi masyarakat per wilayah, juga memperlihatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan hasil keseluruhan, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.2. Indeks Persepsi Masyarakat Mengenai Profesionalisme ASN Per Wilayah
Wilayah Nilai Indeks Per Dimensi Nilai Indeks
Profesionalitas
Kategori
Indeks
Pengetahuan Keterampilan Sikap
Bali 74.23 71.71 70.26 71.63
Profesionalitas
Sedang
Yogyakarta 69.49 66.47 64.41 66.25
Kalimantan Timur 70.66 68.67 67.11 68.45
Kepulauan Riau 66.60 65.10 64.09 65.00
Jakarta 69.25 65.50 63.41 65.41
Sumber: Data olahan peneliti, 2019
Dari tabel 4.2 di atas dapat terlihat bahwa nilai indeks persepsi masyarakat mengenai
profesionalitas ASN paling tinggi berada di wilayah Bali, dimana untuk nilai indeks dimensi
pengetahuan di Bali bahkan mencapai nilai 74,23 atau berada di kategori profesionalitas tinggi.
Sementara itu nilai indeks persepsi masyarakat paling rendah ada di wilayah Kepulauan Riau,
dengan nilai indeks persepsi keseluruhan sebesar 65.
Dengan demikian, berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat terlihat bahwa nilai
indeks persepsi masyarakat mengenai profesionalitas ASN berada pada kategori
Profesionalitas Sedang dengan nilai indeks sebesar 67,2. Hal ini berarti, secara umum,
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 51
masyarakat menilai ASN di Indonesia sudah cukup professional, terutama dalam hal
pengetahuan dan keterampilan. Namun karena masih adanya sikap ASN yang kurang baik
membuat masyarakat masih berpandangan negatif terhadap ASN. Hal ini juga ditunjang dari
masih banyaknya berita negatif yang muncul mengenai ASN, serta masih kurangnya sosialisasi
atau iklan mengenai ASN, sehingga banyak masyarakat yang kemudian tidak mengetahui atau
memahami ASN. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya rebranding atau pencitraan kembali dari
imej ASN yang ada saat ini.
B. Strategi Untuk Meningkatkan Profesionalitas dan Rebranding ASN
Hasil penelitian mengenai keinginan untuk menjadi ASN di kalangan
pelajar/mahasiswa menunjukkan bahwa mayoritas responden (57%) dari total 1140 responden
menyatakan tertarik untuk menjadi seorang ASN. Namun, angka ini tidak terpaut jauh dari
43% responden yang mengatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk menjadi seorang ASN.
Perbedaan yang cukup signifikan ini mengindikasikan bahwa masih ada kalangan
pelajar/mahasiswa yang menganggap bahwa ASN bukanlah profesi idaman mereka. Mereka
mengungkapkan beberapa alasan seperti lingkungan kerja yang tidak menarik, kurangnya
pengembangan diri, gaji yang kurang menarik, dan bahkan ada yang menganggap ASN
memiliki citra yang buruk.
Skema tes rekruitmen ASN yang berlaku saat ini menimbulkan keengganan bagi kaum
profesional untuk mendaftar menjadi ASN. Dalam sistem rekruitmen ASN, rekam jejak
profesional seluruh pendaftar dianggap sama rata tanpa mempertimbangkan pengalaman kerja
yang dimiliki seseorang. Narasumber dari unsur media menyampaikan bahwa rekan-rekan
sejawatnya urung mendaftar menjadi ASN karena faktor tersebut, "Jadi hanya melihat hasil
tesnya CAT dan kemampuan dasar, tidak melihat bagaimana pengalaman kerja dari mereka
yang sudah professional di bidangnya" (Astutiningrum, FGD Jakarta, 27 November 2019).
Sistem tersebut menjadi penghalang bagi pemerintah dalam menjaring talen-talen terbaik di
Indonesia dan berujung pada penambahan tenaga ahli untuk menutupi kekurangan skill yang
dimiliki ASN. Pada akhirnya, kondisi tersebut menimbulkan inefisiensi dalam pengelolaan
sumber daya manusia aparatur sipil, "Saya lihat akhirnya banyak humas itu kayak tenaga ahli
yang di hire dari orang media, bukan PNS, tapi tenaga ahli gitu. Jadi kayak buang-buang uang
jadinya, ada ASN-nya, ada tenaga ahlinya kayak gitu" (Astutiningrum, FGD Jakarta, 27
November 2019). Untuk itu peningkatan profesionalitas dan rebranding ASN merupakan
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 52
sebuah keharusan bagi pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas ASN yang akan
berkorelasi positif terhadap peningkatan citra ASN.
1) Strategi meningkatkan profesionalitas ASN
Hasil survei mengenai indeks persepsi masyarakat terhadap profesionalitas ASN
memperlihatkan bahwa responden menilai profesionalitas ASN berada pada kategori sedang.
Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun responden telah memiliki persepsi yang positif atas
dimensi-dimensi yang ada dalam penilaian profesionalitas, namun responden juga
menginginkan adanya peningkatan profesionalitas ASN, terutama dalam hal keterampilan serta
sikap ASN.
Berdasarkan diskusi kelompok terfokus, terdapat beberapa strategi yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas ASN. Salah satu permasalahan yang muncul
dalam profesionalitas ASN adalah manajemen sumber daya manusia yang belum tepat. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan profesionalitas ASN, strategi yang dikembangkan terkait
dengan pola manajemen SDM. Berikut adalah strategi-strategi tersebut:
a. Pola Rekruitmen ASN
Salah satu titik awal dari mendapatkan ASN yang professional adalah rekruitmen ASN
yang berdasarkan sistem merit. Meskipun saat ini proses penerimaan ASN sudah lebih baik,
dengan adanya tes kompetensi dan proses yang transparan, namun hal ini masih perlu
ditingkatkan lagi jika Pemerintah benar-benar mau mendapatkan tenaga ASN yang
professional. Salah satunya adalah dengan mengubah pola tes yang ada, dengan tidak hanya
menonjolkan tes untuk menilai aspek pengetahuan dan keterampilan semata, tetapi juga tes
untuk menilai sikap calon ASN. Selain itu, aspek penilaian juga harus diberikan kepada latar
belakang profesi dari calon ASN, dimana jika calon ASN tersebut memang memiliki
pengalaman professional pada bidang tertentu, maka seharusnya calon ASN tersebut
mendapatkan poin lebih dibandingkan calon lainnya.
b. Proses Promosi dan Mutasi yang Tepat
Berdasarkan hasil FGD, salah satu keluhan yang muncul terkait profesionalitas ASN
adalah proses promosi dan mutasi pegawai yang tidak tepat dan terlalu sering. Ketidaktepatan
proses mutasi ini di antaranya dengan menempatkan pegawai di bidang yang tidak sesuai
dengan kompetensi dasar dan kualifikasi pendidikan mereka, dan semata-mata hanya untuk
memenuhi persyaratan administrasi belaka. Hal ini juga disampaikan oleh salah satu peserta
FGD Bali berikut ini:
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 53
“Itu banyak di Bali, peninggalan-peninggalan sejarah kita, kearifan lokal kita ada di
museum di seluruh Bali. Tapi tidak ada tenaga profesional yang ditempatkan di
museum itu, sehingga mereka tidak tahu namanya restorasi, tidak tahu namanya
pelestarian. Malah yang kerjadi di museum itu malah orang yang bukan bidangnya.
Kita masuk, kalau sekarang di Bali sedang gencar tentang lingkungan, malah yang
ditaruh di dinas lingkungan hidup bukan orang-orang ahli lingkungan. Malah orang-
orang yang ahli arsitek, ditaruh di sana. Ahli mesin ditaruh di sana. Memang ada
mesin tentang sampah, tapi itu perlu orang lingkungan hidup. Tapi penempatan
profesional itu sangat, bener tadi, mengurangi kinerja temen-temen ASN dan
masyarakat kena dampak.” (Winata, Focus Group Discussion Bali, 16 November
2019).
Proses mutasi yang terlalu sering juga dinilai dapat mengurangi profesionalitas ASN,
terutama jika proses transfer pengetahuan antara pejabat sebelumnya dengan pejabat yang baru
tidak berjalan dengan lancar. Hal ini membuat pejabat baru membutuhkan waktu untuk
memahami tugas dan fungsi barunya, sehingga pada akhirnya membuat pekerjaan menjadi
terhambat.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan adanya pemetaan
kompetensi pegawai ASN yang disesuaikan dengan jenjang karir mereka, waktu mutasi yang
terstandarisasi, serta alasan mutasi pegawai yang memang diperuntukkan bagi peningkatan
kinerja pegawai dan organisasi.
c. Pelatihan ASN yang Sesuai dengan Kebutuhan dan Kompetensi
Salah satu upaya dalam meningkatkan profesionalitas ASN adalah peningkatan
kompetensi pegawai melalui pelatihan. Namun sayangnya, pelatihan yang dilakukan saat ini
lebih banyak bersifat formalitas belaka, dan tidak benar-benar sesuai dengan kebutuhan
pegawai itu sendiri. Oleh karena itu, pemetaan kompetensi tidak hanya berguna bagi proses
promosi dan mutasi pegawai, tetapi juga untuk mengidentifikasi jenis kebutuhan yang memang
benar-benar dibutuhkan oleh pegawai untuk memenuhi target kinerja dan peningkatan
kompetensi mereka.
d. Peningkatan Moral Pegawai
Salah seorang narasumber diskusi kelompok terfokus di Kalimantan Timur menyatakan
bahwa mengurus perizinan lekat dengan berurusan dengan uang. Narasumber tersebut
mengatakan bahwa “..berurusan dengan pemerintah tuh sama dengan berurusan
mengeluarkan uang.. urusan apapun yang mau mereka lakukan adalah mengurus uang..”
(FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019). Bahkan narasumber yang lain menceritakan
pengalamannya memperoleh perbedaan perlakuan dalam hal perizinan. Hal ini karena
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 54
temannya yang menggunakan jasa “orang dalam” memperoleh informasi tentang tata ruang
sedangkan narasumber tersebut tidak memperolehnya karena tidak mengurus perizinan sesuai
dengan prosedur. Seorang narasumber di Kalimantan Timur menekankan pentingnya
pendidikan moral. Berikut penuturannya:
“..Kalau misalnya diberikan eee apa pendidikan eee selain keterampilan juga mereka
harus juga diberikan eee pendidikan peningkatan moral, eee bagaimana bisa berlaku
jujur, bagaimana bisa berlaku ramah kepada masyarakat, melayani mereka, supaya
image masyarakat itu tidak lagi, tidak lagi, menganggap pemerintah ini gudang
koruptor, tidak lagi menganggap berurusan dengan pemerintah ini melulu harus
mengeluarkan uang, karena boleh kita tanyakan semua orang, bahwa berurusan
pemerintah itu sudah berurusan dengan apa ya kerugian pribadi masyarakat, padahal
pemerintah ini kan pelayan ya..” (FGD Kalimantan Timur, 20 November 2019).
Peningkatan moral pegawai dapat dilakukan melalui pendidikan maupun melalui
peningkatan pengawasan masyarakat. Salah satu pendidikan moral yang paling penting adalah
pendidikan antikorupsi. Selain itu, masyarakat juga perlu dilibatkan secara aktif untuk dapat
mengawasi kinerja pelayanan publik.
2) Strategi Rebranding ASN
Hasil survei indeks persepsi masyarakat mengenai profesionalitas ASN juga
memperlihatkan bahwa sebagian besar responden lebih banyak mendapatkan berita negatif
mengenai ASN dibandingkan berita positif. Selain itu, jumlah responden yang pernah melihat
iklan ASN juga lebih sedikit dibandingkan mereka yang belum pernah melihat iklan ASN.
Banyaknya berita negatif yang didapat oleh responden juga turut mempengaruhi persepsi
responden mengenai ASN. Untuk meningkatkan persepsi positif terhadap ASN dibutuhkan
adanya rebranding mengenai citra ASN. Salah satunya adalah dengan meningkatkan
pemberitaan atau iklan atau kampanye mengenai ASN, terutama mengenai kinerja dari ASN.
Upaya rebranding melalui iklan atau kampanye sendiri akan lebih efektif jika menggunakan
media sosial seperti Facebook, Twitter, maupun Instagram, mengingat saat ini media sosial
merupakan salah satu media yang paling sering diakses oleh para generasi millennial. Berikut
adalah beberapa strategi untuk rebranding citra ASN:
a. Penggunaan Media Sosial dan Media Internet
Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden saat ini lebih banyak mengakses media
sosial ataupun media online untuk mendapatkan informasi mengenai semua hal. Hal ini juga
dikarenakan sebagian besar penduduk usia produktif saat ini adalah para generasi millennial.
Terkait upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam me-rebranding ASN, para
narasumber sepakat bahwa kampanye rebranding tersebut masih belum terdengar gaungnya di
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 55
masyarakat. Narasumber mahasiswa menilai bahwa salah satu penyebab rendahnya eksposur
kampanye rebranding dikarenakan tools yang digunakan untuk menampilkan informasi-
informasi positif terkait ASN masih terlalu terpaku pada situs resmi instansi pemerintah, "...
branding-branding yang dilakukan itu terpaku pada website, mungkin website eee dari
masing-masing instansi" (Maulidianto, FGD Jakarta, 27 November 2019). Ke depannya para
narasumber berharap agar kampanye dapat dilakukan dengan menggunakan media-media yang
lebih komunikatif dan lebih menyentuh generasi milenial. Penggunaan media sosial sebagai
sarana kampanye sekaligus optimalisasi peran ASN itu sendiri selaku influencer di dunia maya
merupakan saran yang dikemukakan para narasumber, "... era medsos seperti ini bagaimana
sebenarnya kementerian bisa menggunakan medsosnya sendiri, karena kan masing-masing
ASN ya nah seperti campaigner ya" (Rostanty, FGD Jakarta, 27 November 2019).
Saat ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki program untuk
meningkatkan kinerja informasi publik mereka dengan menjadikan ASN sebagai influencer
mereka di media sosial. Adapun ASN yang akan dijadikan influencer adalah ASN yang
memiliki akun di Twitter dan Instagram dengan jumlah follower lebih dari 500 orang dan aktif
memposting ke media sosialnya setiap hari. Tugas dari para influencer ASN ini adalah untuk
memberitakan informasi program-program pemerintah ke publik
(https://inet.detik.com/cyberlife/d-4799264/asn-ber-follower-di-atas-500-bakal-jadi-
influencer-pemerintah).
Saat ini, sudah ada beberapa ASN yang menjadi selebgram di media sosial, misalnya
PNS dari Kabupaten Bandung Barat, Junna Aditya, yang memiliki follower sebanyak 136.000.
Anggota Polri Andre Ferdiansyah dengan jumlah follower sebanyak 118.000, PNS dari
Pemkab Karawang bernama Fuji Yanti yang memiliki follower sebanyak 116.000, serta PNS
dari Pemprov Sulawesi Utara bernama Meilisa Onibala dengan jumlah follower sebanyak
105.000. Para anggota ASN ini diharapkan dapat menggunakan status mereka sebagai
selebgram untuk menyebarkan informasi-informasi positif mengenai kinerja ASN kepada para
followernya, sehingga bisa membantu meningkatkan citra ASN di mata masyarakat.
b. Bureaucracy Journalism
Salah satu trend yang tengah berkembang saat ini adalah citizen journalism atau
jurnalisme warga, yakni kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam
kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Salah satu
bentuk dari citizen journalism ini adalah vlog (video blog) yang dapat memuat informasi atau
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 56
berita mengenai keseharian seseorang ataupun konten lainnya. Adopsi bentuk dari citizen
journalism untuk pemerintahan adalah dengan membuat Bureaucracy Journalism, yang
diajukan oleh salah satu narasumber dalam FGD di Jakarta. Melalui konsep bureaucracy
journalism, ASN diharapkan dapat aktif mendokumentasikan dan menyebarkan aktivitas-
aktivitas positif di lingkungannya kepada masyarakat dengan menggunakan media sosial.
"Dengan membuat konten-konten sendiri, liputan sendiri, ngupload-ngupload sendiri, kayak
gitu. ... masak birokrasi yang sekolah S2-S3 nya luar negeri, itunya ke luar kan kalian ya, kalah
sama Atta Halilintar" (Sumarwono, FGD Jakarta, 27 November 2019). Narasumber dari
Kompas TV menyarankan agar Humas masing-masing instansi pemerintah dapat
memproduksi konten Youtube yang layak tayang untuk mempermudah pihak media mengambil
informasi jika hendak meliput rebranding ASN, "Iya Youtube channel atau konten e jadi kami
sendiri tapi dengan gambar yang sudah lengkap gitu. Jadi kayak pemberitaan pun atau
mungkin membantu rebranding pun bisa ngambil dari situ, dan juga gratis gitu"
(Astutiningrum, FGD Jakarta, 27 November 2019). Lebih lanjut ia mencontohkan konten
Youtube Kantor Staf Presiden yang dinilai sudah cukup memenuhi kualifikasi layak tayang
menurut standar media massa.
c. Konten Iklan ASN
Salah satu strategi rebranding ASN yang dapat dilakukan adalah dengan
memperhatikan konten dari kampanye ASN itu sendiri. Berbicara mengenai konten dari
kampanye rebranding ASN, narasumber akademisi dan narasumber dari Kompas TV sepakat
bahwa berita mengenai prestasi di bidang pelayanan publik perlu lebih diangkat dan
disebarluaskan. Selain menjadi kampanye positif di kalangan masyarakat awam, pemberitaan
mengenai prestasi pelayanan publik tersebut dapat memicu terjadinya replikasi di instansi lain,
"pertama masyarakat melihat oh ya bagus, kedua pelayanan publik yang lain bisa ikut"
(Rudita, FGD Jakarta, 27 November 2019). Narasumber dari Kompas TV sendiri
mencontohkan Mall Pelayanan Publik sebagai salah satu inovasi pemerintah yang sebenarnya
bagus tetapi kurang mendapat sorotan. Selanjutnya ia pun menyatakan bahwa terkadang pihak
media massa sudah berinisiatif untuk memberitakan pelayanan-pelayanan publik yang dinilai
memiliki nilai lebih, tetapi seringkali terbentur dengan sikap tertutup dari instansi pemerintah
itu sendiri, "waktu itu media pun pernah ngangkat soal bagaimana pelayanan publik, tapi dari
pemerintah sendiri kurang gitu loh, jadi ya tertutup gitu loh" (Astutiningrum, FGD Jakarta, 27
November 2019).
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 57
Narasumber dari unsur pengusaha menambahkan bahwa sebaiknya kampanye
rebranding sudah dimulai sejak tahap awal proses transformasi ASN diupayakan, "... misalnya
kan ada banner gitu misalnya banner support us, dukung kami, kami sedang melakukan ini ini
ini ini, kami butuh masukan dari masyarakat, gitu misalnya" (Widya, FGD Jakarta, 27
November 2019). Dengan menginformasikan kepada masyarakat upaya-upaya reformasi yang
tengah ditempuh pemerintah, harapannya tingkat kepercayaan masyarakat akan meningkat.
Masyarakat akan lebih suportif dan tidak mudah termakan pemberitaan negatif mengenai ASN.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 58
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil survei indeks persepsi masyarakat mengenai profesionalitas ASN menunjukkan
hasil bahwa mayoritas responden di lima wilayah memiliki persepsi positif untuk seluruh
dimensi profesionalitas. Akan tetapi, untuk dimensi sikap, masih banyak responden yang
berpersepsi negatif. Hasil perhitungan indeks persepsi masyarakat menunjukkan bahwa
profesionalitas ASN dinilai masih berada pada kategori sedang, sehingga dibutuhkan adanya
peningkatan profesionalitas ASN. Masih banyaknya responden yang memiliki persepsi negatif
terhadap profesionalitas ASN juga disebabkan oleh banyaknya berita negatif yang diterima
oleh responden, serta masih minimnya pemberitaan positif mengenai ASN.
Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan adanya peningkatan profesionalitas ASN dan
strategi rebranding ASN. Untuk meningkatkan profesionalitas ASN dibutuhkan adanya
manajemen SDM yang lebih baik, terutama dalam hal rekruitmen, promosi dan mutasi, serta
pemberian pelatihan yang tepat guna. Sementara itu, untuk strategi rebranding ASN yang dapat
dilakukan antara lain adalah penggunaan media sosial dan online dengan memperbanyak ASN
dengan jumlah follower yang besar untuk menjadi influencer di masyarakat, melakukan
bureaucracy journalism sebagai salah satu media pemberitaan mengenai ASN dan instansi
pemerintah, serta meningkatkan konten iklan yang memuat mengenai pelayanan publik yang
inovatif dan best practices.
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 59
REFERENSI
Amaliyah, Ghania Nur. (2015). Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank Umum
Syariah dengan Bank Umum Konvensional di Indonesia. Bandung: Universitas Islam
Bandung. 28 April 2018. http://repository.unisba.ac.id/handle/123456789/422
Badan Kepegawaian Negara. 2018. Sebanyak 1.759 PNS Dijatuhi Hukuman Disiplin pada
tahun 2017. Siaran Pers.
Badan Kepegawaian Negara. 2018. Statistik PNS per Desember 2018: Tenaga Guru dan
Kesehatan Menjadi Fokus Pemenuhan Kebutuhan ASN. Siaran Pers.
Bowman, J.S., et.al. 2004. The Professional Edge: Competencies in Public Service. NY: M. E.
Sharpe, Inc.
Denhadrt, J. V, & Denhardt, R. B. (2007). The new public service: Serving, not steering,
expanded edition. Armonk, NY: M.E. Sharpe.
Freidson, E. (2013). Professionalism reborn: Theory, prophecy and policy. New Jersey: Wiley.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2019. Human
Resource Management Reform of Public Sector. Dipaparkan dalam International
Symposium, Bali 14 Maret 2019.
Mahmudah, Risma Nurul. (2015). Persepsi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian
Pakaian Wanita Di Media Sosial Pada Toko Vieney Online Shop (Studi Kasus Di
AKBID Al-Suaibah Palembang). Palembang: Politeknik Negeri Sriwijaya. 27 April
2018. http://eprints.polsri.ac.id/2438/
Mahmud, M. Dimyati. (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Noordegraaf, M. (2007). From “pure” to “hybrid” professionalism: Present-day
professionalism in ambiguous public domains. Administration & Society, 39(6), 761–
785.
Novin, A.M., dan J.M Tucker, 1993, The Composition of Hours accounting program: The
public Accountant Point of views, Issues in Accounting Education (Fall).
OECD. 2016. Survey on Strategic Human Resources Management in Central/Federal
Governments of OECD Countries, Paris: OECD Publishing.
OECD. 2017. Skills for a High Performing Civil Service. Paris: OECD Publishing.
Ombudsman. 2018. Hasil Penilaian Kepatuhan terhadap Standar Pelayanan Penyelenggara
Pelayanan sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing government: How the entrepreneurial spirit is
transforming government. Reading, MA: Adison-Wesley.
Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Cara dan
Pelaksanaan Pengukuran Indeks Profesionalitas Aparatur Sipil Negara.
Rakhmat, Jalaludin. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
IPM TENTANG PROFESIONALITAS DAN REBRANDING ASN TAHUN 2019 60
Redaksi CNN. (2019, 21 Juni). "Realisasi Belanja Pemerintah Didominasi Pengeluaran untuk
PNS". Tersedia di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190621192655-532-
405424/realisasi-belanja-pemerintah-didominasi-pengeluaran-untuk-pns
Redaksi Liputan6. (2018, 27 September). “Kepala Bappenas Ungkap Kondisi dan Kualitas
PNS Saat Ini”. Tersedia di https://www.liputan6.com/bisnis/read/3653839/kepala-
bappenas-ungkap-kondisi-dan-kualitas-pns-saat-ini
Rhodes, R. A. W. (1996). The new governance: Governing without governance. Political
Studies, 44(4), 652–667.
Robbins, Stephen. P., & Judge, Timothy. (2013). Perilaku Organisasi: Organizational Behavior
Buku 2 (Edisi 12). Jakarta: Salemba Empat
Schwab, K. 2016. The Fourth Industrial Revolution. NY: Crown Business.
Statistik PNS. 2019. https://www.bkn.go.id/statistik-pns
Tan, Liana Elviyanti. (2013). Sikap Pelanggan Mengenai Program CRM “Return Guest
Program” di Surabaya Plaza Hotel. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 29 April
2018. https://media.neliti.com/media/publications/81362-ID-none.pdf
The Global Economy. 2018. Government Effectiveness - Country Rankings 2017-2018.
https://www.theglobaleconomy.com/rankings/wb_government_effectiveness/
diakses pada 18 Oktober 2018
Thompson, J. R. (2000). Reinvention as national reform: Assessing the performance review.
Public Administration Review, 60(6), 508–521.
Tjandra, Elvi Anggraeni., Tjandra, Siska Rosiani. (2013). Hubungan Antara Komponen
Kognitif, Komponen Afektif,dan Komponen Perilaku Terhadap Sikap Konsumen
Memanfaatkan Teknologi Internet. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Tarumanagara. 29 April 2018. http://library.tsm.ac.id/senayan3-
stable14/index.php?p=fstream-pdf&fid=3965&bid=10088
Tren Realisasi APBN. 2016. https://www.kemenkeu.go.id/apbn2016
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Walgito, Bimo. (2003). PengantarPsikologiUmum. Yogyakarta: ANDI
Weber, M. (1947). The theory of social and economic organization. Glencoe, IL: The Free
Press.
World Bank. 2010. Worldwide Governance Indicators.
http://info.worldbank.org/governance/wgi/#home diakses pada 18 Oktober 2018
Yudiatmaja, W. E. (2012). Dinamika administrasi negara kontemporer: Konsep dan isu.
Yogyakarta: Capiya Publishing.