i
KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOLIK DAUN TEH HIJAU
(Camellia sinensis L.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Ayu Widya Sari
NIM : 068 114 061
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOLIK DAUN TEH HIJAU
(Camellia sinensis L.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Ayu Widya Sari
NIM : 068 114 061
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
iii
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini bagi:
☺Allah SWT atas karunia, rahmat, anugerah, kehidupan yang begitu indah yang telah diberikan bagiku
☺Orang tuaku tercinta Bapak M.Najamuddin dan Ibu Tedja Murni atas doa, cinta, kasih sayang, pengertian, kesabaran, dan
yang merupakan tujuan perjuanganku, semangatku, segala-galanya bagiku, dimana aku tidak akan bisa membalas
semua yang telah diberikan kepadaku. ☺Ayukku tersayang Indah Pudji Sari yang telah memberikan
kasih sayang, dukungan, dan semangat bagiku. ☺Kakakku tersayang Zito Kristie Abdi yang telah memberikan
kasih sayang, dukungan, dan semangat bagiku. ☺Adikku tersayang Reto Minotie Abdi yang telah memberikan
kasih sayang, dukungan, dan semangat bagiku. ☺Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu membantuku,
selalu ada buatku baik suka maupun duka. ☺Semua orang yang aku sayangi dan menyayangi aku
☺Almamaterku...
vi
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang
senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan petunjuk-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakterisasi Ekstrak Etanolik Daun
Teh Hijau (Camellia sinensis L.)
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
kesarjanaan pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran serta
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan saran, maka
pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si.,Apt. selaku Dosen Pembimbing, yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna demi
terselesaikannya skripsi ini.
2. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji atas masukan
dan sarannya.
3. Bapak Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji atas masukan dan
sarannya.
4. Seluruh staff Laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Laboratorium
Kimia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Mas Wagiran, Mas Sigit,
Mas Sarwanto, Mas Parlan, Mas Kunto, Mas Bimo yang telah menemani
dan membantu selama penelitian.
5. Sahabatku tersayang Ririn yang telah memberikan semangat dan teman
curhat yang baik bagi penulis.
viii
6. Sahabat terbaikku Grace Litad, Monica Dini Puspita, Inge Maria Wibowo
atas kerjasama, suka-duka, kekompakan, bantuan, dan kebersamaan
selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.
7. Sahabat terbaikku Winny Listyarini Hardi, Tiara Pranasita, Yenni
Christina, Sri Yuniarti, Gessi Purnamasari, Ni Nyoman Manik Uliani,
Karolina Reni Kristiani, Aroma Mayangsari, Frida Mayasari, Dewi
Prasetyaningrum, dan teman-teman Farmasi Klinis Komunitas atas
bantuan, dukungan, kerjasama, kebersamaan, suka duka kita selama ini.
8. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2006 atas bantuan, kebersamaan,
dan keceriaan kita selama ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini, maka ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari segenap pembaca, semoga skripsi ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penelitian di bidang
Farmakognosi dan berguna bagi pembaca.
Yogyakarta, 08 Januari 2010
Penulis
ix
x
INTISARI
Teh (Camellia sinensis L.) merupakan tanaman obat yang telah dikenal
sejak lama oleh masyarakat. Bagian tanaman teh yang memiliki banyak khasiat adalah daun teh. Daun teh hijau berkhasiat sebagai antioksidan dan meningkatkan pembakaran kalori dan lemak yang berimplikasi terhadap penurunan berat badan. Pada industri obat tradisional karakterisasi bahan baku perlu dilakukan untuk menjaga kontinuitas kualitas dari segi SQE (Safety, Quality, Efficacy). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter dari ekstrak etanolik daun teh hijau sebagai salah satu bahan baku penyusun jamu pelangsing, sehingga diperoleh produk yang mempunyai standar kualitas yang seragam dan terulang.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental, berupa karakterisasi ekstrak yang mengikuti parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Parameter yang diuji meliputi organoleptik ekstrak, identitas ekstrak, penetapan kadar air, kadar abu, kadar abu tidak larut asam, kadar abu larut air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, dan penentuan senyawa identitas ekstrak etanolik daun teh hijau secara kualitatif dan kuantitatif.
Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif diperoleh organoleptik ekstrak berwarna cokelat kehitaman, tidak berbau, dan rasa agak kelat; kadar air 27,51 % b/b; kadar abu 2,22 % b/b; kadar abu tidak larut asam 1,40 % b/b; kadar abu larut air 0,87 % b/b; kadar sari larut air 23,17 % b/b; kadar sari larut etanol 42,98 % b/b; dan kadar senyawa identitas (epigallokatekin galat) 2 x 10-4 ± 0 % b/v.
Kata kunci: karakterisasi, ekstrak etanolik daun teh hijau (Camellia sinensis L.),
epigallokatekin galat.
xi
ABSTRACT
Tea (Camellia sinensis L.) was medicinal herbs that has known by people since along time ago. Part of tea herbal that has many functions was tea’s leaves. The green tea’s leaves has a funtion as an antioxidant and also increase of calori burning and fat that have implication to reduce body weight. In traditional medicine industry, the basic material characterization is required to maintain the quality continuity from SQE (Safety, Quality, Efficacy) side. This research aims to find out the character of the green tea’s leaves ethanolic extract as one of the basic materials of slimming herbal medicine, so it is able to get the product that has the same and continual quality standard.
This is a non experimental research, namely characterization the extract that refers to general standard parameter of medicinal herbs extract. The general standard parameter includes extract organoleptic, extract identity, the determination of water degree, ashes degree, acid dissoluble ashes degree, and act of determining identity chemical compound ethanolic extract of green tea’s leaves qualitatively and quantitatively.
The results were analyzed descriptively. As results, organoleptic extract blackish brown, no smell, and taste a little sourish; the water degree score was 27,51 % w/w; the ashes degree was 2,22 % w/w; acid dissoluble ashes degree was 1,40 % w/w; water soluble ashes degree was 0,87 % w/w; water soluble essence degree was 23,17 % w/w; ethanolic soluble essence degree was 42,98 % w/w; extract identity; organoleptic extract that was one of the characteristics of the green tea’s ethanolic extract; and chemical identity (epigallocatechin gallate) degree was 2 x 10-4 ± 0 % w/v.
Key words: the characterization, green tea’s leaves ethanolic extract (Camellia sinensis L.), epigallocatechin gallate.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.....................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................................v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………….vi
PRAKATA.............................................................................................................vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................................ix
INTISARI................................................................................................................x
ABSTRACT..............................................................................................................xi
DAFTAR ISI .........................................................................................................xii
DAFTAR TABEL.................................................................................................xvi
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xvii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xviii
BAB I. PENGANTAR.............................................................................................1
A. Latar Belakang………………………………………………………...............1
1. Permasalahan................................................................................................3
2. Keaslian penelitian.......................................................................................3
3. Manfaat penelitian........................................................................................3
B. TujuanPenelitian…………………………………......………………..............4
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA......................................................................5
A. Teh......................................................................................................................5
xiii
1. Keterangan botani ...............................………………………….…...........5
2. Deskripsi......................................................................................................5
3. Penggolongan...............................................................................................6
4. Kandungan kimia teh hijau..........................................................................6
5. Syarat tumbuh..............................................................................................9
6. Khasiat teh hijau.........................................................................................10
B. Pembuatan Simplisia........................................................................................10
1. Bahan baku.................................................................................................10
2. Dasar pembuatan........................................................................................11
3. Tahapan pembuatan...................................................................................11
C. Ekstrak..............................................................................................................15
1. Definisi ekstrak..........................................................................................15
2. Pengelompokan ekstrak.............................................................................15
3. Metode ekstraksi........................................................................................15
4. Penguapan..................................................................................................17
D. Standarisasi......................................................................................................18
1. Pembakuan simplisia..................................................................................19
2. Pembakuan ekstrak.....................................................................................19
3. Pembakuan sediaan obat tradisional..........................................................21
E. Kromatografi Lapis Tipis.................................................................................21
F. KLT-Densitometri............................................................................................23
G. Keterangan Empiris..........................................................................................24
BAB III. METODE PENELITIAN........................................................................25
xiv
A. Jenis dan Rancangan Penelitian.......................................................................25
1. Jenis penelitian...........................................................................................25
2. Rancangan penelitian.................................................................................25
B. Definisi Operasional.........................................................................................26
C. Alat...................................................................................................................26
D. Bahan................................................................................................................27
E. Jalannya Penelitian...........................................................................................27
1. Determinasi tanaman..................................................................................27
2. Pengumpulan bahan...................................................................................27
3. Pembuatan serbuk daun teh hijau...............................................................27
4. Pembuatan ekstrak kental...........................................................................28
5. Uji organoleptik ekstrak.............................................................................28
6. Identitas ekstrak.........................................................................................28
7. Penetapan kadar air....................................................................................28
8. Penetapan kadar abu...................................................................................29
9. Penetapan kadar abu tidak larut asam........................................................29
10. Penetapan kadar abu larut air.....................................................................29
11. Penetapan kadar sari larut air.....................................................................30
12. Penetapan kadar sari larut etanol................................................................30
13. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif...................30
F. Analisis Hasil....................................................................................................33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................34
A. Determinasi Tanaman......................................................................................34
xv
B. Pengumpulan Bahan dan Pembuatan Serbuk...................................................34
C. Pembuatan Ekstrak Kental...............................................................................37
D. Organoleptik Ekstrak.........................................................................................39
E. Identitas Ekstrak...............................................................................................39
F. Penetapan Kadar Air........................................................................................40
G. Penetapan Kadar Abu.......................................................................................41
H. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam........................................................42
I. Penetapan Kadar Abu Larut Air........................................................................43
J. Penetapan Kadar Sari Larut Air........................................................................44
K. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol..................................................................45
L. Penentuan Senyawa Identitas secara Kualitatif dan Kuantitatif.......................45
1. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif...........................................45
2. Penentuan senyawa identitas secara kuantitatif.........................................52
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................56
A. Kesimpulan.......................................................................................................56
B. Saran.................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................57
LAMPIRAN...........................................................................................................60
BIOGRAFI PENULIS...........................................................................................88
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. USDA database for the flavonoid content of dried teas...................8
Tabel II. Hasil KLT standar (epigallokatekin galat) dan sampel (ekstrak etanolik daun teh hijau)..................................................................51
Tabel III. Persamaan kurva baku dari hubungan kadar standar epigallokatekin
galat (x) dengan (AUC) (y)............................................................54 Tabel IV. Kadar senyawa epigallokatekin galat (% b/v) yang terdapat dalam
ekstrak etanolik daun teh hijau.......................................................55
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur flavanol teh.........................................................................7
Gambar 2. Struktur flavonol teh........................................................................8
Gambar 3. Ekstrak kental (a) dan ekstrak cair (b) daun teh hijau....................38
Gambar 4. Kromatogram standar EGCG dan sampel ekstrak etanolik daun teh hijau dengan deteksi di bawah lampu UV 254 nm........................47
Gambar 5. Kromatogram standar EGCG dan sampel ekstrak etanolik daun teh
hijau dengan deteksi di bawah lampu UV 365 nm........................48 Gambar 6. Kromatogram standar EGCG dan sampel ekstrak etanolik daun teh
hijau dengan deteksi larutan besi (III) klorida ..............................49 Gambar 7. Hasil pengukuran λmaks epigallokatekin galat baku.
λmaks epigallokatekin galat terletak pada 280 nm...........................53 Gambar 8. Kurva antara konsentrasi standar epigallokatekin galat vs AUC...55
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi.........................................................60
Lampiran 2. Data pengentalan ekstrak cair........................................................61
Lampiran 3. Hasil organoleptik ekstrak..............................................................63
Lampiran 4. Hasil identitas ekstrak....................................................................63
Lampiran 5. Perhitungan penetapan kadar air....................................................64
Lampiran 6. Perhitungan penetapan kadar abu...................................................65
Lampiran 7. Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam........................66
Lampiran 8. Perhitungan penetapan kadar abu larut air.....................................67
Lampiran 9. Perhitungan penetapan kadar sari larut air.....................................68
Lampiran 10. Perhitungan penetapan kadar sari larut etanol...............................69
Lampiran 11. Hasil kromatografi lapis tipis senyawa identitas...........................70
Lampiran 12. Perhitungan penetapan kadar senyawa identitas ...........................72
Lampiran 13. Foto bahan dan alat penelitian........................................................82
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
masyarakat semakin selektif dalam memilih obat. Pilihan masyarakat kini beralih
dari obat-obatan kimia ke obat tradisional karena diharapkan dapat meminimalkan
efek samping yang ditimbulkan (Anonim, 2000).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat tradisional adalah
tanaman teh. Tanaman teh banyak ditanam di Asia Tenggara termasuk Cina,
India, Jepang, Taiwan, Sri Lanka, dan Indonesia. Umumnya tanaman teh
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama yaitu teh hijau yang pada proses
produksinya tanpa fermentasi, teh oolong dengan fermentasi sebagian dan teh
hitam dengan fermentasi (Kun Lin, 1998). Khasiat utama tanaman teh hijau
sebagai antioksidan. Selain itu, teh dapat juga sebagai peluruh lemak. Berdasarkan
American Journal of Clinical Nutrition, teh hijau memiliki potensi dapat
meningkatkan pembakaran kalori dan lemak yang berimplikasi terhadap
penurunan berat badan (Craig, 1999).
Teh hijau mengandung bermacam-macam senyawa bioaktif,
kandungannya terbagi dalam dua bagian besar, yakni alkaloid dan polifenol.
Adanya banyak gugus hidroksi pada senyawa polifenol mengakibatkan senyawa
polifenol cenderung bersifat polar sehingga dapat larut dalam pelarut seperti
etanol atau air (Luper, 1999). Hal ini menjadi dasar pembuatan ekstrak etanolik
2
daun teh hijau menggunakan penyari etanol sehingga diharapkan senyawa
polifenol yang ada dalam daun teh hijau dapat tersari dengan optimal.
Berdasarkan penelitian tentang teh hijau yaitu uji aktivitas penangkapan radikal
hidroksil oleh ekstrak etanol teh hijau dan teh hitam dengan menggunakan metode
deoksiribosa, ekstrak etanol teh hijau dan teh hitam memiliki efektif penangkapan
radikal hidroksil sebesar 50 % (Kuntari, 2007).
Obat tradisional harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan
kemanfaatan. Hal ini berdasarkan mutu produk obat tradisional tergantung dari
bahan awal, proses produksi, pengawasan mutu, bangunan, peralatan, dan
personalia yang menangani (Anonim, 2005a). Agar khasiat dan stabilitas daun teh
hijau dapat terjamin, maka perlu dipenuhi suatu standar mutu produk/bahan
ekstrak, hal ini tidak terlepas dari pengendalian proses, artinya bahwa proses yang
terstandar dapat menjamin produk yang terstandar mutunya. Dengan adanya
bahan baku terstandar dan proses yang terkendali, maka akan diperoleh
produk/bahan ekstrak yang mutunya terstandar. Oleh karena itu, perlu dilakukan
karakterisasi ekstrak etanolik daun teh hijau sebagai pedoman kualitas produk
yang diproduksi. Karakterisasi ini bertujuan untuk mendapatkan karakter bahan
baku obat dan menjaga kontinuitas SQE (Safety, Quality, Efficacy) produk dengan
kualitas yang baik. Penentuan nilai ini dilakukan dengan mengacu pada parameter
standar umum ekstrak tumbuhan obat (Anonim, 2000). Karakterisasi ini meliputi
uji organoleptik ekstrak, identitas ekstrak, penetapan kadar air, kadar abu, kadar
abu tidak larut asam, kadar abu larut air, kadar sari larut air, kadar sari larut
3
etanol, dan penentuan senyawa identitas ekstrak etanolik daun teh hijau secara
kualitatif dan kuantitatif.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut timbul permasalahan, yaitu :
Bagaimana karakter dari ekstrak etanolik daun teh hijau ?
2. Keaslian penelitian
Sejauh pengetahuan penulis penelitian mengenai karakteristik ekstrak
etanolik daun teh hijau belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang telah
dilakukan adalah uji aktivitas penangkapan radikal hidroksil oleh ekstrak etanol
teh hijau dan teh hitam dengan metode deoksiribosa (Kuntari, 2007), penetapan
kadar flavonoid total terhitung sebagai kuersetin dengan menggunakan metode
kolorimetri dalam teh hijau dan teh hitam (merk x) (Pertiwi, 2006), dan
perbandingan daya antioksidan infusa teh hijau dari daerah Wonosobo dan daerah
Karanganyar dengan menggunakan metode deoksiribosa (Purnamasari, 2009).
3. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan karakter ekstrak etanolik
daun teh hijau yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama
yang berkaitan dengan obat tradisional.
4
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi kepada
masyarakat bahwa ekstrak etanolik daun teh hijau telah sesuai dengan parameter
standar ekstrak yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
dan dapat digunakan sebagai komponen penyusun dalam jamu pelangsing.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakter dari ekstrak etanolik daun teh hijau.
5
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Teh
1. Keterangan botani
Teh berasal dari kawasan Cina Selatan, Indonesia, India, Taiwan,
dan Sri Lanka (Kun Lin, 1998). Daun teh adalah daun Camellia sinensis L.
dengan sinonim Thea sinensis L., suku Theaceae (Anonim, 1989). Nama umum
atau dagang : Teh. Nama daerah : Teh (Melayu), Nteh (Sunda), Teh (Jawa tengah)
(Hutapea, 1994).
2. Deskripsi
Tanaman teh umumnya ditanam di perkebunan dan dipanen secara
manual. Pohon kecil tampak seperti perdu, batang tegak, berkayu, bercabang-
cabang, dan ujung ranting. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berseling, helai
daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya elips memanjang, ujung dan pangkal
runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan menyirip, panjang 6-18 cm, lebar 2-6
cm, warnanya hijau, dan permukaan mengkilap. Bunga di ketiak daun, tunggal
atau beberapa bunga bergabung menjadi satu, berkelamin dua, garis tengah 3-4
cm, warnanya putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning, harum. Buahnya
buah kotak, berdinding tebal, pecah menurut ruang, masih muda hijau, setelah tua
cokelat kehitaman. Biji keras, 1-3 (Dalimartha, 1999).
6
3. Penggolongan
Semua jenis teh dibuat dari sumber yang sama, yaitu pucuk dan daun
muda tanaman teh. Berdasarkan proses pengolahannya, teh dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh oolong. Teh hijau dibuat
dengan cara menginaktivasi enzim polifenol oksidase yang ada dalam pucuk teh
segar, dengan cara pemanasan atau penguapan menggunakan uap panas sehingga
oksidasi enzimatik terhadap katekin dapat dicegah. Teh hitam dibuat dengan cara
memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap kandungan katekin teh,
sedangkan, teh oolong dihasilkan melalui proses pemanasan yang dilakukan
segera setelah proses rolling/penggulungan daun, dengan tujuan untuk
menghentikan proses fermentasi. Oleh karena itu, teh oolong disebut sebagai teh
semi-fermentasi (Hartoyo, 2003). Perbedaan utama yang cukup berarti dari ketiga
proses pengolahan teh tersebut adalah pada kandungan katekinnya. Kandungan
katekin tertinggi dimiliki oleh teh hijau, disusul teh oolong, dan teh hitam
(Syah, 2006).
4. Kandungan kimia teh hijau
Teh hijau mengandung bermacam-macam senyawa bioaktif,
kandungannya terbagi dalam dua bagian besar, yakni alkaloid dan polifenol. Yang
termasuk dalam alkaloid adalah kafeina, teobromina, dan teofilina. Senyawa
polifenol di dalam teh hijau, sebagian besar merupakan golongan flavonoid
terutama sub golongan flavanol dan flavonol. Adanya banyak gugus hidroksi pada
senyawa polifenol mengakibatkan senyawa ini cenderung bersifat polar sehingga
7
dapat larut dalam pelarut seperti etanol atau air. Teh hijau mengandung kira-kira
30-40% polifenol (bobot kering) (Luper, 1999).
Flavanol dalam secara struktural termasuk subgolongan flavan-3-ol.
Katekin utama dalam teh hijau terdiri dari (-) epikatekin, (-) epigallokatekin,
(-) epikatekin galat, (-) epigallokatekin galat. Epigallokatekin galat (EGCG)
merupakan konstituen yang utama dan memiliki sifat antioksidan tertinggi dalam
teh hijau (Chen et al, 2004). Epigallokatekin galat merupakan senyawa yang
memiliki kelarutan tertinggi pada pH 4-9. Penelitian mengenai stabilitas
epigallokatekin galat dalam larutan dilakukan pada konsentrasi 10 mg/ml
epigallokatekin galat pada pH 4-9 (Kellar, Poshni, He, Penzotti, Bedu-Addo,
Payne, 2005).
OH
OH
R1
O
OR2
HO
OH
OH
OH
OH
C
O
=x
(-) epikatekin : R1 = R2 = H
(-) epigallokatekin : R1 = OH, R2 = H
(-) epikatekin galat : R1 = H, R2 = X (galat)
(-) epigallokatekin galat: R1 = OH, R2 = X (galat)
Gambar 1. Struktur flavanol teh (Hartoyo, 2003)
8
Tabel I. USDA database for the flavonoid content of dried teas
Flavon 3-ols Black Tea Green Tea Oolong Tea Tea Leaves, Dry Tea Leaves, Dry Tea Leaves, Dry
Epicatechin 255,19 811,72 248,42 Epicatechin 3-gallate 688,27 1491,29 627,25 Epigallocatechin 956,81 2.057,98 750,80 Epigallocatechin 3-gallate 1.121,92 7.115,98 3.412,62 Catechin 137,82 57,12 30,63 Catechin 3-gallate 50,83 7,07 19,89 Gallocatechin 91,73 258,11 305,69 Theaflavin 159,20 1,64 15,23 Theaflavin 3-3’-digallate 170,77 1,08 18,62 Theaflavin 3’-gallate 155,77 0,44 - Theaflavin 3-gallate 132,25 0,47 - Thearubigins 59,19 137,91 - (Indarto, 2009)
Flavonol merupakan salah satu antioksidan alami yang terdapat dalam
tanaman teh dan mempunyai kemampuan mengikat logam (Syah, 2006). Flavonol
utama yang ada di dalam daun teh hijau adalah myricetin, quersetin, dan
kaempferol. Jumlah flavonol dalam teh hijau sebesar 2-3 %. Flavonol ini,
terutama terdapat dalam bentuk glikosidanya (berikatan dengan molekul gula) dan
sedikit dalam bentuk aglikonnya (Hartoyo, 2003).
O
O
R 1
H O
O H
R 2
O H
R 3
myricetin : R1 = R2 = R3 = OH
quersetin : R1 = R2 = OH, R3 = H
kaempferol : R1 = OH, R2 = R3 = H
Gambar 2. Struktur flavonol teh (Hartoyo, 2003)
9
5. Syarat tumbuh
Lingkungan fisik yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman teh adalah keadaan iklim (curah hujan, suhu udara, tinggi tempat, sinar
matahari, kelembaban) dan tanah.
a. Curah hujan : curah hujan tahunan yang diperlukan adalah 2.000 mm-
2.500 mm, dengan jumlah hujan pada musim kemarau rata-rata tidak kurang dari
100 mm.
b. Suhu udara : suhu udara yang baik berkisar antara 13oC-25oC, yang diikuti
oleh cahaya matahari yang cerah dengan kelembaban relatif pada siang hari tidak
kurang dari 70 %.
c. Tinggi tempat : umumnya tanaman teh ditanam pada ketinggian lebih dari
400 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia, pertanaman teh dilakukan pada
ketinggian antara 400 m-1200 m dari permukaan laut (dpl).
d. Sinar matahari : makin banyak sinar matahari, pertumbuhan tanaman teh
hijau makin cepat, sepanjang curah hujan mencukupi. Sinar matahari
mempengaruhi pula suhu udara, makin banyak sinar matahari, suhu udara makin
tinggi. Apabila suhu mencapai 30oC, maka pertumbuhan tanaman teh akan
terhambat. Fungsi pohon pelindung di daerah dataran rendah adalah mengurangi
intensitas sinar matahari, sehingga suhu tidak meningkat terlalu tinggi.
Sebaliknya dalam bulan-bulan basah, kurangnya sinar matahari akan menghambat
proses metabolisme, sehingga mempengaruhi mutu pucuk dan pertumbuhan
tanaman teh.
10
e. Kelembaban : tanaman teh menghendaki kelembaban relatif yang cukup
tinggi.
f. Tanah : tanah yang cukup subur dengan kandungan bahan organik cukup,
memiliki derajad keasaman (pH) antara 4,5-6,0 (Setyamidjaja, 2000).
6. Khasiat teh hijau
Teh hijau memiliki khasiat yang sangat berpengaruh bagi kesehatan
manusia, diantaranya antioksidan, mempertahankan berat tubuh ideal, mereduksi
kolesterol, menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein), meningkatkan HDL
(High Density Lipoprotein), mengurangi kadar gula darah, menurunkan tekanan
darah, mengurangi stres, antitrombosis, dan antikanker (Hartoyo, 2003).
B. Pembuatan Simpisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,
simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Anonim, 1985).
Pembuatan simplisia secara umum :
1. Bahan baku
Tanaman obat yang menjadi sumber simplisia nabati merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu simplisia. Sebagai sumber simplisia,
tanaman obat dapat berupa tumbuhan liar atau berupa tanaman budidaya.
Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan sumber simplisia jika
dibandingkan dengan tanaman budidaya (Anonim, 1985).
11
2. Dasar pembuatan
a. Simplisia dibuat dengan cara pengeringan
Pembuatan simplisia dengan cara ini pengeringannya dilakukan dengan
cepat, tetapi pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang dilakukan
dengan waktu lama akan mengakibatkan simplisia yang diperoleh ditumbuhi
kapang. Pengeringan yang dilakukan pada suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan
perubahan kimia pada kandungan senyawa aktifnya.
b. Simplisia dibuat dengan proses fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan seksama, agar proses tersebut tidak
berkelanjutan kearah yang tidak diinginkan.
c. Simplisia dibuat dengan proses khusus
Pembuatan simplisia dengan cara penyulingan, pengentalan eksudat
nabati, pengeringan sari air, dan proses khusus lainnya dilakukan dengan
berpegang pada prinsip bahwa simplisia yang dihasilkan harus memiliki mutu
sesuai dengan persyaratan.
d. Simplisia pada proses pembuatan memerlukan air
Pati, talk, dan sebagainya pada proses pembuatannya memerlukan air.
Air yang digunakan harus bebas dari pencemaran racun serangga, kuman patogen,
logam berat, dan lain-lain (Anonim, 1985).
3. Tahapan pembuatan
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan sebagai berikut.
12
a. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain
tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian
tanaman pada saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh.
b. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari simplisia. Misalnya, pada simplisia yang dibuat
dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,
batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya yang harus dibuang.
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang
mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian agar
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
d. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan,
pengepakan, dan penggilingan.
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan
13
mutu atau perusakan simplisia. Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia
dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu
300 C-900C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 600C. Bahan simplisia
yang mengandung senyawa aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap
harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 300 C-450 C.
f. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi ialah untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain
yang masih tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum
simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan.
g. Pengepakan dan penyimpanan
Simplisia dapat rusak atau berubah mutunya karena berbagai faktor luar
dan dalam, antara lain :
1) Cahaya
Sinar dari panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan perubahan
kimia pada simplisia, misalnya isomerasi, polimerasi, raseminasi, dan sebagainya.
2) Oksigen
Senyawa tertentu dalam simplisia dapat mengalami perubahan kimiawi
oleh pengaruh oksigen udara yang terjadi oksidasi dan perubahan ini dapat
berpengaruh pada bentuk simplisia, misalnya yang semula berbentuk cair dapat
berubah menjadi kental atau padat, berbutir-butir, dan sebagainya.
14
3) Reaksi kimia intern
Perubahan kimiawi dalam simplisia yang dapat disebabkan oleh reaksi
kimia intern, misalnya enzim, polimerasi, oto-oksidasi, dan sebagainya.
4) Dehidrasi
Apabila kelembaban luar lebih rendah dari simplisia maka simplisia
secara perlahan-lahan akan kehilangan sebagian airnya sehingga semakin lama
semakin kecil atau kisut.
5) Penyerapan air
Simplisia yang higroskopis, misalnya agar-agar, bila disimpan dalam
wadah yang terbuka akan menyerap langsung udara sehingga menjadi kempal,
basah atau mencair (lumer).
6) Pengotoran
Pengotoran pada simplisia dapat disebabkan oleh berbagai sumber,
misalnya debu atau pasir, ekskresi hewan, bahan-bahan asing (misalnya minyak
yang tertumpah), dan fragmen wadah (karung goni).
7) Serangga
Serangga dapat menimbulkan kerusakan dan pengotor pada simplisia,
baik bentuk ulatnya, maupun bentuk dewasanya. Pengotor tidak hanya berupa
kotoran serangga (Anonim, 1985).
15
C. Ekstrak
1. Definisi ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga
memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Anonim, 2000).
2. Pengelompokan ekstrak
Berdasarkan sifat-sifatnya, ekstrak dapat dikelompokkan menjadi :
(a) Ekstrak cair (extractum fluidum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi
cair dan mudah dituang.
(b) Ekstrak encer (extractum tenue) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi
madu dan mudah dituang.
(c) Ekstrak kental (extractum spissum) adalah ekstrak yang memiliki
konsistensi liat dalam keadaan dingin, tidak dapat dituang dengan kandungan air
mencapai 30%.
(d) Ekstrak kering (extractum siccum) adalah ekstrak yang memiliki
konsistensi kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab tidak lebih
dari 5% (Voight, 1994).
3. Metode ekstraksi
Penyarian (ekstraksi) adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari,
mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat,
16
karbohidrat, protein, dan lain-lain (Anonim, 1986). Proses penyarian (ekstraksi)
secara umum dapat dibedakan menjadi maserasi, infundasi, perkolasi, destilasi
uap, dan sering terdapat modifikasi.
a. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak
ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mangandung zat
aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol. Keuntungan dengan cara penyarian ini adalah
peralatan yang digunakan sederhana dan cara pengerjaannya mudah dilakukan.
b. Perkolasi
Perkolasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan
cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Cairan penyari
dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan
melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Serbuk
simplisia yang akan diperkolasi dibasahi terlebih dahulu dengan cairan penyari
kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam alat perkolasi (perkolator)
sambil tiap kali ditekan. Serbuk kemudian ditutup dengan kertas saring dan cairan
17
penyari dialirkan hingga di atas permukaan massa masih terdapat lapisan cairan
penyari. Setelah 24 jam, keran dibuka dan diatur hingga kecepatan penetesan
adalah 1,0 ml per menit. Akhir proses perkolasi ditentukan dengan pemeriksaan
secara kualitatif pada perkolat terakhir.
c. Infundasi
Infundasi merupakan proses penyarian yang umumnya digunakan untuk
menyari kandungan kimia yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Sari yang
diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam karena penyarian
dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh
kuman dan kapang. Infundasi dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air
pada suhu 90oC selama 15 menit.
d. Penyari berkesinambungan
Proses ini merupakan gabungan antara proses untuk menghasilkan
ekstrak cair dan proses penguapan. Pada penyarian ini, cairan penyari dipanaskan
hingga mendidih, kemudian uap penyari akan naik ke atas kemudian akan
mengembun karena didinginkan oleh pendingin balik. Embun akan turun melalui
serbuk simplisia sambil melarutkan zat aktif serbuk simplisia (Anonim, 1986).
4. Penguapan
Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan cairan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penguapan adalah suhu, waktu, kelembaban,
cara penguapan, dan konsentrasi. Kecepatan terbentuknya uap tergantung atas
terjadinya difusi uap melalui lapisan batas di atas cairan yang bersangkutan,
18
kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas
(Anonim, 1986).
Pengentalan dapat dilakukan melalui penguapan dengan alat
Vacuum Rotary Evaporator di mana ekstrak cair dapat diubah menjadi bentuk
ekstrak kental, yang konsistensinya liat dan kandungan air yang lebih rendah
dibandingkan dengan ekstrak cair (Voigt, 1994).
Pada Vacuum Rotary Evaporator, putaran labu dalam sebuah pemanas
pada temperatur dan kecepatan putar tertentu, cairan yang terkandung dalam
ekstrak akan diuapkan. Melalui pengaturan dalamnya pencelupan ke dalam
penangas air, suhu penangas, hampa udara, dan suhu pendingin maka kondisi
optimal dapat terpenuhi sehingga proses pengentalan ekstrak dapat berlangsung
cepat dan dalam temperatur yang tidak terlalu tinggi (Voigt, 1994).
D. Standarisasi
Standarisasi, yaitu suatu proses pemenuhan persyaratan sebagai bahan
baku agar dapat digunakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pada
proses standarisasi dilakukan pengukuran parameter untuk mendapatkan mutu
yang seragam dan terulang (Anonim, 2000).
Tujuan proses standarisasi adalah menjaga kontinuitas dari produk obat
tradisional yang dihasilkan, sehingga kontinuitas khasiat obat tersebut juga akan
terjaga (Anonim, 2000).
19
Langkah-langkah dalam proses standarisasi adalah :
1. Pembakuan simplisia
Pembakuan simplisia merupakan titik awal yang penting bagi
pembakuan obat tradisional secara keseluruhan karena obat tradisional yang
bermutu hanya akan dapat diperoleh bila simplisia yang menjadi bahan bakunya
juga bermutu. Agar simplisia yang digunakan mempunyai mutu standar, industri
obat tradisional disarankan dan didorong untuk melakukan budidaya dan
mengembangkan sendiri tanaman sumber simplisia spesifikasi masing-masing
industri dengan mutu standar yang relatif homogen (Anonim, 2000).
2. Pembakuan ekstrak
Pembakuan ekstrak sebagai bahan baku obat tradisional juga penting
dilakukan untuk menghasilkan produk obat tradisional yang bermutu
(Anonim, 2000).
Pada pembakuan ekstrak sebagai bahan dasar sediaan obat tradisional
dilakukan dengan berpedoman pada Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat (Anonim, 2000).
Penentuan parameter standar yang dapat dilakukan antara lain :
a. Parameter kadar air
Tujuan penetapan kadar air adalah untuk memberikan batasan minimal
atau rentang besarnya kandungan air di dalam bahan atau ekstrak yang digunakan
sebagai bahan baku sediaan obat. Prinsipnya adalah pengukuran kandungan air
yang berada dalam bahan atau ekstrak. Penentuan parameter kadar air ini dapat
20
dilakukan dengan cara yang tepat sesuai dengan kondisi ekstrak. Beberapa cara
yang dapat dilakukan, yaitu titrasi, destilasi atau gravimetri (Anonim, 2000).
b. Parameter kadar abu
Tujuan penetapan kadar abu adalah memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak. Nilai maksimal atau rentang kadar abu yang diperbolehkan terkait secara
langsung dengan kemurnian dan kontaminasi pada bahan atau ekstrak
(Anonim, 2000). Abu yang dihasilkan harus memenuhi bobot tetap atau konstan.
Bobot tetap dimaksudkan bahwa dua kali penimbangan berturut-turut berbeda
tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang ditimbang. Penimbangan dilakukan setelah
zat dikeringkan lagi selama 1 jam (Anonim, 1995).
c. Parameter identitas ekstrak
Tujuan dilakukan identitas ekstrak adalah untuk memberikan identitas
objektif dari nama sampai senyawa spesifik yang terkandung dalam ekstrak yang
dapat digunakan sebagai senyawa identitas. Parameter identitas ekstrak ditetapkan
dengan melakukan deskripsi tata nama ekstrak yang digunakan sebagai bahan
baku sediaan obat tersebut (Anonim, 2000).
d. Parameter organoleptik ekstrak
Tujuan dilakukan uji organoleptik tersebut adalah sebagai pengenalan
awal yang sederhana dan subjektif mungkin sehingga tidak terjadi kesalahan
dalam pemilihan ekstrak yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat
tradisional. Prinsipnya adalah penggunaan pancaindera untuk mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, dan rasa dari ekstrak tersebut (Anonim, 2000).
21
3. Pembakuan sediaan obat tradisional
Obat tradisional terbuat dari bahan alami. Pada formula obat tradisional
yang sama dapat digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit yang
berbeda oleh satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini terjadi karena dalam
satu tanaman terdapat kemungkinan berbagai kandungan kimia yang mempunyai
khasiat yang berbeda, sehingga dapat dipakai untuk berbagai indikasi
(Anonim, 2000).
Tanaman yang ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda, dapat
menyebabkan kadar kandungan kimia yang berbeda-beda dan keamanan serta
khasiat juga dapat berbeda. Untuk tercapainya keinginan memasukkan obat
tradisional dalam pelayanan kesehatan formal, maka perlu dilakukan pembakuan
sediaan obat tradisional agar terjamin mutu dan keamanannya, serta sediaan obat
tradisional yang memenuhi standar yang berlaku (Anonim, 2000).
E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan untuk pemisahan senyawa
secara cepat, dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang
dilapiskan serba rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap
sebagai “kolom kromatografi terbuka” dan pemisahan didasarkan pada
penyerapan, pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerapan
cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Prinsip kromatografi lapis
tipis adalah zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, satu diantaranya diam
(fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut
22
melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang terelusi lebih awal
atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh
aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat
bertindak sebagai zat penyerap, seperti halnya penyerap alumina yang diaktifkan
seperti silika gel (Anonim, 1995).
Kromatografi lapis tipis sering digunakan karena cara pelaksanaannya
sederhana, pemisahannya lebih cepat, dapat memisahkan dalam jumlah relatif
kecil sampai beberapa mikrogram dan untuk campuran terdiri dari beberapa
komponen dengan cepat dapat dipisahkan. Memisahkan komponen-komponen
yang ada dapat digunakan bermacam-macam pelarut dari polar sampai non polar,
misalnya air, metanol, etanol, aseton, etil asetat, dietil eter, kloroform, benzena,
karbon tetraklorida, sikloheksana, hepatana, n-heksana, atau beberapa
campurannya (Stahl, 1969).
Metode kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk analisis baik
yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Dasar analisis yang bersifat kualitatif
adalah dengan membandingkan/mengukur jarak Rf (flow rate) dan warna bercak
dengan zat baku. Harga Rf ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: tebal
lapisan, kejenuhan bejana, kelembaban udara, fase gerak, bahan penyerap, dan
suhu (Sastroamidjojo, 1985).
Rf = Jarak yang ditempuh oleh zat
Jarak yang ditempuh oleh pelarut
Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan
ukuran yang lebih kurang sama. Ukuran dan identitas bercak dapat digunakan
23
untuk memperkirakan kadar. Penetapan kadar yang diteliti dapat dilakukan
dengan cara densitometri (Anonim, 1995).
Untuk analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara
langsung dengan membandingkan luas bercak dan kerapatan noda sampel yang
telah di-klt dengan densitometri. Dengan cara ini kadar zat ditetapkan dengan
mengukur luas dan intensitas bercak yang dibandingkan dengan zat
pembandingnya. Cara yang kedua adalah secara tidak langsung, yaitu mengambil
bercak pada pelat, kemudian disari dengan penyari yang cocok dan selanjutnya
ditetapkan dengan metode spektrofotometri (Stahl, 1969).
F. KLT-Densitometri
KLT-densitometri merupakan salah satu metode analisa KLT kuantitatif
yang dilakukan dengan cara mengukur kerapatan bercak senyawa uji yang terlebih
dahulu dipisahkan dengan cara KLT, dibandingkan dengan kerapatan bercak
senyawa standar yang dielusi bersama-sama (Hardjono, 1985).
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau
intensitas sinar yang difluoresensikan (fluoresensi). Teknik pengukuran
berdasarkan refleksi di mana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi
dipantulkan. Banyaknya sinar yang diserap sebanding dengan jumlah zat pada
bercak yang terkena sinar tersebut (Mintarsih, 1990).
Ada dua cara penetapan kadar dengan alat densitometer. Pertama, setiap
kali penetapan ditotolkan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan dan
24
dielusi bersama dalam satu lempeng, kemudian AUC (luas daerah di bawah
kurva) sampel dibandingkan dengan harga AUC zat baku. Yang kedua, dengan
membuat kurva baku hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC. Kurva baku
diperoleh dengan membuat totolan zat baku pada pelat KLT dengan bermacam-
macam konsentrasi (minimal tiga macam konsentrasi). Bercak yang diperoleh
dicari AUC nya dengan alat densitometer. Dari kurva baku diperoleh persamaan
y = bx + a, dimana x adalah banyaknya zat yang ditotolkan dan y adalah AUC
(Supardjan, 1987).
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dianalisa
secara deskriptif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
karakter ekstrak etanolik daun teh hijau.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental, karena tidak
ada perlakuan terhadap subjek uji.
2. Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut.
a. Determinasi tanaman
b. Pengumpulan bahan
c. Pembuatan serbuk daun teh hijau
d. Pembuatan ekstrak kental
e. Uji organoleptik ekstrak
f. Identitas ekstrak
g. Penetapan kadar air
h. Penetapan kadar abu
i. Penetapan kadar abu yang tidak larut asam
j. Penetapan kadar abu larut air
k. Penetapan kadar sari larut air
l. Penetapan kadar sari larut etanol
m. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif
26
B. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Karakterisasi ekstrak adalah pengukuran ciri-ciri spesifik dan non-spesifik dari
ekstrak etanolik daun teh hijau mengikuti parameter standar umum ekstrak
tumbuhan obat yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
meliputi uji organoleptik ekstrak, identitas ekstrak, kadar air, kadar abu, kadar
abu tidak larut asam, kadar abu larut air, kadar sari larut air, kadar sari larut
etanol, dan penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Ekstrak etanolik daun teh hijau adalah ekstrak yang dibuat dari serbuk daun
teh hijau secara maserasi dengan penyari etanol 70 %.
3. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif adalah
menentukan ada tidaknya senyawa identitas epigallokatekin galat yang ada
pada ekstrak etanolik daun teh hijau menggunakan metode kromatografi lapis
tipis dan mengukur kadar senyawa identitas yang terkandung didalamnya
menggunakan metode KLT-densitometri.
C. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Vacuum rotary evaporator (Janke & Kunkel Ika Labortechnik), oven (Memmert),
timbangan analitik (Model AB-204, Mettler Toledo), eksikator, pemijar
(Carbolite), krus platina, penjepit, hot plate (Heidolph MR 2002), penangas air,
vacuum (Robinair High Vacuum Pump Model 15110 seri 11026), corong
Buchner, alat-alat gelas (pyrex), plat KLT, CAMAG TLC Scanner 3.
27
D. Bahan
Bahan yang digunakan adalah daun teh dari daerah Boyolali. Bahan
kimia yang digunakan meliputi asam klorida p.a (Merck), kloroform p.a (Merck),
toluen p.a (Merck), aseton p.a (Merck), asam asetat glasial p.a (Merck), asam
formiat p.a (Merck), metanol p.a (Merck), petroleum eter p.a (Merck), etanol p.a
(Merck), besi (III) klorida heksahidrat P, aquades dan kertas saring bebas abu dari
laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sedangkan standar senyawa identitas epigallokatekin galat berasal dari pabrik
Sigma-Aldrich.
E. Jalannya Penelitian
1. Determinasi tanaman
Determinasi tanaman teh dilakukan untuk memastikan kebenaran
tanaman teh yang digunakan. Determinasi tanaman teh dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan
menggunakan buku acuan (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963).
2. Pengumpulan bahan
Pucuk dan daun tanaman teh diambil dari pohon yang sama pada waktu
pagi hari, di perkebunan teh di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada bulan Juni
2009.
3. Pembuatan serbuk daun teh hijau
Daun teh dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Kemudian daun
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 45ºC selama dua hari sampai daun mudah
hancur dengan diremas. Daun yang telah kering diserbuk sehingga dihasilkan
28
serbuk daun teh hijau. Selanjutnya, serbuk daun teh hijau diayak dengan pengayak
dengan nomor mesh 12/50.
4. Pembuatan ekstrak kental
Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70 %.
Sebanyak 15,0 g serbuk daun teh hijau dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan
ditambah 150,0 ml etanol 70 %, serbuk daun teh hijau dimaserasi selama 6 jam
dan kemudian didiamkan selama 18 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi
dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan
dan diuapkan dengan penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen
yang diperoleh ditimbang dan dicatat.
5. Uji organoleptik ekstrak
Dilakukan dengan penggunaan pancaindera, dideskripsikan bentuk,
warna, bau, dan rasa dari ekstrak.
6. Identitas ekstrak
Dilakukan dengan study literatur meliputi deskripsi tata nama ekstrak
dan senyawa identitas ekstrak.
7. Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dengan gravimetri. Sebanyak 2,0 g ekstrak kental
ditimbang saksama dalam wadah yang telah ditara. Dikeringkan pada suhu 1050 C
selama 5 jam dalam oven didinginkan lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan
dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan
berturut-turut tidak lebih dari 0,25% .
29
8. Penetapan kadar abu
Sebanyak 2,0 g ekstrak kental yang telah ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus platina yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian
diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan, dan
ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan
air panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa dalam krus
yang sama, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Dihitung kadar
abu terhadap bahan yang dikeringkan di udara.
9. Penetapan kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan
25,0 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, kemudian dicuci dengan
air panas dan dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Dihitung kadar abu yang
tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
10. Penetapan kadar abu larut air
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan
25,0 ml air selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam air dikumpulkan,
disaring melalui kertas saring bebas abu, kemudian dicuci dengan air panas dan
dipijarkan selama 15 menit pada suhu tidak lebih dari 450oC, hingga bobot tetap,
ditimbang. Dihitung kadar abu yang larut dalam air terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara.
30
11. Penetapan kadar sari larut air
Maserasi selama 24 jam, 2,0 g ekstrak kental dengan 40,0 ml
air kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok
selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan
sebanyak 30,0 ml filtrat hingga kering dalam cawan porselin berdasar rata yang
telah ditara, panaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar
dalam persen sari yang larut dalam air kloroform, dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara.
12. Penetapan kadar sari larut etanol
Maserasi selama 24 jam, 2,0 g ekstrak kental dengan 40,0 ml etanol
95%, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam
pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan
menghindarkan penguapan etanol (95%), uapkan 30,0 ml filtrat hingga kering
dalam cawan porselin berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu
1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol
(95%), dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
13. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif
Penentuan senyawa identitas dilakukan secara analisa kualitatif dan
kuantitatif. Analisa kualitatif dilakukan dengan metode KLT sedangkan analisa
kuantitatif dilakukan dengan penetapan kadar senyawa identitas ekstrak etanolik
daun teh hijau yaitu epigallokatekin galat dengan menggunakan metode
KLT- densitometri.
31
Analisis kualitatif dilakukan dengan cara :
a. Preparasi standar
Sebanyak 5,0 mg standar epigallokatekin galat dilarutkan dalam
10,0 ml etanol 70 %. Seri larutan standar ditotolkan sebanyak 5,0; 10,0; 15,0;
20,0; 25,0 μl.
b. Preparasi sampel
Sebanyak 200,0 mg ekstrak etanolik daun teh hijau disari dengan
petroleum eter 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi petroleum eter
disingkirkan, kemudian sisanya disari dengan kloroform-asam asetat (99:1) 5,0 ml
pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi kloroform-asam asetat disingkirkan,
Kemudian sisanya disari dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1) 5,0
ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi metanol-kloroform-asam asetat
kemudian dapat langsung ditotolkan. Larutan sampel ekstrak etanolik daun teh
hijau ditotolkan sebanyak 10,0 μl dan dilakukan replikasi tiga kali.
c. Uji kualitatif
Fase diam : silika gel GF254
Fase gerak : toluen-aseton-asam formiat (9 : 9 : 2)
Deteksi : UV 254 nm dan UV 365 nm
Larutan besi (III) klorida
Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara: hasil KLT yang diperoleh
dari uji kualitatif baik standar maupun sampel diukur kadarnya dengan
menggunakan alat densitometer.
32
a. Penentuan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang maksimum diperoleh dengan cara menelusuri bercak
pada panjang gelombang 250 nm sampai 320 nm, sesuai dengan panjang
gelombang teoritis senyawa identitas. Panjang gelombang maksimum dicapai
pada saat terjadi serapan maksimum yang ditunjukkan dengan terbentuknya
puncak kurva.
b. Pembuatan kurva baku
Standar senyawa identitas ditimbang sebanyak 5,0 mg, kemudian
dilarutkan dalam 10,0 ml etanol 70 %. Larutan tersebut ditotolkan pada pelat fase
diam yang sesuai sebanyak 5,0; 10,0; 15,0; 20,0; 25,0 μl menggunakan pipet
mikroliter dan dikembangkan dalam fase gerak yang sesuai. Kemudian dilakukan
pengukuran dengan CAMAG TLC Scanner 3 sehingga diperoleh data AUC.
Berdasarkan data AUC dihitung secara regresi linier sehingga diperoleh nilai
a,b, r. Nilai a, b, r tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan y = bx + a,
dimana a adalah koefisien regresi dan b adalah tetapan regresi, sedangkan x
adalah konsentrasi zat yang ingin diketahui.
c. Penetapan kadar sampel secara KLT-densitometri
Sampel yang akan diukur dengan alat densitometer terlebih dahulu
dipisahkan menggunakan metode kromatografi lapis tipis.
Fase diam : silika gel GF254
Fase gerak : toluena-aseton-asam formiat (9 : 9 : 2)
Larutan sampel: 200,0 mg ekstrak etanolik daun teh hijau disari dengan
petroleum eter 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi petroleum eter
33
disingkirkan, kemudian sisanya disari dengan kloroform-asam asetat (99:1) 5,0 ml
pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi kloroform-asam asetat disingkirkan,
Kemudian sisanya disari dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1)
5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi metanol-kloroform-asam asetat
kemudian dapat langsung ditotolkan. Larutan sampel ekstrak etanolik daun teh
hijau ditotolkan sebanyak 10,0 μl dan dilakukan replikasi tiga kali.
Konsentrasi sampel yang telah dielusi diukur kerapatan bercaknya
dengan KLT-densitometri sehingga didapatkan data AUC dari bercak yang
ditotolkan. Penelusuran bercak untuk menetapkan kadar dilakukan pada panjang
gelombang maksimum. Kadar masing-masing sampel dihitung menggunakan
persamaan kurva baku, sehingga diperoleh harga x (konsentrasi sampel).
F. Analisis Hasil
Hasil yang diperoleh dari karakterisasi ekstrak etanolik daun teh hijau
dianalisis dengan metode deskriptif. Dengan memaparkan nilai hasil pengukuran
dari uji organoleptik ekstrak, identitas ekstrak, kadar air, kadar abu, kadar abu
tidak larut asam, kadar abu larut air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol,
dan penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan untuk memastikan kebenaran tanaman
teh sehingga dapat menghindari kesalahan pemilihan bahan tanaman yang
digunakan dalam penelitian. Determinasi dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan
menggunakan kunci-kunci determinasi yang terdapat dalam buku acuan
(Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963).
Berdasarkan hasil determinasi, tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah benar-benar tanaman teh dengan nama ilmiah Camellia
sinensis (L).O.K (Lampiran 1).
B. Pengumpulan Bahan dan Pembuatan Serbuk
Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh yang diperoleh
dari perkebunan teh di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada bulan Juni 2009.
Tanaman teh diambil pada bulan Juni, yaitu pada musim kemarau karena sinar
matahari sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman teh.
Semakin banyak sinar matahari maka pertumbuhan tanaman teh makin cepat dan
proses metabolisme berlangsung optimal sehingga senyawa aktif yang dihasilkan
juga optimal. Bagian tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah kuncup
dan daun teh yang masih segar dan muda serta yang diambil adalah 3-4 daun
karena kadar senyawa aktif paling banyak terdapat dalam kuncup dan daun teh
35
yang masih muda. Pengambilan kuncup dan daun teh dilakukan pada pagi hari
agar kuncup dan daun teh yang diambil masih segar dan kandungan senyawa
aktifnya masih banyak. Setelah daun dikumpulkan selanjutnya dipisahkan dari
kotoran-kotoran yang melekat atau bahan-bahan asing lainnya yang tidak
diperlukan. Kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing yang dimaksud adalah tanah,
batang, debu yang menempel, kerikil, dan akar. Kemudian daun teh dicuci dengan
air bersih dan mengalir. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan
pengotor lainnya yang melekat pada daun teh. Tahap selanjutnya, daun
dikeringkan ke dalam oven. Pengeringan dilakukan pada suhu 45oC bertujuan
untuk mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik dalam daun teh.
Pengeringan dilakukan sampai daun mudah hancur dengan diremas. Setelah
dilakukan pengeringan, dilanjutkan dengan sortasi kering. Sortasi kering bertujuan
untuk memisahkan benda-benda asing, seperti bagian-bagian tanaman yang tidak
diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia
kering. Kemudian, daun diserbuk menggunakan blender Retsch sehingga
dihasilkan serbuk kering daun teh hijau.
Berdasarkan buku acuan, kecuali dinyatakan lain, seluruh simplisia harus
dihaluskan menjadi serbuk dengan derajat halus (4/18) (Anonim, 1977). Pada
proses pengayakan adanya pembatasan derajat halus untuk simplisia tertentu,
kecuali dinyatakan lain dikarenakan apabila serbuk yang dihasilkan terlalu
halus/lembut maka butir-butir halus serbuk tersebut akan membentuk suspensi
yang sulit dipisahkan dengan hasil penyarian sehingga mempersulit proses
penyaringan. Dengan demikian, hasil penyarian tidak murni lagi tetapi tercampur
36
dengan partikel-partikel halus tadi. Selain itu, dinding sel merupakan suatu
saringan, sehingga zat yang tidak dapat larut akan tetap berada di dalam sel. Oleh
karena itu, penyerbukan yang terlalu halus akan menyebabkan banyak dinding sel
yang pecah, sehingga zat yang tidak diinginkan dapat ikut ke dalam hasil
penyarian (Anonim, 1986).
Derajat halus dinyatakan dengan nomor pengayak. Derajat halus yang
dinyatakan dengan 2 nomor (4/18) mempunyai pengertian semua serbuk dapat
melalui pengayak dengan nomor terendah (4) dan tidak lebih dari 40 % melalui
nomor pengayak dengan nomor tertinggi (18). Jenis pengayak yang digunakan
dinyatakan dengan nomor mesh, dilakukan melalui konversi angka derajat halus,
yaitu mengalikan 4/18 dengan 2,54 (1 inchi) (Anonim, 1977). Hasil konversi
menunjukkan nomor mesh yang digunakan adalah 10/45 namun karena
terbatasnya ketersediaan alat maka digunakan ayakan dengan nomor mesh 12/50.
Perubahan nomor mesh ini tidak berpengaruh pada proses penyarian yaitu
meskipun serbuk yang dihasilkan lebih halus tetapi tidak ada fragmen serbuk yang
ikut masuk ke dalam ekstrak yang dihasilkan. Daun teh hijau yang telah diserbuk,
lalu diayak dengan ayakan dengan nomor mesh 12/50. Serbuk yang diambil
adalah serbuk yang dapat melalui ayakan dengan nomor mesh 12 dan serbuk yang
tidak lebih dari 40%nya melewati ayakan dengan nomor mesh 50. Tujuan
pembuatan serbuk dengan ayakan dengan nomor mesh 12/50 dimaksudkan untuk
mempermudah masuknya cairan penyari masuk ke dalam pori-pori sebuk, makin
halus serbuk maka pori-pori serbuk tersebut makin mempermudah proses difusi
dan osmosis sehingga diharapkan proses penyarian dapat berjalan dengan
37
maksimal. Selain itu, untuk memperoleh ukuran partikel serbuk yang lebih kecil
dan seragam sehingga luas permukaan kontak dengan pelarut semakin besar. Hal
ini dimaksudkan agar dalam proses ekstraksi kandungan senyawa aktif yang
terlarut semakin banyak. Setelah proses pengayakan, dilakukan pengepakan dan
penyimpanan yang bertujuan untuk mencegah berkurangnya mutu dari serbuk
daun teh hijau. Selama penyimpanan kemungkinan terjadi kerusakan pada serbuk
daun teh hijau yang dapat disebabkan oleh air dan kelembaban sehingga
penyimpanan bahan sebaiknya dalam keadaan kering. Selain itu, penyimpanan
harus dalam wadah tertutup rapat yang bertujuan untuk melindungi sebuk
terhadap masuknya kontaminan dan mencegah kehilangan bahan selama
penanganan dan penyimpanan. Oleh karena itu, pengepakan dan penyimpanan
serbuk daun teh hijau dilakukan dengan cara memasukkan serbuk ke dalam plastik
yang bersih dan disimpan dalam toples yang tertutup rapat.
C. Pembuatan Ekstrak Kental
Ekstrak etanolik daun teh hijau merupakan ekstrak yang dibuat dari
serbuk daun teh hijau secara maserasi dengan penyari etanol 70%. Maserasi
merupakan metode penyarian yang dilakukan dengan cara merendam serbuk daun
teh hijau dengan menggunakan penyari etanol. Daun teh hijau banyak
mengandung senyawa polifenol yang cenderung bersifat polar karena
mengandung banyak gugus hidroksi sehingga dapat larut dalam pelarut seperti
etanol atau air. Hal ini menjadi dasar pembuatan ekstrak etanolik daun teh hijau
menggunakan kombinasi cairan penyari etanol dan air sehingga diharapkan
senyawa polifenol yang ada dalam daun teh hijau dapat tersari dengan optimal.
38
Dalam proses maserasi, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk
ke dalam rongga sel yang mengandung zat dimana zat akan larut dan karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat di dalam sel dengan di luar sel,
maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Penelitian ini menggunakan maserasi
karena metode ekstraksi dengan maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang
mempunyai kandungan senyawa aktif yang tinggi, cara pengerjaannya mudah
dilakukan, dan peralatan yang digunakan sederhana. Maserat yang dihasilkan
dalam proses maserasi berupa ekstrak cair. Ekstrak cair, kemudian dikentalkan
menggunakan vacuum rotary evaporator. Pengentalan bertujuan untuk
menguapkan pelarut etanol dan menghilangkan kandungan air yang tersisa dalam
ekstrak. Penguapan larutan pengekstraksi dengan menggunakan vacuum rotary
evaporator berlangsung cepat dan dapat menjaga stabilitas senyawa yang
dihasilkan karena tekanan dan suhu diatur tidak terlalu tinggi. Kemudian ekstrak
di oven pada suhu 45oC dan diperoleh ekstrak kental dengan konsistensi yang liat.
(a) (b)
Gambar 3. Ekstrak kental (a) dan ekstrak cair (b) daun teh hijau
Hasil ekstrak kental yang diperoleh pada penelitian ini telah sesuai
dengan definisi ekstrak kental menurut Voigt (1994), dimana ekstrak kental
merupakan ekstrak dengan konsistensi liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat
39
dituang. Rendemen ekstrak kental etanolik daun teh hijau yang diperoleh dalam
penelitian adalah 24,74 % b/b.
D. Organoleptik Ekstrak
Uji organoleptik ekstrak bertujuan untuk pengenalan awal secara
sederhana dan bersifat subyektif. Penilaian bersifat subyektif karena hasil
penilaian sangat ditentukan oleh pelaku atau yang melakukan pengukuran. Uji
organoleptik ini dapat digunakan untuk mengenal secara sederhana ekstrak yang
digunakan pada penelitian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan
ekstrak yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat tradisional.
Uji organoleptik ekstrak dilakukan dengan menggunakan pancaindera
untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa dari ekstrak tersebut. Dari
hasil uji organoleptik ekstrak kental diperoleh bentuk kental, berwarna cokelat
kehitaman, tidak berbau, dan rasa agak kelat. Demikian juga dengan ekstrak cair
dengan bentuk cair, berwarna cokelat kehitaman, tidak berbau, dan rasa agak
kelat. Hasil uji organoleptik yang diperoleh dalam penelitian tidak dibandingkan
dengan standar karena belum ditemukan referensi mengenai organoleptik untuk
ekstrak kental etanolik daun teh hijau
E. Identitas Ekstrak
1. Deskripsi tata nama
Nama ekstrak : Camellia Folium Extractum
Nama latin tanaman : Camellia sinensis L.
Bagian tanaman yang digunakan : Daun
Nama Indonesia tanaman : Teh
40
2. Senyawa identitas ekstrak : Epigallocatechin gallate
Penentuan identitas ekstrak bertujuan untuk mendapatkan identitas
obyektif dan spesifik dari senyawa identitas yang terkandung dalam ekstrak.
Identitas ekstrak tersebut sangat diperlukan sehingga kita dapat dengan mudah
membedakan ekstrak tanaman yang satu dengan yang lain (suatu ekstrak dapat
mengandung senyawa identitas dari tanaman penyusunnya). Karakterisasi ekstrak
etanolik daun teh hijau dapat dilakukan dengan menetapkan senyawa identitas
yang merupakan senyawa tunggal atau kelompok kelas senyawa dalam tanaman
obat dan dipakai sebagai acuan kontrol kuantitatif tanpa memperhatikan apakah
senyawa atau kelompok senyawa tersebut memiliki aktivitas terapi atau tidak.
Secara umum suatu senyawa atau sekelompok senyawa dapat menjadi senyawa
identitas bahan tumbuhan obat jika senyawa tersebut stabil, dapat diidentifikasi
dan dianalisa secara kuantitatif, serta unik untuk tanaman yang bersangkutan
(Sinambela, 2002).
Teh hijau mengandung senyawa epigallokatekin galat yang merupakan
senyawa golongan flavonoid. Epigallokatekin galat merupakan konstituen yang
utama, memiliki sifat antioksidan tertinggi serta dapat diidentifikasi dan dianalisa
secara kuantitatif. Oleh karena itu, epigallokatekin galat yang terkandung dalam
ekstrak etanolik daun teh hijau dapat dijadikan sebagai senyawa identitas.
F. Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui dan mengukur
kandungan air yang ada dalam ekstrak etanolik daun teh hijau sehingga dapat
memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam
41
ekstrak tersebut. Penetapan kadar air ini berhubungan dengan kemurnian dan
kontaminasi. Ekstrak kental yang mengandung kadar air dalam jumlah yang tinggi
merupakan media tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pada proses ekstraksi
menggunakan pelarut etanol 70 % dimana merupakan pelarut dengan kombinasi
etanol dan air. Air yang terkandung dalam ekstrak dapat menjadi tempat
pertumbuhan mikroorganisme seperti kapang, khamir, dan bakteri.
Penetapan kadar air dilakukan dengan cara gravimetri, yaitu dengan
menimbang selisih bobot ekstrak sebelum dan sesudah pengeringan. Pengeringan
dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 105°C, yaitu suhu optimal untuk
menguapkan air yang terkandung dalam ekstrak. Dari hasil percobaan, diperoleh
kadar air ekstrak etanolik daun teh hijau sebesar 27,51 %b/b. Kadar air ekstrak
etanolik daun teh hijau yang diperoleh sudah memenuhi syarat dimana kadar air
untuk ekstrak kental maksimal 30 % (Voigt, 1994).
G. Penetapan Kadar Abu
Penetapan kadar abu bertujuan untuk menetapkan tingkat cemaran oleh
unsur mineral dan bahan anorganik. Abu merupakan residu yang diperoleh setelah
pembakaran bahan tanaman. Penetapan kadar abu ini berhubungan dengan
kemurnian ekstrak yang digunakan sebagai indikator kualitas bahan baku ekstrak
sebagai salah satu bahan dasar jamu dilihat dari segi keamanan. Tingkat cemaran
bahan anorganik yang tinggi baik logam maupun non logam menunjukkan ekstrak
yang digunakan sebagai bahan baku dapat membahayakan bagi tubuh. Sebagai
contoh cemaran logam berat seperti Barium (Ba) dapat menyebabkan naiknya
tekanan darah dan terganggunya sistem saraf, Timbal (Tb) dapat menyebabkan
42
kerusakan otak dan ginjal. Cadmium (Cd) dan Kromium (Cr) bersifat
karsinogenik dan dalam jangka panjang dapat terakumulasi di hati, ginjal dan
pankreas sehingga dapat menyebabkan kerusakan bagi organ tubuh manusia.
Penetapan kadar abu dilakukan dengan alat pemijar dan menggunakan
pemijaran dengan temperatur yang tinggi. Pada proses pemijaran digunakan krus
platina yang tahan terhadap pemijaran yang tinggi. Pemijaran dengan temperatur
tinggi bertujuan mendestruksi senyawa organik yang mengandung karbon
sehingga akan menguap dan tertinggal hanya bahan anorganik baik yang logam
maupun non logam. Penimbangan dilakukan hingga bobot tetap dan dicapai
apabila penimbangan krus dan abu sampai tidak terjadi lagi perbedaan bobot
setelah dipanasi lebih lanjut dan selisih penimbangan tidak lebih dari 0,5 mg. Dari
hasil penetapan kadar abu ekstrak etanolik daun teh hijau diperoleh gambaran
bahwa kandungan bahan anorganik yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun teh
hijau adalah 2,22 %b/b. Hasil penetapan kadar abu yang diperoleh dalam
penelitian ini tidak dibandingkan dengan standar kadar abu untuk ekstrak kental
etanolik daun teh hijau karena belum ditemukan referensi mengenai standar kadar
abu yang seharusnya diperbolehkan untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau.
H. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam
Penetapan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk mengetahui
seberapa banyak bahan anorganik non logam yang ada pada ekstrak. Bahan
anorganik non logam ini terdiri dari silikat atau pasir yang berasal dari luar
ekstrak yang kemungkinan mencemari ekstrak. Kadar abu tidak larut asam yang
tinggi menggambarkan adanya cemaran selama proses ekstraksi.
43
Penetapan kadar abu tidak larut asam dilakukan dengan mendidihkan
ekstrak hasil penetapan kadar abu dengan asam klorida encer P yang bertujuan
untuk melarutkan bahan anorganik logam yang terlarut dalam asam kuat, sehingga
yang tersisa adalah bahan anorganik sisa yang tidak terlarut pada asam kuat yaitu
bahan anorganik non logam. Dari hasil penetapan kadar abu tidak larut asam
diperoleh gambaran bahwa kandungan bahan anorganik non logam yang terdapat
dalam ekstrak etanolik daun teh hijau adalah 1,40 %b/b. Hasil penetapan kadar
abu tidak larut asam yang diperoleh dalam penelitian ini tidak dibandingkan
dengan standar kadar abu tidak larut asam untuk ekstrak kental etanolik daun teh
hijau karena belum ditemukan referensi mengenai standar kadar abu tidak larut
asam yang seharusnya diperbolehkan untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau.
I. Penetapan Kadar Abu Larut Air
Penetapan kadar abu larut air bertujuan untuk mengetahui seberapa
banyak cemaran yang ada pada ekstrak yang larut dalam air. Ekstrak etanolik
daun teh hijau dapat mengandung cemaran baik bahan anorganik logam maupun
non logam. Bahan anorganik logam seperti Barium dan Timbal sedangkan non
logam seperti silikat atau pasir. Bahan anorganik tersebut memiliki kelarutan
rendah dalam air bahkan tidak larut air. Oleh karena itu, penetapan kadar abu larut
air digunakan untuk mengetahui cemaran yang larut air.
Penetapan kadar abu larut air dilakukan dengan mendidikan ekstrak hasil
penetapan kadar abu dengan air yang bertujuan untuk melarutkan cemaran yang
larut air yang terkandung dalam ekstrak, sehingga yang tersisa adalah cemaran-
cemaran yang tidak larut air. Dari hasil penetapan kadar abu larut air diperoleh
44
gambaran bahwa cemaran yang larut air yang terdapat dalam ekstrak etanolik
daun teh hijau adalah 0,87 %b/b. Hasil penetapan kadar abu larut air yang
diperoleh dalam penelitian tidak dibandingkan dengan standar kadar abu larut air
untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau karena belum ditemukan referensi
mengenai standar kadar abu larut air untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau.
J. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Penetapan kadar sari larut air bertujuan untuk mendapatkan gambaran
banyaknya senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun teh hijau yang
dapat larut dalam pelarut air. Air yang digunakan adalah air kloroform. Kloroform
ditambahkan dalam penyari untuk mencegah terjadinya pembusukan zat selama
maserasi, karena air juga mengandung mikroba yang dapat menyebabkan busuk.
Dalam penetapan kadar sari larut air, sejumlah ekstrak kental disari dengan
pelarut air kloroform. Proses maserasi ini bertujuan agar senyawa dalam ekstrak
terekstraksi ke dalam pelarut. Selanjutnya, maserat dipanaskan dengan
menggunakan oven pada suhu 105oC bertujuan untuk menguapkan pelarut
sehingga diperoleh senyawa dengan bobot tetap.
Dari hasil penetapan kadar sari larut air diperoleh gambaran bahwa
senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun teh hijau yang dapat larut
dalam pelarut air adalah 23,17 %b/b. Hasil penetapan kadar sari larut air yang
diperoleh dalam penelitian tidak dibandingkan dengan standar kadar sari larut air
untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau karena belum ditemukan referensi
mengenai batas kadar sari larut air untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau.
45
K. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Penetapan kadar sari larut etanol bertujuan untuk mendapatkan
gambaran banyaknya senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun teh
hijau yang dapat larut dalam pelarut etanol. Penelitian dilakukan dengan menyari
sejumlah ekstrak kental dengan pelarut etanol 95% sehingga senyawa-senyawa
yang tersari akan lebih banyak. Selanjutnya, maserat dipanaskan dengan
menggunakan oven pada suhu 105oC bertujuan untuk menguapkan pelarut
sehingga diperoleh senyawa dengan bobot tetap.
Dari hasil penetapan kadar sari larut air diperoleh gambaran bahwa
senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun teh hijau yang dapat larut
dalam pelarut etanol adalah 42,98 %b/b. Hasil yang diperoleh dalam penelitian
tidak dibandingkan dengan standar kadar sari larut etanol untuk ekstrak kental
etanolik daun teh hijau karena belum ditemukan referensi mengenai standar kadar
sari larut etanol untuk ekstrak kental etanolik daun teh hijau.
L. Penentuan Senyawa Identitas secara Kualitatif dan Kuantitatif
1. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif
Penentuan senyawa identitas secara kualitatif bertujuan untuk
mengetahui dan menentukan ada tidaknya senyawa spesifik dari ekstrak etanolik
daun teh hijau serta membandingkan harga Rf (flow rate) dan warna bercak
dengan zat baku. Senyawa spesifik yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun
teh hijau merupakan senyawa identitas dari ekstrak tersebut.
Penentuan senyawa identitas secara kualitatif dilakukan dengan metode
KLT. Pada penelitian ini menggunakan metode KLT karena cara pelaksanaannya
46
sederhana, pemisahannya lebih cepat, dan dapat memisahkan sampel dalam
jumlah yang kecil (mikrosampel). Prinsip pemisahan dengan metode KLT adalah
zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. KLT
merupakan kromatografi adsorbsi karena penerapan suatu senyawa pada kedua
jenis fase yang berbeda. Fase geraknya berupa cairan, pada penelitian ini
menggunakan komposisi toluen:aseton:asam formiat (9:9:2). Pengunaan fase
gerak tersebut berdasarkan studi CAMAG mengenai Identification of Green Tea
(Anonim, 2005b). Sedangkan fase diamnya adalah silika gel GF254. Silika gel
GF254 artinya silika tersebut mengandung gipsum/CaSO4 yang merupakan
pengikat dan dapat berfluorosensi kehijauan pada panjang gelombang 254 nm.
Penelitian ini menggunakan sampel ekstrak etanolik daun teh hijau dan
standar yang digunakan adalah epigallokatekin galat. Epigallokatekin galat
digunakan sebagai standar karena epigallokatekin galat merupakan senyawa
identitas dari ekstrak etanolik daun teh hijau serta memiliki sifat antioksidan
tertinggi. Pada penelitian, sebelum dilakukan pengembangan baik standar dan
sampel, bejana yang digunakan dalam penelitian harus dijenuhkan terlebih dahulu
agar pengembangan/elusi berjalan lebih baik dan cepat. Selain itu, penjenuhan
bertujuan agar kenaikan fase gerak dapat merata (tidak miring). Jenuhnya bejana
dapat diketahui bila kertas saring telah terbasahi seluruhnya, maka tujuan dari
pemberian kertas saring ini untuk meratakan penjenuhan uap di dalam chamber.
Lempeng silika yang digunakan harus diaktifkan terlebih dahulu selama ± 30
menit pada suhu 110oC agar silika dalam keadaan kering karena apabila silika
yang digunakan dalam keadaan basah akan sulit menyerap senyawa yang akan
47
dipisahkan sehingga akan mengganggu proses pemisahan. Selain itu, dengan
adanya kandungan air dalam silika akan mempengaruhi kepolaran, yaitu silika
yang memiliki sifat non polar dapat menjadi polar. Deteksi yang digunakan dalam
penelitian ada dua, yaitu deteksi fisika dan kimia. Deteksi fisika menggunakan
lampu UV dengan radiasi 254 nm (Gambar 4) dan 365 nm (Gambar 5), sedangkan
deteksi kimia menggunakan larutan besi (III) klorida (Gambar 6).
Gambar 4. Kromatogram standar EGCG dan sampel ekstrak etanolik daun teh hijau dengan deteksi di bawah lampu UV 254 nm
Keterangan : Fase diam : silika gel GF254 Fase gerak : toluena : aseton : asam formiat (9 : 9 : 2) Jarak pengembangan : 10 cm; jarak penotolan: 1,5 cm
Standar Standar Standar Standar Standar Sampel Sampel Sampel I II III IV V I II III
A
B
C
D
EFG
H
0,00
1,00
0,50
Rf
48
1,00
0 00 A
Gambar 5. Kromatogram standar EGCG dan sampel ekstrak etanolik daun teh hijau dengan deteksi di bawah lampu UV 365 nm
Keterangan : Fase diam : silika gel GF254 Fase gerak : toluena : aseton : asam formiat (9 : 9 : 2) Jarak pengembangan : 10 cm; jarak penotolan: 1,5 cm
Standar Standar Standar Standar Standar Sampel Sampel Sampel I II III IV V I II III
A
0,50
B
CDEFG
H
Rf1,00
0,00
49
1,00
0 00 A
Gambar 6. Kromatogram standar EGCG dan sampel ekstrak etanolik daun teh hijau dengan deteksi larutan besi (III) klorida
Keterangan :
Fase diam : silika gel GF254 Fase gerak : toluena : aseton : asam formiat (9 : 9 : 2) Jarak pengembangan : 10 cm; jarak penotolan: 1,5 cm
Berdasarkan pada gambar 4 dan 5, hasil deteksi di bawah lampu UV
254 nm dan 365 nm diperoleh baik bercak standar I, II, III, IV, dan V maupun
Standar Standar Standar Standar Standar Sampel Sampel Sampel I II III IV V I II III
0,50
AB
C
DE
FG
H
1,00Rf
0,00
50
bercak A pada sampel I, II, dan III menunjukkan warna biru. Hasil ini sesuai
dengan teoritis, dimana senyawa flavonoid apabila dilakukan deteksi di bawah
lampu UV 254 nm dan 365 nm akan menunjukkan warna biru (Wagner, 1984).
Untuk memperjelas hasil yang diperoleh, dilakukan deteksi secara kimia yaitu
dengan menggunakan pereaksi penyemprot yang spesifik dan dilakukan di lemari
asam yang berventilasi baik. Pereaksi penyemprot yang digunakan adalah larutan
besi (III) klorida karena pereaksi ini merupakan pereaksi spesifik untuk senyawa
fenol termasuk flavonoid yang akan menunjukkan warna biru. Penyemprotan
pereaksi larutan besi (III) klorida dilakukan di lemari asam yang berventilasi baik
agar zat kimia yang digunakan sebagai pereaksi tidak membahayakan bagi
peneliti. Hasil yang diperoleh pada penelitian, yaitu bercak standar I, II, III, IV,
dan V maupun bercak A pada sampel I, II, dan III menunjukkan warna yang sama,
yaitu biru (Gambar 6). Hal ini berarti bahwa dalam ekstrak etanolik daun teh hijau
mengandung senyawa epigallokatekin galat. Bercak yang nampak pada sampel
bukan merupakan bercak tunggal, tetapi terdiri dari beberapa bercak. Hal ini dapat
terjadi karena epigallokatekin galat dalam daun teh hijau berada bersama dengan
turunan katekin lainnya seperti epikatekin, epigallokatekin, epikatekin galat. Pada
deteksi secara kimia, peristiwa terbentuknya warna biru disebabkan karena terjadi
reaksi antara senyawa fenol (epigallokatekin galat) dengan pereaksi yang
digunakan, yaitu larutan besi (III) klorida. Reaksi tersebut menghasilkan suatu
warna karena pada struktur senyawa fenol mengandung gugus kromofor yang bila
bereaksi dengan pereaksi tertentu akan menimbulkan warna yang khas. Hasil
dinyatakan positif apabila warna terbentuk secara intensif atau tidak berubah.
51
Analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian selain mengamati
warna bercak adalah parameter Rf (flow rate). Rf merupakan perbandingan antara
jarak rambat yang ditempuh oleh senyawa dengan jarak pengembangan. Nilai Rf
dan warna bercak standar dan sampel yang diperoleh dalam penelitian (Tabel II).
Tabel II. Hasil KLT standar (epigallokatekin galat) dan sampel (ekstrak etanolik daun teh hijau)
Standar
Sampel Harga
Rf
Deteksi
UV 254 nm
UV 365 nm
Larutan besi (III) klorida (FeCl3)
Standar I Bercak 0,23 biru biru biru Standar II Bercak 0,21 biru biru biru Standar III Bercak 0,21 biru biru biru Standar IV Bercak 0,21 biru biru biru Standar V Bercak 0,21 biru biru biru
Sampel ekstrak replikasi I
Bercak A 0,21 biru biru biru Bercak B 0,28 biru biru biru Bercak C 0,34 biru biru biru Bercak D 0,42 ungu - - Bercak E 0,50 biru merah biru Bercak F 0,54 kuning merah biru Bercak G 0,58 kuning merah biru Bercak H 0,70 kuning merah biru
Sampel ekstrak replikasi II
Bercak A 0,21 biru biru biru Bercak B 0,28 biru biru biru Bercak C 0,34 biru biru biru Bercak D 0,42 ungu - - Bercak E 0,50 biru merah biru Bercak F 0,54 kuning merah biru Bercak G 0,58 kuning merah biru Bercak H 0,70 kuning merah biru
Sampel ekstrak replikasi III
Bercak A 0,21 biru biru biru Bercak B 0,28 biru biru biru Bercak C 0,34 biru biru biru Bercak D 0,42 ungu - - Bercak E 0,50 biru merah biru Bercak F 0,54 kuning merah biru Bercak G 0,58 kuning merah biru Bercak H 0,70 kuning merah biru
52
Berdasarkan pada tabel II, nilai Rf dan warna bercak A pada sampel
replikasi I, II, dan III mendekati/mirip nilai Rf dan warna bercak standar I, II, III,
IV, dan V yang digunakan dalam penelitian. Ini berarti bahwa dalam ekstrak
etanolik daun teh hijau mengandung senyawa epigalokatekin galat. Nilai Rf
standar I lebih tinggi dibandingkan dengan keempat standar lainnya karena saat
pengembangan terjadi perambatan fase gerak yang tidak merata (miring) sehingga
standar I terelusi lebih dahulu. Hal ini dapat disebabkan karena penjenuhan
chamber yang kurang optimal, peletakkan plat lempeng yang tidak rata (miring).
Selain itu, pada proses elusi terjadi pengekoran baik pada standar maupun sampel.
Hal ini dapat dikarenakan jumlah standar maupun sampel yang ditotolkan terlalu
banyak atau totolan baik standar maupun sampel belum kering kemudian
ditambah lagi jumlah cuplikannya.
2. Penentuan senyawa identitas secara kuantitatif
Pada penelitian ini, setelah menentukan senyawa identitas ekstrak
etanolik daun teh hijau secara kualitatif, selanjutnya dilakukan penentuan senyawa
identitas secara kuantitatif. Penentuan senyawa identitas secara kuantitatif
bertujuan menetapkan dan mengukur kadar senyawa identitas yaitu senyawa
epigallokatekin galat yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun teh hijau.
Penentuan senyawa identitas secara kuantitatif menggunakan metode
KLT-densitometri. Pada penentuan senyawa identitas secara kuantitatif, standar
dan sampel yang telah dipisahkan dengan cara KLT, kemudian diukur kadarnya
dengan menggunakan alat yang bernama CAMAG TLC Scanner 3.
CAMAG TLC Scanner 3 mempunyai sumber sinar yang dapat digerakan di atas
53
bercak-bercak yang ada pada lempeng tipis atau lempeng tipisnya yang dapat
digerakkan menyusuri berkas sinar yang berasal dari sumber sinar. Penelusuran
bercak baik standar maupun sampel akan mendapatkan hasil yang baik apabila
dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena perubahan konsentrasi
pada bercak sedikit saja sudah dapat terdeteksi. Panjang gelombang maksimum
(λmaks) merupakan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum.
Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengukuran kadar baik pada standar maupun
sampel adalah menentukan panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang
maksimum diperoleh dengan menelusuri bercak pada panjang gelombang
250-320 nm. Dari hasil penelitian diperoleh panjang gelombang maksimum
terletak pada 280 nm (Gambar 7). Berdasarkan Journal of Forestry Research,
panjang gelombang maksimum epigallokatekin galat adalah 280 nm (Lei, 2006).
Ini berarti bahwa panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada penelitian
telah sesuai dengan panjang gelombang maksimum berdasarkan teori.
Gambar 7. Hasil pengukuran λmaks epigallokatekin galat baku. λmaks epigallokatekin galat baku terletak pada 280 nm
54
Penelusuran bercak untuk analisis kuantitatif dengan densitometri
dilakukan pada panjang gelombang 280 nm. Hasil dari penelusuran bercak
tersebut adalah luas daerah di bawah kurva atau disebut juga AUC (Area Under
Curve). Persamaan kurva baku diperoleh dari hubungan kadar standar
epigallokatekin galat yang ditotolkan dengan luas daerah di bawah kurva
(Tabel III). Pembuatan kurva baku ini bertujuan untuk mendapatkan persamaan
regresi linier yang selanjutnya digunakan untuk menghitung kadar epigallokatekin
galat dalam sampel ekstrak etanolik daun teh hijau.
Tabel III. Persamaan kurva baku dari hubungan kadar
standar epigallokatekin galat (x) dengan AUC (y)
Persamaan kurva baku yang diperoleh memiliki linearitas yang baik
dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi (r= 0,9626), menunjukkan bahwa metode
analisis memberikan hasil yang linier di mana semakin bertambahnya konsentrasi,
luas daerah di bawah kurva semakin besar. Kurva baku yang menunjukkan
hubungan antara konsentrasi standar epigallokatekin galat vs AUC (Gambar 8).
Standar Konsentrasi % b/v (x)
AUC (y)
I 2,5 x 10-4 6461,4 II 5,0 x 10-4 10258,4 III 7,5 x 10-4 13894,1 IV 10 x 10-4 15550,1 V 12,5 x 10-4 16264,6
Y = Bx + A Y = 9.959.240x + 5016,29
r = 0,9626
55
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
2,5x10-4 5,0x10-4 7,5x10-4 10x10-4 12,5x10-4
Konsentrasi (% b/v)
AUC
Gambar 8. Kurva antara konsentrasi standar epigallokatekin galat vs AUC
Keterangan Instrumen : CAMAG TLC Scanner 3
Fase diam : silika gel GF254 Fase gerak : toluena : aseton : asam formiat (9 : 9 : 2) Detektor : UV 280 nm
Penetapan kadar sampel, yaitu senyawa epigallokatekin galat dengan
metode densitometri merupakan pengukuran luas area di bawah kurva.
Kadar epigallokatekin galat diperoleh dengan memasukkan data AUC sampel
ke dalam persamaan kurva baku sehingga diperoleh kadar senyawa
epigallokatekin galat dalam ekstrak etanolik daun teh hijau (Tabel IV).
Tabel IV. Kadar senyawa epigallokatekin galat (% b/v) yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun teh hijau
Sampel AUC Kadar % b/v
Replikasi I 7116,8 2 x 10-4 Replikasi II 7389,9 2 x 10-4
Kadar rata-rata 2 x 10-4 ± 0
Dari hasil yang ditunjukkan pada tabel IV, kadar senyawa
epigallokatekin galat yang terdapat dalam 100 ml ekstrak etanolik daun teh hijau
adalah 2 x 10-4 ± 0 g.
56
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu :
Karakter ekstrak etanolik daun teh hijau adalah organoleptik ekstrak berwarna
cokelat kehitaman, tidak berbau, dan rasa agak kelat; kadar air 27,51 %b/b; kadar
abu 2,22 %b/b; kadar abu tidak larut asam 1,40 %b/b; kadar abu larut air
0,87 %b/b; kadar sari larut air 23,17 %b/b; kadar sari larut etanol 42,98 %b/b; dan
kadar senyawa identitas (epigallokatekin galat) 2 x 10-4 ± 0 %b/v.
B. Saran
Saran yang dapat dipertimbangkan sesuai hasil penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan penetapan parameter lainnya seperti susut pengeringan dan
bobot jenis, sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat, cemaran
mikroba, dan uji kandungan kimia ekstrak untuk melengkapi seluruh
rangkaian proses standarisasi bahan baku ekstrak etanolik daun teh hijau agar
dapat digunakan sebagai bahan baku obat herbal terstandar (OHT).
2. Perlu dilakukan penetapan kadar katekin total terhitung sebagai
epigallokatekin galat dalam ekstrak etanolik daun teh hijau dengan
menggunakan metode kolorimetri.
57
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, XX, 137, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 1-15, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 1-40, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, 486, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Jilid IV, 1002, 1036, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 1995, Materia Medika Indonesia, Jilid VI, XIV, XV, 299, 313, 321, 325, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 2000, Jamuku warisanku, http://www.ordinary.net, diakses tanggal
8 Februari 2009 Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan
pertama, 14, 17, 30, 31, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2005a, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.05.4.1380 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2005b, Identification of Green Tea, http://[email protected],
diakses tanggal 15 November 2009 Backer, C.A. dan Bakhuizen van den Brink, R.C., 1963, Flora of Java, Vol I, 3-6,
29-34, 47, 318-320, N.V.P., Noordhoff, Groningen, The Netherlands. Chen, et al, 2004, Green Tea Polyhenols Prevent Toxin Induced Hepatotoxicity in
Mice by Down–Regulating Inducible Nitric Oxide-Derived Prooxidants, http://www.ajcn.org/cgi/reprint/80/3/742/pdf, diakses tanggal 16 September 2009
Craig, 1999, "Health-Promoting Properties of Common Herbs". Am. J. Clin.
Nutr., 70 (suppl): 491s-9s. Dalimartha, S., 1999, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I, 150, 151, Trubus
Agriwidya, Jakarta.
58
Hardjono, S., 1985, Kromatografi, 32, Laboratorium Analisa Kimia Fisika Pusat, UGM, Yogyakarta.
Hartoyo, A., 2003, Teh dan Khasiatnya Bagi Kesehatan, 15-17, Kanisius,
Yogyakarta. Hutapea, J.R., 1994, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, jilid III, 155, Depkes
RI, Jakarta. Indarto, P., 2009, Real Tea Real Health, 48, PT. Grego Global Media, Jakarta Kellar, S., Poshni, F., He, L., Penzotti, S., Bedu-Addo, F., dan Payne, K., 2005,
Preformulation Development Studies To Evaluate the Properties of Epigallocatechin Gallate (EGCG), http://www.catalent.com, diakses tanggal 16 September 2009
Kun Lin, Jen., Chih-Li, L., Yu-Chih, L., Shoei-Yn, L., dan I-Ming, J., 1998,
Survey of Catechins, Gallic Acid, and Methylxanthines in Green, Oolong, Pu-erh, and Black Teas, http://pubs.acs.org, diakses tanggal 5 Februari 2009
Kuntari, C., 2007, Uji Aktivitas Penangkapan Radikal Hidroksil oleh Ekstrak
Etanol Teh Hijau dan Teh Hitam dengan Metode Deoksiribosa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Lei, Y., Gao, Y., Zu, Y., Liu, X., Wang, L., Zu, S., 2006, Epigallocatechin
Gallate Content Change of the Fresh Tea Leaf Homogenates Extracted by Different Methods in Extraction and Preservation, diakses tanggal 4 September 2009
Luper, S., 1999, A Review of Plants in the Treatment of Liver Diseases: Part Two,
Vol.4, Alternative Medicine Review, http://www.Thorne.com/altmedrev/fulltext/liver4-3.html., diakses tanggal 16 September 2009
Mintarsih, E., 1990, Penetapan Kadar Alkaloid Kinina dalam Akar, Batang, dan
Daun Chinchona succirubra Pavon et Klotzsch dari Daerah Kaliurang secara Spektrodensitometri (TLC-Scanner), Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta.
Pertiwi, M.V., 2006, Penetapan Kadar Flavonoid Total Terhitung sebagai
Kuersetin dengan Menggunakan Metode Kolorimetri dalam Teh Hijau dan Teh Hitam (Merk X), Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
59
Purnamasari, G., 2009, Perbandingan Daya Antioksidan Infusa Teh Hijau dari
Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar dengan Menggunakan Metode Deoksiribosa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sastroamidjojo, H., 1985, Kromatografi, Ed.I, 26-30, Liberty, Yogyakarta.
Setyamidjaja, D., 2000, Teh Budi Daya Dan Pengolahan Pascapanen, 22-24, Kanisius, Yogyakarta.
Sinambela, 2002, Standarisasi Sediaan Obat Herbal, Seminar Nasional Tumbuhan
Obat Indonesia XXII, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah, Purwokerto.
Stahl, E., 1969, Thin Layer Chromathography; A Lab.Handbook, 2 th. Ed., 97, 98,
Springer Verslag, Berlin. Supardjan, A. M., 1987, Pemisahan Tetrasiklin dan Hasil Pemisahannya dalam
Sediaan Tetrasiklin secara KLT-densitometri, Lembaga Penelitian, UGM, Yogyakarta.
Syah, A., 2006, Taklukkan Penyakit dengan Teh Hijau, 37, Agro Medika Pustaka,
Jakarta. Voigt, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5, 579-582 Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. Wagner, H., Sabine, B., Eva, M.Z., 1984, Plant Drug Analysis, 163, 164, Springer
Verlag, Berlin Heidelberg NewYork Tokyo.
60
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi
61
Hasil determinasi tanaman teh adalah sebagai berikut.
1b - 2b - 3b - 4b - 12b - 13b - 14b - 17b - 18b - 19b - 20b - 21b - 22b - 23b - 24b -
25b - 26b - 27a - 28b - 29b - 30b - 31b - 403b - 404 b - 405 b - 414a -415b -451b -
466b - 467b - 468b - 469b - 470f - 617b - 618c - 619b - 620b - 621b -622b -623a -
624b - 625a Familia 625. Theaceae
1a - 2b (Camellia)
1b - 2a (Camellia sinensis (L).O.K)
(Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963).
Lampiran 2. Data pengentalan ekstrak cair
Vacum Rotary Evaporator Ekstrak Teh (Camellia sinensis L.)
Suhu (oC) 45 ∆p (%) 50 ∆p (mbar) 10 Tekanan (etanol) 175 Tekanan (air) 72 Waktu 2 jam Oven Suhu (oC) 45 Waktu 1 hari
Hasil Ekstrak Kental Replikasi I
Replikasi II
Replikasi III
Berat botol kosong (g) 61,57 78,74 74,48 Berat cawan + ekstrak kental (g) 83,60 105,19 103,93 Berat ekstrak kental (g) 22,03 26,45 29,45 Jumlah serbuk teh hijau awal (g) 105 105 105
62
Jumlah ekstrak kental etanolik daun teh hijau yang diperoleh adalah 77,93 gram
dari berat serbuk kering daun teh 315 gram.
Perhitungan rendemen ekstrak kental etanolik daun teh hijau :
Rumus : %100×awalserbukJumlah
akhirkentalekstrakBerat
Replikasi I = %98,20%100105
03,22=×
gramgram b/b
Replikasi II = %19,25%100105
45,26=×
gramgram b/b
Replikasi III = %05,28%100105
45,29=×
gramgram b/b
Rendemen rata-rata (X) = 24,74% b/b
SD = 3,56
CV = %100×X
SD = %10074,24
56,3× = 14,39%
63
Lampiran 3. Hasil organoleptik ekstrak
1. Bentuk : ekstrak kental
2. Warna : cokelat kehitaman
3. Rasa : agak kelat
4. Bau : tidak berbau
Lampiran 4. Hasil identitas ekstrak
1. Deskripsi tata nama
a. Nama ekstrak : Camellia Folium Extractum
b. Nama latin tumbuhan : Camellia sinensis L.
c. Bagian tumbuhan yang digunakan : Daun
d. Nama Indonesia tumbuhan : Teh
2. Senyawa identitas ekstrak :Epigallocatechin gallate
(EGCG)
64
Lampiran 5. Perhitungan penetapan kadar air
Kadar air = %100×awalkentalekstrakBerat
hilangyangairBerat
Kadar air I = %1000000,25288,0
× = 26,44 % b/b
Kadar air II = %1000001,25691,0
× = 28,45 % b/b
Kadar air III = %1000001,25530,0
× = 27,65 % b/b
Kadar air rata-rata (X) = 27,51 % b/b
SD = 1,01
CV = %100×X
SD = %10051,27
01,1× = 3,67 %
Uraian Replikasi I (gram) II (gram) III (gram)
Berat cawan porselin 46,8899 49,4993 52,1779 Berat cawan + ekstrak kental awal
48,8899 51,4994 54,1780
Berat ekstrak kental awal
2,0000 2,0001 2,0001
Berat cawan+ ekstrak kental
48,3611 50,9303 53,6250
Berat ekstrak kental (oven 105oC, 5 jam sampai bobot tetap)
1,4712 1,4310 1,4471
Berat air yang hilang 0,5288 0,5691 0,5530
65
Lampiran 6. Perhitungan penetapan kadar abu
Kadar abu = %100tan×
kentalekstrakBeratkonsabuBerat
Kadar abu I = %1000004,20428,0
× = 2,14 % b/b
Kadar abu II = %1000000,20468,0
× = 2,34 % b/b
Kadar abu III = %1000001,20439,0
× = 2,19 % b/b
Kadar abu rata-rata(X) = 2,22 % b/b
SD = 0,10
CV = %100×X
SD = %10022,210,0
× = 4,50 %
Uraian Replikasi I
(gram) II
(gram) III
(gram) Berat krus awal 46,8899 49,4993 52,1779 Berat krus + ekstrak kental
48,8903 51,4993 54,1780
Berat ekstrak kental awal
2,0004 2,0000 2,0001
Berat krus + abu konstan
46,9327 49,5461 52,2218
Berat abu konstan 0,0428 0,0468 0,0439
66
Lampiran 7. Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam
Uraian Replikasi I
(gram) III
(gram) III
(gram) Berat krus awal
36,7913 57,1377 36,1478
Berat ekstrak kental awal
2,0004 2,0000 2,0001
Berat krus + abu konstan
36,8058 57,1512 36,1617
Berat abu konstan
0,0145 0,0135 0,0139
Kadar abu tidak larut asam (tla) = %1002tan××
kentalekstrakBeratkonstlaabuBerat
Kadar abu tidak larut asam I = %10020004,20145,0
×× = 1,45 % b/b
Kadar abu tidak larut asam II = %10020000,20135,0
×× = 1,35 % b/b
Kadar abu tidak larut asam III = %10020001,20139,0
×× = 1,39 % b/b
Kadar abu tla rata-rata (X) = 1,40 % b/b
SD = 0,05
CV = %100×X
SD = %10040,105,0
× = 3,57 %
67
Lampiran 8. Perhitungan penetapan kadar abu larut air
Uraian Replikasi I
(gram) III
(gram) III
(gram) Berat krus awal
46,8899 49,4993 52,1779
Berat ekstrak kental awal
2,0004 2,0000 2,0001
Berat abu awal
0,0727 0,0974 0,0804
Berat krus + abu konstan
46,9543 49,5875 52,2498
Berat abu konstan
0,0644 0,0882 0,0719
Kadar abu larut air = %1002××−
awalekstrakBeratrutairabutidaklaawalabuBerat
Kadar abu larut air I = %10020004,2
0644,00727,0××
− = 0,83 % b/b
Kadar abu larut air II = ×××− %1002
0000,20882,00974,0 = 0,92 % b/b
Kadar abu larut air III = %10020001,2
0719,00804,0××
− = 0,85 % b/b
Kadar abu larut air rata-rata (X)= 0,87 % b/b
SD = 0,05
CV = %100×X
SD = %10087,005,0
× = 5,75 %
68
Lampiran 9. Perhitungan penetapan kadar sari larut air
Uraian Replikasi I (gram) II (gram) III (gram)
Berat cawan porselin 21,3180 22,1384 20,9535 Berat cawan + sisa I 21,8492 22,6654 21,4565 Berat cawan + sisa II 21,7092 22,5442 21,3641 Berat cawan + sisa III 21,6753 22,5192 21,3262 Berat cawan + sisa IV 21,6666 22,5080 21,3149 Berat cawan + sisa V 21,6606 22,4997 21,3067 Berat cawan + sisa VI 21,6578 22,4960 21,3039 Berat cawan + sisa VII 21,6563 22,4948 21,3026 Berat cawan + sisa VIII 21,6559 22,4945 21,3023
Berat senyawa 0,3379 0,3561 0,3488
Kadar sari larut air kloroform = %1003040
××ekstrakBeratsenyawaBerat
Kadar sari larut air kloroform replikasi I= %53,22%1003040
23379,0
=×× b/b
Kadar sari larut air kloroform replikasi II = %74,23%1003040
23561,0
=×× b/b
Kadar sari larut air kloroform replikasi III= %25,23%1003040
23488,0
=×× b/b
Kadar sari larut air kloroform rata-rata (X) = 23,17 % b/b
SD = 0,61
CV = %100×X
SD = %10017,2361,0
× = 2,63 %
69
Lampiran 10. Perhitungan penetapan kadar sari larut etanol
Uraian Replikasi I (gram) II (gram) III (gram)
Berat cawan porselin 21,0889 18,1454 22,0278 Berat cawan + sisa I 21,8112 18,8635 22,7462 Berat cawan + sisa II 21,7556 18,8246 22,7010 Berat cawan + sisa III 21,7401 18,8077 22,6863 Berat cawan + sisa IV 21,7324 18,7980 22,6789 Berat cawan + sisa V 21,7297 18,7951 22,6759 Berat cawan + sisa VI 21,7283 18,7939 22,6748 Berat cawan + sisa VII 21,7281 18,7936 22,6746 Berat senyawa 0,6392 0,6482 0,6468
Kadar sari larut etanol = %1003040
××ekstrakBeratsenyawaBerat
Kadar sari larut etanol replikasi I = %61,42%1003040
26392,0
=×× b/b
Kadar sari larut etanol replikasi II = %21,43%1003040
26482,0
=×× b/b
Kadar sari larut etanol replikasi III = %12,43%1003040
26468,0
=×× b/b
Kadar sari larut etanol rata-rata (X) = 42,98 % b/b
SD = 0,32
CV = %100×X
SD = %10098,42
32,0× = 0,74 %
70
Lampiran 11. Hasil kromatografi lapis tipis senyawa identitas epigallokatekin galat
Kromatogram standar dan sampel dengan deteksi di bawah lampu UV 254 nm
Kromatogram standar dan sampel dengan deteksi di bawah lampu UV 365 nm
Kromatogram standar dan sampel dengan deteksi larutan besi (III) klorida
71
Standar
Sampel Harga
Rf
Deteksi
UV 254 nm
UV 365 nm
Larutan besi (III) klorida (FeCl3)
Standar I Bercak 0,23 biru biru biru Standar II Bercak 0,21 biru biru biru Standar III Bercak 0,21 biru biru biru Standar IV Bercak 0,21 biru biru biru Standar V Bercak 0,21 biru biru biru
Sampel ekstrak replikasi I
Bercak A 0,21 biru biru biru Bercak B 0,28 biru biru biru Bercak C 0,34 biru biru biru Bercak D 0,42 ungu - - Bercak E 0,50 biru merah biru Bercak F 0,54 kuning merah biru Bercak G 0,58 kuning merah biru Bercak H 0,70 kuning merah biru
Sampel ekstrak replikasi II
Bercak A 0,21 biru biru biru Bercak B 0,28 biru biru biru Bercak C 0,34 biru biru biru Bercak D 0,42 ungu - - Bercak E 0,50 biru merah biru Bercak F 0,54 kuning merah biru Bercak G 0,58 kuning merah biru Bercak H 0,70 kuning merah biru
Sampel ekstrak replikasi III
Bercak A 0,21 biru biru biru Bercak B 0,28 biru biru biru Bercak C 0,34 biru biru biru Bercak D 0,42 ungu - - Bercak E 0,50 biru merah biru Bercak F 0,54 kuning merah biru Bercak G 0,58 kuning merah biru Bercak H 0,70 kuning merah biru
Hasil KLT standar (epigallokatekin galat) dan
sampel (ekstrak etanolik daun teh hijau)
72
Lampiran 12. Perhitungan penetapan kadar senyawa identitas
a. Konsentrasi standar
%05,0100
05,010005,0
==mlg
mlg b/v
b. Konsentrasi sampel
Replikasi I = %4100
45
2,0==
mlg
mlg b/v
Replikasi II = %4100
45
2,0==
mlg
mlg b/v
Replikasi III = %4100
45
2,0==
mlg
mlg b/v
c. Jumlah standar yang ditotolkan :
- Standar I = 5 μl = 0,005 ml
- Standar II = 10 μl = 0,010 ml
- Standar III = 15 μl = 0,015 ml
- Standar IV = 20 μl = 0,020 ml
- Standar V = 25 μl = 0,025 ml
Maka, konsentrasi standar yang digunakan :
- Standar I = 0,0005 g/ ml x 0,005 ml = 2,5 x 10-6 g = 2,5 x 10-4 g/100ml
= 2,5 x 10-4 % b/v
- Standar II = 0,0005 g/ ml x 0,010 ml = 5 x 10-6 g = 5 x 10-4 g/100ml
= 5,0 x 10-4 % b/v
- Standar III = 0,0005 g/ ml x 0,015 ml = 7,5 x 10-6 g = 7,5 x 10-4 g/100ml
= 7,5 x 10-4 % b/v
73
- Standar IV = 0,0005 g/ ml x 0,020 ml = 1 x 10-5 g = 1 x 10-3 g/100ml
= 10 x 10-4 % b/v
- Standar V = 0,0005 g/ ml x 0,025 ml = 1,25 x 10-5 g = 1,25 x 10-3 g/100ml
= 12,5 x 10-4 % b/v
Kurva baku standar epigallokatekin galat:
Dari kurva baku, diperoleh persamaan:
Y = Bx + A
Y = 9.959.240x + 5016,29
r = 0,9626
d. Jumlah sampel yang ditotolkan adalah 10 μl untuk replikasi I, II dan III
Maka, konsentrasi sampel yang digunakan :
0,04 g/ml x 0,010 ml = 4 x 10-4 g = 4 x 10-2 g/100 ml = 4 x 10-2 % b/v
= 4 x 10-4 g/ml
Kadar dan AUC sampel ekstrak etanolik daun teh hijau :
Sampel
Konsentrasi % b/v
AUC
Replikasi I 4 x 10-2 7116,8 Replikasi II 4 x 10-2 7389,9 Replikasi III 4 x 10-2 5675,2
Standar Konsentrasi % b/v (x)
AUC (y)
I 2,5 x 10-4 6461,4 II 5,0 x 10-4 10258,4 III 7,5 x 10-4 13894,1 IV 10 x 10-4 15550,1 V 12,5 x 10-4 16264,6
Y = Bx + A Y = 9.959.240x + 5016,29
r = 0,9626
74
e. Perhitungan kadar sampel ekstrak etanolik daun teh hijau
Replikasi I
Y = Bx + A
7116,8 = 9.959.240x + 5016,29
x = 2 x 10-4 % b/v
x = 2 x 10-4 g/100ml
Replikasi II
Y = Bx + A
7389,9 = 9.959.240x + 5016,29
x = 2 x 10-4 % b/v
x = 2 x 10-4 g/100ml
Kadar rata-rata sampel (X) = 2 x 10-4 %b/v
SD = 0
CV = %100×X
SD = %1000002,00
× = 0 %
Kadar senyawa epigallokatekin galat (% b/v) yang terdapat dalam ekstrak
etanolik daun teh hijau :
Sampel AUC Kadar % b/v Replikasi I 7116,8 2 x 10-4 Replikasi II 7389,9 2 x 10-4
Kadar rata-rata 2 x 10-4 ± 0
75
Konversi kadar sampel replikasi I dari % b/v menjadi % b/b
Maka: bbgggg
mlgmlxg /%5,0/005,0
04,00002,0
/0004,01000002,0
===
Konversi kadar sampel replikasi II dari % b/v menjadi % b/b
Maka: bbggg
gmlgmlx
g /%5,0/005,004,0
0002,0/0004,0100
0002,0===
Kadar rata-rata sampel (X) = 0,5 %b/b
SD = 0
CV = %100×X
SD = %1005,0
0× = 0 %
Kadar senyawa epigallokatekin galat (% b/b) yang terdapat dalam ekstrak
etanolik daun teh hijau :
Sampel AUC Kadar % b/b Replikasi I 7116,8 0,5 Replikasi II 7389,9 0,5
Kadar rata-rata 0,5 ± 0
76
77
78
79
80
81
82
Lampiran 13. Foto bahan dan alat penelitian
1. Pengentalan ekstrak
Kuncup dan daun teh
Ekstrak cair daun teh hijau
Ekstrak kental etanolik daun teh hijau
83
Alat maserasi
Vacuum rotary evaporator
84
2. Penetapan kadar air
Hasil penetapan kadar air replikasi I
Hasil penetapan kadar air replikasi II
Hasil penetapan kadar air replikasi III
85
3. Penetapan kadar abu
Abu Hasil Pemijaran Abu Hasil Pemijaran Abu Hasil Pemijaran Replikasi I Replikasi II Replikasi III
Pemijar
86
4. Penentuan senyawa identitas secara kualitatif dan kuantitatif ekstrak
etanolik daun teh hijau
Kromatogram standar dan sampel dengan deteksi di bawah lampu UV 254 nm
Kromatogram standar dan sampel dengan deteksi di bawah lampu UV 365 nm
Kromatogram standar dan sampel dengan deteksi larutan besi (III) klorida
87
Seperangkat CAMAG Thin Layer Chromatography Scanner 3
88
BIOGRAFI PENULIS
Penulis lahir sebagai anak ketiga dari empat
bersaudara pada tanggal 2 Juli 1988 di Lahat
Sumatera Selatan. Lahir dari ayah bernama
M. Najamuddin dan ibu bernama Tedja Murni,
memiliki kakak perempuan yang bernama Indah Pudji
Sari, kakak laki-laki yang bernama Zito Kristie Abdi
dan adik laki-laki yang bernama Reto Minotie Abdi.
Pendidikan formal yang dialami oleh penulis yaitu TK
Santo Yosef Lahat (1993-1994), SD Santo Yosef
Lahat (1994-2000), SMP Santo Yosef Lahat (2000-2003), SMU Santo Yosef
Lahat (2003-2006), dan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
(2006- sekarang). Beberapa pengalaman penulis di bidang akademik antara lain
Asisten Praktikum Mikrobiologi (semester genap 2006-2007), Farmakognosi
Fitokimia I (semester gasal 2007-2008). Penulis pernah menjadi panitia sumpahan
apoteker (2008-2009) dan Relawan POSKES Kotabaru (2009).