KAJIAN BIOLOGI DAN AGRONOMI KARABENGUK (Mucuna pruriens (L.) DC.) SEBAGAI TANAMAN PANGAN
DAN PENUTUP TANAH
Oleh:Supriyono
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
KAJIAN BIOLOGI DAN AGRONOMI KARABENGUK (Mucuna pruriens (L.) DC.) SEBAGAI TANAMAN
PANGAN DAN PENUTUP TANAH
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Pertanian pada
Universitas Gadjah Mada
Dipertahankan di hadapan PengujiSekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pada tanggal : 4 Agustus 2007
Oleh
Supriyono
Lahirdi Sleman Indonesia
ii
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang atas
perkenanNya penulisan disertasi yang berjudul KAJIAN BIOLOGI DAN AGRONOMI
KARABENGUK (Mucuna pruriens (L.) DC.) SEBAGAI TANAMAN PANGAN DAN
PENUTUP TANAH telah dapat diselesaikan. Dengan ini penulis menyatakan ucapan
terima kasih kepada pihak-pihak sebagai tersebut berikut.
1. Rektor Universitas Gadjah Mada beserta Staf, yang atas perkenannya penulis
dapat mengikuti studi pada Program Pendidikan Doktor ( S3 ),
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada beserta Staf, yang telah
memberikan fasilitas untuk berlangsungnya proses studi,
3. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada beserta Staf, yang telah
mengijinkan penggunaan fasilitas yang dimiliki,
4. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan ijin pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Doktor,
5. Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional beserta Staf DUE-Like Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan dana karya siswa,
6. Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc. sebagai Promotor yang telah banyak memberikan saran
kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini,
7. Dr. Ir. Abdul Syukur, S.U. sebagai Ko-promotor yang juga banyak memberikan
arahan,
8. Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa sebagai Ko-promotor yang banyak memberikan
semangat kepada penulis,
9. Prof. Dr. Ir. Sumantri Sastrosudarjo (Almarhum) yang telah memberikan saran
kepada penulis mulai penyusunan rencana penelitian hingga awal penelitian,
v
10. Dr. Ir. Djoko Muljanto, M.Sc. (Almarhum) yang telah banyak memberikan
masukan kepada penulis melalui berbagai mata kuliah dan penyusunan rencana
penelitian,
11. Ketua dan Segenap Anggota Tim Penilai yang banyak memberikan koreksi akhir
draf disertasi,
12. Ketua dan Segenap Anggota Tim penguji yang banyak membantu demi perbaikan
naskah disertasi,
13. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Gunungkidul beserta Staf dan Penyuluh
Pertanian Lapangan Kecamatan Ngawen,
14. Kepala Desa Tancep dan warga di lokasi penelitian lapangan yang banyak
membantu selama penelitian lapangan berlangsung,
15. Ayah Partowihardjo (Almarhum) dan Ibu yang mendorong penulis untuk
mengikuti Program Doktor serta Ayah Asmopawiro (Almarhum) dan Ibu
(Almarhumah) yang banyak memberikan bekal sewaktu mengasuh penulis,
16. Istri Elang Mujiyati beserta anak Arief Priyadi, Nurlaila Handayani dan Yuniar
Suryo Pratomo atas segala pengorbanannya,
17. Semua pihak yang membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat
petani khususnya di lahan kering.
Akhir kata, penulis menyadari akibat keterbatasan dana, tenaga dan waktu, tulisan
ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran membangun diterima dengan tangan
terbuka untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Yogyakarta, 3 Agustus 2007
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ..................…………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN ………………….………………………… ii PERNYATAAN PROMOVENDUS ……………………………………… iv PRAKATA ………………………………………………………………… v DAFTAR ISI ……………………………………………………………… vii DAFTAR TABEL ……………………………………………………… x DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN ……………………….…………………………… xiv INTISARI …………………………………..……………………………… xix ABSTRACT ……………………………………………………………… xxi I. PENGANTAR
A. Latar Belakang 1. Manfaat biji dan tanaman karabenguk (Mucuna pruriens (L.) DC.) 1 2. Struktur anatomi daun, pertumbuhan bintil dan forma pada
karabenguk ……………………………………………………… 2 3. Pemenuhan kebutuhan hara …………………………………….. 3 4. Peran rangka penjalar pada tanaman karabenguk …………….. 3 5. Peran karabenguk sebagai tanaman penutup tanah …………… 4 6. Penelitian terdahulu dan keaslian penelitian ………................... 4
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian ......................................................................... 5 2. Kegunaan penelitian ……………………………………………. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Asal dan ekologi ………………………………………………… 7 2. Budidaya karabenguk …………………………………………… 8 3. Kandungan kimiawi biji karabenguk .................……………….. 10 4. Struktur anatomi daun C3 dan C4 …………………………… 11 5. Bintil akar dan fiksasi nitrogen. ………………………………… 11 6. Morfologi tanaman ……………………………………………… 14 7. Pemenuhan kebutuhan hara pada karabenguk ............................... 15 8. Rangka penjalar pada karabenguk ................................................. 16 9. Karabenguk sebagai tanaman penutup tanah ............................. 17
B. Landasan Teori ……………………………………………………… 19 C. Hipotesis ……………………………………………………………. 21
III. METODE PENELITIAN A. Persiapan dan Kerangka Penelitian ...................................................... 22
vii
B. Pelaksanaan Percobaan 1. Percobaan I Kajian Biologi dan Hasil Karabenguk
a. Rancangan percobaan ……………………………………………... 24 b. Pengumpulan data ............................................................................. 24 c. Analisis data ...................................................................................... 27
2. Percobaan II Pemupukan pada 2 kultivar Karabenguk a. Rancangan percobaan ……………………………………………… 28 b. Pengumpulan data. ............................................................................. 30 c. Analisis data. ...................................................................................... 31
3. Percobaan III Rangka Penjalar pada 2 musim tanam dan 2 kultivar Karabenguk
a. Rancangan percobaan ……………………………………………… 31 b. Pengumpulan data …………………………………………………. 33 c. Analisis data ……………………………………………………….. 33 4. Percobaan IV Dua kultivar Karabenguk sebagai Tanaman Penutup Tanah a. Rancangan percobaan ……………………………………………… 34 b. Pengumpulan data ………………………………………………….. 35 c. Analisis data ……………………………………………………….. 35
C. Pengumpulan Data 1. Variabel vegetatif dan pertumbuhan tanaman .………………………. 36 2 Variabel hasil tanaman ………………………………………………. 40 3. Variabel tanah ………………………………………………………... 42 4. Variabel pada analisis vegetasi .....................……….………………… 44
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Biologi, Karakter Agronomi dan Forma Karabenguk
1. Kajian biologi ………… …………………………………..……….. 45 2. Karakter agronomi dan forma karabenguk budidaya ......…………… 50
B. Hasil analisis tanah dan Perubah Statistik Pemupukan 2 Kultivar Karabenguk
1. Hasil analisis tanah ………………………………….. ……………. 62 2. Hasil dan analisis hasil pemupukan karabenguk …………………….. 63
C. Penggunaan Rangka Penjalar pada 2 kultivar Karabenguk musim hujan dan kemarau
1. Komponen vegetatif dan hasil karabenguk ......... …………………… 77 2. Komponen bagian vegetatif dan hasil rata-rata per hari karabenguk . 88 3. Komponen bagian vegetatif dan hasil jagung ……………………….. 93 4. Komponen tumpangsari dan keharaan tanah ……………….....……… 97 5. Penjalar tanaman tahunan sebagai pembanding …………………........ 102 6. Kecepatan pertumbuhan ……………………………………………… 107 7. Pembahasan 2 kultivar karabenguk pada 2 musim tanam dan berbagai
Penjalar ................................................................................................. 113
viii
D. Karabenguk Sebagai Tanaman Penutup Tanah pada Musim Hujan dan Kemarau
1. Serapan hara dan bagian vegetatif tanaman ……….……………….. 122 2. Pertumbuhan tanaman penutup tanah……………………………….. 125 3. Hasil tanaman ……………………………………………………… 129 4. Keharaan tanah setelah perlakuan ...………………………………. 131 5. Peran tanaman terhadap kondisi tanah …… ………………………. 134 6. Persentase penutupan lahan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah .. 136 7. Peran karabenguk pada pengendalian gulma …………………. 138 8. Pembahasan peran 2 kultivar karabenguk sebagai penutup tanah
pada 2 musim tanam ........................................................................ 143 V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 147 B. Saran ……………………………………………………………….... 148 VI. RINGKASAN ………………………………………………………… 149 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 181 LAMPIRAN .................................................................................................. 186
ix
DAFTAR TABEL
Hal. Tabel 1. Perbedaan struktur anatomi daun C3, C4 dan karabenguk .............…. 45 Tabel 2. Panjang, diameter dan berat kering akar primer dan skunder, jumlah,
bentuk dan berat kering bintil enam kultivar karabenguk ....................... 50 Tabel 3. Panjang, diameter dan berat kering dan panjang ruas batang primer
dan skunder enam kultivar karabenguk .........................……………….. 51 Tabel 4. Letak dan berat kering daun, sudut, panjang dan diameter tangkai daun,
panjang, lebar dan kandungan klorofil helaian daun, panjang, diameter dan jumlah trichoma enam kultivar karabenguk ……………. 52
Tabel 5. Jumlah bunga per tandan dan berat kering , warna, panjang, tebal/lebar dan bentuk tangkai, kelopak dan mahkota bunga, warna, jumlah
benagsari dan putik, panjang benangsari dan bentuk putik enam kultivar karabenguk ………………...................................................................... 53
Tabel 6. Warna, panjang, lebar, tebal dan bentuk polong dan biji, jumlah dan berat kering polong dan jumlah biji enam kultivar karabenguk …….... 54
Tabel 7. Panjang tandan, panjang tangkai dan warna mahkota bunga, panjang polong dan jumlah bulu gatal enam kultivar karabenguk .....… 55
Tabel 8. Indeks luas daun umur lima minggu, panjang akar, nisbah akar tajuk, berat kering brangkasan, indeks panen, hasil biji, bobot 100 biji, protein dan HCN enam kultivar karabenguk ..............................…...... 58
Tabel 9. Indeks luas daun umur lima minggu, panjang akar, nisbah akar tajuk, berat kering brangkasan, indeks panen, hasil biji, bobot 100 biji, protein dan HCN dua forma karabenguk ........................…................... 58
Tabel 10. Hasil analisis tanah ................................................................................. 62 Tabel 11. Nilai C, N dan C/N sebelum dan setelah pertanaman karabenguk ......... 63 Tabel 12. Indeks panen dan hasil biji berbagai pemupukan dan kultivar karabenguk yang berbeda pada percobaan dipot ..……………………. 64 Tabel 13. Jumlah bintil, bk brangkasan atas dan tajuk dan akar/tajuk antar
kultivar pada percobaan di pot .................................................…........ 65 Tabel 14. Serapan NPK, bk akar, bintil, brangkasan atas dan tajuk jumlah
bintil/tan dan akar tajuk antar pemupukan pada percobaan di pot....... 65 Tabel 15. Peningkatan klorofil daun, indeks luas daun dan diameter batang
pada percobaan di pot ......................................................................... 66 Tabel 16. Bagian vegetatif dan hasil antar kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan ............................................................................................. 68 Tabel 17. Laju pertumbuhan tanaman bulan pertama pada berbagai perlakuan
pemupukan dan kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan ......................................................................... ....................... 68
Tabel 18. Keasaman atau pH tanah antar perlakuan pemupukan ............................ 71 Tabel 19. Lengas tanah antar perlakuan pemupukan ............................................. 72
x
Tabel 20. Kadar HCN tanah disekitar biji saat berkecambah ............................... 74 Tabel 21. Hasil, kadar air dan HCN biji dua musim tanam dan 2 kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar …………………………. 77 Tabel 22. Serapan K indeks panen, berat biji/polong, hasil biji, bobot 100 biji
dan kadar protein dua musim tanam pada dua kultivar karabenguk .... 79 Tabel 23. Bobot100 biji (g) dua kultivar pada berbagai rangka penjalar …….... 81 Tabel 24. Serapan NPK, diameter batang, beratkering brangkasan, indeks panen,
hasil biji/tanaman, bobot 100 biji dan kadar protein dua musim tanam karabenguk pada berbagai rangka penjalar …………… 82
Tabel 25. Kadar klorofil daun, indeks luas daun dan beratkering brangkasan karabenguk pada 2 musim tanam berbeda ..................................…. 84
Tabel 26. Serapan N dua kultivar karabenguk ..........................................….......... 85 Tabel 27. Berat kering brangkasan karabenguk pada rangka penjalar berbeda ..... 85 Tabel 28. Serapan NPK, berat kering brangkasan dan hasil biji pada dua musim tanam dan berbagai rangka penjalar ......…………………………….. 89 Tabel 29. Serapan P dan hasil biji rata-rata harian pada dua musim tanam dan kultivar berbeda ............……………………………………………….. 91 Tabel 30. Serapan N dan K, beratkering brangkasan dan hasil biji per tanaman rata-rata harian antar musim, kultivar dan penjalar ........................... .... 92 Tabel 31. Bobot 100 biji jagung pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar …………………… ……… 94 Tabel 32. Berat brangkasan dan hasil jagung pada 2 musim tanam berbeda … 95 Tabel 33. Berat brangkasan dan hasil jagung pada kultivar karabenguk dan
saat tanam berbeda ................................................................................ 96 Tabel 34. Serapan NPK dan kandungan unsur P dan K tanah pada dua musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar ……………….. 98 Tabel 35. Ater, bahan organik tanah dan C/N pada musim tanam berbeda ........... 100 Tabel 36. Ater pada 2 kultivar karabenguk dan berbagai rangka penjalar ............... 101 Tabel 37. Serapan K, hasil biji, kadar air, protein dan HCN pada interaksi
musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar dengan pembanding tanaman tahunan ................................................... 103
Tabel 38. Serapan N dan P dua kultivar karabenguk .............................................. 105 Tabel 39. Serapan N, P dan %Bj-Plng karabenguk pada rangka penjalar berbeda 106 Tabel 40. Koefisien regresi klorofil total daun (g/m2 lahan) antar musim pada 2
kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar ...…………….... 108 Tabel 41. Koefisien regresi indeks luas daun pada 2 musim tanam dan kultivar
karabenguk dengan berbagai rangka penjalar .............. ……………..... 109 Tabel 42. Koefisien regresi diameter batang pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar .............................……… 111 Tabel 43. Serapan hara, ILD dan berat kering brangkasan pada 2 musim tanam dengan berbagai macam penutup tanah ......... …………. …………. 122 Tabel 44. Diameter batang tanaman penutup tanah pada musim tanam berbeda .. 124 Tabel 45. Diameter batang tanaman pada berbagai penutup tanah ..................…. 124 Tabel 46. Koefisien regresi klorofil total daun pada berbagai perlakuan tanaman
penutup tanah ........... ...............................................…………………. 126
xi
Tabel 47. Koefisien regresi indeks luas daun pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah .…................................................................................... 127
Tabel 48. Koefisien regresi diameter batang pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah ....................................................................................... 128
Tabel 49. Indeks panen, biji/polong, bobot 100 biji, kadar protein dan HCN karabenguk pada 2 musim tanam dan berbagai penutup tanah ........... 129
Tabel 50. Hasil dan kadar air biji tanaman penutup tanah pada musim tanam berbeda .................................................................................................. 130
Tabel 51. Hasil dan kadar air biji antar macam tanaman penutup tanah ...……… 131 Tabel 52. Unsur N dan K total tanah pada musim tanam dan macam penutup tanah yang berbeda ..............................................................…. 132 Tabel 53. Kandungan P total tanah pada musim tanam berbeda .................. …. 133 Tabel 54. Kandungan P total tanah pada macam tanaman penutup tanah berbeda 133 Tabel 55. Bahan organik, persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah antar musim tanam ........................................... ….............…... 134 Tabel 56. Persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah pada macam penutup tanah yang berbeda .................................................. 136 Tabel 57. Peningkatan persentase penutupan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah ………............................................................................ 137 Tabel 58. Nilai NDP masing-masing gulma dan perlakuan pada
pengamatan umur 1, 2 dan 3 bulan, C terhadap lahan terbuka dan jumlah NDP gulma tahunan ........……………………………………. 139
xii
DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1. Diagram alir kerangka kegiatan penelitian …………………………. 23 Gambar 2. Anatomi daun karabenguk dibandingkan dengan kedelai dan
bayam pada perbesaran 10 x 10 ……………………………………. 46 Gambar 3. Irisan membujur bintil akar karabenguk ……………………………. 48 Gambar 4. Perkembangan anatomi bintil karabenguk …………………………. 49 Gambar 5. Dinamika pH tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan
pemupukan ......................................................................................... 71 Gambar 6. Dinamika lengas tanah selama pertumbuhan tanaman antar
perlakuan pemupukan ........................................................................ 73 Gambar 7. Klorofil total karabenguk berdasarkan bulan pengamatan
pada 2 musim berbeda …………………. . .......................................... 108 Gambar 8. Indeks luas daun pertanaman jagung, karabenguk dan tumpangsari keduanya berdasarkan umur tanaman pada musim penghujan dan
kemarau ............................................................................................. 110 Gambar 9. Diameter batang karabenguk berdasarkan bulan pengamatan
pada 2 musim berbeda .……………................................................... 112 Gambar 10. Curah hujan selama musim tanam di lapangan ................................. 117 Gambar 11. Kadar lengas tanah di lapangan berdasarkan bulan pengamatan ..... 118 Gambar 12. Suhu udara di lokasi penelitian berdasarkan jam pengamatan .......... 119 Gambar 13. Klorofil total daun tanaman penutup tanah berdasarkan umur
tanaman ................……………………………………………….. 141 Gambar 14. Indeks luas daun tanaman penutup tanah berdasarkan umur
tanaman ............................................................................................. 142 Gambar 15. Diameter batang tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman 142
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal. LAMPIRAN 1. Sidik Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas
pengangkutan dan tebal daun tanaman karabenguk, bayam dan kedelai ................................................ …………… … 186
LAMPIRAN 2. Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan dan tebal daun antar Kultivar Karabenguk ... 186
LAMPIRAN 3 . Sidik ragam panjang akar primer …………………............ 187 LAMPIRAN 4 . Sidik ragam diameter akar primer …………………............ 187 LAMPIRAN 5 . Sidik ragam berat kering akar primer ..……………….. 187 LAMPIRAN 6 . Sidik ragam panjang akar sekunder ………………………. 187 LAMPIRAN 7 . Sidik ragam diameter akar sekunder ............………………. 188 LAMPIRAN 8 . Sidik ragam berat kering akar sekunder ………….………… 188 LAMPIRAN 9 . Sidik ragam jumlah bintil akar primer …………………. 188 LAMPIRAN 10 . Sidik ragam jumlah bintil akar sekunder ............…………. 188 LAMPIRAN 11 . Sidik ragam berat kering bintil akar ………………………. 188 LAMPIRAN 12 . Sidik ragam panjang batang primer .......... ………………. 189 LAMPIRAN 13 . Sidik ragam diameter batang primer …………………. 189 LAMPIRAN 14 . Sidik ragam berat kering batang primer ...........…………. 189 LAMPIRAN 15 . Sidik ragam panjang ruas panjang ........... ………………… 189 LAMPIRAN 16 . Sidik ragam panjang ruas pendek ..........………………….. 189 LAMPIRAN 17 . Sidik ragam panjang batang sekunder ..........……………… 190 LAMPIRAN 18 . Sidik ragam diameter batang sekunder ….........…………… 190 LAMPIRAN 19 . Sidik ragam berat kering batang sekunder …..........……….. 190 LAMPIRAN 20 . Sidik ragam panjang ruas batang sekunder ...........………… 190 LAMPIRAN 21 . Sidik ragam berat kering daun …………….........………… 190 LAMPIRAN 22 . Sidik ragam panjang tangkai daun …….......…………..….. 191 LAMPIRAN 23 . Sidik ragam diameter tangkai daun ...........……………….. 191 LAMPIRAN 24 . Sidik ragam panjang daun .........………………………….. 191 LAMPIRAN 25 . Sidik ragam lebar daun ..........……………………………. 191 LAMPIRAN 26 . Sidik ragam klorofil ........………………………………… 191 LAMPIRAN 27 . Sidik ragam pnjang tichoma .......................................... 192 LAMPIRAN 28 . Sidik ragam dameter tichoma .......................................... 192 LAMPIRAN 29 . Sidik ragam jml trichoma /100 m ......………………….. 192 LAMPIRAN 30 . Sidik ragam jumlah bunga/tandan …………………….......... 192 LAMPIRAN 31 . Sidik ragam berat kering bunga …..........……….……….... 192 LAMPIRAN 32 . Sidik ragam panjang tangkai ..........………………………. 192 LAMPIRAN 33 . Sidik ragam tebal tangkai ............………………………… 192 LAMPIRAN 34 . Sidik ragam panjang kelopak ...........………………………. 193 LAMPIRAN 35 . Sidik ragam lebar kelopak ............…………………………. 193 LAMPIRAN 36 . Sidik ragam panjang mahkota ...........………………………. 193 LAMPIRAN 37 . Sidik ragam lebar mahkota …............………………………. 193
xiv
LAMPIRAN 38 . Sidik ragam panjang benangsari ……...........………………. 193 LAMPIRAN 39 . Sidik ragam jumlah polong / tandan ……...........…………… 194 LAMPIRAN 40 . Sidik ragam panjang polong …….........…………………… 194 LAMPIRAN 41 . Sidik ragam lebar polong ...........………………………….. 194 LAMPIRAN 42 . Sidik ragam tebal polong ...........…………………………… 195 LAMPIRAN 43 . Sidik ragam berat kering polong .........……………………. 195 LAMPIRAN 44 . Sidik ragam jumlah biji / polong ……...........……………….. 195 LAMPIRAN 45 . Sidik ragam panjang biji …..........…………………………… 195 LAMPIRAN 46 . Sidik ragam lebar biji …............…………………………..... 195 LAMPIRAN 47 . Sidik ragam tebal biji ……..………………………………. 196 LAMPIRAN 48. Sidik ragam indeks luas daun umur 5minggu ………………. 196 LAMPIRAN 49. Sidik ragam panjang akar ………………………………… 196 LAMPIRAN 50. Sidik ragam nisbah akar tajuk .......………………………… 196 LAMPIRAN 51. Sidik ragam berat kering brangkasan ..............…………….. 196 LAMPIRAN 52. Sidik ragam indeks panen (Transformasi Vx+0.5) ...…….. 197 LAMPIRAN 53. Sidik ragam hasil biji (Transformasi Vx+0.5) .......………... 197 LAMPIRAN 54. Sidik ragam bobot 100 biji ………………………………… 197 LAMPIRAN 55 . Sidik ragam protein ………………………………………… 197 LAMPIRAN 56 . Sidik ragam HCN …………………………………………... 197 LAMPIRAN 57 . Sidik ragam indeks luas daun umur 5minggu ..…………….. 198 LAMPIRAN 58 . Sidik ragam panjang akar …….…………………………….. 198 LAMPIRAN 59 . Sidik ragam nisbah akar tajuk .……………………………… 198 LAMPIRAN 60 . Sidik ragam berat kering brangkasan .……………………… 198 LAMPIRAN 61 . Sidik ragam indeks panen (Transformasi Vx+0,5) ..……….. 198 LAMPIRAN 62 . Sidik ragam hasil biji (Transformasi Vx+0,5) ..……………. 199 LAMPIRAN 63 . Sidik ragam bobot 100 biji ………..…………………………. 199 LAMPIRAN 64 . Sidik ragam kandungan protein ...………………………….. 199 LAMPIRAN 65 . Sidik ragam kandungan HCN ..………………………………. 199 LAMPIRAN 66 . Sidik ragam serapan N .....…………………………………. 200 LAMPIRAN 67 . Sidik ragam serapanP ......………………………………….. 200 LAMPIRAN 68 . Sidik ragam serapan K ….…………………………………. 200 LAMPIRAN 69 . Sidik ragam berat kering akar ......………………………….. 200 LAMPIRAN 70 . Sidik ragam jumlah bintil ..……………………………….. 201 LAMPIRAN 71 . Sidik ragam berat kering bintil ....………………………… 201 LAMPIRAN 72 . Sidik ragam berat kering brangkasan atas .......…………….. 201 LAMPIRAN 73 . Sidik ragam berat kering tajuk ........……………………….. 201 LAMPIRAN 74 . Sidik ragam akar/tajuk ........………………………………... 202 LAMPIRAN 75 . Sidik ragam indeks panen …..……………………………… 202 LAMPIRAN 76 . Sidik ragam hasil biji ……………………………………….. 202 LAMPIRAN 77 .Sidik ragam serapan N ......…………………………………. 202 LAMPIRAN 78 .Sidik ragam serapan P .......…………………………………. 203 LAMPIRAN 79 .Sidik ragam serapan K .....………………………………….. 203 LAMPIRAN 80. Sidik ragam berat kering akar ... ........……………………….. 203 LAMPIRAN 81 .Sidik ragam jumlah bintil ......……………………………….. 203 LAMPIRAN 82 .Sidik ragam berat kering bintil ........………………………… 204
xv
LAMPIRAN 83 .Sidik ragam berat kering brangkasan atas ........…………….. 204 LAMPIRAN 84 .Sidik ragam berat kering tajuk ..........……………………….. 204 LAMPIRAN 85.Sidik ragam nisbah akar tajuk .......... ……………………….. 204 LAMPIRAN 86 .Sidik ragam indeks panen ........…………………………….. 205 LAMPIRAN 87.Sidik ragam berat biji .......………………………………….. 205 LAMPIRAN 88 . Sidik ragam klorofil total …………………………………… 205 LAMPIRAN 89 . Sidik ragam indeks luas daun .……………………………… 205 LAMPIRAN 90 . Sidik ragam diameter batang ……………………………….. 206 LAMPIRAN 91. Sidik ragam panjang batang primer ..........………………….. 206 LAMPIRAN 92. Sidik ragam diameter batang primer ...........…………………. 206 LAMPIRAN 93. Sidik ragam panjang batang sekunder ............……………….. 206 LAMPIRAN 94. Sidik ragam diameter batang sekunder .............……………… 207 LAMPIRAN 95. Sidik ragam indeks luas daun ……….……………………… 207 LAMPIRAN 96. Sidik ragam nisbah luas daun .………………………………. 207 LAMPIRAN 97. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1 bulan x 1000. .. 207 LAMPIRAN 98. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1-2 bulan x 1000 208 LAMPIRAN 99. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 2-3 bulan x 1000 208 LAMPIRAN 100. Sidik ragam serapan N karabenguk ..................…………….. 209 LAMPIRAN 101. Sidik ragam serapan P karabenguk ...............………………. 209 LAMPIRAN 102. Sidik ragam serapan K karabenguk ..............………………. 210 LAMPIRAN 103. Sidik ragam klorofil / cm2 .............……………………….. 210 LAMPIRAN 104. Sidik ragam indeks luas daun umur 3 bulan ........................... 210 LAMPIRAN 105. Sidik ragam diameter batang saat panen ..............………….. 211 LAMPIRAN 106. Sidik ragam berat kering oven brangkasan/tanaman …….. 211 LAMPIRAN 107. Sidik ragam berat kering brangkasan ……………………… 211 LAMPIRAN 108. Sidik ragam indeks panen ……….………………………….. 212 LAMPIRAN 109. Sidik ragam % biji/polong …………..………………………. 212 LAMPIRAN 110. Sidik ragam hasil biji/tanaman ...............…………………… 212 LAMPIRAN 111. Sidik ragam hasil biji total ………………………………….. 213 LAMPIRAN 112. Sidik ragam bobot 100 biji …………..……………………… 213 LAMPIRAN 113. Sidik ragam kadar air biji % …………..…………………… 213 LAMPIRAN 114. Sidik ragam % protein ............……………………………… 214 LAMPIRAN 115. Sidik ragam % HCN ……………………………….……... 214 LAMPIRAN 116. Sidik ragam serapan N rata-rata harian ……………............ 214 LAMPIRAN 117. Sidik ragam serapan Px100 rata-rata harian ………............. 215 LAMPIRAN 118. Sidik ragam serapan K rata-rata harian ……………............. 215 LAMPIRAN 119. Sidik ragam berat kering brangkasan/tanaman rata-
rata harian ……...................................................................... 215 LAMPIRAN 120. Sidik ragam berat kering brangkasan rata-rata harian ……… 216 LAMPIRAN 121. Sidik ragam hasil biji / tan rata-rata harian ...........………… 216 LAMPIRAN 122. Sidik ragam hasil biji rata-rata harian ............……………… 216 LAMPIRAN 123. Sidik ragam bobot kering brangkasan jagung ...............……. 217 LAMPIRAN 124. Sidik ragam bobot biji / tanaman jagung ...…………………. 217 LAMPIRAN 125. Sidik ragam hasil biji jagung ……………………………… 217 LAMPIRAN 126. Sidik ragam bobot 100 biji ……..………………………….. 217
xvi
LAMPIRAN 127. Sidik ragam ATER …………………………………………. 218 LAMPIRAN 128. Sidik ragam serapan N g/m2 ..........………………………… 218 LAMPIRAN 129. Sidik ragam serapan P g/m2 .........…………………………. 218 LAMPIRAN 130. Sidik ragam serapan K g/m2 …….…………………………. 218 LAMPIRAN 131. Sidik ragam bahan organik tanah .............………………….. 219 LAMPIRAN 132. Sidik ragam N total tanah ……….………………………….. 219 LAMPIRAN 133. Sidik ragam C/N …….. ……………………………………... 219 LAMPIRAN 134. Sidik ragam P total tanah …………………………………… 219 LAMPIRAN 135. Sidik ragam K total tanah ………………………………….. 220 LAMPIRAN 136. Sidik ragam serapan N ……..……………………………….. 220 LAMPIRAN 137. Sidik ragam serapan P …… ………………………………. 220 LAMPIRAN 138. Sidik ragam serapan K ……. ………………………………. 220 LAMPIRAN 139. Sidik ragam % bij i/ polong ………………………………… 221 LAMPIRAN 140. Sidik ragam hasil biji / tanaman .......... ……………………. 221 LAMPIRAN 141. Sidik ragam hasil biji total …………………………………. 221 LAMPIRAN 142. Sidik ragam bobot 100 biji ……….…………………………. 221 LAMPIRAN 143. Sidik ragam kadar air biji % .............. ……………………… 222 LAMPIRAN 144. Sidik ragam protein …………………………………………. 222 LAMPIRAN 145. Sidik ragam HCN % ……….………………………………. 222 LAMPIRAN 146. Sidik ragam klorofil total …………………………………. 222 LAMPIRAN 147. Sidik ragam indeks luas daun ……………………………… 223 LAMPIRAN 148. Sidik ragam diameter batang ……….……………………… 223 LAMPIRAN 149. Sidik ragam serapan N ..........………………………………. 224 LAMPIRAN 150. Sidik ragam serapan P ...........……………………………… 224 LAMPIRAN 151. Sidik ragam serapan K ..........……………………………… 224 LAMPIRAN 152. Sidik ragam klorofil total ..............…………………………. 224 LAMPIRAN 153. Sidik ragam indeks luas daun bulan ke 3 …………………… 225 LAMPIRAN 154. Sidik ragam diameter batang ...........………………………… 225 LAMPIRAN 155. Sidik ragam berat kering brangkasan .....……………………. 225 LAMPIRAN 156. Sidik ragam kandungan klorofil …………………………… 225 LAMPIRAN 157. Sidik ragam indeks luas daun …..…………………………. 226 LAMPIRAN 158. Sidik ragam diameter batang ..…………………………….. 226 LAMPIRAN 159. Sidik ragam indeks panen .........………………………….. 226 LAMPIRAN 160. Sidik ragam % bij / polong ……..………………………… 226 LAMPIRAN 161. Sidik ragam hasil biji ……….…………………………….. 227 LAMPIRAN 162. Sidik ragam bobot 100 biji ………………………………… 227 LAMPIRAN 163. Sidik ragam kadar air biji % ...........……………………… 227 LAMPIRAN 164. Sidik ragam protein % ……. ……………………………… 227 LAMPIRAN 165. Sidik ragam HCN % ……………………………………… 228 LAMPIRAN 166. Sidik ragam bahan organik tanah .............…………………. 228 LAMPIRAN 167. Sidik ragam N total ……………………………………….. 228 LAMPIRAN 168. Sidik ragam C/N ……..……………………………………. 228 LAMPIRAN 169. Sidik ragam P total …….…………………………………. 229 LAMPIRAN 170. Sidik ragam K total …….. ………………………………… 229 LAMPIRAN 171. Sidik ragam bahan organik ..……………………………… 229
xvii
LAMPIRAN 172. Sidik ragam agregat ………………………………………. 229 LAMPIRAN 173. Sidik ragam pori tak tergunakan ............…………………. 230 LAMPIRAN 174. Sidik ragam pori menahan lengas ………………………… 230 LAMPIRAN 175. Sidik ragam pori drainase …………………………………. 230 LAMPIRAN 176. Sidik ragam berat volume …………………………………. 230 LAMPIRAN 177. Sidik ragam % porositas ............. …………………………. 231 LAMPIRAN 178. Koefisien korelasi antar masing-masing variabel …………… 232 LAMPIRAN 179. Koefisien korelasi antar berbagai variabel pada Percobaan Pemupukan …………………………………………………. 232 LAMPIRAN 180. Koefisien korelasi antar komponen karabenguk …………… 233 LAMPIRAN 181. Koefisien korelasi antar hasil tanaman jagung …………….. 233 LAMPIRAN 182. Koefisien korelasi antar komponen Tumpangsari …………. 233 LAMPIRAN 183. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan hasil
tanaman penutup tanah ……………………………………. 234 LAMPIRAN 184. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan tanah
pada tanaman penutup tanah ………………………………. 234 LAMPIRAN 185. Daun trifoliate karabenguk .............................................. 235 LAMPIRAN 185b. Daun jagung ...................................................................... 235 LAMPIRAN 185c. Daun kalopogonium .......................................................... 235 LAMPIRAN 185d. Daun sentrosema .................. ............................................. 236 LAMPIRAN 186. Penyetaraan hasil klorofil meter ke berat klorofil per
cm2 daun karabenguk ......................................................... 236 LAMPIRAN 187. Hubungan hasil ukur soil tester dan kadar lengas tanah ..... 236 LAMPIRAN 188. Data kadar lengas tanah di lapangan berdasarkan bulan
pengamatan .......................................................................... 237
xviii
INTISARI
Karabenguk merupakan tanaman pangan yang dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah. Bijinya biasa digunakan untuk membuat tempe, dan ini penting untuk mencukupi kebutuhan protein masyarakat di lahan marginal.
Percobaan 1 bertujuan menentukan tanaman karabenguk berdasar struktur anatomi termasuk tanaman C3 atau C4, menentukan pola pertumbuhan bintil karabenguk dan menentukan forma dari kultivar dan asal tanaman yang berbeda. Tujuan Percobaan 2 ialah mengetahui pengaruh macam dan takaran pupuk pada pertumbuhan dan hasil 2 kultivar karabenguk. Percobaan 3 bertujuan mengetahui peranan rangka penjalar terhadap pertumbuhan dan hasil 2 kultivar karabenguk sebagai individu maupun sebagai pertanaman tumpangsari serta keharaan tanah baik pada musim kemarau maupun penghujan. Tujuan Percobaan 4 ialah menentukan peran penutup tanah 2 kultivar karabenguk dibanding tanaman penutup tanah konvensional terhadap kecepatan tumbuh, pengendalian gulma dan perbaikan sifat-sifat tanah pada musim hujan dan kemarau. Percobaan 1 dan 2 dilakukan di rumahkaca Fakultas pertanian UNS dengan suhu maksimum harian 39 C dan dilanjutkan di lapangan. Percobaan 1 dengan Rancangan Acak Kelompok lengkap (RAKL) 6 perlakuan kultivar, diulang 3 kali. Enam perlakuan dimaksud adalah kultivar Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo dan Rase. Percobaan 2 dengan RAKL-faktorial. Faktor pertama kultivar terdiri 2 macam yaitu Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke dua pupuk terdiri 5 tingkat yaitu tanpa pupuk, pupuk organik dosis sedang /fine compost 125 g/tanaman, pupuk organik dosis tinggi / 250 g/tanaman, NPK dosis sedang / mutiara 16-16-16 30 g/tanaman dan NPK dosis tinggi 60 g/tanaman. Percobaan 3 dan 4 dilaksanakan di Desa Tancep Ngawen Gunungkidul 170 m dpl pada musim hujan dan kemarau. Pada Percobaan 3, disamping musim sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah kultivar yaitu Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke tiga adalah macam penjalar terdiri 5 macam yaitu jagung bersamaan tanam dengan karabenguk, jagung umur 2 minggu, jagung umur 4 minggu, penjalar bambu dan tanpa penjalar; pada musim penghujan ditambah penjalar mangga dan penjalar singkong. Pada Percobaan 4 disamping musim dan kultivar sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah macam penutup tanah terdiri atas 7 tingkat yaitu Rase, Putih Gunungkidul, Kalopoginium, Sentrosema, Rase dengan pupuk organik dosis sedang, Putih Gunungkidul dengan pupuk organik dosis sedang ditambah tanpa penutup tanah.
Berdasarkan struktur anatomi daun, karabenguk termasuk tanaman C3. Berdasarkan struktur anatomi bintil, karabenguk mengikuti pola pertumbuhan bintil yang indeterminate. Forma utilis meliputi kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan forma cochinchinensis meliputi kultivar Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Hasil biji dan indeks panen kultivar Putih Gunungkidul dan Rase lebih tinggi dibanding kultivar lain, kandungan proteinnya lebih rendah dibanding Putih Kulonprogo dan kadar HCN lebih tinggi bila dibanding Luthung. Berat hasil panen biji forma cochinchinensis lebih tinggi dibanding forma utilis karena didukung jumlah biji per polong yang lebih banyak, mahkota bunga yang lebih besar, tangkai daun yang lebih pendek dengan berat batang sekunder yang lebih rendah meskipun kadar klorofil daun juga lebih rendah.
xix
Pada percobaan di pot dengan sekali pemupukan, jumlah bintil, dan nisbah akar tajuk lebih tinggi pada kultivar Rase dibanding Putih Gunungkidul. Pupuk organik dengan dosis tinggi (fine compost 250g/tanaman) dan sedang ( 125g/tanaman) menghasilkan jum;ah bintil per tanaman lebih tinggi dibanding NPK (mutiara 16-16-16) dosis tinggi (60g/tanaman), NPK dosis sedang (30g/tanaman) dan kontrol. Percobaan di lapangan dengan 2 kali pemupukan menghasilkan panenan biji kultivar Rase lebih tinggi di banding kultivar Hitam Gunungkidul.
Pada penanaman musim penghujan, kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu mampu memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik. Pada pertanaman musim kemarau, kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi. Penanaman musim hujan mengakibatkan pertumbuhan dan berat hasil biji yang lebih baik dibanding musim kemarau. Berbagai komponen pertumbuhan dan hasil karabenguk dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu per satuan luas dapat menyamai penjalar tanaman keras.
Pertumbuhan penutup tanah karabenguk lebih baik dibanding kalopogonium dan sentrosema bila ditanam pada musim penghujan dan tidak berbeda nyata bila ditanam pada musim kemarau. Semua tanaman penutup tanah yang dicobakan mampu menekan gulma yang didominasi lamuran. Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah konvensional. Beberapa sifat tanah tidak menunjukkan perbedaan antar tanaman penutup tanah sehingga kemampuan menahan erosi lebih ditentukan oleh bobot brangkasan kering tanaman.
Kata kunci : biologi, agronomi, tanaman pangan, penutup tanah
xx
ABSTRACT
Velvet bean is a food crop for cover crop utilization. Its seed yield is usually used for preparing tempeh (fermented soybean cake). That is important for fulfilling the public’s protein needs in marginal areas. The aim of the first experiment is to determine C3 or C4 of velvet bean plant based on its anatomy structure, to determine the velvet bean’s nodule growth pattern and to determine the cultivar form and the different plant origin. The objective of experiment 2 is to find out the effect of fertilizer dose on the 2 velvet bean cultivar growth and yield. Experiment 3 aims to find out the creeping-pole role on the 2 velvet bean cultivar growth and yield as both individual and intercropping plant as well as the soil’s mineral content either in dry or wet season. The objective of experiment 4 is to determine the role of velvet bean in the 2 velvet bean cultivars compared with the conventional cover crop on the growth rate, weed control and soil indicator in wet and dry seasons. Experiment 1 and 2 was conducted in the greenhouse of Agricultural Faculty of UNS with daily maximum temperature 39oC and continued in the field. Experiment 1 was conducted with Randomized Completely Block Design (RCBD) with 6 cultivar treatments, and repeated for 3 times. The six treatments are cultivar Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, ,Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo and Rase. Experiment 2 employed factorial-RCBD. In the first factor, cultivar consisted of 2 types, i.e. Rase and Putih Gunungkidul. In the second factor, fertilizer consisted of 5 levels, namely without fertilizer, medium dose of organic fertilizer /fine compost 125 g/plant, high dose of organic fertilizer/ 250g/plant, medium dose of NPK / mutiara 16-16-16 30g/plant and high-dose of NPK 60g/plant. Experiment 3 and 4 was in the field that was conducted in Village Tancep Ngawen Gunungkidul 170 m usl in wet and dry seasons. In Experiment 3, in addition to seasons as the first factor, the second one was cultivars, namely Rase and Putih Gunungkidul. The third factor was the type of creeping pole consisting of 5, namely corn that was planted simultaneously with velvet bean, 2 weeks-corn, 4 weeks corn, bamboo pole and without pole; in wet season, those was added with mango plant creeper and cassava creeper. In Experiment 4, in addition to seasons and cultivars as the first factor, the second one was the type of cover crop consisted of 7 levels, namely Rase, Putih Gunungkidul, Calopogonium muconoides, Centrosema pubescen, Rase with medium dose of organic fertilizer, Putih Gunungkidul with medium dose of organic fertilizer supplemented without cover crop.
The result of experiment shows that, considering the leaves anatomy structure, the velvet bean has C3 photosynthesis path. Based on the nodule anatomy structure, the bean follows indeterminate nodule growth pattern. The utilis forma includes cultivar Luthung, Hitam Gunungkidul and Putih Kulonprogo, while forma cochinchinenensis includes cultivar Rase, Putih Gunungkidul and Putih Kedungombo. The seed yield and harvest index of cultivar Putih Gunungkidul and Rase are higher than other’s ones, their protein contents are only lower than that of Putih Kulonprogo and HCN content is only higher than that of Luthung. The seed yield of forma cochinchinensis is higher than forma utilis because it is supported by the number of higher seed per pod, the flower crown is larger,
xxi
the leaves stalk is shorter and secondary stalk weight is lower but the chlorophyll content of leaves is lower. With one time fertilizing on pot, the nodule number, as well as root-shoot ratio are higher in cultivar Rase compared with those of Putih Gunungkidul. The high (fine compost 250g/plant) and medium (125g/plant) doses of organic fertilizer results in the higher nodules number per plant compared with high dose of NPK (60g/plant), medium dose of NPK (30g/plant) and the control. With two times fertilizer on the field, the seed yield of cultivar Rase is higher than that of cultivar Hitam Gunungkidul.
In wet season planting, cultivar Rase with bamboo creeper and 4-weeks corn can produce the best growth and yield. In dry season, cultivar Rase with bamboo creeper and simultaneously planted-corn provides the highest growth and yield. Likewise, cultivar Rase has higher crop potential than that of Putih Gunungkidul. Various component of velvet bean’s growth and yield with bamboo creeper and 4-weeks-corn is same than perennials plant creepers per unit width.
The growth of velvet bean cover crop is better than that of Calopogoniummuconoides and Centrosema pubescen if planted in wet season and is not significantly different if planted in dry season. All cover crops examined can suppress the weeds better than conventional cover crop for planting season period, but for years period the conventional tends better. Several soil indicators no difference across cover crops so that the capability of restraining erosion is determined better by the plant’s gross dried weight.
Key words : biology, agronomy, food crop, cover crop
xxii
I. PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kesuburan tanah ditentukan oleh tekstur, struktur dan porositas, kandungan hara
dan pH serta keberadaan organisme menguntungkan dalam tanah. Untuk
mempertahankan kesuburan tanah dibutuhkan tanaman penutup tanah. Disamping
sebagai tanaman pangan, karabenguk ( Mucuna pruriens (L.) DC. ) dapat digunakan
sebagai tanaman penutup tanah. Penelitian tentang karabenguk masih jarang dilakukan.
Beberapa karakter biologi terkait agronominya perlu dipelajari, demikian pula tanggap
tanaman terhadap tambahan hara, cara meningkatkan hasil dan peran sebagai penutup
tanah perlu diteliti baik pada musim hujan maupun kemarau.
1. Manfaat biji dan tanaman karabenguk (Mucuna pruriens (L.) DC.)
Tanaman karabenguk bermanfaat karena bijinya dapat digunakan sebagai
bahan pangan ( Josephine dan Janardhanan, 1991 ), sebagai tanaman penutup tanah
dan pakan ternak ( Carmen et al., 1999 ), serta digunakan sebagai tanaman perintis
pada lahan-lahan tandus ( Duke, 1981 ). Biji dapat digunakan sebagai bahan obat
karena mengandung L-Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ). Sebagai tanaman
kacang-kacangan, karabenguk juga mampu menambat N2 bebas dari udara akibat
bersimbiosis dengan rhizobium pada bintil akarnya ( Sanginga et al., 1996 ).
Sebagai bahan pangan, biji karabenguk dapat dibuat tempe serta berbagai
hasil olahan yang lain. Protein yang terkandung penting untuk mencukupi kebutuhan
bagi masyarakat di lahan kering. Senyawa racun termasuk HCN yang terkandung
1
2
hilang dengan perebusan dan perendaman selama 3 hari dengan penggantian air tiap
hari ( Josephine dan Janardhanan, 1991; Handajani et al., 1996 ). Zat-zat yang
merugikan kesehatan seperti alkaloida, saponin, sianoglukosida dan asam-asam
amino tertentu, sebagian besar rusak oleh pemanasan dan sebagian lagi larut dalam
air ( Handajani, 2002). Hijauan atau brangkasan tanaman dapat digunakan sebagai
pakan ataupun pupuk hijau.
2. Struktur anatomi daun, pertumbuhan bintil dan forma pada karabenguk
Karbohidrat merupakan sumber energi bintil akar yang berasal dari tanaman
inang. Jumlah karbohidrat yang diterima bintil tergantung laju fotosintesis tanaman
inang. Tanaman dengan tipe fotosintesis C3 mempunyai laju fotosintesis lebih
rendah dibanding tanaman C4 ( Muljanto, 1991 ). Tumbuhan C4 memiliki ikatan
pembuluh besar-besar dan banyak mengandung kloroplas, ruang antar sel kecil-kecil
dan vena rapat, sedangkan ikatan pembuluh pada tumbuhan C3 kecil-kecil dan
kloroplas hanya ada pada sel mesofil ( Loveless, 1983 ).
Bintil alfalfa (Medicago sativa) yang mengalami penuaan baik secara alamiah
atau karena daun dirompes, sakit, stres, kekurangan hara, hormon dan fotosintat,
bakteroid terlihat pecah namun bintil tetap utuh tidak terlepas dari akar cabang.
Bagian bintil yang dekat cabang akar tetap baik, sedangkan di ujung bintil yang jauh
dari cabang akar akan mengempis ( Vance et al., 1980 ). Alfalfa termasuk tumbuhan
iklim sedang yang mengikuti pola pertumbuhan bintil indeterminate, bintil dapat
memberikan hara ke zone perakaran setelah tanaman mati. Pada bintil Phaseolus
vulgaris yang menua, membran sel akan pecah dan bakteroid mengalami
3
penghancuran ( Pladys and Rigaud, 1988 ). Hal ini menyebabkan bintil pada pola
pertumbuhan determinate mampu memberikan hara ke zone perakaran saat tanaman
masih hidup. Pola pertumbuhan bintil pada tanaman karabenguk, secara pasti belum
diketahui. Duke ( 1981 ) menyebutkan bahwa karabenguk termasuk tanaman tropik
atau sub tropik. Namun tentu tidak secara otomatis pola pertumbuhan bintil
mengikuti pola tribus phaseolae yang determinate. Untuk itu perlu pengkajian lebih
mendalam dalam kaitan kegunaan untuk penanganan sebagai tanaman pupuk hijau.
Faktor genetis sangat menentukan hasil tanaman. Karabenguk yang
dibudidayakan meliputi 2 forma, utilis dan cochinchinensis. Kultivar Hitam
Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo
dan Rase termasuk forma utilis ataukah cochinchinensis dan kaitan dengan potensi
hasil perlu diketahui.
3. Pemenuhan kebutuhan hara
Setiap kultivar memiliki daya tanggap terhadap tambahan hara yang berbeda-
beda. Tanaman mengambil hara dari tanah melalui absorbsi oleh akar cabang.
Pemupukan akan meningkatkan serapan hara sehingga pertumbuhan dan hasil
tanaman meningkat. Karabenguk termasuk keluarga tanaman kacang-kacangan yang
dapat bersimbiosis dengan rhizobium untuk mengubah nitrogen bebas menjadi
nitrogen yang tersedia bagi tanaman ( Marschner, 1986 ).
4. Peran rangka penjalar pada tanaman karabenguk
Hasil penelitian Handajani et al. ( 1996 ) menyimpulkan bahwa penggunaan
tanaman tahunan sebagai penjalar pada karabenguk memberikan hasil lebih tinggi
4
dibanding penjalar bambu. Rangka penjalar penting untuk meningkatkan distribusi
sinar matahari, sehingga cahaya yang dapat diserap tanaman lebih banyak. Namun
demikian, penggunaan tanaman tahunan sebagai penjalar memerlukan pengorbanan
tinggi karena saat panen karabenguk, cabang tanaman penjalar ikut dipangkas.
Untuk itu perlu dicoba penggunaan rangka penjalar tanaman semusim secara
tumpangsari dengan karabenguk.
5. Peran karabenguk sebagai tanaman penutup tanah
Tanaman penutup tanah yang baik memiliki pertumbuhan yang cepat, tidak
mengambil hara tanah dalam jumlah besar, menghasilkan banyak serasah, memiliki
nilai penutupan tanah yang tinggi, mampu memperbaiki sifat tanah dan mampu
mengendalikan gulma ( Versteeg et al., 1998 ). Kemampuan karabenguk untuk
memenuhi persyaratan tersebut akan terpenuhi melalui hasil penelitian ini.
6. Penelitian terdahulu dan keaslian penelitian
Beberapa penelitian pada karabenguk yang pernah dilakukan adalah sistem
pertanaman yaitu : tumpangsari dengan jagung ( Coultas et al, 1996 ), alley cropping
atau budidaya lorong bersama tanaman lain ( Versteeg et al., 1998 ), respon terhadap
pemberian kapur dan fosfat ( Kang et al., 1995 ), perubahan kandungan C dan N
tanah bila digunakan sebagai pupuk hijau ( Mc Kaig et al., 1940 ), sebagai penutup
tanah di tanah masam ( Hairiah et al., 1991 ), manfaat tanaman karabenguk untuk
menurunkan populasi nematoda Meloidogyne dan Heterodera glycines pada kedelai
( Weaver et al., 1998 ) dan macam bintil akar ( Sanginga et al., 1996 ). Sebagai
bahan pangan telah diteliti kemungkinan untuk ditepungkan (Ahenkora et al., 1999 ),
5
analisis kandungan L-Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ), kandungan aflatoksin
akibat perbedaan suhu simpan ( Roy and Chourasia, 1989 ), kandungan gizi dan
senyawa racun ( Josephine dan Janardhanan, 1991 ), dan sistem perbiakan mikro
( Chattopadhyay et al., 1995 ). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penurunan
persentase sinar matahari hingga tinggal 25% dan penggunaan mulsa hingga 20 t/ha
tidak mengubah hasil tanaman karabenguk menjalar di tanah dengan jarak 0,5m x
0,75m ( Handajani et al., 1995 ).
Penelitian yang dilakukan tidak sama dengan penelitian yang sudah ada.
Penelitian untuk menentukan tipe fotosintesis karabenguk melalui struktur anatomi,
menentukan pola pertumbuhan bintil dan menentukan forma dari kultivar yang ada
di Jawa Tengah dan DIY belum pernah dilakukan. Penelitian tumpangsari
karabenguk dengan jagung memang pernah dilakukan, namun untuk dibandingkan
dengan penjalar tidak hidup dan penjalar tanaman tahunan pada 2 musim berbeda
belum ada.
Sebagai penutup tanah, penelitian karabenguk untuk mengendalikan alang-
alang atau gulma lain juga pernah dilakukan, namun penelitian yang secara terpadu
melihat peran karabenguk sebagai penutup tanah dalam berbagai aspek juga belum
ada.
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. 1) Melihat struktur anatomi daun dan nisbah seludang berkas pengangkutan per
tebal daun untuk menentukan karabenguk termasuk tanaman C3 atau C4,
6
2) Menentukan pola pertumbuhan bintil apakah mengikuti pola tribus Phaseolae
(determinate/tumbuhan tropis-subtropis) ataukah mengikuti pola tribus
Viciae-Trifoliae (indeterminate / tumbuhan iklim sedang),
3) Menentukan forma kultivar lokal karabenguk berdasarkan karakter biologi.
b. Menentukan peran pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil kultivar karabenguk
yang berbeda.
c. Menentukan peranan rangka penjalar terhadap pertumbuhan dan hasil biji
karabenguk pada musim kemarau dan penghujan.
d. Menentukan peran penutup tanah karabenguk dibandingkan dengan penutup
tanah konvensional dalam pertumbuhan, perbaikan sifat tanah dan pengendalian
gulma.
2. Kegunaan penelitian
a. Diperoleh identifikasi tanaman karabenguk termasuk C3 atau C4, forma utilis
atau cochinchinensis dan pola pertumbuhan bintil yang dapat digunakan pemulia
tanaman untuk pengembangan tanaman karabenguk lebih lanjut,
b. Meningkatkan pengetahuan tentang budidaya karabenguk dan perbendaharaan
dalam ilmu pengetahuan,
c. Memperoleh alasan dan kesesuaian penggunaan tanaman karabenguk sebagai
tanaman penutup tanah pada lahan kering marginal,
d. Menambah pendapatan petani dan ketersediaan karabenguk sebagai salah satu
alternatif sumber protein nasional terutama pada kawasan lahan marginal.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Asal dan ekologi
Karabenguk berasal dari Asia Selatan dan Tenggara. Tanaman ini
diintroduksi ke Florida pada tahun 1876, kemudian direintroduksi ke daerah
tropik dan sub tropik. Di Hawaii, Australia, Philippina, dan Malaysia, karabenguk
dikembangkan sebagai tanaman penutup tanah ( Vissoh et al., 1998; Duke, 1981).
Di Afrika Barat, sekarang karabenguk banyak dikembangkan pada tanah tidak
subur dan rentan erosi. Budidaya tersebut menggunakan pupuk dosis rendah
( Vissoh et al., 1998 ). Karabenguk tersebar meluas di luar Amerika Serikat
sebagai tanaman penutup tanah ( Carmen et al., 1999 ). Kultivar karabenguk yang
ada umumnya tahan kekeringan, ditanam pada lahan tandus dan digunakan
sebagai penghasil biji ( Duke, 1981 ).
Karabenguk tumbuh subur pada tanah geluh pasiran (sandy loam) hingga
geluh lempungan dengan pengatusan yang baik. Umumnya karabenguk
menyerbuk sendiri. Tanaman ini sensitif pada suhu rendah dan memerlukan
keadaan bebas suhu rendah pada periode pembungaan hingga pengisian biji. Suhu
dibawah 5 C selama 24 hingga 36 hari dapat merusak karabenguk kultivar Florida
( Duke, 1981 ). Selama musim pertumbuhan, suhu 20 hingga 30 C dianjurkan,
suhu 21 C pada malam hari dikatakan memacu pembungaan. Karabenguk
merupakan tanaman hari pendek ( Aiming et al., 1999). Karabenguk tumbuh
subur pada curah hujan 380 hingga 3150 mm per tahun, rata-rata suhu tahunan
8
antara 18,7 hingga 27,1 C dengan pH 4,5 hingga 7,7. Hasil maksimum dicapai
antara pH 5 hingga 6,5 pada tanah geluh pasiran ringan ( Duke, 1981 ).
2. Budidaya karabenguk
Penanaman karabenguk dilakukan pada bedengan dengan jarak tanam dalam
baris 15 hingga 90 cm dan jarak antar baris 90 hingga 180 cm. Penanaman dengan
penebaran benih membutuhkan 45 hingga 90 kg benih / ha ( Duke, 1981 ).
Handajani ( 1995 ) melakukan penelitian pada karabenguk dengan jarak tanam
50cm x 75cm. Tumpangsari dengan jagung berjarak dalam baris 90 hingga 120
cm membutuhkan 4 hingga 15 kg benih / ha. Di Amerika, kultivar Florida
ditanam bulan Maret hingga April sedang kultivar Hawaii bulan Februari ( Duke,
1981 ).
Di Amerika Serikat bagian Selatan, tergantung kultivar, biji karabenguk
akan mulai tua pada umur 3 ½ bulan. Di beberapa daerah yang lain, biji akan
menua lebih dari 5 bulan dan di daerah tropik mencapai 7 hingga 9 bulan.
Karabenguk dipanen secara manual, termasuk untuk memisahkan dengan batang
dan daun. Bila ditumbuhkan bersama jagung, pemanenan dilakukan menjelang
penuaan dan dibantu dengan alat pemanen. Polong tua dan kering mudah pecah.
Setelah kering, biji dapat digiling dengan alat hasil modifikasi. Di Australia,
digunakan penggilas jagung sedangkan di Afrika digunakan pemukul. Biji yang
disimpan ditempat dingin dapat tetap viabel hingga 2 tahun atau lebih. Hijauan
karabenguk untuk pakan dipanen pada umur 90 hingga 120 hari namun terkendala
batang menjalar sulit ditangani ( Duke, 1981 ).
9
Pada lahan subur hasil biji di Amerika Serikat dapat mencapai 1.000
hingga 2.000 kg/ha dan di Hawaii 900 hingga 1.500 kg/ha. Hasil biji di India 240
hingga 1.120 kg/ha dan brangkasan 900 hingga 3.600 kg/ha. Hasil hijauan pakan
yang dipangkas adalah 3 hingga 6 MT(metrik ton) / ha selama 90 hingga 100 hari
dan 18 MT/ha selama musim tanam. Di New Delhi, tumpangsari jagung-
karabenguk memberikan 50% hijauan pakan lebih banyak dibanding jagung-
kacangtunggak. Hasil tanaman pupuk hijau diperkirakan 18 hingga 19 MT/ha.
Produksi biji karabenguk diestimasi 895.000 MT/tahun. Fortifikasi atau
pengayaan makanan dengan L-Dopa (Levodopa) hingga 4,8% telah pernah
dilakukan ( Duke, 1981 ). Levodopa adalah senyawa ber rumus kimia 3 ( 3,4-
dihydroxyphenil ) –L-alanin ( Vissoh et al., 1998 ).
Karabenguk jarang mendapat masalah oleh insekta, di duga karena
kandungan L-Dopa. Levodopa ( L-Dopa ) pada biji merupakan pelindung dari
serangan insekta dan mamalia kecil. Karabenguk tahan beberapa penyakit
termasuk yang disebabkan fusarium, tetapi di Rhodesia Selatan tidak tahan
terhadap penyakit "Vine-rot". Beberapa fungi khususnya Cercospora dan
Phytophtora dapat menyerang araengu. Demikian pula bakteri menyerang
karabenguk melalui penyakit becak daun bakteri. Daun karabenguk yang
menguning disebabkan defisiensi Zink. Mosaik virus juga dapat menyerang
karabenguk. Karabenguk tidak memiliki kekebalan terhadap beberapa nematoda
(Duke, 1981).
10
3. Kandungan kimiawi biji karabenguk
Levodopa dapat diekstrak dari biji karabenguk dan digunakan untuk
mengendalikan gejala penyakit parkinson. Levodopa juga dapat digunakan
sebagai penolak insekta. Spesies karabenguk juga diketahui sebagai penghasil zat
perangsang, obat pembuat muntah dan senyawa racun ( Duke, 1981 ).
Tiga jenis biji karabenguk dari 3 daerah di India yang diuji, mengandung
protein dan lemak kasar lebih tinggi dibanding spesies karabenguk yang lain.
Albumin dan globulin mendominasi ketiganya. Kecuali L-dopa, semua anti nutrisi
yang terdeteksi bersifat labil dan hilang karena perebusan ( Josephine dan
Janardanan, 1991 ).
Ahenkora et al. ( 1999 ) telah mencoba membuat tepung dari biji
karabenguk, mengingat tepung cukup potensial untuk pengembangan produksi
pangan. Sebagaimana kacang-kacangan, karabenguk juga dapat mengandung
aflatoksin hasil dari jamur Aspergilus flavus. Tingkat aflatoksin B1 tertinggi ada
pada penyimpanan 3 minggu pada suhu 25 C sebesar 1,75 µg (micro gram),
terendah ada pada suhu simpan 15 C sebesar 0,1 hingga 0,29 µg ( Roy and
Chourasia, 1989 ).
Bila biji sebagai pakan mengandung senyawa racun yang tinggi, biji dapat
menyebabkan muntah dan diare. Senyawa racun yang terkandung dilaporkan
sebagai dihidroksi fenilalanin. Biji juga mengandung inhibitor tripsin dan
kimotripsin. Biji karabenguk juga dilaporkan menghasilkan dopamin, nikotin,
fisostigmin dan serotonin. Dari 11 jenis karabenguk yang dianalisis, kandungan
L-dopa antara 3,1 - 6,7% ( Duke, 1981 ).
11
4. Struktur anatomi daun C3 dan C4
Karabenguk termasuk tanaman kacang-kacangan, namun belum ditemukan
pustaka yang secara tegas menyatakan tanaman karabenguk termasuk C3 atau
C4. Tumbuhan C4 memiliki sel-sel berkloroplas pada ikatan pembuluh yang
besar-besar dan sel mesofil di sekitar ikatan pembuluh. Tumbuhan C3 memiliki
kloroplas pada semua sel mesofil ( Loveless, 1983 ).
Pada tumbuhan dengan jalur fotosintesis C3, seludang berkas ( bundle
sheath ) terlihat tersamar, sedangkan pada tumbuhan C4 seludang berkas
berdinding tebal dan memiliki banyak kloroplas, mitokhondria serta organel yang
lain. Vakuola pusat berukuran lebih kecil ( Laetsch, 1974 cit. Salisbury and Ross,
1992 ). Kedelai termasuk tumbuhan C3 sehingga mengalami fotorespirasi dan
proses metabolisme karbon kurang efisien ( Wigham, 1983 ).
Pada tumbuhan C3, seludang berkas kecil-kecil sedangkan pada C4
berukuran besar dan membentuk kranz ( Salisbury and Ross, 1992 ). Bayam
termasuk tumbuhan C4 dengan efisiensi penggunaan air per gram bahan kering
diproduksi sebesar 300 g air transpirasi. Nilai tersebut jauh lebih rendah
dibanding kacang-kacangan yang termasuk tanaman C3 dengan efisiensi per gram
bahan kering diproduksi sebesar 700 g air transpirasi ( Hipkins, 1984 ).
5. Bintil akar dan fiksasi nitrogen
Bintil akar tribus Phaseoleae sub famili Papilionoideae berbeda dengan
tribus Vicieae dan Trifolieae secara morfologi dan anatomi. Bintil akar pada tribus
Phaseoleae memiliki pertumbuhan determinate, jalur stele akar yang masuk ke
12
bintil tertutup ( Sprent, 1980 ). Bintil pada tribus Phaseoleae juga disebut tipe
bulat yang melaksanakan fiksasi nitrogen pada awal pertumbuhan selama 3
hingga 5 minggu ( Muljanto, 1991 ). Bintil pada tribus Vicieae dan Trifolieae
memiliki meristem apikal, pertumbuhan indeterminate, satu cabang dari stele akar
atau lebih masuk dan bercabang di antara bintil. Elemen baru terdeferensiasi
dalam hubungannya dengan pertumbuhan bintil dan percabangan bebas pada
ujung apikal bintil. Bintil Vicieae dan Trifolieae memiliki sel-sel vaskuler
transfer, sel-sel bervakuola terinfeksi dan bakteroid rhizobium bermacam bentuk
( Sprent, 1980 ). Bintil Vicieae dan Trifolieae juga disebut tipe memanjang.
Fiksasi nitrogen terus berkembang ke daerah meristem baru selama kehidupan
tanaman ( Muljanto, 1991 ). Produk yang diekspor dari bintil sewaktu fiksasi
nitrogen pada Phaseoleae adalah ureida allantoin dan asam allantoik, sedang pada
Vicieae dan Trifolieae adalah amida dan asam amino, khususnya glutamin dan
asparagin. Ekspor produk tersebut berhubungan dengan anatomi vaskuler bintil
tanaman asal tropis / sub tropis pada Phaseoleae dan daerah sedang pada Vicieae
dan Trifolieae ( Sprent, 1980 ).
Fiksasi N2 secara biologis di alam dilakukan oleh bakteri dan
Cyanophyceae. Sistem simbiosis memiliki kapabilitas fiksasi yang besar.
Tanaman inang mensuplai simbion berupa karbohidrat sebagai sumber energi
untuk fiksasi N2. Bintil kacang-kacangan bersimbiosis dengan rhizobium
( Marschner, 1986 ). Nitrogen hasil fiksasi 85% terakumulasi pada bagian
vegetatif di atas tanah sedang 15% ada di perakaran ( Hoefsloot et al., 1993 cit.
Vissoh et al., 1998 ).
13
Nitrogenase sebagai enzim pengkatalisis aktivitas fiksasi terdiri dari 2
komponen protein. Protein Mo-Fe memiliki sisi aktif enzim 2 Mo, 32 Fe dan 32
asam labil S per molekul. Ketika mengalami desosiasi Mo-Fe terpecah kedalam 4
sub unit. Komponen kedua Fe-Protein yaitu di nitrogenase reduktase ( Layzell,
1990 ).
Tanaman inang mengirim sukrose lewat floem ke bintil sebagai energi
substrat. Leghemoglobin mengatur transport O2 dari luar ke dalam bakteroid
dalam bintil agar konsentrasi O2 di permukaan bakteroid rendah. Produksi fiksasi
N2 yaitu NH3 dilepas ke sitoplasma tempat amida, asam amino dan ureida
disintesis. Senyawa ini dikeluarkan sel, dikirim ke xilem akar dan ditransport ke
pucuk atas.
Enzim untuk asimilasi NH3 di sitoplasma bintil adalah glutamin sintetase
dan glutamat sintetase. Enzim yang sama juga responsibel untuk asimilasi NH3 di
akar dan pucuk tanaman inang. Nitrogenase dihambat oleh produk akhir :
konsentrasi NH3 tinggi, glutamin, glutamat dan juga gen penambat N2. Hal
tersebut memiliki implikasi penting pada pemupukan nitrogen kacang-kacangan
dan sistem fiksasi nitrogen yang lain.
Konsentrasi leghemoglobin, enzim warna merah dengan pusat atom Fe
dalam cincin forfirin melengkapi tetapi tidak berhubungan linear dengan kapasitas
fiksasi N2 dalam bintil akar. Sintesis leghemoglobin membutuhkan Co dan Fe
sebagai komponen metal dari enzim. Unsur Co berhubungan dengan kandungan
vitamin B12 dalam sintesis leghemoglobin ( Marschner, 1986 ).
14
Senyawa NH4+ merupakan suatu produk nitrogenase yang stabil, yang
dapat melakukan feed back. Senyawa tersebut dapat menyebabkan kehilangan
aktivitas nitrogenase secara in-vivo. Pada simbiosis, NO3- dan NH4+ menurunkan
aktivitas nitrogenase dan pembentukan serta perkembangan bintil (Layzell, 1990).
6. Morfologi tanaman
Batang karabenguk menjalar atau merambat dengan panjang 3 hingga 18 m.
Daun terdiri dari 3 helaian besar, oval dan lebih pendek dibanding tangkai. Bunga
tumbuh dalam 2 atau 3 rantai tandan, warna bervariasi dari putih hingga ungu
gelap dengan panjang bunga 2,5 hingga 3,2 cm. Polong berambut, memiliki
panjang dapat lebih dari 15 cm dan memiliki 3 hingga 6 biji per polong. Biji
sering belang-belang, kadang berwarna homogen putih, coklat atau hitam.
Panjang akar 7 hingga 10 m dengan bintil berlebih didekat permukaan tanah
(Duke, 1981).
Di dalam buku Flora of Java ( Backer and Van Den Brink, 1963 ) disebut-
kan bahwa karabenguk utilis memiliki panjang tandan ( recemus ) lebih dari 32
cm, tangkai ( rachis ) 4-10 mm, mahkota ( corolla ) berwarna ungu gelap,
panjang polong ( pod ) 10-13 cm, tidak berbulu gatal dan biasa dibudidayakan.
Forma cochinchinensis dicirikan oleh panjang tandan 4-5 cm, tangkai 5-7 mm,
mahkota berwarna putih kehijauan, panjang polong 10-12 cm, tidak berbulu gatal.
Karabenguk cochinchinensis dibudidayakan sebagai hasil introduksi.
15
7. Pemenuhan kebutuhan hara pada karabenguk
Di Amerika Serikat, walaupun dosis rekomendasi pupuk superfosfat
sebanyak 50 hingga 225 kg / ha digunakan, namun hasil biji karabenguk tidak
meningkat. Pengapuran dapat meningkatkan hasil biji. Pemberian inokulan dapat
dilakukan pada tanah tropis, namun biasanya tidak digunakan di daerah sedang.
Inokulasi pada karabenguk dapat dilakukan menggunakan inokulan yang biasa
digunakan pada limabean ( kacang tunggak ) dan lespedeza. Pada pertanaman
karabenguk dapat di lakukan pergiliran tanaman dengan jagung atau kapas
( Duke, 1981 ). Kondisi lahan yang tergenang dan tanah masam dengan pH< 4,5
tidak cocok untuk karabenguk ( Hairiah et al., 1993 ).
Mikroorganisme penambat N2 hidup secara bersimbiosis dalam bintil akar
kacang-kacangan atau non kacang-kacangan. Karbohidrat sebagai sumber energi
disuplai oleh tanaman inang. Kacang-kacangan bersimbiosis dengan rhizobium
mampu mengubah N2 menjadi NH3 ( Marschner, 1986 ). Bila kadar NH3 hasil
penyerapan akar dan kerja enzim nitrat reduktase tinggi, maka aktivitas rhizobium
dan bintil akar akan berkurang.
Karabenguk dinyatakan sebagai tanaman perintis pada lahan tandus yang
tahan kekeringan ( Duke, 1981 ). Dalam kaitan dengan posisinya sebagai tanaman
kacang-kacangan, kandungan hara nitrogen tanah yang tinggi akan menghambat
aktivitas bintil.
16
8. Rangka penjalar pada karabenguk
Tanaman karabenguk biasa ditanam di pekarangan kawasan pedesaan
dengan dirambatkan pada tanaman tahunan. Namun demikian beberapa petani di
negara barat menggunakan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah untuk
meningkatkan kesuburan tanah (Duke, 1981).
Hasil penelitian Handajani et al. (1995) menunjukkan bahwa penggunaan
rangka penjalar mempengaruhi hasil tanaman karabenguk. Pada pemanenan
pertama, setiap tanaman karabenguk menghasilkan 66 g/tanaman polong kering
tanpa rangka penjalar, 134 g/tanaman dengan rangka penjalar ujung bambu
setinggi 2 m, 600 g/tanaman dengan rangka penjalar tanaman lamtoro hidup dan
1006 g/tanaman dengan rangka penjalar pohon jambu biji hidup. Dengan rangka
penjalar tanaman hidup, karabenguk mampu hidup lebih lama. Rangka penjalar
hidup diperkirakan mampu memberikan kelembaban lingkungan yang lebih
terhadap karabenguk, sehingga tetap mampu bertahan di masa kering. Tanaman
rangka penjalar jambu biji menghasilkan polong karabenguk lebih banyak karena
percabangan yang lebih melebar sehingga distribusi sinar lebih baik. Kelemahan
tanaman keras sebagai penjalar adalah sulitnya pemanenan, hingga saat panen
tanaman penjalar harus dipangkas (Handajani et al., 1995). Untuk itu perlu dicari
cara dengan rangka penjalar tanaman semusim agar tanaman karabenguk mampu
menghasilkan biji untuk bahan pangan yang tidak jauh berbeda dibanding potensi
hasilnya sebagai tanaman yang merambat pada rangka penjalar tanaman tahunan.
17
9. Karabenguk sebagai tanaman penutup tanah
Teknologi mengembalikan kesuburan tanah telah dicoba menggunakan
alley cropping atau tanaman lorong dengan Leucaena leucocephala (lamtoro
gung) dan Gliricidae sepium (gliriside), Mucuna pruriens (karabenguk) dan
Acacia auriculiformis (akasia). Selain itu karabenguk juga digunakan untuk
mengendalikan alang-alang ( Versteeg et al., 1998 ). Karabenguk merupakan
legum atau kacang-kacangan yang tumbuh cepat sebagai tanaman penutup tanah
di daerah tropika basah, namun berakar dangkal di tanah masam ( Hairiah et al.,
1991 ).
Tanaman ini merupakan tanaman tropik atau sub tropik. Pada lahan yang
subur, hasil biji dapat mencapai satu hingga 2 ton / ha. Penanaman 2 hingga 3 kali
akan mampu mengendalikan gulma ( Duke, 1981 ). Karabenguk dapat lebih
menekan alang-alang (Imperata cylindrica) dibanding Psopocarpus dan
Centrosema ( Vissoh et al., 1998 ).
Ada 2 pola tanam yang dikembangkan di Afrika Barat yaitu karabenguk
sebagai tanaman penutup tanah untuk menekan kerusakan tanah dan yang lain
tumpangsari antara karabenguk dan jagung. Sebagai tanaman penutup tanah,
karabenguk ditanam dengan jarak tanam 0,8m x 0,4m dengan 2 benih per lobang
tanam atau menggunakan benih sekitar 30 kg/ha. Pada tumpangsari dengan
jagung, jarak tanam jagung 0,8m x 0,4m dengan 2 benih per lobang tanam,
sedang jarak tanam karabenguk 0,8m x 0,8m ( Vissoh et al., 1998 ).
Karabenguk yang ditanam sebagai pupuk hijau atau tanaman penutup
tanah, 2 hingga 3 kali penanaman mampu mengendalikan gulma setelah tanaman
18
menjalar, namun hanya menghasilkan biji sedikit. Tanaman yang ditumbuhkan
untuk biji atau pakan, biasanya di tanam secara tumpangsari dengan jagung atau
tanaman lain yang tahan terhadap rambatan. Bunga karabenguk membutuhkan
sirkulasi udara terbuka saat penyerbukan dan pembentukan biji. Cara budidaya
karabenguk yang biasanya sama dengan jagung dan sorghum telah dilakukan di
Australia ( Duke, 1981 ).
Untuk mengurangi kerusakan tanah secara luas, digunakan tanaman
penutup tanah yang antara lain karabenguk disamping Stylosanthes guianensis,
Pueraria phaseoloides dan Centrosema pubescens ( Vissoh et al., 1998 ).
Karabenguk merupakan tanaman perintis, penyubur tanah dan pengendali
gulma misalnya terhadap rumput bermuda. Karabenguk juga digunakan sebagai
tanaman penutup tanah, tanaman pupuk hijau dan tanaman penghasil pakan. Di
Amerika Serikat Selatan, karabenguk sering ditumbuhkan sebagai ornamen
tumbuhan merambat. Di Georgia Selatan dan Florida Utara pada musim dingin
karabenguk ditumbuhkan untuk pakan ternak. Di Brazil, pati dari biji dipelajari
untuk perekat makanan. Biji yang berasal dari polong masak digunakan sebagai
bahan pangan setelah direndam, direbus, dipanggang atau difermentasi agar
senyawa racun hilang. Polong atau daun muda dapat dimasak sebagai sayur
( Duke, 1981 ).
Karabenguk sering digunakan sebagai penutup tanah untuk menekan erosi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi erosi adalah pengolahan tanah dan
penutupan lahan. Tingkat erosi padang rumput sangat rendah dan meningkat 10
kali ketika dibajak kasar dan meningkat 5 ½ kali lagi ketika dipersiapkan untuk
19
tanaman jagung. Seresah menurunkan erosi hingga tinggal setengahnya dibanding
pertanaman jagung ( Kent Mitchell and Bubenzer, 1980 ).
B. Landasan Teori
Pertumbuhan dan hasil tanaman dipengaruhi oleh faktor genetis dan
lingkungan. Identifikasi beberapa faktor genetis dilakukan, dengan hasil diharapkan
dapat digunakan oleh pemulia untuk pengembangkan tanaman lebih lanjut. Kajian
biologi meliputi struktur daun karabenguk termasuk tipe C3 atau C4, pola
pertumbuhan bintil dan letak kultivar pada forma karabenguk.
Karabenguk merupakan tanaman kacang-kacangan yang umumnya merupakan
tanaman dengan jalur fotosintesis C3. Struktur anatomi daun berhubungan erat dengan
jalur fotosintesis C3 atau C4. Dengan melihat struktur anatomi daun, dapat ditentukan
apakah tanaman termasuk C3 atau C4.
Terkait pola pertumbuhan bintil, terdapat 2 pola yaitu pertama indeterminate,
bintil tumbuh terus dan baru mengalami kerusakan menjelang tanaman mati. Pola ke
dua yaitu determinate, bintil tumbuh sampai batas tertentu kemudian rusak termasuk
saat tanaman masih dalam periode vegetatif. Bila bintil rusak sebelum tanaman menua
berarti pertumbuhan bintil determinate dan bila bintil rusak menjelang penuaan berarti
pertumbuhan bintil indeterminate.
Klasifikasi dibawah spesies berbagai kultivar karabenguk yang ada di lapangan
belum diketahui posisi pada taksonomi tumbuhan. Pengetahuan tentang hal tersebut
kiranya akan sangat diperlukan dalam pengembangan pengetahuan tentang
karabenguk. Suatu kultivar termasuk forma utilis bila memiliki warna mahkota bunga
20
ungu kehitaman dan termasuk forma cochinchinensis bila warna mahkota bunga putih
kehijauan.
Pupuk merupakan salah satu komponen untuk meningkatkan hasil. Uji macam
dan dosis pupuk diperlukan untuk mengetahui pengaruhnya pada pertumbuhan dan
hasil tanaman. Sebagai tanaman kacang-kacangan, peran bintil dalam pengikatan N2
udara juga diperlukan. Peran kombinasi antara N dari tanah dan pupuk dengan N2
bebas yang diproses melalui bintil terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman perlu
diketahui. Tanaman kacang-kacangan pada umumnya membutuhkan pupuk setara 250
g / tanaman untuk berproduksi maksimal. Penggunaan pupuk akan meningkatkan
pertumbuhan tanaman bila bagian-bagian vegetatif memiliki berat dan ukuran lebih
besar dan meningkatkan hasil bila berat dan ukuran komponen hasil lebih tinggi.
Tanaman karabenguk biasa ditumbuhkan di pekaranan, menjalar pada tanaman
keras atau tanaman tahunan dengan hasil berat biji yang tinggi. Di sisi lain, jagung
juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan karabenguk. Kecepatan tumbuh
karabenguk lebih tinggi sehingga jagung perlu ditanam lebih awal. Rangka penjalar
yang mampu membuat karabenguk memiliki pertumbuhan dan hasil tinggi merupakan
rangka penjalar yang baik. Pertumbuhan yang tinggi tercermin pada komponen
vegetatif dengan berat dan ukuran yang lebih besar. Hasil yang tinggi tercermin pada
berat dan ukuran komponen hasil.
Di samping tanaman penutup tanah konvensional yang antara lain
kalopogonium dan sentrosema, tanaman karabenguk juga digunakan sebagai tanaman
penutup tanah. Sebagai penutup tanah, karabenguk dapat berfungsi sebagai pengendali
gulma, memberikan seresah, menambah keharaan tanah, dan cepat tumbuh. Sebagai
21
tanaman pangan, penggunaan pupuk organik dan perbedaan varietas kiranya
mempengaruhi kualitas serta kuantitas hasil. Tanaman penutup tanah baik bila mampu
mengendalikan gulma dan memperbaiki sifat-sifat tanah.
C. Hipotesis
1. a. Struktur anatomi daun dan nisbah seludang berkas pengangkutan terhadap
tebal daun menunjukkan karabenguk termasuk tanaman C3
b. Pola pertumbuhan bintil akar karabenguk seperti pola pada tribus
Phaseolae yang bersifat determinate,
c. Forma kultivar lokal karabenguk dapat ditentukan berdasarkan ciri-ciri
morfologi tanaman,
2. Pupuk organik dosis 250 g/tanaman meningkatkan pertumbuhan tanaman dan
hasil panen biji karabenguk,
3. a. Karabenguk dengan rangka penjalar jagung mampu menghasilkan biji per
tanaman lebih tinggi dibanding karabenguk dengan penjalar bambu akibat
distribusi sinar yang lebih baik,
b. Penjalar jagung untuk karabenguk lebih menguntungkan dibanding
penjalar tanaman keras karena penanganannya mudah namun tidak
menurunkan hasil karabenguk,
4. Karabenguk memiliki pertumbuhan, kemampuan memperbaiki sifat tanah dan
mengendalikan gulma lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah
konvensional.
III. METODE PENELITIAN
A. Persiapan dan Kerangka Penelitian
Untuk mendapatkan biji dengan warna dan nama daerah yang berbeda, penelitian
didahului dengan survai ke daerah sentra produksi karabenguk di Jawa Tengah dan DIY
yaitu Sragen, Kulonprogo dan Gunungkidul. Berdasarkan hasil survai tersebut ditentukan
lokasi penelitian dan pengambilan tanah untuk penelitian di rumahkaca. Penentuan ini
didasarkan pada jenis tanah yang biasa digunakan untuk budidaya karabenguk, kondisi
lingkungan yang aman untuk penelitian serta banyaknya jenis / kultivar karabenguk yang
ditemukan. Lokasi tersebut adalah di tegal Ngreco, Desa Tancep, Kecamatan Ngawen,
Gunungkidul. Lokasi memiliki kemiringan lahan 9-10 , tebal solum 5-17cm, jenis tanah
litosol, klas tekstur geluh pasiran, kedalaman air tanah sekitar 8m dan tinggi tempat 170
m dpl.
Penelitian terbagi atas 4 percobaan, 2 percobaan di rumah kaca dan yang lain di
lapangan. Percobaan yang dimaksud adalah : 1). kajian biologi karabenguk yang
dilakukan di rumah kaca dan diteruskan di lapangan, 2). pemupukan pada 2 kultivar
karabenguk yang dilaksanakan di rumah kaca, diteruskan di lapangan 3). penggunaan
rangka penjalar pada 2 musim tanam dan 2 kultivar karabenguk yang dilakukan di
lapangan dan 4). dua kultivar karabenguk sebagai penutup tanah yang dilaksanakan di
lapangan.
Adapun diagram alir kegiatan penelitian disajikan pada gambar 1.
22
23
= arah informasi = macam percobaan atau hasil = informasi antara
Gambar 1 : Bagan alir kerangka kegiatan penelitian
PERCOBAAN I KAJIAN BIOLOGI KARABENGUK
Kultivar Hasil Tinggi
PERCOBAAN II PEMUPUKAN 2 KULTIVAR
Macam dan Dosis Pupuk optimum
PERCOBAAN III RANGKA PENJALAR KARABENGUK PADA 2 KULTIVAR & 2 MUSIM TANAM
PERCOBAAN IV DUA KULTIVAR KARABENGUK SEBAGAI TANAMAN PENUTUP TANAH
Dosis pupuk untuk tanaman penutup tanah
- tipe fotosintesis kara- benguk C3 atau C4 - bintil karabenguk determinate atau indeterminate - kultivar yang termasuk forma cochinchinensis & kultivar yang terma suk forma utilis
- pertumbuhan & hasil terbaik antar penjalar, musim dan kultivar karabenguk - hasil jagung terbaik antar penjalar, musim dan kultivar karabenguk- komponen tumpangsari dan keharaan tanah terbaik antar perlakuan penjalar, musim dan kultivar karabenguk - keunggulan jagung dibanding penjalar
tanaman menahun pada karabenguk
- pertumbuhan karabenguk dibanding penutup tanah konvensional
- kemampuan karabenguk dalam mengendalikan gulma
- kemampuan karabenguk meningkatkan sifat-sifat tanah
24
B. Pelaksanaan Percobaan
1. Percobaan I Kajian biologi dan Hasil Karabenguk
a. Rancangan percobaan
Percobaan dilakukan di Rumahkaca Fakultas Pertanian UNS Surakarta
dengan ketinggian tempat 98 m dpl dimulai bulan Juli dan berakhir bulan Oktober
2002 dan dilanjutkan di lapangan akhir Juni 2005 hingga Oktober 2005.
Percobaan di Rumahkaca diatur dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap
dengan 3 ulangan yaitu a) Hitam Gunungkidul, b) Luthung, c) Putih
Gunungkidul, d) Putih Kedungombo e) Putih Kulonprogo dan f) Rase,. Tiap pot
(polibag) diisi dengan tanah 10 kg. Hal tersebut didasarkan pada kondisi
pertanaman di lapangan, jarak tanam dikalikan kedalaman lapis olah dan berat
volume tanah adalah sekitar 10 kg. Masing-masing tanaman dalam pot diberi
penjalar bambu tegak setinggi 1,75 m. Lima tanaman tiap perlakuan digunakan
untuk pengamatan yang diperlakukan destruktif setiap bulan sekali. Pemberian air
dilakukan 2 hari sekali sejumlah air yang hilang sepanjang umur tanaman dan
tanpa diberikan pupuk. Percobaan lanjutan di lapangan sama dengan di Rumah
kaca, namun penanaman dilakukan tidak dalam pot.
b. Pengumpulan data
1). Pengamatan anatomi
Pengamatan anatomi dilakukan dengan menggunakan mikroskop
setelah sediaan dipersiapkan. Pembuatan sediaan diawali dengan fiksasi
25
menggunakan FAA selama 24 jam, dehidrasi dengan alkohol mulai 70%
hingga 100%, dealkoholisasi dengan campuran alkohol dan xilol dengan
perbandingan 3/1, 1/1 dan xilol saja, kemudian infiltrasi dengan xilol-parafin
1/9, embeding dengan parafin murni dan dibuat blok. Tahap ke 2 dilakukan
pengirisan dengan mikrotom putar dengan tebal 12 m dan dilakukan
penempelan pada obyek gelas yang sebelumnya sudah diolesi dengan
campuran gliserin - albumin 1/1 dan ditambah akuades. Tahap ke 3 dilakukan
pewarnaan dengan safranin 1% dalam alkohol 70% dan fast green 1% dalam
alkohol 90%, kemudian dilakukan mounting dengan kanada balsam. Sediaan
tersebut kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop dan dilakukan
pemotretan ( Johansen, 1940 ).
Pengamatan pertama dilakukan terhadap anatomi daun karabenguk
pada ke 6 kultivar yang digunakan, kemudian dibandingkan dengan anatomi
daun kedelai ( C3 ) dan daun bayam ( C4 ). Berdasar Kranz anatomi seludang
buluh pengangkutan ( bundle sheath ) ditentukan tipe fotosintesis tanaman
karabenguk. Pengamatan ke dua dilakukan terhadap anatomi bintil karabenguk
pada 6 kultivar dan 3 macam umur tanaman.
2). Pengamatan morfologi, variabel vegetatif dan hasil
Pengamatan dilakukan terhadap morfologi tanaman baik akar, batang,
daun, bunga, polong dan biji. Pengamatan pada variabel akar dilakukan baik
terhadap akar primer maupun sekunder meliputi panjang, diameter maupun
berat keringnya. Jumlah bintil akar, bentuk serta berat keringnya diamati pada
26
akar primer dan sekunder. Pengamatan batang dilakukan terhadap batang
primer dan skunder baik terhadap panjang total, panjang ruas pendek di
pangkal batang, panjang ruas panjang di bagian ujung, diameter serta berat
keringnya.
Pengamatan daun tanaman dilakukan terhadap tangkai baik sudut
terhadap posisi batang tempat tangkai melekat, panjang tangkai serta diameter.
Helaian daun diamati panjang, lebar dan kandungan klorofil per cm². Rambut
daun atau trikoma diukur dengan menggunakan mikroskop dengan skala pada
lensa okuler mengenai panjang dan densitasnya.
Bagian bunga karabenguk yang diamati adalah tangkai, kelopak,
mahkota, benangsari dan putik. Tangkai bunga, kelopak dan mahkota diamati
warna, panjang, tebal dan bentuknya. Benangsari dan putik per bunga juga
diamati warna dan jumlah. Selain itu juga diamati panjang benangsari dan
bentuk putik. Polong dan biji diamati warna, panjang, lebar, tebal, bentuk dan
berat kering. Demikian pula diamati jumlah polong per tandan dan jumlah biji
per polong serta kandungan protein dan HCN.
Untuk penentuan forma, bunga sebagai organ sentral diamati panjang
tandan, tangkai bunga dan polong, warna mahkota dan trikomata. Pertumbuhan
tanaman diukur pada panjang dan lebar daun untuk menentukan indek luas
daun (ILD) pada umur 5 minggu, bobot kering brangkasan, panjang akar dan
nisbah akar tajuk pada saat panen. Pengamatan pertumbuhan secara berkala
dilakukan terhadap diameter batang, kandungan klorofil total daun dan lengas
27
tanah menjelang pengairan. Hasil biji, indeks panen, kadar protein total dan
HCN diamati terhadap hasil setelah panen berlangsung.
c. Analisis data
Data pengamatan mikroskopis 6 kultivar karabenguk dibandingkan dengan
kedelai sebagai wakil tanaman C3 dan bayam sebagai wakil tanaman C4. Tanaman
C4 dicirikan dengan seludang berkas pengangkutan yang membentuk kranz
( Salisbury dan Ross, 1992 ). Komponen yang diamati adalah struktur aatomi daun
dan diameter seludang berkas pengangkutan dibagi tebal daun.
Hasil pengamatan mikroskopis dari bintil akar dilakukan pada umur
tanaman 1,5 bulan, 2,5 bulan dan 3,5 bulan. Pengamatan terhadap bintil dilakukan
dengan mikroskop binokuler berskala. Fokus pengamatan dilakukan terhadap
adanya jaringan meristematis untuk pembentukan benjolan bintil yang baru.
Perkembangan bintil dari waktu ke waktu dilihat untuk menentukan tipe
pertumbuhannya determinate yang mengalami lisis selama pertanaman tumbuh
ataukah indeterminate yang lisis hanya terjadi setelah tanaman mengalami penuaan
dan menjelang mati.
Hasil pengamatan morfologi, khususnya bunga yang meliputi panjang
tandan, tangkai bunga dan polong, warna mahkota dan trikomata dicocokkan
dengan buku determinasi untuk menentukan forma dari 6 kultivar yang dicobakan.
Seperti diketahui bahwa menurut Backer dan Van Den Brink (1963) ada 2 forma
karabenguk yang dibudidayakan, yaitu utilis dengan warna bunga ungu gelap dan
cochinchinensis yang berwarna bunga putih kehijauan.
28
Data kuantitatif hasil pengamatan pada periode vegetatif dan hasil dianalisis
dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dan bila ada beda nyata diteruskan
dengan uji beda DMRT 5%.
2. Percobaan II Pemupukan pada 2 Kultivar Karabenguk
a. Rancangan percobaan
Percobaan pemupukan yang pertama dilakukan di rumahkaca Fakultas
Pertanian UNS Surakarta dengan dosis pupuk diberikan sekali. Lokasi tersebut
memiliki ketinggian tempat 98 m dpl dan percobaan dilakukan antara bulan
Nopember 2002 hingga Mei 2003 dengan suhu udara maksimum harian 39 C.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan lingkungan Rancangan
Acak Kelompok Lengkap (RAKL / RCBD) dan rancangan perlakuan Faktorial.
Faktor I kultivar, terdiri 2 macam yaitu Putih Gunungkidul dan Rase. Faktor II,
pemupukan terdiri 5 tingkat yaitu kontrol tanpa pupuk, diberikan pupuk organik
(Fine Compost) dosis sedang / Org.1 (125 g/tanaman), pupuk organik (Fine
Compost) dosis tinggi / Org.2 (250 g/tanaman), NPK (Mutiara 16-16-16) dosis
sedang / NPK 1 (30 g/tanaman) dan NPK (Mutiara 16-16-16) dosis tinggi /
NPK 2 (60 g/tanaman). Penentuan dosis berdasarkan pedoman pemupukan yang
dikeluarkan produsen pupuk untuk tanaman kacang-kacangan. Setiap kombinasi
perlakuan diulang 3 kali dalam polibag dengan berat tanah 10 kg/polibag. Setiap
tanaman dalam pot diberi penjalar bambu tegak setinggi 1,75 m seminggu
setelah penanaman. Untuk penanaman di pot, pemberian air dilakukan 2 hari
sekali sejak penanaman hingga panen (umur 3½ bulan).
29
Pupuk organik Fine Compost berdasarkan analisis produsen memiliki
kandungan N total 1,81%, C total 40,9%, C/N 22,3%, P2O5 1,89%, K2O
1,96%, KPK 75me / 100g, CaO 2,96% dan pH 6,5-7,5. Pupuk NPK yang
digunakan yaitu Mutiara dengan kandungan N 16%, P2O5 16%, K20 16%,
MgO 0,5% dan CaO 6%.
Percobaan diawali dengan menghancurkan bongkah tanah dan dikering-
anginkan hingga 1 minggu. Tanah dimasukkan dalam pot berupa polibag
masing-masing pot 10 kg. Bagi pot untuk perlakuan pemupukan, pupuk
dicampur dengan tanah hingga rata dan diairi hingga kapasitas lapangan.
Penanaman dilakukan pada hari berikutnya. Pemberian air dilakukan tiap 2 hari,
jumlahnya sesuai pengurangan berat pot. Panen dilakukan setelah polong
menua dan mengering. Panen dilakukan terhadap polong, kemudian brangkasan
atas dipisahkan dengan penjalar dan perakaran dipisahkan dari tanah.
Percobaan ke dua dilakukan di lapangan dengan dosis tetap namun pupuk
diberikan 2 kali pada minggu pertama dan ke tiga. Berbeda dengan percobaan
pertama, pada percobaan ini ditambah kultivar Hitam Gunungkidul. Percobaan
ini dilakukan mulai akhir Juni 2005 hingga awal Oktober 2005. Rancangan
penelitian yang digunakan juga RCBD dan rancangan perlakuan Faktorial.
Faktor I kultivar, terdiri 3 macam yaitu Hitam Gunungkidul, Putih Gunungkidul
dan Rase. Faktor II, terdiri 5 tingkat, kontrol (tanpa pupuk), diberikan pupuk
organik (Fine Compost) dosis sedang / Org.1 (125 g/tanaman), pupuk organik
(Fine Compost) dosis tinggi / Org.2 (250 g/tanaman), NPK (Mutiara 16-16-16)
dosis sedang / NPK 1 (30 g/tanaman) dan NPK (Mutiara 16-16-16) dosis tinggi /
30
NPK 2 (60 g/tanaman). Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali.
Masing-masing tanaman juga diberi penjalar bambu tegak setinggi 1,75 m saat
tanaman berumur 1 minggu.
Percobaan diawali dengan membuat bedengan 2mX2m untuk masing-
masing perlakuan dan ulangan. Jarak antar bedengan 30 cm. Bedengan diratakan
dan pupuk dicampur tanah sesuai dosis perlakuan (sama dengan dosis pada
percobaan di rumahkaca). Jarak tanam karabenguk 50cmx50cm sehingga tiap
bedeng berisi 16 tanaman. Benih ditaruh pada lobang tanam yang dibuat dengan
menggunakan tugal. Lobang tanam dikocor air menjelang penanaman mengingat
kadar lengas yang sangat rendah. Setelah benih tumbuh, rangka penjalar
dipasang 5 cm dari lobang tanam. Pengairan tidak dilakukan, tambahan lengas
semata-mata bila ada berasal dari curah hujan. Panen dilakukan setelah polong
tua yang dicirikan telah mengering dengan cara mengambil polong dari
pertanaman.
b. Pengumpulan data
Pengamatan dilakukan terhadap bintil akar, pertumbuhan dan hasil
tanaman setelah panen. Pengamatan bintil dilakukan terhadap jumlah dan berat
kering. Pertumbuhan tanaman diukur pada bobot kering brangkasan, nisbah akar
tajuk dan serapan NPK pada saat panen. Pengamatan tanah secara berkala
dilakukan terhadap pH dan lengas tanah menjelang pengairan. Pertumbuhan
tanaman diketahui melalui indeks luas daun, laju pertumbuhan tanaman,
31
diameter batang dan kandungan klorofil total daun. Terhadap hasil, diamati berat
hasil biji dan indeks panen.
c. Analisis data
Analisis varians dua arah atau faktorial 2 faktor dilakukan dengan
rancangan lingkungan RCBD. Sesuai rancangan semula di lapangan, analisis
dilakukan sesuai rancangan perlakuan faktorial. Bila ada data berupa angka 0,
data pada variabel yang bersangkutan di transformasi dengan Vx+0,5 dengan
tampilan hasil akhirnya di retransformasi. Bila perlakuan berbeda nyata
diteruskan dengan uji beda DMRT 5% antar perlakuan.
3. Percobaan III Rangka Penjalar pada 2 Musim Tanam dan 2 Kultivar
Karabenguk
a. Rancangan percobaan
Penelitian lapangan ada 3 faktor dengan ulangan 3 kali. Faktor pertama
musim, terdiri dari 2 musim tanam yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Faktor ke 2 macam kultivar terdiri 2 macam yaitu : a) Kultivar Rase dan b)
Kultivar Putih Gunungkidul. Faktor ke 3 macam rangka penjalar terdiri 5 macam
: a) jagung ditanam bersamaan dengan karabenguk, b) jagung ditanam 2 minggu
sebelum karabenguk, c) jagung ditanam 4 minggu sebelum karabenguk, d)
rangka penjalar bambu setinggi 1,75m, e) tanpa rangka penjalar atau kontrol.
Penelitian 3 faktor tersebut diulang 3 kali. Setiap musim tanam memiliki 10
kombinasi perlakuan dalam satu blok atau ulangan. Jarak antar petak dan antar
blok 30 cm. Jarak tanam 0,5m x 0,5m, baik untuk jagung maupun karabenguk
32
monokultur. Pada tumpangsari jagung karabenguk, jagung ditanam berseling
dengan karabenguk satu baris tanaman jagung dan satu baris tanaman
karabenguk. Dengan demikian untuk tumpangsari setiap tanaman berjarak 1m x
0,5m. Ukuran petak adalah 5mx3m dengan petak contoh tengah berukuran
3mx1m dan jarak antar petak 30 cm. Semua individu tanaman dipupuk dengan
pupuk organik dosis sedang (Fine Compost 125 g/tanaman) dilakukan
bersamaan tanam ke dalam lobang tugal berjarak 10cm dari lobang tanam.
Percobaan diawali dengan membuat bedengan untuk masing-masing
perlakuan dan ulangan. Benih ditaruh di dalam lobang tanam yang dibuat
menggunakan tugal. Lobang tanam penanaman musim kemarau dikocor air
karena lengas tanah rendah. Lengas tanah penanaman musim hujan sangat
tinggi, sehingga kadang perlu penyulaman akibat benih mati karena terendam
air. Setelah benih tumbuh, bagi bedengan untuk rangka penjalar bambu dipasang
5 cm dari lobang tanam. Kebutuhan air dicukupi semata-mata dari curah hujan
dan tidak dilakukan pengairan.
Penanaman musim penghujan untuk 2 faktor yaitu kultivar dan penjalar,
dibuat blok dan ditentukan jenis perlakuan pada setiap petak. Saat pengolahan
tanah, pupuk organik dan air pengairan diberikan hingga kapasitas lapangan.
Untuk penanaman pada musim kemarau dilakukan hal yang sama pada petak
yang berada disebelah sisi atas.
33
b. Pengumpulan data
Tanaman yang berumur satu bulan diamati beberapa komponen
pertumbuhannya secara berkala tiap bulan yaitu jumlah daun, panjang dan lebar
daun, diameter batang dan kandungan klorofil total daun. Pengamatan suhu
dilakukan secara acak satu meter di atas tanah dengan termometer yang tidak
terkena sinar matahari langsung. Pengamatan pertumbuhan dan hasil yang lain
adalah jumlah dan berat bintil, produksi biomas (berat segar dan kering
tanaman) dan hasil biji (berat biji, jumlah biji per polong, jumlah polong per
tanaman) serta kandungan protein dan HCN biji. Di sisi lain diamati pH dan
lengas tanah. Serapan NPK dilihat untuk karabenguk, jagung dan serapan per
satuan luas.
Kandungan klorofil daun, jumlah dan berat bintil diamati saat vegetatif
maksimum pada 3 tanaman yang tidak digunakan sebagai sampel hasil. Berat
segar brangkasan saat vegetatif maksimum juga diamati, termasuk kandungan
hara. Pada saat panen diamati biomasa, hasil biji dan kandungan protein dan
HCN nya. Untuk variabel yang diamati berkala, dilihat perkembangan dari
waktu ke waktu.
c. Analisis data
Data dianalisis dengan rancangan acak kelompok lengkap faktorial, bila
perlakuan berbeda nyata diteruskan uji beda DMRT 5% antar perlakuan.
34
4. Percobaan IV Dua Kultivar Karabenguk sebagai Tanaman Penutup Tanah
a. Rancangan percobaan
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2002 hingga Agustus 2003.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan lingkungan Rancangan
Acak Kelompok Lengkap dengan 5 perlakuan tanaman penutup tanah yang
termasuk juga lahan tanpa tanaman sebagai kontrol, masing-masing diulang 3
kali. Kecuali karabenguk yang dipupuk organik, secara umum tidak dilakukan
pemupukan pada percobaan ini. Perlakuan yang dimaksud adalah karabenguk
Putih Gunungkidul dan karabenguk Rase, satu tanaman per lobang tanam
sebagai wakil tanaman karabenguk serta Cm (Calopogonium mucunoides /
kalopogonium) dan Cp (Centrosema pubescens / sentrosema) yang ditanam 10
tanaman per lobang tanam sebagai wakil tanaman penutup tanah konvensional.
Penelitian lapangan ini merupakan penelitian 2 faktor yang diulang 3 kali.
Faktor pertama berupa musim tanam yang terdiri dari musim penghujan dan
musim kemarau. Faktor ke dua terdiri dari 7 macam yaitu : a) tanaman
karabenguk kultivar Rase, b) tanaman karabenguk Putih Gunungkidul, c)
kalopogonium, d) sentrosema e) karabenguk Rase yang dipupuk organik f)
karabenguk Putih Gunungkidul yang dipupuk organik. Sebagai kontrol ditambah
lahan terbuka dengan luas petak sama. Dua perlakuan pada 2 kultivar
karabenguk dan tanaman penutup tanah kalopogonium dan sentrosema tidak
dipupuk. Jumlah tanaman kalopogonium dan sentrosema per lobang 10 kali
35
jumlah tanaman karabenguk diarahkan untuk membuat penutupan lahan hampir
sama mengingat ukuran tanaman yang jauh lebih kecil.
Lokasi penelitian adalah di tegal Ngreco, Desa Tancep, Ngawen,
Gunungkidul. Jarak tanam berukuran 0,5 m x 0,5 m pada petak berukuran 5 m x
3 m. Penanaman dilakukan pada lobang tanam yang dibuat dengan tugal. Bagi
tanaman karabenguk yang dipupuk organik, pemupukan dilakukan bersamaan
tanam didalam lobang tugal berjarak sekitar 10cm dari lobang tanam. Pada
percobaan ini, semua perlakuan dibiarkan menjalar di tanah tanpa rangka
penjalar.
b. Pengumpulan data
Lahan dibagi dalam 3 blok dan ditentukan jenis perlakuan pada masing-
masing blok. Tujuh perlakuan penutup tanah yang dicobakan diletakkan pada
setiap petak secara acak. Setelah tanam, diamati setiap bulan beberapa variabel
pertumbuhan yaitu jumlah daun, panjang dan lebar daun, kandungan klorofil dan
diameter batang. Pengamatan hasil berupa produksi biomas dan berat hasil biji.
Di sisi lain diamati biomas setiap jenis gulma, serapan NPK karabenguk, pH
dan lengas tanah serta variabel sifat-sifat tanah yang meliputi persentase agregat,
distribusi pori, berat volume dan porositas.
c. Analisis data
Untuk variabel bagian vegetatif, hasil, komponen tanah dan
pertumbuhan, data dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok lengkap
36
faktorial dan bila perlakuan ada beda nyata diteruskan uji beda Duncan 5% antar
perlakuan.
Untuk gulma, analisis dilakukan dengan analisis vegetasi. Analisis
vegetasi dilakukan dengan metode kuadrat diamati pada petak contoh secara
acak berukuran 1m x 1m dalam petak perlakuan 3mx3m. Pengamatan dilakukan
terhadap persentase densitas melalui jumlah individu setiap jenis gulma per
petak contoh dibagi seluruh individu, persentase dominansi dengan melihat area
penutupan/m² dan persentase frekuensi dengan melihat jumlah pemunculan/3
kali ulangan. Nilai NDP/SDR atau nisbah dominansi penjumlahan adalah
merupakan rerata ketiga nilai tersebut. Nilai C atau indeks kesamaan komunitas
diperoleh dengan menjumlahkan nilai rendah masing-masing gulma dari 2
perlakuan dikali 2 dan dibagi penjumlahan total 2 perlakuan yang dibandingkan
(Tjitrosoedirdjo et al., 1984).
C. Pengumpulan Data
1. Variabel vegetatif dan pertumbuhan tanaman
a. Diameter batang. Pengukuran diameter batang dilakukan dengan mikrometer,
1cm di atas permukaan tanah mulai umur 1,5 bulan dan dilakukan sebulan
sekali.
b. Indeks luas daun (ILD). Indeks luas daun dihitung dengan Persamaan (1) :
ILD = LDT / LL ..................................................................................... (1)
ILD = Indeks luas daun LDT = Luas daun total per tanaman (cm²), dihitung dengan Persamaan (2) LL = luas tegakan, didekati dengan luas lahan (50 cm x 50 cm)
37
LDT = LDR x JDT .................................................................................. (2)
LDT = Luas daun total per tanaman (cm²) LDR = luas daun rata-rata (cm²) ditentukan melalui penimbangan pola kertas
(Persamaan 3) yang hasilnya disajikan pada Lampiran 185. JDT = jumlah daun total per tanaman
LDR = Bkd x 10000 cm2 / 70 g ………………………………………... (3)
LDR = luas daun rata-rata (cm) Bkd = berat kertas pola daun (g)70 g = berat kertas seluas 10.000 cm²
Luas daun rata-rata taksiran dikembangkan menurut model Persamaan (4)
mengggunakan data dalam Lampiran 185 bagi tiap jenis tanaman. Hasil luas
daun rata-rata taksiran bagi karabenguk, jagung, kalopogonium dan sentrosema
msing-masing disajikan dalam persamaan (5), (6), (7) dan (8).
Y = bX .................................................................................................. (4)
Y = luas daun rata-rata taksiran (cm²) X = perkalian panjang dan lebar daun
Daun KarabengukY = 2,1356 X R² = 0,924 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi ... (5)
Daun Jagung Y = 0,8264 X R² = 0,999 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi .. (6)
Daun Cm (Calopogonium muconoides)Y = 1,7715 X R² = 0,996 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi .. (7)
Daun Cp (Centrosema pubescent) Y = 1,6267 X R² = 0,986 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi ... (8)
38
c. Laju pertumbuhan tanaman (LPT). Laju pertumbuhan tanaman dihitung dengan
membagi selisih beratkering dengan luas lahan dan lama waktu tumbuh.
(Duncan et al., 1978 cit. Gardner et al., 1985).
LPT = Laju pertumbuhan tanaman LL=luas lahan Bk= berat kering total
T= waktu …………………….. (9)
d. Nisbah luas daun (NLD). Nisbah luas daun dihitung dengan membagi luas daun
dengan berat kering total.
( Hunt, 1978 cit. Gardner et al., 1985)
NLD= Nisbah Luas Daun LD= Luas Daun Bk= berat kering total ... (10)
e. Klorofil. Kandungan klorofil total ditentukan menggunakan klorofilmeter
berdasarkan model Persamaan (11) yang dikembangkan menggunakan data dalam
Lampiran 186 dan hasilnya bagi karabenguk Persamaan (12) dan jagung
Persamaan (13) :
Y = a + bX. .................................................................................... (11)
Y = kandungan klorofil total (mg/cm²) a = nilai Y sewaktu X bernilai 0 X = hasil klorofilmeter b = slop / arah kemiringan
Hubungan pengukuran pada klorofilmeter dengan berat klorofil per cm²
daun adalah :
Daun karabenguk Y = -0,512 + 0,0468 X R² = 0,937 ………………. (12) Y = klorofil mg/cm² X= hasil ukur klorofilmeter R²= koefisien determinasi
/blnkg/m12
12X
1 2
TT
BkBk
LLLPT
/gcm2
Bk
LDNLD
39
Daun Jagung Y = 0,422 + 0,0615 X R² = 0,855 ……………….... (13) Y = klorofil mg/cm² X= hasil ukur klorofilmeter R²= koefisien determinasi
Kandungan klorofil total sebenarnya ditentukan dengan Spectronic 21D
(Harbourne, 1987) berdasarkan Persamaan (14) :
Klorofil total = 17,3 A645 + 7,18 A663 mg/cm² luas daun.
A645 dan A 663= hasil pengukuran pada spectronic ……………. .. (14)
Jumlah klorofil tanaman / m² luas lahan =
klorofil mg/cm² x luas daun x jumlah tanaman/m² ………………… (15)
f. Akar. Pengukuran akar dilakukan terhadap panjang dan berat kering akar.
1) . Pengukuran panjang akar pada percobaan di rumah kaca dilakukan dengan
menyobek polibag dan tanah disekitar akar dibersihkan dengan semprotan air
setelah panen.
2). Penimbangan berat kering akar dilakukan setelah panen, akar dikeringkan
dengan oven hingga kering oven ( 60°C hingga bobotnya konstan ).
g. Berat kering brangkasan ( BkBrk ). Penimbangan berat kering brangkasan
dilakukan terhadap brangkasan tanaman kering oven. Brangkasan merupakan
tanaman yang dikurangi hasil polong. Brangkasan atas adalah brangkasan yang
dikurangi perakaran. Berat kering keduanya ditimbang setelah kering oven.
Penimbangan dilakukan setelah panen.
h. Berat kering tajuk. Penimbangan tajuk dilakukan setelah panen terhadap bagian
tanaman diatas tanah termasuk hasil polong setelah dikeringkan dengan oven.
i. Nisbah akar tajuk. Penghitungan akar/tajuk dilakukan dengan membagi bobot
akar kering oven dengan bobot tajuk kering oven.
40
j. Bintil akar. Penghitungan dan penimbangan dilakukan mulai umur 1,5 bulan
dengan selang waktu 1 bulan.
1). Berat kering bintil. Segera setelah tanah disingkirkan, bintil dimasukkan
kedalam oven dan dengan metode penimbangan ditentukan berat kering
bintil. Penimbangan dilakukan setelah tanaman dipanen.
2). Jumlah bintil dihitung terhadap bintil yang menempel pada akar primer dan
akar cabang. Penghitungan juga dilakukan setelah panen.
k. Trikoma. Prosedur pengamatan trikoma atau rambut daun sebagai berikut.
Pertama, sampel daun dipotong-potong sekitar 4 mm x 4 mm sebanyak 5 buah
per perlakuan. Kedua, menimbang 250 mg Cloral Hidrat dan dilarutkan ke
dalam 100 ml. air. Cairan tersebut dibagi kedalam 6 tabung reaksi kecil. Ketiga,
setiap sampel perlakuan dimasukkan ke dalam setiap tabung reaksi. Keempat,
tabung reaksi dipanaskan di atas lampu spiritus hingga warna daun larut dan
daun menjadi transparan. Kelima, sampel daun diletakkan pada satu objek gelas
dan gelas penutup untuk 1 perlakuan. Keenam, dilakukan pengamatan dibawah
mikroskop, dengan mikrometer terhadap panjang trikoma dan densitas trikoma
atau jumlah trikoma per satuan luas ( Berlyn and Miksche, 1976 ).
2. Variabel hasil tanaman
a. Hasil biji. Hasil biji ditimbang dan dinyatakan dalam satuan g/tanaman, g/m2
atau g/petak contoh dengan luasan 3m² pada biji kering panen.
b. Nisbah biji polong. Penghitungan biji/polong dilakukan dengan membagi berat
kering biji dengan berat kering polong dikalikan 100%.
41
c. Indeks panen. Penghitungan indeks panen dilakukan dengan membagi bobot
biji kering (biomas ekonomi) dengan biomas keseluruhan yaitu brangkasan
kering ditambah biji kering (Donald dan Hamblin, 1976 cit. Gardner et al.,
1985).
d. Bobot 100 biji. Penimbangan bobot 100 biji dilakukan terhadap 100 biji yang
secara acak diambil dari hasil panen.
e. Protein dan HCN biji. Persentase protein dan HCN per 100 g biji diamati
dengan metode Mikro Kjeldahl ( Apriantono, 1989 ).
f. Kadar air biji. Kadar air biji ditentukan dengan metode penimbangan setelah
biji dikeringkan dalam oven hingga beratnya konstan dan dihitung
berdasarkan persamaan
Y = (a-b)/b x 100% ............................................................................... (16)
Y = kadar air biji (%) a = berat biji kering (g) b = berat kering biji (g)
g. ATER (nisbah kesetaraan lahan dan waktu) .
(Li.ti+ Lj.tj) ATER = ------------------ ........................................................................ (17) T Yij Yji Li = -------- Lj = -------- Yii Yjj
Li = nisbah kesetaraan lahan partial karabenguk ti = lama tanaman karabenguk Yij = hasil karabenguk ditumpangsari jagung tj = lama tanaman jagung Yii = hasil karabenguk monokultur T = lama tanaman total Lj = nisbah kesetaraan lahan partial jagung Yji = hasil jagung ditumpangsari karabenguk Yjj = hasil jagung monokultur ( Hiebsch, 1980 cit. Nugroho, 1990 ).
42
3. Variabel tanah
a. Pengukuran pH tanah dilakukan dengan soil tester Demetra yang dapat menera
pH dan kandungan lengas tanah. Dengan memasukkan ujung alat ke dalam
tanah dan menekan tombol, jarum penunjuk pH tanah akan berfungsi secara
otomatis.
b. Kandungan lengas tanah ditentukan menggunakan soil tester berdasarkan
persamaan
Y = 5,8096 + 0,0651 X R² = 0,778 ……………………………….. (18) Y = persentase lengas X=soil tester terukur R=koefisien determinasi
Persamaan (18) dikembangkan menggunakan data Y = kandungan lengas
tanah ( %) yang ditentukan secara gravimetri dan X= kandungan lengas tanah
yang diukur dengan soil tester sebagai disajikan dalam Lampiran 187.
c. Serapan N, P dan K. Serapan hara dihitung masing-masing berdasarkan
persamaan :
Y = (a x kadar hara biji) + (b + c) x kadar hara brangkasan dan seresah
Y = serapan suatu unsur hara a = berat kering biji (g) b = berat kering brangkasan (g) c = berat kering seresah (g) ................................................................ (19)
Penghitungan serapan N, P dan K dilakukan dengan menimbang baik hasil biji,
brangkasan maupun seresah dalam kondisi kering oven, yang kemudian
dilakukan distruksi dan distilasi. Untuk mengetahui kadar N digunakan metode
Kjeldahl, kadar P dengan Spektrofotometer dan kadar K dengan AAS.
43
d. Kandungan N, P, dan K tanah total. Persentase ini dilihat pada awal dan akhir
percobaan. Untuk mengetahui kadar N digunakan metode Kjeldahl, kadar P
dengan Spektrofotometer dan kadar K dengan Flamefotometer.
e. Persentase agregasi. Persentase agregasi dihitung dengan membagi berat
volume tanah yang teragregasi dengan berat tanah total.
f. Berat volume (g/cm3). Berat volume ditentukan dengan membagi berat tanah
kering oven dengan volume tanah ( dalam ring sample ).
g. Distribusi pori. Pori tak tergunakan dihitung pada persentase lengas pF 4,2
kemudian dikalikan berat volume. Pori menahan lengas diketahui dengan
mengurangkan persentase lengas pF 2,54 dengan pF 4,2 kemudian dikalikan
berat volume. Pori drainase dihitung dengan mengurangkan persentase lengas
pada pF 0 dengan pF 2,54 kemudian dikalikan berat volume.
Adapun penghitungannya sebagai berikut :
PT = PL (pF 4,2) x BV PM = PL (pF 2,54 – pF 4,2) x BVPD = PL (pF 0 – pF 2,54) x BV
PT = Pori tak tergunakan, PM = Pori menahan lengas, PD = Pori Drainase, PL = Persentase lengas tanah, BV = Berat Volume Tanah ………………… (20)
Porositas total tanah merupakan perkalian berat volume dengan kadar lengas
jenuh (pF 0 ).
44
4. Variabel pada analisis vegetasi
Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), vegetasi dapat dibandingkan dengan
Indeks kesamaan komunitas (C).
C = 2 W x 100% ............................................................................. (21) (a+b) C = indeks kesamaan komunitas atau koefisien komunitas W= jumlah nilai NDP terendah dari masing-masing jenis pada 2
komunitas yang dibandingkan a = jumlah nilai NDP pada komunitas pertama b = jumlah nilai NDP pada komunitas ke dua
Nilai NDP diperoleh dengan menghitung densitas, dominansi, dan
frekuensi.
a. Nisbah dominansi penjumlahan (NDP) atau Summed dominance ratio (SDR).
NDP = ( % densitas + % dominansi + % frekuensi ) / 3
b. Densitas. Persentase densitas diperoleh dengan membagi jumlah individu
gulma tertentu per m² terhadap jumlah keseluruhan individu pada luasan
tersebut. Densitas merupakan rerata dari 3 ulangan yang ada.
b. Dominansi. Persentase dominansi diperoleh dengan menghitung jumlah kisi
pada kuadrant 1m2 yang tertutup oleh suatu jenis tumbuhan tertentu.
Dominansi merupakan rerata dari 3 ulangan yang ada.
c. Frekuensi. Persentase frekuensi diketahui dengan menghitung jumlah ulangan
yang dihuni oleh suatu jenis tumbuhan tertentu dibagi jumlah ulangan
dikalikan 100%.
d. Dua komunitas sama bila nilai C lebih dari 75%.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Biologi, Karakter Agronomi dan Forma Karabenguk
1. Kajian Biologi
a. Anatomi daun karabenguk
Hasil pengamatan secara mikroskopik terhadap struktur anatomi daun
terhadap 6 kultivar karabenguk yang ditanam di rumah kaca dibandingkan dengan
kedelai yang termasuk tanaman C3 (Wigham, 1983) dan bayam yang termasuk
tanaman C4 ( Hipkins, 1984 ) disajikan pada Gambar 2.
Dari Gambar 2 dapat dilihat pada daun bayam ( C4 ) berkas pengangkutan
diselubungi seludang dan hal ini merupakan tipe Kranz dengan dinding tebal ( 10
hingga 20 µm ). Pada kedelai (C3 ) ukuran berkas pengangkutan kecil dengan
dinding tipis ( kurang dari 14 µm ). Adapun sidik ragam ukuran berkas
pengangkutan terhadap tebal daun disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
Perbedaan anatomi daun antara tanaman C3 dan C4 serta anatomi daun
karabenguk disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan anatomi daun C3, C4 dan karabenguk Anatomi daun tanaman No
Kedelai C3 *) Bayam C4*) karabenguk 1. Sel ikatan pembuluh
berukuran kecil dan tidak berkloroplas
Sel ikatan pembuluh berukuran besar dan ber- kloroplas
Sel ikatan pembuluh berukuran kecil dan tidak berkloroplas
2 Dinding ikatan sel pembuluh tipis
Dinding ikatan sel pembuluh tebal
Dinding ikatan sel pembuluh tipis
3. Kloroplas ada pada sel mesofil
Kloroplas ada pada sel meso-fil dan ikatan sel pembuluh
Kloroplas ada pada sel mesofil
4. Ruang antar sel pada jaringan palisade dan spons mesofil besar- besar
Ruang antar sel pada jaringan spons mesofil kecil - kecil
Ruang antar sel pada jaringan palisade dan spons mesofil besar –besar
*) Loveless, 1983; Salisbury & Ross, 1992
45
46
A. B.
C. D.
E. F. 400 µm
G. H. 95 µm
Gambar 2. Anatomi daun karabenguk dibandingkan dengan kedelai ( C3) dan bayam ( C4 )
Keterangan : A. Hitam Gunungkidul B. Luthung C. Putih Gunungkidul D. Putih Kedungombo E. Putih Kulonprogo F. Rase G. Kedelai (C3) H. Bayam (C4)
a. epidermis atas b. palisade c. ikatan pembuluh d. spons mesofil e. epidermis bawah f. seludang ikatan
pembuluh g. kloroplast
a
b
c
d
e
f
g
47
Tabel 1. dan Gambar 2. memperlihatkan bahwa pada tanaman C3 yang
pada Gambar 2. diwakili kedelai, sel-sel ikatan pembuluh kecil dengan dinding
tipis dan tidak berkloroplas, ruang antar sel-sel palisade dan spons mesofil besar-
besar dan kloroplas ada pada sel-sel mesofil. Pada tanaman C4, sel ikatan
pembuluh besar dengan dinding tebal dan berkloroplas, ruang antar sel spons
mesofil kecil – kecil, dan kloroplas ada pada ikatan sel-sel pembuluh dan sel-sel
mesofil. Tanaman karabenguk memiliki sel-sel ikatan pembuluh kecil dengan
dinding tipis dan tidak ber kloroplas, ruang antar sel-sel palisade dan sepons
mesofil besar-besar dan kloroplas ada pada sel mesofil. Dengan demikian
karabenguk termasuk tanaman C3.
Ikatan sel pembuluh tanaman C3 kecil dan C4 besar. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan nisbah diameter ikatan sel pembuluh terhadap tebal daun. Pada
karabenguk nisbah tersebut 0,22 tidak berbeda nyata dengan kedelai (0,29) yang
merupakan tanaman C3 namun berbeda nyata dengan bayam (0,55) sebagai wakil
tanaman C4.
b. Anatomi bintil karabenguk
Pada pengamatan sewaktu tanaman berumur 1,5 , 2,5 dan 3,5 bulan,
terlihat bahwa bintil dari 6 kultivar yang dicobakan sama-sama memiliki bentuk
tidak beraturan ( Gambar 3. ). Berdasar hal tersebut, dalam Gambar 4. disajikan
penampang bintil karabenguk secara umum pada umur tersebut dan juga anatomi
bintil pada saat panen atau umur 3,5 bulan dari kultivar Rase sebagai wakil dari 3
kultivar yang telah mengalami kerusakan sel (lisis) yaitu Rase, Luthung dan
48
kultivar Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul sebagai wakil dari 3 kultivar
yang belum mengalami kerusakan yaitu Hitam Gunungkidul, Putih Kulonprogo
dan Putih Kedungombo.
Adapun irisan bintil untuk masing-masing kultivar disajikan pada
Gambar 3.
A.
B. 1 cm
C.
D.
E.
F. 1,5 bulan 2,5 bulan 3,5 bulan
Gambar 3. Irisan membujur bintil akar karabenguk
Keterangan : A s.d F pada 3 kali umur pengamatan merupakan irisan bintil, A. Hitam Gunungkidul B. Luthung C. Putih Gunungkidul D. Putih Kedungombo E. Putih Kulonprogo F. Rase
Gambar 3 memperlihatkan bahwa bentuk bintil karabenguk tidak
beraturan. Penambahan tonjolan baru terjadi ke berbagai arah. Menurut Muljanto
( 1991 ), bentuk bintil ada 2 macam yaitu tipe bulat dan tipe memanjang. Bintil
tipe bulat terjadi antara lain pada kedelai dan kacang panjang dan sering disebut
sebagai tipe phaseolae yang bersifat determinate. Bintil pada awal pertumbuhan
berisi sel meristem dan aktif selama 3 hingga 5 minggu yang kemudian menua.
Fiksasi N2 terjadi pada jaringan bintil akar yang baru terbentuk.
49
f
e
A. C.
d 400 µm 1000 µm
c
b
a
B. D.
400 µm 1000 µm Gambar 4. Perkembangan Anatomi bintil karabenguk
Keterangan : A. Rase 1,5 bulan B. Rase 2,5 bulan C. Rase 3,5 bulan D. Hitam Gunung Kidul 3,5 bl
Bintil dengan tipe memanjang terjadi pada Trifolium sp., Pisum sp. dan
Vicia sp. Bintil tipe ini memiliki meristem apikal dan mampu tumbuh
memanjang. Daerah fiksasi N2 terus berkembang ke daerah meristem baru.
Daerah yang lebih dewasa menjadi daerah jaringan tua. Tipe ini disebut juga tipe
Vicia-trifolia yang bersifat indeterminate ( Muljanto, 1991 ).
Pada Gambar 3. terlihat bahwa bintil juga berkembang ke segala arah
dengan membentuk tonjolan-tonjolan baru. Tonjolan berasal dari sel meristematis
dengan ukuran sel yang kecil-kecil (Gambar 4B.). Bintil juga mengalami
kerusakan menjelang tanaman mati (Gambar 4C.). Dengan demikian, pola
pertumbuhan bintil karabenguk termasuk tipe Vicia-trifolia yang indeterminate.
a = sel terinfeksi bakteroid b = meristem c = cabang stele akar d = korteks e = epidermis f = sel –sel lisis
50
2. Karakter agronomi dan forma karabenguk budidaya
Hasil analisis varian pada forma dan hasil karabenguk disajikan pada
Lampiran 3. hingga Lampiran 47. Hasil rerata pengamatan pada morfologi tanaman
disajikan pada Tabel 2. hingga Tabel 7. Rerata komponen akar antar kultivar
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Panjang(cm), diameter(mm) dan berat kering(g/tanaman) akar primer dan
sekunder, jumlah, bentuk dan berat kering(g/tanaman) bintil enam kultivar karabenguk
Organ Parameter Kultivar HGk Luthung PGk PKo PKp Rase Akar Panjang 17,50a 25,50a 23,50a 17,50a 19,50a 18,50a Primer Diameter 1,10a 1,25a 1,50a 1,45a 1,20a 0,55a Berat kering 0,19a 0,35a 0,27a 0,28a 0,12a 0,15a Akar Panjang 18,00a 15,00a 7,50a 15,50a 14,50a 17,50a Sekunder Diameter 0,15a 0,15a 0,10a 0,15a 0,10a 0,15a Berat kering 0,11a 0,17a 0,13a 0,08a 0,06a 0,08a Bintil Akar Primer 2,50a 2,00a 2,00a 1,50a 1,50a 1,50a Akar Skunder 0,50a 0,50a 0,50a 0,50a 0,50a 1,50a Bentuk Bintil Tb Tb Tb Tb Tb Tb Berat kering 0,03a 0,35a 0,02a 0,04a 0,08a 0,06a
Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. HGk=Hitam Gunungkidul PGk=Putih Gunungkidul PKo=Putih Kedungombo PKp=Putih Kulonprogo Tb=Tidak beraturan
Komponen perakaran tidak menunjukkan perbedaan nyata antar kultivar. Kultivar
yang berbeda masih menunjukkan kedekatan hubungan kekeluargaan. Bentuk bintil
untuk semua kultivar adalah tidak beraturan. Rerata komponen batang antar kultivar
disajikan pada Tabel 3.
51
Tabel 3. Panjang(cm), diameter(mm) dan berat kering(g/tanaman) dan panjang ruas(cm)
batang primer dan sekunder enam kultivar karabenguk Batang Parameter Kultivar HGk Luthung PGk PKo PKp Rase Primer Panjang 48,00a 105,50a 116,50a 70,00a 65,00a 70,50a Diameter 3,45ab 3,75a 3,40abc 3,25c 3,35bc 3,55ab Berat kering 0,65b 1,75a 1,70a 0,80b 0,75b 1,00b Panjang
ruas :
-panjang 10,00a 26,00a 19,50a 14,50a 13,00a 13,00a -pendek 2,50b 4,50a 2,00b 2,50b 2,55b 2,00b Sekunder Panjang 9,50a 8,50a 5,50b 6,00b 5,00b 0,80c Diameter 1,85a 1,25a 1,75a 1,80a 1,35a 1,15a Berat kering 0,20a 0,60a 0,30a 0,40a 0,60a 0,40a Panjang
ruas 1,50a 3,00a 3,10a 3,00a 2,30a 0,80a
Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. HGk=Hitam Gunungkidul PGk=Putih Gunungkidul PKo=Putih Kedungombo PKp=Putih Kulonprogo Sebagian besar komponen pada batang tidak menunjukkan perbedaan antar
kultivar. Kultivar Luthung menghasilkan ruas pendek pada batang primer dan ruas
panjang batang sekunder lebih panjang dibanding kultivar lain. Kultivar tersebut
memiliki diameter batang primer yang lebih besar dibanding kultivar Putih Kulonprogo
dan kultivar Putih Kedungombo serta bersama kultivar Putih Gunungkidul memiliki berat
kering batang primer yang lebih besar dibanding kultivar lain.
Rerata komponen daun antar kultivar disajikan pada Tabel 4.
52
Tabel 4. Letak dan berat kering daun (g/tanaman), sudut, panjang (cm) dan diameter (mm) tangkai daun, panjang (cm), lebar (cm) dan kandungan klorofil (mg/cm²) helaian daun, panjang(µm), diameter (µm) dan jumlah trikoma(buah/100µm enam kultivar karabenguk
Bagian Parameter Kultivar Daun HGk Luthung PGk PKo PKp Rase Daun Letak berseling berseling berseling Berseling berseling berseling Berat kering 2,80a 6,30a 4,80a 4,10a 3,20a 2,30a Tangkai Sudut Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tgt pss Panjang 26,33a 28,00a 21,00ab 25,00a 26,67a 13,67b Diameter 2,80b 2,37b 2,37b 3,23ab 2,53b 4,03a Helaian Panjang 12,30a 13,00a 14,70a 13,30a 13,30a 12,70a Umur Lebar 7,30a 7,00a 8,00a 7,30a 8,00a 7,30a 7miggu Klorofil 42,40ab 44,90a 38,10c 42,40ab 43,40ab 41,10b Bulu/ Panjang 39,67a 57,00a 42,00a 59,33a 36,67a 37,00a trikoma Jumlah 5,33b 10,00a 9,33a 5,00b 6,33b 5,67b
Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. HGk=Hitam Gunungkidul PGk=Putih Gunungkidul PKo=Putih Kedungombo PKp=Putih Kulonprogo Tgt pss=tergantung posisi terhadap sumbu tegak Seperti halnya pada batang, beberapa komponen daun tidak berbeda antar
kultivar. Letak daun berseling, daun selalu mengarah ke sudut sekitar 45° terhadap posisi
tegak dan tidak tergantung arah batang penyangga. Tangkai daun untuk kultivar Luthung,
Hitam Gunungkidul, Putih Kulonprogo dan Putih Kedungombo lebih panjang dibanding
kultivar Rase, namun kultivar Rase memiliki diameter tangkai daun yang lebih besar
dibanding kultivar lain kecuali Kultivar Putih Kedungombo. Kandungan klorofil kultivar
Luthung juga lebih tinggi dibanding kultivar Rase dan Putih Gunungkidul. Densitas
trikoma kultivar Luthung dan Putih Gunungkidul lebih besar dibanding kultivar lain.
Rerata komponen bunga antar kultivar disajikan pada Tabel 5.
53
Tabel 5. Jumlah bunga per tandan (buah) dan berat kering (g/buah), warna, panjang (mm), tebal/lebar(mm) dan bentuk tangkai, kelopak dan mahkota bunga, warna, jumlah (buah/bunga) benangsari dan putik, panjang benangsari (mm) dan bentuk putik enam kultivar karabenguk
Bunga Parameter Kultivar HGk Luthung PGk PKo PKp Rase /tandan 14.00a 12,33a 18,00a 14,33a 19.00a 12,33a
Brt Kering 0.08b 0,05d 0,09a 0,08b 0.06c 0,09a
Tangkai Warna Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju
Panjang 4,7a 3,5a 4,0a 4,2a 3,7a 4,3a
Tebal 1,9a 1,9a 2,0a 1,6a 1,7a 1,8a
Bentuk Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat
Kelopak Warna Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju
Panjang 13,53a 13,23a 13,40a 13,23a 12,47a 12,93a
Lebar 8,03b 7,90b 10,00a 7,50b 7,73b 8,13b
Bentuk V4k3b1 V4k3b1 V4k3b1 V4k3b1 V4k3b1 V4k3b1
Mahkota Warna UHt UHt PHju PHju UHt PHju
Panjang 33,00c 37,33b 42,67a 38,00b 37,33b 40,34ab
Lebar 9,33b 9,33b 11,67a 7,00c 9,33b 12,00a
Bentuk Kp-kp Kp-kp Kp-kp Kp-kp Kp-kp Kp-kp
Benangsari Warna Kng Hju Kng Hju Kng Hju
Kng Hju
Kng Hju
Kng Hju
/bunga 5 5 5 5 5 5
Panjang 7,10a 8,00a 7,10a 6,67a 7,70a 7,97a
Putik Warna Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju Pth Hju
/bunga 5 5 5 5 5 5
Bentuk Kepala Kepala Kepala Kepala Kepala Kepala
Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Batang yang menghasilkan bunga dan polong hanya batang primer. PGk=Putih Gunungkidul HGk=Hitam Gunungkidul PKp=Putih Kulonprogo PKo=Putih Kedungombo Pth=putih Hju=hijau Kng=kuning U=ungu Ht=hitam Kp-kp=kupu kupu V= jumlah ujung kelopak berbentuk V, k = jumlah ujung kelopak kecil dan b = jumlah ujung kelopak besar Berat kering bunga kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding
kultivar lain. Untuk semua kultivar bentuk tangkai bunga bulat, bentuk kelopak berupa
rangkaian 4 huruf V terdiri 1 besar dan 3 kecil, bentuk mahkota kupu-kupu, benangsari
berwarna kuning kehijauan dan putik berwarna putih kehijauan. Kultivar Putih
Gunungkidul memiliki lebar kelopak yang lebih besar dibanding kultivar lain. Lebar
54
mahkota kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih besar dibanding kultivar lain.
Demikian pula panjang mahkota, kultivar Putih Gunungkidul terpanjang dan tidak
berbeda nyata dengan kultivar Rase. Rerata komponen polong dan biji antar kultivar
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Warna, panjang (cm), lebar (cm), tebal (cm) dan bentuk polong dan biji, jumlah
(buah/tandan) dan berat kering (g/tanaman) polong dan jumlah (buah/polong) biji enam kultivar karabenguk.
Komponen Kultivar HGk Luthung PGk PKo PKp Rase Polong Warna H-Cm HHi-Hi H-Cm H-Cm H-Cm H-Cm Jumlah 10,67a 4,67b 11,67a 8,67ab 10,67ab 6,00ab Panjang 9,50ab 9,10b 9,67a 9,50ab 9,83a 9,67a Lebar 1,77a 1,47b 1,67ab 1,53ab 1,53ab 1,67ab Tebal 1,23a 1,07a 1,10a 1,10a 1,23a 1,23a Bentuk Sigmoid Sigmoid Sigmoid Sigmoid Sigmoid Sigmoid Berat Kering 4,60b 5,92ab 6,66ab 5,10ab 5,53ab 7,22a
Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. H=Hijau, Cm=Coklat Muda, Hi=Hitam, PGk=Putih Gunungkidul, HGk=Hitam Gunungkidul, PKp=Putih Kulonprogo, PKo=Putih Kedungombo Warna polong kultivar Luthung hijau kehitaman sewaktu segar dan berubah
menjadi hitam sewaktu kering, sedangkan kultivar lain memiliki warna polong hijau
sewaktu segar dan ketika kering berubah menjadi coklat muda. Kultivar Putih
Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul memiliki jumlah polong per tandan lebih banyak
dibanding Luthung. Demikian pula panjang polong, Luthung lebih pendek dibanding
Biji Warna Hitam Belang Putih Putih Putih Belang Jumlah 4,67b 4,67b 6,00a 5,67a 5,67a 5,67a Panjang 1,50ab 1,40b 1,60a 1,40b 1,50ab 1,27c Lebar 1,03a 1,10a 1,13a 1,13a 1,10a 0,97a Tebal 0,77b 0,97a 0,63c 0,63c 0,73bc 0,67bc Bentuk pipih bulat pipih Pipih Pipih Pipih
55
Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan lebar polong untuk Luthung
lebih kecil dibanding Hitam Gunungkidul.
Jumlah biji per polong pada kultivar Hitam Gunungkidul dan Luthung lebih
sedikit dibanding kultivar lain. Kultivar Putih Gunungkidul memiliki polong yang lebih
panjang dibanding Putih Kedungombo, Luthung dan Rase. Biji Luthung lebih tebal
dibanding kultivar lain yang disebabkan pula karena bentuknya yang bulat, sedang
kultivar lain pipih. Bobot kering biji kultivar Rase dan Putih Kedungombo lebih rendah
dibanding Putih Kulonprogo.
Penentuan forma dari kultivar yang ada dilakukan berdasarkan morfologi bunga
dan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Panjang tandan (cm), panjang tangkai (mm) dan warna mahkota bunga,
panjang polong (cm) dan ada/tidaknya bulu gatal enam kultivar karabenguk
Kultivar Bunga Polong
Panjang Warna Panjang Bulu Gatal
Tandan Tangkai Hitam Gunungkidul 7 -12 4 - 8 ungu gelap 9-11 tidak ada Luthung 2 -19 4 - 7 ungu gelap 6-12 tidak ada Putih Gunungkidul 4 -14 5 - 7 putih kehijauan 9-12 tidak ada Putih Kedungombo 7 -15 5 - 7 putih kehijauan 9-12 tidak ada Putih Kulonprogo 5 -17 6 - 8 ungu gelap 9-12 tidak ada Rase 4 –10 5 - 6 putih kehijauan 8-11 tidak ada
Menurut Backer dan Van Den Brink (1963), panjang tandan bunga untuk
forma utilis adalah lebih dari 32 cm sedangkan panjang tandan bunga forma
cochinchinensis yaitu 4 - 15 cm. Dengan demikian baik batas atas atau batas bawah
yang memenuhi kriteria forma cochinchinensis ialah kultivar Rase, Putih
56
Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Berdasarkan panjang tandan, kultivar Hitam
Gunungkidul seharusnya juga termasuk forma cochinchinensis, namun ternyata
komponen-komponen lain tidak mendukung. Dua kultivar lain tidak termasuk forma
cochinchinensis, dengan batas bawah ataupun batas atas yang lebih tinggi.
Kultivar Luthung dan Putih Kulonprogo tidak termasuk cochinchinensis
namun berdasarkan panjang tandan juga tidak memenuhi syarat masuk forma utilis.
Dua kultivar terakhir Luthung dan Putih Kulonprogo ditambah Hitam Gunungkidul
berdasarkan panjang tandan tidak termasuk forma utilis disebabkan perbedaan
kebiasaan hidup yang merambat pada tanaman keras, ruang gerak lebih luas sehingga
tandan dapat panjang, sedang pada percobaan ini ruang lebih terbatas karena hanya
dengan penjalar bambu.
Panjang tangkai forma utilis adalah 4 – 10 mm, sedangkan untuk forma
cochinchinensis 5 – 7 mm. Berdasarkan panjang tangkai, kultivar yang termasuk
forma cochinchinensis adalah Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Ke
tiga kultivar yang lain memiliki batas bawah yang lebih rendah atau batas atas yang
lebih tinggi dibanding forma cochinchinensis dan termasuk forma utilis.
Warna mahkota bunga untuk forma Utilis adalah ungu gelap, sedangkan untuk
forma cochinchinensis adalah putih kehijauan. Dengan demikian berdasar warna
mahkota bunga, kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo
termasuk forma utilis sedangkan Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo
termasuk forma cochinchinensis.
Panjang polong untuk forma utilis 10 – 13 cm, sedangkan untuk forma
cochinchinensis 10 - 12 cm. Batas bawah semua kultivar yang dicobakan lebih rendah
57
dari panjang polong untuk forma utilis dan cochinchinensis sehingga variabel ini
tidak dapat digunakan untuk menentukan macam forma. Hal tersebut juga disebabkan
perbedaan kebiasaan hidup sehingga karabenguk tidak mampu mengekspresikan
potensinya.
Kedua forma dan juga semua kultivar yang diuji tidak memiliki bulu gatal.
Kriteria ini penting dalam rangka memastikan bahwa kultivar yang diuji bukan
termasuk forma pruriens dan hirsuta sehingga sudah pasti termasuk forma utilis atau
cochinchinensis.
Di antara beberapa kriteria yang membedakan antara forma utilis dan
cochinchinensis, warna mahkota bunga merupakan kriteria sentral. Mahkota bunga
forma utilis berwarna ungu gelap dan untuk cochinchinensis berwarna putih
kehijauan.
Berdasarkan atas beberapa variabel tersebut terutama kesesuaian warna
mahkota bunga maka yang termasuk forma utilis (mahkota bunga ungu gelap) adalah
kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan termasuk
forma cochinchinensis (mahkota bunga putih kehijauan) adalah kultivar Rase, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo.
Sidik ragam variabel vegetatif dan hasil tanaman antar forma disajikan pada
Lampiran 48 sampai 56. Sidik ragam (analisis varian) dengan rancangan acak
kelompok lengkap tersebut setelah diteruskan dengan uji beda Duncan 5%, hasilnya
disajikan pada Tabel 8.
59
Pada umur 5 minggu indeks luas daun antar kultivar berbeda nyata. Tabel 8.
memperlihatkan Indeks luas daun tertinggi kultivar Putih Gunungkidul dan tidak
berbeda nyata dengan kultivar Putih Kulonprogo dan Putih Kedungombo. Antar
kultivar tidak berbeda nyata pada panjang akar. Berdasar data pada Tabel 8., kultivar
Putih Gunungkidul memiliki indeks luas daun tertinggi dan ternyata meskipun tidak
berbeda nyata memiliki akar terpendek. Variabel nisbah akar tajuk juga menunjukkan
bahwa antar kultivar tidak berbeda nyata. Tabel 8. memperlihatkan nilai terendah
dimiliki oleh kultivar Putih Gunungkidul diikuti oleh kultivar Luthung dan Rase.
Antar kultivar juga tidak berbeda nyata pada bobot kering oven brangkasan. Tabel 8
memperlihatkan nilai bobot kering oven brangkasan terendah dimiliki oleh kultivar
Putih Gunungkidul diikuti oleh Rase dan Hitam Gunungkidul.
Indeks panen menunjukkan bahwa antar kultivar berbeda nyata. Tabel 8.
memperlihatkan bahwa indeks panen tertinggi dicapai oleh kultivar Putih
Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase. Hasil biji antar kultivar
menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 8. memperlihatkan hasil tertinggi dicapai
oleh kultivar Putih Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase.
Perbedaan kultivar menyebabkan bobot 100 biji berbeda nyata. Bobot tertinggi pada
Tabel 8. dicapai oleh Putih Kulonprogo dan tidak berbeda nyata dengan kultivar
Luthung, Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul.
Antar kultivar juga mempunyai perbedaan nyata pada kandungan protein biji.
Tabel 8. memperlihatkan protein tertinggi dicapai oleh kultivar Putih Kulonprogo
diikuti Rase dan Putih Kedungombo, Luthung dan terakhir Putih Gunungkidul dan
Hitam Gunungkidul. Antar kultivar juga berbeda nyata pada kandungan HCN bijinya.
60
Tabel 8. memperlihatkan HCN terendah diperoleh pada kultivar Luthung diikuti oleh
Rase dan Putih Gunungkidul.
Kultivar Putih Gunungkidul dan Rase memiliki hasil biji yang lebih tinggi.
Hal tersebut dimungkinkan karena indeks luas daun dan indeks panen yang lebih
tinggi dibanding kultivar lain terutama untuk kultivar Putih Gunungkidul. Panjang
akar, nisbah akar tajuk dan bobot brangkas relatif rendah pada ke dua kultivar
tersebut dibanding 4 kultivar yang lain. Kuantitas hasil yang tinggi tersebut ternyata
juga didukung oleh kualitas hasil berupa kandungan protein relatif tinggi dan kadar
HCN relatif rendah terutama untuk kultivar Rase. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kultivar Rase dan Putih Gunungkidul memiliki hasil dan beberapa variabel
vegetatif yang lebih tinggi dibanding kultivar lain.
Untuk melihat keterkaitan antar komponen, disajikan hubungan antar variabel
yang diamati pada Percobaan Karakter agronomi dan forma karabenguk budidaya
pada Lampiran 178. Hasil biji dan bobot brangkasan berhubungan dengan indeks
panen, sedangkan antar variabel lain yang diamati tidak menunjukkan korelasi yang
nyata. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa hasil biji yang tinggi disebabkan karena
indeks panen yang tinggi. Apabila variabel bagian vegetatif dan hasil tersebut
dianalisis dengan dikelompokkan ke dalam masing-masing forma menggunakan sidik
ragam (analisis varian) dengan rancangan acak kelompok lengkap, hasilnya disajikan
pada Lampiran 57. sampai 65. dan Tabel 9.
Perbedaan forma mengubah hasil biji secara nyata. Data pada Tabel 9.
memperlihatkan bahwa forma cochinchinensis memiliki hasil biji yang lebih tinggi
dibanding forma utilis. Hal tersebut disebabkan oleh hasil tinggi pada 2 anggota
61
forma cochinchinensis yaitu kultivar Rase dan kultivar Putih Gunungkidul (Tabel 8)
dan berat kering bunga yang lebih tinggi (Tabel 5).
Kultivar Rase ternyata memiliki berat batang sekunder yang paling rendah.
Kultivar Putih Gunungkidul juga memiliki berat batang sekunder lebih rendah
dibanding 2 anggota Kultivar utilis yaitu Luthung dan Hitam Gunungkidul (Tabel 3).
Kultivar Rase memiliki tangkai daun yang lebih pendek dibanding kultivar
lain namun tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih Gunungkidul. Pada Tabel 4.
juga terlihat bahwa kandungan klorofil daun Kultivar Putih Gunungkidul terendah
diikuti lebih tinggi pada Kultivar Rase.
Panjang dan lebar mahkota bunga kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih
tinggi dibanding kultivar lain (Tabel 5). Jumlah biji per polong untuk kultivar Rase
dan Putih Gunungkidul ( cochinchinensis ) lebih tinggi dibanding kultivar Luthung
dan Hitam Gunungkidul (utilis ).
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa hasil yang tinggi pada forma
cochinchinensis terutama pada kultivar Rase dan Putih Gunungkidul disebabkan
karena jumlah biji per polong yang lebih banyak, mahkota bunga yang lebih besar,
tangkai daun yang lebih pendek meskipun kandungan klorofil daun yang lebih
rendah, dan berat batang sekunder yang lebih rendah.
62
B. Hasil Analisis Tanah dan Peubah Statistik Pemupukan 2 Kultivar Karabenguk
1. Hasil analisis tanah
Tanah yang digunakan untuk penelitian merupakan tanah dengan kedalaman
efektif atau solum tidak lebih dari 17 cm pada kemiringan tanah 20-22,5% dan jenis
tanah litosol. Hasil analisis beberapa sifat fisika dan kimia tanah tersebut disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10. Beberapa sifat fisika dan kimia tanah pada lokasi penelitian lapangan Parameter Sampel Rerata Harkat 1 2 3 pF 0 % 28,09 29,28 32,61 29,99 pF1 % 26,12 27,52 28,03 27,22 pF2 % 18,81 20,31 20,28 19,80 pF2,54 % 16,18 16,31 16,19 16,22 pF4,2 % 6,44 6,98 7,52 6,98 BV g/cm3 1,58 1,46 1,58 1,54 Pori Tak tergunakan (%) 10,18 10,19 11,88 10,75
Penahan lengas (%) 15,39 13,62 13,70 14,24 Drainase (%) 18,82 18,94 25,94 21,23
Total (%) 44,38 42,75 51,52 46,22 KPK me/100g 16,94 26,81 21,89 21,88 Sd pH H20 6,08 5,84 6,51 6,14 AM BO% 1,12 0,71 0,96 0,93 R C (%) 0,65 0,41 0,56 0,54 SR N Tot % 0,09 0,08 0,09 0,09 SR C/N 7,22 5,13 6,22 6,19 R P tsd ppm (Bray) 6,15 15,17 7,38 9,58 SR K tsd me/100g 1,27 1,98 1,69 1,64 ST Lempung(%) 13,61 24,30 13,65 17 Debu (%) 23,26 6,44 11,12 14 Pasir(%) 64,13 69,29 75,23 70 Kelas Tekstur Geluh Pasiran AM=agak masam SR=sangat rendah R=rendah Sd=sedang ST=sangat tinggi (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983 cit. Hardjowigeno, 1987 )
Harkat KPK dan K tersedia yang relatif tinggi disebabkan kemungkinan tanah
pada lokasi penelitian dulunya merupakan tanah vertisol berwarna hitam kemudian
63
tererosi. Pecahnya batuan membentuk tekstur pasiran yang tercampur tanah awal
sehingga KPK dan K tersedia relatif tinggi. Hal tersebut didukung pula oleh
kandungan lempung yang tinggi pada Sampel 2.
Dengan memperhatikan bahwa lapis olah kurang dari 20 cm, pH agak masam,
kandungan bahan organik rendah, kandungan N total rendah, kandungan P tersedia
sangat rendah dan tekstur geluh pasiran maka tanah tersebut dapat dikategorikan tidak
subur dan memerlukan perlakuan khusus seperti penambahan hara tanah terutama N,
P dan bahan organik mengingat ketebalan lapis olah yang rendah merupakan faktor
penghambat pertumbuhan.
Pada percobaan pemupukan di pot, setelah tanah ditanami karabenguk
ternyata nilai C dan N meningkat dapat dilihat pada Tabel 11. Sampel tanah sebelum
dan setelah panen diambil dari 3 pot yang sama tanpa perlakuan pemupukan.
Tabel 11. Nilai C, N dan nisbah C/N sebelum dan setelah pertanaman karabenguk di
pot Sampel sebelum tanam setelah panen
C (%) N Tot C/N C (%) N Tot C/N % %
1 0,65 0,09 7,22 2,48 0,27 9,33 2 0,41 0,08 5,13 2,67 0,27 9,93 3 0,56 0,09 6,22 2,27 0,26 8,73 Rerata 0,54 0,09 6,19 2,47 0,27 9,33 Nilai SR SR R Sd Sd R SR=sangat rendah R=rendah Sd=sedang ( Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983 cit. Hardjowigeno, 1987)
Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa tanah sebelum ditanami, jumlah bahan
organik ( C ) dan nitrogen total sangat rendah namun setelah panen karabenguk
kandungan C dan N meningkat. Hal ini disebabkan sebagian seresah terdekomposisi
64
dan tercampur tanah sehingga kandungan C dan N meningkat. Tetap rendahnya C/N
menggamarkan laju dekomposisi sebanding dengan tambahan serasah segar dengan
kandungan C tinggi dan N rendah. Dalam penelitian ini pengamatan hanya dilakukan
terhadap C dan N tanah karena tujuan terfokus pada peran bahan organik.
2. Hasil dan analisis hasil pemupukan karabenguk
a. Percobaan di pot
Percobaan pemupukan dengan dosis diberikan sekali yang dilaksanakan di
pot dan dilakukan pengamatan terhadap 11 variabel. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 66 sampai 76. Setelah dilakukan uji beda Duncan 5% pada faktor yang
berpengaruh nyata, komponen antar kultivar dan pupuk yang berinteraksi disajikan
pada Tabel 12.
Tabel 12. Indeks panen dan hasil biji kultivar Rase dan Putih Gunungkidul berbagai
pemupukan pada percobaan di pot Variabel Kultivar Pupuk Kontrol Org.1 Org.2 NPK 1 NPK 2 Indeks Panen Rase 0,12 a 0,00 b 0,03 b 0,00 b 0,00 b Putih Gk 0,00 b 0,01 b 0,01 b 0,00 b 0,00 b Berat Hasil Biji Rase 10,90 a 0,00 b 1,88 b 0,00 b 0,00 b (g/tan) Putih Gk 0,00 b 1,88 b 1,42 b 0,00 b 0,00 b
Angka yang diikuti huruf sama pada indeks panen atau berat hasil biji menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Data 0,00 disebabkan tanaman tidak menghasilkan biji atau tanaman mati.
Pemupukan dengan perlakuan NPK dosis tinggi menyebabkan kematian
tanaman karabenguk pada saat pertumbuhan awal. Pemupukan dengan perlakuan
NPK 1 tidak mematikan, namun tanaman tidak menghasilkan biji. Demikian pula
beberapa perlakuan pupuk organik dan kontrol. Nilai hasil yang sangat rendah
65
disebabkan dari 3 ulangan hanya 1 atau 2 yang menghasilkan biji sehingga rerata
sangat kecil. Kematian tanaman pada perlakuan NPK dosis tinggi disebabkan
plasmolisis sebagaimana dijelaskan pada Tabel 20. Hasil yang rendah disebabkan
musim tanam yang tidak tepat, tidak melewati bulan juni mengingat karabenguk
merupakan tanaman hari pendek yang musm erbunga pada bulan tersebut. Untuk itu
dilakukan penelitian klarifikasi yang dilakukan di lapangan dengan dosis pupuk
diberikan 2 kali dan ditambah 1 kultivar wakil dari Utilis yang belum diujikan pada
penelitian di pot.
Pada kultivar Rase, pemupukan menyebabkan indeks panen dan hasil biji
rendah. Pada kultivar Putih Gunungkidul, pemupukan tidak meningkatkan hasil biji
secara nyata. Pada kontrol indeks panen dan hasil biji kultivar Rase lebih tinggi
dibanding Putih Gunungkidul. Pemupukan menyebabkan tidak tampak perberbedaan
nyata terhadap indeks panen dan hasil biji antar kultivar Rase dan Putih Gunungkidul.
Antara kultivar Putih Gunungkidul dan Rase berbeda nyata pada beberapa
variabel bagian vegetatif dan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah bintil/tanaman, beratkering brangkasan atas dan tajuk (g/tan) dan
akar/tajuk antar kultivar pada percobaan di pot Bagian vegetatif Kultivar Putih Gunungkidul Rase Jumlah Bintil per tanaman 4,13 b 6,20 a Beratkering Brangkasan Atas (g/tan) 69,16 a 49,87 b Beratkering Tajuk (g/tan) 69,83 a 52,71 b Akar/Tajuk 0,17 b 0,39 a
Dalam baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%.
66
Kultivar Rase memiliki brangkasan atas dan tajuk yang lebih rendah serta
nisbah akar tajuk dan jumlah bintil yang lebih tinggi dibanding kultivar Putih
Gunungkidul.
Perubahan ukuran berbagai bagian vegetatif akibat perlakuan pemupukan
dengan dosis yang diberikan sekali pada percobaan di pot disajikan pada Tabel 14.
Serapan hara yang dimaksud pada tabel berikut adalah jumlah unsur hara pada
seluruh bagian tanaman.
Tabel 14. Serapan NPK, bk akar, bintil, brangkasan atas dan tajuk (g/tan) jumlah bintil/tan dan akar tajuk antar pemupukan pada percobaan di pot Serapan dan bagian Pupuk vegetatif per tanaman Kontrol Org.1 Org.2 NPK1 NPK2Serapan N (g/tan) 2,41 ab 1,94 ab 2,54 a 1,37 b 0,00 c Serapan P (g/tan) 0,25 ab 0,22 ab 0,30 a 0,16 b 0,00 c Serapan K (g/tan) 1,54 a 1,15 ab 1,52 a 0,80 b 0,00 c Beratkering Akar (g/tan) 32,68 a 13,64 ab 22,77 ab 9,64 b 0,00 c Jumlah Bintil per tanaman 4,33 c 7,50 ab 9,17 a 4,83 bc 0,00 d Beratkering Bintil (g/tan) 0,36 ab 0,61 a 0,78 a 0,60 a 0,00 b Beratkering Brk Atas (g/tan) 64,81 ab 59,25 ab 71,78 a 42,23 b 0,00 c Beratkering Tajuk (g/tan) 69,65 ab 59,95 ab 73,25 a 42,23 b 0,00 c Akar/Tajuk 0,48 a 0,27 a 0,31 a 0,34 a 0,00 b Dalam baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Brk=brangkasan, Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi menghasilkan data 0,00 karena tanaman mati.
Tabel 14. memperlihatkan bahwa pada percobaan di pot dengan dosis
pemupukan diberikan 1 kali menggunakan pupuk organik 2 (dosis 250 g/tanaman)
menyebabkan jumlah bintil lebih tinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan pupuk
organik 1 (dosis 125 g/tanaman), serapan hara dan berat kering brangkasan serta tajuk
67
lebih tinggi dibanding pupuk NPK. Data 0 pada pemupukan NPK 2 (dosis 60
g/tanaman) disebabkan tanaman mati pada saat pertumbuhan awal akibat plasmolisis
sebagaimana dibahas pada Tabel 20.
Berdasarkan pada pengamatan setiap 2 minggu, indeks luas daun, diameter
batang dan kandungan klorofil daun dianalisis berdasarkan regresi linear Y = a + bX.
Nilai slop (b) dibandingkan menggunakan anova, hasilnya disajikan pada Lampiran
88 hingga Lampiran 90. Seharusnya pertumbuhan tanaman mengikuti kurve sigmoid.
Pendekatan dengan regresi linear sederhana mengingat pengamatan berada pada fase
eksponensial dan pada umumnya nilai R² nya lebih dari 0,8. Adapun anova setelah
diteruskan uji beda Duncan, hasilnya disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Koefisien regresi klorofil daun, indeks luas daun dan diameter batang
pada percobaan di pot Pemupukan Koefisien regresi ( nilai b dari Y= a+bX ) Klrf Daun ILD Dmt Bt Kontrol 26698 a 0,21a 0,23 b Org.1 25716 a 0,23a 0,23 b Org.2 35124 a 0,20a 0,23 b NPK 1 39685 a 0,24a 0,29 a NPK 2 858 b (-) 0,01b (-)0,12 c Dalam kolom, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%.
Hasil pengamatan pada Tabel 14 merupakan data yang diperoleh saat tanaman
dipanen. Pada perlakuan NPK dosis tinggi ternyata tanaman mati akibat plasmolisis.
Data klorofil, indeks luas daun dan diameter batang pada Tabel 15 diperoleh saat
awal pertumbuhan tanaman ketika tanaman masih hidup. Nilai negatif dapat terjadi
karena angka yang disajikan merupakan nilai slop atau koefisien regresi.
68
Antar perlakuan macam dan dosis pupuk menyebabkan perbedaan yang nyata
pada koefisien regresi klorofil daun. Koefisien regresi klorofil daun pada perlakuan
pemupukan NPK dosis tinggi, lebih rendah dibanding perlakuan NPK dosis sedang,
pupuk organik dan kontrol. Hal ini disebabkan tanaman tumbuh pada awal
pertumbuhan sehingga memiliki klorofil namun pertumbuhan sangat lambat dan
akhirnya tanaman mati.
Perlakuan pupuk menyebabkan koefisien regresi indeks luas daun berbeda
nyata. Tabel 15 memperlihatkan bahwa pemupukan dengan NPK dosis tinggi
menurunkan koefisien regresi indeks luas daun. Hal ini disebabkan karena perlakuan
pemupukan NPK dosis tinggi menyebabkan karabenguk mati di awal pertumbuhan
sehingga saat panen luas daun nol.
Perlakuan pemupukan juga menyebabkan koefisien regresi diameter batang
berbeda nyata. Pemupukan dengan NPK dosis sedang mampu meningkatkan
koefisien regresi diameter batang. Penggunaan NPK dosis tinggi menurunkan
koefisien regresi diameter batang, karena tanaman di awal pertumbuhan mati
sehingga saat panen diameter batang nol. Peningkatan koefisien regresi diameter yang
relatif tinggi pada pemupukan dengan NPK dosis sedang, ternyata tidak sejalan
dengan komponen yang lain baik serapan hara, tajuk, bintil, maupun akar. Hal
tersebut menunjukkan bahwa karabenguk sesuai sebagai tanaman perintis dan kurang
responsif terhadap penambahan hara.
Karabenguk yang dipupuk dengan NPK dosis tinggi sewaktu hidup
menghasilkan koefisien regresi klorofil, indeks luas daun dan diameter batang yang
lebih rendah dibanding perlakuan lain. Pemupukan NPK dosis sedang menghasilkan
koefisien regresi diameter batang yang paling tinggi, namun ternyata tidak sejalan
dengan kandungan klorofil dan indeks luas daun. .
69
b. Percobaan di lapangan
Sidik ragam pada percobaan pupuk yang diberikan 2 kali di lapangan,
disajikan pada Lampiran 77 sampai 87. Pada percobaan ini ditambahkan pula kultivar
Hitam Gunungkidul sebagai wakil dari forma utilis. Setelah dilakukan uji beda
Duncan 5% pada faktor yang berbeda nyata, bagian vegetatif dan hasil antar kultivar
yang diuji disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Bagian vegetatif dan hasil antar kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan
Parameter Kultivar Hitam Gk Putih Gk Rase Jml Bintil 1,90b 2,40ab 3,50a Indeks Panen 0,18b 0,21b 0,47a Berat Hasil Biji (g/tan) 2,76b 5,59b 14,56a Dalam baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Hitam Gk=Hitam Gunungkidul, Putih Gk=Putih Gunungkidul
Tabel 16. memperlihatkan bahwa pada pemupukan di lapangan yang
diberikan 2 kali, hasil biji kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih
Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul. Rendahnya jumlah bintil terutama pada
kultivar Hitam Gunungkidul merupakan penyebab rendahnya hasil mengingat bintil
merupakan alat mengikat N2 dari udara.
Dari berbagai komponen vegetatif pada percobaan 2 kali pemupukan, terjadi
interaksi antara pupuk dan kultivar pada laju pertumbuhan tanaman (Crop growth
rate) bulan pertama (LPT 01). Hal tersebut disajikan pada Tabel 17. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 97.
70
Tabel 17. Rerata laju pertumbuhan tanaman bulan ke 1 pada berbagai perlakuan pe- mupukan dan kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan (kg/m²/bln) Kultivar Pupuk Kontrol Org. 1 Org. 2 NPK 1 NPK 2 Hitam Gunungkidul 2,46bc 1,59c 1,46c 1,94c 3,79ab Putih Gunungkidul 1,55c 2,05c 2,65bc 2,47bc 1,35c Rase 1,56c 2,47bc 2,10c 4,85a 2,27c Angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi.
Pada pemupukan NPK dosis sedang / NPK 1, kultivar Rase memiliki
pertumbuhan yang lebih cepat dibanding kultivar Hitam Gunungkidul dan Putih
Gunungkidul sedangkan pada pemupukan NPK dosis tinggi / NPK 2, pertumbuhan
tertinggi dicapai oleh kultivar Hitam Gunungkidul. Pada kultivar Putih Gunungkidul,
pupuk tidak berpengaruh nyata namun pada kultivar Hitam Gunungkidul pupuk NPK
dosis tinggi meningkatkan pertumbuhan pada bulan pertama sedang hal sama terjadi
pada kultivar Rase dengan pupuk NPK dosis sedang. Meskipun tidak berbeda nyata
dengan Putih Gunungkidul, kultivar Hitam Gunungkidul yang memiliki hasil paling
rendah, ternyata memiliki pertumbuhan pada kontrol dan pemupukan organik (Org. 1
dan 2 ) yang tidak berbeda nyata dengan kultivar lain.
Pada percobaan di lapangan dengan pemupukan 2 kali, ternyata antar
perlakuan juga tidak menunjukkan perbedaan pada komponen pertumbuhan. Hal
tersebut disajikan pada Lampiran 91 hingga 97. Antara kultivar dan pupuk
berinteraksi pada LPT bulan pertama. Antar komponen pertumbuhan yang lain,
ternyata pemberian pupuk tidak meningkatkan pertumbuhan secara nyata.
71
3. Pembahasan pemupukan karabenguk
Pada percobaan di pot pupuk diberikan sekali terhadap kultivar Rase,
pemupukan justru menurunkan indeks panen dan hasil biji ( Tabel 12 ) namun hal
tersebut tidak terjadi pada kultivar Putih Gunungkidul yang memiliki jumlah bintil
dan nisbah akar tajuk lebih rendah (Tabel 13). Pemberian pupuk organik tidak
mengubah secara nyata serapan hara dan bagian vegetatif tanaman namun
meningkatkan jumlah bintil dibanding kontrol, Pemberian pupuk NPK dosis sedang
(30 g/tan) menurunkan serapan K dan berat kering akar. Pemberian NPK dosis tinggi
(60 g/tan) menurunkan semua variabel pengamatan karena tanaman mati di awal
pertumbuhan akibat pecahnya dinding sel benih dicirikan keluarnya HCN yang
berwarna biru (Tabel 14).. Pemberian pupuk NPK dosis tinggi (60 g/tan) juga
menurunkan ke 3 komponen pertumbuhan yang diamati. Pemberian pupuk NPK 30
g/tan memperlihatkan peningkatan diameter batang tanaman ( Tabel 15).
Hasil turun pada percobaan di pot tersebut dipertanyakan karena suhu yang
relatif tinggi di rumah kaca yang maksimum 39 C (40, 38,5 dan 38,5 C), sedangkan
di luar rumah kaca maksimum 37 C ( 37,5; 36,5 dan 37 C ). Hal ini menunjukkan
adanya indikasi bahwa karabenguk Rase tanpa pupuk lebih mampu menghadapi
cekaman suhu tinggi.
Antar komponen bagian vegetatif dan hasil panen pada pemupukan sekali
yang diamati, setelah dilakukan uji korelasi disajikan pada Lampiran 178. Antara
serapan N, P, K dan variabel bintil yang berupa jumlah dan berat kering serta berat
kering akar, berat kering brangkasan atas dan tajuk ternyata berhubungan erat
(Lampiran 179). Serapan berhubungan erat dengan pertumbuhan tanaman. Tingginya
72
serapan akan meningkatkan bahan yang terakumulasi sebagai bagian vegetatif
tanaman. Hasil biji tidak berhubungan dengan sebagian besar variabel vegetatif dan
hasil tanaman mungkin akibat cekaman suhu tinggi.
Dinamika pH tanah menjelang pemberian air disajikan pada Gambar 5 dan
dinamika lengas tanah pada Gambar 6.
Tabel 18. Keasaman atau pH tanah antar perlakuan pemupukan Minggu Kontrol Org. 1 Org. 2 NPK 1 NPK 2
2 êòçé êòèí êòéé éòðð êòçð 4 êòêé êòêè êòéé ëòéð ëòìí 6 êòìð êòìë êòîë ëòèë ìòîð 8 êòêí êòêð êòêî êòðî ëòïé
10 êòèð êòêè êòèð êòîè ëòïé 12 êòçé êòçé êòçí êòêð ëòïé 14 êòìð êòêé êòèð êòëí ëòïé 16 êòéð êòéé êòèð êòéë ëòïé 18 êòëè êòêë êòéð êòìë ëòïé 20 êòëí êòêí êòêé êòëé ëòîè 22 êòéí êòëî êòêð êòìð ëòìí 24 êòèð êòéð êòíè êòéí ëòíé
2 hit terhadap kontrol ðòðí ns ðòðé ns ðòíí ns íòèë ns
2tab(.05-11) 19.70 19.70 19.70 19.70 Kontrol=tanpa pupuk, Organik 1 = pupuk organik dosis sedang, Organik 2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Tanda ns menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Chi -Square 5%.
ð
î
ì
ê
è
ð î ì ê è ïð ïî ïì ïê ïè îð îî îì
Umur Tanaman (mg)
Õ±²¬®±´
Ñ®¹ò ï
Ñ®¹ò î
ÒÐÕ ï
ÒÐÕ î
Gambar 5. Dinamika pH tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan
pemupukan Keterangan : Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1= pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi
73
Pada Tabel 18. diketahui bahwa dinamika pH tanah antar perlakuan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lain. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa pada
perlakuan NPK 2 (dosis tinggi), pH tanah lebih rendah dibanding kontrol hampir
sepanjang waktu, namun hasil uji Chi-square sama. Hal tersebut memberikan indikasi
bahwa meskipun pemberian pupuk NPK 2 menurunkan pH tanah namun pola
dinamika tidak berubah secara nyata. Tabel 19. Lengas tanah antar perlakuan pemupukan
Minggu ke Kontrol Org. 1 Org. 2 NPK 1 NPK 2 2 ïðòðì ïïòêé ïïòéè çòéî ïïòîí 4 ïðòðì ïðòíï çòèî ïïòèç ïïòêï 6 ïðòðì ïðòîð çòéé ïîòïð ïîòíî 8 çòêï çòéé çòíç ïîòïð ïîòíî
10 çòéî ïðòðì çòïé ïîòïð ïîòíî 12 çòçç ïðòìî ïðòïë ïïòçç ïîòíî 14 ïïòîí ïðòëè ïðòîê ïïòêï ïîòíî 16 ïðòëè ïðòðì çòêï ïðòíï ïîòíî 18 ïðòïð çòêê çòìî ïðòîê ïîòíî 20 ïðòíé çòéî çòíç ïðòðì ïîòíî 22 ïðòìî çòçç çòèè ïðòêì ïîòíî 24 ïðòêç ïðòíï ïðòêì ïïòîí ïîòíî
2 hit terhadap kontrol ðòìê ns ðòêç ns îòìè ns ìòéê ns
2tab(.05-11) 19.70 19.70 19.70 19.70 Kontrol=tanpa pupuk, Organik1 = pupuk organik dosis sedang, Organik 2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Tanda ns menunjukkan berbeda nyata berdasar uji Chi-square 5%.
ðîìêè
ïðïîïì
ð î ì ê è ïð ïî ïì ïê ïè îð îî îì
Umur Tanaman (mg)
Õ±²¬®±´
Ñ®¹ò ï
Ñ®¹ò î
ÒÐÕ ï
ÒÐÕ î
Gambar 6. Dinamika lengas tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan
pemupukan Keterangan : Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1= pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi
74
Berdasarkan data pada Tabel 19. dan Gambar 11., lengas tanah masih berada
diantara titik layu permanen (7,72%) dan kapasitas lapangan (17,16%). Dinamika
lengas tanah yang tidak berbeda nyata pada NPK 2 namun pada gambar telihat lebih
rendah berindikasi pH tanah yang lebih rendah dibanding 3 perlakuan non NPK
(Gambar 5). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian pupuk NPK dosis
tinggi ( 60 g/tan ) menyebabkan lengas tanah kurang terserap tanaman dan tanah
menjadi semakin masam. Lengas tanah paling rendah atau penyerapan terbaik terjadi
pada pupuk organik 2 (dosis 250 g/tan), pupuk organik 1 (dosis 125 g/tan) dan
kontrol.
Dibanding tanpa pupuk (kontrol), penggunaan pupuk NPK2 (NPK dosis
tinggi) ternyata menurunkan semua variabel yang diuji. Pupuk NPK dosis tinggi
menyebabkan hara beserta air sebagai pelarutnya sulit diabsorbsi sehingga
menyebabkan pembusukan dan air dari sel akar keluar bersama HCN dari biji saat
berkecambah. Tanah disekitar biji menjadi berwarna biru. Hasil uji HCN pada tanah
tersebut disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Kadar HCN tanah disekitar biji saat berkecambah
Tanah sekitar Kadar HCN ( mg/100g ) Biji bekecambah Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Tanah Normal 4,90 5,40 5,15 Tanah Biru 16,39 19,57 17,98
Tanah yang berwarna biru disekitar biji ternyata mengandung HCN 17,98
mg/100g jauh lebih tinggi dibanding tanah dengan warna normal yang juga disekitar
biji dengan kandungan HCN 5,15 mg/100g tanah. Hal tersebut disebabkan terlalu
pekatnya cairan tanah akibat pupuk sehingga sel-sel mengalami plasmolisis, cairan
75
keluar dari sel termasuk HCN yang terkandung sehingga pertumbuhan terhambat
bahkan mati.
Pada perlakuan sekali pemupukan, penggunaan pupuk NPK2 (mutiara 60
g/tan) ternyata menyebabkan semua variabel yang diuji lebih rendah dibanding tanpa
pupuk (kontrol),. Pemberian pupuk NPK 2 menyebabkan kematian tanaman
karabenguk di awal pertumbuhan. Hal ini disebabkan adanya indikasi plasmolisis sel
yang dibuktikan dengan keluarnya HCN pada Tabel 14. Pupuk NPK1 (mutiara 30
g/tan) ternyata menurunkan berat kering akar dan serapan K. Penggunaan pupuk
organik baik Org.2 (fine compost 250 g/tan) maupun Org.1 (fine compost 125 g/tan)
meningkatkan jumlah bintil dan meskipun tidak nyata meningkatkan berat kering
bintil, berat kering akar, serapan N, P dan K. Hal tersebut disebabkan karena pupuk
organik memiliki kandungan hara yang relatif lengkap. Dapat dikatakan pula bahwa
pemberian pupuk organik meningkatkan pertumbuhan karabenguk. Kontrol atau
tanpa pupuk menyebabkan variabel indeks panen dan hasil biji lebih tinggi dibanding
perlakuan lain. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanpa pupuk tanaman karabenguk
akan lebih tahan terhadap gangguan terutama suhu tinggi akibat percobaan yang
dilaksanakan di rumah kaca.
Pada percobaan lapangan dengan dosis pupuk diberikan 2 kali, hasil kultivar
Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul
(Tabel 16). Pemberian pupuk NPK dosis sedang pada kultivar Rase, dibanding
kontrol meningkatkan laju pertumbuhan tanaman bulan pertama (Tabel 17).
Percobaan pemupukan pada 2 kultivar karabenguk memperlihatkan bahwa
pemupukan tidak meningkatkan hasil. Percobaan lanjutan dilaksanakan di lapangan
76
dengan dosis pupuk diberikan 2 kali pada minggu pertama dan ke tiga. Dibanding
pemupukan yang diberikan sekali pada pertanaman di rumah kaca, pemupukan 2 kali
pada pertanaman di lapangan beserta lingkungan yang berbeda menyebabkan rerata
hasil biji lebih tinggi (Tabel 12 dan Tabel 16). Hal tersebut didukung oleh tingginya
indeks panen.
Sebagai pembanding pada kacang tanah, produksi biji kering tertinggi 1,6 t/ha
tercapai pada pemupukan 60 kg N, 75 kg P2O5 dan 60 kg K2O ( Sudjatna, 1993 ).
Pemberian pupuk NPK pada tanaman kapri meningkatkan tinggi tanaman, jumlah
cabang per tanaman, jumlah polong per tanaman, berat kering biji per tanaman dan
produksi polong muda ( Ripiani et al., 1992 ). Pemberian NPK meningkatkan tinggi
tanaman buncis tegak, berat kering brangkasan dan jumlah polong per tanaman pada
tanah alfisol yang masam, BO, N, P dan KPK rendah ( Minardi, 2002 ). Pupuk N 100
dan 150 kg/ha meningkatkan diameter batang, nisbah akar tajuk, jumlah polong dan
berat biji kering (Mahrita, 2003).
Hal tersebut tidak terjadi pada karabenguk, pemupukan dengan pupuk organik
maupun pupuk NPK tidak mampu meningkatkan bobot hasil biji (Tabel 12).
Menurunnya fiksasi nitrogen yang diindikasikan oleh rendahnya berat bintil serta
rusaknya sel sehingga HCN keluar biji yang sedang berkecambah menunjukkan
adanya dampak negatif pemupukan.
77
C. Penggunaan Rangka Penjalar pada 2 Kultivar Karabenguk Musim Hujan dan Kemarau
1. Komponen vegetatif dan hasil karabenguk
Pada percobaan rangka penjalar 2 kultivar karabenguk dan 2 musim tanam, untuk
komponen bagian vegetatif dan hasil karabenguk diamati berbagai komponennya yang
sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 100 sampai 107 dan 108 sampai 115. Dari
berbagai komponen tersebut tiga variabel berinteraksi antara musim, kultivar dan
penjalar yaitu hasil biji kering, kadar air biji dan kadar HCN. Hasil tersebut disajikan
pada Tabel 21. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 111, 113 dan 115.
Tabel 21. Hasil, kadar air dan HCN biji dua musim tanam dan dua kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿® Þ»®¿¬ ¸¿·´ Þ·¶· Õ¿¼¿® ß·® ØÝÒ µ»®·²¹ ¹ ñí³îò û ¾¾¶µ û ¾¾¶µ Ø«¶¿² Ьٵ Ì Ð¶´ ïðíôéè ½¼»º ïìôìç ½¼ íôíï ¶ Ø«¶¿² Ьٵ Ö¿¹«²¹ Ñ îðêôçç ¾½¼ ïíôîê ¸· íôçì ¼»º¹ Ø«¶¿² Ьٵ Ö¿¹«²¹ î éçôìð ¼»º ïíôëî ¹ ìôðì ½¼» Ø«¶¿² Ьٵ Ö¿¹«²¹ ì ïëêôíé ¾½¼»º ïíôëê ¹ íôèî ¹¸ Ø«¶¿² Ьٵ Þ¿³¾« ïïðôêí ½¼»º ïìôïî »º ìôðð ½¼»º Ø«¶¿² ο» Ì Ð¶´ ïéêôêì ¾½¼» ïíôêë ¹ íôêí × Ø«¶¿² ο» Ö¿¹«²¹ Ñ ïììôçí ¾½¼»º ïíôìç ¹¸ íôéç ¹¸ Ø«¶¿² ο» Ö¿¹«²¹ î îìèôðì ¾½ ïìôî𠻺 íôëì × Ø«¶¿² ο» Ö¿¹«²¹ ì îêéôîé ¾ ïìôðî º íôîè ¶ Ø«¶¿² ο» Þ¿³¾« íçëôèð ¿ ïíôêí ¹ íôéé ¸ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ì Ð¶´ ïïðôêé ½¼»º ïîôîì µ ìôìë ¿ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ö¿¹«²¹ Ñ èìôêé ¼»º ïíôéï ¹ ìôðî ½¼» Õ»³¿®¿« Ьٵ Ö¿¹«²¹ î íéôêé »º ïîôèí ¶ íôèç »º¹¸ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ö¿¹«²¹ ì ïíôíí º ïíôïð × íôëé × Õ»³¿®¿« Ьٵ Þ¿³¾« ïçìôíí ¾½¼ ïíôìç ¹¸ ìôïï ¾½ Õ»³¿®¿« ο» Ì Ð¶´ çêôíí ¼»º ïìôîç ¼» íôè𠹸 Õ»³¿®¿« ο» Ö¿¹«²¹ Ñ ïîîôêé ¾½¼»º ïìôçí ¾ íôèê º¹¸ Õ»³¿®¿« ο» Ö¿¹«²¹ î ëèôðð ¼»º ïëôïç ¿ ìôðï ½¼» Õ»³¿®¿« ο» Ö¿¹«²¹ ì îðôêé º ïìôîè ¼» ìôðé ½¼ Õ»³¿®¿« ο» Þ¿³¾« ïéíôíí ¾½¼» ïìôëí ½ ìôîì ¾ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Bbjk=berat biji kering, PtGk = Putih Gunungkidul, T Pjl = tanpa penjalar.
78
Tabel 21 menunjukkan bahwa karabenguk kultivar Putih Gunungkidul yang
ditanam pada musim hujan, berat biji kering yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar
perlakuan rangka penjalar. Pada kultivar Rase musim hujan, penjalar bambu
menghasilkan biji total dengan berat tertinggi. Pada karabenguk kultivar Rase yang
ditanam pada musim kemarau, penjalar bambu menghasilkan biji lebih tinggi dibanding
penjalar jagung 4 minggu, namun tidak berbeda nyata dengan penjalar yang lain. Pada
kultivar Putih Gunungkidul, penjalar bambu juga menghasilkan biji dengan berat
tertinggi, tidak berbeda nyata dengan tanpa penjalar dan berpenjalar jagung bersamaan
tanam.
Tabel 21 juga menunjukkan bahwa karabenguk kultivar Putih Gunungkidul
yang ditanam pada musim hujan dan kemarau, penjalar menurunkan kadar air biji.
Demikian pula pada kultivar Rase yang ditanam pada musim kemarau kecuali dengan
penjalar jagung umur 4 minggu. Pada kultivar Rase yang ditanam pada musim hujan,
penjalar tidak menurunkan kadar air biji. Kadar air yang tinggi akan menurunkan
kualitas hasil karabenguk.
Pada kultivar Rase yang ditanam musim hujan, penjalar jagung 4 minggu
memiliki kadar HCN terendah. Tingkat berikutnya adalah penjalar jagung 2 minggu
dan tanpa penjalar. Kadar HCN tertinggi terjadi pada penjalar bersamaan tanam dan
bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul yang ditanam musim hujan, juga ada beda
nyata antar perlakuan rangka penjalar. Tanpa penjalar menghasilkan kadar HCN
terendah diikuti jagung umur 4 minggu yang tidak berbeda nyata dengan bersamaan
79
tanam. HCN tertinggi terjadi pada perlakuan jagung umur 2 minggu dan penjalar
bambu.
Untuk komponen variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman, musim dan kultivar
berinteraksi pada serapan K, berat biji per tanaman, bobot 100 biji, indeks panen,
persentase berat biji per polong kering atau nisbah biji-polong dan kandungan protein
biji. Hal tersebut disajikan pada Tabel 22. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 102,
108-110, 112, 114.
Tabel 22. Serapan K, indeks panen, berat biji/polong, hasil biji, bobot 100 biji dan kadar protein dua kultivar karabenguk pada dua musim tanam
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® Í»®¿°¿² ײ¼»µ Þ·¶·ñб´±²¹ Þ Þ¶ñÌ¿² Þ ïð𾶠Ю±¬»·² Õ ¹ ñ¬¿² п²»² û ¾»®¿¬ ¹ ¹ ¾¾¶µ û ¾¾¶µ Ø«¶¿² Ьٵ íôïè ¾ ðôðê ¾ ëïôëí ¾½ ïèôíí ¾ èëôêè ¿ îèôíð ¾ Ø«¶¿² ο» ìôïð ¿ ðôïï ¾ ëìôïê ¾ íïôëë ¿ èíôîí ¿ îèôèí ¿ Õ»³¿®¿« Ьٵ ðôîì ½ ðôìí ¿ ìçòëê ½ çôêï ¾ êéôìé ¾ îéôïé ½ Õ»³¿®¿« ο» ðôíì ½ ðôíë ¿ ëçôçí ¿ ïïôîð ¾ èìôîç ¿ îèôîï ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. PtGk = Putih Gunungkidul, H Bj/Tan= berat biji per tanaman, B 100 bj=bobot 100 biji, Bbjk=berat biji kering.
Tabel 22. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase memiliki
serapan K yang lebih tinggi secara nyata dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Pada
musim kemarau, serapan kultivar Rase tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih
Gunungkidul. Baik pada kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, serapan K pada
musim kemarau lebih rendah dibanding musim hujan.
Pada musim hujan dan kemarau, kultivar Rase memiliki indeks panen yang
tidak berbeda nyata dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Baik pada kultivar Rase
80
maupun Putih Gunungkidul, musim kemarau menghasilkan indeks panen yang lebih
tinggi dibanding musim hujan.
Perlakuan musim tanam dan macam kultivar juga berinteraksi pada nisbah
biji-polong. Tabel 22. menunjukkan bahwa pada pertanaman musim hujan, tidak
terjadi beda nyata antar nisbah biji-polong. Pada musim kemarau, perbedaan kultivar
menyebabkan beda nyata pada nisbah biji-polong karabenguk. Kultivar Rase secara
nyata menghasilkan nisbah biji-polong yang lebih besar disbanding kultivar Putih
Gunungkidul.
Antar musim dan kultivar juga berbeda nyata pada variabel berat biji per
tanaman. Tabel 22. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase memiliki
berat biji per tanaman yang lebih tinggi secara nyata dibanding kultivar Putih
Gunungkidul. Pada musim kemarau, kultivar Rase memiliki berat biji per tanaman
yang tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih Gunungkidul.
Sidik ragam bobot 100 biji juga menunjukkan adanya interaksi antara
perlakuan musim tanam dan macam kultivar. Tabel 22. menunjukkan bahwa pada
pertanaman musim hujan, tidak terjadi beda nyata antar bobot 100 biji. Pada musim
kemarau, perbedaan kultivar menyebabkan beda nyata pada bobot 100 biji
karabenguk. Kultivar Rase memiliki bobot 100 biji, salah satu komponen kualitas
hasil yang secara nyata lebih tinggi dibanding Kultivar Putih Gunungkidul.
Tabel 22. menunjukkan bahwa baik pada musim hujan maupun kemarau,
persentase protein Kultivar Rase lebih tinggi dibanding Kultivar Putih Gunung kidul.
Pada musim hujan, serapan K, hasil biji per tanaman dan kandungan protein
lebih tinggi pada Kultivar Rase dibanding Putih Gunungkidul. Pada musim kemarau,
81
persentase biji per polong, berat 100 biji dan kandungan protein biji lebih tinggi pada
Kultivar Rase.
Pada komponen variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman, antara kultivar
dan penjalar berinteraksi pada bobot 100 biji. Kombinasi hal tersebut disajikan pada
Tabel 23. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 112.
Tabel 23. Bobot 100 biji (g) dua kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Tabel 23. menyatakan bahwa pada kultivar Rase, penggunaan penjalar jagung
menyebabkan penurunan bobot 100 biji sedangkan penjalar bambu tidak
menyebabkan penurunan yang nyata. Pada kultivar Putih Gunungkidul penggunaan
penjalar tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Kultivar Rase menghasilkan bobot 100
biji lebih tinggi hanya pada perlakuan tanpa penjalar sedangkan pada perlakuan lain
tidak berbeda nyata.
Pada variabel bagian vegetatif dan hasil, antara musim dan penjalar
berinteraksi pada beberapa komponen yang disajikan pada Tabel 24. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 100-103, 105, 107, 108,110, 112 dan 114.
Penjalar Kultivar Putih Gunungkidul Rase Tanpa Penjalar éêôîè ¾ ïðîôèð ¿
Jagung 0 èìôðì ¿¾ èïôðç ¾
Jagung 2 éíôïì ¾ éëôíê ¾
Jagung 4 éîôïê ¾ éîôíì ¾
Bambu ééôîé ¾ èèôêç ¿¾
82
Tabel 24. Serapan NPK, diameter batang, beratkering brangkasan, indeks panen, hasil biji/tanaman, bobot 100 biji dan kadar protein dua musim tanam karabenguk pada berbagai rangka penjalar
Ó«·³ л²¶¿´¿® Komponen vegetatif dan hasil karabenguk Í»®¿°¿² ܳ¬ Þ¬ Þµ Þ®µ ײ¼»µ Þ ¾¶ñ¬¿² Þïð𠾶 Ю±¬»·²
Ò ¹ñ¬¿² Ð ¹ñ¬¿² Õ ¹ñ¬¿² ³³ ¹ñ¬¿² п²»² ø¹÷ ø¹÷ û¾¾¶µ Ø«¶¿² Ì¿²°¿Ð¶´ íôèë ¾ ðôìð ¾ îôïð ¾ ïìôêë¿ ïîêôðì ¾ ðôðêè ½ ïïôêé ½¼ èîôçë¿ îèôê꿾ث¶¿² Ö¹Ñ èôêí ¿ ðôçç ¿ ìôêï ¿ ïêôîí¿ îèðôïî ¿ ðôðèë ½ îçôíí ¿¾ èéôðé¿ îèôîï¾ Ø«¶¿² Ö¹ î éôéë ¿ ðôèé ¿ ìôðé ¿ ïìôéî¿ îìêôìî ¿ ðôðèë ½ îéôîç ¿¾ èìôïé¿ îèôê鿾ث¶¿² Ö ¹ ì èôèé ¿ ðôçé ¿ ìôéð ¿ ïìôçð¿ îéìôçï ¿ ðôðçè ½ íëôíð ¿ èêôìé¿ îèôçï¿ Ø«¶¿² Þ¿³¾« ëôðï ¾ ðôëì ¾ îôêë ¾ ïëôëí¿ ïëìôïð ¾ ðôïðð ½ îïôïð ¿¾½ èíôïï¿ îèôìð¾ Õ»³¿®¿« Ì¿²°¿Ð¶´ ðôèè ½ ðôðé ½ ðôíê ½ èôîí ¾ ïçôíí ½ ðôîçð ¾ èôêí ½¼ çêôïí¿ îéôìð½ Õ»³¿®¿« Ö¹Ñ ïôïë ½ ðôðê ½ ðôíè ½ éôìé ¾ ïìôèð ½ ðôìçí ¿ ïéôîè ¾½¼ éèôð꿾 îèôïè¾ Õ»³¿®¿« Ö¹ î ðôêð ½ ðôðì ½ ðôîï ½ ëôìë ½ çôïé ½ ðôìîð ¿ éôçé ½¼ êìôíí¾½ îéôêí½ Õ»³¿®¿« Ö ¹ ì ðôíë ½ ðôðí ½ ðôïê ½ ìôðî ½ çôïç ½ ðôîíé ¾ îôèí ¼ ëèôðí½ îéôêð½ Õ»³¿®¿« Þ¿³¾« ïôðï ½ ðôðë ½ ðôíì ½ èôïè ¾ ïîôçé ½ ðôëïî ¿ ïëôíî ¾½¼ èîôèë¿ îéôêì½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Tanpa Pjl=tanpa penjalar, Jg=jagung, Dmt Bt=diameter batang. B bj/tan= berat biji per tanaman, B 100 bj= bobot 100 biji, BkBrk= Berat kering brangkasan.
Tabel 24. memperlihatkan bahwa serapan N, P dan K karabenguk yang
ditanam pada musim hujan dengan penjalar jagung lebih tinggi dibanding penjalar
bambu dan tanpa penjalar. Pada musim kemarau tidak terjadi beda nyata antar
penjalar dan musim tanam.
Tidak ada beda nyata antar penjalar pada diameter batang baik pada musim
hujan maupun kemarau. Pada setiap penjalar, diameter batang musim hujan lebih
besar dibanding musim kemarau.
Sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi terjadi antar perlakuan musim
tanam dan macam rangka penjalar pada variabel berat kering brangkasan per
tanaman. Tabel 24. juga menunjukkan bahwa berat kering brangkasan per tanaman
pada musim hujan, penjalar jagung meningkatkan berat kering brangkasan
83
karabenguk sedang hal tersebut tidak terjadi pada penjalar bambu. Pada musim
kemarau, penjalar tidak meningkatkan berat kering brangkasan.
Tabel 24. juga memperlihatkan bahwa indeks panen pada musim hujan tidak
berbeda nyata antar penjalar. Pada musim kemarau, kecuali penjalar jagung 4
minggu, semua penjalar meningkatkan indeks panen.
Musim tanam dan penjalar juga berinteraksi pada variabel hasil per tanaman.
Tabel 24. memperlihatkan bahwa pada musim hujan, penjalar yang dicobakan
meningkatkan hasil per tanaman. Pada musim kemarau, perbedaan rangka penjalar
tidak menyebabkan beda nyata antar hasil per tanaman.
Sidik ragam bobot 100 biji juga menunjukkan adanya interaksi antara
perlakuan musim tanam dan rangka penjalar. Tabel 24. menunjukkan bahwa pada
pertanaman musim hujan, tidak terjadi beda nyata antar bobot 100 biji. Pada musim
kemarau, penjalar yang dicobakan tidak meningkatkan bobot 100 biji karabenguk.
Pada musim hujan, penjalar jagung 4 minggu meningkatkan kadar protein biji
karabenguk dibanding bersamaan tanam sedangkan pada musim kemarau, penjalar
jagung bersamaan tanam mampu meningkatkan persentase protein biji.
Indeks panen musim hujan lebih rendah dibanding musim kemarau. Hasil per
tanaman tertinggi terjadi pada musim hujan pada penjalar jagung umur 4 minggu dan
tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung yang lain dan juga penjalar bambu. Bobot
100 biji pada pertanaman musim hujan dan musim kemarau dengan penjalar jagung
bersamaan tanam lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Pada musim hujan
kandungan protein karabenguk dengan penjalar jagung 4 minggu tertinggi dan tidak
berbeda nyata dengan jagung 2 minggu dan tanpa penjalar. Dengan demikian dapat
84
disebutkan bahwa pada pertanaman musim hujan dengan penjalar jagung 4 minggu
menghasilkan biji dengan kuantitas dan kualitas yang relative baik dicirikan protein
yang tinggi, kadar air dan HCN yang rendah.
Pada pertanaman musim kemarau, hasil per tanaman tidak berbeda nyata antar
perlakuan. Bobot 100 biji lebih tinggi pada karabenguk dengan penjalar bambu dan
tanpa penjalar, namun tidak berbeda nyata dengan penjalar karabenguk bersamaan
tanam. Indeks panen lebih tinggi terjadi pada karabenguk dengan penjalar jagung
bersamaan tanam dan umur 2 minggu serta penjalar bambu. Kandungan protein
tertinggi terjadi pada karabenguk dengan penjalar jagung bersamaan tanam. Dengan
demikian pada musim kemarau, pertanaman karabenguk yang ditanam bersamaan
dengan jagung serta dengan penjalar bambu mampu menghasilkan biji dengan
kualitas kandungan protein yang lebih baik.
Rerata komponen yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau
penjalar, antar musim tanam disajikan pada Tabel 25. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 103-104 dan 106.
Tabel 25. Kadar klorofil daun, indeks luas daun dan beratkering brangkasan karabenguk pada 2 musim tanam berbeda
Ó«·³ Õ´±®±º·´ ×ÔÜ ¬¿²¿³¿² ÞµÞ®µ ³¹ñ½³î «³«® í¾«´¿² ¹ñ¬¿² Ø«¶¿² ïôìî ¿ êôìð ¿ îïêôíî ¿ Õ»³¿®¿« ïôîê ¾ ïôéë ¾ ïíôðç ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ILD=indeks luas daun, BkBrk=berat kering brangkasan.
Perbedaan musim tanam menyebabkan beda nyata pada kandungan klorofil,
indeks luas daun dan berat kering brangkasan. Tabel 25. memperlihatkan bahwa nilai
85
ke 3 komponen vegetatif tersebut pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim
kemarau. Air yang cukup pada musim hujan menyebabkan kebutuhan tanaman akan
air dan hara tercukupi dan pertumbuhan vegetatif lebih baik.
Rerata komponen yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau
penjalar, antar kultivar disajikan pada Tabel 26. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 100-101 dan 103-107.
Tabel 26. Serapan N dua kultivar karabenguk
Õ«´¬·ª¿® Í»®¿°¿² Òø¹ñ¬¿²÷ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ íôìê ¾ ο» ìôïê ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kultivar menyebabkan beda
nyata pada variabel serapan N. Tabel 26. memperlihatkan bahwa serapan N pada
kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul.
Rerata komponen yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau
penjalar, antar rangka penjalar disajikan pada Tabel 27. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 103-104, 106 dan 109.
Tabel 27. Berat kering brangkasan karabenguk pada berbagai rangka penjalar
ο²¹µ¿ л²¶¿´¿® Þ»®¿¬µ»®·²¹ Þ®¿²¹µ¿¿² ¹ñ¬¿² Ì¿²°¿ л²¶¿´¿® éîôêç ¾ Ö¿¹«²¹ ð ïìéôìê ¿ Ö¿¹«²¹ î ïîéôéç ¿
Ö¿¹«²¹ ì ïìîôðë ¿ Þ¿³¾« èíôëì ¾ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%.
86
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan macam rangka penjalar
menyebabkan beda nyata pada variabel berat kering brangkasan per tanaman. Tabel
27. menunjukkan bahwa berat kering brangkasan per tanaman pada rangka penjalar
jagung lebih tinggi dibanding penjalar bambu dan tanpa rangka penjalar.
Hubungan antar komponen vegetatif dan hasil karabenguk.
Pada Tabel 21, kultivar Rase pada musim hujan dengan penjalar bambu
menghasilkan berat biji total tertinggi diikuti perlakuan lain. Hal ini berhubungan
dengan kerapatan karabenguk yang tinggi 2 kali lipat dibanding perlakuan dengan
penjalar jagung akibat penggantian tanaman jagung dengan karabenguk. Bila dilihat
hasil per tanaman pada Tabel 22, perlakuan musim hujan dan kultivar Rase
memberikan berat biji paling tinggi. Tabel 24 memperlihatkan bahwa berat biji per
tanaman pada musim hujan tertinggi dengan penjalar jagung 4 minggu dan tidak
berbeda nyata dengan penjalar jagung yang lain dan penjalar bambu.
Kultivar Putih Gunungkidul pada musim kemarau dengan penjalar bambu
menghasilkan berat hasil biji total tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan kultivar
Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam. Seperti halnya pada
musim hujan hal ini berhubungan dengan kerapatan karabenguk yang tinggi 2 kali
lipat dibanding perlakuan dengan penjalar jagung. Pada musim kemarau, hasil per
tanaman tertinggi dicapai oleh penjalar jagung bersamaan tanam yang tidak berbeda
nyata dengan penjalar bambu.
Tingginya hasil kultivar Rase menggunakan penjalar bambu (Tabel 21.)
didukung oleh bobot 100 biji yang tinggi (Tabel 23., Lampiran 180). Hasil per
87
tanaman yang tinggi pada kultivar Rase musim hujan (Tabel 22.) juga didukung oleh
serapan K yang lebih tinggi dibanding perlakuan lain (Lampiran 183). Hasil per
tanaman yang tinggi pada musim hujan dengan penjalar jagung terutama 4 minggu
juga didukung oleh tingginya serapan NPK dan berat kering brangkasan (Tabel 24.,
Lampiran 183.).
Hasil karabenguk yang tingginya pada musim penghujan juga disebabkan oleh
pertumbuhan vegetatif yang tercermin pada ILD, kandungan klorofil dan berat kering
brangkasan yang lebih tinggi (Tabel 25., Lampiran 180.). Hasil yang tinggi pada
kultivar Rase berhubungan erat dengan tingginya serapan N dan P (Lampiran 183.).
Hasil per tanaman yang tinggi pada penjalar jagung juga berhubungan dengan
tingginya berat brangkasan per tanaman (Lampiran 181).
Untuk melihat kualitas hasil, diamati kandungan protein (Tabel 22.), kadar air
biji saat panen dan kadar HCN ( Tabel 21 ). Pada musim kemarau, baik untuk kultivar
Rase maupun Putih Gunungkidul, penggunaan penjalar meningkatkan kadar air biji.
Peningkatan kadar air biji pada musim hujan terjadi kecuali pada kultivar Rase
dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam sedangkan pada kultivar Putih
Gunungkidul penggunaan semua penjalar menurunkan kadar air biji.
Kadar HCN terendah kultivar Rase dan Putih Gunungkidul pada musim hujan
adalah pada penjalar jagung 4 minggu. Pada kultivar Rase musim kemarau,
penggunaan penjalar meningkatkan kadar HCN kecuali jagung bersamaan tanam
sedang pada kultivar Putih Gunungkidul semua penjalar meningkatkan kadar HCN.
88
Kadar Protein tertinggi adalah kultivar Rase pada musim hujan. Pada musim
hujan kadar protein tinggi diperoleh pada tanaman dengan penjalar jagung 4 minggu
sedang pada musim kemarau pada tanaman dengan penjalar jagung bersamaan tanam.
Untuk mengetahui hubungan antar komponen pengamatan, Lampiran 180
menyajikan koefisien korelasi antar komponen. Hasil biji ternyata berhubungan erat
dengan berbagai komponen yang diamati kecuali indeks panen, kandungan HCN dan
kadar air biji.
Indeks panen tidak berhubungan erat dengan hasil biji menunjukkan bahwa
daya tarik tempat simpan antar tanaman cukup bervariasi. Kandungan HCN dan kadar
air biji merupakan parameter kualitas hasil, sedangkan hasil biji merupakan parameter
kuantitas. Dengan demikian ada indikasi bahwa meningkatnya kuantitas hasil tidak
selalu diiringi dengan meningkatnya kualitas hasil biji.
2. Komponen bagian vegetatif dan hasil rata-rata per hari karabenguk
Komponen bagian vegetatif dan hasil rata-rata harian karabenguk diperoleh
dengan membagi masing-masing komponen dengan umur tanaman di lapangan, untuk
musim hujan 212 hari dan musim kemarau 106 hari. Anova disajikan pada Lampiran
116 sampai 122.
Musim yang berinteraksi dengan penjalar dari masing-masing komponen
tersebut disajikan pada Tabel 28. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 116 – 119 dan
121- 122.
89
Tabel 28. Serapan NPK, berat kering brangkasan dan hasil biji rata-rata per hari pada dua musim tanam pada berbagai rangka penjalar
Ó«·³ л²¶¿´¿® Í»®¿°¿² ø¹÷ Þµ Þ®µ Þ Þ¶ Ø´Þ¶ Ò ¹ñ¬¿² Ð ¹ñ¬¿² Õ ¹ñ¬¿² ¹ñ¬¿² ¹ ñ¬¿² ¹ ñí³î Ø«¶¿² Ì¿²°¿ ж´ ðôðïèî ½¼ ðôïçç ¾½ ðôðïðî ¾½ ðôëçë ¾½ ðôðëë ½ ðôêêï ¿ Ø«¶¿² Ö¿¹«²¹ Ñ ðôðìðé ¿¾ ðôìíë ¿ ðôðîîì ¿ ïôíîï ¿ ðôïíè ¾½ ðôèîç ¿ Ø«¶¿² Ö¿¹«²¹ î ðôðíêë ¾ ðôíçç ¿ ðôðîðë ¿ ïôïêî ¿ ðôïîç ¾½ ðôééî ¿ Ø«¶¿² Ö¿¹«²¹ ì ðôðìïç ¿ ðôìëï ¿ ðôðîíï ¿ ïôîçé ¿ ðôïêê ¾ ðôççç ¿ Ø«¶¿² Þ¿³¾« ðôðîíê ½ ðôîëê ¾ ðôðïíï ¿¾ ðôéîé ¾ ðôðçç ¾½ ïôïçì ¿ Õ»³¿®¿« Ì¿²°¿ ж´ ðôððèí ½¼ ðôðèí ½¼ ðôððìî ½¼ ðôïèî ½¼ ðôðèï ¾½ ðôçéê ¾ Õ»³¿®¿« Ö¿¹«²¹ Ñ ðôðïðè ½ ðôðçì ¼ ðôððìè ½¼ ðôïìð ¼ ðôïêí ¿ ðôçéè ½ Õ»³¿®¿« Ö¿¹«²¹ î ðôððëê ¼» ðôðëï ¼ ðôððîê ½¼ ðôðèê ¼ ðôðéë ¾½ ðôìëï ½ Õ»³¿®¿« Ö¿¹«²¹ ì ðôððíí » ðôðíë ¼ ðôððïè ¼ ðôðèé ¼ ðôðîé ¾½ ðôïêð ½ Õ»³¿®¿« Þ¿³¾« ðôððçë ½¼ ðôðèî ¼ ðôððîî ¼ ðôïîî ¼ ðôïìë ¿ ïôéíì ¾½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. BkBrk= berat kering brangkasan, B Bj=berat biji, HslBj=berat hasil biji, Pjl=penjalar
Antara musim tanam dan penjalar berinteraksi pada variabel hasil biji per
tanaman rata-rata / hari. Tabel 28. memperlihatkan bahwa pada musim hujan terjadi
beda nyata antar perlakuan penjalar. Berat biji per tanaman rata-rata / hari pada
penjalar jagung umur 4 minggu tertinggi, lebih tinggi dibanding tanpa penjalar,
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain. Pada musim kemarau, perbedaan
rangka penjalar juga menyebabkan beda nyata antar hasil per tanaman rata-rata
harian. Penjalar jagung bersamaan tanam tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan
penjalar bambu namun memberikan hasil per tanaman rata-rata per hari lebih tinggi
dibanding tanpa penjalar, penjalar jagung umur 2 minggu dan penjalar jagung umur 4
minggu.
Hasil rata-rata / hari pada musim hujan tidak terjadi beda nyata antar
perlakuan penjalar. Pada musim kemarau, perbedaan rangka penjalar menyebabkan
beda nyata antar hasil biji / tanaman. Penjalar bambu memberikan hasil rata-rata
90
harian tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan jagung bersamaan tanam dan tanpa
rangka penjalar diikuti penjalar jagung umur 2 minggu dan penjalar jagung umur 4
minggu.
Sidik ragam juga menunjukkan bahwa interaksi terjadi antar perlakuan musim
tanam dan macam rangka penjalar pada variabel berat kering brangkasan per tanaman
rata-rata harian. Tabel 28. juga menunjukkan bahwa penjalar jagung meningkatkan
berat kering brangkasan per tanaman rata-rata harian pada musim hujan. Pada musim
kemarau, antar perlakuan penjalar tidak berbeda nyata.
Sidik ragam menunjukkan bahwa ada interaksi antar musim tanam dan
penjalar pada variabel serapan N, P dan K rata-rata harian. Tabel 28 memperlihatkan
bahwa penjalar jagung meningkatkan serapan N, P dan K pada musim hujan, tertinggi
pada penjalar jagung 4 minggu tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung
bersamaan tanam. Pada musim kemarau, serapan tertinggi terjadi pada jagung
bersamaan tanam meskipun tidak berbeda nyata dengan sebagian perlakuan lain.
Pada musim hujan, penjalar meningkatkan hasil biji per tanaman, berat kering
brangkasan kecuali penjalar bambu dan serapan NPK. Hasil biji per tanaman harian
tertinggi dicapai pada musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan
bambu. Bobot kering brangkasan tertinggi dicapai pada karabenguk dengan penjalar
jagung. Untuk serapan N tertinggi pada karabenguk dengan penjalar jagung umur 4
minggu yang tidak berbeda nyata dengan jagung bersamaan tanam. Serapan K
tertinggi adalah karabenguk dengan penjalar jagung, dan tidak berbeda nyata dengan
karabenguk berpenjalar bambu.
91
Adapun variabel bagian vegetatif dan hasil rata-rata harian yang berinteraksi
antara musim dan kultivar adalah hasil biji dan serapan P. Kombinasi hal tersebut
disajikan pada Tabel 29. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 117. dan 122.
Tabel 29. Serapan P dan hasil biji rata-rata / hari pada 2 musim tanam dan kultivar berbeda
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® Í»®¿°¿² Ð ø³¹ñ¬¿²÷ Þ»®¿¬ Ø¿·´ Þ·¶· ø¹ñí³n÷ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ îôèç ¾ ðôêîð ¾ Ø«¶¿² ο» ìôðé ¿ ïôïêí ¿ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸Ù«²«²¹µ·¼«´ ðôìç ¾ ðôèíï ¾ Õ»³¿®¿« ο» ðôèç ¾ ðôèèç ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Tabel 29. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase memiliki
hasil biji rata-rata / hari yang lebih tinggi secara nyata dibanding kultivar Putih
Gunungkidul. Pada musim kemarau, kultivar Rase juga memiliki hasil biji per
tanaman yang lebih tinggi namun tidak berbeda nyata. Kultivar Rase memiliki
serapan P yang cenderung lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul.
Demikian juga pada musim kemarau.
Rerata komponen hasil rata-rata harian yang tidak berinteraksi antara musim,
kultivar dan atau penjalar, antar musim tanam, kultivar dan penjalar disajikan pada
Tabel 30. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 116, 118-120 dan 122.
92
Tabel 30. Serapan N dan K, beratkering brangkasan dan hasil biji per tanaman rata-rata / hari antar musim, kultivar dan penjalar
a. Berat kering brangkasan rata-rata per hari pada musim hujan dan kemarau л®´¿µ«¿² Þ»®¿¬ µ»®·²¹ Þ®¿²¹µ¿¿² rata-rata per hari ¹ ñí³î Ó«·³ Ø«¶¿² éôéðè ¿ Õ»³¿®¿« ïôïðé ¾ Angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5%
b. Serapan N dan K, dan hasil biji per tanaman rata-rata / hari kultivar Rase dan Putih Gunungkidul
л®´¿µ«¿² Í»®¿°¿² Þ»®¿¬ Ø¿·´ Þ·¶· Ò ¹ñ¬¿² Õ ¹ñ¬¿² ¹ ñÌ¿²¿³¿² Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ðôðïè ¾ ðôððç ¾ ðôðèç ¾ ο» ðôðîî ¿ ðôðïî ¿ ðôïîé ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5%
c. beratkering brangkasan per petak rata-rata / hari antar penjalar Perlakuan Berat kering Brangkasan g /3m2 Tanpa Penjalar 4,662 a Penjalar Jagung O 4,383 ab Jagung 2 3,746 b Jagung 4 4,150 ab Bambu 5,095 a Angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Sidik ragam juga menunjukkan bahwa terjadi beda nyata antar perlakuan
musim tanam pada variabel berat kering brangkasan per petak. Tabel 30a juga
menunjukkan bahwa berat kering brangkasan rata-rata / hari pada musim hujan lebih
tinggi dibanding musim kemarau.
Perbedaan kultivar menyebabkan beda nyata pada variabel serapan N dan K.
Tabel 30b memperlihatkan bahwa serapan N dan K pada Kultivar Rase lebih tinggi
dibanding Kultivar Putih Gunungkidul. Hasil biji per tanaman rata-rata / hari pada
kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul.
93
Sidik ragam menunjukkkan bahwa terjadi beda nyata antar perlakuan rangka
penjalar pada variabel berat kering brangkasan rata-rata / hari. Tabel 30c juga
menunjukkan bahwa berat kering brangkasan pada rangka penjalar jagung 2 minggu
lebih rendah dibanding penjalar bambu dan tanpa rangka penjalar. Rendanya berat
kering brangkasan dengan penjalar jagung disebaban kerapatan karabenguk hanya
separoh dibanding tanpa penjalar dan penjalar bambu.
Hubungan antar komponen vegetatif dan hasil rata-rata harian.
Berat biji per tanaman pada musim hujan dengan penjalar jagung 4 minggu
lebih tinggi dibanding tanpa penjalar. Hal tersebut didukung oleh tingginya berat
kering brangkasan per tanaman dan serapan N, P dan K. Pada musim kemarau, hasil
per tanaman tertinggi dicapai dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan tidak
berbeda nyata dengan penjalar bambu dan kontrol. Hal tersebut juga didukung oleh
tingginya serapan N ( Tabel 28 ). Kultivar Rase pada musim hujan menghasilkan biji
per petak lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul, sedang pada musim
kemarau hal tersebut tidak berbeda nyata. Hal tersebut juga didukung oleh serapan P
( Tabel 29 ). Berat brangkasan per petak pada musim hujan juga lebih tinggi
dibanding musim kemarau ( Tabel 30a ). Hasil biji kultivar Rase lebih tinggi
dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini juga didukung oleh serapan N dan K (
Tabel 30b ). Berat brangkasan per petak pada kontrol dan penjalar bambu lebih tinggi
dibanding penjalar jagung 2 minggu ( Tabel 30c ).
94
3. Komponen bagian Vegetatif dan Hasil Jagung
Ada 4 variabel yang diamati untuk melihat komponen bagian vegetatif dan
hasil jagung yaitu berat kering brangkasan jagung, hasil biji, bobot 100 biji dan hasil
biji per tanaman. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 123 hingga 127.
Dari 4 variabel tersebut yang berinteraksi antar musim dan kultivar penjalar
adalah bobot 100 biji jagung. Hal tersebut disajikan pada Tabel 31. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 126.
Tabel 31. Bobot 100 biji jagung pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® µ¿®¿¾»²¹«µ ŠÖ¿¹«²¹ Þ±¾±¬ ïðð¾·¶· ø ¹ ÷ Ø«¶¿² Ö¿¹«²¹ ïëôìê ¹¸ Ø«¶¿² Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ð ïîôêè ¸ Ø«¶¿² Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ î îïôîé ½¼» Ø«¶¿² Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ì îèôðé ¿ Ø«¶¿² Õ«´¬·ª¿® ο» ó Ö¿¹«²¹ ð ïêôïí º¹¸ Ø«¶¿² Õ«´¬·ª¿® ο» ó Ö¿¹«²¹ î îìôéí ¿¾½ Ø«¶¿² Õ«´¬·ª¿® ο» ó Ö¿¹«²¹ ì îëôçï ¿¾ Õ»³¿®¿« Ö¿¹«²¹ ïêôèí »º¹¸ Õ»³¿®¿« Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ð îïôíï ½¼» Õ»³¿®¿« Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ î ïçôçì ¼»º¹ Õ»³¿®¿« Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ì îðôïç ½¼»º Õ»³¿®¿« Õ«´¬·ª¿® ο» ó Ö¿¹«²¹ ð ïçôîï ¼»º¹ Õ»³¿®¿« Õ«´¬·ª¿® ο» ó Ö¿¹«²¹ î ïçôëë ¼»º¹ Õ»³¿®¿« Õ«´¬·ª¿® ο» ó Ö¿¹«²¹ ì îîôèì ¾½¼
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Antara musim dan gabungan kultivar penjalar berinteraksi pada variabel bobot
100 biji. Tabel 31. memperlihatkan bahwa pada musim hujan, bobot 100 biji tertinggi
jagung 4 minggu pada kultivar karabenguk Putih Gunungkidul, tidak berbeda nyata
dengan jagung 4 minggu dan 2 minggu pada kultivar Rase. Perlakuan lain
95
menghasilkan bobot 100 biji yang rendah, termasuk kontrol yang berupa tanaman
monokultur. Pada musim kemarau, bobot 100 biji tertinggi jagung umur 4 minggu
pada kultivar Putih Gunungkidul, tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain namun
lebih tinggi secara nyata dibanding kontrol yang berupa jagung monokultur. Hal ini
menunjukkan interaksi positif, pertanaman karabenguk mampu meningkatkan bobot
100 biji jagung sebagai penjalarnya.
Pada komponen bagian vegetatif dan hasil jagung, tidak ada beda nyata antar
hasil jagung. Hal tersebut disajikan pada Tabel 32. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 124 dan 125.
Tabel 32. Berat hasil jagung pada 2 musim tanam berbeda
Ó«·³ Þ»®¿¬ Ø¿·´ Þ·¶· Ö¿¹«²¹ ¹ ñ í³î ¹ ñ ¬¿²
Ø«¶¿² îìêôèð ¿ íéôèð ¿ Õ»³¿®¿« íðèôðé ¿ ìéôìë ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Brangkasan jagung 0 karena tidak dapat dipanen, menyatu dengan brangkasan karabenguk.
Perbedaan musim tanam tidak mengubah secara nyata hasil per petak dan
hasil per tanaman jagung. Tabel 32. memperlihatkan bahwa hasil jagung musim
kemarau lebih tinggi dibanding musim hujan meskipun tidak berbeda nyata.
.Dari variabel yang diamati, terjadi perbedaan nyata antar perlakuan
gabungan kultivar penjalar pada variabel hasil biji, dan berat brangkasan per petak.
Hal tersebut disajikan pada Tabel 33. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 123
sampai 125.
96
Tabel 33. Berat brangkasan dan hasil jagung 2 kultivar karabenguk pada saat tanam berbeda
л®´¿µ«¿² Þ»®¿¬ µ»®·²¹ Þ®¿²¹µ¿ó Þ»®¿¬ Ø¿·´ Þ·¶· Ö¿¹«²¹ ¿² Ö¿¹«²¹ ¹ ñ í³î ¹ ñ í ³î ¹ñ¬¿² Ö¿¹«²¹ ïéêôèì ¿ íïêôïî ¿¾ îêôêð ¾½ Ь¹µóÖ¹ ð ïîìôèî ¿ ïèîôðê ¾½ íïôïê ¾½ Ь¹µóÖ¹ î ïëçôíë ¿ îéðôçé ¿¾½ ìëôïê ¾ Ь¹µóÖ¹ ì ïììôçð ¿ íèçôêç ¿ êìôçë ¿ ÎóÖ¹ ð çìôéï ¿ ïìèôìç ½ îìôéí ½ ÎóÖ¹ î ïìèôëê ¿ îëìôîê ¿¾½ ìîôíè ¾½ ÎóÖ¹ ì ïêçôçé ¿ íèðôìé ¿ êíôìï¿ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Jg = jagung, PtGk= Putih Gunungkidul, Rs=Rase
Perbedaan kultivar karabenguk dan saat tanam penjalar mengubah secara
nyata hasil jagung per petak dan per tanaman. Tabel 33. memperlihatkan bahwa baik
pada kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, hasil jagung tertinggi adalah pada
saat tanam 4 minggu, tidak berbeda nyata dengan saat tanam 2 minggu dan kontrol
jagung monokultur. Berat jagung per tanaman lebih tinggi pada saat tanam 4 minggu
diikuti saat tanam 2 minggu yang tidak berbeda nyata dengan kontrol monokultur dan
bersamaan tanam pada kultivar Putih Gunungkidul, kemudian kultivar Rase dengan
jagung bersamaan tanam. Hal tersebut menunjukkan adanya kerjasama yang baik
pertanaman karabenguk terhadap jagung, terutama bila jagung ditanam 4 minggu
sebelum karabenguk.
Perbedaan kultivar karabenguk dan saat tanam tidak mengubah berat kering
brangkasan jagung secara nyata. Tabel 33. menunjukkan bahwa berat kering
brangkasan jagung monokultur tertinggi diikuti kultivar Rase dengan jagung 4
minggu, kultivar Putih Gunungkidul dengan jagung umur 2 minggu, kultivar Rase
dengan jagung umur 2 minggu, kultivar Putih Gunungkidul dengan jagung 4 minggu,
97
kultivar Putih Gunungkidul dengan jagung bersamaan tanam dan kultivar Rase
dengan jagung bersamaan tanam.
Hubungan antar komponen hasil jagung.
Hasil jagung musim kemarau lebih tinggi dibanding musim hujan namun tidak
berbeda nyata ( Tabel 32 ). Hasil jagung per petak tertinggi adalah pada saat tanam 4
minggu, tidak berbeda nyata dengan saat tanam 2 minggu dan kontrol jagung
monokultur ( Tabel 33 ).
Hubungan antar komponen hasil jagung disajikan pada Lampiran 181. Antar
komponen hasil jagung ternyata berhubungan erat. Antara hasil, bobot brangkasan,
bobot 100 biji dan hasil per tanaman saling mempengaruhi. Bobot brangkasan yang
semakin tinggi mencerminkan pertumbuhan yang leih baik diikuti meningkatnya
bobot 100 biji, hasil per tanaman dan akhirnya hasil per satuan luas.
4. Komponen tumpangsari dan keharaan tanah
Pada komponen ini diamati 9 variabel yaitu ATER ( area time equivalent
ratio / nisbah kesetaraan lahan dan waktu ), serapan N, serapan P, serapan K, bahan
organik tanah setelah pertanaman, nisbah C/N, N total, P total dan K total tanah. Sidik
ragam disajikan pada Lampiran 127 sampai 135.
Adapun variabel yang berinteraksi antara musim dan gabungan kultivar
penjalar ada 5 komponen yaitu serapan N, serapan P dan serapan K, persentase unsur
hara tanah yang berupa P total dan K total. Hal tersebut disajikan pada Tabel 34.
Sidik ragam disajikan pada Lampiran 128 sampai 130, 134 dan 135.
98
Tabel 34. Serapan NPK dan kandungan unsur P dan K tanah pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® ó Í»®¿°¿² ¹ñ³î ˲«® ¸¿®¿ ¬¿²¿¸ û
л²¶¿´¿® Ò Ð Õ Ð Ì±¬ Õ Ì±¬
Ø«¶¿² Ö¹ ïíôéð ¼» ðôðê ½ íôèì ¼» ïïôêð ¿¾ ðôîì ¾½¼» Ø«¶¿² Ьٵ Ì Ð¶´ ïìôðè » ïôéë ¿¾ éôîï ½¼ ïíôèè ¿ ðôíì ¿ Ø«¶¿² Ьٵ Ö¹ð îïôíî ¿¾½¼ îôíð ¿¾ ïðôïê ¿¾½ çôïï ½¼» ðôîé ¾ Ø«¶¿² Ьٵ Ö¹î ïèôðç ¾½¼ ïôêè ¿¾ èôïì ½ éôíè »º¹ ðôîï ¾½¼»º¹ Ø«¶¿² Ьٵ Ö¹ì îêôðê ¿¾½ ïôçî ¿¾ ïðôéï ¿¾½ èôîï »º¹ ðôîé ¾ Ø«¶¿² Ьٵ Þ¾ ïêôíê ¾½¼ îôðë ¿¾ èôìï ½ ïðôéç ¾½¼ ðôîí ¾½¼»º Ø«¶¿² Î Ì Ð¶´ ïêôéï ¾½¼ ïôèï ¿¾ çôëè ¿¾½ ïîôíì ¿¾ ðôîë ¾½¼ Ø«¶¿² Î Ö¹ð ïèôðí ¾½¼ ïôêè ¿¾ çôìð ¿¾½ èôëé ¼»º ðôîì ¾½¼» Ø«¶¿² Î Ö¹î îìôðë ¿¾½¼ ïôèè ¿¾ ïïôîí ¿¾½ çôïé ½¼» ðôîî ¾½¼»º¹ Ø«¶¿² Î Ö¹ì îçôçç ¿ îôðç ¿¾ ïíôïï ¿ èôìì ¼»º¹ ðôîé ¾ Ø«¶¿² Î Þ¾ îíôéí ¿¾½¼ îôíî ¿¾ ïîôèð ¿¾ ïïôíî ¾½ ðôîê ¾½ Õ»³¿®¿« Ö¹ ïëôîè ½¼ ðôðé ½ ìôîè ¼» êôð𠺹 ðôîï ¾½¼»º¹ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ì Ð¶´ îôëé º ðôîð ½ ïôïî » éôëì »º¹ ðôïè »º¹ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ö¹ð îïôêí ¿¾½¼ îôðð ¿¾ îôëí » éôèè »º¹ ðôïè »º¹ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ö¹î îëôïç ¿¾½ îôìê ¿ îôìð » éôïì »º¹ ðôîð ½¼»º¹ Õ»³¿®¿« Ьٵ Ö¹ì îíôêí ¿¾½¼ îôîé ¿¾ îôìê » èôëè ¼»º ðôðè »º¹ Õ»³¿®¿« Ьٵ Þ¾ íôëç º ðôïé ½ ïôîì » èôèè ½¼» ðôïê º¹ Õ»³¿®¿« Î Ì Ð¶´ ìôìê »º ðôíê ½ ïôéí » êôëî »º¹ ðôïç ¼»º¹ Õ»³¿®¿« Î Ö¹ð ïêôîð ¾½¼ ïôíî ¾ èôèé ¾½ êôéè »º¹ ðôîï ¾½¼»º¹ Õ»³¿®¿« Î Ö¹î îîôíè ¿¾½¼ ïôçé ¿¾ ïïôðì ¿¾½ ëôçï ¹ ðôïê ¹ Õ»³¿®¿« Î Ö¹ì îêôìì ¿¾ îôîî ¿¾ ïðôêì ¿¾½ êôèç »º¹ ðôîð ¼»º¹ Õ»³¿®¿« Î Þ¾ ìôìë »º ðôîí ½ ïôìé » èôïè »º¹ ðôïç ¼»º¹
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Jg = jagung, PtGk= Putih Gunungkidul, Rs = Rase, T Pjl=tanpa penjalar, Bb=bambu
Serapan N, P dan K berinteraksi antara musim dan gabungan kultivar penjalar.
Tabel 34. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase dengan penjalar
jagung 4 minggu menghasilkan serapan N tertinggi. Hal tersebut tidak berbeda nyata
dengan kultivar Rase berpenjalar jagung 2 minggu, penjalar bambu, kultivar Putih
Gunungkidul bersamaan tanam dan umur 4 minggu. Jagung monokultur dan kultivar
Putih Gunungkidul tanpa penjalar memiliki serapan N terrendah. Pada musim
kemarau, kultivar Rase dengan penjalar jagung umur 2 dan 4 minggu serta kultivar
99
Putih Gunungkidul pada semua pertanaman dengan penjalar jagung memiliki Serapan
N tertinggi. Serapan N terrendah terjadi pada kontrol tanpa penjalar dan penjalar
bambu. Pada musim hujan tidak terjadi beda nyata antar serapan P, namun serapan P
karabenguk monokultur dan tumpangsari lebih tinggi dibanding jagung monokultur.
Pada musim kemarau, tumpangsari menyebabkan serapan P lebih tinggi dibanding
monokultur baik jagung maupun karabenguk. Meskipun tidak berbeda nyata, kultivar
Rase menyerap hara K lebih tinggi baik pada musim kemarau maupun hujan,
terutama pada tanaman jagung sebagai tumpangsari.
Kandungan hara tanah setelah percobaan menghasilkan interaksi antara
musim tanam dengan kultivar penjalar. Tabel 34 memperlihatkan bahwa pada musim
hujan, P tanah tertinggi terjadi pada Kultivar Rase tanpa penjalar dan jagung
monokultur. Pada musim kemarau, hara P tertinggi terjadi pada Kultivar Putih
Gunungkidul dengan penjalar bambu dan tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung
4 minggu. Kultivar Putih Gunungkidul tanpa penjalar memberikan K total tanah
paling tinggi dibanding perlakuan lain. Pada musim kemarau, tidak ada beda nyata
antar semua perlakuan.
Pada komponen tumpang sari dan tanah ini, variabel yang tidak berinteraksi
antar musim tanam dan gabungan kultivar penjalar adalah ATER, bahan organik
tanah, %N total dan nisbah C/N. Hal tersebut disajikan pada Tabel 35. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 127, 131-133.
100
Tabel 35. ATER, bahan organik tanah dan nisbah C/N pada musim tanam berbeda.
Ó«·³ ßÌÛÎ ¾¿¸¿² ±®¹¿²·µ ¬¿²¿¸ øû÷ ÝñÒ Ø«¶¿² ïôéë ¿ ðôçé ¿ êôèç ¿ Õ»³¿®¿« ïôìî ¿ ðôêë ¾ ëôïí ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ATER=nisbah kesetaraan lahan dan waktu, BO=bahan organik.
Perbedaan musim tanam menyebabkan perbedaan kadar bahan organik tanah.
Tabel 39 menunjukkan bahwa kadar bahan organik tanah pada musim hujan lebih
tinggi dibanding musim kemarau. Hal ini disebabkan karena perbedaan umur
tanaman. Umur tanaman karabenguk musim hujan 2 kali karabenguk musim kemarau
sehingga menghasilkan bahan organik yang lebih banyak, akhirnya menghasilkan
serasah yang lebih banyak, dan bahan organik mentah yang masuk ke tanah juga
menjadi lebih banyak.
Antar musim menyebabkan perbedaan nyata pada nisbah C/N. Tabel 35 juga
memperlihatkan bahwa nisbah C/N musim hujan lebih tinggi dibanding musim
kemarau. Hal ini disebabkan banyaknya hancuran serasah di permukaan tanah,
menyebabkan jumlah bahan organik mentah belum terdekomposisis yang masuk ke
tanah lebih tinggi sehingga nisbah C/N pada pertanaman musim hujan juga lebih
tinggi.
Perlakuan yang tidak berinteraksi antara musim dan kultivar penjalar namun
berbeda nyata antar kultivar-penjalar adalah ATER. Hal tersebut disajikan pada Tabel
36. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 127, 131-133.
101
Tabel 36. ATER pada 2 kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar
Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿® ßÌÛÎ
Ö¿¹«²¹ ðôéë ½ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ŠÖ¿¹«²¹ ð îôîç ¿¾ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ î ïôëê ¿¾½ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ì îôðç ¿¾ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ óÞ¿³¾« ïôðð ¾½ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´óÌ¿²°¿ л²¶¿´¿® ïôðð ¾½ ο» ó Ö¿¹«²¹ ð ïôçê ¿¾½ ο» ó Ö¿¹«²¹ î îôîé ¿¾ ο» ó Ö¿¹«²¹ ì îôëï ¿ ο» óÞ¿³¾« ïôðð ¾½ ο» ŠÌ¿²°¿ л²¶¿´¿® ïôðð ¾½ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ATER=nisbah kesetaraan lahan dan waktu.
Macam kultivar karabenguk dan perbedaan penjalar menyebabkan perbedaan
ATER. Tabel 36. menunjukkan bahwa kultivar Rase dengan penjalar jagung 4
minggu menghasilkan ATER tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan penjalar
jagung umur 2 minggu dan bersamaan tanan. Pada kultivar Putih Gunungkidul,
penjalar jagung bersamaan tanam, umur 4 minggu dan 2 minggu lebih tinggi secara
nyata dibanding penjalar bambu dan tanaman monokultur.
Baik kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, ATER tertinggi terjadi pada
penjalar jagung umur 4 minggu, penjalar bambu, tanpa penjalar dan penjalar jagung
bersamaan tanam khusus untuk kultivar Putih Gunungkidul. Dengan demikian
penjalar jagung umur 4 minggu, sangat sesuai untuk karabenguk.
102
Hubungan antar komponen tumpangsari dan keharaan tanah
Nisbah kesetaraan lahan dan waktu pada musim hujan lebih tinggi namun
tidak berbeda nyata dibanding musim kemarau ( Tabel 35 ). Hal tersebut
berhubungan dengan tingginya hasil dan umur tanaman musim hujan. Umur
karabenguk musim hujan yang panjang dengan produksi bahan organik yang tinggi
akan menambah hara belum terdekomposisi ke tanah dalam jumlah yang lebih besar.
Pada kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, penjalar jagung meningkatkan
ATER. Hal tersebut disebabkan hasil jagung yang lebih tinggi pada perlakuan
tersebut. Baik pada musim hujan maupun kemarau, kultivar Rase maupun Putih
Gunungkidul, penjalar jagung 4 minggu menggunakan N dan K dengan serapan
tertinggi. Memang P total dan K total tanah tersisa tertinggi pada musim hujan tanpa
penjalar (Tabel 34).
Hubungan antar ATER, serapan N, P dan K disajikan pada Lampiran 182.
Ternyata antar komponen pada Tabel tidak saling mempengaruhi. Tidak ada
hubungan nyata antara ATER, serapan N, P dan K.
5. Penjalar tanaman tahunan sebagai pembanding
Dari berbagai percobaan sebelumnya diketahui bahwa pada musim hujan
penjalar jagung 4 minggu dan bambu memberikan hasil lebih baik. Untuk melihat
hasil pada kedua perlakuan tersebut apakah mampu menyamai hasil karabenguk
dengan penjalar tanaman menahun, pembandingan karabenguk dengan penjalar
tanaman semusim dan tanaman keras dilakukan. Variabel yang digunakan meliputi
hasil biji, hasil biji per tanaman, persentase biji per polong, bobot 100 biji, serapan
103
N, serapan P, serapan K, kadar air biji, kandungan protein dan HCN. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 136 sampai 145.
Antara kultivar dan penjalar berinteraksi pada 6 variabel. Kombinasi hal
tersebut disajikan pada Tabel 37. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 138, 140-
141, 143-145.
Tabel 37. Serapan K, hasil biji, kadar air, kandungan protein dan HCN pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk berbagai rangka penjalar dengan pembanding tanaman tahunan
Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿® Í®° Õ Ø´ Þ·¶· Ø´ Þ·¶· Õßû Ю±¬»·² û ØÝÒ û ø¹ñ¬¿²÷ ø¹ñ¬¿²÷ ø¹ñ°»¬¿µ÷ ¾¾¶µ ¾¾¶µ ¾¾¶µ ο» ֹ쳹 ðôéè ¾½ ììôëë¿ îêéôîé ¿¾ ïìôðî ¿ îçôîë ¾ íôîè ¼ ο» Þ¿³¾« ðôëè ¾½¼ íîôç翾½ íçëôèð ¿ ïíôêí ¾ îèôíì ½¼ íôéé ¾ ο» Í·²¹µ±²¹ ïôêê ¿ ìíôðê¿ îëèôíí ¿¾½ ïîôèì ¼ îçôïì ¾½ íôëî ½ ο» Ó¿²¹¹¿ ðôîí ½¼ ïíôíç¾½ èðôíí ½ ïíôðð ½ îèôïì ¼ íôîè ¼ Ьٵ ֹ쳹 ðôíê ½¼ îêôð꿾½ ïëêôíé ¾½ ïíôëê ¾ îèôëè ¾½¼ íôèî ¾ Ьٵ Þ¿³¾« ðôïí ¼ çôîî½ ïïðôêí ¾½ ïìôðî ¿ îèôìë ¾½¼ ìôðð ¿ Ð¬Ùµ Í·²¹µ±²¹ ðôçî ¾ îìôè翾½ ïìçôíí ¾½ ïîôêï » íðôíé ¿ íôêç ¾ Ьٵ Ó¿²¹¹¿ ðôëë ¾½¼ ìðôï￾ îìðôêé ¿¾½ ïîôçì ½¼ îçôðî ¾½ íôíç ½¼
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Hsl Biji=berat hasil biji, bbjk=berat biji karabenguk kering. PtGk=Putih Gunungkidul
Tabel 37 menunjukkan bahwa hasil biji kultivar Rase per tanaman pada
penjalar jagung 4 minggu tertinggi, tidak berbeda nyata dengan penjalar singkong dan
penjalar bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul tidak ada beda nyata antar
perlakuan penjalar pada hasil biji per tanaman.
Hasil biji per petak pada kultivar Rase dengan penjalar jagung 4 minggu juga
lebih tinggi dibanding penjalar tanaman mangga, namun tidak berbeda nyata dengan
penjalar singkong dan bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul juga tidak ada beda
104
nyata antar perlakuan pada hasil biji per petak. Satu hal yang penting dari hasil ini
adalah penggunaan jagung umur 4 minggu sebagai penjalar ternyata menghasilkan
biji dengan kuantitas hasil biji per tanaman dan per petak yang tidak lebih rendah
dibanding penjalar tanaman keras.
Kultivar Rase dengan penjalar singkong menyebabkan serapan K lebih tinggi
dibanding perlakuan lain. Pada Kultivar Putih Gunungkidul, serapan K tertinggi pada
penjalar singkong, tidak berbeda nyata dengan penjalar mangga, diikuti penjalar
jagung 4 minggu yang tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu.
Pada Kultivar Rase, kadar air pada penjalar jagung 4 minggu tertinggi, diikuti
penjalar bambu, penjalar mangga dan terakhir penjalar singkong. Pada Kultivar Putih
Gunungkidul, kadar air tertinggi pada penjalar bambu, diikuti penjalar jagung 4
minggu, penjalar mangga dan terakhir penjalar singkong.
Tabel 37. menunjukkan bahwa pada Kultivar Rase, persentase protein
karabenguk pada penjalar jagung 4 minggu lebih tinggi, dan tidak berbeda nyata
dengan penjalar singkong, diikuti penjalar bambu yang tidak berbeda nyata dengan
penjalar mangga. Pada Kultivar Putih Gunungkidul, persentase biji protein lebih
tinggi dibanding perlakuan lain.
Tabel 37. juga menunjukkan bahwa pada Kultivar Rase, persentase HCN pada
penjalar jagung 4 minggu dan mangga terendah diikuti penjalar singkong dan
tertinggi penjalar bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul, terendah penjalar mangga
diikuti penjalar jagung 4 minggu dan penjalar singkong dan penjalar bambu tertinggi.
105
Komponen variabel bagian vegetatif dan hasil yang tidak berinteraksi pada
percobaan pembanding rangka penjalar tanaman keras namun berbeda nyata antar
kultivar adalah serapan N dan P. Hal tersebut disajikan pada Tabel 38. Sidik
ragamnya disajikan pada lampiran 136 –137, 139 dan 142.
Tabel 38. Serapan N dan P dua kultivar karabenguk
Õ«´¬·ª¿® Í»®¿°¿² ø¹ñ¬¿²÷ Ò Ð Ð«¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ðôìç ¾ ðôïð ¾ Î¿» ïôðé ¿ ðôïê ¿ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%.
Tabel 38. memperlihatkan bahwa serapan N pada kultivar Rase lebih tinggi
dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini mendukung penelitian yang lebih awal
(Penelitian I dan II), yang menunjukkan bahwa kultivar Rase memiliki hasil yang
lebih tinggi. Serapan P kultivar Rase juga lebih tinggi dibanding kultivar Putih
Gunungkidul. Hal ini juga sejalan dengan serapan N, dan mendukung hasil Penelitian
I dan Penelitian II yang menunjukkan bahwa kultivar Rase memiliki kelebihan.
Adapun komponen pertumbuhan dan hasil yang tidak berinteraksi pada
penjalar adalah serapan N dan P, persentase biji / polong dan bobot 100 biji namun
bobot 100 biji tidak berbeda nyata antar penjalar. Hal tersebut disajikan pada Tabel
39. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 136-137, 139 dan 142.
106
Tabel 39. Serapan N, P dan %Bj-Plng karabenguk pada rangka penjalar berbeda.
л²¶¿´¿® Í»®¿°¿² ø¹ñ¬¿²÷ û Þ»®¿¬ Þ·¶· ñб´±²¹ Ò Ð Ö¿¹«²¹ ì ðôçì ¾ ðôïî ¾ ëëôçí ¿¾ Þ¿³¾« ðôëé ¾½ ðôðé ¾ ëðôçé ½ Í·²¹µ±²¹ ïôêð ¿ ðôîì ¿ ëíôèí ¾½ Ó¿²¹¹¿ ðôìð½ ðôðè ¾ ëèôìï ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%.
Tabel 39 memperlihatkan bahwa penjalar mangga menghasilkan biji per
polong lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan jagung 4 minggu, diikuti penjalar
singkong dan terakhir penjalar bambu.
Sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan macam penjalar menyebabkan
beda nyata pada variabel serapan N dan P. Tabel 39 memperlihatkan bahwa serapan
N pada penjalar singkong tertinggi diikuti penjalar jagung 4 minggu yang tidak
berbeda nyata dengan penjalar bambu dan terakhir adalah penjalar mangga. Serapan P
pada penjalar singkong juga lebih tinggi dibanding perlakuan penjalar yang lain.
Hubungan antar komponen hasil penjalar tanaman tahunan sebagai
pembanding
Hasil biji per petak tertinggi tetap ada pada kultivar Rase dengan penjalar
bambu dan tidak berbeda nyata dengan Rase berpenjalar jagung umur 4 minggu dan
Rase dengan penjalar singkong dan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga
(Tabel 37). Rase berpenjalar jagung 4 minggu memberikan hasil per tanaman
tertinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan Rase berpenjalar bambu dan singkong
serta Putih Gunungkidul berpenjalar mangga, singkong dan jagung 4 minggu.
107
Untuk serapan K tertinggi pada Rase dengan penjalar singkong, HCN
terendah pada Rase dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan penjalar mangga,
tidak berbeda nyata dengan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Rase dengan penjalar jagung berumur 4 minggu
menghasilkan biji dengan kualitas dan kuantitas hasil yang baik dicirikan dengan
hasil biji per tanaman dan per petak yang tinggi, kandungan protein yang relative
tinggi serta HCN yang relative rendah meskipun kadar air tinggi. Tingginya kadar air
saat panen dapat diatasi dengan penjemuran setelah panen.
Persentase serapan N dan P untuk kultivar Rase lebih tinggi dibanding Putih
Gunungkidul. Hal ini mencerminkan bahwa kultivar Rase lebih unggul dibanding
Putih Gunungkidul, dicirikan lebih mampu menyerap hara dalam jumlah lebih besar.
6. Kecepatan pertumbuhan
Untuk melihat pertumbuhan tanaman, diamati koefisien regresi 3 variabel
yaitu kandungan klorofil total, indeks luas daun dan diameter batang. Pengamatan
dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Hasilnya untuk tiap perlakuan dan ulangan
dianalisis dengan regresi linear sederhana : Y = a+bX. Nilai slop untuk masing-
masing perlakuan dan ulangan kemudian dianalisis dengan analisis varian 2 faktor.
Anova disajikan pada Lampiran 146 hingga 148. Hasilnya disajikan pada Tabel 40
sampai 42.
Koefisien regresi klorofil daun disajikan pada Tabel 40. Sidik ragam disajikan
pada Lampiran 146.
108
Tabel 40. Koefisien regresi klorofil total daun (g/m2 lahan) antar musim pada 2 kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿® Ö¿¹«²¹ ö÷ Õ±²¬®±´ Ö¿¹«²¹ ð Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ø«¶¿² ο» ïíëï ¿ ïîêë ¿¾ ïðïè ¿¾ îëê ¼ ïíëé ¿ Ы¬·¸ Ùµ îïç ¼ èëï ¿¾ ïððê ¿¾ éíç¾ ½ íéð ½¼ ïîìð ¿¾ Õ»³¿®¿« ο» ïìï ¼ íî ¼ ëì ¼ íì ¼ ïïé ¼ Ы¬·¸ Ùµ éë ¼ îðê ¼ î ¼ ïëí ¼ èï ¼ çé ¼ Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, ö÷ = jagung monokultur, Kontrol=tanpa penjalar
Pada musim kemarau, perbedaan penjalar dan kultivar karabenguk tidak
menyebabkan perbedaan koefisien regresi klorofil daun. Pada musim penghujan,
penjalar bambu dan tanpa penjalar manghasilkan koefisien regresi klorofil lebih
tinggi dibanding jagung 4 minggu dan jagung monokultur. Koefisien regresi klorofil
musim hujan juga lebih tinggi dibanding musim kemarau. Hal tersebut disajikan
pada Gambar 7.
ð
ðòî
ðòì
ðòê
ðòè
ï
ïòî
ïòì
ïòê
ï î í ì ë ê é
Bulan ke
Ì¿²¿³¿²Ó«·³Ø«¶¿²
Ì¿²¿³¿²Ó«·³Õ»³¿®¿«
Gambar 7. Klorofil total karabenguk berdasarkan bulan pengamatan pada 2 musim berbeda.
Keterangan : tanaman musim hujan bulan ke 1 s.d 7, tanaman musim kemarau bulan ke 5 s.d 7
109
Klorofil total daun karabenguk hingga bulan ke dua ( bulan ke 6 untuk
tanaman musim hujan ) masih sama antara musim hujan dengan musim kemarau.
Pada bulan ke tiga ( bulan ke 7 untuk tanaman musim hujan ), klorofil daun pada
pertanaman musim kemarau telah menurun drastik seiring masuknya ke periode
pertumbuhan generatif dan menuanya tanaman. Pada pertanaman musim hujan, hal
tersebut terus meningkat cepat hingga bulan ke empat.
Pada musim kemarau, perbedaan kultivar dan penjalar tidak menyebabkan
perbedaan nyata antar peningkatan klorofil daun. Hal ini disebabkan karena
melimpahnya sinar matahari. Pada musim hujan dan kultivar Rase, karabenguk
dengan jagung 4 minggu dan jagung monokultur memiliki pertumbuhan klorofil yang
lebih lambat. Demikian pula pada musim hujan, perlakuan jagung 2 minggu dan 4
minggu serta jagung monokultur lebih rendah dibanding perlakuan lain. Hal tersebut
disebabkan karena dedaun lebih banyak dan mengumpul sehingga banyak daun yang
kekurangan cahaya dan menyebabkan kandungan klorofilnya rendah.
Adapun koefisien regresi indeks luas daun disajikan pada Tabel 41. Sidik
ragam disajikan pada Lampiran 147.
Tabel 41. Koefisien regresi indeks luas daun pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿® Ö¿¹«²¹ ö÷ Õ±²¬®±´ Ö¿¹«²¹ ð Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ø«¶¿² ο» íôíç ¿ íôîí¿ îôéì¿ ïôðé ½¼» íôìê ¿ Ы¬·¸ Ùµ ïôîè ¾½¼ îôîè ¿¾ îôçì¿ îôî꿾½ ïôíì ¾½¼ íôðë ¿ Õ»³¿®¿« ο» ðôìï ¼» ðôîç» ðôìì¼» ðôíì ¼» ðôíê » Ы¬·¸ Ùµ ðôêì ¼» ðôêí ¼» ðôîì» ðôêí¼» ðôìì ¼» ðôíï »
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Putih Gk=Putih Gunungkidul, ö÷ = jagung monokultur, Kontrol=tanpa penjalar
110
Seperti halnya koefisien regresi klorofil, pada musim kemarau tidak ada beda
nyata antar perlakuan penjalar pada koefisien regresi indeks luas daun. Pada musim
hujan dan kultivar rase, penjalar bambu dan tanpa penjalar menghasilkan koefisien
regresi indeks luas daun lebih tinggi dibanding jagung monokultur dan jagung 4
minggu sedang pada kultivar putih gunungkidul, hanya penjalar bambu saja yang
lebih tinggi. Tabel 41 memperlihatkan bahwa antar musim terjadi beda nyata. Sebagai
tanaman tumpangsari ternyata pertumbuhan jagung-karabenguk dan karabenguk saja
selama musim hujan lebih cepat dibanding musim kemarau. Hal tersebut disajikan
pada Gambar 8.
ð
ï
î
í
ì
ë
ê
é
ï î í
Umur Tanaman (bulan)
Ö¹óÕ¾
Õ¾
Ö¹
ð
ï
î
í
ì
ï î í
Umur Tanaman (bulan)
Ö¹óÕ¾
Õ¾
Ö¹
Tanaman musim hujan Tanaman musim kemarau
Gambar 8. Indeks luas daun pertanaman jagung ( jg ), karabenguk ( kb ) dan tumpangsari keduanya ( jg-kb ) berdasarkan umur tanaman pada Musim Hujan dan Kemarau.
Seperti halnya parameter yang lain, indeks luas daun (ILD) tanaman baik
jagung, karabenguk maupun tumpangsarinya pada musim kemarau lebih rendah
dibanding musim hujan. Hanya saja memang untuk karabenguk pada bulan ke dua
lebih tinggi pada pertanaman musim kemarau. Hal tersebut disebabkan karena
111
pertanaman karabenguk musim kemarau mencapai pertumbuhan maksimumnya yaitu
menjelang tanaman memasuki periode generatif.
Pada musim kemarau, antar kultivar penjalar tidak berbeda nyata. Pada musim
hujan, rangka penjalar jagung 4 minggu menyebabkan ILD lebih rendah dibanding
perlakuan lain. Karena tekanan tanaman rangka penjalarnya, terjadi penaungan pada
karabenguk sehingga pertumbuhan ILDnya lambat, namun ternyata hasil biji lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena peneduhan yang juga menyebabkan lingkungan
yang lebih baiik bagi pertumbuhan tanaman karabenguk.
Koefisien regresi diameter batang disajikan pada Tabel 42. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 148.
Tabel 42. Koefisien regresi diameter batang pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar
Ó«·³ Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿® λ®¿¬¿ Õ±²¬®±´ Ö¿¹«²¹ ð Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ø«¶¿² ο» íôçí íôçè ìôíë ìôíð ëôðî Ы¬·¸ Ùµ ìôìé ëôïé ìôîè ìôêî íôíè ìôíë ¿ Õ»³¿®¿« ο» ïôíë ïôîè ðôèè ðôéé ïôèî Ы¬·¸ Ùµ îôîî îôðé ïôëð ðôèí îôðè ïôìè ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, Kontrol = tanpa penjalar
Pada variabel koefisien regresi diameter batang, antar kultivar dan penjalar
tidak menunjukkan beda nyata, antar musim berbeda nyata dan ke dua faktor tersebut
tidak berinteraksi. Tabel 42 memperlihatkan bahwa koefisien regresi diameter batang
pada musim hujan lebih cepat dibanding musim kemarau. Hal tersebut disajikan pada
Gambar 9.
112
ð
ë
ïð
ïë
îð
ï î í ì ë ê é
Bulan ke
Ì¿²¿³¿²Ó«·³ Ø«¶¿²
Ì¿²¿³¿²Ó«·³Õ»³¿®¿«
Gambar 9. Diameter batang karabenguk berdasarkan bulan pengamatan pada 2 musim berbeda
Keterangan : Tanaman musim hujan bulan ke 1 s.d 7, tanaman musim kemarau bulan ke 5 s.d 7
Diameter batang tanaman pada musim hujan umur 3 bulan dapat hampir 2
kali lipat diameter batang pada musim kemarau. Akibat pertumbuhan vegetatif yang
sangat kuat pada musim hujan mempengaruhi peralihan ke fase generatif yang
tertunda sangat lama. Fase generatif terjadi setelah musim kemarau tiba, dan
bersamaan dengan tanaman yang ditanam pada awal musim kemarau (marengan).
Hubungan antar komponen pertumbuhan
Pertumbuhan klorofil, indeks luas daun dan diameter batang musim hujan
lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan, peningkatan klorofil dan
indeks luas daun pada penjalar bambu lebih tinggi dibanding jagung 4 minggu. Pada
musim hujan peningkatan klorofil dan indeks luas daun antar penjalar tidak berbeda
nyata.
113
7. Pembahasan 2 kultivar karabenguk pada 2 musim tanam dan berbagai penjalar
Komponen vegetatif dan hasil
Perlakuan pada musim hujan dengan kultivar Rase menggunakan penjalar
bambu menghasilkan berat biji total per petak tertinggi. Perlakuan penjalar bambu
belum tentu terbaik disebabkan populasi yang per petak tinggi 2 kali lipat dibanding
perlakuan dengan penjalar jagung ( Tabel 21 ). Bila dilihat hasil per tanaman,
perlakuan musim hujan dan kultivar Rase memberikan hasil paling tinggi ( Tabel 22
). Hasil per tanaman pada musim hujan tertinggi dengan penjalar jagung 4 minggu.
Hal tersebut juga didukung kualitas biji yang lebih baik tercermin pada kandungan
protein yang lebih tinggi (Tabel 24). Hasil kultivar Rase musim hujan dengan
penjalar bambu adalah 1.318,01 kg/ha sedang dengan penjalar jagung 4 minggu
dengan populasi karabenguk separohnya adalah sebesar 890,01 kg/ha. Dengan
adanya tambahan hasil jagung sebagai penjalar umur 4 minggu memungkinkan
penjalar jagung umur 4 minggu merupakan penjalar yang terbaik pada musim hujan.
Pada musim kemarau, kultivar Putih Gunungkidul menggunakan penjalar
bambu menghasilkan berat biji total tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan kultivar
Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam (Tabel 21). Seperti halnya
pada musim hujan hal ini berhubungan dengan populasi yang tinggi 2 kali lipat
dibanding perlakuan dengan penjalar jagung. Pada musim kemarau, hasil per tanaman
tertinggi dicapai oleh penjalar jagung bersamaan tanam yang tidak berbeda nyata
dengan penjalar bambu. Pada musim kemarau kandungan protein tertinggi juga
diperoleh pada penjalar jagung bersamaan tanam (Tabel 24). Hasil kultivar Rase
musim kemarau dengan penjalar bambu adalah 577,19 kg/ha sedang dengan penjalar
114
jagung bersamaan tanam dengan populasi karabenguk separohnya adalah sebesar
408,49 kg/ha. Dengan adanya tambahan hasil jagung bersamaan tanam sebagai
penjalar memungkinkan penjalar jagung bersamaan tanam merupakan penjalar yang
terbaik pada musim kemarau.
Hasil biji per tanaman yang tinggi pada musim hujan dengan penjalar jagung
terutama 4 minggu juga didukung oleh tingginya persentase serapan NPK dan berat
kering brangkasan ( Tabel 24 ). Tingginya hasil pada musim penghujan juga
disebabkan oleh ILD, kandungan klorofil dan berat kering brangkasan yang lebih
tinggi ( Tabel 25 ).
Hasil rata-rata per hari
Hasil biji per tanaman pada musim hujan dengan penjalar jagung 4 minggu
lebih tinggi dibanding tanpa penjalar. Hal tersebut didukung oleh tingginya berat
kering brangkasan per tanaman dan serapan N, P dan K ( Lampiran 183 ). Pada
musim kemarau, hasil per tanaman tertinggi dicapai dengan penjalar jagung
bersamaan tanam dan tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu dan kontrol. Hal
tersebut juga didukung oleh tingginya serapan N ( Tabel 28 ). Kultivar Rase pada
musim hujan menghasilkan biji per petak lebih tinggi dibanding kultivar Putih
Gunungkidul, sedang pada musim kemarau hal tersebut tidak berbeda nyata. Hal
tersebut juga didukung oleh serapan P. Berat brangkasan per petak pada musim hujan
juga lebih tinggi dibanding musim kemarau ( Tabel 29 ). Hasil biji kultivar Rase lebih
tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini juga didukung oleh serapan N
dan K. Berat brangkasan per petak pada kontrol dan penjalar bambu lebih tinggi
dibanding penjalar jagung 2 minggu ( Tabel 30 ).
115
Hasil jagung
Hasil jagung musim kemarau tidak berbeda nyata dibanding musim hujan.
Hasil jagung per petak tertinggi adalah pada karabenguk kultivar Rase saat tanam 4
minggu, tidak berbeda nyata dengan saat tanam 2 minggu dan kontrol jagung
monokultur (Tabel 33).
Komponen tumpangsari
ATER pada musim hujan lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dibanding
musim kemarau ( Tabel 35 ). Pada kultivar Rase umur 4 minggu dan Putih
Gunungkidul bersamaan tanam, ATER tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan
penjalar jagung yang lain. Baik pada musim hujan maupun kemarau, kultivar Rase
maupun Putih Gunungkidul, penjalar jagung 4 minggu menggunakan N dan K dengan
serapan peringkat tertinggi ( Tabel 34 ).
Tanaman tahunan sebagai rangka penjalar pembanding pada musim hujan
Hasil tertinggi tetap ada pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan tidak
berbeda nyata dengan Rase berpenjalar jagung umur 4 minggu, Rase dengan penjalar
singkong dan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga Demikian pula halnya
dengan hasil per tanaman. HCN terendah pada Rase dengan penjalar jagung umur 4
minggu dan penjalar mangga, tidak berbeda nyata dengan Putih Gunungkidul dengan
penjalar mangga (Tabel 37).. Persentase biji per polong tertinggi pada penjalar
mangga namun tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung umur 4 minggu. Serapan
N dan P untuk Kultivar Rase lebih tinggi dibanding Putih Gunungkidul (Tabel 39).
Hal ini mencerminkan bahwa Kultivar Rase lebih unggul dibanding Putih
Gunungkidul, dicirikan lebih mampu menyerap hara dalam jumlah lebih besar.
116
Pertumbuhan tanaman
Koefisien regresi klorofil, ILD dan diameter batang musim hujan lebih tinggi
dibanding musim kemarau. Pada musim hujan klorofil dan ILD antar penjalar tidak
berbeda nyata (Tabel 40, 41, 42 dan Gambar 7, 8, 9).
Bahasan hasil percobaan penjalar, musim tanam dan kultivar
Penjalar karabenguk sebagai tanaman pangan. Ke 4 macam mikrobia
Aspergilus oryzae, Aspergilus. sojae, Rhizopus. oligosporus dan Rhizopus oryzae
memiliki aktivitas enzimatis menurunkan kandungan glukosidase sianogenic
(Wedhastri, 1993). Cara mudah yang lain untuk menghilangkan racun karabenguk
adalah dengan merendam 3 hari dengan tidap hari diganti airnya ( Handajani et al.,
1996 ). Cara-cara tersebut penting dalam rangka mempopulerkan karabenguk sebagai
penghasil protein alternatif pada wilayah dengan lahan yang tidak subur.
Rangka penjalar mampu meningkatkan hasil ubi jalar (Mitoyat dan Widodo,
1978 ). Menurut Handajani et al.( 1996 ), rangka penjalar tanaman keras mampu
meningkatkan hasil karabenguk. Apabila diperhitungkan dengan luas lahan, dapat
dibuktikan ternyata penjalar jagung untuk karabenguk cukup meningkatkan hasil
dibanding tanaman keras. Hasil total tertinggi dicapai pada kultivar rase dengan
penjalar jagung 4 minggu pada musim hujan dan bersamaan tanam pada musim
kemarau. Sebagai pupuk hijau, karabenguk meningkatkan hasil jagung dan
keseimbangan nitrogen tanah lebih baik ketika hasil fiksasi nitrogen dirubah sebagai
biomas tanaman ( Okito et al., 2004 ).
Pada musim hujan penjalar jagung 4 minggu menghasilkan biji tertinggi,
disebabkan pertumbuhan karabenguk yang cepat sehingga saat menjalar sudah ada
117
rambatan. Pada musim kemarau jagung bersamaan tanam terbaik disebabkan
pertumbuhan karabenguk yang relatif lambat dan dampak penaungan minimal.
Hasil rata-rata karabenguk dengan penjalar bambu 727,67 kg/ha, jagung
bersamaan tanam 465,57 kg/ha, tanpa penjalar 405,79 kg/ha, penjalar jagung 4
minggu 380,98 kg/ha dan penjalar jagung 2 minggu 352,25 kg/ha.
Musim tanam kemarau dan penghujan. Penelitian di lapangan terdiri dari
penggunaan rangka penjalar dan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah,
keduanya dilakukan pada musim hujan dan musim kemarau. Adapun curah hujan
selama musim tanam di lapangan tersebut disajikan pada Gambar 10.
Penelitian pada musim penghujan dilakukan pada 3 bulan pertama dengan
curah hujan 888 mm atau 296 mm/bulan, dan total curah hujan selama pertanaman
atau 7 bulan ( akhir bulan Desember 2002 hingga awal bulan Agustus 2003 ) adalah
1186 mm atau 169 mm/bulan. Penelitian pada musim kemarau dilakukan pada curah
hujan 235 mm selama pertanaman atau 3,5 bulan ( akhir bulan April 2003 hingga
awal bulan Agustus ) atau rata-rata 67 mm/bulan.
Faktor curah hujan sangat berpengaruh pada keberadaan lengas tanah. Adapun
kandungan lengas tanah akhir musim penghujan hingga musim kemarau disajikan
pada Gambar 11. Data disajikan pada Lampiran 200.
118
îíçïèé
ìïé
îêë
íë
ïíì
íéð ð
ð
ïðð
îðð
íðð
ìðð
ëðð
ïî ï î í ì ë ê é è
Bulan
óóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóÌ¿²¿³¿² Ó«·³ Ø«¶¿² óóóóóóóóóóóóóóóóÌ¿²¿³¿² Ó«·³ Õ»³¿®¿«
Gambar 10. Curah hujan selama musim tanam di lapangan
ð
ë
ïð
ïë
îð
í ì ë ê é è
Bulan
Ô»²¹¿¬¿²¿¸ øû÷
Õ¿°¿·¬¿´¿°¿²¹¿²
Ì·¬·µ Ô¿§«Ð»®³¿²»²
Gambar 11. Kadar lengas tanah di lapangan berdasarkan bulan pengamatan
Keterangan : Pengamatan Kapasitas Lapangan dan Titik Layu Permanen diamati sekali pada awal penelitian ( bulan ke 3 )
Pada saat tanam, lengas tanah berada pada kapasitas lapangan. Gambar 11
menunjukkan bahwa pada musim kemarau lengas tanah terus menurun. Penurunan
tersebut berhubungan erat dengan menurunnya curah hujan pada Gambar 10. Lengas
tanah yang dapat dimanfaatkan tanaman mulai kapasitas lapangan (pF 2,54 =17,16%)
119
hingga titik layu permanen (pF 4,2 = 7,72%). Penurunan lengas hingga tidak dapat
dimanfaatkan tanaman terjadi menjelang bulan Agustus. Pada bulan tersebut, baik
tanaman musim hujan maupun kemarau telah menyelesaikan hidupnya dengan telah
menghasilkan biji dan merontokkan seluruh daunnya.
Jumlah curah hujan pada musim hujan berbeda dengan musim kemarau. Hal
tersebut tentu berpengaruh pada suhu udara di sekitar pertanaman. Suhu udara yang
tercatat di lokasi penelitian lapangan pada bulan Maret 2003 (musim hujan) dan Juli
2003 (musim kemarau) yang diambil secara acak sebanyak 3 kali untuk masing-
masing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 12.
ð
ë
ïð
ïë
îð
îë
íð
íë
ìð
ë é ç ïî ïì ïé
Pukul
Í«¸«Þ«´¿²Ó¿®»¬Í«¸«Þ«´¿² Ö«´·
Gambar 12. Suhu udara di lokasi penelitian berdasarkan jam pengamatan
Pada musim hujan, suhu siang hari terlihat lebih rendah dibanding musim
kemarau sedang menjelang pagi sebaliknya. Hal ini memberikan indikasi bahwa suhu
120
maksimum harian lebih tinggi dan suhu minimum lebih rendah pada musim kemarau.
Hal tersebut tentu akan berpengaruh pada proses fisiologis tanaman.
Pada karabenguk, pembungaan dipengaruhi oleh hari pendek dan dipacu oleh
suhu malam yang tinggi (21�C). Tanaman memerlukan waktu 2-3 bl untuk berbunga
hingga polong masak dan tanaman mati 45-60 hari setelah membentuk biji (Aiming et
al.; 1999). Umur tanaman yang panjang pada musim hujan disebabkan menunggu
hari pendek untuk berbunga dan hal tersebut terjadi saat musim kemarau. Kanopi
sedang hingga lebat menyebabkan tanaman berbunga pada umur 74 -154 hari dan
penuaan 142 -189 hari sedang pada kanopi tidak lebat menyebabkan tanaman
berbunga pada umur 49 hari dan penuaan umur 118 hari ( Bennett-Lartey, 1998).
Kanopi lebat terjadi akibat pertumbuhan cepat karena air tersedia cukup dan hal
tersebut terjadi pada penanaman musim penghujan. Hasil penelitian membuktikan
bahwa tanaman musim hujan dan kemarau mengalami pembungaan dan panen
bersamaan akibat dipengaruhi hari pendek untuk berbunga.
Kacang tanah musim hujan memiliki pertumbuhan lebih baik. Pemberian
pupuk TSP 200 kg/ha pada musim hujan meningkatkan hasil hingga 12%, namun
pemberian 300 kg/ha pada musim kemarau tidak meningkatkan hasil ( Darmiyati et
al., 1989). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pada musim penghujan, akibat
cukupnya air maka hara menjadi lebih tersedia.
Perbedaan bulan tanam pada kacang tanah tidak mempengaruhi umur
berbunga secara nyata ( Mardjuki, 1984 ). Hal ini menunjukkan perbedaan antara
karabenguk yang untuk berbunga memerlukan hari pendek (Aiming et al., 1999) dan
hal itu tidak terjadi pada kacang tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur
121
tanaman karabenguk bervariasi tergantung saat tanam. Semakin dekat saat tanam
dengan terjadinya hari pendek, umur semakin pendek. Hasil rata-rata musim hujan
adalah 629,93 kg/ha sedang pada musim kemarau 303,9 kg/ha.
Kultivar Rase dan Putih Gunungkidul
Kecuali indeks panen ternyata semua variabel hasil untuk kultivar Rase lebih
tinggi secara nyata disbanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal tersebut didukung
oleh serapan N dan P yang lebih tinggi secara nyata. Demikian pula untuk serapan N,
P dan K harian juga lebih tinggi. Namun hal tersebut tidak disertai lebih tingginya
variabel bagian vegetatif tanaman.
Karabenguk merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (Capo-chichi et al.,
2001). Karabenguk tumbuh cepat sebagai penghasil pangan, pakan dan rehabilitasi
lahan. Terlihat variabilitas pada karakter kualitatif seperti warna bunga, pigmentasi
dan warna biji ( Bennett-Lartey, 1998). Kultivar Rase dan Putih Gunungkidul berbeda
pada warna mahkota bunga disamping juga pada warna biji. Hasil rata-rata Kultivar
Rase ialah 834,80 kg/ha sedang kultivar Putih Gunungkidul 547,50 kg/ha.
122
D. Karabenguk sebagai Tanaman PenutupTanah pada Musim Hujan dan Kemarau
1. Serapan hara dan bagian vegetatif tanaman
Untuk serapan hara dan bagian vegetatif tanaman karabenguk pada
percobaan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah, komponen yang diamati
adalah serapan N, serapan P dan serapan K, klorofil total, diameter batang, indek luas
daun dan bobot kering brangkasan. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 149 sampai
155. Dari berbagai komponen tersebut, 5 variabel diantaranya terjadi interaksi antara
musim dan macam penutup tanah. Hasilnya disajikan pada Tabel 43. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 149-151, 153, 155.
Tabel 43. Serapan hara, ILD dan berat kering brangkasan pada 2 musim tanam
dengan berbagai macam penutup tanah
Ó«·³ л²«¬«° Ì¿²¿¸ Í»®¿°¿² ×ÔÜ ÞµÞ®µ
Òø¹ñ¬¿²÷ Ðø¹ñ¬¿²÷ Õø¹ñ¬¿²÷ ¹ñí³î
Ø«¶¿² ݳ ðôðð ½ ðôðð ½ ðôðð ¼ ðôèê ¼» ðôðð ¼
Ø«¶¿² Ý° ðôðð ½ ðôðð ½ ðôðð ¼ ðôéê » ðôðð ¼
Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ íôêì ¿ ðôìð ¿ ïôèç ¿ îôíé ¿¾ ïìíðôèí ¿
Ø«¶¿² ο» íôçê ¿ ðôíë ¿ ïôéè ¿ îôïé ¾ ïëçîôíð ¿ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ ¼·°«°«µ íôëð ¿ ðôíí ¿ ïôíì ¾ îôíî ¿¾ ïìèïôéë ¿ Ø«¶¿² ο» ¼·°«°«µ ìôïë ¿ ðôìî ¿ ïôèî ¿ îôéì ¿ ïëíîôîî ¿ Õ»³¿®¿« ݳ ðôëð ¾ ðôðì ¾½ ðôíî ½ ïôíï ½ îëïôïí ¾ Õ»³¿®¿« Ý° ðôìï ¾½ ðôðë ¾½ ðôíï ½ ïôëë ½ îëéôêì ¾ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ðôêë ¾ ðôðë ¾½ ðôîë ½¼ ïôîð ½¼ èëôìí ½
Õ»³¿®¿« ο» ðôìë ¾½ ðôðí ¾½ ðôîï ½¼ ïôïì ½¼» ïíîôéì ¾½ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ¼·°«°«µ ðôêî ¾ ðôðë ¾½ ðôîí ½¼ ïôëé ½ ïêðôèê ¾½
Õ»³¿®¿« ο» ¼·°«°«µ ðôçè ¾ ðôðç ¾ ðôìï ½ ïôìì ½ îçêôðî ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ILD= Indeks luas daun, BkBrk = Berat kering brangkasan, Putih Gk = Putih Gunungkidul. ILD dihitung saat masa pertumbuhan sedangkan BkBrk dan serapan dihitung saat panen.
123
Pada penanaman Cm dan Cp musim hujan, serapan NPK nol dan berat
brangkasan nol karena data diambil saat panen, dan tanaman telah mati setelah
pertumbuhan awal. Data indeks luas daun diambil saat pertumbuhan awal sewaktu
tanaman masih hidup.
Sidik ragam menunjukkan bahwa antara musim tanam dan macam penutup
tanah berinteraksi pada variabel serapan N, P dan K. Tabel 43. memperlihatkan
bahwa pada musim hujan, serapan N karabenguk baik dengan pemupukan maupun
tidak lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada musim kemarau tidak ada beda nyata
antar perlakuan. Pada musim hujan, serapan P karabenguk juga lebih tinggi dibanding
Cm dan Cp. Pada musim kemarau tidak ada perbedaan serapan P antar perlakuan.
Penutup tanah karabenguk pada pertanaman musim hujan memiliki serapan K yang
lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada karabenguk dengan pemupukan, Rase
memiliki serapan K yang lebih tinggi dibanding kulivar Putih Gunungkidul. Pada
musim kemarau, tidak terjadi perbedaan nyata antar kombinasi perlakuan.
Sidik ragam menunjukkan bahwa indeks luas daun antar musim dan macam
penutup tanah berinteraksi. Tabel 43. memperlihatkan bahwa pada musim hujan,
indeks luas daun karabenguk lebih tinggi dibanding Cm dan Cp sedangkan pada
musim kemarau tidak terjadi perbedaan nyata.
Sidik ragam variabel berat kering brangkasanpun ternyata antar perlakuan
musim tanam dan macam penutup tanah juga berinteraksi. Tabel 43. juga
menunjukkan bahwa pada musim hujan, berat kering brangkasan karabenguk lebih
tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada musim kemarau kulivar Rase memiliki berat
124
brangkasan yang lebih tinggi dibanding Putih Gunungkidul tetapi tidak berbeda
nyata.
Diameter batang yang diamati berbeda nyata antar musim tanam. Perbedaan
antara musim penghujan dan kemarau disajikan pada Tabel 44. Sidik ragam disajikan
pada Lampiran 154.
Tabel 44. Rerata diameter batang tanaman penutup tanah pada musim tanam
berbeda Ó«·³ Ü·¿³»¬»® ¾¿¬¿²¹ ³³
Ø«¶¿² ïîôîë ¿ Õ»³¿®¿« êôíî ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Sidik ragam variabel klorofil karabenguk menunjukkan tidak adanya beda
nyata antar musim tanam. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh variabel diameter
batang. Tabel 44 memperlihatkan perbedaan nyata antar musim tanam pada diameter
batang. Diameter batang karabenguk musim penghujan lebih tinggi dibanding musim
kemarau.
Tidak berbeda dengan pengaruh musim, perbedaan macam penutup tanah juga
menyebabkan perbedaan diameter batang. Hal tersebut disajikan pada Tabel 45. Sidik
ragam disajikan pada Lampiran 154.
125
Tabel 45. Rerata diameter batang berbagai tanaman penutup tanah л²«¬«° Ì¿²¿¸ Ü·¿³»¬»® ¾¿¬¿²¹ ³³
ݳ ìôéé ¾ Ý° ëôïí ¾ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ïïôèí ¿ ο» ïïôïð ¿ Ð«¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ïïôçë ¿ ο» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ïðôçí ¿ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Sidik ragam variabel klorofil karabenguk menunjukkan tidak adanya beda
nyata antar macam penutup tanah. Tabel 45. memperlihatkan perbedaan nyata antar
macam penjalar pada diameter batang. Seperti halnya variabel yang lain, baik dengan
pemupukan maupun tidak, karabenguk memiliki diameter batang lebih tinggi
dibanding Cm dan Cp.
Hubungan antar komponen vegetatif tanaman penutup tanah.
Karabenguk musim hujan memiliki serapan hara N, P dan K lebih tinggi
dibanding Cm dan Cp. Hal ini disebabkan karena ILD nya yang tinggi, berat kering
brangkasan tinggi (Tabel 43.) dan juga diameter batangnya lebih besar ( Tabel 45 ).
Lebih tingginya lengas tanah karena curah hujan akan melarutkan hara sehingga lebih
terserap tanaman. Pada musim kemarau serapan NPK antar penutup tanah tidak
berbeda nyata. Hal tersebut berhubungan dengan tidak berbeda nyatanya indeks luas
daun. Diameter batang musim hujan lebih tinggi dibanding kemarau.
2. Pertumbuhan tanaman penutup tanah
Untuk melihat pertumbuhan tanaman, diamati koefisien regresi 3 variabel yaitu
diameter batang, indek luas daun dan kandungan klorofil total. Pengamatan dilakukan
126
sebulan sekali selama 3 bulan. Hasilnya untuk tiap perlakuan dan ulangan dianalisis
dengan regresi linear sederhana : Y = a+bX. Regresi linear digunakan mengingat
pertumbuhan merupakan pertambahan berat dan volume. Sebenarnya pertumbuhan
tanaman mengikuti kurve sigmoid. Pendekatan dengan regresi linear sederhana
dilakukan mengingat pengamatan berada di bagian tengah pertumbuhan tanaman atau
pada fase eksponensial dan pada umumnya nilai R² nya lebih dari 80%. Nilai b untuk
masing-masing perlakuan dan ulangan kemudian dianalisis dengan sidik ragam 2
faktor. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 156 sampai 158. Hasilnya disajikan
pada Tabel 46, 47 dan 48.
Adapun koefisien regresi klorofil total daun antar musim dan macam tanaman
penutup tanah disajikan pada Tabel 46. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 156.
Tabel 46. Koefisien regresi klorofil total daun pada berbagai perlakuan tanaman
penutup tanah
Penutup Tanah Musim Hujan Kemarau
Cm 112,16 d 176,13 cd Cp 105,66 d 297,71 b Putih Gunungkidul 474,52 a 148,69 cd Rase 453,72 a 129,39 cd Putih Gunungkidul dengan pemupukan 483,92 a 246,54 bc Rase dengan pemupukan 563,42 a 203,92 bcd
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Pada Tabel 43, Cm dan Cp pada musim hujan tidak menghasilkan brangkasan,
akibat data brangkasan diambil saat panen namun pada Tabel 46 menghasilkan
koefisien regresi mengingat data diambil saat pertumbuhan vegetatif awal.
127
Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada koefisien regresi
klorofil daun. Tabel 46 memperlihatkan kecuali Cm dan Cp, koefisien regresi klorofil
daun musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan,
karabenguk memiliki koefisien regresi klorofil yang lebih tinggi dibanding Cm dan
Cp namun pada musim kemarau berbeda. Pada musim kemarau, Cp memiliki
koefisien regresi klorofil tinggi dan tidak berbeda nyata dengan karabenguk dengan
pemupukan, lebih tinggi dibanding koefisien regresi klorofil Cm dan karabenguk
tidak dengan pemupukan.
koefisien regresi klorofil pada tanaman penutup tanah konvensional yaitu Cm
dan Cp lebih rendah dibanding karabenguk dengan pemupukan namun tidak
berbedanyata dengan karabenguk tanpa pupuk. Pada musim hujan, koefisien regresi
klorofil total karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional,
sedang pada musim kemarau Cp memiliki koefisien regresi klorofil yang lebih tinggi
dibanding karabenguk tidak dengan pemupukan.
Seperti halnya klorofil, pada indek luas daun terjadi interaksi antara musim dan
macam penutup tanah. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 47. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 157.
128
Tabel 47. Koefisien regresi indeks luas daun pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah
л²«¬«° Ì¿²¿¸ Ó«·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
ݳ ðôéí ¼» ðôéç ½¼» Ý° ðôéï » ïôðë ½¼ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ïôéð ¿¾ ðôèí ½¼» ο» ïôëè ¾ ðôéé ½¼» Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ïôêë ¿¾ ïôðê ½ ο» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ïôçë ¿ ðôçë ½¼»
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada variabel koefisien
regresi indeks luas daun. Tabel 47. memperlihatkan koefisien regresi indeks luas daun
karabenguk musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Karabenguk
memiliki koefisien regresi indeks luas daun yang lebih tinggi dibanding Cm dan Cp
pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau hal tersebut tidak berbeda nyata.
Pada musim hujan, pemupukan pada kultivar rase meningkatkan koefisien regresi
indeks luas daun.
Berbeda dengan klorofil dan indeks luas daun, antara musim dan macam
penutup tanah tidak berinteraksi pada diameter batang. Rerata disajikan pada Tabel
48.
Tabel 48. Koefisien regresi diameter batang pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah
л²«¬«° Ì¿²¿¸ Diameter Batang
ݳ ðôéè ¾ Ý° ðôëï ¾ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ îôìí ¿ ο» ðôçí ¾ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ïôìí ¿¾ ο» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôçì ¾
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
129
Tabel 48. memperlihatkan kulivar Rase tanpa pemupukan memiliki batang
dengan koefisien regresi yang lebih kecil dibanding Putih Gunungkidul, sedangkan
setelah dilakukan pemupukan kedua kultivar tidak menunjukkan beda nyata pada
koefisien regresi diameter batang.
Hubungan antar komponen pertumbuhan.
Pada musim hujan, koefisien regresi klorofil karabenguk lebih tinggi
dibanding tanaman penutup tanah konvensional yaitu Cm dan Cp (Tabel 46) namun
pada musim kemarau tidak berbeda nyata. Demikian pula halnya dengan ILD (Tabel
47). Biji Cm dan Cp tidak tahan terhadap tumpat air sehingga tidak mampu tumbuh
pada penanaman musim hujan (Tabel 43). Pemupukan pada kultivar Rase
meningkatkan diameter batang sedang pada kultivar Putih Gunungkidul diameter
batang tidak bertambah ukurannya (Tabel 48), hal ini menunjukkan bahwa kultivar
Rase lebih responsif terhadap tambahan hara.
3. Hasil Tanaman
Pada percobaan ini, fungsi karabenguk sebagai tanaman penutup tanah
diamati berbagai komponen yaitu hasil biji, bobot 100 biji, indeks panen, persentase
berat biji terhadap berat polong, kadar air biji, kandungan protein dan kandungan
HCN. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 159 sampai 165.
Faktor musim dan macam penutup tanah berinteraksi pada komponen bobot
100 biji, indek panen, persentase berat biji terhadap polong, kandungan protein dan
kadar HCN biji ( Tabel 49 ). Sidik ragam disajikan pada Lampiran 159-160, 162,
164-165.
130
Tabel 49. Indeks panen, biji/polong, bobot 100 biji, kadar protein dan kadar HCN
pada 2 musim tanam dan berbagai penutup tanah karabenguk Ó«·³ л®´¿µ«¿² ײ¼»µ Þ¶ñд Þïðð¾ Ю±¬»·² ØÝÒ
п²»² û ¹ û¾¾¶µ û¾¾¶µ
Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ ðôðëð ¼ ëêôðç ¾½ èêôéè ¾ îçôëë ¿ íôîé ½¼ Ø«¶¿² ο» ðôðìí ¼ ëçôíè ¿¾½ éèôêí ¾ îéôçð ¿ íôìë ¾½¼ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµó °«°«µ ðôðìé ¼ ììôìì ¾½ çèôèç ¾ îèôðç ¿ íôëê ¾½ Ø«¶¿² ο»ó °«°«µ ðôðìé ¼ ëîôéé ½¼ èéôðð ¾ îçôîî ¿ íôêí ¾½ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ðôëíí ¿ ìéôèç ¼ êïôïï ½ îêôêè ¿ íôëê ¾½ Õ»³¿®¿« ο» ðôíìé ¾½ êîôçí ¿ ëèôíí ½ îéôîï ¿ ìôïð ¿¾ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµó°«°«µ ðôíéí ¾ ìéôéç ¼ éíôêê ¾½ îêôèï ¿ ìôìë ¿
Õ»³¿®¿« ο» ó °«°«µ ðôîðé ½ ëçôèê ¿¾ ïïèôêð ¿ îðôìï ¾ îôèì ¼
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk = Putih Gunungkidul, Bbjk=berat biji kering.
Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada beberapa variabel.
Tabel 49 memperlihatkan bahwa indeks panen, persentase biji/polong, berat 100 biji,
kandungan protein dan HCN pada musim hujan tidak berbeda nyata antar macam
penutup tanah.
Pada musim kemarau baik dengan pemupukan maupun tidak menggunakan
pupuk, indeks panen kultivar Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding kultivar Rase,
namun persentase biji/polong lebih tinggi kultivar Rase. Berat 100 biji kultivar Rase
meningkat akibat pupuk. Persentase protein dan HCN kultivar Rase justru menurun
akibat pemupukan sedang HCN kultivar Putih Gunungkidul justru meningkat akibat
pupuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa kultivar Rase lebih responsive terhadap
tambahan hara pada kuantitas pertumbuhannya.
131
Komponen hasil tanaman yang tidak berinteraksi antara musim dan penutup
tanah pada musim tanam berbeda disajikan pada Tabel 50. Sidik ragam disajikan
pada Lampiran 161 dan 163.
Tabel 50. Hasil dan kadar air biji tanaman penutup tanah karabenguk pada musim
tanam berbeda
Ó«·³ Ø¿·´ ¾·¶· Õ¿¼¿® ¿·® ¹ñí³î û¾¾¶µ
Ø«¶¿² ïèíôëî ¿ ïíôëç ¿ Õ»³¿®¿« ïðíôçî ¿ ïîôêí ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Bbjk = bobot biji kering
Tabel 50 memperlihatkan bahwa perbedaan musim tanam tidak menyebabkan
beda nyata pada variabel hasil biji. Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh variabel
persentase kadar air biji.
Adapun antar macam komponen hasil tanaman yang tidak berinteraksi antara
musim dan penutup tanah pada penutup tanah yang berbeda, hasil analisisnya
disajikan pada Tabel 51. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 161 dan 163.
Tabel 51. Hasil dan kadar air biji antar tanaman penutup tanah
в¬Ì¿²¿¸ Ø¿·´ ¾·¶· Õ¿¼¿® ¿·® ¾·¶· ¹ ñ°»¬¿µ û¾¾¶µ
Ы¬·¸ Ùµ ïëèôêé ¿ ïíôéì ¿ ο» ïéîôëð ¿ ïíôïï ¿ Ы¬·¸ Ùµ ó °«°«µ ïðéôîî ¿ ïíôíé ¿ ο» ó °«°«µ ïíêôìç ¿ ïîôîî ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, Bbjk=berat biji kering. Pupuk= pupuk organik 30 g/tan.
132
Tabel 51. memperlihatkan bahwa perbedaan tanaman penutup tanah tidak
menyebabkan beda nyata pada variabel hasil biji dan kadar air biji.
Hubungan antar komponen hasil tanaman penutup tanah
Baik pada musim hujan maupun kemarau dan baik kulivar Rase maupun Putih
Gunungkidul ternyata pemberian pupuk organik 125 g/tan tidak meningkatkan hasil
(Tabel 51).
4. Keharaan Tanah setelah Perlakuan
Pada pertanaman menjelang panen diamati contoh tanah untuk berbagai
komponen yaitu kandungan bahan organik, kandungan N total, nisbah C/N , P total
dan K total. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 166 sampai 170.
Interaksi antara musim dan penutup tanah terjadi pada komponen N total
tanah dan K total tanah. Kombinasi hal tersebut tersaji pada Tabel 52. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 167 dan 170.
133
Tabel 52. Unsur N dan K total tanah setelah pertanaman pada musim tanam dan macam penutup tanah yang berbeda
Ó«·³ л²«¬«° Ì¿²¿¸ Ò Ì±¬ û Õ¬±¬ û Ø«¶¿² Ì¿²°¿ ðôðçé ¾ ðôðçí ¼ Ø«¶¿² ݳ ðôîïé ¿ ðôðèð ¼ Ø«¶¿² Ý° ðôðçð ¾ ðôðèð ¼ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ ðôðèé ¾ ðôðèð ¼ Ø«¶¿² ο» ðôðçí ¾ ðôðçí ¼ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôðéí ¾ ðôíìð ¿ Ø«¶¿² ο» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôðéé ¾ ðôîëí ¾ Õ»³¿®¿« Ì¿²°¿ ðôðèí ¾ ðôðïì » Õ»³¿®¿« ݳ ðôðèð ¾ ðôðïï » Õ»³¿®¿« Ý° ðôðèð ¾ ðôðïï » Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ðôðèð ¾ ðôðïï » Õ»³¿®¿« ο» ðôðéé ¾ ðôðïí » Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôðèð ¾ ðôïèð ½ Õ»³¿®¿« ο» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôðéé ¾ ðôïçð ½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk= Putih Gunungkidul.
Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi terhadap kandungan N
dan K tanah setelah pertanaman. Tabel 52. memperlihatkan bahwa kandungan N
tanah pada musim hujan setelah perlakuan lebih tinggi pada Cm dibanding perlakuan
lain, sedang pada musim kemarau tidak berbeda nyata. Kandungan K tanah pada
karabenguk dengan pemupukan lebih tinggi dibanding perlakuan lain.
Komponen kandungan P total tanah pada musim tanam berbeda tidak
berinteraksi antara musim dan penutup tanah. Perbedaan P total tanah antar musim
tanam disajikan pada Tabel 53. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 169.
Tabel 53. Kandungan P total tanah pada musim tanam berbeda Ó«·³ Ь±¬ û Ø«¶¿² ðôïð ¿ Õ»³¿®¿« ðôðë ¾ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
134
Perbedaan musim tanam tidak mengubah bahan organik tanah dan nisbah C/N
setelah perlakuan secara nyata (Lampiran 166, 168). Perbedaan musim tanam
mengubah kandungan P tanah setelah perlakuan secara nyata. Tabel 53 menampilkan
data bahwa kandungan P tanah setelah perlakuan lebih tinggi pada musim hujan
dibanding musim kemarau.
Sidik ragam keharaan tanah yang tidak berinteraksi antara musim dan penutup
tanah disajikan pada Lampiran 166, 168-169. Kandungan P total tanah pada macam
tanaman penutup tanah yang berbeda disajikan pada Tabel 54.
Tabel 54. Kandungan P total tanah pada macam tanaman penutup tanah yang berbeda
л²«¬«° Ì¿²¿¸ Ь±¬û Ì¿²°¿ °»²«¬«° ¬¿²¿¸ ðôðêè ¾ ݳ ðôðêí ¾ Ý° ðôðêé ¾ Õ¿®¿¾»²¹«µ Ы¬·¸ Ùµ ðôðêë ¾ Õ¿®¿¾»²¹«µ ο» ðôðêð ¾ Õ¿®¿¾»²¹«µ Ы¬·¸ Ùµ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôïðé ¿ Õ¿®¿¾»²¹«µ ο» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ðôðçí ¿ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk= Putih Gunungkidul
Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa perbedaan macam penutup tanah
mengubah kandungan P tanah setelah perlakuan secara nyata. Tabel 54 menampilkan
data bahwa kandungan P tanah setelah perlakuan lebih tinggi pada karabenguk
dengan pemupukan dibanding perlakuan lain.
Hubungan antar komponen hara tanah setelah tanaman dipanen
Komponen hara tanah yang dimaksud meliputi kandungan bahan organik, C/N
dan kandungan N, P dan K tanah. Pemupukan dengan pupuk organik 30g/tan
135
meningkatkan kadar K tanah setelah tanaman dipanen (Tabel 52). Pupuk organik
30g/tan tersebut juga meningkatkan kadar P (Tabel 54). Kadar P musim hujan setelah
panen lebih tinggi dibanding musim kemarau (Tabel 53).
5. Peran tanaman terhadap kondisi tanah
Kondisi tanah yang dimaksud dilihat melalui persentase agregasi tanah,
kandungan bahan organik didalam tanah, berat volume dan distribusi pori antara pori
tak tergunakan, pori menahan lengas, pori drainase dan persentase porositas total.
Antara musim tanam dan macam penutup tanah tidak berinteraksi pada komponen
tersebut. Komponen kondisi tanah antar musim penghujan dan kemarau disajikan
pada Tabel 55. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 171 sampai 177.
Tabel 55. Bahan organik, persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah
antar musim tanam.
Musim Õ±²¼·· ¬¿²¿¸
BO Agregat Pori tidak tergunakan
PoriPenahanLengas
Pori drainase
BV б®±·¬¿
% % % % % g/ cm3 û
Ø«¶¿² ïôðð ¿ îíôéí ¾ ïîôç ¿ ïíôç ¿ ìèôé ¿ ïôëï ¿ éëôëð ¿ Õ»³¿®¿« ðôèê ¿ íìôîî ¿ çôð ¾ ïîôë ¿ íïôí ¾ ïôîç ¾ ëîôèï ¾ Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. BO=bahan organik, BV=berat volume.
Antar musim tanam tidak menyebabkan beda nyata terhadap bahan organik
tanah. Tabel 55. memperlihatkan bahwa pertanaman musim hujan menghasilkan
bahan organik tanah dalam jumlah yang lebih besar meskipun tidak berbeda nyata.
Persentase agregat lebih tinggi pada musim kemarau dibanding musim hujan. Hal
136
tersebut disebabkan karena pada musim kemarau kandungan lengas rendah secara
terus menerus.
Antar musim menyebabkan beda nyata pada variabel pori tidak tergunakan,
pori drainase dan persentase porositas. Tabel 55 memperlihatkan bahwa pori tidak
tergunakan, pori drainase dan persentase porositas pada musim hujan lebih tinggi
dibanding musim kemarau.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa antar musim tidak menyebabkan beda
nyata pada variabel pori penahan lengas. Tabel 55 memperlihatkan bahwa pori
penahan lengas pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau meskipun
tidak berbeda nyata.
Antar musim tanam menyebabkan beda nyata pada variabel berat volume
tanah. Tabel 55 memperlihatkan bahwa pertanaman musim hujan menyebabkan berat
volume tanah lebih tinggi.
Antar penutup tanah, semua komponen yang diamati tidak saling berbeda
nyata. Rerata hal tersebut disajikan pada Tabel 56. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 171 sampai 177.
Tabel 56. Persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah pada macam penutup tanah yang berbeda
Penutup Tanah Õ±²¼·· ¬¿²¿¸
Agregat Pori tidak tergunakan
PoriPenahan Lengas
Pori drainase
BV б®±·¬¿ ÞÑ
% % % % g/ cm3 û û
Õ±²¬®±´ îèôìí ïïôé ïîôê íçôé ïôìð êìòðï ðòçìí ݳ íðôëî ïïôð ïìôï ìïôì ïôìê êêòëç ïòðíè Ý° îçôëë ïðôï ïíôë ìïôð ïôíç êìòëê ðòççð Ы¬·¸ Ùµ îéôíï ïïôë ïíôí ìïôð ïôìì êëòéî ðòèéí ο» îçôðé ïðôì ïîôë íéôð ïôíî ëçòèç ðòèðí Dalam kolom, angka tidak diikuti huruf menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, BV=berat volume.
137
Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa antar macam penutup tanah tidak
terjadi beda nyata pada semua variabel. Idealnya penanaman karabenguk, Cm dan Cp
meningkatkan bahan organik di dalam tanah sehingga meningkatkan pori penahan
lengas, menurunkan pori drainase, dan kemampuan tanah mengikat air meningkat.
Hal tersebut belum terlihat mungkin disebabkan karena variasi kandungan bahan
organik tanah awal sangat tinggi. Kandungan bahan organik pada Putih Gunungkidul
paling rendah. Hal tersebut menyebabkan pori drainase dan pori penahan lengas juga
paling rendah.
Ternyata antar macam penutup tanah tidak menghasilkan perbedaan nyata pada
sifat-sifat tanah. Hal ini menunjukkan bukti bahwa tanaman karabenguk sebagai
penutup tanah tidak lebih jelek dibanding dengan tanaman penutup tanah
konvensional.
6. Persentase penutupan lahan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah
Peran tanaman penutup tanah erat kaitannya dengan besarnya penutupan lahan
dan tebal tajuk tanaman penutup tanah. Sidik ragam penutupan lahan dan tebal tajuk
disajikan pada Lampiran 182 a sampai Lampiran 183c. Rerata besarnya penutupan
lahan dan tebal tajuk disajikan pada Tabel 57.
Tabel 57. Peningkatan persentase penutupan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah
Penutup Tanah % Penutupan Tebal Tajuk ( cm) 1 bl 2 bl 3 bl 1 bl 2 bl 3 bl Cm 15,00b 26,67b 63,33a 18,33c 16,67c 16,67c Cp 11,67b 20,00b 48,33b 12,33d 17,33c 17,33c Karabenguk Putih Gk 58,33a 60,00a 46,67b 33,33b 36,67a 36,67a Karabenguk Rase 61,67a 70,00a 43,33b 39,00a 32,67b 32,67b
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul.
138
Sidik ragam memperlihatkan besarnya persentase penutupan antar tanaman
penutup tanah saling berbeda nyata baik pada umur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan.
Tabel 57. menunjukkan bahwa pada umur 1 bulan, karabenguk kultivar Rase
memiliki persentase penutupan tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan karabenguk
kultivar Putih Gunungkidul, diikuti Cm yang lebih tinggi namun tidak berbeda nyata
dengan Cp. Pada tanaman umur 2 bulan, persentase penutupan untuk semua tanaman
penutup tanah meningkat namun urutan masih sama persis dengan penutup tanah
pada umur 1 bulan. Pada umur 3 bulan terlihat penutupan karabenguk sudah menurun
sedangkan Cm dan Cp tetap meningkat. Akibatnya, persentase penutupan tanah Cm
tertinggi diikuti dengan Cp yang tidak berbeda nyata dengan karabenguk kultivar
Putih gunungkidul dan Rase.
Seperti halnya persentase penutupan, antar perlakuan penutup tanah juga
berbeda nyata pada variabel tebal tajuk. Tabel 57 memperlihatkan bahwa pada umur
1 bulan, tebal tajuk tertinggi karabenguk kultivar Rase diikuti karabenguk kultivar
Putih Gunungkidul, Cm dan terendah Cp. Pada umur 2 bulan, tebal tajuk kultivar
Rase sudah menurun sedangkan kultivar Putih Gunungkidul masih meningkat, Cm
relatif tetap sedang Cp masih meningkat. Dengan demikian tebal tajuk tertinggi
kultivar Putih Gunungkidul diikuti kultivar Rase dan terakhir Cp yang tidak berbeda
nyata dengan Cm. Dari umur 2 bulan menjadi 3 bulan kondisi tersebut hampir tidak
berubah.
Hubungan tebal tajuk dan penutupan antar tanaman penutup tanah
Tebal tajuk karabenguk dari waktu ke waktu lebih tinggi dibanding tanaman
penutup tanah konvensional yaitu Cm dan Cp. Persentase penutupan karabenguk
139
musim kemarau juga lebih tinggi pada bulan ke 1 dan 2 namun pada bulan ke 3 sama
atau lebih tinggi tanaman penutup tanah konvensional.
7. Peran karabenguk pada pengendalian gulma
Hasil pengamatan menunjukkan ada 5 jenis gulma yang selalu muncul pada 3
kali pengamatan yaitu : 1) Tamanan / Cemondelan ( Tridax procumbens L.), 2)
Lamuran (Polytrias amaura (Buese ) OK., 3) Meniran (Phyllanthus niruri L.), 4)
Batang Merah (Allmania nodiflora (L..) R. Br. Ex Wight), 5) Teki (Cyperus rotundus
L.) dan 6) Lampesan / Leng-lengan ( Leucas lavandulaefolia JE Smith). Pada bulan
ke 1 pengamatan ada Patungan (Murdannia nudiflora L. Brenan) sedang pada bulan
ke 2 dan 3 pengamatan ada Kremah ( Altthernanthera sessilis (L) DC dan Wedusan (
Ageratum conyzoides ).
Hasil pengamatan pada gulma menunjukkan nilai nisbi nisbah dominansi
penjumlahan (NDP/SDR) sebagai tersaji pada Tabel 58.
140
Tabel 58. Nilai NDP masing-masing gulma dan perlakuan pada pengamatan umur 1, 2 dan 3 bulan, indeks kesamaan komunitas terhadap lahan terbuka dan jumlah NDP gulma tahunan.
Umur Gulma Nilai NDP pada perlakuan Tanaman Rase Putih Gk Cm Cp Terbuka 1bulan Polytrias amaura 50.77 55.62 59.42 59.11 64.05 Phyllanthus niruri 20.44 8.04 8.67 6.20 7.40 Leucas lavandulaefolia 6.22 5.56 15.04 16.91 19.53 Allmania nodiflora 11.94 16.78 9.39 5.92 5.97 Tridax procumbens 10.63 4.17 7.48 11.86 3.05 Cyperus rotundus 0.00 5.66 0.00 0.00 0.00 Murdannia nudiflora 0.00 4.17 0.00 0.00 0.00 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 C terhadap lahan terbuka 73.41 77.60 90.88 91.19 NDP Gulma Tahunan 50.77 61.28 59.42 59.11 64.052 bulan Polytrias amaura 37.57 47.52 41.70 40.43 54.66 Phyllanthus niruri 19.78 11.76 12.66 18.01 5.91 Leucas lavandulaefolia 17.00 9.92 20.13 12.64 10.69 Tridax procumbens 13.54 8.59 6.18 8.55 3.53 Altthernanthera sessilis 6.59 16.98 3.87 8.48 16.81 Allmania nodiflora 5.52 5.22 11.60 7.86 3.35 Ageratum conyzoides 0.00 0.00 0.00 4.03 5.04 Cyperus rotundus 0.00 0.00 3.87 0.00 0.00 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 C terhadap lahan terbuka 67.65 87.05 69.05 90.66 NDP Gulma Tahunan 37.57 47.52 45.57 40.43 54.663 bulan Polytrias amaura 32.72 47.77 44.08 36.68 49.23 Leucas lavandulaefolia 22.27 11.60 16.34 20.17 9.74 Phyllanthus niruri 14.09 14.21 14.60 13.31 5.03 Altthernanthera sessilis 10.10 20.79 13.39 10.78 17.71 Allmania nodiflora 7.89 0.00 4.53 10.03 5.70 Ageratum conyzoides 0.00 0.00 3.39 4.89 9.42 Tridax procumbens 12.94 5.64 3.68 4.14 3.17 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 C terhadap lahan terbuka 66.46 83.42 83.32 75.98 NDP Gulma Tahunan 32.72 47.77 44.08 36.68 49.23
NDP= nisbah dominansi penjumlahan, terbuka adalah lahan tanpa tanaman, Cp = Centrosema pubescens dan Cm = Calopogonium mucunoides, C= indeks kesamaan komunitas
Tabel 58. memperlihatkan bahwa saat tanaman umur 1 bulan, karabenguk
kultivar Rase menyebabkan komunitas gulma berbeda dibanding lahan terbuka.
Ternyata jumlah NDP gulma tahunan lebih rendah dibanding lahan terbuka.
141
Perlakuan lain juga menunjukkan nilai angka lebih rendah namun ternyata hasil
analisis vegetasi tidak menunjukkan komunitas gulma yang berbeda nyata.
Tanaman berumur 2 bulan juga menyebabkan jumlah NDP gulma tahunan
lebih rendah dibanding lahan terbuka. Hasil analisis vegetasi gulma menunjukkan
bahwa kultivar Rase dan Cm yang secara nyata menyebabkan komunitas berbeda.
Saat tanaman berumur 3 bulan, jumlah NDP gulma tahunan juga lebih rendah
dibanding lahan terbuka. Seperti halnya saat tanaman berumur satu bulan, ternyata
hanya karabenguk kultivar Rase yang mampu memperlihatkan komunitas gulma yang
berbeda nyata.
Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman penutup tanah, disajikan hal tersebut
pada Gambar 13, Gambar 14. dan Gambar 15.
ðòðð
ðòîð
ðòìð
ðòêð
ðòèð
ïòðð
ïòîð
ïòìð
ïòêð
ï î í
Umur (bulan)
Õ®¾»²¹«µ
ÌЬձ²ªò
Gambar 13. Klorofil total daun tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman Keterangan : TPt Konv=tanaman penutup tanah konvensional
142
ðòðð
ðòëð
ïòðð
ïòëð
îòðð
îòëð
íòðð
ï î í
Umur (bulan)
Õ®Þ»²¹«µ
ÌЬձ²ª
ðòððïòððîòððíòððìòððëòððêòððéòððèòðð
ï î í
Umur (bulan)
Õ®¾»²¹«µ
ÌЬձ²ª
Gambar 14. Indeks luas daun (ILD) Gambar 15. Diameter batang tanaman tanaman penutup tanah penutup tanah berdasarkan berdasarkan umur tanaman umur tanaman Keterangan : TPtKonv=tanaman penutup Keterangan : TPtKonv=tanaman penutup
tanah konvensional tanah konvensional
Pada Gambar 13. diketahui bahwa pada umur 1 bulan klorofil karabenguk
lebih banyak namun pada perkembangan selanjutnya lebih baik tanaman penutup
tanah konvensional. Dari Gambar 14. diketahui bahwa indeks luas daun 1 tanaman
karabenguk pada umur 2 bulan memang dapat melampaui 10 tanaman penutup tanah
konvensional dalam 1 lobang tanam, namun pada perkembangan berikutnya, indeks
luas daun lebih baik pada tanaman penutup tanah konvensional. Dari Gambar 15.
diketahui memang diameter batang karabenguk lebih besar dibanding tanaman
penutup tanah konvensional.
Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik dibanding tanaman
penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk
jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah
konvensional.
143
8. Pembahasan peran 2 kulivar karabenguk sebagai penutup tanah pada 2 musim
tanam
Setelah dilakukan analisis korelasi, hubungan antar vaiabel pengamatan pada
percobaan tanaman penutup tanah ini disajikan pada Lampiran 183. Kecuali klorofil
total daun dan indeks panen hampir keseluruhan variabel variabel vegetatif dan hasil
tanaman berhubungan. Diantara variabel yang berhubungan, komponen yang
berhubungan erat (>0,8) adalah : 1) berat 100 biji dengan persentase protein, kadar air
dan biji/polong; 2) persentase biji per polong dengan HCN, protein dan kadar air, 3)
kadar air dengan HCN dan Protein, 4) protein dengan HCN, 5) berat kering
brangkasan dengan serapan N, P dan K, 6) antar serapan N, P dan K, dan 7) antar ILD
dengan berat kering brangkasan, serapan N, P dan K.
Kandungan klorofil daun berhubungan dengan bahan organik tanah. Diameter
batang berhubungan dengan pori tak tergunakan dan bobot kering brangkasan. Ke
tiga macam pori berhubungan dengan P dan K total tanah, sedangkan pori menahan
lengas juga berhubungan dengan N total dan pori drainase. N total berhubungan
dengan C/N dan P total berhubungan dengan K total.
Hubungan antar komponen vegetatif tanaman penutup tanah
Karabenguk musim hujan memiliki serapan hara N, P dan K lebih tinggi
dibanding Cm dan Cp. Hal ini disebabkan karena lebih tingginya ILD, berat kering
brangkasan dan juga diameter batang. Pada musim kemarau serapan NPK antar
penutup tanah tidak berbeda nyata. Hal tersebut berhubungan dengan tidak berbeda
144
nyatanya indeks luas daun ( Tabel 43 ). Diameter batang musim hujan lebih tinggi
dibanding kemarau ( Tabel 44 ).
Hubungan antar komponen pertumbuhan
Pada musim hujan, pertumbuhan klorofil karabenguk lebih cepat dibanding
TptKonv, namun pada musim kemarau tidak berbeda nyata ( Tabel 46 ). Demikian
pula halnya dengan ILD ( Tabel 47 ). Pertumbuhan batang karabenguk Putih
Gunungkidul lebih tinggi dibanding perlakuan lain kecuali Putih Gunungkidul dengan
pemupukan ( Tabel 48 ).
Hubungan antar komponen hasil tanaman penutup tanah
Baik pada musim hujan maupun kemarau dan kulivar Rase maupun Putih
Gunungkidul ternyata pemberian pupuk organik 125 g/tan tidak meningkatkan hasil (
Tabel 51 ).
Hubungan antar komponen hara tanah setelah tanaman dipanen
Pemupukan dengan pupuk organik 30g/tan meningkatkan kadar K tanah
setelah tanaman dipanen ( Tabel 52.). Pemupukan tersebut juga meningkatkan kadar
P ( Tabel 54 ). Kadar P musim hujan setelah panen lebih tinggi dibanding musim
kemarau ( Tabel 53.).
Hubungan antar komponen penutupan
Tebal tajuk karabenguk dari waktu ke waktu lebih tinggi dibanding tanaman
penutup tanah konvensional. Persentase penutupan karabenguk musim kemarau juga
lebih tinggi pada bulan ke 1 dan 2 namun pada bulan ke 3 sama atau lebih tinggi
tanaman penutup tanah konvensional. Dengan demikian karabenguk sebagai penutup
145
tanah lebih baik disbanding tanaman penutup tanah konvensional selama tanaman
hidup di lapangan.
Kemampuan karabenguk mengendalikan gulma.
Karabenguk mampu mengendalikan gulma yang didominasi lamuran lebih
baik dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama
musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik
tanaman penutup tanah konvensional. Karabenguk kultivar Rase mampu menurunkan
dominansi lamuran sebagai gulma tahunan.
Pembahasan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah
Pada musim hujan, serapan N, P dan K karabenguk lebih tinggi dibanding
Cm dan Cp (Tabel 43 ). Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang lebih
cepat sehingga seresah yang diperoleh juga lebih banyak (Tabel 46. – 48.) . Pupuk
organik 30g/tan tidak meningkatkan hasil (Tabel 51.) namun menyebabkan P (Tabel
54.) dan K (Tabel 52.) pada tanah setelah panen lebih tinggi. Tebal tajuk karabenguk
lebih tinggi dibanding Cm dan Cp namun persentase penutupan lebih tinggi hanya
pada bulan pertama dan ke 2 (Tabel 57). Karabenguk mampu mengendalikan gulma
selama tanaman hidup (Tabel 58., Gambar 13).
Dibawah naungan karabenguk, tidak dijumpai gulma yang hidup. Tanaman
karabenguk mampu memberikan N ke tanah dan menyebabkan tanah menjadi
gembur, warna lebih gelap dan kandungan bahan organik meningkat ( Budianta,
1997 ). Hasil analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa karabenguk mampu
mengendalikan gulma selama pertumbuhan tanaman, namun untuk periode yang lama
akan lebih tahan Cm dan Cp. Karabenguk mampu mengendalikan gulma karena juga
146
memiliki kandungan L-dopa. Sebagai asam amino, L-Dopa tidak biasa ada pada
tanaman namun berperan penting sebagai allelokimia pengendali gulma ( Fujii et al.,
2003 ).
Hasil rata-rata karabenguk pada musim hujan adalah 610 kg/ha sedangkan
pada musim kemarau 346,40 kg/ha (Tabel 50). Hasil rata-rata pada kulivar Rase
adalah 575 kg/ha sedangkan untuk Putih Gunungkidul 528,90 kg/ha (Tabel 51).
147
Dari Tabel 58 diketahui bahwa Lamuran mendominasi pada setiap perlakuan,
terlebih pada pengamatan umur 1 bulan, namun pada pengamatan umur 2 dan 3 bulan
terlihat gulma yang lain bertambah dominansinya meskipun tidak dapat melebihi
lamuran. Berdasar pada nilai NDP, diperoleh nilai indeks kesamaan komunitas ( C )
yang disajikan pada Tabel 59.
Tabel 59. Nilai C antar masing-masing perlakuan dan umur tanaman
Umur Tanaman Nilai C Gulma pada perlakuan Tanaman penutup tanah Rase Putih Gk Kosong Cp Cm 1 Cm 42,06 36,95 45,68 45,64 bulan oCp 37,73 35,49 41,62 Kosong 45,57 36,82 Putih Gk 39,20 Rase 2 Cm 41,00 36,86 37,16 41,71 bulan Cp 43,50 41,59 42,87 Kosong 41,46 43,41 Putih Gk 43,22 Rase 3 Cm 40,09 39,14 41,85 45,15 bulan Cp 41,77 37,67 40,53 Kosong 38,13 35,44 Putih Gk 39,56 Rase C= indeks similaritas komunitas, Cm dan Cp = tanaman penutup tanah konvensional, kosong adalah lahan tanpa tanaman, Rase dan Putih Gk ( Putih Gunungkidul ) = kulivar karabenguk.
Terlihat bahwa tidak ada nilai C yang melebihi 50%. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa antar perlakuan tidak ada komunitas gulma yang sama. Masing-
masing perlakuan menghasilkan komunitas gulma yang berbeda.
148
Apabila disatukan antara karabenguk Rase dengan putih sebagai karabenguk
dan Cm dan Cp sebagai tanaman penutup tanah konvensional (TptKonv) diperoleh
hubungan umur tanaman dan NDP sebagai disajikan pada gambar 13.
ð
ëð
ïðð
ïëð
îðð
îëð
ï î í
Umur (bulan)
Õ¿®¿¾»²¹«µ
Ì¿²°¿ ÌЬò
ÌЬձ²ªò
Gambar 13. Nisbah dominansi penjumlahan ( NDP ) Gulma pada umur tanaman yang berbeda.
Keterangan : Tanpa TPt = tanpa tanaman penutup tanah, TPt konv = tanaman penutup tanah konvensional
Pada Gambar 13. terlihat bahwa tanpa tanaman penutup tanah NDP gulma
cukup tinggi dan terus ada tren meningkat. Hingga umur 3 bulan karabenguk dapat
menekan gulma, namun tetap ada tren meningkat. Pada tanaman penutup tanah
konvensional, hingga umur 2 bulan belum terlihat mampu mengendalikan gulma,
namun pada umur berikutnya tren untuk mengendalikan gulma sangat kuat.
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Karabenguk termasuk tanaman C3 yang memiliki pertumbuhan bintil yang
indeterminate. Forma utilis meliputi kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan
Putih Kulonprogo, sedangkan forma cochinchinensis meliputi kultivar Rase,
Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Hasil biji forma cochinchinensis
umumnya lebih tinggi dibanding forma utilis, disebabkan ukuran beberapa
komponen organ generatif yang lebih besar dan organ vegetatif yang lebih kecil.
2. Pemupukan belum mampu meningkatkan hasil karabenguk, meskipun pupuk
organik (fine compost) dosis 125g/tanaman dan 250g/tanaman meningkatkan
jumlah bintil.
3. Pada penanaman musim hujan, kultivar Rase dengan penjalar jagung umur 4
minggu mampu memberikan hasil karabenguk dan jagung terbaik. Hasil terbaik
pada pertanaman musim kemarau adalah kultivar Rase dengan penjalar jagung
bersamaan tanam. Hasil tersebut ternyata per satuan luas mampu menyamai hasil
karabenguk pada penjalar tanaman keras
4. Pertumbuhan awal dan ketebalan tajuk karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman
penutup tanah konvensional. Tanaman penutup tanah belum terlihat mampu
memperbaiki sifat tanah. .Semua tanaman penutup tanah yang dicobakan mampu
menekan gulma yang didominasi lamuran. Karabenguk mampu mengendalikan
gulma lebih baik untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka
147
148
waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah
konvensional.
B. Saran
1. Hasil identifikasi karabenguk yang termasuk tanaman C3, forma utilis atau
cochinchinensis dan pertumbuhan bintil yang indeterminate kiranya dapat
digunakan agronom dan pemulia tanaman untuk pengembangan ilmu lebih
lanjut,
2. a. Kultivar Rase disarankan dipilih karena berpotensi hasil yang lebih tinggi.
b. Karabenguk dapat digunakan sebagai tanaman pangan dengan masukan
rendah, termasuk tanpa pupuk ataupun hanya dengan pupuk organik dosis
sedang (setara fine compost 125 g/tanaman) untuk digunakan sebagai tanaman
penghasil protein pada kawasan kering marginal.
3. Pada musim penghujan, kultivar Rase dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan
pada musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam dapat disarankan.
Di pulau Jawa, penanaman harus dirancang melalui bulan Juni karena saat itulah
karabenguk berbunga.
4. Karabenguk dapat disarankan sebagai tanaman penutup tanah yang menghasilkan
bahan pangan untuk jangka waktu yang relatif pendek.
VI. RINGKASAN
Latar Belakang
Salah satu cara untuk mempertahankan kesuburan tanah adalah dengan tanaman
penutup tanah. Tanaman karabenguk bermanfaat karena bijinya dapat digunakan sebagai
bahan pangan ( Josephine dan Janardhanan, 1991 ), sebagai tanaman penutup tanah dan
pakan ( Carmen et al, 1999 ), serta digunakan sebagai tanaman perintis pada lahan-lahan
tandus ( Duke, 1981 ). Bijinya mengandung L-Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 )
sebagai bahan obat. Beberapa senyawa racun juga terkandung dapat hilang karena
pemanasan dan perendaman ( Handajani et al., 1996 ).
Jumlah karbohidrat yang diterima bintil akan tergantung laju fotosintesis tanaman
inang. Pemanfaatan cahaya oleh tanaman C4 lebih efisien dibanding C3. Untuk itu perlu
diketahui karabenguk termasuk C3 ataukah C4.
Bakteroid pada bintil alfalfa (Medicago sativa) yang indeterminate mengalami
penuaan pecah namun bintil tetap utuh tidak terlepas dari akar cabang ( Vance et al.,
1980 ). Bila bintil Phaseolus vulgaris yang determinate menua, membran sel akan pecah
dan bakteroid mengalami penghancuran ( Pladys and Rigaud, 1988 ) disertai hancurnya
bintil. Pola pertumbuhan bintil pada tanaman karabenguk perlu diketahui, bila
determinate kiranya pecahnya bintil dari waktu ke waktu akan memberi hara pada
tanaman tumpangsari.
Kultivar erat hubungannya dengan letak tumbuhan pada taksonomi. Karabenguk
yang dibudidayakan meliputi 2 forma, utilis dan cochinchinensis. Kultivar yang ada
149
150
termasuk forma yang mana dan juga bagaimana kaitan dengan potensi hasil perlu
diketahui.
Tanaman mengambil hara dari tanah melalui absorbsi pada akar rambut.
Disamping hal tersebut, khususnya untuk tanaman kacang-kacangan termasuk di
dalamnya karabenguk bersimbiosis dengan rhizobium untuk mengubah nitrogen bebas
menjadi nitrogen yang tersedia bagi tanaman. Apakah dengan adanya ke dua proses
tersebut menyebabkan karabenguk tidak memerlukan pemupukan nitrogen, perlu
penelitian lebih lanjut.
Hasil penelitian Handajani et al. ( 1996 ) menunjukkan bahwa penggunaan
penjalar tanaman tahunan pada karabenguk memberikan hasil lebih tinggi dibanding
penjalar bambu. Di sisi lain, penggunaan tanaman tahunan sebagai penjalar
membutuhkan korbanan yang tinggi karena saat panen karabenguk, cabang tanaman
penjalar ikut dipangkas. Untuk itu perlu dicoba penggunaan rangka penjalar tanaman
semusim yang ditumpangsari dengan karabenguk.
Sebagai tanaman penutup tanah, idealnya karabenguk memiliki pertumbuhan
yang cepat, memiliki nilai penutupan tanah yang tinggi dan mampu mengendalikan
gulma. Berbagai peran sebagai penutup tanah tersebut apakah mampu dipenuhi oleh
karabenguk, akan terjawab melalui hasil penelitian ini.
Tujuan Penelitian antara lain : 1.a). Berdasarkan anatomi daun dan nisbah
seludang berkas pengangkutan per tebal daun, menentukan tanaman karabenguk C3 atau
C4, b). Menentukan pola pertumbuhan bintil determinate ataukah indeterminate, c).
Menentukan forma dari kultivar dan asal tanaman karabenguk yang berbeda, 2).
Mengetahui pengaruh macam dan takaran pupuk pada 2 kultivar karabenguk 3).
151
Mengetahui peranan rangka penjalar pada 2 kultivar dan 2 musim tanam terhadap
pertumbuhan dan hasil dan 4). Mengetahui peran penutup tanah karabenguk
dibandingkan dengan penutup tanah konvensional yang lain baik pada laju
pertumbuhannya, persentase penutupan, pengendalian gulma dan perbaikan sifat tanah.
Tinjauan Pustaka
1. Kajian Biologi Karabenguk
Pada tumbuhan dengan daur fotosintesis C3, sel ikatan pembuluh berukuran kecil,
sedangkan pada tumbuhan C4 ikatan pembuluh berdinding tebal dan memiliki banyak
kloroplas ( Laetsch, 1974 cit. Salisbury and Ross, 1992 ).
Tumbuhan C4 memiliki 2 macam kloroplas. Kloroplas pada sel mesofil dan
kloroplas pada seludang berkas pengangkutan ( Black et al., cit. Salisbury and Ross,
1992 ). Pada tumbuhan C3, seludang berkas berukuran kecil-kecil sedangkan pada C4
mengumpul dan membentuk kranz ( Salisbury and Ross, 1992 ).
Tribe Phaseoleae pada sub famili Papilionoideae pada Leguminosa terlihat
berbeda dari tribe Vicieae dan Trifolieae dalam morfologi dan anatomi bintil. Bintil
Phaseoleae memiliki pertumbuhan determinate, saat menua, lembaran vaskuler melebur
pada bentuk ujung, efektif, menutup jalur dari stele akar. Bintil dari Vicieae dan
Trifolieae memiliki meristem apikal, pertumbuhan indeterminate, satu atau lebih cabang
dari stele akar masuk dan bercabang diantara bintil, elemen baru terdeferensiasi dalam
hubungannya dengan pertumbuhan bintil dan percabangan bebas pada ujung apikal bintil.
Bintil Vicieae dan Trifolieae memiliki sel-sel vaskuler transfer dan sel-sel bervacuola
terinfeksi dan bakteroid rhizobium bermacam bentuk. Produk yang diekspor dari fiksasi
nitrogen bintil pada Phaseoleae adalah ureida allantoin dan asam allantoik, sedang pada
152
Vicieae dan Trifolieae adalah amida dan asam amino, khususnya glutamin dan asparagin.
Eksport produk tersebut berhubungan dengan anatomi vaskuler bintil tanaman asal
tropis/sub tropis pada Phaseoleae dan pada daerah sedang Vicieae dan Trifolieae (
Sprent, 1980 ).
Mucuna pruriens varietas utilis memiliki biji berwarna hitam, sedang Mucuna
pruriens varietas cochinchinensis memiliki biji berwarna putih ( Vissoh et al., 1998 ). Di
dalam buku Flora of Java ( Backer and Van Den Brink, 1963 ). disebutkan bahwa
karabenguk utilis memiliki panjang tandan lebih dari 32cm, tangkai 4-10 mm, mahkota
berwarna ungu gelap, panjang polong 10-13cm, tidak berbulu gatal dan biasa
dibudidayakan. Forma cochinchinensis dicirikan oleh panjang tandan 4-5cm, tangkai 5-7
mm, mahkota berwarna putih kehijauan, panjang polong 10-12cm, tidak berbulu gatal.
Karabenguk cochinchinensis dibudidayakan sebagai hasil introduksi.
2. Pemupukan pada 2 kultivar karabenguk
Di Amerika Serikat, superfosfat 50 - 225 kg/ha direkomendasi, namun
pemupukan jarang meningkatkan hasil biji. Kapur kadang meningkatkan hasil biji.
Inokulasi kadang dilakukan pada tanah tropis, namun biasanya tidak digunakan di daerah
sedang. Strain yang digunakan untuk inokulasi limabean kacang tunggak dan lespedeza
dapat digunakan untuk karabenguk. Karabenguk dapat dirotasi dengan jagung atau kapas
( Duke, 1981 ). Kondisi lahan yang terendam air, sangat tidak subur, tanah masam
dengan pH< 4,5 tidak cocok untuk karabenguk ( Hairiah et al., 1993 ).
Pada tanaman tingkat tinggi, mikro organisme penambat N2 hidup secara
bersimbiosis, dalam kacang-kacangan atau bintil non kacang-kacangan. Karbohidrat
153
sebagai sumber energi disuplai oleh inang. Kacang-kacangan bersimbiosis dengan
Rhizobium dan mampu mengubah N2 menjadi NH3 ( Marschner, 1986 ). Bila kadar NH3
hasil penyerapan akar dan kerja enzim nitrat reduktase tinggi, maka aktivitas rhizobium
dan bintil akar akan berkurang.
Karabenguk dinyatakan sebagai tanaman perintis pada lahan tandus yang tahan
kering ( Duke, 1981 ). Dalam kaitan dengan posisinya sebagai tanaman kacang-kacangan,
tentu kandungan hara nitrogen tanah yang tinggi akan menghambat aktivitas bintil. Bila
hal tersebut terbukti, maka penambahan nitrogen tidak akan meningkatkan pertumbuhan
tanaman secara nyata.
3. Rangka Penjalar Karabenguk pada 2 Kultivar dan 2 Musim Tanam
Pada tingkat petani, tanaman karabenguk biasa ditanam di pekarangan dengan
dirambatkan pada tanaman tahunan. Sementara beberapa pihak menggunakan karabenguk
sebagai penutup tanah sekaligus meningkatkan kesuburan tanah ( Duke, 1981 ).
Hasil penelitian Handajani et al. ( 1995 ) menunjukkan bahwa rangka penjalar
mempengaruhi hasil tanaman karabenguk. Pada pemanenan pertama, setiap tanaman
karabenguk menghasilkan 66 g polong kering untuk tanpa rangka penjalar, 134 g untuk
rangka penjalar ujung bambu setinggi 2 m, 600 g untuk rangka penjalar tanaman lamtoro
hidup dan 1006 g untuk rangka penjalar pohon jambu biji hidup. Dengan rangka penjalar
tanaman hidup, karabenguk mampu hidup lebih lama. Rangka penjalar hidup
diperkirakan mampu memberikan kelembaban lingkungan yang lebih terhadap
karabenguk, sehingga tetap mampu bertahan di masa kering. Tanaman rangka penjalar
jambu biji menghasilkan polong karabenguk lebih banyak karena percabangan yang lebih
154
melebar sehingga penangkapan sinar lebih banyak. Kelemahan tanaman keras sebagai
penjalar adalah sulitnya pemanenan, hingga saat panen tanaman penjalar harus
dipangkas. Untuk itu perlu dicari cara dengan rangka penjalar tanaman semusim agar
tanaman karabenguk mampu menghasilkan biji untuk bahan pangan yang tidak jauh
berbeda dibanding potensi hasilnya sebagai tanaman yang merambat pada rangka
penjalar tanaman tahunan.
4. Tanaman Penutup Tanah Karabenguk pada 2 Kultivar dan 2 Musim Tanam
Teknologi mengembalikan kesuburan tanah telah dicoba menggunakan alley
cropping atau tanaman lorong dengan Leucaena leucocephala dan Gliricidae sepium,
Mucuna pruriens (karabenguk) dan Acacia auriculiformis. Mukuna atau karabenguk juga
digunakan untuk mengendalikan imperata atau alang-alang ( Versteeg et al., 1998 ).
Karabenguk merupakan legum atau kacang-kacangan yang tumbuh cepat sebagai
tanaman penutup tanah di daerah tropika basah, namun berakar dangkal di tanah masam (
Hairiah et al., 1991 ).
Karabenguk sering digunakan sebagai penutup tanah untuk menekan erosi. Salah
satu faktor yang mempengaruhi erosi adalah faktor pengelolaan tanaman yang
mempengaruhi penutupan lahan (C). Semakin tinggi nilai C, tingkat erosi akan semakin
tinggi. Nilai C untuk padang rumput 0,0004, tanah yang dibajak kasar 0,004, tanah yang
dipersiapkan untuk tanaman jagung 0,022, jagung dengan kanopi 10-50% 0,0247, kanopi
50-75% 0,0238, kanopi 75% hingga panen 0,04 dan seresah 0,0112 (Kent Mitchell and
Bubenzer, 1980).
155
Landasan Teori
Dalam kaitan dengan energi yang digunakan dalam fiksasi N dan berbagai
kepentingan lain, karabenguk termasuk tanaman C3 atau C4 perlu diketahui. Anatomi
daun berhubungan erat dengan jalur fotosintesis.
Untuk melihat peran bintil sebagai pengubah N2 bebas menjadi tersedia bagi
tanaman perlu diketahui pola pertumbuhan bintil. Ada 2 pola pertumbuhan bintil yaitu
pertama indeterminate, bintil tumbuh terus dan baru mengalami lisis menjelang tanaman
mati. Pola ke dua yaitu determinate, bintil tumbuh sampai batas tertentu kemudian lisis
termasuk saat tanaman masih dalam periode vegetatif. Pada tanaman pola determinate
akan sangat membantu tanaman tumpangsarinya mengingat bintil dapat memberikan N
tersedia bagi tanaman ke dalam tanah hampir sepanjang masa pertumbuhan tanaman. Bila
bintil rusak sebelum tanaman menua maka pertumbuhan bintil determinate dan bila bintil
rusak menjelang penuaan maka pertumbuhan bintil indeterminate.
Berbagai kultivar karabenguk yang ada di lapangan belum diketahui posisinya
terhadap taksonomi tumbuhan. Tentu hal tersebut perlu diketahui sekaligus dapat
menghubungkannya dengan potensi pertumbuhan dan hasilnya. Suatu kultivar termasuk
forma utilis bila memiliki warna mahkota bunga ungu kehitaman dan forma
cochinchinensis bila warna mahkota bunga putih kehijauan.
Sebagai tanaman pangan, pupuk merupakan salah satu komponen untuk
meningkatkan hasil. Uji pemberian pupuk diperlukan untuk mengetahui responnya pada
pertumbuhan dan hasil tanaman. Sebagai tanaman kacang-kacangan, peran bintil dalam
pengikatan N2 udara juga diperlukan. Peran kombinasi antara N dari tanah dan pupuk
dengan N2 bebas yang diproses melalui bintil terhadap pertumbuhan dan hasiil tanaman
156
perlu diketahui. Penggunaan pupuk akan meningkatkan pertumbuhan tanaman bila
bagian-bagian vegetatif memiliki berat dan ukuran lebih besar dan meningkatkan hasil
bila berat dan ukuran komponen hasil lebih tinggi.
Tanaman karabenguk memiliki kebiasaan tumbuh menjalar pada tanaman lain.
Hasil penelitian Handajani, et al. ( 1995 ) memberikan gambaran bahwa penjalar tanaman
menahun menyebabkan hasil karabenguk yang lebih baik. Jagung merupakan salahsatu
tanaman yang sering ditumpangsari dengan karabenguk. Rangka penjalar yang mampu
membuat karabenguk memiliki pertumbuhan dan hasil tinggi merupakan rangka penjalar
yang baik. Pertumbuhan yang tinggi tercermin pada komponen vegetatif dengan berat
dan ukuran yang lebih besar. Hasil yang tinggi tercermin pada berat dan ukuran
komponen hasil.
Tanaman karabenguk sering dinyatakan sebagai tanaman penutup tanah disamping
tanaman penutup tanah konvensional. Tanaman penutup tanah baik bila memiliki tingkat
penutupan yang tinggi, mampu mengendalikan gulma dan memperbaiki sifat-sifat tanah.
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat diberikan hipotesis sebagai berikut : a).
struktur anatomi dan nisbah seludang berkas pengangkutan per tebal daun karabenguk
menunjukkan bahwa jalur fotosintesisnya mengikuti pola C3 b). Pola pertumbuhan bintil
karabenguk mengikuti pola pada tribe Phaseolae yang bersifat determinate, c). Diketahui
macam forma dari karabenguk dengan kultivar dan asal tanaman yang berbeda, d).
Diperoleh takaran untuk pemupukan karabenguk sebagai tanaman pangan, e). Dengan
rangka penjalar jagung umur 2 minggu, karabenguk mampu menghasilkan biji dengan
kualitas dan kuantitas yang baik, f). Karabenguk pada penjalar tanaman keras memiliki
157
hasil per satuan luas yang tidak lebih tinggi dibanding penjalar tanaman semusim
(jagung), dan g). Karabenguk akan mampu berperan sebagai tanaman penutup tanah.
Cara Penelitian
Penelitian dilakukan di rumahkaca dan lapangan pada tanah litosol yang sama.
Penelitian kajian biologi dan pemupukan dilakukan di rumahkaca Fakultas Pertanian
UNS pada ketinggian tempat 98m di atas permukaan laut (dpl) dan suhu maksimum
harian 39 C dan dilanjutkan di lapangan.
Penelitian I, Kajian Biologi Karabenguk
Penelitian kajian biologi menggunakan rancangan acak kelompok lengkap 6
perlakuan kultivar, diulang 8 kali dalam polibag termasuk 5 kali ulangan disediakan
untuk pengamatan secara destruktif dan 3 kali ulangan digunakan untuk pengamatan
hingga panen. Enam perlakuan dimaksud adalah Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo dan Rase.
Penelitian II, Pemupukan pada 2 Kultivar Karabenguk
Penelitian pemupukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
dengan rancangan perlakuan Faktorial 2 faktor. Faktor pertama kultivar terdiri 2 tingkat
yaitu Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke dua pupuk terdiri 5 tingkat yaitu tanpa
pupuk, pupuk organik dosis sedang /fine compost 125 g/tanaman, pupuk organik dosis
tinggi / 250 g/tanaman, NPK dosis sedang / mutiara 16-16-16 30 g/tanaman dan NPK
dosis tinggi / 60 g/tanaman. Perlakuan pemupukan yang diberikan sekali tersebut
kemudian dilanjutkan di lapangan dengan pemupukan terbagi 2 kali pada 3 kultivar
karabenguk.
158
Penelitian III, Rangka Penjalar 2 Kultivar Karabenguk pada 2 Musim Tanam
Penelitian penggunaan rangka penjalar dilaksanakan 2 tahap, musim hujan dan
musim kemarau . Disamping musim sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah kultivar
dengan Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke tiga adalah macam penjalar terdiri 5
tingkat yaitu jagung bersamaan tanam dengan karabenguk, jagung umur 2 minggu,
jagung umur 4 minggu, penjalar bambu dan tanpa penjalar; pada musim hujan ditambah
penjalar mangga dan penjalar singkong.
Penelitian IV, Dua Kultivar Penutup Tanah Karabenguk pada 2 Musim Tanam
Penelitian karabenguk sebagai penutup tanah juga dilaksanakan 2 tahap yaitu
pada musim hujan dan musim kemarau. Disamping musim sebagai faktor pertama, faktor
ke dua adalah macam penutup tanah terdiri atas 7 tingkat yaitu Rase, Putih Gunungkidul,
kalopoginium, sentrosema, Rase dengan pupuk organik dosis sedang , Putih Gunungkidul
dengan pupuk organik dosis sedang ditambah tanpa penutup tanah sebagai kontrol.
Hasil Penelitian
1. Kajian Biologi Karabenguk
a. Anatomi daun karabenguk
Pada bayam (C4) ikatan pembuluh membentuk kranz, berkloroplas dan
berdinding tebal. Pada kedelai (C3) ikatan pembuluh kecil-kecil, tidak berkloroplas
dan tidak berdinding tebal. Pada karabenguk seperti halnya pada kedelai, seludang
berkas kecil-kecil, tidak berkloroplas dan tidak berdinding tebal. Dengan demikian
berdasar kriteria tersebut karabenguk masuk kedalam tanaman C3.
159
b. Pertumbuhan bintil
Hasil pengamatan umur 1,5 dan 2,5 bulan, terlihat bahwa anatomi bintil dari 6
kultivar yang dicobakan juga tidak berbeda nyata. Pada umur 3,5 bulan sebagian
bintil telah mengalami lisis.
Sebelum masa panen, bintil belum mengalami. Bintil juga berkembang
kesegala arah dengan membentuk benjolan-benjolan baru yang berasal dari sel
meristematis sebagai terlihat jelas pada Rase umur 2,5 bulan. Dengan demikian, pola
pertumbuhan bintil karabenguk indeterminate, mengalami lisis setelah tanaman
menjelang mati.
c. Forma pada Karabenguk yang dibudidayakan
Forma utilis memiliki panjang tandan lebih dari 32cm, tangkai 4-10 mm,
mahkota berwarna ungu gelap, panjang polong 10-13cm, tidak berbulu gatal dan
biasa dibudidayakan. Forma cochinchinensis mempunyai panjang tandan 4-5cm,
tangkai 5-7 mm, mahkota berwarna putih kehijauan, panjang polong 10-12cm, tidak
berbulu gatal dan dibudidayakan sebagai hasil introduksi ( Backer and Van Den
Brink, 1963 ).
Berdasar hal tersebut maka yang termasuk forma utilis (mahkota bunga ungu)
adalah kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan
forma cochinchinensis (mahkota bunga putih) adalah kultivar Rase, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo.
Hasil biji tertinggi dicapai oleh kultivar Putih Gunungkidul dan Rase, untuk
Rase tidak berbeda nyata dengan kultivar luthung. Indeks panen tertinggi terjadi pada
160
kultivar Putih Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan Rase. Forma
cochinchinensis ternyata menghasilkan biji dengan bobot yang lebih besar.
Forma cochinchinensis memiliki hasil biji yang lebih tinggi dibanding forma
utilis, hal tersebut karena didukung oleh jumlah biji per polong yang lebih tinggi,
mahkota bunga yang lebih besar, tangkai daun yang lebih pendek dengan klorofil
daun yang lebih rendah serta berat batang sekunder yang lebih rendah.
2. Pemupukan 2 kultivar Karabenguk
Dibanding tanpa pupuk (kontrol), pemupukan sekali menggunakan pupuk
NPK dosis tinggi ternyata menurunkan semua variabel yang diuji. Pupuk NPK dosis
sedang ternyata menurunkan berat kering akar dan serapan K. Penggunaan pupuk
organik baik dosis sedang maupun dosis tinggi mampu meningkatkan jumlah bintil
tanpa mengubah variabel lain secara nyata. Dengan dosis pupuk dierikan 2 kali
ternyata pemupukan tidak mengubah secara nyata semua variabel pengamatan.
Kultivar Rase tanpa pupuk menghasilkan biji dengan bobot yang lebih tinggi
dibanding perlakuan lain. Demikian pula dengan indeks panennya. Hal tersebut
memberikan indikasi bahwa tanpa pupuk buatan, tanaman akan lebih tahan
lungkungan suhu tinggi.
Terkait pH tanah, pH tanah yang rendah pada NPK dosis sedang berindikasi
kadar lengas tanah yang lebih tinggi dibanding 3 perlakuan non NPK. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa batas waktu tertentu pemberian pupuk NPK dosis
sedang menyebabkan lengas tanah kurang terserap tanaman dan tanah menjadi
semakin asam. Lengas tanah paling rendah atau penyerapan terbaik terjadi pada
pupuk organik dosis tinggi diikuti pupuk organik dosis sedang.
161
3. Penggunaan Rangka Penjalar pada 2 Kultivar Karabenguk dan 2 musim tanam
Serapan hara karabenguk dengan penjalar jagung lebih tinggi dibanding
kontrol dan penjalar bambu akibat separoh karabenguk dan separoh tanaman jagung.
Indeks luas daun dan klorofil tidak berbeda nyata menunjukkan perbedaan kompetisi
intra spesifik dan antar spesies berdasar variabel ini tidak nyata. Diameter batang
karabenguk menurun akibat berkompetisi dengan jagung yang ditanam lebih awal
namun berat kering brangkasan pertanaman lebih tinggi pada karabenguk dengan
penjalar jagung. Hal tersebut disebabkan karena berat kering brangkasan per satuan
luas tetap meskipun jumlah tanaman hanya separohnya.
Penjalar jagung bersamaan tanam meningkatkan hasil per tanaman sedangkan
penjalar bambu meningkatkan hasil biji per satuan luas, keduanya disebabkan indeks
panen yang lebih tinggi.
Baik tanpa maupun dengan penjalar, karabenguk musim hujan menghasilkan
serapan N, P dan K, diameter batang dan berat kering brangkasan per tanaman yang
lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan, penjalar jagung
meningkatkan serapan N, P dan K serta berat kering brangkasan per tanaman. Indeks
panen pada musim hujan memang lebih rendah dibanding musim kemarau, namun
hasil per tanaman karabenguk dengan penjalar jagung memang lebih tinggi. Pada
kultivar rase, penjalar jagung menurunkan berat 100 biji namun hal tersebut tidak
terjadi pada kultivar Putih Gunungkidul. Hasil biji tertinggi dicapai pada kultivar
Rase yang ditanam musim hujan dengan penjalar bambu diikuti perlakuan penjalar
jagung dan tanpa penjalar pada kultivar Rase, kultivar Putih Gunungkidul untuk
162
tanaman musim hujan dengan penjalar jagung bersamaan tanam, kultivar Rase untuk
musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan bambu serta kultivar
Putih Gunungkidul musim kemarau dengan penjalar bambu.
Menurut Handajani et al.( 1996 ), rangka penjalar tanaman keras mampu
meninkatkan hasil karabenguk. Apabila diperhitungkan dengan luas lahan, dapat
dibuktikan ternyata penjalar jagung untuk karabenguk tidak menurunkan hasil
dibanding tanaman keras. Hasil total tertinggi dicapai pada kultivar Rase dengan
penjalar bambu, tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan
singkong serta kultivar Putih Gunungkidul dengan penjalar tanaman mangga.
Hasil jagung yang ditanam 2 dan 4 minggu sebelum karabenguk ternyata
hasil tidak menurun dibanding monokultur. Dengan demikian perlakuan ini dapat
dianjurkan untuk musim hujan sedang untuk musim kemarau, anjuran diberikan untuk
jagung bersamaan tanam dengan karabenguk.
Pada karabenguk, pembungaan dipengaruhi oleh hari pendek dan dipacu oleh
suhu malam yang tinggi (21�C). Tanaman memerlukan waktu 2-3 bl untuk berbunga
hingga polong masak dan tanaman mati 45-60 hari setelah membentuk biji (Aiming
et al.; 1999). Umur tanaman yang panjang pada musim hujan disebabkan menunggu
hari pendek untuk berbunga dan hal tersebut terjadi saat musim kemarau. Kanopi
sedang hingga lebat menyebabkan tanaman berbunga pada umur 74 -154 hari dan
penuaan 142 -189 hari sedang pada kanopi tidak lebat menyebabkan tanaman
berbunga pada umur 49 hari dan penuaan umur 118 hari ( Bennett-Lartey, 1998 ).
Kanopi lebat terjadi akibat pertumbuhan cepat karena air tersedia cukup dan hal
163
tersebut terjadi pada penanaman musim hujan. Hasil rata-rata karabenguk pada
Penelitian III musim hujan 629,93 kg/ha, musim kemarau 303,9 kg/ha.
4. Dua kultivar Karabenguk sebagai tanaman penutup tanah pada 2 musim tanam
Serapan N, P dan K karabenguk baik dipupuk maupun tidak dipupuk ternyata
pada musim hujan lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional yaitu
kalopogonium dan sentrosema. Hal tersebut menyebabkan indeks luas daun, diameter
batang dan berat kering brangkasan yang lebih tinggi namun hal tersebut tidak terjadi
pada pertanaman musim kemarau yang antar tanaman penutup tanah tidak
menghasilkan beda nyata. Pemupukan ternyata juga tidak menambah hasil biji.
Hingga bulan ke 2, persentase penutupan dan tebal tajuk karabenguk lebih
besar dibanding kalopogonium dan sentrosema namun pada bulan ke 3 penutupan
sentrosema dapat menyamai bahkan kalopogonium memiliki penutupan yang lebih
tinggi.
Dibawah naungan karabenguk, tidak dijumpai gulma yang hidup. Tanaman
karabenguk mampu memberikan N ke tanah dan menyebabkan tanah menjadi
gembur, warna lebih gelap dan kandungan bahan organik meningkat ( Budianta,
1997 ). Hasil analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa karabenguk mampu
mengendalikan gulma selama pertumbuhan tanaman, namun untuk periode yang lama
akan lebih tahan kalopogonium dan sentrosema. Karabenguk mampu mengendalikan
gulma karena juga memiliki kandungan L-dopa. Sebagai asam amino, L-Dopa tidak
biasa ada pada tanaman namun berperan penting sebagai allelokimia pengendali
gulma ( Fujii et al., 2003 ). Sebagai pupuk hijau, karabenguk meningkatkan hasil
164
jagung dan keseimbangan nitrogen tanah lebih baik ketika hasil fiksasi nitrogen
dirubah sebagai biomas tanaman ( Ambate Okito et al., 2004 ). Hasil biji karabenguk
rata-rata pada Percobaan IV musim hujan 610 kg/ha dan musim kemarau 346,40
kg/ha.
Kesimpulan
1. Berdasarkan anatomi daun, karabenguk merupakan tanaman C3. Berdasarkan
anatomi bintil, karabenguk mengikuti pola pertumbuhan bintil yang
indeterminate. Forma utilis meliputi kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan
Putih Kulonprogo, sedangkan forma cochinchinensis meliputi kultivar Rase,
Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo. Hasil biji forma cochinchinensis
terutama kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding Forma
utilis.
2. Pemupukan yang dilakukan belum meningkatkan hasil. Pupuk organik dengan
dosis tinggi (fine compost 250g/tanaman) dan sedang ( 125g/tanaman)
menghasilkan jumlah bintil yang lebih banyak dibanding NPK (mutiara 16-16-16)
dosis tinggi (60g/tanaman), NPK dosis sedang (30g/tanaman) dan kontrol.
3. Pada penanaman musim hujan pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan
jagung umur 4 minggu mampu memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik. Pada
pertanaman musim kemarau hal tersebut terjadi pada kultivar Rase dengan
penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam. Berbagai komponen pertumbuhan
dan hasil karabenguk dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu ternyata
per satuan luas dapat menyamai tanaman dengan penjalar tanaman keras.
165
4. Ketebalan tajuk penutup tanah karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman
penutup tanah konvensional. Di awal pertumbuhan karabenguk, persentase
penutupannya lebih tinggi namun menjelang panen lebih tinggi pada persentase
penutupan kalopogonium. Pertumbuhan penutup tanah karabenguk lebih baik
dibanding kalopogonium dan sentrosema bila ditanam pada musim hujan dan
tidak berbeda nyata bila ditanam pada musim kemarau. Tanaman penutup tanah
baik yang konvensional maupun karabenguk mampu menekan gulma yang
didominasi lamuran. Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik
dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama
musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih
baik tanaman penutup tanah konvensional.
SUMMARY
Background
One of the ways for maintaining soil fertility is cover crop utilization. Velvet bean
was food produce, but the later using to cover crop. How the role of velvet bean as cover
crop and how to increase the crops are, should be scrutinized in both wet and dry seasons.
Velvet bean plant is very useful for its seeds and leaves can be used as food
( Josephine and Janardhanan, 1991 ), as cover crop and feed ( Carmen et al, 1999 ), as
well as can be used as pioneer plant in infertile land ( Duke, 1981 ). The seed contains L-
Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ) as medicine substance. Several poisonous compounds
are also presented within it and they will disappear by heating and soaking ( Handajani et
al., 1996 ).
The carbohydrate receive by nodules depends on the host’s photosynthetic rate.
The photosynthetic rate were affected on C3 or C4 photosynthesis type. Therefore, it
should be identified whether the bean belongs to C3 or C4.
Bacteroid on nodule alfalfa (Medicago sativa) encountering maturation is broken
but the nodule remains intact and not separated from the branch root ( Vance et al., 1980
). Alfalfa belongs to medium-climate planting category that is following indeterminate-
growth nodule pattern. On nodule maturation-Phaseolus vulgaris, the cellular membrane
will be broken and bacteroid will encounter destruction ( Pladys and Rigaud, 1988 )
followed by the nodule destruction on nodule with determinate growth pattern in the
tropical plant. The nodule growth pattern in velvet bean has not been known definitely.
Hence, it is necessary to conduct an investigation concerning the usage for handling it as
intercropping plant and green fertilizer.
166
167
Genetic factor is closely related to the plant position in the taxonomy and cultivar
types. Cultivated velvet bean includes 2 forma: utilis and cochinchinensis. Which forma
contains the existing cultivar and how its relationship with the yield potential, should be
found out.
The plant takes up mineral from the soil through absorption on the hair follicle. In
addition, particularly for the legume plant including velvet bean conduct symbiosis with
rhizobium for altering free nitrogen into nitrogen provided for the plant. It should be
investigated further about whether the two processes makes the velvet bean does not need
nitrogen fertilizing.
Handajani et al.( 1996 ) show that the usage of annual plant creeping-pole on
velvet bean provides the higher yield than bamboo pole. On the other hand, the usage of
annual plant as creeping pole needs a high sacrifice since during the harvest time the
creeping-plant’s branch will also be cut off. Thus, it is necessary to attempt to use annual
creeping-plant pole that is intercropped with the velvet bean.
As a cover crop, velvet bean ideally has rapid growth, has a high soil closure value
and can control the weeds. Could such role as soil cover be fulfilled by velvet bean, will be
answered through the result of this research.
The research objectives include : 1. a). To determine the velvet bean’s
photosyntesis type C3 or C4 based on anatomy structure and ratio bundle sheath diameter
per leave thick b). To determine determinate or indeterminate nodule growth patern, c). To
determine the forma of cultivar and the different velvet bean plant origin, 2). To find out
the effect of fertilizer types and doses on velvet legume 2 cultivars, 3). To find out the role
of the creeping-pole in 2 cultivars and 2 planting seasons on the growth and crops and 4).
168
To find out the role of velvet bean soil cover compared with other conventional soil cover
for either the growth rate, closure percentage, and weed controlling.
Literature Review
1. Biological Examination of Velvet Bean
In vegetation with C3 photosynthesis type, the bundle sheath cell seems to be
vague, while in vegetation C4, the bundle sheath cell has thick wall and much chloroplast
( Laetsch, 1974 cit. Salisbury and Ross, 1992 ).
Vegetation C4 has 2 type of chloroplast. The first chloroplast in mesofile cell and
theother one in bundle sheath cell ( Black et al., cit. Salisbury and Ross, 1992 ). In
vegetation C3, the bundle sheath cell spreads while in C4 it assembles and creates cranz
( Salisbury and Ross, 1992 ).
Tribus Phaseoleae in sub family Papilionoideae in Leguminosa seems to be
different from tribe Vicieae and Trifolieae in the term of nodule morphology and anatomy.
Nodule Phaseoleae has a determinate growth pattern; during maturation period the
vascular membrane melts on the end form, and effectively covers the root stele. Nodules of
Vicieae and Trifolieae have apical meristem, indeterminate growth, one branch or more of
input root stele and branches off between the nodule, new differentiated element in relation
to the nodule growth and free branching on the nodule apical end. Nodules Vicieae and
Trifolieae have transfer-vascular cells and cells with infected vacuole and various types of
bacteroid rhizobium. The products that exported from nodule of nitrogen fixation in
Phaseoleae are ureida allantoin and allantoic acid, while in Vicieae and Trifolieae are
amide and amino acid, particularly glutamine and asparagine. The product export relates
169
to the nodule vascular anatomy in tropical/subtropical origin plant in Phaseoleae and in
medium area in Vicieae and Trifolieae (Sprent, 1980).
According to Backer and Van Den Brink ( 1963 ), it is mentioned that velvet bean
utilis has bunch length that is more than 32cm, stalk of 4-10 mm, dark purple crown, pod
length of 10-13cm, no itchy hair and is usually cultivated. Forma cochinchinensis is
characterized by the bunch length of 4-5cm, stalk of 5-7 mm, greenish white crown, pod
length of 10-12cm, and not itchy hair. Velvet bean cochinchinensis is cultivated as an
introductory result .
2. Fertilizing Velvet Bean 2 Cultivars
In United Stated, super-phosphate 50 - 225 kg/ha is recommended, but fertilizing
rarely increases the seeds yield. Sometimes, calcium increases the seeds yield. Inoculation
is sometime conducted on tropical land, but it is not usually used in medium area. Strain
used for inoculation, limabean and lespedeza can be used for velvet bean. Velvet bean can
be rotated with corn or cotton plant ( Duke, 1981 ). The land condition that is soaked by
water, infertile, sour soil with pH< 4,5 is not appropriate for velvet bean ( Hairiah et al.,
1993 ).
In high-level plant, N2-bonding microorganism live symbiotically within legume or
nodules non-legume. Carbohydrate as energy source is supplied by the host. Legume
conducts symbiosis with Rhizobium and is able to change N2 into NH3 ( Marschner, 1986 ).
If NH3 - content resulting from root absorption and work of reductase nitrate enzyme high,
then the activity of rhizobium and root nodule will diminish.
Velvet bean is stated as a pioneer plant in infertile and dry-resistant land ( Duke,
1981 ). Relating to its position as legume plant, the high content of nitrogen mineral on the
170
soil will of course hamper the nodule activity. If it does so, the nitrogen addition will not
significantly increase the plant growth.
3. Velvet bean-creeping pole in 2 cultivars and 2 planting seasons
In farmers level, velvet bean is usually planted in yard by creeping it on the annual
plant. Meanwhile, some people uses velvet bean as soil cover and to increase the land
fertility all at once ( Duke, 1981 ).
Handajani et al. ( 1995 ) shows that the creeping pole affects the velvet bean crops.
In the first harvest, each velvet bean produces 66 g dried pod for without creeping pole,
134 g for creeping-pole of bamboo top as high as 2 m, 600 g for creeping pole of alive
Leucaena glauca plant and 1006 g for creeping pole of alive guava plant. With living
plants as the creeping pole, the velvet bean lives longer. The living creeping pole is
presumed to be able to provide the higher environment to velvet bean, so that it can
survive during dry period. Creeping pole of guava plant results in the greater number of
velvet bean’s pod since the branching more widen so that the light capture is bigger. The
short lifespan of hard plant as creeping pole is the harvesting difficulty, so that during the
harvest the creeping plant should be cut off. Therefore, it should be found one way that is
with seasonal plant creeping pole in order that velvet bean is able to produce seeds for
food with the yield potential that is not so different from the plant creeping on annual
planting creeping pole.
4. Cover crop, Velvet bean in 2 Cultivars and 2 Planting Season
Technology of recovering land fertility has been attempted using alley cropping or
trail plant with Leucaena leucocephala and Gliricidae sepium, Mucuna pruriens (velvet
171
bean) and Acacia auriculiformis. Mucuna or velvet bean is also used for controlling
imperata or coarse grass ( Versteeg et al., 1998 ). Velvet bean constitutes legume or beans
that grows rapidly as cover crop in wet tropical area, but has shallow root in sour land
( Hairiah et al., 1991 ).
Velvet bean is often used as soil cover for suppressing erosion. One of factors
affecting erosion is plant management factor influencing land closure (C). The higher the
C value, the higher the erosion rate. C value for savannah is 0,0004, for rough-plowed
land is 0,004, for land that is prepared for corn plant is 0,022, for corn with canopy 10-
50% is 0,0247, with canopy 50-75% is 0,0238, with canopy 75% through harvesting is
0,04 and seresah is 0,0112 ( Kent Mitchell and Bubenzer., 1980 ).
Theoretical Review
In the term of energy that is used in N fixation and other various interests, the
photosynthesis path of velvet beans should also be found out. The knowledge about the
photosynthesis path, of course, is very useful for velvet bean cultivation being developed.
Leaf anatomy related with photosynthetic cycle.
For seeing the nodule role as changing agent of free-N2 into the one provided for
plant, it should be found out the nodule growth pattern. There is 2 nodule growth patterns,
they are: firstly, indeterminate in which the nodule grows continuously and just encounters
lyses when the plant almost dies, and secondly, determinate in which the nodule grows
until certain limit and then lyses including during the vegetative period. The plant in the
second pattern will really help its intercropping plant recalling that the nodule can give N
available to plant inside the soil throughout the plant growth period. When nodules lyses
172
before plant maturity, nodules growth was determinate but when nodules lyses after plant
mature, nodules growth was indeterminate.
Various cultivars of velvet bean existing in the field had not been known in the term
of their position in vegetation taxonomy. Of course, it should be known and related to the
growth and crop potential. One cultivar included cochinchinensis forma while they have
greenish white flower crown and utilis forma while they have blackish violet flower
crown.
As food plant, fertilizer is one of components for increasing the yield. Fertilizer
administration test is necessary for finding out the response on plant’s growth and crop.
As legume, the nodule role in fixating weather-N2 is also necessary. It should be found out
the combined role between N from soil and the fertilizer with free-N2 processed through
the nodule on the plant’s growth and crop. Fertilizing utilization increasing growth and
yield when increasing there component.
Velvet bean plant has habit of growing by creeping on other plant. The Handayani et
al. ( 1995 ) research result gives an overview that perennial creeping plant results in a
better velvet bean crop. Corn is one of plants often intercropped with velvet bean.
Recalling different growth rate and growth pattern, it is assumed that corn should be
planted earlier compared with velvet bean. In addition to quantity, the quality of result is
also necessary as a measuring rod in current research. The high growth show that high
vegetative component and weight. The high yield show that high there component.
As the soil cover, the role of course should be known, particularly, as weed
controller, seresah provider and adding the land mineral, make soil rehabilitation and
173
grows quickly. As food plant producing food substance, it is also necessary to find out the
quality and quantity of crops cross potential varieties and organic fertilizer usage.
Considering the previous explanation, it can be hypothesized that: a). Anatomy
structure and ratio of bundle sheath diameter per leave thick of velvet bean indicates that
it photosynthesis type follows pattern C3 b). The nodule growth pattern of velvet bean
follows the pattern in tribe Phaseolae that is determinate in nature, c). It is found out the
forma types of velvet bean with different cultivars and plant origins, d). It is obtained a
dose for velvet bean fertilizing as food crops. e). Using creeping pole of 2-weeks corn,
velvet bean is able to produce seeds with good quality and quantity. f). Velvet bean on
perennial creeping plant has the yield per unit width that is not higher than corn creeping
plant g). Velvet bean will be able to play the role as cover crop.
Research Methodology
The research was conducted in greenhouse and field with the same litosol soil. The
biological examination research and fertilizing was conducted in greenhouse in
Agricultural Faculty of UNS in altitude of 98 m up sea level and daily maximum
temperature 39oC and was continued in the field.
Research I, Biological Examination on Velvet bean
This examination employed Randomized Completely Block Design (RCBD) with 6
cultivar treatments, and repeated for 8 times within the polybag including 5 repetitions
provided for destructively observation and 3 repetitions for observation through
harvesting. The six treatments mentioned are Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo. and Rase.
Research II, Fertilizing on Velvet bean 2 Cultivars
174
The fertilizing research used Completely Group Random Design with factorial
treatment design. In the first factor, cultivar consisted of 2 types, i.e. Rase and Putih
Gunungkidul. In the second factor, fertilizer consisted of 5 levels, namely without fertilizer,
medium dose of organic fertilizer /fine compost 125 g/plant, high dose of organic fertilizer/
250g/plant, medium dose of NPK / Mutiara 16-16-16 30g/plant and high-dose of NPK
60g/plant. The fertilizing treatment administered once then was continued in the field with
the fertilizing that is subdivided into 2 times on 3 cultivars velvet bean.
Research III, Creeping Pole of 2 cultivars velvet bean on 2 planting season
The research on creeping pole was conducted in two stages: rainy season and dry
season. In addition to season as the first factor, the second one was cultivars, namely Rase
and Putih Gunungkidul. The third factor was the type of creeping pole consisting of 5,
namely corn that was planted simultaneously with velvet bean, 2 weeks-corn , 4 weeks
corn, bamboo pole and without pole; in wet season, those was added with mango creeping
pole and cassava creeping pole.
Research IV, Velvet bean cover crop with 2 cultivars and 2 planting seasons
Research on velvet bean as cover crop was also conducted in two stages, they are:
in rainy season and dry season. In addition to seasons and cultivars as the first factor, the
second one was the type of cover crop consisted of 7 levels, namely Rase, Putih
Gunungkidul, Calopogonium muconoides), Centrosema pubescen, Rase with medium dose
of organic fertilizer, Putih Gunungkidul with medium dose of organic fertilizer
supplemented without cover crop.
175
Result of this research
1. Biological Examination of Velvet Bean
a. Anatomy of velvet bean leaves
In spinach (C4) the bundle sheath cell creates kranz and has thick wall. In
soybean (C3) the bundle sheath cell seems to be apparent and to assemble but with no
thick wall. Similarly, in velvet bean, the bundle sheath cell seems to assemble, but has
no thick wall. Thus, considering the criteria above, velvet beans belongs to vegetation
C3.
b. Nodule Growth
The observation result in lifespan 1.5 months and 2.5 months, it can be seen
that the nodule anatomy of 6 cultivars examined has no significant differences. In 3.5
months old most of nodule has encountered lyses.
Before harvest period, the nodule has not encountered lyses. The nodule
develops to any direction and creates several new protrusions resulting from
meristematic cell as obviously seen in Rase with 2.5 months lifespan. Thus, the nodule
growth pattern of velvet bean is indeterminate, and encounters lyses after the plant
almost dies.
c. Forma in cultivated velvet bean
Forma utilis has bunch length that is more than 32cm, stalk of 4-10 mm, dark
purple crown, pod length of 10-13cm, no itchy hair and is usually cultivated. Forma
cochinchinensis has the bunch length of 4-5cm, stalk of 5-7 mm, greenish white crown,
176
pod length of 10-12cm, and not itchy hair. Velvet bean cochinchinensis is cultivated as
an introductory result ( Backer and Van Den Brink, 1963 ).
Considering the facts above, the cultivars belonging to forma utilis (with dark-
purple-flower crown) are cultivar Luthung, Hitam Gunungkidul and Putih Kulonprogo,
while the ones belonging to forma cochinchinensis (with greenish white-flower crown)
are cultivar Rase, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo.
The highest seed yield is obtained by cultivars Putih Gunungkidul and Rase,
and that of Rase is not significantly different from that of cultivar Luthung. The highest
harvest index occurs in cultivar putih gunungkidul and is not significantly different
from that of Rase. In fact, forma cochinchinensis produces seeds with greater weight.
Forma cochinchinensis has the higher seed yield than forma utilis, that can be
supported by the higher number of seed per pod, greater flower crown, shorter leaves
stalk with lower leave chlorophyll as well as lower secondary stalk weight.
2. Fertilizing on velvet bean 2 cultivars
Compared with without fertilizer, one-time fertilizing using high-dose NPK in
fact decreases all variables examined. NPK medium dose in fact decreases root’s dried
weight and K absorption. The usage of organic fertilizer both Organic medium dose
and Organic high dose can increase the nodule number without changing other
variables significantly. In two-times fertilizing, in fact, it does not change the
observation variable significantly.
Cultivar Rase without any fertilizer results in seeds with higher weight
compared with other treatments. It is similar with the harvest index.. This provides
indication that without artificial fertilizer, the plant have high temperature enclosure.
177
Related to the soil-pH, the lower soil-pH in NPK medium dose indicates that
soil’s humidity is higher than the 3 non-NPK treatments. Thus it can be said that
specific time limit of medium-dose NPK fertilizer results in the soil’s humidity
absorbed inadequately and the soil is getting sourer. The lowest humidity or the best
absorption occurs in organic high dose fertilizer followed by organic medium dose
fertilizer.
3. The usage of Creeping Pole in 2 Cultivars of Velvet bean and 2 Planting Season
Velvet bean’s mineral absorption corn-creeping pole is higher than the control
and bamboo-creeping pole because the density of velvet bean is a half and maize a half
any more. The leaves area index and chlorophyll that are not significantly different
indicates that intra-specific and cross-species competition differences base on this
variable is not significant. The stalk diameter of velvet bean decreases because it
competes with the corn that is planted earlier but the gross dried weight per plant is
higher in velvet bean with corn-creeping pole. This is because the gross dried weight
per unit width is constant although the plant number is just a half.
Corn-creeping pole planted simultaneously increase the yield per plant while
bamboo-creeping pole increase the yield per unit width, both of them results from the
high harvest index.
Either without or with creeping-pole, velvet bean in rainy season results in N, P
and K absorption, stalk diameter and gross dried weight per plant that is higher than
that in dry season. In rainy season, corn-creeping pole increase N, P and K absorption
as well as gross dried weight per plant. Harvest index in rainy season is lower than it
in dry season, but the yield of velvet bean with corn-creeping pole, per plant, is higher.
178
In cultivar rase, corn-creeping pole decreases 100 seeds weight but this does not occur
in cultivar Putih Gunungkidul. The highest result is obtained in Cultivar Rase planted
in rainy season with bamboo-creeping pole followed by corn-creeping pole treatment
and without creeping pole in cultivar rase, Cultivar Putih Gunungkidul for rainy
season plant with simultaneously planted-corn creeping, Cultivar Rase for dry season
with simultaneously planted-corn creeping and bamboo-creeping pole as well as
Cultivar Putih Gunungkidul in dry season bamboo-creeping pole.
Handajani et al. ( 1996 ) states that the hard plant creeping–pole can increase
the velvet bean yield. If the land width is accounted for, it can be proven that in fact
corn-creeping pole for velvet bean increases the yield not less than the hard plant. The
highest total yield is obtained in cultivar rase with bamboo-creeping pole, that is not
significantly different from with 4 weeks corn- and cassava-creeping pole as well as
Cultivar Putih Gunungkidul with mango-creeping pole.
The corn yield planted 2 and 4 weeks before velvet bean in fact does not
diminish compared with monoculture. Thus this treatment is recommended for the
rainy season while for the dry season, it is recommended to use the corn planted
simultaneously with velvet bean.
In Experiment 3, the average result of Cultivar Rase is 834,80 kg/ha while
Cultivar Putih Gunungkidul is 547,50 kg/ha, whereas in Experiment 4 for Rase is 575
kg/ha and for Putih Gunungkidul is 528,90 kg/ha.
In velvet bean, flowering is affected by the short day and is triggered by the
high night temperature (21�C). Plant needs 2-3 months for blooming until the pod
mature and it dies 45-60 days after creating seeds (Aiming et al.; 1999). The plant’s
179
longer lifespan in rainy season is because it is waiting for short day for blooming and
that occurs during the dry season. Medium to dense canopy makes the plant blooming
in 74 -154 days and maturation 142 -189 days while thin canopy makes the plant
blooming in 49 days and maturation in 118 days ( Bennett-Lartey, 1998 ). The dense
canopy occurs due to the rapid growth because of an adequate water reserve and this
occurs in rainy season planting.. Velvet bean’s yield in Experiment 3 in rainy season is
629,93 kg/ha, in dry season is 303,9 kg/ha.
4. Two cultivars of Velvet bean as cover crop in 2 planting seasons
Nitrogen, P and K absorption of velvet bean both fertilized or not, in fact, in
rainy season is higher than conventional soil covering plant i.e. Calopogonium
muconoides and Centrosema pubescent. This results in higher leaves area index, stalk
diameter and gross dried weight but it does not occur in dry season planting in which
there is no significantly different result cross-cover crops. In fact, fertilizing does not
increase the seed yield too.
Through month 2, closure percentage and velvet bean’s crown thickness is
greater than that of Calopogonium muconoides and Centrosema pubescent but in
month 3 the closure of Centrosema pubescent equal to it and even Calopogonium
muconoides closure is higher than it.
Under velvet bean shelter, there is no weed alive. Velvet bean plant is able to
provide N to the soil and makes the soil fertile, the color getting darker and organic
substance content increase ( Budianta, 1997 ). The result of vegetation analysis also
shows that velvet bean is able to control the weed during plant growth period, but for
long period Calopogonium muconoides and Centrosema pubescent will be more
180
durable. Velvet bean is able to control weed since it also has L-dopa content. As amino
acid, L-Dopa does not usually exist in plant but plays an important role weeds-
controlling allelokimia ( Fujii et al., 2003 ). As green fertilizer, velvet bean increase
the corn yield and the soil nitrogen balance is better when nitrogen fixation result is
changed into plant biomass ( Abate-Kato et al., 2004 ). In Experiment 4, seed yield in
rainy season is 610 kg/ha and in dry season is 346,40 kg/ha.
Conclusion
1. Based on the leaves anatomy, velvet bean has photosynthesis path C3. Based on
nodule anatomy, velvet bean follows an indeterminate nodule growth pattern.
Forma Utilis includes cultivar Luthung, Hitam Gunungkidul and Putih
Kulonprogo, while Forma Cochinchinensis includes cultivar Rase, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo. The seeds of forma cochinchinensis, particularly
cultivar Rase and Putih Gunungkidul, is higher yield than that of forma utilis.
2. With fertilizer treatment, velvet bean would seed yield increased not yet. Organic
fertilizer with high (fine compost 250g/plant) and medium doses (125g/plant)
results in the higher value in the number of nodule compared with high-dose NPK
(Mutiara 16-16-16) (60g/plant), medium-dose NPK (30g/plant) and control.
3. In rainy season planting, Cultivar Rase with bamboo-creeping pole and 4-weeks
corn is able to provide the best growth and yield. In dry season planting, Cultivar
Rase with bamboo-creeping pole and simultaneously planted-corn exactly provides
the best growth and yield. Various components of velvet bean’s growth and yield
with bamboo-creeping pole and 4-weeks-corn per unit width, in fact, is same than
it with perennial creeping-plant.
181
4. The crown thickness of velvet bean cover crop is higher than that of conventional
cover crop. In initial growth of velvet bean, the closure percentage is higher but
approaching the harvest the closure percentage of Calopogonium muconoides is
higher. The growth of velvet bean cover crop is better than that of Calopogonium
muconoides and Centrosema pubescen if it is planted in rainy season and is not
significantly different from planted in dry season. The soil covering plant both
conventional and velvet bean is able to control weeds. Velvet bean is able to
control weeds better than the conventional cover crop during the planting season,
but for for long period, there is a predisposition that conventional cover crop is
better.
DAFTAR PUSTAKA
Ahenkora K., M. Dadzie, and P. Osei Bonzu, 1999. Composition and fuctional properties of raw and heat processed Velvet bean flours. Int.J-food-SciTechnol,.34 (2) : 131-135.
Aiming Q.I., R.H. Ellis, J.D.H.Keatinge, T.R. Wheeler, S.A.Tarawali, and R.J. Summerfield, 1999. Differences in the effects of temperature and photoperiodon progress to flowering among diverse Mucuna spp. Crop Science, 182 : 249–258.
Ann Oaks, - . Nitrat Reductase in Roots and its Regulation. McMaster Univ., Canada. Apriantono, A; 1989. Analisis Zat Gizi. IPB, Bogor. Backer and Van Den Brink, 1963. Flora of Java Vol. 1. Groningen, Noordhoff.Bennett-Lartey, SO; 1998. Characterization and preliminary evaluation of some
accessions of local germplasm of velvet bean (Mucuna pruriens DCvar. utilisWall) of Ghana. Ghana J Agric. Sci. .31 (1) : 131-135
Berlyn GP and Miksche JP; 1976. Botanical microtechnique and cytochemistry. The Iowa Univ Press, Ames Iowa.
Budianta, D; 1997. Pengendalian Alang-alang dengan Mucunisasi. Ekstensia 6 (10) : 60-65
Capo-Chichi, L.J.A., D.B.Weaver, and C..M. Morton, 2001. AFLP assessment of genetic variability among velvetbean (Mucuna sp.) accessions. Theoretical and Applied Genetics, 103 : 1180–1188.
Carmen J del, A.G. Gernat, R. Myhrman, and L.B. Carew, 1999. Evaluation of raw and heated Velvet bean as feed in gredients for broilers. Poultry Sci. 78 (6) : 866-872
Chattopadhyay S., S.K. Datta, and S.B. Mahato, 1994. Production of L-dopa from cell suspension culture of Mucuna pruriens f. Pruriens. Plant Cell Rep. 13 (.9) : 519-522
Chattopadhyay S., S.K. Datta, and S.B. Mahato, 1995. Rapid micro propagation for Mucuna pruriens f. Pruriens. Plant cell rep . 15 (3/4) : 271-273.
Coultas CL, TJ Post, JB Jones Jr, and YP Hsieh, 1996. Use of Velvetbean to improve soil fertility and weed control in corn production in Northern Belize. Commun Soil Sci Plant anal . 27 (9/10) : 2171-2196.
Darmiyati, S; Sumarno dan F Muhadjir, 1989. Pengaruh Musim Tanam, ZPT dan P terhadap Pertumbuhand an Hasil Kacangtanah di Lahan Sawah. Penel. Pert. .9 (4) : 170 – 182.
Duke, JA. 1981. Hand book of Legumes of World Economic Importance. Plenum Press, NewYork.
Fujii Y., 2003. Allelopathy in the natural and agricultural ecosystems and isolation of potent allelochemicals from Velvet bean (Mucuna pruriens) and Hairy vetch (Vicia villosa). Biol Sci 17 (1) : 6-13.
Gardner FP, RB Pearce and RL Richell, 1985. Phisiology of Crop Plant. Iowa State Univ. Press.
182
183
Hairiah K, M Van Noordwijk, dan S Setijono, 1991. Tolerance to acid soil condition of Velvet beans Mucuna pruriens var. utilis and deeringiana. Dev Plant Soil Sci45 : 227-237.
Handajani, Sri; 2002. Potensi Koro sebagai Sumber Gizi dan Makanan Fungsional.Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Pertanian Univ. Sebelas Maret Surakarta.
Handajani, Sri; Supriyono, Eddy Triharyanto, Sri Marwanti, Ismi Dwiastuti dan Bambang Puji Asmanto, 1995. Pengembangan budidaya dan pengolahan hasil kacang-kacangan sebagai usaha produktif wanita di lahan kering daerah tangkapan hujan Waduk Kedungombo. Lap. Pen. HB II/2.
Handajani, Sri; Supriyono, Eddy Triharyanto, Sri Marwanti, Ismi Dwiastuti dan Bambang Puji Asmanto, 1996. Pengembangan budidaya dan pengolahan hasil kacang-kacangan sebagai usaha produktif wanita di lahan kering daerah tangkapan hujan Waduk Kedungombo. Lap. Pen. HB II/3.
Hardjowigeno, 1987. Ilmu Tanah. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Hasbourne, 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Kosasih P dan Iwang S, ITB,
BandungHipkins, MF; 1984. Photosynthesis on Advanced Plant Physiology. MB Wilkins (Ed).
Pitmann London. Johansen,DA; 1940. Plant Microtechnique. Tata Mc Graw Hill, New York. Josephine RM and K Janardhanan, 1991. Studies on chemical composition and anti
nutritional factors in 3 germ plasm seed materials of the tribel pulse Mucuna pruriens (L). DC. Food Chem 43 (1) : 13-18.
Kaig N Jr, WA Carns, and AB Bowen, 1940. Soil organic matter and nitrogen as influenced by green manure crop management on Norfolk Coarce sand. J Am Soc Agron 32 (11) : 842-852.
Kang BT, DO Ladipo, and O Ofeimu, 1995. Phosphorus and liming effect on early growth of selected plant species grown on an ultisol. Commun Soil Sci Plant anal .26 (9/10) : 1659-1673.
Kent Mitchell J and GD Bubenzer, 1980. Soil Loss Estimation on Soil Erosion. Ed. Kirkby MJ and Morgan RDC. John Wiley and Sons, Chichester.
Kyei-Boahen, Slinkard and Walley, 2002. Evaluation of Rhizobial Inoculation AE Methode for Chickpea FL. Agron J. 94 (4) : 851-859.
Layzell, DB; 1990. N2 Fixation, NO3- reduction and NH4+ assimilation on Plant Physiology, Biochemistry and Molecular Biology, Dennis DT and Turpin DH (ed). Longman, UK.
Loveless, AR; 1983. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik.Terjemahan K Kartawinata, S Danimiharja dan U Sutisna, Gramedia jakarta, 1987.
Macdonald, FD and BB Buchanan; 1990. The Reductive Pentosa Phosphate Pathway and its Regulation on Plant Physiology, Biochemistry and Molecular Biology.Dennis DT and Turpin DH (ed), Longman, England.
184
Mahrita, 2003. Pengaruh pemberian N dan Waktu Pemangkasan pucuk terhadap pertumbuhan dan hasil Kacang Nagara (Vigna sp.). Agroscientiae 10 (2) : 70-77.
Mardjuki, A; 1984. Tanggapan beberapa Varietas Kedelai terhadap Bulan Tanam. Ilmu Pert. .3 (6) : 263 – 271.
Marschner, H; 1986. Mineral Nitrition of Higher Plants. Acad. Press, London. Mc Kaig N Jr, WA Carns, and AB Bowen, 1940. Soil organic matter and nitrogen as
influenced by green manure crop management on Norfolk Coarce sand. J Am Soc Agron 32 (11) : 842-852.
Minardi S, 2002. Kajian komposisi pupuk NPK terhadap hasil beberapa varietas tanaman buncis tegak (Phaseolus vulgaris ) di tanah alfisol. Sains Tanah 2 (1) : 18-24.
Mitoyat E dan Widodo, 1978. Pengaruh Pemupukan N dan Pemakaian Rangka Penjalar (frame) terhadap Produksi Ubijalar. PPPT UGM 1977/78 No. 17.
Muljanto, Djoko; 1991. Effect of Defolination and Water Stress on the Root Growth , the Biological and Histological aspect of the nodules in White Clover(Trifolium repens L.). Institute National Polytechnique de Lorraine.
Nugroho, WH., 1990. Statistical Analysis and Interpretation of Intercropping Research. Agricultural Faculty, UNIBRAW, Malang.
Okito, Ambate; Bruno José Rodrigues Alves, Segundo Urquiaga and Robert Michael Boddey, 2004. Nitrogen fixation by groundnut and velvet bean and residual benefit to a subsequent maize crop. Pesq. agropec. bras., Brasília, 39 (12) : 1183-1190, dez. 2004.
Pladys D and Rigaud, 1988. Lysis Bacteroid in vitro and during the senescence in Phaseolus vulgaris nodules. Plant Physiol. Biochem. 26 (2) : 179 – 186.
Rahayu, Hesti; 2002. Pengaruh penambahan dosis Bahan Organik dan Dolomit terhadap ketersediaan dan serapan P dengan indicator tanaman kacang tanah pada tanah latosol. Sains Tanah 2 (1) : 25-34.
Ripiani, Desti; AH Bakrie dan S Yusnaini, 1992. Pengaruh Pemberian Kompos Sampah Kota dan Pupuk NPK pada berbagai Taraf Dosis terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Kapri (Pisum sativum). J Penel FP Unila 5 (5) : 2585 – 2598.
Roy AK and HK Chourasia, 1989. Effect of temperature on aflatoksin production in Mucuna pruriens seeds. Appl Environ Microbiol 55 (2) : 531-532.
Salisbury & Ross, 1992. Plant Physiology. 4th ed. Terjemahan Diah R Lukman & Sumaryono Jilid 2. ITB Bandung.
Sanginga N, LE Wirkom, A Okogun, IO Akobundo, RJ Carsky, and G Tian, 1996. Nodulation and Estimation of Simbiotic nitrogen fixation by herbaceous and shrubs legumes in Guinea savanna in Nigeria. Biol fertil Soils. 23 (4) : 441-448.
Soerjani, M; Kostermans and G Tjitrosoepomo.; 1987. Weeds of Rice in Indonesia.Balai Pustaka, Jakarta.
Sprent JI, 1980. Root Nodule anatomy, type of export product and evolutionary origin in some Leguminosae. Plant, Cell and Environment 3 : 35-43.
185
Sudjadna, D, 1993. Pengaruh pemupukan Urea, TSP dan KCl terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah di Profi-Manokwari. Irja Agro 1 (3) : 56-65.
Tjitrosoedirdjo S; IH Utomo dan J Wiroatmodjo, 1984. Pengelolaan Gulma di perkebunan. Gramedia, Jakarta
Vance,CP; LEB Johnson; AM Halvorsen; GH Heichel and DK Barnes; 1980. Histological and Ultra structural observation of Medicago sativa root nodule senescence after foliage removal. Can J Bot. 58 : 259-309.
Versteeg MN, F Amadji, A Eteka, A Gogan, and V Koudokpon, 1998. Farmers adaptability of Mucuna fallowing and agroforestry technologies in the Coastal Savanna of Benin. Agric Syst 56 (3) : 269-287.
Vissoh P, VM Manyong, JR Carsky, P Osei Bonzu and M Galiba, 1998. Experienceswith Mucuna in West Afrika. IDRC, Ottawa.
Weaver DB, R Rodriguez Kabana, and EL Garden, 1998. Velvet bean and bahiagrass as rotation crops for management of Meloydogyne and Heterodera glicines in soybean. J.Nematol 30 (4) : 563-568.
Wedhastri, Sri; 1993. Penurunan Kadar Glukosa Sianogenik Biji Koro Benguk oleh Aktivitas Fermentasi Aspergilus oryzae, Aspergilus sojae, Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Ilmu Pert. 5 (2) : 593 – 602.
Wigham DK, 1983. Soybean on Petential Productivity of Field Crops Under Different Environment. IRRI p. 205-225.
Wood M; JE Cooper and AJ Holding; 1983. Method to Asses the Effect of Soil Acidity factors on Legume-Rhizobium Symbioses. Soil Biol.Biochem 15 (1) : 123-124.
186
Muljanto, Djoko, 1991. Effet de la coupe des parties aeriennes et du deficit hydrique sur la dynamique racinaire, la biologie et i’histologie des nodosites du trefle blanc (Trifolium repens). Institute National Polytechnique de Lorraine.
Muljanto, Djoko; 1992. Ultrastruktur Mikroskopis Bintil Akar. Makalah Seminar Rutin PS UGM 4 Maret 1992.
Nugroho, WH., 1990. Statistical Analysis and Interpretation of Intercropping Research. Agricultural Faculty, UNIBRAW, Malang. 269 p.
186
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN I Anatomi daun karabenguk LAMPIRAN 1. Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan dan
tebal daun tanaman karabenguk, bayam dan kedelai Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 0,001789 0,000895 0,28ns 6,94 Tanaman 2 0,180363 0,090182 28,52* 6,94 Galad 4 0,012646 0,003162 Total 8 0,194799 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 2. Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan
dan tebal daun antar Kultivar Karabenguk
Sumber Db JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 0,001230 0,000615 0,48ns 3,33 Kultivar 5 0,015190 0,003038 2,39ns 4,10 Galad 10 0,012689 0,001269 Total 17 0,029108 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
187
Morfologi dan Hasil enam Kultivar Karabenguk Akar Primer LAMPIRAN 3. Sidik ragam panjang akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 1 12,00 12,00 0,38ns 6,61 Kultivar 5 113,67 22,73 0,71ns 5,05
Galad 5 159,00 31,80 Total 11 284,67 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 4. Sidik ragam diameter akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,2408 0,2408 2,34ns Kultivar 5 1,1675 0,2335 2,27ns Galad 5 0,5142 0,1028 Total 11 1,9225 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 5. Sidik ragam berat kering akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,000133 0,000133 0,03ns Kultivar 5 0,078867 0,015773 3,00ns Galad 5 0,026267 0,005253 Total 11 0,105267 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Akar Sekunder LAMPIRAN 6. Sidik ragam panjang akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 3,000 3,000 1,00ns Kultivar 5 22,667 4,533 1,51ns Galad 5 15,000 3,000 Total 11 40,667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
188
LAMPIRAN 7. Sidik ragam diameter akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,003333 0,003333 1,00ns Kultivar 5 0,006667 0,001333 0,40ns Galad 5 0,016667 0,003333 Total 11 0,026667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 8. Sidik ragam berat kering akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,0001333 0,0001333 0,32ns Kultivar 5 0,0063667 0,0012733 3,08ns Galad 5 0,0020667 0,0004133 Total 11 0,0085667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Bintil Akar LAMPIRAN 9. Sidik ragam jumlah bintil akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 1,3333 1,3333 2,50ns Kultivar 5 1,6667 0,3333 0,62ns Galad 5 2,6667 0,5333 Total 11 5,6667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 10. Sidik ragam jumlah bintil akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 1,3333 1,3333 4,00ns Kultivar 5 1,6667 0,3333 1,00ns Galad 5 1,6667 0,3333 Total 11 4,6667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 11. Sidik ragam berat kering bintil akar Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,0002083 0,0002083 0,91ns Kultivar 5 0,0052750 0,0010550 4,62ns Galad 5 0,0011417 0,0002283 Total 11 0,0066250 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
189
Batang LAMPIRAN 12. Sidik ragam panjang batang primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 154,1 154,1 0,26ns Kultivar 5 6836,7 1367,3 2,32ns Galad 5 2943,4 588,7 Total 11 9934,3 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 13. Sidik ragam diameter batang primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,00750 0,00750 0,48 ns Kultivar 5 0,40417 0,08083 5,22* Galad 5 0,07750 0,01550 Total 11 0,48917 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 14. Sidik ragam berat kering batang primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,00083 0,00083 0,01ns Kultivar 5 2,41417 0,48283 7,22* Galad 5 0,33417 0,06683 Total 11 2,74917 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 15. Sidik ragam panjang ruas panjang Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 5,33 5,33 0,17ns Kultivar 5 337,00 67,40 2,19ns Galad 5 153,67 30,73 Total 11 496,00 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 16. Sidik ragam panjang ruas pendek Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 8,3333 8,3333 25,00* Kultivar 5 8,6667 1,7333 5,20* Galad 5 1,6667 0,3333 Total 11 18,6667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
190
LAMPIRAN 17. Sidik ragam panjang batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 77,52 77,52 2,25ns Kultivar 5 94,44 18,89 0,55ns Galad 5 172,10 34,42 Total 11 344,06 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 18. Sidik ragam diameter batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,5208 0,5208 1,17ns Kultivar 5 0,9575 0,1915 0,43ns Galad 5 2,2242 0,4448 Total 11 3,7025 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 19. Sidik ragam berat kering batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,08333 0,08333 3,91ns Kultivar 5 0,25667 0,05133 2,41ns Galad 5 0,10667 0,02133 Total 11 0,44667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 20. Sidik ragam panjang ruas batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 16,567 16,567 9,88* Kultivar 5 9,154 1,831 1,09ns Galad 5 8,387 1,678 Total 11 34,109 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Daun LAMPIRAN 21. Sidik ragam berat kering daun Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 2,2533 2,2533 2,50ns Kultivar 5 21,7367 4,3473 4,82ns Galad 5 4,5067 0,9013 Total 11 28,4967 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
191
LAMPIRAN 22. Sidik ragam panjang tangkai daun Sumber Db JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 15,444 7,722 1,16ns 4,10
Kultivar 5 430,444 86,089 12,93* 3,33 Galad 10 66,556 6,656 Total 17 512,444 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 23. Sidik ragam diameter tangkai daun Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,8133 0,4067 0,63ns Kultivar 5 0,5250 0,1050 0,16ns Galad 10 6,4267 0,6427 Total 17 7,7650 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 24. Sidik ragam panjang daun Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 2,1111 1,0556 2,02ns Kultivar 5 9,7778 1,9556 3,74* Galad 10 5,2222 0,5222 Total 17 17,1111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 25. Sidik ragam lebar daun Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 3,0000 1,5000 5,00* Kultivar 5 2,5000 0,5000 1,67ns Galad 10 3,0000 0,3000 Total 17 8,5000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 26. Sidik ragam klorofil Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,023244 0,011622 2,38ns Kultivar 5 0,173161 0,034632 7,09* Galad 10 0,048822 0,004882 Total 17 0,245228 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
192
Trikoma LAMPIRAN 27. Sidik ragam panjang trikoma Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 70,78 35,39 0,37ns Kultivar 5 1559,61 311,92 3,26ns Galad 10 957,22 5,72 Total 17 2587,61 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 28. Sidik ragam diameter trikoma Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,05333 0,02667 0,91ns Kultivar 5 0,59333 0,11867 4,05* Galad 10 0,29333 0,02933 Total 17 0,94000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 29. Sidik ragam jumlah trikoma /100 m Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 10,778 5,389 5,45* Kultivar 5 70,278 14,056 14,21* Galad 10 9,889 0,989 Total 17 90,944 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Bunga LAMPIRAN 30. Sidik ragam jumlah bunga/tandan Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 174,33 87,17 3,33ns
Kultivar 5 122,00 24,40 0,93ns Galad 10 261,67 26,17 Total 17 558,00 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 31. Sidik ragam beratkering bunga Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,00007500 0,00003750 15,00* Kultivar 5 0,00431250 0,00086250 345,00* Galad 10 0,00002500 0,00000250 Total 17 0,00441250 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
193
LAMPIRAN 32. Sidik ragam panjang tangkai Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,001944 0,000972 0,20ns Kultivar 5 0,027778 0,005556 1,12ns Galad 10 0,049722 0,004972 Total 17 0,079444 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 33. Sidik ragam tebal tangkai Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,0006778 0,0003389 1,42ns Kultivar 5 0,0036444 0,0007289 3,05ns Galad 10 0,0023889 0,0002389 Total 17 0,0067111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 34. Sidik ragam panjang kelopak Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,3433 0,1717 0,18ns Kultivar 5 2,2067 0,4413 0,46ns Galad 10 9,5500 0,9550 Total 17 12,1000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 35. Sidik ragam lebar kelopak Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 4,1233 2,0617 3,13ns Kultivar 5 12,2050 2,4410 3,70* Galad 10 6,5967 0,6597 Total 17 22,9250 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 36. Sidik ragam panjang mahkota Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 2,778 1,389 0,44ns Kultivar 5 159,111 31,822 9,98* Galad 10 31,889 3,189 Total 17 193,778 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
194
LAMPIRAN 37. Sidik ragam lebar mahkota Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,7778 0,3889 0,39ns Kultivar 5 50,4444 10,0889 10,20* Galad 10 9,8889 0,9889 Total 17 61,1111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 38. Sidik ragam panjang benangsari Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,6878 0,3439 0,99ns
Kultivar 5 2,4244 0,4849 1,39ns Galad 10 3,4856 0,3486 Total 17 6,5978 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Polong dan Biji LAMPIRAN 39. Sidik ragam jumlah polong / tandan Sumber Db JK KT Fhit Ulangan 2 4,778 2,389 5,24* Kultivar 5 120,278 24,056 52,80* Galad 10 4,556 0,456 Total 17 129,611 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 40. Sidik ragam panjang polong Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,6711 0,3356 3,78ns
Kultivar 5 8,6444 1,7289 19,45* Galad 10 0,8889 0,0889 Total 17 10,2044 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 41. Sidik ragam lebar polong Sumber Db JK KT Fhit Ulangan 2 0,001111 0,000556 0,14ns Kultivar 5 0,189444 0,037889 9,74* Galad 10 0,038889 0,003889 Total 17 0,229444 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
195
LAMPIRAN 42. Sidik ragam tebal polong Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,017778 0,008889 1,00ns Kultivar 5 0,096111 0,019222 2,16ns Galad 10 0,088889 0,008889 Total 17 0,202778 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 43. Sidik ragam berat kering polong Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 1,9895 0,9948 9,21* Kultivar 5 14,2710 2,8542 26,43* Galad 10 1,0799 0,1080 Total 17 17,3404 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 44. Sidik ragam jumlah biji / polong Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 4,7778 2,3889 43,00* Kultivar 5 4,9444 0,9889 17,80* Galad 10 0,5556 0,0556 Total 17 10,2778 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 45. Sidik ragam panjang biji Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,067778 0,033889 8,71* Kultivar 5 0,197778 0,039556 10,17* Galad 10 0,038889 0,003889 Total 17 0,304445 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 46. Sidik ragam lebar biji Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,001111 0,000556 0,08ns Kultivar 5 0,064444 0,012889 1,97ns Galad 10 0,065556 0,006556 Total 17 0,131111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
196
LAMPIRAN 47. Sidik ragam tebal biji Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,010000 0,005000 1,67ns Kultivar 5 0,240000 0,048000 16,00* Galad 10 0,030000 0,003000 Total 17 0,280000
* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Komponen bagian vegetatif dan hasil enam kultivar karabenguk LAMPIRAN 48. Sidik ragam indeks luas daun umur 5 minggu Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,0079 0,0039 0,04 ns Kultivar 5 2,4434 0,4887 4,41* Galad 10 1,1075 0,1108 Total 17 3,5588 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 49. Sidik ragam panjang akar Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 100,5 50,2 0,50ns Kultivar 5 1347,3 269,5 2,69ns Galad 10 1000,7 100,1 Total 17 2448,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 50. Sidik ragam nisbah akar tajuk Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,91534 0,45767 7,27* Kultivar 5 0,57950 0,11590 1,84ns Galad 10 0,62984 0,06298 Total 17 2,12468 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 51. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 1014,1 507,1 3,69ns Kultivar 5 1473,2 294,6 2,14ns Galad 10 1375,2 137,5 Total 17 3862,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
197
LAMPIRAN 52. Sidik ragam indeks panen (Transformasi Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,005402 0,002701 0,37ns Kultivar 5 0,159533 0,031907 4,32* Galad 10 0,073942 0,007394 Total 17 0,238877 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 53. Sidik ragam hasil biji (Transformasi Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,1617 0,0808 0,11ns Kultivar 5 16,0919 3,2184 4,50* Galad 10 7,1575 0,7157 Total 17 23,4110 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 54. Sidik ragam bobot 100 biji Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 926,2 463,1 0,62ns Perlakua 5 9599,8 1920,0 2,55ns Galad 10 7521,5 752,1 Total 17 18047,4 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 55. Sidik ragam kandungan protein Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 1 0,030 0,030 0,20ns 6,61 Perl 5 100,484 20,097 134,43* 5,05 Galad 5 0,748 0,150 Total 11 101,261 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 56. Sidik ragam kandungan HCN Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,001633 0,001633 2,11ns Perl 5 0,216567 0,043313 56,01* Galad 5 0,003867 0,000773 Total 11 0,222067 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
198
Komponen bagian vegetatif dan hasil dua forma karabenguk LAMPIRAN 57. Sidik ragam indeks luas daun umur 5 minggu Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 8 1,6109 0,2014 1,05ns 3,44
Forma 1 0,4144 0,4144 2,16ns 5,32
Galad 8 1,5336 0,1917 Total 17 3,5588 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 58. Sidik ragam panjang akar Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 854,5 106,8 0,67ns Forma 1 309,2 309,2 1,93ns Galad 8 1 284,8 160,6 Total 17 2448,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 59. Sidik ragam nisbah akar tajuk Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 1,45384 0,18173 2,22ns Forma 1 0,01622 0,01622 0,20ns Galad 8 0,65462 0,08183 Total 17 2,12468 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 60. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 2574,3 321,8 2,25ns Forma 1 145,4 145,4 1,02ns Galad 8 1142,8 142,8 Total 17 3862,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 61. Sidik ragam indeks panen (Trans Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 0,08998 0,01125 1,00ns Forma 1 0,05917 0,05917 5,28ns Galad 8 0,08972 0,01122 Total 17 0,23888 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
199
LAMPIRAN 62. Sidik ragam hasil biji(Trans Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 9,9485 1,2436 1,35ns Forma 1 6,1109 6,1109 6,65* Galad 8 7,3516 0,9189 Total 17 23,4110 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 63. Sidik ragam bobot 100 biji Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 5412 677 0,63ns Forma 1 4019 4019 3,73ns Galad 8 8616 1077 Total 17 18047 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 64. Sidik ragam kandungan protein Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 115,445 14,431 3,40 ns Forma 1 0,016 0,016 0,00 ns Galad 8 33,936 4,242 Total 17 149,398 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 65. Sidik ragam kandungan HCN Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 0,296800 0,037100 9,16* Forma 1 0,001250 0,001250 0,31ns Galad 8 0,032400 0,004050 Total 17 0,330450 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
200
LAMPIRAN 1. Sidik ragam jumlah seludang berkas pengangkutan tanaman karabenguk, bayam dan kedelai Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 8,2222 4,1111 37,00* 6,94 Tanaman 2 20,2222 10,1111 91,00* 6,94 Galad 4 0,4444 0,1111 Total 8 28,8889 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 1b. Sidik ragam jumlah seludang berkas pengangkutan antar kultivar
karabenguk Sumber Db JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 0,3333 0,1667 0,22ns 3,33
Kultivar 5 2,0000 0,4000 0,52ns 4,10
Galad 10 7,6667 0,7667 Total 17 10,0000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
200
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN II
Variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman pada Percobaan 1 kali Pemupukan
LAMPIRAN 66. Sidik ragam serapan N Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,85808 0,42904 9,77* 3,55 Kultivar 1 0,01497 0,01497 0,34ns 4,41Pupuk 4 4,13540 1,03385 23,54* 2,93 Kultivar*Pupuk 4 0,08422 0,02105 0,48ns 2,93 Galad 18 0,79045 0,04391 Total 29 5,88312 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 67. Sidik ragam serapan P Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,034404 0,017202 9,68* Kultivar 1 0,000723 0,000723 0,41ns Pupuk 4 0,122803 0,030701 17,28* Kultivar*Pupuk 4 0,006569 0,001642 0,92ns
Galad 18 0,031975 0,001776 Total 29 0,196474 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 68. Sidik ragam serapan K Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,46220 0,23110 9,66* Kultivar 1 0,00267 0,00267 0,11ns Pupuk 4 2,03889 0,50972 21,31* Kultivar*Pupuk 4 0,05502 0,01376 0,58ns Galad 18 0,43053 0,02392 Total 29 2,98932 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 69. Sidik ragam beratkering akar Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 29,957 14,978 8,09* Kultivar 1 6,044 6,044 3,27ns Pupuk 4 72,452 18,113 9,79* Kultivar*Pupuk 4 4,699 1,175 0,63ns Galad 18 33,315 1,851 Total 29 146,466 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
201
LAMPIRAN 70. Sidik ragam jumlah bintil Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,6790 0,3395 2,23ns Kultivar 1 1,1211 1,1211 7,35* Pupuk 4 19,9484 4,9871 32,69* Kultivar*Pupuk 4 0,9331 0,2333 1,53n s Galad 18 2,7457 0,1525 Total 29 25,4273 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 71. Sidik ragam berat kering bintil Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,23320 0,11660 2,79ns Kultivar 1 0,08082 0,08082 1,94ns Pupuk 4 0,58471 0,14618 3,50* Kultivar*Pupuk 4 0,03674 0,00918 0,22ns Galad 18 0,75123 0,04173 Total 29 1,68669 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 72. Sidik ragam berat kering brangkasan atas Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 24,971 12,485 7,28* Kultivar 1 9,530 9,530 5,56* Pupuk 4 238,207 59,552 34,72* Kultivar*Pupuk 4 7,462 1,865 1,09ns Galad 18 30,874 1,715 Total 29 311,043 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 73. Sidik ragam berat kering tajuk Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 23,839 11,919 6,87* Kultivar 1 7,392 7,392 4,26* Pupuk 4 248,917 62,229 35,86* Kultivar*Pupuk 4 6,061 1,515 0,87ns
Galad 18 31,232 1,735 Total 29 317,441 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
202
LAMPIRAN 74. Sidik ragam akar/tajuk Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,07316 0,03658 2,85ns Kultivar 1 0,10152 0,10152 7,90* Pupuk 4 0,23776 0,05944 4,63* Kultivar*Pupuk 4 0,05143 0,01286 1,00ns Galad 18 0,23126 0,01285 Total 29 0,69513 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 75. Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0011490 0,0005745 2,46ns Kultivar 1 0,0018677 0,0018677 7,99* Pupuk 4 0,0064618 0,0016155 6,91* Kultivar*Pupuk 4 0,0075638 0,0018910 8,09* Galad 18 0,0042079 0,0002338 Total 29 0,0212503 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 76. Sidik ragam hasil biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,2736 0,1368 0,46ns Kultivar 1 1,4787 1,4787 4,95* Pupuk 4 7,2543 1,8136 6,07* Kultivar*Pupuk 4 9,4720 2,3680 7,92* Galad 18 5,3799 0,2989 Total 29 23,8585 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman pada Percobaan 2 kali Pemupukan
LAMPIRAN 77.Sidik ragam serapan N Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 1 0,7267 0,7267 1,45ns 4,60Pupuk 4 0,9636 0,2409 0,48ns 3,11Kultivar 2 1,2978 0,6489 1,29ns 3,74Pupuk*Kultivar 8 2,8463 0,3558 0,71ns 2,70Galad 14 7,0296 0,5021 Total 29 12,8640* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
203
LAMPIRAN 78.Sidik ragam serapan P Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,013526 0,013526 2,24ns Pupuk 4 0,027197 0,006799 1,13ns Kultivar 2 0,023842 0,011921 1,98ns Pupuk*Kultivar 8 0,055466 0,006933 1,15ns Galad 14 0,084380 0,006027 Total 29 0,204411 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 79.Sidik ragam serapan K Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,3367 0,3367 2,06ns Pupuk 4 0,5032 0,1258 0,77ns Kultivar 2 0,4622 0,2311 1,41ns Pupuk*Kultivar 8 1,2669 0,1584 0,97ns Galad 14 2,2895 0,1635 Total 29 4,8585 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 80. Sidik ragam untuk beratkering akar Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 7,008 7,008 4,41ns Pupuk 4 11,429 2,857 1,80ns Kultivar 2 3,493 1,746 1,10ns Pupuk*Kultivar 8 16,997 2,125 1,34ns Galad 14 22,267 1,590 Total 29 61,194 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 81.Sidik ragam jumlah bintil Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 6,533 6,533 4,95* Pupuk 4 5,867 1,467 1,11ns Kultivar 2 13,400 6,700 5,08* Pupuk*Kultivar 8 22,933 2,867 2,17ns Galad 14 18,467 1,319 Total 29 67,200* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
204
LAMPIRAN 82.Sidik ragam beratkering bintil Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,002083 0,002083 1,58ns Pupuk 4 0,007820 0,001955 1,48ns Kultivar 2 0,002327 0,001163 0,88ns Pupuk*Kultivar 8 0,015840 0,001980 1,50ns Galad 14 0,018467 0,001319 Total 29 0,046537 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 83.Sidik ragam berat brangkasan atas Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 1090,8 1090,8 2,47ns Pupuk 4 1770,2 442,5 1,00ns Kultivar 2 1401,0 700,5 1,59ns Pupuk*Kultivar 8 4051,0 506,4 1,15ns Galad 14 6183,5 441,7 Total 29 14496,6 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 84.Sidik ragam berat tajuk Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 990,7 990,7 1,82ns Pupuk 4 1232,4 308,1 0,57ns Kultivar 2 1394,4 697,2 1,28ns Pupuk*Kultivar 8 3307,0 413,4 0,76ns Galad 14 7609,9 543,6 Total 29 14534,4 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 85.Sidik ragam nisbah akar tajuk Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,000108 0,000108 0,06ns Pupuk 4 0,014147 0,003537 2,00ns Kultivar 2 0,001141 0,000571 0,32ns Pupuk*Kultivar 8 0,009968 0,001246 0,71ns Galad 14 0,024724 0,001766 Total 29 0,050089 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
205
LAMPIRAN 86.Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,2980 0,2980 1,05ns Pupuk 4 1,5340 0,3835 1,36ns Kultivar 2 3,8756 1,9378 6,86* Pupuk*Kultivar 8 2,1047 0,2631 0,93ns Galad 14 3,9545 0,2825 Total 29 11,7669 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 87. Sidik ragam berat biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 2,41 2,41 0,04ns Pupuk 4 176,94 44,24 0,65ns Kultivar 2 759,03 379,52 5,54* Pupuk*Kultivar 8 119,54 14,94 0,22ns Galad 14 958,29 68,45 Total 29 2016,21* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Komponen pertumbuhan tanaman pada Percobaan Sekali Pemupukan
LAMPIRAN 88. Sidik ragam klorofil total Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 180 90 0,08ns 4,60 Kultivar 1 2272 2272 2,10ns 3,11 Pupuk 4 68673 17168 15,85* 3,74 Kultivar*Pupuk 4 746 187 0,17ns 2,70 Galad 18 19501 1083 Total 29 91372 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 89. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,006457 0,003228 1,14ns Kultivar 1 0,005561 0,005561 1,97ns Pupuk 4 0,106916 0,026729 9,45* Kultivar*Pupuk 4 0,007923 0,001981 0,70ns Galad 18 0,050886 0,002827 Total 29 0,177743 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
206
LAMPIRAN 90. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,001299 0,000650 1,31ns Kultivar 1 0,000088 0,000088 0,18ns Pupuk 4 0,301403 0,075351 152,52* Kultivar*Pupuk 4 0,005656 0,001414 2,86ns Galad 18 0,008893 0,000494 Total 29 0,317339 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Komponen biologi dan pertumbuhan tanaman pada Percobaan Dua kali Pemupukan
LAMPIRAN 91. Sidik ragam panjang batang primer Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 1 3 3 0,00ns 4,60 Pupuk 4 3345 836 0,15ns 3,11 Kultivar 2 18441 9221 1,65ns 3,74 Pupuk*Kultivar 8 78067 9758 1,75ns 2,70 Galad 14 78039 5574 Total 29 177895* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 92. Sidik ragam diameter batang primer Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,04332 0,04332 2,82ns Pupuk 4 0,04965 0,01241 0,81ns Kultivar 2 0,07525 0,03762 2,45ns Pupuk*Kultivar 8 0,17845 0,02231 1,45ns Galad 14 0,21508 0,01536 Total 29 0,56175 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 93. Sidik ragam panjang batang skunder Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 45008 45008 1,61ns Pupuk 4 62639 15660 0,56ns Kultivar 2 110019 55009 1,97ns Pupuk*Kultivar 8 130031 16254 0,58ns Galad 14 391875 27991 Total 29 739572* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
207
LAMPIRAN 94. Sidik ragam diameter batang skunder Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,08321 0,08321 1,72ns Pupuk 4 0,19037 0,04759 0,98ns Kultivar 2 0,11666 0,05833 1,20ns Pupuk*Kultivar 8 0,31247 0,03906 0,81ns Galad 14 0,67889 0,04849 Total 29 1,38160 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 95. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,0250 0,0250 0,09ns Pupuk 4 1,1482 0,2870 1,07ns Kultivar 2 0,6962 0,3481 1,29ns Pupuk*Kultivar 8 1,6302 0,2038 0,76ns Galad 14 3,7726 0,2695 Total 29 7,2722 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 96. Sidik ragam nisbah luas daun Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 16004 16004 2,46ns Pupuk 4 32723 8181 1,26ns Kultivar 2 31928 15964 2,46ns Pupuk*Kultivar 8 27881 3485 0,54ns Galad 14 90994 6500 Total 29 199531* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 97. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1bulan x1000 Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 2,6832 2,6832 6,99* Pupuk 4 5,8252 1,4563 3,80* Kultivar 2 2,0640 1,0320 2,69ns Pupuk*Kultivar 8 16,8595 2,1074 5,49* Galad 14 5,3712 0,3837 Total 29 32,8031* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
208
LAMPIRAN 98.Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1-2 bulan x1000Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,188 0,188 0,03ns Pupuk 4 21,921 5,480 0,87ns Kultivar 2 1,928 0,964 0,15ns Pupuk*Kultivar 8 34,051 4,256 0,68ns Galad 14 88,100 6,293 Total 29 146,187* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 99. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 2-3 bulan Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,00006880 0,00006880 1,97ns Pupuk 4 0,00008689 0,00002172 0,62ns Kultivar 2 0,00011059 0,00005530 1,58ns Pupuk*Kultivar 8 0,00024613 0,00003077 0,88ns Galad 14 0,00048942 0,00003496 Total 29 0,00100183* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
209
LAMPIRAN 98. Chi-square Dinamika pH tanah Chi-square Kontrol vs NPK2 Chi-square Perlakuan Non NPK2
DB X²hit X²tab. DB X²hit X²tab. X² pearson 2 6,50* 5,99 6 8,19 ns 12,60 Nisbah Kesetaraan 2 8,46* 5,99 6 7,87 ns 12,60 Hubungan Linear-linear 1 4,60ns 3,84 1 0,01 ns 3,84 N 22 44 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 99. Chi-square Dinamika Lengas tanah Chi-square Kontrol vs NPK2 Chi-square Perlakuan Non NPK2
DB X²hit X²tab. DB X²hit X²tab. X² pearson 2 9,46* 5,99 6 6,40 ns 12,60 Nisbah Kesetaraan 2 11,07* 5,99 6 7,99 ns 12,60 Hubungan Linear-linear 1 6,21ns 3,84 1 0,69 ns 3,84 N 22 44 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 98. Sidik ragam pH tanah Sumber DB JK KT Fhit Ftab. Ulangan 11 3.2067 0.2915 3.84* 1,96 Perlakuan 4 17.0868 4.2717 56.33* 2,53 Galad 44 3.3364 0.0758 Total 59 23.6298 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 99. Sidik ragam lengas tanah
Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 11 3.6915 0.3356 0.82 ns Perlakuan 4 40.6140 10.1535 24.85* Galad 44 17.9762 0.4085 Total 59 62.2817 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 26 , Sidik ragam untuk Berat Segar Bintil
Sumber DB JK KT Fhit P Blok 2 1,8805 0,9402 1,94 0,173 ns
Kultivar 1 1,2368 1,2368 2,55 0,128 ns
Pupuk 4 11,2915 2,8229 5,82 0,003* Kultivar*Pupuk 4 0,5152 0,1288 0,27 0,896 ns
Galad 18 8,7296 0,4850 Total 29 23,6537
210
209
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN III
Variabel bagian vegetatif karabenguk
LAMPIRAN 100. Sidik ragam serapan N karabenguk Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,984 0,492 0,33ns 3,23Musim 1 544,931 544,931 366,13* 4,08 Kultivar 1 7,266 7,266 4,88* 4,08 Penjalar 4 56,036 14,009 9,41* 2,61 Musim*Kultivar 1 1,620 1,620 1,09ns 4,08 Musim*Penjalar 4 69,193 17,298 11,62* 2,61 Kultivar*Penjalar 4 9,836 2,459 1,65ns 2,61 Musim*Kultivar*Penjalar 4 12,452 3,113 2,09ns 2,61 Galad 38 56,557 1,488 Total 59 758,876 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 101. Sidik ragam serapan P karabenguk Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,04626 0,02313 1,13ns
Musim 1 7,64694 7,64694 373,02* Kultivar 1 0,00081 0,00081 0,04ns Penjalar 4 0,70997 0,17749 8,66* Musim*Kultivar 1 0,00193 0,00193 0,09ns Musim*Penjalar 4 0,83469 0,20867 10,18* Kultivar*Penjalar 4 0,09293 0,02323 1,13ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,08754 0,02189 1,07ns Galad 38 0,77900 0,02050 Total 59 10,20007 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
210
LAMPIRAN 102. Sidik ragam serapan K karabenguk Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,611 0,306 0,72ns Musim 1 168,874 168,874 398,88* Kultivar 1 3,841 3,841 9,07* Penjalar 4 15,735 3,934 9,29* Musim*Kultivar 1 2,563 2,563 6,05* Musim*Penjalar 4 18,611 4,653 10,99* Kultivar*Penjalar 4 2,172 0,543 1,28ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 2,381 0,595 1,41ns Galad 38 16,088 0,423 Total 59 230,876 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 103. Sidik ragam klorofil / cm2 Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,13201 0,06600 3,05ns Musim 1 0,38721 0,38721 17,87* Kultivar 1 0,00417 0,00417 0,19ns Penjalar 4 0,04692 0,01173 0,54ns Musim*Kultivar 1 0,15201 0,15201 7,01* Musim*Penjalar 4 0,06918 0,01729 0,80ns Kultivar*Penjalar 4 0,02765 0,00691 0,32ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,06868 0,01717 0,79ns Galad 38 0,82352 0,02167 Total 59 1,71134 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 104. Sidik ragam indeks luas daun umur 3 bulan Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 4,959 2,480 1,18ns Musim 1 289,652 289,652 137,32* Kultivar 1 2,072 2,072 0,98ns Penjalar 4 8,840 2,210 1,05ns Musim*Kultivar 1 2,617 2,617 1,24ns Musim*Penjalar 4 7,425 1,856 0,88ns Kultivar*Penjalar 4 2,678 0,670 0,32ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 3,610 0,902 0,43ns Galad 38 80,151 2,109 Total 59 402,005 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
211
LAMPIRAN 105. Sidik ragam diameter batang saat panen Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 7,264 3,632 1,57ns Musim 1 1093,120 1093,120 473,56* Kultivar 1 1,442 1,442 0,62ns Penjalar 4 58,228 14,557 6,31* Musim*Kultivar 1 0,104 0,104 0,05ns Musim*Penjalar 4 35,986 8,996 3,90* Kultivar*Penjalar 4 3,391 0,848 0,37ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 1,792 0,448 0,19ns Galad 38 87,716 2,308 Total 59 1289,042 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 106. Sidik ragam berat kering brangkasan/tanaman Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 3709 1855 1,12ns Musim 1 619498 619498 373,31* Kultivar 1 31 31 0,02ns Penjalar 4 56741 14185 8,55* Musim*Kultivar 1 200 200 0,12ns Musim*Penjalar 4 66268 16567 9,98* Kultivar*Penjalar 4 7395 1849 1,11ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 6843 1711 1,03ns Galad 38 63061 1659 Total 59 823745 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 107. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 286658 143329 1,54ns Musim 1 34507488 34507488 371,40* Kultivar 1 14054 14054 0,15ns Penjalar 4 342843 85711 0,92 ns
Musim*Kultivar 1 5590 5590 0,06ns Musim*Penjalar 4 322189 80547 0,87ns Kultivar*Penjalar 4 309767 77442 0,83ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 265154 66288 0,71ns Galad 38 3530680 92913 Total 59 39584424 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
212
Variabel hasil tanaman karabenguk
LAMPIRAN 108. Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,00236 0,00118 0,12ns Musim 1 1,37714 1,37714 137,05* Kultivar 1 0,00280 0,00280 0,28ns Penjalar 4 0,19029 0,04757 4,73* Musim*Kultivar 1 0,05704 0,05704 5,68* Musim*Penjalar 4 0,17297 0,04324 4,30* Kultivar*Penjalar 4 0,01324 0,00331 0,33ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,03653 0,00913 0,91ns Galad 38 0,38184 0,01005 Total 59 2,23422 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 109. Sidik ragam %biji/polong Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 32,09 16,04 0,95ns Musim 1 53,98 53,98 3,21ns Kultivar 1 634,60 634,60 37,73* Penjalar 4 8,60 2,15 0,13ns Musim*Kultivar 1 224,69 224,69 13,36* Musim*Penjalar 4 162,44 40,61 2,41ns Kultivar*Penjalar 4 37,98 9,50 0,56ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 97,08 24,27 1,44ns Galad 38 639,20 16,82 Total 59 1890,65 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 110. Sidik ragam hasilbiji/tanaman Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 263,0 131,5 1,21ns Musim 1 3169,3 3169,3 29,14* Kultivar 1 823,1 823,1 7,57* Penjalar 4 1085,3 271,3 2,50ns Musim*Kultivar 1 506,2 506,2 4,65* Musim*Penjalar 4 1676,7 419,2 3,85* Kultivar*Penjalar 4 605,5 151,4 1,39ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 912,3 228,1 2,10ns Galad 38 4132,3 108,7 Total 59 13173,6 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
213
LAMPIRAN 111. Sidik ragam hasil biji total Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 14426 7213 1,25ns Musim 1 143523 143523 24,80* Kultivar 1 55058 55058 9,51* Penjalar 4 99857 24964 4,31* Musim*Kultivar 1 44583 44583 7,70* Musim*Penjalar 4 44791 11198 1,94ns Kultivar*Penjalar 4 37553 9388 1,62ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 63474 15868 2,74* Galad 38 219899 5787 Total 59 723164 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 112. Sidik ragam bobot100 biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 56,1 28,1 0,18ns Musim 1 1181,0 1181,0 7,72* Kultivar 1 838,4 838,4 5,48* Penjalar 4 2388,3 597,1 3,90* Musim*Kultivar 1 1307,4 1307,4 8,54* Musim*Penjalar 4 3192,6 798,1 5,21* Kultivar*Penjalar 4 1704,1 426,0 2,78* Musim*Kultivar*Penjalar 4 878,4 219,6 1,43ns Galad 38 5816,0 153,1 Total 59 17362,3 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 113. Sidik ragam kadar air biji % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0941 0,0471 2,68ns Musim 1 0,0621 0,0621 3,53ns Kultivar 1 9,3220 9,3220 530,59* Penjalar 4 0,7010 0,1753 9,98* Musim*Kultivar 1 9,1494 9,1494 520,76* Musim*Penjalar 4 4,6899 1,1725 66,73* Kultivar*Penjalar 4 2,5319 0,6330 36,03* Musim*Kultivar*Penjalar 4 2,1131 0,5283 30,07* Galad 38 0,6676 0,0176 Total 59 29,3312 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
214
LAMPIRAN 114. Sidik ragam % protein Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,2528 0,1264 0,84ns Musim 1 11,5808 11,5808 76,89* Kultivar 1 9,1885 9,1885 61,01* Penjalar 4 0,5325 0,1331 0,88ns Musim*Kultivar 1 0,9526 0,9526 6,32* Musim*Penjalar 4 3,2702 0,8176 5,43* Kultivar*Penjalar 4 1,1559 0,2890 1,92ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,8271 0,2068 1,37ns Galad 38 5,7233 0,1506 Total 59 33,4837 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 115. Sidik ragam % HCN Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,00157 0,00078 0,11ns Musim 1 1,26440 1,26440 182,16* Kultivar 1 0,19837 0,19837 28,58* Penjalar 4 0,78497 0,19624 28,27* Musim*Kultivar 1 0,16328 0,16328 23,52* Musim*Penjalar 4 0,58811 0,14703 21,18* Kultivar*Penjalar 4 0,06920 0,01730 2,49ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 1,74286 0,43572 62,77* Galad 38 0,26376 0,00694 Total 59 5,07653 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Variabel hasil tanaman karabenguk harian
LAMPIRAN 116. Sidik ragam serapan N rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,00004515 0,00002258 0,62ns Musim 1 0,00914147 0,00914147 252,54* Kultivar 1 0,00025875 0,00025875 7,15* Penjalar 4 0,00118273 0,00029568 8,17* Musim*Kultivar 1 0,00000721 0,00000721 0,20ns Musim*Penjalar 4 0,00177350 0,00044337 12,25* Kultivar*Penjalar 4 0,00019423 0,00004856 1,34ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,00031088 0,00007772 2,15ns Galad 38 0,00137551 0,00003620 Total 59 0,01428943 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
215
LAMPIRAN 117. Sidik ragam serapanPx100 rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,006368 0,003184 0,79ns Musim 1 1,169485 1,169485 288,33* Kultivar 1 0,092913 0,092913 22,91* Penjalar 4 0,128784 0,032196 7,94* Musim*Kultivar 1 0,023447 0,023447 5,78* Musim*Penjalar 4 0,194318 0,048580 11,98* Kultivar*Penjalar 4 0,018085 0,004521 1,11ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,029922 0,007480 1,84ns Galad 38 0,154129 0,004056 Total 59 1,817451 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 118. Sidik ragam serapanK rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,00001628 0,00000814 0,76ns Musim 1 0,00308167 0,00308167 287,53* Kultivar 1 0,00017476 0,00017476 16,31* Penjalar 4 0,00034255 0,00008564 7,99* Musim*Kultivar 1 0,00003872 0,00003872 3,61ns Musim*Penjalar 4 0,00051258 0,00012814 11,96* Kultivar*Penjalar 4 0,00004916 0,00001229 1,15ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,00007638 0,00001910 1,78ns Galad 38 0,00040727 0,00001072 Total 59 0,00469937 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 119. Sidik ragam berat kering brangkasan/tanaman rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,08013 0,04007 1,05ns
Musim 1 12,06510 12,06510 317,13* Kultivar 1 0,00524 0,00524 0,14ns Penjalar 4 1,17106 0,29276 7,70* Musim*Kultivar 1 0,01278 0,01278 0,34ns Musim*Penjalar 4 1,59486 0,39871 10,48* Kultivar*Penjalar 4 0,17412 0,04353 1,14ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,14962 0,03740 0,98ns Galad 38 1,44570 0,03804 Total 59 16,69862 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
216
LAMPIRAN 120. Sidik ragam berat kering brangkasan rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 5,908 2,954 1,36ns Musim 1 653,609 653,609 301,49* Kultivar 1 1,030 1,030 0,48ns Penjalar 4 12,501 3,125 1,44ns Musim*Kultivar 1 0,654 0,654 0,30ns Musim*Penjalar 4 11,581 2,895 1,34ns Kultivar*Penjalar 4 7,956 1,989 0,92ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 5,971 1,493 0,69ns Galad 38 82,382 2,168 Total 59 781,592 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 121. Sidik ragam hasilbiji/tan rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,010525 0,005263 1,61ns Musim 1 0,005688 0,005688 1,74ns Kultivar 1 0,022504 0,022504 6,87* Penjalar 4 0,045157 0,011289 3,45* Musim*Kultivar 1 0,008378 0,008378 2,56ns Musim*Penjalar 4 0,071482 0,017871 5,46* Kultivar*Penjalar 4 0,012308 0,003077 0,94ns
Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,025943 0,006486 1,98ns
Galad 38 0,124420 0,003274 Total 59 0,326406 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 122. Sidik ragam hasilbiji rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,7463 0,3731 2,01ns Musim 1 0,0148 0,0148 0,08ns Kultivar 1 1,3508 1,3508 7,29* Penjalar 4 6,0932 1,5233 8,22* Musim*Kultivar 1 0,8847 0,8847 4,77* Musim*Penjalar 4 3,6428 0,9107 4,92* Kultivar*Penjalar 4 0,6659 0,1665 0,90ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 1,8195 0,4549 2,46ns Galad 38 7,0407 0,1853 Total 59 22,2587 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
217
Variabel bagian vegetatif dan hasil jagung
LAMPIRAN 123. Sidik ragam bobot kering brangkasan jagung Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,11 0,06 0,01ns 3,37Musim 1 2720,42 2720,42 491,55* 4,23 Jg/Kult 6 25,21 4,20 0,76ns 2,47Musim*Jg/Kult 6 25,21 4,20 0,76ns 2,47 Galad 26 143,89 5,53 Total 41 2914,85 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 124. Sidik ragam bobot biji/tan jagung Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 177,1 88,5 0,41ns Musim 1 977,2 977,2 4,56* Jg/Kult 6 9871,4 1645,2 7,69* Musim*Jg/Kult 6 2268,5 378,1 1,77ns Galad 26 5565,7 214,1 Total 41 18859,8 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 125. Sidik ragam hasil biji jagung Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 20297 10148 0,91ns Musim 1 39417 39417 3,52ns Jg/Kult 6 306095 51016 4,56* Musim*Jg/Kult 6 84318 14053 1,26ns Galad 26 290956 11191 Total 41 741083 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 126. Sidik ragam bobot 100 biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 3,658 1,829 0,31ns Musim 1 4,142 4,142 0,69ns Jg/Kult 6 419,103 69,850 11,66* Musim*Jg/Kult 6 274,580 45,763 7,64* Galad 26 155,759 5,991 Total 41 857,243 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
218
Variabel tumpangsari dan keharaan tanah
LAMPIRAN 127. Sidik ragam ATER Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 5.5053 2.7527 6.46* 3,23 Musim 1 0.0425 0.0425 0.10 ns 4,08 Klt/Pjl 10 9.2047 0.9205 2.16* 2,08 Musim*Klt/Pjl 10 5.0391 0.5039 1.18 ns 2,08 Error 42 17.9075 0.4264 Total 65 37.6991
* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 128. Sidik ragam serapanNg/m2 Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 27,95 13,97 0,46ns Musim 1 432,23 432,23 14,36* Klt/Pjl 10 2661,06 266,11 8,84* Musim*Klt/Pjl 10 910,31 91,03 3,02* Galad 42 1264,33 30,10 Total 65 5295,87 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 129. Sidik ragam serapanPg/m2 Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,1850 0,0925 0,35ns Musim 1 5,3381 5,3381 20,22* Klt/Pjl 10 26,6049 2,6605 10,08* Musim*Klt/Pjl 10 14,7324 1,4732 5,58* Galad 42 11,0856 0,2639 Total 65 57,9460 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 130. Sidik ragam serapanKg/m2 Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 6,397 3,198 0,74ns Musim 1 440,097 440,097 102,22* Klt/Pjl 10 433,103 43,310 10,06* Musim*Klt/Pjl 10 226,261 22,626 5,26* Galad 42 180,824 4,305 Total 65 1286,681 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
219
LAMPIRAN 131. Sidik ragam bahan organik tanah Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,42415 0,21208 2,44ns Musim 1 1,69601 1,69601 19,54* Klt/Pjl 10 1,33651 0,13365 1,54ns Musim*Klt/Pjl 10 0,81996 0,08200 0,94ns Galad 42 3,64491 0,08678 Total 65 7,92155 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 132. Sidik ragam N total tanah Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0014818 0,0007409 2,89ns Musim 1 0,0005470 0,0005470 2,13ns Klt/Pjl 10 0,0033091 0,0003309 1,29ns Musim*Klt/Pjl 10 0,0014364 0,0001436 0,56ns Galad 42 0,0107848 0,0002568 Total 65 0,0175591 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 133. Sidik ragam C/N Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 5,069 2,534 0,54ns Musim 1 51,339 51,339 10,88* Klt/Pjl 10 38,728 3,873 0,82ns Musim*Klt/Pjl 10 33,050 3,305 0,70ns Galad 42 198,110 4,717 Total 65 326,296 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 134. Sidik ragam P total tanah Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 16,386 8,193 4,55* Musim 1 126,852 126,852 70,50* Klt/Pjl 10 75,878 7,588 4,22* Musim*Klt/Pjl 10 78,366 7,837 4,36* Galad 42 75,574 1,799 Total 65 373,057 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
220
LAMPIRAN 135. Sidik ragam K total tanah Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,002130 0,001065 1,01ns Musim 1 0,074673 0,074673 70,63* Klt/Pjl 10 0,020870 0,002087 1,97ns Musim*Klt/Pjl 10 0,022627 0,002263 2,14* Galad 42 0,044403 0,001057 Total 65 0,164703 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Penjalar Tanaman Keras sebagai Pembanding
LAMPIRAN 136. Sidik ragam serapan N Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,4868 0,2434 0,84ns 3,74Kultivar 1 1,9508 1,9508 6,74* 4,60 Penjalar 3 8,0384 2,6795 9,26* 3,34 Kultivar*Penjalar 3 0,8926 0,2975 1,03ns 3,34 Galad 14 4,0492 0,2892 Total 23 15,4177* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 137. Sidik ragam serapan P Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,001225 0,000613 0,20ns Kultivar 1 0,019832 0,019832 6,38* Penjalar 3 0,114688 0,038229 12,29* Kultivar*Penjalar 3 0,030982 0,010327 3,32ns Galad 14 0,043544 0,003110 Total 23 0,210272* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 138.Sidik ragam serapan K Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,02988 0,01494 0,18ns Kultivar 1 0,62562 0,62562 7,39* Penjalar 3 3,45451 1,15150 13,60* Kultivar*Penjalar 3 0,91896 0,30632 3,62* Galad 14 1,18555 0,08468 Total 23 6,21451* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
221
LAMPIRAN 139. Sidik ragam %biji/polong Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 21,41 10,70 1,00ns Kultivar 1 47,86 47,86 4,48ns Penjalar 3 179,49 59,83 5,60* Kultivar*Penjalar 3 66,98 22,33 2,09ns Galad 14 149,46 10,68 Total 23 465,19* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 140. Sidik ragam hasil biji/tanaman Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 137,9 68,9 0,35ns Kultivar 1 425,9 425,9 2,14ns Penjalar 3 789,4 263,1 1,32ns Kultivar*Penjalar 3 2500,0 833,3 4,19* Galad 14 2785,9 199,0 Total 23 6639,1 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 141. Sidik ragam hasil biji total Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 11420 5710 0,67ns Kultivar 1 44568 44568 5,22* Penjalar 3 25985 8662 1,01ns Kultivar*Penjalar 3 152247 50749 5,94* Galad 14 119586 8542 Total 23 353806 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 142. Sidik ragam bobot 100biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 233,2 116,6 1,13ns Kultivar 1 151,3 151,3 1,47ns Penjalar 3 97,9 32,6 0,32ns Kultivar*Penjalar 3 277,8 92,6 0,90ns Galad 14 1442,7 103,0 Total 23 2202,8* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
222
LAMPIRAN 143. Sidik ragam kadarair biji % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,03516 0,01758 4,63* Kultivar 1 0,02470 0,02470 6,50* Penjalar 3 6,04698 2,01566 530,68* Kultivar*Penjalar 3 0,75208 0,25069 66,00* Galad 14 0,05318 0,00380 Total 23 6,91210 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 144. Sidik ragam protein Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0182 0,0091 0,05ns Kultivar 1 0,8932 0,8932 4,71* Penjalar 3 6,5458 2,1819 11,51* Kultivar*Penjalar 3 3,2084 1,0695 5,64* Galad 14 2,6542 0,1896 Total 23 13,3199* = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 145. Sidik ragam HCN % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,00123 0,00061 0,10ns Kultivar 1 0,41344 0,41344 67,43* Penjalar 3 0,93385 0,31128 50,77* Kultivar*Penjalar 3 0,16481 0,05494 8,96* Galad 14 0,08584 0,00613 Total 23 1,59916 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Pertumbuhan Tanaman (nilai b dari Y=a+bX)
LAMPIRAN 146. Sidik ragam klorofil total Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 16,55 8,28 0,55ns 3,23Musim 1 2465,01 2465,01 163,88* 4,08 Kult-Pjl 10 614,01 61,40 4,08* 2,08 Musim*Kult-Pjl 10 556,67 55,67 3,70* 2,08 Galad 42 631,75 15,04 Total 65 4283,99 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
223
LAMPIRAN 147. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,04209 0,02105 0,44ns Musim 1 8,83538 8,83538 183,90* Kult-Pjl 10 0,88033 0,08803 1,83ns Musim*Kult-Pjl 10 1,47120 0,14712 3,06* Galad 42 2,01788 0,04804 Total 65 13,24688 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 148. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 3,9452 1,9726 2,43ns 3,23 Musim 1 123,5535 123,5535 152,16* 4,08 Kult-Pjl 9 8,3065 0,9229 1,14ns 2,12Musim*Kult-Pjl 9 7,1398 0,7933 0,98ns 2,12Galad 38 30,8564 0,8120 Total 59 173,8015 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
224
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN IV
Variabel bagian vegetatif
LAMPIRAN 149. Sidik ragam serapan N Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,06462 0,03231 1,47ns 3,44Musim 1 2,94694 2,94694 133,64* 4,30 Penutup Tanah 5 4,41897 0,88379 40,08* 3,66 Musim*PenutupTanah 5 3,23546 0,64709 29,35* 3,66 Galad 22 0,48512 0,02205 Total 35 11,15110 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 150. Sidik ragam serapan P Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,002639 0,001319 1,56ns Musim 1 0,119025 0,119025 140,57* Penutup Tanah 5 0,113947 0,022789 26,92* Musim*Penutup Tanah 5 0,102458 0,020492 24,20* Galad 22 0,018628 0,000847 Total 35 0,356697 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 151. Sidik ragam serapan K Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,02417 0,01209 1,54ns Musim 1 1,02684 1,02684 131,01* Penutup Tanah 5 1,18412 0,23682 30,22* Musim*Penutup Tanah 5 1,30926 0,26185 33,41* Galad 22 0,17243 0,00784 Total 35 3,71682 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 152. Sidik ragam klorofil total Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,01282 0,00641 0,36ns Musim 1 0,00284 0,00284 0,16ns Penutup Tanah 5 0,03780 0,00756 0,43ns Musim*Penutup Tanah 5 0,09916 0,01983 1,12ns Galad 22 0,38918 0,01769 Total 35 0,54180 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
225
LAMPIRAN 153. Sidik ragam indeks luas daun bulan ke 3 Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,1221 0,0610 1,07ns Musim 1 2,2550 2,2550 39,65* Penutup Tanah 5 5,1399 1,0280 18,07* Musim*Penutup Tanah 5 6,0078 1,2016 21,13* Galad 22 1,2513 0,0569 Total 35 14,7761 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 154. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,1596 0,0798 0,88ns Musim 1 7,9618 7,9618 87,41* Penutup Tanah 5 10,4133 2,0827 22,86* Musim*PenutupTanah 5 0,2852 0,0570 0,63ns Galad 22 2,0039 0,0911 Total 35 20,8239 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 155. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 39,23 19,62 2,09ns Musim 1 1374,43 1374,43 146,56* Penutup Tanah 5 2494,82 498,96 53,21* Musim*Penutup Tanah 5 3474,13 694,83 74,09* Galad 22 206,32 9,38 Total 35 7588,94 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Pertumbuhan Tanaman (nilai b dari Y=a+bX) pada Percobaan 4
LAMPIRAN 156. Sidik ragam kandungan klorofil Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 6345 3173 0,76ns Musim 1 245530 245530 58,82* Penutup Tanah 5 262085 52417 12,56* Musim*Penutup Tanah 5 411351 82270 19,71* Galad 22 91839 4175 Total 35 1017150 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
226
LAMPIRAN 157. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,02420 0,01210 0,41ns Musim 1 2,08102 2,08102 69,81* Penutup Tanah 5 2,23279 0,44656 14,98* Musim*Penutup Tanah 5 2,26535 0,45307 15,20* Galad 22 0,65584 0,02981 Total 35 7,25920 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 158. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 3,6485 1,8242 2,38ns Musim 1 0,5878 0,5878 0,77ns Penutup Tanah 5 14,0781 2,8156 3,67* Musim*Penutup Tanah 5 4,5139 0,9028 1,18ns Galad 22 16,8732 0,7670 Total 35 39,7014 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Variabel hasil
LAMPIRAN 159. Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,010233 0,005117 2,78ns 3,74Musim 1 0,214704 0,214704 116,66* 4,66 Penutup Tanah 3 0,024546 0,008182 4,45* 3,34 Musim*PenutupTanah 3 0,022746 0,007582 4,12* 3,34 Galad 14 0,025767 0,001840 Total 23 0,297996 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 160. Sidik ragam % biji/polong Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,07630 0,03815 0,67ns Musim 1 0,04084 0,04084 0,72ns Penutup Tanah 3 1,70908 0,56969 9,99* Musim*Penutup Tanah 3 1,17955 0,39318 6,90* Galad 14 0,79810 0,05701 Total 23 3,80386 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
227
LAMPIRAN 161. Sidik ragam hasil biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 12,49 6,25 0,51ns Musim 1 54,93 54,93 4,46ns Penutup Tanah 3 18,42 6,14 0,50ns Musim*Penutup Tanah 3 48,57 16,19 1,32ns Galad 14 172,33 12,31 Total 23 306,75 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 162. Sidik ragam bobot 100biji Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,8097 0,4049 2,19ns Musim 1 0,8214 0,8214 4,45ns Penutup Tanah 3 11,8696 3,9565 21,42* Musim*Penutup Tanah 3 8,4786 2,8262 15,30* Galad 14 2,5860 0,1847 Total 23 24,5654 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 163. Sidik ragam kadar air biji % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,05666 0,02833 0,73ns Musim 1 0,11760 0,11760 3,04ns Penutup Tanah 3 0,17157 0,05719 1,48ns Musim*Penutup Tanah 3 0,36583 0,12194 3,16ns Galad 14 0,54087 0,03863 Total 23 1,25253 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 164. Sidik ragam protein % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,18953 0,09476 1,39ns Musim 1 0,71415 0,71415 10,51* Penutup Tanah 3 0,46610 0,15537 2,29ns Musim*Penutup Tanah 3 0,70228 0,23409 3,44* Galad 14 0,95174 0,06798 Total 23 3,02380 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
228
LAMPIRAN 165. Sidik ragam HCN % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,013358 0,006679 0,70ns Musim 1 0,033750 0,033750 3,56ns Penutup Tanah 3 0,106750 0,035583 3,75* Musim*Penutup Tanah 3 0,196550 0,065517 6,91* Galad 14 0,132775 0,009484 Total 23 0,483183 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Variabel Tanah
LAMPIRAN 166. Sidik ragam bahan organik tanah Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,20882 0,10441 7,44* 3,37Musim 1 0,01449 0,01449 1,03ns 4,23Penutup Tanah 6 0,12950 0,02158 1,54ns 2,47Musim*Penutup Tanah 6 0,05191 0,00865 0,62ns 2,47Galad 26 0,36485 0,01403 Total 41 0,76956 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 167. Sidik ragam N total Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0031048 0,0015524 3,21ns Musim 1 0,0024381 0,0024381 5,05* Penutup Tanah 6 0,0080286 0,0013381 2,77* Musim*PenutupTanah 6 0,0084286 0,0014048 2,91* Galad 26 0,0125619 0,0004832 Total 41 0,0345619 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 168. Sidik ragam C/N Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,6309 0,3154 1,94ns Musim 1 0,0878 0,0878 0,54ns Penutup Tanah 6 2,1336 0,3556 2,19ns Musim*Penutup Tanah 6 1,3492 0,2249 1,38ns Galad 26 4,2301 0,1627 Total 41 8,4316 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
229
LAMPIRAN 169. Sidik ragam P total% Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0007190 0,0003595 2,41ns Musim 1 0,0309429 0,0309429 207,30* Penutup Tanah 6 0,0114810 0,0019135 12,82* Musim*Penutup Tanah 6 0,0008238 0,0001373 0,92ns Galad 26 0,0038810 0,0001493 Total 41 0,0478476 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 170. Sidik ragam K total % Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,003047 0,001523 4,86* Musim 1 0,073836 0,073836 235,40* Penutup Tanah 6 0,323881 0,053980 172,10* Musim*Penutup Tanah 6 0,010580 0,001763 5,62* Galad 26 0,008155 0,000314 Total 41 0,419499 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Kondisi tanah saat perlakuan
LAMPIRAN 171. Sidik ragam bahan organik Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Blok 2 0,8967 0,4484 4,40* 3,55 Musim 1 0,1294 0,1294 1,27ns 4,41Penutup Tanah 4 0,2086 0,0522 0,51ns 2,93Musim*Penutup Tanah 4 0,3332 0,0833 0,82ns 2,93Galad 18 1,8344 0,1019 Total 29 3,4023 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 172. Sidik ragam agregat Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 40,443 20,222 2,17ns Musim 1 824,776 824,776 88,34* Penutup Tanah 4 34,676 8,669 0,93ns Musim*Penutup Tanah 4 77,529 19,382 2,08ns Galad 18 168,058 9,337 Total 29 1145,483 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
230
LAMPIRAN 173. Sidik ragam pori tak tergunakan Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,0014341 0,0007170 2,02 ns Musim 1 0,0115248 0,0115248 32,54* Penutup Tanah 4 0,0011273 0,0002818 0,80 ns Musim*Penutup Tanah 4 0,0005185 0,0001296 0,37 ns Galad 18 0,0063759 0,0003542 Total 29 0,0209807 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 174. Sidik ragam pori menahan lengas Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,036645 0,018322 15,09* Musim 1 0,001347 0,001347 1,11 ns Penutup Tanah 4 0,001018 0,000254 0,21 ns Musim*Penutup Tanah 4 0,003814 0,000953 0,79 ns Galad 18 0,021855 0,001214 Total 29 0,064678 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 175. Sidik ragam pori drainase Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,012914 0,006457 2,79 ns Musim 1 0,228290 0,228290 98,62* Penutup Tanah 4 0,007903 0,001976 0,85 ns Musim*Penutup Tanah 4 0,002706 0,000676 0,29 ns Galad 18 0,041668 0,002315 Total 29 0,293481 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 176. Sidik ragam berat volume Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,04067 0,02033 1,24ns Musim 1 0,34133 0,34133 20,89* Penutup Tanah 4 0,07319 0,01830 1,12ns Musim*Penutup Tanah 4 0,04453 0,01113 0,68ns Galad 18 0,29407 0,01634 Total 29 0,79379 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
231
LAMPIRAN 177. Sidik ragam % porositas Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 147,05 73,52 1,45ns Musim 1 3859,91 3859,91 75,99* Penutup Tanah 4 160,74 40,18 0,79ns Musim*Penutup Tanah 4 8,31 2,08 0,04ns Galad 18 914,27 50,79 Total 29 5090,27 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
232
LAMPIRAN 177, Sidik ragam Sumbangan N
Sumber DB JK KT Fhit P
Blok 2 0,0011126 0,0005563 0,76 0,480 ns
Musim 1 0,0034669 0,0034669 4,76 0,043* Penutup Tanah 4 0,0072579 0,0018145 2,49 0,080 ns
Musim*Penutup Tanah 4 0,0073780 0,0018445 2,53 0,076 ns
Galad 18 0,0131112 0,0007284 Total 29 0,0323267
232
LAMPIRAN KOEFISIEN KORELASI ANTAR VARIABEL
Lampiran 178. Koefisien korelasi antar masing-masing variabel
Ø´ Þ·¶· Þ¾¬ Þ®µ Þïð𾶠ײ¼ п²»² ×ÔÜ ë ³¹ ßµ¿®ñ¬¿¶«µ п²¶ ßµ¿® Ю±¬»·² ØÝÒ
Ø´ Þ·¶· ï
Þ¾¬ Þ®µ ðôêëë nsï
Þïð𾶠ðôðïé ns ðôððï nsï
ײ¼ п²»² ðôçððö ðôèìê ö ðôððé nsï
×ÔÜ ë ³¹ ðôðîë ns ðôïèð ns ðôððð ns ðôïèé nsï
ßµ¿®ñ¬¿¶«µ ðôíèî ns ðôëïç ns ðôðçð ns ðôìêç ns ðôïðì nsï
п²¶ ßµ¿® ðôìîê ns ðôììë ns ðôðíí ns ðôëïé ns ðôïíì ns ðôððï nsï
Ю±¬»·² ðôïðç ns ðôìéë ns ðôðëê ns ðôïçé ns ðôðíç ns ðôíëì ns ðôðïé nsï
ØÝÒ ðôîðï ns ðôðëç ns ðôððç ns ðôðêç ns ðôîëé ns ðôííë ns ðôðèç ns ðôïèî nsï
ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Lampiran 179. Koefisien korelasi antar berbagai variabel pada Percobaan Pemupukan
HasilBiji
Jml Bintil
BKBintil
BKAkar
BKBAtas
BKTajuk Akar/tajuk
Indeks Panen Srp N Srp P Srp K
Hasil Biji 1
Jml Bintil 0,010 ns 1
BK Bintil 0,006 ns 0,925 * 1
BK Akar 0,562 * 0,318 ns 0,256 ns 1
BKB Atas 0,016 ns 0,399 ns 0,309 ns 0,326 ns 1
BK Tajuk 0,050 ns 0,398 ns 0,307 ns 0,404 * 0,990 * 1
Akar/tajuk 0,435 * 0,352 ns 0,422 * 0,735 * 0,122 ns 0,067 ns 1
IndekPnen 0,992 * 0,016 ns 0,013 ns 0,591 * 0,019 ns 0,055 ns 0,449 * 1
SerapanN 0,203 ns 0,500 * 0,404 * 0,698 * 0,849 * 0,903 * 0,399 ns 0,221 ns 1
SerapanP 0,075 ns 0,681 * 0,581 * 0,566 * 0,825 * 0,846 * 0,351 ns 0,095 ns 0,924 * 1
SerapanK 0,191 ns 0,532 * 0,437 * 0,730 * 0,801 * 0,652 * 0,444 * 0,215 ns 0,984 * 0,951* 1ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
233
Lampiran 180. Koefisien korelasi antar komponen karabenguk
Õ®Þ»²¹«µ Ø´ Þ¶ Þ±Þ®²¹µ ×ÔÜ Ü³¬ Õ´±® ̬´ Ø´ñÌ¿² Þïðð¾ ×Ð ûÞ¶ñд²¹ Õß Ð®±¬ ØÝÒØ´ Þ¶ ïÞ±Þ®²¹µ ðôìêî ö ï×ÔÜ ðôìîç ö ðôèçì ö ïܳ¬ ðôëïí ö ðôèëë ö ðôèéð ö ï Õ´±® ̬´ ðôîêì ö ðôîíç ö ðôíèë ö ðôëðì ö ï Ø´ñÌ¿² ðôéíî ö ðôìèí ö ðôìïë ö ðôëîï ö ðôîêè ö ïÞïðð¾ ðôíïê ö ðôïèî ö ðôîìð ö ðôìîç ö ðôêíé ö ðôîêë ö ï ×Ð ðôððï ns
ðôíéì ö ðôîíç ö ðôïïð ns ðôðìç ns ðôðïî ns ðôðëí nsï
ûÞ¶ñд²¹ ðôïèé ö ðôðéî ns ðôïìê nsðôîèï ö ðôéçç ö ðôïèç ö ðôéèì ö ðôïéî ns
ïÕß ðôïéë ns ðôðçé ns
ðôïçì ö ðôííð ö ðôèéì ö ðôïêí nsðôéíç ö ðôïìë ns
ðôçéï ö ïЮ±¬ ðôîðè ö ðôïíé ns
ðôîëî ö ðôíçé ö ðôçíí ö ðôìçè ö ðôéìì ö ðôïïê nsðôçìï ö ðôçðî ö ï
ØÝÒ ðôïîé ns ðôðìí ns ðôïíï nsðôîëé ö ðôèïî ö ðôðçì ns
ðôêìè ö ðôîîç ö ðôèëê ö ðôçèð ö ðôçîð ö ï ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Lampiran 181. Koefisien korelasi antar hasil tanaman jagung
ÞµÞ®µ Þïð𠾶 Ø´ Öñ¬¿² Ø´ Ö¿¹«²¹ñ°»¬¿µÞµ Þ®²¹µ ïÞïð𠾶 ðôèçë ö ïØ´ñ¬¿² ðôèìð ö ðôèêí ö ïØ´ Ö¿¹«²¹ñ°»¬¿µ ðôçèï ö ðôèìí ö ðôçïê ö ï
ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Lampiran 182. Koefisien korelasi antar komponen Tumpangsari
ßÌÛÎ Í®° Ò Í®° Ð Í®° Õ ßÌÛÎ ïÍ®° Ò ðôðîë ns
ïÍ®° Ð ðôðìë ns ðôéï ns
ïÍ®° Õ ðôððí ns ðôìêë ns ðôíçð ns
ïns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
234
Lampiran 183. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan hasil tanaman penutup tanah
ØÞ·¶· Þïðð × Ð ûÞñд Õß û Ю±¬û ØÝÒû ÞµÞ®µ Í®° Ò Í®° Ð Í®° Õ Õ´® ̬ ×Ôܾ´í ܳ¬ ¾¬
Ø´ Þ·¶· ï
Þ¾¬ ïð𾶠ðôêêö ï
ײ¼ п² ðôðè ns ðôîðns ï
ûÞ¶ñд²¹ ðôéïö ðôçðö ðôíïns ï
Õß û ðôéíö ðôèíö ðôíëns ðôçêö ï
Ю±¬»·² û ðôéêö ðôèíö ðôíïns ðôçëö ðôçêö ï
ØÝÒ û ðôêêö ðôéçö ðôììö ðôçîö ðôçëö ðôçêö ï
ÞÑ Þ®µ ðôêíö ðôíéö ðôðêns ðôíêö ðôíèö ðôìîö ðôîê ns ï
Í®° Ò ðôéïö ðôìëö ðôðîns ðôìíö ðôìéö ðôëðö ðôíìö ðôççö ï
Í®° Ð ðôêéö ðôêêö ðôðíns ðôìïö ðôìíö ðôìèö ðôíïö ðôçéö ðôççö ï
Í®° Õ ðôéðö ðôìïö ðôðíns ðôíçö ðôìïö ðôìêö ðôîçö ðôçéö ðôçèö ðôççö ï
Õ´® ̱¬ Ü ðôðê ns ðôðèns ðôðïns ðôðé ns ðôðé ns ðôðé ns ðôðé ns ðôðï ns ðôðç ns ðôðç ns ðôðç ns ï
×ÔÜ ¾´ í ðôëêö ðôìîö ðôðîns ðôíéö ðôìîö ðôìéö ðôííö ðôçðö ðôçîö ðôçìö ðôçðö ðôïìns ï
ܳ¬ ¾¬ ðôéìö ðôëèö ðôðïns ðôëçö ðôêìö ðôêéö ðôëíö ðôéìö ðôéçö ðôéêö ðôéëö ðôîèns ðôéðö ïns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Lampiran 184. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan tanah pada tanaman penutup tanah
ÝñÒ ÞÑ̲¸ Õ¬±¬ Ь±¬ Ò¬±¬ ÐÜ ÐÓ ÐÌ ÞµÞ®¹µ ܳ¬ Õ´±®±º·´
ÝñÒ ïÞÑ̲¸ ðôîð ² ïÕ¬±¬ ðôîë ² ðôðî ² ïЬ±¬ ðôîí ² ðôðì ² ðôçéö ïÒ¬±¬ ðôêèö ðôðï ² ðôîç ² ðôíí ² ïÐÜ ðôîé ² ðôðï ² ðôçéö ðôçèö ðôíð ² ïÐÓ ðôêêö ðôðï ² ðôéíö ðôéíö ðôêëö ðôéëö ïÐÌ ðôîé ² ðôðí ² ðôèêö ðôéçö ðôíì ² ðôèðö ðôéìö ïÞµÞ®¿²¹µ ðôðê ² ðôïî ² ðôîï ² ðôïë ² ðôðí ² ðôïë ² ðôðì ² ðôíì ² ïܳ¬ ðôðí ² ðôîè ² ðôíç ² ðôíì ² ðôðð ² ðôîç ² ðôðç ² ðôëíö ðôéìö ïÕ´±®±º·´ ðôîî ² ðôëêö ðôðï ² ðôðî ² ðôðï ² ðôðì ² ðôïï ² ðôðð ² ðôðé ² ðôîç ² ï
ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
235
LAMPIRAN PENYETARAAN UNTUK MENGETAHUI LUAS DAUN,
KLOROFIL DAN LENGAS TANAH
LAMPIRAN 185
Daun trifoliate karabenguk
No. Panjang ( p )
LAMPIRAN 185b
(cm) Lebar ( l )
(cm) P x l (cm²)
Berat kertas (g) Luas Daun Rata-rata (cm²)
1 5,50 3,25 17,8750 0,312 44,57142 7,75 4,25 32,9375 0,593 84,71433 9,00 4,75 42,7500 0,736 105,14294 9,00 5,25 47,2500 0,690 98,57145 10,00 5,50 55,0000 0,832 118,85716 9,25 6,00 55,5000 0,849 121,28577 9,50 6,00 57,0000 0,858 122,57148 9,50 6,50 61,7500 0,885 126,42869 11,00 6,25 68,7500 0,977 139,571410 10,50 6,75 70,8750 1,009 144,1429
Daun jagung
No. Panjang ( p ) (cm)
Lebar ( l ) (cm)
P x l (cm²)
Berat kertas (g) Luas Daun Rata-rata (cm²)
1 78 9 702 4,074 5822 64 4,5 288 1,663 2383 37 3 111 0,562 80
LAMPIRAN 185c
Daun kalopogonium
No. Panjang ( p ) (cm)
Lebar ( l ) (cm)
P x l (cm²)
Berat kertas (g) Luas Daun Rata-rata (cm²)
1 4 3 12 0,148 21,14292 3,2 2,3 7,36 0,092 13,14293 1,8 1,4 2,52 0,036 5,1429
236
LAMPIRAN 185d
Daun sentrosema
No. Panjang ( p ) (cm)
Lebar ( l ) (cm)
P x l (cm²)
Berat kertas (g)
Luas Daun Rata-rata (cm²)
1 5,5 3 16,5 0,182 26,00002 4,6 2,5 11,5 0,137 19,57143 3,5 1,5 5,25 0,065 9,2857
LAMPIRAN 186 Penyetaraan hasil klorofil meter ke berat klorofil per cm2 daun Karabenguk
Klr Meter A 645 A 663 Klr Tot g/l KTot mg/cm2 16,9 0,050 0,108 1,6404 0,205128,9 0,206 0,476 6,9815 0,872730,4 0,254 0,562 8,4294 1,053734,9 0,270 0,618 9,1082 1,138539,1 0,290 0,638 9,5978 1,1997
LAMPIRAN 187 Hubungan hasil ukur soil tester dan kadar lengas tanah
No. Hasil ukur (X) Kadar Lengas (Y) dalam %
1 47,5 7,952 52,5 10,283 100 12,22
237
LAMPIRAN DATA LENGAS TANAH
LAMPIRAN 188
Data kadar lengas tanah ( % ) di lapangan berdasarkan bulan pengamatan
Bulan Ke Lengas Tanah Kapasitas Lapangan Titik Layu Permanen 3 12,15 17,16 7,724 7,65 5 12,326 9,22 7 7,89 8 5,81