Download - JALAN-JALAN TUJUH HARI
JALAN-JALAN
TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu
hardia rayya
JALAN-JALAN
TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu
JALAN-JALAN TUJUH HARI:
MUTER-MUTER BALARAJA BARENG HITAM PUTIH ABU-ABU Hardia Rayya
Balaraja: Hitam Putih Abu-Abu Publishing, Febuari 2011 Hal, 13x19 cm
Ilustrasi : Tyan Oriza Editor :Bsik Hikari, Angkasa Wirawan
Foto Sampul: Khatta Goenawant
Diterbitkan Oleh : Hitam Putih Abu-Abu Publishing
Balaraja, Banten 15610
PENGANTAR PENULIS
Bismillahirahmanirrahim
Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan untuk menulis yang di
dalamnya terdapat petualangan dan mengambil setting lokasi di
Balaraja. Sebab dari berbagai buku-buku fiksi yang memenuhi rak-
rak di toko buku, kebanyakan bercerita tentang cinta, cinta dan
cinta. Memang, tidak semua buku bertemakan cinta yang sama,
tapi juga kemasannya yang berbeda-beda.
Bagiku, tulisan yang kutulis ini juga berkisah tentang
cinta, tapi cintanya berkisah tentang persahabatan, petualangan dan
cinta daerah sendiri. Karena untuk apa mengambil seting lokasi
dari daerah lain, sedangkan di daerah sendiri banyak sekali kisah-
kisah menarik yang mampu menggugah hati.
Dalam cerita yang kutulis kali ini, lebih detail
kugambarkan berbagai kegelisahan empat orang remaja yang
memberontak dari kehidupan remaja seusia mereka. Mereka lebih
memilih menghabikan waktu di jalanan daripada sibuk ke salon
memenahi diri.
Maka, dari tulisanku kali ini, marilah kita bercermin,
terutama kepada para remaja. Kita harus senantiasa gelisah, gelisah
memikirkan sekitar!
Nikmatilah ini, yang kupersembahkan untuk kalian semua
PROLOG
SEJARAH NAMA BALARAJA
Balaraja adalah nama sebuah daerah yang terletak di kabupaten
Tangerang. Nama Balaraja berasal dari kata Bale dan Raja. Bale
artinya tempat peristirahatan, tempat bersantai, atau tempat
melepas lelah yang biasanya terbuat dari bambu. Raja adalah
orang yang memimpin sebuah kerajaan atau suatu wilayah
tertentu. Balaraja, atau biasa disebut Baleraja itu berarti tempat
beristirahatnya raja.
Zaman dahulu daerah Balaraja adalah daerah khusus
tempat singgah raja dari kesultanan Banten menuju Cirebon atau
saat ke Batavia. Letaknya di kampung Talagasari di pinggir sungai
Cimanceuri yang asri dan dekat jalan raya.
Penduduk Balaraja hidup dalam keramah-tamahan.
Mereka hidup berkecukupan dengan mengandalkan pertanian.
Sebagai daerah yang sering dilalui dan disinggahi pendatang
(pedagang, tentara, keluarga kerajaan, bahkan perampok) wilayah
ini jadi dikenal oleh banyak orang.
Pada suatu hari ketika sang raja yang sedang dalam
perjalanan pulang menuju kesultanannya di Banten, raja merasa
lelah dan memerintahkan para prajurit untuk membangun sebuah
bale yang terletak tak jauh dari sungai Cimanceuri. Raja itu sangat
senang dengan ketenangan. Ketika raja dan para prajurit sedang
beristirahat, lewatlah seorang gadis desa yang sangat cantik di
hadapannya. Lalu sang raja memerintahkan salah satu dari
prajuritnya untuk membuntuti ke mana dan siapakah gadis desa
itu.
Tidak lama kemudian, prajurit yang diutus untuk
membututi si gadis cantik itu kembali dengan membawa berita
yang cukup mengejutkan sang raja. Gadis desa itu ternyata akan
dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Raja merasa
kecewa, tapi raja sebagai seorang lelaki tidak mau begitu saja
mengalah hanya karena gadis itu akan menikah, lalu raja itu
membuat strategi untuk mewujudkan niatnya, yaitu menikahi dan
menjadikan gadis tersebut selir. Akhirnya raja memilih persaingan
sebagai seorang lelaki untuk mendapatkan gadis itu.
Ia menetap beberapa waktu di bale dan rela meninggalkan
kerajaan demi mendapat gadis yang ia idam-idamkan. Dengan
strategi yang pas dan taktik yang cerdas, pemuda desa yang
menjadi kekasih gadis desa itu kalah bersaing dengannya. Raja pun
menjadi pemenang. Sebagai bukti kemenangannya, raja membawa
gadis itu ke kerajaan dan menjadikannya selir. Dari pernikahannya
dengan gadis desa itu, raja mendapatkan satu orang anak.
Daerah ini dinamakan Balaraja, balenya raja. Setelah itu,
cerita selanjutnya sudah tidak ada lagi yang tersisa, tentang anak
keturunan gadis desa itu. Makam yang berada di desa Bunar saja
yang dipercaya masyarakat memiliki keterkaitan dengan keluarga
kerajaan. Sebagian besar percaya bahwa makam-makan itu adalah
makam dari keluarga kerajaan.1
1 Catatan tentang sejarah nama Balaraja ini kudapat dari sebuah blog http://endollempuyang.blogspot.com/2009/07/balaraja.html
orang yang memiliki blog ini pun mendapatkannya dari sebuah blog juga http://oncepsajalah.blogspot.com. Tapi sebagian sudah
direvisi agar terasa enak dibaca. Karena hal ini menyangkut
sejarah nama daerahku, tak ada salahnya jika aku membuat sebuah
persembahan untuknya, Balaraja.
HITAM PUTIH ABU-ABU
Hitam putih abu-abu adalah nama sebuah kelompok remaja yang
menginginkan adanya perubahan dari sebuah kehidupan, lebih
tepatnya kehidupan mereka sebagai remaja. Mereka sangat muak
melihat tingkah laku remaja saat ini yang begitu hedonis2, yang
hanya gemar hura-hura, pesta dan sangat tak acuh terhadap
lingkungan sekitar. Mereka adalah Hardi, Iwan, Tedi dan Tyan.
Lalu dari wanitanya ada Ayu, Bsik dan Vera. Mereka bertujuh
melakukan kegiatan yang berbeda dari kebanyakan remaja saat ini,
seperti backpacking, hiking, dan diskusi (dalam diskusi ini mereka
lebih mengarah kepada seni, sastra, fotografi, kartun dan film).
Hitam putih abu-abu ini menolak menjadi remaja yang
kebanyakan. Mereka menolak untuk memakai pakaian yang serba
baru, bagus dan selalu mengikuti trend mode, menolak untuk
melakukan hobi shopping di mall-mall untuk sekedar ngeceng.
Kalau ke mall pun mereka lebih memusatkan diri untuk ke toko
buku. Hitung-hitung baca gratis.
2 Pengikut aliran hedonisme. Hedonisme sendiri artinya, pandangan hidup yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan paling utama.
Kadang, hal-hal gila mereka lakukan untuk sekedar
melepas jenuh di otak karena kegiatan yang begitu menyita waktu.
Seperti berangkat malam hari pada sabtu malam dan pulang
minggu pagi. Kegiatan gilanya antara lain mereka tidur di mana
saja yang mereka sukai. Mereka lebih memilih tidur melihat
bintang dan mendengar bunyi jangkrik, daripada berpesta semalam
suntuk di diskotik atau pesta seks.
Hitam putih abu-abu percaya kepada mimpi. Mereka juga
yakin terhadap hal-hal yang mustahil. Seperti melakukan
perjalanan jauh yang tak mungkin bisa. Mereka jalani walau
dengan uang pas-pasan. Mereka semua punya mimpi dan cita-cita.
Tak pernah takut jatuh dan berani mengkritik, juga tak jatuh
apabila dikritik. Imajinasi tinggi dan daya khayal yang melebihi
remaja-remaja kebanyakan, membuat mereka lebih unggul di
bidang apapun. Tapi namanya manusia pasti punya kesalahan dan
kekurangan. Berbagai hal yang membuat mereka sakit pun mereka
lalui tanpa menyerah.
Hitam putih abu-abu adalah anak alam korban
pembangunan yang tambal sulam di negeri ini. Sesepuh desa di
kaki gunung Pulosari, Mbah Sugi, menjuluki Hardi, Iwan, Tedi
dan Tyan sebagai anak-anak yang terpilih. Anak-anak muda yang
selalu berusaha menemukan jati diri mereka sendiri, mampu
melindungi diri, kawan dan lingkungan sekitar, menegakkan
kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir lebih maju dan
ganas. Mereka bertemu dengan Mbah Sugi ketika perjalanan
mendaki di gunung Pulosari.
MENGAPA MEMILIH NAMA HITAM PUTIH ABU-ABU?
Karena hitam Putih abu-abu adalah sebuah jalan, dan pilihan.
Hitam, putih, abu-abu bukanlah warna, itu semua adalah awal.
Landasan atau alas. Hitam, putih, dan abu-abu saling berkaitan.
Kuat bila bersama-sama. Jalan yang harus dipilih adalah hitam
dan putih. Sedangkan abu-abu adalah saat di mana mereka hendak
memilih jalan yang akan dilalui, bisa dibilang sebuah
persimpangan menuju misteri yang akan terbongkar. Apakah hitam
ataukah putih? Lalui dan pilihlah kawan!
Hitam putih abu-abu menyebut sepak terjang mereka
dengan sebutan petualangan mencari ujung pelangi.
Hardi (Hardia Rayya)
Adalah remaja yang gemar menulis puisi dan fiksi serta
bacpacking dengan uang pas-pasan. Juga membaca (memang pada
dasarnya hitam putih abu-abu ini adalah sekelompok remaja yang
hobi membaca). Ia lebih memilih tampil urakan daripada
mengikuti mode zaman. Tubuhnya tinggi dan kurus, banyak
omong. Tokoh favoritnya adalah Sutardji Chalzoum Bachri3, Seno
Gumira Adjidarma4, dan Pramoedya Ananta Toer
5. Gaya bicaranya
lebih mengarah ke kritikan diselingi berbagai lelucon. Mudah
bergaul dan tak membeda-bedakan teman. Cita-citanya adalah
menjadi penulis dan bisa keliling dunia, juga mengunjungi makam
Nabi Muhammad SAW.
Iwan (Khatta Goenawant)
Remaja yang satu ini memiliki wajah yang cukup tampan bila
dibandingkan dengan anggota hitam putih abu-abu yang lain. Gaya
berpakaiannya tidak terlalu urakan. Ia hobi membaca dan
3 Penyair Indonesia yang dijuluki sebagai presiden penyair. Ia memperkenalkan puisi bergaya mantra. Karyanya yang fenomenal adalah O Amuk Kapak. 4 Dia adalah seorang penulis essai,cerpen, novel dan roman. Dia adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Salah satu karyanya adalah kumpulan cerpen Manusia Kamar. 5 Seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Ia sudah menghasilkan lebih dari 50 karya, diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Bukunya pernah dilarang beredar pada masa pemerintahan orde baru, karena pandangannya pro-komunis Tiongkoknya. Ia ditan tanpa pengadilan di Nusakambangan dan di pulau Buru. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah novel semi fiksi sejarah Indonesia, novel tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
memotret. Apapun ia foto (memiliki obsesi menjadi seorang
fotografer). Sifat buruknya adalah pesimis, tapi di balik
kepesimisannya itu ia yakin, bahwa setiap hal yang ia lakukan
pasti berhasil. Tokoh favoritnya adalah Mohammad Hatta6 dan
Goenawan Mohammad7. Entah mengapa apabila ada nama
Gunawan atau yang berakhiran –wan, pasti ia sangat bangga
kadang mengatakan, “diakan saudara gue!”. Mudah bergaul walau
pemalu. Pertama mengenalnya pasti penilaian pertama yang
terlintas adalah dia orang yang dingin.
Tedi (Angkasa Wirawan)
Adalah seorang remaja keras kepala. Foto memoto dan menulis
puisi adalah hobinya juga memiliki obsesi menjadi seorang filsuf.
Gemar beribadah, dan tak mudah goyah dalam mengambil
keputusan. Gaya berpakaiannya agak rapi dan sering terlihat
memakai celana bahan. Ia termasuk remaja yang tangguh yang tak
mudah menyerah. Tapi dia juga punya sifat putus asa yang selalu
datang datang apabila itu menyangkut hal-hal yang merugikan
6 Seorang tokoh proklamasi dan seorang wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. 7 Seorang penyair, jurnalis dan penyunting. Dia juga termasuk sastrawan yang terkemuka di Indonesia, termasuk salah seorang pendiri Majalah Tempo.
dirinya. Ia sering mengeluh, tapi di lain waktu ia bisa terlihat lebih
optimis dibanding yang lain. Tokoh favoritnya Jalaluddin Rumi8.
Cita-cita terbesarnya ingin bisa berdakwah sampai ke India,
Pakistan, Bangladesh sampai keliling dunia. Ia pun memiliki
mimpi menjadi Harry Potter9. Tedi adalah satu-satunya orang di
hitam putih abu-abu yang memiliki jenggot, walaupun tipis.
Tyan (Tyan Oriza)
Remaja yang satu ini memiliki sifat misterius. Dari penampilannya
yang urakan seakan-akan menyatakan bahwa dia adalah seorang
remaja tanpa masa depan. Tidak jelas cita-citanya mau jadi apa.
Tapi dia adalah yang terhebat di hitam putih abu-abu. Tyan
dipanggil Jenderal oleh teman-temannya karena memiliki jiwa
pemberani dan kuat. Dia juga sangat berbakat di bidang seni rupa
dan yang paling istimewa adalah imajinasinya sangat tinggi
melebihi imajinasi orang dewasa. ia selalu mengidolakan Peter
Pan10
. Pemikirannya begitu fresh dan tinggi, walau dalam
pelaksanaannya ada yang kurang berhasil. Cita-citanya ingin
menjadi komikus dan bergabung dengan MARVEL COMIC dan
8 Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi. Karya-karyanya sangat berbeda dan memiliki khas dibandingkan dengan penyair sufi lain. 9 Tokoh novel yang memilii kekuatan sihir ciptaan J.K Rowling. 10 Tokoh kartun ciptaan J. M. Barrie.
WARNERBROSS. Dia ingin sekali mengembangkan kegemaran
menulis dan menggambar animasinya di Jepang dan Amerika agar
bisa bersaing dengan para komikus yang ada di negeri Sakura dan
negeri Paman Sam itu. Tidak narsis dibanding Hardi, Iwan dan
Tedi. Ia begitu pendiam bagi orang yang belum mengenal dirinya.
1
Lakukanlah! Karena di dunia ini ngga ada yang ngga
mungkin. Kecuali satu hal, makan kepala sendiri. – Hardia
Rayya
“Heufth...” Tyan menguap.
Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Tyan terlihat begitu
mengantuk, maklumlah, ia kalau tidak kerja, kerjaannya cuma
makan, tidur, makan, tidur plus kentut.
“Nape lu, ngantuk?” tegurku, sambil mengucek mata.
“Lah Har, lu juga kaya lagi nyuci. mata lu tuh masih
banyak belek...” Iwan pun nyeletuk dengan mata yang merem-
merem melek.
Cuma Tedi yang tak terlihat mengantuk. Wajar saja dia
sudah biasa bangunin ayam, kalo nggak ada yang bangun tuh para
ayam, ia malah berkokok yang menggetarkan dunia.
“Ngantuk gue...” ucapku datar.
Kami berempat, siap berangkat untuk menghirup udara
segar di jantungnya dunia, di punggung bumi, yaitu gunung.
Sambut kami gunung!
Dengan jalan yang sempoyongan, karena dari semalam
susah tidur, kami tetap saja nekad.
“Boi, mending video kol11
sama Mbah Sugi... heuft”
ucapku.
“Iya, Wan hape lu aja kan yang tri ji? Udeh ngehubungin
tuh si Mbah. Pengen liat gue mukanya, masih ngantuk ga yah?”
lanjut Tyan mengiyakan.
“Kita ke sono, selain ke gunung, mau nagih hutang juga
nih ke si Mbah? Hehe” tanya Iwan sambil nyengir12
.
“Ya iyalah, masa ya iya dong, jangan mentang-mentang
dia udah kakek-kakek. Kalah tarohan ga mau n ga usah bayar...”
jawabku tak mau kalah.
“Sori yeh, jangan mau dirugiin sama kakek tua bangka
itu...” kata Tedi sambil mengepalkan tangannya. Pernah dia kalah
bertaruh habis-habisan dengan Mbah Sugi, hampir empat ratus
ribu. Sekarang dia akan melakukan pembalasan kepada beliau.
Kami berempat mengadakan taruhan nonton audisi dangdut, siapa
yang bakal keluar, ternyata pilihan kami benar, seorang wanita
muda dengan suara jelek, cuma menang seksi aja, tapi berbeda
dengan Mbah Sugi, beliau malah menjagokan wanita itu dengan
alasan cantik.
11 Fasilitas yang ada di handphone, agar bisa mengobrol sambil bertatapan muka. 12 Senyum lebar dengan kelihatan gigi.
“Udah jangan pada ribut sih, diem nih gue lagi nelepon si
Mbah.” Iwan terlihat serius menunggu telepon diangkat oleh Mbah
Sugi.
Mbah Sugi adalah seorang sesepuh desa di kaki gunung
Pulosari13
. Perkenalan yang mengejutkan menurutku, pada waktu
itu kami sedang tersesat di gunung Pulosari, dan muncullah
sesosok lelaki tua yang kukira setan. Iwan saja sampai terkencing-
kencing karena kaget melihatnya. Kami tak kuat berlari ketika
berhadapan dengan mahluk menakutkan itu. Yang membuat seram
adalah tawanya, begitu kencang dan menakutkan. Beliau
mendekat, semakin dekat dan seorang pria tua renta dengan gigi
tinggal beberapa butir saja tersenyum kepada kami. Mulai dari
sanalah kami kenal Mbah Sugi. Beliau orang yang menyenangkan.
Tak terlihat seperti sesepuh desa. Malah lebih condong sebagai
seorang remaja dengan wajah keriput. Ya, gayanya itu, belagu14
,
seperti remaja kebanyakan, terlebih telepon genggam yang selalu
dijinjingnya kemana-mana. Tak tanggung-tanggung, merknya
BLACKBERRY. Gila, orang tua yang satu ini.
Juga hobi yang mungkin banyak digandrungi oleh semua
kalangan, yaitu taruhan. Kami sering bertaruh segala hal, mulai
dari sepak bola sampai audisi dangdut. Biasanya Mbah Sugi tak
13 Nama sebuah gunung yang terletak di daerah kabupaten Pandeglang. 14 Berlagak sombong, sambil memamerkan apa yang tidak dipunyai orang lain. Juga merasa lebih hebat dari orang lain. Sebuah bahasa pergaulan dari kata sombong.
pernah kalah. Tapi entah mengapa kali ini kami berempat menang
telak. Haha, biar tau rasa orang tua itu.
Beliau tinggal di desa di kaki gunung dengan empat orang
anak yang semuanya telah tumbuh dewasa. Istrinya telah
meninggal saat mereka berdua berusaha menaklukkan gunung Jaya
Wijaya. Istrinya tergelincir dan meninggal. Sangat disayangkan.
Beliau termasuk orang yang sukses karena telah berhasil mendidik
semua anaknya agar hidup mandiri dan semua lulus dengan gelar
sarjana, bahkan anak terakhirnya ini sedang melanjutkan study S2-
nya.
Mbah Sugi adalah orang yang memberi gelar kepada kami
sebagai anak-anak yang terpilih. Beliau biasanya menyebut kami
sebagai anak alam korban pembangunan yang tambal sulam di
negeri ini . Kami, anak-anak yang selalu berusaha menemukan jati
diri sendiri, mampu melindungi diri, kawan dan lingkungan
sekitar, menegakkan kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir
lebih maju dan ganas di bumi ini. Mbah Sugi pun menanamkan
kepada kami tentang betapa hebatnya sebuah mimpi. Makanya
beliau selalu menyuruh kami untuk bermimpi. Beliau
menganugerahi kami sebutan anak-anak yang terpilih karena
khayalan dan mimpi kami begitu tinggi. Melebihi pemikiran
remaja yang seusia. Seperti yang selalu diucapkan beliau, “Masa
depanmu ditentukan dari mimpi-mimpimu – Mbah Sugi”.
Setelah Mbah Sugi merasa umurnya sudah cukup tua
sebagai pecinta keagungan Tuhan, beliau memilih untuk
menghabiskan waktunya di kaki gunung, menghirup udara segar
dengan kenikmatan embun ketika pagi dan gemuruh jangkrik di
setiap malam harinya yang beliau tidak bisa mendapatkannya di
kota besar.
“Tuuutttt..tuuuuttt...tuuuuttttt” BLACKBERRY Iwan
berdentang dengan keras, kami segera mengerubunginya.
“Woy berat-berat!” Iwan marah ketika punggungnya kami
dorong, saat berebut ingin melihat Mbah Sugi.
“Biar sih, eh lama banget nih ngga diangkat sama Mbah
Sugi?” balas Tyan.
“Iya yah, jangan-jangan bener, si Mbah masih tidur,
atau...” kata Tedi.
“Aataauuuu, ga berani ngangkat telepon dari kita-kita,
mungkin Mbah Sugi takut kali?” Ucapku menegangkan, sambil
teriak histeris.
Spontan kami semua tertawa.
Tiba-tiba yang muncul wajah Rodi, anak terakhir Mbah
Sugi. Terdengar pula lantunan salawat nabi yang mengalun keras
sehingga tak jelaslah percakapan kami.
“Haaallooo, hallooo...” Rodi panik saat mengangkat BB
mbahnya, terlihat jelas sekali dari layar banyak orang di sana. Ada
yang hilir mudik, ada yang sibuk bawa kue. Mereka berpakaian
sopan, menggunakan kerudung dan berpeci. Wajah orang-orang di
sana sedang muram.
“Ya, halo Bang Rodi, iiini kamii, hitam putih abu-abu,
inget ga?” Iwan pun berteriak, sepertinya Rodi kurang jelas
mendengar karena suasana ramai di rumahnya.
“Oohh iya, sebentar dulu saya keluar rumah, di sini
ramai!”
Lalu ia keluar rumah. Nampak di luar pun suasana begitu
ramai. Entah apa yang terjadi, kami semua bingung. Semua orang
tergesa-gesa dan sedang berkabung.
“Ada apa di sana tuh?” bisikku ke Tyan. Ia hanya
menggelengkan kepalanya.
Dengan serius kami mendengarkan percakapan Iwan dan
Rodi.
“Maaf lama...“ ucap Rodi.
“Ga apa-apa kok. Oia bang, rame banget di rumah, emang
ada apa sih? Terus kemana Si Mbah?” tanya Iwan tergesa-gesa.
Rodi terlihat bersedih, lalu ia melanjutkan pembicaraan,
“Mbah Sugi...” air matanya tumpah, “Bapak, meninggal dunia
semalam...”
Air matanya menetes tak terbendung, kami berempat
begitu kaget dengan kejadian ini. Apakah beliau meninggal karena
kalah taruhan dengan kami sehingga beliau mengalami jantungan
yang mendadak dan langsung mati di tempat? Entahlah. Kami
turut berduka atas meninggalnya Mbah Sugi, sang guru alam kami.
Masa-masa indah saat di sana, masa-masa ceria saat tertawa, masa-
masa gembira saat taruhan walau kalah atapun menang, dan
semuanya yang terbaik di mata kami tentang Mbah Sugi telah
sirna.
Rodi terus saja menangis. Suaranya mulai parau. Lalu ia
pun menyuruh kami kalau sempat main ke sana, kami pun
mengiyakan.
“Emang kenapa Si Mbah meninggal?” tanya Tyan pena-
saran.
“Ngga ada yang tau kenapa bapak meninggal, menurut
abang sih, bapak semalam sedang sibuk menonton kontes dangdut,
lalu ketika idola bapak menyanyi, bapak tertawa dengan terbahak-
bahak. Tiba-tiba bapak tersendat kacang yang sedang dimakannya.
Dan beginilah jadinya.” tutur Rodi sambil mengelap air matanya.
Tedi dan aku cekikikan. Hal lucu yang membuat kami
tertawa. Dengan semudah itu orang tua gunung meninggal? Ah
sepele. Seorang laki-laki kuat itu, yang sering berdiri di puncak
semesta, yang selalu mengutarakan janjinya di samping Sang
Pencipta, yang setiap kali menyentuh langit, mati, meninggal
tersendat kacang? Atau... terpesona melihat sang idola bernyanyi?
Ah misteri.
“Masa? Aneh banget Si Mbah matinya?” tanyaku asal
ngomong.
“Hus, lu ngomong yang bener, Har...” kritik Iwan.
“Oia maaf, Bang...” aku membenarkan ucapanku.
“Ya udah sih ngga apa-apa. Gini, bapak nitip pesen buat
kalian pas lagi sekarat...” Rodi nampak serius.
“Apa?” kami semua mengerubungi BB Iwan yang besar
sekali itu.
“Begini, bapak berpesan untuk kalian, jadilah orang yang
berguna. Jangan pernah sekali pun berfikir untuk menjadi orang
hebat. Sebab orang hebat tak hanya menyimpan kesombongan
tentang kehebatannya. Tapi orang berguna itu selalu berbagi ilmu,
di mata orang yang telah merasakan kebergunaannya maka kita
bisa menjadi hebat. Tapi semua itu perlu tantangan. Juga, kalian
semua harus menjadi orang yang berani berkata, kalian itu adalah
beda. Berani menyuarakan kebenaran. Tak takut dikritik. Dan
menjalankan perintah Allah. Oia ada satu lagi, jangan takut
bermimpi. Bermimpilah! Karena Allah akan memeluk mimpi-
mimpi kalian!”
Kami terharu mendengar pesan Mbah Sugi yang
disampaikan Rodi tadi. Aku terdiam, termenung memikirkan apa
yang telah dipesankan beliau tadi. Aku terhenyak. Begitu juga
dengan Tyan, Tedi dan Iwan.
“Woy jangan bengong!” Rodi mengagetkan kami semua.
Lamunan kami buyar.
“Iiiyyaaa,...” ucap Iwan kaget.
“Ya udah minta doanya buat bapak, Mbah Sugi. Trus
kalian mau kemana sekarang?”
“Pasti kami doain, uhm rencananya kami mau ke sana.
Mau mendaki, tapi karena keadaan di sana seperti itu, ya sudah,
mungkin kami mau berpetualang ke tempat lagi deh, Bang...” ucap
Iwan bijak.
“Ya udah, tapi jangan lupa maen ke sini. Tengok makam
bapak yah. Pulsa lu mau gue gantiin ga? Hehe” ledek Rodi.
“Jeuh so kaya lu, Bang. Tuh Mbah Sugi yang kalah
taruhan juga...” aku kesal.
“Minta sono sama bapak gue di alam baka. Hehe...”
Kami semua tertawa. Lalu Iwan mematikan BBnya.
“Gimana kita sekarang? Udah dengerkan, seorang
penghidup salah satu mimpi kita telah berpulang!” jelas Iwan
tegas.
Kami semua berfikir.
“Gimana kalo kita wisata kota!” ide Tedi memecahkan
bayang-bayang kami.
“Iya, gue sama Tedi belom pernah nih wisata kota. Lu
sama Hardi kan udah, Wan. Gimana? Pastinya asyik kalo kita jalan
berempat...” Tyan mengiyakan saran Tedi. Lagi-lagi kami
berfikir...
“Gimana, Har, menurut lo?” Iwan meminta pendapatku, ia
mungkin setuju dengan pendapat Tedi.
“Okelah. Tapi kita begini aja nih?” aku setuju dengan
saran mereka. Mungkin selain gunung dan alam, kami juga bisa
melihat gambaran kehidupan jalan yang begitu rumit. Kehidupan
yang hanya dijalankan oleh sebagian orang saja. Kehidupan yang
hanya dilalui oleh orang-orang yang terpaksa menikmati debu
jalanan dari pada wangi parfum mahal. Ya, kami akan hadapi
tantangan suram itu. Kami juga tak mau dibilang sebagai
sekumpulan orang manja. Kami juga bisa membandingkan
kehidupan kami dengan kehidupan orang-orang yang berada di
berbagai daerah.
“Jadi mending kita ke kota besar saja, lebih asyik, lebih
banyak tontonan. Daripada di kota kecil. Baru jam delapan malem
udah kunci pintu. Hehe” lanjutku.
“Ya, gue setuju...” ucap Iwan dengan pasti.
Tedi dan Tyan tersenyum puas. Nampak oleh kami
matahari yang cerah semakin mendekat. Kami menyatukan telapak
tangan kami.
Tedi berkata, “Demi tujuan dan masa depan”
Tyan berkata, “Demi langkah dan kekuatan”
Iwan berkata, “Demi hidup dan harapan”
Aku berkata, “Demi mimpi dan perjuangan”
“Hitam putih abu-abu, Satukan kekuatan!” kami berteriak
memecah sunyi.
Mungkin tak pernah seperti ini bila kami tidak bertemu
dalam kejadian saat itu. Ketika kami berempat disatukan oleh
seorang “Guru, guru yang tak boleh disebut namanya”. Guru itu
menyatukan kami dengan menanamkan sebuah jiwa laki-laki yang
kuat, yang tak boleh hancur hanya karena diterpa angin malam,
yang tak boleh bergetar walau topan di hadapan kami. Terus
mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa pernah mengeluh dan
cintai wanita yang benar-benar kami sayangi. Cukup satu saja.
Dengan gencarnya Sang Guru menanamkan semua itu,
kami pun semangat mencoba menyusuri jejaknya, tapi entah
mengapa suatu kejadian yang tak pernah kami lupakan dan tak
boleh kami sebutkan kepada siapapun membuat kami terpisah
dengan Guru. Dan kami pun merasa jalan satu-satunya adalah
menjadi seorang lelaki yang kuat dengan pilihan hidup kami
sendiri. Dengan mengumpulkan filosofi hidup. Dan merangkainya,
menjadikannya gambar yang begitu nyata dihadapan semua orang.
Kami pun terus memegang ajaran yang telah diajarkan Sang Guru,
agar kami menjadi seorang laki-laki. “Jadi selamat tinggal, Guru”,
sebuah kata yang kami ucapkan saat mengenangnya dalam setiap
perjalanannya.
Mulai saat itu, kami terus melakukan perjalanan mencari
jati diri. Bahasa kerennya adalah berpetualang mencari ujung
pelangi. Kami tak mau berhenti sebelum mendapatkan ujung
pelangi itu.
Kami pun menamakan diri kami hitam putih abu-abu.
Mengapa hitam putih abu-abu? Karena hitam Putih abu-abu
adalah sebuah jalan, dan pilihan. Hitam, putih, abu-abu bukanlah
warna, itu semua adalah awal. Sebuah dasar. Hitam, putih, abu-abu
saling berkaitan membuatnya kuat bila bersama. Jalan yang kami
harus pilih adalah hitam dan putih. Sedangkan abu-abu adalah di
mana saat kita hendak memilih jalan yang akan kita lalui, bisa
dibilang sebuah persimpangan menuju misteri yang akan
terbongkar. Apakah hitam ataukah putih? Lalui dan pilihlah
kawan!
“Jadi kemana kita?” tanyaku. Semuanya berhenti.
“Aduh aduhhhhhhhh, iya yah. Duit kita mepet. Ga bisa
jauh-jauh nih...” Iwan pun ragu karena keuangan kami yang hanya
pas-pasan saja.
“Jakarta, langsung ke Bogor, tapi bisa juga sekalian
mampir ke Bekasi” Tyan dengan pedenya memberikan saran.
“Tyan, mikir donk lu!” bentak Iwan kesal. Ia tak habis
pikir, Tyan mengajukan tempat yang begitu jauh dan sangat
banyak rutenya. “Emang duit lu cukup!”
“Nyantai Wan,”Tedi mencoba mengetengahkan masalah,
“Gue sama Tyan udah kompromi, kita bakal nyoba yang belom
kita coba...”
Tyan tersenyum puas.
“Apaan Ted?” aku masih penasaran. Apakah mencuri?
Atau mencoba berpuasa di atas kenikmatan yang bergelimang di
kota besar? Aku belum tahu.
Tedi tersenyum melecehkan aku dan Iwan.
“Sial lu berdua, Apaan?!” Iwan pun makin penasaran.
“Sabar, Kawan! Gini, kita bawa alat masak kan?” Tedi
menjelaskan.
Aku dan Iwan mengangguk. Lalu Tyan melanjutkan,
“Gini, kita bisa makan dengan cara masak dan Cuma beli makanan
mentah aja. Jauh lebih murah...”
“Masalah transport?” aku masih penasaran.
“Oh o-on lu Har, kita tinggal nge-BM (berani mati, dengan
cara menghentikan mobil-mobil truk tanpa membayar) gampang,
kan? Banyak ko supir-supir yang iba ngeliat pengembara kaya kita,
yang bermuka melas kaya lu-lu pada” ucap Tyan sambil menunjuk
ke arah aku, Iwan dan Tedi.
Aku dan Iwan hanya cengar-cengir. Mereka berdua mulai
sombong.
“Ya udah kita sekarang mau ke mana?” tanya Iwan sambil
melanjutkan langkahnya.
“Kita ke Tangerang aja dulu. Sekarang kita naek Bulan
Jaya, gimana?” ajak Tyan.
“Ok” kami semua setuju.
Tidak beberapa lama kemudian, Bulan Jaya datang,
dengan penumpang yang sudah berdesakkan. Tidak biasanya. Oh
ya, aku belum menceritakan apakah itu Bulan Jaya. Bulan Jaya
adalah sebuah nama bus, tepatnya mini bus yang beroperasi
dengan rute Balaraja – Kalideres, Tenjo – Kalideres, Rangkas –
Kalideres, dan Cimone – Rangkas15
. Yang kami naiki adalah Bulan
Jaya rute Balaraja –Kalideres. Tahukah kawan, Bulan Jaya yang
memiliki rute Balaraja – Kalideres ini disebut penguasa jalan raya
Serang. Raja kebut jalanan, mulai dari Kilometer 10 - 23. Jangan
tanya kecepatannya, melebihi kecepatan suara kali yah? Setiap ada
ibu-ibu yang menjadi penumpang Bulan Jaya pasti berteriak-teriak
minta kurangi kecepatannya, katanya “Hampir copot jantungku!”.
Kernet bus dengan supirnya sangat kompak, inilah pasangan supir
yang amat dinanti semua supir angkot. Mulai dari mengatur
parkir,mengatur kemacetan agar bus ini bisa melaju duluan,
membaca jalan dan menghadapi rintangan jalanan, mampu mereka
atasi dengan kekompakan yang amat mereka junjung tinggi.
15 Balaraja terletak di kabupaten Tangerang. Kalideres terletak di Jakarta Barat. Rangkas atau Rangkas Bitung terletak di Lebak. Cimone terletak di Kota Tangerang.
Begitulah Bulan Jaya. Mungkin di tol mereka tidak banyak gaya,
tapi di km 10-23 jalan raya Serang, jangan ditanya.
“Muke gile nih supir” bisikku. Kecepatan tinggi yang terus
dipacu membuat debar jantung ini kian mencencekam. Padahal
penumpang sudah penuh, bukan penuh lagi, tapi sudah
membludak.
“Ayo Kokol Deres Cikokol Deres!!!” teriak kernet itu.
Wajah semangat tak kenal lelah selalu dikeluarkan oleh
sang kernet. Kernet di Bulan Jaya ini ada dua orang, yang pertama
berada di pintu belakang dan yang kedua berada di pintu depan.
Yang biasa mengatur jalan adalah kernet bagian belakang. Kalau
kernet bus bagian depan biasanya meminta ongkos. Tarifnya pun
tak terlalu mahal, juga bisa ditawar asalkan kita tidak pelit.
Apabila kita pelit bisa-bisa kita sebagai penumpang disuruh turun
oleh sang kernet bus.
Sambil merokok dan berbagi rokoknya kepada salah
seorang temannya, kernet tadi membuka pembicaraan dengan
temannya tadi. Aku yang persis berada di sebelahnya mendengar
pembicaraan yang menggugah hatiku.
Maaf sebelumnya, aku sedikit menguping.
“Jo, sial banget gue hari ini...”ucap kernet bus yang tadi
memberikan rokok.
“Nape lu? Kayanya muke lu juga akhir-akhir ini kusut
banget dah” sambil menghembuskan rokok yang tadi diberikan,
kernet kedua menjawab dengan santainya.
“Masa pagi-pagi gue udah diusir sama bini16
gue. Ga
dikasih sarapan lagi” kernet tadi menunduk lemas.
“Emang napa?”
“Ga tau”
“Mungkin lu pernah ngelakuin salah kali sama bini lu?”
“Iya sih, semalem gue pulang jam sebelas. Gue abis maen
judi sama bang Tohir, orang Ceper. Nah gue kira gue bakal
menang telak. Tapi ternyata gue yang kalah telak. Nah duit gue
abis lagi. Bini gue marah, pas gue pulang ga ada duit, dia bilang
gini, „ udah lah Bang, kalo lu masih mau tinggal sama gue,
mending lu berhenti judi, tobat Bang, tobat. Kalo gini terus gue ga
kuat. Mending cerai aja gue sekalian Bang!‟ gitu Jo. Nah pas pagi-
paginya gue dicuekin. Pas gue ngerayu, gue langsung diusir, Jo.
Mana bini gue sambil ngelempar piring lagi. Lah gue takut,
langsung aja gue kabur...”
Kernet kedua diam berfikir mengasah otaknya. Diam,
dengan gaya santai sambil memainkan asap rokok yang keluar dari
mulutnya. Tak beberapa lama kemudian, keluarlah kalimat yang
ditunggu-tunggu kernet pertama, “Lu masih sayang sama bini lu?”
16 Sebutan untuk istri. Tapi masih berasa lebih kasar.
“Iiyalah Jo. Gue sayang. Tapi... gue ngerasa salah juga”
jawab kernet pertama dengan lugu.
“Bener?” tanyanya sekali lagi sambil melotot kearah
kernet pertama.
Lalu asap rokok ia hembuskan lagi.
“Gini, cara paling tepatnya menurut gue, lu ga usah judi
lagi...”
“Ttaapii...”
“Ga pake tapi! Katanya lu masih sayang. Dan lu harus
solat. Kaya gue nih udah tobat.” Kernet kedua mulai terlihat serius
dalam pembicaraan yang selanjutnya.
“Jo, gue udah lupa cara solat...”kernet pertama tadi berkata
sambil menunduk malu.
“Nah itulah kesalahan lu! Lu masih sayang kan sama bini
lu?”
“Iya jo. Gue bakal lakuin apa aja biar bini gue ga marah
lagi sama gue. Soalnya udah parah banget nih...”
“Entar pas kita istirahat, mending lu belajar solat sama
gue, itung-itung inget-inget lagi. Dan sampe di rumah lu ga usah
minta maaf lagi...”
“Kalo gue pulang bini gue masih marah gimana?”
“Gue belon selesai ngomong, Nyet !” kernet kedua marah,
ketika ucapannya dipotong. Ia melanjutkan, “Lu sampe rumah
ngucapin salam. Bisa kaga lu ngucapin salamnya orang islam?”
“Iye bissa...”
“Kalo udah, tapi masih ga ditanggepin lu langsung
ngomong ke bini lu, bahwa lu pulang bawa duit. Kasih semua ke
bini lu. Jangan dipake maen judi. Dan mita ajarin solat sama bini
lu. Dijamin bini lu kaget mendengar ucapan lu...”
“Bener?”
“Ya sudah kalo ga mau nyoba...”
“Iye gue coba...”
Percakapan berakhir di sini, karena ada penumpang yang
masih memaksa ingin naik ke dalam bus. Tanpa ragu sang kernet
pun berkata, “Ayo masih kosong, masih kosong!”
Inilah Bulan Jaya, mini bus yang tangguh di kelasnya.
Kami naik Bulan Jaya sampai daerah Kalideres.
Keadaan yang begitu sumpek. Dengan polusi yang
bertebaran di mana-mana. Inilah terminal Kalideres. Kami
berempat telah turun dari Bulan Jaya. Siap menanti truk-truk yang
mau mengangkut kami.
Tedi dan Tyan mengulurkan tangannya kepada truk yang
lewat. Tapi tak ada yang mau berhenti. Hanya diberikan knalpot
dengan asap hitam mengepul.
“Huh sial, mana nih truknya. Ngga ada yang mau
berhenti!” Gerutu tedi.
“Truk bangsat!” teriak Tyan sembil melempar kerikil
mengarah ke truk yang telah meninggalkan kami dengan cepat.
Aku dan Iwan hanya menertawai mereka berdua.
“Ya udah sekarang giliran gue berdua. Huh ide kalian
berdua ga ampuh...” Iwan mencoba menegaskan keberhasilan
kami, sambil meremehkan mereka berdua.
Tedi cemberut saja. Tyan malah mengambil posisi duduk
dengan sleepingbednya17
. Aku dan Iwan merapat ke jalan. Baru
saja kami selesai berdebat, aku dan Iwan merapat ke bibir jalan,
sebuah truk dengan dua orang pengendara berkacamata hitam
berhenti dihadapan kami. Kami berdua kaget.
“Heh, lu semua yang waktu itu naek bis Sahabat yang
turun di Serang itu kan?” ucap salah seorang pengemudi truk.
“Kapan, Bang?” aku bertanya keheranan. Sebab sering
sekali kami ke Serang untuk bermain dan malah selalu naik bus
antar kota Sahabat, jurusan Kuningan – Merak.
“Yang dua bulan lalu, malem-malem. Lu berlima, sama
cewenya satu itu. Kita ketemu pas lu semua berpakean kaya gini.
Kan gue sapa, lu bilang mau hiking...” jelas pengemudi tadi, “
Alah lupa lagi. Gue pengamen yang ngasih tau lu kalo gue orang
Semarang. Lu yang pake baju biru,” menunjuk kearahku, “ Lu
yang ngasih gue seribu itu...”
17 Kasur lipat yang bisa dibungkus dan berbentuk tas. Biasa dipakai oleh para pendaki, backpackers, dan para orang-orang yang keluar di jalan Allah SWT.
“Oohhhh” kata kami bersamaan. Baru ingat kami. Pada
waktu, dua bulan yang lalu kami memang ingin hiking ke gunung
Karang, tapi tidak jadi, malah mengambil jalur Cilegon dan ke
pantai Marbella. Ya benar, kami menaiki bus Sahabat, dan ketika
hendak turun di Serang , ada seorang pengamen yang menyapa
kami. Orangnya ramah. Ternyata orang itu bertemu dengan kami
lagi. Ia memang benar-benar baik.
“Ya udah, ngapain lu semua bengong-bengong aja, mau
ikut ga nih?” lagi-lagi pengemudi yang berprofesi pengamen ini
menawarkan keramahannya kepada kami.
Di truk.
Aku, Tedi dan Tyan berada di bak belakang truk,
sedangkan Iwan ada di depan bersama orang tadi. Iwan mengobrol
panjang lebar, ia pun berkenalan dengan para pengemudi. Yang
memegang stir bernama Tyo, Prastyo nama panjangnya.
Sedangkan yang tadi mengamen dan menyapa kami tadi bernama
Jodi.
“Jodi, lu kok dari Semarang bisa nyampe di sini. Jauh
banget lu maen...” tanya Iwan, menghilangkan keheningan.
“Ya sama aja kaya lu semua, Wan, lu ngapain coba maen
jauh-jauh, gembel lagi. Mana bawa kaya beginian semua, kaya
mau perang aja lu semua” ledek Jodi.
Kami semua tertawa.
“Kalo gue sih cuma mau mencari siapa sih gue? Gitu.
Terus kita berdua tuh cuma mau menantang hidup yang kata orang
sulit...” lanjut Jodi, terlihat dari gambaran wajahnya ia
bersungguh-sungguh.
“Kalo gue dan hitam putih abu-abu cuma mau mengejar
impian, cita-cita dan harapan...” ucap Iwan yang mengopi kata-
kataku.
“Juga hidup dan perjuangan” lanjut Tyan.
“Ya ya ya...” aku juga tak mau ketinggalan.
Pembicaraan yang nikmat itu terhenti, karena kami
memutuskan untuk berhenti di sebuah daerah Jakarta yang pas
untuk menyambung truk lagi.
“Jodi, Tyo, makasih ya! Kapan-kapan kita bisa ketemu
lagi!” teriakku.
Kami semua melambaikan tangan ke arah truk yang
dibawa mereka. Mereka pun berlalu dengan begitu cepatnya. Jodi
dan Tyo, dua orang yang menjadi cerita dalam perjalanan kami.
Dengan gaya yang begitu asal-asalan, kami melanjutkan
perjalanan. Mencari tumpangan lagi deh.
“Kita kemana lagi nih?” tanya Iwan cemas. Dia selalu
begitu, pesimis dengan apa yang kita lakukan. Tapi anehnya dia
selalu yakin kalau kita bisa melakukan itu semua. Di balik
kepesimisannya, ia bisa optimis dalam berbagai hal.
“Kemana ya? Gampang...” ucap Tyan santai.
“Huh slalu begitu,” balas Iwan dengan senyum kecut.
Perjalanan kali ini diteruskan dengan naik mobil angkutan
sayur dari desa. Entah, tujuan yang tak jelas. Kami hanya merasa
berputar-putar saja di sini. Jakarta, kota besar dengan beragam
cerita di dalamnya. Orang-orang yang sibuk berjalan dengan
tergesa-gesa. Ada juga sekumpulan anak remaja yang sangat
mengikuti trend zaman, menatap kami dengan keheranan, kami tak
fokus ke mereka. Mungkin pikiran mereka, kami ini adalah orang
gunung yang sedang menuju ke kota. Ah biarkan saja. Lalu di
setiap persimpangan lampu merah, masih banyak anak jalanan dan
pengemis yang menghiasi kota besar seperti Jakarta ini. Mereka
sibuk meminta. Ada ibu dekil menggendong bayinya dengan
wajah mengiba menadahkan tangan dan berharap akan ada orang
yang mau memberikan sedikit rezeki kepadanya. Ada pula remaja
seusia kami yang sibuk mengamen. Tragis. Sebuah penderitaan
terjadi di tengah gemerlap keglamouran dunia.
Mari berkaca, wajah negara ini yang sesungguhnya
tercemin di kota-kota besar. Mulai dari para bangsawan hingga
orang-orang pinggiran, sekumpulan ustadz sampai organisasi
pencopet, penjual asongan sampai penjual diri, ada lelaki sejati ada
juga lelaki setengah dewa (ngerti kali, alias waria), dari keadilan
sampai kecurangan, dari pelacur jalanan sampai pelacur berkerah,
dari kenikmatan sampai kesengsaraan, gedung kokoh pencakar
langit sampai gubuk reyot yang terkena teriakan saja langsung
roboh. Ya, mungkin setiap keberhasilan sesuatu membutuhkan
pengorbanan. Apakah, Indonesia ini berhasil di berbagai bidang,
yang menjadi korbannya adalah para kaum pinggiran? Aku tak
tahu.
Kami terus menatap keterasingan berbagai orang yang
tersesat di kota ini dari atas mobil angkutan sayur. Aku
menikmatinya, juga kawanku yang lain. Hitam putih abu-abu
merenunginya.
“Boi, inilah hidup, penuh perjuangan. Ga ada yang
sempurna di dunia ini...” ucapku datar, aku memperhatikan semua
ini yang lain pun hanya termenung, diam tanpa kata.
Keheningan menyelimuti kami.
Tiba di sebuah lampu merah, lalu beberapa anak jalanan
berumur sekitar sepuluh tahunan berlari menyerbu jalan, bak
ombak menerjang karang. Mereka bernyanyi dengan suara fals.
Hanya berbekal sebuah botol yang diisi pasir, berbagai kendaraan
mereka datangi, hanya untuk mendapat recehan sisa kembalian
orang-orang kaya.
“Gila tuh orang, tega amat ga ngasih tu pengamen.
Sadizzz!” ucap Tyan kesal. Melihat seorang pengemudi mobil
yang hanya terdiam dan menjalankan mobilnya ketika ada seorang
bocah menyanyi di jendela mobilnya.
“Pelit banget tuh orang kaya!” Iwan ikut-ikutan mengutuk.
“Ya jangan gitu lah boi, mereka mungkin punya alesan ga
ngasih...” aku mencoba menenangkan teman-teman.
“Ah, alesan sampah!” Iwan langsung melanjutkan,
wajahnya kurang puas mendengar jawabanku.
“Kan gue belum selesai ngomong,” aku mencoba
menjelaskan lebih detail, “Alesannya cuma buat ngegedein perut
tuh. Beli sampah di mall yang cuma berisi kotoran dan keringat
mereka sendiri!” aku pun tersulut emosi.
“Ya sudahlah...” Tedi merasa sudah bosan melihat
kehidupan seperti ini.
Aku merasa salah juga, mencekal para orang kaya yang
terlihat angkuh ketika tak peduli kepada anak jalanan dan orang-
orang sebangsanya. Tapi, yang bisa kami katakan hanyalah
pengelihatan dua bola mata. Jangan salahkan mata kami.
Perjalanan terus kami lanjutkan, setelah selesai salat isya
di masjid Istiqlal18
dan setelah menyantap nasi goreng khas Tyan.
18 Sebuah masjid terkenal yang terletak di kota Jakarta.
Kami mencari tumpangan lagi. Sudah malam, kukira tak ada truk
yang mau mengangkut kami.
“Bang ikut ya!” teriakku, setelah memberhentikan sebuah
truk yang dikemudikan oleh seseorang berbadan besar.
“Oke, semuanya naek...” ucap supir itu dengan ramah.
Di atas truk.
“Emang kalian semua mau kemana?” tanya supir itu tanpa
berkenalan dulu.
“Uhm, ga tau” jawab Tyan. Kami semua hanya senyum-
senyum tidak jelas.
“Hah, dasar anak muda jaman sekarang...” supir itu agak
kaget mendengar jawaban dan ekspresi kami.
“Bang, kami ikut ya, sampe pagi nanti...” Tyan berharap
supir itu mengizinkannya.
“Uhm, okelah. Tapi sampe mana aja ga apa-apa ya?”
“Iya, sampe Bali juga ga apa-apa. Hehe” aku mencoba
membuat lelucon kecil. Semua tertawa, begitu juga abang supir.
Setelah malam menunjukkan wujudnya sebagai gelap yang
pekat tanpa bintang, juga diselimuti angin yang menusuk tulang,
kami semua mulai terkantuk. Lalu kami pun tidur di atas truk.
Terlelap, karena perjalanan panjang esok masih menanti kami.
“Heufffttt ahhhhhhhh....” Tedi menguap dari tidurnya.
Alarm telepon genggamnya yang sudah tua menggetarkan telinga
kami semua. Tanda sudah pukul setengah lima pagi.
“Ted, berisik. Matiin geh...” Iwan merasa terusik. Lalu ia
menutupi telinganya dengan tasnya. Telepon genggam Tedi masih
berdering kencang. Truk yang kami tumpangi pun telah berhenti.
Entah terdampar di kehidupan mana lagi kami semua. Yang pasti
aku kali ini sedang menikmati mimpiku.
“Woy bangun! Subuh subuh...” ucap Tedi sambil
mengucek matanya. Ia pun terlihat masih ngantuk. Matanya belum
bisa terbuka. Di antara kami belum ada yang bangkit selain dia.
Perlahan-lahan suasana pagi memperingati matanya. Ia pun
perlahan-lahan membuka mata.
Tiba-tiba, ia langsung merasa terkejut, nyawanya langsung
menyatu seketika. Perasaan apa yang menyelimutinya ini?
Sungguh, berkali-kali ia mengucek matanya sampai merah. Lalu ia
mencubit Tyan, yang persis ada disebelahnya.
“Awwww, sakittt!” ucap Tyan yang langsung terlelap
kembali.
Ia merasa sedang berada di sebuah tempat yang ia kenal,
kenal sekali. Apakah ini tempat yang ia lihat di dalam mimpi
semalam? Ia bingung. Tapi bukan, apakah ia sedang bermimpi?
Tidak, buktinya Tyan merasakan sakit ketika ia cubit tadi. Apakah
ini?
“Goooooooobbbbbbbbbbbblllllllllooooooooooookkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkk!” Tedi teriak histeris. Teriakannya
membangunkan kami semua. Aku langsung bangun walau
sebagian rohku masih melayang-layang di angkasa. Tyan pun
segera bangun dan membuka matanya lebar-lebar. Iwan melihat
sekeliling dengan mata masih terpejam. Kami pun menyadari
semua ini. Keberadaan kami saat ini. Keadaan kami di sini.
“Aarrrrrggggghhhhhhhhhhhhh!” teriak kami bersama-
sama.
Sang supir yang sudah bangun dari tadi tersenyum
menatap kami sambil memegang segelas kopi dan
menawarkannya. Lalu ia berkata tanpa merasa memiliki dosa,
“selamat datang di Balaraja...”
2
Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Aku bukanlah kamu.
Kamu bukanlah aku. Sebaik-baiknya orang adalah jika
mereka menjadi diri mereka sendiri, bukan orang lain. –
Khatta Goenawant
“Bodoh! Kenapa lagi-lagi pulang? Huh, boseennn.” gerutu Tedi
yang dari tadi cemberut seusai solat Subuh.
“Mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali...” ucap
tyan yang lagi sibuk membuat mie instan di terminal Sentiong.
“Emang kalian bener-bener dari Balaraja?” tanya supir
yang masih berada diantara kami.
“Ya iyalah, buktinya kami begitu kesel ngeliat ni terminal.
Bang, kenapa ga bilang sih mau ke Balaraja?” jawab Tedi dengan
emosi.
“Udah sih, Ted, biarin. Lagian juga salah kita ga nanya ni
truk mau ke mana.” Aku mencoba meredam emosinya. Ia terdiam
tapi masih cemberut. Iwan dan Tyan masih sibuk memasak mie
instan dengan peralatan yang telah kami siapkan sebelumnya.
“Iya, kalian tadi kan bilang mau kemana aja, ngikutin
truk...” supir tadi mencoba membela diri agar ia tak disalahkan.
Memang, kami yang salah, tapi aku mungkin berusaha
menikmatinya. Apa yang akan kami kerjakan mungkin akan
dibahas nanti setelah menyantap mie instant.
“Okelah, gue ngalah. Tapi gimana nih nasib kita
sekarang?” Tedi masih saja mengeluh sambil mempertanyakan
nasib.
“Woy, makan-makan!” teriak Iwan sambil mengangkat
mie yang masih ada di dalam panci.
Tedi dihiraukan saja oleh kami semua. Lima mangkuk mie
panas tersaji dihadapan kami. Aroma yang begitu sedap menusuk
perut lapar begitu menggoda. Supir yang terlihat lapar, semakin
bernafsu untuk menyantap mie. Aku tersenyum melihat orang itu.
Ya, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan.
Sambil memakan mie yang masih panas, aku memikirkan
tentang perkataan Tyan tadi, “mungkin kita ditakdirin muterin
Balaraja aja kali...,” ada benarnya juga, berkeliling daerah sendiri,
mengenal lebih dekat daerah sendiri, kalau ditanya, emang udah
semua daerah Balaraja yang dirasain? Pasti jawabannya belum.
Ya, bagus juga muter-muter Balaraja nih. Semoga saja yang lain
setuju.
Supir tadi memakan mie dengan lahapnya, upz, hampir
saja lupa, kami tak berkenalan dengan supir ini.
“Oia Bang,” ucapku memecah keseriusannya yang sedang
menyantap mie, “Saya lupa nanya, nama Abang siapa?”
Iwan terlihat kaget, Tyan sepertinya ingin memuntahkan
mie yang sedang ia makan, Tedi tercengang tak mengunyah.
Seakan mereka tak percaya hal yang telah kami lakukan,
melupakan hal penting yang begitu sepele, berkenalan. Dengan
sangat angkuh kami menaiki mobil si abang supir dan mengobrol
panjang lebar tanpa mengetahui namanya.
“Oia ya, sampe lupa, abis keenakan ngobrol sih, nama
Abang Jo, panggil aja Jo!” ucapnya dengan tegas sambil
mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku pun menyambut tangannya, kami bersalaman, terasa
sekali kasar tangannya. Seperti menunjukkan bahwa ia telah
melewati perjuangan yang begitu keras melawan keganasan alam,
“Saya Hardi...”
Yang lain melanjutkan, “Saya Tyan..”
“Saya Iwan...”
“Saya Tedi...”
“Kami ini hitam putih abu abu, pembeda antara remaja
masa kini. Gaulnya kami begitu menantang, Bang...” aku
melanjutkan.
“Wou, gimana nasib kita sekarang?” Tedi bertanya hal
yang tadi lagi, “Apa kita udahan aja nih...”.
“Huh masa pulang? Manja amat lu!” Iwan terlihat kesal.
“Iya masa pulang, baru semalem, cemen lu, Ted!” Tyan
pun terlihat merendahkan Tedi.
“Ya, jadi terserah lu, lu pada dah. Tapi abis gini ngapain
lagi?” Tedi mencoba mengalah. Sebab, dari tadi ia sendiri saja
yang bingung memikirkan kita selanjutnya bagaimana dan mau
kemana.
“Jah, Ted, lu mah gitu. Kan tadi Tyan udah ngomong,
„mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali‟ iya kan?” aku
mencoba menenangkan suasana.
“Iya, kita muter-muter Balaraja. Lu semua pasti belum
pernah, kan? Lah orang Balaraja sih belom pernah tidur di jalanan
Balaraja, gimana sih, Lu!” kata Iwan mencoba menguatkan
argumenku. Tedi masih diam saja tak berkomentar.
“Emang lu udah pernah, Wan?” tanya Tyan. Iwan
kebingungan menjawab apa.
Ia tersenyum malu, “Gila aja lu, masa gue tidur di Balaraja
sendirian? Ntar kalo gue diculik gimana?”
“Hah sampah lu!” Tyan kesal.
“Kita jadi nih muter-muter di Balaraja?” aku bertanya.
“Ya iyalah, masa ya iya deh. Cape dehhh” ledek Iwan
dengan lebay.
Semuanya tertawa, termasuk bang Jo. Hanya Tedi yang
masih terdiam. Tak sedikitpun ia keluarkan ekspresi senang dari
dalam dirinya. Hanya diam, membatu, membisu, menjadi patung.
Sunyi lalu menyergapi hatinya, entah apa yang dipikirkannya. Aku
membaca dari wajahnya, yaitu kebimbangan dalam mengambil
keputusan kali ini yang begitu berbeda dari sekian pilihan dalam
hidupnya.
“Kenapa lu, Ted? Kayanya ga seneng banget?” tanya
Tyan.
“Uhm...”
“Tau lu. Ga suka ya kita muterin Balaraja?” aku meny-
ambung.
“Bukan gitu, gue malu. Masa kita ngelilingin Balaraja?
Ntar kalo temen-temen gue ngeliat gimana? Kan gue malu...” ucap
Tedi dengan polos sambil tersenyum.
“Huuuuuu” serempak kami menyorakinya.
Akhirnya kami semua sepakat, bahwa Balaraja, tanah air
tercinta kami, akan kami kelilingi. Walaupun tak sempat
semuanya, yang penting kami masih bisa merasakan udaranya
bersama-sama. Tanah yang kami bisa bilang memiliki dua sisi.
Lihat saja nanti, kawan.
Setelah selesai makan dan merapikan peralatan masak,
kami melanjutkan perjalanan mengitari jalan panjang nan sepi,
tidak begitu ramai, orang-orang menyebutnya Jalan Baru. Jalan ini
cukup bagus, tapi tak pernah dilewati angkot, kalau pun pernah, itu
dulu selagi pembangunan jalan. Para supir angkot mengeluh
karena melewati jalan itu pendapatannya jadi minim. Jelas saja
pendapatannya minim, karena sepanjang jalan itu hanyalah semak
belukar. Awalnya adalah memasuki kawasan berikat, yang kanan
kirinya pabrik, tapi tidak terlalu banyak dan diakhiri dengan pasar
Sentiong.
“Duh mobil pada kenceng-kenceng aja nih, kita lewat desa
Tobat aja yu...” ajakku.
Yang lain pun menyetujui. Mentang-mentang kendaraan
sepi, orang-orang langsung memakai jalan dengan seenak diri
mereka saja. Dipakai kebut-kebutanlah, pernah beberapa kali di
jalan ini terjadi kecelakaan dan orangnya pun menurut kabar
burung langsung meninggal di tempat. Itu karena mereka semua
kebut-kebutan.
Lalu kami pun mengambil rute yang berbeda, kami
telusuri saja jalan setapak dari arah desa Tobat. Jalan sama saja,
hanya saja lebih terhindar dari kebisingan kendaraan dan kami
ingin menikmati aroma dan gemercik sungai. Sungai kecil yang
biasa dipakai anak-anak kampung untuk berenang.
Lalu keadaan mengejutkan menyelimuti kami. Tak kami
perhatikan bahwa selama ini kejorokan masyarakat di sini kian
menjadi-jadi. Sepertinya, belum lama pemerintah daerah telah
melakukan program pembersihan sungai, sampai-sampai sungai ini
mengalami reparasi yang begitu memakan biaya. Tadinya keadaan
sungai kian membaik. Tapi, sekarang airnya makin mengeruh
ditambah lagi tadi kulihat seorang warga yang tengah bersiap
melempar sampah ke arah sungai dan berhamburanlah sampah-
sampah itu di sungai, mengambang mengikuti laju air sungai. Dan
yang tak kalah berbahayanya adalah limbah pabrik yang ikut
meramaikan pencemaran. Beberapa pabrik yang kami tahu telah
membuang limbah-limbah hasil industrinya sungai. Mereka, para
pengusaha, hanya memikirkan keuangan mereka saja, tanpa
memikirkan keserasian lingkungan hidupnya. Nasib anak sungai
Cimanceuri ini begitu tragis, sama dengan beberapa sungai-sungai
di daerah Tangerang lainnya. Seperti sungai Cirarab dan sungai
Cisadane, yang lebih dahulu tercemar.
Bumi terpaksa menanggung dosa-dasa besar yang kian
menumpuk di dalam tubuhnya. Berjuta-juta sampah yang
menyakitinya di dalam tubuh mesti ia tanggung. Manusialah aktor
di balik kisah penderitaan bumi kita ini. Ah, lagi-lagi manusia,
mahluk sempurna yang oleh Allah SWT diberi akal dan pikiran.
Mereka diberikan kebebasan berfikir. Maka para pemikir yang
salah, para pemikir yang tak menggabungkan pikirannya dengan
keyakinan kepada Allah, berfikiran bahwa dunia ini milik mereka,
dan mereka berhak melakukan apapun kepada bumi ini. Walau
secara tidak sadar mereka semua menganiaya bumi. Dan mereka
setelah menyadari hal ini mulai menyalahkan sesama. “Kau yang
salah, kau yang salah!” berbagai hujatan menghujani sesama
manusia tanpa memikirkan solusi terbaik untuk bumi ini. Walau
mereka memikirkan sebuah bahkan jutaan solusi, mereka hanya
memberi solusi, ya itu saja, hanya solusi. Tanpa melakukan
sosialisasi. Tidak turun ke lapangan untuk membersihkan sungai,
tidak ikut membersihkan got, tidak ikut megurangi polusi. Hal ini,
hanya dilakukan sebagian orang saja, orang-orang yang benar-
benar cinta bumi. Tapi kebanyakan yang orang kaya, yang selalu
mengadakan solusi untuk bumi tak berani turun membersihkan
lingkungannya. Entah mengapa, mungkin mereka takut kalau
nantinya sampah-sampah itu akan mengotori jas-jas mereka.
“Kayanya baru kemaren deh ini sungai di kerok sampe di
plester gini?” aku memulai pembicaraan.
“Iya, kayanya baru aja kemaren sungai bersih...” Iwan
menimpali.
Yang lain pun ikut mengangguk.
“Tapi liat tuh, sampah mulai menyebar. Airnya mulai
keruh. Bodoh amat orang-orang sini!” aku mulai emosi.
“Ya udahlah, kita juga ga bisa mencegah orang itu
sekarang. Kalo sekarang dicegah, paling lu, Har, yang bonyok19
digebukin20
orang sekampung...” ucap Tedi.
Benar juga apa yang dikatakan Tedi, apabila aku
meneriaki orang tersebut, atau aku menegurnya, maka yang aku
dapati adalah: digebukin orang sekampung! Parah. Begitu han-
curkah Indonesia? Memberitahukan sesuatu yang benar malah
digebukin, terkesan akulah yang mempunyai salah. Padahal
mereka sendiri yang memulainya. Apabila banjir datang, sungai
19 Muka atau tubuh yang babak belur. 20 Dipukuli.
meluap lalu mereka merengek minta bantuan pemerintah. Itu jadi
salah siapa? Ya kita introspeksi sendiri-sendiri sajalah.
Kami berempat pun berjalan meninggalkan orang tadi.
Kami bertatapan di ujung sungai. Orang tadi melihat kami santai
saja. Dan begitulah, berlalu begitu saja semua ini.
Sekarang kami berada di sebuah kawasan industri, pabrik-
pabrik besar nan megah telah menancapkan cerobong-cerobongnya
di tanah Balaraja ini. Udara mulai mereka hitamkan. Sekarang rasa
sedih menyelimutiku lagi. Tanah yang sangat aku cintai ini
kembali terkotori. Apa sih dosa Balaraja? Aku sekarang bertanya
dalam hati. Mungkin dari perjalanan ini aku banyak mengambil
kisah yang bisa dijadikan sebagai bahan perenungan diri.
Kami tak banyak komentar ketika melewati daerah ini.
Jalan rusak, becek ketika hujan, air sungai yang kotor, udara tak
sejuk, bahkan embun pun sungkan berada di sini lagi, karena apa?
Ya salah satunya adalah karena keberadaan pabrik-pabrik
bercerobong itu!
Kami melanjutkan perjalanan Keluarlah kami dari
kawasan pabrik, lalu sampailah di kawasan Lampu Merah –
sebuah kawasan di Balaraja yang dulunya terdapat lampu merah
tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Letaknya persis di arah
masuk kendaraan menuju pintu Tol Balaraja Barat. Di sini adalah
daerah transit, tempat orang berangkat, pulang atau berganti mobil
ketika melakukan perjalanan. Sangat berdebu dan menyesakan
nafas. Jutaan butir debu berterbangan menghiasi jalanan. Ditambah
lagi suasana yang mulai panas.
“Tersiksa gue, tersiksa!” kata Tedi sambil menutupi
hidungnya.
“Ah lu, Ted, ngeluh aja. Udah sih rasakan aja...” Iwan tid-
ak senang melihat Tedi seperti itu.
“Abisnya panas banget, mana ngebul lagi. Uh shit!” lan-
jutnya. Terlihat keringat mengalir membasahi leher juga sekujur
tubuhnya.
` “Ya udah sih sepele,” ucap Tyan santai.
Tedi kali ini lebih banyak mengeluh. Jujur, keadaan kali
ini begitu menyiksa. Debu-debu yang beterbangan bukan disebut
banyak lagi, tapi semua celah jalan raya dipenuhi oleh debu.
“Aduhhh aduuuhhh...” aku mengeluh kesakitan.
“Kenapa lu, Har? Ngikutin Tedi nih?” tanya Tyan.
Sambil mengucek mata yang mulai merah dan terasa
pedih, aku menjawab, “Bukan, ini kaya ada yang masuk ke mata
gue!”
“Coba gue liat...” Tyan pun memperhatikan mataku di
pinggir jalan. Setelah beberapa detik, “ Pantes aja, ada batu meteor
sebesar mobil masuk ke mata lu, Har...”
Iwan dan Tedi pun langsung tertawa. Mana bisa batu
meteor yang sebesar itu masuk ke mataku.
“Bodoh lu Tyan, udah tiupin dulu nih...”
“Puiiihhhhh...”
“Ahh.. mendingan...” mataku yang sebelah kiri jadi merah
akibat kukucek dengan keras tadi.
Kami terus menelusuri jalan Balaraja – atau lebih dikenal
sebagai Jalan Raya Serang km 24. Yang kian berdebu itu. Lalu
kembali kami disuguhi pemandangan yang mencengangkan. Di
Balaraja akan di buat fly over! – jalan layang yang akan menghu-
bungkan jalan yang satu ke jalan yang lain, upaya ini dilakukan
untuk mengentaskan penyakit macet yang ada di setiap daerah.
Jalan pun sekarang rusak parah. Semoga saja pekerjaan pembuatan
fly over ini tidak memakan waktu lama sehingga jalan yang rusak
tadi segera dibetulkan agar bisa menambah keindahan Balaraja.
Jangan seperti rencana pembangunan pasar modern atau lebih
dikenal sebagai segitiga Balaraja yang ada di samping pasar
tradisional Balaraja. Keadaan pasar modern yang dijanjikan
beberapa tahun yang lalu tidak membuahkan hasil. Hanya terlihat
bongkahan-bongkahan bangunan yang berlantai satu, mirip
bangunan mall yang belum jadi, terbengkalai begitu saja. Nah, ini
yang salah satunya merusak pemandangan Balaraja. Tak sedap
dipandang. Sebuah bangunan megah yang gagal karena uangnya
dikorupsi oleh para pekerja sehingga uang untuk melanjutkan
pekerjaannya habis dan para pekerjanya tidak tersisa sedikit pun.
Di ujung pertigaan Balaraja terlihat seorang polisi yang
sibuk mengatur lalulintas. Entah, perasaan kesal menyelimutiku
saat melihat orang-orang berbaju coklat dan berompi hijau itu.
Mungkin aku sering melihat kejadian yang begitu memilukan hati.
Ya, memilukan hati. Kejadian itu sudah lama terjadi, saat aku
mengendarai sepeda motor bersama temanku di daerah Bitung.
Aku saat itu tidak memiliki Surat Izin Mengemudi dan temanku
tidak menggunakan helm. Memang aku memaklumi kami saat itu
melanggar tata tertib lalu lintas. Yang jadi permasalahan adalah
ketika polisi yang menangkapku memberikan surat tilang juga
memberikan sebuah tarip21
. Tarip yang berisi pelanggaran kami.
Lalu ia berkata, “Gimana, mau ditilang atau bayar ke saya?
Nih saya pilihin, mending kamu bayar yang ngga pake helm aja.
Soalnya lebih murah. Bayarnya ke saya...”
“Ih pak, saya lagi ngga punya duit” aku memelas.
“Yee, ngeyel lagi, ngga percaya saya!” polisi tadi tidak
percaya.
Lalu temanku mengeluarkan dompetnya, “ tuh Pak, bener
kan ngga ada duit, Cuma ada tiga puluh ribu doang...”
Polisi itu menengok isi dompet temanku, lalu ia segera
meraih uang tiga puluh ribu temanku, “ Ya udah sini tiga puluh
ribu dulu, tapi masih kurang nih. Coba dompet kamu.”
Bangsat! Darahku mulai naik. Oh ya, untung dompetku
kosong. Ketika dompetku dibuka, tidak satu lembar pun uang yang
21 Daftar harga, daftar sewa dll.
ia dapat, tapi lagi-lagi ia segera mengambil sesuatu dalam
dompetku.
“Ini, apa ini?” kata polisi itu sambil mengangkat kartu
ATM-ku. Wajahnya seperti habis menemukan harta karun. “Pasti
ada duitnya ini...”
“Ih Pak, ngga ada. Lagian kalo ada buat saya pacaran sama
pacar saya. Eh maksud saya buat ongkos sebulan...”
“Alah, alesan aja kamu ini. Udah sono ambil di samping
alfamart – nama sebuah minimarket. Di situ bisa ko ngambil duit.
Sekalian saya mau ngeliat struknya. Biar kamu ga bohong!”
“Ih, janganlah pa...”
“Kamu ini! Cepet, nanti malem saya mau nyewa bencong
nih, eh maksud saya mau jalan sama yang muda.”
“Huh tua-tua ganjen...”
“Ngomong apa kamu!”
“Ngga pak...”
“Ya udah cepet! Lima menit!”
Dengan perasaan yang tidak ikhlas aku segera berlari
mengambil uangku yang ada di ATM22
. Lalu dengan berat hati,
uang seratus ribu yang tersisa harus aku serahkan. Setelah itu
polisi tadi menasihatiku dengan sok baik, dengan nada-nada sok
ustadz. Alah! Aku lebih senang memanggil mereka Pelacur
22 Anjungan Tunai Mandiri.
Berkerah. Kejadian yang memilukan di tempat itu yang lain
adalah, polisi hanya diam saja di tengah dan di pinggir jalan.
Sedangkan yang sibuk mengatur jalan adalah Pak Ogah – seorang
polisi cepek yang mengatur jalan, bukan polisi sesunggguhnya.
Yang berharap pengendara memberikannya uang walau hanya
lima ratus rupiah. Pak Ogah tadi terlihat begitu serius dan
semangat mengatur jalan. Tapi polisi sesungguhnya malah jadi
patung polisi yang siap menilang orang di tengah jalan dan
menguras habis kantongnya. Aku hanya bisa menyimpulkan,
apabila nanti pada hari kiamat, mungkin saja cuma ada dua jenis
polisi yang langaung masuk surga tanpa siksa, yaitu, patung polisi
dan polisi tidur.
Dengarlah polisi yang ada di seluruh Indonesia, jadikan
kisahku di atas sebagai renungan kalian!
Perasaan kesal dan benciku masih terselubung hingga
sekarang. Di mana pun aku melihat polisi, perasaan benciku
menjadi-jadi.
“Heh pelacur berkerah di pinggir jalan! Ngapain lu di situ,
mending lu bercinta sama bencong-bencong23
aja di salon24
!”
teriakku dengan kencang, mengagetkan semua temanku, orang
23 Sejenis orang-orang yang tak puas akan jenis kelamin yang mereka miliki. biasanya mereka mengubah diri menjadi pria, apabila yang wanita dan wanita apabila yang pria. 24 Tempat tata rias, potong rambut dan perawatan rambut.
yang ada di dalam mobil angkutan kota, tukang ojeg, juga polisi
itu sendiri.
“Heh, Har, ngapain lu teriak kaya gitu sama polisi? Nyari
mati lu?!” kritik Tedi yang mulai cemas melihat polisi yang mulai
memperhatikan gerak-gerik kami.
“Tau lu, Har, goblok banget!” Iwan pun sama.
“Bagus, Har, gue suka gaya lu. Gue juga kesel sama tu
polisi!” tapi Tyan malah senang dengan perlakuanku tadi. Ia
memberikan support25
yang besar dan membangkitkan
semangatku. Aku tambah bergairah.
“Boi, nyantai aja sih, kita ini kan bener, jadi jangan
takut...” dengan semangatnya, aku memandangi polisi yang ada di
hadapan kami dengan berjuta-juta kebencian.
Semua orang memberikan berjuta pandang terhadapku.
Semua orang memperhatikan aku. Tukang ojeg sepertinya
mencium bau pertempuran, segera saja merapatkan barisan di
bagian depan untuk menonton agar tak ketinggalan. Beberapa
orang polisi yang lain keluar dari pos polisi tempat mereka
berjaga.
Aku menarik nafas panjang. Dengan senyum yang
memilukan hati para polisi, aku menunjuk mereka semua dan
berkata, “Woy pelacur berkerah, ngapain lu semua berdiri di sono
25 Dukungan.
aja? Alah, katanya pengayom masyarakat, tapinya cuma bisa
mintain duit orang miskin doang!” aku mengumpulkan energi lagi
di tengah terik matahari, polisi-polisi itu berbisik dan
memperhatikan kami, “Udahlah, ga pantes lu bekerja buat negara,
mending lu jadi penghibur aja. Kalo nggak, lu ngadem terus tuh di
pos ampe mati. Bukannya itu aja yang lu semua lakuin tiap hari?
Kalo ada pimpinan aja sok sibuk!”
Huh, ampuh. Hatiku merasa tenang. Semua uneg-uneg
yang terpendam di dalam hatiku tentang kebencian, tentang
kekesalan, tentang segalanya, keluar semua. Kepuasan yang aku
nantikan telah hadir. Ya, mereka yang di hadapanku patut
menerima serapah dariku.
Polisi-polisi itu mendekatiku, lalu ia segera mencengkram
tanganku dan tangan teman-temanku.
“Jelaskan ini semua di kantor!” Ucap salah seorang polisi
yang mencengkramku.
“Hey rakyat, liat gue. Haha. Mereka cuma bisa menyiksa
di dalam penjara aja! Lu liat kan, ini pengayom masyarakat kita?”
Tyan mulai menimpali, saat kami diseret ke kantor polisi.
Tedi dan Iwan hanya garuk-garuk kepala saja. Wow,
petualangan gila yang menyangkut nyawa dan hidup. Semua orang
yang ada di sana memperhatikan kami semua. Aku sebisa mungkin
mengacungkan jempolku kepada mereka dan tersenyum yang
menyatakan bahwa aku telah menang.
Jarak kantor polisi dari pos polisi tempat mereka berjaga
tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh meter. Jadi kami tidak
terlalu lama, kepanasan dan diseret pelacur berkerah ini.
Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikanku dengan beribu
tanda tanya. Entahlah apa yang mereka pikirkan. Aku sih sudah
lelah berteriak-teriak seperti tadi. Jadi aku sepanjang jalan diam
saja. Kami ini persis seperti buronan teroris yang dicari bertahun-
tahun dan baru tertangkap di sebuah daerah kecil ini.
Kami memasuki kantor polisi dengan berbagai perasaan.
Aku mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan teman-temanku.
Pertama Tyan, ia terlihat agak gembira ketika polisi menang-
kapnya. Iwan dan Tedi terlihat cemas dengan menyiapkan seribu
jawaban yang membela diri mereka sendiri ketika nanti akan
ditanyai oleh polisi-polisi yang ada di sana. Kalau aku, perasaan
benci yang dari dulu kupendam akhirnya meledak juga. Perasaan
bahagia menyelimutiku.
Polisi-polisi yang menyeretku tadi di jalan masuk ke
sebuah ruangan dan mengetuknya. Lalu suara yang ramah keluar
dari dalam ruangan.
“Ya, masuk.” Suara yang keluar dari balik pintu, tegas dan
ramah.
Ketika pintu dibuka, seseorang yang tak lagi muda, rambut
putih di berbagai celah, menggunakan kaca mata, badan besar,
yang pasti mengenakan seragam coklat. Orang itu memperhatikan
kami dengan begitu jelas.
“Siapa mereka?” tanyanya dengan begitu menyelidiki,
“Abis nyolong ayam? Atau nyolong kambing?”
“Bukan pak, mereka ini tiba-tiba berteriak-teriak di tengah
jalan, dengan kata-kata menghina polisi!” salah satu polisi yang
menyeret kami menjawab.
“Emang mereka ngomong apa?”
“P..... ,” belum saja polisi itu membuka mulutnya, aku
langsung berteriak.
“Gue bilang, lu semua pelacur berkerah!”
Iwan dan Tedi hanya geleng-geleng kepala. Hal ini
mengagetkan polisi yang akan menanyai kami dan semua yang ada
bersamaku.
Polisi itu menghela nafas, lalu berkata, “Kamu boleh
keluar, Ais...”
Polisi yang menangkap kami segera meninggalkan kami.
Lalu di hadapan kami ada seorang polisi, mungkin ia seorang
pimpinan di sini. Ia menatap kami dengan santai. Terlihat
kewibawaannya yang begitu tinggi, sehingga semua orang yang
berada di sini menghormatinya. Tapi aku tetap membenci semua
polisi yang ada di dunia.
“Kalian di penjara!” ucapnya yang mengagetkan kami
semua. Singkat, padat dan jelas. Hal yang begitu tak terpikirkan.
Tapi inilah hidup, setiap perbuatan harus ada pertanggung
jawaban.
“Tttapi pa, yang bilang kaya tadi cuma si Hardi doang,
kenapa yang laennya malah ditahan juga?” tanya Tedi membela
diri. Huh, kurang solidaritas26
Si Tedi ini. Iwan yang dari tadi
menunduk, kini menatap tajam Tedi. Begitu juga dengan Tyan.
Aku sudah mengerti sifatnya, jadi sudahlah.
“Heh, lu anak muda!” bentak polisi itu, mengarah ke Tedi,
“Lu kan temennya, jadi lu juga jadi tersangka, dengan tuduhan
pencemaran nama baik di pinggir jalan. Mana rasa solidaritas lu?
Payah lu.”
Tedi terdiam setelah dibentak oleh si polisi.
Lalu dimasukkanlah kami ke dalam ruang tahanan.
Ternyata di sana tidak hanya kami saja, ada juga lelaki yang
berbadan besar, dengan tato di sekujur tubuhnya, dan lelaki kurus
dengan tatapan mata yang sangat tajam, setajam silet. Mereka
menatap kami dengan sinis. Lalu pintu ruang tahanan kembali
dikunci.
“Kalian menunggu proses saja...” kata polisi tadi lalu
meninggalkan kami begitu saja.
26 Sifat yang menunjukkan suatu kesatuan dan kesetiakawanan.
“Ah goblok-goblok! Masa gue ditahan!” Tedi terus
menggerutu, sambil memukul-mukul tembok penjara. Ia terus
memberontak dan mengucapkan sejuta serapah kepada polisi.
Lalu dua tahanan tadi menaruh jari telunjuk ke bibir
mereka, menandakan untuk tidak berisik. Tapi, Tedi malah terus
ribut bahkan makin menjadi-jadi keributannya. Di ruang tahanan
kami menjadi begitu bising.
“Heh, lu bisa diem ga?” ucap tahanan yang berbadan besar
dan penuh tato itu.
Tedi balik menatap lelaki tadi dan berkata, “Bawel,
ngapain lu ceramahin gue? Songong lu!”
Gila! Tedi berani sekali mengucapkan itu kepada tahanan
yang notabene sudah ditahan kerena kejahatannya. Mana
menyeramkan lagi. Aku hanya menahan nafas. Iwan dan Tyan,
hanya bisa menahan air ludahnya. Amarah orang bertato tadi
tersulut oleh ucapan Tedi.
“Bangsat! Gue habisin juga lu di sini!”
“Bos sabar bos...” aku mencoba menahan perkelahian
yang hampir berlangsung. Tapi orang itu tidak bisa diajak kom-
promi, ia segera menyiapkan kepalan tangannya ke arah Tedi.
Aku, Tyan dan Iwan segera menahan dengan cara memegangi
tubuh lelaki yang berbadan besar tadi. Tapi kami tak mampu
menahannya. Orang yang berbadan kurus, malah berkata dengan
santainya, “Udahlah, hantem aja...”
“Awas lu semua, biar, gue ngebungkem mulut temen lu!”
Kami terus menahannya sekuat tenaga. Walau yang
dilakukan Tedi terhadapku tadi begitu menyakitkan hati, tapi aku
mengetahui arti solidaritas itu. Sesuatu yang amat dibutuhkan
dalam pertemanan. Sesuatu yang merasa iba bila melihat teman
sendiri dalam kesusahan. Membantu memberikan jalan keluar
terhadap teman yang berada dalam bahaya.
Tedi masih saja berkomentar yang membakar amarah si
lelaki berbadan besar.
“Ted, udah diem!” Iwan berteriak, “Lu ngertiin kita juga.
Kita udah nahan ni orang, tapi kenapa lu malah ngebuat orang ini
marah?! Mana rasa persahabatan lu?”
Lalu dengan tenaga yang besar dikeluarkan oleh lelaki itu,
kami bertiga langsung terhempas. Lelaki itu mencengkram leher
Tedi. Ia terlihar gemetar, ya, cuma bisa menang di mulut saja.
Keringat yang menjadi khasnya apabila merasa tertekan, keluar
dengan deras. Mukanya kian memelas. Lalu baru saja pukulan
keras yang mampu merontokkan gigi itu akan di keluarkan dan
bersarang di wajahnya, dua orang polisi datang dan mengagetkan
kami. Pintu ruang tahanan dibuka. Lalu mereka menyuruh kami
bangun dan menyuruh keluar dari ruangan ini.
“Masa tahanan kalian selesai...” ucap salah seorang polisi.
Hah, penjara apa ini? Masa tahanan ditahan hanya dalam
jangka waktu setengah jam. Aneh. Wajah yang begitu tak percaya
keluar dari wajah lelaki yang hendak memukul Tedi tadi. Pintu
tahanan segera dikunci, kami perlahan-lahan menjauh dari ruang
tahanan. Ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajah lelaki
itu.
“Kenapa mereka dibebasin, sedangkan gue engga!” teriak
lelaki itu.
Kami pun heran melihat kejadian ini. Kami terus digiring
pada suatu ruangan. Dan kami masuk dan melihat orang yang
menjebloskan kami tadi. Yang memberi perintah bahwa kami
ditahan. Tapi ditahan dalam jangka waktu setengah jam.
Kami duduk dan terdiam. Keadaan sunyi. Di hadapan
kami hanya ada polisi tadi.
“Hmmmm, anak muda. kalian semua emang bener-bener
anak muda...” ucapnya datar, “Kalian semua emang lagi pada mau
ke mana?”
Aku angkat bicara, “Kami cuma mau berpetualang aja. Ya,
bisa dibilang muter-muter Balaraja gitulah.”
“Aku juga dulu hobi berpetualang, sama kaya kalian,
mencoba mencari jati diri siapakah aku ini. Sama kaya kalian juga,
aku bareng semua temanku...” tiba-tiba keadaan sedih menyeli-
mutinya.
Aku membisiki yang lain, “Jangan-jangan orang di hada-
pan kita ini, salah satu anak-anak terpilih yang pertama. Yang telah
dikatakan Mbah Sugi dulu. Anak-anak yang terpilih sebelum
kita?”
“Iya juga ya?” balas Iwan dengan berbisik.
“Boleh aku melanjutkan?” tanyanya.
Kami mengangguk.
“Aku yang sebenernya udah mengetahui kalian dan telah
menunggu-nunggu hari ini. di mana kita bisa bertemu sebagai
orang yang pernah terpilih untuk mencari siapakah kita ini.”
Tuh kan bener! Ucapku dalam hati.
“Tapi bagaimana dengan temen-temen bapak yang lain?
Tapi emang bener, bapak dulu salah satu anak yang terpilih?”
tanya Iwan tanpa ragu bahwa yang dihadapan kami ini adalah
salah satu anak yang terpilih.
“Sebelumnya aku pengen ngejelasin siapa aku, pake
bahasa anak muda ajalah, ribet pake bahasa resmi mah. Panggil aja
gue Nan, itu nama kecil gue. Gue dulu hobi banget mengelilingi
tanah ini. Gue bentuklah kelompok Atap Langit. Nah di situ gue
kumpulin dah tiga orang yang mempunyai aura beda dengan para
anak muda yang lain...” ia meneguk segelas kopi, lalu melanjutkan
ceritanya, “Temen-temen gue yang pertama, dia adalah orang yang
mempunyai seribu pengetahuan, tak ada yang ia tak tahu, ia baik
kepada setiap orang, ia mengetahui setiap pengetahuan apapun, ia
serba bisa, ia adalah Arga Jiwa, dipanggil Jiwa. Yang kedua, ia
menyebut dirinya seseorang ciptaan Allah SWT yang begitu
lemah, ia seorang penulis, kami terinspirasi berpetualang sebagian
besar dari kisah-kisahnya, ia menyebut dirinya Inisial K...”
Aku teringat sesuatu tentang orang yang disebutkan oleh
Pak Nan, si Inisial K, “Inisial K? Apakah dia...!”
Pak Nan bingung.
“Siapa yang lu maksud, Har?” tanya Iwan.
“Dia, dia, si Inisial K, ternyata anak terpilih yang per-
tama...” Aku begitu kaget.
“Siapa dia?” Tyan pun penasaran.
“Dia, sang guru, sang guru yang tak boleh disebut na-
manya!” ucapku. Tedi, Tyan dan Iwan kaget.
“Apakah dia berasal dari Bandung, Pak?” tanyaku.
“Ya, memang kalian mengenalnya?”
“Ya kami mengenalnya, dia yang memberikan virus petu-
alangan dan menyatukan kami!”
“Oh, ya sudah nanti kita terusin tentang dia. Gue pengen
ngelanjutin cerita tentang Atap Langit dulu. Yang terakhir adalah
seorang seniman, namanya Miming...”
“Terus nasib Atap Langit sendiri gimana?” Tyan
penasaran.
“Atap Langit yang semula telah dibentuk oleh anak-anak
yang terpilih, hancur karena ketidaksepahaman dan kekurangan
solidaritas sesama. Pertama, Jiwa, terpengaruh sebuah godaan
setan yang dulu ia membencinya, nah lalu kami mengeluarkan dia.
Maka, hilanglah sudah ensiklopedia27
Atap Langit, yang kedua,
sang gurumu, si Inisial K. Dia melakukan suatu hal yang fatal,
sehingga kami berencana menghilangkan Atap Langit dari dunia
ini. Kalau dengan kalian, kenapa si Inisal K pergi?”
Iwan menarik nafas panjang, “Beliau melakukan sesuatu
yang tak bisa kami lupakan. Tapi maaf pak, ini tak bisa saya, atau
yang lain ceritakan. Maaf...”
“Oh, ya sudahlah.”
“Terus, gimana nasib tentang si seniman Atap Langit?”
tanya Tedi.
“Gue dan si Miming, Miming Munardi, nama lengkapnya,
masih suka ketemu. Bahkan ngopi bareng. Dia salah satu sahabat
gue yang bener-bener sahabat. Kita sehati. Ya, walaupun udah
ngga di Atap Langit. Dia juga yang meramalkan bahwa hari ini
gue bakal ketemu anak-anak terpilih yang kedua. Yaitu kalian
semua!”
“Oohhhhhh....”
“Makanya, gue cuma mau ngasih pesen yang diamanatin
Mbah Sugi...”
Lalu aku teringat seseorang yang begitu kuat, yang
menunjuk kami sebagai anak-anak yang terpilih berikutnya. Yang
ketika bertaruh dengan hal-hal yang aneh. Yang selalu bergaya
27 Kamus atau artikel-artikel tertentu yang tersusun secara rapi dan urutannya sesuai abjad.
anak muda padahal sudah duda dan tua. Ya dia, dia, Mbah Sugi,
yang juga menunjuk Pak Nan dan yang lain sebagai anak terpilih
yang pertama. Mbah Sugi, yang telah tenang di alamnya. Untuk
selamanya.
“Waktu saat sakaratul maut beliau menunggu lu semua,
tapi terlambat, sebelum lu lu pada dateng, mbah Sugi keburu
meninggal. Si Mbah malah ngasih pesen buat lu semua, tadinya
gue bingung, nyari lu ke mana, tapi berkat Miming yang bisa
meramal, akhirnya lu dateng sendiri. Gini amanatnya, „pertama
solidaritas yang mesti lu bikin, solidaritas yang kuat, karena Atap
Langit hancur salah satunya kurang solidaritas. Yang kedua
pandanglah ilmu ke atas, tapi kalau masalah dunia, lihat ke
bawah‟ ok, itu doang yang diamanatin beliau. Masalah solidaritas,
makanya tadi gue negur lu!” Pak Nan menunjuk ke arah Tedi, “Lu
jangan ngurangin solidaritas temen, inget, temen itu adalah
kekuatan kita.”
“Makasih ya, Pak Nan...” kata Tyan.
“Oia, coba nanti kalo ada waktu lu semua ke tempat
Miming. Dia baik, mau menerima siapa aja. Mungkin bisa share-
share gitu tentang seni. Ok. Oia satu lagi, nggak semua polisi itu
yang seperti kalian pikirkan. Walau sebagian besar polisi bertindak
seperti pelacur, tapi sebagian lagi mereka berbakti kepada negara
dan agama. Inget itu, sebutan „pelacur berkerah‟ boleh lu pake
buat manggil polisi, tapi inget, itu cuma sebutan buat polisi yang
menyalahi aturan dan yang bertindak seperti pelacur, yang hobi
nilang sambil minta duit dan duitnya masuk ke kantong.”
“Okelah Pak,...” aku sadar. Hal yang aku lakukan itu
salah. Tapi aku merasa benar, beberapa polisi memang bertindak
seperti pelacur. Ya, pelacur berkerah.
“Silahkan lu semua mencari jati diri yang belum ketemu.
Jadilah laki-laki yang kuat, yang tak boleh hancur hanya karena
diterpa angin malam, yang tak boleh bergetar walau topan di
hadapan lu. Terus mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa
pernah mengeluh dan cintai wanita yang benar-benar lu sayangi.
Cukup satu aja ye. Satu!”
Kami pun tertawa.
“Oia, Pak, kenapa tadi malah menahan kami?” tanya Tedi
yang masih penasaran.
“Oh, itu cuma buat ngetes kalian aja. Dan biar anak buah
gue seneng kalo udah nangkep orang terus orang itu dipenjara. Oia
satu lagi biar kita nggak ketahuan kalo kita anak yang terpilih.
Hehe” jawab pak Nan dengan meyakinkan.
“Oia, petualangan kami bukan sekedar mencari jati diri,
seperti Atap Langit. Kami, Hitam Putih Abu-Abu, dengan sebutan
petualangan mencari ujung pelangi!” kataku dengan bangga. Pak
Nan tersenyum. Ya, ternyata kami benar-benar bertemu dengan
salah satu anak terpilih yang pertama.
Petualangan di lanjutkan. Kami pun mengucapkan beribu
terima kasih kepada Pak Nan. Sedikit demi sedikit filosofi hidup
mulai terangkai. Walau gambarnya belum jelas terlihat, tapi aku
yakin, suatu hari nanti, aku atau bersama yang lainnya bisa melihat
gambar yang begitu nyata di hati kami semua.
3
Hilangkanlah segala prasangka buruk di hati &
pikiranmu.Karena aku di sini masih tetap setia. – Ayu
Lestari
“Aahhh, bosenlah makan nasi goreng bikinan Tedi...”
keluh Tyan sambil memegangi perutnya.
“Huh, lu mah. Kemaren lu yang muji masakan gue enak.
Sekarang lu yang bilang kalo bosen makan nasi goreng buatan gue.
Gimana kali!” Tedi kesal karena Tyan tak bisa memegang
omongannya.
“Ah berisik lu, udahlah. Gue laper nih. Makan apa ya
enaknya?” Tyan terus saja menggerutu.
“Uuhhhmmm, mending kita nyicipin makanan yang ada di
Balaraja, gimana?” saran yang begitu bagus dari Iwan. Kami pun
menyetujui.
Perjalanan dilanjutkan ke arah Bakung, di sana kami
menemukan penjual kue serabi. Ya, kue serabi yang rasanya enak
sekali, karena perut kami begitu lapar. Kalau tidak lapar, ya,
entahlah, lidah kami saat ini sedang dibutakan oleh kelaparan.
“Emmmmm... enak Bu, serabinya, ” puji Tyan, seperti
biasa, ia selalu memuji setiap makanan yang ia makan.
“Ah yang bener? Uuhh, Ibu jadi malu...” si Ibu penjual
serabi pun merasa terbang ke langit ketika dipuji oleh Tyan.
Ia mengatakan bahwa selama ia hidup, baru pertama kali
ada yang memuji makanan hasil buatannya. Kata orang, ia tidak
pandai dalam memasak makanan. Kebanyakan ia memasak dengan
rasa asin yang berlebihan. Atau paling parahnya, gosong. Nah,
mungkin ia menemukan jiwanya sebagai pembuat kue. Tapi bukan
kue sembarangan, kue serabi. Sebuah kue tradisional asal jawa
barat. “Kalau membuat kue biasa, seperti kue-kue basah atau kue
bolu, yang jadi malah gosong, atau salah masukin gula, yang
dimasukin malah garam,” ucap si Ibu.
Katanya pula, ia tak bisa membedakan rasa manis dan
asin. Ia seperti menderita buta rasa (bukan buta warna ya).
Lidahnya tidak bersahabat. Makanya ia lebih memilih membuat
kue serabi. Karena kue ini adalah kue yang sudah turun-temurun
diwariskan oleh keluarganya.
Lalu kami mencoba menikmati makanan WARTEG
(warung tegal) khas Balaraja. Penjualnya orang Jawa – panggilan
untuk orang-orang yang berbicara dengan logat bahasa Jawa.
Rasanya lumayan enak, juga yang membuat bersahabat adalah
harganya yang terjangkau oleh kantong kalangan orang-orang
berprofesi kuli.
Ketika akan membayar, yang menjadi masalah adalah
Tyan. Uangnya hilang!
“Gimana nih duit gue ilang?” katanya dengan ketakutan.
“Yang bener lu!” Aku kaget mendengar hal itu. Kalau aku
membayari Tyan makan, maka untuk besok, aku dijamin puasa.
Karena uangku atau yang lain sudah benar-benar pas-pasan. Gawat
ini.
Lalu kami mencoba berunding bagaimana sebaiknya.
“Ya udah kita kumpulin aja uangnya dulu.” Aku mencoba
memberikan solusi.
“Iya, abis itu kita kabur. Abis bayar langsung kabur ya!”
jelas Tyan dengan gembira.
“Ok” kata Tedi menyetujui.
“Tapi masalahnya siapa yang bakal ngasih uangnya nih?”
tanya Iwan.
Kami bingung. Lalu aku punya ide lagi, “Tyan aja, diakan
yang ga punya duit”
“Iya ya, gue setuju.” Tedi kegirangan. Ia merasa senang
dengan harapan Tyan segera ditegur oleh di Ibu WARTEG. Ia
begitu kesal terhadap Tyan karena masalah makanan nasi goreng
tadi.
Sebaliknya. Muka Tyan terlihat begitu ketakutan. Ia
sedikit gemetar, “Kok gue sih, kan gue takut, nanti kalo ketauan,
gue malu seumur hidup nih...”
“Alah, banyak ngomong lu, Tyan. Udah nih duitnya.” Tedi
pun menyerahkan uang yang sudah terkumpul. Uangnya seribuan
semua, agar bisa mengecoh si Ibu WARTEG itu.
Ketika akan membayar, Tyan terlihat gemetaran. Kami
semua sudah menunggu di seberang jalan. Lalu ketika ia ingin
keluar dengan terburu-buru, si ibu WARTEG itu berkata, “Tunggu
dulu sebentar...”
Lama kami menunggu di seberang jalan, Tyan tak keluar
dari WARTEG. Kami tak berani menyusulnya. Karena kami
bertiga sejujurnya sangat malu untuk menanggung malu. Haha,
sekumpulan orang egois. Hampir satu setengah jam. Lalu Tyan
keluar sambil berlari dan berteriak, “kabur!”
Kami yang sedang cemas menunggunya di bawah pohon,
segera bangkit dan berlari ketika melihatnya lari dengan kencang.
Di tengah berlari, Iwan bertanya, “kenapa lu lama banget,
Tyan?”
“Gue ketauan!” nafasnya terengah-engah.
“Kenapa?” aku penasaran.
“Gila, gue disiksa!”
“Maksud lu?” tanya Tedi.
Sekitar tiga ratus meter, kami berhenti karena kelelahan
berlari. Nafas kami terengah-engah. Jantung kami berdetak
kencang, tapi yang paling kencang berdetak jantungnya adalah
Tyan. Dari wajahnya, terlihat bahwa ia sangat ketakutan.
Sambil mengatur nafas, ia menjawab pertanyaan Tedi,”
Ggguee takut, soalnya gue langsung disuruh nyuci piring...” ia
terus mengatur nafasnya, “Ggue sih sah-sah saja sama nyuci
piring. Si Ibu WARTEG-nya juga nyuruh dengan lembut. Padahal
tu gue takut banget. Eh pas lagi nyuci, tiba-tiba gue dipeluk sama
si Ibu WARTEG!”
“Hah gila!” kami kaget bersamaan.
“Iya, kata Si Ibu WARTEG itu „maen sama saya yu mas
ganteng. Suami saya lagi ngojek di depan‟ gue udah takut tuh,
tapi gue masih sabar. Gue ikutin aja pas dia ngajak ke kamarnya.
Tapi pas dia buka baju gue langsung lari! Dan ngunciin tu Ibu
WARTEG. Gila! Takut gue!” ia mencoba menjelaskan dengan
detail.
“Oh, makanya lu langsung lari?” tanyaku.
Ia mengangguk.
“Haha gila si Tyan dibilang ganteng. Hihi. Si Indah, cewe
lu aja belom pernah bilang lu ganteng!” ledek Iwan. Kami semua
tertawa.
Ketika dicari, ternyata uang Tyan terselip di kantongnya.
Dasar bodoh! Ah, biasa, dia selalu begitu pelupa. Katanya ia
mengidap penyakit lupa yang begitu akut. Karena ia kebanyakan
tidur.
Karena uangnya telah ditemukan, kami segera membeli
martabak, makanan favorit kami, untuk dimakan nanti malam.
Martabak, oh martabak.
4
Bentangkanlah sayap-sayapmu dan selalu tempa
impianmu. Tinggalkanlah semua rasa sakit dan bersalah
yang selama ini kau dera. Jadikanlah hidup ini lebih
bermakna dari sebelumnya. – Tyan Oriza
Hari ini adalah hari keempat kami dalam mengelilingi Balaraja,
kami masih kuat. Perjalanan mencari ujung pelangi belumlah
berakhir. Karena mencari adalah sesuatu yang begitu meyakinkan
dan menjanjikan dibandingkan dengan menunggu, menanti yang
tak pasti, hanya diam saja berharap pelangi jatuh di dalam kamar.
Sebagai anak-anak yang terpilih, kami akan menafsirkan
dunia ke dalam kehidupan kami. Mengumpulkan filosofi hudup.
Dan merangkainya, menjadikannya gambar yang begitu nyata di
hadapan semua orang. Kami akan selalu membuktikan bahwa
setiap detik dalam hidup itu berarti. Kami juga siap menantang
bahaya apapun yang berada di ujung jalan terakhir kami.
Kali ini matahari membuat kami bermalas-malasan di
pematang sawah. Panas yang begitu membakar dibanding hari-hari
sebelumnya menyengat kulit kami.
“Heuft males banget gue...” keluhku sambil menguap.
Memang, panas-panas seperti ini lebih enak minum es.
“Iya males banget...” lanjut Iwan.
“Heuft...” Tedi menguap.
Tyan malah sudah terbang dengan mimpi-mimpinya.
Sawah ternyata begitu indah. Dengan warna hijau membentang
sepanjang mata memandang. Burung-burung blekok28
berkejaran
menikmati senandung alam. Gemericik air dari pengairan
menambah tenteram hati. Beberapa tikus pun sibuk menggerogoti
padi dengan cermatnya, walau kadang mereka kabur ketika
mendengar suara gemuruh kaleng yang dipasang di badan orang-
orangan sawah, atau Bebegig. Lalu kulihat beberapa orang petani
yang juga sedang beristirahat di sebuah gubuk. Mereka dengan
semangat melahap makanan yang mungkin telah disiapkan oleh
istri atau anak-anaknya. Mereka saling bercanda, melepas lelah,
bahkan ada juga yang tertidur. Aku sangat merindukan semua ini.
Ya, merindukan semua ini, suatu hari nanti.
Semua temanku telah terlelap. Hanya aku saja yang masih
menikmati alam Balaraja ini. mimpi-mimpiku mungkin agak
berbeda dengan yang lain pada siang ini. Tedi, Iwan dan Tyan
mungkin bermimpi sambil tertidur, sedangkan aku bermimpi
dengan menatap langit, membayangkan seandainya saja anak
cucuku masih bisa merasakan suasana seperti ini di sini. Suasana
yang menyejukkan hati. Suasana yang memasyarakat. Yang begitu
28 Sebutan untuk burung Bangau. Biasanya sebutan burung Blekok ini digunakan oleh orang-orang Tangerang.
dijaga oleh orang-orang zaman dahulu. Suasana yang mampu
menciptakan rasa kekeluargaan di antara masyarakat. Bukan
suasana pada kehidupan industri, berangkat kerja pagi, pulang
malam. Tak ada waktu untuk bermasyarakat dengan sesama
tetangga. Sebuah kehidupan yang serba uang, tahta dan harta
menjadi Tuhan. Lalu ketika kehidupan yang dirasakan oleh orang-
orang zaman dahulu mulai berubah menjadi kehidupan serba uang,
mereka mengatakan bahwa tiada tempat nikmat selain di penjara.
Dengan seketika, kehidupan ini segera berubah menjadi
surganya polusi. Berjuta masyarakat dipaksa tunduk dengan
industrialisasi. Menuhankan uang. Berusaha mengejar sesuatu
yang tak pasti. Kehidupan yang dicemari pemikiran-pemikiran
yang sempit. Mengerucutkan imajinasi seorang kreatif.
Lalu mimpi-mimpi mulai ditancapi oleh semua bocah ke
dalam pabrik, tahukah kalian, pabrik. Pabrik sepatu, pabrik
makanan, pabrik spare part kendaraan, pabrik narkoba, pabrik
racun, pabrik kabel, pabrik plastik, tapi yang pasti semua pabrik itu
adalah pabrik limbah. Di mana bumi tak kuat lagi menahan limbah
akibat meledaknya industri. Bahkan kalau kalian belum tahu, di
samudera pasifik itu ada sebuah pulau yang terbentuk dari
tumpukan sampah plastik. Tanpa tanah, semuanya plastik.
Sampah-sampah plastik itu tak dapat hancur, mereka hanya
menjadi kecil-kecil seukuran plangton. Saking banyaknya plastik
di sana, ketika diteliti, kadar air di pulau sampah itu, kandungan
plastik yang sebesar plangton itu lebih banyak enam kali dari pada
plangton itu sendiri. Mencengangkan.
Style, atau gaya hidup remaja pun segera berubah menjadi
masyarakat hedonis, masyarakat dengan kehidupan serba uang.
Mementingkan fashion. Mementingkan trend. Atau pemikiran
yang membutakan hati, bahwa kehiduan itu bukan hanya hura-hura
dan pesta saja. Mereka, masyarakat hedonis, lebih gemar hura-
hura, berpesta bahkan kehidupan seks yang bebas. Semuanya serba
free.
Uuppzzz. Angan-anganku malah semakin jauh. Labih baik
aku menyusul yang lain bermimpi di alam khayal. Aku mencoba
terbang jauh ke awan. Awan yang biru dengan begitu cerah.
Terbang jauh. Walau garis finis masih tak terlihat. Jiwaku
melayang-layang jauh menembus surga, melewati neraka, memetik
bunga surga yang tak henti aku nikmati harumnya.
Setelah berasyik-asyik tidur di saung, di tengah sawah tadi
sore. Kami mencoba mengelilingi Balaraja pada malam hari.
Keadaan yang tak pernah kami lakukan sebelumnya. Merasakan
udara dingin di daerah ini. menghisap udara yang berhembus
ketika keadaan sepi menyelimuti.Jalan-jalan malam, kami
menyebutnya. Sebelumnya, kami memang sering jalan-jalan
malam di kota-kota besar, seperti di Bogor. Pada waktu itu, aku
sangat merasakan kehidupan malam kota itu. Di mana para
gelandangan Bogor sibuk berkeliaran, pasar-pasar malam yang
digelar di sekitar stasiun, dan lampu-lampu jalan yang kelap-kelip
menghilangkan gelapnya malam.
“Mana nih tukang martabak?” tanya Tyan sambil melihat
sekitar.
“Iya ya, ko pada sepi? Tukang martabak yang biasa enak
itu pergi ke mana ya?” Tedi pun ikut mempertanyakan hal yang
sama.
Memang, tukang jualan di sekitar jalan raya Serang,
sekitar km 22,5 – 24, sudah berpindah tempat sejak pembangunan
jalan layang alias fly over sejak beberapa bulan lalu. Kebanyakan
tukang martabak dan tukang kue-kue kering telah meninggalkan
tempat ini.
“Tuh, di depan SMA ada tukangnya!” ucapku sambil
menunjuk ke arah tukang martabak.
Yang lain pun melihat ke arah yang aku tunjuk.
“Itu mah tukang martabak yang di depan toko sepatu.
Kurang enak!” jelas Tedi.
“Yah, udah ngga ada lagi. Martabak yang kemaren kita
beli, tukangnya cuma sampe sore. Udah sih ngga apa-apa.” Aku
berusaha meyakinkan yang lain.
“Trus gimana donk?” tanya Iwan.
“Ya udahlah, ngga apa-apa...” ucap Tyan.
Kami pun membeli martabak di tukang itu, walau kurang
enak, kami tetap membelinya, karena martabak adalah salah satu
makanan kesukaan kami.
Setelah membeli martabak, kami menyimpannya, sengaja
tidak memakannya untuk mencari tempat yang cocok bersantai
malam ini. Perjalanan dilanjutkan menuju gerbang tol Balaraja
Barat. Gerbang tol ini menuju Jakarta dan Merak. Kami biasa
melewati jalan tol ini apabila sedang bermain ke Serang atau ke
Cilegon. Kami duduk-duduk di pinggir jalan tol. Merasakan
senandung kelelahan malam para manusia yang berada di
mobilnya. Melihat anggunnya gelap malam yang dihiasi bintang-
gemintang. Dengan sekoteng di samping kami dan tak lupa juga
martabak, kami memandang langit.
“Coba deh kita tunjuk salah satu bintang. Anggap aja itu
adalah cita-cita, mimpi dan harapan kita...” ajakku sambil me-
mandang langit. Lalu yang lain pun menunjuk bintang-bintang
yang mereka pilih.
“Sejauh itulah cita-cita, mimpi dan harapan kita. Kita
sepertinya tidak akan mampu meraihnya” kata Iwan.
“Ngga juga, Boi, asalkan kita mau berusaha, berdoa yang
bakal jadi perjuangan kita, pasti bintang yang kita pilih itu bakan
kita dapetin” lanjutku.
“Ah, lebay29
lu semua. Tapi iya juga sih, karena usaha dan
doa adalah perjuangan kita.” Kata Tyan.
Kami sangat lama terlelap memandangi bintang di tengah
malam.
“Jalan lagi yu...” ajak Tedi yang segera bangkit dan
berdiri.
Aku langsung bangun dan berkata, “Ke mana lagi
emang?”
“Lah, ke mana aja deh. Daripada di sini, mending jalan-
jalan. Diem-diem aja mah dingin, Lu!” nasehat Tedi. Aku
mengangguk.
Sekarang kami berempat berjalan-jalan tak jelas tujuan.
Kendaraan saat ini sudah sepi ekali. Hanya terlihat satu atau dua
mobil yang lewat. Begitu juga dengan motor-motor. Di pos polisi
simpang tiga Balaraja, tempat kami beberapa waktu lalu ditanggap
polisi, yang biasanya banyak tukang ojeg berkumpul menanti
penumpang, hanya dapat dihitung dengan jempol kaki saja jumlah
mereka saat ini.
Juga dengan mobil Angkot atau angkutan kota, yang biasa
parkir di bahu jalan sambil menunggu penumpang, malam ini
karena sudah larut, mereka semua sudah tidak ada, yang tersisa
29 Suatu sifap berlebihan terhadap sesuatu. Biasanya orang-orang yang memiliki sifat lebay ini terlalu menday-dayu, banyak omong, mendramatisir, dan terlalu over akting.
hanya ada satu mobil Angkot saja. Itu juga tidak ada penum-
pangnya seorang pun. Sepi sekali malam ini.
Kami terus memperhatikan setiap sisi jalan yang mulai
tidur. Lalu perjalanan terus kami lanjutkan menelusuri jalan raya
Kresek. Beberapa ruas jalan ini banyak yang rusak, ya, walau
sebelumnya bagus karena sudah diperbaiki. Namun lubang tetap
saja berpenghuni di jalan ini. Entah, apakah dana yang dipakai
untuk membangun jalan ini kurang? Atau sebenarnya dana yang
dipakai untuk pembangunan jalan sudah melebihi dari kecukupan
sehingga dikorupsi para kontraktor? Ini merupakan pertanyaan
besar yang ditujukan kepada aparat pemerintahan yang telah
dipilih oleh rakyat.
Kalau bicara pemerintahan memang sulit. Karena aku atau
teman-teman hitam putih abu-abu yang lain tak ada satu pun yang
mengerti tentang tatanan negara atau hukum sekali pun. Kami
memang kerjanya suka mengkritik. Ya, walau sebagian orang dari
pemerintahan sendiri kewalahan mengurusi negara atau daerahnya.
Tapi, sesungguhnya, kami tak merasakan apapun yang
membangun di daerah kami. Walau harus berganti jutaan
pemimpin atau aparat pemerintahan di sini, tapi apa? Apa yang
kami rasakan? Kurasa hanya sebagian kecil.
Pernah pada suatu hari aku menanyakan kepada beberapa
aparat pemerintah tentang cara kerja mereka di pemerintahan.
Tahukah kau kawan, semua hal itu begitu mengejutkanku.
Pertama, mereka melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi dari
Strata 1 hanya untuk medapatkan kenaikan gaji, lalu bagaimana
kutanya tentang jam kerja mereka, mereka hanya mengatakan
bahwa, kerja di pemerintahan atau dinas seperti ini memang enak.
Biasanya mereka datang seenaknya. Walau tiga kali seminggu juga
tidak apa-apa. Dan apabila mereka mendapat amanah untuk
memberi bantuan untuk orang miskin, maka mereka akan
mendapatkan keuntungan besar dari bantuan itu. Bukan sebuah
bonus dari pimpinan mereka, melainkan dari dana orang miskin itu
sendiri. Tapi hal ini kudapati dari seseorang aparat pemerintahan
yang bukan bertugas di Balaraja.
Ah, sudahlah. Membicarakan keburukan orang memang
tiada habisnya. Lalu kami melanjutkan perjalanan. Terus, terus dan
terus.
Malam kini semakin dingin. Begitu menusuk tulangku
dingin malam ini.
Lalu sampailah kami di dekat pom bensin di daerah
Kedaung. Tak jauh di depan kami, terlihat seorang wanita seksi,
sangat seksi, sedang jalan di depan kami. Mata kami yang tadinya
mulai kabur karena mengantuk, sekarang melek lagi. Dingin yang
sedari tadi menyetubuhi seluruh badan, kini lenyap, rasa hangat
seketika datang. Kami berempat senyum-senyum sendiri, lalu
saling pandang.
“Gue mimpi, Boi!” ucapku penuh semangat.
“Subhanallah!” ujar Tedi dengan kegembiraannya.
“Haha, rejeki yang mantep tengah malem!” kata Tyan
sambil mengucek kedua matanya.
“Hah, cubit gue cubit gue!” kata Iwan. Aku segera
mencubitnya, “Ini beneran mimpi, ga berasa!”
“Hah mimpi!” teriakku. Mata kami tak bisa berkedip
sedikit pun dari wanita seksi di hadapan kami ini.
“Masa mimpi?!” Tedi terlihat begitu kecewa.
“Iwan mah kulit badak, makanya ga berasa! Coba tampar
gue!” suruh Tyan.
Seketika aku langsung menampar Tyan. Ia pun mengerang
kesakitan.
“Awww, sakit gila!” teriak Tyan.
“Wah, berarti bukan mimpi donk?” tanya Tedi yang
kembali memancarkan wajah kegembiraannya.
“Ribut mulu! Mending gue duluanlah yang ngembat tu
waniitaaa” ucap Iwan dengan wajah yang begitu tak sabaran. Ia
langsung saja berlari mengejar wanita itu.
“Wan! Tunggu duu....” aku tadinya ingin memperingati
Iwan sambil menyusun strategi. Tapi ia langsung lari begitu saja.
Dan ketika ia berada di hadapan wanita itu, wajahnya langsung
berubah ketakutan. Kami yang mengikutinya dari belakang,
melihat jelas sebuah ketakutan di wajahnya, ia pun menjerit
histeris, “Aaaaarrrrrggggghhhhh!”
“Kenapa, Wan!” teriak Tyan tak sabaran.
Aku dan yang lain mengejarnya dan berada di hadapan
wanita itu sekarang, wanita yang kami puji-puji dari belakang.
Yang dari belakangnya terlihat bagus, tanpa cacat sedikit pun.
Yang dari belakang terlihat mengenakan pakaian super seksi.
Cantik, cantik dari belakang. Lalu kami sekarang ada di hadapan
wanita itu. Ya, wanita itu segera menebarkan senyumnya.
“Aaaarrrggghhhhh!” aku, Tyan dan Tedi mengikuti Iwan,
mengikuti teriakannya yang lebih dahulu menggema. Serasa hawa
hangat yang baru saja menyelimutiku, berubah menjadi api yang
membakar degup jantungku ketika melihat wanita yang ada di
hadapanku.
“Gila!” aku segera berlari.
Ternyata, wanita yang ada di hadapan kami ini seorang
siluman (seorang waria atau banci, alias wanita setengah pria).
Dari belakang aja mulus, ternyata dari depan penuh bulu30
. Penuh
jenggot dan kumis tuh muka. Sumpah, aku sangat takut ketika
melihat mahluk yang satu ini, dengan berwujud wanita dari
belakang dan pria di depannya, ia mampu menjelma menjadi
manusia.
Yang lain pun mengikutiku berlari.
30 Sebenarnya bukan Bulu, melainkan rambut-rambut halus yang memenuhi wajah. Bisa merupakan jenggot atau kumis.
“Eh, ganteng, tunggu dulu, mau kemana? Sini donk
temenin, Eik. Temenin, Eik malem iniii, ” ucap waria tadi dengan
nada pusing. Ia sepertinya sedang mabuk, sebab dari mulutnya
tercium aroma alkohol dan gaya bicara yang seenaknya. Juga
jalannya yang terlihat sempoyongan.
“Tuh siluman manggil lu, Wan!” ucap Tedi sambil lari.
“Gila aja, masa gue dikasih monster kaya gitu?! Ihh, najis”
balas Iwan dengan nada yang begitu ketakutan.
“Haha, tadi lu yang keliatan agresif ngejar-ngejar tu
banci!” aku ikut-ikutan meledek.
“Huh gila!” teriak Iwan.
Sejuta cara yang dilakukan manusia di zaman sekarang
hanya untuk mendapatkan uang. Halal atau pun haram yang
penting mendapatkan uang maka dijalaninya. Contohnya menjadi
seorang waria seperti tadi. Benar-benar sudah rusak zaman ini.
Mungkinkah sudah susah mencari sebuah pekerjaan halal yang
bisa dilakukan? Ataukah pada zaman sekarang yang namanya
pekerjaan hanya dapat dijalankan oleh orang-orang tertentu?
Ironis, sebuah bangsa kaya raya, namun anak bangsanya menderita
dan terpaksa menggadaikan harga diri, demi selembar kertas.
Mengenaskan.
“Woy, berhenti dulu...” ucapku dengan nafas terengah-
engah.
Dari tadi kami berlari dengan kecepatan maksimal,
padahal jarak yang kami tempuh hanya beberapa meter namun
staminaku sudah lelah. Yang lain pun segera memberhentikan
langkahnya.
“Ngga ngejarkan tuh banci?” tanya Tedi sambil menarik
nafas panjang.
“Udah, udah...” jawab Tyan.
“Gila tuh, gila!” Iwan dari tadi terlihat menyesali
tindakannya selalu menggerutu.
“Ya udahlah, jalan aja ga usah lari segala...” kata Tedi
yang terlihat makin lelah.
Setelah puas berlari beberapa meter menjauh dari waria
tadi, kami pun berjalan santai untuk mengembalikan energi yang
hilang.
Kami sekarang berada di daerah Kedaung atau biasa
disebut-sebut daerah Mandiri, karena di dekat sini berdiri sebuah
sekolah lanjutan tingkat atas dengan nama SMA dan SMK Mandiri
Balaraja.
“Udahlah cape, istirahat dulu yu” ucap Tedi dengan
keringat yang mengucur deras.
“Ya udah nanti aja tuh di depan sana kan ada ruko-ruko
baru yang ada optik. Sekalian buat tidur.” Aku memberi saran
kepadanya.
Yang lain hanya mengangguk.
Setelah 30 detik berjalan akhirnya kami sampai di depan
ruko yang kubicarakan tadi.
“Cepet yu, Cepet! Gue udah cape nih...” Tedi tidak
sabaran.
Ia pun berlari duluan mendahului kami. Aku, Tyan dan
Iwan berjalan santai. Seketika, Tedi tercengang. Entah apa yang
dilihatnya. Ia berdiri mematung. Kami segera menyusulnya. Lalu...
“Hai mas-mas yang guanteng...” salah seorang waria
menyapa kami.
Terlihat di tempat itu berkumpul para waria. Jumlahnya
sekitar 15 orang. Mereka tepat mangkal di depan sebuah optik
yang tadi kubicarakan. Para waria itu tersenyum menggoda ke arah
kami. Perasaan mual dan jijik menghantui diriku. “Ah, godaan apa
lagi ini” .
“Hadooohhh, Har, lu salah milih tempat” bisik Tyan, tepat
di telingaku.
“Ini cuma kebetulan, Tyan...” balasku dengan sangat
perlahan.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Iwan
yang tak berani menoleh ke mana pun. Para waria itu berjalan
mendekati kami. Tedi yang dari roman mukanya terlihat begitu
gugup dan ketakutan, masih mematung dengan mulut menganga.
“Ya udeh, kita jalan ninggalin nih para banci. Pelan-pelan
abis itu kita lari...” Tyan memberikan saran. Kami semua
mengangguk.
Waria-waria itu pun semakin dekat. Dengan rokok di
tangan mereka. Dekat, dekat dan semakin sampai. Lalu aku mulai
menelan ludahku.
Aku memberi aba-aba, “Satu, dua, tiiiigaaa....”
“Lari!” teriak Iwan dengan begitu kerasnya.
Kami berempat pun mengeluarkan tenaga yang tersisa
berlari meninggalkan gerombolan waria itu. Dengan begitu
semangat, aku berlari mendahului yang lain. Tapi kudengar jelas
teriakan itu.
“Aduuhhh! Tolong hitam putih abu-abu! Tolong gue!”
Itu teriakan Tedi. Ia terjatuh saat berlari tadi. Ia sekarang
dikerumuni para waria. Wajahnya terlihat dari jauh begitu pucat.
Sepertinya ia menangis.
“Tolong gue, Cuy! Tolong!”
Aku, Tyan dan Iwan segera menghentikan lari. Lalu
rasanya aku tak ingin menolongnya. Karena kurangnya rasa
solidaritas dari Tedi membuatku kesal.
“Tolong, jangan?” tanya Tyan ragu.
“Ehm... pikir-pikir dulu...” jawabku sambil berlagak
berfikir.
“Udeh tinggalin ajalah. Buat pelajaran buat dia” kata Iwan
datar, dengan gayanya, berjalan meninggalkan masalah yang ada
di depannya.
Tapi, ketika aku berfikir untuk meninggalkannya, aku
teringat akan arti persahabatan yang kita bangun selama ini. Juga
tentang solidaritas yang telah diamanatkan Mbah Sugi dan
disampaikan oleh Pak Nan.
“Lu inget ga apa yang diomongin Pak Nan waktu kita
ketangkep di kantor polisi tempo hari?” aku mencoba membuka
hati Iwan.
Ia hanya terdiam. Aku melanjutkan, “Inget ga lu, tentang
solidaritas? Kan lu semua yang bilang kalo kita saling
ngelindungin satu sama lain?”
“Iya Har, tapi kan...” Iwan mencoba membela diri.
“Tapi apa? Lu tega, ngeliat temen sendiri hilang
keperjakaannya gara-gara kita, sahabat sejatinya,
meninggalkannya begitu saja di antara banci-banci kampung!”
“Ok, gue maju!” Tyan segera berbalik mencoba menolong
Tedi.
“Terserah lu, Wan...” aku pun menyusul Tyan.
Sedikit berlari, kami berdua menyelamatkan Tedi.
“Gue dateng, Ted!” Iwan seketika berlari sambil teriak
mendahului aku dan Tyan.
Aku hanya bisa tersenyum melihat semangat temanku
yang satu ini. Ternyata solidaritas kami begitu kuat. Tanpa berat
hati, ia langsung berada di hadapan para waria-waria itu.
Terlihat dengan jelas, Tedi sudah menangis dengan air
mata yang hampir kering. Ia berada di pelukan waria-waria itu. Ia
pun tak mampu berkutik. Tangan dan kakinya benar-benar dikunci.
Benar-benar menderita, Tedi dicium, diraba-raba dan, ya hampir
saja keperjakaannya itu hilang kalau kami tak datang.
“Heh banci, lepasin temen gue!” teriak Iwan dengan keras.
Lalu di kedua tangannya, telah siap dua buah batu yang
besar dan segera mendarat di wajah para waria, Tyan siap dengan
jurus-jurus silatnya yang sangat ia banggakan, ia telah memasang
kuda-kuda, lalu aku pun telah siap, dengan mengangkat kedua
tangan ke atas dan pandangan sambil menengadah ke langit, aku
konsentrasi.
“Har, lu ngapain?” tanya Tyan yang mengganggu
konsentrasiku.
“Lu ga liat gue lagi ngapain?” aku kembali bertanya
kepadanya.
Tyan memperhatikanku dengan seksama. Sepertinya ia tak
mampu mengartikan gerak-gerikku.
“Gue jelasin, Iwan udah siap dengan batunya, lu juga udah
siap dengan jurus silat lu, nah yang kurang apa? Cuma doa, jadi
gue nolong Tedi dengan doa aja ya. Hehe.” Ucapku dengan bangga
dan aku meneruskan sambil berteriak, “Gue doain lu, Ted, semoga
lu ga hamil!”
Wajah Tedi langsung pucat ketika mendengar ucapanku
tadi.
“Serius dikit donk, Har!” ucap Iwan.
“Iye gue serius, Wan!”
“Woy, cepet tolong gue!” Tedi meringis.
Ketika kami bertiga sibuk meributkan masalah kecil yang
akan kulakukan, salah satu waria tadi langsung berdiri dan berkata,
“Tyan, kamukah Tyan?”
Ucapannya begitu wanita seutuhnya, hanya saja masih
nampak di wajahnya gurat seorang pria dewasa yang tak dapat
hilang.
Kami yang sibuk berdebat dikagetkan dengan salah
seorang yang waria yang mengenal Tyan.
“Apakah benar kamu Tyan? Tyan, kamukah itu?” waria
tadi mencoba mendekati kami. Para waria yang lainnya pun
memperhatikannya.
Tyan mengangguk.
“Tyan, lu pernah tidur sama tu banci? Ternyata kau,
Tyan...” tanya Iwan.
“Ga pernah, gila siapa nih banci?” jawab Tyan sambil
berbisik.
Lalu semakin dekat banci itu menghampiri kami. Ia
dengan muka yang begitu penuh harap mencoba mendekati kami
bertiga. Tubuhku gemetar ketika salah seorang waria mendekati
kami. Ia tersenyum ke arahku.
“Lu siapa banci rombeng!” tanya Tyan dengan begitu
galaknya.
“Ih pelan-pelan dikit donk, aku juga kan manusia...” waria
itu membela diri.
“Tapi lu siluman!” ucapku dan Iwan dengan bersamaan.
Lalu waria tadi menoleh ke arah Iwan, ia pun tersenyum
kepadanya.
“Iwan, kau Iwankan? Ternyata kalian berdua bersama
terus. Sejak dulu...” semakin ganjil kata-kata waria ini. Ia seperti
mengenal begitu dekat Iwan dan Tyan.
“Emangnya lu siapa? Ko lu kenal gue en Iwan?” tanya
Tyan memberanikan diri.
“Masa lu semua ga kenal sama aku? Coba perhatiin lagi
deh...”
Iwan dan Tyan memperhatikannya dari atas sampai
bawah, dari jempol sampai ujung rambutnya. Iwan menggeleng,
Tyan juga.
“Tolong gue, tolong!” Tedi menjerit makin keras.
“Lepasin temen gue!” teriakku.
“Lepasin aja temen-temen, kasian anak orang,” ucap waria
yang mengenal Tyan.
Rambut lurus keriting di bawahnya, dengan warna pirang,
alis mata yang begitu panjang, wajah dipoles dengan bedak, tapi
tipis karena ia memang pada awalnya sudah putih, mata agak sipit,
badan agak berisi, dadanya, sepertinya hanya diisi dengan bantal,
bukan disuntik silikon, sepatu berhak. Lagi-lagi ia tersenyum.
Begitu menakutkan bagiku.
“Inget sama aku, Tyan, Iwan?” pertanyaan yang penuh
harap keluar dari mulutnya.
Tyan menggeleng, begitu juga dengan Iwan.
“Coba perhatikan lagi...”
“Ga kenal gue” ucap Iwan.
“Ini aku, aku,...” si waria mencoba memberi penjelasan,
lalu nada suaranya berubah, menjadi suara seorang lelaki yang
begitu mereka berdua kenal dekat, “Aku, Ferdian”
Perasaan tidak percaya tergambar di wajah mereka berdua.
“Gila!” ucap Iwan kaget, “Bule, lu kenapa jadi...”
“Jadi siluman gini!” lanjut Tyan sambil teriak.
“Ehmm!” para waria berdehem mendengar kata siluman
yang keluar dari mulut Tyan.
“Maaf-maaf..” ucapnya dengan wajah takut kepada para
waria itu.
Aku pernah bertemu dengan Ferdian, dulu, ketika kami –
aku, Tyan dan Iwan, pergi menonton film di bioskop. Ia terlihat
begitu gagah, menurutku. Ya, sebagai seorang lelaki muda, ia
mempunyai karisma yang begitu menawan. Wajahnya yang
tampan, gaya pakaiannya yang tak ketinggalan zaman, dan
kendaraannya, motor gede, yang selalu menemaninya setiap
waktu. Walau ia tak sekaya orang-orang yang memiliki motor gede
lainnya. Bagiku, hal ini yang membuatnya bisa menarik hati
wanita, kalau ia mau.
Tapi entah mengapa ia sekarang berubah seperti ini, ya,
walau aku tak mengenalnya lebih dekat, tidak seperti Tyan dan
Iwan, tapi aku pernah mengenalnya juga dari berbagai cerita Tyan.
“Duduk dulu yu, nanti aku ceritain semuanya.” ajak
Ferdian sambil mempersilahkan kami duluan. Ia mengarahkan
kami ke tempat teman-temannya.
“Tapi gue ngga lu mangsa kan?” Iwan sedikir ragu.
“Ya nggak lah, paling ilang keperjakaan kalian semua.
Hehe” jawab Ferdian sambil tertawa nakal.
Dengan rasa was-was dan hati-hati, aku pun segera duduk
di antara para waria, begitu juga dengan Tyan dan Iwan. Kulihat
Tedi tak dapat berkata-kata, dengan tubuh yang gemetaran, yang
sedari tadi telah berada diantara kawanan waria itu.
Ferdian pun duduk. Ia mengambil nafas panjang dan
memulai pembicaraan, “Lu semua pada ngapain malem-malem
gini?”
“Kami, biasalah, lagi berpetualang” jawab Iwan dengan
bangga.
“Sama aja kalian, seperti masih sekolah dulu, sibuk jalan-
jalan yang ngga jelas kaya gini.” Ferdian melanjutkan dengan
suara wanitanya.
“Trus lu kenapa jadi gini, Fer ?” tanya Iwan.
Aku hanya diam saja, belum saatnya aku ikut dalam
percakapan mereka, percakapan teman lama yang sudah tak
bertemu sekian lamanya. Aku sekarang sedang sibuk memper-
hatikan sekelilingku, para waria, yang dari tadi mulai mencolek-
colek kami. Ngeri, sekaligus geli.
“Kalian berdua tahu kan kisah cintaku dengan gadis
minang dulu?”
Kami bertiga mengangguk.
“Ya, aku frustasi gara-gara hubungan kami berakhir...” ia
mulai merasa bersedih, air matanya perlahan menetas, keadaan
hening seketika.
“Emang kenapa? Kayanya lu berdua ngga pernah
bertengkar sedikit pun, malahan seperti yang gue liat, hubungan
cinta kalian seperti kisah cinta yang pasti dibawa mati.” Tyan
berusaha mendapatkan alasan dari Ferdian.
“Emang sih, hubungan kami berakhir bukan karena kami
bertengkar, bahkan kalau salah satu dari kami mati, aku atau dia,
lalu aku atau dia yang masih hidup pun akan menyusulnya...”
Ferdian menunduk dan melanjutkan, “Kami bertiga ngga pernah
bertengkar, seperti kisah cinta kalian semua, kami juga saling
mengerti dan telah mengetahui seluruh isi hati masing-masing,
juga sifat, dan semuanya. Kecuali...”
“Kecuali apa? Kan lu berdua sudah seperti itu, sepertinya
ngga ada alesan lagi hancurnya hubungan kalian?” aku pun ikut
membuka mulut.
“Kecuali diriku, yang tak pernah tahu apa yang dipikirkan
kedua orang tuanya.”
Kami semua termasuk para waria diam, fokus
mendengarkan penuturannya.
“Kedua orang tuanya telah merencanakan perjodohan
dirinya dengan seorang lelaki yang telah mapan. Mereka berbeda
usia begitu jauh, 15 tahun!”
“ Apa?! Lima belas tahun!” kami semua yang berada di
tempat itu berkata dengan nada kaget bersama-sama.
“Ya, benar, lelaki yang telah dijodohkannya itu telah
mapan, orang tuanya ternyata telah merencanakan perjodohan itu
sudah empat tahun yang lalu...”
“Lalu lu diem aja, Fer?” tanya Tyan.
Ferdian langsung berlinangan air mata tak kuat untuk
melanjutkan ceritanya itu.
Salah seorang waria yang berada di sebelahnya
memeluknya, dan berkata, “Sudahlah cantik, ngga usah nangis
gitu, kan masih ada kita-kita, PBW, perserikatan banci waria, yang
selalu ada di sampingmu, cantik”
“Apa, Perserikatan Banci Waria! Apa aku tak salah
dengar, gila, waria-waria juga punya organisasi,” ucapku dalam
hati.
“Iya, Mih, makasih, aku lanjutin yah ceritanya?” ia terlihat
begitu sedih, tapi ketika bersama waria di sampingnya, ia terlihat
ada orang yang selalu menemaninya. Waria yang dipanggil
MAMIH itu mengangguk.
“Ketika itu datanglah waktu yang aku dan gadis minang
itu takutkan, waktu di mana kami berdua akan dipisahkan oleh
adat...”
“Sebentar, emang si cewek lu itu ga bisa ngelawan gitu?”
Iwan memotong penuturan Ferdian.
“Orang aku lagi mau ngejelasin juga, makanya dengerin
dulu...”
Iwan mengangguk.
“Ya, setelah kami berdua telah mengetahui waktu
perjodohan itu, kami berdua syok berat, terlebih aku sudah
diancam bapaknya gadis minang itu, untuk tidak menemuinya lagi,
selamanya. Walau dia bilang akan mati kalau kau mati, tapi ia
tidak berani mengambil resiko membantah perintah orang tuanya.
Ia takut adat. Seluruh perkataan orang tuanya, baik ataupun buruk,
menguntungkan atau merugikan, harus selalu ia patuhi. Karena ia
selalu patuh terhadap adat istiadat keluarganya.” Ferdian menarik
nafas panjang, lalu melanjutkan, “Setelah itu, ia selalu menolak
untuk bertemu denganku. Aku memohon dengan baik, ia menolak
dengan halus, aku meminta dengan agak kasar, ia memakiku
dengan sadis, sepertinya aku maling saja. Aku memang bisa
membaca pikirannya, ia terpaksa melakukan itu demi kedua orang
tuanya yang begitu keras. Padahal hatinya masih mengarah
kepadaku.”
“Tapi lu jangan nyerah gitu!” aku mencoba memberi
semangat.
“Terlambat kau mengucapkannya, aku sejak saat itu sering
melamun, kadang kalau ditegur marah-marah. Kerjaanku, yang
dulu menjaga toko, sering aku tutup dan aku pun pergi berkeliling
tidak jelas, seperti yang selalu kalian ucapkan, Iwan dan Tyan,
„pergilah ke mana pun yang kau inginkan apabila hatimu gundah,
lalu kembalilah kau apabila telah menerima ketenangan hati dari-
Nya.‟”
“Wah ternyata kata-kata gue sudah ada yang
mengamalkannya dalam perbuatan. Hehe” seketika itu Iwan
merasa berbangga hati.
“Hah sampah!” gerutuku.
“Ya, karena seringnya aku gundah dan stres, aku pun
sering pergi kemana pun hatiku menyuruh, dan sering pula toko
aku tutup dan karena toko aku tutup, lalu penghasilan keluargaku
berkurang secara drastis, sejak saat itu pula kedua orang tuaku
terlalu sering memarahiku. Membentakku dengan kasar, padahal
aku tak senang apabila ada seseorang, sejahat apa pun, berkata
dengan nada yang begitu tinggi.” Ferdian terus berlinangan air
mata, ia terus melanjutkan kisahnya, “Aku pun memberontak, aku
pergi dari rumah, motor yang dulu aku banggakan juga kalian
sering pinjem buat ngejemput wanita cantik yang ngga jelas, aku
bakar, ketika aku akan pergi dari rumah.”
“Emang ngga ada wanita lain apa?” Tedi yang dari tadi
gemetaran mulai angkat bicara. Ia kami kenal sebagai seseorang
yang tangguh dalam permasalahan cinta, kisah cintanya tidak
pernah gagal. Menurut Tyan yang pernah menginap di rumahnya,
ia menyimpan suatu buku atau sejenis kitab pusaka yang berisi
doa-doa untuk menarik hati wanita, isinya bahasa arab, gundul
semua. Makanya ia mampu menaklukan hati sejuta wanita. Tapi
yang membuat ia tak mengerti kepada hatinya sendiri adalah
mengapa ia tak pernah betah dengan seluruh wanita yang ia pacari.
Dengan mudah ia mengambil kesimpulan, bahwa ia belum
menemukan pasangan hidup yang setia sampai mati. Hah, dasar
anak muda.
“Bagiku tiada wanita terindah selain si gadis Minang
pujaan hatiku. Lebih baik mati kalau aku tak pernah bisa
menikmati kehidupanku bersamanya...”
“Lalu kenapa lu ngga mati aja?” Iwan keceplosan
Lalu para waria pun menatapnya dengan tajam, selah satu
dari mereka mencubitnya dan berkata, “Eh ganteng, jangan
ngomong gitu donk sama temen eik, dia bisa selamat kaya gini kan
berkat eik en temen-temen yang sudah nolongin dia, emang lu mau
ngeliat sahabat lu mati gara-gara plustasi ?!”
Iwan yang terlihat takut, hanya mengangguk saja.
“Seperti yang dibilang Mas Marno tadi, eh maaf mba,
maksudku Mba Marni tadi. Aku tadinya prustasi dan hampir saja
bunuh diri karena kemana lagi aku akan kembali. Lalu saat itu aku
ternyata berhenti di depan sebuah salon. Lalu aku yang sudah tak
lagi mementingkan diriku, mencoba akan ngiris urat nadiku,
datanglah Mas Marno, eh salah, Mba Marni, yang akan membuka
salonnya. Ia langsung mencegahku dan memarahiku. Saat itu aku
menceritakan semua kepadanya, ia pun mencoba menolongku
sebisanya. Ia langsung memanggil para anggota PBW saat itu juga
dan segera merapatkan semuanya, aku pun diajaknya kerja di
salonnya. Makanya aku berterima kasih sekali kepadanya...”
Ferdian pun langsung memeluk erat Mas Marno, eh salah, Mba
Marni.
“Tapi kenapa Mba Marni nyuruh lu jadi kaya gini?” tanya
Iwan.
“Siapa yang bilang kalo eik yang nyuruh. Ga ada lagi, eik
kasih tau yah, kenapa orang memilih jadi kaya gini, pertama
lingkungan, awalnya si cantik ini juga bukan kaya gini, tapi dia
memilih jalannya sendiri karena lingkungan, kedua adalah ia kesal
kepada kehidupannya yang sama apabila ia menjalani seperti itu
terus, makanya ia memilih jalan yang berbeda. Ia pun menjadi
seseorang yang memiliki dua kepribadian, ketiga karena ia kesal
dan menyimpan dendam yang teramat sangat terhadap wanita..”
Mba Marni menjelaskan dengan detail. Ternyata faktor yang
kuanggap sepele, adalah faktor yang dapat menentukan seseorang
melangkah dalam kehidupannya. Menakutkan.
“Makasih ya Mba...” air mata yang terus berlinang mem-
basahi pipinya.
Mas Marno, eh salah, Mba Marni pun hanya tesenyum.
“Benar apa yang tadi dijelaskan sama Mba Marni ini, aku
hanya melihat, ternyata yang lebih tau perasaanku adalah mereka
semua, jadi aku mencoba jadi seperti ini agar bisa mengerti
perasaan sesama...”
Ini salah! Salah besar! Hatiku memberontak.
“Ini bukan jalan lu, Ferdian!” ucap Iwan dengan begitu
mengagetkan kami, ia melanjutkan, “Bukan juga jalan kalian
semua, mas-mas!”
“Iya bener, inget, lu semua masih punya Tuhan, tempat
kita mengadu! Tempat kita menyerahkan diri. Tempat kita
berharap keajaiban datang! Bukannya lari dari kenyataan seperti
ini. Yang lu semua lakukan sekarang adalah perbuatan dosa! Dosa
besar!” dengan marah, Tedi langsung memperlihatkan keahliannya
dalam berkhutbah.
Para waria pun kaget mendengar kemarahan Tedi dan
Iwan. Mereka agak gentar dan gemetar sepengelihatanku.
“Tapikan menurut kami ini ba....” belum sempat waria
yang dipanggil MAMIH tadi berkata, langsung dipotong Tedi.
“Menurut kalian apa? Baik? Menurut kalian baik, bagus.
Tapi lihat menurut Tuhan, menurut Allah Swt, itu adalah
perbuatan merubah kenyataan. Menyalahi takdir. Berkhianat
terhadap apa yang diciptakan Allah. Ngga mensyukuri nikmat lu
semua!”
Saat itu pulalah hati mereka semua bergetar, mereka saling
berpelukan dan menangis satu sama lain. Begitu juga dengan
Ferdian. Ah dasar waria, mudah sekali hati kalian tersentuh.
“Tobatlah, tobat31
! Sesungguhnya Allah maha penga-
mpun” ucapan Tedi mulai melemah. Ia kelihatannya bisa menya-
dari hati para waria ini.
31 Sesal atau menyesal akan dosanya, perbuatannya yang jahat dan berniat berbuat baik.
Mereka semua menangis, aku pun ingin ikut menangis,
tapi, tak usahlah. Iwan dan Tyan pun berlinangan air mata juga
dengan Tedi.
Saat inilah waktu yang tepat untuk menenangkan hati
mereka semua.
“Semuanya, di tengah malam ini, izinkanlah gue,
membacakan sebuah puisi yang telah lama gue siapin buat waktu
ini. Puisi yang telah gue buat untuk mencairkan hati dan kerasnya
sifat ini. Juga untuk menghilangkan kesedihan ini.”
DI SISI JALAN INI32
:untuk malam yang tak lagi sunyi
Di sisi jalan ini aku memperhatikan semua
Keadaan malam yang berlalu lalang seperti kunangkunang
Merah kuning kelapkelip menyorot aspal yang diselimuti sejuta
tetes embun
Betisbetis bahkan dadadada yang diobral murah
Diskon besarbesaran
Seperti jual baju kurang bahan
Atau salah jahitan
32 Sebuah puisi yang termasuk di dalam buku kumpulan puisi : Sajak Sebutir Peluru, Hardia Rayya.
Para kerah berdasi yang berkeliaran memasuki lingkaran
Garis pembatas yang tak boleh dilewati
Membawa sejuta tanya
Lelah dan peluh di sekujur tubuh
Yang disulap menjadi berbagai kupukupu
Juga mereka dengan tawanya yang berdusta
Lalu anak bangsa yang menikmati kelakuan ibunya
Bertindak semenamena
Mereka berkata dengan air mata,“Ternyata ibu kota lebih kejam
daripada ibu tiri!“
Mengais rejeki di kolong kali
Lalu dosa berkembang biak
Bagai jamur yang diternak
Sedang pahala
Angkat kaki karena tak punya tempat lagi
Lalu aku bertanya kepada dingin
“Apakah kau punya mantel untuk menyelimutiku
Dari keganasan nafsumu?”
Dia hanya menjawab, “Di sana kau mendapatkan kehangatan
Seperti sebatang lilin yang terus meleleh”
Aku hanya mendapati
Seorang lelaki tua tak bergigi
Sujud sembari memandangi
Sajadah menunggu pagi
Di bangunan yang tak lagi
Berdiri
Dengan satu kaki
Lalu langit memunculkan mentari
Mengganti malam menjadi pagi
Dan kesibukan mulai menerangi
Lalu tawa tak ada lagi
Aku menatap suatu kebebasan di wajah mereka semua.
Perasaan bahagia dan gembira terukir jelas pada senyum
bercampur air mata itu. Aku senang, mereka semua semoga saja
mampu bertobat secara utuh, sempurna. Dalam hati ini rasanya
bangga apabila melihat salah seorang teman mampu kembali ke
jalan-Mu, Ya Allah.
Tak lama mereka semua berpelukan dengan air mata
pertobatan, Tedi berdiri, dengan semangatnya ia berkata, “Mari
kita mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagai tanda kita semua
menyesali perbuatan kita, sebagai tanda kita, gue, lu, dan
semuanya akan kembali ke jalan yang lurus dan menjalankan
perintah-Nya. Bareng-bareng ya...”
“Assyhaduallailahaillalah, wa assyhaduannam-uhamma-
darrasulullah...” dengan hati ikhlas kami mengucapkan syahadat.
Aku merasa ada sesuatu yang berubah dari diriku ini, sesuatu
penyesalan tentang perbuatan salah yang sering aku lakukan.
Para waria itu menunduk sambil mengelap sisa-sisa air
mata yang masih menetes. Fajar hampir tiba, kumandang azan
subuh pun sebentar lagi akan menggema. Udara dingin masih
menyelimuti detik-detik ini. Embun pun masih enggan
meninggalkan bumi ini.
“Lu semua, janji kan buat bertobat?” tanya Tedi.
Mereka semua mengangguk.
“Iya tobatlah. Kerjaan di salon itu ga perlu jadi siluman
kaya gini kok. Jadi seorang lelaki utuh seutuh-utuhnya juga bisa.
Ga apa-apa kerja di mana pun, cara apapun, yang penting halal.
Kerja di salon itu halal, tapi kenapa lu semua ngebikin gaya hidup
kaya gini? Yang ngebuat seluruh kehidupan lu menjadi dosa...”
ucapku karena tergerak untuk mengingatkan semua orang, betapa
pentingnya hidup ini dengan kebaikan. Ya, kalau kita bertemu
dengan orang, baik dikenal maupun tidak, usahakan selalu
mengingatkan kebaikan, ibadah dan keharmonisan karena
terjaganya keberlangsungan hidup antara manusia dengan
manusia, manusia dengan Allah, juga manusia dengan alam. Kalau
kita jauh, maka tugas kita adalah saling mendoakan. Karena
kekuatan doa itu lebih hebat dari pada apapun.
“Mungkin kita mau ngelanjutin perjalanan nih...” kata
Tyan sambil melirik jam yang ada di handphonenya.
“Iya, ok. Oia tapi buat Ferdian, inget orang tua lu
nungguin lu. Sejahat atau sejelek apapun sifat seorang anak, orang
tua pasti kangen kepada anaknya. Dan kembalilah ke rumah,
karena rumah adalah awal perjalanan dan akhir perjalanan.
Pulanglah, karena tempat terakhir kau dalam perjalanan itu adalah
rumah. Minta maaflah kawan...” kata Iwan dengan idealismenya.
Kami bersalaman dengan para waria sebagai tanda
perpisahan. Kami pun melanjutkan perjalanan. Tapi baru beberapa
meter kami melangkah, Mba Marni, eh salah, Mas Marno
memanggil kami, “ Eh lu semua, tunggu sebentar!”
Kami pun menoleh ke belakang secara bersamaan.
Ferdian berdiri dan menghampiri kami. Ia mendekat ke
arah Iwan. Lalu ia memberikan sebuah syal dan berkata, “Wan,
dan semuanya, aku terima kasih, begitu juga temen-temen yang
lain. Terima kasih, aku dan yang lain mencoba untuk bertobat dan
memulai kehidupan baru dalam hidup kami...”
Iwan hanya bisa tersenyum. Lalu Ferdian memeluk Iwan
dan Tyan dengan erat, lalu mencium mereka berdua. Aku hanya
tertawa kecil, ia pun langsung lari. Iwan dan Tyan yang agak ngeri
dan syok, menatapnya dengan kekesalan, lalu Iwan berkata,
“Banci gila!”
Para banci hanya tersenyum sambil melambaikan tangan
mereka.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju masjid untuk
solat subuh.
5
Jalani dan nikmati hari-harimu dengan penuh semangat
dan percaya diri. Usaha yang setengah-setengah tidak akan
membuat kita meraih tujuan. Tapi, kalau berusaha mati-
matian kita pasti mencapai tujuan. Kemudian semua jerih
payah itu pasti akan dapat imbalannya. – Bsik Hikari
Siang yang melelahkan. Seharian ini kami hanya tidur-tiduran di
sebuah masjid. Hawa panas dan rasa kantuk akibat semalaman tak
terlelap, membuat kami bermalas-malasan sambil tidur.
Mengingat-ingat setiap kejadian kemarin-kemarin, aku hanya bisa
tersenyum sendiri. Aku sepertinya merasakan suatu kehidupan
yang tak ada tandingnya. Apakah di luar sana banyak remaja-
remaja yang gemar berpetualang seperti kami, hitam putih abu-
abu? Aku belum menemukan jawabnya.
Yang kami dapati dari setiap petualangan banyak sekali,
yang pasti pengalaman dan pelajaran hidup yang begitu berharga.
Menatap dunia secara langsung adalah sebuah kata yang tepat
untuk menggambarkan istilah petualangan.
Aku terbangun dari tidurku. Waktu hampir menunjukkan
pukul 12 siang. Si muadzin sepertinya sudah bersiap-siap untuk
mengumandangkan seruan illahi siang ini. Segera kubangunkan
yang lain. Mereka tidur nyenyak sekali. Ya, walau sesekali
mengigau seperti ketakutan dikejar-kejar sesuatu. Yang paling
banyak mengigau adalah Tedi. Sepertinya ia masih syok akibat
ditangkap waria semalam.
Aku tersenyum kepada si muadzin33
. Ia pun membalas
senyumanku dengan ramahnya. Ia hanya menggeleng ketika aku
berkata untuk memaklumi teman-temanku masih tidur. Mungkin
dalam hatinya mengatakan, “Dasar anak muda, kerjaannya cuma
begadang, begadang dan begadang”.
Lalu, ketika adzan dzuhur berkumandang, barulah nyawa
mereka semua bersatu. Walau ya, masih setengah masuk ke dalam
raganya. Mereka bertiga masih sibuk menggeliat sambil mengucek
mata.
“Emang jam berapa nih udah adzan?” tanya Tedi.
“Lu liat aja, Ted, sendiri...” jawabku sambil menunjuk ke
arah jam dinding. Wajahku telah segar karena baru selesai
berwudhu.
“Ayo semuanya, wudhu juga gih. Kita segera solat
berjamaah!” ucap si muadzin dengan lembutnya.
Setelah selesai berwudhu, si muadzin segera iqomah. Aku
bingung, masa solat berjamaah di masjid ini cuma ada tujuh orang,
itu pun termasuk kami. Kalau kami tidak ada, berarti, ya cuma
sekitar tiga orang, lebihnya paling sedikit, atau paling parahnya
33 Orang yang mengumandangkan adzan, ketika masuk waktu solat, di masjid atau di mushalla.
cuma dua orang saja. Padahal, masjid di tempat tinggalku,
walaupun itu solat dzuhur, pasti orang yang melaksanakan solat
berjamaah bisa berjumlah lima puluh orang atau lebih. Kalau solat
subuh, di mana waktu setiap orang masih sibuk terlelap dalam
tidurnya, di masjid tempat tinggalku pasti hampir semua shaf34
penuh oleh jamaah.
Entahlah, padahal masjid ini termasuk dekat dengan
pemukiman warga.
Dengan khusyu dan khidmad, kami bertujuh
melaksanakan solat dzuhur.
Selesai solat, Tyan segera mengambil posisi yang pas
untuk melanjutkan petualangannya di alam mimpi. Disambung
dengan Iwan. Lalu aku. Tapi Tedi masih khusyu berzikir.
Sepertinya ia sudah tidak mengantuk lagi.
Aku masih mencoba memejamkan mata. Padahal hawa
kantuk ini sudah menjalar ke seluruh tubuh. Tapi mata belum bisa
terpejam. Aku masih melihat Tedi berzikir. Sangat jarang sekali ia
melakukan zikir sehabis solat selama ini.
“Gue coba ajak ngobrol aja nih si Tedi...” ucapku dalam
hati.
Aku yang tak bisa tidur mendekatinya.
“Ted, lu ga ngantuk?” tanyaku. Ia diam saja. Khusyu
sekali dia.
34 Barisan dalam solat.
Aku mendekatinya dan mencoleknya. Ia tetap tidak mau
menoleh ke arahku. Aku menggoyang-goyangkan badannya, “Ted,
Ted, so sibuk lu!”
Ketika digoyang-goyang berkali-kali, ia pun langsung
jatuh. Matanya terpejam. Dengkurannya terdengar, pertanda begitu
lelahnya ia. Dalam hati, aku berkata, “Sial lu, Ted, bisa bisanya
tidur sambil duduk!”.
Tyan datang dengan tergopoh-gopoh. Kami yang sedang
berkumpul mengelilingi api unggun menatapnya dengan penuh
harap. Samar-samar kutangkap senyuman darinya yang
memuaskan kami. Wajah yang gelap ditambah lagi gelapnya
malam membuatnya hampir tidak terlihat di tengah rimbunnya
ilalang.
“Nih gue dapet...” ucapnya bangga.
Aku sejenak melirik. Banyak sekali singkong dan jagung
yang ia dapat.
“Boleh nyolong di mana, Lu?” tanya Iwan penuh selidik.
“Ah, biasalah. Kemaren gue ngeliat suatu tempat yang
menyimpan sumber daya alam yang cukup memuaskan. Dan,
inilah hasilnya.” Ia pun tersenyum bangga. Memang, prestasi
Tyan dalam berbagai hal tidak boleh diremehkan, walau
kelihatannya ia urakan.
“Banyak sih banyak. Tapi tetep aja boleh nyolong!” Tedi
terlihat kurang puas dengan hasil yang didapat Tyan. Lalu Tyan
memandangnya dengan penuh keseriusan. Ia pun langsung
mengacungkan jari telunjuknya.
“Ssst, ssst ssstt. Hari gini nyolong. Sori yah. Gue ini orang
cerdas. Ga pake cara haram, Cuy.” Ia lagi-lagi membesarkan
dirinya. Huh, selalu begitu.
Kami bertiga kaget, lalu ia mendapatkan jagung dan
singkong itu bagaimana? Apakah ia mempunyai uang banyak
untuk mendapatkan singkong dan jagung itu Kukira tidak begitu.
Sudah jelas, saat itu, saat ia makan di WARTEG, ia kehabisan
uang. Lalu bagaimana? Apakah ia rela menggadaikan tubuhnya
kepada seorang tante-tante hanya demi mendapatkan singkong dan
jagung itu? Tapi pakaiannya tidak lusuh, dan celananya tidak
basah? Lalu?
“Terus lu gimana bisa dapet harta karun banyak banget?
Lu ngepet buat dapet duit ya?” tanyaku.
“Enak aja lu, Har. Gue kan pekerja keras, jadi wajar donk
Allah memberikan upah yang lebih kepada hamba-Nya yang
lemah ini. He...he...” jawab Tyan yang makin membuat kami
semua bingung.
“Ah lu. Yang bener nih?” Iwan makin ragu dengan
jawabannya.
“Kasian gue sama lu semua. Haha. Oke, gue kasih tau
semuanya...” Tyan menarik nafas yang dalam dan melanjutkan
ceritanya, “Gue bingung pas lu semua cari makanan, sedangkan
kita ada di tengah sawah gini, tempat yang kurang strategis buat
makan enak. Ya udah, gue ambil keputusan aja buat nyolong ni
harta karun...”
Tedi segera memotong cerita Tyan, “Apa gue bilang, lu
nyolong. Udeh, dari awal aja ngaku susah amat!”
“Sabar, Ted, gue kan belom beres.” ucapnya dengan
senyum khas, “Gue udah ngeluarin jurus andalan gue padahal.
Jurus menghilang, yang udah diajarin sama nenek moyang gue
turun temurun...”
Aku kaget, ternyata Tyan punya jurus yang langka.
Memang, daerah Kresek tempat tinggalnya masih menyimpan
cerita-cerita mistis tentang kekuatan yang magis dan ilmu-ilmu
hitam untuk menyantet orang. Lalu Iwan tertawa geli. Aku pun
heran melihatnya, begitu juga dengan Tedi.
“Ilmu apa?” Iwan masih tertawa geli.
“Ah lu, Wan.” Tyan agak malu melihat Iwan.
“Iya ilmu apa? Si Tyan kan item, trus sekarang malem.
Kalo dia masuk ke tempat gelap dan penuh rerimbunan pohon dan
ilalang, jadinya... taaaraaaaa, tidak kelihatan deh lu...” Iwan men-
coba memberi penjelasan sambil tertawa.
“Hahaha...” kami tertawa keras.
Tyan melanjutkan, “Iya, jadi ternyata yang punya kebun
tuh pak haji, lupa gue, pak haji siapa, yang jelas dia punya ilmu
tinggi dan bisa ngeliat gue dalam kegelapan. Terus gue langsung
lari, kaget gue pas pak haji tadi mergokin gue. Eh gue malah
kesandung. Jatoh dah gue. Pak haji tadi langsung nangkep gue
sambil berkata, „ Heh nak, kamu mau ngapain? Nyolong ya?‟. Gue
gugup...”. Tyan menarik nafas, “Terus gue jawab dah „Aaaanuu
pak...‟, beliau langsung motong jawaban gue, „udahlah ngaku aja.
Nih saya kasih, ambil aja satu karung sama jagungnya‟. Gue
langsung kaget. Kaget banget. „tapi ada satu syarat...‟ gue
bertanya-tanya dalam hati tuh, syarat apaan? Gue saat itu diam
mendengarkan, „syaratnya adalah kamu harus bakarin saya jagung,
tujuh buah, ok?‟. Gue seneng banget, langsung aja gue ngangguk
dan nyium tangan tuh pak haji. Makanya abis kita bakar-bakar nih
harta karun, gue langsung ngasihin jagung ke beliau...”
Ada-ada saja Si Tyan. Ternyata masih banyak juga orang
baik di dunia ini. Tak percuma aku dilahirkan di zaman sekarang.
Kami semua, malam ini bersenda gurau, bercerita sampai larut
malam. Bercerita tentang malam, tentang bintang-bintang, tentang
mimpi ketika kami kecil, mimpi ketika sudah menginjak dewasa
yang sudah berbeda jauh ketika bermimpi di waktu kecil, tentang
angan, tentang harapan, tentang tuntutan, tentang kebebasan, ya
tentang segalanya.
Aku langsung terhanyut ketika kami berbagi cerita di
waktu kecil. Aku teringat kembali, ketika aku tak membatasi setiap
mimpi. Ketika bermimpi menjadi seorang penjelajah yang sedang
tersesat di daerah Mesir, tepatnya peradaban Mesir kuno. Saat itu
aku bermimpi menemukan suatu peradaban yang hilang di tengah
padang pasir yang tandus dan gersang tanpa air. Dan ketika itu aku
bertemu sesosok peri, entah peri apakah itu. Ia hanya mengatakan
bahwa ia utusan Fir‟aun yang bisa memberikan satu pilihan dari
tiga buah pilihan, pertama adalah emas yang sebesar gunung,
pastinya kalau aku memilih itu semua aku bisa kaya raya, pilihan
yang kedua adalah sebuah pulau yang berisi istana megah hanya
untukku, pastinya kalau aku memilih yang ini, aku bisa menjadi
seorang raja, pilihan yang ketiga adalah sebotol air yang mampu
menghilangkan kehausanku dalam perjalanan di tempat ini.
Aku masih bingung saat itu. tapi ketika kehausanku sudah
mencapai puncaknya, aku tak menghiraukan harta dan tahta, aku
lebih membutuhkan air, air yang dapat menghilangkan
kehausanku. Ya, langsung saja kupilih pilihan yang ketiga tadi.
Lalu peri itu memberikan sebotol air dengan botol emas, yang
airnya berasal dari sebuah pulau, pulau yang masih asri, belum
terjamah suatu kehidupan penghancur. Aku bangga, ketika peri
utusan Fir‟aun tadi mengatakan bahwa aku memiliki hati yang
lebih indah dari emas, dan memiliki tahta di dalam diri, juga
seorang raja yang mampu mengatur hawa nafsunya. Ah, dasar
mimpi-mipi anak kecil, sulit dimengerti.
Berikutnya adalah cerita Iwan, ketika kecil, ia sudah
bermimpi terhempas pada sebuah dunia yang ia sendiri pun tak
mengerti. Di dunia itu, hanya ada hewan-hewan aneh, mulai yang
baik sampai yang buas, hewan-hewan itu berbicara selayaknya
manusia. Di dunia itu, ia bertemu dengan beberapa teman. Ia pun
berkelana mengelilingi dunia yang tak ia mengerti, bersama
teman-temannya yang juga tak pernah saling mengerti terhadap
dunia itu. Bertarung menghadapi kejahatan dan mendirikan
kerajaan monster dengan kebijaksanaan di dalamnya.
Berikutnya adalah cerita Tyan. Tyan termasuk satu dari
seribu anak kecil yang mampu menggambar mengalahkan orang
dewasa. Saat itu ia menggambar sebuah kota dengan berjuta-juta
kejahatan di dalamnya. Ia pun langsung tersedot ke dalam
gambarnya itu. Ketika itu ia bisa berubah menjadi sang pembela
kebenaran. Ia mampu menciptakan berbagai senjata di sana. Hanya
dengan berbekal krayon andalannya. Ia pun mampu menjadikan
kota itu menjadi lebih aman dan ia diangkat sebagai pelindung
oleh presiden di kota itu.
Lalu Tedi, ia sangat bercita-cita menjadi seorang profesor
yang mampu membuat robot. Robot terhebat di dunia. Robot yang
bisa berubah menjadi apapun, yang merupakan replika dirinya .
Tapi dalam ceritanya, robot ciptaannya itu berubah menjadi ganas
karena dia memasukkan sebuah ingatan seorang penjahat. Ia pun
bertarung melawan robot ciptaannya sendiri, yang berarti melawan
dirinya sendiri. Kemampuannya yang begitu cerdas mampu
dikalahkan sang robot, pertarungan seimbang. Lalu dia berfikir
tentang kelemahan dirinya. Dia pun mampu mengalahkan robot itu
sekaligus mampu berkaca diri akan kelemahan yang dimiliki.
Kebanyakan, bahkan sebagian besar mimpi anak kecil
adalah menjadi seorang pemenang dalam pertarungan. Juga
tentang petualangan melawan mahluk asing, atau menemukan
harta karun di sebuah daerah antah berantah. Sebuah imajinasi
yang tanpa batas. Berbeda ketika seseorang menginjak dewasa.
Imajinasi dan mimpinya mereka batasi dengan sebuah
kebohongan, ego, minder, gengsi, dan sudah lupa dengan
imajinasi. Mimpi mulai dipersempit dengan batas-batas wilayah
yang tak sewajarnya. Entahlah, apakah di pikiran orang dewasa,
mimpi itu seperti membeli sebuah benda yang berharga sangat
mahal, sehingga mereka semua sayang untuk bermimpi? Aku
merasakan hal itu.
Mimpi, sebuah kata yang tak asing lagi di telinga anak
kecil. Sebuah khayalan, sebuah imajinasi kehidupan yang timbul
dari pemberontakan pikiran. Hal-hal yang jenius lahir tanpa ada
paksaan dan belum terkontaminasi sebuah kehidupan yang kotor
dan berpolusi. Tapi kata mimpi mungkin asing dan begitu sepele di
dalam pemikiran orang dewasa, mereka kebanyakan memikirkan
hal-hal yang riil saja. Sesuatu yang nyata dan tanpa tantangan yang
berarti untuk dilalui dalam sebuah kehidupan. Hanya memikirkan
sesuatu yang dapat dicapai dengan pas-pasan. Kurang memak-
simalkan pikiran.
Terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang hanya kasat mata,
orang dewasa itu. tidak pernah sadar, bahwa banyak hal yang
menunggu di depan. Dan semua itu adalah tidak kasat mata. Belum
terlihat. Maka dari itu, “mimpimu adalah masa depanmu!” kata
sebuah iklan reklame di pinggir jalan.
Lewat mimpi, kita bisa mengembangkan dan mengubah
jalan hidup ke arah yang lebih baik. Seperti, kita bermimpi untuk
berkelana menjelajahi dunia, maka dengan mati-matian kita akan
mengumpulkan cara untuk berkelana menjelajahi dunia, entah
dengan cara mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya atau
dengan cara nekat. Atau bermimpi menjadi seorang pecinta
lingkungan. Dengan segenap pemikiran kita, bagaimana cara alam
sekitar kita menjadi kembali asri. Bagaimana kita memaksimalkan
otak kita berfikir untuk menjaga lingkungan dapat dilakukan setiap
orang. Atau bagaimana menyadarkan orang lain agar ikut
melestarikan lingkungan.
Itulah dasyatnya mimpi. Mimpi yang maksimal dan
membakar nafsu untuk mencapainya. Keinginan yang besar, suatu
ambisi yang untuk mendapatkannya diperlukan semangat yang
menggebu-gebu. Maka dari itu marilah bermimpi untuk dapat
menafsirkan kehidupan yang begitu indah. Jagan menyerah, karena
setiap kegagalan itu berarti. Belajarlah! Berdiri dan bangkit! Lalu
berlari! Teriak, bahwa kita adalah sesuatu yang nyata dan patut
untuk dipandang dunia. Patutlah kita, para pemimpi, disejajarkan
dengan Albert Einstein, Issac Newton, Jalaludin Rumi, Pramoedya
Anantatoer, Soe Hok Gie, Mahatma Ghandi, David Beckham,
Tony Hawk, Ibnu Sina, Bill Gate, Soekarno, Andrea Hirata, Gajah
Mada, Christophorus Colombus juga yang lainnya.
Bermimpi, Bermimpi dan BERMIMPI bersama kami,
Hitam Putih Abu-Abu.
6
Aku mendengar dan aku melupakan. Aku melihat dan aku
melupakan. Kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi di
catatan perjalanan hidupmu, Kawan. Kau sendiri yang
akan menentukan akhir cerita, hanya usaha dan doamu.
Ingatlah dirimu dan carilah dirimu. Jadi jangan pernah
takut menatap dunia! – Angkasa Wirawan
“Oke semuanya, tarik nafas...” perintah seseorang yang berambut
gondrong itu.
Kami yang sedang duduk bersila pun mematuhinya. Ya,
dia, dia adalah seorang seniman Balaraja, Miming Munardi.
Sahabatnya Pak Nan, juga seorang anak yang terpilih terdahulu.
Kami saat ini berinisiatif untuk menemuinya karena bagi kami
berkenalan dengan sesama anak yang terpilih adalah suatu
keharusan. Ia pun termasuk orang yang dikenal di Balaraja ini,
sebagai seorang seniman. Lukisannya sangat bagus, menurutku.
Dengan gayanya yang terlihat amburadul35
, rambut gondrong, tapi
wajahnya memancarkan suatu kebersihan dan ketenangan hati,
membuat setiap orang yang berbicara dengannya merasa senang.
Wajahnya seperti menggambarkan sebuah ketidakpedulian
35 Berantakan, tak terurus.
terhadap apapun, tapi malah sebaliknya, sifat ingin membantu
sesamanya sangatlah tinggi.
Yang sebenarnya berhasrat ingin bertemu dengan Pak
Miming Munardi adalah Tyan. Mungkin kesamaan hobi yang
membuatnya berambisi belajar kepada pak Miming, yaitu tentang
seni rupa. Tyan bagiku ahli dalam memainkan pensil, pena, spidol
atau alat tulis lainnya, tapi ia sepertinya belum terlalu mahir
memainkan kuas di atas kanvas.
Dan ketika kami memberitahukan kami ini siapa, mengapa
kami tahu dia, juga maksud kedatangan kami, Pak Miming segera
menyambut kami dengan senang hati. Makanya, sebelum memulai
melukis, dia menyuruh kami untuk melakukan ritual yang harus
dilakukan seorang pelukis agar mendapatkan ketenangan hati.
“Tahan... keluarkan...” Pak Miming memerintah sambil
berjalan berputar-putar mengelilingi kami.
“Tahan...keluarkan...”
Aku diam saja. Dengan konsentrasi yang khusyu
mengikuti jalannya ritual.
“Tahan...diam, agak lama. Jangan dikeluarkan dulu...”
“Oke, keluarkan...”
“Haaaaaahhhh...” aku masih belum kuat menahan nafas
berlama-lama.
“Sekarang harus benar-benar konsentrasi kalian semua.
Sekarang, tahan lagi, tahan nafas lagi. Tenangkan pikiran. Rileks.
Tahan...”
Konsentrasi yang penuh adalah suatu teknik untuk
mencapai ketenangan hati. Apabila kita sudah tenang, maka
pekerjaan yang kita lakukan pun Insyaallah akan baik, pekerjaan
kita akan selalu kita hayati dan yang terpenting adalah sebuah rasa
syukur yang bisa kita kita nikmati apabila kita telah mencapai
ketenangan hati. Hidup tidak dibuat susah, mencoba menghadapi
masalah dengan kepala dingin, marah-marah pun dapat terhindari.
Itu yang pertama kali dijelaskan oleh Pak Miming.
“Tahan... tahan.. tahan!”
Konsentrasiku hampir mencapai titiknya. Lalu sebuah
bunyi mengganggu bahkan menghancurkan semua konsentrasiku.
Bunyi yang nyata dan jelas sebuah bunyi yang biasa aku dengar
selama ini.
Aku mencoba melirik sekitar. Tedi, ia pun melirikku
dengan tatapan aneh. Iwan, ia juga sama, sepertinya nafasnya yang
ia tahan sudah keluar dan sepertinya ia keracunan. Tyan, wajahnya
gembira, senang tak terkira, senyum-senyum sendiri, sambil
mengangkat kedua jempolnya. Bau itu, ya, bau itu menusuk sela-
sela hidungku, yang awalnya telah menusuk hidung Iwan lalu
hidung Tedi.
“Aaahhhh, mantab. Sedap baunya...” ucap Tyan setelah
mengeluarkan angin surganya.
“Uuhhhkkk, uuhhhkkk. Telor busukk!” Aku menggerutu
sambil memegang hidung yang pesek ini.
“Pantat meledak, racun, racun septictank kena bom!” Tedi
seperti tercekik lehernya.
“Gila! Bom Hirosima meledak di Balaraja!” ucap Iwan
sambil menutup hidung dengan tangannya.
Pak Miming kok diam saja? Apakah orang yang sudah
mencapai ketenangan hati itu tak dapat merasakan sebuah pahitnya
dunia, seperti kentutnya Tyan. Di hadapanku ia tak ada, di
samping kami, dia juga tak ada. Lalu aku menoleh ke belakang.
Aku kaget sambil teriak, “Pak Miming pingsan! pak Miming
pingsan!” Seketika itu yang lain pun menengok ke belakang. Ia
pingsan terkena kentut supernya Tyan yang tepat meledak di
hadapannya.
Setelah sepuluh menit pingsan, Pak Miming akhirnya
sadar. Ia menatap tajam ke arah Tyan. Tyan hanya senyum-
senyum merasa tidak enak kepada beliau.
Pak Miming segera bangun dan menepuk pundaknya,
“Jadilah pelukis yang hebat, guncang dunia lewat penafsiran
sebuah alam dengan karya-karyamu...”
Tyan terpana mendengar kata-katanya. Kami semua kaget.
Apakah mungkin, Tyan mampu menjadi pelukis hebat seperti yang
diucapkan Pak Miming tadi? Seperti yang telah dikatakan Pak
Nan tempo hari, bahwa Pak Miming itu mempunyai kemampuan
meramal yang hebat. Mungkin hanya dengan melihat cara
seseorang bertingkah laku, bergerak, berpendapat, berbicara,
mengeluarkan argumen, ia sudah bisa menebak akan jadi seperti
apa orang itu nantinya.
“Jadilah pelukis yang hebat...” kata-kata itu beliau ulangi
lagi, “Jadilah pelukis yang hebat dengan banyak melukis,
memandang alam, membaca alam, menjaga alam, melestarikan
alam, bersyukur karena Allah telah menciptakan alam yang indah,
pergi ke alam dan, lihatlah! Lihatlah apa yang ada di sana!”
Petuah yang begitu berharga bagi kami. Ia bukan hanya
guru bagi lukisan kami, tetapi juga guru yang bisa mengarahkan
kami cinta terhadap sesama ciptaan-Nya. Tak salah, ia menjadi
salah satu anak yang terpilih.
Tanpa banyak berkomentar, Pak Miming segera bangun
dan mengajak kami melanjutkan latihan.
“Berikutnya, pikirkanlah apa yang akan kalian semua
gambar atau lukis. Pikirkan saja...” beliau pun segera membagikan
kuas, “Lalu anggap aja kalian lagi ngelukis. Lukislah. Pejamkan
mata kalian!”
Kami memejamkan mata, “Dan di hadapan kalian
sekarang ada kanvas, cat, berbagai jenis kuas, pinsil dan sebuah
ide. Cepat, lukis!”
Aku mencoba mengikuti apa yang disuruh Pak Miming.
Mungkin orang yang melihat kami saat ini bisa memanggil kami
orang gila, tapi aku juga agak tidak percaya dengan apa yang
dikatakan pak Miming barusan. Entahlah, tapi aku ikuti sajalah
apa yang dikatakannya.
Aku mulai berimajinasi dengan apa yang sedang aku
gambar di hadapanku. Mulai dari langit-langit oranye yang
terbentang luas. Dicampur dengan berbagai warna gelap, bersatu
padu. Membentuk semburat tentang kegelisahan hatiku yang tak
menentu. Aku pun menggambarkan seseorang yang berlari
mencoba menangkap pelangi. Dengan dandanan seadanya, ia
berlari menangkap pelangi di senja ini.
“Terus melukis. Gambarkan, gambarkan, gambarkan!”
Pak Miming memberi semangat kepada kami.
“Tedi, kamu buat apa?” Pak Miming menanyakan satu
persatu apa yang kami buat.
“Saya melukis jutaaan berlian yang indah dan kuat!”
jawab Tedi dengan tegas.
“Iwan, kamu gambar apa?”
“Saya menggambar jutaan orang sedang berlari menuju
sebuah titik cahaya...”
“Hardi, kamu sendiri ?”
“Saya bikin seseorang yang berlari ingin menggapai
pelangi ketika senja hari dan angin yang sedang berhembus sepoi-
sepoi...”
“Kamu Tyan ?”
“Saya membuat sekelompok orang terbang mengitari
langit,”
Ternyata, kukira mereka tak serius berkhayal. Dasar, hitam
putih abu-abu. Selalu saja bermain-main dengan khayalan kalian.
“Oia pak, apa maksudnya bapak tadi menyuruh kami
melukis di alam pikiran kami? Apakah cuma iseng-seng saja atau
ada maksud lainnya?” aku masih belum yakin tentang teknik
melukis yang diajarkannya tadi.
“Ehmm, begini anak muda, kalian tadi mencoba mengem-
bangkan imajinasi kalian, mengeluarkan apa yang ada di pikiran
kalian, meledakkan otak kalian dengan semua khayalan-khayalan
yang kalian punya. Dengan cara ini, apabila kalian hendak melukis
di atas kanvas langsung bisa melukiskannya. Bagi pemula, melukis
di atas kanvas, apabila langsung melukis saja tanpa melakukan
metode penenang hati itu bakal susah mengeluarkan imajinasinya.
Gambar pun masih jauh dari harapan.”
“Ooo...” kami berempat ber-O ria.
Ternyata, dari tadi kami melakukan konsentrasi itu ada
manfaatnya. Salah satunya adalah mengeluarkan imajinasi seperti
yang dikatakan Pak Miming tadi. Oke, aku mulai menangkap ke
arah mana beliau mengajarkan kami.
Lalu Pak Miming mengeluarkan peralatan melukisnya.
Kami pun memperhatikan bagaimana dia mengguratkan kuas-
kuasnya. Perlahan-lahan, perlahan-lahan dan segurat warna
muncul. Warna yang indah.
“Melukis itu yang sebenarnya gampang, engga ada di
dunia ini yang susah, kecuali kalian malas. Mencoba itu lebih baik,
walaupun gagal. Ketimbang kalian hanya tidur, nonton, tidur,
nonton, tidur dan ngga bangun lagi.” Ucap Pak Miming di sela-
sela guratan kuasnya.
Setelah selesai mengajari kami dasar-dasar melukis, kami
berlima bercerita panjang lebar, tentang anak yang terpilih dahulu,
tentang Mbah Sugi, tentang kehidupan pilunya Pak Miming,
tentang atap langit yang telah membawanya sadar akan kehidupan
ini, juga tentang banyak hal. Kami berempat pun menceritakan
perjalanan kami, tentang pertemuan kami dengan Mbah Sugi,
tentang Pak Nan, juga tentang mimpi-mimpi kami.
“Udah, nih kopi,” kata pak Miming menawarkan segelas
kopi, hitam pekat. Ia tadi sempat membuat kopi. Katanya kopi itu
penghilang stres dan membuat pikiran jernih untuk mengambil
suatu keputusan. Segelas kopi.
“Diminum ya, Pak...” ucap Iwan sambil mengangkat gelas
kopi. Pak Miming pun mengangguk.
“Hitam...” kataku, yang juga mengangkat gelas.
“Putih...” Tyan melanjutkan.
“Abu...” Iwan ikutan.
“Abu...” Tedi juga.
“Bersulang...” ucap kami berbarengan, kami pun bersulang
dan menenggak kopi bersama-sama.
Kopi itu perlahan mengalir di bibir kami, melesat
melewati lidah, terjelembab di dalam tenggorokan. Tapi, ada suatu
hal yang janggal, sepertinya aku belum pernah merasakan rasa
yang begitu aneh seperti ini.
“Mmbbbuuuuaahhhhh....” kopi yang telah masuk ke mulut
Tedi, dimuntahkan kembali, Iwan menyemburkannya, kopi di
mulut Tyan mengalir keluar. Aku hanya bisa menahannya dan
membiarkan cairan kopi itu masuk ke tubuhku.
“Pak, mau ngeracunin kami apa?!” Iwan kelihatan marah.
“Iya nih, kopi kok pahit banget, dikasih racun ya!” Tedi
ikut menimpali.
Aku coba menjatuhkan tubuhku ke lantai lalu bangun dan
teriak, “Pahit! Betul betul pahit!”
Pak Miming tersenyum. Aku tak mengerti arti senyum itu.
Lalu ia berkata seperti tak berdosa, “Gula lagi mahal, juga
ngga baik buat tubuh, entar pada kencing manis lagi...”.
“Dicampur apaan nih kopi? Racun tikus?” tanyaku dengan
rasa pahit yang tak kunjung pergi dari lidahku.
Pak Miming menggeleng.
“Lalu?” tanya kami bersama-sama.
“Kopi murni, asli, tanpa campuran MSG, mecin, garam,
racun tikus, apalagi gula...” jawabnya dengan polos.
Aku menghela nafas.
Pertemuan kami dengan Pak Miming memberikan kesan
tersendiri di hati kami. Masing-masing dan berbeda. Aku senang
bisa bertemu orang ini. Dia juga menyampaikan bahwa kalau ada
waktu, berkunjunglah ke tempat itu lagi. Ia pun dengan senang hati
menerima kami apabila ingin belajar melukis lagi.
Singkat tapi sangatlah berkesan. Kami jalan lagi, mencoba
untuk melewati batu karang yang ada di depan. Lalu, entah ini
sebuah ilusi atau bukan, suara yang datangnya entah dari mana
bergetar di telingaku, “Carilah! Cari dan kejarlah ujung pelangi itu
sampai dapat!”
7
Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak
pernah ada cinta yg disembunyikan, kecuali oleh seseorang
yang terlalu mencintai dirinya sendiri – Vera Kristin
“Haha, ngapain ke sini lagi?” tanya Tedi sambil melirik ke
telepon genggamnya.
“Ada hal yang harus kita selesaikan, Ted!” jawab Iwan
dengan tegas.
“Ya, bener kata Iwan. Hal yang menyangkut ketentraman
perumahan kita!” aku melanjutkan jawaban Iwan.
Sekarang tepat pukul sebelas malam. Kami berempat ada
di depan gerbang perumahan Permata Balaraja, yang tidak lain
adalah perumahan tempat tinggal aku dan Tedi. Aku mempunyai
alasan yang kuat untuk kembali ke perumahan ini. Aku dan Iwan
yang telah mengetahui rencana jahat seseorang untuk merusak
ketentraman perumahan. Kami sekarang mencoba untuk
mengembalikan ketentraman yang hampir hilang itu.
Tedi dan Tyan menampilkan wajah penuh sejuta tanda
tanya. Kami berempat melangkah perlahan memasuki perumahan
Permata Balaraja. Sedikit informasi tentang perumahan ini,
perumahan permata Balaraja ini dibangun pada tahun 1994 yang
lalu. Dahulu daerah ini merupakan wilayah pesawahan yang
membentang luas. Entah mengapa warga desa Balaraja tergiur
dengan uang yang ditawarkan oleh pemilik perumahan ini
sehingga menyerahkan tanahnya untuk pembangunan perumahan.
Dan berdirilah rumah-rumah sederhana dengan berbagai ukuran
luas tanah. Bagiku beberapa puluh tahun lagi perumahan ini hanya
akan menjadi perumahan orang tua, karena para remaja yang mulai
beranjak dewasa memilih untuk berkelana mencari tempat tinggal
sesuai hati mereka masing-masing. Tapi entahlah, biar waktu yang
menunjukkan. Rumahku persis berada sebelahan dengan rumah
Tedi. Kami berarti memiliki rumah dengan satu tembok.
Keadaan hening menyelimuti perjalanan kami. Suasana
jalan yang rusak dan keadaan gelap membuat kengerian yang
menjadi, tapi untungnya perumahan ini sudah dihuni semuanya.
Jadi dari pinggir jalan utama sampai belakang ramai oleh para
keluarga. Tapi sekarang ketentraman itu diusik oleh rencana juga
perbuatan jahat seseorang, tepatnya sebuah teror.
“Emang ada apa sih?” Tedi masih saja diselimuti
penasaran dengan rencanaku dan Iwan.
“Lu tau kan mitos tentang pocong di sini? Tepatnya di RT
7 pocong36
itu sering berkeliaran?” kataku yang balik bertanya.
36 Suatu mahluk gaib yang berbentuk seperti mayat, dibungkus kain kafan putih. Biasanya, ini mitos yang terjadi karena apabila ada orang yang meninggal, tapi tidak dilepaskan ikatan kain kafannya. Pocong ini bergerak sambil melompat.
Tedi mengangguk.
“Iya, Ted, udah satu bulan gue sama Hardi nyusun rencana
dan melakukan penelitian tentang mahluk apakah pocong di sini.
Jadi sekarang bukti udah jelas. Kita bakal nangkep pocong itu dan
kita telanjangin trus diarak keliling Balaraja.” Terang Iwan sambil
tersenyum.
“Tapi emang itu pocong bener orang?” Tedi masih
bingung.
“Lu liat aja sendiri. Gue belom bisa mastiin sih,” jawabku.
“Apa ga sayang tuh kalo pocong kita ngga gebukin dulu ?”
Tyan ikut bertanya.
“Sip, ide bagus. Kita bikin jebakan dulu!” kataku
mengiyakan saran Tyan.
Mitos yang benar-benar mengusik. Membuat teror yang
mencekam. Pocong itu sudah beraksi selama tiga bulan. Keluar
setiap malam jumat. Kabarnya dia selalu menakuti orang-orang
yang lewat. Siapa pun. Pernah pula dicoba seorang Ustadz
berusaha mengusir pocong itu, tapi tidak berhasil. Kata Si Ustadz,
sinyal pocong itu sulit ditangkap (emang hape?). Katanya pula
bahwa pocong itu berilmu tinggi, jadi susah dilacak. Atau saja
Ustadz itu yang berilmu rendah sehingga tidak bisa membedakan
mana jin, setan atau manusia. Entahlah. Belum ada bukti-bukti
yang membuat kejelasan tentang kejadian ini. Hanya cerita-cerita
dari mulut ke mulut.
Lalu aku dan Iwan berinisiatif untuk memecahkan kasus
ini. dari beberapa bukti yang telah kami kumpulkan dari saksi-
saksi yang pernah melihat, kemungkinan besar ini hanya sebuah
teror dari seorang pencuri kampung. Karena kebanyakan ketika
kutanya kepada para saksi, mereka menjawab bahwa ketika akan
pulang ke rumah, mereka melihat kain putih melayang seperti
sedang memperhatikan sesuatu, lalu kain putih itu menoleh ke arah
mereka, ketika nampak wajahnya, mukanya rusak sekali, sangat
menyeramkan. Itu tidak lain adalah mahluk dari dunia bawah
bernama pocong yang tersesat tak tahu jalan pulang ke alamnya.
Kami berdua hanya geleng-geleng ketika mendengar penuturan
para saksi.
Lalu kami berdua membuktikan apakah itu benar-benar
pocong atau bukan. Ketika bukti-bukti sudah jelas, dan kami pun
melakukan penelitian lapangan. Yaitu membuktikan bahwa
pocong itu hanyalah mitos belaka.
Dua minggu lalu kami beraksi. Kami bersembunyi di
berbagai tempat untuk menyelidiki di mana pocong itu beraksi
malam itu. Lalu kami memang benar melihat sesosok kain putih,
entahlah. Pokoknya kain putih. Dari balik kain itu muncul tangan
yang mengeluarkan kantong plastik merah, pocong itu seperti
mengendap-endap. Dan dihabisilah jambu dari sebuah pohon di
RT 4 itu. Dan demikianlah, kami langsung kabur dengan kepuasan
tersendiri di dalam hati.
Dan malam ini, waktunya kami, hitam putih abu-abu
menangkap pocong yang amat meresahkan itu. Tugas besar
sebagai penanggung beban sebagai remaja yang beda dengan
remaja lain. Malam ini adalah malam Jum‟at, petang tiga puluh
(kata orang melayu adalah malam yang tergelap tanpa cahaya
bulan atau bintang sedikit pun). Rumah-rumah pun sudah gelap,
karena mereka semua takut dengan teror sang pocong.
Angin malam menyapa kami. Dengan nada pemberani
yang tak gentar kami terus melangkah dan mencari di mana lokasi
pocong itu berada. Strategi demi strategi kami susun, walau kami
yakin itu semua tidak akan berjalan lancar, diacak-acak oleh
keangkuhan kami yang berniat menghabisi pocong itu.
“Sstt, jangan pada ribut ya...” bisik Iwan seraya menge-
ndap-endap melewati gang demi gang di RT 5.
Kami mengangguk. Daerah RT belakang ini adalah
kekuasaan Iwan. Makanya ia sekarang memimpin jalan.
Memperhatikan jalan setiap gang. Betul-betul sepi sekali
malam ini. Hanya ada dinginnya malam. Sampai-sampai jangkrik
pun enggan menggesekkan sayapnya demi sebuah suara untuk
memeriahkan malam.
Di RT 5 tidak ada. Sekarang kami melaju menuju RT 6.
Lalu pandangan kami dikejutkan ketika melihat kain putih berjalan
di hadapan kami, itu dia, pocong yang kami cari. Tapi, nampaknya
ia tak melihat kami berada di sini. Sebab ia tak bereaksi. Lalu kami
menjalani rencana yang tadi disusun.
“Oke, seperti yang tadi gue omongin...” aku mencoba
mengambil kendali.
“Sebentar, emang lu ngomong apa tadi, Har?” tanya Tedi.
“Iya, Har, emang lu tadi ngomong apa?” Iwan ikut
bertanya.
“Masa lu lupa sih, nih Tedi, lu jadi umpannya, pas pocong
ngeliat, lu pura-pura kaget. Iwan lu juga bareng Tedi, lu berdua
keliatan lagi mabok. Pake gaya orang mabok. Oke?” aku
menjelaskan. Oh ya, kayaknya aku tadi tak berbicara seperti itu
deh.
“Emang lu tadi ngomong kaya gitu, Har ?” Tedi kelihatan
bingung.
“Iya, Har, terus kenapa ga lu sama Tyan aja yang jadi
umpannya?!” Iwan malah memberondongku dengan perasaan
kesalnya.
“Tadi kan, Ted? Barusan kan gue ngomong. Hehe...” aku
senyum ketahuan berbohong, “Wan, kan hitam putih abu-abu
sutradaranya gue? Masa lu lupa? Katanya lu mau jadi bintang
film? Kalo Tyan yang jadi tokoh utamanya, ntar pocongnya malah
takut ngeliat dia...”
Kami semua tertawa.
“Huh, selalu begitu!” gerutu Iwan.
Iwan dan Tedi pun memulai aksinya. Mereka berdua
berjalan seperti orang mabuk. Berjalan sambil jatuh-jatuhan
bernyanyi-nyanyi yang tidak jelas. Sambil bergoyang-goyang, lalu
jatuh. Berjalan lagi, bernyanyi dan bergoyang. Mereka berdua itu
sangat ahli dalam mendalami suatu peran. Jadi memasang wajah
apapun mereka bisa. Kali ini mereka piawai sekali memasang
wajah orang yang sedang mabuk. Sendawa dan kecegukan, muka
kumal, dengan suara yang amburadul saat bernyanyi, mata sipit.
Aku dan Tyan memperhatikan mereka dari jarak yang tak jauh.
“Malammm, iiiniii maalammm juummaaattt...” Tedi
bernyanyi.
“Juuuummaaaatttt, juuuuuu... ukkhhkk uuhhhkkk...”
sambung Iwan sambil terbatuk-batuk.
“Kknnnhaaapeee lu Iiwaaannn ?”
“Ahh, lu Tedd, hahahaaa, putus cinntaaaaaa...”
“Jaaangggaaannn mabookk lu, Wann, masuk
nnerraaa...kaaaa. hahahaaa”
“Kataa bapaa ddii nerakaaa bannyaaaakkk cewee cakeep,
Teed. Masuk neeeraaakaa yuuu.hahaha!”
Mereka berdua sudah dekat dengan pocong itu.
Sepertinya si pocong tak menyadari kehadiran mereka. Ia sedang
asyik menyodok jambu, satu-persatu.
“Loh, mas-mas nnggpaaiihhnn. Uhhhkkk uhhhkkk” ucap
Iwan berpas-pasan dengan pocong itu.
Pocong itu menoleh ke arah mereka berdua. Mereka
bertiga saling bertatapan. Iwan dan Tedi terlihat kaget sekali,
karena muka pocong itu begitu menakutkan, mukanya hancur.
Tapi menurutku itu hanya sebuah topeng saja. Pocong itu pun
kaget, jambu yang ia ambil jatuh berhamburan ke bawah.
Tedi dan Iwan segera berlari.
“Pppppooocong!” teriak Iwan.
Mereka berdua terus berlari menuju ke arah kami. Lalu
Tedi terjatuh, ah kebiasaan, atau ia masih berusaha menjadi peran
pemabuk. Sebab dari cara bicaranya ia terlihat seperti orang
mabuk.
“Tttooo...looongg gue Iiwannn... tttooolll...llooonggg...lo-
ntooooongggg!” teriak Tedi.
Iwan melirik Tedi, segera saja ia membantu Tedi bangkit.
Pocong itu dari belakang berusaha mengejar dan menakut-nakuti
mereka berdua.
“Bangun cepet, Ted!”
“Merinding gue, Wan, gemeteran nih kaki gue. Serem
banget tuh pocong!”
“Dikit lagi, Ted, dikit lagi!”
Iwan langsung menarik Tedi. Ia berhasil berdiri, tapi jatuh
lagi, karena Iwan pun terjatuh ke belakang. Pocong mendekat. Aku
sudah siap dengan kayu di tangan. Rencananya akan kupukul
pocong itu sekuat tenaga agar semua orang memandangku sebagai
pahlawan. Haha, ide yang aneh.
“Pocong! Gue matiin lu!” teriak Tyan sambil berlari deng-
an membawa bambu di tangannya. Ah sial, seperti biasa, dia
menggagalkan rencanaku. Hampir saja aku jadi terkenal.
Pocong kulihat kaget dengan keluarnya Tyan sambil
berteriak. Iwan dan Tedi tercengang melihat tingkah Tyan. Pocong
itu berbalik dan terjatuh karena tersangkut kain kafan yang ia
gunakan. Tapi ternyata ia langsung bangkit dan mencoba
menghadapi Tyan. Ia memasang kuda-kuda. Tyan bersemangat,
karena pocong itu berani menantangnya.
“Ga dapet banci, pocong pun gue tiduri!” ia mencoba
mengeluarkan pantun-pantun andalannya. Ia memasang kuda-kuda
juga, seperti pendekar shaolin yang memegang tongkat.
Angin malam mulai menusuk tulang kami. Tapi
pertarungan malam ini memanas. Iwan dan Tedi masih terpana
melihat pertarungan Tyan, mereka berdua belum sempat berdiri,
aku masih bersembunyi dan belum bergerak.
Tyan mengayunkan bambunya, gayanya persis pendekar
shaolin37
di televisi. Tidak percuma ia belajar silat di perguruan
Sundul Langit di daerahnya. Pocong itu berhasil menghindari
bambunya Tyan. Ternyata benar, pocong itu adalah manusia,
karena mana mungkin ada pocong yang jago silat, lalu memakai
37 Pendekar biksu yang berasal dari negeri China, beragama Budha.
sepatu ala pemain skate board. Tyan mengayuhkan bambunya ke
bawah, mengarah ke kakinya pocong. Pocong melompat dengan
lincahnya. Diayunkannya lagi bambu ke arah dada si pocong, tapi
pocong itu berhasil menghindarinya dengan sikap khayang yang
andal.
Mereka berdua mengambil jarak untuk mengambil
ancang-ancang. Diangkatnya kain kafan pocong itu sampai
pinggang, lalu diikatkan di pinggang. Dia memakai celana jeans
ketat. Gaya anak muda zaman sekarang. Kulihat dari cara
bertarung mereka, sepertinya mereka mempunyai jurus yang sama.
“Jurus tendangan sapi terbang!” teriak pocong itu, yang
mulai membuka mulutnya. Ia melompat.
“Jurus sapi tidur!” Tyan pun mengambil posisi tidur.
Kabarnya, jurus sapi tidur ini adalah teknik pertahanan
andalannya. Ia tak dapat merasakan apapun apabila ia sudah
mengeluarkan jurus ini. Tubuhnya menjadi kebal. Badannya
menjadi berat dan sangat keras. Apabila ada yang mencoba
memukul atau menendangnya pasti akan merasakan sakit.
Oh ya, kawan, menurutku pertarungan mereka seperti film
anak kecil saja, atau yang ada di film kartun. Kalau mengeluarkan
jurus saja harus berteriak-teriak segala.
Pocong tadi tak dapat membuat Tyan sakit. Ia sepertinya
nyenyak tidur. Pocong itu mundur. Lalu bersiap dengan jurus
lainnya.
“Jurus membelah bulan!” teriak si pocong.
Tyan segera terbangun. Pocong itu melompat tinggi sekali.
Lalu Tyan mengangkat tangan kanannya ke atas. Kami tegang
melihat kejadian ini, apakah ia akan kalah?
“Stop!” Tyan mencoba menghentikan jurus si pocong.
Pocong itu pun turun ke bawah, dengan perasaan heran. Lalu
mereka berhadapan.
“Tadi lu ngeluarin jurus apa?” tanya Tyan keheranan, apa-
kah Tyan tahu jurus ini? Ataukah ini jurus yang amat menakutkan?
“Jurus membelah bulan. Emang kenapa?” pocong itu
menjawab dengan lugunya.
“Lu liat donk ke langit...” ucap Tyan menunjuk ke atas.
Kami semua melihat ke atas, langit begitu gelap, gelap sekali, “Ga
ada bulan kan? Jadi jangan ngeluarin jurus membelas bulan kalo
ngga ada bulannya. Bakal kalah lu sama gue.”
Tyan bodoh! Untuk apa dia memberi tahu hal sepele sema-
cam itu. huh.
“Ya udah, gue ganti jurus...” pocong itu ikut-ikutan lagi,
“Jurus andalan!”
“Sebentar!” teriak Tyan, teriakannya menghentikan gera-
kan si pocong.
“Mau apa lagi?”
“Mau kentut dulu...” ucap Tyan dengan muka menahan
sesuatu. Lalu, “Breeettttt....” suara kentutnya membahana ke
seluruh penjuru. Kami semua tertawa.
“Oke, gue serius, ini jurus yang terakhir. Serius lu,
Pocong!” ucap Tyan sambil menantang pocong itu. Serius?
Memang dari tadi siapa yang tidak serius?
“Oke, gue juga, gue pake jurus andalan gue, jurus yang
gue dapet dari goa karang. Jurus andalan, jurus pocong nyolong
jambu!” teriak pocong itu sambil melompat. Ia menghilang di
tengah kegelapan malam. Kain kafannya berkibar-kibar di langit.
Kabut seakan mengangkat dia terbang. Tak diragukan lagi, dia
memiliki jurus yang menakutkan, pantas saja orang-orang bilang
pocong itu bisa menghilang.
Tyan terlihat wajahnya gugup, seperti sedang menahan
sesuatu, seperti dia mau mengeluarkan angin lagi.
“Hitam putih abu-abu, tutup hidung kalian!” perintah
Tyan. Seketika kami segera menutup hidung kami. Begitu juga
dengannya.
“Jurus andalan, Krakatau Meletus!” Tyan berteriak sambil
mengeluarkan sesuatu dari bokongnya.
Sebuah suara yang begitu kencang. Bahkan, aku lihat dari
kejauhan, celananya sampai sobek, seperti dari bokongnya keluar
suatu benda yang mengarah ke pocong itu, tapi tak terlihat. Dan
baunya, padahal kami sudah menutup hidung kami, masih tercium,
bau sekali. Daun-daun yang ada di sekelilingnya langsung rontok
dan layu. Dasyat sekali. Pocong yang tadi tak terlihat rupanya,
sekarang seperti kertas melayang di udara. Ia mencoba
menghindari jurusnya Tyan. Sepertinya gagal. Ia terpental, dan
jatuh ke bawah seperti sehelai kertas. Ia terkena jurus Tyan. Jurus
krakatau meletus, jurus yang telah menjatuhkan Pak Miming.
Kami melihat pocong itu jatuh dari langit. Kalau kau mau
tahu kawan, getaran angin saat itu sangatlah kuat, benar-benar
mengejutkan. Lalu si pocong tergeletak tak berdaya. Kami
menghampiri Tyan dan merangkulnya.
“Lu ngga kenapa-kenapa, Tyan?” tanya Iwan.
“Santai aja, Cuma celana nih sobek...” jawabnya sambil
tersenyum.
Kami lalu melihat pocong dan membuka topengnya. Ia
terlihat lemah tak berdaya. Kami menatapnya dengan iba.
“Jurus dahsyat...” ucap si pocong itu yang ternyata
manusia. Tyan hanya tersenyum.
“Gue menyerah...” langsung saja ia pingsan.
“Kita apain nih pocong?” tanya Tyan. Ia terlihat gagah
setelah mengalahkan pocong itu.
“Baru aja mau diarak keliling Balaraja sambil telanjang,
malah pingsan. Payah...” kata Tedi.
“Tau nih, mending dibawa ke kantor polisi yuk...” ajak
Iwan.
Lalu kami membopong pocong ini ke kantor polisi. Dalam
keadaan pingsan. Ah, gagal deh jadi pahlawan.
Di sela-sela perjalanan menuju kantor polisi, kami
berempat bercakap-cakap.
“Tyan, jurus lu aneh banget?” tanyaku.
“Iya, mana ada jagoan jurusnya kentut,” Iwan menimpali.
“Gini, gue bingung abisnya...” Tyan mengambil nafas.
“Bingung kenapa?” tanya Tedi.
“Gue bingung, soalnya jurus nyolong jambu itu adalah
jurus legendaris. Jurus yang tak bisa disentuh oleh siapapun.
Ketika si pocong melompat dan menghilang di langit, kita
kebingungan nyari dia. Lalu dia tiba-tiba muncul dan menghilang
di kegelapan malam, sambil meloncat-loncat. Persis pocong
sungguhan. Gue juga bingung abis itu, kata guru gue, kalo jurus itu
ga bisa dikalahin sama apapun, kecuali serangan jarak jauh,”
tuturnya dengan semangat.
“Terus lu diajarin jurus krakatau meletus itu sama guru
lu?” tanya Tedi.
“Ngga, ngga ada yang ngajarin. Gue inget kalo kentut gue
itu ampuh, pernah waktu berkemah dulu, Wan. Waktu pramuka, lu
inget ngga?” tanya Tyan, Iwan mengangguk, “Waktu itu api
unggun seketika mati waktu gue kentut, padahal itu ngga ada
suaranya, tapi baunya semerbak harummm.”
“Oh pantes, gue kira waktu itu ada setan!” Iwan mencoba
mengingat kembali kejadian waktu dulu itu.
“Iya, tapi ngga ada yang tahu, kakak pembina aja yang ada
di sebelah gue pingsan. Kan Trus gue pake aja, dengan menge-
luarkan segenap tenaga yang ada. Meletuslah Krakatau...”
Tawa meledak di antara kami, di tengah perjalanan menuju
kantor polisi dengan angkot.
“Kok, lu bisa-bisanya namain kentut lu itu Krakatau Mele-
tus?” tanya Iwan.
“Gue waktu tadi inget kalo letusan paling dasyat itu
letusan Krakatau. Jadi gue namain aja Krakatau Meletus, lagian
pantat gue kan bentuknya kaya gunung Krakatau. Hehe”
Kami terus saja tertawa. Lalu sampailah kami di kantor
polisi. Kami menyerahkan peneror perumahan Permata Balaraja, si
pocong jambu. Kami menjelaskan semuanya kepada polisi, bahwa
betapa bahayanya pocong ini.
“Kalian semua telah berhasil menangkap pocong ini, mitos
yang menakutkan. Jadi, saya sebagai kepala polisi mengucapkan
terima kasih, sebagai imbalannya, kami akan memberi kalian 3
permintaan,” ucap polisi itu yang menggantikan tugas jaga Pak
Nan.
Kami semua berebut untuk meminta. Aku mencoba
mengambil alih lagi.
“Stop semua, stop! Biar gue yang ambil alih kendali!”
“Kenapa mesti lu, Har?!” Iwan tak setuju.
“Gue kan sutradaranya...”jawabku sambil tersenyum.
“Huuuu” semua menyorakiku.
“Oke, yang pertama saya minta agar pak polisi memberi
tahu warga Permata Balaraja agar tak usah cemas, karena pocong
sudah tertangkap oleh hitam putih abu-abu. Bapak harus kum-
pulkan semua warga dan katakanlah semua itu, dan ketentraman
sudah kembali. Oke?”
Polisi mengangguk.
“Yang kedua, berikan Tyan, teman kami ini, celana.
Karena dia yang berhasil melumpuhkan pocong itu dan celananya
harus dikorbankan...”
“Iya, celana tentara, pak!” pinta Tyan.
“Ais...!” polisi tadi memanggil anak buahnya. Seorang
polisi yang kami kenal menghampirinya. Ya, polisi yang telah
menyeret kami ke hadapan Pak Nan. Ia melirik kami dengan
angkuh. Sepele.
“Ambilkan celana yang baru, celana sisa latihan kemarin.
Masih ada, kan?” Polisi tadi memerintahkan anak buahnya untuk
mengambil celana untuk Tyan.
Lalu kepada Tyan diberikanlah sebuah celana. Ya, celana
tentara.
“Keren...” ucap Tyan.
“Yang ketiga...” aku bingung dengan permintaan yang
ketiga ini. Aku menggaruk kepala.
Aku mencoba mengajak berdiskusi yang lain.
“Gimana nih, gue bingung...”
“Udahlah jangan bingung-bingung, minta aja pistol...”
Tedi memberikan ide.
“Jangan, ntar kalo salah tembak, bisa mati orang, trus mau
lu dipenjara lagi?”
“Kaga dah...”
“Jadi?”
“Uang!” ucap kami secara bersamaan. Karena keuangan
kami sudah hampir habis.
“Begini pak...” aku mencoba memberi penjelasan kepada
pak polisi, “Karena keuangan kami menipis...” aku masih
cengengesan, “Kami minta uang aja deh, buat bekal petualangan
kami.”
“Gampang, ntar saya kasih...”
“Oia pak, izinin kami juga donk, dibolehin nongkrong di
belakang kantor polisi, soalnya ga ada tempat nongkrong lagi nih
di Balaraja...” Tyan langsung menyerobot dengan permohonan
yang bagus.
“Boleh-boleh, tapi inget jangan berbuat kejahatan...”
jawab pak polisi itu sambil tersenyum.
Kami semua mengangguk.
Lalu kami pun pergi meninggalkan kantor polisi dengan
perasaan senang karena mengantongi uang tiga ratus lima puluh
ribu rupiah, buat pesta besok nih.
Keesokan paginya di perumahan Permata Balaraja.
Pengumuman membahana di mana-mana. Di masjid dan
musallah, orang yang berkeliling dengan speaker. Mengatakan
bahwa segera warga Permata Balaraja untuk berkumpul di kantor
pemasaran, karena akan ada pengumuman penting dari polisi.
Seketika, seluruh warga pun beramai-ramai mendatangi
kantor pemasaran dengan penasaran.
Sekitar sepuluh orang polisi pun sudah siap dengan
berjuta-juta pidatonya yang membosankan. Karena, di mana-mana
tidak ada pidato yang mengasyikkan, kecuali pengumuman libur
panjang sekolah yang disampaikan oleh kepala sekolah saat
upacara. Polisi itu mengambil posisi.
“Selamat pagi semuanya! Salam sejahtera..” polisi yang
berbicara adalah polisi yang semalam berbincang dengan kami.
“Hari ini semuanya harus semangat dan jangan lagi
terprovokasi isu-isu yang membuat resah warga. Karena saya dan
teman-teman membawa kabar gembira. Yaitu tertangkapnya
pocong yang meneror daerah kita ini!”
Semua warga tepuk tangan, di antara riuh tepuk tangan ada
bisik-bisik sesama warga, “Saya bilang juga apa, bu, itu bukan
pocong. Itu orang...”
“Eh, wong sampeyan sendiri yang bilang dan pertama
ngasih gosip kalo di Permata ada pocong”
Polisi tadi melanjutkan, “Pocong itu hanyalah keisengan
orang yang ingin mencuri jambu. Lalu si pocong itu sekarang
sudah tertangkap. Semuanya, sekarang jangan panik lagi!”
Tepuk tangan kembali membahana.
“Ya, karena ketentraman ini dikembalikan oleh
sekelompok anak muda yang telah menyerahkan pocong itu, yang
tidak lain hanya manusia, mereka adalah hitam putih abu-abu!”
Tepuk tangan kembali membahana.
Di antara tepuk tangan, terdengar lagi bisik-bisik, tapi kali
ini dari para remaja wanitanya.
“Wah pasti pada ganteng ya si hitam putih abu-abu itu”
“Ah kata siapa, gue udah pernah ngedenger nama hitam
putih abu-abu, mereka anak alay, anak layang layang, yang tidak
laen tidak bukan cuma segerombol anak kampung”
“Yang bener lu?”
“Bener gue, tapi mereka ganteng-ganteng tau...”
“Kaga lah, orang gue sering ngeliat foto mereka di
Facebook...”
“Ohh”
“Gembel semua...”
Parah....
“Yang pastinya, sekarang Permata Balaraja tentram
semua, tanpa mitos dan teror. Saya hanya ingin menghimbau,
apabila ada teror semacam ini lagi, segeralah menghubungi kantor
polisi, agar polisi mampu mengambil tindakan dengan cepat...”
Pidato polisi-polisi itu pun diakhiri dengan tepuk tangan
meriah, para warga pun bertepuk tangan dengan meriah.
Ketentraman kembali tercipta di perumahan ini.
8
Percuma kalo ngumpul tapi negatif, percuma kalo ngobrol
tapi cuma ketawa, percuma kalo saling komunikasi kalo
buat nanyain kabar, percuma kalo kenal tapi nggak
berguna.
Katanya teman, ayo gebrak dunia bersama-sama! – Hardia
Rayya
Sore yang indah, ketika senja memancarkan semburat jingganya
ke langit. Warna-warna seakan meledak bersatu padu, berputar-
putar di langit yang maha luas ini. Burung-burung camar
beterbangan, juga burung bangau dengan anggunnya berkelompok
terbang menuju arah timur laut.
Kami sedang menikmati akhir-akhir petualangan di
Balaraja ini dengan sebuah pesta di dalam senja. Terlelap. Angin
sepoi-sepoi. Pesta bagi kami bukanlah sebuah acara mewah
dengan dentuman musik khas disko, pesta bagi kami adalah
berkumpulnya teman-teman dalam suatu tempat sambil bercerita
pengalaman, baik suka maupun duka, berbagi beban, saling
meminta maaf dan bermaafan satu sama lain. Apabila diantara
kami ada yang mengalami kesulitan, hendaknya kami saling
membantu mencari penyelesaiannya. Tak jarang kami semua turun
tangan membantu apabila seseorang itu tak bisa menyelesaikan
masalahnya sendiri. Itulah pesta bagi kami, saat-saat tepat untuk
saling berbagi.
Lalu teringatlah aku kepada semuanya, kepada semua
orang yang telah hadir dalam setiap petualangan hitam putih abu-
abu, seperti seseorang yang menginspirasi kami, Guru yang tidak
boleh disebut namanya. Yang telah menanamkan pada kami
tentang kecintaannya pada petualangan yang telah mengajari kami
arti dari sebuah hidup. Juga Mbah Sugi, seorang guru yang telah
memanggil kami sebagai anak-anak yang terpilih, yang ditugaskan
untuk menjadikan diri sendiri seseorang yang benar-benar menjadi
orang, guru yang benar-benar mampu menjadi sebuah teman dan
ilmu di alam, guru yang tak terlihat seperti seorang guru. Pak Nan
dan pak Miming, anak-anak yang terpilih sebelum kami, yang
telah mengajarkan kami arti solidaritas, pentingnya sebuah usaha
dalam meraih mimpi, mengajarkan kami menilai seseorang tidak
dari kebanyakan, mengajarkan kami pentingnya imajinasi dan
sebuah ketenangan.
Aku yakin itu semua bermanfaat bagiku dan bagi teman-
teman yang lain.
“Halo, Wan...” suara perempuan terdengar dari balik BB-
nya Iwan.
“Ya halo, Ncik lu semua di mana?” Iwan mencoba
menjawab suara tadi. kami mengerubunginya.
“Gue sama yang laen lagi di depan masjid Al-Jihad, lagi
jalan nih. Lu sama yang laen sendiri, di mana?”
“Gue di Talang, cepet lu semua ke sini...”
“Iya tunggu gue ya...”
Lalu telepon ditutup. Tamu kami datang. Teman lama,
para perempuan hitam putih abu-abu, yang hampir tak bertemu
sekian lama.
Dari kejauhan, dari atas, kami melihat tiga orang
perempuan muda berjalan menuju tempat kami. Mereka
melambaikan tangan. Kami pun berteriak-teriak menyatakan
bahwa kami ada di sini, di atas sini, di sebelah pintu air (orang-
orang Balaraja menyebutnya daerah talang). Tepat di bawah kami
sungai Cimanceuri yang anggun walau sudah kotor tercemar,
disebelahnya sawah terbentang luas dan di ujungnya terlihat
perumahan Permata Balaraja. Indah sekali sore ini.
Kami lalu bersalaman, perempuan yang pertama, yang
paling tua di antara mereka, namanya Bsik, Bsik Hikari, dia adalah
seorang wanita perkasa. Dengan gaya tomboi, dia tidak mudah
menyerah, tak takut kepada siapapun, ia jago karate. Tapi dibalik
semua itu, dia amatlah perhatian kepada teman-temannya, ia pun
sangat baik hati, terkadang manja. Sudah lama aku tak bertemu
dengannya, sekarang ia terlihat lebih dewasa. Oh ya, Bsik ini
sangat mengagumi kebudayaan Jepang, dia sampai-sampai sangat
ahli membuat origami, seni lipat kertas dari jepang.
Yang kedua adalah Ayu Lestari, perempuan yang satu ini
seperti biasa, walau manis wajahnya ia sangatlah judes dan jutek.
Banyak kenalan laki-lakinya. Walau begitu ia sangat lebay di
depan kenalannya. Keahilannya hebat membuat essai. Sudah lama
aku tak bertemu dengannya, ia sekarang mengenakan jilbab.
Yang terakhir adalah Vera Kristin, seorang perempuan
cerewet keturunan Tionghoa. Ia begitu cermat dalam hitung-
hitungan, sistem pengeluarannya sangatlah rumit, ia adalah
seorang ahli keuangan. Meskipun begitu ia baik sekali kepada
teman, walau kami semua berbeda agama dengannya, tak ada
batasan dan diskriminasi antara kami semua. Kami sangat
menghormati perbedaan. Dia juga jago merias wajah.
Ini adalah momen yang kunantikan sedari dulu. Saat kami
semua merindukan kebersamaan yang entah kapan lagi bisa
terjalin. Karena kami semua mungkin sudah dewasa juga memiliki
kesibukan yang benar-benar menyita waktu, sehingga memakan
seluruh kebersamaan ini yang dulu kami junjung tinggi.
Saatnya bersantai.
“Gila lu semua! Ngapain muter-muter Balaraja. Kurang
kerjaan!” Ucap Bsik. Dia amat terbuka orangnya.
“Tau lu, mending dapet oleh-oleh buat gue!” lanjut Ayu
dengan juteknya.
“Iya kalian semua. Ternyata kalian hebat, kalian tidur di
mana aja sih? Pasti di kebon-kebon. Ih, aku mah ga mau jadi
seperti kalian. Nanti pada gatel-getel kena ulet bulu lagi. Iihh”
“lebay lu, Ver!” teriak kami bersamaan.
Tawa kembali bergema.
“Kapan nih jalan-jalan lagi bareng? Nyari komik atau
nyari novel, kek?” ajak Bsik.
“Iya, tunggu aja. Nyantailah” jawab Iwan.
“Ah lu mah, ga pernah ngajak-ngajak gue...” Ayu kesal,
karena dari dulu dia tak pernah diajak hunting bersama karena
kesibukannya.
“Lu mah, Yu, ngomongnya gitu. Kalo kita ajak, lu pasti
berjuta alesan, ya lembur lah, ya jalan lah sama tukang ojeg lu. Ya
mau kawin lah sama sapi. Hehe” kataku mengingat berjuta alasan
yang disampaikannya apabila kami mau pergi hunting barang.
“Ah, lu mah...”
Tawa kembali berderai.
“Iya nih, bulan depan kita jalan yu, kita ngeborong novel
sama komik!” ajak Tedi dengan semangat. Mengingat bulan depan
adalah hari ulang tahunnya.
“Iya, kita beli komik sama novel setumpuk dan beli
makanan dan beli sendal, sepatu dan...” sambung Tyan.
“Dan makan!” teriak Iwan.
Kami pun saling berbagi kisah yang selama ini kami
hadapi. Kisah perjalanan, kisah masing-masing dari kami, juga
tentang segala hal. Tidak ada benci, tidak ada dendam, tidak ada
kesalah pahaman, yang pasti saling memaafkan dan senyuman
yang terpancar di sore ini. Sampai senja tenggelam, senandung
persahabatan terus menggema.
Petualangan hitam putih abu-abu belum berakhir, malah
baru sampai sini. Tak pernah ada kata berakhir untuk sebuah
petualangan apabila ujung pelangi belum didapat. Kami mencari
jalan hidup ini. Dengan mengumpulkan filosofi hidup. Dan
merangkainya, menjadikannya gambar yang begitu nyata di
hadapan semua orang. Biarkan semua orang tahu, bahwa
kebenaran itu selalu benar, kebenaran itu harus dicari dan tak
mungkin datang sendiri.
Hidup itu, perjuangan yang harus diperjuangkan.
Lalu kami bersulang dan terlarut dalam senja.
SAJAK SENJA V38
: untuk hitam putih abu-abu
kapankah kita bersama lagi menggurat takdir?
juga menanti halhal yang merindu
aku ingat
saat kita berpelukan sambil berdendang
mengutarakan sajaksajak
yang berisi tentang perjalanan menuju maut
ketika kita dulu bersulang menikmati kekalahan
merenungi kemenangan yang mungkin
tak sepatutnya kita dapati
aku merindu
merindu ketika menghadap kepada sore
yang tersenyum menyajikan oranyenya di hadapan kita
juga saat kita menyatukan kekuatan
untuk saling melindungi
kapan kita bersama lagi menggurat takdir?
kalau kalian semua tak sempat untuk berkumpul lagi
maka sisipkanlah
setiap hari
38 Sebuah puisi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi: Sajak Sebutir Peluru, Hardia Rayya.
untuk melihat senja
sebagai tanda kita pernah
mabuk dalam kesunyian
EPILOG
Tak ingin kusebutkan ini sebuah akhir. Tapi ini adalah
awal sebuah pijakan untuk melompat.
AWAL YANG BUKAN AKHIR
Balaraja, sebuah daerah yang berisi berbagai macam cerita, tawa,
air mata, suka, duka dari semua orangnya. Tak dapat dipastikan
apakah sebuah keyakinan atau pilihan di Balaraja ini. Yang nyata
adalah sebuah daerah yang terus digerus industrialisasi. Nafas
hijaunya mulai habis, polusi mulai menggurui, tak ada yang benar-
benar peduli, tanah hijau ini mulai digenangi kapitalisasi. Tak
terjaga karena merasa dikhianati. Mata air bersih kini sunyi tak
ditemui di sumur-sumur timba warga. Jalan yang rusak semoga
segera diperbaiki.
Daerah yang memiliki dua kepribadian, hijau dan kelabu,
kayu dan besi, asri dan polusi, petani dan buruh, burung dan
bisingnya mesin, segala hal yang berlawanan berdampingan di
sini, di Balaraja ini, di tanah yang dulu memang pernah menjadi
saksi bisu perhentian raja. Di mana orang-orangnya dari berbagai
suku, Sabang sampai Merauke.
Lalu sejenak renungkanlah apa yang bisa kita perbuat untuk
daerah kita sendiri, kalau daerahku Balaraja ini. Entah daerah
kalian di mana. Lihat sekeliling. Apa yang menyedihkan. Apa
yang mengenaskan. Segera ambil tindakan. Lalu apa yang manfaat
dan apa yang membawa khasiat, manfaatkkan. Beritahu bahwa
kita, sebagai warga itu bisa, saling berbagi dan buktikan, buktikan,
buktikan, bahwa kita bisa menjaga daerah kita dan
memanfaatkannya tanpa merusak. Bangun daerah kita itu, buatlah
sesuatu yang bisa membanggakan. Biarkan orang mengenal wajah
sesungguhnya daerah kita yang sangat kita banggakan.
Sebarkan kabar gembira bahwa ketentraman sekarang akan
ada!
Hitam Putih Abu-Abu
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada Allah SWT dan Baginda Nabi Muhammad SAW.
Berikutnya kepada orang yang begitu mempengaruhi hidupku :
Mama dan Bapak, kedua adikku, Oi dan Ica, juga keponakanku,
Lola. Juga kepada sumber inspirasiku, Hitam Putih Abu-Abu,
Tedi, Iwan, Tyan, Ayu, Vera dan Bsik, kapan neh traveling lagi ke
luar pulau? Hehe. Juga kepada Toni yang sedang bertapa di
kalimantan, Leona. Teman-temanku di komunitas Balebambu, A
Atma, A Miming, A Nana, Yayu, Nina, Jannah, Jati, Mumun,
Nisa, Fitri, Nita, Doni, Gie, Romly. Juga orang yang
mengenalkanku kepada dunia tulis menulis, Khairi Hamba
(terimakasihku begitu besar untuk kalian semua).
Berikutnya, untuk Bunda Elis Tating Bardiyah, ibu di jejaring
sosialku. Teh Iis Istiana, tetehku yang paling tersayang, Kemala
Hayati. Putri Pratiwi Bharata yang hampir ketinggalan.
Abah Yoyok dengan Tangerang Serumpunnya dan kawan-kawan
yang lain. Mas Langlang Rhandawa, Gola Gong dan Roy Goozly
dengan Rumah Dunianya.Teteh Rifka juga. Sanggar Matahariku,
komunitas yang kubentuk dengan keringatku sendiri. Juga untuk
Five Oods Reaching The Rainbow, Dika, Bayu, Tedi, Babul,
teman-teman bandku, kapan-kapan kita bikin lagu buat soundtrack
film ya, hehe (mimpi lagi gua dah).
Teman-temanku sewaktu kecil, di SDN KELAPA DUA II di
tangerang. Juga Neni Susanti.
Dan seluruh kawan-kawan lain yang mungkin luput dari
penyebutan di atas, aku berterimakasih sebesar-besarnya kepada
kalian semua, karena tanpa kalian, mungkin aku bukanlah apa-apa.
Tentang penulis
Hardia rayya, tinggal di daerah seribu pabrik, Balaraja. Hobi
traveling dan menulis. Bersama teman-temannya, hitam putih abu-
abu, ia mengadakan beragam petualangan ke berbagai tempat.
Keresahannya terhadap kehidupan remaja dan dunianya, ia
tuangkan dalam berbagai tulisan.
Kumpulan puisi, Sajak Sebutir Peluru adalah karyanya yang
pertama. Saat ini, dia tengah sibuk mengaktifkan diri di Sanggar
Matahari.
Email : [email protected]
Facebook : [email protected]