17
Filsafat Hukum (Philosophy of Law)
Teori Hukum (Legal Theory)
Dogmatik Hukum (Jurisprudence)
Hukum dan Praktik Hukum (Law and Legal Pratice)
BAB II
PEMBAHASAN
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Keadilan Bermartabat
1. Hakikat Teori Keadilan Bermartabat
Teori keadilan bermartabat adalah suatu nama dari teori hukum. Teori
keadilan bermartabat adalah suatu ilmu dalam hal ini ilmu hukum yang memiliki
suatu skopa atau cakupan antara lain :
Bagan 1 : Lapisan-Lapisan dalam Ilmu Hukum
Lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat tersebut adalah lapisan yang
saling terpisah antara satu dengan lapisan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya
lapisan ilmu hukum tersebut merupakan satu kesatuan sistemik, mengendap,
18
hidup dalam satu sistem, saling berkaitan antara satu dengan lainnya, bahu-
membahu, gotong royong sebagai suatu sistem. Lapisan ilmu hukum dalam
prespektif teori keadilan bermartabat tersebut bekerja atau berfungsi sebagai
sumber atau tempat dimana hukum serta kaidah dan asas hukum yang saling
berkaitan satu dengan lainnya ditemukan1.
Teori keadilan bermartabat menelaah filsafat hukum, teori, dogma serta
doktrin dalam hukum dan praktik hukum yang berlangsung dalam sistem hukum
positif. Dalam filsafat hukum, teori keadilan bermartabat dapat disebut sebagai
suatu filsafat, dalam hal ini philosophy of law.
Kata filsafat berasal dari kata philosophia, yang terdiri dari kata philein
yang berarti cinta dan sophos yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. Dengan
demikian, philosophia berarti cinta akan kebijaksanaan. Orang yang bijak
dianggap selalu berpikir atau merenung secara mendalam. Jadi filsafat adalah
perenungan (refleksi) sedalam-dalamnya sampai pada akar-akarnya (radikal)
mengenai segala sesuatu, mencari hakikat segala yang ada, sebabnya, serta
asalnya dalam sifatnya yang umum (uberhaupt).2
Teori keadilan bermartabat adalah suatu kegiatan berpikir filsafati yang
salah satunya dilakukan oleh hakim ketika hakim memberikan pertimbangan
hukum bagi putusannya.3 Hakim dalam memberikan pertimbangan bagi
putusannya harus mendekati hukum secara filosofis yaitu dengan berpikir secara
radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti akar. Berpikir secara
1 Teguh Prasetyo, 2015, Op. Cit., h. 1-3.
2 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, h. 66.
3 Teguh Prasetyo, 2015, Op. Cit., h. 16.
19
radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya. Berpikir sampai ke hakikat, esensi
atau sampai ke substansi yang dipikirkan.4
Sebagai suatu filsafat, teori keadilan bermartabat menggambarkan tujuan
hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum terutama tujuan hukum dalam
sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penekanannya dilakukan terhadap asas
kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mendasari konsepsi memanusiakan
manusia. Teori keadilan bermartabat juga menjelaskan tujuan hukum dalam
pengertian keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang ada di dalam setiap asas dan
kaidah hukum yang saling berkaitan satu sama lain dalam sistem tersebut.
Keadilan bermartabat berpendirian bahwa kemanfaatan dan kepastian hukum
adalah merupakan suatu kesatuan yang berhimpun di dalam keadilan. 5
Mengingat teori keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat itu dibangun
dalam konteks untuk memahami, menjelaskan dan menerapkan suatu sistem
hukum positif tertentu, maka teori keadilan bermartabat merupakan suatu filsafat
hukum, teori hukum, ilmu hukum (jurisprudence).6 Sebagai sebuah teori, maka
teori keadilan bermartabat selalu berorientasi kepada nilai kemanfaatan untuk
manusia dan masyarakat. 7
Secara formal-konstusional, bangsa indonesia mengakui Pancasila adalah
sebagai dasar negara (filsafat negara) Republik Indonesia yang menjadi dasar teori
keadilan bermartabat. Filsafat Pancasila adalah hasil perenungan nilai-nilai
4 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum, Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, h.
1-2. 5 Teguh Prasetyo, 2015, Op. Cit., h. 52.
6 Ibid., 50.
7 Ibid., h. 91.
20
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. 8 Filsafat keadilan
bermartabat memandang bahwa sistem hukum nasional Indonesia juga merupakan
hasil dari kegiatan berpikir filsafat yang dicirikan dengan sistematik. Sistem
hukum positif indonesia adalah suatu sistem yang dibangun dengan cara
menemukan, mengembangkan, mengadaptasi bahkan melakukan kompromidari
berbagai sistem hukum yang telah ada. Sistem yang dikompromikan ke dalam
sistem hukum berdasarkan Pancasila adalah sistem-sistem hukum dari negara-
negara beradab. Namun dari sitem hukum Indonesia bersumber dari jiwa rakyat
dan jiwa bangsa (volkgeist) Indoneisa.9
2. Pengertian Keadilan Bermartabat
Keadilan berasal dari kata adil, yang berarti tidak sewenang-wenang, tidak
memihak, tidak berat sebelah.10 Ulpianus mengatakan bahwa :
“Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere. Iuris produentia est divinarum atque humanorum rerum notitia, iusti
atque iniusti scientia. (Keadilan ialah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Ilmu hukum (jurisprudentia) ialah pengetahua tentang perkara-perkara ilahi dan
manusiawi, ilmu tentang yang adil dan tidak adil”11
John Rawls merumuskan keadilan sebagai fairness yang mengandung asas-
asas, “Bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk
menyumbangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu
8 Ibid., h. 77.
9 Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,
Yogyakarta, 2013, Op. Cit., h. 81-82. 10
Eko Hadi W iyono, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Akar Media, Jakarta, 2007, h. 10. 11
O. Notohamid jojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dari Filsafat
Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1973, h. 35.
21
kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang
fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka hendaki”. 12
Arisoteles menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan
dengan hubungan antar manusia, dimana adil dapat berarti menurut hukum dan
apa yang sebanding atau semestinya. Sehingga seseorang dikatakan berlaku tidak
adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya, begitu juga
jika seseorang yang tidak menghiraukan hukum maka dikatakan tidak adil, karena
semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.13
Arisoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan. 14
Thomas aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan
umum justisia generalis dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan
menurut undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
Notohamidjojo menyebut nama lain keadilan ini dengan keadilan legal.
Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proposionalitas. Keadilan khusus dibedakan menjadi:
1. keadilan distributif (justisia distributiva) yaitu keadilan yang secara
proposional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
Arisoteles mengatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan yang
mengatur pembagian barang-barang dan penghargaan kepada tiap orang
sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, serta menghendaki
12
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari
Perspektif Ilmu Hukum perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Kasus Hakim Bismar Siregar ,
Citra Aditya, Jakarta, 2007, h. 46. 13
Sajipto Rahard jo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakt i, Bandung, 2000, h. 163. 14
H. Siwanto Sunarso, Filsafat Hukum Pidana, konsep, dimensi dan aplikasi, Rajawali
Press, Jakarta, 2013, h. 265.
22
perlakuan yang sama bagi mereka yang berkedudukan sama menurut
hukum.
2. keadilan komutatif (justisia commutativa) adalah keadilan yang memberikan
kepada masing-masing bagiannya, dengan menginat supaya prestasi sama
atau sama-nilai dengan kontraprestasi. Keadilan ini melihat barang dari para
pihak dalam perjanjian dan tukar-menukar.
3. keadilan vindikatif (justisia vindicativa) adalah keadilan dalam hal
menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang
dianggap adil apabila ia dipipidana badan atau denda sesuai dengan
besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang
dilakukannnya.15
Dalam konteks putusan hakim di peradilan, keadilan menurut Daniel S. Lev
dibagi atas keadilan prosedural (prosedural justice) dan substantif (substantive
justice). Dimana keadilan prosedural merupakan keadilan berdasarkan hukum
positif dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini hakim hanya sebagai
pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber
diluar hukum tertulis sehingga hakim dipandang sebagai corong undang-undang
dan tidak melihat apakan hal tersebut dirasakan adil baik bagi para pihak.
Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai
yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani, baik hati
nurani hakim saat memberikan putusan.16
Gustav Radburgh mengatakan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Prinsip keseimbangan antara ketiga tujuan hukum
15
Dariji Darnodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2006, h. 156-157. 16
Bambang Sutiyoso, 2010, Op. Cit., h. 9.
23
sebagai suatu watak hukum adalah asas penting dalam teori keadilan bermartabat
atau sistem hukum berdasarkan Pancasila.17 Sudikno mertokusumo mengatakan
bahwa18:
“Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proposional, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Itu
adalah idealnya. Akan tetapi dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur tersebut secara proposional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proposional,maka paling tidak
ketiga faktor tersebut seyogiyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya
demikian bunyinya harus dijalankan (kepastian hukum)” tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta : hukum itu kejam tetapi demikianlah bunyinya).
Kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang
harus didahulukan.”
Dengan demikian, secara umum tujuan hukum adalah keadilan. Didalam
keadilan yang hendak dicapai oleh suatu sistem hukum juga ada kepastian dan
daya guna (kemanfaatan). Teori keadilan bermartabat meletakan tujuan hukum,
yaitu keadilan secara sistemik.
Keadilan yang berlaku dalam bangsa Indonesia ditemukan dalam volgeist
bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Dalam Pancasila, kata adil terdapat pada sila
kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta terdapat dalam sila kelima,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan
keadilan sosial mengandung makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk
yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam hubungannya
dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa
17
Teguh Prasetyo, 2015, Op. Cit., h. 110-113. 18
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996,
h. 15.
24
dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.19
Keadilan bermartabat melihat dari sistem hukum yang dibangun dari filsafat
yang terdapat nilai-nilai luhur suatu bangsa yang diyakini kebenarannya, sehingga
keadilan dalam hukum tersebut juga didasari atau dilandasi oleh filsafah tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan konsep keadilan di Indonesia dilandasi oleh dua sila
Pancasila yaitu sila kedua dan sila kelima. Akan tetapi keadilan bermartabat
merupakan keadilan hukum dalam perspektif Pancasila yang dilandasi oleh sila
kedua, sedangkan keadilan ekonomi dalam perspektif Pancasila dilandasi oleh sila
kelima yaitu keadilan sosial.20
Keadilan adalah tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem hukum.
Dalam sila kelima Pancasila, keadilan ekonomi bersifat kebendaan, sedangkan
keadilan bermartabat melihat dari keadilan yang berdimensi spiritual. 21 Istilah adil
dan beradab sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila terkandung
prinsip prikemanusiaan dan terlaksananya penjelmaan dari unsur-unsur hakekat
manusia, jiwa raga, akal-rasa, kehendak serta sifat kodrat perseorangan dan
makhluk sosial. Hal ini dikarenakan kedudukan kodrat pribadi diri sendiri dan
makhluk Tuhan sebagai causa prima dalam bentuk penyelenggaraan hidup yang
bermartabat setinggi- tingginya.22
Sila kedua menegaskan bahwa filsafat Pancasila mengakui manusia adalah
pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang luhur, yang merupakan bawaan
kodratinya sehingga secara eksplisit Pancasila mengakui faham kemanusiaan atau
19
Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan, Kajian Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta,
2012, h. 92. 20
Teguh Prasetyo, 2015, Op. Cit., h. 106. 21
Ibid., h. 107. 22
Ibid., h. 108-109.
25
humanisma.23 Prinsip kemanusiaan secara tegas mengandung arti adanya
penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur
tanpa harus membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.24
Dengan dilandasi oleh sila kedua dalam Pancasila, maka keadilan hukum
yang dimiliki bangsa Indonesia adalah keadilan yang memanusiakan manusia.
Keadilan berdasarkan sila kedua Pancasila tersebut disebut sebagai keadilan
bermartabat. Keadilan bermartabat yaitu bahwa meskipun seseorang bersalah
secara hukum namun tetap harus diperlakukan sebagai manusia. Keadilan
bermartabat adalah keadilan yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.
Keadilan yang bukan saja secara material melainkan juga secara spiritual,
selanjutnya material mengikutinya secara otomatis. Keadilan bermartabat
menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dijamin hak-
haknya.25
Demikian juga hakim yang salah satu tugasnya adalah menegakan keadilan
(gerech’tigdheid), namun yang dimaksud dengan keadilan adalah bukan keadilan
menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let’terknechten der wet),
melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan “Peradilan
dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.26
Sebagaimana keadilan bermartabat yang tidak hanya melihat dari segi materiil
saja tetapi juga dari segi spiritualnya, maka hakim dalam mewujudkan keadilan
bermartabat harus mampu membuat putusan yang menegakan keadilan yang
23
Musthafa Kamal Pasha, Pancasila dalamTinjauan Historis, Yuridis, Filosofis, Citra
Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2002, h. 173. 24
Ibid., h. 171. 25
Ibid. 26
Antonius Sudirman, 2007, Op. Cit., h. 51.
26
memanusiakan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang yang harus dijamin
hak dan martabatnya.
Dengan adanya sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” maka setiap
manusia harus diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang sama derajatnya dan sama hak dan
kewajibannya sesuai dengan hak asasi manusia yang mereka miliki tanpa
membedakan asal usul keturunan, suku, agama dan status sosial. Diatas landasan
persamaan derajad, hak dan kewajiban inilah diperlukan adanya pembinaan dan
peningkatan sikap aparat penegak hukum untuk memperlakukan seseorang
tersangka atau terdakwa dengan cara yang memanusiawi. Sekalipun yang
dihadapi dan diperiksa seorang tersangka atau terdakwa, namun mereka sebagai
manusia memiliki harkat kemanusiaan, tidak boleh diperlakukan dengan sikap dan
cara yang semena-mena dan sewenang-wenang.
B. Tinjauan Independensi Kekuasaan Kehakiman
1. Pengertian Independensi Kekuasaan Kehakiman
Kemandirian kekuasaan kehakiman (selanjutnya disebut dengan
independensi kekuasaan kehakiman) merupakan ciri khas daripada negara hukum.
Betapa pentingnya kebebasan peradilan ini tampak pula dari Declaration of Delhi
tanggal 10 Januari yang menetapkan antara lain : “... an independent judiciary
and legal profession are essential to the maintenance of the Rule of Law and to
proper adminiatration of justice”.27
27
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum (Cetakan Kedua), Liberty,
Yogyakarta, 2010, h. 172.
27
Mukti Arto mengatakan bahwa keberadaan lembaga pengadilan yang
merdeka sangat penting karena tiga alasan, yaitu28 :
a. pengadilan merupakan pengawal konstitusi;
b. pengadilan merupakan akar negara hukum.
c. pengadilan bebas merupakan unsur negara demokrasi;
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa : “Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan”. Pasal ini kemudian didelegasikan dalam UU
No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa :
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Amanat ini adalah sebagai pelaksana dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
setelah amandemen ketiga yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Karena salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala
campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial untuk menyelenggaraan peradilan
guna menegakan ketertiban, keadilan, kebenaran dan kepastian hukum yang
mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. 29
Kata merdeka mengandung pengertian bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
28
Josef M. Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Vol. 25 No. 2, April 2007, h. 130-131, dikutip dari A. Mukti Arto, Konsepsi
Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 20. 29
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007,
h.1.
28
keadilan30. Kata merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bebas
(dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terikat, tidak
bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. 31 Apabila kata bebas
tersebut disifatkan kepada hakim, maka akan berbunyi kebebasan hakim dimana
dalam menjalankan tugasnya hakim tidak boleh terikat dengan apapun dan/atau
tertekan oleh siapapun, tetapi leluasa untuk berbuat apapun. 32
Struktur dari kekuasaan kehakiman di Indonesia tampak dalam ketentuan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam artian memiliki kemandirian
yang pada hakikatnya merupakan syarat dan jaminan untuk mencapai
terwujudnya peradilan yang tidak berpihak (judicial impartiality). Peradilan yang
tidak berpihak pengertiannya mencangkup baik terhadap putusan-putusan atau
proses pemutusan perkara oleh para hakimnya (kemandirian individual) maupun
kelembagaan badan peradilan itu sendiri (kemandirian konstitusional) dalam
kaitannya dengan hubungan-hubungan administratif dengan kelembagaan-
kelembagaan negara lainnya dalam pemerintahan.33
30
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. 31
Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 9. 32
Ibid. 33
Syprianus Aristeus, Eksaminasi terhadap Putusan Hakim sebagai Partisipasi Publik ,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2008, h. 147.
29
2. Wujud Independensi Kekuasaan Kehakiman
Independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat
bentuk, yaitu34 :
a. independensi konstitusional (Constitutionele Onafhankelijkheid).
Independensi ini merupakan independensi yang dihubungkan dengan
doktrin Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut
Montesquieu, dimana lembaga kekuasaan kehakiman harus independen
dalam arti kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
b. independensi fungsional (Zakelijke of Functionele Onafhankelijkheid).
Independensi ini berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim
ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan putusan sehingga
setiap hakim dapat menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang-
undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas.
Akan tetapi hal ini juga dibatasi oleh Independensi substansial, dimana
hakim tidak boleh memutus suatu perkara tanpa dasar hukum. Hakim juga
dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap
bertentangan dengan keadilan atau konstitusi.
c. independensi personal hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele
Onafhankelijkheid).
Independensi ini mengenai kebebasan hakim secara individual ketika
berhadapan dengan suatu sengketa. Hakim sebagai mesin penggerak
lembaga kekuasaan kehakiman harus benar-benar bebas dari segala bentuk
tekanan, pengekangan, ancaman, intimidasi dan lain sebagainya, baik dari
lembaga struktur organisasi peradilan, maupun berasal dari luar lembaga
34
Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 215-217.
30
peradilan yang membuat jiwa dan perasaan hakim merasa tidak nyaman,
tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.35
d. independensi praktis (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid).
Independensi ini adalah independensi hakim untuk tidak berpihak
(imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat
yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh berita-berita tersebut, hakim juga harus mampu menyaring
desakan-desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara
kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui
sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma sosial ke dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian dapat disimpukan bahwa kemandirian kekuasaan
kehakiman dapat dilihat dari tiga jenis36 :
a. kemandirian lembaganya atau institusinya.
Kemandirian dalam hal ini merupakan kemandirian yang berkaitan dengan
lembaga peradilannya itu sendiri. Parameter mandiri atau tidaknya suatu
institusi peradilan dapat dilihat dari apakah adanya ketergantungan dengan
lembaga lainnya atau hubungan hierarkhis ke atas secara formal dimana
lembaga atasannya dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau
kemandirian terhadap lembaga peradilan tersebut.
b. kemandirian proses persidangannya.
Kemandirian dalam hal ini dimulai dari proses pemeriksaan perkara,
pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter mandiri
35
Ibid., h. 223. 36
Bambang Sutiyoso, 2010, Op. Cit., h. 38-39.
31
atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidakanya
campur tangan dari pihak lain diluar kekuasaan kehakiman yang dengan
berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
c. kemandirian hakim.
Kemandirian dalam hal ini dibedakan tersendiri, karena hakim secara
fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam
menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim
dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan
hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan
pihak lain dalam proses peradilan.
Hakim adalah salah satu predikat yang melekat pada seseorang yang
memiliki pekerjaan dengan spesifikasi khusus dalam bidang hukum dan peradilan
sehingga banyak bersinggungan dengan masalah mengenai kebebasan dan
keadilan secara legal dalam konteks putusan atas perkara yang dibuat. 37 Setiap
kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu hak dasar
yang dimilikinya sebagaimana hakim yang memeriksa dan memutus perkara
menjadi bentuk pertanggungjawaban hakim baik secara moral maupun sesuai
dengan hati nurani terhadap setiap putusan, yang mewajibkan hakim dengan
memberikan pendapat pada setiap perkara yang diputus.
Jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi Independensi
kekuasaan kehakiman adalah kebebasan yang terbatas dan bermakna :
37
Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 169.
32
1. bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, sehingga
kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan harus berdiri
sendiri, tidak berada di bawah subordinasi atau berada dibawah pengaruh
dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau badan kekuasaan lainnya.
2. bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak
ekstra yudisial. Sehingga hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak
boleh dipaksa untuk mengambil putusan yang dikehendaki pihak yang
memaksa. Paksaan yang datang dari siapapun dan dalam bentuk apapun
tidak dibenarkan. Begitupula pengarahan dan rekomendasi yang datang dari
luar lingkungan peradilan tidak dibenarkan. Hakim harus memiliki
keberanian nurani yang sungguh melaksanakan fungsi dan kewenangan
peradilan.
3. kebebasan untuk melaksanakan wewenang yudisial (peradilan) yaitu :
a. menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang
diperiksa.
b. menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran
(penafsiran sistemik, sosiologi, bahasa, analogis dan a contrario)
c. mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar, asas-asas hukum melaui
doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis (hukum adat),
yurisprudensi maupun melalui pendekatan realism yakni mencari dan
menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama,
kepatutan dan kelaziman.
33
Kebebasan hakim menjelaskan bahwa tidak boleh adanya intervensi dari
pihak-pihak extra judicial lainnya dalam peradilan, sehingga dapat mendukung
terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya
di bidang yudisial. Dengan demikian dapat menciptakan putusan hakim yang
berkualitas, mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 38
Akan tetapi kebebasan hakim tidak sekedar berarti imparsialitas hakim dari
pengaruh eksekutif, legislatif, bahkan dari internal lembaga yudikatif itu sendiri.
Independensi tidak hanya bermakna merdeka, bebas, imparsial, atau tidak
memihak dengan individu, kelompok atau organisasi kepentingan apapun, atau
tidak tergantung dan dipengaruhi oleh kekuatan apapun. Independensi bermakna
pula sebagai kekuatan atau power, paradigma, etika dan spirit untuk menjamin
bahwa hakim akan menegakan hukum demi kepastian dan keadilan. 39
Indepedensi kekuasaan kehakiman akan mewujudkan suatu kebebasan
individual atau kebebasan eksistensial pada hakim. Kebebasan eksistensial adalah
kebebasan hakiki yang di miliki oleh setiap manusia tanpa melihat predikat yang
melekat padanya. Pada profesi hakim, kebebasan eksistensial menegaskan bahwa
seorang hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat putusan
pengadilan.40
Kebebasan eksistensial pada hakikatnya tersendiri dalam kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif, artinya kebebasan itu
tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan
tersebut adalah tanda dan ungkapan martabat manusia. Karena kebebasannya
38
Bambang Sutiyoso, 2010, Op. Cit., h. 36. 39
Soetandyo Wingnyosoebroto, Wajah Hakim dalam Putusan – Studi atas Putusan Hakim
Berdimensi Hak Asasi Manusia, Penerbit Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, h. 45. 40
Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 170.
34
manusia adalah makhluk otonom, yang menentukan diri sendiri, yang dapat
mengambil sikapnya sendiri. Itulah sebabnya kebebasan adalah mahkota martabat
sebagai manusia.41
Kebebasan eksistensial seorang hakim adalah kebebasan untuk menentukan
sebuah keputusan pengadilan atas perkara yang diadili, yang mensyaratkan bahwa
keputusan yang diambil harus mempertimbangkan objektivitas keputusan dengan
tanpa tekanan dari pihak manapun. Ketika terjadi penekanan yang dimungkinkan
akan mempengaruhi keputusan yang diambil, seorang hakim harus mampu
menunjukan kebebasan eksistensialnya dengan objektivitas keputusan yang
diambilnya.42
Pada hakekatnya, independensi merupakan sifat pembawaan dari setiap
peradilan. Tetapi kebebasan ini tidaklah mutlak, tidak berarti bahwa hakim dapat
berbuat sewenang-wenang, “Such independence implies freedom from
interference by the Executive or Legialative with the exerciae of the judicial
function, but does not mean that the judge entitled to act in an arbitary
manner”43.
Adapun bentuk pembatasan kebebasan hakim dalam memutus perkara
antara lain44:
a. hakim hanya memutus berdasarkan hukum.
Setiap putusan hakim harus dapat menunjukan secara tegas ketentuan
hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkret. Hal ini sejalan
dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan
41
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta,2011, h 203. 42
Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 174. 43
Sudikno Mertokusumo, 2010, Op. Cit., h. 172. 44
Bag ir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia, 2007, Op. Cit., h 112.
35
hukum. Asas legalitas menuntut suatu kepastian hukum bahwa seseorang
yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan
kepadanya, telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan
yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang.
Segala putusan hakim atau putusan pengadilan selain harus memuat alasan-
alasan dan dasar-dasar dari putusan tersebut, juga harus memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar mengadili.
b. hakim memutus untuk keadilan.
Untuk mewujudkan keadilan , hakim dimungkinkan untuk menafsirkan,
melakukan kontruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau
mengesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Apabila hakim tidak dapat
menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum
demi terwujudnya putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak
menerapkan hukum atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk
mewujudkan keadilan, tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.
Undang-undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup didalam masyarakat.
Dalam Conferensi International Commission of Jurist juga menjelaskan
bahwa kebebasan hakim pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu
tertentu. “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an
arbitary manner”. Ketentuan dari segi prosedural maupun substansial atau
materiil sudah menjadi batasan bagi hakim agar dalam melakukan
36
independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang dimana
hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat bertindak contra legem.
Sehingga dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan
pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan.45
Kekuasaan negara yang merdeka haruslah berdasarkan Pancasila46 maka
dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dipahami
sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang
bertanggungjawab. Nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dapat
dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki kebebasan hakim dalam
konteks rule of law di Indonesia.47
C. Dasar Pertimbangan Hakim
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh
semua pihak tanpa terkecuali, sehingga tidak ada satupun pihak yang dapat
mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam
menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal baik yang berkaitan
dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang
dilakukan pelaku sampai mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. 48
45
Paulus E. Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, Makalah
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Ju li 2003 h. 3-5. 46
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 47
Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 11. 48
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Presfektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, h. 104.
37
Hakim dalam memberikan putusannya harus mengenai hal-hal sebagai
berikut49 :
a. putusan mengenai peristiwa, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan
yang dituduhkan kepadanya
b. putusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa
itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat
dipidana
c. putusan mengenai pidananya, apakah memang dapat dipidana.
Pedoman pemberian pidana (strafftoemeting-leidraad) akan memudahkan
hakim dalam menetapkan pemidanaanya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah
melaukan perbuatan yang didakwakannya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal
yang bersifat subjektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan
memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih
proposional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu. 50
Proses atau tahap penjatuhan putusan oleh hakim dalam perkara pidana
dilaukan dengan beberapa tahapan, antara lain51 :
1. tahap menganalisis perbuatan pidana
pada saat hakim menganalisis apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana
atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan
tersebut dalam rumusan suatu pidana tampak sebagai perbuatan yang
merugikan atau yang tidak patut dilaukan atau tidak. Jika perbuatan
terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana, maka
49
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, h. 74. 50
Mulyadi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1998 h. 67. 51
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1982, h. 85-
86.
38
terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam
KUHP.
2. tahap menganalisis tanggung jawab pidana
jika seseorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat
dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya
sehingga yang dipandang primer yaitu orang itu sendiri. Dapat dipidananya
seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu perbuatannya bersifat melawan
hukum sebagai sendi perbuata pidana dan perbuatan yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan.
3. tahap ketentuan pemidanaan
jika hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang
melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya dan
kemudian perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku,
maka hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut dengan
melihat pasal-pasal undang-undang yang dilanggar oleh pelaku yang telah
diatur dalam KUHP.
Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku, hakim dapat menggunakan
beberapa teori penjatuhan pidana, yaitu52 :
1. teori keseimbangan
yang dimaksud dengan keseimbangan dalam teori ini adalah keseimbangan
antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan
pihak-pihak yang tersengkut atau berkaitan dengan perkara, seperti adanya
52
Ahmad Rifai, 2010, Op. Cit., h. 105- 112.
39
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
terdakwa dan kepentingan korban. Keseimbangan antara kepentingan
masyarakat dan terdakwa dalam praktik umumnya dirumuskan dalam
pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan
penjatuhan pidana bagi terdakwa dimana kepentingan terdakwa dirumuskan
dalam hal-hal yang meringankan (Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP).
2. teori pendekatan seni dan intitusi
penjatuhan putusan oleh hakim merupakan kebebasan atau kewenangan dari
hakim, sehingga hakim menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang
wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim
akan melihat keadaan pihak yang berperkara.
3. teori pendekatan keilmuan
hakim dalam proses penjatuhan pidana harus dilaukan secara sistematik dan
penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan terdahulu
dalam rangka menjamn konstitensi dari putusan hakim, sehingga ilmu
pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim diperlukan dalam
menghadapi suatu perkara yang harus diputusnya.
4. teori pendekatan pengalaman
hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhinya
dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun
masyarakat ataupun dampak yang ditimbulkan melaui pengalaman hakim,
sehingga hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhi
putusan.
5. teori ratio decidendi
40
teori ini didasari pada landasan filsafat yang mendasar. Landasan filsafat
merupakan bagian dari pertimbangan seorang hakim dalam menjatuhkan
putusan, karena filsafat itu berkaitan dengan hati nurani dan rasa keadilan
yang tida hanya bergantung pada keadilan yang bersifat formal (prosedural)
tetapi juga keadilan yang bersifat substantif dengan mempertimbangkan
segala aspek yang berkaitan dengan kasus yang diputus.
6. teori kebijaksanaan
teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak
dimana melihat dari dasar bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
kekeluargaan. Teori ini bertujuan sebagai upaya perlindungan terhadap
masyarakat dari suatu kejahatan, sebagai upaya perlindungan terhadap anak
yang melakukan tinda pidana dan untuk memupuk solidaritas antara
keluarga dengan masyarakat dalam rangka membina, memelihara dan
mendidik pelaku tindak pidana anak.
D. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan Pengadilan
Pasal 1 angka (11) KUHAP menyebutkan bahwa “Putusan pengadilan
sebagaimana pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut yang diatur dalam undang-undang ini.”
Putusan pengadilan merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena
jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah
41
melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya, yang berisikan
amar pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, yang dibuat
dalam bentul tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara. Laden Marpaung
mengatakan bahwa : “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang
telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tulisan dan lisan.” 53
Putusan hakim atau putusan pengadilan dibuat dengan tujuan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Apabila hakim telah mengucapkan putusan, maka
secara formal perkara pidana tersebut telah selesai. Dengan demikian status
terdakwa akan jelas sesudah diucapkan putusan tersebut. Sebagaimana dikatakan
daam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 menyebutkan bahwa “Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum”. Dalam konteks ini, putusan diucapkan oleh hakim
karena jabatannya (ambthalve) yang diberikan oleh undang-undang untuk
mengadili perkara pidana sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1 angka 8
KUHAP.54
Putusan hakim dijatuhkan oleh hakim setelah melalui proses dan prosedural
hukum acara pidana pada umumnya. Yang dimaksud dengan proses adalah
substansial pada acara prossesuil hakim menangani perkara pidana yang
53
Lilik Mulyadi, 2007, Op. Cit., h. 121. 54
Ibid.
42
bersangkuta, dengan tahapan : sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk
umum, keuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153
KUHAP); pemeriksanaan identitas terdakwa; pembacaan dakwaan; adanya
keberatan atau eksepsi; putusan sela; pemeriksaan saksi-saksi, terdakwa dan
barang bukti; tuntutan pidana (requisitoir); pembelaan (pledoi); replik, duplik,
rereplik dan reduplik; pernyataan hakim ketua sidang menyatakan pemeriksaan
ditutup; musyawarah haim; serta pembacaan tuntutan. Sedangkan aspek
prosedural terdapat pada elemen administratifnya, yaitu mulai dari tahap
prosedural administratif pelimpahan perkara, pengagendaan, penulisan dan
pemberian nomor perkara, pendaftaran surat husus dikepaniteraan jika terdakwa
tidak didampingi penasehat hukum hingga sampai penetapan majelis hakim atau
hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut.
Putusan hakim haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Hal ini tercermin
dalam ketentuan Pasal 200 KUHAP yang menyatakan bahwa “Surat putusan
ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan”.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5/1959 tanggal 20
April 1959 dan Nomor 1/1962 taggal 7 Maret 1962 ditegaskan bahwa pada waktu
putusan diucapkan, konsep putusan yang lengkap harus sudah disiapkan.
Dalam putusan pengadilan akan diawali dengan kalimat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana misi suci lembaga
pengadilan di Indonesia bukan untuk menegakan hukum demi hukum itu sendiri,
seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The supreme court is
not court of justice, it is court of law”, melainkan untuk menegakan hukum demi
43
keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan negara.55
Kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan
doa dan janji antara hakim dan Tuhan yang kurang lebih berbunyi “Ya Tuhan,
atas nama-Mu saya ucapkan putusan tentang keadilan ini”. Di dalam kepala
putusan pengadilan memuat irah tersebut agar putusan tersebut mempunyai
kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa
apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan
sukarela.56
2. Pengambilan Putusan Hakim
Sebelum pengambilan putusan oleh hakim dalam memeriksa perkara, hakim
perlu memperhatikan pertimbangan tentang fakta-fakta maupun tentang
hukumnya sebagaimana diatur dalam KUHAP. Adapun yang menjadi dasar
pertimbangan hakim, yaitu pertimbangan bersifat yuris, yaitu merupakan
pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan
terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum. Sehingga pertimbangan yuris ini secara
langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim.57 Serta
hakim perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa.
Pengambilan putusan dilakukan dengan musyawarah hakim sesudah hakim
ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup dan musyawarah
tersebut dilaksanakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum
55
Antonius Sudirman, 2007, Op. Cit., h. 1. 56
Ibid., 57
Lilik Mulyadi, 2007, Op. Cit., h. 193.
44
dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.58 Musyawarah dilaksanakan oleh
hakim yang menangani perkara tersebut dan harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Hari dan tanggal
dilaksanakannya musyawarah hakim berbeda dengan hari dan tanggal putusan,
sebagaimana dikatakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf l KUHAP.
Putusan hakim dilaksanakan dengan cara musyawarah hakim dimana dalam
musyawarah tersebut, semua hakim harus mengemukakan pendapatnya disertai
pertimbangan serta alasannya dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim
yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapat adalah hakim
ketua majelis.59
Dalam pengambilan putusan, undang-undang menentukan beberapa prinsip,
antara lain60 :
a. putusan merupakan hasil permufakatan bulat, yaitu disepakati oleh seluruh
anggota majelis. Kesepakatan dicapai baik sejak semula sependapat atau
kesepakatan dicapai setelah permusyawaratan, atau hakim yang berbeda
pendapat melepaskan pendapatnya dan mengikuti pendapat lainnya.
b. apabila terjadi dissenting opinion, maka diambil putusan dengan suara
terbanyak. Putusan atas dasar suara terbanyak yaitu 2:1. Dalam hal majelis
58
Pasal 182 ayat (3) KUHAP yang berbunyi : “Sesudah mengadakan musyawarah terakhir
untuk mengambil keputussan dan apabila perlu musyawarah itu dilakukan setelah terdakwa, saksi,
penasehat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.” 59
Pasal 182 ayat (5) KUHAP yang berbunyi : “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua
majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua,
sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua
pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya”. 60
Satriyo Ardi Kartono, Skripsi : Majority Opinion dan Dissenting Opinion Hakim pada
Putusan Mahkamah Agung tentang Permohonan Kasasi yang Ditolak dalam Perkara Perjanjian
Jual-Beli dengan Paksaan, FH Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, 2015, h. 29, dikutip
dari Bagir Manan, Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia, Varia Peradilan
Majalah Hukum Nomor 253 Desember 2006, Jakarta, h. 13.
45
terdiri dari lima orang, maka suara terbanyak dapat 4:1 atau 3:2. Putusan
atas dasar suata terbanyak biasa disebut dengan majority vote.
c. dalam hal adanya dissenting opinion dan tidak dapat ditemukan kesepakatan
bulat atau mayoritas, maka putusan ditentuka oleh kehendak Ketua Majelis
dengan memperhatikan pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
3. Bentuk Putusan Hakim
Pada asasnya, putusan hakim atau putusan pengadilan dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu61 :
1. putusan yang bukan putusan akhir.
Pada praktik pengadilan bentuk dari putusan yang bukan merupakan
putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela atau tussen vonnis,
yang dapat berupa :
a. penetapan yang menentukan tidak berwenangnya pengadilan untuk
mengadili suatu perkara (verklaring van onbevoegheid) karena
merupakan kewenangan relatif pengadilan negeri lain. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
b. putusan yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum batal
demi hukum (nietig van rechtswege/null and void). Sebagaimana diatur
dalam Pasal 156 ayat (1) yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima (sebagaimana tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 142 ayat
61
Lilik Mulyadi, 2007, Op. Cit., h. 124-125.
46
(2) huruf b KUHAP) maka dakwaan tersebut batal demi hukum (Pasal
143 ayat (3) KUHAP).
c. putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk). Sebagaimana diatur dalam Pasal 156
ayat (1) KUHAP, bahwa materi perkara tersebut telah kedaluwarsa atau
perkara telah nebis in idem/non bis in idem, dan sebagainya.
Putusan ini disebut sebagai bukan putusan akhir karena dimungkinkan
perkara tersebut secara materiil dapat dibuka kembali karena adanya verzet
atau perlawanan yang dilaukan oleh jaksa/penuntut umum yang dibenarkan
oleh pengadilan tinggi. Sehingga dapat memerintahkan pengadilan negeri
untuk melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
2. putusan akhir.
Putusan akhir dalam praktek lazim disebut dengan istilah putusan atau eind
vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya,
putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang
hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal
182 ayat (3) dan (8), Pasal 197 dan Pasal 199 KUHAP).
Adapun bentuk putusan akhir dalam perkara pidana hanya mengenal tiga
alternatif putusan yaitu :
1. putusan bebas (vrijspraak/acquittal).
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan
bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Dalam
47
penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Putusan bebas dapat terjadi apabila kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum, karena tidak terdapat alat bukti seperti yang ditentukan asas
minimum pembuktian atau majelis hakim berpendirian bahwa terdapat asas
minimum pembuktian sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang telah
terpenuhi, akan tetapi majelis hakim dapat menjatuhkan putusan karena
tidak yakin akan kesalahan terdakwa. 62
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging).
Putusan lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan
bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Putusan lepas dapat terjadi apabila63 :
a. perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana.
b. perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi amar atau
diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum
62
Ibid., h. 157. 63
Ibid., h. 165.
48
karena adanya alasan pemaaf (strafuitsluitings-groden/feit de ‘axcuse)
dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond).
3. putusan pemidanaan (veroordeling).
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Putusan
pemidanaan dapat terjadi apabila64 :
a. bahwa perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan oleh
jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum.
b. perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana
kejahatan (misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen).
c. dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan
(Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
Adapun bentuk putusan pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim
sebagaimana diatur dalam KUHP, terbagi atas beberapa macam yaitu65 :
1. pidana pokok terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,
pidana denda, pidana tutupan.
2. pidana tambahan terdiri dari : pencabutan beberapa hak yang tertentu,
perampasan barang yang tertentu, pengumuman keputusan hakim.
Adapun didalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan, hakim harus
berpedoman pada ketentuan sanksi pidana (starmaat) yang telah diatur didalam
undang-undang. Adapun 4 sistem perumusan lamanya sanksi pidana yaitu66 :
1. sistem fixed/definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti.
64
Ibid., h. 173. 65
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 66
Tendik Wicaksono, Tesis : Penjatuhan Pidana oleh Hakim di Bawah Batas Minimum
Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, h. 100.
49
2. sistem indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara
maksimum.
3. sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan
maksimum lamanya ancaman pidana.
4. sistem interdeminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum
pidana.
4. Upaya Hukum
Dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa sesudah diucapkan
putusan pemidanaan kepada terdakwa, terdakwa memiliki hak untuk menerima
maupun menolak putusan. Apabila terdakwa menolak putusan, maka terdakwa
dapat mengajukan upaya hukum. Pasal 1 angka 12 KUHAP mengatakan bahwa :
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak pidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurtu cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dengan adanya upaya hukum, maka adanya jaminan bagi terdakwa maupun
masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan
sejauh mungkin seragam. Upaya hukum merupakan hak terpidana atau Jaksa
Penuntut Umum tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan, karena tidak
merasa puas dengan penetapan atau putusan tersebut. 67
Dalam Pasal 67 KUHAP, dikatakan bahwa “Terdakwa atau penuntut umum
berhak unutk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali
terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
67
Ibid., dikutip dari Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum dalam Perkara
Pidana, Bina Aksara, Jaarta, 1987, h. 3.
50
masalah kurang ketepatannya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat.” Demikian juga dalam Pasal 244 KUHAP yang mengatakan bahwa
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaam kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas.”
Dalam perumusan KUHAP, upaya hukum dapat dilakukan hanya untuk
putusan pemidanaan. Akan tetapi dalam prakteknya, putusan bebas dapat
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung berdasarkan yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 346 K/Kr/1980 tanggal 26 Januari 1984, dan Petunjuk
Mahkamah Agung dan angka 19 Lampiran putusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.14.PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 maka
disebabkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap
putsan bebas dapat dimintakan kasasi.
Upaya hukum dibagi menjadi dua yaitu68:
1. upaya hukum biasa (gewone rechtsmidellen) terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama yang terbagi atas :
a. perlawanan (verzet).
b. banding (revisi atau hoger beroep).
c. terhadap putusan atau peradilan tingkat banding dapat diajukan
permohonan kasasi (cassatie) pada Mahkamah Agung.
2. upaya hukum luar biasa (buitrngewone rechtsmiddelen) terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berupa :
68
Ibid., h. 211.
51
a. pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan umum (cassatie in het
belang van het recht).
b. peninjauan kembali (PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (herziening).
E. Tinjauan Dissenting Opinion
1. Pengertian Dissenting Opinion
Kata dissenting dalam Kamus Bahasa Inggris merupakan kata kerja yang
berasal dari kata dissent yang memiliki arti berselisih paham. Sedangkan kata
opinion diartikan sebagai pendapat, pikiran dan perasaan. Bila diartikan maka
dissenting opinion adalah terjadinya perbedaan pendapat atas suatu persoalan
hukum.69
Menurut Black, yang dimaksud dengan dissenting opinion adalah “The
opinion in wich a judge announces his dissent from conclusions held by the
majority of court and expound his own views”.70 Julia Laffaranque mengatakan
bahwa :
The dissenting opinion, or dissenting opinion or dissenting vote
(German : Abweichende Meinung, Sondervotum; French : opinion dissidente) is the opinion expressed by one judge or jointly by several judges who disagree with the decision reached by the
mojority in the case.71
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dissenting opinion merupakan
perbedaan pendapat yang memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap putusan dari
69
Sunarmi, Dissenting Opinion sebagai Wujud Transparansi dalam Putusan Peradilan,
Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2, Agustus 2007, h. 146. 70
Wikipedia terjemahan bahasa Indonesia, dikunjungi dari http://wikipedia.com/defenisi-
dissenting-opinion// tanggal 12 Januari 2016, pukul 13.59 WIB. 71
Julia Laffarenque, 2003, Op. Cit., h. 163.
52
mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan di dalam sebuah
sidang pengadilan. Ketidaksetujuan pendapat tersebut dapat terdiri dari beberapa
bagian pendapat yang dimungkinkan karena adanya sejumlah alasan, yaitu
interpretasi yang berbeda dari kasus hukum, penggunaan prinsip-prinsip yang
berbeda, atau interpretasi yang berbeda dari fakta-fakta.72
Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda secara substantif sehingga
menghasilkan amar putusan yang berbeda. Misalnya, mayoritas hakim memutus
terdakwa dengan pemidanaan tetapi hakim minoritas memutus bebas terdakwa,
atau mayoritas hakim memutus bebas terdakwa sedangkan minoritas hakim
memutus terdakwa dengan pemidanaan. Sehingga apabila kesimpulan hakim
minoritas untuk salah satu dari ketiga pilihan itu berbeda dari kesimpulan hakim
mayoritas, maka pendapat hakim minoritas yang berbeda disebut dissenting
opinion.
Dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan individual
hakim termaksud kebebasan terhadap sesama anggota majelis atau sesama hakim.
Dissenting opinion juga telah mencerminkan hak berbeda pendapat (the right to
dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam kerangka
yang lebih luas, dissenting opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa
dan memutus perkara sebagai wujud dari independensi kekuasaan kehakiman. 73
Dissenting opinion merupakan jaminan atas keterlibatan aktif seluruh hakim
dalam majelis ketika memeriksa dan memutus suatu perkara. Dengan adanya
dissenting opinion, maka setiap anggota majelis hakim yang memeriksa dan
memutus perkara mampu menjelaskan dan mengambil peranan aktif dengan
72
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, h. 75. 73
Hangga Prajatama, 2015, Op. Cit., h.76.
53
mengajukan keberatan atau argumentasi terhadap suatu keputusan. Dengan
demikian, keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang kompromistis yang
diperoleh dalam musyawarah putusan. Hal ini sebagai langkah nyata
demokratisasi peradilan, dimana menggeser hal tabu ketika suatu putusan
duanalisis, dikritisi dan dikomentari oleh rekan hakim lainnya, sehingga
independensi akan menunjang putusan hakim yang independen pula. 74
Keterbukaan dissenting opinion juga menjadi wujud dalam independensi
peradilan. Sebagaimana perkembangan dissenting opinion dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, dimana Pasal 182 ayat (7) KUHAP dikatakan
bahwa : “Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk
keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia” dengan demikian apabila
terjadi dissenting opinion maka hal tersebut bersifat rahasia.
Akan tetapi sejak adanya PERMA RI Nomor 2 tahun 2000, menjelaskan
bahwa dissenting opinion sudah tidak lagi bersifat rahasia melainkan menjadi
lampiran dalam putusan pengadilan, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa
dissenting opinion tidak menjadi lampiran melainkan dimuat dalam putusan. Dan
ketentuan inilah yang masih berlaku dengan adanya UU No. 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perkembangan pengaturan dissenting opinion dalam perundang-undangan di
Indonesia telah menunjukan bahwa dengan adanya independensi peradilan
mewujudkan adanya keterbukaan dissenting opinion yang sejalan dengan
74
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2011, Op. Cit., h. 112-113.
54
semangat keterbukaan. Hal ini menjadi bagian dalam akuntabil itas peradilan.
Adanya keterbukaan dissenting opinion membuat masyarakat mengetahui latar
belakang lahirnya putusan, sehingga masyarakat dapat menilai kualitas hakim
tersebut.
Pada hakekatnya, dengan adanya publication of dissenting opinion hal
tersebut merupakan independensi hakim sebagai penegak hukum yang dijamin
dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-
masing pada waktu musyawarah putusan.75
2. Perkembangan Dissenting Opinion
a. Dissenting Opinion dalam Sistem Common Law
Sistem common law lahir di Inggris sekitar abad XIII serta berkembang dan
dianut di negara-negara anglo saxon. Common law secara luas dapat diartikan :
“In a broad sense, common law may designate all that part of the positive law,
juristic theory and ancient of any state or nation of wich is general and universal
applications, this marking off special or local rules or customs”.76 Dalam sistem
common law, sumber hukum yang paling utama adalah case law karena hal ini
tidak bisa dilepaskan dari sejarah common law itu sendiri yang bersifat yudisial.
Dissenting opinion lahir dan berkembang dalam negara-negara yang
menggunakan sistem hukum common law, seperti di Amerika Serikat yang
banyak mendapat pengaruh dan mengikuti seriatim practice dari Inggris. Seriatim
Practice adalah suatu praktik dimana hakim-hakim menyampaikan pendapat
75
Paulus E. Lotulung, 2003, Op. Cit., h. 7-8. 76
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common
Law dan Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 77.
55
secara sendiri-sendiri atau terpisah mengenai suatu perkara. Hal tersebut
dilakukan untuk memperkuat kredibilitas pengadilan melalui kebebasan
individual hakim dalam mengemukakan pendapat atau argumen dan
tanggungjawab individual atas argumen yang menjadi putusannya.77
Pada tahun 1801, seriatim practice ditinggalkan dan diganti dengan praktik
caucus opinion yang merupakan keputusan bulat majelis. Akan tetapi empat tahun
kemudian, hakim-hakim pada Mahkamah Agung Amerika mulai kembali dengan
individual opinion mereka, baik berupa concuring maupun dissenting opinion.
Sejak era Perang Dunia II, dissenting opinion semakin banyak terdapat dalam
putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat sedangkan putusan dengan suara
bulat (unanimous) semakin sedikit. 78
Sebagaimana halnya di Australia yang menggunakan sistem common law,
peranan pengadilan (hakim) sangat penting dalam pembentukan hukum.
Keputusan hakim mengikat hakim yang lebih rendah dalam kasus dengan fakta
yang mirip. Mahkamah Agung sebagai pengadilan tinggi dan mempunyai peran
menciptakan hukum baru. Hakim-hakim Mahkamah Agung dipilih oleh Jaksa
Agung dan cenderung memilih hakim yang mempunyai sikap sesuai dengan
kebijakan masing-masing partainya. Pengaruh sikap pribadi hakim-hakim dapat
dilihat dalam putusan mereka yang berbeda.79 Bahkan dalam perkara Northen
Sanblasting versus Harris menghasilkan putusan dengan tujuh pendapat yang
77
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2011,Op. Cit., h. 76. 78
Ibid., h. 76-79. 79
Ibid., h. 80-81.
56
berbeda di Mahkamah Agung, dengan 76 teks yang lebih dari 40.000 kata dan 366
catatan kaki.80
Dalam sistem common law, dissenting opinion merupakan konsekuensi dari
dianutnya sistem tersebut. Dimana negara-negara yang menggunakan sistem
hukum ini, hakim selain sebagai pelaksana hukum, ia juga sebagai pembentuk
hukum (judge made law). Peranan hakim sangat penting dalam pembentukan
hukum karena sistem common law menganut prinsip “the law develops and
derives through judicial decisions”.81
Dalam rangka pembentukan atau penemuan hukum ini, hakim mempunyai
keleluasaan untuk menyusun argumen atau pendapat (opinion) sebagai dasar bagi
norma hukum yang dibuatnya melalui putusan pengadilan. Dengan demikian,
hakim di negara yang menggunakan sistem common law secara individual
memiliki pertanggungjawaban moral yang penuh kepada masyaraka atas putusan
yang dibuatnya. Karena pertanggungjawaban hakim secara individual leb ih tinggi
dibandingkan pertanggungjawaban secara kolektif, maka jika hakim merasa
berbeda pendapat diperkenankan untuk tetap menjaga tingkat kemandiriannya
(independensi) dengan mencantumkan perbedaan pendapatnya dalam putusan. 82
80
Ibid., dikutip dari Mahy Petra, Permasalahan Apa yang Terdapat di High Court of
Australia dan Mahkamah Agung Indonesia dalam Penegakan Negara Hukum (Rule of Law) dan
Demokrasi Konstitusional, Makalah, 2002, h. 6. 81
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2011, Op. Cit., h. 73, dikutip dari Black Henry
Campbell, Black’s Law Dictionary with Pronounciations, 6th Ed, West Publishing Co., St. Paul
Minnesota, USA, h. 276. 82
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2011, Op. Cit., h. 74.
57
b. Dissenting Opinion dalam Sistem Civil Law
Civil Law lahir sekitar pada abad XIII, kemudian berkembang di negara-
negara Eropa Kontinetal, yaitu German, Perancis dan Belanda. Secara luas, civil
law dapat didefenisikan sebagai :
“Civil law may be defined as that legal tradition which has its origin in Roman Law, as codified in the Corpus Juris Civilis of Justinian, and subsequently developed in Continental Europe and around the
world. Civil Law eventually divided into two streams : The codified Roamn Law (French Civil Code 1840 and its progeny and imitators-
continental Europe, Quebec and Lousiana) and uncodified Roman Law (Scotland and South Africa). Civil Las is highly systematized and structured and relies on declarations of board, general principles,
oftem ignoring details.83
Sumber hukum utama dari sistem civil law adalah peraturan perundang-
undangan atau hukum yang tertulis sehingga sistem civil law yang bersifat
administratif yang menjadi muasal munculnya droit administratief yang intinya
adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. Dengan demikian,
dalam civil law pembentuk undang-undang mempunyai peranan yang penting dan
strategis untuk menentukan hukum positif atau peraturan perundang-undangan
yang akan diberlakukan di negara tersebut. Hukum positif atau peraturan
perundang-undangan dari legislatif itulah yang kemudian digunakan oleh para
hakim untuk memecahkan dan memutuskan kasus di pengadilan. 84
Sistem common law kemudian masuk ke Indonesia setelah Indonesia
merdeka dan mengundang kembali datangnya modal asing pada tahun 1967.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, hanya Inggris yang mencoba menerapkan
sistem common law, diantaranya adalah beberapa konsep peradilan ala anglo
saxon seperti peradilan jury dan konsep peradilan pidana. Namun sejak akhir
83
Ade Maman Suherman, 2004, Op. Cit., h. 56-57. 84
Teguh Prasetyo, 2013, Op. Cit., h. 49.
58
1970, konsep hukum yang biasa digunakan di sistem common law banyak
diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia.85
Di Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum civil
law, memang sangat asing dengan istilah dissenting opinion. Dimana sebelumnya
dissenting opinion tidak mempunyai landasan yuridis formal, tetapi ada karena
praktek hakim yang berkembang. Sebagaimana dikatakan Julia 86 “In the
continental European legal systems, the disssenting opinion is allowed and
disclosed only in some countries (in Western Europe: Germany, Spain, Portugal,
Greece) and even there it is made avaliable in the published from mostly only in
higher or constitutional courts”. Dissenting opinion kemudian berkembang dan
diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem hukum civil law seperti di
Indonesia, Belanda, Perancis dan Jerman.87
Dissenting opinion diatur pertama kali dalam KUHAP yang merupakan
hasil konkoordasi dari penjajahan Belanda. Selanjutnya dissenting opinion diatur
dalam PERMA RI Nomor 2 tahun 2000 yang merevisi PERMA RI Nomor 3
tahun 1999 tentang hakim ad hoc disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang anggota
majelis baik mengenai fakta atau hukumannya, dalam musyawarah majelis.
Dalam pasal lain dijelaskan bahwa dissenting opinion dalam putusan kepailitan
diperbolehkan dan dicantumkan beserta putusan dalam bentuk lampiran serta
dianggap sebagai suatu kesatuan dengan naskah putusan. Sampai dengan tahun
2004 hanya terdapat sejumlah empau putusan yang terdapat lampiran dissenting
85
Ibid., catatan kaki h. 79. 86
Julia Laffarenque, 2003, Op. Cit., h. 165. 87
Sunarmi, 2007, Op.Cit., h. 147.
59
opinion di Pengadilan Niaga, dimana tiga diantaranya oleh hakim ad hoc dan
selebihnya oleh hakim niaga.88
Perkembangan selanjutnya, dissenting opinion diadopsi dan diatur dalam
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, yaitu diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 tahun 2004 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009, tetapi tidak terdapat ketentuan yang mengatur defenisi dissenting
opinion melainkan teknis pelaksanaan apabila terjadi dissenting opinion.
Meskipun dalam penyelesaian perkara sudah mulai diterapkan dissenting opinion,
namun dalam peradilan umum, yaitu perkara perdata dan pidana sipil hal ini
belum ada landasan yurisdisnya.89
Dissenting opinion merupakan kejadian langka dalam lingkungan
kehakiman di Indonesia yang hakim bersifat majelis serta menganut sistem civil
law, hal ini dikarenakan dissenting opinion tidak dikenal di semua negara karena
adanya perbedaan sistem hukum. Dalam sistem hukum civil law, hakim
merupakan corong undang-undang, sehingga dengan adanya dissenting opinion
yang tertulis akan merusak keseimbangan dalam peradilan. Sehingga adanya
dissenting opinion masih dianggap sebagai hal yang tabu dalam lingkungan
peradilan di Indonesia.90
Akan tetapi keberadaan dissenting opinion merupakan suatu wujud dari
adanya keberagaman pandangan dasar tentang konsep keadilan dan teori hukum
yang dianut oleh tiap-tiap penegak hukum. Hal tersebut merupakan hal yang
manusiawi atau wajar sebagai konsekuensi dari adanya perbedaan pengalaman
88
Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2011, Op. Cit., h. 83-84. 89
Ibid., h. 84-85. 90
Lidya Kurniawat i, Skripsi : Implementasi Dissenting Opinion dalam Putusan Perkara
Perdata, FH UI, Depok, 2006, h. 78.
60
hidup, pola pemikiran dan keyakinan subyektif pada tiap-tiap penegak hukum
termaksud hakim, serta adanya perbedaan interpretasi hukum terhadap suatu fakta,
prinsip atau teori hukum.
61
II. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS PUTUSAN HAKIM
Putusan hakim merupakan mahkota atau puncak dari suatu perkara yang
sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, hakim dalam
membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, sehingga hakim
akan berusaha agar putusannya dapat diterima kepada semua pihak maupun
kepada masyarakat dengan memberikan alasan-alasan atau pertimbangan yang
sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Hakim dalam menegakan keadilan harus mengutamakan penegakan nilai-
nilai keadilan, bukan sekedar menjalankan prosedur formal dalam peraturan
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat91. Putusan hakim harus
mempertimbangkan segala aspek sehingga putusan yang dihasilkan adalah
putusan yang mencerminkan keadilan baik keadilan bermartabat. Sebagaimana
konsep keadilan bermartabat yang melihat bahwa keadilan haruslah
memanusiakan manusia serta menempatkan sesuatu pada tempatnya
(proporsional).
Adanya dissenting opinion merupakan perwujudan dari kebebasan hakim,
sebagai jaminan hakim dalam memutus perkara haruslah menggunakan hati
nurani dengan tetap menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kebebasan hakim baik dalam memutus suatu perkara tak jarang
menimbulkan pola pemikiran yang berbeda-beda. Akan tetapi, sebagaimana
KUHAP mengatur bahwa apabila terjadi perbedaan pendapat maka di pilih suara
terbanyak. Putusan yang dihasilkan hakim apabila terjadi deissenting opinion jelas
91
Bambang Sutiyoso, 2010, Op. Cit., h. 4.
62
merupakan adanya perbedaan pola pandang hakim dalam menegakan hukum dan
keadilan. Sehingga suatu putusan seyogiaya haruslah mencerminkan nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan di masyarakat, mengingat suatu putusan harus di
dasarkan dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
A. Hasil Penelitian Putusan Mahkamah Agung Nomor 906
K/Pid.Sus/2012.
Terdakwa dalam tindak pidana tersebut adalah Muhammad alias Mumu Bin
Faisol, berumur 23 tahun, pekerjaan karyawan. Terdakwa atau termohon dalam
kasasi ini berada di dalam tahanan, sejak Penyidikan tanggal 18 April 2011
sampai ditahan oleh hakim pengadilan negeri sampai dengan tanggal 24 Okteber
2011 dan ditahan oleh hakim pengadilan tinggi sampai dengan 15 Januari 2012,
serta penetapan ketua Mahkamah Agung ditahan dari selama 60 hari sejak tanggal
6 April 2012.
1. Kronologi Perkara
Bahwa sebelumnya Terdakwa mendapatkan satu paket shabu dari seseorang
bernama AME dengan cara membeli seharga Rp 400.000,- dan pada hari minggu,
17 April 2011 pukul 15.00 WIB Terdakwa mengkonsumsi shabu tersebut
dikamar terdakwa di Jalan Satria II Nomor 139 RT 04 RW 04 Kelurahan
Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Terdakwa
mengkonsumsi dengan menggunakan bong. Setelah mengkonsumsi sebagian dari
shabu tersebut, Terdakwa menyimpan satu paket shabu yang tersisa.
63
Selanjutnya ketika terdakwa hendak keluar dari kamar, datang saksi
Sukimin, saksi Feri, saksi Aldunan dan saksi Saut Situmorang (ketiganya
merupakan anggota polisi) yang kemudian melakukan penangkapan dan
penggeledahan terhadap terdakwa. Dan ditemukan narkoba jenis shabu tanpa
dilengkapi surat ijin dari Departemen Kesehatan RI maupun dari pihak berwenang
lainnya.
Bahwa dalam Berita Acara, hasil pemeriksaan laboratoris dari Badan
Narkotika Nasional menyatakan bahwa barang bukti berupa satu bungkus plastik
bening berisikan kristal warna putih dengan berat netto 0.0313 gram adalah benar
mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 61
Lampiran Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 (selanjutnya disingkat dengan
UU No. 35 tahun 2009) tentang Narkotika.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
1201/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 11 Oktober 2011 menyatakan terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara
tanpa hak menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman” melanggar Pasal
112 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 dan Terdakwa dijatuhi pidana 4 tahun pidana
penjara dengan denda sebesar Rp 800.000.000,- subsidair 3 bulan penjara,
dikurangi masa terdakwa berada dalam tahanan.
Terdakwa kemudian mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta,
dan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan bahwa permintaan
banding terdakwa diterima dan diputuskan menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 1201/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst dengan perbaikan
64
mengenai lamanya pidana pengganti denda yaitu 1 bulan penjara dan redaksi
subsidair.
2. Alasan Pengajuan Kasasi
Pada tanggal 14 Februari 2012, Terdakwa mengajukan permohonan kasasi
terhadap putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung dengan alasan
yaitu :
a. majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta mengabaikan kebenaran formil
dan materil dalam kasus tersebut.
b. mengabaikan bukti-bukti yang ada di dalam persidangan.
c. salah menerapkan pasal atau tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut
Umum artinya kejadian yang diceritakan Jaksa Penuntut Uum dengan pasal
yang diajukan berbeda.
d. melanggar Hak Asasi Terdakwa ketika Terdakwa meminta sidang ditunda
karena tidak ada Pengacara yang mendampinginya dikarenakan sidang
mendadak tidak diberitahukan sebelumnya dan Terdakwa meminta
dihadiran saksi a de charge (saksi yang meringankan Terdakwa) kepada
Majelis diabaikan.
Adapun yang dimaksud dengan mengabaikan kebenaran formil dan materil
yang diajukan oleh Terdakwa adalah :
a. penangkapan Terdakwa diawali laporan warga akibat sering terjadi
penyalahgunaan narkotika di rumah Terdakwa dan pesta narkoba, akan
tetapi hal tersebut disangkal oleh Terdakwa dan Terdakwa telah mengajukan
kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keterangan
65
pernyataan warga-warga (yang tinggal disekitar rumah Terdakwa) di atas
materai dan memberikan kesaksian serta bantahan atas keterangan polisi
yang mengatasnamakan adanya warga yang melapor ke wilayah hukum
Polres Jakarta Pusat. Akan tetapi Majelis Hakim mengabaikan dan tidak
menggunakan haknya untuk memanggil warga sebagai saksi untuk dimintai
kesaksiannya dalam persidangan yang dapat meringankan tuduhan
Terdakwa.
b. selama persidangan, pelapor yang dimaksud oleh petugas Polres Jakarta
Pusat yang mengatasnamakan warga ditempat tinggal Terdakwa tidak
pernah diketahui siapa orangnya dan tidak pernah dimunculkan da lam
sidang dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
c. para saksi yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum adalah cacat hukum
dikarenakan saksi dalam persidangan adalah Polisi yang menangkap
Terdakwa serta yang membuat berita acara.
d. dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menyatakan bahwa pada saat penangkapan dan penggeledahan rumah
Terdakwa ada seorang wanita bernama Evi tetapi wanita tersebut tidak
pernah dihadirkan dalam persidangan, sehingga menimbulkan kecurigaan
Terdakwa bahwa barang tersebut adalah barang Evi yang sengaja diletakan
diatas lantai, karena sebelum Terdakwa keluar dari kamar, barang tersebut
tidak ada didalam kamar.
e. terdakwa dipaksa oleh Polisi untuk menandatangani Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) walaupun sebelumnya Terdakwa meminta dihubungi
66
keluarga dan didampingi oleh Penasehat Hukum, akan tetapi dilarang oleh
Polisi.
f. dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta dikatakan
bahwa Terdakwa mengakui benar barang bukti tersebut adalah miliknya dan
wanita (Evi) adalah pacar Terdakwa, sedangkan Terdakwa tidak pernah
menyatakan seperti itu baik dalam BAP maupun dipersidangan.
g. dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta juga
dikatakan bahwa Terdakwa tidak didukung oleh bukti dan saksi-saksi yang
mendukung keterangan tersebut atau a de charge dimana kesempatan
menghasirkan saksi sudah diberikan oleh Majelis Hakim, namun hal
tersebut dibantah oleh Terdakwa karena Terdakwa dari awal menolak dan
meminta Hakim menunda sidang dikarenakan Jaksa Penuntut Umum
mengadakan sidang secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya
kepada Terdakwa maupun Penasehat Hukum Terdakwa sehingga Penasehat
Hukum Terdakwa dan saksi-saksi a de charge tidak dapat hadir karena
belum pulang dari mudik Idul Fitri. Akan tetapi menolak permintaan
Terdakwa untuk menunda sidang. Alasan seluruh tersebut Terdakwa
mengajukan kasasi.
3. Pertimbangan Hukum Hakim Majority Opinion
Dalam pertimbangannya, hakim majority opinion beranggapan bahwa
alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan dikarenakan Judex facti tidak
salah dalam menerapkan hukum. Hal ini didasari oleh beberapa pertimbangan
yaitu :
67
a. berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan yaitu bahwa penangkapan
Terdakwa didasari oleh laporan warga di tempat tinggal terdakwa yang
mengatakan sering terjadi penyalahgunaan Narkotika dengan mengadakan
pesta Narkotika sebagaimana laporan yang disampaikan kepada saksi Feri
Aldunan dan Saut Situmorang.
b. berdasarkan keterangan para saksi yaitu Feri Aldunan dan Saut Situmorang
yang menerangkan bahwa benar Terdakwa di tangkap didepan kamarnya
setelah keluar dari kamar kostnya pada hari Minggu 17 April 2011 sekitar
pukul 15.00 WIB di Jalan Satria II Nomor 139 Jelambar, Jakarta Barat,
artinya diluar kamar atau dimana tempat ditemukan barang sisa pemakaian
shabu ditemukan (diatas lantai).
c. terdakwa terbukti menguasai Narkotika Golongan I (satu) bukan tanaman
berupa shabu-shabu seberat 0,0313 gram dan alat penghisap shabu-shabu
berupa bong dan cangklong.
d. judex facti telah mempertimbangkan segala hal perkara a quo termasud
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP tentang hal-hal yang memberatkan dan
meringankan.
Selain hal tersebut, hakim majority opinion beranggapan bahwa alasan-
alasan kasasi yang diajukan oleh Terdakwa merupakan penilaian hasil pembuktian
yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, sehingga keberatan semacam
itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkannya
suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana
mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
68
undang-undang dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP.
Atas dasar pertimbangan tersebut, hakim minority opinin mengambil
kesimpulan yaitu menolak putusan kasasi Terdakwa atau sama dengan Putusan
Pengadilan Tinggi yaitu :
1. menyatakan bahwa Terdakwa Muhammad Bin Faisol terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara tanpa hak
menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman”.
2. menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan denda sebesar Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan
penjara.
3. menetapkan agar lamanya Terdakwa ditahan dikurangi seluruhnya selama
Terdakwa berada dalam tahanan.
4. menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. menyatakan barang bukti berupa :
1 (satu) bungkus plastik bening berisikan kristal warna putih narkotika jenis
shabu-shabu dengan berat 0,00313 gram (sisa labkrim 0,0162 gram)
dirampas untuk dimusnahkan.
4. Pertimbangan Hukum Hakim Dissenting opinion
Dalam pertimbangan hukum terdapat perbedaan pendapat oleh salah satu
majelis hakim yang memberikan pertimbangan yaitu :
69
a. bahwa terlepas alasan kasasi Terdakwa, bahwa sudah menjadi kebiasaan
atau tren pihak Kepolisian apabila menemukan atau mendapatkan pelaku
membawa atau memiliki, menguasai, atau menyimpan narkotika maka
terhadap pelaku tersebut harus diterapkan Pasal 112 UU No. 35 Tahun
2009, padahal tujuan atau maksud atau niat pelaku adalah untuk memakai
atau menggunakan narkotika oleh karena itu Polisi dan Jaksa harus mampu
membedakan kapan saatnya seorang yang membawa, menguasai atau
menyimpan atau memiliki dikatakan untuk tujuan memakai / menggunakan.
Padahal setiap pemakai lebih dahulu membeli kemudian memiliki atau
membawa atau menyimpan atau menguasai.
b. bahwa pihak Kepolisian seringkali menghindari untuk melakukan
pemeriksaan urine terhadap orang yang tertangkap memiliki, membawa,
menguasai dan menyimpan narkotika, tujuannya agar diterapkan Pasa l 112
atau pasal-pasal Iainnya dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
c. bahwa tren yang demikian ini diikuti pula oleh pihak Jaksa Penuntut Umum,
pada umumnya perkara narkotika didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal
112 UU No. 35 Tahun 2009, atau dakwaan pasal lainnya dan sama sekali
tidak mendakwakan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009, padahal
kenyataannya Terdakwa adalah penyalahguna, sehingga Hakim
diperhadapkan dalam posisi yang sangat dilematis yaitu apakah
membebaskan Terdakwa dengan alasan bahwa fakta persidangan
menunjukkan sesungguhnya yang terbukti adalah Pasal 127 UU No. 35
Tahun 2009, padahal tidak didakwakan (menurut hukum acara pidana,
apabila terbukti tetapi tidak didakwakan maka harus dibebaskan), ataukah
70
menghukum Terdakwa dengan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009, tetapi
pidananya berada dibawah standar minimum pidana, dengan alasan untuk
dan nama keadilan ataukah dengan menghukum Terdakwa dengan pidana
maksimal.
d. bahwa sangat tidak adil dan arif bijaksana apabila Terdakwa yang nyatanya
terbukti sebagai penyalahguna, terhadapnya diterapkan Pasal 112 UU No.
35 Tahun 2009 dengan pidana minimum 4 tahun. Hal ini merupakan
pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang sangat serius.
e. bahwa sehubungan dengan alasan pertimbangan tersebut, maka Hakim
dissenting opinion Surya Jaya, berpendapat bahwa daripada membebaskan
Terdakwa padahal terbukti dia adalah pengguna atau pemakai maka akan
melakukan terobosan dengan menjatuhkan pidana dibawah pidana minimum
f. bahwa adanya fakta yang menunjukan Terdakwa sebagai pemakai atau
pengguna antara lain:
1. tujuan Terdakwa adalah untuk memakai atau menggunakan narkoba
tanpa ijin dari pihak berwenang;
2. urine Terdakwa adalah positif mengandung zat metamphetamine;
3. jumlah narkotika yang dimiliki atau yang dikuasai Terdakwa adalah
relatif kecil, yaitu jenis shabu nol koma sekian gram dalam perkara a
quo 0,0313 (jumlah yang sangat kecil);
4. ditemukan alat pendukung berupa bong, pipet, korek, gas dan tabung
kaca tempat membakar dan sebagainya;
5. Terdakwa sedang menggunakan atau selesai menggunakan atau akan
menggunakan;
71
6. pelaku boleh pertama kali atau sudah berulangkali memakai;
7. Terdakwa tidak termaksud dalam jaringan atau sindikat narkoba;
8. Terdakwa bukan bandar, bukan pengedar, penyalur, atau distributor
atau pedagang narkotika;
9. dapat terlihat pada kondisi fisik dan mental Terdakwa;
10. biasanya disertai dengan surat keterangan dokter ahli tentang keadaan
Terdakwa (hal ini bersifat fakultatif);
11. terdapat alasan lain, namun sifatnya kondisional.
Berdasarkan alasan tersebut, hakim dissenting opinion berpendapat untuk
menghindari terjadinya pelanggaran HAM dan menghukum Terdakwa tidak
secara proporsional maka meskipun Mahkamah Agung melanggar batas minimum
namun berdasarkan alasan tersebut seyogianya dijatuhkan pidana yang lebih adil
dan manusiawi.
5. Putusan Hakim
Pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal
19 Juni 2012, terdapat dissenting opinion oleh Majelis yang memeriksa dan
memutus perkara tersebut. Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh akan
tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai dengan Pasal 14 ayat (3) UU No.
48 tahun 2009, maka diambil suara terbanyak dengan amar putusan :
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon atau Terdakwa Muhammad alias
Mumu Bin Faisol tersebut; Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
72
B. Analisis Prinsip Keadilan Bermartabat dalam Dissenting Opinion
Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/Pid.Sus/2012.
1. Analisis Pertimbangan Hukum Majority Opinion
Upaya hukum kasasi adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai
pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain dan bukan merupakan
peradilan tingkat ketiga. Hal ini disebabkan perkara dalam tingkat kasasi tidak
memeriksa kembali perkara, seperti yang dilakukan judex facti sehingga tidak
disebut sebagai peradilan tingkat ketiga.92
Sebagaimana kita ketahui didalam sistem peradilan pidana dikenal istilah
judex factie dan judex juris. Dimana judex facti adalah pengadilan yang
memeriksa fakta hukum sedangkan judex juris adalah pengadilan yang memeriksa
penerapan hukum . Yang dimaksud dengan hakim memeriksa fakta hukum yaitu
hasil pergulatan hakim dalam mengkonstatir baik hakim melihat, mengetahui, dan
membenarkan telah terjadinya peristiwa.93
Pemeriksaan kembali judex facti dilakukan dalam upaya hukum banding
oleh pengadilan tinggi. Pengadilan tinggi merupakan peradilan ulangan atau
revisi/higer beroep dari putusan pengadilan negeri. Sebagai peradilan ulangan,
maka pengadilan tinggi memeriksa kembali perkara pidana dalam
keseluruhannya, baik mengenai fakta maupun penerapan hukumnya sehingga
peradilan tingkat banding dapat disebut sebagai peradilan tingkat dua atau judex
facti.94
92
Lilik Mulyadi, 2007, Op. Cit., h. 229. 93
Http://Sekt iekaguntoro.wordpress.com/2014/01/ dikunjungi pada hari Minggu, 13 Maret
2016 pukul 10.21 WIB. 94
Ibid., h. 218.
73
Akan tetapi dalam tingkat kasasi tidak memeriksa kembali perkara seperti
dilakukan judex facti. Sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang
mengatakan bahwa :
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244
dan Pasal 248 guna menentukan : a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.”
Mahkamah Agung dalam melakukan peradilan sebagai hakim kasasi bukan
merupakan instansi ketiga, karena putusan-putusan hakim yang dikasasi adalah
putusam dalam instansi tertinggi. Dalam melakukan peradilan kasasi, Mahkamah
agung tidak dapat meneliti putusan seluruhnya dari pengadilan lain. Mahkamah
tidak meneliti fakta-fakta melainkan hanya memeriksa masalah hukum, apakah
hukum sudah benar diterapkan dalam putusan itu atau tidak. 95 Yang menjadi
ranah dalam pemeriksaan kasasi yaitu :
1. apakah peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain, penerapan unsur tindak pidana tidak tepat,
sehingga Mahkamah agung akan memahami pasal-pasal undang-undang
yang didakwakan atau diputuskan dalam putusan Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tinggi tersebut dan meneliti apakah semua unsur-unsurnya telah
tepat penerapannya.96
Selain itu, apakah peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya mengandung pengertian bahwa adanya kesalahan
95
Soedirjo, Kasasi dalam Perkara Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, h. 16. 96
Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Peraka Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 65.
74
penerapan hukum yang dilakukan oleh judex facti, baik terhadap hukum
acara maupun hukum materiilnya. Akan tetapi, apabila terjadi hal demikian
Mahkamah agung akan mengadili sendiri perkara tersebut (Pasal 255 ayat
(1) KUHAP) dan akan melakukan penilaian terhadap hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Sehingga Mahkamah agung
bertindak seperti judex facti.97
2. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut undang-undang.
Hal ini berarti bahwa judex facti dalam pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi melakukan cara mengadili serta memutus perkara tidak sesuai dengan
cara yang di haruskan undang-undang (baik dalam pasal 147-182 KUHAP).
Dalam Pasal 255 ayat (2) KUHAP dikatakan bahwa :
“Apabila suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang maka Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang
di batalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang
lain.” 3. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dengan kata
lain, cara pengadilan mengadili apakah telah melampaui batas
kewenangannya baik secara absolut (competentie absolute) maupun relatif
(competentie relative). Pasal 255 ayat (3) KUHAP mengatakan bahwa
“Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah
Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut”.
97
Lilik Mulyadi, 2007, Op. Cit., h. 234.
75
Hal itulah yang menjadi pertimbangan hukum suara hakim majority opinion
dalam putusan Mahkamah Agung tersebut, yaitu alasan atau memori kasasi yang
diajukan oleh Terdakwa, tidak menyangkut kewenangan Mahkamah Agung untuk
memeriksa kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 255 ayat (1). Terdakwa hanya
mencantumkan fakta-fakta yang berisi mengenai pembuktian tentang suatu
kenyataan, sedangkan penilaian pembuktian seharusnya menjadi ranah dalam
pemeriksaan judex facti. Hakim majority opinion juga mempertimbangkan bahwa
judex facti yang telah diterapkan dalam Putusan Tinggi tersebut tidak salah
menerapkan hukum, dimana hakim judex facti dalam memberikan putusannya
telah memperhatikan tahapan dalam penjatuhan putusan.
1. hakim menganalisis perbuatan terdakwa yang merupakan perbuatan pidana
dimana Terdakwa terbukti menguasai narkotika golongan I bukan tanaman
berupa shabu-shabu seberat 0,0313 gram dengan menggunakan alat
penghisap shabu-shabu berupa bong dan cangklong.
2. hakim menganalisis bahwa perbuatan terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan karena tidak bertentangan dengan Pasal 44 – Pasal
55 KUHP.
3. hakim memberikan pemidanaan yang tepat yaitu karena terdakwa terbukti
menguasai narkotika golongan I maka tepat apabila terdakwa dikenakan
Pasal 112 UU No. 35 tahun 2009.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan besar dalam suara hakim majority
opninion adalah memori kasasi yang diajukan oleh Terdakwa yang dinilai oleh
hakim majority opinion bukan menjadi ranah hakim untuk memberikan penilaian
terhadap pembuktian tentang suatu kenyataan. Akan tetapi kembali ke alasan
76
Terdakwa, dimana dalam memori kasasi Terdakwa meminta Mahkamah Agung
untuk membahas kembali judex facti perkara tersebut, karena Terdakwa menilai
bahwa Hakim Pengadilan Negeri dan pengadilan Tinggi telah mengabaikan
kebenaran formil dan materil sehingga Terdakwa mengharapkan keadilan dengan
melihat kebenaran formil dan materil melalui pembuktian yang disampaikan
dalam memori kasasi Terdakwa.
Mahkamah Agung sebagai hakim dalam pengadilan negara tertinggi
memiliki kebebasan eksistensial sebagai wujud dari independensi peradilan untuk
menentukan sebuah keputusan pengadilan atas perkara yang diadili. Sehingga
apabila memori kasasi yang diajukan oleh Terdakwa bukan merupakan ranah
Mahkamah Agung dalam menentukan kasasi karena tidak sesuai dengan Pasal
255 ayat (1) KUHAP, akan tetapi seharusnya Mahkamah Agung memiliki
kebebasan untuk tetap mempertimbangkannya apabila dinilai ada keganjalan
dalam judex facti, Mahkamah Agung memiliki kebebasan untuk menemukan
hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil.
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 UU No. 48 tahun 2009, Mahkamah
agung harus berfikir secara filsafati dalam memutus perkaranya. Sehingga peran
Mahkamah Agung untuk memutus kasasi dalam perkara tersebut harus menggali
lebih dalam lagi tidak hanya melihat dari prosedural hukumnya saja melainkan
juga melihat dari substantifnya. Mahkamah Agung harus melihat bahwa memori
kasasi yang berisi pembuktian yang diajukan Terdakwa adalah bentuk Terdakwa
untuk mencari keadilan yang dinilai telah diabaikan dalam Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi.
77
Hakim perlu mengingat bahwa dalam menjatuhi putusan, hakim salah
satunya harus menggunakan pendekatan atau teori ractio decidendi dimana hakim
harus berfikir secara filsafat atas kasus yang dihadapinya. Hakim harus
mempertimbangkan segala asperk termaksud alasan kasasi terdakwa yang tidak
sesuai dengan kewenangan hakim. Dalam putusan dissenting opinionlah yang
justru melakukan hal tersebut, dimana hakim dissenting opinion menembus
kewenangan Mahkamah Agung yang menjadi pertimbangan kasasi tersebut
ditolak.
2. Analisis Pertimbangan Hukum Dissenting Opinion
Dalam rapat musyawarah hakim terdapat dissenting opinion oleh Majelis
Hakim Surya Jaya dimana dalam awal pertimbangannya, hakim dissenting
opinion mengatakan : “Bahwa terlepas dari alasan kasasi Terdakwa ....” dengan
demikian, hakim dissenting opinion tetap melihat dari alasan atau memori kasasi
Terdakwa yang tidak sesuai dengan hal yang dipertimbangkan oleh Mahkamah
Agung dalam menentukan permintaan para pihak sesuai dengan Pasal 255 ayat
(1). Akan tetapi, hakim dissenting opinion mempunyai pertimbangan lain yang
dianggap lebih penting untuk diperhatikan dalam membuat putusan dengan
mengesampingkan atau melepas melihat dari alasan kasasi Terdakwa. Hakim
dissenting opinion beranggapan bahwa tidak sesuai penerapan Pasal 112 UU No.
35 tahun 2009 kepada Terdakwa.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Terdakwa
Muhammad terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Secara tanpa hak dan melawan hukum menguasai narkotika Golongan I
78
bukan tanaman”, melanggar Pasal 112 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2009 yang
menyatakan:
“Pasal 112 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasasi atau menyediakan
Narkotika Golongongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas
tahun), dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Menurut hakim dissenting opinion, adanya salah pemberian dakwaan
kepada Terdakwa dimana merupakan kebiasaan atau trend pihak Kepolisian
apabila menemukan atau mendapat pelaku yang membawa atau memiliki,
menguasai atau menyimpan narkotika maka terhadap pelaku tersebut harus
diterapkan Pasal 112 UU No.35 tahun 2009, padahal tujuan atau maksud atau niat
pelaku adalah untuk memakai atau menggunakan narkotika, oleh karena itu Polisi
dan Jaksa harus mampu membedakan kapan saatnya seseorang membawa,
menguasai atau menyimpan serta kapan seseorang dikatakan memakai atau
menggunakan. Selain itu Kepolisian seringkali menghindari untuk melakukan
pemeriksaan urine terhadap orang yang tertangkap memiliki, membawa,
menguasai dan menyimpan narkotika dengan tujuan agar diterapkan Pasal 112
UU No. 35 tahun 2009.
Dalam pertimbangannya, hakim dissenting opinion juga menganalisis
perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, dimana hakim menyimpulkan
bahwa Terdakwa merupakan penyalahguna narkoba sebagai pemakai atau
pengguna. Pada dasarnya, UU Nomor 35 tahun 2009 mengklasifikasi pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkotika kedalam beberapa jenis, antara lain :
a. pengguna, yang dibagi menjadi dua macam :
79
- pengguna narkotika untuk diberikan kepada orang lain.
Ketentuan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 116, 121, dan
126 yang melarang setiap orang tanpa hak atau melwan hukum
menggunakan Narkotika Golongan I, II dan III terhadap orang lain atau
memberikan untuk digunakan orang lain dan pidananya diatur dalam
UU tersebut.
- pengguna narkotika untuk dirinya sendiri.
Ketentuan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 127 dimana
dalam pasal ini memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak dan
melawan hukum menggunakan narkotika bagi diri sendiri, baik
Narkotika Golongan I, II, dan III yang pidananya diatur dalam UU
tersebut.
b. pemilik, dimana ketentuan mengenai pemilik dapat dilihat dalam Pasal 111,
112, 117 dan 122 yang melarang setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan Narkotika Golongan I tanaman atau bukan tanaman, Golongan
II dan Golongan III, yang pidananya telah diatur dalam UU tersebut.
c. pengedar, dimana ketentuan mengenai pengedar dapat dilihat dalam Pasal
114, 119 dan 124 yang melarang setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan
I, II, dan III, yang pidananya telah diatur dalam UU tersebut.
d. pengolah, dimana ketentuan mengenai pengolah dapat dilihat dalam Pasal
113, 118 dan 123 yang melarang setiap orang yang tanpa hak atau melawan
80
hukum memproduksi, mengimpor atau menyalurkan Narkotika Golongan I,
II, dan III, yang pidananya telah diatur dalam UU tersebut.
e. pembawa, dimana ketentuan mengenai pembawa dapat dilihat dalam Pasal
115, 120 dan 125 yang melarang setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit Narkotika
Golongan I, II, dan III, yang pidananya telah diatur dalam UU tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hakim dissenting opinion beranggapan
bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa adalah sebagai pemakai
sebagaimana didukung oleh fakta- fakta dalam pertimbangan hukum. Sehingga
berdasarkan fakta tersebut, hakim dissenting opinion beranggapan Terdakwa
seharusnya dijatuhi Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009 yang
berbunyi : “Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
Menurut hakim dissenting opinion, sangatlah tidak arif dan bijaksana
apabila Terdakwa yang sudah nyata terbukti sebagai penyalahguna terhadapnya
diterapkan dengan Pasal 112 UU No. 35 tahun 2009 dengan Pidana minimum 4
(empat) tahun. Hal tersebut merupakan pelanggaran hukum dan Hak Asasi
Manusia yang sangat serius.
Berdasarkan pendapat hakim dissenting opinion tersebut bahwa Terdakwa
seharusnya dijatuhkan pasal 127 UU No. 35 tahun 2009, maka apabila melihat
dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dimana hanya mendakwakan satu pasal saja,
yaitu Pasal 112 UU No. 35 tahun 2009, sehingga Hakim diperhadapkan pada
posisi yang sangat dilematis, karena apabila fakta tidak sesuai dengan dakwaan
Jaksa Penuntut Umum, maka sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) yang mengatakan
81
bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdawa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas”.
Kesalahan Jaksa Penuntut Umum juga yang hanya memberi dakwaan
tunggal menjadi pertimbangan besar baik bagi hakim dissenting opinion, dimana
tujuan dan guna surat dakwaan adalah sebagai dasar atau landasan pemeriksaan
perkara didalam sidang pengadilan. Hakim di dalam memeriksa suatu perkara
tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan.
Seharusnya dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum memberi dakwaan
alternatif, dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan, sehingga
dapat memberikan pilihan kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan
dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa sehubungan
dengan tindak pidana yang dilakukan.
Hal ini dikarenakan perlu dilakukan kehati-hatian dalam mendakwa yang
berhubungan dengan Pasal 112 dan Pasal 127 UU Nomor 35 tahun 2009, dimana
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bisa
saja tujuannya digunakan untuk diri sendiri. Oleh karena itu apabila penuntut
umum menemukan fakta yang kurang jelas maka jaksa penuntut umum
seharusnya merumuskan dakwaan alternatif sehingga dalam pengadilan apabila
jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan kesalahan Terdakwa atas tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 112, maka dalam pengadilan masih
mempunyai kesempatan dan pilihan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa atas
Pasal 127.
82
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam fakta persidangan Terdakwa
terbukti sebagai pemakai atau pengguna sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU
Nomor 35 tahun 2009, akan tetapi akibat dakwaan tunggal yang diberi oleh Jaksa
Penuntut Umum tidak terbukti, maka seharusnya Terdakwa dibebaskan. Tetapi
tidak mungkin juga hakim membebaskan Terdakwa akibat tidak terbukti
melanggar Pasal 112 sedangkan Terdakwa terbukti sebagai pemakai atau
pengguna. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia dan
menghukum Terdakwa tidak secara proposional maka maka hakim dissenting
opinion memberi kesimpulan bahwa menghukum Terdakwa dengan Pasal 112 UU
No 35 tahun 2009 akan tetapi menjatuhkan pidana dibawah pidana minimum.
Di dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba, menganut sistem
determinate sentence, yaitu menentukan batas minimum dan maksimum lamanya
ancaman pidana.98 Seperti yang tertera dalam Pasal 112 UU No. 35 tahun 2009
dijelaskan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasasi atau menyediakan Narkotika Golongongan I bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas tahun), dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
Dengan dianutnya sistem determinate sentence dalam UU No. 35 tahun
2009, maka penjatuhan putusan yang dilakukan oleh hakim haruslah berpatokan
pada batas-batas yang telah ditentukan dalam UU tersebut yaitu batas minimum
dan maksimum. Sehingga dengan telah ditentukannya batas minimum dan
98
Tendik W icaksono, 2011, h. 101.
83
maksimum lamanya ancaman pidana, maka hal tersebut dapat membatasi
kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana.99
Akan tetapi, hakim dissenting opinion berpendapat bahwa baiknya
Terdakwa dijatuhkan pidana dibawah pidana minimum yang diatur dalam Pasal
112 tersebut, yaitu dibawah 4 tahun. Hal ini menunjukan bahwa hakim dissenting
opinion dalam pertimbangan dan putusannya lebih mempertimbangkan rasa
keadilan bermartabat bagi Terdakwa. Penjatuhan pidana dibawah batas minimal
khusus bukanlah merupakan tindakan sewenang-wenang dari hakim, sebab
tindakan menjatuhkan pidana tersebut lebih didasarkan pada pemenuhan rasa
keadilan dan didukung dengan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan
logis.
Menurut penulis, putusan hakim dissenting opinion tersebut telah
mewujudkan keadilan bermartabat dimana hakim tidak melihat dari alasan
memori kasasi Terdakwa yang tidak sesuai dengan hal yang dipertimbangkan oleh
Mahkamah Agung dalam menentukan permintaan para pihak (sebagaimana diatur
dalam Pasal 255 ayat (1) KUHAP). Akan tetapi, hakim minority mempunyai
pertimbangan lain yang dianggap lebih penting untuk diperhatikan dalam
membuat putusan dengan mengesampingkan atau melepas melihat dari alasan
kasasi Terdakwa demi mencapai putusan yang adil.
Hakim dissenting opinion juga membuat putusan yang memperhatikan Hak
Asasi Terdakwa serta memperhatikan hukum yang berlaku bahwa tidak mungkin
membebaskan Terdakwa yang terbukti sebagai pemakai atau pengguna sehingga
hakim dissenting opinion membuat kesimpulan yang menyeimbangkan antara
99
Ibid.
84
hukum dan keadilan dengan menyatakan Terdakwa bersalah melanggar Pasal 112
akan tetapi diberlakukan pidana dibawah pidana minimum pasal tersebut.
Walaupun ada pembatasan tentang minimum pidana dalam UU No. 35
tahun 2009, tetapi dalam memeriksa serta memutus perkara pidana, hakim
memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian. Segalanya diserahkan pada
pandangan hakim atau keyakinan hakim untuk menentukan putusan yang pantas
diberikan kepada Terdakwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan maupun
peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku, dengan tetap
mempertimbangkan rasa keadilan. Oleh karena itu, hakim dissenting opinion
dalam memberikan pertimbangan hukum bagi putusannya telah mencerminkan
proses untuk mencari suatu keadilan yang bermartabat dengan memberikan
keadilan yang proposional dan membuat putusan yang menegakan keadilan yang
memanusiakan manusia.
C. Hasil Penelitian Putusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2010.
Terdakwa dalam Tindak Pidana tersebut adalah Leopold Tuerah alias Pol,
berumur 66 tahun dan pekerjaan sebagai petani. Pada saat kasasi tersebut
diajukan, Terdakwa berada diluar tahanan.
1. Kronologi Perkara
Pada tanggal 27 Februari 2008 sekitar jam 15.00 WITA, Terdakwa hendak
pergi ke kebun Sadingongon dan ketika Terdakwa melewati jalan menuju kebun
tersebut, Terdakwa melihat beberapa tukang sedang bekerja membuat pagar beton
85
yang menurut Terdakwa sudah dilarang oleh Hukum Tua. Terdakwa akhirnya
mengambil keputusan untuk membongkar pagar tersebut dengan cara mendorong
batako yang baru dipasang dengan posisi berdiri dari Timur pagar sampai ke
barat, sehingga susunan batako tersebut berhamburan dijalan. Kemudian
Terdakwa pindah kebagian pagar yang baru di cor penulangannya. Karena
Terdakwa tidak bisa menjangkau untuk membongkar mal, maka Terdakwa
mendorong batako tersebut dan mencabut besi-besi pagar tersebut.
Akibat perbuatan tersebut, saksi korban Remy Maringka mengalami
kerugian sebesar Rp 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) atau setidaknya lebih dari Rp
250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Perbuatan terdakwa diatur dan diancam
Pidana dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan arang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Airmadidi adalah
menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana pengerusakan sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal
406 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 bulan.
Pada tanggal 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Airmadidi memutus
menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pengerusakan, menjatuhkan pidana penjara selama 5
bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh Terdakwa kecuali
apabila kemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim selama masa
percobaan 10 bulan Terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dipidana.
86
Atas putusan tersebut, Jaksa/Penuntut Umum mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Manado, dan putusan di Pengadilan Tinggi Manado adalah
menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum, memperbaiki putusan
Pengadilan Negeri Airmadidi dengan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana pengerusakan, menjatuhkan pidana
kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 bulan dan memerintahkan
Terdakwa ditahan.
2. Alasan Pengajuan Kasasi
Atas putusan Pengadilan Tinggi Manado yang menjatuhi pidana penjara
dan menahan Terdakwa, maka Terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung dengan alasan antara lain :
a. bahwa terhadap putusan judex facti, Terdakwa sangat keberatan dan tidak
menerima karena tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam
menjunjung tinggi hukum adat yang berlaku dan berkembang dalam
masyarakat, tidak diindahkan dalam pertimbangan hukum.
b. bahwa pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Tinggi Manado
tidak sesuai dengan fakta hukum yang sesungguhnya, dimana justru korban
Remmy Marika yang melakukan pelanggaran hukum atau melawan hukum
adat yang berlaku di masyarakat desa Tumaluntung kabupaten Minahasa
Utara. Dimana korban Remy Marika telah dilarang dan dilarang oleh
Pemerintah Desa setempai sampai Pemerintah Kecamatan namun tetap
melaksanakan pembangunan pagar tembok yang sedang dalam
permasalahan perdata.
87
c. bahwa fakta hukum yang dipertimbangkan dalam judex facti Tingkat
pertama dan Tingkat kedua adalah masalah causalitas sebab akibat yang
dikarenakan perbuatan korban masuk dalam tanah milik Terdakwa dan
membangun pagar diatas tanah bukan miliknya sudah ditegur hingga tiga
kali namun tetap tidak diindahkan oleh korban sendiri dan hal ini tidak
dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum.
d. bahwa setelah Penasehat Hukum melihat BAP yang ada dalam berkas
perkara dan diperlihatkan kepada Terdakwa sangat bertolak belakang seperti
bukti foto yang dijadikan alat bukti sangat tidak sesuai dengan
kebenarannya, karena batu batoka tidak ada yang berhamburan, hanya
dirobohkan kemudian diatur dengan rapi dan diletakan di atas tanah milik
korban Remmy Maringka beserta potongan besi, sehingga kerugian yang
ditaksir sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) karena hanya empat puing
batako yang tidak dapat digunakan.
e. bahwa BAP dari Kepolisian Sektor Kauditan Kabupaten Minahasa Utara
tidak pernah ditandatangani oleh Tersangka pada saat penyelidikan, akan
tetapi saat diperiksa oleh Penasehat Hukum Tersangka, BAP sudah
ditandatangi. Oleh karena itu, Terdakwa keberatan dan melaporkan ke Polda
Sulut untuk diproses hukum.
f. bahwa Terdakwa tidak menerima atau menonak tindakan penyidik yang
dalam BAP telah ditandatangi bukan oleh Terdakwa, maka dengan
sendirinya perkara ini seyogianya belum bisa dilimpahkan dan diproses
dalam Sidang Pengadilan.
88
3. Pertimbangan Hukum Hakim Majority Opinion
Dalam pertimbangannya, hakim majority opinion beranggapan bahwa
alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan dikarenakan Judex Facti tidak
salah dalam menerapkan hukum. Hal ini didasari oleh beberapa pertimbangan
yaitu :
a. bahwa memang benar Terdakwa telah melakukan pengerusakan batako
sehingga saksi korban mengalami kerugian Rp.7.000.000,- (tujuh juta
rupiah).
b. bahwa berdasarkan fakta dalam pengadilan Terdakwa mendorong tembok
yang baru saja dibangun oleh saksi korban dengan cari Terdakwa berdiri
dan mendorong dari timur pagar sampai ke barat sehingga susunan batako
pagar te rsebut berhamburan di jalan , dan setelah itu Terdakwa pindah
kebagian pagar yang baru dicor penulangannya dan karena Terdakwa tidak
bisa menjangkau untuk membongkar mal maka Terdakwa pun pindah lagi
ke sebelah Barat dari pagar tersebut dan Terdakwa berdiri diatas tumpukan
batako lalu Terdakwa mendorong batako tersebut dan mencabut
penulangan/besi - besi pagar tersebut.
c. bahwa perbuatan Terdakwa dilihat oleh adik korban yang bernama Weni
yang sempat menegur Terdakwa namun dihiraukan oleh Terdakwa
Bahwa alasan ter sebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak
salah dalam menerapkan hukum, bahwa benar Terdakwa masih merasa tanah di
atas tidak boleh dibangun pagar, akan tetapi saksi korban Remy Maringka merasa
dia telah menegakkan pembangunan pagar di atas tanahnya. Bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagipula ternyata , putusan judex facti dalam perkara ini
89
tidak bertentangan dengan hukum dan/ atau undang- undang, maka permohonan
kasasi tersebut harus ditolak.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka hakim majority opinion
memberikan kesimpulan :
1. Menyatakan Terdakwa Leopold Tuerah alias POL tersebut diatas telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pengerusakan
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 5
(lima) bulan
3. Memerintahkan Terdakwa di tahan
4. Menetapkan barang bukti berupa :
4 (empat) buah puing batako dikembalikan kepada saksi Remy Maringka.
4. Pertimbangan Hukum Hakim Dissenting Opinion
Dalam pertimbangan hukum terdapat perbedaan pendapat oleh salah satu
majelis hakim yang memberikan pertimbangan yaitu :
a. Judex facti salah menerapkan hukum karena putusan judex facti yang
memperberat pidana terhadap Terdakwa dari pidana 5 bulan penjara VW
(dengan amar percobaan) 10 bulan dalam putusan Pengadil an Negeri
Airmadidi menjadi 5 bulan penjara dibuat berdasarkan pertimbangan hukum
yang salah. Walaupun ada alasan memberatkan yang dijadikan dasar oleh
judex facti Pengadilan Tinggi untuk memperberat pidana, tapi alasan
tersebut ternyata tidak benar. Judex facti menilai kerugian yang diderita
90
saksi korban Rp.7.000 .000 , - (tujuh juta rupiah), tapi menurut saksi korban
sendiri hanya Rp.3.000 .000 ,- (tiga juta rupiah).
b. Status tanah tempat pagar did i r i k an oleh saks i korban yang di robohkan
oleh Terdakwa masih dalam sengketa antara Terdakwa dan saksi korban.
Apalagi para tetua Desa meminta kedua pihak untuk tidak melakukan
pembangunan di tanah objek sengketa.
c. Alasan kasasi Terdakwa bahwa judex facti Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi tidak mengindahkan hukum adat , khususnya larangan
pemerintah desa di tempat dan pemer intah untuk tidak membangun pagar
karena status tanah dalam sengketa perdata , nilai kerugian hanya sebesar
Rp.1.000 .000 , - (satu juta rupiah) dapat dibenarkan dan patut untuk
dikabulkan.
5. Putusan Hakim
Pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal
10 Agustus 2011, terdapat dissenting opinion oleh Majelis yang memeriksa dan
memutus perkara tersebut. Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh akan
tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai dengan Pasal 14 ayat (3) UU No.
48 tahun 2009, maka diambil suara terbanyak dengan amar putusan :
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi atau Terdakwa Leopold Tuerah
alias POL tersebut ; Membebankan Pemohon kasasi atau Terdakwa tersebut untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
91
D. Analisis Prinsip Keadilan Bermartabat dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 996/K/Pid/2010.
1. Analisis Pertimbangan Hukum Majority Opinion
Dalam pertimbangan hukum hakim majority opinion berpendapat bahwa
alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan dikarenakan judex facti tidak salah
dalam menerapkan hukum. Dimana hakim judex facti dalam memberikan
putusannya antara lain :
1. hakim menganalisis bahwa tindakan terdakwa merupakn perbuatan tindak
pidana yaitu pengerusakan sebagaimana melanggar Pasal 406 ayat (1)
KUHP
2. hakim menganalisis bahwa tindakan pidana yang dilakukan oleh terdakwa
dapat dipertanggungjawabkan dimana tidak melanggar Pasal 44 – 55
KUHP.
Sebagaimana fungsi Mahkamah Agung yang dalam Pasal 253 KUHAP
huruf a dalam pemeriksaan kasasi menentukan apakah benar suatu peraturan
hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, sehingga
yang dimaksud dengan judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum adalah
judex facti dalam Pengadilan Tinggi telah tepat dalam menerapkan unsur tindak
pidana sebagaimana yang telah didakwakan.
Selain itu, hakim majority opinion berpendapat bahwa putusan judex facti
dalam perkara tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-
undang. Sehingga permohonan kasasi yang diajukan Terdakwa harus ditolak.
Pertimbangan hukum hakim majority opinion tersebut tidak mencerminkan suatu
92
keadilan bermartabat. Hakim majority opinion hanya melihat dari kesalahan
Terdakwa melakukan pengerusakan, akan tetapi tidak melihat dari alasan
Terdakwa melakukan pengerusakan tersebut.
Bahwa memang benar Terdakwa telah melakukan pengerusakan batako
sehingga saksi korban mengalami kerugian, akan tetapi tindakan yang dilakukan
Terdakwa memiliki alasan, salah satunya karena tanah saksi korban mendirikan
pagar masih dalam sengketa perdata antara Terdakwa dan saksi korban. Hakim
dalam hal ini tidak berfikir secara mendalam maupun filsafati dalam pengambilan
keputusan sehingga hal-hal yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim
majority opinion justru diabaikan oleh hakim.
Sebagaimana hakim dalam penentuan pidana harus memperhatikan teori-
teori seperti pendekatan seni dan intitusi dimana hakim da lam memberikan
putusan harus berdasarkan pada instink atau naluri hakim yang melihat bahwa
tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa memiliki alasan yang harus
dipertimbangkan oleh hakim. Daam hal inilah hakim dissenting opinion telah
mewujudkannya dengan memperhatikan aspek lain sesuai dengan hati nuraninya.
2. Analisis Pertimbangan Hukum Dissenting Opinion
Dalam rapat musyawarah hakim terdapat dissenting opinion oleh Majelis
Hakim Agung Salman Luthan, dimana dalam pertimbangannya hakim dissenting
opinion berpendapat bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum dimana
putusan dalam Pengadilan Tinggi yang dari Pengadilan Negeri memberi pidana 5
bulan penjara (tanpa ditahan) dengan amar percobaan 10 bulan, diperberat dalam
Putusan Tinggi menjadi 5 bulan penjara. Hakim dissenting opinion berpendapat
93
bahwa walaupun ada alasan memberatkan yang dijadikan dasar oleh judex facti
Pengadilan Tinggi untuk memperberat pidana, tetapi alasan tersebut tidaklah
benar. Dimana alasan dalam Pengadilan Tinggi yang mengatakan bahwa korban
mengalami kerugian sebesar Rp 7.000.000,- (tujuh juta rupaih) tetapi dalam
persidangan saksi korban sendiri mengatakan bahwa kerugian yang diderita yaitu
Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
Selain kerugian yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan yang ada,
hakim dissenting opinion juga berpendapat bahwa status tanah yang menjadi
permasalahan dalam kasus ini dimana saksi korban mendirikan pagar dan
dirobohkan oleh Terdakwa masih dalam sengketa perdata mengenai tanah adat
antara Terdakwa dan saksi korban. Apalagi para tetua desa sebelumnya telah
meminta kedua pihak untuk tidak melakukan pembangunan di tanah objek
sengketa.
Hakim dissenting opinion berpendapat bahwa alasan kasasi Terdakwa yang
mengatakan bahwa judex facti Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak
mengindahkan hukum adat, khususnya larangan pemerintah desa ditempat dan
pemerintah kecamatan untuk tidak membangun pagar karena status tanah sedang
dalam sengketa perdata dapat dibenarkan dan patut untuk dikabulkan. Dalam hal
ini, hakim dissenting opinion tidak hanya melihat dari segi kerusakan yang
dilakukan oleh Terdakwa terhadap puing batako, akan tetapi hakim dissenting
opinion juga melihat dari tanah yang menjadi awal permasalahan kasus tersebut.
Hakim dissenting opinion berpendapat bahwa akar mulanya kerusakan
tersebut terjadi akibat saksi korban tidak mengindahkan teguran para tetua
maupun pemerintah agar tidak membangun pagar di tanah yang sedang dalam
94
sengketa perdata antara Terdakwa dan saksi korban. Oleh karena itu hakim
dissenting opinion berpendapat bahwa alasan kasasi terdakwa patut untuk
diterima sebagaimana hakim seharusnya tetap mengindahkan hukum adat.
Dalam mewujudkan keadilan bermartabat, hakim harus dapat berpikir
secara filsafati, dalam hal ini menggali kembali kasus yang dihadapinya saat
memberikan pertimbangan hukum, sehingga hakim dalam memberikan
putusannya tidak melupakan manfaat atau tujuan yang bernilai atau berkeadilan
yang fundamental dalam hal ini digali dari jiwa bangsa yaitu Pancasila. Hakim
dissenting opinion menghormati bahwa kasus yang terjadi masih berkaitan erat
dengan hukum adat. Adanya larangan dari para tetua adat maupun pemerintah
desa hingga kecamatan menjadi bagian dalam pertimbangan hakim dissenting
opinion.
Dalam pertimbangan tersebut, hakim dissenting opinion menghargai tanah
yang masih menjadi sengketa antara Terdakwa dan saksi korban sebagai wujud
untuk tetap mengindahkan hukum adat. Dimana dalam hukum adat sendiri
bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia.100 Sebagimana dalam
mewujudkan keadilan bermartabat yang bersumber dari Pancasila yang
merupakan sumber dari pikiran bangsa Indonesia, hakim harus dapat melihat
kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan berkembang dalam masyarakat
salah satunya yang berkaitan dengan adat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum
adat, hakim harus menyelami dasar-dasar pikiran yang hidup dalam masyarakat
Indonesia yaitu Pancasila.101
100
Raden Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003,
h.23. 101
Ibid.
95
Keadilan bermartabat adalah keadilan hukum dalam perspektif Pancasila
yang merupakan keadilan yang dilandasi oleh sila kedua yaitu adil dan beradap
yaitu memperlakukan manusia dengan sikap adil sesuai dengan harkat dan
martabatnya.
Pada kesimpulannya, pertimbangan hukum hakim dissenting opinion
berpendapat agar permintaan kasasi Terdakwa dikabulkan dan membatalkan judex
facti serta mengadili sendiri sependapat dengan Pengadilan Negeri yaitu
menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana pengerusakan, menjatuhkan pidana penjara selama 5 bulan dan
menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh Terdakwa kecuali apabila
kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim selama masa percobaan 10
bulan Terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Hakim dissenting
opinion telah mewujudkan keadilan bermartabat dimana hakim dissenting opinion
meletakan hukum secara proposional dengan menyatakan tindakan Terdakwa
memang terbukti melakukan pengerusakan yang menghancurkan batako sehingga
menimbulkan kerugian akan tetapi, perbuatan Terdakwa juga didasari atas
kenyataan bahwa tanah yang didirikan masih dalam kasus sengketa perdata antara
Terdakwa dan saksi korban maupun memperhatikan hukum adat. Oleh karena itu,
hakim dissenting opinion dalam mewujudkan keadilan bermartabat menyatakan
agar hukuman pidana yang diberikan oleh Terdakwa tidak perlu dijalani kecuali
dalam masa percobaan 10 bulan Terdakwa melakukan perbuatan yang dapat
dipidana.