Download - Asma Bronkial.doc
ASMA BRONKIAL (4A)
I. Definisi
Kata “Asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Asma
Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon trakea
dan bronkus terhadap bermacam-macam stimulus, ditandai dengan penyempitan
bronkus atau bronkiolus dan berakibat sesak nafas. Penyempitan bronkus
disebabkan oleh kontraksi otot polos, pembengkakan dinding bronkus dan sekresi
yang berlebihan dari klenjar-kelenjar di mukosa bronkus. Atau lebih sederhana lagi
Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas
yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar
tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran
pernafasan secara menyeluruh (Dina and Mahdi, 1984; Angela et al., 2002).
II. Insidensi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
Negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat
dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit
dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut
disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang
direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA) (Rengganis, 2008).
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi
5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara
Tiwi Qira Amalia0907101010099
3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius (Rengganis, 2008).
Rasio jenis kelamin pada anak-anak sekitar 7 tahun menunjukkan bahwa anak
laki-laki satu setengah sampai dua kali lebih sering terkena asma daripada anak
perempuan, tetapi selama masa remajanya keadaan laki-laku lebih baik daripada
anak perempuan dan pada saat mereka mencapai masa dewasa insidennya menjadi
hampir sama (Rees and Price, 1998).
III. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkial (Tanjung, 2003).
a. Faktor predisposisi
• Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika
terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya
juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
• Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Seperti: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Seperti : makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
Seperti : perhiasan, logam dan jam tangan
• Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
• Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
• Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.
Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
• Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
IV. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang
dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam
jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama
melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi
fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24
jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi
(Rengganis, 2008).
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik
(Rengganis, 2008).
V. Klasifikasi Asma
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala
eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya (Rengganis, 2008).
Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan
pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama
dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting
untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor
seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam
hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan
sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara
asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat
ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.
Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma
yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.
VI. Diagnosa
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa
sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru
digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor
risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut
derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu
penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk
dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan
penunjang (Rengganis, 2008).
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi
lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa,
terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau
debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur
kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti
parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang
merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada
beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis
asma dirangkum dalam Tabel 2.
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan
fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan
bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan
bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada
auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif
dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan
napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat
berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar,
terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam
alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan
tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan
dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan
metakolin.
VII. Penanganan
Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal,
bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi
reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka
kematian akibat asma. Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka
pendek dapat menyebabkan kematian, sedangkan jangka panjang dapat
mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun.
Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat
yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien
asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar,
pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam
rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar
rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin
dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma. Olah raga dan
peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi
dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma (Meiyanti, 2000).
Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala
dan obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu reliever (obat pereda) dan controller (obat pengendali).
Reliever adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi
saluran napas. Controller adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma
yang persisten. Obat yang termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2,
antikolinergik, teofilin, dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah
bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2 mempunyai
efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler, dan mencegah pelepasan
mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator
yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat mencegah respon
lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat agonis beta-2 seperti
salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin, merupakan obat
golongan simpatomimetik. Efek samping obat golongan agonis beta-2 dapat
berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi,
takikardi dan sakit kepala. Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya
diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari
bronkodilator (Meiyanti, 2000).
Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya
ipratropium bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek
menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan
menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa
kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan
dengan kerja obat agonis beta- 2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium
bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum
memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk
penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita
yang disertai dengan bronkitis yang kronis (Meiyanti, 2000).
Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat
bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena
efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada
orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang
ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenai sistem
gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang.
Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis
tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardi dan aritmia, stimulasi
sistem saraf pusat (Meiyanti, 2000).
Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi
seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan
antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat
dapat juga digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah
bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita
asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap
lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru natrium kromoglikat
menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai
tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi
belum mendapat hasil yang optimal (Meiyanti, 2000).
Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma.,
biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik
seperti rinitis alergi. Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian
penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma (Meiyanti,
2000).
Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid
menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler,
menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel
inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin.
Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi
oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian
steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid
peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis
tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari. Pemberian
kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna
seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis, peningkatan kadar
gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi, moonface, retensi
natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom , bullneck dan yang paling
ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal (Meiyanti, 2000).
Efek samping timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama,
maka lebih baik diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison,
hidrokortison, atau metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral,
kemudian diturunkan secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison
diberikan 4 mg/kgBB secara bolus diikuti 3mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon
diberikan 50-100 mg/6 jam secara intravena. Sekarang ini tersedia kortikosteroid
dalam bentuk inhalasi seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi
untuk orang dewasa bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600
mikrogram /hari dibagi dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200-
400 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis. Pemberian kortikosteroid secara
inhalasi lebih baik dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi
obat yang tinggi pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan
bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik
yang lebih kecil. Penelitian dari Agertoft dan Pedersen menunjukkan bahwa
pemakaian budesonide tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid
sistemik pada penderita asma kronik yang berat. Efek samping yang sering
ditimbulkan dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi
paru, dan kerusakan mukosa. Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan
bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa
penelitian diketahui bahwa penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak
menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan
toleransi glukosa (Meiyanti, 2000).
Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping,
maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan
pemberian obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung
pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping
yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi
merupakan pilihan yang lebih baik (Meiyanti, 2000).
VIII. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Emfisema
5. Gagal nafas
6. Deformitas thoraks (Tanjung, 2003).
IX. Pencegahan
A. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya
asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap
rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat
mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun
bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan
hipotesis (Rengganis, 2008).
B. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen
(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen
outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan
penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap
rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat
memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi
terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk
dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan
outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya
(Rengganis, 2008).
X. Daftar Pustaka
Dina, H and Mahdi, H. 1984. Pemakaian Dermatophagoides Pteronyssinus Sebagai pendekatan Tunggal guna Pembuktian Atopi pada Asma Bronkial. Universitas Airlangga Press, Surabaya.
Angela et al. 2002. Mengenai Mencegah dan Mengatas Asma pada Anak Plus Panduan Senam Asma. Puspa Swara, Jakarta.
Rees, J and Price, J. 1998. Petunjuk Penting Asma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Tanjung, D. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. USU Digital Library.
Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon, 58(11), 444-451.
Meiyanti, M. 2000. Perkembangan pathogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. J. Kedokt Trisakti,19(3), 125-132.