Download - Anak Manusia Korban Politik
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
1/121
1
Anak Manusia Korban Politik
Muhammad Dafiq Saib, St. Lembang Alam
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
2/121
2
(1) Kawan LamaWednesday, 03 September 2008
Marwan. Nama itu akhirnya muncul dari balik otak kecilku. Sudah berbulan-bulan aku mencoba
mengingatnya. Nama pria di toko buku di komplek pertokoan Pasar Senen. Secara tidak sengajaaku bersirobok pandang dengannya kira-kira tiga bulan yang lalu. Alam bawah sadarku
mengatakan bahwa aku kenal dengan orang ini. Dia duduk di belakang meja kasir ketika itu.
Ketika aku membayar harga beberapa buah buku yang aku beli, dia mengembalikan uangkembalian tanpa berbicara banyak selain ucapan pendek terima kasih. Karena di belakangku ada
antrian pembeli yang juga akan membayar belanjaan mereka. Aku memutar otak mengingat-
ingat sepanjang perjalanan pulang. Ah, aku yakin aku kenal orang itu. Tapi siapa?
Sampai malam hari aku mencoba mencari di antara ratusan bahkan ribuan memori dalam otakku.
Tetap tak ketemu.
Hampir dua bulan kemudian aku mampir lagi ke toko itu. Dia masih disitu, duduk di bangkukasir. Aku sudah membulatkan tekad ingin bertanya kepadanya di saat membayar nanti. Tapi
tidak jadi. Karena pembeli yang membayar di depanku, yang rupanya kenalannya, berbicaradalam bahasa Jawa kepadanya. Dan dia berbicara dalam bahasa Jawa yang cukup medok
melayani pembeli di depanku itu. Ah, aku tidak kenal orang Jawa yang bertampang seperti dia.
Jadi aku tidak jadi bertanya dan berusaha melupakannya. Berarti dia mirip dengan seseorangyang pernah aku kenal. Meski siapa orang yang mirip dia itu tetap tidak muncul di otakku. Aku
berusaha melupakannya.
Sebulan kemudian aku kembali lagi berbelanja buku di toko itu. Kali ini berdua dengan istriku.
Kami memilih buku-buku agama sesuai selera dan kebutuhan kami di toko yang luas itu. Agak
sepi ketika kami mendekat ke meja kasir untuk membayar buku-buku belanjaan kami. Dari jauhdia tersenyum memandangku. Aku yakin dia mulai mengenalku sesudah aku beberapa kalimampir berbelanja di toko ini. Ketika kami telah berhadap-hadapan dia menyapaku ramah dan
aku benar-benar kaget.
Ternyata kau tetap kutu buku Safri, ujarnya.
Aku melotot memandangnya. Dia mengenalku. Berarti orang ini memang seseorang yang aku
kenal. Tapi belum juga keluar namanya dari dalam otakku. Siapa gerangan dia?
Pelupa benar kamu. Tidak ingat lagi kamu denganku. Bagaimana kabar si Rosmiar? tanyanya
tersenyum.
Kau....kau.... si Marwan? spontan nama itu keluar akhirnya, begitu dia menyebut si Rosmiar.
Kami bersalaman.
Jadi kau si Marwan? Masya Allah.... Pecah kepalaku mengingat-ingat namamu sejak berbulan
yang lalu. Sejak pertama kali melihatmu disini, aku yakin bahwa aku mengenalmu. Tapi siapa
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
3/121
3
dan entah dimana kita pernah bertemu lupa aku. Hilang sama sekali dari ingatanku, aku lega
setelah kepenasarananku baru saja lepas sumbatnya.
Mungkin karena janggutku ini. Tentu ini orang rumahmu ya ? Kami ini dulu sekelas, ibu. Di
SMP di Bukit Tinggi, tahun 66, 42 tahun yang lalu, Marwan menyalami dan menyapa istriku.
Jadi kau mengenalku sejak aku pertama kali masuk ke toko ini ? tanyaku penasaran.
Ya, sejak pertama kali kau datang berbelanja dan membayar harga bukumu disini. Seingatku itusekitar tiga bulan yang lalu, jawabnya.
Kenapa kau diam saja ketika itu ?
He..he..he.., akupun mula-mula ragu-ragu. Tapi ketika kau datang lagi dan aku melihat goretan
luka kecil di pelipismu ini, aku sudah yakin kau si Safri. Ketika itu aku ingin menyapamu, tapikelihatannya kau terburu-buru.
Goretan luka kecil di pelipisku yang dia maksud memang sangat istimewa. Karena itu terjadiketika kami berkelahi suatu hari ketika itu. Tinjunya yang memakai cincin besi mampir di
pelipisku dan meninggalkan luka. Aku mengamuk sesudah itu dan menyerangnya membabi buta
dan dia akhirnya mengaku kalah.
Sudah lama kau disini?
Ini tokomu? tanyaku.
Ya, ini tokoku. Sudah dua puluh tahun lebih, jawabnya.
Alhamdulillah. Cukup maju kelihatannya.
Ya, seperti yang kau lihat. Begini adanya, jawabnya.
Dimana kau tinggal? Sudah berapa orang anak? tanyaku dengan pertanyaan klise.
Aku tinggal di Pondok Kopi. Anak bertiga, masih kecil-kecil. Ada yang masih di kelas satu SD.Kau sendiri? Orang mana ibu ini? Berapa orang pula anak? dia balas bertanya.
Kami tinggal di Pondok Kelapa. Tidak terlalu jauh rupanya tempat tinggal kita. D ia ini orang
Solok. Anak kami berempat. Yang sulung sudah tamat dari kedokteran UI dan yang paling kecilkelas tiga SMA, jawabku.
Berapa tahun sejak kita tamat di SMP? 42 tahun ya? Huh, cepatnya waktu berlalu. Sekarang kita
sudah menjelang tua. Ya, bagaimana kabar si Rosmiar? Masih adakah kau berjumpa
dengannya? ujarnya.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
4/121
4
Si Rosmiar pomlemu dulu itu? Tidak pernah aku dengar beritanya. Entah dimana dia sekarang.
Kok bukannya kamu yang lebih tahu dimana keberadaannya ?
He..he..he.. Dia bukan pomleku. Aku memang tertarik dengannya ketika itu. Ah, kemana
melanturnya cerita kita ini. Maaf, ibu, Marwan menoleh kepada istriku.
Panggil saja saya Desi, jawab istriku. Teruskanlah bernostalgia. Sesudah sekian lama berpisah
tentu memang banyak cerita lama yang terlupakan dan sekarang muncul kembali, istriku
menjawab bijak.
Kami dulu sekelas. Sama-sama main voli, sama-sama ikut pramuka, pergi jambore ke SawahLunto. Pernah berkelahi, bertinju. Huh, gara-gara anak gadis teman sekolah kala itu. Dan setamat
SMP kami sama-sama kehilangan kontak, Marwan meneruskan cerita.
Ya, kami pernah berkelahi. Tapi bukan memperebutkan anak gadis untuk jadi pomle. SiMarwan salah sangka ketika itu, merasa aku mempengaruhi si Rosmiar agar menolak cintanya.
Padahal aku tidak ada urusan tentang itu. Rosmiar adalah adik kelas kami teman sekampungku,aku meneruskan sedikit ceritanya, untuk sedikit lebih memperjelas cerita nostalgia itu bagiistriku.
Bagaimana kalau aku ajak kalian berdua makan siang, biar kita bisa berbincang-bincang lebihlama? Kita makan nasi Kapau di lantai bawah, ajak Marwan mengalih pembicaraan.
Wah, kami memang berniat akan singgah di kedai nasi Kapau itu pula. Tapi sesudah shalat
zuhur. Aku tidak akan menolak tawaranmu, jawabku.
Cocok sekali kalau begitu. Sepuluh menit lagi masuk waktu zuhur. Kita shalat di mesjid di atas.
Sesudah shalat kita pergi makan. Baik, kita sambung cerita sambil menunggu waktu. Dimanakau bekerja? tanyanya.
Aku sudah pensiun. Baru saja pensiun dari sebuah perusahaan perminyakan asing. Sekarang
menikmati masa-masa santai. Sampai bosan, nanti kalau perlu dicari lagi kerja, jawabku.
Hebat, kau. Dimana terakhir kau bersekolah dulu ? tanyanya.
Di ITB. Dan sejak lulus dari sana aku bekerja di beberapa perusahaan. Di perusahaan terakhir
sejak lima belas tahun terakhir, jawabku.
Aku ingat kau dulu selalu juara kelas dan kesayangan guru-guru, tambahnya.
Dan kau? Dari SMP kita dulu itu kemana kau melanjutkan sekolah ? tanyaku.
Ke SMA di Surabaya. Ikut dengan pak etekku. Aku di Surabaya sampai pertengahan tahun tujuh
puluhan. Sempat pula aku mencoba jadi orang kantoran beberapa tahun. Tapi akhirnya ternyata
urusan dagang yang lebih cocok untukku, jawabnya.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
5/121
5
Sering kau pulang ke kampung kita? tanyaku pula.
Ada jugalah. Bila-bila perlu. Kau sendiri bagaimana ? Tentu lebih sering agaknya ya, karena siDesi kan orang awak juga, dia bertanya dan menebak.
Aku juga pulang kampung bila-bila perlu. Kadang-kadang sekali setahun, kadang-kadang sekalidua tahun. Oh, ya. Kau sendiri, orang mana orang rumah ? tanyaku.
Sekarang orang Sunda, jawabnya.
Hei, apa katamu? Sekarang? Berarti dulu ada bukan yang sekarang ? tanyaku menyelidik.
Ada. Panjanglah ceritanya. Yang pasti bukan si Rosmiar...he..he..he, jawabnya terkekeh.
Dan anak-anak yang kau katakan tadi? Dari istri yang dulu berapa orang? tanyaku pula.
Banyak betul selidikmu. Baiklah, yang pertama itu tidak beranak. Kami bercerai. Aku lamamenduda sesudah itu, ada sekitar lima tahun. Baru menikah lagi dengan yang sekarang. Denganyang ini dapat tiga orang anak, jawabnya.
Anak buah Marwan sudah mulai menutup toko buku itu. Rupanya hari Minggu begini merekahanya buka setengah hari. Kami segera menuju ke mesjid di lantai atas untuk shalat.
Ternyata cukup ramai jamaah mesjid di komplek pasar ini. Berbaur antara para pedagang danpengunjung yang datang berbelanja. Sesudah shalat sunat qabliyah, dan iqamat
dikumandangkan, Marwan maju menjadi imam shalat. Rupanya dia memang orang yang
disegani disini dan dia pula yang dijadikan imam shalat rawatib, seperti yang diceritakannya
kepadaku kemudian.
Seselesai shalat dan shalat sunat, kami masih menunggu dulu sebentar karena ada beberapaorang yang datang berunding dengan Marwan. Kedengaran mereka membahas rencana
mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana alam. Barulah sesudah itu kami pergi makan
siang di kedai nasi Kapau.
Sambil makan kami sambung lagi obrolan. Marwan yang asyik betul bercerita.
Kami ini dulu berteman sangat baik, Desi. Safri ini orang pintar, aku senang berteman
dengannya. Kami pemain voli, pemain sepak bola. Aku pandai bergitar dan Safri pandai
menyanyi. Ada acara di kelas kami waktu itu yang kami sebut main presiden-presidenan. Mainoper-operan angka. Setiap kami mempunyai nomor urut dalam angka-angka. Permainan itudipimpin ketua kelas yang disebut presiden. Dia yang mengawali memanggilkan angka.
Misalnya presiden tujuh. Si nomor tujuh harus mengoper ke angka yang ada kelipatan tujuh,
misalnya dia oper , tujuh empat belas. Si empat belas boleh mengoper ke angka berapa 14 itubisa dibagi atau dikalikan. Siapa yang lupa dengan angkanya, atau tidak bisa melanjutkan
angkanya kena hukum, harus menyanyi ke depan kelas. Si Safri jarang kena hukum. Tapi kalau
dia lagi ingin menyanyi, ketika dipanggil nomornya sengaja disalah-salahkannya. Misalnya dia
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
6/121
6
angka lima, lalu disebutnya lima tujuh belas. Berarti dia keliru karena angka tujuh belas tidak
ada hubungan dengan angka lima. Diapun dihukum dan maju ke depan. Lagunya Anak Salido
atau Lintuah. Aku yang mengiringi dengan gitar. Suaranya merdu mendayu. Kalau si Safrimenyanyi, anak dari kelas lain yang tidak ada gurunya pasti datang mengintip. Terutama anak-
anak perempuan, Marwan bercerita panjang.
Ah, masih ingat saja kau cerita jaman dulu itu. Mana pula ada anak-anak perempuan datang
menonton. Nanti cemburu pula istriku, jawabku bercanda.
Tapi kenapa sampai pernah berkelahi, kalau begitu? tanya istriku.
Begini ceritanya. Aku jatuh hati kepada si Rosmiar yang dari tadi kami sebut -sebut namanya,
maklumlah, kan lagi masa pancaroba ketika itu. Tapi si Rosmiar rupanya tidak suka denganku,
meskipun dia itu jinak-jinak merpati. Sebenarnya, kalaupun kami berpomle-pomlean ketika itu,
belumlah ada diantara kami yang berani berbuat apa-apa. Paling-paling disamping bersurat-suratan, sedikit berbincang di saat keluar bermain. Aku beberapa kali menulis surat untuknya,
pernah dibalasnya sekali dan sesudah itu tidak pernah lagi. Kalau aku ingin mengajaknyaberbincang-bincang ketika keluar bermain dia selalu menghindar. Aku akhirnya agak mengkal
dan aku katakan bahwa dia sombong dan mati kerancakan. Diapun marah. Entah dari manadatang ceritanya aku dengar dia pernah mengatakan, aku tidak mau dengan si Marwan, anak
orang PKI itu, begitu katanya. Aku datangi dia, kali ini untuk marah -marah. Aku tanya, apa
benar dia mengatakan seperti itu. Malah dia berbalik dan mengatakan, semua orang tahu kalau daMarwan anak orang PKI, aku tahu, da Safri tahu, semua orang tahu, katanya. Jadi si Safri yang
mengatakan padamu bahwa aku anak orang PKI, aku desak dia. Ya, da Safri juga tahu, katanya.
Aku datangi Safri dengan perasaan marah. Aku langsung bercarut kepadanya, memarahinya
karena merasa cintaku ditolak si Rosmiar karena si Safri ikut merendahkan diriku dimatanya.
Safri membantah bahwa dia pernah mengatakan hal itu, tapi aku tidak percaya dan terusmendesak, bukankah begitu Safri? ujar Marwan bersemangat.
Aku yang sedang menikmati gulai tunjang mengangguk mengiyakan.
Aku masih marah-marah dan menantangnya berkelahi. Kalau kau benar-benar jantan, kita
selesaikan urusan ini dengan bertinju, desakku. Safri masih menghindar dan mengatakan, diatidak pernah mengatakan yang aku tuduhkan. Dia tidak ada urusan soal aku jatuh hati kepada si
Rosmiar, karena si Rosmiar bukanlah pomlenya, katanya. Tapi karena aku desak-desak juga
berkelahi, entah setan dari mana yang merasuki aku ketika itu, akhirnya dia naik pasang pula dan
menerima tantanganku.
Safri adalah yang dituakan dari kampungnya, dan aku adalah yang dituakan pula dari
kampungku. Sebelum kami berkelahi, para ketua setiap kampung (murid sekolah SMP berasaldari banyak kampung di sekitar sekolah itu, dan kami datang kesekolah berkafilah-kafilah)
diberitahu untuk jadi saksi, agar perkelahian ini tidak berubah menjadi perkelahian massal antar
kampung. Sehabis jam pelajaran, siang hari itu kami berkumpul di sawah yang agak jauh darisekolah.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
7/121
7
Dan kami berkelahi secara jantan. Bertinju dengan aturan main yang disepakati ketua-ketua
kafilah, yaitu tidak boleh main keroyokan, tidak menggunakan alat alias dengan tangan terbuka.
Aku sehari-hari memakai sebuah cincin besi putih. Sebenarnya kalau Safri menghendaki, diaboleh memprotes agar aku melepas cincin itu, tapi dia tidak melakukannya.
Dalam perkelahian itu, tinjuku mengenai pelipis Safri sehingga berdarah. Darah mengucur darikeningnya. Tapi karena berdarah itu kekuatan aslinya keluar. Aku diserangnya habis-habisan.
Dan ketika itu timbul rasa bersalahku, karena sudah melukainya. Konsentrasi berkelahiku buyar.
Dan aku akhirnya dikalahkannya, Marwan mengakhiri cerita panjangnya.
Semua yang diceritakannya benar dan aku tidak membantahnya sedikitpun.
Terus bagaimana? tanya istriku masih penasaran.
Ketika aku tidak memberikan perlawanan lagi, selain menahan serangan dan tinjunya, Safriberhenti menyerangku. Kami dipisahkan oleh ketua-ketua kafilah. Luka Safri diobatinya dengan
daun ubi kayu yang dikunyahnya sendiri. Aku menyalaminya dan minta maaf kepadanya.Beberapa hari kami saling diam sesudah itu tapi kemudian berbaik kembali.
Seru juga ceritanya. Anaklaki-laki nggak dulu nggak sekarang rupanya memang hobi berantam.
Dan si Rosmiar tidak tahu?
Tentu saja dia tahu. Dan aku rasa dia sebenarnya juga kenai hati kepadamu, bukankah begituSafri ? tanya Marwan.
Entahlah. Tapi memang banyak yang kenai hati kepadaku ketika itu he..he..he.., jawabku
sekenanya.
Rupanya play boy juga beliau ini kala itu, ya da Marwan ? tanya istriku tersipu.
Dia memang bintang. Benar itu. Pintar, atletis, biduan, Marwan memuji-muji.
Jadi banyak pomle dong uda ketika itu, lanjut istriku.
Kalau yang dimaksud berpomle adalah berbincang-bincang, ngobrol-ngobrol, memang banyakpomle uda. Anak-anak perempuan itu selalu mati kerancakan kalau sudah dekat uda, jawabku
GR.
Kalau yang benar-benar pomle? desak istriku. Entah kenapa bersemangat benar dia bertanya.
Kalau yang benar-benar pomle uda ganti-ganti saja, he..he..he... Pekan ini si Zuniar, pekan
depan si Ernawati, si Astuti dan seterusnya, jawabku.
Dan yang dia sebut itu bintang-bintang semua, Marwan menambahbumbu.
Iyalah. Bintang untuk bintang ha..ha..ha, jawabku.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
8/121
8
Panjang cerita kami siang itu. Cerita yang mengalir begitu saja. Marwan yang membayarkan
makan siang kami karena dia merasa jadi tuan rumah.
Marwan, datanglah ke rumah kami kapan saja. Kenalkan pulalah istrimu kepada kami. Kita
sambung cerita masa remaja kita disana, ajakku sebelum kami berpisah. Aku berikan nomor
telepon dan alamat lengkap rumah kami kepadanya.
Insya Allah. Ingin juga aku berbagi cerita yang lain denganmu. Sebenarnya banyak cerita yang
ingin aku sampaikan kepadamu. Sekedar untuk melepaskan isi hati. Akan aku cari nanti alamatrumah kalian ini. Dan akan aku telepon sebelum kami datang nanti, jawabnya.
Kami berpisah siang itu. Masih sempat Marwan mengingatkan. Ceritakanlah apa saja tentang
aku yang kau ketahui kepada Desi. Engkau tidak bergunjing untuk itu. Mudah-mudahan ada
maknanya cerita itu baginya, ujarnya sebelum kami berpisah.
(2) Nostalgia Masa RemajaSunday, 14 September 2008
Dalam perjalanan pulang aku bercerita panjang kepada istriku. Menyambung yang sudahdiceritakan Marwan sebelumnya. Istriku senang pula mendengar cerita pengalaman remajaku itu.
Kami dulu bersekolah di SMP kecamatan. Murid-murid sekolah itu berasal dari berbagai
kampung di sekitarnya. Kami datang ke sekolah berombongan-rombongan, berkafilah-kafilah.Ada kampung yang ramai anggota rombongannya tapi ada juga yang sedikit, terdiri dari
beberapa orang saja. Rombongan dari kampung kami agak lumayan banyak, mungkin sekitar
tiga puluhan orang untuk semua tingkatan kelas. Dari setiap kafilah pasti ada yang dituakan atau
yang jadi pemimpin, biasanya murid kelas tiga dan ini berganti setiap tahun sebab yang lebihsenior berangkat meninggalkan sekolah. Murid sekolah itu lumayan banyak. Masing-masing
kelas dibagi menjadi lima ruangan, dari kelasasampai kelas E.
Pergaulan di sekolah itu cukup menyenangkan. Kami punya banyak sekali kawan. Meski kami
adalah anak-anak orang kampung tapi kami juga tidak kalah aksi. Di sekolah kami mempunyai
banyak kegiatan baik olah raga maupun kesenian. Tentu saja ada pula kegiatan pramuka. Kamilatihan pramuka sekali seminggu, tiap hari Sabtu sore. Itu adalah arena kumpul-kumpul dan
bersenang-senang, tempat kami belajar menjadi lebih dewasa. Pada saat acara kegiatan pramuka,
disamping latihan bermacam-macam keterampilan, kami juga latihan bernyanyi-nyanyi, bermain
gitar. Ujung-ujungnya kegiatan pramuka jadi arena tempat saling jatuh hati. Mulailah ada yangberpomle-pomlean. Biasanya kalau sudah begitu diikuti dengan bersurat-suratan.
Kami pernah ikut jambore pramuka se Sumatera Barat di Sawah Lunto. Tentu saja tidak semuaanggota pramuka ikut. Yang ikut adalah anggota-anggota pilihan. Aku dan Marwan ikut dalam
rombongan itu. Kami berkemah di Muaro Kalaban dekat kota Sawah Lunto selama lima hari
ketika itu. Banyak kenangan waktu kami ikut berjambore ini. Aku tidak akan pernah lupa ketikaregu kami jadi juara waktu diadakan acara penjelajahan malam yang diikuti oleh puluhan
perwakilan berbagai sekolah. Karena kami umumnya anak-anak kampung, kami lebih berani
http://void%280%29/http://void%280%29/http://void%280%29/http://void%280%29/http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
9/121
9
dalam berjalan di tengah gelapnya suasana kampung di sekitar arena perkemahan yang waktu itu
tidak ada penerangan listrik. Bahkan ada diantara rombongan kami yang diam-diam justru
menakut-nakuti anak-anak dari rombongan lain ketika mereka melalui tempat-tempat gelap.Lawan-lawan kami yang kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah di kota, yang sudah
dimanjakan lampu listrik umumnya sangat ketakutan. Dan kami juga juara paduan suara. Dan
disanapun aku jadi bintang karena aku adalah ketua grup paduan suara rombongan kami.
Marwan dan aku juga pemain bola kaki sekolah. Pernah kami bertanding ke sekolah lain yang
berakhir dengan kericuhan. Kami menang dalam pertandingan itu. Pemain lawan mulai bermain
kasar. Kaki Marwan diserimpet hingga dia jatuh terjungkal. Dia tidak segera membalas. Padasaat lain terjadi perebutan bola. Marwan yang berada dekat anak yang menyerimpetnya tadi,
dalam duel perebutan bola dengan indah menyikut kepala anak itu. Dalam permainan bola hal itu
bisa terlihat sebagai ketidak sengajaan. Tapi rupanya anak itu tidak mau menerima. Marwan
dikejarnya dan langsung dipukulnya. Marwan tentu saja melawan dan terjadi perkelahian singkatyang segera dilerai wasit.
Seusai pertandingan, dan ketika akan berangkat pulang, kami sudah dikepung oleh murid-muridsekolah itu yang badannya besar-besar. Kami ada sekitar dua puluhan orang sedang mereka yang
datang pada saat itu sedikit lebih banyak. Anak yang tadi berkelahi dengan Marwan langsungmendekatinya sambil bercarut dan mengajak berkelahi. Dia memegang sebuah tongkat kayu.Aku yang berada di samping anak itu, merampas kayu yang dipegangnya sambil mengatakan
kalau mau berkelahi silahkan pakai tangan kosong. Temannya yang lain langsung menerjangku
dan kami langsung terlibat dalam perkelahian. Kamipun akhirnya terlibat dalam tawuran massal.Berdebuk-debuk bunyi tinju dan sepakan kaki. Kami yang dua puluh orang kompak dalam
perkelahian itu saling melindungi dan saling menyerang. Ada sekitar lima menit lamanya ketika
akhirnya guru-guru sekolah itu datang melerai. Guru-guru itu bertanya apa yang terjadi dan
kenapa kami berkelahi. Aku menjelaskan bahwa kami tiba-tiba diserang dan kami melawan. Pakguru itu menanyai murid-muridnya kenapa mereka menyerang pemain tamu. Kalau kalah main
bola ya kalah saja, kenapa mesti berkelahi, katanya. Pemain lawan itu tidak ada yang bisa
memberikan jawaban kenapa mereka menyerang kami. Untunglah guru mereka cukup adil dan
menyalahkan murid-muridnya karena berkelahi dengan tamu. Kami disuruh pulang dan murid-murid sekolah itu diancam kalau masih berkelahi lagi akan dihukum di sekolah.
Ketika aku baru duduk dikelas tiga, terjadi peristiwa pemberontakan PKI di bulan Septembertahun 1965. Meski hampir tidak ada dampak langsung dari peristiwa berdarah itu di daerah kami,
ada juga pengaruhnya kepada kami. Kami ikut-ikutan jadi anggota Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia. Dan kami disuruh guru untuk bertugas ronda malam menjaga sekolah secara
bergiliran. Hal yang tentu saja tidak akan kami tolak. Pada awal-awalnya ada bapak guru ataupegawai Tata Usaha yang ikut ronda bersama kami. Suasana masih lumayan tertib, meski sudah
ada yang berani merokok saat jaga malam itu. Tentu saja ketika pak guru sedang tidak dekat
kami. Setelah beberapa minggu, tidak ada lagi guru yang menemani. Kami jadi bebas danleluasa. Acara ronda malam itu sedikit demi sedikit berubah menjadi pusat latihan jadi preman
kecil-kecilan. Kami belajar main kartu koa sesama murid. Ada juga akhir-akhirnya yang benar-
benar terlibat dalam perjudian kecil-kecilan. Sampai suatu hari pak kepala sekolah yang entahdapat laporan dari siapa menemukan kartu koa yang kami sembunyikan. Dan beliau juga
menemukan banyak bekas sundutan api rokok di dinding ruangan posko ronda, bekas tempat
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
10/121
10
mematikan api rokok. Kami, ketua-ketua kelas dikumpulkan dan dimarahi. Dan sejak itu ronda
malam tidak diadakan lagi. Karena sebenarnya memang tidak ada gunanya.
Tapi di kampung masing-masing kami masih melanjutkan kegiatan ronda malam di hari Sabtu
sore. Tentu saja dengan kegiatan yang mirip. Bergerombol-gerombol hilir mudik dalam
kampung bersenjatakan pentungan kayu dan berbekal lampu senter. Kalau sudah capek merondakami berkumpul untuk ngobrol. Lama kelamaan ada yang mengajak main kartu koa pula. Kami
mulai pandai merokok dan main kartu serta bahampok kecil-kecilan.
Istriku mendengar cerita panjang lebar itu dengan penuh perhatian sepanjang perjalanan kami
menuju rumah. Dia menyoalku dengan pertanyaan-pertanyaan.
Dan uda jadi ikut-ikutan pandai main kartu dan merokok kala itu? tanyanya.
Ya, bagaimana tidak. Karena baik di sekolah maupun di kampung, uda ketika itu senang
bergaul. Dan pergaulan kami memang seperti itu. Semua yang biasa bergaul pasti kena imbas.Tapi tidak lama sesudah itu, ke kampung kami datang beberapa orang anggota Pelajar IslamIndonesia, disingkat PII, dari Bukit Tinggi. Mereka ingin merekrut anak-anak muda di kampung
kami menjadi anggota. Dan bagi yang berminat diharuskan menjalani masa pelatihan selama
seminggu, jawabku.
Aku termasuk yang berminat mengikuti pelatihan PII itu. Kami jalani masa pelatihan itu di saat
libur sekolah, bertempat di ruangan sekolah dasar di kampung kami. Isinya adalah latihanberorganisasi secara islami. Kami diajar dan dilatih bagaimana cara berdiskusi, berdebat,
berpidato bahkan berkhutbah. Tentu saja acara latihan itu sangat menarik bagiku. Programnya
sangat intensif dan dilaksanakan sejak dari pagi, siang, malam, bahkan sampai tengah malam.
Para pelatih itu pintar-pintar membawa acara, sehingga kami senang dan betah berada dalamacara itu. Sayang waktunya singkat untuk mempelajari materi latihan yang cukup banyak. Tapi
paling tidak kepada kami sudah diajarkan dasar-dasar pengetahuan untuk berorganisasi dalam
PII.
Dan sesudah itu akupun menjadi anggota PII. Jadi anggota PII ini berhasil menetralisir latihan
kepremanan yang didapatkan selama mengikuti acara ronda malam.
Di kampung aku memang aktif kemana-mana. Termasuk di mesjid tentu saja. Apa lagi sejak jadi
anggota PII. Kami menjadi anak-anak muda yang alim.
Tahun 66 itu terjadi pergeseran tahun ajaran. Karena di kota-kota besar kegiatan sekolah banyak
terganggu oleh kegiatan-kegiatan di luar sekolah, untuk berdemo. Masa belajar yang tadinya
berakhir di bulan Julli di geser ke bulan Desember. Itu terjadi di seluruh Indonesia. Tanggal 1Agustus seharusnya kami sudah duduk di bangku SMA tapi karena penundaan masa tahun ajaran
kami masih tetap saja di SMP. Kami tidak terlalu perduli dengan hal itu. Dan kami tetap berada
dalam kesibukan rutin sekolah baik yang perlu maupun yang tidak perlu. Kami tetap mengikutilatihan-latihan olah raga dan kegiatan pramuka seperti biasa.
http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
11/121
11
Tapi, ngomong-ngomong. Apa benar uda ikut mengatakan bahwa da Marwan itu anak orang
PKI? Apa benar dia anak orang PKI? tanya istriku.
Sesudah peristiwa Gestapu, memang banyak orang curiga kepada orang-orang yang dikenal
sebagai anggota PKI. Sebelum peristiwa itupun sebenarnya kami mendengar siapa yang anggota
PKI siapa yang bersimpati kepada PKI. Bahkan di antara guru kami ada yang terang-teranganmengaku sebagai anggota PKI. Kami tidak mengerti apa-apa dan tidak perduli dengan semua itu.
Dan dari mulut ke mulut memang kami dengar bahwa ayah si Marwan anggota PKI. Ketika
kemudian PKI diketahui sebagai dalang peristiwa Gestapu, banyak orang yang tadinya mengakuPKI itu menghilang, bersembunyi entah kemana. Termasuk guru kami itu. Orang jadi takut
diketahui sebagai anggota PKI. Dan Marwan pasti terhina ketika kePKIan ayahnya disebut-
sebut, aku mencoba menjelaskan.
Dan benarkah uda menghalangi si Rosmiar jadi pomle da Marwan karena itu ?
Jelas tidak. Uda tidak ada urusan dengan itu. Dan Marwan adalah teman baik uda. Seperti yang
diceritakannya tadi, kami sebenarnya adalah sahabat baik. Dan uda tidak kenal siapa ayahnya,bagaimana mungkin uda akan menjelek-jelek orang yang tidak dikenal. Entah kenapa si Rosmiar
menyebut pula nama uda ketika dia menolak si Marwan yang jatuh hati kepadanya. Dan entahkenapa Marwan mengajak uda berkelahi gara-gara itu.
Dan sejak berkelahi tidak lagi jadi sahabat karib?
Hanya untuk sementara waktu sesudah itu. Tapi lama kelamaan kami berbaik lagi. Bahkansesudah kami berkelahi massal sesudah main bola, kami jadi bersahabat baik lagi. Dia sangat
menghargai pembelaan uda kepadanya ketika berkelahi massal itu.
Dan pergi jambore pramuka juga sesudah perkelahian?
Uda lupa. Mungkin sebelum kami berkelahi. Ya, benar sebelum berkelahi. Karena sejakjambore itu dia mulai jatuh hati kepada si Rosmiar yang juga ikut dalam rombongan.
Murid wanita juga ikut berjambore?
Ya, ada rombongan murid laki-laki dan ada rombongan murid wanita. Kemah kami tidak
berdekatan. Terpisah sejauh lima ratus meter di sebuah lapangan yang luas dekat sungai. Ketikajambore justru tidak ada waktu untuk berdekatan dengan murid wanita. Masing-masing kami
sibuk dalam aneka perlombaan. Kami bersama-sama satu rombongan besar dalam perjalanan
ketika berangkat dan pulang. Waktu itu kami naik keretapi ke Sawah Lunto.
Dan selama dalam perjalanan itu anggota rombongan berpomle-pomlean?
Ya lebih kurang begitulah. Sekedar untuk bernyanyi-nyanyi bersama dalam perjalanan.
Bergurau dan bercanda. Tapi tidak bisa kami berbuat yang aneh-aneh karena disamping ada
guru-guru yang mengawasi di dalam kereta juga ada penumpang lain. Lagi pula apa yang dapat
dilakukan anak-anak kecil bercelana pendek berpacaran ketika itu.
http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
12/121
12
Apakah da Marwan juga ikut jadi anggota PII?
Ya, dia ikut. Karena di kampungnya juga ada acara yang sama. Waktu kami ngobrol di sekolah,dan uda katakan bahwa uda akan ikut latihan untuk menjadi anggota PII, banyak teman-teman
yang juga ingin ikut, termasuk Marwan. Kala itu anggota senior PII memang datang ke
kampung-kampung untuk merekrut anggota baru. Entah kenapa mereka tidak datang ke sekolahsaja.
Dan di sekolah tidak ada kegiatan PIIatas nama sekolah?
Tidak ada. Dan rasanya tidak boleh. Yang boleh hanya mendirikan sekeretariat KAPPI. Tapi
KAPPI itu juga kalah pamor di sekolah kami. Seingat uda hanya sekali kami ikut dalam aksidemo mengatas namakan KAPPI, ketika seorang anak STM mati tertembak di Bukit Tinggi. Di
sekolah kami lebih senang menggunakan identitas sebagai murid SMP kami saja.
Apakah ketika itu uda dan teman-teman uda sudah mengerti politik?
Jelas belum. Kami tidak tahu apa itu politik. Di sekolah guru mengajarkan kami tentang apayang sedang terjadi di kancah politik ketika itu. Tapi kami hanya mengerti begitu-begitu saja dan
tidak ada yang benar-benar tertarik.
Apakah uda aktif pula di PII di luar kampung?
Tidak. Hanya di kampung saja. Setelah seminggu latihan itu kami tidak pernah lagi bertemu
dengan para pelatih dari Bukit Tinggi itu. Sesudah latihan kami diberi kartu anggota dan lencana
PII dari logam untuk disematkan di kopiah atau jaket. Kami tidak punya kopiah dan jaket, jadi
lencana itu untuk sementara kami sematkan di baju. Hanya beberapa hari dan sesudah itu kami
sudah lupa.
Jadi tidak banyak manfaatnya pelatihan seminggu itu kalau begitu?
Tidak banyak, tapi ada. Paling tidak seperti uda katakan tadi menetralisir kami dari menjadi
preman kampung. Kami tetap bergaul dengan preman kampung, yang suka merokok, sukaberhampok. Tapi kami tidak ikut-ikutan merokok dan berhampok lagi sejak kami jadi anggota
PII itu.
Akhirnya kan selesai juga masa sekolah uda di SMP. Bagaimana lagi seterusnya pergaulan
dengan teman-teman SMP itu?
Ketika kami tamat dari SMP keadaan huru hara sudah semakin reda. Tahun 67 uda masuk SMA
di Bukit Tinggi. Banyak juga muridnya yang dari SMP kami. Tapi disana gabungannya jadi lebih
besar karena SMA itu menerima murid dari banyak SMP yang lain. Marwan sudah menghilangentah kemana. Ada juga uda dengar kabar selentingan bahwa dia dibawa saudara ayahnya ke
Jawa. Kami tidak ada kontak sama sekali lagi sejak itu.
Sampai hari ini?
http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
13/121
13
Ya, sampai hari ini.
Ketika tamat dari SMP tidak adakah acara perpisahan? Tidak adakah saling memberitahukemana akan melanjutkan sekolah?
Tentu saja ada. Tapi acara yang lebih banyak hura-huranya. Kami dalam keadaan gembirakarena sudah lulus ujian dan akan melanjutkan sekolah ke sekolah berikutnya. Acara perpisahan
itu diisi dengan berbagai acara nyanyi-nyanyi, ada deklamasi, ada pementasan drama juga oleh
adik kelas kami. Wakil kami berpidato mengucapkan kata berpisahan. Kesempatan untukmengeluarkan uneg-uneg tentang perlakuan guru-guru yang suka marah-marah.
Uda tetap jadi penyanyi di saat perpisahan itu.
Sudah barang tentu. Marwan yang mengiringi dengan gitar seperti biasa. Nyanyi bertambuh-
tambuh karena setiap kali selesai sebuah lagu, teman-teman itu berteriak-teriak mintakditeruskan. Pokoknya heboh dan ramai.
Siapa yang berpidato mewakili anak kelas tiga untuk menyampaikan kata perpisahan? Udajuga?
Bukan. Ada teman lain. Lupa pula uda namanya. Anaknya memang pintar berpidato. Sepertiorang besar penampilannya. Dan mantap kata-katanya.
Da Marwan tidak pamit mau melanjutkan sekolah kemana? Dia tidak pamit mau ke Surabaya?
Seingat uda tidak. Kami merasa bahwa semua kami yang lulus pasti akan melanjutkan sekolah
ke Bukit Tinggi. Baik ke SMA. Ke STM atau ke SMEA. Tapi tidak ada yang saling bertanya
persisnya mau masuk sekolah mana. Mungkin semua menganggap nanti akan ketahuan juga kesekolah mana masing-masing melanjutkan.
Dan selama beberapa kali berjumpa di toko tadi uda tidak bisa mengingat dia. Berubah
benarkah wajahnya?
Ya iyalah. Dulu mana ada dia berjenggot dan berkumis seperti itu. Tapi garis wajahnya itu yang
tetap uda ingat samar-samar sebagai orang yang pernah uda kenal.
Tak terasa kami sudah sampai di rumah. Perbincangan nostalgia masa SMP ku itu sementara
berhenti sampai disana.
(3) Kunjungan Keluarga Marwan
Saturday, 27 September 2008
Beberapa minggu berlalu. Aku sudah hampir melupakan pertemuan tak terduga dengan Marwan.Suatu siang dia menelpon dan mengatakan dia ingin berkunjung bersama keluarganya ke rumah
kami. Aku mempersilakannya untuk datang kapan saja dia mau. Akhirnya dia sepakat akan
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
14/121
14
datang pada hari libur 1 Muharam. Tokonya akan ditutupnya hari itu. Kami sepakat mengundang
mereka sekeluarga untuk makan siang di rumah.
Istriku sibuk menyiapkan makanan sejak pagi untuk menjamunya. Mereka datang sekitar jam
sebelas. Istrinya berjilbab dan terlihat masih muda. Mereka membawa dua orang anak, yang
tengah, berumur 12 tahun dan yang kecil yang berumur tujuh tahun. Anak-anak itu diajak mainoleh anak bungsu kami, main game di komputer di kamarnya. Istri Marwan, namanya Kokom,
cepat akrab dengan istriku. Dia minta ijin untuk ikut membantu istriku di dapur. Istriku
sebenarnya sudah hampir siap dengan urusan masakannya.
Tinggallah kami berdua di ruang tamu. Obrolan kami tentu saja kembali ke cerita jaman SMP
yang penuh dengan bunga-bunga kenangan itu.
Kau masih ingat nama yang menyampaikan pidato ketika acara perpisahan? tanyaku.
Ya, aku masih ingat. Sebentar........ Dia itu anak kelas tiga C. Si Fakhri, jawab Marwan.
Benar si Fakhri. Anak yang ikut main voli dengan kita, aku menambahkan.
Kenapa ? tanya Marwan.
Tidak apa-apa. Pulang dari pertemuan kita waktu itu aku bercerita panjang kepada Desi tentang
kenangan masa SMP kita. Diantaranya aku bercerita tentang acara perpisahan, tentang temanyang berpidato, tapi aku lupa namanya.
Benar, dia ikut tim bola voli kalau kita ada pertandingan dengan sekolah lain. Tapi dia tidak ikutmain bola, Marwan menambahkan.
Seringkah kau bertemu dengan teman-teman kita yang lain? tanyaku.
Cukup sering. Umumnya yang datang ke toko membeli buku. Ada yang aku lupa namanya, tapiaku yakin bahwa itu teman SMP. Misalnya si Bahder. Kau ingat tidak, Bahder teman kita main
bola dan ikut ke jambore?
Ya, tentu saja aku ingat. Satu-satunya yang agak parah setelah kita berkelahi massal sesudah
pertandingan bola di Atas Ngarai. Mukanya lebam ketika itu, aku menjelaskan.
Berkelahi massal yang mana maksudmu?
Berkelahi massal ketika kau akan dipukul pakai kayu sesudah kita menang pertandingan. Kitasemuanya langsung ikut dalam adu jotos. Aku yang mula-mula diserang sesudah aku merebut
kayu yang dibawa anak yang akan memukulmu itu. Temannya tanpa ba bi bu langsung maju
menerjangku. Sesudah itu terjadi perang tanding. Lawan kita lebih banyak. Kebetulan si Bahderitu berdiri agak terpisah. Dia dikerubut tiga orang lawan sehingga dia agak kewalahan. Aku
melihat itu dan berusaha mendekatinya. Sempat aku terjang seorang dari tiga penyerangnya.
Kami berkelahi dua lawan empat, dan akhirnya si Mansur juga ikut bergabung. Jadinya kita tiga
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
15/121
15
lawan lima. Pada saat itu guru-guru mereka datang melerai, aku menjelaskan secara rinci.
Benar sekali. Masih ingat kau sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Dan si Bahder itu wajahnyaberubah sekarang. Bercambang lebat. Tapi aku masih ingat dia itu teman kita. Sebaliknya dia
juga lupa. Aku langsung menyapanya, aku lupa namamu, tapi aku yakin kita satu SMP dulu di
Bukit Tinggi. Dia memelototi aku. Akupun lupa, katanya. Kamu siapa? Aku Bahder, dia bilang.Dan bercerita panjang pulalah kami waktu itu.
Kapan kau bertemu dengannya?
Mungkin setahun yang lalu. Dia bekerja dan tinggal di Medan. Waktu itu dia kebetulan
berjalan-jalan ke Jakarta dan berbelanja di toko kami. Kau sendiri? Tidak adakah kau berjumpadengan teman-teman kita?
Ada beberapa orang, bahkan ada yang sama-sama di tempatku bekerja. Kau ingat si Indra?Yang pintar melukis, anak kelas tiga D kalau tidak salah. Dia sama sekantor denganku. Sudah
lebih dulu dia pensiun. Ada lagi si Yasri teman sekampungmu yang bekerja di Pertamina.
Ya, aku ingat si Indra. Yasri masih sering datang ke toko untuk ngobrol. Dia pernah bercerita
tentang kau.
Siapa lagi, ya ? Si Faisal yang juga pandai main gitar. Si Idrus si perokok, dia bekerja di
pertambangan batu bara. Si Fahmi, yang kita gelari si Kilat, juara lari. Kami bertemu di
Bandung. Dia jadi guru di sana.
Ya, si Fahmi. Kesayangan pak Abrar guru olah raga kita. Yang katanya mau disiapkan akan
dikirim ke PON, entah PON ke berapa waktu itu.
Kau menyebut pak Abrar. Beliau ini pernah marah besar waktu aku tidak mau ikut pertandingan
voli karena aku sedang bisulan. Dia tidak percaya. Dia pikir aku sedang berganyi karena nilaiolah ragaku dikasihnya enam dalam rapor dan aku protes. Katanya itu salah tulis, tapi dia tidak
mau mengoreksinya. Aku memang kesal, tapi tidaklah aku berganyi tidak mau ikut pertandingan
voli gara-gara itu.
Lalu bagaimana? Kau perlihatkan bisulmu itu kepadanya?
Aku bilang, kalau bapak mau biar saya perlihatkan bisul di bawah pusar saya ini. Dia bilang,
alasan saja kamu. Lagi pula kalaupun bisul di bawah pusar apa hubungannya dengan main voli.
Aku malas menjawab dan aku diam saja. Tapi tetap aku tidak ikut bertanding. Bisul ini nyerisekali kalau tersinggung sedikit saja. Mana mungkin aku bisa melompat-lompat main voli.
Pak Abrar itu sebenarnya sangat baik.
Betul. Kwartal berikutnya nilai olah ragaku dikasih angka sembilan. Sempat pula dia bilang, ini
untuk membayar salah angka sebelumnya he..he..he..
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
16/121
16
Dan kau ingat ibu Fauziah? Guru aljabar yang sangat disiplin ? Beliau sudah meninggal enam
bulan yang lalu di Padang. Beliau sakit kanker getah bening.
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun. Tentu saja aku ingat. Ibu Fauziah yang sangat baik
kepadaku. Dari siapa kau dapat kabar beliau meninggal?
Dari Syamsinar, teman sekelas kita. Dia ini kan sekampung dengan ibu Fauziah. Dan dia tinggal
berdekatan denganku di Pondok Kopi.
Si Syamsinar? Ya aku ingat dia. Kalau berjumpa lagi tolong sampaikan salamku kepadanya.
Aku heran tidak ada teman-teman wanita satu orangpun yang pernah berjumpa denganku. Entahpada kemana mereka.
Oh ya...., aku pernah berjumpa dengan Astuti, salah satu pomle kau dulu. Di Pasar Senen ketika
dia sedang berbelanja. Masih cantik meski sudah jadi nenek. Jadi nenek betulan. Dia waktu ituberjalan dengan anak dan cucunya. Aku yang lebih dulu mengenalinya. Aku pura-pura bertanya,
Rangkayo dimana kita pernah bertemu dulu, ya. Dia melotot memandangku dan langsung ingat.Ini si Marwan, ya? Si pemain gitar? Dan dia bercarut. Masih saja latah seperti dulu meski sudahnenek-nenek.
Desi dan Kokom datang menemani kami ngobrol. Makanan sudah siap rupanya. Desimenanyakan apakah kami akan makan sekarang atau akan pergi shalat zuhur dulu. Marwanmengusulkan sebaiknya shalat zuhur dulu saja. Akupun setuju. Kebetulan sudah hampir masuk
waktu zuhur.
Kami berdua pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah. Mesjid itu tidak jauh dari rumah kami.
Cukup ramai jamaah mesjid ini. Kau selalu shalat berjamaah di mesjid? tanya Marwan ketikakami menuju ke rumah sesudah shalat.
Kalau aku tidak sakit, insya Allah selalu, jawabku.
Syukurlah. Hanya amal shalih yang jadi milik kita. Yang lain hanya perhiasan hidup dunia,katanya bijak.
Aku perhatikan Marwan memang lebih shalih. Dari cara berpakaiannya, dari tindak tanduknya.Toko bukunya khusus menjual buku-buku Islam. Istrinyapun lebih taat kelihatan dengan jilbab
panjang menutupi tubuhnya. Aku kagum melihatnya.
Tahun berapa kau naik haji ? tanyaku. Aku yakin dia pasti sudah haji.
Tahun 1990. Ketika terjadi peristiwa terowongan Mina. Kau sendiri? Tentu kau juga sudah haji,bukan? dia balik bertanya.
Dua tahun sesudah itu, jawabku.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
17/121
17
Syukurlah, kalau begitu. Mudah-mudahan sudah sempurna keislaman kita. Sudah kita tunaikan
kelima rukun Islam.
Kami sampai di rumah dan langsung menuju ke meja makan. Wah, ramai sekali meja makan,
karena istri Marwan ternyata juga membawa oleh-oleh. Pepes ikan mas ala Cianjur.
Wah serba ikan ni, makanan kita, komentarku.
Ya, rupanya Kokom membawa ikan pepes pula. Saya juga sudah menyiapkan gurami bakarini, kata istriku.
Bagus serba ikan. Insya Allah bebas kolesterol, tambah Marwan.
Kami mulai makan. Serba enak semua. Pepes ikan itu sangat menyelera. Marwan sebaliknya
sangat menikmati gurami bakar. Kami makan bertambuh-tambuh.
Ada lagi kenanganku tentang ikan, Marwan mulai bercerita lagi sambil kami makan.
Kenangan apa itu? tanya istriku.
Waktu kami pergi berjambore. Safri sempat-sempatnya berbekal pancing. Puluhan buah pancing
bertangkai pendek. Iya, kan Saf? katanya.
Benar sekali. Aku sempat menganak di sungai Lasi dekat kita berkemah itu, jawabku.
Menganak? Apa itu maksudnya? tanya Desi pula.
Menahankan puluhan pancing sore-sore di sungai dan diambil pagi-pagi. Kami mendapatkanikan besar-besar. Kami makan besar dengan ikan setiap hari, aku menjelaskan.
Hebat sekali idenya. Tapi bagaimana dengan umpannya? Apakah dibawa dari rumah juga?
Tidak. Umpannya cacing yang kami cari di sana, jawabku.
Sempat-sempatnya mencari cacing?
Ternyata perkara gampang bagi seorang Safri. Dia membalikkan batu-batu besar di pematang di
tepi sungai. Dia dapatkan cacing gemuk-gemuk. Hari pertama kita disana, sore hari aku lihat
Safri membawa bungkusan kertas koran menuju sungai yang ternyata berisi pancing. Aku ikutidia dan aku bantu memasangkan cacing ke pancing. Kami menancapkan tangkai pancing pendek
itu di tebing sungai. Pagi-pagi waktu kawan-kawan kami sibuk di sungai, kami mandi di sungaiLasi yang airnya jernih itu, kami terlebih dahulu memeriksa pancing-pancing yang diletakkan
sore kemaren. Bukan main, hari pertama itu dari dua puluh lima buah pancing kami dapat
sebelas ekor ikan besar-besar. Ada ikan lele dan entah ikan apa lagi namanya.
Ikan garing, aku menjelaskan.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
18/121
18
Dan ikannya diapakan? tanya Kokom.
Hari pertama dan kedua kami goreng. Hari ketiga, minyak goreng kami sudah habis. Lalu kamibakar. Wah, lebih sedap pula lagi. Dan bau ikan bakar terbang kemana-mana. Heboh teman-
teman di kemah sebelah menyebelah kami, jawabku.
Waktu membakar ikan itu pak Sofyan, guru pelatih datang dan ikut makan dengan kami. Dia
bercerita kepada guru-guru yang lain. Kau dapat surat permintaan sumbangan ikan dari kemah si
Astuti melalui pak Sofyan. Ingat ? tanya Marwan.
Ya, aku ingat. Tapi tidak dapat kita kirim, jawabku.
Kenapa? tanya Desi.
Karena hari kelima, hari terakhir kami disana, gagal panen, jawabku.
Lho, gagal panen bagaimana? tanyanya pula.
Pagi-pagi waktu kami mau mengambil hasil pancingan hari itu, yang diikuti oleh makin ramaisaja teman-teman, yang ikut senang melihat hasil tangkapan ikan, kami dapati pancing itu sudah
tidak ada. Rupanya sudah ada yang duluan mengambilnya. Kami curiga, jangan-jangan teman-
teman sesama pramuka yang mengambil. Dan kalau memang ulah mereka tentu mudah bagi
kami melacaknya nanti. Tapi Marwan melihat serombongan anak muda di sisi sungai sebelahsana, tertawa-tawa melihat ke arah kami. Seorang diantaranya menjinjing ikan yang entah berapa
ekor.
Siapa mereka? Orang kampung sana? tanya Desi.
Ya. Orang kampung sana. Sempat juga mereka bilang, entah mencemooh atau bagaimana, yangini untuk kami ya? katanya ketawa-ketawa, aku menjelaskan.
Tidak dikejar? tanya Kokom.
Marwan mengusul agar kami kejar ke seberang. Tapi saya larang. Percuma saja. Pasti mereka
akan lari dan itu di kampung mereka, jawabku.
Nggak jadi makan ikan hari itu, Marwan menambahkan.
Teman papa, pramuka yang lain nggak ada yang meniru memancing seperti itu? tanya anakkuFaisal.
Ada. Sesudah hari ketiga. Mereka minta ijin pergi membeli pancing ke Silungkang. Dan sore
hari keempat itu mereka ikut-ikutan menaruh pancing di sungai. Paginya tidak ada ada satupun
dapat, jawabku.
Lho? Kenapa? tanya Desi pula.
http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
19/121
19
Mereka tidak tahu caranya. Hanya asal tiru saja. Tali pancing mereka terlalu pendek. Mudah
ikan melepaskan diri dengan menarik tali pancing itu kuat-kuat. Banyak pancing yang hilang
karena putus. Jadi hasilnya nol besar, jawabku.
Ilmu menganak itu aku terapkan pula di kampung sepulang dari sana. Biasanya hari Sabtu sore.
Cuma ikan di kampung kita tidak sebesar ikan di sungai Lasi itu, kata Marwan.
Sungai Lasi itu sungai besar. Banyak ikannya. Cuma aku heran, sepertinya jarang penduduk
disana menangkap ikan di sungai itu, aku menjelaskan.
Mungkin sesudah peristiwa itu, anak-anak yang mencuri ikan pagi itu jadi tahu bagaimanacaranya menganak, ungkap Desi.
Entahlah. Mungkin juga, jawabku.
Kami sudah selesai makan. Desi dibantu Kokom mengangkat piring-piring kotor ke belakang.
Sebenarnya, ada cerita lain yang ingin kuceritakan kepadamu, kata Marwan waktu kami tinggalberdua.
Ceritakanlah. Cerita apa?
Sebuah cerita panjang. Dan ini akan memakan banyak waktu. Sebenarnya tidak ada lagiperlunya untuk diceritakan. Tapi entah kenapa. Aku ingin berbagi cerita ini dengan seseorang
yang aku kenal dan terpercaya.
Wah. Cerita apa itu? tanyaku pula.
Cerita disekitar diriku. Kau mau mendengarkannya? tanya Marwan.
Aku mengernyitkan kening.
Boleh-boleh saja, silahkanlah, usulku.
Kalau kau memang mau mendengarkan, menjadi pendengar yang baik, aku ada usulan lain
terlebih dulu, katanya.
Maksudmu ?
Biar aku antarkan istri dan anak-anakku dulu pulang dan setelah itu aku kembali lagi kesini.Anak-anakku harus belajar sore ini, tambahnya.
Oh begitu. Ya, nggak apa-apa juga. Aku siap mendengar ceritamu, jawabku.
Mereka pamit. Aku memberi tahu Desi bahwa Marwan akan pulang sebentar mengantarkeluarganya dan dia kembali lagi sesudah itu.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
20/121
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
21/121
21
Tidak macet di jalan? tanyaku.
Tidak. Dan ternyata rumahku dekat saja dari sini. Coba kita bertemu sejak lama, sudah lamapula aku sering main kesini.
Dimana rumahmu di Pondok Kopi itu tepatnya? tanyaku.
Di samping Rumah Sakit Islam, jawabnya
Oh iya. Itu sangat dekat dari sini.
Komplek perumahan disini bagus. Tertata rapi dan tidak bising. Kalau tempatku dekat dengan
jalan raya. Kadang-kadang agak bising. Kadang-kadang ramai dengan suara ambulans keluar
dari rumah sakit.
Tapi kau kan sehari-hari tidak di rumah. Sampai jam berapa biasanya di toko?
Benar sih. Aku di toko sampai sekitar jam empat. Aku selalu berusaha sudah sampai di rumah
sebelum maghrib.
Kalau benar-benar tertarik, kau pindah saja kesini. Masih banyak tanah kosong di sekitar sini,
kataku.
He..he..he.. iya juga. Boleh juga ide itu aku pikirkan. Dan mesjidpun dekat dari sini. Aku betah
di tempat yang sekarang karena mesjidnya juga dekat. Rumah itu harus dekat dari mesjid. Mudah
kita pergi shalat berjamaah.
Kami masih berbincang hilir mudik beberapa saat lagi. Aku jadi tidak sabar untuk mendengarcerita yang akan disampaikannya. Dan segera mengingatkannya.
Baik. Ngomong-ngomong apa cerita yang akan kau sampaikan ? tanyaku.
Ya. Cerita lama. Mudah-mudahan kau sabar dan mau mendengarnya. Cerita ini hanya sekedar
untuk mengeluarkan keprihatinan yang tersimpan lama dalam dadaku dan tidak bisa kuceritakankepada siapapun.
Maksudnya? Jadi istri kaupun tidak tahu? tanyaku.
Belum tahu. Belum tahu seperti yang akan kuceritakan kepadamu.
Baik. Mulailah. Tapi sebentar. Kalau nanti istriku sebentar-sebentar muncul disini, apakah dia
boleh mendengarkan?
Boleh saja. Ini bukan cerita rahasia. Bukan sesuatu yang kusembunyikan. Meski tidak mungkin
kuceritakan ke sembarang orang, jawabnya.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
22/121
22
Baik kalau begitu. Mulailah.
Kau ingat kenapa kita berkelahi? tanyanya.
Aku mengernyitkan kening dan terdiam. Kenapa kami dulu berkelahi? Bukankah waktu itu dia
menuduhku mempengaruhi Rosmiar agak tidak mau menerima ungkapan cintanya. Jadi agaknyacerita ini akan ada kait berkait denganku? Tanyaku dalam hati.
Seingatku, kau menuduhku menghalangi Rosmiar untuk jadi pomlemu. Bukankah begitu?
tanyaku.
Bukan sekadar itu. Aku menuduhmu bahwa kau mengatakan sesuatu tentang ayahku,
jawabnya.
Kau menuduhku, bahwa aku mengatakan sesuatu tentang ayahmu? Ah, nggak. Tentang apa?Seingatku kau marah-marah karena Rosmiar menolakmu jadi pomlemu. Bukan begitu?
Bukan. Rosmiar mengatakan bahwa dia tidak mau denganku karena aku anak orang PKI.
Bahwa semua orang tahu bahwa aku anak orang PKI. Dan dia juga menyebut bahwa kau jugatahu bahwa aku anak orang PKI.
Aku malahan tidak ingat itu. Lalu kenapa?
Sebenarnya aku memang adalah anak orang PKI, katanya. Aku kembali terdiam. Apamaksudnya?
Maksudmu?
Maksudku, aku benar-benar anak seorang PKI. Ayahku PKI. Ayahku anggota partai terlarang
itu. Lagi-lagi aku terdiam.
Inilah yang ingin kuceritakan. Bahwa aku mendapat pengalaman istimewa karena ayahku PKI
itu. Entah dari mana cerita ini akan aku mulai. Ringkasannya dululah biar kau punya bayangan.
Ayahku dulu seorang pegawai kantor pos. Awalnya ayahku bukanlah orang yang menyenangipolitik. Justru ibuku yang lebih aktif dalam hal-hal politik. Ibuku aktif di Aisyiah dan jadi
anggota Masyumi. Waktu terjadi peristiwa Gestapu, pamor PKI hancur. Orang-orang PKI
menghilang atau dihilangkan. Tapi ayahku sendiri selamat. Beliau hanya berhenti atau disuruh
menghilang saja oleh atasannya di kantor. Beliau tinggal saja di rumah dan kembali sakit-sakitan. Ayahku memang agak penyakitan. Sampai beliau menemui ajalnya lima tahun kemudian
di tahun 70.
Marwan menarik nafas. Aku memandangnya dengan mata tak berkedip. Aku tidak bisa
bersuara.
Ayahku menitipkan aku kepada adik beliau, pak etekku yang merantau di Surabaya. Itulah
sebabnya aku melanjutkan sekolah kesana. Tamat SMA aku masuk ITS, jurusan mesin. Tahun
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
23/121
23
77 aku tamat dari ITS. Agak terlambat karena aku menyambil membantu pak etekku berdagang.
Setelah tamat aku mulai bekerja. Akupun dulu bekerja di perminyakan seperti kau. Sejak awal
tahun 78. Tahun 79 aku menikah. Dengan orang Maninjau. Sayang kami tidak dikaruniai anak.Tahun 83 terjadilah huru hara. Seorang karyawan lapangan, yang adalah teman kita juga,
sekampung dengan ayahku pindah ke kantor pusat di Jakarta. Baru beberapa hari saja, dia
mengingatkan aku agar segera minta berhenti saja. Aku tentu saja kaget. Ada apa, tanyakukepadanya.
Kau sebaiknya minta berhenti saja baik-baik dan segeralah menghilang, katanya. Aku kembali
bertanya, kenapa. Waktu itu, kalau kau masih ingat, sangat gencar diadakan screening. Kau pastijuga pernah mengalami. Akupun menjalaninya. Memang setiap kali ditanya tentang orang tua,
apakah terlibat dengan partai terlarang, aku sudah barang tentu menyembunyikan dan
mengatakan tidak. Nah, inilah yang diungkitnya waktu dia datang berbicara empat mata
denganku. Katanya, pada kesempatan screening berikutnya, kalau dia ditanya tentang aku danayahku, sebagai teman sekampung, dia pasti akan mengatakan yang sebenarnya.
Marwan kembali berhenti sejenak dan memandang ke arahku. Mungkin ingin meyakinkandirinya bahwa aku mau mendengar ceritanya itu. Padahal aku sedang mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Terus bagaimana ? tanyaku pendek.
Mula-mula aku menganggap ucapannya hanya main-main. Mana mungkin dia akan
menggulingkan periuk nasiku dengan cara seperti itu. Tapi dia sangat serius. Dia berulang-ulang
mengingatkanku. Aku mulai agak penasaran dan mengingatkan bahwa bukankah tidak ada
untungnya baginya membuka cerita itu. Tapi dia tetap bersikeras. Katanya kalau didiamkan,termasuk dia pasti akan celaka suatu hari nanti. Dan dia tidak mau mengambil resiko itu.
Ringkas cerita, nanti akan aku jelaskan lebih rinci kalau kau tertarik, karena aku menolakmengundurkan diri, dia benar-benar melaporkan kepada petugas screening itu bahwa aku adalah
anak orang PKI. Aku hampir diseret kepengadilan karena dianggap telah menipu dengan
menyembunyikan kebenaran. Untung tidak jadi. Hanya dipecat dengan tidak hormat dariperusahaan tempatku bekerja. Dan tambahan atau bonusnya sesudah itu, beberapa bulan
kemudian istriku minta cerai. Dia pergi meninggalkanku.
Itulah kesimpulan dari cerita itu. Tentu ada rinciannya. Tapi aku hanya akan menceritakan kalau
kau berminat mendengarkannya lebih jauh, Marwan mengakhiri ceritanya sementara.
Aku terperangah mendengarnya. Aku tahu cerita screening. Akupun berkali-kali melaluinya.
Menjawab pertanyaan yang memang kadang-kadang menggiring dan menjurus. Yang kalau
salah-salah jawab bisa menimbulkan masalah. Tapi karena aku memang tidak punya masalah
tidak pernah aku mendapat kesulitan apa-apa. Aku juga mengenal teman sekantor dulu yang jugadiberhentikan karena terindikasi terlibat. Bahkan ada yang cucu dari orang PKI juga
diberhentikan. Gara-gara dia cucu seorang anggota PKI. Aturan bersih lingkungan di jaman Orde
Baru itu memang sangat susah dimengerti.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
24/121
24
Aku prihatin mendengar ceritamu, kataku setelah kami sama-sama hening beberapa saat.
Aku bukan minta simpati. Toh ini cerita lama. Sudah dua puluh tahun lebih yang lalu, kataMarwan.
Teman yang melaporkan itu, kau bilang teman kita. Maksudmu teman satu SMP?
Ya, tapi dibawah kita dua tahun. Mungkin kau tidak mengenalnya. Dia sekampung dengan
ayahku. Masih sekampunglah denganku.
Apakah kalian punya masalah di kampung? Kenapa dia sebegitu teganya melakukan itu
kepadamu?
Aku tidak yakin bahwa ada masalah. Tapi mungkin dari pihak orang itu seperti ada masalah.
Lain lagilah ceritanya, kata Marwan.
Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi? Marwan memandang ke depan denganpandangan setengah kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kami kembali sama-sama
terdiam.
Maaf, tapi....... Sebenarnya ayahmu itu benar-benar PKI nggak sih ? Kau bilang beliau bukan
orang politikpada dasarnya, aku bertanya memecah kesunyian.
Panjang lagi ceritanya itu, jawabnya.
Cobalah ceritakan sedikit! kataku.
Pada awalnya ayahku tidak pernah tertarik dengan politik. Tapi tidak pula terlalu alergi denganpolitik. Ayah menerima bahwa ibu adalah aktifis Masyumi. Seingatku tidak pernah ada masalah.
Sampai suatu hari, saudara kembar ayah di bunuh tentara PRRI. Ayah dan pak tangah itu sangatdekat satu sama lain. Ibaratnya kalau yang satu disakiti yang lain benar-benar merasa pula
kesakitan. Nah, sesudah saudara kembar beliau itu terbunuh, ayah jadi agak labil. Beliau marah
dan benci kepada PRRI, meski yang berbuat itu mungkin hanya oknum saja di kalangan PRRI.
Dalam suasana labil itu, ayah didekati atau entah bagaimanalah ceritanya, oleh seseorang yanglebih tua dari ayah. Datuk Rajo Bamegomego gelar beliau, orang sekampung dengan ayah.
Beliau ini seorang PKI sejak lama. Pelan-pelan, ayah mulai tertarik dan ikut partai komunis itu.
Dan ayahmu aktif di partai itu? aku menyela.
Kalau menurut pendapatku beliau hanya ikut-ikutan. Karena di partai itu sepertinya dipupuk
rasa kebencian kepada PRRI. Kepada Masyumi dan sebagainya.
Nah, bagaimana dengan ibumu. Kan ibumu justru orang Masyumi?
Disana aku yakin bahwa ayah hanya sekadar ikut-ikutan. Beliau bercerita di rumah, bahwa
inyiak Datuk Rajo Bamegomego berkali-kali menyuruh beliau menceraikan saja ibuku.
http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
25/121
25
Kenyataannya beliau tidak pernah melakukannya. Dan kadang-kadang di rumah, keluar juga dari
mulut beliau tentang ketidakberesan partai komunis itu.
Misalnya?
Kau ingat tidak? Waktu itu di kampung kita diperintahkan menggali lubang perlindungan disetiap pekarangan rumah? Di tahun-tahun 1964?
Ya, aku ingat. Di kampung kami juga ada perintah itu. Aku masih ingat letak lubangperlindungan itu di samping rumah kami. Dalamnya kira-kira satu meter, lebar enam puluh senti
meter dan harus dibuat cukup untuk tempat semua penghuni rumah. Katanya waktu itu untuk
tempat berlindung seandainya rumah kita diserang tentara Inggeris, waktu kita sedangmengganyang Malaysia, jawabku.
Ayahku bercerita, dalam rapat disebutkan bahwa lubang itu sebenarnya adalah untuk jadikuburan penghuni rumah. Siapa saja yang jadi musuh revolusi akan dibunuh, dan mayatnya
tinggal dimasukkan ke dalam lubang yang sudah disiapkan itu. Biar tidak mencurigakan,perintah membuat lubang diberikan kepada setiap warga.
Oh ya? Mengerikan sekali. Tapi untunglah, seingatku tidak ada berita ada musuh revolusi yang
dibunuh dan dikuburkan ke lubang perlindungan itu. Dan ayahmu bercerita seperti itu di rumah,maksudnya untuk apa?
Untuk menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan pemikiran itu. Tapi beliau tidak bisamembantahnya di dalam rapat, lalu mengeluarkan ceritanya kepada ibuku di rumah.
Tadi kau bilang, awalnya karena saudara kembar ayahmu dibunuh PRRI sehingga beliau
akhirnya ikut-ikutan bersimpati dengan PKI. Memangnya kenapa saudara ayahmu itu dibunuh?
Begini lagi ceritanya, Marwan melanjutkan lagi cerita itu.
(5) Saudara Kembar
Thursday, 20 November 2008
Sumatera Tengah di tahun 1958 adalah negeri yang bergolak. Sekelompok besar masyarakat didaerah itu menentang pemerintah pusat Republik Indonesia dan memproklamirkan perang.Perlawanan dibawah panji Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia disingkat PRRI
menentang negara Republik Indonesia. Di Sumatera Barat sebahagian sangat besar penduduk
mendukung PRRI dan ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Hampir semua pegawai negeri, bahkan saudagar dan petani melibatkan diri, mengangkat senjatabergabung dengan PRRI.
Tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) didatangkan ke Sumatera Tengah untuk
memerangi PRRI. Orang-orang PRRI itu, entah karena pertimbangan apa, mengundurkan diri ke
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
26/121
26
hutan. Namun sebagian besar pula, setelah beberapa bulan perang berkecamuk, tidak sanggup
bertahan, lalu kembali. Istilahnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
***
Syamsuddin dan Burhanuddin adalah dua saudara kembar. Yang sehati lahir dan batin. Salingmengasihi, saling merindukan kalau dipisahkan. Begitu sejak masa kanak-kanak, begitu juga
sampai mereka dewasa bahkan sampai mereka sudah berumah tangga, beranak pinak.
Syamsuddin bekerja sebagai pegawai negeri. Pegawai kantor pos. Diawalinya sebagai petugas
pengantar surat dengan sepeda dan terakhir sebagai pegawai kantoran di Bukit Tinggi.
Syamsuddin sedikit lemah secara fisik, sering sakit. Orang kampung menyebutnya sakit jariah,dokter menyebut asma. Waktu dia bekerja sebagai pengantar surat dari kantor pos, kalau cuaca
baik dia cukup sehat. Tapi kalau cuaca buruk di musim penghujan dia sering jatuh sakit. Sakit
jariah atau sesak nafas. Atas pertimbangan itu akhirnya dia segera dipindahkan bekerja ke
kantor.
Burhanuddin kebalikannya adalah seorang yang sangat kuat secara fisik. Dia jadi pedagang
tembakau di Paya Kumbuh. Usahanya lumayan maju. Tembakau yang dikumpulkannya dikirimke Medan. Kalau sehabis musim panen tembakau, tiap hari oto prah mengangkut tembakau
dagangannya ke sana.
Ketika perang PRRI meletus, Burhanuddin ikut mendaftar untuk jadi pejuang PRRI. Sebenarnya
Syamsuddin juga ikut-ikutan mendaftar. Tapi karena pertimbangan kesehatan hanya
Burhanuddin yang diterima.
Ditinggalkannya usaha dagangnya yang sedang maju-majunya. Karena semangat
kesetiakawanan. Karena hampir semua orang laki-laki yang berumur di antara 18 tahun sampai45 tahun di kampungnya ikut keluar, begitu istilahnya. Artinya ikut ambil bagian dalam perangsebagai tentara PRRI.
Meskipun dia tidak punya latar belakang militer sedikitpun. Belum pernah dia memegang
senjata. Tapi, sekali lagi karena semangat yang sangat menggebu, yakin bahwa mereka harus
berjuang, menegor pemerintah pusat yang menurut keyakinan mereka telah berlaku tidak adilkepada daerah, Burhanuddin ikut berpartisipasi tanpa ada keraguan.
Burhanuddin menjadi anggota kompi Kapten Udin Kulabu. Nama komandan itu sebenarnya
Hasanuddin, seorang tentara asli berpangkat kapten, dan lebih dikenal sebagai Kapten UdinKulabu. Lebih dari separuh anak buahnya adalah tentara asli sedangkan yang lainnya adalah
tentara karbitan. Dalam kelompok yang terakhir ini termasuk Burhanuddin. Tapi di dalam
pasukan tersebut tidak ada perbedaan. Semua sama-sama memegang senjata api. Burhanuddinberlatih secara kilat menggunakan senjata api, yang ternyata memang tidak terlalu susah. Dia
bangga dan senang ikut ambil bagian di dalam kompi yang beranggotakan 120 orang tentara di
bawah Kapten Udin Kulabu. Markas mereka di kaki gunung Marapi, tapi kadang-kadang merekaberpatroli sampai ke daerah Kamang di utara.
http://void%280%29/ -
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
27/121
27
Sebagai saudagar, Burhanuddin adalah orang berduit. Ketika ikut berangkat berperang
dibawanya bekal, empat buah rupiah emas. Siapa tahu ada juga gunanya nanti. Menyimpan
empat buah rupiah emas yang digulung dengan sapu tangan di dalam kantong rahasia celananya,lama kelamaan diketahui oleh teman-teman satu kompi. Mula-mula hal itu diketahui oleh teman
yang selalu bersama-sama, karena dia selalu menarik perhatian ketika berganti pakaian. Dia
selalu bertingkah berhati-hati sekali. Sehingga temannya bertanya, ada apa sebenarnya. Sekalidua kali dijawab tidak ada apa-apa, malah semakin menarik perhatian temannya itu yang lalumengajak teman lain memperhatikan. Pada suatu kali dia dijebak oleh teman-temannya itu.
Celana yang selalu ditaruh dan dijaganya hati-hati kalau dia mandi atau berganti pakaian mereka
ambil secara paksa. Dan terpaksalah dia menceritakan dengan sesungguhnya apa yangdisimpannya dalam celana itu.
Kabar bahwa dia menyimpan empat buah rupiah emas segera sampai ke telinga komandannya,kapten Udin Kulabu. Dia dipanggil dan dimintai konfirmasi. Burhanuddin menjelaskan bahwa
memang dia punya empat rupiah emas. Kapten Udin Kulabu menasihati agar uang itu
dipinjamkan kepadanya saja. Menyimpan uang emas itu sendiri beresiko menjadi incaran orang-
orang yang berniat jahat, begitu kata komandan. Dia akan menjualnya dan uangnya akandibagikan kepada semua anak buah. Nanti kalau perang sudah usai, Kapten Udin Kulabu pribadi
yang akan menggantinya, atau paling tidak yang akan mengusahakan mencari gantinya.
Burhanuddin tidak bisa menolak dan keempat rupiah emas itu diserahkannya. Penyerahan itu
dilakukan dengan disaksikan beberapa orang. Dan Kapten Udin menandatangani surat tanda
terima yang juga ditandatangani dua orang dari saksi yang hadir.
Baru beberapa bulan sejak pecah perang terdengar desas desus bahwa Kapten Udin berencana
mau menyerah. Dikatakan bahwa dia sedang melakukan kontak dengan fihak APRI. Entahkarena apa. Sebelum berita desas desus itu diketahui seluruh anak buahnya, terjadi peristiwa
aneh ketika mereka kembali dari sebuah patroli di daerah Kamang. Tidak terdengar suara mobil
konvoi tentara APRI, tiba-tiba sebagian anggota pasukan itu sudah terkepung di dekat Bukit
Kalung. Termasuk ke dalam rombongan yang terkepung itu Kapten Udin Kulabu sendiri dengan40 orang anak buahnya. Tidak ada tembak menembak. Sementara anggota rombongan yang lain
masih berada agak jauh di belakang. Barulah tiba-tiba terdengar suara deruman lima buah truk
tentara yang rupanya sebelum itu disembunyikan dan sengaja dimatikan mesinnya. Anak buahUdin Kulabu yang tertinggal berusaha menghindar begitu mendengar suara derum mobil. Kapten
Udin Kulabu dan keempat puluh anak buah yang ikut bersamanya diangkut dengan truk tentara
itu.
Beredar lagi berita bahwa Kapten Udin menyerah dengan membayar upeti kepada komandan
tentara APRI dengan 4 rupiah emas yang didapatnya dari Burhanuddin. Ini untuk melicinkan
jalan baginya agar dianggap bahwa dia bukan menyerah tapi kembali ke pangkuan ibu pertiwi.Dengan demikian dia tidak ditawan dan karir tentaranya dapat dipertahankan. Konon begitu
kesepakatan sebelum dia menyerahkan diri.
Menyerahnya Kapten Udin Kulabu dengan cara seperti itu, menimbulkan rasa sakit hati yang
mendalam di kalangan sebagian anak buahnya yang tertinggal. Mereka merasa benar-benar
dikhianati. Sisa pasukan yang berjumlah sekitar 80 orang itu sekarang dipimpin oleh Pembantu
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
28/121
28
Letnan Satu Sulaiman. Burhanuddin termasuk di dalam kelompok yang masih tinggal ini.
Burhanuddinpun sangat kecewa dengan terjadinya peristiwa itu. Bertambah rasa kesalnya bukankarena kehilangan empat buah rupiah emas, tapi karena merasa dia punya andil untuk
memuluskan rencana belot Kapten Udin Kulabu. Semangat untuk meneruskan perjuangan ini
jadi jauh berkurang.
Dalam kegalauannya, Burhanuddin jadi sangat rindu kepada saudara kembarnya Syamsuddin
yang sudah berbulan-bulan ditinggalkannya di kampung. Hal ini sering diceritakannya kepadateman dekatnya di pasukan, Sersan Husin. Sersan ini selalu mendengar keluhan Burhanuddin
tentang kerinduannya yang sangat kepada saudaranya itu. Dia selalu dihibur dan kadang-kadang
diolok-olok agar sebagai tentara jangan cengeng. Tidak banyak orang yang bisa memahami,
betapa dekatnya hati dua saudara kembar seperti ini dan betapa beratnya terasa bagi merekaperpisahan itu. Memang sulit bagi orang lain membayangkan hal itu.
Hari-hari berjalan seperti biasa. Khawatir mereka akan diserang oleh tentara APRI di markas
yang lama, sesudah Udin Kulabu menyerah, Letnan Sulaiman memindahkan tempat bertahanmereka ke daerah Kamang dan kemudian ke daerah Pasaman.
Pasaman adalah daerah yang banyak berawa-rawa. Daerah yang rawan dengan nyamuk malaria.
Mungkin karena masih dalam keadaan jiwa terpukul, fisiknya berubah menjadi lemah,
Burhanuddin terserang demam malaria. Panasnya tinggi dan seringkali dalam demamnya diamengigau. Igauannya selalu tentang penyesalan dan kerinduannya kepada Syamsuddin. Berhari-
hari dia sakit demam panas seperti itu.
Komandan baru Letnan Sulaiman sangat prihatin melihat kondisi Burhanuddin. Disamping
karena sakitnya itu menjadi beban kepada anggota pasukan yang lain. Dia memutuskan untuk
menyerahkan Burhanuddin melalui wali nagari di Bonjol, tempat yang terdekat waktu itu.
Lepas tengah malam pada suatu malam dia diantar ke rumah wali nagari itu dengan ditandu.
Masih dalam keadaan demam panas dan banyak mengigau. Di rumah wali nagari itu dia dirawat.
Alhamdulillah setelah beberapa hari penyakitnya mulai sembuh. Oleh wali nagari kehadirannyadilaporkan kepada komandan APRI disana. Dia dijemput setelah dia sembuh dan dibawa ke
Bukit Tinggi. Di markas APRI di Bukit Tinggi dia diinterogasi. Dia mengaku terus terang bahwa
dia anggota PRRI, anak buah Kapten Udin Kulabu. Dalam keadaan sakit dan tidak sadar diaditinggalkan teman-temannya dan waktu sadar dia sudah berada di rumah wali nagari di Bonjol.
Cerita itu dipercayai komandan tentara, karena cocok dengan laporan wali nagari bahwa dia
ditemukan di tepi hutan dalam keadaan sakit dan tidak sadarkan diri. Anehnya dia tidak
dipertemukan dengan Kapten Udin Kulabu. Entah dimana keberadaan mantan komandannya itu.Setelah ditahan selama sebulan dia dibebaskan. Burhanuddin sangat gembira.
Di kampung didapatinya saudaranya Syamsuddin dalam keadaan sakit pula. Tetapi begitu diadatang, aneh sekali, sakit Syamsuddin berangsur-angsur sembuh.
Dimulainyalah kehidupan baru di kampung. Sebahagian besar kampung dan nagari sudah
berada dibawah kontrol tentara APRI. Tentara PRRI makin menghindar ke hutan-hutan. Dengan
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
29/121
29
kondisi seperti itu, Burhanuddin kembali menggeluti usaha lamanya, berdagang tembakau di
Paya Kumbuh.
Semua berjalan lancar-lancar saja. Meskipun pada awalnya perdagangannya sangat mundur
dibandingkan dengan sebelum pecah perang, tapi sedikit demi sedikit geliatnya terasa makin
membaik. Burhanuddin tetap tinggal di kampung dan mengurus perdagangannya bolak balik darikampung ke Paya Kumbuh. Ada terbersit di hatinya untuk pindah menetap di Paya Kumbuh
sementara, tapi selalu saja ditunda-tundanya. Rasanya belum habis rasa rindu kepada keluarga
dan saudara kembarnya sesudah berpisah sekitar tujuh bulan.
Lalu terjadilah mala petaka itu. Pada suatu malam, lewat tengah malam pintu rumahnya diketok
orang dan namanya dipanggil. Suara yang memanggil itu dikenalnya. Itu adalah suara seorangtemannya di pasukan. Burhanuddin tidak berprasangka apa-apa. Dia bangun dan membukakan
pintu. Empat orang tentara PRRI, teman-temannya sepasukan tempohari masuk secara kasar.
Burhanuddin mempersilahkan orang-orang itu duduk. Mereka terlihat sangat kasar, tidak sama
seperti waktu dulu ketika masih sama-sama di hutan. Yang satu bercarut-carut di tengah malambuta itu mengatakan bahwa Burhanuddin pengkhianat. Istrinya yang terbangun dan ikut keluar
mendengar suara ribut-ribut, didorong tentara itu agar kembali masuk kamar. Istrinya sangatketakutan dan mendengar saja dari dalam kamar apa yang terjadi diluar. Tentara yang satu orang
masih saja bercarut-carut dan menuduh. Burhanuddin kaget mendengar tuduhan seperti itu. Dia
masih mencoba membantah dengan mengatakan bahwa dia telah ditinggalkan ketika dia dalamkeadaan sakit di tengah hutan. Jadi bukan dia yang berkhianat. Keempat orang itu memaksa dia
agar sekarang ikut lagi ke hutan bersama mereka.
Anehnya lagi keempat orang itu memaksa, kalau tidak mau ikut mereka, maka mereka minta
bayaran 4 rupiah emas. Burhanuddin menangkap gelagat tidak benar. Timbul keberaniannya.
Keempat orang tentara itu dilawannya dalam pertengkaran itu.
Ini tidak benar. Ini bukannya kalian ingin menjemputku kembali ke pasukan tapi kalian ingin
merampokku. Aku tidak punya rupiah emas di rumah ini. Kalaupun aku punya aku tidak akanmau menyerahkannya kepada kalian, katanya dengan penuh keberanian.
Kalau begitu kau harus ikut kami ke pasukan! bentak yang satu.
Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan, tapi jangan begini caranya, jawab Burhanuddin
tegas.
Kubunuh kau pengkhianat! hardik yang paling sangar sambil menodongkan senjatanya.
Temannya masih berusaha menahan si sangar itu.
Kau tidak bisa membunuhku. Aku tidak keberatan untuk kembali ke pasukan kalau ini perintahkomandan. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Kalau kalian berniat baik, aku tunggu kalian besok
malam. Bawakan surat perintah komandan. Aku akan ikut kembali ke pasukan. Tapi kalau tidak
ada surat, aku tidak mau ikut, kata Burhanuddin tegas.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
30/121
30
Benar-benar akan kubunuh kau! bentak si sangar kembali
Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut tengah malam itu, petugas ronda kampung yangposnya berjarak 30 meter saja dari rumah Burhanuddin, membunyikan tong-tong tanda bahaya.
Tentara PRRI itu mungkin panik mendengar suara tong-tong itu. Mereka segera bersiap untuk
lari keluar. Si sangar masih sempat menarik pelatuk senjatanya yang sudah terarah ke kepalaBurhanuddin. Senjata itu menyalak dan Burhanuddin tersungkur rebah ke lantai bersimbah
darah. Keempat tentara PRRI itu menghambur ke dalam gelap. Istri Burhanuddin menghambur
keluar dari kamarnya dan menjerit histeris ketika dilihatnya Burhanuddin sedang dalam sakratulmaut. Beberapa menit kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Hebohlah suasana malam itu. Dan lebih heboh lagi pada pagi harinya. Tentara APRI datangmenyelidik dan menginterogasi istri Burhanuddin tentang ciri-ciri tentara PRRI yang datang tadi
malam. Istri Burhanuddin yang masih sangat terpukul menjelaskan apa yang dialaminya dan
suaminya tadi malam.
Jenazah Burhanuddin dimakamkan pagi hari itu. Yang paling terpukul dengan peristiwa ituadalah saudara kembarnya Syamsuddin. Dia pingsan berkali-kali mendengar berita kejadian itu.
Dan akhirnya dia kembali jatuh sakit.
*****
(6) Syamsuddin Yang MalangWednesday, 03 December 2008
Kampung berduka dengan kematian Burhanuddin. Masyarakat kampung sangat terpukul dengan
peristiwa itu, apalagi dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tentara PRRI ditembak tentara
PRRI. Sudah banyak jatuh korban selama perang ini di kampung mereka, tapi sebelum inikebanyakan adalah warga penduduk yang ditembak tentara APRI, baik yang dicurigai sebagai
orang PRRI, ataupun yang salah tembak karena lari ketakutan waktu tentara APRI masuk
kampung, terutama anak-anak muda umur belasan tahun. Tapi kali ini, kematian Burhanuddin,seorang anggota PRRI yang pulang karena sakit dan dibunuh oleh sesama tentara PRRI.
Benarkah karena dia dianggap berkhianat?
Kenapa Burhanuddin dianggap pengkhianat? Benarkah dia pengkhianat? Padahal dia
ditinggalkan atas perintah komandannya karena sakit malaria berat waktu itu di Bonjol. Bukandia yang minta ditinggalkan.
Cerita yang diceritakannya kepada istri dan saudara kembarnya Syamsuddin, tentangkomandannya Kapten Udin Kulabu menyerah, atau lebih tepat berkhianat, mulai dibicarakan
orang kampung. Karena istri Burhanuddin menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Dan
sesudah itu cerita itu jadi omongan semua orang. Dengan sendirinya simpati orang kampungmulai berkurang kepada PRRI. Perjuangan PRRI dan cara PRRI berjuang sangat jauh dari yang
digembar-gemborkan selama ini.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
31/121
31
Tentu saja ikut beredar cerita empat rupiah emas yang digondol komandan khianat itu. Dan
malam terbunuhnya Burhanuddin, tentara-tentara pembunuh itu juga berupaya meminta empat
rupiah emas, seperti yang diceritakan istri Burhanuddin. Hal ini tentu saja menambah buruk citraPRRI yang sudah mulai pudar. Kok seperti ini cara berjuang PRRI menuntut keadilan? Kok
seperti itu moral tentara PRRI? Meskipun sebahagian masyarakat masih ada yang bisa
melihatnya sedikit lebih jernih. Orang yang datang malam-malam itu bukan tentara PRRI, tapilebih pantas disebut perampok.
Ada sekelompok kecil orang yang ikut mencibir di kampung dengan peristiwa terbunuhnyaBurhanuddin. Bukan mencibirkan Burhanuddin, tapi mengejek PRRI. Orang-orang yang selama
ini memang tidak pernah bersimpati kepada PRRI. Kelompok yang terdiri hanya dari beberapa
orang itu dipimpin oleh seorang pemuka adat. Gelarnya Datuk Rajo Bamegomego. Datuk Rajo
Bamegomego seorang komunis, seorang PKI tulen. Bencinya kepada perjuangan PRRI selamaini, yang dipelopori oleh orang-orang yang berseberangan secara politik dengan PKI, naik
sampai ke ubun-ubun. Tapi selama ini kebencian itu hanya disimpan di dalam hati saja, karena
bagian terbesar penduduk justru sangat pro PRRI. Tidak mungkin dia melawan arus.
Setelah perang kelihatannya tidak terlalu memihak kepada PRRI, Datuk Rajo Bamegomego
mulai berani menyuarakan isi hatinya. Mula-mula dengan pelan-pelan. Tapi lama kelamaan diasemakin berani. Orang-orang PRRI yang dipimpin orang-orang Masyumi itu adalah orang-orangyang kontra revolusi, begitu katanya. Pengacau yang menyusahkan rakyat. Cobalah lihat, mereka
umumkan perang. Siapa yang menderita akibat perang? Tidak lain adalah rakyat. Maka rakyat
harus bangkit. Harus melawan. Orang-orang kontra revolusi itu harus dihancurkan, harusdibasmi sampai ke akar-akarnya. Rakyat harus bahu membahu menghancurkan kekuatan
pemberontak yang kontra revolusi itu.
Cerita seperti ini dihembuskannya dimana-mana. Kalau dulu secara bisik-bisik, sekarang dia
berani berkoar-koar di lepau kopi. Mari, ikutilah kami. Ikut PKI untuk mengenyahkan
pemberontak-pemberontak itu. Begitu dia sering berkampanye.
Satu dua orang mulai tertarik mendengarkan ajakan Datuk Rajo Bamegomego. Kalau dilihat
sepintas semua yang disampaikannya benar belaka. Sebelum perang PRRI ini kehidupanmasyarakat di kampung-kampung aman-aman saja. Rakyat hidup dalam semangat gotong
royong yang tinggi. Tapi setelah perang, mula-mula semua orang ikut berperang. Lalu lari masuk
hutan. Sebagian ada yang kembali karena tidak tahan lalu langsung kabur ke rantau. Sementara
yang tinggal di kampung tidak pula merasa aman. Siang takut kepada tentara APRI, malam takutkepada tentara PRRI. Akibatnya tatanan masyarakat jadi centang perenang.
***
Lama Syamsuddin terkapar sakit sesudah kematian Burhanuddin. Pada hari Burhanuddindikuburkan dia berkali-kali pingsan. Sepertinya ruhnya ikut dibawa pergi saudara kembarnya itu.
Belum lepas habis rindunya sesudah berpisah sekian lama, tiba-tiba sekarang saudaranya itu
seperti direnggutkan dari sisinya. Ketika Burhanuddin muncul di kampung, senang hatinya,
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
32/121
32
langsung sehat badannya. Lama kedua saudara itu bercengkerama seperti anak-anak kecil,
bercerita, tertawa-tawa, berjalan ke hilir ke mudik di tengah kampung.
Untunglah istrinya sangat telaten merawat. Dan selalu berusaha memberinya semangat untuk
tegar dalam menjalani kehidupan. Bagaimanapun juga sudah seperti itu ketentuan Allah Sang
Maha Pencipta, tidak mungkin dirubah lagi. Burhanuddin tidak mungkin akan hidup kembali.
Istri yang setia itu berusaha keras mencarikan obat untuknya. Dia berkeyakinan, sakit suaminya
kali ini lebih banyak disebabkan faktor kejiwaan. Karena saking dekatnya hubungan merekasebagai saudara kembar.
Alhamdulillah, lama kelamaan penyakit Syamsuddin mulai sembuh. Sedikit demi sedikit diamulai bisa kembali beraktifitas. Bisa pergi sembahyang jumat dan duduk ke lepau.
***
Di sebuah lepau kopi di kampung itu sering terjadi debat politik ala kampung. Yang palinggarang dalam berdebat adalah Datuk Rajo Bamegomego. Hampir pada setiap kesempatan engku
Datuk ini berkampanye tentang partainya PKI. Tentang revolusi. Tentang pentingnya arti
kekuatan segenap rakyat, termasuk buruh dan tani dalam mengawasi negeri ini. Sayangnya pula,tidak banyak yang sanggup mematahkan kaji orang tua ini. Ada yang segan karena dia iniseorang penghulu. Ada yang memang tidak tahu apa-apa sehingga segala yang keluar dari mulut
engku Datuk indah saja terdengarnya. Kalaupun ada yang menggerutu tidak setuju hampir tidak
pernah berani mematahkan pendapatnya.
Syamsuddin sering mendengar ceramah Datuk Rajo Bamegomego di lepau itu. Ikut terbakar
emosinya. Timbul simpatinya kepada engku Datuk itu. Lama-kelamaan simpati itupun semakinterbaca oleh engku Datuk. Jadilah dia ditawari ikut barisannya, ikut masuk partainya, PKI.
Syamsuddin tidak serta merta menerima. Sempat juga dia berdiskusi dengan istrinya di rumah.
Istrinya melarangnya ikut partai merah itu. Ketika dia bertanya apa alasannya, istrinya hanyamengatakan bahwa dia merasa partai komunis itu berbahaya. Kalau hanya perasaan tentulah
tidak boleh dijadikan alasan, begitu jawabnya. Istrinya mengingatkan lagi bahwa orang-orang
PKI itu atheis. Mereka tidak percaya dengan Tuhan. Syamsuddin kembali mematahkan, biarlahdia jadi komunis yang perkecualian, karena dia adalah orang yang tetap memelihara
sembahyang. Dia tetap percaya dengan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Akhirnya diapun masuk menjadi anggota PKI. Resmi dan diberi kartu anggota PKI. Senang hatiDatuk Rajo Bamegomego, karena dia salah satu orang berpendidikan yang berhasil direkrutnya.
Seorang pegawai kantor, meski dia hanya tamat sekolah desa di jaman Belanda.
Syamsuddin selalu diajaknya ikut kalau dia pergi rapat ke Bukit Tinggi atau ke Padang.
Syamsuddin selalu diindoktrinasi, agar menjadi kader yang benar-benar militan. Tidak boleh
melempem, tidak boleh loyo dan lemah, jangan hanya jadi kader sontoloyo, begitu selalu pesanengku Datuk kepadanya.
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
33/121
33
Perang PRRI akhirnya selesai. Orang-orang PRRI akhirnya menerima untuk kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi meski pada hakekatnya mereka sudah dikalahkan. Para pemimpinnya
ditahan pemerintah, tapi tentara biasa umumnya dimaafkan dan dibolehkan kembali kemasyarakat. Tapi luka akibat perang itu tertoreh sangat dalam. Sebahagian besar orang laki-laki
yang tadinya ikut berperang, berhamburan ke rantau. Malu untuk tetap tinggal di kampung.
Yang ikut menang adalah PKI. Partai itu semakin lantang saja suaranya. Memaki ke kiri dan kekanan, memusuhi setiap yang mereka anggap sebagai musuh revolusi. Yang dituduh sebagai
antek-antek kapitalis dan kolonialis. Di kampung-kampung, laki-laki sudah banyak yang pergi
merantau. Yang tinggal umumnya hanyalah petani, dan banyak di antaranya yang masih butahuruf. Ada petani yang tidak bersekolah itu yang mau diajak masuk partai komunis dengan
diiming-imingi cangkul dan sabit. Walaupun tidak banyak.
Syamsuddin selalu dibawa Datuk Rajo Bamegomego mengunjungi orang-orang kampung yang
petani itu. Di hadapan mereka biasanya engku Datuk berpidato berapi-api. Pidato itu sering kali
tidak terlalu jelas ujung pangkalnya, tapi secara sederhana isinya adalah ajakan, mari ikut
dengan kami, mari ikut masuk PKI, kita hancurkan musuh revolusi.
Sebenarnya engku Datuk seringkali dibuat jengkel oleh Syamsuddin karena tidak menurut semuaperintahnya. Ada dua perintah engku Datuk yang tetap dilanggarnya. Pertama perintah
meninggalkan sembahyang. Mulai dengan cara halus, dengan mengatakan mengerjakan
sembahyang itu nanti saja kalau perjuangan sudah selesai. Dengan cara setengah kasar, dengan
mencemeeh apa gunanya sembahyang yang membuang-buang waktu, tidak ada manfaatnya.Sampai dengan cara kasar, dengan mengatakan Syamsuddin bodoh, mau tunggang tunggik
menghadap yang sudah pasti tidak ada.
Hal kedua yang tidak kunjung dikerjakan Syamsuddin adalah menceraikan istrinya yang anggota
Masyumi itu.
Kamu harus menceraikan istrimu yang musuh dalam selimut itu Marajo, ujar Datuk Rajo
Bamegomego pada suatu kesempatan.
Gelar Syamsuddin adalah Sutan Marajo.
Musuh bagaimana engku Datuk? Dia taat dan patuh kepada saya. Apa alasan saya
menceraikannya?
Kamu jangan jadi komunis sontoloyo. Masak kamu tidak melihat orang seperti istrimu itumusuh? Dia orang Masyumi. Masyumi itu partainya para pemberontak. Masak kamu tidak
faham?
Di rumah dia tidak sejahat itu engku. Baju saya dicucikannya, makanan saya dimasakkannya,
anak-anak saya diurusnya, bagaimana mungkin saya akan menceraikannya?
Kau betul-betul bodoh. Kalau itukan memang sudah menjadi tugas istri. Ceraikan dia, cari istri
yang lain, yang sefaham dengan perjuangan kita. Kalau kau dapat istri baru, maka tugas istrimu
-
7/29/2019 Anak Manusia Korban Politik
34/121
34
itu nantipun akan seperti itu juga. Mencucikan bajumu, memasakkan nasi untukmu, engku
Datuk bertambah marah.
Tapi diakan ibu anak-anak saya. Masakan harus beributiri pula anak-anak saya?
Hei Marajo teleng!. Orang komunis sejati itu merah darahnya, merah tulangnya, merah hatinya,merah segala-galanya. Jangankan menceraikan istri, kalau diharuskan oleh perjuangan, kalau
memang terbukti istri itu musuh, seorang komunis sejati tidak akan ragu-ragu membantai
istrinya. Jangankan istri, orang tuanyapun bila perlu sanggup dia membantai. Jelas olehmu?Camkan itu! Kalau kau tidak mau menjadi kader yang militan kau akan digilas roda revolusi.
Hati-hati kau! Aku sudah berkali-kali mengalangkan leherku membela kau di hadapan kamerad
lain di Padang. Gara-gara sembahyang kau. Sembahyang yang jelas tidak ada gunanya itu.Pekerjaan orang sakit jiwa yang percaya takhayul. Percaya sesuatu yang tidak ada. Kamerad
yang lain sudah ingin agar kau keluar saja. Kau diselesaikan saja. Kau hanya akan menjadi
penyakit di dalam tubuh partai. Aku masih kasihan kepadamu. Makanya aku kalangkan marihku
membelamu. Kau tak kunjung faham-faham juga.
Syamsuddin diam saja. Dalam hatinya sedikitpun tidak ada niatnya untuk menceraikan istrinya.
Partai ini sepertinya makin kelihatan tidak sendereh. Tapi sayang dia sudah berada di dalam.Biarlah, selama kemarahan Datuk Rajo Bamegomego baru sampai sejauh itu masih bisa
ditahankannya. Biarpun dia bercarut-carut bungkang sekalipun. Tapi kalau sudah mengancam-
ancam mungkin dia harus berpikir lebih jauh. Dia tidak yakin engku Datuk akan berbuat lebihjahat kepadanya. Paling tidak belum sekarang ini. Karena selama ini dia masih sangat
dibutuhkan. Sekurang-kurangnya, kalau ada urusan rapat ke Padang selalu dia yang membayar
karcis oto.
Jadi dia aman-aman saja. Kalau engku Datuk kembali heboh, kapanpun, cukuplah dia
mengorbankan telinganya saja. Didengar dengan telinga kanan, dikeluarkan kembali lewattelinga kiri.
Di rumah segala cerita ganjil-ganjil yang didapatnya dari lingkungan partai diceritakannyakepada istrinya. Istrinya menasihatinya supaya segera sajalah keluar dari partai itu. Partai yang
terlalu kasar sepak terjangnya dan sangat menghina akidah. S