2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)
Cakalang adalah ikan pelagis perenang cepat (good swimmer) dan
mempunyai sifat rakus (varacious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan
hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam
bentuk torpedo yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan
kuat ke arah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Penangkapan ikan
cakalang dapat menggunakan pole and line, hand line dan tonda.
Cakalang memiliki tubuh fusarium, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill
net) berjumlah 53-65 pada helai pertama. Mempunyai 2 sirip punggung yang
terpisah. Pada sirip punggung pertama terdapat 14-16 finlet dan sirip punggung
kedua terdapat 7-9 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada badan dan lateral line
terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna gelap disisi bawah dan perut
keperakan dengan 4-6 buah garis-garis berwarna kehitaman (gelap) yang
memanjang pada bagian sepenjang badan (Matsumoto et al. 1984).
Cakalang mempunyai ukuran panjang 50-70 cm dan berat 1500-5000 g,
dengan perbandingan rata-rata untuk setiap bagian tubuh adalah sebagai berikut :
daging putih 1-2 %, daging merah 10 %, kepala 11-26 %, insang 3,3 %, isi perut
6,6 %, hati 0,9-3,5 %, ekor dan sirip 1,5-2,5 %, tulang 8,1-11,1 % dan kulit
3,8-6,6 % (Kizevetter 1993). Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et al.
(1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subfilum : Craniata
Superkelas : Gnastomata
Series : Pisces
Kelas : Teleostomi
Subkelas : Actinopterigii
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridae
Famili : Scombridae
8
Subfamili : Scombrina
Tribe : Thunnini
Genus : Katsuwonus
Spesies : Katsuwonus pelamis, Lin
Daerah penyebaran ikan cakalang adalah perairan tropis dan subtropis
pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini
dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran
menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran
menurut kedalaman perairan (Matsumoto et al. 1984). Morfologi ikan cakalang
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) (www.google.image.com)
Daging ikan cakalang segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari
kadar air 70,40 %, kadar lemak 1,81 %, kadar protein 21,45 %, kadar abu 1,27 %
dan kadar serat kasar 1,81 %. Ikan cakalang juga mengandung histidin yang
tinggi yaitu 13,4 ppm daging (Matsumoto et al. 1984).
9
2.2. Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan
biologis oleh enzim atau mikroorganisme pembusuk, sehingga memerlukan
penanganan yang khusus untuk mempertahankan mutunya. Ikan sebagai bahan
mentah yang cepat mengalami pembusukan, maka perlu diterapkan teknik
penanganan yang baik meliputi waktu penanganan, temperatur dan kebersihan
(Astawan et al. 1993; Soenardi 2005).
Mutu kesegaran ikan dinilai berdasarkan sejauh mana ikan tersebut masih
segar (Syah 2004). Ikan segar merupakan ikan yang baru saja ditangkap belum
disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu tidak berubah serta tidak
mengalami kerusakan (SNI 01-2729-1992). Nilai kesegaran ikan ditentukan oleh
kondisi tempat penangkapan, metode penangkapan dan penanganan yang
dilakukan terhadap ikan. Nilai kesegaran ikan menunjukkan mutu ikan tersebut.
Tingkat mutu ikan ditentukan oleh kenormalan semua variabel sensori yang
meliputi penampakan, tekstur dan bau. Semua variabel sensori ini memiliki
hubungan dengan sifat fisiko-kimia ikan (Botta 1994).
Menurut Yunizal dan Wibowo (1998) untuk mengenali segar tidaknya
ikan dapat dilakukan pengamatan visual terhadap penampilan ikan secara
menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang dan adanya lendir, meraba
adanya lendir dan kelenturan ikan, menekan daging ikan untuk melihat teksturnya
dan mencium bau ikan.
Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisiko-kimia dan
mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya
bermuara pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah
pre-rigor, rigormortis, autolisis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada
ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase
ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan yang
membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh. Lendir yang dilepaskan
tersebut sebagian besar terdiri dari glukomukoprotein (Rahayu et al. 1992).
Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar
adenosin triphosphate (ATP) dan keratin fosfat seperti halnya pada reaksi
glikolisis (Eskin 1990). Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis
10
ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati sebagai hasil perubahan
biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995). Hilangnya kelenturan
ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada
tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Setelah itu, ikan memasuki
tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara
bertahap. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam
tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda
datangnya proses rigor. Fase rigormortis dianggap penting, karena pada fase ini
belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih
dalam keadaan segar (Eskin 1990).
Rigormortis merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada daging
ikan segera setelah ikan mati, ditunjukkan oleh perubahan kreatin fosfat menjadi
ATP dan dimulai pada saat kandungan ATP mulai berkurang. Senyawa ATP
terus terdegradasi dan tingkat rigormortis sempurna terjadi pada saat
konsentrasinya mencapai 1 µmol/g (Mazzarano-Manzano et al. 2000). Serabut
otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel
menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak dan lentur
kembali. Keadaan ini berlangsung selama 1–7 jam sesaat setelah ikan mati. Nilai
pH ikan pada fase ini sekitar 6–7 (Eskin 1990). Tahapan kemunduran mutu ikan
Sakaguchi (1990) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan kemunduran mutu ikan
Parameter Tahapan kemunduran mutu ikan
Pre-rigor Rigormortis Post-rigor Pembusukan Penampakan umum
Cerah dengan kilauan metalik
Kilau menurun
Warna memudar atau pucat
Kondisi permukaan Bersih dan transparan Keruh, opaq/
seperti susu Tebal, lengket, kelabu
Warna insang Merah cerah atau merah segar
Merah kecoklatan
Coklat atau kelabu
Bau insang Bau segar Asam atau anyir Sangat asam
Resistensi daging
Lembut dan elastis
Keras dan elastis
Elastisitas menurun
Lunak dan lembek
Penampakan daging Semi transparan Keruh
Sumber: Sakaguchi (1990)
11
Marioka et al. (1999) menjelaskan bahwa kondisi post-rigor merupakan
permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh
bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat
dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi terutama pada ikan yang
disimpan tanpa dibuang isi perutnya.
Proses autolisis akan menyebabkan penguraian protein menjadi senyawa
yang lebih sederhana yaitu peptida, asam amino dan amonia yang akan
meningkatkan nilai pH daging ikan. Autolisis ditandai dengan adanya senyawa
amonia, yang pada tahap sebelumnya tidak dihasilkan pada jaringan tubuh ikan
(FAO 1995). Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan oleh aktivitas
enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika
hidup. Pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat,
sebab pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim
berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan
perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang
dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah (Clucas dan Ward 1996).
2.3. Mikrobiologi Ikan Segar
Keberadaan mikroba pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
spesies ikan, lingkungan air, habitat, cuaca dan cara penangkapan. Pengaruh
spesies ikan terhadap populasi mikroorganisme terutama disebabkan oleh
perbedaan kandungan lendir pada kulit ikan antara satu spesies dengan spesies
lainnya. Lendir yang menutupi ikan mengandung bakteri jenis Pseudomonas,
Sarcina, Serattia, Micrococcus, Vibrio dan Bacillus (Kimata 1961).
Bakteri yang berhasil diisolasi dari saluran usus ikan segar meliputi
Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter, Flavobacterium,
Pseudomonas dan Xanthomonas. Bakteri yang terdapat pada insang, usus dan
lendir ikan sebanyak 60 % terdiri dari jenis Pseudomonas dan Achromobacter,
20 % terdiri dari jenis Corynebacterium, Flavobacterium dan Micrococcus.
sedangkan sisanya adalah Alcaligenes, Bacillus, Proteus, Seratia, Graffkya dan
E. coli (Rahayu et al. 1992).
12
Lingkungan air mempengaruhi mikroorganisme pada ikan. Ikan yang
hidup di laut utara membawa banyak bakteri psikrofilik, sedangkan ikan yang
hidup di laut tropis lebih banyak membawa bakteri mesofilik. Ikan yang hidup di
air tawar membawa bakteri jenis Brevibacterium, Alcaligenes, Streptococcus, dan
Lactobacillus. Ikan banyak mengandung bakteri apabila dibiarkan dalam waktu
2-3 jam pada suhu kamar akan cepat mengalami pembusukan. Bakteri yang
berperan dalam kebusukan ikan adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang
terutama dari jenis Pseudomonas, Achromobacter dan Alcaligenes
(Rahayu et al. 1992).
Kepadatan bakteri pada ketiga lokasi insang, kulit, dan usus tidak sama.
Kepadatan bakteri masing-masing pada insang berkisar 103-105 Cfu/g, kulit
berkisar 102-106 Cfu/g dan pada usus berkisar 103-107 Cfu/g. Bakteri-bakteri
tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka-luka yang terdapat
pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju
jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam
dan cara ketiga yang paling sedikit (Hadiwiyoto 1993).
Proses pengawetan dan pengolahan ikan ditujukan untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Banyak cara yang telah dilakukan untuk
mencegah atau menghambat proses perubahan yang disebabkan oleh bakteri,
antara lain dengan menyiangi ikan, merendam ikan dalam zat kimia,
menggunakan es batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses
pembekuan (Clucas dan Ward 1996).
2.4. Protein Ikan
Ikan mengandung protein yang cukup tinggi dan komposisi asam
aminonya tidak sama dengan hewan-hewan darat. Ditinjau dari kandungan asam
aminonya, maka protein ikan diklasifikasikan sebagai sumber protein yang
bermutu tinggi sebab mengandung asam amino esensial yang lengkap
(Zaitsev et al. 1969; Suzuki 1981). Protein adalah senyawa yang mempunyai
berat molekul besar, yaitu ribuan sampai jutaan dalton. Protein merupakan
komponen utama dalam sel hidup dan memegang peranan penting dalam proses
kehidupan. Hasil-hasil hewani yang umum digunakan sebagai sumber protein
13
adalah daging (sapi, kerbau, kambing, dan ayam), telur (ayam dan bebek), susu
dari hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang dan kerang (Zaitsev et al. 1969;
Winarno et al. 1993).
Protein hewani disebut juga protein yang lengkap dan bermutu tinggi
karena mempunyai asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati
apa yang diperlukan oleh tubuh dan daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang
dapat diserap oleh tubuh juga tinggi (Sakaguchi 1990). Komponen asam amino
ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi
Sumber: a) Zaitsev et al. (1969) b) Mahmud et al. (1990) c) Slamet dan Purawisastra (1979)
Pada Tabel 2 dapat dilihat ada beberapa jumlah asam amino ikan yang
sama dengan daging sapi, namun demikian jumlah jaringan ikat dalam otot ikan
lebih kecil dari pada daging sapi serta serat-serat otot ikan lebih pendek daripada
serat-serat otot sapi. Hal ini menyebabkan tekstur daging ikan lebih empuk dari
daging sapi (Slamet dan Purawisastra 1979).
Asam amino Ikan laut (%) a) Ikan air tawar (%) b) Daging sapi (%) c) Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Isoleusin Leusin Metionin Serin Treonin Valin Arginin Lisin Histidin Fenilalanin Prolin Triptofan Tirosin
5,2 – 7,8 6,2 -11,8 5,9 -15,6 1,0 – 5,6 2,6 – 7,7 3,9 – 18,0 1,5 – 3,7 2,5 – 5,4 0,6 – 6,2 0,6 – 5,4 2,6 – 9,6 4,1 – 14,4 1,2 – 5,7 1,9 – 4,8 3,0 – 7,1 0,4 – 1,4 1,3 – 5,0
10,34 18,3 3,03 8,37 7,8
13,34 6,64 1,0 7,5 8,2 1,1 1,6 5,91 8,56 5,8 1,26 7,9
3 6,05 11,95
3,3 2,23 4,91 2,07 1,76 2,92 2,14 4,07 4,92 1,62 2,71 1,91 5,4
2,30
14
2.5. Histidin dan Histamin
Histidin secara alami ditemukan pada kebanyakan hewan dan tumbuhan
terutama yang tinggi proteinnya seperti ikan, unggas, keju dan biji
gandum. Histidin adalah salah satu asam amino yang merupakan prekursor
histamin (Tjay dan Rahardja 2007). Pada umumnya histidin bebas merupakan
histidin yang dihasilkan dari degradasi protein pada saat ikan tersebut mengalami
pembusukan (Brink et al. 1990; Stratton et al. 1991; Lehane dan Olley 2000).
Ada dua macam histidin dalam daging ikan yaitu histidin bebas dan
histidin terikat dalam protein. Hanya histidin bebas yang dapat mengalami
dekarboksilasi menjadi histamin. Histidin bebas yang terdapat pada daging ikan
erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua
daging ikan yang berwarna merah seperti cakalang, marlin dan sardin, tinggi
kandungan histidin bebasnya (Pan 1984).
Rossi et al. (2003); Kung et al. 2005; McLauchlin et al. 2005;
Veciana et al. (1996); Kuda et al. (2007) menjelaskan bahwa histidin bebas
banyak terdapat pada ikan scombroid yang berasal dari famili scombroidae dan
jaringan lainnya seperti pada jeroan khususnya pilorikaeka dan usus. Lehane dan
Olley (2000); Tsai et al. (2007) menambahkan bahwa histamin adalah senyawa
yang terdapat di dalam daging ikan yang menyebabkan keracunan scombroid.
Keracunan scombroid merupakan salah satu jenis intoksikasi pangan yang
disebabkan oleh mengkonsumsi spesies ikan laut scombroid dan
sejenisnya. Keracunan histamin (intoksikasi kimiawi) terjadi dalam beberapa
menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung
histamin tinggi. Intoksikasi histamin tersebut terjadi dengan gejala seperti;
kemerahan di sekitar leher dan wajah, badan terasa panas dan gatal-gatal. Gejala
penderitaan yang dialami konsumen biasanya selama beberapa jam, tetapi pada
beberapa kasus gejala tersebut dapat sampai beberapa hari.
15
2.5.1. Kandungan histamin dan pembentukannya pada ikan
Histamin merupakan senyawa amin biogenik hasil dekarboksilasi asam
amino histidin (ά-amino ß-inidosal asam propionat) (Keer et al. 2002; Tjay dan
Rahardja 2007). Kandungan histamin pada ikan segar adalah rendah tetapi pada
ikan busuk, kandungannya menjadi tinggi (Tsai et al. 2007). Nigous et al.
(1990) menyatakan bahwa penyebab reaksi dekarboksilasi adalah berupa enzim,
panas ataupun suasana basa. Reaksi pembentukan histamin menurut
Cheffel et al. (1986) disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Reaksi pembentukan histamin (Cheffel et al. 1986)
McLauchlin et al. (2005); Suryanti et al. (2006) melaporkan kandungan
histamin pada ikan scombroid yang sudah rendah mutunya bervariasi antara
10-100 ppm bahkan kadang-kadang sampai 700-1000 ppm. Kadar histamin jika
melebihi 25 ppm sudah mulai terbentuk kerusakan, kadar >50 ppm sudah
berbahaya untuk kesehatan dan kadar >100 ppm sudah bersifat racun pada
manusia (SNI 01-2360-1991). Standar yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP
DKP (2007) kadar histamin untuk hasil dan produk perikanan adalah 100 ppm.
Brink et al. (1990) melaporkan kandungan histamin 100-800 ppm sudah toksik,
kadar 500 ppm sudah berbahaya bagi kesehatan manusia (Askar dan
Treptow 1993), sedangkan kadar histamin produk perikanan yang masih aman
untuk dikonsumsi adalah <5 ppm (USDFA 2001).
16
Pada tahun 1998 di New Zaeland, dilaporkan terjadi keracunan histamin
pada pengunjung restoran yang memakan steak tuna yang mengandung histamin
>50 ppm (Mah et al. 2002). Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada
setiap spesies ikan tergantung pada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri
yang menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba dan dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan dan pH (Pan 1984; Fardiaz 1993; Kushner 1998; Lehane dan
Olley 2000; Kim et al. 2000).
Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimia segera
setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase
rigormortis, enzim di dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna tekstur, bau dan penampakan
ikan (Hidayat et al. 2006). Menurut Sillasantos et al. (1996); Lehane dan Olley
(2000); Tsai et al. (2007) bahwa jumlah histamin yang dihasilkan dari aktivitas
bakteri lebih banyak daripada hasil reaksi autolisis. Jumlah histamin yang
dikandung oleh ikan dipengaruhi oleh jumlah mikroba atau bakteri yang terdapat
pada ikan tersebut.
Kandungan histamin pada ikan yang berukuran kecil jauh lebih banyak
dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar (Syah 2004). Bakteri pembentuk
histamin lebih banyak dijumpai pada insang dan jeroan ikan daripada kulit karena
insang dan jeroan merupakan sumber bakteri (Shewan dan Hobbs 1997). Hasil
penelitian Keer et al. (2002); Kim et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat
hubungan atau korelasi positif antara jumlah bakteri dan kadar histamin yang
dihasilkan. Pada jaringan ikan beku yang dithawing, produksi histaminnya dapat
terhambat. Hal ini disebabkan oleh rusaknya bakteri penghasil histamin dalam
proses pembekuan (freezing) dan thawing sehingga mencegah pembentukan
senyawa tersebut.
Kim et al. (2004); Tsai et al. (2007) menjelaskan bahwa aktivitas bakteri
dan pembentukan histamin dipengaruhi oleh suhu dan waktu inkubasi. Tiap-tiap
spesies mempunyai suhu dan waktu optimum yang berbeda. Bakteri pembentuk
histamin dapat dikelompokkan menjadi spesies yang mampu memproduksi
histamin dalam jumlah besar (>100 ppm) pada suhu di atas 15 0C dengan lama
inkubasi < 24 jam dan spesies yang memproduksi histamin dalam jumlah kecil
17
(< 25 ppm) setelah diinkubasi pada temperatur 30 0C selama > 48 jam. Bakteri-
bakteri yang dapat mendekarboksilasi histidin disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Bakteri-bakteri yang mendekarboksilasi histidin
Bakteri Morfologi
Hafnia spp., Hafnia alvei
Klebsiella spp., Klebsiella pneumonia,
Escherichia coli
Clostridium spp., C. perfringens
Lactobacillus spp., Lactobacillus 30a
Enterobacter spp.
Proteus sp., Proteus morganii
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Gram-positif, batang, anaerobik
Gram-positif, batang, fakultatif anaerobik
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Sumber : Eitenmiller et al. (1981)
Hasil penelitian Taylor dan Behling (1982); Tsai et al. (2007)
menunjukkan bahwa bakteri Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan
Enterobacter aerogenes termasuk penghasil histamin yang paling banyak,
sedangkan Hafnia alvei, E. coli dan Clostridium freundii menghasilkan histamin
sedikit. Keer et al. (2002); Setiyono (2006) menyatakan bahwa histamin
merupakan komponen biogenik amin yaitu bahan aktif yang diproduksi secara
biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada
berbagai bahan pangan seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi.
Menurut Orejana (1984) bahwa adanya histamin pada daging ikan
berkaitan dengan ”Scombroid poisoning” sehingga histamin dapat digunakan
sebagai indikator adanya suatu toksin dalam tuna, mackerel (kembung) dan ikan-
ikan sejenis lainnya. Istilah ”Scombroid poisoning” merupakan istilah yang
umum digunakan untuk menyebutkan ikan yang secara alami telah mengandung
senyawa toksin. Ditambahkan lebih lanjut oleh Veciana et al. (1996); Rossi et al.
(2003) bahwa ikan-ikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan tongkol,
kembung, cakalang, tuna dan bonito.
Yatsunami et al. (1994) melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin
yang diisolasi dari produk fermentasi ikan sardin adalah Staphylococcus,
Micrococcus, Vibrio dan Pseudomonas. Kuda et al. (2001); Kuda et al. (2002)
18
menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan mackerel dan ikan sardin berkisar
12,6-30,5 ppm, sedangkan bakteri pembentuk histamin yang paling
dominan adalah bakteri asam laktat berbentuk kokus Tetragenococcus.
Kobayashi et al. (2004) melaporkan bakteri pembentuk histamin yang berhasil
diidentifikasi dari fermentasi ikan mackerel dan ikan sardin adalah T. mutiaticus.
Dapkevicius et al. (2000) melaporkan juga bahwa ditemukan strain
Lactobacillus sake yang mendegradasi histidin menjadi histamin dalam pasta ikan
sardin yang difermentasi. Mah et al. (2002) melaporkan bahwa peningkatan
histamin pada sardin dan mackerel setelah penyimpanan pada suhu 4 0C selama
fermentasi 10 hari berkisar 521-751 ppm.
2.5.2. Reaksi fisiologis histamin
Histamin mempunyai fungsi penting dalam tubuh yaitu dihubungkan
dengan fenomena fisiologis, patologis terutama dengan pelepasan pada reaksi
anafilaksis dan alergi. Alergi berarti masuknya suatu bahan asing yang
menyebabkan reaksi tidak menyenangkan di dalam jaringan tubuh, namun tidak
terjadi pada setiap orang. Keracunan adalah efek dari mengkonsumsi pangan
tertentu yang melebihi dari yang ditetapkan berlaku pada setiap orang. Secara
garis besar reaksi alergi dapat dibagi atas 3 golongan yaitu reaksi pertama terjadi
sangat cepat, reaksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga bibir, lidah dan
tenggorokan langsung membengkak dan menghalangi masuknya makanan.
Manifestasi alerginya cepat sehingga mudah diketahui makanan yang
mengandung alergen. Reaksi kedua terjadi lebih lambat perlu waktu berjam-jam
lamanya dengan demikian lebih sukar untuk mengetahui makanan mana yang
bertanggung jawab atas manifestasi alergi pada seorang penderita. Reaksi ketiga
lebih lama lagi, manifestasi klinis dari reaksi ketiga ini biasanya berupa
kemerahan pada kulit (Rengganis 2007).
Ada 5 gejala kunci alergi yang dapat terjadi apabila seseorang
mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung alergen yaitu pembengkakan di
sekitar mata, tangan, abdomen dan pergelangan, denyut jantung yang cepat atau
berdebar-debar khususnya terjadi setelah makan, keringat yang berlebihan
19
walaupun tidak berolah raga. Reaksi antigen-antibodi menyebabkan pelepasan
histamin sehingga terjadi fase dilatasi, gatal dan edema (Mumby 1995).
Pelepasan histamin selama terjadi reaksi antigen-antibodi telah
dilaporkan oleh para peneliti. Histamin telah diketahui merupakan perantara
terjadinya fenomena hipersensitivitas (Syamsudin 1990). Keracunan histamin
jarang terjadi dan biasanya terjadi karena overdosis. Gejala utama yang timbul
yaitu sakit kepala, diare, muntah-muntah, bibir bengkak dan rasa terbakar di
tenggorokan (Rice et al. 1976; Ronald et al. 1999). Menurut Lehane dan Olley
(2000) keracunan histamin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu keracunan
tingkat lemah apabila mengkonsumsi 8 - 40 ppm, keracunan sedang apabila
mengkonsumsi 70 - 100 ppm dan keracunan kuat apabila mengkonsumsi
150 - 400 ppm histamin.
2.6. Fermentasi
Proses fermentasi adalah pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan
karbondioksida (CO2), tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu
menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan
alkohol dan CO2 saja. Selain karbohidrat, protein dan lemak dapat juga dipecah
oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak
dan zat-zat lainnya (Rahayu et al. 1992).
Fukami et al. (2002); Syah (2004) menjelaskan bahwa pada prinsipnya
fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi
komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba
dalam keadaan terkontrol, dimana bahan-bahan atau komponen yang dihasilkan
dapat menghambat kegiatan mikroba pembusuk. Selain menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, perubahan yang terjadi
dapat memperbaiki nilai gizi produk.
Gildberg dan Thongthai (2001); Ichimura et al. (2003) menyatakan
bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab
fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat
menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan
kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil fermentasi terutama
20
tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi di
sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba
tersebut.
Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka
fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan
dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang
dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi
mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara
spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya.
Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya
ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, dimana mikroba tersebut
akan berkembang biak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi
menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1993; Ruddle dan Ishige 2005).
2.6.1. Fermentasi dengan garam
Peranan garam dalam fermentasi adalah sebagai penyeleksi
mikroorganisme yang diperlukan. Jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh
pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang tumbuh. Oleh
karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi
apabila faktor-faktor lainnya sama (Winarno et al. 1993; Hermansyah 1999).
Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi
yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol
pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi dan menghambat
pertumbuhan mikroorgansime pembusuk dan patogen (Rahayu et al. 1992;
Winarno et al. 1993; Ijong dan Ohta 1995).
Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan
mikroorgansime pembusuk dan patogen karenanya mempunyai sifat-sifat
antimikroba yaitu: garam akan meningkatkan tekanan osmotik substrat; garam
menyebabkan terjadinya penarikan air dalam bahan pangan, sehingga aw bahan
pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh; garam
menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam sel mikroorganisme sehingga
sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan; ionisasi garam akan
21
menghasilkan ion klor yang beracun terhadap mikroorganisme dan dapat
mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya dena
turasi protein (Heruwati 2000; Rahayu et al.1992).
Fermentasi menggunakan garam sangat berperan dalam penguraian
senyawa-senyawa seperti enzim dari ikannya sendiri, terutama enzim dari isi perut
dan mikroorganisme yang berasal dari ikan maupun garam yang digunakan
(Rahayu et al. 1992). Ijong dan Ohta (1995) menambahkan bahwa pada proses
pembuatan bakasang ikan sardin, garam yang digunakan selain berfungsi untuk
mengikat air dan pemberi rasa sedap juga dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak dikehendaki.
2.6.2. Fermentasi bakasang
Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian
secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama
protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan
terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi
asam-asam amino dan peptida yang berperan dalam pembentukan cita rasa
produk. Jika ke dalam bahan mentahnya ditambahkan sumber karbohidrat,
misalnya pati atau nasi, maka selama fermentasi akan terjadi pemecahan pati
menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti asam dan alkohol
(Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993).
Produk akhir fermentasi ikan dapat berupa ikan utuh, pasta atau saus.
Prinsip pengawetan pada produk fermentasi ikan disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya penurunan aktivitas air oleh garam, gula, pengeringan dan
dikombinasikan dengan penurunan pH oleh bakteri pembentuk asam
(Rahayu et al. 1992). Bakasang adalah suatu produk fermentasi ikan berupa
larutan kental (semisolid) dan dibuat melalui fermentasi dengan medium garam
yang rasanya asam dan biasanya disajikan sebagai pelengkap lauk yang
sebelumnya dibumbuhi cabe dan gula. Bakasang merupakan salah satu produk
fermentasi oleh mikroba fermentatif yang disebut bakteri asam laktat
(Gunena 2000; Ijong dan Ohta 1995).
-
22
Bakasang digolongkan dalam fermentasi spontan, karena dalam
pembuatannya dilakukan penambahan garam dan tidak menambahkan starter
mikroba maupun karbohidrat. Produk fermentasi yang dibuat menggunakan kadar
garam tinggi tidak dapat digunakan sebagai makanan sumber protein karena
rasanya yang terlalu asin, sehingga jumlah yang dapat dikonsumsi juga
terbatas. Produk-produk semacam ini biasanya hanya digunakan sebagai bahan
perangsang makan, penyedap makanan atau bumbu. Proses fermentasi ikan
merupakan proses biologis atau semi-biologis yang pada prinsipnya dapat
dibedakan atas empat golongan (Rahayu et al. 1992) yaitu:
1). Fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, misalnya dalam pembuatan
peda, kecap ikan dan bakasang.
2). Fermentasi menggunakan asam-asam organik, misalnya dalam pembuatan
silase ikan dengan cara menambahkan asam-asam propionat dan format.
3). Fermentasi menggunakan asam-asam mineral, misalnya dalam pembuatan
silase ikan menggunakan asam-asam kuat.
4). Fermentasi menggunakan bakteri asam laktat, misalnya dalam pembuatan
bakasang.
Daengsubha (1998) melaporkan bahwa dari produk Plaa-ra (produk
sejenis bakasang yang berasal dari ikan air tawar di Thailand) dengan waktu
fermentasi selama 6 bulan telah ditemukan mikroba seperti Bacillus, Pediococcus
halophilus, Micrococcus sp. dan Staphylococcus epidermis dengan komposisi
terdiri dari 7,95-20,28 % protein, 11,61-23,82 % garam, pH 4,0-6,90 serta terdapat
0,71-1,94 % asam laktat. Sumanti (1998) berhasil melakukan isolasi dan
identifikasi bakteri halofilik selama fermentasi jeroan ikan cakalang, ditemukan
bakteri seperti Micrococcus, Halobacterium salinarum, Staphylococcus sp dan
Bacillus sp. Pada fermentasi bakasang ikan sardin yang diteliti oleh Ijong dan
Ohta (1995) ditemukan bakteri asam laktat Lactobacillus pada pH 5,5-5,9
menggunakan kadar garam 20 % dan lama fermentasi 14 hari.
Mikroba yang berhasil diisolasi dari bakasang ikan mujair ditemukan
Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Clostridium,
Micrococcus, Enterobacter, Enterococcus dan Streptococcus dengan pH 5-7
selama 2 hari fermentasi (Gunena 2000). Muller et al. (2002) melaporkan bahwa
23
mikroflora yang diisolasi dari produk fermentasi Plaa-som (salah satu produk
fermentasi ikan laut (Channas triatus) selama 12 hari fermentasi ditemukan
Lactobacillus plantarum, Lalimentarius, Lactococcus garviae, Pediococcus
pentosaceus, Staphylococcus dan Zygossacharomycez sp. Komposisi kimia silase
jeroan ikan cakalang (produk sejenis bakasang dari Sulawesi Utara) terdiri dari
protein 14,82-15,91 %, lemak 0,91-1,37 %, air 69,13-75,38 % dan kadar abu
13,12-15,07 % (Kaseger 1986).