dari kaki ka’bah: · web viewmereka bergerak kian-kemari di antara jamaah, seperti kelelawar yang...

100
DARI KAKI KABAH sebuah catatan perjalanan haji persembahan kepada anak-anak kami angga anugerah andya adis dengan harapan agar pada suatu hari kelak mereka berkesempatan jua ’tuk menapaki kaki Ka’bah

Upload: others

Post on 25-Dec-2019

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DARI KAKI KA’BAHsebuah catatan perjalanan haji

persembahan kepada anak-anak kamianggaanugerahandyaadis

dengan harapanagar pada suatu hari kelakmereka berkesempatan jua’tuk menapaki kaki Ka’bah

PROLOG

Keputusan kami – saya dan suami – untuk pergi ke tanah suci terasa sangat mendadak. Kami memang bermaksud naik haji, tapi tidak tahun ini. Suatu hari Mas – suami saya – telpon dan mengajak berangkat, mumpung pendaftaran masih ada dua hari lagi. Wow, dua hari lagi? Bukankah akan sangat mepet? Quota pasti sudah habis, bahkan sejak sebulan yang lalu!

Segera saya telpon kakak/mBakyu ipar saya, yang kebetulan memang penyelenggara haji. Quota haji biasa ternyata sudah habis. Tinggal haji plus. Ok-lah, kami tidak ada pilihan lain.

Esoknya tiba-tiba menjadi hari yang sibuk. Perlu pasfoto yang memakai kerudung, 75% tampak kepala, berlatar putih. Puluhan lembar dengan ukuran bermacam-macam. Lantas kirim KTP. Kirim uang, meski baru setengahnya. Lantas kami menunggu. Akankah kami berangkat? mBakyu ipar saya dan teman-teman penyelenggara haji senantiasa menjawab diplomatis “Kalau memang jatahnya pergi, ya Insya Allah bisa pergi. Siap-siap saja ya”.

Dua bulan berselang. Kami masih belum ada kepastian. Setiap bertanya selalu mendapat jawaban yang senada, walau tampaknya lebih optimis. Hingga suatu hari, mBakyu ipar saya menelpon dan mengabarkan bahwa kami pasti berangkat. Tapi, kok kami tidak ditagih-tagih biaya? “Gampang, nanti saja,” katanya.

Sehari-hari saya dan Mas selalu sibuk bekerja. Maklum, anak-anak sudah besar dan sudah tidak bersama kami lagi. Di sela-sela waktu luang, Kami mulai baca-baca buku panduan haji. Juga nonton DVD panduan haji.

Saat manasik ternyata saya tidak bisa hadir karena saya pergi ke Hanoi. Mas hanya bisa hadir satu hari, membolos satu hari. Beberapa minggu kemudian ada manasik lagi, yang terakhir, yang membicarakan hal-hal teknis saja. Juga suntik meningitis dan wawancara dengan dokter.

Bekal informasi saya betul-betul minimal. Penyelenggara haji selalu berusaha menenangkan saya. “Jangan khawatir, Bu. Kami akan selalu ada membimbing Ibu.” Namun tetap saja saya merasa menjadi orang yang sangat “buta huruf” dalam urusan per-naik-haji-an ini.

Ongkas naik haji yang plus itu akhirnya dilunasi, tiga minggu sebelum jadwal keberangkatan. Persiapan selanjutnya adalah lebih rumit: belanja! Ya, belanja untuk keperluan naik haji, khususnya pakaian.

Belanja untuk keperluan naik haji untuk perempuan “buta huruf” per-naik-haji-an ternyata memang rumit. Untungnya penyelenggara haji berbaik hati membuat daftar kebutuhan persiapan haji, yang 90% saya tak punya.

Mukena atas perlu dibeli, beberapa. Soal yang ini saja cukup pelik. Mukena saya rata-rata agak tipis, tentu tak boleh dipakai disana. Banyak renda pula, sehingga tebal jika dilipat. Saya ingin mencari yang plain and simple tapi ternyata sulit dicari di pasar. Apa perlu menjahitkan ya? Mukena yang banyak dijual dan sedang nge-trend selalu penuh dengan bordiran dan rendaan, tak jarang berwarna tidak putih. Akhirnya saya nemu mukena yang cocok, setelah semua rendanya di-“dedel”.

Lantas perlu pula bergo. Bergo? Ini kosakata yang baru buat saya. Bergo ternyata adalah penutup kepala, seperti mukena yang lebih pendek, tapi tak boleh terlalu pendek karena harus menutup dada.

1

Juga perlu baju ihram. Yang ini tak terlalu sulit mencarinya, terdiri dari setelan celana putih, baju putih panjang yang gombor tak berpinggang, bergo, penutup punggung tangan, serta kantung untuk batu pelempar jumrah.

Baju lain yang diperlukan adalah baju muslim atau baju gamis. Yang tak berpinggang dan tidak tipis nerawang. Saya terpaksa beli baru semua, karena baju muslim yang saya miliki semuanya “langsing”.

Mas ternyata lebih sibuk mengurus baju-baju saya, daripada saya sendiri. Saya praktis hanya manggut-manggut saja saat Mas berkomentar “Wah jumlahnya masih kurang”, atau “Ini kurang bagus, kita beli lainnya” atau bahkan “Pokoknya Mamah harus tampak cantik walaup pakai baju gomboir-gombor”.

Banyak teman yang mengingatkan untuk tidak membawa terlalu banyak baju. Perlu ada tempat khusus untuk oleh-oleh. Kami sebetulnya sedikit malas untuk membeli oleh-oleh dari sana. Maka diam-diam kami belanja ke toko perlengkapan haji di Bogor, yang ternyata menjual berbagai oleh-oleh.

Ada yang sudah minta oleh-oleh minyak zaitun, parfum, boneka unta, sajadah. Semua kami beli di toko itu, sebelum kami berangkat. Dengan demikian mudah-mudahan koper kami tidak “hamil” atau “beranak”.

***

Seminggu sebelum hari H, koper kami sudah siap dan bahkan telah digembok. Maklum, saya akan melakukan perjalanan ke luar kota, menghadiri annual meeting kantor dan baru akan kembali sehari sebelum keberangkatan. Mas juga sibuk dan – sama dengan saya – waktunya sangat mepet.

Pihak penyelenggara haji plus, PT Chandragama Mudatur, memberi kami sebuah koper besar, satu tas koper cabin kecil dan satu tas tenteng. Untuk saya diberi satu bergo dan satu mukena bertuliskan “Mudatur” dan berbordir biru. Mas mendapat satu stel baju ihram. Jauh hari sebelumnya, Mudatur sudah mengirim kain seragam untuk dibuat blaser. Blaser pendek untuk Mas dan blaser sepanjang lutut untuk saya.

Penuhnya koper-koper Kami ternyata adalah karena baju hangat. Saya tidak tahan menghadapi hawa dingin, jadi perlu bawa baju hangat ekstra. Juga stola dari wool. Jaket terbuat dari fleece. Pashmina wool. Baju dalam thermal. Topi kupluk wool. Sarung tangan wool.

Tahun ini musim haji jatuh pada akhir Desember, pas dingin-dinginnya. Bakalan menjadi cobaan berat untuk para bapak saat hanya diperbolehkan memakai baju ihram, yang notebene terbuat dari dua lembar kain katun putih!

Dua hari sebelum keberangkatan, Mas mengirim koper besar ke kantor penyelenggara haji. Jauh ternyata, di daerah Kamal. Mas dan supirnya yang tidak kenal daerah tersebut sempat kesasar dan bahkan kena tilang (tapi bisa berdamai dengan Rp 40.000,-). Penyelenggara haji akan mengurus “keberangkatan” koper-koper kami.

Sehari sebelum berangkat, kami mengadakan ratiban – syukuran naik haji. Kami mengundang teman-teman kantor Mas, sekitar 30 orang. Rekan kami Pak Hasyim, kyai merangkap Wakil Dekan FMIPA IPB, memberi banyak wejangan yang

2

bermanfaat. Juga ada do’a. Bapak dan Ibu saya hadir, demikian juga keempat anak kami yang sudah beranjak dewasa.

***

Sabtu malam, 17 Desember 2005, satu hari sebelum keberangkatan, kami sudah siap. Barang yang akan dibawa sudah beres ditata, ijin dan minta maaf dari orang tua (Mas sudah lama yatim piatu) sudah kami mohonkan, anak-anak siap ditinggal selama 23 hari, surat wasiat juga sudah dibuat, bekal pengetahuan dan buku berisi contekan doa-doa penting telah dibawa, ijin dari kantor sudah didapat, rumah telah dititipkan ke orang-orang terpercaya (karena kami tidak punya pembantu), mobil disimpan di rumah orang tua. Apa lagi? Tampaknya semua berjalan dengan lancar.

Jam setengah delapan malam tiba-tiba handphone saya berdering. Pak Semi, dari penyelenggara haji Mudatur, menyampaikan bahwa beliau ingin bersilaturahmi ke rumah kami. Mas yang senantiasa peka dengan masalah merasa ada yang tak beres. Jam segini Pak Semi dari Jakarta Utara akan berkunjung ke rumah kami di Bukit Sentul?

Makan malam kami bersama anak-anak terasa hambar. Ada apa ya? Semoga bukan masalah besar. Jangan-jangan kami batal berangkat. Sudah sering kami mendengar kabar pembatalan keberangkatan ke tanah suci, bahkan pada saat hampir berangkat.

Pak Semi tiba jam sembilan lebih ditemani kakaknya, Pak Iqbal. Dengan banyak-banyak minta maaf beliau mengabarkan bahwa paspor saya belum jadi. Hanya paspor saya yang belum jadi, diantara 42 anggota jamaah Mudatur! Ooops!

Panjang lebar Pak Semi bercerita. Rupanya paspor haji itu biasanya memang keluar dari pihak berwenang (Departemen Agama dan Kedutaan Saudi Arabia) hanya satu hari sebelum keberangkatan!. Tahun ini sudah ada kemajuan karena paspor dengan visa Saudi Arabia bisa dikeluarkan dari Departemen Agama dua hari sebelum keberangkatan. Jumat sore sewaktu setumpuk paspor jamaah Mudatur diambil, paspor saya – dan hanya milik saya - ternyata tidak ada.

Adakah ini bermakna saya tidak jadi berangkat? “Hanya tertunda”, kata Pak Semi. Beliau sangat berharap besok pagi, tepat pada hari keberangkatan, paspor saya yang kesingsal akan ketemu. Beliau yakin paspor saya yang sudah dilengkapi visa hanya terselip saja. Tetapi kalau paspor itu tidak ketemu, maka saya terpaksa dibuatkan paspor baru. Ini berarti keberangkatan saya mungkin bakalan tertunda satu-dua hari.

Pak Semi bertutur bahwa tahun ini, Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basuni, dan Pemerintah Saudi Arabia banyak membuat perubahan. Nama-nama “fiktif” akan dikurangi dari daftar calon jemaah haji. Rupanya selama ini banyak penyelenggara haji yang takut kehabisan quota. Maka mereka membuat daftar fiktif, agar tak kehabisan quota.

Visa dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi juga diperketat. Tak bisa lagi pergi naik haji dengan menggunakan visa ziarah, yaitu dengan paspor hijau. Semua jemaah calon haji harus menggunakan paspor coklat dengan visa haji.

Setelah Pak Semi pulang, Kami hanya pasrah saja. Saya besok akan tetap berangkat ke bandara, berharap Mudatur bisa menemukan paspor saya. Jika tidak, saya akan pulang lagi dan siap-siap berangkat menyusul hari berikutnya, sendirian.

3

Malam itu shalat tahajud saya dan Mas lebih khusu’ dari biasanya. Saya sudah sering berpergian ke luar negeri, sendirian, untuk menghadiri lokakarya, training, seminar, konvensi dan sebagainya. Tapi saya tahu bahwa kali ini bukan perjalanan biasa. Ini perjalanan ibadah. Saya tak mau sendirian, walau mungkin sendiri pada waktu berangkat saja. Saya kira Mas juga berfikiran yang sama.

***

4

SEBUAH AWAL DARI PERJALANAN SPIRITUAL

Minggu, 18 Desember 2005. Kami dijadwalkan berkumpul di Masjid Nurul Barokah di Cengkareng jam 10 pagi. Sementara itu, saya masih belum ada kepastian bisa tidaknya berangkat. Belum ada berita dari Mudatur mengenai ketemu tidaknya paspor saya. Saya dan Mas berangkat dari rumah, diantar anak-anak. Sebelumnya, Kami masih melaksanakan shalat Safar, shalat berpergian, memohon agar perjalanan kami dilancarkan-Nya. Tentu sambil berdoa juga agar paspor saya ketemu.

Saat kami parkir di Masjid Nurul Barokah, telepon genggam saya berdering. Pak Sukma dari Mudatur mengabarkan dengan ceria bahwa paspor saya akhirnya ada! Alhamdulillah, terima kasih kami diperkenankan berangkat bersama. Saking terharunya, mata Mas berkaca-kaca sambil memeluk saya erat-erat di parkiran mobil. Rupanya sejak malam Mas sangat khawatir, mungkin malahan sudah sampai pada level stress! Terima kasih, ya Allah. Kau perkenankan hamba-Mu ini berkunjung ke rumah-Mu bersama suami hamba. Terima kasih Pak Semi, Pak Sukma dan teman-teman penyelenggara PT Chandragama Mudatur!

Di masjid itu, kami diberi gelang sebagai identitas pribadi dan name tag berupa kalung. Keduanya harus senantiasa dipakai. Kami juga diberi buku kesehatan, hasil cek dokter pada waktu manasik terakhir. Perpisahan dengan keluarga berlangsung di masjid itu. Dari masjid kami naik bis, langsung ke Gate 2E, tempat keberangkatan ke luar negeri.

Di airport banyak juga kelompok jamaah calon haji lainnya. Semua berseragam. Seragam kami adalah blaser coklat muda. Kelompok lain kebanyakan berbaju seragam batik. Ada juga kelompok TKI yang berseragam, ndeprok, duduk di lantai.

Barang tentengan kami ternyata tergolong sedikit. Saya hanya membawa tas cabin yang diberi Mudatur, didalamnya ada ransel yang dilipat. Tas kecil yang diberi mereka tidak kami bawa. Mas membawa tas cabin dan ransel. Di dalam ransel ada barang kami berdua: jaket, Al-Qur’an, dan beberapa obat yang penting (khususnya obat flu dan obat sakit kepala), serta buku catatan harian saya.

Kantong blaser saya penuh dan kembung. Ada digital camera kecil, bergo seragam, buku kesehatan, handphone, kaos kaki dan kain penutup punggung tangan untuk keperluan shalat. Untuk pertama kalinya saya ke luar negeri dengan perasaan aneh karena tidak membawa paspor dan tiket.

Petugas airport dengan mudah mengijinkan kami masuk, hanya “berbekal” baju seragam. Paspor dan tiket ternyata dibagikan oleh petugas imigrasi, sambil melewati bagian keimigrasian. Tak perlu mengisi kartu imigrasi/embarkasi. Tak perlu mengurus fiskal sendiri. Rasanya saya dimanjakan sekali oleh penyelenggara haji.

Di ruangan tunggu kami shalat Dhuhur dan Ashar, dijadikan satu “dikorting” masing-masing dua rakaat. Jam 2 lebih sedikit pesawat terbang kami, Gulf Air GF 487 bertolak ke Abu Dhabi. Syukurlah kami tidak perlu menunggu lama untuk proses keberangkatan. Dari Abu Dhabi kami akan ke Muscat (Oman), menginap semalam, lantas esoknya baru akan ke Jeddah.

***

5

Jakarta – Abu Dhabi yang berjarak 4.113 mil ditempuh dalam waktu 8 ½ jam. Saya yang sebelumnya bukan pengguna baju muslim harus mulai menyesuaikan diri. Bergo yang saya pakai ternyata menjepit kacamata saya, sehingga lama-lama saya merasa ngilu di atas kedua daun telinga. Mas menyarankan untuk memakai kacamata di luar bergo. Ternyata saya malahan pusing karena posisi fokus lensa berubah. Tanpa kacamata minus saya, tentu saya tak dapat melihat dengan baik. Saya jadi bertanya-tanya sendiri – teman-teman yang berkerudung dan berkacamata apa juga mengalami seperti saya?

Sholat Maghrib dilakukan sambil duduk si pesawat dan sebelumnya cukup bertayamum. Awalnya memang agak sulit, mem-visualisasi-kan gerakan sholat dalam angan. Rakaat kedua dan ketiga bisa lebih lancar.

Perjalanan yang delapan setengah jam itu diisi dengan tidur, makan, sholat, menulis jurnal (sementara Mas mulai membaca Al Qur’an dari mulai surat Al-Baqarah). Sesekali kami bisa melirik layar film yang memutar “Duke of Hazzard” versi baru dan film Bollywood yang banyak mempertontonkan wajah Shahrukh Khan. Teman-teman lain kebanyakan tidur atau nonton film. Setelah melewati turbulensi yang cukup lama di atas sub-benua India, Boeing 767-300 yang membawa 257 penumpang – kebanyakan para calon haji – mendarat di Abu Dhabi pukul 19.30 malam waktu setempat.

***

Airport Abu Dhabi mengingatkan saya akan piring terbang UFO (Unidentified Flying Object), dengan pesawat induk di tengah dan gate yang berwujud piring-piring terbang kecil di sekitarnya. Di dalam gedung utama pesawat induk UFO itu – kata Mas – mengingatkan akan kamar mandi karena seluruh lantai, dinding dan atap cekungnya dilapisi mozaik keramik warna biru dan hijau. Di pinggiran ”pesawat induk UFO” yang dua lantai itu banyak kios penjual barang, mulai dari barang elektronik, buku, perhiasan, hingga buku dan suvenir.

Sambil menunggu pesawat terbang yang akan membawa kami ke Muscat, saya sempatkan ngobrol dengan Pak Sukma tentang kisah kesingsalnya paspor saya. Pak Sukma bertutur bahwa ternyata paspor saya benar-benar raib entah kemana. Jadi satu-satunya jalan keluar adalah membuat paspor baru untuk saya, dalam waktu kurang dari 12 jam, pada saat weekend pula! Bisa saja saya menyusul sendiri tetapi ada masalah yang tak terpikirkan sebelumnya oleh saya – bahwa saya harus didampingi oleh seseorang muhrim. Siapa? Mas tentunya sudah berangkat duluan,

Saya tak dapat membayangkan betapa rumitnya proses pembuatan paspor super kilat itu. Foto musti di-scan, data perlu di re-entry, berkas-berkas harus ditandatangani yang berwenang. Entahlah apa lagi. Setelah paspor rampung, tentunya paspor perlu diantar ke Kedutaan Kerajaan Saudi Arabia yang terletak di sebelah Carrefour Jalan MT Haryono, untuk meminta visa, di hari minggu, sebelum saya check in di bandara Cengkareng jam 12!

Mission almost impossible itu Alhamdulillah terlaksana dengan baik. Pak Sukma dan Pak Semi mengatakan bahwa semua itu kehendak Allah. Namun saya

6

masih percaya bahwa tanpa upaya keras dan profesional tim Mudatur, pastilah saya terlambat berangkat ke tanah suci, tanpa bersama Mas, atau bahkan bisa-bisa batal berangkat.

***

Transit di Abi Dhabi ternyata lebih lama dari rencana karena pesawat terbang yang akan bertolak ke Muscat (Oman) terlambat tiba. Saya sudah ngantuk sekali karena terbiasa sehari-hari tidur cepat. Hampir tengah malam akhirnya kami berangkat ke Muscat. Perjalanan Abu Dhabi – Muscat hanya perlu setengah jam. Tapi nunggunya lebih dari empat jam.

Setelah tiba di Oman, kami naik bis ke hotel transit, Holiday Inn. Saya yang sudah super ngantuk langsung jatuh tertidur, tanpa menyempatkan diri untuk berganti baju atau bahkan sikat gigi!

***

7

MENGARUNGI NEGERI PARA NABI

Senin, 20 Desember 2005. Hotel Holiday Inn. Muscat, Oman. Kurangnya tidur tadi malam membuat tubuh maih aras-arasen bangun. Tapi, perjalanan masih panjang. Barang perlu dikemas. Lapar lagi, nih!

Setelah sarapan, masih ada waktu untuk golar-goler sebentar, lantas makan siang sebelum waktunya karena tengah hari kami harus berangkat ke airport Seeb. Jam 2.35 siang pesawat Gulf Air bertolak dari Muscat ke Saudi Arabia, tepatnya ke bandara khusus haji di Jeddah. Pesawat terbang itu praktis berisi jemaah calon haji yang akan ke tanah suci.

Kelompok terbang kami berasal dari Indonesia, Bangladesh dan India. Juga ada kelompok-kelompok kecil yang saya tidak bisa kenali dari mana asalnya. Mungkin dari sekitar Oman. Sebagian dari penumpang sudah memakai baju ihram, sehingga bapak-bapaknya sibuk sendiri, antara mengurus barang tentengan dan memperbaiki baju ihram yang melorot-melorot dari bahu mereka.

Mereka yang sudah memakai baju ihram tentunya akan langsung ke Mekkah. Sesuai tatacara perhajian, sewaktu melakukan umrah dan haji harus dimulai dari tempat tertentu dan waktu tertentu (disebut miqat). Nah, pesawat terbang ini akan melewati batas untuk miqat ini, sehingga mereka yang akan ber-umrah harus sudah memakai baju ihram.

***

Pesawat kami terbang ke barat, persis mengarah ke Jeddah. Muscat terletak di ujung timur Jazirah Arab, jadi kami perlu menembus negara Oman terlebih dahulu, sebelum mencapai perbatasan dengan Saudi Arabia.

Pesawat terbang yang melanglang pada ketinggian 34 ribu kaki itu (lebih dari 10 kilometer) rasanya hanya melintasi gunung-gunung batu di wilayah Oman, di atas wilayah yang dikenal dengan nama Rub Al-Khali. Udara sangat cerah tanpa awan sama sekali, sehingga kering-kerontangnya gurung terpetakan dengan sempurna dari jendela dekat saya duduk.

Dari perbatasan Oman, sepanjang sekitar 2 jam perjalanan (total 2¼ jam) hanya gurun, gurun dan gurun pasir saja yang nampak. Yang membedakan satu wilayah gurun dengan lainnya adalah adanya “gelombang” dan “riak-riak” pasir, besar kemungkinan karena angin dan badai gurun. Dua jam perjalanan dengan kecepatan jelajah sekitar 400-500 mil/jam berarti setidaknya kami melintasi gurun pasir sepanjang 1.000 kilometer. Bagaimana mungkin ada kehidupan di bawah sana?

Saya lantas terkenang tanah air kita yang gemah ripah loh jinawi, “tongkat yang ditanam pun jadi tanaman”, “kolam susu”, “zamrud katulistiwa” dan seabreg pujian lainnya. Ya Allah yang Maha Pemurah, telah Kau ciptakan negeri kami nan subur hijau. Hanya saja, kami belum jua pandai mengelola karunia-Mu itu!

Mendekati pantai barat – yang ada Laut Merah-nya – bentang alam agak berubah. Kali ini dominan gunung batu. Tampak ada seperti bekas-bekas aliran sungai. Benarkah dahulunya wilayah ini pernah berupa hutan lebat dengan penuh air?

***

8

Bandara khusus haji King Abdul Aziz di Jeddah telah terlihat. Dari jauh bangunan bandara itu tampak seperti payung-payung segiempat raksasa. Ketua rombongan kami, Pak Sukma, berkali-kali mengingatkan bahwa proses imigrasi di Jeddah adalah ujian pertama bagi juara calon jemaah haji. Prosesnya bertele-tele, antriannya panjang dan koper harus siap-siap dibuka untuk diubek-ubek oleh petugas. Proses imigrasi dan pengambilan koper itu bisa makan waktu 3-4 jam. Apa boleh buat!

Memasuki tempat pengecekan visa di bagian imigrasi bandara King Abdul Aziz, kami duduk berbaris tertib, berbeda dengan rekan-rekan dari Bangladesh yang selalu ribut dan berebut minta didahulukan. Agaknya sistem keimigrasian Bandara King Abdul Aziz sedang diperbaiki. Kartu kedatangan yang telah diisi dalam perjalanan malahan dibuang-buang oleh petugas.

Tahap pertama telah lewat. Cepat, ternyata. Tahap berikutnya adalah per-koper-an. Di mana koper kami? Itu dia yang biru-biru. Ternyata koper itu ada bersama kami, di perut pesawat sejak dari Jakarta – Abu Dhabi – Muscat – Jeddah.

Pak Sukma dari Mudatur yang merangkap ketua rombongan mempersilakan kami untuk ke luar ke bandara karena ia akan mengurus koper. Lho gak perlu dibuka untuk diperiksa segala? Alhamdulillah, proses keimigrasian dan pengurusan koper yang biasanya berjam-jam itu dapat beres cepat sekali, hanya sekitar 1 jam untuk kelompok kami yang berjumlah 42 orang.

Di luar bandara ada ruang yang sangat lapang yang ditutup oleh payung-payung segiempat raksasa. Tengah-tengah payung berlubang, menampakkan langit sore yang mulau kelam. Mungkinkah tak pernah ada hujan di Jeddah?

Seseorang menyambut kami. Pak Semi! Lho? Pak Semi ternyata sudah tiba duluan. “Alhamdulillah, saya senang sekali melihat Ibu disini bersama Bapak,” sapanya begitu melihat saya berdampingan dengan Mas. Mas akrab memeluk Pak Semi sambil berterima kasih atas upaya tak kenal putus asa dari Pak Semi dan staf Mudatur untuk mengurus paspor saya.

Kami lantas menuju bangsal khusus untuk kontingen Indonesia, terus sholat Maghrib dan Isya, serta makan fast food ayam. Selepas maghrib kami berangkat ke Madinah dengan mengendarai bus AC yang nyaman. Paspor kami dikumpulkan dan ditahan – entah oleh siapa. Katanya memang sudah prosedur standar.

***

Perjalanan Jeddah – Madinah yang 425 km itu tidak bisa dinikmati karena suasana keburu gelap. Lagian kami merasa mengantuk. Pak Kyai, Tamsir Ridho, memberi wejangan-wejangan sepanjang perjalanan. Tapi terus terang hanya 10% yang masuk telinga kami karena kami sedang tidur-tidur ayam.

Jalanan ke Madinah lebar dan bus ngebut dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam. Sesekali bus berhenti. Rupanya ada check point, tempat pemeriksaan. Makanan, buah dan minuman dibagi-bagikan pada setiap tempat pemeriksaan. Kami kekenyangan.

Check point terakhir adalah di perbatasan kota Madinah. Bus-bus besar banyak berderet-deret. Pengecekan di situ butuh waktu lama, satu jam lebih. Kami

9

tidur saja di bus atau jalan-jalan sedikit untuk meluruskan kaki yang penat. Sementara itu, tengah malam telah berlalu.

Informasi tentang musim dingin di Saudi Arabia terasa exaggerated, dilebih-lebihkan. Koran-koran Indonesia memberitakan bahwa musim dingin tahun ini lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Di perbatasan kota Madinah yang terkenal dingin itu, ternyata dinginnya hanya menyejukkan.

Madinah akhirnya kami masuki. Ya, kami telah tiba di Al-Madinah Al-Munawarrah, “kota yang bercahaya”. Bus langsung menuju Hotel Mövenpick. Lagi-lagi kami termanjakan karena check in diurus oleh Mudatur dan koper diantar ke kamar masing-masing.

Hotel Mövenpick ini punya dua tower. Harram Tower yang menghadap persis ke Masjid Nabawi dan Madinah Tower yang membelakangi masjid (yang mungkin harganya tak semahal kamar-kamar di Harram Tower). Kami memperoleh kamar 11085 di Madinah Tower.

Mövenpick ini adalah hotel berbintang lima. Kamarnya sebetulnya lumayan luas, tetapi menjadi sempit karena di dalam kamar dijejali dengan 4 tempat tidur, meski saya hanya berdua dengan Mas. Memang paket menginap ini ada pilihan untuk bisa menginap 4 orang sekamar.

Badan yang penat sebetulnya ingin istirahat, namun sebentar lagi subuh. Jam 4 pagi kami telah siap di lobi hotel, bersama-sama akan mulai shalat Subuh pertama di Masjid Nabawi yang pelatarannya langsung berbatasan dengan Hotel Mövenpick. Semua tak sabar, ingin segera memasuki masjid tersohor itu.

***

10

MENCARI BERKAH DARI MASJID SANG NABI

Selasa, 20 Desember 2005. Jam 4 pagi kami sudah bersiap di lobi hotel untuk sholat subuh di Masjid Nabawi, Madinah. Saat subuh sebetulnya dimulai jam setengah enam-an, tapi kami harus datang lebih pagi untuk memperoleh tempat yang strategis di dalam masjid dan melaksanakan shalat sunnah sebelumnya. Cuaca agak dingin, mungkin sekitar 15oC. Hari masih gelap, namun tampak terang karena biasan lampu Masjid Nabawi yang pelatarannya berhimpitan dengan hotel kami.

Dalam kelompok kecil, saya dan beberapa ibu berangkat ke Masjid Nabawi. Di masjid ini tempat shalat laki-laki dipisah dengan tempat shalat perempuan. Tempat shalat untuk perempuan memang lebih sempit, sehingga kami harus datang lebih pagi. Jika tak kebagian tempat di dalam masjid, shalat terpaksa dilakukan di pelataran masjid, di atas lantai yang dingin dan ditambah hembusan angin yang bisa menusuk tulang.

Masjid Nabawi yang luar biasa besar itu betul-betul bersinar di kegelapan subuh. Pilar-pilarnya yang menjulang tinggi tampak menyentuh kegelapan langit dan seolah memastikan bahwa do’a kita akan sampai pada Yang Maha Kuasa.

Saya pernah melihat foto-foto masjid ini beberapa minggu yang lalu sebelum berangkat, dari situs internet, termasuk foto masjid bagian dalam. Kok bisa ya? Padahal Masjid Nabawi bagian dalam tidak boleh difoto. Mungkin saja ada yang diam-diam memotret masjid ini dan memamerkannya di dunia cyber.

Foto-foto yang saya lihat di web – meski diambil dari berbagai sudut masjid – ternyata masih belum dapat menggambarkan kemegahan Masjid Nabawi ini. Luar biasa besar, luar biasa megah, luar biasa anggun, dan luar biasa terang. Saya belum sempat memperhatikan masjid itu dari luar karena harus segera masuk masjid. Masjid ini memiliki 10 pintu utama, semuanya diberi nama.

Adzan subuh jam enam kurang dualima menyeruak di kegelapan kota Madinah. Suara adzan yang dipancarkan lewat pengeras suara ke empat penjuru itu bergaung di antara hotel-hotel tinggi di seputar masjid, membangunkan siapa saja yang masih tertidur. Di masjid Nabawi adzan subuh dilakukan dua kali. Adzan pertama adalah jam 4.35, satu jam sebelum masuk subuh, seolah membangunkan semua orang. Adzan kedua menandai waktu masuk shalat subuh, jam 5.35.

***

Di depan masing-masing pintu untuk perempuan selalu ada petugas perempuan (asykar), berpakaian hitam-hitam, bercadar dan ada badge di tangannya. Tugasnya adalah memeriksa barang bawaan ibu-ibu.

Ibu-ibu rata-rata membawa tas. Di dalam tas umumnya ada Al-Qur’an atau buku-buku do’a, sajadah, plastik untuk mewadahi sandal/sepatu dan barang-barang kecil lainnya. Atas saran seorang teman di kantor, saya membawa tas transparan, sehingga sang petugas tak perlu repot-repot mengaduk-aduk tas saya. Ukuran tas disarankan jangan besar-besar, cukup untuk menyimpan sandal dan perlengkapan kecil-kecil lain. Maklumlah, tas juga harus berbagi kapling di atas sajadah.

11

Pemeriksaan tak hanya sebatas tas saja. Badan juga dicek, diraba-raba pada bagian pinggang dan bawah ketiak. Saat pemeriksaan, hampir selalu ada kekacauan kecil karena para jamaah perempuan tidak sabar untuk segera masuk ke masjid.

Ketidaksabaran para jamaah itu beralasan, karena Masjid Nabawi selalu penuk sesak. Jika tidak mendapat tempat di dalam masjid, terpaksa shalat di luar. Shalat Subuh dan Isya tentu bisa kedinginan, sementara shalat Dhuhur dan Ashar bisa kepanasan.

Sholat pertama saya di Masjid Nabawi ternyata tidak bisa khusu’ karena saya disergap rasa haru luar biasa. Saya kini berada di Masjid Nabawi, masjid kesayangan Nabi Muhammad s.a.w.! Inilah tempat tersuci kedua bagi kaum Muslim. Kesuciannya hanya bisa tertandingi oleh Masjidil Haram yang ada di Mekkah. Masjid ini dulu pernah menjadi rumah Nabi. Di masjid ini jua Nabi dan dua orang shahabatnya, Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab dimakamkan, tepat di bawah kubah yang berwarna hijau.

Tak terasa terbit air mata saya. Ya Allah, terima kasih telah Kau perkenankan hamba-Mu yang awam agama ini untuk shalat di masjid Nabi-Mu yang mulia, masjid Nabi Muhammad s.a.w.

***

Satu hal yang agak menyulitkan saya adalah bahwa saya tidak kuat duduk lama di lantai. Sejak lama duduk lesehan senantiasa saya hindari. Padahal untuk menunggu waktu sholat terkadang butuh waktu hingga 2 jam. Kalau kaplingan kita cukup luas, sebetulnya agak menolong karena posisi duduk bisa berganti-ganti. Saking lamanya menunggu, bisa-bisa kita mati gaya dan kaki kesemutan. Sesekali bisa berdiri untuk shalat sunnah, atau shalat lain, terserah shalat apa. Yang penting kaki bisa lurus sejenak.

Saat-saat saya menunggu waktu shalat, dengan takjub saya memandangi interior dan arsitektur masjid yang megah ini. Luar biasa! Mesjid ini betul-betul suatu mahakarya yang memadukan antara ornamen muslim, tradisi dan teknologi.

Masjid ini banyak sekali tiang-tiangnya, semua tiang berjumlah 2.104 dan menopang luasan masjid yang 82.000 m2. Tiang-tiang beton bulat itu diameternya sekitar 1 meter dan dilapisi dengan marmer dari Yunani, berwarna putih dan berkualitas tertinggi. Sinar lampu terbias pada tiang-tiang itu, terpadu dengan corak alam berupa alur-alur acak berwarna abu-abu.

Tiang menara setinggi sekitar 6 meter itu di bagian bawahnya berupa kotak yang di sisinya agak besar. Dari bagian atas kotak itu dialirkan AC melalui kisi-kisi, untuk menyejukkan jamaah. Di dekat tiang terdapat rak-rak pendek tempat menyimpan sandal dan barang-barang lain. Di antara tiang terdapat pula rak-rak rendah berwarna emas untuk menyimpan Al Qur’an, yang bisa dipinjam jamaah guna dibaca di sana. Koleksi Al Qur’an itu ada pula yang terjemahan Indonesia.

Saya bertanya-tanya sendiri tentang pelapisan tiang besar itu dengan marmer. Pelapis marmer hanya terdiri dari 4 keping, berarti marmer itu harus dibentuk seperempat lingkaran. Betapa tebalnya marmer yang dibutuhkan – setidaknya setengah dari 1 meter – hanya untuk melapisi tiang.

Di atas pangkal tiang itu dilapisi logam kuning dengan torehan ornamen yang cantik. Logam itu ternyata adalah emas asli! Di atas ornamen itu ada lampu-lampu

12

kristal yang terang, dibungkus dalam wadah cantik dan ada kaligrafinya di bagian depan. Wadah itu tentulah dari emas juga.

Ratusan tiang itu selanjutnya membentuk busur diatasnya dan menopang langit-langit masjid, sehingga terkesan bahwa masjid ini seolah terdiri dari persatuan banyak lorong.

Busur-busur itu berwarna belang, putih-kelabu. Kelihatannya terbuat dari granit, berwarna abu diselingi putih. Langit-langit yang ditopang dilapisi batu – granit juga, tampaknya – dengan ornamen-ornamen cantik yang diselingi warna abu. Tema warna yang dipilih untuk interior ini agaknya adalah putih-abu, ditambah dengan warna emas sebagai hiasan tambahan.

Di beberapa bagian langit-langit terdapat kubah yang besar. Ada 27 kubah, masing-masing beratnya 80 ton, secara otomatis dapat digeser dan dibuka untuk memberikan angin segar dan sinar matahari ke dalam masjid. Di bagian laki-laki – di dekat Raudha – untuk memastikan adanya aerasi yang baik, ada pula ruang-ruang terbuka yang dilengkapi payung raksasa, siap mengembang bila diperlukan.

Lampu kristal yang tersusun dalam rangkaian roda horizontal yang besar menghiasi beberapa bagian langit-langit, menambah terangnya Masjid Nabawi. Sementara itu, lantainya yang terbuat dari marmer putih Yunani itu tertutup oleh karpet-karpet besar (mungkin 6x8 meteran) berwarna dominan merah dan berornamen bunga warna-warni. Di tengahnya ada gambar simbol Saudi Arabia – pohon kurma yang diapit pedang melengkung.

Dari dalam masjid, adzan yang berkumandang terdengar jernih tanpa gema, mencerminkan akustik dan sound system yang bagus. Benar-benar bagus. Saya yakin para arsiteknya juga mempertimbangkan keakustikan masjid ini.

***

Karena tak ada garis untuk mengatur shaf, maka ibu-ibu harus mengatur jarak sendiri untuk membuat shaf-shaf. Kadang bengkok, kadang bolong-bolong. Oleh karenanya pengaturan shaf ini dibantu oleh petugas wanita (asykar) yang berpakaian hitam-hitam dan bercadar hitam pula. Mereka bergerak kian-kemari di antara jamaah, seperti kelelawar yang terbang mencari pakan.

Para asykar ini selalu sibuk dan cerewet mengatur kami semua, berbicara bahasa Arab. Kalau diterjemahkan barangkali maksudnya adalah bahwa “disini masih ada tempat” atau “luruskan dan rapatkan shaf”. Mereka bahkan sesekali berbicara bahasa Indonesia : “Hajjah…hajjah..maju, maju!” atau “Mundur, mundur”.

Para ibu yang sudah PW (Posisi Wuenak, istilah anak saya) terkadang membandel. Kadang asykar memerintahkan orang-orang non-Indonesia dengan bahasa Indonesia, tak peduli apakah omongan asykar itu dipahami atau tidak. Sesekali mereka menepuk-nepuk tangan (keplok-keplok) sambil mengatur.

Bermacam cerita dapat terjadi saat mencari kaplingan shalat ini. Melompat-lompat di antara bahu dan bahkan kepala ibu lain sudah menjadi biasa. Juga siap-siap dilompati orang lain. Membawa sajadah yang berukuran full size terbukti sangat berguna untuk menandai kaplingan sholat kita. Jika sudah kepepet suara adzan, setiap orang bisa saja berbuat egois dan terpaksa merebut tempat orang lain.

13

Ruangan untuk perempuan luasnya memang terbatas, hanya berupa sekatan pada dua sudut masjid. Sekat yang tingginya sekitar 4 meter itu terbuat dari kisi-kisi kayu horizontal.

***

Sholat di Masjid Nabawi ini sungguh terasa nikmat. Imam dengan lafal yang tentunya sempurna memimpin ratusan ribu, bahkan bisa mencapai hampir satu juta jamaah, untuk shalat bersama. Saat Imam selesai membaca Al-Fatihah, suara “Aamiin” olah para ma’mum secara bersamaan sungguh senantiasa membuat bulu kuduk saya meremang. Saya bayangkan betapa dahsyatnya kekuatan shalat bersama ini.

Di sela-sela suara Imam terdengar suara batuk-batuk di sana-sini, khususnya di bagian lelaki. Suara batuk tak jarang masuk ke microphone, menambah hebohnya suasana. Batuk bersahut-sahutan terdengar intensif setiap memulai rakaat baru. Benar-benar seperti koor dengan nada dasar yang berbeda! Di bagian perempuan hanya sedikit terdengar batuk. Saya tidak tahu apakah hal ini berarti bahwa perempuan lebih sehat, atau lebih bisa menahan batuknya.

***

Baru shalat sehari di dalam Masjid Nabawi, low back pain saya kumat. Saya memang menderita scoliosis alias tulang punggung tidak vertikal. Kebengkokan tulang punggung ini menyebabkan distribusi beban badan tertumpu pada tulang punggung bagian bawah dan menyebabkan sakit pinggang.

Sakit pinggang saya ini selama 3 tahun terakhir sudah berhasil dikendalikan. Atas saran dokter ortopedi, saya harus mempelajari bagaimana saya harus memposisikan tubuh dengan benar dan membuat gerakan-gerakan lain yang tidak/kurang membebani tulang punggang bawah. Pernah setahun lebih saya menggunakan semacam korset agar tubuh saya terbiasa dengan posisi tegak yang benar. Posisi saya duduk dalam menulis dan bekerja dengan komputer senantiasa harus tegak. Seminggu 2 atau 3 kali saya harus berenang dengan serius, memadukan gaya dada, bebas/punggung dan gaya kupu-kupu.

Sebelum saya berangkat, pinggang saya memang sudah capek. Selama 5 hari berturut-turut saya tidur di kasur busa empuk di suatu hotel di Cibodas, bekerja dengan teman sekantor. Lantas ditambah 2 hari perjalanan dengan pesawat terbang, kemudian duduk bersimpuh di masjid, beberapa jam, sebelum waktu shalat tiba. Diam-diam saya memohon - Ya Allah, berilah petunjuk agar hambaMu ini dapat beribadah shalat lebih khusu’ tanpa gangguan nyeri di pinggang.

Petunjuk Yang Maha Kuasa itu tiba saat saya shalat Isya. Saat menanti waktu shalat, di sebelah kiri saya ada seorang ibu – mungkin dari sekitar Timur Tengah – melakukan shalat di atas kursi lipat kecil. Berhubung komunikasi tidak lancar, saya tidak dapat memperoleh informasi tentang tempat menjual dan harga kursi lipat itu. Ternyata beberapa saat kemudian ada petunjuk lanjutan. Saat akan makan malam,

14

tanpa sengaja saya dan Mas berpapasan dengan seorang ibu dari Indonesia yang menenteng kursi lipat. Beli dimana? Berapa?

Saya semakin yakin bahwa Allah Yang Maha Kuasa senantiasa memberi jalan dan petunjuk kepada kaum-Nya. Terima kasih atas petunjukMu, ya Allah. Di atas kursi lipat yang kami beli seharga 20 real (1 real = Rp 2.900,-) itu, saya duduk menunggu waktu shalat di masjid. Shalat tentu saja masih dapat saya lakukan secara ‘normal’.

***

Nabi Besar Muhammad s.w.t. pernah bersabda bahwa yang melaksanakan shalat wajib sebanyak 40 rakaat-berarti selama 8 hari berturut-turut di mesjid Beliau, maka akan terbebas dari siksa neraka, lepas dari azab dan bersih dari kemunafikan. Shalat yang 8 hari berturut-turut itu disebut Arbain, yang berarti ”empat puluh” dan sifatnya sunnah. Maka taklah heran kalau semua orang mencoba memperoleh berkah yang luar biasa ini.

Bagi kami yang tinggal di Hotel Mövenpick, yang gedungnya bersebelahan dengan halaman mesjid, tidak mendapatkan Arbain kok ya rada-rada kebangetan. Rasanya tidaklah mungkin bakalan ketinggalan shalat karena azan mesjid mampu mengingatkan semua orang. Jika sedang menstruasi tentu tidak bisa melakukan Arbain. Jika terlambat ke masjid karena ketiduran di kamar hotel atau terlalu sibuk belanja, shalat masih bisa dilakukan walau tidak berbarengan dengan khalayak ramai (walau dianjurkan berjamaah).

Teman-teman yang berhaji biasa, yang pemondokannya jauh dari masjid bolehlah mempunyai alasan untuk tidak tamat shalat 40 rakaat ini, apalagi mereka yang fisiknya kurang kuat. Perjalanan dari pemondokan ke masjid saja sudah cukup melelahkan.

***

Hari-hari selanjutnya agenda utama kami hanya tiga: shalat di Masjid Nabawi, makan di ruang makan hotel dan tidur atau istirahat di kamar hotel. Setidaknya satu jam sebelum waktu shalat, kami sudah harus berada di masjid dan berjuang untuk memperoleh satu kapling tempat shalat di dalam masjid Sang Nabi Muhammad s.a.w.

Di dalam Masjid Nabawi selalu ada banyak asykar perempuan yang mengatur, sementara di pelataran Masjid Nabawi, kehidupan per-shalat-an lebih leluasa dari peraturan karena tak ada yang mengatur shaf. Tak ada asykar. Masing-masing mengorganisasi diri. Yang penting adalah lelaki dan perempuan tak boleh campur. Juga masing-masing tidak boleh mengganggu kekhusu’an ibadah.

Shalat di pelataran masjid ternyata memberikan nuansa berbeda. Saat shalat Subuh, sejuknya udara di pelataran Masjid Nabawi lama-lama menjadi dingin. Lantainya yang dari marmer putih atau granit kelabu terasa sedingin es. Angin yang sepoi-sepoi membuat lengan saya terasa dingin. Padahal baju saya 3 lapis – baju

15

putih berlengan panjang, rompi tahan angin dan ditutup oleh mukena. Sajadah terpaksa dialasi lagi dengan stola wool agar tidak dingin saat duduk tahyat.

Setelah shalat Subuh selesai, pelataran yang sangat luas itu menjadi sibuk dalam sekejap. Ibu-ibu mulai mengemasi barangnya. Jamaah yang berkelompok mulai saling tunggu kelompoknya. Ibu-ibu – seperti saya – sibuk melihat kian-kemari, mencari suami masing-masing. Ada juga para Ibu yang bergerombol, siap berdiskusi tentang agama.

Di timur mulai mengintip sang fajar. Madinah telah terjaga. Walau jarak masjid sangat dekat dengan hotel, saya selalu menunggu Mas di pelataran masjid, agar bisa pulang barenag dan sarapan bersama. Mas lantas datang. Tapi ia membawa berita kurang baik – dompetnya raib!

***

Gusti Maha Agung! Di masjid nan suci itu ternyata banyak pencopet. Sudah banyak cerita tentang jamaah yang kecurian uang di tanah suci. Ternyata kami juga kecurian. Shalat di masjid ini akan memperoleh berkah 10.000 kali lipat. Bagaimana kalau mencuri ya? Apakah ganjaran dosanya juga berlipat-lipat pula?

Jumlah uang dalam dompet Mas sih hanya 10 real, karena kami memang berencana membeli air minum sepulang dari masjid. Tetapi kartu kredit, SIM dan kartu-kartu lain yang penting turut raib pula. Bergegas Mas telpon ke tanah air untuk memblokir kartu kredit miliknya.

Untuk “menghibur diri”, pagi tadi kami berjalan-jalan di sekeliling hotel dan masjid. Selama dua hari di Madinah ini kami memang belum ke mana-mana, selain ke masjid dan hotel. Dengan berbekal uang seadanya, kami mulai menyusuri jalanan yang panuh dengan kios-kios berjualan.

Sama seperti di tempat lain, tempat belanja di Madinah dapat bervariasi mulai dari butik eksklusif di Hotel Hilton, kios-kios di dalam pasar, hingga ke emper jalan. Ibu-ibu musti kuat imannya di sini karena memang godaan untuk membeli oleh-oleh dari tanah suci betul-betul tinggi.

Rasanya semua barang yang layak dijadikan oleh-oleh dapat ditemukan di sini: barang-barang khas Jazirah Arab, barang elektronik, perlengkapan rumah tangga, jam tangan, kain, dan seribu satu macam barang lainnya. Barang yang populer dicari para ibu adalah perhiasan emas. Emas yang dibeli di sini memang terkenal indah dan disainnya khas. Saya tak tahu berapa harganya. Yang jelas, disainnya memang betul-betul cantik memikat. Kalau saya pencinta emas, pastilah tak tahan untuk menghabiskan uang guna membeli emas dari tanah suci.

Orang Arab terkenal senang “memaksa” calon pembeli. Jadi kami tidak berani bertanya-tanya tentang harga, khawatir dipaksa membeli. Pernah Mas disalami oleh seorang penjual. “Assalamu’alaikum”, sapanya. Tentu otomatis Mas menyambut jabatan tangnnya, tiba-tiba Mas ditarik masuk ke tokonya. “Hajji….hajji….mari..murah,” katanya berbahasa Indonesia dengan logat Arab.

Setelah capai berjalan-jalan, kami akhirnya pulang. Kami sempat membeli buku tentang Mekkah dan Madinah. Kami juga membeli peci. Sewaktu di Oman kami melihat lelaki Oman menggunakan peci yang lain dari biasanya. Berbordir halus dengan disain yang cantik. Setelah mencari kian-kemari akhirnya kami

16

menemukan peci Oman itu, di toko seseorang berkebangsaan Bangladesh. Komunikasi menjadi lancar dengan menggunakan bahasa Inggris.

Peci Arab yang biasa harganya 3 real. Peci Oman itu bernilai 20 real, tak boleh kurang lagi. Karena kami sudah kesengsem dengan peci Oman itu, kami akhirnya membeli untuk Mas dan tiga anak lelaki kami.

Hmm, Mas tampak ganteng dengan mengenakan peci itu. Mungkin cocok dengan kepribadiannya yang tidak suka hal-hal formal. Kalau tidak berjalan dengan saya yang wajahnya “Indonesia banget”, barangkali Mas disangka orang Timur Tengah atau orang India.

***

Di Mesjid Nabawi itu untuk masuk, mencari tempat dan ke luar lagi adalah sebuah perjuangan. Saat masuk subuh adalah jam 05.35 waktu Madinah. Kalau kita masuk mesjid jam 4, mesjid itu sudah penuh dengan jemaah perempuan Hanya saja penuhnya mesjid itu belum efisien karena masih ada beberapa tempat di sana-sini yang “bolong”. Nah, tempat bolong inilah yang perlu dicari.

Mencari tempat bolong untuk kepentingan sholat berarti harus melompati mereka yang sudah pasang posisi. Lama-lama saya tidak sungkan-sungkan lagi untuk menginjak-injak sajadah perempuan lain, lewat persis di depan mereka. Biasanya disertai melompati bahu orang lain. Sesekali melangkahi punggung orang yang sedang sujud. Sebaliknya, kita pun harus siap dilompati perempuan lain, disenggoli, didesaki, kadang tertendang. Semuanya patut disyukuri untuk mengambil anugerah yang luar biasa dari masjid sang Nabi.

Setelah akhirnya memperoleh kaplingan shalat, bila perlu kaplingan itu perlu dijaga. Ya, semacam wilayah teritori. Bisa saja seseorang tiba-tiba ndusel-ndusel dan meminta tempat kita yang sebetulnya sudah pas-pasan sekali. Maka tidaklah heran kalau modifikasi-modifikasi bisa terjadi, misalnya bahu sedikit dimiringkan (kadang badan pun ikut miring), sujud lebih melengkung agar tidak tabrakan dengan kaki perempuan di depan.

Pernah persis di depan saya ada perempuan - kebetulan perempuan mungil dari Indonesia - yang tiba-tiba menyerobot masuk shaf karena sudah terdengar qomat. Perempuan-perempuan gendut dengan pinggul besar di sebelah-sebelahnya heboh tetapi mereka mau memberikan tempat sedikit. Saat duduk tahyat, ada masalah sedikit karena tempat tidak cukup. Untung perempuan mungil Indonesia itu tidak kehabisan akal. Ia maju sedikit dan shalat sambil duduk bersimpuh, sampai rakaat terakhir. Alhamdulilah, masih bisa shalat berjamaah di Mesjid Nabawi, dipimpin Imam Besar.

***

Shalat di Mesjid Nabawi pada hari-hari pertama ternyata sulit sekali konsentrasi. Susah untuk khusu’. Setelah rasa haru hilang, godaan lain adalah terperhatikannya cara orang lain sholat dan kejadian-kejadian lain yang bisa bikin mesam-mesem saat sholat. Ibu di sebelah saya – dari suatu negeri di Afrika – tidak

17

mengangkat tangannya untuk bertakbir memulai shalat. Hati saya seolah mengingatkan – ”Ayo Ibu, kita mulai shalat, angkat tanganmu dan lipatlah di dada”. Belakangan saya baru ngeh kalau saat takbir ia memang tidak mengangkat tangan ke dekat telinga dan saat baca Al Fatihah ia juga tidak meletakkan tangan di dada. Tangannya menggantung saja di sisi tubuhnya.

Ibu lain, tak jauh di depan tempat saya (mungkin dari Pakistan, India atau Bangladesh karena memakai semacam sari) setelah membaca ”Sami Allah ...” tiba-tiba duduk ndeprok, baru sujud. Ada lagi yang gerakannya mendahului imam. Awalnya saya kira ia berbuat ”kesalahan”. Ternyata gerakannya memang selalu lebih cepat dari imam. Sesekali saya temui ibu yang sholat ”sendirian”, walau kami sedang shalat berjamaah. Gerakannya jadi nyleneh (beda dengan lainnya) tapi ia tetap saja shalat. Kumaha ieu?

Pikiran-pikiran yang awalnya iseng mudah mengalihkan perhatian kita pula. Saat-saat menunggu shalat, biasanya diisi dengan membaca Al Quran. Demikian pula saya, yang membaca dan mencoba memahami makna ayat per ayat, dalam bahasa Indonesia. Karena menunggunya terkadang harus lama, maka saya mulai tertarik dengan apa yang dipakai ibu-ibu di sekitar saya.

Ada yang memakai mukena sutra Italia. Tentunya harganya mahal. Di sebelah sana ada orang-orang Afrika yang memakai baju warna-warni (menurut kita norak), sangat kontras dengan kulit mereka yang halus kelam dan bercahaya. Di sebelah lain ada yang memakai baju gamis yang ada tutup kepalanya. Setelah dipakai ternyata tutup kepalanya berujung runcing. Tampak seperti Klux Klux Klan. Di dekat saya ada ibu-ibu yang tangan dan kakinya penuh gambar dari Hena. Gambar ornamennya sangat indah dan menarik. Agak di belakang ada yang berpakaian seperti nun (pastur wanita). Tapi yang ini pasti seorang Muslim.

Ada yang sebagian tubuhnya ”berwarna” putih, ada juga yang hitam komplit. Saya yang menunggu waktu shalat dengan duduk di atas kursi lipat, bisa dengan leluasa memandangi dan memperhatikan orang lain. Tampak bahwa jemaah haji Indonesia lebih cenderung bergerombol, lengkap dengan atribut masing-masing. Dari tempat saya duduk bisa terbaca ”Jamaah haji Indonesia Sulsel-Kabupaten Gowa-Kloter 14” atau ”Jamaah haji Kab. Sanggau”, atau ”KBIH Pesantren Darussalam – Banyuwangi – Jatim - Indonesia”. Memang jamaah haji Indonesia selalu berjumlah banyak. Tahun ini jemaah dari Indonesia (yang biasa) jumlahnya 188 ribu orang, belum lagi jamaah haji plus.

Jemaah haji Malaysia juga senang duduk bersama-sama. Di kepala bagian atas tertulis negara mereka dengan huruf Arab gundul. Jamaah Turki tahun ini banyak sekali. Pakaiannya seragam, warna kelabu. Mereka gemuk-gemuk, tinggi besar. Pernah saat bubaran shalat ada angin kencang. Bergo salah satu ibu gendut dari Turki itu tersingkap persis di depan saya. Masya Allah. Rupanya ia tak memakai kutang, memperlihatkan barangnya yang berukuran seperti milik Dolly Parton.

Shalat secara massal di tanah suci ini agaknya menuntut kita untuk dapat berbuat cuwek agar bisa berkonsentrasi penuh, sehingga shalat bisa dilakukan dengan khusu’! Mungkin juga distraction ini adalah juga godaan untuk mengalihkan konsentrasi kita dari Yang Maha Kuasa. Subhanallah...janganlah ada yang memalingkan tujuan hambamu untuk beribadah shalat, Ya Allah! Apa pun pakaian dan gayanya, shalat adalah urusan kita sendiri dengan Allah s.w.t. Habluminallah.

***

18

Kesibukan jamaah wanita pada saat menunggu waktu shalat luar biasa variasinya. Dianjurkan membaca Al Quran. Kalau sudah capai dan sulit konsentrasi, mulai ada yang ngelamun-ngelamun. Ada yang berdoa, komat-kamit dan sesekali air matanya mengalir. Ada yang baca-baca entah apa - sambil memainkan tasbih. Ada yang zikir sampai badannya terbungkuk-bungkuk. Ada pula yang tiduran meringkuk di atas sajadah, atau tidur selonjor di di depan lutut teman-temannya dan tubuhnya menimpa telapak kaki shaf ibu-ibu depannya.

Lain waktu saya lihat ada yang pijat-pijatan. Lantas ada dering handphone (hampir selalu bernada khas Nokia). Ada yang batuk sampai termuntah-muntah. Mungkin ia sedang sakit dan duduk tanpa alas di atas marmer putih yang sedingin salju.

Di luar mesjid, dinamika menunggu waktu sholat jauh lebih semarak (dan membuat konsentrasi membaca Al Quran semakin buyar). Ada satu-dua ibu yang menjajakan barang secara door to door alias dari satu syaf ke syaf lain. ”Hamzah real, hamzah real, lima real satu,” katanya diselingi bahasa Indonesia seraya menjual kain kerudung tipis yang motifnya cantik-cantik. Di tangan kirinya ia membawa tas kresek besar, bening, berisi kerudung yang lebar. Di tangan kanan ia menggeraikan kerudung itu, kadang-kadang melemparkannya kepada ibu yang tampaknya berminat.

Penjual kerudung itu dengan lincah melompat-lompati syaf para ibu. Jualannya laku keras. Sesekali ia melirik sekeliling, khawatir diusir asykar. Orang non-Indonesia biasanya hanya iseng beli selembar. Orang Indonesia biasa beli banyak-banyak, untuk oleh-oleh.

Ibu penjual lain menjajakan tasbih. ”Satu real, satu real,” katanya, berharap dibeli oleh orang Indonesia. Sesekali ia bilang ”One real, one real”. One? Apakah maksudnya adalah ”satu” dalam bahasa Inggris? Saya jadi ingat guyonan orang Padang di Indonesia: ”One tulisannyo, wan bacanyo”. Semakin hari para penjual keliling itu semakin banyak dan jualannya pun makin bervariasi - gelang, kalung, ballpen, kaus kaki, tas tangan.

Ibu-ibu yang shalat dengan membawa anak kecil juga dapat ditemukan di sana-sini. Kadang anaknya ribut, berkelahi, menangis. Sang ibu sibuk melerai dalam bahasa Arab. Atau anaknya berlari-larian kian-kemari dan sang ibu berteriak-teriak menyuruh mereka duduk manis. Jangan kaget kalau pas sedang shalat, sekonyong-konyong - entah dari mana - ada anak kecil merangkak-rangkak melewati sajadah kita, atau ada kucing yang mengeong seraya memintas sela-sela kaki.

Setelah selesai shalat di dalam masjid, masih pula harus berjuang untuk bisa keluar dengan nyaman. Banyak jamaah yang masih betah di dalam masjid, berlama-lama shalat, atau memang ingin di masjid terus sambil menunggu waktu shalat berikutnya. Jadi ya terpaksa mereka dilompat-lompati. Beberapa langsung mengambil posisi tiduran. Mungkin cape dan pegal, kelamaan duduk menunggu waktu shalat. Terpaksa saya meloncat-loncati mereka, terkadang pakai permisi, kadang tidak lagi.

Di sepanjang lorong menuju jalan keluar-masuk, ada deretan drum plastik, berisi air zamzam. Tersedia gelas plastik yang bisa sekali pakai. Ibu Farida, pembimbing kami, selalu mengingatkan kami untuk meminum zamzam dari drum yang ada tulisan Arab berwarna biru, yang tidak diberi es. Saya tidak sempat bertanya kenapa. Mungkin untuk mencegah kami dari batuk pilek atau agar lebih mustajab, mengingat konsentrasi air zamzamnya tentu lebih tinggi dari air zamzam

19

yang dicampur es (kecuali kalau esnya juga terbuat dari air zamzam). Air zamzam itu khusus dialirkan dari Mekkah, yang jauhnya hampir 500 km dari Madinah.

Melewati ibu-ibu yang sibuk berebutan air zamzam tentu perlu kiat khusus. Disana-sini ada tumpahan air, bisa membuat kaos kaki menjadi basah. Saat akan menuju ke luar, di pintu yang sempit hampir selalu ada bentrokan aliran para ibu yang keluar dan yang memasuki masjid. Rupanya mereka yang ingin masuk masjid tanpa sabar itu bermaksud akan mengambil air zamzam untuk perbekalan pulang.

Aliran massa itu masih padat hingga pagar luar. Di sana, di luar pagar, padat pula dengan para bapak yang menunggu istrinya masing-masing. Ada asykar laki-laki yang selalu menjaga di dekat pagar. Kalau ada laki-laki yang melewati garis, langsung ia berteriak-teriak dalam bahasa Arab: ”Hajji...hajji...!” Maksudnya mungkin melarang si bapak merambah ke depan karena wilayah itu adalah kawasan ladies only.

Istri mencari suami di kerumunan massa merupakan masalah yang rumit. Kata Mas, mencari istri dalam kerumunan massa ternyata jauh lebih pelik karena mayoritas ibu berpakaian putih-putih, hanya wajahnya saja yang kelihatan. Maka banyaklah gagasan membuat personal recognition alias menandai diri sendiri agar mudah dikenali suami. Idenya amat sangat beragam - bunga korsase di atas kepala, scarf berwarna menyolok, pita atau bando yang melingkari pelipis hingga ke belakang, apa saja yang membedakan diri kita dengan yang lain.

Setelah jumpa dengan istri/suami, teman atau kelompoknya, beriringanlah jamaah pulang ke tempat pondokan masing-masing. Ada kelompok besar dari Indonesia yang berbaris tertib, yang di depan membawa bendera. Ada juga ibu-ibu yang berjalan beriringan sambil memegangi ujung mukena teman di depannya, seperti anak gajah yang membelit ekor induk dengan belalainya.

***

Menurut yang punya hikayat, Masjid Nabawi ini dahulu dibangun dari pecahan batu gunung, beratapkan daun kurma dan terletak di dekat rumah Nabi. Nabi Muhammad sayang sekali dengan mesjid ini sehingga pada waktu meninggal, beliau meminta untuk dimakamkan di masjid itu. Pada waktu Masjid Nabawi masih kecil, makam Nabi terletak di luar masjid. Karena perluasan masjid, makam itu lantas berada dalam kompleks masjid, di bawah kubah yang berwarna hijau (satu-satunya kubah yang berwarna hijau, sementara lainnya berwarna kelabu).

Di dekat kuburan Nabi terletak pula mimbar Nabi, tempat beliau dahulu sering berkhutbah. Wilayah antara makam dan mimbar Nabi ini disebut Raudha, salah satu tempat yang mustajab untuk berdoa. Maka tidaklah mengherankan kalau jamaah ingin berdoa dan shalat di Raudha ini. Menurut teori per-mustajab-an, tempat ini menduduki ranking ketiga setelah Multazam di Makkah dan Padang Arafah.

Sehari sebelum saya berencana ke Raudha, terjadi insiden. Dorongan dan himpitan massa membuat banyak jamaah perempuan terinjak-injak dan bahkan ada yang meninggal. Innalilahi wa inna illaihi rojiun. Beberapa teman yang mencoba ke Raudha pada waktu itu Alhamdulillah bisa selamat, walau nyaris terinjak-injak pula kalau tidak segera ditolong ibu lainnya.

20

Mas yang sempat ke Raudha bercerita bahwa ia harus menunggu berjam-jam untuk antri. Badan terhimpit-himpit saat berjejal mendekat ke Raudha. Alhamdulillah ia berhasil. Pak Kyai berkali-kali mengingatkan bahwa berdoa di Raudha ini rukunnya bukan wajib. Jangan dipaksa karena resikonya tinggi. Juga - ia menambahkan - jangan sampai kita menjadi musyrik karena sudah banyak kejadian jamaah yang sampai menangis melolong-lolong, menciumi dan berteriak-teriak di makam Nabi.

Dahulu perempuan tidak boleh ke Raudha. Sekarang diberi kelonggaran. Kaum perempuan diperbolehkan ke Raudha pada jam-jam tertentu saja, yakni jam 7-11 pagi dan 2-3 siang. Mengingat bahwa jatah kunjungan untuk perempuan sangat terbatas, maka tidaklah mengherankan jika calon pengunjungnya super berjubel.

Mengunjungi Raudha ternyata merupakan pengalaman yang unik. Beberapa kyai mengatakan bahwa hanya orang-orang yang terpilih saja yang diperbolehkan ke Raudha. Pada hari-hari pertama di Mekkah, saya belum punya minat berkunjung ke Raudha. Bukan karena desak-desakannya. Bukan pula karena ada berita adanya beberapa orang ibu yang meninggal terinjak-injak. Rasanya saya belum ”terpanggil”.

Suatu malam setelah makan malam, Bu Emi, istri Pak Iqbal dari Mudatur tiba-tiba menghampiri saya. ”Mari saya antar Ibu ke Raudha besok pagi, setelah shalat Subuh”. Seketika saya menjawab ”OK, di mana kita ketemunya?”

Setelah shalat Subuh saya khusus berdoa agar dilancarkan upaya saya untuk mengunjungi Raudha. Lantas saya menemui Bu Emi di tempat yang telah disepakati. Sebelum masuk pintu masjid yang dekat dengan Raudha, saya diingatkan untuk shalat dulu. Tumben, di pelataran masjid, di tengah hiruk-pikuknya lalu-lalang saya bisa berdoa dengan khusu’, sampai-sampai timbul rasa haru luar biasa. Mudah-mudahan ini adalah tanda-tanda baik.

Hanya berdua dengan Bu Emi kami mulai petualangan ke Raudha. Sistem pengaturan calon pengunjung Raudha terasa membingungkan dan terkesan untung-untungan. Calon pengunjung perempuan harus melewati 3 kali screening sebelum tiba pada kawasan Raudha. Pada screening pertama berlaku kaidah peluang. Dalam ”terjemahan Indonesia” mungkin diartikan sebagai ”rejeki”.

Aula wilayah perempuan itu dibagi-bagi menjadi beberapa (6 atau 7) ”kapling” yang dibatasi dengan tabir-tabir semi permanen. Di depan, terhadang pintu-pintu kayu lebar yang yang dapat dibuka untuk screening berikutnya. Jadi ada 6 atau 7 pintu. Pintu mana yang akan dibuka? Tidak ada yang tahu. Tampaknya acak. Ada seorang Ibu dari Lampung yang sudah 5 hari berturut-turut antri di depan salah satu pintu, namun pintu di depannya tidak terbuka. Yang dibuka pintu lain.

Seharusnya pintu itu dibuka jam 7, tapi sudah jam 7.30 belum ada tanda-tanda dibuka. Beruntung tubuh saya tinggi, jadi kalau jinjit-jinjit, saya masih bisa melihat pintu-pintu lain, termasuk pintu yang terjauh dari kami.

Tiba-tiba pintu di ujung paling kiri terbuka. Saya lapor ke Bu Emi. ”Ayo Bu, lari!”. Maka tergopoh-gopoh kami berlari ke sana, karena jaraknya lumayan jauh dari posisi kami. Sesaat saya merasa menjadi quarterback dalam permainan American football karena harus menjepit tas saya (kursi lipat disembunyikan di suatu tempat) sambil berlari zig-zag menghindari ibu-ibu lain yang berdiri penuh harap menunggu pintu terdekat dibuka. Engahan kami bercampur dengan kelegaan karena kami tergolong ”kloter” calon pengunjung Raudha. Pintu di belakang kami sudah

21

ditutup lagi. Ruangan sesak dengan para ibu. Asykar tampak di tepi-tepi ruangan, menertibkan para pengunjung Raudha.

Segera kami beringsut bergeser mencari tempat agak ke depan, menunggu screening berikutnya. Di depan ada tabir lagi. Saya jinjit-jinjit dan dapat melihat bahwa di wilayah depan ternyata sudah penuh sesak pula dengan para pengunjung.

Dari situ sambil jinjit-jinjit saya dapat melihat makam Nabi di pojok kiri, yang berupa ”kotak” besar berwarna hijau dan dipenuhi oleh huruf-huruf kaligrafi. Ibu-ibu di dekat saya mulai banyak yang menangis, seraya melambai ke arah makam dan mengucap doa-doa dan salawat Nabi. Saya tidak tahu doa apa yang harus saya baca. Jadi saya baca salawat Nabi dan doa-doa lain sebisa saya. Sisanya doa dalam bahasa Indonesia. Terima kasih Ya Allah, Kau berikan hamba-Mu ini kesempatan menatap makam Nabi-Mu yang mulia.

Kami berdiri berhimpit-himpitan. Lama juga, sampai-sampai saya kehabisan doa dan permohonan. Mulailah saya iseng melihat-lihat dan mengamati kejadian di sekitar saya. Di depan saya, di seberang tabir tampak ada ruangan yang berbeda dengan lainnya. Inilah jantung dari Masjid Nabawi, bagian asli dari masjid yang sudah direnovasi. Nabi dulu membuat masjid ini secara sederhana, dindingnys dari bata, beratapkan daun kurma dan pilar-pilarnya dari batang pohon kurma pula.

Berbeda dengan tempat-tempat lain di dalam Masjid Nabawi yang terkesan besar dan kokoh, kawasan itu terkesan kecil. Pilar-pilarnya biasa saja, tanpa lapisan marmer. Hanya dicat warna krem. Pilar itu menyangga banyak kubah kecil di atasnya. Dari luar barangkali terlihat seperti gunung-gunung kecil, ibarat plenuk-plenuk kawasan karst Gunung Sewu di Yogyakarta.

Kubah yang tampak cekung-cekung dari bawah itu bertuliskan huruf kaligrafi yang artistik, di sela-sela ornamen serupa bunga. Setiap kubah - saya perhatikan - memiliki kaligrafi yang berbeda.

Yang tidak kalah indahnya adalah lampu-lampu gantung di antara pilar-pilar. Ada lampu gantung yang besar dan ada yang kecil. Cantik sekali. Ruangan itu terang benderang. Di antara lelampu ada kipas angin kecil-kecil (tapi banyak) yang sibuk berputar. Kipas-kipas itu membuat saya teringat bahwa saya pernah melihat foto bagian mesjid ini. Di internet!

Kipas-kipas di sana ada 2 macam: yang seperti kipas helikopter, tergantung vertikal ke bawah, dan kipas bulat yang ditempelkan di dinding pilar. AC juga ada, di sela-sela kipas helikopter. Langit-langit itu terkesan sungguh sangat meriah. Kipas helikopter dan kipas bulat yang bisa ”geleng-geleng” ke kiri ke kanan itu terbaur di antara lampu-lampu besar, lampu kecil dan AC. Ditambah lagi dengan kubah yang penuh lukisan dan tulisan. Amat semarak!

Wilayah ini tentunya sangat padat dengan pengunjung sehingga aerasi dibuat sebaik mungkin. Saat saya menoleh ke belakang saya baru dapat memperhatikan bahwa di bagian belakang saya, di atas, ditutup oleh 4 payung putih raksasa yang sedang mengembang. Setiap payung berbertuk bujur sangkar. O, inilah salah satu bentukan arsitektur yang terkenal di Masjid Nabawi. Payung raksasa itu didisain secara modern, sehingga pada kondisi tertentu dapat menutup dan membuka secara otomatias, memberikan udara segar ke ruangan yang penuh kipas itu. Jika payung tertutup tentulah dapat terlihat langit biru yang jarang berawan di Madinah.

Mungkin dulunya ruangan yang ”kecil” (dibandingkan keseluruhan masjid) yang dipenuhi kipas dan lampu itu adalah Masjid Nabawi yang asli, sementara ruangan yang ada payung-payung itu merupakan halaman belakangnya. Belakangan

22

saya tahu bahwa ruang yang ada payung-payung itu ada dua, satu lagi terletak di belakangnya, terhalang lorong.

Di bagian barat laut saya ada makam Nabi dan dua sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab. Tentunya ada kubah besar di bagian atasnya, salah satu trade mark mesjid Nabawi. Dari tempat saya berdiri terhimpit-himpit, saya tidak dapat melihat kubah itu.

Di utara saya tampak ”panggung” menggantung setinggi 2 meteran, terbuat dari marmer putih Yunani, serupa dengan bagian yang di-marmer-i lainnya. Di situlah imam besar Masjid Nabawi memimpin shalat jamaah. Di antara panggung/mimbar dan makam Nabi, itulah wilayah yang disebut dengan Raudha, tempat mustajab untuk berdoa, ranking ke-3 setelah Multazam (di wilayah Ka’bah) dan di Arafah. Itulah ”target” utama kami, yang rela tergencet, terhimpit dan tersesak-sesak pagi itu.

Di belakang Raudha dan tembok-tembok bagian atas berornamen sangat ramai. Ada tirai lain di sana, sehingga saya tidak dapat melihat apa di baliknya. Yang tampak hanya bagian depan langit-langitnya. Ada semacam piramida hijau bertuliskan kaligrafi. Saya jinjit-jinjit dan tampak ornamen pada tiang-tiangnya yang juga meriah berwarna keeemasan.

Sementara itu, suasana di tempat saya berdiri, hanya dibatasi satu tabir menjelang Raudha, semakin heboh. Ibu-ibu banyak yang berdoa sambil meratap-ratap ke arah makam Sang Nabi Besar, dengan air mata berlelehan. Ada yang berteriak entah kenapa. Jamaah haji Indonesia kebanyakan membaca contekan doa yang dikalungkan ke leher mereka. Berhubung saya tidak punya contekan, ya saya berdoa sebisanya.

Screen di depan lantas dibuka oleh petugas. Kehebohan terjadi karena para ibu yang sudah hampir satu jam berdiri berhimpitan dan kehabisan doa itu sudah tidak sabar ingin segera menapaki wilayah Raudha yang mustajab. Massa para ibu itu bergerak berhimpitan mendekati Raudha. Saya berpegang kuat, saling bertautan siku dengan Bu Emi. Allahu Akbar. Saya merasa sesak, terhimpit ibu-ibu lain, tapi saya merasa aman dengana adanya AC dan kipas-kipas angin itu. Setidaknya saya tahu bahwa oksigen di situ cukup untuk kami semua.

Himpit-himpitan itu bergerak mendekati kawasan Raudha. Ya, inilah Raudha itu. Beberapa ibu di dekat saya mulai shalat tanpa peduli kesesakan yang menghimpit. Berbahaya sekali. Ia bisa terinjak dan orang lain bisa kehilangan keseimbangan karena ada wilayah ”kosong” pada waktu ia sujud.

Bu Emi menawarkan saya untuk shalat tapi saya menolak. ”Jangan di sini,” kata saya. Terlalu beresiko. Kami beringsut mencari tempat yang lebih leluasa. Persis di bawah mimbar untuk imam ada ibu yang telah selesai shalat. Kami segera shalat tergesa-gesa di sana. Alhamdulillah saya berhasil shalat 2 x 2 rakaat dan memohon berbagai hal.

Asykar wanita berteriak-teriak menghebohkan kami dalam bahasa Arab yang kami tak tahu apa maksudnya. Saat bahu saya di dorong-dorong, saya tahu bahwa kami harus segera pergi dari kawasn Raudha itu. Shift berikutnya sudah menunggu dan tabir akan segera dibuka. Bergegas kami meninggalkan tempat Raudha itu. Saya masih bisa mendengar lolongan dan doa-doa para ibu lain yang belum rela diusir oleh asykar.

Selama perjalanan pulang saya masih bisa membaui sesuatu dari badan saya. Gaharu! Saya lantas teringat bahwa di sana, dekat Raudha tadi, diselimuti oleh

23

bau gaharu yang sangat wangi. Tak syak lagi, itu adalah gaharu nomor wahid, yang kemungkinan besar didatangkan dari Indonesia, dipanen dari pohon-pohon Aquilaria malaccensis yang terkena jamur pembentuk aroma harum, dari pelosok-pelosok hutan kita.

***

Rutinitas kehidupan kami di Madinah sudah terpola dengan apik. Prinsipnya adalah shalat, makan dan istirahat/tidur. Makan tiga kali sehari disajikan di ruang makan, di lantai satu. Makanannya cukup enak, pada awalnya. Lama-lama agak membosankan karena variasinya sangat sedikit. Menu utama kebanyakan adalah daging dan ayam, sementara buah dan sayuran agaknya bukan menjadi prioritas.

Makannya ala prasmanan. Saya dan Mas selalu merasa lapar, sehingga porsi makan kami kira-kira 2 kali lipat porsi makan normal di Indonesia. Entahlah kenapa. Yang jelas agaknya kebutuhan kalori di sini jauh lebih banyak. Padahal tugas utama kami hanyalah shalat.

Saya perhatikan semua orang makan banyak, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak. Semuanya mengakui cepat sekali lapar. Kami selalu berseloroh bahwa shalat kami sedemikian khusu’nya sehingga perlu ekstra energi.

Kalau masih lapar atau bosan dengan makanan hotel, bisa njajan di rumah makan fast food terdekat. Restoran mudah dicari di mana-mana. Kalau ingin makanan ”barat”, bisa mencoba McDonald atau Starbucks, beberapa blok dari tempat kami menginap. Roti ala Arab bisa juga dicicip.

Rata-rata kami tidur jam 9 malam atau 10 malam. Sebelum tidur terkadang iseng nonton warta berita BBC (tak ada CNN) atau film lepas dari tv di kamar kami. Jam 3 subuh sudah bangun, Mas biasanya langsung ke mesjid jam 4 pagi. Jam keberangkatan saya tergantung rencana apakah ingin shalat di dalam mesjid (yang berarti harus berangkat jam 4) atau di luar mesjid (yang berarti sengaja berangkat mepet untuk mengurangi dingin dan angin).

Pulang dari masjid langsung sarapan. Lantas acara bebas sampai Dhuhur tiba. Ibu-ibu biasanya mulai ”thawaf” keliling-keliling, belanja. Setelah shalat Dhuhur, makan siang, istirahat sejenak untuk menunggu Ashar. Beres shalat Ashar bisa istirahat lagi, lalu shalat Maghrib, dilanjut dengan Isya. Kami biasanya selalu pulang ke hotel setelah shalat karena dekatnya jarak dengan hotel. Teman-teman jamaah biasa lain sering harus tinggal di masjid atau tiduran di pelataran mesjid. Kalau perlu membekal makanan. Maklum jarak masjid dari pemondokan bisa sampai 1-2 km.

Makan malam dihidang setelah shalat Isya. Setelah itu tinggal menunggu kantuk. Demikian seterusnya hingga delapan hari, agar mendapatkan jumlah 40 rakaat untuk lulus ibadah shalat Arbain.

Di sela-sela waktu shalat bisa dimanfaatkan untuk tidur, sight seeing, window shopping, jalan-jalan di pelataran masjid, atau mencuci baju di wastafel kamar (kalau ingin nge-laundry ya, terpaksa bayar 8 real per potong). Saya seringnya menulis kalau sedang menganggur, yang akhirnya menjadi buku ini.

***

24

Menjelang penghujung tahun 2005, udara semakin dingin. Angin pun kian kuat berhembus. Koor batuk-batuk di sela-sela suara imam sewaktu shalat di dalam Masjid Nabawi semakin intensif. Beberapa teman sudah mulai bosan dengan menu yang sama dan malas makan, sehingga harus njajan di ”Warung Si Doel” yang menjual makanan Indonesia. Lumayan untuk menambah variasi makanan di hotel yang lama-lama menunya hampir bisa ditebak karena terlalu monoton. Sangat bergizi, tetapi hampir tak merubah tatanan menu.

Kulit wajah dan tubuh mulai kering karena kelembaban yang rendah. Jika tidak rajin diberi pelembab (umumnya bapak-bapak), kulit menjadi gatal-gatal. Bibir pun mulai diberi lip balm agar tidak perih karena pecah-pecah. Baju-baju hangat pun mulai dipakai sehari-hari, termasuk baju thermal (baju dalam).

Perjuangan untuk memperoleh satu kapling sholat di Masjid Nabawi semakin tinggi saja karena para perempuan tidak ingin kedinginan di luar. Apalagi saat-saat shalat subuh.

***

Hotel Mövenpick itu punya nama alias Arab ”Anwar Al Madinah”. Hampir semua nama hotel internasional diberi nama Arab juga. Hotel di sebelah timur kami, Continental, punya nama Arab Dar Al Imam, Sofitel di sebelah barat kami namanya Elaf Taiba. Hilton tampaknya tak mau pusing-pusing mencari nama versi Arab dan tetap menggunakan nama Hilton Madinah.

Hotel Mövenpick yang 14 lantai dan terdiri dari 2 tower itu mempunyai sekitar 500 kamar. Jika diasumsikan bahwa 1 kamar dapat diisi 4 orang, maka hotel itu bisa ditempati oleh 2.000 orang.

Dengan rating bintang lima, satu kamar di sini bernilai ... untuk semalam menginap. Di kamar kami ada kitchenette (dapur kecil), yang bisa dipakai untuk memasak dengan 2 burner listrik. Kulkas kecil juga ada. Perlengkapan lain ya standar hotel berbintang, dengan spring bed dan bantal yang nyaman, plus shower air panas.

Di dua lantai terbawah ada pertokoan yang menjual bermacam-macam barang, mulai dari pakaian, jam, kain, barang elektronik, emas, kebutuhan sehari-hari (convenient store), apotik, sepatu, serta toko 10 real (semua harga 10 real). Di ketiga arah lain (selain arah mesjid) banyak terdapat hotel dan pertokoan, mulai dari kelas pinggir jalan hingga kelas toko eksklusif. Untuk barang-barang standard, misalnya jam bikinan Swiss, kacamata Rayban, handphone dan barang-barang elektronik bermerk ternama, harganya ya standard, kurang lebih sama dengan di Indonesia.

Barang-barang pernak-pernik, baju, peci, bergo dan jam tiruan harganya murah sekali, benar-benar memikat untuk dibeli, walau sebetulnya tidak butuh-butuh amat. Lumayanlah kalau untuk oleh-oleh. Barang-barang ”Made in Saudi Arabia”? Jangan harap bisa nemu. Barang-barang murah di sana kebanyakan buatan India atau China.

Yang doyan belanja dan melihat-lihat sana-sini ternyata tidak hanya para ibu. Para bapak asyik juga tengok barang. Bapak-bapaknya jadi ikutan genit, gonta-ganti peci hampir setiap hari. Mas yang biasanya agak cuwek dengan penampilannya, selama 10 hari di Madinah sudah ganti headware sebanyak 5 kali:

25

peci dari Indonesia, peci Oman, topi Iran, lantas topi haji putih dan terakhir topi ski dari wool (karena kedinginan).

Tawar-menawar barang umumnya dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ya, bahasa Indonesia. ”Berapa?” ”Sepuluh real. Murah. Bagus,” kata sang pedagangnya. Kalau urusan angka, mereka fasih sekali. Tapi kalau ditanya hal lain, ya terpaksa pembicaraan disambung dengan bahasa Tarsan dengan kode-kode gerak-gerik tubuh.

***

26

MENAPAKTILAS SEJUMPUT PERJUANGAN NABI

Oleh Mudatur kami diajak tur ke beberapa tempat yang bersejarah. Kami serombongan pergi dengan menggunakan satu bis AC yang nyaman. Tujuan kami adalah masjid Quba, tempat penjualan kurma, gunung Uhud dan masjid Qiblatain.

***

Mesjid Quba adalah masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi Muhammad s.a.w., setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Sebelum memasuki kota Madinah, beliau singgah di dusun kecil di Quba dan mulai membangun masjid.

Mereka yang shalat 2 rakaat di masjid Quba akan memperoleh pahala setara dengan satu thawaf. Maka para jamaah - termasuk kami - tidak melewatkan kesempatan mendapat pahala ini. Masjid yang kecil dan berwarna putih itu penuh sesak pengunjung. Tempat untuk perempuan bershalat hanya kecil saja, padahal yang datang ke mesjid itu selalu puluhan bis. Selain sesak dengan pengunjung, masjid ini juga sesak dengan pedagang jalanan. Keperluan-keperluan dasar ada di sana, termasuk suvenir kecil-kecil.

Dari masjid Quba kami ke perkebunan kurma, tak jauh dari masjid Quba. Setelah melewati perkampungan orang-orang Badui yang berupa rumah-rumah dari tembok batu, kami melintasi perkebunan kurma. Sekilas pohon-pohon kurma itu seperti pohon kelapa sawit. Jarak tanamnya kurang lebih sama, sekitar 6 meteran. Kami sama sekali tak melihat ada buah kurma. Apakah sedang tidak musim?

Bis kami parkir di suatu kebun kurma. Ternyata di sana ada display kebun kurma dan tempat berjualan kurma. Suasana hiruk-pikuk. Sungguh saya tidak merasa seperti di Madinah. Bahkan terasa seperti di Pematang Siantar, karena dikelilingi oleh ”kelapa sawit” dengan hingar-bingar orang-orang Indonesia (kebetulan yang datang adalah jamaah Indonesia semua, tak sengaja berbarengan). Tour guidenya memberi penjelasan dalam bahasa Indonesia pula.

Tawar-menawar kurma juga dalam bahasa Indonesia. Klop sudah. Full suasana Indonesia. Tour guide menjelaskan bahwa di lokasi itu terdapat 30 varietas kurma. Yang paling terkenal adalah kurma Nabi karena dipercaya memiliki daya kesembuhan terhadap berbagai jenis penyakit. Kurma Nabi yang berwarna hitam kisut dan berukuran agak kecil (seruas ibu jari) itu tergolong laris, walau agak mahal. Kurma-kurma lain bermacam-macam. Yang besar, yang kecil, warnanya bervariasi dari kuning hingga hitam. Ada yang ditambah madu.

Para pengunjung berebut membeli kurma. Harganya macam-macam, mulai dari 20 real hingga 100 real sekilonya. Mas membeli kurma Nabi, 75 real, untuk dimakan kami sehari-hari.

Kurma lain yang tidak kalah menariknya adalah kurma yang dijuluki kurma Irex. Kurma Irex ini konon betul-betul bisa mendongkrak kemampuan para suami. Benarkah? Wallahualam.

***

Tujuan selanjutnya adalah Gunung Uhud, yang terletak agak di luar kota Madinah. Menurut hikayat sang Nabi, pada tahun 2 Hijriah, orang-orang Quraisy bermaksud menyerbu Madinah, sebagai upaya balas dendam kekalahan mereka pada

27

perang sebelumnya (perang Badar). Gunung Uhud yang 6 km panjangnya itu di pilih Nabi untuk mempertahankan kota Madinah. Sayangnya banyak pasukan Nabi yang membelot pada saat-saat terakhir. Dari 1.000 pasukan Nabi, 300 orang mangkir turut berperang. Maka Nabi berperang dengan 700 orang balatentara, melawan 3000 orang Quraisy.

Gunung yang kering kerontang itu menjadi saksi kekalahan pasukan Islam. Banyak yang mati syahid. Nabi sendiri terluka-luka. Di Gunung Uhud itu darah ksatria Islam banyak tertumpah. Betapa sulitnya perjuangan Nabi dalam men-syiarkan agama Islam pada waktu itu!

Di setiap tempat keramaian dapat kita jumpai orang-orang berjualan. Juga di Gunung Uhud. Pedagang-pedagang jalanan, di tempat yang ramai tanpa naungan itu, menggelar berbagai jualan: kurma, minyak zaitun, rumput Fatimah (yang kabarnya mujarab untuk mengecilkan rahim setelah melahirkan), rempah-rempah dengan berbagai khasiat, juga kapol Arab yang dengar-dengar enak dibuat rendang.

Pulangnya kami melewati masjid lain, Masjid Qiblatain. Masjid ini istimewa karena memiliki dua kiblat. Awalnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis yang ada di Jerussalem, Palestina. Saat Nabi menyelesaikan 2 rakaat shalat Ashar di sana, beliau mendapat wahyu untuk berpindah kiblat ke Mekkah. Hingga saat ini masih terlihat sisa-sisa kiblat yang mengarah ke utara dan ke selatan.

***

Delapan hari berlalu. Arbain selesai kami laksanakan. Alhamdulillah. Sudah waktunya meninggalkan Al Madinah Al Munawarah, kota yang penuh cahaya, kota tempat diturunkannya surat-surat panjang dalam Al Qur’an, kota tempat Nabi Muhammad dikuburkan dalam Masjid Nabawi yang megah dan anggun.

angan kami pastilah akan selalu terjaga dari kenanganpada suara azan yang membahanamenggapai sela-sela pilar yang berlapis marmer

dan berujung busur belang-belangpada minaret (menara) cemerlang

yang menerangi langit gulita tanpa pernah tertampak bintangpada hamparan lantai granit sesejuk es

bersamaan dengan sepoian hawa gurun yang dingin merembes kulit

pada ramainya paduan kubah-kubah kecil kitiran pengatur udara lelampu dan ornamen kaligrafi di dekat makam sang Nabi

Tujuan berikutnya: Al Makkah Al Mukarramah.

***

28

DI KAKI KA’BAH KAMI BERSUJUD

Hari keberangkatan ke Mekkah untuk melaksanakan umrah telah tiba. Sore sebelumnya, Pak Kyai memperagakan pemakaian kain ihram kepada kami semua. Ibu-ibu diminta ikut, siapa tahu bapak-bapaknya perlu bantuan. “Nah memakai kain ihramnya begini ya Bapak-Bapak. Dijamin bisa bergerak dengan leluasa, tetapi tetap aman,” kata pak Kyai sambil mendak-mendak (melipat dengkul dan menaik-turunkan badannya). Ibu-ibu berseloroh ”Maksudnya aman itu apa pak Kyai?”. Pak Kyai mesam-mesem tidak berani menjawab, khawatir tanya-jawab melebar kemana-mana.

Di Indonesia, selama ini kami selalu beranggapan bahwa bensentuhan antara suami istri akan membatalkan wudhu. Benarkah? Beramai-ramai kami menanyakan hal itu pada Pak Ustadz. Jawabannya adalah selama tidak ada rasa syur, maka bersentuhan antara suami istri tidak membatalkan wudhu atau kegiatan lain yang mengharuskan wudhu.

Jadi kalau suami istri bergandengan tangan berangkat ke masjid, silakan saja. Demikian pula berpegangan tangan selama thawaf, sai atau kegiatan ibadah lainnya. Syukurlah agama memberi banyak kemududahan kepada kita semua.

Setelah sarapan kami bersiap. Cuaca yang masih dingin membuat bapak-bapak sibuk mengeratkan kain ihram bagian atas rapat-rapat ke tubuh. Persis seperti bayi gede yang dibedong. Starting point (disebut miqat) untuk melakukan umrah adalah di suatu masjid yang bernama Bier Ali, sekitar 12 dari Madinah. Di situ kami berwudhu, shalat dan berniat untuk melakukan umrah. Setelah miqat maka secara ”resmi” jiwa dan raga harus disiapkan untuk menghadap dan mengunjungi rumah Allah. Niat umrah dibisikkan setiap orang ”Labaik Allahuma Umrotan”.

Jam 11-an bis kami berangkat ke Mekkah. Perjalanan yang panjang sejauh 525 km itu melintasi padang pasir dan gunung batu. Sepanjang mata memandang hanya tertampak gunung, batu, padas dan pasir. Itu saja. Sebuah kehidupan yang maha sulit. Tidaklah mengherankan di dalam Al Quran surga digambarkan sebagai “tempat yang di bawahnya mengalir sungai-sungai“.

Nabi dahulu melakukan perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah selama 2 bulan. Naik onta. Betapa sulitnya bertahan dan berkelana di tanah tandus, gersang dan panas itu!

Perjalanan Madinah-Mekkah itu menjadi menjadi panjang karena kami perlu berhenti pada beberapa check-point untuk didaftar. Juga berhenti untuk shalat maghrib. Perlu berhenti pula untuk memberikan istirahat bagi sopir.

Makkah Al Mukarromah kami masuki menjelang Isya’. Kota itu tampaknya besar dan cukup modern. Cukup lama kami menembus kota. Mampir dulu ke Maktab 114, mendaftar. Foto-fotoan. Disajikan minuman dan berbagai snack. Baru berangkat lagi. Maktab sesungguhnya bermakna ’kantor’. Maktab kami, Maktab 114 berada di bawah pengelolaan Muasasah Asia Tenggara. Maktab bertugas untuk menyimpan paspor kami, mengurus akomodasi dan pembagian tenda di Arafah dan Mina.

Setelah menerobos jajaran beberapa terowongan yang membelah perut gunung, akhirnya kami tiba di dekat hotel kami. Kebetulan sedang bubaran sholat Isya’. Terpaksa bis berhenti sampai cukup lama, karena lautan manusia perlu didahulukan.

***

29

Hotel Sofitel, kamar 340. Lagi-lagi kamar Sofitel yang berbintang lima itu terasa padat. Kamar kami berisi satu tempat tidur yang king size plus tiga tempat tidur single. Lemari pakaian bahkan tidak bisa dibuka karena tertutup tempat tidur. Pakaian terpaksa dihamparkan saja di atas tempat tidur.

Setelah membereskan koper dan makan malam, maka kami semua siap untuk berjumpa dengan Ka’bah dan memulai thawaf. Bapak-bapak siap dengan pakaian ihram sejak di Madinah. Tetapi kali ini tidak lagi tampak seperti bayi gede yang dibedong, karena udara di Mekkah cukup hangat, serupa dengan di Indonesia.

Ritual umrah yang wajib dilakukan adalah berkeliling Ka’bah sebanyak tujuh kali (thawaf), berjalan dan berlari kecil (untuk laki-laki) antara bukit Shafa dan Marwa (sa’i), lantas ditutup dengan menggunting rambut, setidaknya tiga helai (tahalul).

Sebetulnya urutan melakukan ritual haji adalah mendahulukan haji daripada umrah. Karena kami berbuat ”kesalahan” dengan mendahulukan umrah (disebut haji tamatu), maka kami harus membayar denda (dam) sebesar 100 US dollar per orang, diserahkan ke dan akan diurus oleh Mudatur. Selain haji tamatu (yang ari harfiahnya adalah ’bersenang-senang’, ada 2 macam haji lainnya, yakni haji qiran dan haji ifrad. Urutan kegiatan pada haji tamatu adalah paling ringan diantara ketiga macam haji, sehingga sering menjadi pilihan bagi kaum jamaah.

Sebelum memulai melaksanakan umrah, kami dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok kami berjumlah 14 orang yang kebanyakan pasangan suami istri dan dipimpin oleh Pak Sukma. Sofitel ternyata bersebelahan dengan Masjidil Haram, jadi kami tidak perlu berjalan jauh. Saya sibuk berpegangan tangan dengan Mas, khawatir terpisah.

Orang-orang bersliweran kian-kemari. Banyak sekali. Ada yang juga berpakaian ihram, ada yang berpakaian biasa. Banyak pula yang duduk-duduk di lantai masjid yang kesannya terbuka, tak berdinding.

Kami akhirnya menatap Ka’bah. Inilah Ka’bah. Baitullah. Rumah Allah. Baitul ’Atiq. Rumah kemerdekaan. Yang menjadi pusat arah seluruh muslim di penjuru dunia untuk melakukan shalat. Perkenalan saya yang pertama dengan Ka’bah ternyata tidak ”seindah” yang saya duga. Belum ada rasa haru atau rasa getar di kalbu.

Pak Sukma membimbing doa pertama kali melihat Ka’bah, sementara mata saya masih tidak terlepas dari Ka’bah. Malam itu sudah lewat jam 10 tetapi terasa tidak ada beda antara siang dan malam. Ramai sekali. Manusia yang menyemut tampak sedang mengelilingi Ka’bah, melakukan thawaf.

Saya sungguh ingin merasakan getaran hati seperti saat pertama saya berada di Masjid Nabawi. Tetapi suasana ramai yang hiruk pikuk dengan manusia bersliweran, sambil tersibuk-sibuk mengeratkan pegangan Mas, seraya mendengarkan aba-aba Pak Sukma, betul-betul membuat kami seolah lupa bahwa kami sesungguhnya berada di depan Ka’bah yang maha suci, di tengah Masjidil Haram, tempat yang paling mulia untuk kaum Islam.

Pak Sukma lantas memberi aba-aba untuk memulai Thawaf. Kami menuju pelataran Ka’bah. Pelataran itu hanya terisi setengahnya untuk thawaf, sehinga kami berharap agar thawaf dapat diselesaikan dalam waktu yang agak singkat.

Bismillahi Allahu Akbar. Maka berthawaflah kami. Mengelilingi Ka’bah tujuh kali dimulai dari Hajar Aswad, berlawanan dengan arah jarum jam, sehinga

30

Ka’bah selalu berada di kiri kami. Rombongan kami melebur dengan mereka yang sudah melakukan thawaf lebih dahulu. Doa-doa diperdengarkan, sementara saya tambah mengeratkan pegangan saya ke lengan Mas. Persis seperti ular phyton yang melilit mangsanya. Takut terlepas.

Putaran demi putaran kami lalui. Keringat mulai timbul pada suhu Mekkah yang 25oC dan rada lembab, terbaur dengan bau keringat lelaki yang memakai baju ihram dan perempuan-perempuan dari segala penjuru dunia. Lintasan yang kami jalani sebetulnya tidaklah bulat karena di salah satu sisi Ka’bah terdapat Hijir Ismail yang berupa tembok pendek berbentuk setengah lingkaran.

Ka’bah yang berbentuk kubus itu tampak kecil di dalam keluasan Masjidil Haram. Ukuran tingginya 15 m, sementara panjang masing-masing sisinya adalah 10,02 m (utara), 11,58 m (barat), 10,13 m (selatan) dan 10,22 m (timur). Jaman itu tentulah belum ada teknologi canggih yang sangup membuat kubus yang sempurna.

Ka’bah itu tertutup kain Kiswah yang terbuat dari sutera hitam dan bersulamkan huruf kaligrafi Arab dari emas timbul di bagian atasnya. Pada kain Kiswah itu ternyata disulam pula kaligrafi timbul berbentuk belah ketupat, yang hanya dapat tertampak dari dekat.

Pintu Ka’bah terbuat dari logam kekuningan, campuran emas dan perak. Pada permukaan pintunya yang tingginya 2 meter terukir ayat-ayat Al Qur’an. Kain Kiswah tersebut bernilai 20 juta real, diganti pada setiap tahun, tepatnya tangal 1 Dzulhijjah (alias 31 Desember 2005 pada tahun ini), dikerjakan oleh 200 orang ahli.

Jubah Kiswah itu dicincing, digulung sebagian (sekitar 2 meter dari lantai) agar tidak diganggu jamaah yang sedang thawaf. Dari cincingan Ka’bah itu tampak bentuk aslinya yang terbuat dari batu, seperti batu kali yang agak mengkilap, dengan mozaik kotak-kotak acak dan sela-selanya tertutup logam keemasan.

Beberapa orang berdoa seraya menempelkan badannya ke Ka’bah, setengah meratap-ratap. Telapak tangan, pipi dan dadanya seolah-olah memiliki magnit sehinga menempel kuat ke batu Ka’bah. Pantas saja Kiswah digulung agar tidak dapat ditarik oleh jamaah yang setengah histeris menyembah-nyembah Ka’bah.

Mendekati Hajar Aswad, batu hitam yang dikisahkan diturunkan Allah dari surga melalui Malaikat Jibril, himpitan lautan manusia semakin terasa karena banyaknya orang yang ingin mendekat dan mencium sang batu. Betul-betul berjubel, sampai-sampai beberapa orang memanjat-manjat Ka’bah seperti Spiderman.

Arus manusia mambawa kami terombang-ambing kian-kemari. Kadang dekat ke Ka’bah, kadang agak jauh. Saya dan Mas tidak berani jauh-jauh dari Pak Sukma. Gerombolan jamaah lain sering beriringan seperti ular panjang yang meliuk kian-kemari. Doa-doa pun dinyanyikan bersahut-sahutan seperti mars tentara yang sedang berlatih perang.

Malam semakin larut namun tidak terasa seperti malam. Suasana terang benderang. Di atas Ka’bah bahkan terlihat beberapa burung pemangsa sedang soaring (terbang melayang dan berputar-putar). Energi kami agaknya menciptakan panas thermal untuk burung itu.

Tujuh putaran berlalu. Mengapa tujuh? Karena Nabi juga melakukannya tujuh kali. Ritual ibadah ini tidak boleh dipertanyakan apa alasannya. Semua setia dengan ritual. No question asked.

Sebelumnya Pak Kyai bercerita bahwa putaran ini seperti siklus kehidupan. Juga bermakna unifikasi dan pembauran semua ras manusia. Semua tumplek di sini,

31

membaca doa bahasa Arab dangan aksen masing-masing negeri. Semua merasa dekat dengan Sang Pencipta karena kami berada di Baitullah. Di Rumah Allah.

Setelah selesai thawaf maka kami shalat di tepi pelataran dan meminum air zamzam yang banyak tersedia di dekat-dekat situ. Nabi dulu juga selalu minum zamzam setelah thawaf. Memang haus, karena banyak keringat mengucur.

***

Acara berikutnya adalah sai. Berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah, sambil mengingat bagaimana Siti Hajar kesulitan mencari air bagi bayinya, Ismail. Mana bukitnya? Yang namanya bukit Safa dan Marwah ternyata tidak berbentuk bukit lagi karena sudah menjadi satu kesatuan dengan Masjidil Haram, di salah satu sisinya.

Wilayah antara Shafa dan Marwah itu sudah menjadi ruangan indoor, tertutup dinding yang nyaman, dengan lantai marmer yang halus dan penuh dengan kipas angin dan AC pendingin. Lebarnya sekitar 20 meter, pada jalur di tengahnya dua ada lintasan untuk kursi roda bagi mereka yang kesulitan berjalan. Panjangnya 405 m, harus dilalui bolak-balik sebanyak 7 kali.

Di ujung lintasan Bukit Safa dan Marwah berupa batu berwarna hitam mengkilap yang posisinya agak tingi, sekitar 1 meter. Jadi seperti penampang perahu yang sedikit naik di ujungnya, sementara bagian tengahnya datar. Belakangan saya tahu bahwa tempat sai ini terdiri dari 3 lantai. Pada lantai di atasnya tentu tidak ada ”bukit”nya. Kami ada di lintasan Safa dan Marwah yang ”asli”, lantai satu.

Tujuh lintasan sudah kami tapaki. Jadi sudah 2,835 km kami berjalan, tanpa alas kaki (ibu-ibunya memakai kaus kaki, bapak-bapaknya ceker ayam). Hari sudah melewati tengah malam. Badan mulai keringatan dan kipas angin yang ribuan jumlahnya itu tetap saja tidak bisa mengusir rasa gerah.

Suasana sempat sedikit heboh tatkala ada ceceran pup di ujung bukit Marwah. Rupanya ada yang kebelet dan tidak kuat menahan lagi, sehingga kababayan. Petugas langsung diteriaki dan buru-buru datang untuk membersihkan, sebelum pup itu terinjak jamaah lain yang asyik ber-sa’i-ria.

Selesai sai kami berdoa, lantas ditutup dengan ritual menggunting sebagian ujung rambut (tahalul), menggunakan gunting rambut yang telah kami kantongi sebelumnya. Alhamdulillah ibadah umrah sudah selesai dijalankan. Bapak-bapak yang sudah mulai kurang nyaman memakai baju ihram dan mulai kelihatan melorot kian-kemari sudah bisa merasa lega, karena kami sudah bisa pulang ke hotel dan berganti dengan pakaian biasa.

Rasa letih mulai menyergap. Paginya kami memulai perjalanan dengan bis dari Madinah ke Mekkah, hampir 8 jam duduk di dalam bisa. Lantas tanpa istirahat kami melakukan thawaf dan sai. Selesai lewat tengah malam. Pantas saja kalau kaki terasa pegal dan badan penat meminta istirahat.

***

Getaran kalbu di Masjidil Haram baru terasa saat saya dan Mas melakukan shalat malam hari, esoknya sesudah makan malam, di Multazam. Walau banyak

32

jamaah berlalu-lalang, setidaknya kekhusu’an masih bisa diperoleh. Multazam adalah tempat yang paling mustajab untuk melakukan shalat dan memohon sesuatu. Lokasinya adalah antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah.

Di salah satu sudut Ka’bah saya bersimpuh dan memohon ampun. Allah yang Maha Pemurah. Maafkanlah hambaMu ini. Tiga samudera telah hamba lewati, berbagai kota di lima benua telah hamba kunjungi, gedung-gedung mashur telah hamba saksikan. Namun baru kali ini hamba sempat berkunjung ke rumahMu. Ya Allah, ampunilah hambaMu ini, yang masih disibukkan dengan masalah duniawi.

***

Masjidil Haram ini terkesan sebagai ”masjid tumbuh”, yang diperluas kian-kemari dan akhirnya ”mentok” sudah. Maka tidaklah mengherankan kalau hiasan interiornya sedikit berbeda antara satu tempat dengan tempat lain di dalam masjid.

Ciri khas utama masjid ini adalah pilar-pilar membentuk busur pula di bagian atas. Pilar-pilarnya ada yang peersegi empat, segi banyak, ada yang bulat, ada yang ditutup batu granit, ada yang marmer, ada pula yang dicat saja (khususnya di bagian yang dekat Ka’bah). Warnanya kombinasi antara putih dan abu. Granitnya ada yang bintik-bintik, ada yang poleng-poleng abu kehitaman. Langit-langitnya dicat abu atau putih dan merah bata, sebuah kombinasi yang menurut saya agak tidak biasa.

Lantai masjid tidak tertutup karpet, memperlihatkan keaslian batu granit yang poleng-poleng putih keabu-abuan dan kehitaman. Adem kalau siang, membuat para jamaah betah berlama-lama sepanjang hari, bahkan sampai masuk angin karena pada tiang-tiangnya banyak terdapat kipas angin yang bisa menoleh ke kiri dan kanan.

Kipas angin kitiran juga banyak mengantung rendah. Hampir semua tempat di Masjidil Haram ini memang tidak ber-AC. AB saja. Angin Biasa. Hanya ada satu bagian yang ber-AC, yakni bagian di dekat Hilton Mekkah. Di bagian ini semua, pilar-pilar dan lantainya terbuat dari marmer putih. AC dialirkan dari kisi-kisi di bawah pilar, seperti di Masjid Nabawi. Di wilayah ini juga ada 3 kubah besar.

Bagian yang terdekat dengan Ka’bah tampak berbeda dari lainnya. Pilar-pilarnya terbuat dari batu berwarna kuning kecoklatan. Batu-batu itu terdiri dari mosaik kotak-kotak, serupa dengan kotak-kotaknya Ka’bah. Lebar bagian ini hanya sekitar 10 meteran. Entah kapan mulai dibangunnya.

Masjid itu menjadi indah karena banyak lampu gantung yang sungguh cantik. Unik pula. Menyala siang dan malam, 24 jam. Sampai-sampai jamaah di dalam masjid tidak tahu lagi apakah hari masih siang atau sudah maghrib.

Al Quran juga banyak tersedia, di rak-rak yang menempel pada pilar atau di rak khusus. Di beberapa tempat tersedia air zamzam, bisa diminum gratisan kapan saja. Ada gelas plastik yang sekali pakai pula.

Di pelataran depan, di ruang terbuka, terpisah 13 anak tangga, berdirilah Ka’bah dengan gagahnya. Kiswah Ka’bah baru saja diganti pada tangal 1 Dzulhijjah, yang pada tahun ini bertepatan dengan 1 Januari 2006. Persis di depan pintu Ka’bah, berjarak sekitar 6 meteran, terdapat Maqam Ibrahim yang dikurungi kaca kristal, dengan kreangka besi keemasan. Maqam ini sebetulnya berupa batu pijakan Nabi Ibrahim pada saat beliau membangun Ka’bah, bukan kuburan.

33

Pelataran Ka’bah yang luasnya sekitar 1 hektar itu berlantai marmer putih yang kemungkinan besar berasal dari Yunani, karena sama dengan lantai di Masjid Nabawi. Marmernya sudah ada garis-garis untuk kaplingan sholat, semua melingkar, mengarah ke Ka’bah. Marmer itu tampak amat mengkilap. Selain selalu dipoles oleh mesin, lantai itu juga selalu dipoles oleh kaki dan kaos kaki para jamaah yang melakukan thawaf, atau dipoles sajadah atau celana jamaah yang shalat di pinggir-pinggirnya.

Tidak pernah pelataran Ka’bah itu menganggur. Selalu saja banyak yang thawaf, shalat, berebut mencium Hajar Aswad, berdesakan shalat di dekat Hijir Ismail. Sibuk 24 jam.

Para pekerja pembersih lantai harus bekerja dengan sabar dan terampil. Mereka pun harus galak mengusir para jamaah yang sedang asyik ibadah. Tali merah direntang dan tanpa ba-bi-bu langsung menyiram lantai dengan cairan pel, lantas gesit mengepel dengan alat pengepel. Setelah selesai, sebelum lantai sempat kering, jamaah sudah tidak sabar menyerbu untuk shalat lagi.

Suasana ibadah itu seringkali terusik dengan adanya bunyi krang-kring telepon genggam. Terkadang ada yang mondar-mandir sambil bertelepon-ria keras-keras, entah dalam bahasa apa.

Asykar laki-laki banyak berkeliaran, termasuk di dekat dinding Ka’bah. Mereka sibuk mengatur jamaah yang ingin mencium Hajar Aswad. Kami tidak berencana untuk mencium Hajar Aswad itu karena penuh-sesaknya calon pencium batu hitam itu.

Masjidil haram itu banyak memberikan kemudahan bagi mereka yang menggunakan kursi roda. Ada jalur khusus untuk para handicap ini, jadi mereka yang terpaksa menggunakan kursi roda ini pelu tahu di mana jalan-jalan khusus ini.

Untuk thawaf, pengguna kursi roda dapat melakukannya di gedung masjid, lantai 2. Sungguh jauh jaraknya, berlipat-lipat kali dibandingkan dengan thawaf normal di dekat Ka’bah. Jasa para pendorong kursi roda juga tersedia, termasuk kursi rodanya, jika perlu. Bayarnya 200 real untuk sekali thawaf dan sai.

Untuk sai juga ada jalan khusus bagi kursi roda. Bahkan jalurnya di tengah, walaupun tak jarang tampak jamaah yang merambah berjalan ke jalur kursi roda ini, tak sabar berjalan di lintasan biasa.

***

Waktu shalat tiba. Belum pernah saya melihat konsentrasi manusia yang sebanyak itu. Betul-betul banyak. Mungkin 2-3 kali jumlah massa di Masjid Nabawi, atau sekitar 2-2,5 juta orang.

Masjid yang sudah super besar ini masih terasa sesak untuk jutaan orang yang ingin shalat di dalamnya, bersama Imam besar Masjidil Haram. Semua sudut masjid diliputi manusia yang akan shalat. Lelaki dan perempuan campur aduk. Di dalam masjid masih agak tertib, lelaki duduk terpisah dengan perempuan. Tetapi di banyak tempat perempuan dengan terpaksa bersebelahan dengan laki-laki, entah suami atau suami orang lain.

Semua tempat di masjid tidak terlewatkan untuk tempat sholat, tak peduli keteduhan atau kepanasan. Di depan Ka’bah. Di sela-sela pilar. Di tangga (entah bagaimana shalatnya, mungkin duduk saja), di pagar, di jalan raya, di emper toko, di

34

antara telepon booth, di depan tong sampah, di lintasan Sai. Di Masjidil Haram itu semua orang harus bisa tidak peduli. Yang penting bisa shalat, menghadapNya.

Pernah waktu saya shalat di samping Mas, ada anak kecil yang berjalan bersliweran di atas sajadahnya, bahkan sempat menginjak Al Quran yang sempat disimpan Mas di sana. Oopss! Maafkan hambamu ini yang kurang bisa menjaga rangkaian kalimahMu. Maka langsung saja saya berhenti shalat sebentar untuk menyelamatkan Al Quran tersebut.

Pengalaman sholat di Masjid Nabawi sungguh sangat bermanfaat di sini. Kali ini tantangannya lebih tinggi karena ”saingan” untuk mendapatkan kaplingan shalat juga termasuk bapak-bapak yang tambun dan besar.

Masjidil Haram ini setidaknya terdiri dari 4 lantai dan pintunya ada 36. bentuknya rada tak beraturan, mungkin karena perluasan masjid yang tidak simetri ke empat penjurunya. Jadi agak susah mendeskripsikan bentuk masjid ini. Yang membedakannya adalah dengan Masjid Nabawi adalah masjid ini senantiasa dapat dimasuki untuk tamu-tamu Allah. Terbuka 24 jam. Time stand still here. Shalat bisa kapan saja. Thawaf bisa kapan pun. Juga sai. Lampu masjid senantiasa menyala. Pagi, siang dan malam.

****

Karena Masjidil Haram ini terbuka selama 24 jam maka jamaah dapat leluasa punya alasan untuk mondok di sudut-sudut pelataran masjid. Maklum tempat penginapan bagi sebagian besar jamaah sangatlah jauh untuk dilajo bolak-balik. Pemondokan jamaah Indonesia, misalnya, rata-rata berjarak lebih dari 2 km dari Masjidil Haram. Jadi kebanyakan jamaah berangkat subuh ke masjid, tinggal di masjid sampai Isya dan kembali ke pemondokannya selepas Isya.

Malam hari berjalan-jalan di sekitar masjid tersuguh pemandangan bervariasi. Yang shalat dan thawaf di sekeliling Ka’bah melakukannya dengan khusu’. Di luar, banyak yang bergelimpangan, tidur meringkuk berselimut seadanya, dengan barang-barang bawaan di sekitarnya. Mungkin saja mereka tidak punya tempat menginap sehingga terpaksa tidur di emper-emper masjid.

Maka taklah heran kalau masjid nan suci itu menjadi kotor. Di sudut-sudut masjid tampak banyak sampah. Bekas minuman mineral. Ludah di mana-mana. Tissue bekas. Ada pula jemuran yang nongkrong di pagar masjid. Agaknya petugas kebersihan masjid yang puluhan bahkan mungkin ratusan itu tidak kuasa lagi untuk menjaga kebersihan sudut-sudut masjid yang memang luar biasa luas.

Di bagian lain, bersebelahan dengan masjid, ada kegiatan yang sibuk juga. Belanja! Belanja bisa dipilih dari kelas ”Pasar Seng” hingga ke ”Hilton Mekkah”. Di Pasar Seng yang kesohor itu banyak sekali dijual seribu satu macam barang dan souvenir, mulai dari yang harganya cukup satu real. Tapi ya tentu barang ombyokan. Kalau ingin membeli barang-barang eksklusif yang tentunya mahal, Hilton Mekkah-lah tempatnya. Uang berapa saja bisa habis untuk belanja di sana. Emas, permadani, kaligrafi dari sulaman bernuansa emas, jam, tas, sajadah nan cantik, baju, kesturi (gaharu), bed cover¸ semua ada.

Bagaimana kalau belanjaan overweight? Jangan khawatir! Ada uang, ada jasa. Banyak jasa kargo yang menawarkan pengiriman barang ke Indonesia.

35

Ongkosnya cuma 10 real per kilogram (minimum 8 kg), jelas lebih murah dari harga overweight pesawat terbang yang 50 real per kilo. Langsung dikirim ke Jakarta.

***

Bubaran masjid, suasananya berbeda dengan Masjid Nabawi. Kalau di sana para jamaah sibuk mencari suami, istri atau anggota kelompoknya, maka di Masjidil Haram itu jarang ada acara cari-carian karena lelaki dan pasangan bisa shalat berbarengan (walaupun menurut peta masjid, sesungguhnya tempat lelaki dipisahkan dari perempuan).

Suasana bubaran masjid senantiasa hiruk-pikuk. Mereka yang di dalam masjid ingin segera ke luar, sementara yang di luar masih sibuk berdoa, shalat atau berzikir. Ada juga yang akan melakukan shalat jenazah. Hampir setelah selesai shalat, baik di Masjid Nabawi maupun di Masjidil Haram, diadakan shalat jenazah, untuk yang meninggal hari itu. Dengar-dengar diperlukan beberapa ribu real untuk menshalatkan jenazah di kedua masjid agung itu.

Berhubung semua jalan keluar juga dipakai untuk shalat, perlu perjuangan juga untuk bisa ke luar dari masjid. Di luar, jamaah berbondong menyemut ke luar. Padat merayap. Dihadang pula oleh pedagang jalanan (benar-benar berdagang di tengah jalan) dan peminta-minta yang ndeprok di tengah-tengah jalan sambil berdendang ”Haji Sabilillah...Haji Sabilillah...”. Belum lagi ada motor yang sibuk membunyikan klakson, minta jalan. Bentrok pula dengan jamaah yang berjalan dari arah yang berlawanan, entah untuk masuk ke masjid atau pergi ke pasar yang memang berbatasan dengan masjid.

Saat-saat diantara waktu shalat, para jamaah banyak yang memilih ke toko atau ke pasar, yang mulai buka setelah shalat Subuh dan tutup hingga larut malam. Jamaah Indonesia benar-benar hobi berbelanja, sehingga menjadi prefered consumers bagi para penjual di sana.

Rutinitas seperti di Madinah terulang lagi. Hanya saja, saya perlu berjuang melawan kantuk setiap kali berangkat shalat. Pasalnya, saya mulai kurang sehat. Berawal di Madinah, saaat suhu udara menurun drastis, saya langsung sakit tenggorokan. Mungkin radang. Saat berangkat ke Mekkah, radang sudah berkurang tetapi langsung bermutasi menjadi pilek. Hidung mengucur terus. Beberapa hari setelah di Mekkah, ternyata ganti yang lain. Hidung tersumbat dan mulai batuk. Batuk kering yang terasa gatal sekali di tenggorokan.

Maka kalau saya senantiasa ngantuk dan lesu, hal itu karena terus-menerus minum obat flu, juga obat batuk, yang semuanya ada efek kantuknya. Badan juga terasa kurang fit karena sudah seminggu lebih saya meminum Primolut N, pil penunda haid.

Teman-teman berseloroh bahwa kami sedang menjalankan haji tamatu alias “tangi, mangan, turu” (bangun, makan dan tidur). Sesekali ke masjid, shalat berjamaah atau shalat lainnya. Juga membaca Al Quran.

Sungguh saya tidak bisa membayangkan betapa letihnya teman-teman yang harus berjalan kaki 2-3 km jauhnya dari masjid, untuk berangkat dan pulang ke pemondokan masing-masing. Lagipula, jalanan di Mekkah banyak yang naik turun. Tentulah badan selalu penat, hanya untuk bolak-balik ke masjid.

36

Sungguh kami harus merasa beruntung dan bersyukur karena hotel kami, baik di Madinah maupun di Mekkah, selalu bersebelahan dengan masjid. Tidur di spring bed yang empuk. Adem. Sekamar dengan suami, bisa kangen-kangenan setiap saat. Makan selalu tersedia. Teman-teman sekelompok sangat akrab. Penyelenggara Mudatur selalu siap membantu jika diperlukan. Dokter pun ada diantara kami. Sungguh segala kemudahan dan kenyamanan ini perlu dan sangat perlu disyukuri.

***

Jum’atan di Masjidil Haram. Saat Jum’atan, masjid yang biasanya penuh sesak itu, bertambah dan bertambah penuh lagi. Semakin sulit mencari kaplingan shalat. Semua orang ke masjid. Ya jamaah haji, ya penduduk sekitarnya. Toko-toko langsung tutup.

Lelaki dan perempuan ikut shalat Jum’at. Acaranya sama seperti di Indonesia. Khutbah dulu – yang setara dengan shalat 2 rakaat – lantas shalat 2 rakaat. Masalahnya, kami tidak tahu apa yang dikhutbahkan karena khutbahnya tentu berbahasa Arab. Sungguh sulit membedakan mana khutbah dan mana yang berupa doa. Pokoknya menunggu ma’mum yang lain. Kalau semua sudah berseru “Amin”, maka tentulah saat-saat berdoa sudah dimulai.

Khutbah di Masjidil Haram berlangsung selama setengah jam. Sama dengan khutbah di Masjid Nabawi. Selama mendengar khutbah, kami ya manthuk-manthuk saja, lha wong tidak mengerti apa yang dikhutbahkan.

***

Masjidil Haram ini dikelilingi oleh hotel-hotel tinggi pada sekitar dua pertiga perbatasannya. Sisanya bersebelahan dengan bangunan besar yang ternyata adalah istana raja. Raja Kerajaan Saudi Arabia, Abdullah bin Abdul Aziz yang diberi julukan Custodian of the Two Holly Mosque, bermukim di sana. Saya membayangkan kalau beliau membuka jendela tentulah langsung tertampak Ka’bah.Istana kerajaan Saudi Arabia itu tidak seperti istana yang saya bayangkan. Bentuknya bahkan seperti hotel saja, dibangun di atas bebatuan yang ditutup semen.

Sewaktu kami berangkat ke Aziziah, kebetulan melewati istana lama, yang tampak tak terawat. Banyak pintu dan jendela, seperti ”Gedung Seribu Pintu” yang di Semarang. Ada beberapa orang yang saya lihat sedang ngeker dengan Theodolite. Barangkali ada rencana untuk mengkonversi istana itu menjadi bangunan lain.

***

Pasar Seng. Pasar ini dikenal akrab oleh jamaah Indonesia karena menjadi tempat belanja yang terfavorit. Barangnya komplit. Bisa tawar-tawaran dalam bahasa Indonesia dan harganya rada miring dibandingkan tempat lain, asal kita ulet menawar.

37

Karena ingi tahu, saya mengajak Mas untuk jalan-jalan ke Pasar Seng. Pasar itu ternyata tak jauh dari hotel kami, bersebelahan dengan Masjidil Haram. Memang atap-atapnya terbuat dari seng.

Belum pernah saya ke pasar yang padatnya seperti itu. Untuk berjalan pun susah sekali karena pasar itu sesunguhnya berada si emper-emper tempat penginapan. Lorong-lorongnya sempit. Pembeli berjubelan.

Jamaah berbelanja seperti orang kesetanan – memimjam istilah Mas. Apa saja ada di sana. Mulai dari emas yang harganya ribuan real hingga ke peniti yang satu real. Banyak yang belanja dalam jumlah banyak. Memborong.

Kami tak sempat berkeliling seluruh pasar. Maklumlah, hanya untuk berjalan saja susahnya bukan main. Gerah lagi. Setelah punya gambaran singkat tentang Pasar Seng itu, kami bergegas pulang. Mas bebarapa kali bilang ”wah ngeri kalau ada kebakaran di sini”.

Allah mungkin sedang memberi cobaan kepada tamu-tamuNya. Dua hari setelah kami berjalan-jalan di Pasar Seng, saat kami berada di Aziziah, kami mendengar berita bahwa ada hotel kuno yang roboh di Pasar Seng. Entah berapa orang korbannya. Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Adakah jamaah Indonesia yang juga menjadi korban?

Sungguh tak terbayangkan bagaimana jadinya kalau sebuah hotel, mungkin kecil tapi tinggi, seperti hotel kebanyakan di daerah sana, tiba-tiba ambruk. Dan ambruknya di Pasar Seng, yang tiada pernah henti dari jubelan manusia. Tim penyelamat pun tentulah akan sulit mengevakuasi para korban kerena sempitnya jalan ke sana.

***

38

MENGUNJUNGI TEMPAT BERSEJARAH

Acara jalan-jalan, yang berguna sebagai refreshing, diselenggarakan pula di Mekkah. Tujuannya adalah Jabal (Gunung) Tsur, Jabal Rahmah, Jabal Nur dan Mina. Hari lain kami sempat pula ke Jeddah.

***

Jabal Tsur. Gunung yang terletak 7,5 km di sebelah selatan Mekkah itu menjadi pelindung Sang Nabi beserta sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq, saat beliau dikejar-kejar musuhnya. Beliau sempat bersembunyi dalam salah satu gua, selama 3 hari. Allah s.w.t. selanjutnya menciptakan sarang labah-labah di pintu gua, sehingga Nabi dan shahabatnya aman dari kejaran musuh.

Jabal Tsur itu terletak di tepi jalan besar. Kami hanya memandang saja dari jauh. Jamaah lain ternyata banyak yang hiking sampai ke gua tempat Nabi bersembunyi. Tinggi juga, sekitar 500 meter.

Dari Jabal Tsur kami ke Jabal Rahmah yang terletak di Padang Arafah. Di atas suatu gundukan (rasanya tidak cocok disebut gunung, karena hanya berupa bukit kecil saja) yang dinamakan Jabal Rahmah terdapat suatu tonggak batu seperti pilar. Menurut hikayat, disitulah Nabi Adam a.s. akhirnya bertemu lagi dengan pasangannya, Siti Hawa, setelah berpisah sejak diturunkan dari surga ke Bumi.

Agak sulit untuk dipercaya, memang. Saat Adam berbuat kesalahan dan mengikuti bujukan syaitan, ia dibuang ke bumi (diperkirakan di India), terpisah dengan Siti Hawa (yang dibuang di Jeddah). Kemudian masing-masing mengembara dan baru bisa bertemu lagi setelah beberapa ratus tahun! Tempat pertemuan itu berupa sebuah bukit kecil yang disebut Jabal Rahmah.

***

Jabal Nur adalah gunung tempat di mana Nabi Muhammad s.a.w. (sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul) sering bermunajat kepada Allah s.w.t. dan menyepi dari kehidupan manusia. Bagian terpenting dari Jabal Nur adalah Gua Hira. Di tempat inilah untuk pertama kalinya Nabi Muhammad s.a.w. memperoleh wahyu.

Gunungnya cukup tinggi, guanya entah di mana. Yang jelas banyak jamaah yang berbondong-bondong hiking ke Gua Hira, yang perlu waktu sekitar 3 jam untuk naik dan turun lagi. Belum lagi kaki pegal dan ada peluang terpeleset karena tak ada tangga atau lainnya untuk memudahkan hiking ke atas. Betul-betul asli jalan setapak, seperti jaman nabi Muhammad dahulu.

Dari bawah tampak jamaah yang naik ke Jabal Nur, meliuk-liuk seperti ular putih, lama-lama seperti bintik-bintik di puncak sana. Mungkin banyak jamaah yang ingin tahu seperti apa Gua Hira, siapa tahu ada wahyu lain yang bisa mereka peroleh.

Kami sempat pula mampir di Muzdalifah dan Mina. Muzdalifah hanya berupa padang pasir saja, tidak ada apa-apanya. Mina sudah penuh dengan tenda.

39

Pak Semi mengajak kami berkunjung ke tempat pelemparan jumrah di Mina, untuk mendapatkan gambaran situasi di sana.

***

Saat senggang, kami sempat berjalan-jalan ke Jeddah. Jeddah adalah salah satu kota besar di Saudi Arabia, terletak di tepi Laut Merah. Dari Mekkah, Jeddah ini berjarak 107 km atau sekitar 1 ½ jam dengan bus.

Perjalanan Mekkah - Jeddah hanya mengetengahkan batu, gunung dan pasir. Sesekali tampak ada savana yang merana. Pohon-pohonnya kecil-kecil, mungkin lebih cocok disebut semak. Saya tidak bisa menebak apa jenis pohon kerdil itu. Sekilas tampak seperti Akasia yang pernah saya lihat di Afrika Selatan, antara Johannesburg – Durban.

Jeddah terlihat seperti kota besar lainnya. Kesan sekilas saya adalah modern, ramai dan juga hijau. Saya sungguh kagum dengan upaya kota itu untuk menghijaukan dirinya. Betapa sulit menanam di lingkungan seperti ini. Blas, teman saya dari Filipina yang pernah berkerja sebagai arsitek lansekap di United Emirat Arab, pernah bercerita bahwa sebelum ia menanam, pasir harus digali dahulu. Kalau perlu perlu dilapisi plastik raksasa di dasarnya, lantas diisi topsoil yang entah dikirim dari mana, diberi pupuk organik dan anorganik, dipasangi pipa-pipa air, baru ditanami. Ia harus siap-siap menyulam karena tanaman sering mati. Tiap hari air dari pipa harus dicek. Jeddah barangkali juga berbuat serupa. Di dekat batang-batang pohon di tepi jalan tampak ada pipa. Besar kemungkinan untuk menyiram pada saat-saat tertentu.

Jenis-jenis tanaman hias yang ada di Jeddah banyak yang sama dengan di Indonesia. Ada bunga sepatu (Hibiscus), Petunia, tapak dara, bougenville, soka, kana, oleander, akalipha. Pohon-pohonnya awam untuk saya. Yang bisa saya kenali hanyalah cemara laut.

Gedung-gedungnya memiliki arsitektur modern yang menarik. Di banyak tempat terdapat monumen berbagai macam. Ada yang berupa abstrak, kaligrafi raksasa, perahu. Tetapi sama sekali tidak ada patung orang. Haram hukumnya membuat patung.

Mobil-mobil bagus berseliweran di jalan raya. Kebanyakan mobil Jepang dan Jerman. Warna favorit tampaknya putih. Banyak mobit yang peyat-peyot, sering serempetan.

Di Jeddah – atas permintaan publik Mudatur - kami ke Al-Balad, sebuah shopping centre. Kami yang kebetulan tidak berhasrat untuk belanja, menghabiskan hampir semua waktu di toko buku. Beli postcards dan melihat-lihat buku. Teman-teman lain memborong parfum. Rupanya salah satu keistimewaan Al-Balad itu adalah parfumnya yang komplit dan harganya miring.

Dari Al-Balad kami ke masjid terapung yang letaknya di tepi Laut Merah. Masjid terapung itu sesungguhnya tidaklah terapung. Istilah yang lebih cocok adalah masjid yang dibangun di tepi pantai, menjorok ke Laut Merah. Laut Merah itu ternyata sama sekali tidak berwarna merah. Riak-riaknya bahkan sangat kecil, hampir serupa riak danau. Memang terasa bau laut yang khas.

40

Dalam Al-Qur’an, Laut Merah ini sering disebut-sebut pada saat Nabi Musa a.s. membawa kaum Bani Israil lari dari Mesir. Tak terbayangkan bagaimana laut itu bisa terbelah atas kuasa Allah s.w.t. lewat pukulan tongkat Nabi Musa a.s.

Setelah shalat Dhuhur dan sekalian dijama’ dengan shalat Ashar di masjid terapung itu, kami makan siang di tepi pantai Laut Merah. Panasnya matahari bukan main teriknya. Untunglah kami tadi pagi tidak lupa mengoleskan sunscreen yang SPF (Sun Protection Factor)-nya 60 pada wajah kami.

Dari masjid itu kami masih mampir ke satu tempat lagi: makam Siti Hawa. Benarkah ada makan Siti Hawa di Jeddah? Keraguan kami bertambah setelah tiba di makam itu, yang ternyata adalah komplek kuburan biasa yang bertembok. Entah apa yang ada di dalamnya, kami tidak tahu karena kami tidak boleh masuk. Kalau benar ada makam Siti Hawa, maka berapa usia makam itu? Enam ratus ribu tahun? Wallahualam.

***

41

PENGUNGSIAN KE AZIZIAH

Mekkah semakin ramai, menjelang hari H untuk haji. Jemaah yang shalat semakin dan semakin banyak saja. Tempat shalat kini merambah hingga ke pertokoan di dalam hotel, di lobi hotel dan bahkan di depan hotel, yang notabene terhalang oleh gedung hotel. Jalanan juga padat dengan jamaah, tak ada satu tempat pun yang kosong. Sudah 7 hari kami di Hotel Solitel Mekkah dan sudah waktunya hijrah ke tempat lain, mendekati Mina. Tempat itu bernama Aziziah.

Seperti biasa, setiap kali berangkat ke tempat yang baru, barang-barang kami selalu dikirim terlebih dahulu, setidaknya sehari sebelumnya. Mengurus koper-koper seluruh anggota kelompok yang hanya 42 orang itu ternyata rumit. Setidaknya satu orang membawa satu koper besar dan satu koper kecil. Kalau benyak belanja, entah berapa tentengan lagi yang perlu diangkut pula.

Kopper-koper besar itu dikirim terlebih dahulu dengan menggunakan truk. Pak Semi sudah berangkat terlebih dahulu dengan membawa koper-koper besar kami. Banyak belanjaan yang sudah di-kargo-kan, langsung dikirim ke Jakarta. Katanya barang-barang itu akan tiba setelah 10 hari.

Kami ”terpaksa” pindah ke Aziziah karena terlalu mahal kalau kami tetap tinggal di Sofitel. Iseng kami tanya berapa kami harus bayar seandainya kami tetap tinggal di Sofitel selama 4 hari lagi, sambil menunggu keberangkatan ke Arafah dan Mina. Ternyata harganya 27.000 real per kamar atau sekitar 5 juta rupiah untuk paket yang selama 9 hari. Padahal harga normal hanyalah 5.500 real per kamar untuk 7 hari.

Aziziah adalah sebuah nama suatu daerah di sebelah timur Mekkah, mendekati ke Mina. Di Aziziah kami ditempatkan di suatu apartemen untuk kami semua. Jadi ada 45 orang (42 jamaah plus 3 panitia Mudatur) yang menghuni apartemen itu.

Apartemen itu luasnya sekitar 800 m2, terdiri dari bangunan induk (2 lantai) dan bangunan pavilyun (untuk para pembantu) di bagian kiri depan. Sekelilingnya dibatasi pagar tembok, mengingatkan saya akan rumah-rumah extended family di Xi’an, dataran China. Para ibu ditempatkan dalam 4 kamar di bawah, bapak-bapaknya di atas, di lantai dua, 4 kamar juga.

Saya mendapat kamar agak kecil, barengan dengan 3 ibu lainnya (Ibu Masliah, Rusmini, Fitri). Kamar-kamar lain lebih padat lagi, ada yang ber-8 bahkan ber-12. Meriah sekali. Kamar yang kami tempati pada dasarnya hanya berisi tempat tidur saja. Persis seperti barak. Tempat tidurnya dari busa yang sudah agak kempes. Bantalnya satu, dari busa pula. Ada AC yang selalu ribut. Koper-koper memenuhi lantai di sela-sela tempat tidur. Bapak-bapaknya sama juga, berdesakan dia atas. Ini kali pertama saya berpisah kamar dengan Mas. Kami akan berpisah kamar hingga empat hari ke depan.

Sholat berjamaah dilakukan di halaman yan ditutup semacam conblock. Karpet-karpet dihampar dan di sanalah kami shalat berjamaah dipimpin pak Ustadz, Tamsir Ridho. Setiap habis shalat Maghrib dan Subuh dilakukan tausyiah (pengajian), untuk menambah pengetahuan dan keimanan.

Kata Pak Semi, apartemen itu memang sering ditawarkan oleh landlordnya selama musim haji. Sewa apartemen seperti itu adalah 1.000 real per orang untuk 14 hari. Tampaknya penghuni lamanya masih ada, mungkin berlibur atau mengungsi

42

entah ke mana. Dalam lemari di kamar kami masih banyak disimpan perlengkapan rumah tangga, termasuk piring-piring dan sprei-sprei.

***

Dinamika kehidupan jemaah Mudatur di Aziziah itu tentu berbeda dengan di Hotel Mövenpick (di Madinah) dan Sofitel (di Mekkah) yang berbintang lima. Di Aziziah itu kami ibaratnya tinggal di asrama. Tidur bersama, makan bersama, shalat bersama. Mau shalat di masjid pun bisa pula, namun harus berjalan agak jauh. Selama di Aziziah sebetulnya kami diharapkan bisa full istirahat, menunggu hari H yang amat menguras tenaga. Ternyata istirahat kami di Aziziah tidak bisa betul-betul istirahat.

Berhubung kami tidak biasa share kamar, sedikit banyak pasti perlu penyesuaian dengan teman sekamar. Mas awalnya kesulitan tidur karena teman-temannya sekamar ribut saja. Entah ngobrol, atau mendengkur keras-keras. Terpaksalah Mas minum pil tidur agar bisa tidur nyenyak hingga pagi.

Dalam beberapa hari kami semua sudah pomah (seperti rumah sendiri) di Aziziah. Pagi-pagi banyak ibu dan bapak yang mencuci baju luar dan baju dalam. Lantas dijemur di pinggir rumah. Siangnya sibuk menyetrika.

Pagi pun banyak yang tidak lagi sungkan memakai daster untuk shalat subuh. Kalau masih belum puas belanja, ada supermaket besar di dekat situ. Kehidupan jamaah Mudatur mudah menjadi akrab dan penuh suasana kekeluargaan. Masing-masing dapat lebih mengenal teman-teman sekelompok, terlebih teman sekamar.

***

Kondisi apartemen di Aziziah ini kurang bagus. Jika dibandingkan dengan standard apartemen Amerika Serikat, apartemen Aziziah tentu kalah jauh. Untuk standard Saudi Arabiah katanya apartemen ini cukup baik, karena halamannya luas, serta kamar mandinya bersih. Bersih? Wah, menurut saya kurang bersih, tapi ya OK-lah.

Semua kamar ber-AC, tapi AC-nya yang kuno, berisik sekali. Suhu udara Mekkah saat itu adalah 25oC seperti si Bogor saja. Apartemen itu terasa lebih sejuk dengan adanya pepohonan di seputar rumah. Ada pohon besar, entah apa jenisnya. Mirip dengan Mindi, berbunga kuning seperti terompet. Ada pohon kurma. Ada yang mirip-mirip Acacia, entah spesiesnya apa. Beberapa semak berbunga juga ditanam: kamboja putih, jeruk, oleander, tapak dara, anakan pohon mangga, sereh, serta ada sejenis semak, seperti Centigi (Pemphis acidula) yang banyak ditemukan di pantai-pantai pasir Indonesia.

Pepohonan ini menarik beberapa burung. Tampak sering mampir adalah sejenis kutilang, mungkin Pycnonotus, tapi entah apa spesiesnya. Ada pula tekukur Streptopelia chinensis, burung gereja dan burung dara (Rock Dove) yang tampaknya sudah menjadi liar.

”Satwaliar” lain yang banyak berkeliaran adalah lalat. Menjelang siang, lalat antri berdatangan entah dari mana. Bersliweran dan menempel-nempel di wajah

43

sewaktu kami shalat. Shalat menjadi tidak khusyu’. Takut batal karena keseringan mengusir lalat-lalat yang membuat wajah menjadi geli kalau terhinggapi.

Tentang air, di tempat kami tidak pernah kekurangan air. Saudi Arabia agaknya mampu mengatasi kesulitan kekurangan air. Di Hotel Sofitel yang berbintang lima itu sering tampak truk tangki air yang besar-besar mengisi air di tandon bawah tanah di depan hotel. Bertruk-truk! Di Aziziah yang punya 4 kamar mandi di dalam dan 2 kamar mandi di luar tidak kekurangan air. Airnya bening dan tawar.

Selama musim haji ini setidaknya Saudi Arabia ketambahan 3 juta jamaah haji dari berbagai negara yang tentunya membutuhkan tambahan air. Kota Mekkah memperoleh pasokan air dari Jeddah. Di Jeddah ada sumber air tawarkah? Ternyata air ini berasal dari proses desalinasi air laut, Laut Merah.

***

Sehari sebelum kami berangkat ke Arafah, barang dan fisik dipersiapkan dengan cermat. Barang sudah dipak dalam koper yang besar. Ditimbang. Jatahnya 25 kilogaram per orang. Koper saya 20 kg, berat oleh beberapa buku Al Qur’an. Saya membeli beberapa Al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia, keluaran percetakan Kerajaan Saudi Arabia yang ternyata bahasa Indonesianya lebih bagus dari Al Qur’an yang saya miliki. Koper Mas hanya 15 kg, karena baju-bajunya dihibahkan ke Sulaiman, pembantu di apartemen Aziziah. Koper teman-teman lain banyak yang overweight.

Shalat Dhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya’ mulai dijama’ (disatukan) dan bahkan diqashar (dikorting menjadi 2 rakaat, kecuali Maghrib yang tetap 3 rakaat). Maksudnya untuk memberi waktu ekstra kepada para jamaah agar lebih banyak waktu istirahat, menghadapi hari-hari haji yang amat melelahkan selama 4 hari ke depan. Bahkan akan banyak begadang pula.

Seharian saya tidur saja. Minum obat batuk untuk menghilangkan batuk saya yang sudah seminggu tidak sembuh-sembuh, lantas merasa mengantuk dan tidur lagi. Mungkin juga saya OD (over dosis) obat batuk. Mata sampai sembab kebanyakan tidur dan atau tiduran. Ibarat beruang yang berhibernasi selama musim dingin, saya merasa juga seperti beruang yang berhibernasi selama sehari. Sementara itu, beberapa teman lain menggunakan waktu luangnya ini untuk belanja. Last minutes shopping.

Pembacaan terjemahan Al-Qur’an saya sudah mendekati juz 30. Saya berharap pembacaan saya yang kedua ini bisa saya tamatkan di Padang Arafah. Pembacaan pertama sudah saya tamatkan di Masjidil Haram beberapa hari yang lalu.

***

Mas sakit low back pain. Seperti saya sewaktu di Madinah. Memang Mas juga punya sejarah penyakit ini. Tapi kali ini Mas terasa nyeri, sehingga kami perlu ke rumah sakit.

44

Dokter jamaah kami, dr. Rusdi yang ahli bedah, memberikan surat rujukan kepada dokter di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI). Kami lantas ke BPHI diantar naik mobil oleh teman Mudatur dan dokter Rusdi.

BPHI itu lumayan bagus. Ada beberapa pasien yang menginap di sana, ditungui oleh kerabatnya. Dokter, paramedik dan petugas lain semua dari Indonesia. Penanganan mereka cepat juga. Mas segera ditangani oleh dr. H Hasyim. Lutut di tekuk-tekuk, disuruh menaikkan kaki, ini-itu. Nah, ketahuan sudah. Benar, Mas mendertita low back pain yang rada serius. Sementara ya perlu istirahat saja. Diberi resep.

Resep ditebus di apotik di BPHI juga. Gratis. Wah, enak ya. Betulkah gratis? Kata Pak Iqbal, kami semua ternyata sebelumnya telah ”setor” untuk kesehatan sebesar USD 500.

Selama masa penyembuhan, Mas terpaksa shalat di atas kursi lipat yang kami baru beli. Jadi, di grup kami sekarang ada 2 orang yang selalu membawa-bawa kursi. Suami-isteri, Mas dan saya. Saya tetap menggunakan kursi untuk mendengarkan tausyiah atau selama menunggu waktu shalat. Kalau shalat, bisa saya lakukan dengan normal.

***

Tengah malam menjelang 9 Dzulhijah (9 Januari 2006). Saya terbangun dari tidur yang nyenyak. Mungkin berkat OBH yang saya goglok seharian. Jam 2 pagi kami akan berangkat untuk menjalankan wukuf di Padang Arafah.

Saya ke kamar mandi luar untuk bersiap-siap. Sorean saya sudah mandi dan keramas, jadi saya tak perlu mandi lagi. Baru selesai gosok gigi, saya mendengar gemeretak di atap kamar mandi. Gerimiskah ?

Beberapa hari sebelumnya saya sampaikan ke Mas bahwa saya ingin merasakan hujan di tanah suci. Mas selalu menjawab – “Insya Allah nanti akan turun hujan”. Tiada sabar, saya ke luar dan menatap langit. Awan berarak putih, bergerak cepat di atas. Ya,… gerimis! Saya tengadahkan tangan, bersyukur. Merasa aneh. Ada gerimis di Mekkah. Tetesan air mengaburkan kacamata saya tetapi saya tak peduli. Mekkah sedang gerimis! Saya bisa mencium bau khas tanah yang sudah lama tidak terkena hujan. Sulaiman, pembantu berkulit hitam dari Nigeria, mengemasi karpet yang menghampar halaman depan. Sayang, gerimis itu segera berakhir.

Menjelang jam satu malam, semua orang berkemas. Bapak-bapak mengenakan pakaian ihram. Ibu-ibu juga mengenakan baju putih-putih terbaiknya, termasuk saya, untuk melaksanakan wukuf di Padang Arafah, pada 9 Dzulhijah 1426 H.

***

45

PENCARIAN JATI DIRI DI ARAFAH

Padang Arafah 9 Dzulhijah. Wukuf. Jarak Aziziah – Padang Arafah sebetulnya tidak terlalu jauh, sekitar 10 km-an. Tapi berhubung banyaknya bis dan mobil yang ke sana, perjalanan itu butuh waktu 1 jam.

Jam 2 malam itu – sewaktu kami berangkat – terasa seperti jam 7 malam saja, karena banyaknya kendaraan yang hilir mudik. Kebanyakan bis. Ada yang berdiri dalam bis, ada yang duduk di atap. Semuanya akan pergi ke Padang Arafah pada hari H itu.

Padang Arafah sudah ramai. Helikopter tah henti-hentinya patroli di atas Padang Arafah. Sesekali sirine ambulans turut meramaikan suasana. Padang Arafah yang luasnya biasanya tandus tidak ada kehidupan, tiba-tiba didatangi 3½ juta jemaah, hanya sehari dalam satu tahun Islam!

Walaupun keharusan berada di Arafah adalah pada tengah hari, banyak yang sudah tiba jauh waktu sebelumnya. Maklumlah, lalu lintas dapat saja menjadi macet total. Kami langsung ke perkemahan Maktab 114. Di Maktab 114 yang tergolong VIP itu terdapat tenda-tenda untuk 13 travel agents, termasuk Mudatur. Jumlah jamaah di Maktab itu 1.335 orang, semuanya dibawah koordinir Syekh Maktab 114, Syekh Hasan bin Makhfudh bin Bawean yang usianya baru 27 tahun (tetapi berwajah ’boros’, tampak lebih tua dari usianya). Musim haji tahun lalu maktab yang diurus Syekh ini menerima penghargaan sebagai maktab yang terbaik dalam memberikan pelayanan kepada para jemaah.

Maktab-maktab ini pada prinsipnya terdiri dari gabungan banyak tenda. Satu unit tenda – yang bentuknya seperti hangar mini – berukuran 4 x 6 m. Di dalam tenda masing-masing jamaah mendapatkan satu kasur tipis yang berisi kapuk, bantal, selimut dan satu kotak kertas tissue. Kasur-kasur itu terhampar di atas karpet. Beberapa AC mendinginkan tenda. Di dalam terang benderang karena banyak lampu TL.

Padang Arafah yang terletak 25 km di tenggara Mekkah dan luasnya mungkin sekitar 300 ha itu bakalan dijejali para jamaah pada siang hari nanti, menjelang Dhuhur. Inilah tempat yang mustajab untuk berdoa. Kemustajabannya hanya bisa disaingi oleh Masjidil Haram di Mekkah.

‘Haji adalah hadir di Padang Arafah’, demikian sabda Nabi Muhammad s.a.w. Inilah esensinya haji. Berada di Padang Arafah, sejak Dhuhur hingga Ashar. Padang Arafah adalah tempat untuk wukuf. Wukuf artinya ”berhenti” atau ”berdiam diri”. Berhenti sejenak dari kehidupan dan mencoba mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Berhenti pula dari perbuatan yang tidak baik.

Padang Arafah adalah padang pencarian. Pencarian terhadap diri sendiri, pencarian terhadap posisi kita di hadapan Allah. Pencarian terhadap ibadah yang lebih baik pada masa depan.

Menurut Pak Kyai, di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah semua malaikat akan turun ke bumi, memastikan bahwa semua doa dan ampunan akan diterima oleh Yang Maha Kuasa. Hanya satu hari dalam setahun. Tanggal 9 Dzulhijah, hari itu.

Di Padang Arafah ini manusia akan diingingatkan pada Lembah Mahsyar, saat sangkakala ditiup setelah terjadinya kiamat. Manusia akan dibangunkan kembali dan ditimbang amalan dan dosa-dosanya.

46

Kewajiban para jemaah di Padang Arafah selama melaksanakan wukuf sesungguhnya hanya tiga saja: sholat Dhuhur dan Ashar (dijama’ dan diqashar, agar punya banyak waktu untuk berdoa, bertafakur, bertaubat, berdzikir, membaca Al-Qur’an atau berkegiatan apa saja.), mendengarkan khutbah wukuf, dan terakhir – yang paling penting – adalah berzikir dan bertafakur, melakukan dialog pribadi dengan Yang Maha Kuasa.

Khutbah wukuf dilakukan oleh setiap kelompok. Dapat dibayangkan betapa ramainya persaingan suara microphone dari satu tenda ke tenda yang lain. Yang di khutbahkan tergantung pada masing-masing ustadz pemberi khutbah. Kelompok kami – Mudatur – kebetulan cepat selesai, jadi kami cepat bisa melanjutkan dengan makan siang. Kelompok lain – entah kelompok mana, loudspeakernya sedemikian kerasnya – belum juga selesai khutbah. Padahal kami sudah cukup lama selesai makan.

Kalau ingin wudhu, memperbaharui wudhu, atau ke kamar kecil, tersedia kamar kecil kolektif. Airnya cukup banyak dan jernih. Sayangnya jumlah kamar kecil ini terbatas. Jangan dilupakan bahwa kelompok Maktab 114 ini adalah VIP! Jamaah reguler mungkin lebih sengsara lagi.

Ke kamar kecil selalu harus antri. Kadang-kadang antrinya lama karena ternyata ada yang mandi atau buang air besar. Sabar saja. Menjelang siang kamar mandi itu semakin jorok, walau yang memakai adalah ibu-ibu VIP. Tissue kotor tersebar di sana-sini, tercampur dengan celana dalam kertas. Sabar saja. Bagaimana pun jua, tempat itu adalah Padang Arafah yang suci. Tempat mustajab untuk berdo’a. Apalagi hari itu adalah tanggal 9 Dzulhijah!

***

Bermula dari Masjidil Haram, dilanjutkan di Aziziah, di Padang Arafah itu saya dapat menyelesaikan lagi pembacaan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia. Ya Allah Yang Maha Mengetahui, Kau turunkan Al-Qur’an yang 114 surat, 30 juz, 554 ruku’, 6236 ayat dan 325.345 kata itu kepada Nabi Muhammad secara perlahan-lahan (Al-Isra 106, Al-Insaan 23) dalam 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari agar dapat dipahami dengan baik. Sementara hambamu ini baru dapat membaca terjemahannya 2 kali, selama 22 hari (20 Desember 2006 hingga 9 Januari 2006). Betapa tidak mungkin memahami isinya yang penuh dengan petunjuk, keimanan dan kisah-kisah.

Saya juga merasa malu terhadap diri sendiri karena telah banyak textbook yang sudah saya baca. From cover to cover. Beberapa bahkan telah saya baca beberapa kali dalam rangka memberi kuliah. Namun membaca Al Qur’an untuk memahami isinya baru saat itu saya laksanakan dengan serius.

***

Selesai wukuf kami berangkat ke Muzdalifah. Kami melewati tenda-tenda haji jamaah Indonesia yang biasa (bukan plus). Alangkah beruntungnya kami, yang menghabiskan waktu wukuf dalam tenda ber- AC. Tenda-tenda non-VIP tentulah

47

panas karena hanya dilengkapi dengan sebuah fan. Langit-langit tendanya pun pendek. Tentulah bertambah panas dengan banyaknya jamaah yang berkumpul di sana.

Jalanan kotor, penuh sampah-sampah bekas aqua, kertas-kertas karton, bekas makanan dan entah apa lagi, teronggok di tepi jalan dan gepeng-gepeng di sepanjang jalan, menutupi jalan raya, tergilas mobil-mobil yang lewat.

Bis kami bergerak meninggalkan Padang Arafah menuju Muzdalifah yang jaraknya hanya sekitar 5 km. Awalnya bis bisa berjalan dengan lancar, walau agak pelan. Lama-lama seperti berkendara di Jakarta, di Gatot Subroto pada jam 6 sepulang dari kantor. Merayap. Lantas seperti Gatot Subroto jam 6 sore sesudah kebanjiran, padat merayap. Lalu seperti Gatot Subroto setelah pertandingan sepak bola di Senayan. Tersendat. Lama-lama seperti jalanan Puncak pada weekend. Jalan dibuka-tutup. Tak heran jarak yang hanya 5 km itu di tempuh dalam waktu 3 jam. Berangkat jam 8 malam dari Padang Arafah dan tiba di Muzdalifah jam 11 malam.

Di Muzdalifah tugas kami ada dua: mengumpulkan batu untuk melontar jumrah dan berdiam di Muzdalifah sampai tengah malam, seperti yang dilakukan oleh Nabi (disebut mabit).

Mengumpulkan batu ternyata gampang-gampang susah. Masalahnya kami belum tahu seberapa ukuran batu yang afdol untuk dilempar. Kata buku petunjuk jangan terlalu besar, karena berat dan bisa membuat benjut kalau terkena orang, tetapi juga jangan terlalu kecil karena daya lontarnya pendek. Yang sedang-sedang saja.

Para bapak – termasuk Mas - mengalami kesulitan teknis sewaktu berjongkok-jongkok memungut batu. Baju ihram yang berupa ’rok’ itu harus dijaga sedemikian rupa agar tetap menutupi perabotan sang bapak. Beruntungnya tempat kami mencari batu terang benderang karena banyak lampu, sehingga tak perlu memakai senter. Bayangkan kalau sang bapak itu harus membawa senter, sambil memungut batu dan sekaligus menjaga posisi ’rok’nya agar selalu menutup aurat!

***

Selama masa menunggu sampai tengah malam, kami duduk di bis. Saya merasa badan saya lemah. Mungkin karena batuk semakin menjadi-jadi. Suara saya semakin menghilang. Agaknya seharian bertalbiah dan beberapa kali membaca Yasin selama wukuf siangnya telah membuat tenggorokan saya capai. Terpaksalah saya membisu sementara. Suara saya betul-betul habis!

Tengah malam. Acara masih banyak dan perjalanan masih panjang. Wukuf di Arafah dilanjut dengan bermalam (mabit) di Muzdalifah sambil mencari batu selesai dikerjakan. Acara selanjutnya adalah ke Mekkah untuk melaksanakan thawaf dan sai.

Kami bergegas kembali dari Muzdalifah ke Mekkah. Kami harus berlomba dengan waktu karena hampir semua orang berbuat hal yang sama: melakukan thawaf ifadah di Masjidil Haram dan dilanjut dengan sai.

Alhamdulillah jalanan masih lancar. Mungkin banyak jamaah yang masih betah untuk berada di Muzdalifah. Biasanya jamaah memang meninggalkan Muzdalifah sekitar jam 2 pagi, seperti dahulu dilakukan oleh Nabi Muhammad.

48

Thawaf Ibadah di Masjidil Haram berlangsung dengan enak karena masih agak longgar. Sai juga dapat berjalan denga leluasa. Setelah selesai sai, Masjidil Haram sudah penuh, sepenuh-penuhnya, untuk thawaf.

Selesai sai dan tahalul (menggunting rambut), saya merasa sangat capai, lunglai dan pegal. Praktis dua hari kami hanya istirahat sedikit. Tidur-tidur ayam di atas bis dan di Muzdalifah, tidur-tidur ayam sesampai di Padang Arafah, full ibadah selama wukuf. Kali ini tubuh terasa betul-betul diforsir.

Fisik benar-benar diuji. Simpanan energi yang ditumpuk di Aziziah kini betul-betul dipakai. Perjalanan ibadah kami belumlah usai. Kami tiba kembali di apartemen Aziziah menjelang jam 5 subuh. Jam 5.45 sudah masuk shalat subuh. Jam 11 pagi kami akan berangkat ke Mina.

***

Jam 11.30 pagi tanggal 10 Dzjulhijjah kami ke berangkat ke Mina. Hari itu adalah Hari Raya Idul Adha. Di masjid-masjid kecil di sekitar Aziziah, Idul Adha sangatlah sepi. Agaknya semua kegiatan dipusatkan di Masjidil Haram.

Sejak dari Aziziah dan meninggalkan Mekkah, lalu lintas bukan main padatnya. Padat merayap dan tersendat. Klakson ribut di mana-mana. Supir-supir Arab terkenal kurang disiplin dalam mengendara, kadang berhenti seenaknya di tengah jalan. Serempetan sering terjadi, sampai-sampai jarang terlihat mobil yang mulus tanpa penyok.

Sisa-sisa suasana wukuf masih kental terasa. Berbondong-bondong jemaah yang baru berwukuf pergi ke Masjidil Haram, seperti yang kami lakukan malam tadi. Saking macetnya arah ke Mekkah, banyak jamaah yang turun dari bis dan berjalan kaki. Padahal Mekkah masih berjarak 5 km dari Aziziah.

Jamaah yang diangkut di atas atap-atap mobil menjadi pemandangan yang biasa. Semua lelakinya masih memakai baju ihram yang tentu sudah lusuh. Yang penting adalah mencapai Masjidil Haram untuk melanjutkan ibadah. Di taman-taman perempatan jalan banyak jemaah yang camping. Betul-betul mendirikan tenda dan tidur di sana. Tak peduli bahwa mereka merusak taman yang kemungkinan besar selama ini dirawat dengan susah payah.

Bis melewati Muzdalifah untuk mencapai lokasi tenda kami di Mina. Jamaah yang tersisa dari kegiatan mabit pada malam sebelumnya masih banyak tampak di Muzdalifah. Ratusan bis nongkrong di pinggir jalan. Jamaah dengan pakaian ihram hilir mudik. Jalanan super macet. Tak ada polisi lalulintas yang mengatur. Domba-domba banyak terlihat. Itu adalah domba kurban, yang dagingnya akan didonasikan kepada negara lain yang memerlukan.

Hampir jam 4 sore baru kami sampai di tenda kami di Mina, di Maktab 114, bersama kelompok yang sama seperti di Padang Arafah. Berarti dari Aziziah ke Mina, lewat Muzdalifah, perlu waktu sekitar 4 jam. Macet luar biasa. Macetnya sebetulnya bukan hanya karena jumlah mobil yang banyak, tapi lebih karena banyaknya mobil yang berhenti sembarangan. Parkir sembarangan, menurunkan penumpang sembarangan pula.

Untungnya jamaah Mudatur itu benar-benar ”mudah diatur”. Padahal paginya kami ’kelupaan’ tidak diberi sarapan, sehingga kami terpaksa mencari-cari makanan sendiri dari sisa-sisa stock makanan yang ada. Ada pula rekan kami yang berinisiatif membeli ayam bakar (baked chicken) dan dimakan beramai-ramai. Siang, di bis,

49

kami juga tidak diberi makan siang. Tumben kali ini tampaknya Mudatur ”kelupaan” memberi makan jamaahnya. Namun demikian, tidak ada jemaah yang gelisah. Semua bisa memahami situasi, walau mungkin ada yang kliyengan kelaparan.

***

50

MINA YANG HIDUP HANYA EMPAT HARI

Mina. Kawasan ini hanya hidup selama 4 hari dalam setahun. Sisanya yang 344 hari (tahun Islam) itu sepi. Benar-benar sunyi senyap! Mina telah hidup lagi karena hari itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, saat untuk melontar jumrah di Mina.

Mina yang sekonyong-konyong hidup itu terdiri dari entah berapa puluh ribu tenda. Tenda yang berbentuk unik dan berwarna putih itu bak lautan saja memenuhi semua sudut-sudut Mina, hingga ke tebing-tebingnya. Tiga setengah juta orang tumplek di sana, setidaknya selama tiga atau empat hari kedepan.

Tenda kami di Maktab 114 yang VIP itu memang adem. Tetapi kami semua hidup bersama di situ. Bapak-bapak dan ibu-ibu barengan menjadi satu. Mirip seperti perkemahan mahasiswa saja. Yang tidak terbiasa campur begitu tentu akan risih juga.

Di tenda kami yang kecil itu, sekitar 4 x 9 m2, dihamparkan kasur tipis, di atas karpet. Persis seperti di Padang Arafah. Dengan kelompok lain tenda kami hanya dibatasi dengan tabir, jadi kami bisa saling mendengar apa yang dibicarakan di tenda sebelah. Tenda kami bersebelahan dengan kantor Maktab 114. Sang Syekh, Syekh Hasan bin Makhfudh bin Bawean, terlihat selalu ada di sana, memastikan semua berjalan dengan baik.

Maktab 114 yang dihuni oleh 1.335 jemaah ini benar-benar crowded, khususnya kalau menghadapi saat-saat makan dan saat-saat ‘urusan pribadi’ ke kamar kecil. Ruang makan ndilalah kok ya di depan kamar kecil yang juga merangkap WC. Jadi kalau makan perlu ada imajinasi lain agar jamaah dapat mengunyah dengan enak. Kursi makan amat sangat terbatas, terpaksa makan sambil berdiri. Walau demikian, makan selalu nikmat saja karena lapar. Shalat dilakukan di tenda juga, di atas lampin tempat tidur, kalau ada yang kurang enak badan ya terpaksa meringkuk saja di sudut, sementara lainnya shalat.

Tempat kami itu berjarak sekitar 2 km dari tempat pelemparan jumrah. Pak Semi, pimpinan Mudatur, sempat protes ke penyelenggara haji Saudi Arabia karena kami ditempatkan jauh dari lokasi pelemparan. Padahal penyelenggara lain dari Indonesia, dengan bayaran yang sama, ditempatkan dekat sekali dengan tempat pelemparan jumrah. Jamaah Mudatur benar-benar ‘mudah diatur’. Tidak ada yang protes dengan jarak pelontaran cukup jauh itu (untuk fasilitas haji plus).

Untuk paket Armina (Arafah dan Mina) per orang dikutip 2.000 real. Itu yang VIP, yang mendapatkan tenda-tenda AC dengan beralaskan kasur tipis, pakai bantal, selimut dan sekaligus makan.

***

Sudah menjadi berita umum bahwa ibadah jumrah adalah the ultimate physical challenge bagi jamaah haji dan jumrah selalu identik dengan perjuangan melawan desakan lautan manusia. Tahun ini pemerintah Saudi Arabia rupanya mulai ketat memberikan jadwal melempar jumrah ini. Pelemparan jumrah akan dirotasi sesuai dengan wilayah geografisnya. Jemaah Indonesia, khususnya Maktab 114, memperoleh jadwal melempar jumrah yang agak kontroversial: jam 9 malam! Menurut panitia penyelenggara haji dari Kerajaan Saudi Arabia, mereka yang melontar diluar jadwal akan diusir oleh para asykar.

51

Melempar jumrah – sesuai dengan tatakrama perhajian – dilakukan sebelum maghrib. Kebetulan giliran kami adalah jam 9 malam. Tentu hal ini menimbulkan sedikit kekurangenakan diantara para jamaah Mudatur. Apakah pelemparan itu sah? Kelompok lain dari Indonesia yang juga dijadwalkan jam 9 malam, ternyata melempar jumrah pagi hari. Tidak ada masalah, menurut mereka. Benarkah? Mari dicoba saja.

Maka grup yang mbalelo ini berangkat melontar jam 4-an, sore. Tak lupa kami membawa beberapa bendera Mudatur, untuk memastikan tidak ada jemaah yang tercecer. Jarak dari tenda ke tempat pelemparan yang sekitar 2 km itu memberikan kesempatan untuk melihat-lihat keadaan sekitar.

Mina yang menggeliat tiba-tiba itu adalah kombinasi antara perkemahan dan pengungsian. Perkemahan itu sebenarnya cantik, unik. Kemah-kemahnya berbentuk persegi, dengan kuncup-kuncup yang kelihatannya berfungsi sebagai ventilator, berwarna putih, berderet-deret. Bak kuncup bunga teratai yang muncul dari padang pasir.

Dilihat dari kapasitas perkemahan dan jumlah jamaah, saya perkirakan setidaknya di Mina itu ada 100.000 kemah. Kemah VIP seperti yang kami tempati dilengkapi dengan AC dan dengan lampu TL yang 24 jam tidak pernah padam. Berapa banyak energi yang tiba-tiba dibutuhkan untuk melayani para tamu Allah s.w.t. di Mina itu? Energi yang tiba-tiba harus disediakan hanya selama empat hari dalam satu tahun.

Di Mina itu pernah terjadi kisah sedih bagi para jamaah haji dari Indonesia. Pada tahun 1990 sebanyak 1.426 orang meninggal di terowongan Haratul Insan, kebanyakan jemaah Indonesia. Tahun 2004 ada korban 244 meninggal. Pendek kata, setiap tahun pasti ada korban jatuh di Mina, entah sedikit atau banyak.

***

Jamaah haji ternyata tidak semuanya berada dalam tenda-tenda yang disediakan pemerintah Saudi Arabia. Banyak sekali yang membawa tenda sendiri, kebanyakan adalah tenda yang berbentuk dome yang umum dipakai unutk kemping di Indonesia. Ada juga ”tenda-tendaan” yang asal jadi, diletakkan di belakang mobil, atau di antara dua mobil, di atas bis, di atas bak mobil yang terbuka. Banyak pula jamaah yang tidak punya tenda, bergeletakan dimana-mana. Tak jarang para jamaah itu membawa keluarga, komplit dengan istri dan anak-anaknya yang masih bayi. Mungkin mereka membawa mobil sendiri, dengan semua perlengkapan masak-memasak di dalamnya. Untuk air tak pernah ada masalah karena suplai air banyak di mana-mana. WC umum juga banyak, walau harus antre panjang.

Semakin mendekat ke tempat pelemparan jumrah, semakin terasa suasana pengungsian. Jamaah bergeletakan dimana-mana, tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Yang penting ada tempat untuk merebahkan diri. Tak peduli apakah ”kaplingan” mereka itu merepotkan dan mengganggu orang lain. Mobil-mobil dan bis yang parkir-parkir sembarangan juga menjadi instant camp. Jendela kaca ditutup dan jadilah bis sebagai tempat untuk menginap. Segala macam campur aduk di dalamnya.

”Kebersihan adalah sebagian dari iman”, demikian yang selalu didengung-dengungkan kaum muslimin. Tapi di sini, sampah ada dimana-mana. Sampah dan

52

sampah tampak dominan. Benar-benar jorok. Padahal tempat sampah banyak di mana-mana, sementara petugas kebersihan tak henti-hentinya mondar-mandir mengumpulkan dan membuang sampah. Sampah tetap saja banyak. Balalatak gepeng-gepeng terlindas mobil, menutupi jalan raya.

Di sekitar tempat jumrah banyak terdapat tempat luas. Sebetulnya penataan disekitar tempat jumrah itu cukup bagus. Sayangnya tempat terbuka yang luas itu dimanfaatkan untuk hal lain untuk open air campsite bagi para jamaah!

Jamaah Indonesia banyak yang kemping disana. Lho? Apakah mereka tak punya tenda yang disediakan panitia? Punya, ternyata. Hanya saja, tenda mereka sangatlah jauh. Berkilo-kilo. Tenda kami yang VIP saja jaraknya 2 km dari pelemparan, bisa-bisa tenda mereka berjarak 5 km atau setara 10 km bolak-balik, jalan kaki. Tentulah menjadi kendala bagi yang sepuh dan bagi mereka yang sulit untuk berjalan.

Di setiap sudut tempat yang sudah penuh itu diramaikan juga oleh para pedagang jalanan dan para peminta-minta. Para peminta-minta itu semuanya berkulit hitam. Tentu bukan orang setempat. Mungkin juga mereka sekalian melaksanakan ibadah haji, sekaligus cari uang.

***

Tempat pelemparan jumrah itu terdiri dari 3 lokasi: jumrah ula (kecil/awal), wustho (sedang/tengah) dan jumrah aqabah (besar). Menurut sang empunya hikayat, jumrah itu bermula dari Nabi Ibrahim a.s. Putra Sang Nabi, yaitu Ismail (dari istri keduanya, Siti Hajar) dikisahkan akan dipersembahkan kepada Allah s.w.t. Nabi Ibrahim mendapat wahyu melalui mimpi bahwa putranya itu harus dikorbankan kepada Allah s.w.t. dengan disembelih. Sebagai seorang nabi yang sangat mematuhi perintah-Nya, tentu dipenuhinya wahyu tersebut.

Pergilah Nabi Ibrahim dengan putranya, Ismail dengan membawa sebilah pisau. Di tengah perjalanan, syaitan mulai mempengaruhi Ibrahim untuk mengurungkan niatnya. Maka ditimpuklah syaitan itu oleh Nabi Ibrahim dengan batu beberapa kali, sampai syaitan pergi. Baru berjalan sekitar 300 meter, syaitan datang lagi, sambil membujuk untuk tidak perlu melaksanakan perintah Allah s.w.t. Masa anak sendiri akan dibunuh? Peristiwa ini kemudian dijadikan sebagai salah satu dari rangkaian ibadah haji dan tempat-tempat di mana Nabi Ibrahim melempar-lempar batu untuk mengusir syaitan itu kini menjadi jumrah ula, jumrah wustho dan jumrah aqabah.

Akan halnya Ismail, saat pas akan dikorbankan (alias disembelih) oleh ayahnya sendiri, muncul suara yang memerintahkan Ibrahim untuk membatalkan niat itu. Enatah dari mana tiba-tiba ada suara mengembik. Seekor qibas (sejenis domba yang berukuran besar) ujug-ujug ada di sana, siap untuk menggantikan Ismail. Maka hingga kini tradisi dengan menyembelih hewan kurban menjadi salah satu syariat dalam agama Islam.

***

53

Jumrah itu dulu berbentuk tiang. Betul-betul sulit untuk mendekat ke tiang, sebelum melempar. Bisa-bisa yang terlempar adalah kepala jamaah lain di seberang. Kini Pemerintah Saudi Arabia – sejak tahun lalu – me-“lebar”-kan tiang itu sehingga menjadi dinding yang panjang. Panjangnya sekitar 12 meteran dengan tingginya 10 meteran. Di seputar jumrah terdapat tembok rendah yang memisahkan para jamaah dengan jumrah itu.

Para jamaah bisa melempar dengan puas karena dijamin batu yang dilempar bisa mengenai tembok itu. Di bawah tembok itu ada semacam tempat penampungan batu, ke bawah, entah berapa dalamnya. Batu-batu yang dilempar bisa dengan aman terkumpul di bawahnya.

Tempat pelemparan itu terdiri dari 2 lantai. Jadi ada fly over ke arah tiga jumrah itu, di lantai atas. Rambu-rambu petunjuk dalam beberapa bahasa - termasuk bahasa Indonesia/Melayu – tertera di beberapa tempat strategis.

Kami memilih melontar jumrah dari bawah saja. Hari pertama kami hanya akan melempar jumrah yang besar saja, jumrah aqabah. Dengan 7 batu. Esoknya melontar tiga jumrah dengan 3 x 7 batu. Lusanya juga 3 x 7 batu. Total 49 batu, selama 3 hari berturut-turut.

Mengapa harus tujuh? Saya bertanya pada Pak Kyai tapi beliau juga tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Tujuh agaknya telah menjadi angka yang sering dipakai dalam melaksanakan ibadah haji. Thawaf, keliling Kami’bah 7 kali. Sai, berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah juga 7 kali. Melontar 7 kali. Benar-benar lucky seven. Mungkin karena surga itu 7 lapis. Neraka ada 7. Juga surat Al-Fatihah terdiri dari 7 ayat.

***

Pelontaran itu – Alhamdulillah – berjalan dengan lancar. Kekhawatiran kami akan diusir asykar karena melontar bukan pada waktu yang ditentukan menjadi sirna. Jamaah cukup banyak yang melontar tapi kami tidak kesulitan untuk melontar karena dari jauh pun bisa melontar. Tentu dengan batu yang cukup besar. Juga tak ada kekhawatiran terhimpit atau menimpuki kepala jamaah yang lain.

Satu, dua, hingga tujuh batu kami lontar. Alhamdulillah selesai. Lantas tahalul, memotong sedikit rambut. Selesai. Maka secara resmi kami dapat disebut haji dan hajjah. Ya Allah, terima kasih telah Kau mudahkan kami untuk menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Saya memeluk Mas. Tanpa kata-kata.

Di salah satu sudut sana, saya melihat seorang bapak dari Indonesia. Sendirian. Terisak tanpa malu-malu, tiada lagi dapat ditahan. Tangannya menengadah, berdoa, sementara air matanya bercucuran.

***

Tengah malam menjelang 11 Dzulhijjah. Perkemahan Mudatur terasa akrab kekeluargaan. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidur malang melintang, menyesuaikan dengan tempat yang ada, sehingga 42 orang + 3 penyelenggara Mudatur itu bisa cukup tidur di tenda yang pas-pasan.

54

Dokter Rusli memberi saya dua macam obat untuk mengatasi batuk yang semakin parah dan mulai menghilangkan suara saya. Saya perlu berterima kasih dengan adanya obat itu karena membuat saya tertidur dengan cepat. Maklumlah, saya bukan tipe pelor, yang bisa nempel di bantal langsung molor.

Keasyikan tidur ternyata terganggu banyak hal. Lampu selalu menyala, sementara saya terbiasa tidur gelap. Tetangga sebelah juga selalu ramai. Rupanya mereka baru selesai melontar. Tetangga sebelahnya lagi, kantor Maktab 114, sering ribut dalam bahasa Arab, entah marah-marah atau sekedar ngobrol. Maklumlah, kami tidak bisa membedakan mana yang marah dan mana yang ngobrol.

Di luar tenda klakson tidak henti-hentinya bergema. Tak siang, tak malam, supir-supir dengan bebasnya memencet klakson untuk minta jalan. Sesekali ambulans yang bertuliskan “Saudi Red Crescent Society” melintas sambil memperdengarkan sirinenya yang bising.

Semua enjoy saja. Saya merasa seperti di TPB (Tingkat Persiapan Bersama) karena semua teman-teman “cowok” hampir semuanya gundul! Bapak-bapak menggunduli rambutnya setelah resmi menjadi haji, pada saat berakhirnya pelemparan jumrah besar. Dari 19 bapak jamaah Mudatur, hanya 3 orang (termasuk Mas) yang tidak digundul!

***

Jam 3 pagi kehidupan di tenda Mudatur sudah dimulai. Beberapa bahkan sudah mandi dan mulai sholat. Mungkin sholat tahajud. Saya yang masih terkena efek obat, baru bisa bangaun jam 5-an. Mau ke kamar kecil untuk pipis, antrean panjang banget. Jadi hanya sikat gigi dan wudhu saja, dilakukan di wastafel di luar jamban.

Maktab 114 dengan 1.335 orang itu hanya dilayani oleh 1 kompleks jamban, terdiri dari 15 kamar mandi untuk laki-laki dan 10 untuk perempuan. Pantas kalau sudah terjadi antrean panjang. Lha wong satu kamar mandi perempuan rata-rata dipakai untuk 60 orang.

Setelah sholat subuh, kegiatan kami praktis hanya tidur saja di tenda. Leyeh-leyeh. Bisa juga jalan-jalan, kalau mau. Hampir semua dari kelompok kami memilih untuk di tenda saja. Istirahat, atau ngobrol, atau guyon-guyon, atau ngemil-ngemil makanan kecil. Saya menulis, sambil mendengar gosip-gosip dari kanan (ibu-ibu) dan kiri (para bapak).

Berjalan-jalan ke luar tenda memang kurang disarankan. Selain panas, juga khawatir tersesat. Maktab kami sering kedatangan teman-teman maktab lain yang tersesat ke sini. Saya tak bisa membayangkan kalau tersesat di Mina. Peta tidak ada, wilayah ini sedemikian luas, tenda-tenda bentuknya sama, lorong-lorong antar tenda tak pernah bisa memberi petunjuk.

Makan siang di Maktab 114 harus dijalani dengan sabar. Pertama, biasanya terlambat. Kedua, antreannya selalu panjang. Ketiga, dan ini yang selalu dihindari, kepanasan saat antre karena antreannya “open air”. Keempat, makanannya belum tentu enak. Kelima, ada kemungkinan kehabisan. Jangan lupa juga bahwa ruang makan persis ada di depan jamban.

Menyediakan makanan untuk seribu tiga ratus orang lebih, dalam sehari memang bukan pekerjaan yang gampang. Dapurnya di sini juga, di antara tenda-

55

tenda jamaah. Pemasaknya tampaknya orang Bangladesh atau India, memasak dengan tungku-tungku raksasa, dengan bahan bakar kayu! Dalam tatanan menunya, sambal dan kerupuk tak pernah absen.

Kalau soal minum, saya angkat topi. Bagus banget. Segala macam ada. Air putih, teh, kopi, juice, coca-cola, sprite. Di beberapa tempat disediakan almari pendingin, yang selalu dipenuhi berbagai macam minuman. Tinggal ambil saja. Nyetok juga boleh. Mantap deh.

***

Pelemparan jumrah pada hari kedua dan ketiga lebih sulit daripada yang pertama karena banyak jamaah yang akan melontar. Juga yang akan dilontar tiga jumrah sekaligus: ula, wustha dan aqabah. Kalau semua orang tertib, sebetulnya tak perlu timbul masalah.

Mendekati masing-masing jumrah, kerumunan jamaah mulai padat dan tak terkendali. Sepanjang mata memandang, hanya lautan manusia yang tampak. Hilir mudik. Ada yang baru akan melempar jumrah, ada yang berbondong-bondong pulang. Mereka yang kemping pun semakin banyak, semakin merangsek ke wilayah-wilayah dekat-dekat tempat pelemparan. Sampah tambah banyak dan petugas kebersihan sudah kewalahan menangani pengangkutan sampah.

Saya selalu digandeng erat oleh Mas. Saat-saat begini sangatlah penting untuk selalu bersama, bergandengan dengan teman atau pasangan. Sudah banyak terjadi pada saat melontar, jamaah terpisah dari rombongannya, tak ada yang membantu dan bisa-bisa kesasar tidak bisa kembali ke tenda.

***

Setiap melempar jumrah, saya merasa seperti bermain kasti. Ada target, ada “musuh-musuh”. Tergetnya adalah jumrah, tempat melempar yang berbentuk dinding itu. “Musuh”-nya adalah jamaah lain, yang mungkin membuat saya tersenggol, terdorong, terhimpit, terlepas dari pegangan Mas, atau terpisah dari kelompok.

Sebetulnya kalau jamaah pandai melihat situasi, tidak perlu ada korban. Kalau suasana ramai, perlu ditunggu dulu. Melontar dalam kelompok kecil (saya berdua dengan Mas) ternyata lebih efektif.

Tim Mudatur kami membuat strategi gerilya. Masing-masing kelompok berjumlah 6 orang dibagi-bagi menjadi pasangan (suami-istri atau berdua). Kami menentukan “markas” yang tidak jauh dari pelemparan jumrah, tetapi cukup sepi dari kerumunan. Kami menentukan pula siapa yang menjaga “markas”, baru masing-masing pasangan bergerak melempar.

Selesai melontar, pasangan kembali ke “markas”. Setelah semua sukses melempar, anggota dihitung kembali. Komplit. Lantas kami bergerak ke jumrah yang lain. Dengan cara bergerilya itu ternyata pelemparan jumrah dapat kami lakukan dengan aman. Alhamdulillah. Strategi bermain kasti ala gerilya itu kami diskusikan bersama-sama sebelum berangkat melontar, sampai semua anggota benar-benar paham.

56

Kami merasa menang. Padahal “musuh”-nya tak jelas. Mungkin syaitan yang kami coba usir dengan cara melempar batu-batu itu. Mungkin pula kami merasa menang karena dapat bersaing melontar dengan jamaah lain yang naudzubillah jumlahnya. Pokoknya kami merasa menang! Saya boleh berbangga dengan team work kelompok Mudatur ini. Benar-benar kompak dan selalu menjaga kebersamaan. Bravo Mudatur!

Kelompok kami yang ber-42 termasuk mudah dikelola. Setelah kami pulang kami mendengar bahwa ada kejadian tragis lagi, tidak lama setelah kami melempar jumrah. Sejumlah 345 orang telah meninggal, terinjak-injak, sementara 289 orang cedera. Hampir semuanya adalah warga Turki dan Afrika. Lagi-lagi Mina meminta korban. Innalillahi wa inna illaihi rojiun.

***

Pada hari ketiga kami melempar jumrah sehabis subuh karena harus segera kembali ke Jakarta. Acara hari itu adalah melontar 3 jumrah, meninggalkan Mina dan berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan thawaf wada’ (thawaf good bye), ke Aziziah untuk berkemas, berangkat ke airport King Abdul Aziz, Jeddah. Sebelum melontar kami semua memastikan sudah memasang V Kool alias sunscreen plus vulkanisir alias obat khusus untuk mencegah pecah-pecah pada telapak kaki.

Selama di Mina saya tidak bisa melepas bergo sama sekali. Kepala jadi gatal bukan main. Ingin rasanya saya segera kembali ke Aziziah, hanya untuk melepas bergo dan menggaruk kepala sepuasnya! Sementara itu, tiga hari tidak bercukur, Mas tampak brewok, memperlihatkan cambang lebat di pipi dan dagunya.

Setelah sukses melempar (berarti sudah berjalan 2 km), kami berjalan kaki menuju parkiran bis (tambah 1 km lagi; jangan lupa bahwa kami harus membawa barang perlengkapan selama 3 hari menginap di Mina). Selama berjalan kaki dari tempat pelemparan ke parkiran bis, kami melihat banyak hal. Banyak sekali jamaah yang menginap di jalanan. Ada yang membawa tenda, ada yang goleran langsung di atas aspal, atau hanya beralaskan tikar plastik.

Pagi itu, sesudah subuh, kegiatan masyarakat tenda mulai tampak. Sholat dilakukan di tempat seadanya. Yang penting menghadap kiblat. Terkadang mereka ngedumel dengan bahasa mereka karena kami terpaksa menginjak “rumah” atau tempat sholat. Gantian kami yang ngomel dalam bahasa Indonesia – kemping jangan di tengah jalan dong!

Banyak yang masih tertidur meringkuk atau bahkan sambil duduk. Mungkin mereka memang tidur begitu semalaman karena sempitnya tempat. Persis seperti para pengungsi yang semuanya serba darurat. Istri dan anak-anak kecil bisa menjadi bagian dari khalifah haji itu. Saya rasanya tidak tega melihat balita-balita tidur sekedarnya, menemani orang tuanya yang sedang menunaikan ibadah haji. Di dalam tenda mereka itu seperti pengungsi, hidup seadanya, tidur sekedarnya, mungkin juga makan apa yang ada, tanpa memikirkan rasa, rupa dan gizi.

Agak siangan tentulah panas sekali di tempat itu. Yang di dalam kepanasan, yang di luar tenda juga. Tak terbayangkan betapa tidak enaknya keadaan seperti itu. Beberapa banyak berpayung, duduk sambil berkipas-kipas. Tapi ya namanya ibadah. Semua dijalani dengan tabah, tawakal dan sabar karena kita semua berada di tanah suci Saudia Arabia.

57

Jalanan becek. Setelah 3 hari, para jamaah yang lebih mirip pengungsi itu mulai pasphoto, cuci muka sekalian ambil wudhu, dari air botol aqua yang ada. Sikat gigi juga di pinggir jalan, di dekat tenda “pengungsian” mereka. Sampah-sampah terburai di sana-sini, tapi herannya tak ada lalat. Juga tak berbau. Padahal sisa-sisa makanan, berupa roti, nasi dan bubur, terserak di mana-mana.

Di tempat itu memang tidak ada tanda dilarang membuang sampah. Jadi mungkin ya sah-sah saja kalau para jamaah membuang sampahnya di sana. EGP (emangnya gua pikirin). Hakuna matata.

Kata Pak Ustadz, beberapa hari sesudah acara pelontaran jumrah, umumnya turun hujan. Hujannya tidak terlalu lebat tapi hampir pasti banjir. Sampah tentuya menutupi buangan air (kalau ada).

***

Para pengemis balalatak di mana-mana. Hampir semua mempertontonkan anggota badannya yang tak utuh untuk mencari uang. Ada yang badannya bentol-bentol, ada yang tak ada anggota badannya, ada yang buta. Ada pula yang tampak bekas “hukuman” potong tangan karena mencuri. Ibu-ibu yang membawa bayi paling sering mendapat uang dari jamaah perempuan. Demikian pula anak-anak kecil dan orang tua yang cacat.

Para pengemis sudah pasti bukan orang lokal, karena kulitnya hitam gelap dan berambut keriting. Orang Afrika. Saya tidak dapat memastikan mereka dari mana. Mungkin saja setiap tahun mereka sengaja datang ke Saudia Arabia secara rutin untuk mencari uang lewat belas kasihan para jamaah haji.

Pengemis itu sering membuat kagok saat kita berjalan. Bisa-bisa jamaah “tersandung” para pengemis itu karena mereka duduk sembarangan di lajur untuk berjalan.

***

Kami sampai di tempat rendezvous. Rencana yang dipersiapkan tim Mudatur untuk menjemput kami setelah melontar jumrah ternyata tidak dapat berlangsung dengan mulus. Dari komunikasi via handphone dapat dipastikan bahwa bis tidak dapat menembus ke lokasi parkiran karena padatnya manusia dan lalu lintas. Padahal kami masih harus ke Mekkah, ke Masjidi Haram, untuk melaksanakan thawaf. Terpaksa kami naik bis omprengan ke Masjidil Haram.

Bis itu berupa bis sekolah, yang berwarna kuning. Tak ber-AC. Banyarnya 10 real, dibayari oleh Mudatur. Ada kernetnya juga, yang selalu berteriak-teriak “Haram, haram!”, maksudnya ke Masjidil Haram. Kalau di Indonesia, bis ini barangkali setara angkot atau kopaja. Bis sudah penuh tapi kernet masih teriak-teriak. Ada yang naik lagi dari belakang. Kemana? O, rupanya ke atas! Bayarnya berapa ya?

Bis tua yang tie-rod dan persnelingnya bersuara heboh itu dengan terbata-bata akhirnya tiba di dekat Masjidil Haram, karena jalanan yang sudah padat

58

merayap. Kami lantas ke Hotel Sofitel, menitip barang di salah satu sudut kafe, mengambil wudhu dan melakukan thawaf wada. Tanpa sai.

***

Thawaf wada kami laksanakan dengan baik. Lebih crowded dari biasanya, tapi semuanya – Alhamdulillah – berjalan dengan baik. Selesai thawaf, kami semua berdo’a. Dipimpin oleh Pak Ustadz. Selesailah sudah ibadah haji kami. Semua anggota jamaah Mudatur bersyukur.

Saya dapat merasakan senggukan tertahan Mas yang memeluk saya dari belakang. Saya tak mampu berkata. Linangan air mata tidak tahan meluncur ke pipi. Sudah lama Mas ingin mengajak saya ke tanah suci. Sudah lama pula saya ingin berkunjung ke Baitullah, bersama Mas. Pada akhirnya Yang Maha Kuasa berkenan mengabulkan permintaan kami.

Dari Masjidil Haram kami ke Aziziah, naik bis kopaja lagi. Dibayari Mudatur lagi. Jalan dari dua arah, dari Mina ke Mekkah dan yang lainnya keluar dari Mekkah sudah semakin lama. Seperti biasa, klakson ramai di mana-mana. Walau dengan merayap, bis tiba juga di Aziziah. Alhamdulillah lagi.

***

Di Aziziah, urusan barang ternyata menjadi pelik dan rumit. Kerumitan pertama adalah pada barang yang akan dibegasikan. Maksimun 25 kg per orang. Benar-benar ditimbang dengan timbangan yang disiapkan oleh Mudatur. Berhubung banyak yang senang belanja dan barang tidak sempat dikirim via kargo, banyak tas yang beratnya melebihi 25 kg. Rekor terberat untuk satu koper di kelompok kami adalah 42 kg, teringan 15 kg (kebetulan punya Mas). Beberapa teman yang merasa barangnya melebihi 25 kg ya terpaksa ditenteng.

Kerumitan kedua, belakangan kami mendapat kabar dari pihak perusahaan penerbangan (Singapore Airlines) bahwa jatah tentengan hanyalah 15 kg untuk berdua. Sibuklah kami mengurangi barang. Kalau perlu, barang dibuang atau ditinggal saja, dihibahkan ke orang lain. Barang tentengan saya digabung dengan Mas, total berat 10 kg. Masih dibawah batas yang 15 kg. Aman.

Ternyata masih ada kerumitan ketiga. Yaitu satu piece barang beratnya tak boleh lebih dari 7½ kg. Lho? Barang saya dan Mas sudah dijadikan satu, dipak dalam satu tas, sementara tas yang satu lagi sudah dihibahkan ke orang.

Acara bongkar-membongkar tentengan berlangsung dengan hebohnya. Kami tidak bermasalah, tinggal mengeluarkan barang seberat 3 kg, masukkan ke tas kresek, beres. Kelebihan barang tentengan teman-teman terpaksa disatukan, dan akan diurus oleh Mudatur.

Mudatur jadi repot, ketambahan beberapa karung ekstra yang berisi kelebihan barang tentengan teman-teman. Maaf ya, Pak Semi. Maklumlah Ibu-ibu suka belanja. Berhubung barang-barang favorit saya – kain tenun tradisional dan keramik – tidak ada yang jual disini, saya “terpaksa” tidak belanja. Kalau oleh-oleh yang voluminous

59

sudah kami beli terlebih dahulu, di Bogor. Satu dus besar. Sisanya yang kecil-kecil kami beli di tanah suci.

***

Semua orang, termasuk saya, ingin segera pulang ke tanah air. Namun bis yang akan membawa kami ke Jeddah dan seharusnya tiba jam 2 siang tidak ada beritanya. Bis ternyata terlambat hampir 3 jam. Setelah kami meninggalkan pemondokan di Aziziah dan kami tiba di jalan raya, barulah kami paham mengapa bis terlambat selama itu.

Jalan raya Mekkah mengarah ke luar kota ternyata padatnya bukan main. Dua arah betul-betul padat luar biasa dan kendaraan hampir-hampir tidak bergerak. Tidak tampak polisi lalu-lintas sama sekali. Suasana jalan menjadi kacau, ingin saling mendahului.

Bis kami beringsut tertatih-tatih. Padahal pesawat terbang Singapore Airlines yang akan membawa kami dari jeddah – Abu Dhabi – Singapura – Jakarta akan terbang tengah malam. Kami masih pula mampir ke Maktab 114 untuk mengambil paspor.

Batuk saya yang berkepanjangan dan belum ada tanda-tanda mereda membuat tubuh semakin ringkih. Badan saya terasa amat penat dan lunglai. Saya mulai teringat Emak, tukang pijat langganan saya di Bukit Sentul. Betapa saya merindukan pijatan Emak untuk menghilangkan kepenatan ini. Kerinduan saya juga terasa kental pada tempat tidur di rumah dan bantal lateks saya yang nyaman. Di pemondokan Aziziah, tempat tidrnya kurang nyaman sehingga pinggang saya sering pegal-pegal.

Saya menatap Mas yang tertidur di bis, di sebelah saya. Mas tampak sehat, tidak batuk sama sekali. Mungkin karena selama ini ia rajin jogging, hampir setiap pagi, sehingga tubuhnya senantiasa fit. Padahal saya juga rajin berenang, namun terserang batuk yang cukup parah. Saya terkenang akan guyonan orang-orang yang baru pulang haji: semua orang pasti akan terkena batuk Mekkah, kecuali onta (dan Mas).

Perjalanan bis yang terseok-seok itu memakan waktu berjam-jam hanya untuk menembus kota. Menjelang tepian kota, bis akhirnya dapat melaju kencang. Kami semua merasa lega. Insya Allah kami tidak ketinggalan pesawat terbang yang membawa kami pulang.

*** Sepanjang perjalanan Mekkah – Jeddah dengan bis itu saya tidak bisa tidur.

Bahkan banyak berfikir. Saudi Arabia adalah sebuah negeri yang – menurut saya – kontroversial dan sulit ditebak. Contohnya, siapa nyana bahwa di tempat yang gersang dan kering kerontang itu terdapat sumber air zamzam yang berlimpah-ruah. Lantas untuk urusan kematian, manusia biasanya tidak mau meninggal di negara lain. Tapi di Saudi Arabia, di tanah yang suci ini, jamaah tidak keberatan untuk meninggal di sini. Bahkan ada yang berharap-harap untuk dapat meninggal dan dikuburkan di Saudi Arabia.

60

Hal yang lain. Negara ini adalah pusat ke-Islam-an, di mana Nabi besar Muhammad menyiarkan agama, di mana kalimah-kalimah Alah diwahyukan, dan dalam bahasa Arab pula. Tetapi di Saudi Arabia ini hampir tidak terdengar adanya universitas Islam yang bagus. Universitas Islam yang tersohor adalah AlAzhar di Kairo, Mesir, yang notabene dahulu adalah tempat musuh Nabi Musa, Fir’aun.

Hal lain lagi. Di negara yang semua Muslim mengarahkan kiblatnya ke sini ini bukankah seharusnya orangnya juga kental agamanya, kuat keiimanannya dan tinggi ketakwaannya? Tapi herannya, banyak terjadi kasus penyiksaan, bahkan perkosaan, terhadap pembantu Indonesia. Apakah para pembantu alias Tenaga Kerja Wanita ini dianggap sebagai budak atau hamba sahaya, seperti banyak dituliskan pada Al Qur’an?

Lantas, satu hal lain yang unpredictable adalah mengenai teknologi modern dan sistematika kerja, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan haji. Barangkali tak ada negara yang mendapat kunjungan jamaah yang lebih banyak dari Saudi Arabia ini. Setiap tahun setidaknya 2-3 juta orang pergi ke tanah suci ini, melaksanakan ritual haji yang rutin, itu-itu saja. Sayangnya pemerintah Saudi Arabia kok rasanya tidak banyak memberi kemudahan bagi jamaah, khususnya yang terkait dengan transportasi. Pengelolaan jamaah ini terkesan jadul (jaman dulu) banget dan gaptek (gagap teknologi).

Seandainya transportasi publik dibuat nyaman di Saudi Arabia, tentulah ibadah menjadi lebih mudah dan lebih khusu’. Banyak jamaah yang bobotnya menurun karena harus berjalan kaki jauh, bahkan terkadang jarak yang jauh ini menghilangkan keinginan ke masjid karena lamanya perjalanan. Naik-turun, lagi, di Mekkah. Kalaulah ada kereta, atau angkot, atau bahkan ojek yang siap mengantar, tentu ibadah menjadi lancar dan tidak melelahkan.

Mina yang luas tetapi jauh dari mana-mana pasti akan sangat enak kalau ada transportasi kereta api. Lantas melempar jumrahnya dengan menggunakan travellator, perlengkapan yang kini banyak tersedia di bandara modern. Sementara ini, kemudahan dan kenyamanan itu hanya terbatas pada angan belaka.

61

EPILOG

Merenung kembali perjalanan haji yang telah berlangsung selama 23 hari ini, saya sering bertanya-tanya: adakah saya telah berubah? Apa makna perjalanan haji ini untuk saya, untuk kami (saya dan Mas)? Saya tanyakan hal ini ke Mas, dan jawabnya adalah bahwa ia merasa lebih dekat dengan saya. Alhamdulilah, kami sudah merasa bersatu dalam jiwa dan pikiran. Kami satu sama lain sudah menjadi sigaring nyawa, belahan nyawa. Sebelum berangkat naik haji, kami sudah saling berjanji untuk tidak “berkelahi” di tanah suci. Kami bersyukur bahwa hal itu tak pernah terjadi, bahkan untuk eker-ekeran pun kami tak sempat.

Setelah selesai melaksanakan “naik” (naik ke mana?) haji, ada kelegaan luar biasa pada diri saya. Rukun Islam yang kelima telah dapat saya laksanakan, tinggal secara kontinyu melanjutkan shalat, zakat dan puasa. Benar kata orang bahwasanya ibadah haji ini tergolong berat dibandingkan yang lain karena setidaknya dibutuhkan kesiapan mental, kepahaman ritual dan tatacara ibadah, kekuatan fisik, ketoleransian kepada sesama jamaah, serta kecukupan uang.

Perjalanan haji adalah perjalanan yang istimewa karena terkait dengan ‘pertemuan’ kita dengan Yang Maha Kuasa. Ritual haji, mulai dari thawaf, sai, wukuf, melontar jumrah, tahalul, mabit, dan seterusnya mungkin terasa aneh dan tidak dapat dipahami, jika kita menggunakan nalar. Tapi itulah perjalanan haji, yang berhubungan dengan peristiwa penting pada ribuan tahun lalu, yang menuntut kesetiaan kita untuk tidak bertanya lagi mengapa kita harus melaksanakannya. Sebab perjalanan haji tidak lagi terkait dengan nalar dan logika. Perjalanan haji ternyata terkait dengan ibadah, keimanan, ketaatan, ketakwaan, kesetiaan dan kepercayaan. Adakah haji saya mabrur, tentu tiada seorang pun yang tahu, karena haji mabrur adalah haji yang diterimaNya. Hanya Dia yang maha tahu.

Saya merasa bahwa saya lebih dekat denganNya selama di tanah suci. Benar kata lantunan Bimbo – “aku jauh, Engkau jauh, aku dekat Engkau dekat”. Saya mencoba mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa selama di tanah suci. Lantas saya merasa bahwa Yang Maha Kuasa ada di dekat saya. Mas sering bertanya – di manakah Dia? Apakah ada di Ar Arsy, seperti tertuang dalam ayat suci? Di manakah Ar Arsy? Bukankah langit kita tiada terbatas? Setelah Bima Sakti (Milky Way) kita, adakah tatanan planet lain dengan bintang berbeda? Itukah langit ke tujuh, yang bahkan tidak terjangkau oleh starship ‘Enterprise’ (Star Trek) yang berkecepatan warp 10 dan memiliki fasilitas tele-transporter?

Lantas, di mana surga dan neraka? Di manakah surga, yang digambarkan sebagai ‘tempat dengan sungai yang mengalir di bawahnya, tersedia anggur yang tidak memabokkan dalam piala indah, ditemani bidadari (tentu ini untuk para lelaki saja, tidak pernah disebut pasangan untuk para perempuan) yang rupawan dan mengenakan sutera hijau? Lagi-lagi jawabannya tidak dapat diperoleh melalui nalar dan logika.

Perjalanan haji ini juga membuat saya banyak berfikir mengenai apa-apa yang dituliskan dalam Al Qur’an. Pikiran saya yang sederhana, awam, pendek dan cupet ini tentu masih jauh dari cukup untuk memahaminya. Namun setidaknya dalam diri saya ada niat untuk lebih memahami kalimah-kalimah Allah itu - mana

62

yang masih relevan, mana yang sudah tidak cocok lagi dengan kondisi masa kini, serta mana yang perlu dibuktikan secara ilmiah.

* * *

Berbagai hal ternyata sangat membantu kenyamanan ibadah ini. Tim Mudatur, khususnya the three musketeers – tiga kakak beradik: Pak Iqbal, Pak Semi dan Pak Sukma, sangat banyak membantu kelancaran ibadah kami. Mereka dibantu oleh Pak Hasyim yang memang bermukim di tanah Arab sana dan mengerti kondisi di setempat, serta Fakhrudin, mahasiswa S2 yang sedang kuliah Islam Fiqih di Tanzania, yang siap berlelah-lelah untuk mengurus kami.

Kalau saya tidak dibantu Pak Sukma, mungkin saja saya tidak jadi naik haji karena paspor saya hilang somewhere di Departemen Agama, dan baru ketahuan sehari sebelum saya berangkat. Kejelian Pak Semi dan Pak Hasyim dalam melihat suasana keramaian dan mencari celah waktu yang kosong untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu, membuat rangkaian ibadah kami menjadi dimudahkan. Terimakasih kepada tim Mudatur yang telah menyelenggarakan ibadah haji ini secara profesional, terbuka, akomodatif dan penuh rasa kekeluargaan.

Hubungan antar anggota jamaah juga memainkan peranan penting. Saya bersyukur bahwa kami semua sangat kompak, saling membantu, saling menghargai dan saling toleransi satu sama lain. Di kelompok lain banyak jamaah yang sempat bertengkar dengan hebat, adu mulut, bahkan saling adu fisik. Kelompok kami aman-aman saja, bahkan banyak guyon antar bapak-bapaknya.

* * *

Mengenang kembali perjalanan haji ini, saya tak habis-habisnya bersyukur. Terlalu banyak berkah, kesempatan dan kemudahan yang telah dilimpahkanNya kepada saya, kepada kami berdua, sehingga perjalanan istimewa bersama Mas ini menjadi teramat menyenangkan.

Sesaat lagi saya akan kembali lagi pada kehidupan duniawi di Indonesia, bergelut lagi dengan rutinitas keseharian dan berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan tugas; mencoba membagi diri dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain (mengingat bahwa saya punya double job pada universitas di Bogor dan pada suatu LSM lingkungan di Jakarta) dan dari peran di kantor ke peran lain sebagai istri, nyonya rumah, dan ibu dari anak-anak kami yang beranjak dewasa di Jakarta dan di Bandung; terkantuk-kantuk pada kemacetan jalan tol dari rumah kami di Sentul menuju Gatot Subroto (nebeng mobil Mas), seraya mengharap-harap segera liburan dan berleha-leha di akhir pekan.

Saya telah dapat membayangkan bahwa saya akan merindukan lagi saat-saat di tanah suci itu. Saat-saat keduniawian ditinggalkan, untuk dapat merasa amat dekat dengan Yang Maha Kuasa.

***

63

suatu waktu kelak – atas perkenan dan ijinNya – saya inginkan untuk menapaki lagi negeri ber-Ka’bah ituseraya merasakan kembaligetar kalbu saat bersimpuh di masjid-masjidnya.

***

14 Januari 2006 Masehi/14 Dzulhijjah 1426 Hijriahsomewhere, forty thousand feet above Andaman Sea

64