daftar isi halaman sampul depan halaman … · peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan...
TRANSCRIPT
i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM …………………...………………………… i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM …..……...… ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI …..……………. iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI …………… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ……………………..…….…….. v
HALAMAN KATA PENGANTAR …………………………….…………... vi
HALAMAN DAFTAR ISI ……………………………………………...….... ix
ABSTRAK ……………………………………………………...….....……… xii
ABSTRACT ……………………………………………………...…………... xiii
BAB I PENDAHULUAN …………….……………….…………..……… 1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ….……………………………………....….. 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ………..…………………………….. 6
1.4 Orisinalitas Penelitian ……..…………………………….……. 6
1.5 Tujuan Penulisan ….………………………………………….. 8
a. Tujuan Umum ……..………………………………………. 8
b. Tujuan Khusus …….………………………………………. 8
1.6 Manfaat Penulisan ..….……………………………………….. 9
a. Manfaat Teoritis ..………………………………………….. 9
ii
b. Manfaat Praktis .….…..……………………………………. 9
1.7 Landasan Teoritis …..………………………………………..... 9
1.8 Metode Penelitian ………………….………………………… 12
1.8.1. Jenis Penelitian ….………………………………...... 12
1.8.2. Jenis Pendekatan …….……………………………… 12
1.8.3. Sifat Penelitan …………….……………………...…. 13
1.8.4. Data dan Sumber Data ………………………………. 13
1.8.5. Teknik Pengumpulan Data …...……...……..………. 14
1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian ………………. 14
1.8.7. Pengolahan Analisis Data ……………………...…… 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN DI KOTA DENPASAR …………. 16
2.1 Dasar Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen . 16
2.2 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen ……..…………………………………………….. 18
2.3 Legal Standing pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 25
2.4 Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …..……… 26
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN PADA BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA
DENPASAR .........................................................…….................. 30
3.1 Pengertian Sengketa Konsumen ……………………………... 30
3.2 Alur Penyelesaian Sengketa melalui BPSK di kota Denpasar .. 33
3.2.1 Konsiliasi ……………………………………………... 41
iii
3.2.2 Mediasi ……………………………………………..… 43
3.2.3 Abitrase ……………………………………………..… 47
3.3 Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada BPSK di
kota Denpasar ……..……………………………...…….……. 52
BAB IV HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA
DENPASAR ……………………….…………………………….. 58
4.1 Hambatan Internal…………………………………………...... 59
4.2 Hambatan Eksternal ………………………………………..… 67
BAB V PENUTUP ……………………...…………………………... 72
5.1 Kesimpulan ………………………………………………….. 72
5.2 Saran ………………………………………………………….. 72
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RINGKASAN SKRIPSI
iv
ABSTRAK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga
khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha, tetapi dalam praktiknya masih banyak mengalami hambatan dalam pengimplementasian UUPK. Adapun rumusan masalah yang dibahas yaitu mengenai bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen pada BPSK di kota Denpasar dan bagaimana hambatan pelaksanaan putusan BPSK di kota Denpasar?
Metode penelitian yang digunakan dalam memperoleh data dari literature di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, Koran, majalah, situs internet dan sebagainya. Sedangkan metode penelitian empiris dilakukan melalui wawancara.
Dari pembahasan yang telah diuraikan diperoleh kesimpulan mengenai pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen pada BPSK di kota Denpasar, hendaknya pemerintah lebih mengupayakan untuk membentuk BPSK di kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPK, lebih mendorong masyarakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya melalui BPSK dan mengupayakan pelatihan-pelatihan terhadap BPSK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan BPSK untuk penegakan hukum konsumen.
Kata Kunci : Sengketa, Peradilan, Badan Penyelesaian Sengketa konsumen
(BPSK), Perlindungan Konsumen.
v
ABSTRACT
Consumer Dispute Resolution Body (BPSK) is a special institution established and regulated in Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection, whose main task is to resolve the dispute or disputes between consumers and businesses, but in practice there are still many obstacles in the implementation of BFL. The formulation of the problem discussed is about how the implementation of consumer dispute resolution in the BPSK in Denpasar and how barriers to the implementation of the decision BPSK in Denpasar?
The method used in obtaining the data from the literature in the library, research journals, newspapers, magazines, internet sites, and so on. While the methods of empirical research conducted through interviews.
From the discussion that has been described is concluded on the implementation of consumer dispute resolution in the BPSK in the city of Denpasar, the government should be seeking to establish BPSK in the district / city as mandated by BFL, it encourages people to submit the settlement of dispute through BPSK and seek training to BPSK in the execution of duties and authority of law enforcement BPSK for consumers. Keywords: Dispute, Justice, Consumer Dispute Settlement Body (BPSK),
Consumer Protection.
vi
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional telah
menghasilkan variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat dikosumsi. Kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut
mendukung perkembangan/perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa
sampai melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak
sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang
dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan
untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
kemampuannya.
Di lain pihak kondisi seperti ini dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, cara penjualan, promosi, serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran akan hak-hak kewajibannya. Kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar, karena itu sangatlah dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.1 Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata
lain hak-hak konsumen sangat rentan. Hal ini disebabkan karena posisi tawar
konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk dilanggar. 2
Demi terwujudnya kepastian hukum ini bertolak dari permasalahan-permasalahan
yang dihadapi bukan hanya oleh konsumen di Indonesia bahkan juga seperti yang
1 Susanti Adi Nugroho, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Susanti Adi Nugroho I), h.1-2.
2 Edmon Makarim dan Abdul Halim Barkatullah, 2010, Perlindungan Konsumen, Grafindo, Jakarta, h.44.
8
dialami oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar
bagaimana konsumen memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu
menyangkut kepada bagaimana menyadarkan kepada semua pihak, baik itu
pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan
konsumen.
Konsumen adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk dilindungi. Melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pemerintah telah mengatur perlindungan tersebut. Namun, sedikit konsumen yang sudah mengetahui dan memahami Undang-Undang itu. Demikian pula dengan penyelesaian sengketa alternatif konsumen melalui mediasi di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.3
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu
meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/jasa kebutuhannya serta mempertahankan
atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia
kebutuhan konsumen tersebut.4
Di Indonesia perdebatan tentang perlu tidaknya intervensi atau campur tangan
pihak pemerintah di bidang perlindungan konsumen juga sangat dirasakan. Menurut
Savigny dan Bentham menyatakan, ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan
hukum yaitu sistem politik yang mengontrol aktivitas hukum (faktor eksternal) dan
kepentingan sosial yang menjadi objek dari pengaturan (faktor internal).5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
selanjutnya disingkat (UUPK) tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud
3 Ni Putu Candra Dewi, I Made Pujiawan, 2013, “Pelaksanaan Mediasi Sengketa Konsumen
Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi Konsumen”,
Kertha Wicara, Vol. 01, No. 04, September 2013, h.1, ojs.unud.ac.id, URL: http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/6808/5142, diakses tanggal 23 Agustus 2016, jam 22:00.
4 Az. Nasution, 2003, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen”, Diadit Media, Jakarta, h.6-7. 5 W. Friedman, 1959, “Law in a Changing Society”, Steven & Son, London, h.7.
9
dengan sengketa konsumen. Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya
ketidak serasian antara pribadi–pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan
hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar. Dalam sengketa
konsumen maka pihak-pihak yang bersengketa adalah konsumen disatu pihak dan
Developer (Pelaku usaha) di pihak lain. Dimana konsumen sebagai
pengguna/pemakain barang/jasa dan Developer (pelaku usaha) sebagai penyedia
barang atau jasa.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan alternatif penyelesaian melalui badan diluar sistem peradilan yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), selain melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen. Dengan demikian jika terjadi sengketa konsumen, konsumen tidak harus berperkara melalui pengadilan saja, tetapi bisa lewat BPSK yang telah ada di Kota / Kabupaten diseluruh Indonesia.6
Lahirnya UUPK bertujuan untuk memberikan perlindungan konsumen di
Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian agar bisa lebih baik dari
sebelumnya. Perhatikan mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di
Indonesia tetapi juga telah menjadi perhatian dunia.7 Untuk mencegah pelaku usaha
terus-menerus berlaku curang, UUPK telah memberikan ruang bagi konsumen untuk
menuntut hak-haknya yang telah dilanggar.
UUPK Pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi
kosumen dan pelaku usaha sama- sama berimbang di mata hukum.
6 Ida Ayu Dwi Weda Astuti, Dewa Gede Rudy, Suatra Putrawan, 2013, “Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Denpasar Dalam Menanggani Pengaduan Dan Penyelesaian Sengketa Konsumen”, Kertha Semaya, Vol. 01, No. 04, Mei 2013, h. 1, ojs.unud.ac.id, URL: http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/5265/4023, diakses tanggal 22 Agustus 2016, jam 19:00.
7 M. Sadar,. et. al., 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta, h.1.
10
Pada awalnya konsumen yang merasa dirugikan karena memakai produk / jasa
pelaku usaha hanya disediakan satu instrumen hukum untuk menuntut hak-haknya
tersebut yaitu konsumen hanya bisa mengajukan gugatannya melalui pengadilan saja,
namun dengan lahirnya UUPK sekarang ini, konsumen telah diberikan instrumen baru
dalam membela hak-hak konsumen yang dilanggar. Di dalam UUPK tersebut telah
disediakan instrumen baru bagi konsumen sebagai media untuk menuntut segala
bentuk kerugian yang dialami konsumen akibat dari memakai/menggunakan produk
pelaku usaha kepada suatu lembaga yang berbentuk sebagai Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen selanjutnya disingkat (BPSK).
BPSK dibentuk, pada dasarnya untuk memberikan keringanan kepada
konsumen dalam menyelesaikan sengketa mereka. Lahirnya BPSK di Kota Denpasar
yang berdiri pada tanggal 17 Maret 2011 ini diharapkan bisa mewujudkan asas
peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Sehingga para
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa bisa mengajukan gugatan melalui
BPSK. BPSK mempunyai tugas dan wewenang yang pada intinya adalah penanganan
dan penyelesaian sengketa melalui mediasi/ arbitrase/ konsiliasi, konsultasi,
pengawasan, melaporkan pada penyidik, menerima pengaduan, meneliti dan
memeriksa sampai kepada menjatuhkan putusan yang bersifat final terhadap sengketa
konsumen ,disini yang di maksud putusan yang bersifat final pada putusan BPSK
yang tidak dapat diajukan banding, kasasi, maupun penjiauan kembali.
Kekuatan putusan BPSK menjadi saat penting untuk diteliti karena pada Pasal
54 Ayat (3) menegaskan bahwa putusan dari Majelis BPSK bersifat final dan
mengikat. Tetapi terdapat hambatan pelaksanaan putusan BPSK yang bersifat final
dan mengikat sehingga tidak diajukan ke pengadilan, tetapi dalam pelaksanaan
putusan mengalami berbagai hambatan. Salah satunya ketentuan Pasal 54 Ayat (3)
11
UUPK, Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 dengan jelas menyebutkan, putusan Majelis BPSK adalah
final dan mengikat, dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan upaya banding,
tetapi dalam Pasal56 Ayat (2) UUPK, masih membuka peluang untuk mengajukan
“keberatan” kepada pengadilan negeri, setelah putusan BPSK diberitahukan. Hal ini
merupakan masalah kepastian hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis akan mencoba untuk mengkaji
tentang Pelaksanaan Putusan BPSK dalam Sengketa Konsumen dan Hambatan apa
yang ada di dalam pelaksanaan putusan sengketa konsumen di Kota Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang dapat diangkat
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen pada BPSK di Kota
Denpasar?
2. Bagaimana hambatan pelaksanaan putusan BPSK di Kota Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Di dalam suatu karya ilmiah perlu kiranya ditentukan secara tegas batasan
materi yang akan dibahas atau diuraikan dalam tulisan tersebut, hal ini dimaksudkan
untuk mencegah agar materi atau isi uraian dalam tulisan ini tidak menyimpang dari
pokok masalah yang diuraikan dalam tulisan ini. Adapun ruang lingkup masalah yang
akan dibahas dalam tulisan ini hanyalah menyangkut masalah mengenai pelaksanaan
putusan penyelesaian sengketa konsumen pada BPSK di Kota Denpasar.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan
di Indonesia, maka diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dalam
12
penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian
terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini akan menampilkan 2
skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan BPSK :
Daftar Penelitian Sejenis
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1. Peran BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa
Konsumen) dalam
Menyelesaikan
Sengketa Konsumen
Melalui Proses Mediasi
di Yogyakarta.
Edwin Kristanto
(mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas
Atma Jaya) Tahun
2014.
1) Bagaimana peran
BPSK dalam
menyelesaikan
Sengketa Konsumen
melalui proses
Mediasi ?
2) Apakah ada
kelebihan dari
Penyelesain
Sengketa Konsumen
melalui proses
Mediasi ?
2. Penyelesaian Sengketa
Konsumen Akibat
Pemakaian alat
Kesehatan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota
Padang.
M. Ichwan
(Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas
Bung Hatta) Tahun
2013
1) Bagaimana bentuk
pelakasanaan
Penyelesaian
Sengketa antara
Konsumen dengan
pelaku usaha oleh
BPSK Kota
Padang ?
13
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
2) Bagaimankah bentuk
pertanggung
jawaban yang
diberikam pelaku
usaha terhadap apa
yang dialami
konsumennya ?
Letak perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sejenis terletak pada
lokasi penelitian yang mana pada penelitian sejenis dilakukan di kota Jogjakarta dan
di kota Padang sedangkan penelitian ini dilakukan di kota Denpasar . Perbedaan
lokasi yang diteliti itu akan mengakibatkan terjadi perbedaan pula terhadap hambatan-
hambatan yang dialami oleh BPSK yang terkait dengan pelaksanaan sengketa
konsumen
1.5 Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di Kota Denpasar.
2. Untuk mengetahui hambatan pelaksanaan putusan BPSK di Kota Denpasar.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk memahami Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di Kota Denpasar.
2. Untuk memahami hambatan pelaksanaan putusan BPSK di Kota Denpasar.
1.6 Manfaat Penulisan
14
Dengan penelitian mengenai “Pelaksanaan Putusan BPSK dalam Sengketa
Konsumen di Kota Denpasar” sebagaimana yang telah disinggung di muka,
diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ke
arah yang lebih baik kepada seluruh masyarakat di Indonesia bahwa untuk masalah
sengketa konsumen yang terjadi maka putusan yang dihasilkan oleh BPSK dapat
memberikan kepastian hukum bagi konsumen.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi para praktisi,
pemerintah, Departeman Perindustrian dan Perdagangan serta para pelaku usaha dan
seluruh masyarakat Indonesia selaku konsumen dari suatu produk barang dan/ atau
jasa sehingga putusan dari BPSK mewujudkan harapan semua pihak, khususnya bagi
para pengguna produk barang/jasa (konsumen).
1.7 Landasan Teoritis
Pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi dan informasi pada abad kedua
puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir
ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi
antara sektor hukum dan masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan. Namun
masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari
efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara.
Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat,
15
bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.8 Terdapat 3 hal berlakunya hukum:
1. Secara filosofis
Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Secara yuridis
Berlakunya hukum secara secara yuridis, Hans kelsen, yang menyatakan bahwa
kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penetuannya berdasarkan kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen.
3. Secara sosiologis
Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya,
kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima
oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima
dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara
sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima
dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum
apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum menurut Soerjono
Soekamto ialah salah satunya dari faktor hukumnya sendiri Hukum berfungsi untuk
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat
abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan
undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika
8 Iin Pratama, 2012, “Efektivitas Hukum”, URL :
http://pratamaiin.blogspot.co.id/2012/12/efektivitas-hukum.html, diakses tanggal 28 februari 2016.
16
melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas
utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja,
Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur
kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka
kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai
intrinsik subjektif dari masing-masing orang.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat (KUHP) yang
perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun
penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat
bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara
tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat
dalam penegakan hukum tersebut. Selain itu dalam permasalahan dalam tulisan ini
tentang efektivitas pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa konsumen pada BPSK
di Kota Denpasar yang terdapat hambatan pelaksanaan putusannya yaitu tentang
ketentuan Pasal 54 Ayat (3) UUPK, Pasal 42 Ayat (1) Keputusan Menteri
Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 dengan jelas
menyebutkan, putusan Majelis BPSK adalah final dan mengikat, dan tidak
dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding, tetapi dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK
masih membuka peluang untuk mengajukan “keberatan” kepada pengadilan negeri,
setelah putusan BPSK diberitahukan. Disini terdapat ketidakefektivitasan hukum
dalam pelaksanaan putusannya dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
1.8 Metode Penelitian
17
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
hukum empiris. Penelitian hukum ini yang memakai sumber data primer, data yang
diperoleh berasal dari eksperimen dan observasi. Adapun maksud penggunaan metode
empiris dalam penelitian ini adalah suatu metode penelitian yang melihat hukum
dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dilingkungan
masyarakat. Disamping itu, lebih relevan dilakukan penelitian lapangan terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.9
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini jenis pendekatan yang digunakan adalah jenis
pendekatan deskriptif analisis, di mana pada penelitian secara umum termasuk pula
didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
1.8.3 Sifat Penelitian
Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi pustaka pada
dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu data
yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistimatis. Selanjutnya
dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik
simpulan deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
1.8.4 Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini berupa data primer, data
sekunder dan data tersier sebagai berikut.
9 Ronny Hartijo Soemitro, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. I. Graha Indonesia, Jakarta, h.
40.
18
1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
melalui wawancara, yaitu memperoleh informasi dengan bertanya langsung
pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwenang,
dalam hal ini orang-orang yang berweanang pada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
2. Data Sekunder data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai
sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat
diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan,
jurnal, dan lain-lain.
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: (a). Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945; (b). Peraturan Dasar: mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c). Peraturan Perundang-undangan; (d). Bahan hukum yang tidak ikodifikasikan, seperti hukum adat: (e). Yurisprudensi; (f). Traktat; (g). Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.10
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum dan seterusnya.
c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari wawancara melalui
informasi Tanya jawab dengan narasumber secra langsung, secara sistematis dan
10 Soerjono Soekanto, 1982, “Tipologi Penelitian Hukum”, URL :
http://pojokhukum.blogspot.co.id/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html?m=1, diakses tanggal 15 januari 2016.
19
berlandaskan ada tujuan penelitian. Teknik wawancara ini digunakan untuk
mengumpulkan data dari informan yang telah ditentukan sebelumnya. Dan dalam hal
ini penulis melakukan wawancara dengan para anggota di Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di Kota Denpasar.
1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Menggunakan teknik Purposive Sampling adalah penarikan sampel yang
dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri
oleh si peneliti, yang mana penunjukan adan pemilihan sampel didasarkan
pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik
tertentu yang merupakan ciri utama dari populasi.
1.8.7 Pengolahan Analisis Data
Pengolahan dan Analisis Data adalah “proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang paling mudah dibaca dan diinterprestasikan. ” Oleh karena itu, setelah
data diperoleh dari instrument penelitian berupa kajian kepustakaan, dan wawancara,
diolah dan dianalisis secara kualitatif tersebut akan dituangkan dalam bentuk
deskriptif melalui prosedur penalaran deduktif.