chapter ii pjk

48
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Penyakit Jantung Koroner PJK adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung (American Heart Association, 2013). PJK juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik (IHD), atau penyakit jantung aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot jantung) (Manitoba Centre for Health Policy, 2013). PJK terjadi ketika zat yang disebut plak menumpuk di arteri yang memasok darah ke jantung (disebut arteri koroner), penumpukan plak dapat menyebabkan angina, kondisi ini menyebabkan nyeri dada dan tidak nyaman karena otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup, seiring waktu, PJK dapat melemahkan otot jantung, hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia (Centers for Disease Control and Prevention, 2009). PJK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung pun memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh tubuh, jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara Universitas Sumatera Utara

Upload: deztine-pravita

Post on 04-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Penyakit Jantung koroner

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II PJK

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Penyakit Jantung Koroner

PJK adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat

menyebabkan serangan jantung (American Heart Association, 2013).

PJK juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik

(IHD), atau penyakit jantung aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak

ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot

jantung) (Manitoba Centre for Health Policy, 2013).

PJK terjadi ketika zat yang disebut plak menumpuk di arteri yang memasok

darah ke jantung (disebut arteri koroner), penumpukan plak dapat menyebabkan

angina, kondisi ini menyebabkan nyeri dada dan tidak nyaman karena otot jantung

tidak mendapatkan darah yang cukup, seiring waktu, PJK dapat melemahkan otot

jantung, hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia (Centers for Disease

Control and Prevention, 2009).

PJK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung

yang disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung

pun memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh

tubuh, jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan

pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan

darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II PJK

kebutuhan dan pasokan zat makanan dan oksigen, makin besar persentase

penyempitan pembuluh koroner makin berkurang aliran darah ke jantung, akibatnya

timbullah nyeri dada (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan& Kesehatan, 2009)

2.2. Anatomi, Fisiologi Jantung dan Arteri Koroner

Sistem kardiovaskular dapat dianggap sebagai sistem transportasi tubuh,

sistem ini memiliki tiga komponen utama yaitu jantung, pembuluh darah dan darah

itu sendiri. Jantung adalah alat pemompa dan pembuluh darah adalah rute

pengiriman, darah dianggap sebagai cairan yang mengandung oksigen dan nutrisi

yang dibutuhkan tubuh dan membawa limbah yang perlu dibuang (Virtual Medical

Centre, 2013).

2.2.1 Struktur dan Fungsi Jantung

2.2.1.1 Struktur Jantung

Jantung adalah otot seukuran kepalan tangan dan berbentuk kerucut dengan

panjang 12 cm, lebar 9 cm dan tebal 6 cm, terletak di antara dua paru-paru di sebelah

kiri dari tengah dada, memiliki empat ruang yaitu atrium kiri, atrium kanan, ventrikel

kiri dan ventrikel kanan (Virtual Medical Centre, 2013).

2.2.1.2 Fungsi

Jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh (Virtual Medical

Centre, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II PJK

2.2.1.3 Arteri Koroner Jantung

Jantung manusia normal memiliki dua arteri koroner mayor yang keluar dari

aorta yaitu right coronary artery dan left main coronary artery, dinamakan koroner

karena bersama dengan cabangnya melingkari jantung seperti crown (mahkota

corona). Arteri koroner meninggalkan aorta lebih kurang ½ inci di atas katup

semilunar aorta, Left main coronary artery bercabang menjadi dua, yaitu left anterior

descendens yang memberikan perdarahan pada area anterior luas ventrikel kiri,

septum ventrikel dan muskulus papillaris anterior, sementara left circumflex

memberikan perdarahan pada area lateral ventrikel kiri dan area right coronary artery

dominan kiri. Right coronary artery memberikan perdarahan pada SA node, AV

node, atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri inferior, ventrikel kiri posterior

dan muskulus papillaris posterior (Kasma, 2011).

2.3. Patogenesis Plak Aterosklerosis

Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu: intima,

media dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang

menyelimuti lumen arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian

dalam sistem vaskular hampir seluas 700 m2 dan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki

berbagai fungsi, diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi

permukaannya dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat prostaglandin

seperti prostasiklin yang merupakan suatu vasodilator poten dan penghambat agregasi

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II PJK

platelet, rusaknya lapisan endotel akan memicu terjadinya aterosklerosis sebagaimana

yang akan dijelaskan dibawah ini.

Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya

aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to

injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai response to

injure hypothesis sebagai berikut:

a. Stage A : Endothelial Injure

Endotelial yang licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah

koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya

lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding

arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan

ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet

adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).

b. Stage B : Fatty Streak Formation

Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang

telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density

Lipoprotein (LDL) dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh

radikal-radikal bebas pada permukaan endotel, lesi ini mulai tumbuh pada masa

kanak-kanak, makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, yang terdiri

dari sel-sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel otot polos dan

makrofag yang mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II PJK

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation

Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan

ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable

fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque (Kasma, 2011).

2.4. Patofisiologi PJK

Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan

kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan

makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke

tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri

koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. Langkah pertama dalam pembentukan

aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat

terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel

meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam

lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam

lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh

darah. Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun,

termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke

area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian

memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area

lesi, menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan

senyawa kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II PJK

mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area

cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial

yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah

putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai

berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit

yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang

meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel

otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima. Selain itu

kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas

lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan

lemak diarteri. Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit

meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh

diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah,

hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan

parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos

sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini

dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi

sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi

iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga

menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses

pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam

laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II PJK

dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot

jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah

kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark (Corwin, 2009).

Patofisiologi PJK

Gambar 2.1. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner

zat masuk arteri

Arteri

Proinflamatori

Permeabelitas

Reaksi inflamasi

Cedera sel endotel

Sel darah putih menempel di arteri

imigrasi keruang interstisial

Aliran darah pembuluh kaku & sempit

Pembentukan Trombus

monosit makrofag

Lapisan lemak

sel otot polos tumbuh

Nyeri

Asam laktat terbentuk

MCI

Kematian

Sumber : Ariesti, 2011.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II PJK

2.5 Gejala PJK

Gejala PJK yang biasanya timbul adalah:

1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan tercekik.

Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher, bahkan

menembus ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering

dirasakan oleh penderita PJK.

2. Sesak nafas

3. Takikardi

4. Jantung berdebar-debar

5. Cemas

6. Gelisah

7. Pusing kepala yang berkepanjangan

8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas

9. Keringat dingin

10. Lemah

11. Pingsan

12. Bertambah berat dengan aktivitas

Tapi kebanyakan orang yang menderita PJK tidak mengalami beberapa gejala

di atas, tiba-tiba saja jantung bermasalah dan dalam kondisi yang kronis (UPT-Balai

Informasi Teknologi lipi, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II PJK

2.6. Klasifikasi PJK

Menurut Braunwald (2001), PJK memiliki beberapa klasifikasi sebagai

berikut:

1. Angina Pektoris Stabil

Angina pektoris stabil adalah keadaan yang ditandai oleh adanya suatu

ketidaknyamanan (jarang digambarkan sebagai nyeri) di dada atau lengan yang

sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan dengan aktivitas fisik atau stres

emosional dan menghilang dalam 5-15 menit dengan istirahat dan atau dengan

obat nitrogliserin sublingual (Yusnidar, 2007). Angina pektoris stabil adalah rasa

nyeri yang timbul karena iskemia miokardium yang merupakan hasil dari

ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen miokard.

Iskemia miokard dapat disebabkan oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri

koroner dan berkurangnya kapasitas oksigen di dalam darah (Aladdini, 2011).

2. Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen

ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut;

a. Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya berakhir

setelah lebih dari 20 menit (jika tidak diberikan nitrogliserin).

b. Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan onset

baru (dalam 1 bulan).

c. Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah lama, atau lebih

sering dari sebelumnya). Pasien dengan ketidaknyamanan iskemik dapat

datang dengan atau tanpa elevasi segmen ST pada EKG (yusnidar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II PJK

Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan

dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan kondisi lebih

kronis dari pada angina stabil. Angina tidak stabil merupakan bagian dari sindrom

koroner akut, dimana tidak ada pelepasan enzim dan biomarker nekrosis miokard.

Angina dari sindrom koroner akut (SKA) cenderung merasa lebih parah dari angina

stabil, dan biasanya tidak berkurang dengan istirahat beberapa menit atau bahkan

dengan tablet nitrogliserin sublingual. SKA menyebabkan iskemia yang mengancam

kelangsungan hidup otot jantung. Kadang-kadang obstruksi menyebabkan SKA

hanya berlangsung selama waktu yang singkat dan tidak ada nekrosis jantung yang

terjadi, SKA memiliki dua dua bentuk gambaran EKG yantu:

1. Infak Otot Jantung tanpa ST Elevasi (Non STEMI)

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang

disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi dan ruptur

plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

Pada non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi

menyeluruh pada lumen arteri koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis

dan patofisiologi yang mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan

keduanya tidak berbeda. Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika pasien dengan

manifestasi klinis angina tidak stabil menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard

berupa peningkatan biomarker jantung.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II PJK

2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (STEMI)

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak

setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya

(Kasma, 2011).

Bagan dibawah 2.2. memperlihatkan suatu reorganisasi manifestasi klinis

infark miokard akut yang sekarang disebut sindroma koroner akut.

Gambar 2.2. Nomenklatur Sindroma Koroner Akut

Sumber : Braunwald. Acute myocardial Infarction. Heart Disease. 2001

2.7. Komplikasi PJK

Adapun komplikasi PJK adalah:

1. Disfungsi ventricular

2. Aritmia pasca STEMI

3. Gangguan hemodinamik

4. Ekstrasistol ventrikel

Sindroma Koroner Akut

Elevasi ST Tanpa Elevasi ST

Infark miokard Angina tak stabil

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II PJK

5. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel

6. Syok kardiogenik

7. Gagal jantung kongestif

8. Perikarditis

9. Kematian mendadak (Karikaturijo, 2010).

2.8. Epidemiologi PJK

PJK merupakan penyakit tidak menular (noncommunacable disease) yang

tidak hanya menyerang laki-laki saja, namun wanita juga berisiko, meskipun

kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur > 65 tahun

ditemukan 20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita (Supriyono, 2008).

Penyakit jantung adalah penyakit negara maju atau negara industri, lebih

tepatnya, penyakit ini disebut sebagai penyakit masyarakat modern, dengan pola

hidup modern. Karena itu penyakit jantung tidak saja monopoli negara maju, tetapi

juga di negara yang sedang berkembang yang menunjukkan kecendrungan

peningkatannya sesuai dengan kecundrungan modernisasi masyarakatnya. Hal ini

disebabkan karena penyebab penyakit jantung berkaitan dengan keadaan dan perilaku

masyarakat maju misalnya tingginya stres, salah makan dan gaya hidup modern

seperti rokok dan minum alkohol yang berlebihan (Bustam, 2007).

Sementara itu PJPD di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia

cenderung meningkat sebagai modernisasi yang meniru gaya hidup negara sudah

berkembang. PJPD pada dasarnya bukanlah penyakit menular yang disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II PJK

suatu organisme tertentu, namun penularan penyakit ini melalui peniruan gaya hidup

sehingga penyakit ini ada yang menyebut sebagai ‘new communicable disease’.

Menurut WHO (1990), kematian karena PJPD adalah sebesar 12 juta jiwa pertahun,

sehingga dianggap sebagai pembunuh nomor satu umat manusia jika dibandingkan

dengan kematian yang disebabkan oleh penyakit lain seperti diare 5 juta jiwa, kanker

4,8 juta jiwa, dan TBC 3 juta jiwa/tahun. Padahal dikatakan bahwa PJPD ini adalah

suatu prevantable disease (penyakit yang dapat dicegah), di mana 50% kematian dini

dapat dicegah dengan upaya-upaya memodifikasi gaya hidup (Bustam, 2007).

Menurut PERKI (2004), PJPD saat ini menempati urutan pertama sebagai

penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga

(SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh departeman kesehatan menunjukkan

bahwa PJPD memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian

pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Muttaqin, 2009).

2.9. Faktor Risiko PJK

Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua

atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable

factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat

dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi

dan DM. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin,

suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II PJK

2.9.1 Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi

2.9.1.1 Keturunan

Fakta menyebutkan bahwa faktor keturunan telah lama dikenal memainkan

peran terhadap kejadian PJK, Sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Kristina

Sundquist dari Pusat Penelitian Perawatan Kesehatan Primer di Malmo (Swedia)

yang diterbitkan dalam American Heart Journal. Penelitian ini dimulai pada tahun

1973 sampai 2008, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah 80.214

responden yang diadopsi pada tahun ≤ 1932. Penelitian ini mengungkapkan bahwa

individu yang memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita PJK

memiliki risiko 40-60% terkena PJK jika dibandingkan dengan anak yang orang

tuanya tidak memiliki riawayat PJK, meskipun kedua orang tua angkatnya menderita

PJK. Kemudian Profesor Sundquist menyimpulkan bahwa hasil penelitian

menunjukkan bahwa risiko PJK tidak ditransfer melalui gaya hidup yang tidak sehat

dalam keluarga, melainkan melalui gen. Akan tetapi bukan berarti gaya hidup

seseorang bukanlah faktor risiko terhadap peningkatan kejadian PJK (Medical New

Today, 2011).

2.9.1.2 Umur

PJK berkembang semakin bertambahnya umur seseorang, Semakin bertambah

usia semakin besar kemungkinan untuk menderita PJK dan menderita serangan

jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko terkena PJK adalah 49% untuk laki-laki

dan 32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81% orang-orang yang meninggal

akibat PJK adalah ≥ 65 tahun. Data statistik ini melaporkan bahwa bertambahnya usia

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II PJK

merupakan faktor risiko yang membuat orang-orang merasa agak tidak berdaya

dalam memerangi PJK (Garko, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delima dkk (2009), dengan

menggunakan studi kasus kontrol dengan tingkat kepercayaan 95% (CI 95%), jumlah

responden 661.165 orang, menyebutkan bahwa risiko menderita penyakit jantung

cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, risiko cenderung meningkat

hingga > 2,2 kali pada kelompok umur > 55 tahun, 2,49 kali pada kelompok umur >

75 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun.

2.9.1.3 Jenis Kelamin

American Heart Association (AHA) (2004), melaporkan bahwa 1 dari 3

wanita dewasa menderita PJPD, sejak tahun 1984 jumlah kematian akibat PJPD pada

perempuan lebih tinggi dari pada pada laki-laki. sekitar tiga juta wanita memiliki

riwayat serangan jantung akibat PJK. 38% wanita yang menderita serangan jantung

akan meninggal lebih awal dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan laki-laki

hanya 25%, meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih tua

daripada laki-laki, perempuan mungkin meninggal dalam beberapa minggu setelah

menderita PJK. Namun 64% dari wanita yang meninggal mendadak akibat PJK tidak

mengalami gejala sebelumnya. Peningkatan kejadian PJK pada wanita itu terjadi

setelah menopause dan kematian 2-3 kali lebih besar daripada wanita sebelum

menopause. Oleh karena itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap

PJK. Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung pertama akibat

PJK adalah usia 65,8 tahun sedangkan usia rata-rata untuk perempuan adalah 70,4

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II PJK

tahun. Risiko PJK meningkat setelah umur > 40 tahun pada laki-laki yaitu 49% dan

perempuan 32%, meskipun kejadian PJK bagi perempuan lebih lambat 10-20 tahun

dari pada laki-laki, namun pada wanita yang lebih serius mengalami serangan jantung

dan kematian mendadak (Garko dan Michael, 2012).

Prevalensi penyakit jantung di Indonesia menunjukkan perempuan lebih

tinggi dari pada laki-laki. Hasil SKRT (2001) menunjukkan prevalensi penyakit

jantung pada populasi semua umur lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki

(4,9% vs 3,4%), hasil SKRT (2004), prevalensi penyakit jantung menurut gejala pada

populasi umur ≥ 15 tahun juga lebih tinggi pada perempuan (2,3% vs 1,3%), Bahkan

hasil penelitian tahun 1985 di masyarakat pedesaan di Kabupaten Semarang berbeda

dengan gambaran di rumah sakit saat itu, ternyata prevalensi penyakit jantung

iskemik pada wanita lebih tinggi dibanding laki-laki (Delima dkk, 2009).

2.9.1.4 Ras/Etnis

Studi statistik menunjukkan bahwa ras/etnis memiliki peran penting terhadap

kejadian PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang

Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia (Inggris)

dan Jepang (Asia Timur). Hal ini terjadi karena orang kulit hitam (terutama Afrika)

memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan

hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK (Garko dan

Michael, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II PJK

2.9.2 Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi

Adapun faktor risiko PJK yang dapat dimodifikasi adalah:

2.9.2.1 Merokok

Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan

serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa

penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan cara

menurunkan level kolesterol HDL (Hight density lifid). Semakin banyak merokok

semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti

merokok selama setahun maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan

jantung (Ramandika, 2012).

Menurut Depkes (2007), Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor

risiko terbesar pada penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001,

jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada

tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The

Global Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang

disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3%)

pelajar biasa merokok dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9% atau 3 diantara

10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. Data

Riskesdas tahun 2007 juga memperlihatkan tingginya prevalensi penduduk yang

merokok. Jumlah perokok aktif umur > 15 tahun adalah 35,4% (65,3% laki-laki dan

5,6% perempuan), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya

lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II PJK

mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Merokok dapat merubah

metabolisme khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu

dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh

yang besar terhadap terjadinya PJK (Arief, 2011).

Menurut laporan WHO (2002), tingkat merokok di Asia pada laki-laki (sekitar

> 40%) jauh lebih tinggi dari pada laki-laki di Barat (30-40%). Sebaliknya, tingkat

merokok di Asia pada perempuan (< 20%) jauh lebih rendah dibandingkan pada

wanita Barat (20-40 %). Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke dan PJK.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Korea dengan

menggunakan metode Prospektive Cohort Study dengan jumlah 648.346 laki-laki

Korea usia ≥10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah

rokok yang dihisap perhari semakin tinggi risiko terjadinya PJK dan penyakit

penyakit lain yang ber hubungan dengan PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II PJK

Gambar 2.3. Hazart Rasio Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah pada Perokok

Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013

Dari gambar diatas maka dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan linier

yang kuat dari peningkatan risiko stroke iskemik, perdarahan subarachnoid dan MI

akibat dari banyaknya jumlah rokok yang dihisap per hari. Namun merokok tidak

berhubungan dengan perdarahan intraserebral. Dalam penelitian APCSC (Asia

Pacific Cohort Studies Collaboration) tahun 2005 dengan desain studi kohort dan CI

95% membandingkan antara perokok dengan bukan perokok, hasil penelitian tersebut

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II PJK

menunjukkan hasil resiko relatif (RR) 1,32 (1,24 -1.40) untuk stroke dan 1,60 (1,49-

1,72) untuk PJK. Ada hubungan dosis-respons yang jelas antara jumlah rokok dihisap

per hari dengan kejadian stroke dan PJK. Untuk mantan perokok, dibandingkan

dengan perokok saat ini dengan hasil RR 0,84 (0,76-0,92) untuk stroke dan 0,71

(0,64-0,78) untuk PJK, jadi dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa berhenti

merokok memiliki manfaat yang jelas (Hata dan Kiyohara, 2013).

Menurut penelitian Supriyono (2008), dengan design kasus kontol, dari hasil

analisisi bivariat menunjukkan bahwa kebiasaan merokok memiliki hubungan yang

signifikan dengan kejadian PJK (p = 0,011), kebiasaan merokok juga berisiko untuk

terjadinya PJK pada usia > 45 tahun sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak

merokok (OR=2,4 ; 95% CI=1,3-4,5).

Penelitian Framingham dalam Anwar (2004), memaparkan bahwa kematian

mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan

perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih tinggi dari pada bukan perokok. Hal

ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan

menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan takikardi,

vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merubah 5-10% Hb menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan

menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Efek merokok ini akan

berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan

hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses

aterosklerosis dari pada yang bukan perokok (Arief, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II PJK

Ringkasnya, merokok merupakan faktor risiko untuk PJK dan stroke (stroke

iskemik) pada orang Asia. Karena tingkat merokok pada orang Asia jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan orang Barat, berhenti merokok sangat penting untuk

pencegahan PJPD di Asia (Hata dan Kiyohara, 2013).

2.9.2.2 Aktivitas Fisik

Aktifitas fisik dianjurkan terhadap setiap orang untuk mempertahankan dan

meningkatkan kesegaran tubuh. Aktifitas fisik berguna untuk melancarkan peredaran

darah dan membakar kalori dalam tubuh (Hermansyah, 2012). Aktivitas fisik secara

teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan

pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan

dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan

secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Namun hampir

separuh penduduk (47,6%) kurang melakukan aktivitas fisik (Riskesdas Sumsel,

2007).

Latihan/olahraga merupakan suatu aktivitas aerobik, yang bermanfaat untuk

meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan jantung, paru,

peredaran darah, otot-otot dan sendi-sendi. Suatu latihan olahraga yang dilakukan

secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tubuh kita. Latihan

fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan

mengubah tingkat kesegaran jasmani. Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko

PJK meskipun hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan (Salim dan Nurrohmah,

2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II PJK

Hasil penelitian Febriani (2011), Hariadi dan Ali (2005), menjelaskan bahwa

orang yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga beresiko lebih besar terkena PJK

daripada orang yang mempunyai kebiasaan olahraga, serta olahraga teratur bisa

mengurangi risiko PJK (Salim dan Nurrohmah, 2013).

Menurut penelitian Salim dan Nurrohmah (2013), di RSUD dr. Moewardi

menyebutkan bahwa responden yang tidak rutin melakukan olah raga berisiko

mengalami kejadian PJK 2.250 lebih besar dibandingkan dengan responden yang

rutin melakukan olah raga.

Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006),

Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan

yaitu:

1. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah

tinggi, DM dan lain-lain

2. Berat badan terkendali

3. Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat

4. Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional

5. Lebih percaya diri

6. Lebih bertenaga dan bugar

7. Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Rizki, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II PJK

Beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:

a. Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja

kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di

halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah

b. Lari ringan/jogging

c. Push-up

d. Naik turun tangga

e. Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)

f. Berkebun

g. Menimba air

h. Berkebun/bercocok tanam

i. Mencangkul

j. Bermain tenis

k. Bermain bulu tangkis

l. Bermain Sepak bola/basket/ volly

m. Senam aerobik

n. Berenang

o. Bersepeda

p. Latihan beban seperti dumble dan modifikasi lain

q. Mendaki gunung

r. Dan lainnya (Rizki, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II PJK

2.9.2.3 Diet

Diet dapat didefenisikan sebagai usaha seseorang dalam mengatur pola makan

dan mengurangi makan untuk mendapatkan berat badan yang ideal.

Diet terbagi 2 yaitu :

1. Diet sehat

2. Diet tidak sehat

Diet tidak sehat terbagi dua macam

a. Makanan Tinggi Lemak

Makan tinggi lemak sangat berhubungan dengan tingginya jumlah kolesterol

dalam darah. Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol

yang tinggi sehingga kadar kolesterol cenderung tinggi, sedangkan orang Jepang

umumnya berupa nasi, sayur-sayuran dan ikan sehingga orang Jepang rata-rata

memiliki kadar kolesterol rendah sehingga prevaleni PJK lebih rendah di Jepang dari

pada Amerika (Malau, 2011).

b. Kurang Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan

Menurut Reine (2005), Sayuran dan buah-buahan merupakan makanan

rendah kalori, kaya serat vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan (Dewi, 2013).

Perilaku makan sehat merupakan perilaku mengkonsumsi beberapa variasi kelompok

makanan yang direkomendasikan yaitu karbohidrat, protein, lemak, Sayuran dan

buah-biahan secara universal (Ogden, 2010). Data frekuensi dan porsi asupan sayuran

dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu

dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II PJK

sayuran dan buah-buahan apabila makan sayur dan atau buah minimal 5 porsi per

hari (400 g) selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila konsumsi

sayuran dan buah-buahan kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan,

penduduk umur > 10 tahun kurang konsumsi sayuran dan buah-buahan sebesar

97,0%. (Riskesdas Sumatera Selatan, 2007).

Riskesdas (2007), menyebutkan bahwa hanya 5,5 % warga Sumatera Utara usia

> 10 tahun yang mengonsumsi Sayuran dan buah yang mengandung serat sesuai

anjuran WHO (Starberita Medan, 2012).

Menurut Almatsier (2004), porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang

dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 150 – 200 gram dan porsi

buah yang dianjurkan sehari untuk dewasa adalah sebanyak 200-300 gram (Gustiara,

2012).

Dalam jangka panjang sedikit konsumsi sayuran dan buah-buahan dapat

menyebabkan penyakit kronis misalnya hipertensi, kanker, PJK, diabetes dan obesitas

(Ogden, 2010). Dalam penelitan studi meta-analisis, yang diterbitkan pada tahun

1992 dan 2004 menunjukkan bahwa konsumsi > 5 porsi buah dan sayuran/hari (>

391 g) menyebabkan 17% penurunan risiko PJK (p < 0,001). kemudian penelitian

serupa yang dilakukan He dkk (2007), dengan menggunakan metode studi meta-

analisis yang diterbitkan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi buah dan

sayuran > 5 porsi/hari akan menyebabkan penurunan risiko PJK sebesar 4% (Produse

for Better Health Foudatian, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II PJK

Sejak studi meta-analisis diatas dipublikasikan maka Nikolic dkk (2008),

melakukan sebuah studi di Serbia dengan menggunakan metode kasus-kontrol yang

terdiri dari 290 responden (67% laki-laki dan 33% perempuan usia 23-79 tahun), dari

hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, subyek yang mengkonsumsi sedikit

sayuran (< 1 cawan per minggu p < 0,01) akan mengalami 3 kali kemungkinan lebih

tinggi terkena PJK jika dibandingkan dengan subjek yang mengkonsumsi lebih dari

satu cawan perhari dan untuk buah/jus buah, studi meta-analisis independen

menunjukkan bahwa orang yang mengkonsumsi sedikit buah/jus buah akan

mengalami 1,78 kali terjadinyan PJK (P < 0,05 , < 0.001) jika dibandingkan dengan

orang yang banyak mengkonsumsi buah/jus buah (>1 porsi perhari) (Produse for

Better Health Foudatian, 2011).

2.9.2.4 Dislipidemia (Kolestrol dalam Darah)

Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK,

kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.

Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh

arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak kemudian

mengalami aterosklerosis (Fuster dkk, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena

abnormal lipoprotein dalam darah, hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL dan

menurunnya HDL (Kumar dkk, 2010).

Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol

yang tinggi, sedangkan di negara-negara Asia, kolesterol total (TC) umumnya lebih

rendah dan kejadian PJK juga rendah. Namun dengan adanya industrialisasi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II PJK

urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol total pada negara-negara Asia

mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir. Misalnya, studi Hisayama di Japan

melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia (total kolesterol [TC] ≥ 5,7

mmol/L) meningkat dari 2,8% menjadi 25,8% pada pria dan dari 6,6% menjadi

41,6% pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan kolesterol di negara-negara

Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan makanan yang berlemak.

Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan informasi tentang

hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang dilakukan oleh Korean

National Health selama 11 tahun yang terdiri dari 787.442 pria dan wanita berusia

30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan peningkatan kejadian stroke

iskemik, MI, stroke hemoragik, seperti pada gambar 2.4.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II PJK

Gambar 2.4. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hyperdislipidemia

Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013.

Gambar diatas menggunakan design meta-analisis study dengan CI 95%,

menjelaskan bahwa peningkatan 1 mmol/L kolesterol maka HR akan menjadi 1,20

(1,16-1,24) untuk stroke iskemik, HR 0,91 (0,87-0,95) untuk stroke hemoragik dan

HR 1,48 (1,43-1,53) untuk infark. Penelitian APCSC dengan design studi kohort

selama 5,5 tahun dengan CI 95%, menjelaskan bahwa adanya hubungan TC

(kolesterol total) dengan kejadian PJPD dan menginformasikan bahwa peningkatan ≥

1 mmol/L akan menyebabkan terjadinya peningkatan risiko PJPD, dengan RR 1,35

(1,26-1,44), stroke iskemik fatal dan stroke iskemik non fatal dengan RR 1,25 (1,13-

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II PJK

1,40), penurunan risiko stroke hemoragik fatal RR 0,80 (0,70-0,92 ) (Hata dan

Kiyohara, 2013).

Penelitan Hisayama di Jepang (2009), menunjukkan bahwa risiko terkena

infark pada otak nonembolic dan PJK megalami peningkatan pada responden dengan

LDL yang tinggi, tetapi tidak ada hubungan yang jelas dengan kejadian stroke

hemoragik. Penelitan arteriosklerosis yang dilakukan di Jepang pada tahun 2010

dengan mengunakan longitudinal cohort study melaporkan bahwa non–highdensity

lipoprotein (non- HDL) lebih dapat dipercaya sebagai prediktor untuk peningkatan

terjadinya MI akut dari pada TC, singkatnya, hiperkolesterolemia umumnya

merupakan faktor risiko untuk penyakit aterosklerotik seperti stroke iskemik dan MI

pada orang Asia. Karena prevalensi hiperkolesterolemia telah meningkat di Asia

selama setengah abad terakhir, oleh karena itu pentingnya manajemen kolesterol

untuk mencegah penyakit aterosklerosis di masa depan (Imamura dkk, 2009).

Menurut Yayasan Jantung Indonesia (2003), kadar kolesterol dikatakan tinggi

apabila kadar kolesterol total ≥ 240 mg/L.

Menurut laboratorium RS Islam Malahayati, kadar kolesterol dikatakan tinggi

apabila :

1. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl.

2. Kadar kolesterol LDL ≥ 160 mg/dl.

3. Kadar kolesterol HDL ≤ 55 mg/dl.

4. Kadar trigliserida > 150 mg/dl.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II PJK

2.9.2.5 Obesitas

Obesitas sudah menjadi sebuah epidemi di negara maju, ukuran objektif

obesitas biasanya dinilai dari nilai IMT, dimana ukuran international untuk obesitas

adalah IMT ≥ 30 kg/m 2, sedangkan untuk ukuran orang Asia obesitas didefinisikan

dengan nilai IMT ≥ 25 kg/m 2 (WHO/IOTF/IASO, 2011). Obesitas memiliki

hubungan yang erat dengan tingginya kejadian PJPD. Obesitas dapat meningkatkan

kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan jantung dan menurunkan kadar HDL

yang bersifat kardioprotektif (Nursalim, 2011). Selain itu, seiring meningkatnya

obesitas, maka hipertensi juga meningkat. Obesitas juga dapat menyebabkan

disfungsi diastolik dan berhubungan dengan memburuknya fungsi sistolik (Artham,

2009).

Berdasarkan data WHO (2008), prevalensi obesitas pada usia dewasa di

Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5% dan pada

perempuan 6,9%. Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk

Indonesia yang obesitas hanya 4,7% (±9,8 juta jiwa).Ternyata hanya dalam 8 tahun,

prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, Sehingga kita perlu

mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya hidup sekarang yang

semakin sedentary (santai dan bermalas-malasan) sebagai akibat dari kemudahan

teknologi. Obesitas merupakan faktor risiko terhadap kejadian PJPD. Kelebihan berat

badan mempengaruhi faktor resiko penyakit kardiovaskular seperti peningkatan level

LDL, trigliserida, tekanan darah, kadar gula darah dan menurunkan kadar HDL serta

meningkatkan resiko perkembangan PJK, gagal jantung, stroke dan aritmia.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II PJK

Mencapai dan menjaga berat badan yang sehat selama hidup merupakan salah satu

faktor utama untuk menurunkan resiko PJPD. (Dinkes Prov Yogyakarta, 2014).

Data dari Framingham (2008), menunjukkan bahwa apabila setiap individu

mempunyai berat badan optimal, maka akan terjadi penurunan kejadian PJK

sebanyak 25% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5%.

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki

sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia (Malau,

2011).

Laporan FAO/WHO/UNU (1985), menyatakan bahwa batasan berat badan

normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di

Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh

(IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang

dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,

maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat

mencapai usia harapan hidup lebih panjang penggunaan IMT berlaku untuk orang

yang berumur > 18 tahun (Lutfah, 2013).

Adapun rumus perhitungan IMT menurut Lutfah (2013) adalah sebagai

berikut:

IMT = Berat Badan (kg)Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)

Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap

PJK, berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan toleransi

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II PJK

glukosa. Pada penelitiannya menunjukkan bahwa penderita yang memiliki IMT >25

lebih banyak yang menderita PJK dari pada kontrol (Arief, 2011).

2.9.2.6 Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang

menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan

darah sistolik normal < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg (Fuster

dkk, 2010). menurut Eighth Joint National Committee (JNC VIII), tekanan darah

dikatakan tinggi apabila tekanan sistolik ≥ 140 dan diastolik ≥ 90 mmHg (Culpeper,

2013).

Menurut penelitian Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi

merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK. Prevalensi

hipertensi pada usia dewasa berjumlah 38,3% di Jepang, 27,7% di Cina, 23,7% di

Taiwan, 21,7% di Thailand, 23,8 % di India Utara (urban) dan 30,7% di India Barat

(daerah perkotaan). Prevalensi hipertensi di Jepang tampaknya lebih tinggi dari pada

di negara-negara Asia lainnya, tetapi sulit untuk membuat akurat perbandingan

karena metode untuk pengumpulan data dan pengukuran tekanan darah yang tidak

standar antara studi memeriksa masalah ini. Dalam hal apapun kita dapat

menyimpulkan secara kasar bahwa seperempat atau sepertiga dari populasi orang

dewasa di Asia memiliki hipertensi. Prehipertensi terbukti menjadi faktor predisposisi

untuk hipertensi di masa depan, dan lebih jauh lagi, sudah ada beberapa studi yang

telah menjelaskan hubungan langsung antara prehipertensi dan risiko PJK. Penelitain

APCSC lebih dari 7 tahun dengan jumlah responden yang cukup besar, mengunakan

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II PJK

studi meta-analisis dari design 44 studi kohort dengan 600.000 responden dari Asia

(Cina, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand) dan

Oceania (Australia dan Selandia Baru) untuk mencari pengaruh tekan darah tinggi

terhadap kejadian stroke dan PJK. Penelitian ini menggunakan kategori tekan darah

normal (TDS (tekanan darah sistolik) < 120 mmHg dan TDD (tekanan darah

diastolik) < 80 mmHg ) , prehipertensi (TDS 120-139 mmHg dan TDD 80-89

mmHg), hipertensi diastolik terisolasi (TDS < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg ),

hipertensi sistolik terisolasi (TDS ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg ) dan hipertensi

sistolik-diastolik (TDS ≥ 140 mmHg dan TTD ≥ 90 mmHg ).

Gambar 2.5. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hipertensi

Sumber : Arima dkk, 2012

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter II PJK

Dari gambar diatas dapat dipahami bahwa hazart rasio (HR) dari multivariabel

dengan CI 95%, maka kejadian PJK adalah 1,41 (1,31-1,53) untuk prehipertensi, 1,81

( 1,61-2,04 ) untuk hipertensi diastolik terisolasi, 2,18 ( 2,00-2,37) untuk hipertensi

sistolik terisolasi dan 3,42 (3,17-3,70) untuk hipertensi sistolik-diastolik jika

dibandingkan dengan tekanan darah yang normal. Dalam analisis yang lain, keadaan

prehipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan terjadinya peningkatan

PJPD seperti stroke iskemik, stroke hemoragik dan PJK. Hisayama Study (2012)

melakukan penelitian dengan design cohort study selama 19 tahun yang dimulai pada

tahun 1988 dengan total responden 2.634 usia ≥ 40 tahun menggunakan standar JNC7

untuk klasifikasi tekanan darah dengan CI 95%, melaporkan bahwa adanya hubungan

antara tingkatan tekanan darah dengan kejadian PJPD dengan hasil RR 1,58 (1,11–

2,26) untuk penderita prehipertensi, 1,70 (1,18–2,44) pada responden yang memiliki

tekanan darah prehipertensi, 1,93 kali (1,37–2,72) pada responden yang menderita

hipertensi derajat satu, 2,78 (1,93–4,01) pada responden yang menderita hipertensi

derajat dua jika dibandingkan dengan responden yang tidak menderita hipertensi,

setelah dilakukan standarisari dari faktor perancu. Hipertensi lebih sering

megakibatkan stroke hemoragik dari pada stroke iskemik dan PJK. Temuan ini

menunjukkan bahwa tidak hanya hipertensi tetapi juga prehipertensi merupakan

faktor risiko penting untuk PJPD di Asia. Untuk itu modifikasi gaya hidup seperti diet

rendah garam, latihan fisik dan berhenti merokok dianjurkan untuk mengurangi

prevalensi prehipertensi dan hipertensi dimasa yang akan datang (Hata dan Kiyohara,

2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter II PJK

2.9.2.7 Diabetes Melitus

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan

penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT)

dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sehingga dapat ditentukan langkah yang

tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara

menuju DM, Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang

menjadi DM, 1/3 tetap dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT seringkali

berhubungan dengan resistensi insulin, pada kelompok TGT ini resiko terjadinya

aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT seringkali berkaitan

dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring

dapat dilakukan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) atau kadar glukosa

darah puasa (GDP) dengan puasa paling sedikit 8 jam, kemudian dapat diikuti dengan

tes toleransi glukosa oral (TTGO) stándar setelah pemberian glukosa 75 gr pada

orang dewasa atau 1,75 gr/kgBB untuk anak-anak, kemudian diperiksa kadar glukosa

darahnya setelah 2 jam pemberian glukosa (Gustaviani, 2006).

Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan

aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat

penyakit arterial. Pada satu penelitian Helsinki policeman study, menjelaskan bahwa

angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal.

Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan abnormalitas metabolisme

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter II PJK

lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis dan advanced glycation endproducts

(AGE) yang menggambarkan metabolisme abnormal pada DM yang berdampak pada

injuri endotelium (Ramandika, 2012).

Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit

pembuluh darah (Malau,2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa laki-

laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada

orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian

Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan

kejadian PJK (Arif, 2011).

Menurut data APCSC yang representatif (2007), prevalensi DM 2,6% di China,

3,1% di Mongolia, 4,3% di India, 5,1% di Taiwan, 6,4% di Filipina, 6,9% di

Malaysia, 5,7% di Indonesia, 8,2% di Singapura, 9,6% di Thailand, 9,7% di Hong

Kong dan 10,5% di Korea Selatan. Dalam penelitian Hisayama Study pada penduduk

Jepang dengan total 2.421 responden yang diikuti selama selama 14 tahun untuk

memperkirakan hubungan antara status toleransi glukosa dengan kejadian

peningkatan PJPD. Dalam penelitian tersebut, Status toleransi glukosa ditentukan

dengan kriteria WHO tahun 1998, yaitu:

1. Toleransi glukosa normal (puasa glukosa < 6.1 mmol/L dan 2 jam setelah makan <

7,8 mmol/L)

2. Gangguan glikemia puasa (6,1-6,9 mmol/L dan 2 jam setelah makan > 7,8

mmol/L)

3. Toleransi glukosa puasa terganggu < 7,0 mmol/L dan 2 hpg 7,8-11,0 mmol/L)

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter II PJK

4. Diabetes ≥ 7,0 mmol/L dan atau 2 HPG ≥ 11,0 mmol/L), Seperti ditunjukkan

dalam gambar 2.6

Gambar 2.6. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Diabetes Melitus

Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013

Menurut penelitian APCSC diikuti selama 5,4 tahun untuk mencari hubungan

antara DM dengan kejadian PJPD, status DM masing-masing peserta ditentukan

berdasarkan riwayat medis dengan menggunakan CI 95% maka nilai RR 2.02 (1,57-

2,59) untuk stroke fatal, 2.19 (1,81-2,66 ) untuk PJK Fatal, 2,09 (1,65-2,64) untuk

total (fatal dan nonfatal ) stroke dan 1,73 ( 1,34-2,22 ) untuk total PJK. Untuk semua

hasil adalah sama pada populasi Asia baik yang pesisir maupun non-pesisir.

Singkatnya, diabetes merupakan faktor risiko penting untuk stroke dan PJK pada

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter II PJK

populasi Asia. Penelitian APCSC menunjukkan bahwa hiperglikemia berhubungan

dengan peningkatan risiko PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).

2.10. Pencegahan PJK

Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis

semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari

penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk

berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari

pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun

terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik

setelah menderita serangan jantung (Martohusodo, 2007).

Penanggulanagan PJK baik dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain

belum memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah

yang paling penting untuk menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi

Pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha

menjaga agar orang tidak menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai

sejak dini, yaitu pada masa remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty

streat atau proses awal aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan

Pencegahan sekunder adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan

jantung dengan segala komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK.

Berhubung aterosklerosis pada arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko

seperti stres, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter II PJK

dengan mengubah gaya hidup yang meterialistis, konsumtif dan hedonistis (Kabo,

2008).

Dalam pencegahan PJK ada 4 tingkatan yaitu:

2.10.1 Pencegahan Primordial (Pre Primary Prevention)

Pencegahan primordial adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah

munculnya faktor predisposisi PJK pada suatu wilayah dimana belum tampak adanya

faktor yang menjadi risiko PJK (Bustam, 2007). Dalam Noor (1997), Upaya

pencegahan primordial dapat berupa kebijaksanaan nutrisi nasional dalam sektor

agrokultural, industri makanan, impor dan ekspor makanan, penanganan konprehensif

rokok, pencegahan hipertensi dan promosi aktivitas fisik/olah raga (Nasution, 2012).

2.10.2 Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan PJK sebelum seseorang

menderita. Dilakukan dengan pendekatan komuniti berupa penyuluh faktor risiko

PJK terutama pada kelompok risiko tinggi. Pencegahan primer ditujukan kepada

pencegahan terhadap berkembangnya proses atherosklerosis secara dini (Bustam,

2007).

Untuk mencegah berkembangnya atherosklerosis maka ada hal yang harus

dilakukan yaitu:

1. Diet

Adapun metode diet yang benar adalah:

a. Baca label makanan dan minuman yang dibeli untuk menentukan pilihan

yang terbaik

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter II PJK

b. Minimalisir asupan makanan dan minuman yang menggunakan pemanis

tambahan

b. Batasi porsi makan

c. Pilih produk-produk non-fat

d. Kurangi penggunaan garam dalam makanan dan hindari makanan yang asin,

konsumsi makanan tinggi serat dan kaya antioksidan

e. Tingkatkan konsumsi kacang kedelai, kacang-kacangan, ikan Salmon,

alpukat, bawang putih, bayam, margarin dari minyak biji bunga kanola dan

teh

f. Konsumsi ikan sedikitnya dua kali seminggu.

2. Pola hidup sehat

1. Berolah raga secara teratur

2. Menjaga berat badan yang sehat

3. Mengurang jumlah alkohol

4. Hindari merokok dan asap rokok (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan

dan Kesehatan, 2009).

2.10.3 Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan pada penderita yang sudah

tekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini diperlukan perubahan

pola hidup (terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan) dan kepatuhan berobat

bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan tingkat ketiga ini ditujukan

untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter II PJK

(Bustam, 2007). Untuk menghindari terjadinya penyakit yang lebih parah atau

komplikasi yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan penegakan diagnosa dengan

cepat dan tepat seperti:

2.10.3.1 Riwayat/Anamnesis

Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat, tepat dan

didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG

(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada atau rasa

tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA.

Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:

1. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial

2. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti

ditusuk, rasa diperas dan dipelintir

3. Penjalaran ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula dan

dapat juga ke lengan kanan

4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat

5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan

6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan lemas.

Berat ringannya nyeri bervariasi sehingga sulit untuk membedakan antara gejala

APTS/NSTEMI dan STEMI.

Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut,

gejala yang tidak tipikal seperti: rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak

nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita,

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter II PJK

penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien

dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi

kesalahan diagnosis (Departemen Kesehatan, 2006)

Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum Penderita PJK

No. Patogenesis Penamplian klinis 1 Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus,

biasanya lebih dari 20 menit

2 Angina pertama kali Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III

3 Angina yang meningkat

Angina semakin lama makin sering, semakin lama dan lebih mudah tercetus

Sumber : Departemen Kesehatan, 2006

2.10.3.2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus

dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak terkontrol,

anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi

lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan

gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit

vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan penderita PJK

(Depkes, 2006).

2.10.3.3 Pameriksaan Penunjang/Pemeriksaan Diagnostik PJK

Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan

penunjaung diantaranya:

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Chapter II PJK

a. EKG

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan

saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.

Gambaran diagnosis dari EKG adalah :

1. Depresi segmen ST > 0,05 mV

2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris

di sandapan prekordial.

Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia

jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya

perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan

diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat

mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi

lebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori:

1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi

gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai

gelombang Q

2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam (Kulick,

2014).

b. Chest X-Ray (foto dada)

Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF (gagal jantung

kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014).

c. Latihan tes stres jantung (treadmill)

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Chapter II PJK

Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan

untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama

jantung, dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami

penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST

pada hasil rekaman (Kulick, 2014).

d. Ekokardiogram

Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar

jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari

dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang

bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima

terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo

Clinik, 2012).

e. Kateterisasi jantung atau angiografi

Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal dengan

memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh

darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi

jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal

sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk

mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu

kelainan (Mayo Clinik, 2012).

f. CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Chapter II PJK

Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner adalah

pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan

arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama

CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut

sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito

lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium

ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinik, 2012).

g. Magnetic resonance angiography (MRA)

Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan

penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya

penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas

pemeriksaan kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012).

h. Pemeriksaan biokimia jantung (profil jantung)

Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai

prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan

dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama

dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai

prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard

dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar serum creatinine kinase (CK)

dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard, risiko yang

lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST namun mengalami peningkatan

nilai CKMB (Depkes, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Chapter II PJK

2.10.4 Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

komplikasi yang lebih berat atau kematian. Pencegahan dalam tingkatan ini berupa

rehabilitasi jantung, program rehabilitasi jantung ditujukan kepada penderita PJK,

atau pernah mengalami serangan jantung atau pasca operasi jantung (Bustam, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Chapter II PJK

2.11 Kerangka Teori Penelitian

Gambar 2.7. Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Hikmawati,2011

Riwayat PJK Keluarga

Obesitas

Hipertensi

Diabetes melitus

Keadaan sosioekonomi

Gaya hidup

Kolesterol total >200 mg/dl

Kolesterol <50 mg/dl

Inaktivitas fisik

Pola diet tak sehat

Kolesterol LDL >130 mg/dl

Rasio kolesterol total HDL >5

Trigliserida ≥150 mg/dl

Dislipidemia

Riwayat pengguna kontrasepsi oral

Penyakit Jantung Koroner

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Chapter II PJK

2.12 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan

bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis

beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah, kerangka konsep membahas

saling ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi

dinamika situasi atau hal sedang atau akan diteliti (Hidayat, 2009).

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini.

Faktor Risiko

Gambar 2.8. Kerangka Konsep

A. Faktor yang Dapat Dimodifikasi 1. Merokok 2. Aktivitas fisik 3. Diet 4. Dislipidemia 5. Obesitas 6. Hipertensi 7. Diabates Melitus

B. Faktor yang tidak Dapat Dimodifikasi 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Ras 4. Riwayat keluarga/ keturunan

Penyakit Jantung Koroner

Universitas Sumatera Utara