chapter ii a

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 INDEKS MASSA TUBUH (IMT) Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan berlebih akan meningkatkan risiko terhadap penyakit degenerative. Oleh sebab itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang (Depkes RI, 2000). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat komplikasi medis. IMT mempunyai keunggulan utama yakni menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bias digunakan dalam penelitian berskala besar (Rippe et al., 2001). Pengukuran indeks massa tubuh hanya membutuhkan dua hal yaitu berat badan dan tinggi badan dengan perhitungan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m 2 ), yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang dengan sedikit latihan. Keterbatasannya adalah membutuhkan penilaian lain bila dipergunakan secara individual (Egger et al., 1996) Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. IMT juga tidak bisa mengidentifikasi distribusi lemak tubuh. Sehingga beberapa penelitian menyatakan bahwa standar cut off point untuk mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak menggambarkan risiko yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada semua rasa tau kelompok etnis (NIH, 2004). Kriteria status gizi pada orang dewasa di kawasan Asia menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 dibagi dalam beberapa kelompok IMT. IMT di bawah 18,5 dikategorikan underweight, sedangkan IMT lebih dari Universitas Sumatera Utara

Upload: suci-wulandari

Post on 24-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INDEKS MASSA TUBUH (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana

untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan

kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan

risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan berlebih akan

meningkatkan risiko terhadap penyakit degenerative. Oleh sebab itu,

mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai

usia harapan hidup yang lebih panjang (Depkes RI, 2000).

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara termudah untuk memperkirakan

obesitas serta berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga penting

untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat

komplikasi medis. IMT mempunyai keunggulan utama yakni menggambarkan

lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bias digunakan dalam penelitian

berskala besar (Rippe et al., 2001).

Pengukuran indeks massa tubuh hanya membutuhkan dua hal yaitu berat

badan dan tinggi badan dengan perhitungan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi

badan kuadrat (m2), yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang

dengan sedikit latihan. Keterbatasannya adalah membutuhkan penilaian lain bila

dipergunakan secara individual (Egger et al., 1996)

Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang

berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. IMT juga tidak bisa

mengidentifikasi distribusi lemak tubuh. Sehingga beberapa penelitian

menyatakan bahwa standar cut off point untuk mendefinisikan obesitas

berdasarkan IMT mungkin tidak menggambarkan risiko yang sama untuk

konsekuensi kesehatan pada semua rasa tau kelompok etnis (NIH, 2004).

Kriteria status gizi pada orang dewasa di kawasan Asia menurut World

Health Organization (WHO) pada tahun 2000 dibagi dalam beberapa kelompok

IMT. IMT di bawah 18,5 dikategorikan underweight, sedangkan IMT lebih dari

Universitas Sumatera Utara

23 sebagai berat badan berlebih overweight, dan IMT melebihi 25 sebagai

obesitas. IMT yang ideal bagi orang dewasa adalah diantara 18,5 sampai 22,9.

Obesitas dikategorikan pada dua tingkat: tingkat I (25-29,9) dan tingkat II (≥30).

Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Berdasarkan Kriteria WHO 2000

Kategori IMT Asia (kg/m2)

Underweight <18,5

Normoweight 18,5 – 22,9

Overweight ≥ 23

Pre-obese 23,0 – 24,9

Obese I 25,0 – 29,9

Obese II ≥ 30,0

Sumber: Bickley, 2007

2.2 LINGKAR LEHER

Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah

untuk skreening individu dengan obesitas (Liubov et al., 2001). Lingkar leher

sebagai indeks untuk obesitas tubuh bagian atas merupakan salah satu prediktor

terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sjostrom et al., 2001). The North Association

for The Study of Obesity menyatakan bahwa dari uji statistic, koefisien korelasi

pearson menunjukkan hubungan erat antara lingkar leher dengan IMT (laki-laki,

r=0,83; perempuan r=0,71; masing-masing, p<0,0001 dan lingkar pinggang (laki-

laki, r=0,86; perempuan, r=0,56; masing-masing p<0,0001).

Lingkar leher ≥37 cm untuk laki-laki dan ≥34 cm untuk wanita

merupakan cutt of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan

IMT ≥25 kg/m2, lingkar leher ≥39,5 cm untuk laki-laki dan ≥36,5 cm untuk

wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan

obesitas (IMT ≥30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok

yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher memiliki

sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk

perempuan (Liubov et al., 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.3 FISIOLOGI TIDUR

Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan

serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat

atau dikurangi. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada

keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respon terhadap rangsangan

eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsangan

visual, auditori dan rangsangan lingkungan lainnya (Arifin et al., 2010).

Sampai saat ini sistem klasifikasi untuk tingkatan tidur yang diterima

adalah usulan dari Rechtschaffen dan Kales yaitu dengan pemeriksaan

electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), dan electromyogram

(EMG). Terdapat dua jenis tidur, yang ditandai oleh pola EEG yang berlainan dan

perilaku yang berbeda: tidur gelombang lambat dengan gerakan mata tidak cepat

(NREM; Non Rapid Eye Movement), dikenal juga sebagai tidur “S”, sinkron atau

ortodoks dan tidur paradoksikal dengan gerakan mata cepat (REM; Rapid Eye

Movement), dikenal juga sebagai tidur “D” atau desinkronisasi (Atmadja, 2002;

Sherwood, 2001).

Pada orang normal tidur NREM merupakan keadaan yang relatif terjaga.

Kecepatan denyut jantung biasanya lebih lambat 5-10 denyut setiap menit dari

tingkat terjaga penuh dan teratur, begitu juga dengan respirasi. Tekanan darah

juga cendrung rendah, dengan sedikit variasi dari menit ke menit. Fase REM

ditandai oleh atonia otot dan gerakan cepat dari mata, peningkatan denyut jantung,

peningkatan laju pernafasan, dan peningkatan tekanan darah yang berfluktuasi

secara luas (Kaplan et al., 2010).

Fase tidur pada manusia (Czeisler et al., 1995):

1. Fase NREM, dibagi menjadi empat stadium:

a. Stadium 1

Merupakan transisi dari bangun dan ditandai oleh hilangnya pola alfa

reguler dan munculnya amplitudo rendah, pola frekuensi campuran,

terutama rentan teta (2-7 Hz) dan gerakan mata berputar lambat.

b. Stadium 2

Universitas Sumatera Utara

Ditetapkan melalui kejadian kompleks K dan kumparan tidur yang

tumpang tindih pada aktivitas latar belakang yang serupa dengan stadium

1. Kompleks K adalah “discharge” negative (upward), amplitude tinggi,

lambat dan diikuti segera dengan defleksi positif (downward). Rangakain

tidur merupakan “discharge” frekuensi tinggi (12-14 Hz) yang

berlangsung 0,5-2 detik dengan amplitudo menyusut-bertambah. Aktivitas

gerakan mata cepat tidak ada, dan EMG serupa dengan stadium 1.

c. Stadium 3

Merupakan delta tidur sekitar 20% tetapi kurang dari 50% aktivitas delta

amplitudo tinggi (375µV) delta (0,5-2 Hz). Kumparan tidur tetap ada,

aktivitas gerakan mata tidak ada, dan aktivitas EMG menetap pada kadar

rendah.

d. Stadium 4

Pola stadium 3 EEG lambat, voltase tinggi terganggu sekitar 50%

rekaman. NREM stadium 3 dan 4 disebut sebagai (secara kolektif) tidur

“dalam”, “delta”, atau “gelombang lambat”.

2. Fase REM

Tidur REM ditandai oleh EEG frekuensi campuran, amplitudo rendah yang

serupa dengan NREM stadium 1. Ledakan aktivitas 3-5 Hz dengan defleksi

negatif tajam sering bertumpang tindih pada pola ini. EOG memperlihatkan

ledakan REM serupa dengan yang terlihat selama bangun mata terbuka.

Aktivitas EMG tidak ada, yang merefleksikan atonia otot diperantarai batang

otak lengkap yang karakteristik untuk keadaan ini.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1: Stadium tidur manusia (Czeisler et al., 1995).

Tidur nokturnal normal pada dewasa muda umunya konstan. Setelah

awitan tidur biasanya diawali dengan fase NREM stadium 1-4 dalam 45-60 menit.

Tidur gelombang lambat menonjol pada sepertiga malam pertama dan terdiri dari

15-26% waktu tidur nokturnal total pada orang dewasa muda. Setelah episode

tidur gelombang lambat pertama, perkembangan stadium NREM berbalik; tidur

REM pertama terjadi setelah 80 menit onset tidur dan latensi REM memendek

seiring bertambahnya usia (Czeisler et al., 1995).

Seseorang secara klinis mengalami kedua jenis tidur berganti-ganti

sepanjang malam. Dengan memanjangnya periode tidur, bagian setiap siklus

terdiri dari penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM yang meningkat.

Universitas Sumatera Utara

Keseluruhan, tidur REM adalah 20-25% tidur total, stadium NREM (1 dan 2)

adalah 50-60% pada dewasa muda. Bayi mengahabiskan waktunya jauh lebih

banyak pada tidur REM. Sebaliknya, pada orang usia lanjut tidur REM dan

gelombang lambat stadium 4 berkurang (Sherwood, 2001).

2.4 SISTEM RESPIRASI SAAT TIDUR

Saat ini diketahui bahwa pada keadaan tidur tubuh tidak seluruhnya

beristirahat tetapi terdapat aktivitas pada fase-fase tidur. Sistem respirasi,

esophagus, kardiovaskular dan fisiologi otak menunjukkan perubahan selama

tidur. Pada orang normal sistem respirasi akan menurun selama tidur yaitu terjadi

hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernafasan dan ventilasi semenit akan menurun

selama tidur NREM dan pada umumnya bertamabah cepat, dangkal, dan tak

menentu pada tidur REM (Arifin et al., 2010).

Otot faring bertanggung jawab untuk menjaga patensi jalan nafas saat

bernafas. Saraf yang mengontrol otot-otot ini berasal dari daerah yang sama dari

batang otak yang juga bertanggung jawab untuk mengendalikan otot-otot

diafragma dan interkostal. Oleh sebab itu, otot-otot saluran pernafasan bagian atas

bekerja seirama dengan pernafasan. Selama terjaga, otot ini memiliki tingkatan

aktivitas tonus yang tinggi (Lapinsky et al., 1997).

Penurunan fungsi respirasi selama tidur disebabkan karena kolapsnya

sebagian saluran nafas atas yang disertai penurunan tonus otot interkostal dan

genioglosus. Penurunan refleks batuk dan bersihan mukosilier selama kedua fase

tidur akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh

terhadap orang normal tetapi merupakan merupakan keadaan yang darurat

mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan

respirasi lain. Kontrol pernafasan selama tidur REM bukan melalui refleks vagal

seperti pada fase terjaga dan pada tidur NREM. Fase REM dianggap berasal dari

penghambatan homeostatic feedback regulation hypothalamus (Arifin et al.,

2010).

Kecepatan pernafasan dan ventilasi per menit menurun selama tidur

NREM dan menjadi bervariasi selama tidur REM. Respon ventilasi terhadap

Universitas Sumatera Utara

karbondioksida melemah selama tidur NREM, yang menyebabkan PCO2 lebih

tinggi. Selama tidur REM, respon ventilasi terhadap hiperkapnea dan hipoksia

memperlihatkan variabilitas yang nyata. Otot pernafasan yang bertanggung jawab

untuk kelatenan jalan udara atas menjadi hipotonik sepanjang tidur dan selama

tidur REM, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi jalan nafas.

Selain itu, refleks batuk berubah atau tidak ada selama tidur. Perubahan fungsi

respiratori ini mungkin relevan terhadap patogenesis OSA (Czeisler et al., 1995).

Saat mulai tidur gambaran EEG terlihat perlambatan gelombang serta

penurunan ventilasi semenit. Pada pasien dengan obstructive Sleep Apnea (OSA)

penurunan atau penghentian aliran udara disebabkan oleh kolaps jalan nafas atas

yang progresif dan menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin serta terjadi

stimulasi kemoreseptor perifer carotid bodies. Stimulasi kemorefleks terjadi

melalui sistem saraf pusat sehingga meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis

yang ditandai dengan lonjakan microneurographic. Saat terbangun dari tidur,

ventilasi dan saturasi oksihemoglobin akan kembali normal serta terjadi hambatan

terhadap aktivitas sistem saraf simpatis oleh aferen yang berasal dari

mekanoreseptor toraks yang bersinaps pada batang otak (Arifin et al., 2010).

2.5 MENDENGKUR

Mendengkur (snoring) merupakan suara gaduh dari pernafasan yang

terjadi selama proses tidur, akibat getaran yang dihasilkan oleh dinding orofaring.

Hal ini merupakan salah satu gejala dari suatu kelainan pada saluran pernafasan

bagian atas yang memiliki tingkatan keparahan. Bentuk yang paling ringan

biasanya terjadi sesekali dan sering disebabkan karena posisi tidur terlentang,

sedangkan mendengkur yang lebih berat biasanya terjadi setiap malam dan bisa

saja berkaitan dengan obstructive apnea (Lapinsky et al., 1997). Ketika tidur,

pernafasan akan melambat, otot-otot pernafasan akan rileks, dan saluran nafas

akan menyempit, tetapi proses inspirasi dan ekspirasi terus berlangsung yang

menyebabkan bergetarnya dinding orofaring dan menimbulkan bunyi (Eipstein et

al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu survei epidemiologi di Republik San Marino (Italia Utara)

terhadap hapir 6000 orang, dilaporkan bahwa 40% pria dan 28% wanita

mendengkur dengan prevalensi meningkat hingga dekade ketujuh. Dalam

penelitian ini, lebih dari 60% pria dan 40% dari wanita yang berusia di atas 60

tahun dilaporkan mendengkur. Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi sedikit

penurunan prevalensi dengan meningkatnya usia lebih dari 60 tahun. Studi pada

wanita setengah baya menunjukkan prevalensi mendengkur sebesar 23% pada

kelompok usia muda (40-44 tahun) dan meningkat menjadi 40% pada usia 50-59

tahun (Lapinsky et al., 1997).

2.5.1 Faktor anatomi

Segala sesuatu yang menyebabkan penyempitan saluran nafas akan

menimbulkan snoring. Beberapa pasien obstruksi jalan napas dikarenakan rahang

kecil sehingga menghasilkan ruangan yang tidak cukup untuk lidah. Kelainan

anatomi ini mengurangi luas penampang saluran udara bagian atas. Penurunan

tonus otot saluran napas selama tidur dan penarikan oleh gaya gravitasi pada

posisi terlentang akan mempersempit saluran nasaf, sehingga menghambat aliran

udara selama respirasi (Victor, 1999).

Suara mendengkur secara langsung berkaitan dengan getaran jaringan di

orofaring. Jaringan tersebut antara lain mukosa dan otot-otot yang mendasari

langit-langit lunak dan uvula, mukosa dan otot-otot yang mendasari pilar anterior

dan posterior tonsil, tonsil itu sendiri dan mukosa hipofaring (Eipstein et al.,

2007).

Setiap faktor anatomis yang mempengaruhi resistensi aliran udara dapat

memiliki efek sekunder pada mendengkur. Secara khusus, ketidakseimbangan

proporsi orofaring dengan lidah yang besar dapat memberikan kontribusi

peningkatan resistensi saluran nafas. Struktur berdekatan yang menyebabkan

perubahan aliran udara seperti: deviasi septum hidung, polip hidung, massa

nasofaring dan lainnya (Lapinsky et al., 1997).

Obstruksi jalan nafas dapat terjadi dalam berbagai bidang orofaring,

nasofaring dan hipofaring. Walaupun kontribusi polip hidung dan deviasi septum

Universitas Sumatera Utara

untuk apnea tidur obstruktif masih kontroversial, beberapa peneliti percaya bahwa

sumbatan hidung parsial atau total dapat menyebabkan hipopnea dan apnea

(Victor, 1999).

Penyempitan saluran pernafasan saat tidur dapat terjadi secara sederhana

(simple snoring) maupun lengkap (complete). Selama penyempitan yang terjadi

tidak mengancam nyawa, simple snoring tidak membutuhkan penanganan yang

khusus, hanya saja suara dengkuran yang terjadi dapat mengganggu orang lain

yang tidur di sebelahnya. Penyempitan komplit yang dikenal dengan Obstructive

Sleep Apnea (OSA) dapat menimbulkan efek yang cukup serius bagi kesehatan

dan kualitas hidup seseorang (Eipstein et al., 2007).

Gambar 2.2: saluran napas normal.

Panjang dan ukuran total langit-langit

lunak dan uvula normal. Lidah normal

dalam ukuran dan sudut ke depan.

Ukuran dan kontur saluran udara

bagian atas di tingkat orofaring,

nasofaring dan hipofaring adalah

normal (Victor, 1999).

Gambar 2.3 : Abnormal saluran napas

selama tidur. Beberapa tempat

obstruksi sering terjadi pada pasien

dengan apnea tidur obstruktif. langit-

langit lunak memanjang dan membesar

di saluran udara posterior pada tingkat

nasofaring dan faring oral. Selain itu,

rahang mendorong lidah yang

mengusik ruang hypopharyngeal

(Victor, 1999).

Universitas Sumatera Utara

2.5.2 Patogenesis Mendengkur

Patensi saluran nafas bagian atas ditentukan oleh keseimbangan antara

tekanan di sekitar jalan nafas. Tekanan negatif dari intraluminal akan membuat

saluran nafas menjadi kolaps. Hal ini akan mengakibatkan faring menjadi sempit

dan menghalangi aliran udara masuk akibat tekanan negatif tadi, sedangkan

kekakuan dari mukosa dapat memudahkan jalan nafas untuk terbuka kembali.

Sejumlah faktor anatomi dan fisiologi mungkin bertanggung jawab atas kolapsnya

saluran nafas, akan tetapi secara keseluruhan kelainan yang mendasarinya adalah

peningkatan resistensi saluran nafas bagian atas (Lapinsky et al., 1997).

Dengan meningkatnya resistensi saluran nafas, upaya inspirasi juga harus

meningkat guna menjaga aliran udara. Tekanan negatif yang dihasilkan rongga

toraks mengakibatkan kolapsnya dinding laringotrakheobronkial, memanjang dan

menyempit pada orofaring. Dengan meningkatnya aliran udara akan mengurangi

tekanan intrafaringeal. Tekanan negatif ini terjadi bersamaan dengan hipotonia

otot faring karena tidur, sehingga getaran jaringan lunak di faring dianggap

sebagai mendengkur (Czeisler et al., 1995).

Gambar 2.4: Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi jalan napas

(Lapinsky et al., 1997).

Universitas Sumatera Utara

Berbagai faktor dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas

pada setiap pasien. Struktur kelainan, termasuk kelainan faring dimana obstruksi

jalan nafas bertanggung jawab atas mendengkur dan OSA. Gangguan fungsi otot

saluran pernafasan bagian atas terjadi berhubungan dengan kondisi tidur. Faktor-

faktor lain seperti obesitas, efek hormonal, dan obat-obatan, secara signifikan

dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas bagian atas (Lapinsky et al., 1997).

2.6 HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN MENDENGKUR

Kelebihan berat badan merupakan prediktor utama untuk gangguan

pernafasan tidur atau sleep disorder breathing (SDB). Pengamatan klinis dan

studi populasi di seluruh Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Australia secara

konsisten menunjukkan peningkatan dinilai dalam prevalensi SDB sebagai indeks

massa tubuh, lingkar leher, atau tindakan lain meningkat habitus tubuh. Studi

klinis berat badan dan populasi studi longitudinal memberikan dukungan yang

kuat untuk sebuah hubungan sebab akibat. Peran kelebihan berat badan, faktor

risiko yang dapat dimodifikasi, dengan SDB menimbulkan banyak pertanyaan

yang relevan dengan praktek klinis dan kesehatan masyarakat (Young et al.,

2005).

Sebuah penelitian di Jakarta terhadap pengemudi taksi didapati 25% dari

280 responden berisiko OSA. Dimana prevalensi risiko OSA pada pengemudi

taksi tersebut memiliki kaitan erat dengan IMT ≥25, memiliki riwayat

mendengkur dalam keluarga, lingkar leher ≥40 cm, usia ≥ 36 tahun dan memiliki

jadwal kerja yang padat (Wiadnyana et al., 2010).

2.7 HUBUNGAN LINGKAR LEHER DENGAN MENDENGKUR

Aspek yang paling penting dalam klasifikasi mendengkur adalah ada atau

tidak adanya OSA yang merupakan bagian dari gangguan pernafasan tidur (SBD).

Sementara definisi praktis dan klasifikasi mendengkur saat ini tidak ada. Sekali

kriteria diagnostik yang lebih objektif telah ditetapkan, penelitian lebih lanjut

akan diperlukan untuk membedakan mendengkur patologis dan non patologis

(Lapinsky et al., 1997).

Universitas Sumatera Utara

OSA disebabkan oleh obstruksi jalan nafas atas saat tidur yang berulang

sebagai akibat penyempitan saluran pernapasan. Pasien dengan gangguan yang

paling sering adalah yang memiliki kelebihan berat badan, dengan infiltrasi

peripharyngeal terkait lemak dan/ atau ukuran yang meningkat dari langit-langit

lunak dan lidah. Awalnya, dapat terjadi obstruksi parsial dan menyebabkan

dengkuran (snoring). Jaringan yang kolaps lebih lanjut atau pasien berguling dan

tidur dengan posisi terlentang mengakibatkan jalan napas menjadi benar-benar

terhalang. Apakah obstruksi tidak lengkap (Hypopnea) atau total (apnea), pasien

berjuang untuk bernapas dan terbangun dari tidur. Episode obstruktif sering

dikaitkan dengan penurunan saturasi oksihemoglobin (Victor, 1999).

Peristiwa ini sering diakhiri arousal dari tidur lebih dalam, dan fragmentasi

tidur yang dihasilkan dapat menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan,

kurangnya perhatian, konsentrasi dan daya ingat terganggu. Banyak penderita

OSA tidak merasa memiliki masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya

karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras diselingi keadaan

senyap yang bervariasi. Penyelidikan diagnostik standar emas untuk gangguan

pernafasan saat tidur adalah polysomnography malam hari untuk mendeteksi

kejadian apnea dan hipopnea dan menentukan apakah mereka obstruktif atau

untuk mengontrol pernapasan abnormal. Ukuran yang umum digunakan untuk

SDB adalah indeks apnea-hipopnea (AHI, jumlah kejadian apnea dan hipopnea

per jam tidur) (Young et al., 2005; McNicholas, 2008).

2.8 KUESIONER BERLIN

Gejala klinis yang sering muncul pada penderita OSA adalah mendengkur,

kantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada saar tidur, apnea,

nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan

enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia.

Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang

hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan

risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas (Seragih, 2007).

Universitas Sumatera Utara

OSA tidak mudah untuk diidentifikasi karena dibutuhkan teknik dan alat-

alat diagnostik yang tidak sederhana. Salah satu cara sederhana yang digunakan

untuk mendapatkan informasi mengenai riwayat tidur dan mengenali

gangguannya adalah melalui wawancara yang membutuhkan waktu dan pelatihan.

Kuesioner Berlin, dikembangkan pada tahun 1996, berisi serangkaian pertanyaan

mengenai factor risiko untuk OSA. Termasuk di dalamnya mengenai perilaku

mendengkur, riwayat kelelahan, dan obesitas atau hipertensi (Netzer et al., 1999).

Tabel 2.2 Kuesioner Berlin

Question

Response

Has your weight changed? Increase

Decreased

No change

Do you snore? Yes

No

Do not know

Snoring loudness Loud as breathing

Loud as talking

Louder than talking

Very loud

Snoring frequency Almost every day

3 to 4 times per week

1 to 2 times per week

1 to 2 times per month

Never or almost never

Does your snoring bother other people? Yes

No

How often have your breathing pauses been noticed? Almost every day

3 to 4 times per week

1 to 2 times per week

1 to 2 times per month

Never or almost never

Are you tired after sleeping? Almost every day

3 to 4 times per week

1 to 2 times per week

1 to 2 times per month

Never or almost never

Are you tired during waketime? Almost every day

3 to 4 times per week

1 to 2 times per week

1 to 2 times per month

Never or almost never

Have you ever fallen asleep while driving? Yes

No

Do you have high blood pressure? Yes

No

Do not know

Sumber: Netzer et a.l, 1999

Universitas Sumatera Utara