chapter ii a
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 INDEKS MASSA TUBUH (IMT)
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana
untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan
risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan berlebih akan
meningkatkan risiko terhadap penyakit degenerative. Oleh sebab itu,
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai
usia harapan hidup yang lebih panjang (Depkes RI, 2000).
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara termudah untuk memperkirakan
obesitas serta berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga penting
untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat
komplikasi medis. IMT mempunyai keunggulan utama yakni menggambarkan
lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bias digunakan dalam penelitian
berskala besar (Rippe et al., 2001).
Pengukuran indeks massa tubuh hanya membutuhkan dua hal yaitu berat
badan dan tinggi badan dengan perhitungan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi
badan kuadrat (m2), yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang
dengan sedikit latihan. Keterbatasannya adalah membutuhkan penilaian lain bila
dipergunakan secara individual (Egger et al., 1996)
Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang
berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. IMT juga tidak bisa
mengidentifikasi distribusi lemak tubuh. Sehingga beberapa penelitian
menyatakan bahwa standar cut off point untuk mendefinisikan obesitas
berdasarkan IMT mungkin tidak menggambarkan risiko yang sama untuk
konsekuensi kesehatan pada semua rasa tau kelompok etnis (NIH, 2004).
Kriteria status gizi pada orang dewasa di kawasan Asia menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 2000 dibagi dalam beberapa kelompok
IMT. IMT di bawah 18,5 dikategorikan underweight, sedangkan IMT lebih dari
Universitas Sumatera Utara
23 sebagai berat badan berlebih overweight, dan IMT melebihi 25 sebagai
obesitas. IMT yang ideal bagi orang dewasa adalah diantara 18,5 sampai 22,9.
Obesitas dikategorikan pada dua tingkat: tingkat I (25-29,9) dan tingkat II (≥30).
Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Berdasarkan Kriteria WHO 2000
Kategori IMT Asia (kg/m2)
Underweight <18,5
Normoweight 18,5 – 22,9
Overweight ≥ 23
Pre-obese 23,0 – 24,9
Obese I 25,0 – 29,9
Obese II ≥ 30,0
Sumber: Bickley, 2007
2.2 LINGKAR LEHER
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah
untuk skreening individu dengan obesitas (Liubov et al., 2001). Lingkar leher
sebagai indeks untuk obesitas tubuh bagian atas merupakan salah satu prediktor
terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sjostrom et al., 2001). The North Association
for The Study of Obesity menyatakan bahwa dari uji statistic, koefisien korelasi
pearson menunjukkan hubungan erat antara lingkar leher dengan IMT (laki-laki,
r=0,83; perempuan r=0,71; masing-masing, p<0,0001 dan lingkar pinggang (laki-
laki, r=0,86; perempuan, r=0,56; masing-masing p<0,0001).
Lingkar leher ≥37 cm untuk laki-laki dan ≥34 cm untuk wanita
merupakan cutt of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan
IMT ≥25 kg/m2, lingkar leher ≥39,5 cm untuk laki-laki dan ≥36,5 cm untuk
wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan
obesitas (IMT ≥30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok
yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher memiliki
sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk
perempuan (Liubov et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.3 FISIOLOGI TIDUR
Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan
serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat
atau dikurangi. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada
keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respon terhadap rangsangan
eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsangan
visual, auditori dan rangsangan lingkungan lainnya (Arifin et al., 2010).
Sampai saat ini sistem klasifikasi untuk tingkatan tidur yang diterima
adalah usulan dari Rechtschaffen dan Kales yaitu dengan pemeriksaan
electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), dan electromyogram
(EMG). Terdapat dua jenis tidur, yang ditandai oleh pola EEG yang berlainan dan
perilaku yang berbeda: tidur gelombang lambat dengan gerakan mata tidak cepat
(NREM; Non Rapid Eye Movement), dikenal juga sebagai tidur “S”, sinkron atau
ortodoks dan tidur paradoksikal dengan gerakan mata cepat (REM; Rapid Eye
Movement), dikenal juga sebagai tidur “D” atau desinkronisasi (Atmadja, 2002;
Sherwood, 2001).
Pada orang normal tidur NREM merupakan keadaan yang relatif terjaga.
Kecepatan denyut jantung biasanya lebih lambat 5-10 denyut setiap menit dari
tingkat terjaga penuh dan teratur, begitu juga dengan respirasi. Tekanan darah
juga cendrung rendah, dengan sedikit variasi dari menit ke menit. Fase REM
ditandai oleh atonia otot dan gerakan cepat dari mata, peningkatan denyut jantung,
peningkatan laju pernafasan, dan peningkatan tekanan darah yang berfluktuasi
secara luas (Kaplan et al., 2010).
Fase tidur pada manusia (Czeisler et al., 1995):
1. Fase NREM, dibagi menjadi empat stadium:
a. Stadium 1
Merupakan transisi dari bangun dan ditandai oleh hilangnya pola alfa
reguler dan munculnya amplitudo rendah, pola frekuensi campuran,
terutama rentan teta (2-7 Hz) dan gerakan mata berputar lambat.
b. Stadium 2
Universitas Sumatera Utara
Ditetapkan melalui kejadian kompleks K dan kumparan tidur yang
tumpang tindih pada aktivitas latar belakang yang serupa dengan stadium
1. Kompleks K adalah “discharge” negative (upward), amplitude tinggi,
lambat dan diikuti segera dengan defleksi positif (downward). Rangakain
tidur merupakan “discharge” frekuensi tinggi (12-14 Hz) yang
berlangsung 0,5-2 detik dengan amplitudo menyusut-bertambah. Aktivitas
gerakan mata cepat tidak ada, dan EMG serupa dengan stadium 1.
c. Stadium 3
Merupakan delta tidur sekitar 20% tetapi kurang dari 50% aktivitas delta
amplitudo tinggi (375µV) delta (0,5-2 Hz). Kumparan tidur tetap ada,
aktivitas gerakan mata tidak ada, dan aktivitas EMG menetap pada kadar
rendah.
d. Stadium 4
Pola stadium 3 EEG lambat, voltase tinggi terganggu sekitar 50%
rekaman. NREM stadium 3 dan 4 disebut sebagai (secara kolektif) tidur
“dalam”, “delta”, atau “gelombang lambat”.
2. Fase REM
Tidur REM ditandai oleh EEG frekuensi campuran, amplitudo rendah yang
serupa dengan NREM stadium 1. Ledakan aktivitas 3-5 Hz dengan defleksi
negatif tajam sering bertumpang tindih pada pola ini. EOG memperlihatkan
ledakan REM serupa dengan yang terlihat selama bangun mata terbuka.
Aktivitas EMG tidak ada, yang merefleksikan atonia otot diperantarai batang
otak lengkap yang karakteristik untuk keadaan ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1: Stadium tidur manusia (Czeisler et al., 1995).
Tidur nokturnal normal pada dewasa muda umunya konstan. Setelah
awitan tidur biasanya diawali dengan fase NREM stadium 1-4 dalam 45-60 menit.
Tidur gelombang lambat menonjol pada sepertiga malam pertama dan terdiri dari
15-26% waktu tidur nokturnal total pada orang dewasa muda. Setelah episode
tidur gelombang lambat pertama, perkembangan stadium NREM berbalik; tidur
REM pertama terjadi setelah 80 menit onset tidur dan latensi REM memendek
seiring bertambahnya usia (Czeisler et al., 1995).
Seseorang secara klinis mengalami kedua jenis tidur berganti-ganti
sepanjang malam. Dengan memanjangnya periode tidur, bagian setiap siklus
terdiri dari penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM yang meningkat.
Universitas Sumatera Utara
Keseluruhan, tidur REM adalah 20-25% tidur total, stadium NREM (1 dan 2)
adalah 50-60% pada dewasa muda. Bayi mengahabiskan waktunya jauh lebih
banyak pada tidur REM. Sebaliknya, pada orang usia lanjut tidur REM dan
gelombang lambat stadium 4 berkurang (Sherwood, 2001).
2.4 SISTEM RESPIRASI SAAT TIDUR
Saat ini diketahui bahwa pada keadaan tidur tubuh tidak seluruhnya
beristirahat tetapi terdapat aktivitas pada fase-fase tidur. Sistem respirasi,
esophagus, kardiovaskular dan fisiologi otak menunjukkan perubahan selama
tidur. Pada orang normal sistem respirasi akan menurun selama tidur yaitu terjadi
hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernafasan dan ventilasi semenit akan menurun
selama tidur NREM dan pada umumnya bertamabah cepat, dangkal, dan tak
menentu pada tidur REM (Arifin et al., 2010).
Otot faring bertanggung jawab untuk menjaga patensi jalan nafas saat
bernafas. Saraf yang mengontrol otot-otot ini berasal dari daerah yang sama dari
batang otak yang juga bertanggung jawab untuk mengendalikan otot-otot
diafragma dan interkostal. Oleh sebab itu, otot-otot saluran pernafasan bagian atas
bekerja seirama dengan pernafasan. Selama terjaga, otot ini memiliki tingkatan
aktivitas tonus yang tinggi (Lapinsky et al., 1997).
Penurunan fungsi respirasi selama tidur disebabkan karena kolapsnya
sebagian saluran nafas atas yang disertai penurunan tonus otot interkostal dan
genioglosus. Penurunan refleks batuk dan bersihan mukosilier selama kedua fase
tidur akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh
terhadap orang normal tetapi merupakan merupakan keadaan yang darurat
mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan
respirasi lain. Kontrol pernafasan selama tidur REM bukan melalui refleks vagal
seperti pada fase terjaga dan pada tidur NREM. Fase REM dianggap berasal dari
penghambatan homeostatic feedback regulation hypothalamus (Arifin et al.,
2010).
Kecepatan pernafasan dan ventilasi per menit menurun selama tidur
NREM dan menjadi bervariasi selama tidur REM. Respon ventilasi terhadap
Universitas Sumatera Utara
karbondioksida melemah selama tidur NREM, yang menyebabkan PCO2 lebih
tinggi. Selama tidur REM, respon ventilasi terhadap hiperkapnea dan hipoksia
memperlihatkan variabilitas yang nyata. Otot pernafasan yang bertanggung jawab
untuk kelatenan jalan udara atas menjadi hipotonik sepanjang tidur dan selama
tidur REM, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi jalan nafas.
Selain itu, refleks batuk berubah atau tidak ada selama tidur. Perubahan fungsi
respiratori ini mungkin relevan terhadap patogenesis OSA (Czeisler et al., 1995).
Saat mulai tidur gambaran EEG terlihat perlambatan gelombang serta
penurunan ventilasi semenit. Pada pasien dengan obstructive Sleep Apnea (OSA)
penurunan atau penghentian aliran udara disebabkan oleh kolaps jalan nafas atas
yang progresif dan menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin serta terjadi
stimulasi kemoreseptor perifer carotid bodies. Stimulasi kemorefleks terjadi
melalui sistem saraf pusat sehingga meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis
yang ditandai dengan lonjakan microneurographic. Saat terbangun dari tidur,
ventilasi dan saturasi oksihemoglobin akan kembali normal serta terjadi hambatan
terhadap aktivitas sistem saraf simpatis oleh aferen yang berasal dari
mekanoreseptor toraks yang bersinaps pada batang otak (Arifin et al., 2010).
2.5 MENDENGKUR
Mendengkur (snoring) merupakan suara gaduh dari pernafasan yang
terjadi selama proses tidur, akibat getaran yang dihasilkan oleh dinding orofaring.
Hal ini merupakan salah satu gejala dari suatu kelainan pada saluran pernafasan
bagian atas yang memiliki tingkatan keparahan. Bentuk yang paling ringan
biasanya terjadi sesekali dan sering disebabkan karena posisi tidur terlentang,
sedangkan mendengkur yang lebih berat biasanya terjadi setiap malam dan bisa
saja berkaitan dengan obstructive apnea (Lapinsky et al., 1997). Ketika tidur,
pernafasan akan melambat, otot-otot pernafasan akan rileks, dan saluran nafas
akan menyempit, tetapi proses inspirasi dan ekspirasi terus berlangsung yang
menyebabkan bergetarnya dinding orofaring dan menimbulkan bunyi (Eipstein et
al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu survei epidemiologi di Republik San Marino (Italia Utara)
terhadap hapir 6000 orang, dilaporkan bahwa 40% pria dan 28% wanita
mendengkur dengan prevalensi meningkat hingga dekade ketujuh. Dalam
penelitian ini, lebih dari 60% pria dan 40% dari wanita yang berusia di atas 60
tahun dilaporkan mendengkur. Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi sedikit
penurunan prevalensi dengan meningkatnya usia lebih dari 60 tahun. Studi pada
wanita setengah baya menunjukkan prevalensi mendengkur sebesar 23% pada
kelompok usia muda (40-44 tahun) dan meningkat menjadi 40% pada usia 50-59
tahun (Lapinsky et al., 1997).
2.5.1 Faktor anatomi
Segala sesuatu yang menyebabkan penyempitan saluran nafas akan
menimbulkan snoring. Beberapa pasien obstruksi jalan napas dikarenakan rahang
kecil sehingga menghasilkan ruangan yang tidak cukup untuk lidah. Kelainan
anatomi ini mengurangi luas penampang saluran udara bagian atas. Penurunan
tonus otot saluran napas selama tidur dan penarikan oleh gaya gravitasi pada
posisi terlentang akan mempersempit saluran nasaf, sehingga menghambat aliran
udara selama respirasi (Victor, 1999).
Suara mendengkur secara langsung berkaitan dengan getaran jaringan di
orofaring. Jaringan tersebut antara lain mukosa dan otot-otot yang mendasari
langit-langit lunak dan uvula, mukosa dan otot-otot yang mendasari pilar anterior
dan posterior tonsil, tonsil itu sendiri dan mukosa hipofaring (Eipstein et al.,
2007).
Setiap faktor anatomis yang mempengaruhi resistensi aliran udara dapat
memiliki efek sekunder pada mendengkur. Secara khusus, ketidakseimbangan
proporsi orofaring dengan lidah yang besar dapat memberikan kontribusi
peningkatan resistensi saluran nafas. Struktur berdekatan yang menyebabkan
perubahan aliran udara seperti: deviasi septum hidung, polip hidung, massa
nasofaring dan lainnya (Lapinsky et al., 1997).
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi dalam berbagai bidang orofaring,
nasofaring dan hipofaring. Walaupun kontribusi polip hidung dan deviasi septum
Universitas Sumatera Utara
untuk apnea tidur obstruktif masih kontroversial, beberapa peneliti percaya bahwa
sumbatan hidung parsial atau total dapat menyebabkan hipopnea dan apnea
(Victor, 1999).
Penyempitan saluran pernafasan saat tidur dapat terjadi secara sederhana
(simple snoring) maupun lengkap (complete). Selama penyempitan yang terjadi
tidak mengancam nyawa, simple snoring tidak membutuhkan penanganan yang
khusus, hanya saja suara dengkuran yang terjadi dapat mengganggu orang lain
yang tidur di sebelahnya. Penyempitan komplit yang dikenal dengan Obstructive
Sleep Apnea (OSA) dapat menimbulkan efek yang cukup serius bagi kesehatan
dan kualitas hidup seseorang (Eipstein et al., 2007).
Gambar 2.2: saluran napas normal.
Panjang dan ukuran total langit-langit
lunak dan uvula normal. Lidah normal
dalam ukuran dan sudut ke depan.
Ukuran dan kontur saluran udara
bagian atas di tingkat orofaring,
nasofaring dan hipofaring adalah
normal (Victor, 1999).
Gambar 2.3 : Abnormal saluran napas
selama tidur. Beberapa tempat
obstruksi sering terjadi pada pasien
dengan apnea tidur obstruktif. langit-
langit lunak memanjang dan membesar
di saluran udara posterior pada tingkat
nasofaring dan faring oral. Selain itu,
rahang mendorong lidah yang
mengusik ruang hypopharyngeal
(Victor, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Patogenesis Mendengkur
Patensi saluran nafas bagian atas ditentukan oleh keseimbangan antara
tekanan di sekitar jalan nafas. Tekanan negatif dari intraluminal akan membuat
saluran nafas menjadi kolaps. Hal ini akan mengakibatkan faring menjadi sempit
dan menghalangi aliran udara masuk akibat tekanan negatif tadi, sedangkan
kekakuan dari mukosa dapat memudahkan jalan nafas untuk terbuka kembali.
Sejumlah faktor anatomi dan fisiologi mungkin bertanggung jawab atas kolapsnya
saluran nafas, akan tetapi secara keseluruhan kelainan yang mendasarinya adalah
peningkatan resistensi saluran nafas bagian atas (Lapinsky et al., 1997).
Dengan meningkatnya resistensi saluran nafas, upaya inspirasi juga harus
meningkat guna menjaga aliran udara. Tekanan negatif yang dihasilkan rongga
toraks mengakibatkan kolapsnya dinding laringotrakheobronkial, memanjang dan
menyempit pada orofaring. Dengan meningkatnya aliran udara akan mengurangi
tekanan intrafaringeal. Tekanan negatif ini terjadi bersamaan dengan hipotonia
otot faring karena tidur, sehingga getaran jaringan lunak di faring dianggap
sebagai mendengkur (Czeisler et al., 1995).
Gambar 2.4: Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi jalan napas
(Lapinsky et al., 1997).
Universitas Sumatera Utara
Berbagai faktor dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas
pada setiap pasien. Struktur kelainan, termasuk kelainan faring dimana obstruksi
jalan nafas bertanggung jawab atas mendengkur dan OSA. Gangguan fungsi otot
saluran pernafasan bagian atas terjadi berhubungan dengan kondisi tidur. Faktor-
faktor lain seperti obesitas, efek hormonal, dan obat-obatan, secara signifikan
dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas bagian atas (Lapinsky et al., 1997).
2.6 HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN MENDENGKUR
Kelebihan berat badan merupakan prediktor utama untuk gangguan
pernafasan tidur atau sleep disorder breathing (SDB). Pengamatan klinis dan
studi populasi di seluruh Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Australia secara
konsisten menunjukkan peningkatan dinilai dalam prevalensi SDB sebagai indeks
massa tubuh, lingkar leher, atau tindakan lain meningkat habitus tubuh. Studi
klinis berat badan dan populasi studi longitudinal memberikan dukungan yang
kuat untuk sebuah hubungan sebab akibat. Peran kelebihan berat badan, faktor
risiko yang dapat dimodifikasi, dengan SDB menimbulkan banyak pertanyaan
yang relevan dengan praktek klinis dan kesehatan masyarakat (Young et al.,
2005).
Sebuah penelitian di Jakarta terhadap pengemudi taksi didapati 25% dari
280 responden berisiko OSA. Dimana prevalensi risiko OSA pada pengemudi
taksi tersebut memiliki kaitan erat dengan IMT ≥25, memiliki riwayat
mendengkur dalam keluarga, lingkar leher ≥40 cm, usia ≥ 36 tahun dan memiliki
jadwal kerja yang padat (Wiadnyana et al., 2010).
2.7 HUBUNGAN LINGKAR LEHER DENGAN MENDENGKUR
Aspek yang paling penting dalam klasifikasi mendengkur adalah ada atau
tidak adanya OSA yang merupakan bagian dari gangguan pernafasan tidur (SBD).
Sementara definisi praktis dan klasifikasi mendengkur saat ini tidak ada. Sekali
kriteria diagnostik yang lebih objektif telah ditetapkan, penelitian lebih lanjut
akan diperlukan untuk membedakan mendengkur patologis dan non patologis
(Lapinsky et al., 1997).
Universitas Sumatera Utara
OSA disebabkan oleh obstruksi jalan nafas atas saat tidur yang berulang
sebagai akibat penyempitan saluran pernapasan. Pasien dengan gangguan yang
paling sering adalah yang memiliki kelebihan berat badan, dengan infiltrasi
peripharyngeal terkait lemak dan/ atau ukuran yang meningkat dari langit-langit
lunak dan lidah. Awalnya, dapat terjadi obstruksi parsial dan menyebabkan
dengkuran (snoring). Jaringan yang kolaps lebih lanjut atau pasien berguling dan
tidur dengan posisi terlentang mengakibatkan jalan napas menjadi benar-benar
terhalang. Apakah obstruksi tidak lengkap (Hypopnea) atau total (apnea), pasien
berjuang untuk bernapas dan terbangun dari tidur. Episode obstruktif sering
dikaitkan dengan penurunan saturasi oksihemoglobin (Victor, 1999).
Peristiwa ini sering diakhiri arousal dari tidur lebih dalam, dan fragmentasi
tidur yang dihasilkan dapat menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan,
kurangnya perhatian, konsentrasi dan daya ingat terganggu. Banyak penderita
OSA tidak merasa memiliki masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya
karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras diselingi keadaan
senyap yang bervariasi. Penyelidikan diagnostik standar emas untuk gangguan
pernafasan saat tidur adalah polysomnography malam hari untuk mendeteksi
kejadian apnea dan hipopnea dan menentukan apakah mereka obstruktif atau
untuk mengontrol pernapasan abnormal. Ukuran yang umum digunakan untuk
SDB adalah indeks apnea-hipopnea (AHI, jumlah kejadian apnea dan hipopnea
per jam tidur) (Young et al., 2005; McNicholas, 2008).
2.8 KUESIONER BERLIN
Gejala klinis yang sering muncul pada penderita OSA adalah mendengkur,
kantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada saar tidur, apnea,
nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan
enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia.
Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang
hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan
risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas (Seragih, 2007).
Universitas Sumatera Utara
OSA tidak mudah untuk diidentifikasi karena dibutuhkan teknik dan alat-
alat diagnostik yang tidak sederhana. Salah satu cara sederhana yang digunakan
untuk mendapatkan informasi mengenai riwayat tidur dan mengenali
gangguannya adalah melalui wawancara yang membutuhkan waktu dan pelatihan.
Kuesioner Berlin, dikembangkan pada tahun 1996, berisi serangkaian pertanyaan
mengenai factor risiko untuk OSA. Termasuk di dalamnya mengenai perilaku
mendengkur, riwayat kelelahan, dan obesitas atau hipertensi (Netzer et al., 1999).
Tabel 2.2 Kuesioner Berlin
Question
Response
Has your weight changed? Increase
Decreased
No change
Do you snore? Yes
No
Do not know
Snoring loudness Loud as breathing
Loud as talking
Louder than talking
Very loud
Snoring frequency Almost every day
3 to 4 times per week
1 to 2 times per week
1 to 2 times per month
Never or almost never
Does your snoring bother other people? Yes
No
How often have your breathing pauses been noticed? Almost every day
3 to 4 times per week
1 to 2 times per week
1 to 2 times per month
Never or almost never
Are you tired after sleeping? Almost every day
3 to 4 times per week
1 to 2 times per week
1 to 2 times per month
Never or almost never
Are you tired during waketime? Almost every day
3 to 4 times per week
1 to 2 times per week
1 to 2 times per month
Never or almost never
Have you ever fallen asleep while driving? Yes
No
Do you have high blood pressure? Yes
No
Do not know
Sumber: Netzer et a.l, 1999
Universitas Sumatera Utara