chapter ii 2 m
DESCRIPTION
kjhll;TRANSCRIPT
BAB II
II. Penyusunan Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Yang Diajukan Oleh
Jaksa Penuntut Umum.
a. Surat Dakwaan.
1. Pengertian Surat Dakwaan.
Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek penegakan hukum adalah:31
a. Surat Akta
b. Memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
c. Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan
dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar dan
didakwakan pada terdakwa dan,
d. Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang
pengadilan.
Dirumuskan atau di defenisikan sebagai berikut: ” Surat dakwaan adalah surat
atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan
dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.
31 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Ke-8, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2006), hal. 386
38 Universitas Sumatera Utara
Rumusan pengertian diatas telah disesuaikan dengan jiwa dan ketentuan
KUHAP, dengan demikian, pada defenisi itu telah dipergunakan istilah atau sebutan
yang berasal dari KUHAP, seperti istilah yang ”didakwakan” dan ”hasil
pemeriksaan penyidikan”, sebagai istilah baru yang dibakukan dalam KUHAP
untuk menggantikan istilah ”tuduhan” dan yang ”dituduhkan”, dengan demikian,
surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan surat
dakwaan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan.
Hakim tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman diluar batas-batas yang terdapat
dalam surat dakwaan, maka oleh sebab itu terdakwa hanya dapat dipidana
berdasarkan apa yang terbukti mengenai kejahatan yang dilakukannya menurut
rumusan surat dakwaan. Walaupun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana
dalam pemeriksaan persidangan, tetapi tidak didakwakan dalam surat dakwaan ia
tidak dapat dijatuhi hukuman, hakim jadinya akan membebaskan terdakwa.32
Surat dakwaan adalah dasar dari pemeriksaan perkara selanjutnya, baik
pemeriksaan dipersidangan pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat
banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali, bahkan
surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan.
32 Hamzah, A, Dahlan, Irdan, Surat Dakwaan, Cetakan Pertama, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hal. 18
Universitas Sumatera Utara
Jaksa Penuntut Umum dalam rangka mempersiapkan surat dakwaan, diberikan
kewenangan mengadakan prapenuntutan dalam arti melakukan peneltian terhadap
berkas perkara yang diterimanya dari penyidik serta memberi petunjuk-petunjuk
kepada penyidik, dengan perkataan lain, hasil penyidikan adalah dasar dalam
pembuatan dalam surat dakwaan. Rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada
hakikatnya tidak lain dari pada hasil penyidikan. Keberhasilan penyidikan sangat
menentukan bagi keberhasilan penuntutan.
2. Resume Isi Surat Dakwaan Penuntut Umum Register Perkara Nomor:
PDS-01/JKT.PST/03/2006 Tertanggal 06 Maret 2006, Terdakwa Didakwa
Telah Melakukan Tindak Pidana Sebagai Berikut:
DAKWAAN KESATU:
Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 1 ayat(1) Sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Analisis Hukum Dakwaan Kesatu, Jaksa Penuntut Umum semestinya dalam
meletakkan posisi terdakwa dalam Surat Dakwaan tersebut pertama sekali Jaksa
Penuntut Umum harus menguraikan tentang posisi terdakwa sebagai pemilik
Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan atau hanya sebagai anggota dari
Koperasi Kelapa Sawit Bukit Harapan, bukan meletakkan kalimat ”atau” dalam
menentukan posisi terdakwa.
Kalimat ”atau” yang digunakan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan
posisi terdakwa memiliki makna yang sangat berarti, yang mana maknanya adalah
”pilihan”, sehingga dapat menimbulkan makna bahwasanya Jaksa Penuntut Umum
ragu-ragu serta tidak mempunyai kepastian tentang siapa pelaku yang sebenarnya.
Akan tetapi, apabila Jaksa Penuntut Umum ingin mengetahui siapa yang pantas
untuk ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana tersebut, maka Jaksa Penuntut
Umum tidak memakai kalimat ”atau” serta Jaksa Langsung membuat secara jelas
posisi terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum. Selain tentang posisi terdakwa, uraian secara cermat tentang duduk perkara
tindak pidana tersebut sama sekali tidak terdapat unsur-unsur baik itu dilihat dari
segi alat-alat bukti surat yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diajukan Jaksa
Penuntut Umum ke muka persidangan maupun dari alat-alat bukti lain yang
mengarah kepada tindak pidana korupsi. Didalam Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam BAB IV Pasal 28
Yang menyatakan Bahwa:” Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau
Universitas Sumatera Utara
diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan dengan
tersangka”, isi dari Pasal 28 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama sekali tidak peroleh Jaksa Penuntut
Umum untuk dapat membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan pertama dan dakwaan kedua,
serta pemilihan dari segi bentuk surat dakwaannya, yang mana dalam hal ini, Jaksa
Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan mengunakan surat dakwaan dalam
bentuk campuran/gabungan, surat dakwaan campuran/gabungan yang digunakan
Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak tepat penggunaannya, melainkan Jaksa
Penuntut Umum mengunakan bentuk surat dakwaan alternatif jikalau masih
terdapat keragu-raguan dalam mendakwa terdakwa. Alasan Jaksa Penuntut Umum
menggunakan Dakwaan dalam bentuk alternatif untuk mendakwa terdakwa
disebabkan didalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum lebih mengarah kepada
2(dua) tindak pidana yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan,
maka dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dapat memilih perbuatan terdakwa mana
yang harus dibuktikan terlebih dahulu, serta surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
terdapat dugaan tindak pidana korupsi maka berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang
No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan
bahwa” Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna
penyelesaian secepatnya”, maka oleh karena itu, dengan menggunakan dakwaan
alternatif Jaksa Penuntut Umum dengan mudah memilih dugaan tindak pidana
korupsi untuk dilakukan penuntutan terlebih dahulu. Penuntutan yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi diatur didalam
Pasal 51 ayat(1), ayat(2), dan ayat (3) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)33, akan tetapi terhadap perkara atas nama
terdakwa Darianus Lungguk Sitorus yang menjadi penuntut umum adalah Jaksa
Penuntut Umum yang tidak dilakukan pengangkatan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, serta apabila dalam perkara pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk
Sitorus terdapat dugaan tindak pidana korupsi, walaupun proses penyidikan dari
awal dilakukan oleh pihak kepolisian, sampai penuntutan yang dilakukan oleh
aparatur kejaksaan.
Pasal 50 ayat(1) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa” dalam hal suatu tindak pidana
korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan,
sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau
kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulai penyidikan”34.
33 Pasal 51 ayat(1), (2), (3) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
34 Pasal 50 ayat(1) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Universitas Sumatera Utara
Kenyataannya penyelesaian perkara pidana ini tidak di beritahukan dan
diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diselesaikan menurut
ketentuan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1
ayat(1) Sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak dapat dipergunakan dalam
mendakwa terdakwa pada dakwaan pertama, hal ini di sebabkan telah diterbitkan
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi
sebagai pengganti dari Undang-Undang No.3 Tahun 1971 yang lama sesuai dengan
Asas Lex Posterior Legi Anteriori( Undang-undang yang baru dapat
mengeyampingkan Undang-undang yang lama).
Pasal 43 A Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang mana, Pasal 43 A tersebut terdapat dalam Ketentuan Peralihan, serta
didalamnya terdiri dari 3(tiga) ayat, akan tetapi, didalam Dakwaan Kesatu Jaksa
Penuntut Umum sama sekali tidak masukkan salah satu ayat dari Pasal 43 A
tersebut, sehingga Jaksa Penuntut Umum ragu-ragu untuk menentukan ayat dalam
Pasal 43 A tersebut.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang menyatakan
” Pegawai Negeri meliputi:
a. Pegawai Negeri sebagaimana Undang-undang tentang kepegawaian.
b. Pegawai Negeri yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.
Universitas Sumatera Utara
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan Negara atau daerah, atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
” Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
dan perekonomian Negara.
DAN
DAKWAAN KEDUA
Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat(1) jo Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat(1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) KUHP.
Analisis Hukum Dakwaan Kedua, Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun
redaksi kalimat mengenai ancaman pidana pada dakwaan kedua Pasal 2 ayat(1) jo
Universitas Sumatera Utara
Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat
membingungkan serta tidak dapat di mengerti maksud dari kalimat tersebut. Sebab
didalam kalimat tersebut terdapat kata ” Sebagaimana diubah dan ditambah
dengan”, akibatnya dengan digunakannya kata tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam mendakwa terdakwa akan mengalami suatu kekaburan serta ketidak jelasan
makna dari dakwaan itu, akan tetapi, Jaksa Penuntut Umum seharusnya tidak
mengunakan kata-kata tersebut, melainkan Jaksa Penuntut Umum mengunakan kata
”atau” berarti ”Pilihan”.
Jaksa Penuntut Umum dalam meletakkan Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tidak tepat, karena apabila Jaksa Penuntut Umum ingin
meletakan pasal tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum pertama sekali harus
mengetahui makna yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.31
Tahun 1999 setelah itu, Jaksa Penuntut Umum harus mengetahui makna dari Pasal
3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999, sehingga akibat dari perbuatan Jaksa
Penuntut Umum yang kurang teliti serta tidak cermat dalam menguraikan,
menyusun pasal dalam dakwaan pertama pada surat dakwaan dapat mengalami
pembatalan surat dakwaan karena sudah tidak terpenuhi unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a, b KUHAP.
ATAU
DAKWAAN KETIGA
Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik
Universitas Sumatera Utara
keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan sengaja mengerjakan atau menduduki kawasan hutan dan hutan cadangan tanpa ijin Menteri.
Namun terdakwa Darianus Lungguk Sitorus dan Latong S serta Ir.Yonggi Sitorus tetap menduduki/ menguasai dan mengerjakan ( merubah fungsi dan peruntukan) hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawas menjadi areal perkebunan Kelapa Sawit.
Perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat(1) jo Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) jo Pasal 1 ayat (2) KUHP
Analisis Hukum Dakwaan Ketiga, dakwaan ketiga dinyatakan bahwa terdapat
lebih dari satu orang yang melakukan menduduki, menguasai dan mengerjakan
lahan kawasan hutan tersebut, diantaranya: terdakwa Darianus Lungguk Sitorus dan
Latong S serta Ir.Yonggi Sitorus, sedangkan pada dakwaan kesatu, dakwaan kedua
yang hanya dijadikan terdakwa adalah Darianus Lungguk Sitorus, maka dalam hal
ini, dalam dakwaan ketiga Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan mengenai
kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus sebagai terdakwa atau kedudukan
Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus sebagai Pemilik Perusahaan tersebut, menurut Pasal
143 ayat (2) Huruf a tentang Syarat Formil dari suatu dakwaan, kedudukan Latong
S dan Ir.Yonggi Sitorus harus dijelaskan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum tersebut. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat(2)
KUHP tersebut tidak tepat dimasukkan kedalam dakwaan ketiga, hal ini disebabkan
kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus dalam dakwaan ketiga tidak jelaskan
Universitas Sumatera Utara
apakah kedua orang ini dikategorikan sebagai pelaku yang maksud dalam Pasal 55
ayat(1) ke-1 jo Pasal 64 ayat(1), melainkan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan
ketiga meletakkan kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus sama dengan
kedudukan terdakwa.
Ketentuan Pasal 1 ayat(2) KUHP yang diterapkan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam dakwaan ketiga sama sekali tidak tepat, hal ini disebabkan Peraturan
PerUndang-undang yang terapkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
merupakan peraturan Per-Undang-undangan yang sudah tidak layak digunakan serta
peraturan tersebut sudah dilakukan pergantian sesuai dengan asas hukum Lex
Posterior Legi Anteriori ( Undang-undang yang baru dapat mengesampingkan
Undang-undang yang lama), maka , Jadi penempatan Pasal 6 ayat(1) jo Pasal 18
ayat (2) Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dapat
diterapkan pada 3(tiga) orang terdakwa tersebut diatas, Maka dengan muncul
dakwaan ketiga ini sudah sangat jelas menunjukan ketidak cermatan, ketidak
jelasan serta ketidak lengkapan Jaksa dalam menyusun dakwaan kesatu dan
dakwaan kedua.
DAKWAAN KEEMPAT
Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan
Universitas Sumatera Utara
mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
Perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat(3) huruf a jo Pasal 78 ayat(2) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) KUHP.
Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Keempat Jaksa Penuntut Umum Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, menyatakan: ” Setiap orang dilarang:mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;,
penjelasan terhadap Pasal 50 ayat(3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, diantaranya :
a. Mengerjakan :Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
b. Menggunakan :Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
c. Menduduki :Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.
Penjelasan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
tersebut diatas, diantaranya:35
35 Penjelasan Pasal 50 ayat(3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
a. Mengerjakan, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya
tidak menjelaskan kedudukan terdakwa apakah kedudukan terdakwa
sebagai terdakwa atau pemilik dari suatu korporasi tersebut serta
dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga tidak memaparkan
tentang pihak-pihak mana saja yang termasuk kedalam unsur yang
mengerjakan, apakah terdakwa yang termasuk kedalam kalimat
mengerjakan atau korporasi yang pemiliknya atas nama terdakwa.
b. Menggunakan, dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum hanya
dijelaskan bahwa terdakwa telah melakukan suatu perbuatan
penggarapan tanah dan/atau perambahan tanah hutan untuk membuat
tanaman kelapa sawit tanpa izin bukan menggunakan kawasan hutan
sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal tersebut.
c. Menduduki, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dengan jelas
menentukan siapa pelaku, apakah terdakwa atau korporasinya.
Dakwaan keempat tidak ada ditemukan bahwa terdakwa telah
menduduki hutan dikawasan hutan Negara, akan tetapi, terdakwa dalam
dakwaannya hanya melakukan suatu perambahan hutan dikawasan hutan
Negara.
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang mana,
Undang-undang kehutanan ini hanya mengatur tentang pelaku yang
melakukan kerusakan hutan adalah orang, dan juga badan hukum
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang No.41 Tahun
1999 tentang kehutanan. Akan tetapi, didalam isi dakwaan keempat jaksa
Universitas Sumatera Utara
penuntut umum sama sekali tidak menjelaskan secara terang mengenai
siapa pelaku dari kerusakan hutan tersebut, apakah pelakunya dalam
bentuk orang atau badan hukum. Jikalau dilihat dari isi dakwaan keempat
Jaksa Penuntut Umum ini, maka dapat diambil suatu pendapat bahwa
Jaksa Penuntut Umum masih terdapat keragu-raguan dalam mendakwa
terdakwa, dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Jaksa Penuntut Umum
dalam menentukan pelaku tindak pidana kehutanan dalam dakwaan
keempat dengan menggunakan kalimat ”atau” dalam artian ” Pilihan”
sehingga peletakkan Pasal 50 ayat(3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun
1999 tentang Kehutanan agak sulit untuk diterapkan apabila terdapat
suatu keragu-raguan.
Seharusnya dalam uraian dakwaan keempat terhadap penentuan
pelaku tindak pidana tidak memakai kalimat ”atau”, melainkan langsung
ditentukan siapa yang berhak untuk dinyatakan pelakunya sesuai dengan
bukti-bukti yang sudah terkumpul. Maka dalam hal ini, terlihat ketidak
cermatan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 143 ayat(2) huruf b
KUHAP Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan isi dari dakwaan
keempat.
3. Tujuan Dari Surat Dakwaan
Tujuan surat dakwaan, dikemukakan oleh A.Karim Nasution sebagai berikut: ”
Tujuan utama dari suatu surat tuduhan ialah bahwa Undang-undang ingin melihat
ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan sesuatu peristiwa
Universitas Sumatera Utara
pidana, untuk itu maka sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah
dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya.
Terdakwa harus dipersalahkan karena telah melanggar suatu peraturan hukum
pidana, pada suatu saat tertentu dan tempat tertentu, serta dinyatakan pula keadaan-
keadaan sewaktu melakukannya”36.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
utama dari suatu surat dakwaan itu adalah menetapkan secara konkret atau nyata,
tentang orang tertentu yang telah melakukan tindak pidana tertentu pada waktu dan
tempat tertentu pula.
Tujuan dan peranan surat dakwaan dalam persidangan sangat penting dan
menentukan sehingga menurut Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-
004/JA/11/1993 tanggal 16 November 1993 surat dakwaan bagi penuntut umum
merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap
karena merupakan dasar dan kemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umum dalam
penyusuanan surat dakwaan37. oleh karena itu, berdasarkan aspek diatas dapatlah
disebutkan bahwa surat dakwaan mempunyai 2(dua) dimensi, yaitu:
1. Dimensi positif, bahwa keseluruhan isi surat dakwaan yang terbukti pada
persidangan harus dijadikan dasar oleh hakim pada putusannya.
2. Dimensi negatif, bahwa apa yang dapat dibuktikan dalam persidangan harus
dapat tercantum pada surat dakwaan
36 A.Karim Nasution dalam bukunya Hamrat Hamid, H, Husein, Harun M, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 1992), hal.
37 Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/JA/11/1993 Tanggal 16 November 1993
Universitas Sumatera Utara
4. Dasar Hukum Penyusunan Surat Dakwaan
Penyusunan surat dakwaan yang baik, adalah merupakan awal keberhasilan
tugas penuntutan, karena surat dakwaan menduduki posisi sentral dalam proses
penyelesaian perkara pidana di pengadilan.
Dikatakan menduduki posisi sentral, karena surat dakwaan menjadi dasar dan
membatasi ruang lingkup pemeriksaan sidang pengadilan, dasar pembuktian, dasar
tuntutan pidana, dan dasar putusan pengadilan (Litis Contestatio) dan dasar dalam
melancarkan upaya hukum.
Pentingnya fungsi surat dakwaan dalam proses pidana tesebut, maka
penyusunannya menuntut kemampuan teknis profesional dan persiapan yang
matang dari penuntut umum. Untuk dapat menyusun suatu surat dakwaan yang
baik, diperlukan persiapan-persiapan sebagai berikut:
a. Mempelajari dan meneliti dengan seksama hasil penyidikan, guna mendapat
kepastian apakah dari hasil penyidikan tersebut telah tercukupi semua
persyaratan guna melakukan penuntutuan. Tindakan tersebut diatur dalam Pasal
139 jo Pasal 140 ayat(1) KUHAP.
b. Secara bulat dan utuh memahami, menguasai materi perkara yang antara lain
meliputi:
1. Tindak pidana apa yang terjadi
2. Kapan dan dimana tindak pidana itu dilakukan
3. Bagaimana Modus operandi yang dipergunakan dalam melakukan perbuatan
itu.
Universitas Sumatera Utara
4. Alat apa yang dipergunakan, apa yang menjadi sasaran dan apa yang telah
terwujud dalam tindak pidana itu
5. Apakah motivasi yang mendorong dilakukannya tindak pidana itu
6. Siapa-siapa yang mengetahui terjadinya tindak pidana itu
7. Benda-benda apa saja yang dapat diajukan sebagai barang bukti
8. Siapa-siapa saja yang dapat dipertanggung jawabkan atas terjadinya tindak
pidana tersebut
c. Memahami dan menguasai kelemahan-kelemahan yang melekat pada berkas
perkara dan mempersiapkan argumentasi untuk menangkis segala sanggahan,
bantahan atau keberatan atau kelemahan itu.
d. Mempelajari aspek hukum pidana(Materil dan Formil) yang terkait dalam
penuntutan perkara tersebut, termasuk mempelajari dan meneliti doktrin serta
yurisprudensi yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
e. Mengidentifikasi secara cermat bentuk tindak pidana yang bersangkutan,
kemudian menentukan bentuk/sistematik yang tepat dalam penyusunan
dakwaan
f. Memperhatikan dan melaksanakan mekanisme penyusunan surat dakwaan yang
menganut sistem koreksi berjenjang, antara penuntut umum – Kasi Pidum/Kasi
Pidsus dan KAJARI
g. Penyusunan surat dakwaan dilakukan secara cermat, jelas, dan lengkap, baik
mengenai syarat formil maupun syarat materil sebagaimana dimaksud Pasal 143
ayat(2) huruf a, b KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
h. Perumusan surat dakwaan, agar menggunakan bahasa yang sederhana tetapi
efektif.
Mekanisme pembuatan surat dakwaan melalui ketentuan Surat Edaran Jaksa
Agung RI No.SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 dan Surat Edaran
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No.B-607/E/11/1993 tanggal 22
November 1993, surat dakwaan hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan
langkah-langkah sebagai berikut:38
1. Persiapan pembuatan surat dakwaan:
1. Penelitian berkas perkara
2. Teknis redaksional
3. Pemilihan bentuk surat dakwaan
4. Matriks surat dakwaan
5. Konsep surat dakwaan
2. Pengetikan surat dakwaan
38 Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 Dan Surat Edaran Jaksa Muda Tindak Pidana Umum No.B-607/E/11/1993 tanggal 22 Novenber 1993
Universitas Sumatera Utara
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin ” Corruptio” yang kemudian muncul dalam
bahasa inggris dan prancis ” Corruption”, dalam bahasa belanda ” Korruptie”, dan
selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi.39 Korupsi secara
harfiah berarti ”Jahat” atau ”Busuk”40, sedangkan A.I.N. Kramer ST
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi41 . Oleh karena itu,
tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat,
rusak, atau suap.
Memperhatikan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Undang-Undang
No.20 Tahun 200, maka tindak pidana korupsi itu dapat di lihat dari dua segi yaitu
Korupsi aktif dan Korupsi pasif, adapun yang di maksud dengan korupsi aktif
adalah sebagai berikut:
1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi.
39Hamzah, Andi, dalam buku Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, ( Medan, Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1
40M. Echols, Jhon, Shadily, Hassan, dalam buku Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, ( Medan, Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), hal.1
41Kramer, A.I.N, dalam buku Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, ( Medan, Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi
3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi.
4. Percobaan, perbantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi.
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelengara
Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 5 ayat(1)
huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelengara Negara karena atau
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya berdasarkan Pasal 5 ayat(1) huruf b
Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Universitas Sumatera Utara
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
berdasarkan Pasal 6 ayat(1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001
8. Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau
barang atau keselamatan Negara dalam keadaan perang berdasarkan Pasal 7
ayat(1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001
9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana di maksud
dalam huruf a berdasarkan Pasal 7 ayat(1) huruf b Undang-Undang No.20
Tahun 2001
10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau
Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan Negara dalam keadaan perang berdasarka Pasal 7 ayat(1) huruf c
Undang-Undang No.20 Tahun 2001
11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI atau
Kepolisian Negara RI dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c berdasarkan Pasal 7 ayat(1) huruf d
Undang-Undang No.20 Tahun 2001
12. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
Universitas Sumatera Utara
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau di gelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No.20 Tahun 2001
13. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No.20 Tahun 2001
14. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja,
mengelapkan, menghancurka, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akte, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akte, surat atau daftar
tersebut, atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akte, surat atau daftar
tersebut berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang No.20 Tahun 2001
15. Pegawai negeri atau penyelengara Negara yang:
1. Berdasarkan Pasal 12 huruf e Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
2. Berdasarkan Pasal 12 huruf f Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan
atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi
3. Berdasarkan Pasal 12 huruf g Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi
4. Berdasarkan Pasal 12 huruf h Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi
5. Berdasarkan Pasal 12 huruf i Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan
atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi
16. Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu berdasarkan
Pasal 13 Undang-Undang No.31 Tahun 1999
Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut:
a. Pegawai negeri atau penyelengara Negara yang menerima pemberian atau
janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 5 ayat(2) Undang-
Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
b. Hakim atau advokad yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
atau untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili
berdasarkan Pasal 6 ayat(2) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan
atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi
c. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan TNI atau POLRI
yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c Undang-Undang No.20 Tahun 2001 berdasarkan Pasal 7
ayat(2) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
d. Pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima hadiah atau janji
pada hal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya berdasarkan Pasal 11
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai
Universitas Sumatera Utara
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu atau dalam jabatannya yang bertentangannya dengan kewajibannya
berdasarkan Pasal 12 huruf a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi
f. Hakim yang menerima hadiah atau janji, pada hal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berdasarkan Pasal
12 huruf c Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi
g. Advokad yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasehat
atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili berdasarkan Pasal 12 huruf d Undang-
Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
h. Setiap pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima gratifikasi
yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juga dapat dilakukan oleh Korporasi selain dilakukan oleh orang
perseorangan.
Adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam hal tindak pidana korupsi Pasal 20 ayat(1) dilakukan oleh atau atas nama
korporasi, maka tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
dan atau pengurusnya. Yang dimaksud dengan pengurus adalah organ korporasi
yang menjalankan kepengurusan korporasi bersangkutan sesuai dengan anggaran
dasar termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangannya dan
ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasi sebagai tindak
pidana korupsi42.
Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut.
42Lihat Penjelasan Pasal 20 ayat(1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi Pasal 20 ayat(3)
UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, maka
korporasi itu diwakili oleh pengurus dan sesuai dengan Pasal 20 ayat(4) UU No.31
Tahun 1999 tersebut dapat diwakili oleh orang lain. Untuk itu hakim dapat
memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri dipengadilan dan
dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan
sesuai dengan Pasal 20 ayat(5) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi.
3. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Dalam Melakukan Penuntutan
Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga kejaksaan di atur Undang-Undang
No.16 Tahun 2004 dan KUHAP. Pada asasnya lembaga kejaksaan dipimpin oleh
seorang Jaksa Agung RI dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi
sebagaimana Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004
tentang Percepatan pemberantasan korupsi huruf kesebelas butir ke-9 khusus Jaksa
Agung RI di instruksikan, bahwa:43
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang
yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.
43 Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi huruf kesebelas butir ke-9
Universitas Sumatera Utara
c. Meningkatkan kerja sama dengan kepolisian Negara RI, Badan Pengawas
Keuangan Dan Pembangunan, PPATK, dan institusi Negara yang terkait dengan
upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan Negara akibat
tindak pidana korupsi.
Lembaga penuntut dalam perkara pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 137
KUHAP Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja
yang di dakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.
Adapun dalam melakukan fungsinya berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP
penuntut umum mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu.
b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan Pasal 110 ayat(3) dan Ayat(4) dengan memberikan petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik.
d. Membuat surat dakwaan
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
g. Melakukan penuntutan.
Universitas Sumatera Utara
h. Menutup perkara demi kepentingan umum.
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan Undang-undang.
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Berkaitan dengan wewenang Jaksa Penuntut umum sesuai dengan ketentuan
Pasal 137 huruf d KUHAP yaitu membuat surat dakwaan, maka dalam perkara
tindak pidana korupsi dikenal 4 macam bentuk surat dakwaan, antara lain:44
1. Dakwaan tunggal
2. Dakwaan kumulatif
3. Dakwaan subsidaritas
4. Dakwaan campuran/gabungan
Menurut doktrin ada satu lagi bentuk surat dakwaan, yaitu dakwaan alternatif.
Akan tetapi, sepanjang pengetahuan, penelitian dan pengamatan penulis untuk
tindak pidana korupsi jarang ditemukan bentuk dakwaan alternatif dalam artian
yang sebenarnya. Pada praktik ditemukan kekaburan makna dan pencampuran
istilah antara dakwaan alternatif dengan dakwaan primer subsidair. Kalau diteliti,
ternyata dalam dakwaan alternatif yang sebenarnya, ditemukan kata ”atau” antara
dakwaan yang satu dengan berikutnya.
44 Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya, Cetakan Pertama, (Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2007), hal. 196
Universitas Sumatera Utara
Hal ini tidak ditemukan dalam dakwaan primer subsidair. Apabila ditinjau dari
aspek pembuktiannya karena dakwaan alternatif sifatnya jenis sehingga
Jaksa/Hakim dapat langsung membuktikan dakwaan mana sekiranya berdasarkan
hasil pemeriksaan di persidangan yang terbukti. Akan tetapi dalam dakwaan primer
subsidair harus dibuktikan terlebih dahulu dakwaan pertama.
Apabila tidak terbukti baru dibuktikan dakwaan berikutnya. Begitupun
sebaliknya, apabila dakwaan pertama telah terbukti, dakwaan berikutnya tidak perlu
dibuktikan lagi. Hal ini kalau diperbandingkan dengan dakwaan alternatif, sifat
tersebut berbeda sehingga menurut persepsi penulis tidak pada tempatnya
mengidentifikasikannya dakwaan alternatif dengan dakwaan primer subsidair.
1.1. Dakwaan Tunggal
Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan
tunggal, surat dakwaan hanya berisi satu dakwaan saja. Umumnya perumusan
dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung
faktor penyertaan atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor
subsidair. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa
jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk
tunggal. Lazim terjadi dalam praktek apabila Jaksa/Penuntut Umum
mempergunakan dakwaan tunggal, Jaksa/Penuntut Umum telah yakin bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidaknya
terdakwa tidak lepas dari tindak pidana yang didakwakan.Terdakwa didakwa
dengan bentuk seperti ini, sebenarnya mengandung resiko besar karena seandainya
Universitas Sumatera Utara
Jaksa Penuntut Umum gagal membuktikan dakwaannya dipersidangan, terdakwa
oleh Majelis Hakim jelas akan dibebaskan.
1.2. Dakwaan Kumulatif
Praktik peradilan secara terminologi bentuk dakwaan kumulatif lazim disebut
sebagai ”dakwaan berangkat” atau Cumulatieve ten Laste Legging” dan sebagainya.
Dengan titik tolak teoritis, sebenarnya hakikat dakwaan kumulatif diatur dalam
ketentuan Pasal 141 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang ditentukan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan
perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama
atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:45
1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya.
2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain, dan
3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, tetapi
yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pengaturan dakwaan kumulatif ini selain terdapat dalam hukum pidana formal,
juga diatur dalam hukum pidana materil sebagaimana tersurat ketentuan BAB VI
KUHP tentang gabungan tindak pidana/ pembarengan tindak pidana.
45 Pasal 141 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Universitas Sumatera Utara
Konkret bentuk dakwaan kumulatif dibuat penuntut umum apabila dalam satu
surat dakwaan ada beberapa tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak
berhubungan antara tindak pidana yang satu dengan yang lainnya, tetapi
didakwakan secara sekaligus, yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku
tindak pidana korupsi adalah terdakwa yang sama.
A.3. Subsidaritas
Surat dakwaan berbentuk subsidaritas adalah bentuk dakwaan yang terdiri dari
beberapa dakwaan secara berurutan dari dakwaan tindak pidana yang ancaman
pidana terberat sampai dengan dakwaan tindak pidana yang ancaman pidana makin
lebih ringan. Penuntut umum membuat surat dakwaan berbentuk subsidair karena
beberapa pasal dan/atau ketentuan pidana saling bertitik singgung/saling
berdekatan. Maksud penuntut umum adalah agar terdakwa tidak lepas dari
pertanggung jawaban pidana terhadap perbuatan/ tindak pidana yang telah
dilakukan.46
Sedangkan konsekuensi pembuktiannya maka yang diperiksan terlebih dahulu
adalah dakwaan primair dan bila tidak terbukti, baru beralih kepada dakwaan
subsidair dan demikian seterusnya.
Akan tetapi, sebaliknya bila dakwaan primair telah terbukti dakwaan
subsidairnya dan seterusnya tidak perlu dibuktikan lagi.
46 Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua Di Kejaksaan Dan Pengadilan NegeriUpaya Hukum dan Eksekusi Edisi Pertama ”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1992), hal. 331
Universitas Sumatera Utara
Konkretnya, dakwaan subsidairitas, teoritisnya disusun berlapis-lapis dari
urutan terberat sampai teringan, bagaimana halnya apabila aspek ini dilanggar
penuntut umum? Terhadap aspek tersebut M.Yahya Harahap secara tegas
berpendapat bahwa:47 ” Jawaban atas pertanyaan tersebut, bergantung kepada
pendekatan yang dilakukan.
Pendekatan bersifat Formalistic Legal Thinking secara sempit dan ekstrim,
pelanggaran atas prinsip tersebut:
• Dianggap melanggar hukum acara yang tidak bisa ditolelir, karena berakibat
menyulitkan terdakwa membela kepentingan dirinya.
• Karena pelanggaran itu bersifat Undue Proces berarti pemeriksaan berada
dalam keadaan Unfairtrial dan sekaligus mengandung pelanggaran Hak Azasi
terdakwa untuk memperoleh Fair trial
Asas Pasal 4 ayat(1),(2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman: ”Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan(asas ini pada saat
sekarang dianut secara luas disemua Negara dengan rumusannya: Informal
procedure and can be put in motion quikly).
47 Harahap, M.Yahya, dalam Buku Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahannya, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2007), hal. 200
Universitas Sumatera Utara
Pelanggaran atau kekeliruan dimaksud dapat dianggap sebagai Clerical Error
(kesalahan pengetikan) atau Procedural Error(kesalahan prosedur) yang dapat
diluruskan dengan jalan:
• Hakim dalam persidangan mengubah susunan dakwaan sesuai dengan prinsip
yang digariskan.
• Hal itu dapat dilakukan dengan cara mencatat dalam berita acara serta
menjelaskan dalam pertimbangannya
Hakim yang bersikap sempit menghadapi pelanggaran yang sepele ini, dianggap
naif dan agak arogan dan kurang profesional dan tidak memiliki daya improvisasi.
Sebab seandainya pun terjadi susunan urutan yang menempatkan dakwaan yang
lebih ringan ancaman pidananya sebagai primair, hakim dalam kedudukannya yang
aktif memimpin jalannya persidangan dapat mengarahkan pemeriksaan mulai dari
yang lebih berat ancaman pidananya. Oleh karena itu, tidak rasional, tidak realistis
dan tidak objektif untuk menyatakan dakwaan kabur serta membingungkan
terdakwa membela kepentingannya.
A.4. Dakwaan Campuran/Gabungan
Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan
dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair.Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu
mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan dalam
perkara narkotika.
Bentuk dakwaan kombinasi ini bertumbuh dalam praktek yang merupakan:
a. Gabungan bentuk dakwaan kumulatif dengan alternatif, atau
b. Gabungan bentuk dakwaan kumulatif dengan subsidair.
Universitas Sumatera Utara
Surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dengan perkara
Nomor:PDS-01/JKT-PST/03/2006 tertanggal 06 Maret 2006, apabila Jaksa
Penuntut Umum terdapat keragu-raguan dalam mendakwa terdakwa, maka Jaksa
Penuntut Umum dalam mendakwa terdakwa seharusnya menggunakan surat
dakwaan dalam bentuk alternatif.
Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan tindak pidana korupsi
harus berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat(2) KUHAP menentukan bahwa: ”
Penuntut umum memuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani
serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin dan kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, Jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Ketentuan Pasal 143 ayat(2) KUHAP sebagaimana tersebut diatas, maka
menurut pandangan doktrina ilmu hukum acara pidana syarat-syarat tersebut
dapatlah di bagi menjadi:
1. Syarat formil
Syarat formil memuat hal-hal yang berhubungan dengan:
• Surat dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penuntut umum.
• Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, dan
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.
2. Syarat materil
Syarat materil memuat dua unsur yang tidak boleh dilalaikan:
a. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
Universitas Sumatera Utara
b. .Dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan
Setiap surat dakwaan mengandung 2(dua) syarat, yakni syarat formal dan syarat
materil, kedua syarat ini harus dipenuhi oleh surat dakwaan. Akan tetapi, nyatanya
diantara kedua syarat tersebut Undang-undang sendiri membedakan.
Perbedaan diantara kedua syarat ini dapat kita lihat dari bunyi ketentuan Pasal
143 ayat(3) yang menegaskan: surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) huruf b, batal demi hukum. Meneliti bunyi
penegasan ketentuan Pasal 143 ayat(3) tersebut dapat kita tarik kesimpulan:48
1. Kekurangan atas syarat formil, tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi
hukum. Hal ini berarti, kekurangan atau kesalahan mengenai isi syarat formil
surat dakwaan:
• Tidak dengan sendirinya batal menurut hukum, pembatalan surat dakwaan
yang diakibatkan kekurang sempurnaan syarat formil, ”dapat dibatalkan”.
jika tidak batal demi hukum tapi dapat dibatalkan, karena sifat kekurang
sempurnaan pencantuman syarat formil dianggap sebagai yang bernilai
”Kurang sempurna”
• Bahkan menurut hemat kami, kesalahan syarat formil tidak prinsipil sekali.
Misalnya hanya kesalahan penyebutan umur saja, tidak dapat dijadikan
alasan untuk membatalkan surat dakwaan. Kesalahan atau
• ketidak sempurnaan syarat formil dapat dibetulkan hakim dalam putusan.
48 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid Pertama ”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit: Pustaka Kartini, 1985), hal. 420
Universitas Sumatera Utara
Sebab pembetulan syarat-syarat formil surat dakwaan, pada pokoknya tidak
menimbulkan sesuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa.
b. Kekurangan syarat materil, mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi
hukum. Jelas kita lihat perbedaan diantara kedua syarat tersebut. Pada syarat
formil, kekurangan dan kesilapan memenuhi syarat tersebut tidak
mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum, akan tetapi masih dapat
dibetulkan. Sedang pada syarat materil, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi,
surat dakwaan batal demi hukum.
Ancaman batal demi hukum bagi dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 143 ayat(2) huruf b, dakwaan ”batal demi hukum” berarti:
- Dakwaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
- Dakwaan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Dakwaan tidak berkekuatan hukum dan dianggap tidak pernah ada, maka
keadaan perkara kembali ke status semua yakni status sebagaimana semula dalam
keadaan belum dilimpahkan. Dengan demikian penuntut umum jika hendak
melimpahkan lagi maka surat dakwaan diperbaiki atau penuntut umum mengajukan
upaya hukum banding.
Rumusan mengenai surat dakwaan sebagaimana dicantumkan pada Pasal 143
ayat(2) huruf b KUHAP, sesungguhnya tidak tepat karena yang dicantumkan dalam
pasal tersebut adalah ” Tindak Pidana Yang Didakwakan”. Dengan demikian, yang
diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap adalah mengenai tindak pidana yang
didakwakan, bukan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Rumusan-
Universitas Sumatera Utara
rumusan dalam hukum pidana adalah ” Perbuatan” yang dilakukan sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP.
Ketentuan Pasal 1 ayat(1) KUHP yang berbunyi: ” Tiada suatu perbuatan yang
boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang, yang
terdahulu dari perbuatan itu”49
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat(1) KUHP, maka dapat diketahui bahwa
hukum pidana materil memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman. Dengan demikian, hukum pidana materil berkenaan dengan ”Perbuatan”.
Berbeda halnya dengan syarat surat dakwaan yang berdasarkan R.I.B, syarat
tuduhan menurut Undang-undang terdiri dari 2(dua) syarat:50
1. Syarat formil
2. Syarat materil
A.1. Syarat Formil,
Syarat formil terdapat unsur-unsur mengenai nama, umur, tanggal, tempat lahir,
pekerjaan, dan tempat tinggal terdakwa.
B.2. Syarat Materil
Syarat materil suatu tuduhan ditentukan dalam Pasal 250 R.I.B sebagai berikut :
harus dinyatakan :
a. Perbuatan-perbuatan yang dituduhkan.
b. Waktu dan tempat perbuatan itu kira-kira dilakukan.
49 Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 50 Nasution, A.Karim, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Muda Pati
Adhyaksa, Kepala Direktorat Khusus Bidang Operasi Kejaksaan Agung RI, 1972),hal. 79
Universitas Sumatera Utara
c. Keterangan-keterangan mengenai keadaan-keadaan terutama yang dapat
memberatkan atau meringankan kesalahan tertuduh.
Syarat-syarat yang tersebut dalam a dan b jika tidak dipenuhi diancam dengan
pembatalan, sedang syarat-syarat dalam c tidak diancam pembatalan.
Menurut Pasal 282 R.I.B, selama persidangan berjalan, hakim (sekarang Jaksa)
dapat melakukan perubahan pada surat tuduhan dalam batas-batas tertentu.
Sebenarnya dengan kemungkinan merubah tersebut ancaman pembatalan dalam
syarat a dan b diatas telah berkurang artinya.
Memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang diatas, sepintas
lalu nampaknya tidak begitu sulit untuk menyusun suatu tuduhan, namun dengan
demikian dengan mempelajari yurisprudensi, akhirnya akan ternyata bahwa
sungguh-sungguh tidak mudah untuk membuat suatu surat tuduhan yang baik.
Pengalaman menunjukan bahwa masih sering terjadi pembuatan surat tuduhan
yang kurang sempurna, sejarah pertumbuhannya juga dapat disimpulkan bahwa
penyusunannya bukan dianggap suatu pekerjaan yang mudah. Sejak lahirnya surat
tuduhan dalam tahun 1885, yang ditugaskan membuatnya adalah Ketua Pengadilan
(Hakim).
Diketahui bahwa R.I.B yang merubah IR yang ditujukan pada pembentukan
Lembaga Penuntut Umum yang berdiri sendiri, masih juga belum memikirkan
untuk memberi wewenang kepada Jaksa untuk membuat surat tuduhan.
Oleh sebab itu, samapai kita mengalami sedemikian lama keadaan yang sangat
janggal dimana hakim yang ditugaskan membuat surat tuduhan, yang sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
tidak sesuai sama sekali dengan sistem accusatoir dari pemeriksaan perkara
dipengadilan
4. Bentuk-Bentuk Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi
Bentuk kerugian Negara dalam perkara tindak pidana atas nama terdakwa
Darianus Lungguk Sitorus, adalah:
1. Kerugian atas hilangnya tegakan besarnya antara USD 1655,36 per Ha hingga
USD 1795,32 per Ha atau Rp.16.553.600 per Ha hingga Rp.17.953.200 per Ha.
2. Kehilangan perolehan PSDH dan DR besarnya antara Rp.3.967.668 per Ha
hingga Rp.4.225.176 per Ha
3. Kerugian rehabilitasi yang didekati dengan standar biaya rehabilitasi lahan
sebesar Rp.4.500.000 per Ha
4. Kerugian atas tanah/lahan yang dikuasai oleh pihak lain dengan perkiraan harga
tanah di padang lawas adalah Rp.7.500.000 per Ha.
Bentuk kerugian Negara akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa atas
nama Darianus Lungguk Sitorus tersebut diatas, yang mana dalam hal ini, terdakwa
sama sekali telah melalaikan kewajibannya dalam membuka lahan hutan dengan
maksud untuk merubah fungsi lahan hutan, maka dalam hal ini, atas dasar kerugian
Negara tersebut Jaksa Penuntut Umum dalam menetapkan terdakwa kedalam
dugaan perkara tindak pidana korupsi adalah tidak sesuai dengan kenyataannya,
walaupun, secara tidak langsung akibat perbuatan terdakwa yang mengalih
fungsikan lahan hutan menimbulkan kerugian Negara, akan tetapi, untuk
membuktikan perbuatan terdakwa harus didasarkan kepada pembuktian yang
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan kepada hukum acara pidana yang berlaku yakni Pasal 184
ayat(1)KUHAP yang menyatakan, antara lain:
Alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,
Keterangan terdakwa. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada
sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materil akan peristiwa yang terjadi
dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim
dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, adanya
korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan
kebenaran materil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian
terhadap aspek-aspek sebagai berikut:
a. Perbuatan-perbuatan mana kah yang dapat dianggap terbukti.
b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.
d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain berorientasi kepada
pengadilan juga dapat berguna dan penting dalam kehidupan sehari-hari maupun
kepentingan lembaga penelitian bahwa kekhususan peranan pembuktian untuk
pengadilan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang hukum pidana,
antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi
kualifikasi perbuatan pidana atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
b. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain
apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh
manusia atau bukan alam.
c. Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain ditentukan
yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, dan
petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam Undang-undang.
Ketentuan normatif Pasal 183 KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian
Undang-undang secara negatif, akan tetapi asas pembuktian Undang-undang secara
negatif ini berbanding terbalik jikalau dilakukan oleh terdakwa yang
dikategorisasikan terhadap perkara-perkara tertentu seperti tindak pidana korupsi
menganut asas pembuktian terbalik.
Alat bukti yang terdapat didalam ketentuan Pasal 184 KUHAP tersebut masih
tetap berlaku dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, akan tetapi, terdapat
alat bukti tambahan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam menanggani
perkara tindak pidana korupsi .
Berdasarkan Pasal 26 A huruf a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang menyatakan:51
a. Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik, atau yang serupa dengan itu.
51 Pasal 26 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau, tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Khususnya terhadap perkara pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk
Sitorus ini, Jaksa penuntut umum hanya memaparkan mengenai akibat perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaannya, tetapi, disisi lain, Jaksa
penuntut umum dari segi pembuktiannya tidak meletakkan bukti-bukti dokumen
sebagaimana di atur dalam Pasal 26A huruf b Undang-Undang No.20 Tahun yang
kuat yang menyatakan bahwa terdakwa benar melakukan perbuatan tindak pidana
korupsi.
Pembahasan tentang adanya kerugian Negara akibat perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang No.1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pasal tersebut terdapat
kalimat ” Melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara”. Sedangkan yang di maksud dengan ”Merugikan” adalah sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang
dimaksudkan dengan unsur ” Merugikan Keuangan Negara” adalah sama artinya
dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara.
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang dimaksud dengan Keuangan Negara, didalam penjelasan umum
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan Negara adalah
seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau tidak
dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena:52
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat
lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah.
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha
Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Dengan tetap berpegangan pada arti kata ” Merugikan” yang sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan
unsur ” Merugikan Perekonomian” Negara adalah sama artinya dengan
perekonomian Negara menjadi rugi atau perekonomian Negara menjadi kurang
berjalan.
52 Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Cetakan Ke dua (Jakarta:Penerbit Sinar Grafika, 2009),hal. 41
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan umum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan ”
Perekonomian Negara” seperti yang disebutkan di dalam penjelasan umum Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 adalah sangat kabur. Akibatnya sangat sulit untuk
menentukan apa yang dimaksud dengan unsur ” Merugikan perekonomian Negara”
di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat
dalam Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Dengan demikian, untuk
dapat membuktikan adanya unsur merugikan ”Keuangan Negara” tidak terlalu sulit,
karena apa yang di maksud dengan ” Keuangan Negara” pengertiannya sudah jelas,
tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur ” Merugikan
perekonomian Negara” sangat sulit. Oleh karena itu, bentuk-bentuk kerugian
Negara dalam dugaan tindak pidana korupsi yang di tuangkan dalam surat dakwaan
Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dijadikan sebagai pembuktian bahwa terdakwa
telah terindikasi melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Disamping itu, Jaksa
Penuntut Umum dalam tidak menguraikan alat-alat bukti secara lengkap yang
sesuai dengan Pasal 26A Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Universitas Sumatera Utara
Korupsi, melainkan Jaksa Penuntut Umum hanya melakukan suatu rekayasa alat
bukti terhadap dakwaan tindak pidana korupsi, serta dalam hal ini dalam Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa antara tindak tindak pidana
kehutanan dengan tindak pidana korupsi sama sekali tidak memiliki hubungan yang
erat serta didalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan sama
sekali tidak mengatur hubungannya dengan tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara