chapter ii 1

25
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid 2.1.1. Embriologi Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang pertama kali tampak pada fetus, kelenjar ini berkembang sejak minggu ke-3 sampai minggu ke-4 dan berasal dari penebalan entoderm dasar faring, yang kemudian akan berkembang memanjang ke kaudal dan disebut divertikulum tiroid. Akibat bertambah panjangnya embrio dan pertumbuhan lidah maka divertikulum ini akan mengalami desensus sehingga berada di bagian depan leher dan bakal faring. Divertikulum ini dihubungkan dengan lidah oleh suatu saluran yang sempit yaitu duktus tiroglosus yang muaranya pada lidah yaitu foramen cecum (Cady & Rossy, 1998). Divertikulum ini berkembang cepat membentuk 2 lobus yang tumbuh ke lateral sehingga terbentuk kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus lateralis dengan bagian tengahnya disebut ismus. Pada minggu ke-7 perkembangan embrional kelenjar tiroid ini mencapai posisinya yang terakhir pada ventral dari trakea yaitu setinggi vertebra servikalis V, VI, VII dan vertebra torakalis I, dan secara bersamaan duktus tiroglosus akan hilang. Perkembangan selanjutnya tiroid bergabung dengan jaringan ultimobranchial body yang berasal dari branchial pouch V, dan membentuk C-cell atau sel parafolikuler dari kelenjar tiroid (Cady & Rossy, 1998) . Sekitar 75 % pada kelenjar tiroid ditemukan lobus piramidalis yang menonjol dari ismus ke kranial, ini merupakan sisa dari duktus tiroglosus bagian kaudal. Pada akhir minggu ke 7 – 10 kelenjar tiroid sudah mulai berfungsi, folikel pertama akan terisi koloid. Sejak saat itu fetus mulai mensekresikan Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH), dan sel parafolikuler pada fetus sementara belum aktif (Cady & Rossy, 1998). Universitas Sumatera Utara

Upload: viltini

Post on 01-Oct-2015

230 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Ttttiisdhndndnfjndjsndndn

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid

    2.1.1. Embriologi

    Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang pertama kali tampak pada fetus,

    kelenjar ini berkembang sejak minggu ke-3 sampai minggu ke-4 dan berasal dari

    penebalan entoderm dasar faring, yang kemudian akan berkembang memanjang ke

    kaudal dan disebut divertikulum tiroid. Akibat bertambah panjangnya embrio dan

    pertumbuhan lidah maka divertikulum ini akan mengalami desensus sehingga berada

    di bagian depan leher dan bakal faring. Divertikulum ini dihubungkan dengan lidah

    oleh suatu saluran yang sempit yaitu duktus tiroglosus yang muaranya pada lidah

    yaitu foramen cecum (Cady & Rossy, 1998).

    Divertikulum ini berkembang cepat membentuk 2 lobus yang tumbuh ke

    lateral sehingga terbentuk kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus lateralis dengan bagian

    tengahnya disebut ismus. Pada minggu ke-7 perkembangan embrional kelenjar tiroid

    ini mencapai posisinya yang terakhir pada ventral dari trakea yaitu setinggi vertebra

    servikalis V, VI, VII dan vertebra torakalis I, dan secara bersamaan duktus tiroglosus

    akan hilang. Perkembangan selanjutnya tiroid bergabung dengan jaringan

    ultimobranchial body yang berasal dari branchial pouch V, dan membentuk C-cell

    atau sel parafolikuler dari kelenjar tiroid (Cady & Rossy, 1998) .

    Sekitar 75 % pada kelenjar tiroid ditemukan lobus piramidalis yang menonjol

    dari ismus ke kranial, ini merupakan sisa dari duktus tiroglosus bagian kaudal. Pada

    akhir minggu ke 7 10 kelenjar tiroid sudah mulai berfungsi, folikel pertama akan

    terisi koloid. Sejak saat itu fetus mulai mensekresikan Thyrotropin Stimulating

    Hormone (TSH), dan sel parafolikuler pada fetus sementara belum aktif (Cady &

    Rossy, 1998).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.1.2. Anatomi dan Fisiologi

    Tiroid berarti organ berbentuk perisai segi empat.Kelenjar tiroid merupakan

    organ yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di

    sebelah anterior trakea.Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak

    vaskularisasinya, dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia

    profunda.Kapsula ini melekatkan tiroid ke laring dan trakea (Cady & Rossy, 1998).

    Klenjar ini terdiri atas dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu

    jembatan jaringan ismus tiroid yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan

    kadang-kadang terdapat lobus piramidalis yang muncul dari ismus di depan laring

    (Cady & Rossy, 1998).

    Kelenjar tiroid terletal di leher depan setentang vertebra servikalis 5 sampai

    trokalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan ileh ismus. Setiap lobus

    berbentuk seperti buah pear, dengan basis di bawah cincin trakea 5 atau 6. Kelenjar

    tiroid mempunyai panjang lebih kurang 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam keadaan normal

    kelenjar tiroid pada orang dewasa beratnya antara 10 sampai 20 gram. Aliran darah

    kedalam tiroid per gram jaringan kelenjar sangat tinggi (lebih kurang 5ml/menit/gram

    tiroid, kira-kira 50x lebih banyak dibanding aliran darah dibagian tubuh lainnya)

    (Cady & Rossy, 1998).

    Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis

    (musculus.sternothyroideus dan musculus sternohyoideus) kanan dan kiri yang

    bertemu pada midline.Otot-otot ini disarafi oleh cabang akhir nervus kranialis

    hipoglossus desendens dan yang kaudal oleh ansa hipoglossus. Pada bagian

    superfisial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisial yang

    membungkus musculus sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi

    lateral berbatasan dengan arteri karotis komunis, vena jugularis interna, trunkus

    simpatikus, dan arteri tiroidea inferior (Cady & Rossy, 1998).

    Bagian posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, nervus rekuren

    laringeus dan esofagus.Esofagus terletak dibelakang trakea dan laring sedangkan

    Universitas Sumatera Utara

  • nervus rekuren laringeus terletak pada sulkus trakeoesofagikus (Cady & Rossy,

    1998).

    Sumber: Netter F.H, 2006

    Gambar 2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid

    Hormon tiroid disintesis oleh glandula tiroidea. Sekresi hormon dipengaruhi

    oleh TRH dan TSH dari hipotalamus dan hipofisis anterior. Hormon stimulator

    Universitas Sumatera Utara

  • tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting untuk

    mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. Proses yang dikenal sebagai negative feedback

    sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan

    demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap perubahan di dalam

    maupun di luar tubuh (Watson, 2002).

    Mekanisme feedback terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan oleh T3

    dan T4.Sel-sel follikular kelenjar tiroid mensintesis tiroksin dan tiroglobulin.Tiroksin

    berikatan dengan tiroglobulin. Tiroksin yang terkandung dalam tiroglobulin

    disekresikan ke dalam koloid secara eksositosis. Iodine dari darah masuk ke dalam

    sel folikel dengan bantuan iodine pump. Iodine yang sudah sampai ke koloid akan

    berikatan dengan tiroksin yang terkandung dalam globulin (Agamemnon, 2001).

    Bila 1 iodine + 1 tyrosine = Monoiodotyrosine (MIT)

    Bila 2 iodine + tyrosine = Diiodotyrosine (DIT)

    MIT + DIT = T3

    DIT + DIT = T4

    T3 dan T4 kemudian dilepaskan ke dalam darah sedangkan iodine yang

    terikat pada MIT dan DIT dipergunakan kembali. TSH berperan untuk

    mempertahankan integritas kelenjar tiroid dan meningkatkan sekresi hormon tiroid

    dari kelenjar tiroid. Dalam keadaan fisiologis, faktor yang diketahui dapat

    meningkatkan sekresi TRH dan TSH dalam darah adalah rasangan udara dingin

    pada bayi baru lahir untuk meningkatkan produksi panas dan suhu tubuh

    (Agamemnon, 2001).

    Sedangkan pada orang dewasa mekanisme meningkatkan suhu tubuh tidak

    melalui TRH atau TSH melainkan melalui jalur simpatis. Respon terhadap kenaikkan

    kadar hormon tiroid di dalam darah dapat dideteksi setelah beberapa jam. Durasi

    kerjanya bisa sangat lama oleh karena responsnya akan tetap berlangsung sampai

    konsentrasi hormon tiroid di dalam darah normal dan juga karena hormon tiroid tidak

    didegradasi (Agamemnon, 2001).

    Universitas Sumatera Utara

  • Universitas Sumatera Utara

  • Sumber: Agamemnon, 2001 Gambar 2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2. Histologi

    Unit struktural dari tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan

    bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai

    kolumnar.Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas

    fungsional kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel

    folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam

    keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidisme, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan

    sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (Koss, 2006).

    Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen

    eosinofilik.Variasi kepadatan dan warna daripada koloid ini juga memberikan

    gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan

    dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak

    dijumpai folikel dalam keadaan inaktif berhubungan dengan beberapa kasus

    keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini

    akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik,

    kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky

    cells) atau Hrthle cells (Koss, 2006).

    Sumber: Anthony, 2009

    Gambar 2.3.: Histologi Kelenjar Tiroid

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3. HIPERTIROIDISME

    2.3.1. Pengertian

    Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan keadaan kelebihan hormon tiroid

    yang berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang dijadi bila

    suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.

    Hipertiroid adalah keadaan abnormal kelenjar tiroid akibat meningkatnya

    produksi hormon tiroid sehingga kadarnya meningkat dalam darah yang ditandai

    dengan penurunan berat badan, gelisah, tremor, berkeringat dan kelemahan otot

    (Batubara, 2010).

    Hipertiroid kongenital terjadi karena transfer TRSAbs (TSH reseptor-

    stimulating antibodies) dari ibu ke bayi melalui plasenta. Awitan klinis, berat, dan

    perjalanan penyakitnya dipengaruhi oleh potensi TRSAb, lama dan derajat beratnya

    hipertiroid intrauterin, serta obat antitiroid yang dikonsumsi oleh ibu (Batubara,

    2010).

    2.3.2. Epidemiologi

    Sampai saat ini belum didapatkan angka yang pasti insiden dan prevalensi

    hipertiroid pada anak di Indonesia.Beberapa pustaka di luar negeri menyebutkan

    insidennya pada masa anak secara keseluruhan diperkirakan 1/100.000 anak per tahun

    (Birrel, 2004). Mulai 0,1/100.000 anak per tahun untuk anak 0-4 tahun, meningkat

    sampai dengan 3/100.000 anak pertahun pada usia remaja (Levard, 1994). Secara

    keseluruhan insiden hipertiroid pada anak jumlahnya kecil sekali atau diperkirakan

    hanya 5-6% dari keseluruhan jumlah penderita penyakit Graves segala umur (Dallas,

    1996).

    Prevalensinya pada remaja wanita lebih besar 6-8 kali dibanding dengan

    remaja pria. Kebanyakan dari anak yang menderita penyakit Graves mempunyai

    riwayat keluarga penyakit Addison, lupus sistemik, ITP, Myasthenia gravis,

    Rheumatoid arthritis, dan vitiligo. Penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada

    Universitas Sumatera Utara

  • pasien dengan trisomi 21. Sedangkan penyakit Graves pada neonatus hanya terjadi

    pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu berpenyakit Graves dengan prevalensi 1: 70

    kelahiran (Fisher, 2002).

    2.3.3. Etiologi

    Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit Graves, suatu

    penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan

    hormon yang berlebihan (William, 2002). Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang

    selain penyakit Graves adalah:

    Tabel 2.1. Penyebab Tirotoksikosis pada Anak

    Hipertiroidisme:

    Penyakit Graves

    Nodul tiroid toksik (Plummer disease)

    Adenoma toksik

    TSH-induced hyperthyroidism:

    Tumor hipofisis diproduksi oleh TSH

    Resistensi hormon tiroid hipofisis

    Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme:

    Tiroiditis limfositik kronik (tiroiditis Hashimoto)

    Tiroiditis subakut (bakteri)

    Hormon tiroid berlebihan (thyrotoxicosis factitia)

    McCune-Albright syndrome

    __________________________________________________________________

    Sumber: Juliane, 2013

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3.4. Patofisiologi

    2.3.4.1. Graves pada neonatus

    Terdapat perbedaan yang mendasar patofisiologi penyakit Graves yang

    terjadi pada bayi dengan anak dan dewasa. Penyakit Graves pada bayi atau neonates

    selalu transien atau bersifat sementara, sedangkan pada anak dan dewasa biasanya

    bersifat menahun (Brown, 2005).

    Neonatal graves hanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang

    menderita penyakit graves dengan aktivitas antibodi stimulasi reseptor TSH (TSH

    receptor-stimulating antibodies, yang merupakan suatu TRAb-stimulasi) yang kuat.

    Hal ini dikarenakan TRAb-stimulasi dari ibu sampai bayi melalui plasenta. TRAb-

    stimulasi bisa terdapat dalam sirkulasi ibu hamil yang tidak dalam keadaan

    hipertiroid, oleh karena itu adanya riwayat penyakit Graves pada ibu harus menjadi

    pertimbangan risiko terjadinya penyakit graves pada bayinya (Fisher, 2002).

    Ibu dengan penyakit Graves dapat memiliki campuran antibodi dan

    inhibisi/blocking terhadap reseptor TSH (TRAb-stimulasi dan TSH receptor-blocking

    antibodies atau disebut TRAb-inhibisi) sekaligus. Jenis antibodi yang sampai kepada

    bayi melalui plasenta akan mempengaruhi kelenjar tiroid bayi, bayi yang dilahirkan

    dapat hipertiroid, eutiroid atau hipotiroid, tergantung antibodi yang lebih dominan.

    Potensi kondisi hipertiroid di dalam kandungan, serta obat-obatan anti-tiroid dari ibu

    merupakan faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada status tiroid bayi (Fisher,

    2002).

    2.3.4.2. Graves pada anak dan remaja

    Penyakit graves merupakan penyakit autoimun dengan adanya defek pada

    toleransi imun dengan penyebab yang belum jelas. Adanya autoantibodi yang bekerja

    pada reseptor TSH di kelenjar tiroid (TSH receptor-stimulating antiobodies atau

    disebut TRAb-stimulasi) menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon

    tiroid secara otonom di luar jaras hipotalamus-hipofisis-tiroid. Antibodi tersebut

    merupakan lgG subklas lgG1, dengan target utama auto-antigen dari reseptor TSH,

    Universitas Sumatera Utara

  • yang mirip dengan auto-antigen di jaringan subkutan dan otot-otot ekstraokuler

    (Weetman, 2000).

    Di samping itu penderita penyakit Graves juga memproduksi

    immunoglobulin yang mempunyai aktivitas menghambat reseptor TSH secara

    langsung. Antibodi ini juga mempunyai target yang lain di kalenjar tiroid yakni tiroid

    peroksidase sebagi anti-TPO, dan juga tiroglobulin sebagai anti-Tg (Brown, 2005).

    Perbedaan aktivitas biologis kedua jenis auto-antibodi stimulasi dan inhibisi

    hanya dapat dilihat pada pemeriksaan in vitro dengan kultur menggunakan antibodi

    penderita pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor TSH. Antibodi stimulasi akan

    meningkatkan produksi cAMP pada kultur, sedangkan antibodi inhibisi akan

    menghambat peningkatan cAMP (Fisher, 2002).

    2.3.5. Diagnosis

    2.3.5.1. Manifestasi Klinis

    Tabel 2.2. Gejala klinis penyakit graves pada neonatus. Gejala klinis Graves neonatus

    Rewel Takikardia

    Malas minum Hepatomegali

    Berat badan tidak naik Ikterus

    Diare Kraniosinostosis

    Sulit tidur Gagal jantung

    Struma Trombositopenia

    Proptosis Kematian

    Sumber: Rossi, 2005

    Tidak semua bayi yang lahir segera menunjukkan gejala klinis sebagai

    hipertiroid.Apabila terdapat TRAb-inhibisi di dalam sirkulasi bayi, bayi dapat

    mengalami hipotiroid yang bersifat transient atau eutiroid.Demikian juga bila ibu

    Universitas Sumatera Utara

  • mengkonsumsi obat-obatan anti-tiroid (Brown, 2005). Gejala klinis penyakit Graves

    pada neonatus adalah seperti pada tabel 2.2.

    Yang paling sering dikeluhkan terutama oleh anak prepubertas adalah

    penurunan berat badan yang nyata dan diare.Sedangkan tanda klinis klasik hipertiroid

    seperti pada dewasa yang meliputi palpitasi, iritabilitas, tremor halus, dan intoleransi

    terhadap panas lebih menonjol terjadi pada anak remaja (Lazar, 2000).

    Pembesaran kelenjar tiroid (goiter), walau hampir selalu ada, tetapi bukanlah

    hal yang utama menjadi keluhan, bahkan sering menjadi hal yang di luar perhatian

    keluarga penderita, bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun, dikarenakan pembesaran

    sering kali ringan. Kalenjar tiroid yang membesar teraba lembut dan berbatas tidak

    tegas (diffuse), tidak rata, dan fleshy, sering juga terdengar bruit pada auskultasi

    (Bhadada, 2006).

    Beberapa penderita juga sering mengeluhkan adanya poliuria dan mengompol

    di malam hari, sebagai akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus.Pada anak-anak

    remaja sering terjadi gangguan pubertas.Pada remaja wanita yang telah menarche,

    seringkali terjadi amenore sekunder.Gangguan tidur yang menyertai seringkali

    menyebabkan anak cepat lelah (Brown, 2005). Secara keseluruhan gejala dan tanda

    klinis penyakit Graves dapat dilihat pada tabel 2.3.

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.3. Gejala klinis penyakit graves pada anak. TANDA Jumlah (%) Struma*

    Takikardia

    Bruit pada tiroid

    Bising jantung

    Peningkatan sensitivitas

    Peningkatan denyut nadi

    Berkeringat banyak

    Tremor

    Palpitasi

    Intoleransi terhadap panas

    Peningkatan nafsu makan

    Hipertensi

    Oftalmopati

    Peningkatan tinggi badan

    Penurunan berat badan

    Diare

    Hiperaktif

    Gangguan menstruasi

    Gangguan tidur

    Lekas capai

    Sakit kepala

    98-99

    82-95

    20-84

    10-84

    80-82

    77-80

    41-78,6

    51-78,2

    34-76,8

    27-76,8

    47-73,2

    71

    58,9-71

    71-71

    50-54

    13-48,2

    44

    33,3

    22-30,4

    5,4-16

    15

    *hanya 62,5 % termasuk sedang sampai besar

    Sumber: Bhadada, 2006

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.4. Derajat Tanda Okular Berdasarkan Peningkatan Keparahan

    Kelas Tanda

    0 Tidak ada gejala atau tanda

    1 Hanya tanda, yang mencakup retraksi

    kelopak mata atas, dengan atau tanpa lid

    lag, atau proptosis sampai 22mm. Tidak

    ada gejala.

    2 Keterlibatan jaringan lunak

    3 Proptosis >22 mm

    4 Keterlibatan jaringan lunak

    5 Keterlibatan kornea

    6 Kehilangan penglihatan akibat

    keterlibatan saraf optikus

    Sumber: Warner, 1977

    Tingkat 2 mewakili terkenanya jaringan lunak dengan edema periorbital;

    kongesti atau kemerahan konjungtiva dan pembengkakan konjungtiva

    (kemosis).Tingkat 3 mewakili proptosisi sebagaimana diukur dengan

    eksoftalmometer Hertel.Instrumen ini terdiri dari 2 prisma dengan skala dipasang

    pada suatu batang.Prisma-prisma ini diletakkan pada tepi orbital lateral dan jarak dari

    tepi orbital ke kornea anterior diukur dengan skala (Surks, 1990).

    Tingkat 4 mewakili keterlibatan otot yang paling sering terkena adalah rektus

    inferior, yang merusak lirikan ke atas.Otot yang kedua paling sering terkena adalah

    rektus medialis dengan gangguan lirikan ke lateral.Tingkat 5 mewakili keterlibatan

    kornea (keratitis), dan tingkat 6 hilangnya penglihatan akibat terkenanya nervus

    optikus (Surks, 1990).

    Seperti disebutkan di atas, oftalmopatia disebabkan infiltrasi otot-otot

    ekstraokular oleh limfosit dan cairan edema pada suatu reaksi inflamasi akut.Orbita

    berbentuk konus ditutupi oleh tulang; dan pembengkakan otot-otot ekstraokular

    Universitas Sumatera Utara

  • karena ruang tertutup ini menyebabkan protopsis bola mata dan gangguan pergerakan

    otot, mengakibatkan diplopia (Surks, 1990).

    2.3.5.2. Pemeriksaan fisik Inspeksi Inspeksi dilakukan kepada penderita dengan posisi duduk dan kepala sedikit

    diekstensi.Pemeriksa berada didepan penderita dan memperhatikan perubahan warna

    kulit, ulkus, fistel, sekret, dan tentukan lokasi. Seterusnya, pemeriksa akan

    menentukan lokasi, jumlah dan bentuk pada benjolan. Bila benjolan berada di tengah

    leher, penderita disuruh meneguk air dan perhatikan benjolan bergerak keatas

    (Castro, 2004).

    Palpasi

    Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,

    kepala dalam posisi sedikit ekstensi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba

    tiroid dengan menggunakan kedua tangan, bagian volar distal digiti 2,3 dan 4 pada

    tengkuk penderita. Bila terdapat benjolan dibagian tengah leher, dibawah kartilago

    tiroidea perhatikan lokasi, jumlah, konsistensi, permukaan, batas, pergerakan, nyeri

    dan ukuran (mm) (Castro, 2004).

    Nodul yang teraba biasanya mempunyai ukuran lebih dari 1.5 cm, namun hal

    ini juga bergantung pada letak dan bentuk dari leher pasien.Dengan pemeriksaan fisik

    dapat juga untuk melihat pergerakan nodul saat menelan.memperkirakan adanya

    pembesaran limfonodi di sekitar leher yaitu di daerah supraklavikular dan

    jugulocarotid, yang sering terjadi pada karsinoma papiliferum, juga dapat diketahui

    melalui pemeriksaan daerah leher. Selain lokasi dan ukuran, palpasi juga dapat

    memperkirakan konsistensi dari nodul.Adanya konsistensi nodul yang padat dan

    ireguler atau menempel pada jaringan sekitar (Nadia, 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3.5.3. Pemeriksaan Laboratorium pada Neonatus

    Diagnosis hipertiroidisme pada neonatal Graves ditunjukkan dengan adanya

    peningkatan kadar T4, FT4, T3, dan FT3 yang disertai supresi kadar TSH. Adanya titer

    TRAb yang tinggi pada ibu atau bayi merupakan konfirmasi penyebabnya (Brown,

    2005).

    Mengingat pentingnya diagnosis dan terapi yang segera, beberapa keadaan

    seperti pada tabel 3 patut dipertimbangkan sebagai neonatal Graves untuk dilakukan

    pemeriksaan uji fungsi tiroid yang diperlukan (Brown, 2005).

    Tabel 2.5. Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan sebagai neonatal Graves

    Sumber: Brown, 2005

    2.3.5.4. Pemeriksaan Laboratorium pada Anak

    Pemeriksaan T3 merupakan hal yang penting, sekitar 5% anak dengan

    penyakit Graves mempunyai kadar T3 yang meningkat nyata, namun dengan kadar T4 yang normal atau sedikit di atas normal. Keadaan ini dikenal sebagai T3 toxicosis

    (Fisher, 2005).TSH biasanya sangat rendah atau tidak terdeteksi. Peningkatan T4 atau

    T3 tanpa disertai kadar TSH yang rendah tidak menyokong keadaan hipertiroid. Hal

    ini kemungkinan dapat diakibatkan karena kelebihan thyroxine-binding globulin atau

    karena gangguan binding protein. Pada keadaan terakhir, kadar TBG di dalam serum

    1. Takikardia yang tidak jelas sebabnya, adanya goiter atau store.

    2. Peteki yang tidak jelas sebabnya, hiperbilirubinemia, atau hepatomegaly.

    3. Riwayat atau adanya TRAb yang tinggi selama kehamilan ibu.

    4. Riwayat atau adanya kebutuhan obat anti tiroid yang meningkat selama

    kehamilan ibu.

    5. Riwayat terapi ablasi tiroid dari ibu.

    6. Riwayat penyakit Graves pada keluarga.

    Universitas Sumatera Utara

  • harus diperiksa juga. Kadar TSH yang rendah juga dapat menyingkirkan

    kemungkinan hipertiroid karena induksi TSH dan hipofisis yang resisten terhadap

    hormon tiroid (Brown, 2005).

    Antibodi terhadap tiroid (anti-TG dan anti-TPO) kadang juga positif pada

    anak dengan penyakit Graves, yang sulit dibedakan dengan fase tirotoksik pada

    tiroiditis Hashimoto.Pada keadaan demikian, untuk membedakannya perlu

    pemeriksaan TRAb-stimulasi (Dallas, 1996).Namun demikian, pada keadaan yang

    sudah jelas terdapat tanda klinis penyakit Graves, semasa hipertiroid, goiter,

    proptosis, maka pemeriksaan TRAb-stimulasi tidak diperlukan lagi mengingat

    mahalnya pemeriksaan ini (Brown, 2005).

    Tabel 2.6. Nilai rujukan untuk kadar T4 total, T3, T4 bebas, TSH

    HORMON USIA NILAI NORMAL T4 (g/dL) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4)

    Bayi aterm

    Usia 1-3 hari

    1 minggu

    1-12 bulan

    Prepubertas

    1-3 tahun

    3-10 tahun

    Anak pubertas (11-18 tahun)

    2,6-14,0

    8,2-19,9

    6,0-15,9

    6,1-14,9

    6,8-13,5

    5,5-12,8

    4,9-13,0

    FT4 (g/dL) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4)

    Bayi aterm

    Usia 1-3 hari

    1-12 bulan

    Prepubertas

    Anak pubertas

    0,4-2,8

    2,0-4,0

    0,9-2,6

    0,8-2,2

    0,8-2,3

    Universitas Sumatera Utara

  • T3 (ng/dL) Bayi premature (26-30 minggu, hari ke 3-4)

    Bayi aterm

    Usia 1-3 hari

    1 minggu

    1-12 bulan

    Prepubertas

    Anak pubertas (11-18 tahun)

    24-132

    89-405

    91-300

    85-250

    119-218

    80-185

    TSH

    (U/mL)

    Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4

    Bayi aterm

    4 hari

    1-12 bulan

    Usia Prepubertas

    Usia pubertas

    0,8-6,9

    1,3-16

    0,9-7,7

    0,6-5,5

    0,5-4,8

    Sumber: Mac Gillivray, 2004

    2.3.5.5. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)

    Pada prinsipnya FNAB bertujuan untuk memperoleh sampel sel-sel nodul

    tiroid yang teraspirasi melalui penusukan jarum ke jaringan nodul tiroid.Untuk itu

    dibutuhkan jarum steril 23-25G serta semprit.Pertama kelenjar tiroid harus dipalpasi

    secara hati-hati dan nodul diidentifikasi dengan baik dan benar.Kemudian, pasien

    ditempatkan pada posisi supinasi dengan leher hiperekstensi, untuk mempermudah

    tempatkan bantal pada bawah bahu.Pasien tidak diperbolehkan menelan, bertanya,

    dan bergerak selama prosedur.Perlu diinformasikan juga kepada pasien bahwa

    prosedur ini memerlukan anestesi lokal (Kini, 1987).

    Setelah mengidentifikasi nodul yang akan diaspirasi, kulit tersebut

    dibersihkan dengan alkohol. Semprit 10cc dipasangkan ke syringe holder dan

    dipegang dengan tangan kanan. Jari pertama dan kedua tangan kiri menekan dan

    memfiksasi nodul, sehingga dapat mempertahankan arah tusukan jarum oleh tangan

    Universitas Sumatera Utara

  • lainnya yang dominan.Tangan kanan memegang jarum dan semprit tusukkan dengan

    tenang.Waktu jarum sudah berada dalam nodul, dibuat tarikan 2-3cc pada semprit

    agar tercipta tekanan negatif.Jarum ditusukkan 10-15 kali tanpa mengubah arah,

    selama 5-10 detik. Pada saat jarum akan dicabut dari nodul, tekanan negatif

    dihilangkan kembali (Kini, 1987).

    Setelah jarum dicabut dari nodul, jarum dilepas dari sempritnya dan sel-sel

    yang teraspirasi akan masih berada di dalam lubang jarum. Kemudian isi lubang

    ditumpahkan keatas gelas objek.Buat 6 sediaan hapus, 3 sediaan hapus difiksasi

    basah dan dipulas dengan Papanicoulau.Sediaan lainnya dikeringkan di udara untuk

    dipulas dengan May Gruenwald Giemsa/DiffQuick.Kemudian setelah dilakukan

    FNAB daerah tusukan harus ditekan kira-kira 5 menit, apabila tidak ada hal-hal yang

    dikhawatirkan, daerah leher dibersihkan dan diberi small bandage (Orell, 1986).

    FNAB sangat aman, tidak ada komplikasi yang serius selain tumor seeding,

    kerusakan saraf, trauma jaringan, dan cedera vaskular.Mungkin komplikasi yang

    paling sering terjadi adalah hematoma, ini disebabkan karena pasien melakukan

    gerakan menelan atau berbicara saaat tusukan.Komplikasi lainnya yang perlu

    diperhatikan adalah vasovagal dan jarum menusuk trakea (Orell, 1986).

    Tabel 2.7. Klasifikasi dari FNA Cytology

    Sumber: Tom, 2006

    Kategori FNAC

    Sitologi

    THY 1 Bahan tidak cukup (insufficient material) THY 2 Jinak (tiroid nodul)

    (benign (nodular goiter)) THY 3 Curiga suatu tumor/neoplasma (folikular)

    (suspicious of neoplasma (follicular)) THY 4 Curiga keganasan

    (papilari/medulari/limfoma) (suspicious of malignancy (papillary/medullary/lymphoma))

    THY 5 Positif ganas (definite malignancy)

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.3.6. Penatalaksanaan 2.3.6.1. Terapi pada Neonatus

    Pada awal pengobatan perlu diingat bahwa neonatal Graves merupakan self

    limiting disease sehingga bersifat sementara, dan pengobatan dilakukan dengan

    prinsip titrasi untuk menjadikan bayi dalam keadaan eutiroid. Terapi yang diberikan

    adalah propylthiouracil (PTU) dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari atau methimazole

    (MMI) dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Jika gejalanya sangat

    hebat bias ditambahkan larutan Lugol dengan dosis 1 tetes setiap 8 jam untuk

    menghambat pelepasan hormon tiroid. Respon terap harus dilakukan dengan ketat

    selama 24-36 jam pertama (Fisher, 2002).

    Bila respons terapi kurang baik, dosis anti-tiroid bisa dinaikkan sampai 50%

    dan perlu ditambahkan propranolol untuk mengurangi gejala stimulasi simpatik yang

    berlebihan, dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari

    juga ditambahkan untuk mengurangi sekresi hormon tiroid dan mengurangi konversi

    T4 menjaid T3 di perifer.Penderita juga ditangani bersama dengan bagian kardiologi

    anak. ASI pada ibu yang mengkonsumsi antitiroid dapat tetap diberikan bila tidak

    melebihi 400mg/hari untuk PTU, dan 40mg/hari untuk MMI (Fisher, 2002).

    2.3.6.2. Terapi pada Anak

    Terdapat tiga pilihan metode terapi pada anak dengan penyakit Graves, yakni

    obat-obat antitiroid, abalasi dengan radioaktif yodium dan pembedahan.Tidak ada

    satupun yang memuaskan secara keseluruhan (Krassas, 2004). Pemilihan metode

    terapi harus disesuaikan dengan keadaan individu dan pertimbangan keluarga tentang

    keuntungan dan kerugiannya. Dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya remisi

    yang signifikan pada anak, maka penggunaan obat-obat anti tiroid merupakan pilihan

    pertama (Brown, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Obat anti tiroid

    Prophylthyouracil (PTU) dan methimazole (MMI) atau carbimazole (diubah

    menjadi MMI) merupakan obat-obatan yang paling banyak dipakai. Obat obat ini

    menghambat sintesis hormon tiroid dengan cara menghalangi coupling iodotirosin

    melalui penghambatan kerja enzim tiroperoksidase (Cooper, 2005). Khusus PTU,

    obat ini juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer, hal ini merupakan

    keuntungan tersendiri pada keadaan yang memerlukan penurunan segera kadar

    hormon tiroid aktif seperti yang terjadi pada keadaan krisis tiroid (Styne, 2004).

    PTU dan MMI diabsorpsi secara cepat di saluran cerna, kadar puncak di

    dalam serum terjadi 1-2 jam setelah obat diminum. Kadar obat di dalam serum akan

    menurun habis dalam 12-24 jam untuk PTU, dan lebih lama lagi untuk MMI. Hal ini

    mempengaruhi lama kerja masingmasing obat.Dengan demikian MMI dapat

    diberikan 1 kali sehari, sedangkan PTU diberikan 2-3 kali sehari.Methimazol (MMI)

    di dalam serum dalam bentuk bebas, sedangkan PTU 80-90% terikat pada albumin

    (Cooper, 2005).

    Pada awal terapi PTU dapat diberikan dengan dosis 5-10mg/kgBB/hari

    dalam dosis terbagi 3, dan MMI dapat diberikan 5-10% dari dosis PTU dalam dosis

    terbagi 2 atau sekali sehari. Pada kasus-kasus yang berat, beta blocker (Propanolol

    0,5-2,0 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3) dapat diberikan untuk mengendalikan

    aktivitas kardiovaskuler yang berlebihan sampai dicapai keadaan eutiroid (Fisher,

    1996). Follow-up uji fungsi tiroid harus dilakukan 4-6 minggu sampai kadar T4 (dan

    T3 total) dalam batas normal. Kadar TSH serum biasanya akan kembali normal dalam

    waktu beberapa bulan agak lama, sehingga pengukuran TSH akan lebih berarti

    sebagai indikator terapi bila dilakukan setelah dalam keadaan eutiroid, bukan pada

    awal terapi (Styne, 2004).

    Setelah kadar T4 dan T3 kembali normal, dosis obat antitiroid dapat

    diturunkan secara bertahap 30-50% dari total harian. Alternatif yang lain adalah

    dengan tidak merubah dosis antitiroid, melainkan menunggu kadar TSH meningkat

    sambil menambahkan dosis kecil L-thyroxine atau yang disebut regimen block-

    Universitas Sumatera Utara

  • replacement, namun demikian menurut penelitian yang telah dilakukan, kombinasi

    terapi ini (anti-tiroid dan L-T4) tidak memperbaiki angka remisinya. Keadaan eutiroid

    biasanya tercapai dalam waktu 6-12 minggu.Selama masa rumatan PTU dapat

    diberikan 2 kali sehari, dan MMI cukup 1 kali sehari.Biasanya penderita dapat

    difollow-up setiap 4-6 bulan (Brown, 2005).

    Lama terapi sangat individual, sampai saat ini tidak ada pedoman mengenai

    lama terapi yang optimal, rata-rata dapat mencapai 2-3 tahun (Bhadada, 2006) Sekitar

    50% dari anak-anak yang diterapi akan terjadi remisi dalam 4 tahun pertama terapi,

    dengan peningkatan angka remisi sebesar 25% setiap 2 tahunnya sampai tahun ke-6

    terapi. Dikatakan remisi, bila 1 tahun setelah pengobatan dihentikan penderita masih

    dalam keadaan eutiroid (Lazar, 2000).

    Kecilnya dosis anti-tiroid yang diperlukan serta goiter yang mengecil merupakan

    indikator yang baik untuk menurunkan dosis anti-tiroid secara bertahap hingga

    dihentikan. Rendahnya derajat hipertiroksinemia [T4

  • antitiroid. Terapi I131 harus dihindari atau ditunda pada pasien Graves dengan

    oftalmopati aktif terutama pasien adalah seorang perokok (Batubara, 2010).

    Dosis yang dipakai untuk terapi I131 berkisar antara 185-555 MBq (5-15 mCi)

    tergantung dari ukuran struma dengan besarnya ambilan I131 sebelumnya.Pada struma

    nodular toksik dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai keadaan

    eutiroid.Penggunaan obat antitiroid sebelum terapi I131 sebetulnya tidak diperlukan

    kecuali pada kasus dengan hipertiroid berat.Metimazol hanya diberikan sebelum

    pemberian I131 pada pasien hipertiroid yang berat atau struma yang sangat besar untuk

    mencegah eksaserbasi hipertiroid karena tiroiditis sementara (transien) akibat radiasi

    (Batubara, 2010).

    Obat-obat antitiroid ini diberikan untuk mencapai eutiroid dan kemudian

    dihentikan 3-5 hari sebelum pemberian I131.Pengobatan dengan radioaktif ini

    membutuhkan waktu 2-4 bulan.Setelah terapi biasanya pasien menjadi hipotiroid

    sehinggga membutuhkan terapi substitusi dengan L-tiroksin (L-T4).Kondisi pasien

    harus dipantau dan dilakukan pemeriksaan darah sekali sebulan untuk mengetahui

    efektivitas pengobatan dan untuk memulai terapi hormon tiroid jika

    dibutuhkan.Terapi dengan I131 mempunyai efektivitas 90-95%, namun terkadang

    dibutuhkan dosis kedua (Batubara, 2010).

    2.3.6.4. Pembedahan Tiroidektomi

    Tiroidektomi jarang direkomendasikan pada penyakit Graves.Indikasi spesifik

    meliputi pasien dengan struma yang sangat besar dan resisten dengan radioaktif, ibu

    hamil dengan struma nodular yang alergi terhadap obat antitiroid, pasien alergi obat

    antitiroid dan tidak ingin diterapi dengan I131.Prosedur pembedahan harus dilakukan

    oleh ahli bedah yang berpengalaman dan hanya dilakukan setelah pemberian obat-

    obatan.Pasien harus mencapai keadaan eutiroid sebelum dioperasi untuk mencegah

    timbulnya krisis tiroid setelah operasi.PTU atau metimazol diberikan 7-10 hari

    sebelum operasi dan ditambahkan yodium inorganik untuk mengurangi vaskularisasi

    kelenjar tiroid.Jika pasien alergi dengan PTU atau metimazol dapat diberikan B-

    Universitas Sumatera Utara

  • bloker dengan yodium inorganik. Pada pasien struma nodular toksik, yodium

    inorganik tidak dapat diberikan karena dapat menimbulkan eksaserbasi hipertiroid

    (Batubara, 2010).

    Komplikasi operasi yang dapat terjadi adalah hipoparatiroid dan kerusakan

    nervus laringeus rekuren. Komplikasi tersebut jarang terjadi namun sering dijumpai

    hipotiroid permenen, oleh sebab itu pasien harus dievaluasi dalam satu bulan setelah

    operasi, kemudian dalam interval beberapa bulan, dan selanjutnya setiap tahun

    dengan memantau kadar T4 bebas dan tirotropin dalam serum (Batubara, 2010).

    2.3.7. Krisis tiroid

    Krisis tiroid merupakan komplikasi yang berat, namun jarang terjadi pada

    anak-anak hipertiroid. Biasanya didahului faktor pencetus yakni: pembedahan, infeksi

    dan KAD (ketoasidosis diabetik). Hal ini juga terjadi pada saat pembedahan

    tiroidektomi maupun terapi ablasi menggunakan radioaktif (Krassas, 2004).

    Gejala klinisnya berupa hipertermi akut, berkeringat banyak, takikardia, dan

    penurunan kesadaran sampai dengan koma (Krassas, 2004).

    Terapi harus segera dilakukan, sebagai berikut:

    1. Propanolol 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi setiap 6 jam untuk

    mengendalikan gejala adrenergiknya. Propranolol dapat diberikan

    intravena dengan dosis 0,01-0,1 mg/kgBB dengan dosis maksimal 5 mg

    dalam 10-15 menit, mulai dengan dosis yang kecil.

    2. Dexamethasone diberikan dengan dosis 1-2 mg setiap 6 jam dapat

    mengurangi konversi T4 menjadi T3.

    3. NaI dengan dosis 1-2 g/hari dapat menurunkan pelepasan hormon tiroid.

    4. Larutan Lugol 5 tetes setiap 8 jam dapat diberikan peroral apabila

    penderita mulai sadar.

    5. Kompres dingin dengan cooling blanket untuk mengendalikan

    hiperterminya.

    Universitas Sumatera Utara

  • 6. PTU sendiri tidak memberikan efek terapi sampai beberapa hari, tetapi

    dapat diberikan untuk jangka lamanya dengan dosis 6-10 mg/kgBB/hari

    dalam dosis terbagi 6 jam (dosis maksimal 200-300 mg)

    7. Kesimbangan cairan harus selalu terjaga.

    8. Jika terdapat tanda-tanda gagal jantung, dapat dipertimbangkan digitalis.

    Universitas Sumatera Utara