bab ii tinjauan pustaka a. tinjuan umum aliran sosiologisrepository.ump.ac.id/7851/3/tabah...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan umum Aliran Sosiologis
1. Pengertian Aliran Sosiologis
Manusia, sejak lahir telah dilengkapi dengan naluri untuk hidup
bersama dengan orang lain, karena itu akan timbul suatu hasrat untuk
hidup teratur, yang mana teratur menurut seseorang belum tentu teratur
buat orang lain sehingga akan menimbulkan suatu konflik. Keadaan
tersebut harus dicegah untuk mempertahankan integrasi dan integritas
masyarakat. Dari kebutuhan akan pedoman tersebut lahirlah norma atau
kaidah yang hakekatnya muncul dari suatu pandangan nilai dari perilaku
manusia yang merupakan patokan mengenai tingkah laku yang dianggap
pantas dan berasal dari pemikiran normatif atau filosofis, proses tersebut
dinamakan sosiologi.
Berdasarkan aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau
peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib
yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam
pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau
perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi
hukum di Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan
norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang
berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
12
peraturan-peraturan yang menunjuk „kebiasaan‟ orang dalam pergaulannya
dengan orang lain di masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005:171). Sebagai
alat untuk merekayasa (mengubah) masyarakat, hukum harus
dipergunakan untuk mewujudkan perubahan-perubahan sosial.
Perubahan-perubahan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah
perubahan-perubahan sosial (perubahan masyarakat) yang direncanakan
lebih dulu atau perubahan yang dikehendaki. Maka, dalam pandangan
Roscou Pound hukum dipergunakan sebagai alat untuk melakukan
perubahan-perubahan masyarakat yang harus berlangsung secara tertib dan
berencana.
Sociological Jurisprudence yang juga sering disebut sebagai aliran
hukum fungsional (Functional Anthropological). Aliran Sosciological
Jurisprudence (hukum fungsional) memiliki pengaruh yang cukup
signifikan dalam praksis hukum di Indonesia khususnya dalam rangka
pembangunan hukum sebagai salah satu aspek dari praksis hukum yang
bersifat praktis. Namun, selain pengaruh aliran Sociologial Jurisprudence,
jauh sebelum itu, pengaruh aliran positivisme hukum dan mazhab sejarah
sudah lebih dahulu di Indonesia sejak jaman kolonial (Sukrisna A. Samadi,
4: 2012).
Aliran Sociological Jurisprudence lahir sebagai sintesa dari
pertentangan dua aliran pemikiran hukum dalam lingkungan Filsafat
Hukum yaitu aliran positivisme hukum dan mazhab sejarah. Oleh karena
itu, pengaruh dari aliran positivisme hukum dan mazhab sejarah sangat
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
13
terasa pada aliran Sociological Jurisprudence. Maka, sebagai sintesis dari
dua aliran pemikiran hukum yang saling bertentangan, pemikiran
positivisme hukum dan mazhab sejarah diterima dalam aliran Sociological
Jurisprudence (Hotma P. Sibuea, 2016:4).
Kedua aliran pemikiran hukum diterima tetapi dengan modifikasi
tertentu. Aliran Sociological Jurisprudence mengemukakan bahwa hukum
positif yang ditetapkan oleh penguasa adalah baik jikalau sesuai dengan
hukum yang lahir (tumbuh) dalam masyarakat (living law). Oleh sebab itu,
aliran ini mencanangkan inti pokok gagasannya yaitu bahwa “Hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat” (Hotma P. Sibuea, 2016:5).
Aquinas memberikan jawaban bahwa hukum seharunya mengikuti
prinsip manusia dalam bertindak, karena hal itu merupakan aturan dan
juga ukurannya. Ukuran tersebut adalah “kebahagiaan atau kebahagiaan
(moral)”. Karena memang tujuan dari adanya hukum adalah untuk
mencapai kebahagiaan, the last end of humanlife is happiness or be
attitude. Oleh Karena itu hukum harusnya mencapai sebuah kebahagiaan
bukan sebaliknya. Dalam hubungannya manusia dalam menciptakan
hukum, Aquinas berpendapat bahwa tujuan dari terbentuknya hukum
adalah mengantarkan manusia menuju kebajikan, as thephilosopher says,
the intention of the lawgiveris to lead men to virtue (Surya Desismansyah
Eka Putra, 2014:54).
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
14
Mochtar Kusumaatmadja mengadaptasi aliran Sociological
Jurisprudence dan hasilnya muncul suatu pemikiran filosofis hukum yaitu
“Konsepsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat.” Konsepsi
Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat mengajarkan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law). Maka, hukum yang ideal dalam pandangan
konsepsi hukum ini adalah hukum yang ditetapkan oleh negara tetapi
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat). Maka, hukum itu memiliki kepastian
hukum karena ditetapkan oleh negara tetapi sekaligus menceminkan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat (Hotma P. Sibuea, 2016:1).
Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang
dipelopori oleh oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada
perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum
yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum yang
positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang
hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan
dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-
keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah
justru terletak didalam masyarakat itu sendiri (Soerjono Soekanto,
2005:174).
Menurut aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen
Ehrlich dan Max Weber, Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
15
masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan
hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum merupakan kaca dari
perkembangan masyarakat. Secara idealnya perkembangan masyarakat
harus diikuti oleh perkembangan hukum (Johni Najwan, 2016:2).
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social
institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum
tidakdipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis
tetapisebagai kenyataan sosial yang ada dalam kehidupan.
Sistem hukum mereka menempatkan hukum dan proses hukum
dalam konteks konseptual yang lebih besar, melihat hukum hanya sebagai
bagian dari sistem sosial yang jauh lebih luas dan sebagian besar dari
mereka mengambil bentuk kritik eksplisit. Pendekatan antropologis dan
sosiologis untuk hukum menggunakan kerangka referensi yang tidak
mudah dimasukkan ke dalam kategori hukum (Haney Craig, 2011:5).
Seperti psikologi, hukum nampaknya lebih segera berkepentingan dengan
orang, dan kurang langsung dengan variabel seperti budaya atau kelas
sosial (Haney Craig, 2011:7).
Dasar filosofis dari dibentuknya suatu aturan hukum, selain untuk
mengatur dan menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum merupakan instrumen
agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan publik (Umar Solahudin,
2013:3). Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
16
(social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya.
Hukum tidakdipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan
tertulis tetapisebagai kenyataan sosial yang ada dalam kehidupan. Hukum
tidak dipahamisecara tekstual normatif tetapi secara konteksual. Secara
konstitusional, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 28D,
menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang
mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi pada kepentingan manusia, bukan kepentingan hukum itu
sendiri. Dalam hal Undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa
adil, maka hakim tetap wajib berpegang pada Undang-undang.
Selain kontruksi sosial dasar filosofis dari dibentuknya suatu
aturan hukum, selain untuk mengatur dan menertibkan masyarakat dan
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum merupakan instrumen
agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan publik Setiap orang
harus mengusahakan peningkatan terhadap kualitas spiritualitas bangsa.
Harapannya adalah tidak lagi membangun hukum, tetapi membangun
spiritualisme bangsa. Dalam hal ini, yang diunggulkan adalah moral
mengenai kejujuran, pengendalian diri, menjaga harkat sebagai manusia,
rasa malu, mengurangi keakuan (selfishness), dan lebih memberikan
perhatian kepada orang lain (Satjipto Raharjo, 2008:104).
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
17
Untuk memberi basis yang lebih kuat terhadap agenda alternatif,
maka di sini ingin diusulkan agar negara hukum ini menggunakan
paradigma ganda, yaitu negara hukum yang tidak hanya menggunakan
paradigma peraturan saja, tetapi juga paradigma moral (Satjipto Raharjo,
2008:103).
B. Mazhab dalam Aliran Sosiologis
Sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seseorang
berkebangsaan Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi
hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli pemikir baik
di bidang filsafat (hukum), ilmu maupun sosiologi (Soerjono Soekanto,
2005:176). Berikut beberapa Mazhab dalam Aliran Sosiologis :
1. Mazhab Formalistis
a. Mazhab Positivis
Berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang
yang terpisah serta harus dipisahkan. Salah satu pendapat ahli John
Austin (1790-1859). Bahwa hukum merupakan perintah dari mereka
yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang
kedaulatan. Bahwa hukum adalah merupakan perintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, dimana perintah
dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai
kekuasaan. Bahwa hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup, dan oleh karena itu ajarannya dinamakan analytical
jurisprudence. Analytical Jurisprudence dibagi dua yaitu hukum yang
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
18
dibuat oleh Tuhan dan hukum yang disusun oleh Manusia. Hukum
yang disusun oleh manusia dibedakan menjadi dua, yaitu hukum yang
sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.
Hukum yang sebenarnya : hukum yang dibuat oleh penguasa
bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-
individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
Mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan.
Hukum yang tidak sebenarnya bukanlah merupakan hukum
yang secara langsung berasal dari penguasa, akan tetapi merupakan
peraturan-peraturan yang disusun oleh perkumpulan-perkumpulan atau
badan-badan tertentu.
b. Mazhab tentang Hukum
Hans Kelsen berpendapat suatu sistem hukum sebagai suatu
sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum
tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih
tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem
pertanggapan dinamakan kaidah dasar atau Grundnorm. Setiap sistem
hukum merupakan Stunfenbau daripada kaidah-kaidah.
Penamaan teori murni tentang hukum murni mempunyai makna
tersendiri untuk menyatakan bahwa hukum berdiri sendiri terlepas dari
aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Yang bermaksud menunjukkan
bagaimana hukum itu sebenarnya tanpa memberikan penilaian apakah
hukum itu cukup adil atau kurang adil.
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
19
2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
Hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah
dan kebudayaan dimana hukum itu timbul. Beberapa pendapat para ahli :
a. Friedrich Karl Von Savigny
Hukum merupakan perwujudan dari Kesadaran hukum
masyarakat (volksgeit). Semua hukum berasal dari adat istiadat dan
kepercayaan bukan dari pembentuk UU.
b. Sir Henry Main
Perkembangan hukum dari status ke Kontrak yang sejalan
dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat yang
modern dan kompleks. Hubungan-hubungan hukum yang didasarkan
pada status warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur
akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat
yang modern dan kompleks (Soerjono Soekanto, 2005:178).
3. Mazhab Utilitarianism
Tokohnya adalah Jeremy Bentham dengan teorinya Bahwa
manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan. setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman yang sesuai
dengan kejahatan tersebut, dan derita yang dijatuhkan tidak lebih dari
pada apa yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap
warga masyarakat secara individiual (Soerjono Soekanto, 2005:181).
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
20
4. Mazhab Sociological Jurisprudence
a. Eugen Ehrlich
Bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan
hukum yang ada dalam masyarakat. Pusat perkembangan dari hukum
bukanlah terletak pada Badan-badan legislatif, keputusan-keputusan
Badan yudikatif ataupun Ilmu hukum, akan tetapi terletak justru
terletak dalam masyarakat itu sendiri.
b. Roscoe Pound
Hukum harus dilihat/dipandang sebagai suatu lembaga
Kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan Sosial, sedangkan tugas dari ilmu hukum yaitu untuk
memperkembangkan suatu kerangka dimana kebutuhan-kebutuhan
Sosial terpenuhi secara maksimal.
Konsepnya yang terkenal adalah law as a tool of Social
engineering artinya hukum sebagai alat untuk mewujudkan perubahan-
perubahan di bidang sosial.
5. MazhabRealisme Hukum
Para tokohnya yaitu Karl Llewellyn, Jerome Franks, Justice Oliver
Mendell Konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan
bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum akan tetapi
membentuk hukum. Seorang hakim harus selalu memilih, dia yang
menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dan pihak-pihak mana
yang akan menang. Keputusan-keputusan hakim seringkali mendahului
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
21
penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Keputusan-keputusan
pengadilan dan doktrin hukum Selalu dapat diperkembangkan untuk
menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Karl Llewellyn
mengembangkan teori tentang hubungan antara peraturan-peraturan
hukum dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
Pendapatnya bahwa tugas pokok dari pengadilan adalah
menetapkan fakta dan rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang telah
lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan (Soerjono Soekanto,
2005:186).
C. Tinjauan Umum Positivisme Hukum
1. Pengertian Positivisme Hukum
Positivisme Hukum adalah suatu paham atau paradigma yang
menuntut harus dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum,
hukum harus eksis, dalam alamnya yang objektif sebagaimana norma-
norma yang positif (Habib Shulton Asnawi 2012:4). Artinya positivisme
hukum menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima
hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang
ada. Aliran positivisme hukum ini berpendapat hendaknya “Keadilan harus
dikeluarkan dari ilmu hukum”.
Paradigma positivisme hukum inilah yang menjadi dasar acuan
dalam pemikiran para penegak hukum di Indonesia khususnya para hakim-
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
22
hakim di Indonesia. Sehingga mereka hanya menerapkan apapun bunyi
redaksi pasal dalam UU tersebut tanpa melihat aspek lain semisal akibat
jika pasal tersebut tetap diterapkan, paradigma ini mengabaikan
kemashlahatan yang ada di sosial masyarakat, paradigma ini lebih
mengedepankan teks daripada konteks kemashlahatan manusia sehingga
akibatnya keadilan menjadi terabaikan.
Negara hukum harus mempunyai kelenturan agar tidak hanya
dibatasi dengan asas legalitas yang kaku, penegak hukum hanya dapat
bertindak berdasarkan aturan-aturan hukum yang formal dan kaku, padahal
sering mengorbankan keadilan. seharusnya selalu berpikir dan bertindak
berdasarkan kepentingan umum, dengan memperhatikan asas-asas hukum
yang berlaku serta rasa keadilan. Padahal, konsep negara hukum tidak
hanya terbatas pada bagaimana suatu negara mengakui bahkan telah
mengklaim berbagai syarat normati tersebut. Jika yang terjadi seperti ini,
maka secara tidak sadar para penega hukum telah terjebak kepada konsep
pemahaman yang serba “normatif positivisme”. Bagi lembaga pengadilan,
moralitas hakim mutlak diperluka untuk menjaga putusan benar-benar
menjadi alat untuk mencapai keadilan. Atas dasar itu pula, bagi hakim,
proses penegakkan hukum tidak patut direduksi hanya sekedar supremasi
hukum tertulis, terlebih lagi hanya supremasi kalimat dalam undang-
undang, melainkan supremasi keadilan(Habib Shulton Asnawi, 2012:4).
Moh. Mahfud MD, mengatakan bahwa hal tersebut karena factor
penegak hukum khususnya hakim-hakim di Indonesia, yang mana selama
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
23
ini hakim-hakim di Indonesia masih didominasi oleh paradigma dan cara
berfikir positivistik-legalistik. Proses penegakan hukum dijalankan
sedemikian rupa dengan perspektif peraturan hukum semata. Akibatnya,
ketentuan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) menjadi
patokan paling utama dalam berhukum. Yang terjadi jika tetap
menggunakan cara berpikir semacam ini terbukti membuat proses penegak
hukum menjadi gersang, kering dari moralitas (Habib Shulton Asnawi,
2012:4).
Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang luas,
yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan
manusia. Inilah filosofi hukum progresif sebagai upaya membongkar
positivistik-legalistik terhadap pemaknaan hukum. Hukum progresif
ditunjukan untuk melindungi manusia menuju kepada ideal hukum dan
menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai tegnologi
yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral. Hukum progresif
bisa disebut sebagai “hukum yang pro-rakyat” dan “hukum pro-keadilan”
(Habib Shulton Asnawi, 2012:5).
Ketika kaum positivisme tersebut mengamati hukum sebagai obyek
kajian, mereka menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum
positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang
positif, demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu jenis
hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum selanjutnya
memunculkan analytical legal positivism, analytical jurisprudence,
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
24
pragmatic positivism, dan Kelsen’s pure theory of law.Law Positivism,
Implication, Analytical Jurisprudence (Johni Najwan, 2016:6).
Legal Positivism memandang perlu untuk memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral. Hukum bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan
universal. Dalam kaca mata positivisme, tidak ada hukum kecuali perintah
penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum
identik dengan Undang-undang. Hukum dipahami dalam perspektif yang
rasional dan logika. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural.
Dalam positivisme, dimensi spiritual dengan segala perspektifnya seperti
agama, etika dan moralitas diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari
satu kesatuan pembangunan peradaban modern.
Pesatnya perkembangan positivisme terjadi setelah menangnya
gerakan sekularisasi, yang berupaya memisahkan secara tegas antara
urusan politik (negara) dengan urusan Gereja (agama), dan bersamaan
dengan runtuhnya kewibawaan gereja, yang menawarkan basis pemikiran
transendenta. Pandangan hukum positif atau positivisme dari aliran hukum
merupakan pengaruh dari postivisme sosiologis yang dimotori Auguste
Comte dan Herbert Spencer yang berakar dari filsafat Yunani yakni
Epicurus. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil,
diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode
positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1) Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.
2) Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
25
hidup.
3) Metode ini berusaha ke arah kepastian.
4) Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Hukum nasional yang menganut ajaran positivisme yang marak di
barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 19 ini
kemudian dikenali sebagai hukum positif dan tampil dalam rupa hukum
perundang-undangan. Lahirnya hukum nasional yang dituliskan atas dasar
konsep-konsep kaum positivis yang akan dirawat oleh sebarisan hukum
yang profesional.
Oleh aliran positivis hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya, apa
yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai
dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain
yang melandasi aturan aturan hukum tersebut, maka nilai-nilai ini tidak
dapat ditangkap oleh panca indera. Menurut Johni Najwan, karena
mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai
kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum,
maka positvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human
being).
b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum
yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).
c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan
harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
26
sebab atau asal-usul dari undang-undang, serta berlainan pula dari
suatu penilaian kritis.
d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat di deduksikan secara logis dari
peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu
menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.
e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian
Dari sinilah berawal pemikiran yang mengetengahkan dan
memperjuangkan ide bahwa apa yang dimaklumatkan sebagai hukum
harus mempunyai statusnya yang positif dalam arti telah disahkan tegas-
tegas (positif) sebagai hukum dengan membentuknya dalam wujud produk
perundang-undangan.
2. Jenis Hukum Positif
Hukum positif dapat dikelompokkan kedalam hukum positif tertulis
dan hukum positif tidak tertulis.
a. Hukum Positif Tertulis
Dapat dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku
umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus.
1. Hukum positif tertulis yang berlaku umum, terdiri dari:
a) Peraturan perundang-undangan yaitu hukum positif tertulis
yang dibuat, ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau lingkungan
jabatan yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
27
yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku atau mengikat
(secara) umum. Termasuk dalam kategori peraturan perundang-
undangan adalah aturan hukum sebagaimana disebutkan dalam
Tap. No. III/MPR/2000." Ditinjau dari wewenang
pembentukannya, perauran perundang-undangan dapat
dibedakan antara yang bersifat kenegaraan dan yang bersifat
administrasi negara. Selanjutnya ditinjau dari daya ikat ada
yang bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan ada yang
bersifat administrasi negara (admfnistratiefrechttelijk). Ditinjau
dari lingkungan tempat berlaku, dapat dibedakan antara
peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan daerah.
b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy
rides), yaitu peraturan yang dibuat baik kewenangan atau
materi muatannya tidak berdasar pada peraturan perundang-
undangan, delegasi, atau mandat, melainkan berdasarkan
wewenang yang timbul dari Freis Ermessen yang dilekatkan
pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan
tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Aturan kebijakan hanya
didapati dalam lapangan administrasi negara, karena itu
ketentuan aturan kebijakan hanya dalam lapangan hukum
administrasi negara. Termasuk kedalam kategori ini adalah
"surat edaran, juklak, juknis." Pada saat ini didapati juga
semacam aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan yang
bukan administrasi negara seperti Surat Edaran Mahkamah
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
28
Agung. Meskipun dari segi bentuk, menyerupai salah satu
aturan kebijakan, Surat Edaran Mahkamah Agung tidak perlu
dikategorikan sebagai aturan kebijakan. Pertama : Mahkamah
Agung bukan administrasi negara. Kedua : wewenang
Mahkamah Agung membuat surat edaran tidak didasarkan pada
kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang.
Ketiga : Surat Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan
yang terbatas yaitu sebagai pedoman yang berisi petunjuk bagi
badan peradilan tingkat rendah yang mandiri dalam
menjalankan fungsi peradilan.
2. Hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif tertulis
yang berlaku khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan
administrasi negara dan yang ditetapkan badan kenegaraan bukan
administrasi negara. Disebut berlaku khusus karena hanya berlaku
untuk subyek atau subyek-subyek tertentu dan atau obyek atau
obyek-obyek tertentu yang bersifat konkrit. Contoh hukum positif
tertulis: Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat
konkrit. Dalam dunia ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia
ketetapan atau keputusan semacam ini lazim disebut atau
dinamakan beschikking. Pada negara-negara berbahasa Inggris
disebut decree.
b. Hukum Positif Tidak Tertulis
Yang dapat dibedakan atau terdiri dari Hukum Adat, Hukum
Keagamaan, Hukum Yurisprudensi, Hukum Tidak Tertulis lainnya.
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
29
1. Hukum Adat
Hukum adat yaitu hukum asli bangsa Indonesia yang hidup
dan berlaku secara turun temurun atau diakui atau dinyatakan
sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati
atau diketahui dalam atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun
demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis, karena tidak
pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang
berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum
positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati,
pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan.
Lingkup hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat
kehadiran hukum positif tertulis atau karena yurisprudensi. Sampai
tahun 1999 hampir semua hukum adat ketatanegaraan tidak berlaku
lagi. Sisa hukum adat ketatanegaraan yang masih berlaku adalah
untuk pemerintahan desa atau yang dipersamakan dengan desa
berdasarkan ketentuan IGO dan IGOB. Ketentuan tersebut tidak
berlaku lagi sejak ada UU No. 5 Tahun 1979 tentang desa.
2. Hukum Keagamaan
Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum
dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang
mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
30
oleh pengikutnya dipandang sebagai agama. Pada saat ini, didapati
berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan melalui undang-
undang sebagai hukum positif.
3. Hukum Yurisprudensi
Hukum Yurisprudensi adalah hukum positif yang berlaku
secara umum yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Disinilah
letak perbedaaan sifat hukum antara putusan hakim dengan
yurisprudensi. Putusan hakim adalah hukum yang bersifat konkrit
dan khusus berlaku pada subyek yang terkena atau terkait langsung
dengan bunyi putusan. Pada saat suatu putusan hakim diterima
sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya menjadi bersifat
umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum
bagi siapa saja.
4. Hukum Kebiasaan
Hukum Kebiasaan yaitu hukum yang tumbuh dan
dijalankan dalam praktek penyelenggaraan negara atau
pemerintahan, dan hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam
praktek komunitas perniagaan, dan lain-lain. Hukum-hukum ini
sebenarnya merupakan (hukum) adat istiadat. Secara singkat dapat
disebut hukum adat. Tapi disini sengaja tidak dimasukkan kedalam
kelompok Hukum Adat, karena selama ini telah diterima
pengertian bahwa Hukum Adat adalah hukum asli yang tumbuh,
berkembang, dan hidup dalam lingkungan masyarakat asli
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
31
Indonesia. Yang cukup intensif diajarkan di Fakultas Hukum
adalah hukum kebiasaan di bidang ketatanegaraan, atau lazim
disebut konvensi. Tetapi karena hukum kebiasaan ketatanegaraan
ini sangat menonjol pada sistem ketatanegaraan Inggris, maka
referensi utama biasanya adalah kebiasaan ketatanegaraan Inggris.
Termasuk kedudukan hukum dari kebiasaan ketatanegaraan
(Chazawi Adami, 2002: 200).
D. Pencurian Ringan
Pencurian berasal dari kata “curi” yang mendapatkan awalan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti mengambil secara diam-diam, sembunyisembunyi
tanpa diketahui oleh orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain
secara melawan hukum, orang yang mencuri milik orang lain disebut pencuri.
Pencurian sendiri berarti perbuatan atau perkara yang berkaitan dengan
pencurian. Seseorang dikatakan pencuri jika semua unsur yang diatur didalam
pasal pencurian terpenuhi. Pemenuhan unsur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan itu hanyalah upaya minimal, dalam taraf akan masuk ke
peristiwa hukum yang sesungguhnya (R. Soesilo 247:1993)
Berikut ini pengertian pencurian menurut beberapa ahli (R. Soesilo
220-222:1993) :
1. Menurut Mr.Blok : Wegnemen is ene gedraging waardoor men het goed brengt in zijn feitelijke heerschappij, onder zijn macht, in zijne detentie, onafhankelijk van de bedoeling, die men ten opzichte van dat goed verder koestert. Artinya: Mengambil itu ialah suatu perilaku yang membuat suatu
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
32
benda berada dalam penguasaanya yang nyata, atau berada di bawah kekuasaanya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksudnya tentang apa yang ia inginkan dengan benda tersebut.
2. Prof. Noyon dan Prof. Langemaijer : Wegnemen (in de zin van art. 310) is altij een eigenmachtige inbenzitneming. Artinya: Mengambil (menurut pengertian Pasal 362 KUHP) selalu merupakan suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam penguasaanya.
3. Menurut Prof. Simons: Wegnemen is het voorwerp tot zick nemen, het bregen onder zijne uitsluitende feitelijke heerschappi m.a.w de dader moet het voorwerp op het ogenblik der handeling niet reeds onder zick hebben. Artinya: Mengambil ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasaanya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah penguasaanya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasaanya.
4. Menurut Prof. Van Bemmelen dan Prof. Van Hattum : Wegnemen is iedere handeling, waardoor iemand of een vermogenbestanddel van een ander in zijn eigen herschappij brengt zonder mederwerking of toestemming van dia ander of de band, die op een of andere wijze nog tussen die ander en dat vermogenbestanddeel bestond, verbreekt. Artinya : Mengambil ialah setiap tindakan yang membuat sebagian harta kekayaan orang lain menjadi berada dalam penguasaannya tanpa bantuan atau tapa seizin orang lain tersebut, ataupun untuk memutuskan hubungan yang masih ada antara orang lain itu dengan bagian harta kekayaan yang dimaksud.
Pencurian ringan (gepriviligeerde diefstal) dimuat dalam Pasal 364
KUHP yang rumusannya sebagai berikut :
“Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan 363
butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal
363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman
atau pekarangan yang tertutup yang ada kediamannya, jika harga
barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,00 diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau
pidana denda paling banyak Rp 900,00”
Sedangkan dalam bukunya Jonkers terdapat sedikit perbedaan, Pasal
364 menamakan pencurian ringan bagi pencurian biasa yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih bersama-sama. Atau disertai hal-hal tersebut dalam pasal
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
33
363 nomor 5. Apabila tidak dilakukan dalam suatu rumah kediaman atau di
pekarangan tetap. Dimana rumah kediaman bila barang yang dicuri berharga
tidak lebih dari Rp.250,00 dan hukumannya maksimal 3 bulan penjara atau
denda 60 rupiah.
Unsur yang harus selalu ada dalam pencurian ringan ialah benda tidak
lebih dari Rp 250,00. Dalam WvT pencurian ringan tidak diatur hanya KUHP
yang mengatur hal ini. Untuk masa kini benda seharga Rp 250,00 pada saat ini
relatif sangat kecil. Maka daripada itu kejahatan-kejahatan ringan perlu
dihapus dari KUHP.
Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 362 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barang siapa
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan
hak, diancam karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya enam puluh
rupiah”.Berdasarkan pada ketentuan di atas menurut (R. Soesilo 253:1993),
dapat diuraikan mengenai unsur-unsur dari tindak pidana pencurian, yaitu:
1) Unsur Barang Siapa
Yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum,sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan
kepersidangan karena telah didakwakan melakukan tindak pidana dan
perbuatanya dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.
2) Unsur Mengambil Sesuatu Barang
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
34
Mengambil sesuatu barang adalah memindahkan barang dari suatu tempat
ke tempat lain.
3) Unsur Sama Sekali atau Sebagian Termasuk Kepunyaan Orang Lain
Yaitu barang yang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain adalah
sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain.
4) Unsur dengan Maksud Memiliki Barang dengan Melawan Hukum
Dengan maksud memiliki barang dengan melawan hukum adalah barang
yang telah diambil akan dikuasai atau dimiliki tanpa izin atau persetujuan
pemilik barang.
Pasal 363 (Pencurian dengan pemberatan) biasanya secara doktrinal di
sebut dengan pencurian yang dikualifikasikan. Pencurian dikualifikasikan ini
menunjuk pada suatu pencurian yang di lakukan dengan cara-cara tertentu,
atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya
diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian ringan dan
pencurian biasa dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun,
dihukum menurut (R. Soesilo 223-226 :1993) :
1. Pencurian hewan
2. Pencurian pada waktu kebakaran, letusan, kebanjiran, gempa bumi, atau
gempa laut, letusan gunung merapi, kapal selam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan
dimasa perang.
3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang
tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
35
dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang
berhak (yang punya)
4. Pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih
5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan
itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya, dengan jalan
membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci
palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah
satu hal yang tersebut dalam buir 4 dan 5, dijatuhkan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan tahun. Pencurian dalam pasal ini dinamakan
pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi dan diancam
dengan hukuman yang lebih berat pencurian dengan pemberatan itu adalah
pencurian biasa (pasal 362) disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut ;
1. Apabila barang yang dicuri itu adalah hewan yaitu semua macam binatang
yang memamah biak (kerbau, sapi, kambing dan lain sebagainya),
binatang yang berkuku satu (kuda, keledai) dan babi. Anjing, ayam,
bebek, angsa tidak termasuk disini karena tidak memamah biak dan tidak
berkuku Satu
2. Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu ada kejadian macam
malapetaka, karena pada waktu semacam itu orang-orang semua ribut dan
barang-barang dalam keadaan tidak terjaga
3. Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau
pekarangan tertutup yang ada dalam rumahnya “pekarangan tertutup‟‟
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
36
suatu pekarangan yang sekelilingnya ada tanda-tanda batas yang kelihatan
nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar kawat dan lain-
lain. Disini pencuri itu harus betul-betul masuk kedalam rumah, dan
melakukan pencurian disitu
4. Apabila pencurian itu, dilakukan dua orang atau lebih. Supaya masuk
disini, maka dua orang atau lebih itu semua harus bertindak sebagai
pembuat atau turut melakukan (Pasal 55), bukan misalnya yang satu
sebagai pembuat (Pasal 55) sedang yang lain hanya membantu saja (Pasal
560)
5. Apabila dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau
mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar, memecah,
merusak barang yang agak besar, misalnya membongkar pintu jendela.
Disini harus ada barang yang rusak, putus atau pecah. Pencuri yang
mengangkat pintu daru engselnya, sedang engsel itu tidak ada kerusakan
sama sekali, tidak masuk pengertian membongkar. Memecah merusak
barang yang agak kecil, misalnya memecah peti kecil, memecah kaca
jendela dan lain-lain.
Dalam Pasal 363 butir 5 disebutkan sebagai berikut :
1. Tersalah masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar dan lain-
lain, ini berarti bahwa pembongkaran yang dilakukan itu, untuk masuk
ketempat tersebut, jadi bukan untuk keluar atau keperluan lain-lainnya.
Misalnya seorang pencuri yang waktu sore masuk kedalam rumah orang
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
37
dengan melalui pintu yang sedang terbuka, lalu bersembunyi dalam rumah
itu dan kemudian setelah malam buta sedang orang yang punya tidur
nyenyak, pencuri tersebut keluar dari sembunyinya, mengambil barang
dari dalam rumah itu, dan untuk dapat keluar dari dalam rumah tersebut
“membongkar” pintu rumah, maka peristiwa itu tidak masuk dalam
golongan ini, oleh karena pembongkaran itu untuk “keluar‟‟ dan bukan
untuk masuk kedalam tempat kejahatan
2. Tersalah mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar dan
lain-lain, mencapai artinya memasukan kedalam kekuasaannya. Misalnya
seorang mencopet uang didalam saku dengan menggunting saku itu, atau
pencuri uang dalam lemari atau peti besi didalam rumah dengan merusak
lemari atau peti tersebut. Akan tetapi menurut arrest hoge raad 27 Januari
1896, mencopet arloji denga menarik rantai arloji itu sampai putus atau
mencuri hewan denga memotong tali ikatan hewan itu, tidak masuk
membongkar atau memecah.
Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-
unsur dalam pencurian ringan adalah :
1. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP).
2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama
(Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP).
3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat,
dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu.
4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah.
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018
38
5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya.
6. Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua ratus lima
puluh rupiah.
Penerapan Aliran Sosiologis…, Tabah Waluyo, Fakultas Hukum UMP, 2018