bab ii tinjauan pustaka 2.1. tanaman spondias pinnata 2.pdf · fetus dengan hidrosefalus setelah...

17
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Spondias pinnata 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Gambar 2.1. Tanaman kedondong hutan (S. pinnata (L. F.) Kurz) Keterangan : a) Tanaman S. pinnata, b) Daun S. pinnata, c) buah S. pinnata Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Anacardiaceae Genus : Spondias Spesies : Spondias pinnta (L. F.) Kurz (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1994) a b c

Upload: ngocong

Post on 25-Apr-2018

234 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Spondias pinnata

2.1.1. Klasifikasi Tanaman

Gambar 2.1. Tanaman kedondong hutan (S. pinnata (L. F.) Kurz)

Keterangan : a) Tanaman S. pinnata, b) Daun S. pinnata, c) buah S. pinnata

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Anacardiaceae

Genus : Spondias

Spesies : Spondias pinnta (L. F.) Kurz

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1994)

a b

c

7

2.1.2. Deskripsi Tanaman

Tanaman S. pinnata merupakan pohon yang memiliki tinggi ± 20 m

dengan batang tegak, bulat, berkayu, permukaan batang halus, percabangan

simpodial dimana batang pokok sulit ditentukan, dan berwarna putih kehijauan.

Daun tanaman S. pinnata berwarna hijau, termasuk tipe daun majemuk berbentuk

lonjong dengan jumlah ganjil. Letaknya tersebar dengan pangkal runcing, ujung

meruncing, pertulangan daun menyirip, tepi daun rata, panjang daun 5-8 cm, dan

lebar daun 3-5 cm. Bunga tanaman S. pinnata merupakan bunga majemuk yang

berwarna putih kekuningan, berbentuk malai, terletak pada ketiak daun dan pada

ujung cabang. Panjang bunga 24-40 cm dengan kelopak berwarna ungu yang

memiliki panjang ± 5 cm. Benang sari berjumlah delapan dengan warna kuning,

mahkota bunga berjumlah empat sampai lima, berbentuk lanset dan berwarna

putih kekuningan. Tanaman S. pinnata memiliki buah buni yang berbentuk

lonjong, berdaging, dengan diameter ± 5 cm, berserat, dan berwarna hijau

kekuningan. Biji buah berbentuk bulat, berserat kasar, dan berwarna putih

kekuningan. Akar tanaman ini merupakan akar tunggang yang berwarna coklat tua

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1994). Penampakan tanaman S. pinnata

ditunjukkan pada gambar 2.1.

2.1.3. Kandungan Kimia dan Bioaktivitas Tanaman

Penelitian Dwija et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak metanol daun S.

pinnata aktif sebagai antituberkulosis terhadap M. tuberculosis MDR. Penelitian

lain juga menyebutkan ekstrak etanol 80% daun S. pinnata mengandung senyawa

golongan terpenoid, polifenol, dan flavonoid, dan memiliki aktivitas

8

antituberkulosis terhadap M. tuberculosis MDR dengan persentase hambatan

sebesar 94,94% pada konsentrasi 10 mg/mL dan 100% pada konsentrasi 100

mg/mL (Medisina, 2012). Penelitian Ramayanti (2013) menyatakan bahwa

ekstrak etanol 80% daun S. pinnata pada konsentrasi 50 mg/mL aktif sebagai

antituberkulosis terhadap isolat M. tuberculosis H37Rv dengan persentase

hambatan sebesar 100%. Penelitian lain menyebutkan bahwa, daun S. pinnata

yang diekstraksi secara bertingkat menggunakan pelarut n-heksana dan etanol

80% memiliki aktivitas sebagai antituberkulosis terhadap M. tuberculosis MDR

(Savitri, 2013).

2.1.4. Studi Keamanan yang Pernah Dilakukan

Penelitian Purwani (2013) mengenai evaluasi keamanan ekstrak melalui

uji toksisitas akut menunjukkan bahwa, ekstrak etanol 80% daun S. pinnata yang

diperoleh dengan cara digesti serbuk daun S. pinnata menggunakan etanol 80%

termasuk ke dalam kategori slightly toxic dengan nilai LD50 sebesar 8,66 g/kgBB

pada mencit betina dan nilai LD50 sebesar 8,80 g/kgBB pada mencit jantan.

Penelitian Mahadewi (2014) dan Kusuma (2014) melaporkan bahwa

pada uji toksisitas akut pada hewan coba mencit jantan dan betina galur balb/c

yang diberikan ekstrak terpurifikasi, yang diperoleh dengan ekstraksi bertingkat

diawali dengan maserasi daun S. pinnata menggunakan n-heksana dan dilanjutkan

dengan digesti menggunakan etanol 80% yang diberikan sekali pada dosis 0,015;

0,15; 1,5; dan 15 g/kgBB yang diamati dalam waktu 24 jam tidak memiliki

potensi ketoksikan. Pada mencit betina, tingkat keamanan ekstrak termasuk dalam

kategori practically nontoxic dengan nilai LD50 sebesar 15,002 g/kgBB

9

(Mahadewi, 2014) dan pada mencit jantan tingkat keamanan ekstrak termasuk ke

dalam kategori relatively harmless dengan nilai LD50 sebesar 33,210 g/kgBB

(Kusuma, 2014).

Pada penelitian Kusuma (2014), penggunaan ekstrak secara berulang

dosis 0,2; 1; dan 2 g/kg BB selama 31 hari yang diberikan pada mencit jantan

tidak menunjukkan potensi ketoksikan pada organ hati dan ginjal, sedangkan pada

penelitian Mahadewi (2014) pemberian ekstrak etanol daun S. pinnata secara

berulang yang diberikan pada mencit betina dengan dosis 0,2; 1; dan 2 g/kgBB

menunjukkan potensi ketoksikan pada organ hati yang ditunjukkan dengan adanya

degenerasi dan nekrosis sel hati serta terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT.

Pada organ ginjal juga dilaporkan terjadi degenerasi dan nekrosis sel tetapi tidak

mempengaruhi peningkatan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dan klirens

kreatinin. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak terpurifikasi memiliki

tingkat keamanan yang lebih baik daripada ekstrak etanol total dan dapat

memberikan pengaruh yang berbeda pada mencit jantan dan mencit betina.

Perbedaan hasil tersebut dikarenakan mencit betina lebih sensitif terhadap

senyawa toksik dibandingkan dengan mencit jantan (Elya et al., 2010).

Evaluasi batas aman penggunaan ekstrak etanol daun S. pinnata pada

masa organogenesis telah dilakukan melalui uji teratogenik menggunakan mencit

betina galur balb/c. Pengujian tersebut meliputi pengamatan terhadap penampilan

reproduksi induk dan kelainan morfologi pada fetus. Pemberian ekstrak etanol

daun S. pinnata pada masa organogenesis menunjukkan terjadi penurunan berat

badan akhir induk yang signifikan pada pemberian ekstrak dosis 5 g/kgBB

10

dibandingkan dengan kelompok kontrol (Erawati, 2014). Pada dosis ini juga

ditemukan jumlah fetus lahir mati dan jumlah fetus yang mengalami resorpsi

paling banyak. Menurut Siburian dan Marlinza (2009), senyawa kimia golongan

flavonoid, terpenoid dan polifenol dalam ekstrak bahan alam dapat menyebabkan

fetus mengalami resorpsi, karena dapat mempengaruhi lingkungan uterus.

Lingkungan uterus selama fase embrio sangat peka terhadap hormon ovarium

terutama progesteron yang dapat mempengaruhi daya hidup embrio. Lingkungan

uterus yang kurang baik akan menyebabkan embrio tidak berkembang, akibatnya

embrio akan mengalami resorpsi, sehingga persentase fetus yang hidup menjadi

berkurang.

Selain itu pada penelitian Erawati (2014) dilaporkan terjadi penurunan

bobot dan panjang fetus setelah perlakuan ekstrak dengan dosis 2 dan 5 g/kgBB.

Berkurangnya berat dan panjang fetus adalah indikasi adanya hambatan

pertumbuhan fetus. Hambatan pertumbuhan terjadi apabila agensia teratogenik

mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, pengurangan laju biosintesis yang

berkaitan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, protein, atau

mukopolisakarida (Price dan Wilson, 2005). Pada morfologi fetus ditemukan juga

fetus dengan hidrosefalus setelah perlakuan ekstrak dosis 5 g/kgBB (Erawati,

2014).

2.2. Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu teknik penarikan kandungan aktif dari tanaman

dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Prinsip ekstraksi adalah melarutnya

11

senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar pada pelarut nonpolar.

Proses ekstraksi dimulai dari kontak pelarut dengan dinding sel tumbuhan,

penetrasi pelarut ke dalam sel tumbuhan, pelarutan zat aktif dalam sel, difusi zat

aktif ke luar sel, dan pengumpulan zat aktif yang telah terektraksi (Sticher, 2008).

Defating adalah proses penghilangan lemak dan senyawa yang tidak

diinginkan pada sampel dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Adapun

pelarut yang digunakan dalam proses defatting daun yaitu petroleum eter,

kloroform dan n-heksana. Defatting menggunakan pelarut kloroform dan n-

heksana untuk menghilangkan senyawa non polar alami terutama senyawa lilin

tanaman, lemak-minyak nabati, minyak atsiri, dan alkaloid (Hougton dan Raman

1998; Seidel, 2012).

Maserasi merupakan metode yang dilakukan dengan merendam serbuk

simplisia pada pelarut yang sesuai di tempat yang terlindung dari cahaya matahari

dan pada suhu ruangan dengan sesekali pengadukan. Keuntungan dari metode ini

adalah penggunaan peralatan yang sederhana dan mudah diperoleh serta

pengerjaannya yang mudah (Seidel, 2012).

Digesti merupakan maserasi dengan pengadukan kontinyu pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu 40-50oC (Departemen

Kesehatan RI, 2000). Keuntungan metode digesti ini adalah kekentalan pelarut

berkurang dan daya melarutkan cairan penyari akan meningkat. Selain itu, waktu

ekstraksi simplisia dengan metode digesti akan lebih singkat dibandingkan dengan

menggunakan metode maserasi (Handa, 2008).

12

2.3. Uji Teratogenik

Uji teratogenik merupakan salah satu uji toksikologi yang bersifat khas.

Uji ini digunakan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa terhadap janin pada

hewan bunting. Hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis, roden dan

nirroden. Dalam pemilihan hewan uji, yang perlu diperhatikan adalah umur, berat

badan, keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap teratogen. Uji

ini memiliki manfaat sebagai patokan batas aman dan resiko penggunaan obat

tertentu oleh wanita hamil, terutama berkaitan dengan cacat bawaan janin yang

dikandungnya (Donatus, 2005).

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam uji teratogenik adalah

peringkat dosis, frekuensi, dan saat pemberian senyawa uji, serta pengamatannya.

Menurut Donatus (2005), dalam penentuan dosis sekurang-kurangnya digunakan

tiga peringkat dosis, yang berkisar antara dosis letal terhadap induk atau semua

janin, dan dosis yang tidak memiliki efek teratogenik. Kemudian masa

pengamatan uji ini dimulai sejak diakhirinya masa bunting hewan uji, yaitu

sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah sesar.

2.3.1. Teratologi dan Teratogen

Teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme,

dan wujud dari perkembangan yang menyimpang dari sifat, struktur, dan fungsi

alaminya yang meliputi studi tentang perkembangan abnormal dan cacat bawaan.

Teratogen atau disebut dengan zat embriotoksik merupakan suatu agensia yang

bekerja selama masa perkembangan janin atau fetus dimana jika diberikan agensia

ini secara nyata akan mempengaruhi perkembangan janin atau fetus sehingga

13

menimbulkan efek yang berubah-ubah mulai dari letalis sampai kelainan bentuk

(malformasi) dan keterhambatan pertumbuhan (Loomis, 1979; Leveno et al.,

2009).

Malformasi janin disebut terata dan zat kimia yang menimbulkan terata

disebut zat teratogen atau zat teratogenik. Wujud dari efek teratogen dapat

menimbulkan cacat struktural, penghambatan pertumbuhan, dan kematian. Ada

tidaknya pemajanan teratogen yang menghasilkan kelahiran abnormal tergantung

pada berbagai faktor. Dua dari banyak faktor penting adalah dosis (tingkat

pemajanan) dan waktu pemajanan. Efek waktu pemajanan pada teratogenesis

dapat terjadi karena variasi kejadian selama masa yang berbeda pada periode

organogenesis. Hal ini dapat dijadikan bahwa waktu pemajanan zat teratogenik

merupakan hal yang kritis dalam menentukan efek yang potensial. Pemajanan

selama masa awal (awal implantasi) berpengaruh pada kematian embrio.

Pemajanan pada masa akhir (pada manusia di trisemester ketiga) sangat mungkin

berpengaruh pada penghambatan pertumbuhan. Pemajanan pada masa

pertengahan (masa organogenesis) akan sangat mungkin berpengaruh pada

kerusakan struktur. Pemajanan teratogen selama periode kritis perkembangan

janin kemungkinan besar akan menyebabkan malformasi pada sistem organ

(Loomis, 1979).

Price dan Wilson (2005) menyatakan bahwa, suatu agensia teratogen

akan menimbulkan hambatan pertumbuhan apabila agensia tersebut

mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, pengurangan laju biosintesis yang

berkaitan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, protein, dan

14

mukopolisakarida. Dalam hal ini kaitannya pada periode organogenesis, dimana

periode ini adalah periode kritis yang paling sensitif dan rentan terhadap pajanan

agensia-agensia yang bersifat toksik maupun teratogenik (Santoso, 1990;

Kumolosasi et al., 2004).

2.3.2. Proses Perkembangan Fetus

Perkembangan fetus atau janin terdiri dari tiga periode antara lain periode

implantasi, periode embrionik, dan periode fetus. Periode implantasi terjadi

setelah fertilisasi atau pembuahan yaitu suatu proses bersatunya sel ovum dengan

sel spermatozoa sehingga membentuk zigot. Zigot kemudian berkembang dan

akan mengalami pembelahan, dalam proses ini terjadi serangkaian pembelahan

mitosis yang menyebabkan sitoplasma zigot semakin banyak dan terus membelah

sehingga terbentuk morula (tampak seperti buah arbei). Kemudian morula

berkembang menjadi blastokista membentuk rongga blastocoel. Memban luar sel

akan membentuk trofoblas kemudian berubah menjadi korion lalu membentuk

plasenta, dan bagian dalam trofoblas akan menghasilkan cairan amnion. Pada

bagian dalam membran kemudian membentuk massa sel yang akan berkembang

menjadi embrio (Isnaeni, 2006; Sadler, 2006).

Selanjutnya, periode embrionik dibagi lagi menjadi tiga antara lain

prasomit, somit dan pascasomit. Pada periode prasomit, lapisan primer embrio

dan membran fetus terbentuk dalam massa sel dalam. Pada periode somit, ditandai

dengan munculnya segmen metamerik dorsal yang prominen, kemudian

ditentukan pola dasar sistem tubuh dan organ utama. Periode pascasomit ditandai

dengan pembentukan bagian luar tubuh. Periode pascasomit merupakan fase

15

organogenesis, dimana pada fase ini terjadi diferensiasi pembentukan organ tubuh,

sehingga pada fase ini merupakan fase paling peka terjadinya malformasi

anatomik dan pengaruh buruk lainnya dengan beberapa kemungkinan yaitu

pengaruh letal, pengaruh subletal dan gangguan fungsional (Santoso, 1990;

Sperber, 1991). Periode organogenesis pada manusia dimulai pada hari ke-13

sampai hari ke-60 sedangkan pada mencit galur balb/c dimulai pada hari ke-6

sampai hari ke-15 kebuntingan, bila hari kawin dianggap hari ke-0 kebuntingan

(Widiyani dan Sagi, 2001). Periode fetus terjadi setelah organogenesis hingga saat

lahir. Tahap ini ditandai dengan munculnya pusat osifikasi dan pergerakan

pertama dari fetus (Sperber, 1991).

2.4. Pemeriksaan Struktur Skeleton

2.4.1. Skeleton

Skeleton merupakan serangkaian tulang yang menyusun tubuh dan

mempunyai fungsi yang sangat penting. Fungsi tulang yaitu sebagai penunjang

dan pemberi bentuk tubuh; pelindung alat-alat vital tubuh; penyusun rangka

tubuh; tempat melekatnya otot; tempat pembentukan sel-sel darah merah; dan

tempat penyimpan mineral seperti kalsium dan fosfor (Sloane, 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan

skeleton terdiri dari tiga komponen yaitu :

a. Senyawa organik

Senyawa organik utama penyusun tulang adalah protein. Protein utama

penyusun tulang adalah kolagen tipe 1 yang merupakan 90-95% bahan organik

16

utama sedangkan sisanya adalah medium homogen yang disebut substansi dasar

(Baron, 2008).

b. Substansi dasar tulang

Substansi dasar terdiri atas cairan ekstraseluler ditambah dengan

proteoglikan khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat. Fungsi utama dari

bahan tersebut belum diketahui, akan tetapi diduga membantu pengendapan

garam kalsium. Bahan anorganik utama adalah garam kristal yang diendapkan di

dalam matriks tulang terutama terdiri dari kalsium dan fosfat yang dikenal sebagai

kristal hidroksiapatit. Kalsium berperan dalam proses pembentukan struktur

tulang dan gigi (Guyton and Hall, 2006; Murray, 2003).

c. Komponen sel

Komponen sel terdiri dari 4 tipe sel yaitu sel osteoprogenitor, osteoblas,

osteosit, dan osteoklas (Deftos, 2014). Sel osteoprogenitor berasal dari mesenkim,

yang merupakan jaringan penghubung yang masih bersifat embrional, sehingga

sel osteoprogenitor masih memiliki kemampuan untuk mitosis. Sel ini berfungsi

sebagai sumber sel baru dari osteoblas dan osteoklas selama pertumbuhan tulang.

Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berasal dari sel osteoprogenitor dan

ditemukan di permukaan tulang. Sel ini bertanggung jawab pada pembentukan

dan proses mineralisasi tulang. Osteoblas mensintesis kolagen dan

glikosaminoglikan dari matriks tulang dan peranannya dalam proses mineralisasi

tulang. Mineral dalam sistem kerangka memiliki fungsi untuk membuat tulang

menjadi kuat (Robling et al., 2006).

17

Osteosit memiliki peran dalam memelihara homeostasis mineral tulang.

Proses ini terjadi ketika osteosit menerima sinyal hormonal dari kelenjar

paratiroid, maka organ lainnya akan mengeluarkan pesan kimia tersendiri yang

akan memasuki aliran darah dan mengatur ekskresi mineral melalui ginjal. Selain

itu, osteosit juga berperan terhadap kepadatan tulang (Habib, 2006).

Osteoklas berasal dari sel hematopoietik yang merupakan prekusor

makrofag. Osteoklas berperan pada proses resorpsi tulang. Selama proses resorpsi,

osteoklas akan mensekresi ion hidrogen dan enzim lisosom. Ion hidrogen yang

dibentuk dari karbonik anhidrase memasuki membran plasma untuk melarutkan

matriks tulang dan enzim lisosom yaitu kolagenase dan katepsin K dikeluarkan

untuk kemudian mencerna matriks tulang (Deftos, 2014).

2.4.2. Proses Perkembangan Skeleton

Berdasarkan jaringan penyusunnya, tulang dibedakan menjadi tulang

rawan (kartilago) dan tulang keras (Sloane, 2004). Tulang rawan bersifat lentur,

dan dibentuk oleh sel-sel mesenkim. Di dalam kartilago tersebut akan diisi oleh

osteoblas. Osteoblas merupakan sel-sel pembentuk tulang keras. Osteoblas akan

mengisi jaringan sekelilingnya dan membentuk osteosit (sel-sel tulang). Sel tulang

dibentuk secara konsentris (dari arah dalam ke luar). Setiap sel-sel tulang akan

mengelilingi pembuluh darah dan serabut saraf, membentuk sistem Havers. Di

sekeliling sel-sel tulang ini terbentuk senyawa protein membentuk matriks tulang.

Matriks tulang akan mengeras karena adanya garam kapur (CaCO3) dan garam

fosfat atau Ca3(PO4)2 (Irianto, 2004).

18

Di dalam sel tulang terdapat sel-sel osteoklas. Adanya sel osteoklas

menyebabkan tulang akan berongga, kemudian rongga ini kelak akan berisi

sumsum tulang. Osteoklas membentuk rongga sedangkan osteoblas membentuk

osteosit baru ke arah luar. Dengan demikian, tulang akan bertambah besar dan

berongga (Irianto, 2004).

Secara garis besar, rangka tubuh manusia dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu kerangka aksial dan kerangka apendikular. Kerangka aksial berfungsi dalam

perlindungan organ-organ dalam dan memberi bentuk tubuh sedangkan kerangka

apendikular berfungsi dalam sistem gerak. Kerangka aksial tersusun atas tulang

belakang (vertebrae), tulang dada (sternum), dan tulang rusuk (costae), sedangkan

tulang-tulang penyusun kerangka apendikular yaitu telapak tangan (metakarpus)

dan telapak kaki atau metatarsus (Sloane, 2004).

2.4.3. Bentuk Kelainan Skeleton

Secara normal kerangka manusia dengan mencit hampir sama. Rangka

tubuh manusia secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerangka

aksial dan kerangka apendikular. Penampakan struktur kerangka normal mencit

ditunjukkan pada gambar 2.2.

19

Gambar. 2.2. Penampakan Struktur Skeleton Normal pada Mencit (Margaret,

2008).

Pada gambar 2.2 terlihat kerangka aksial terdiri dari tulang belakang

(vertebrae) yang tersusun atas 7 servik (tulang leher), 12 toraks (tulang

punggung), 5 lumbar (tulang pinggang), dan 1 koksigea (tulang ekor, 4 ruas

berfusi menjadi 1); tulang dada (sternum) tersusun atas 1 manubrium (hulu), 1

gladiolus (badan), dan 1 xifoid (taju pedang); tulang rusuk (costae) yang tersusun

atas 7 pasang rusuk sejati, 3 pasang rusuk palsu, dan 2 pasang rusuk melayang,

serta tulang tempurung kepala atau cranium (Sloane, 2004). Struktur kerangka

costae dan sternebrae secara jelas ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar. 2.3. Penampakan Struktur Skeleton Normal pada Tulang Rusuk (costae)

dan Tulang Dada (Sternebrae) Mencit (Margaret, 2008).

20

Pada gambar 2.4. terlihat penampakan struktur kerangka normal dari ruas

tulang telapak kaki (metatarsal). Metatarsal tersusun atas 10 ruas tulang telapak

kaki yang terdapat dari kedua telapak kaki kanan dan kiri. Jumlah ruas metatarsal

sama dengan jumlah ruas metakarpus yaitu berjumlah 10 ruas (Sloane, 2004).

Gambar. 2.4. Penampakan Struktur Skeleton Normal pada Tulang Telapak Kaki

(Metatarsus) Mencit (Margaret, 2008).

Beberapa bentuk kelainan skeleton yang terjadi akibat pemajanan zat

embriotoksik dapat dilihat pada terjadinya penghambatan pertumbuhan tulang

yang ditandai dengan penurunan jumlah ruas metakarpus dan metatarsus,

penghambatan pertumbuhan costae, kelainan pada costae, serta adanya

malformasi pada vertebrae dibandingkan dengan kontrol normal (Santoso, 2006;

Setyawati dan Yulihastuti, 2011). Berdasarkan pada penelitian Setyawati dan

Yulihastuti (2011) menyatakan bahwa pemajanan agensia teratogenik yang

diberikan pada masa organogenesis dapat menyebabkan penghambatan

pertumbuhan tulang. Pemajanan agensia teratogenik kemungkinan dapat melewati

sawar plasenta. Adanya agensia teratogenik dalam plasenta akan menghambat

transfer nutrisi dari induk ke fetus dan menghambat metabolisme nutrisi yang

penting bagi pertumbuhan dan perkembangan organ-organ fetus, termasuk bahan

21

mineral untuk kalsifikasi. Pemajanan zat agensia teratogenik yang bersifat

kolagenase misalnya enzim bromelin dari buah nanas (Ananas comosus) juga

berakibat pada terjadinya degradasi kolagen sebagai bahan pembentuk tulang,

sehingga dapat menghambat kalsifikasi tulang rawan pada ruas metakarpus dan

metatarsus fetus.

Kelainan pada penulangan costae biasanya dapat dilihat pada bentuk

costae antara lain berupa costae fusi, adanya “jembatan costae”, serta costae

bergelombang, dan kelainan penulangan ini juga dapat dilihat dari jumlah

penulangan costae. Bentuk kelainan costae ditunjukkan pada gambar 2.5.

Gambar. 2.5. Bentuk costae fetus : a). Costae normal, b). Costae fusi dan adanya

jembatan costae, c). Costae bergelombang (Setyawati dan Yulihastuti 2011).

Costae fusi disebabkan karena arah pertumbuhan tonjolan bakal costae

dari vertebrae tidak beraturan dan di beberapa tempat jarak antara rusuk yang

berurutan sangat dekat. Costae-costae yang berdekatan, ketika tumbuh

memanjang, ada yang cenderung saling bersinggungan. Saat osifikasi, costae-

costae yang bersinggungan diosifikasi bersama sehingga akhirnya terjadi fusi.

Malformasi vertebrae terjadi karena gangguan pada proses segmentasi.

Penggabungan dan kelainan pembentukan vertebrae terjadi pada awal

perkembangan (Setyawati dan Yulihastuti, 2011). Menurut Habib (2006), asupan

22

nutrisi yang mengandung isoflavon (misalnya genestein dan daidzein) dapat

menyebabkan hambatan terhadap penulangan karena senyawa ini memiliki

potensi estrogenik.

Pemeriksaan skeleton fetus merupakan bagian penting dari uji

teratogenik karena pembentukan skeleton selama organogenesis merupakan

proses yang sangat rentan dipengaruhi oleh zat yang dikonsumsi selama

kebuntingan. Dalam kisaran dosis embriotoksik, jika semakin tinggi dosis maka

akan mengakibatkan respon yang lebih tinggi. Akibatnya akan terjadi

penghambatan pertumbuhan, malformasi sampai kematian intrauterin dan resorpsi

(Santoso, 2006). Pemeriksaan perkembangan skeleton terdiri dari pemeriksaan

perkembangan kerangka aksial yaitu costae, sternebrae, dan vertebrae dan

kerangka apendikular yaitu metakarpus dan metatarsus (Setyawati dan

Yulihastuti, 2011).

2.4.4. Metode Pemeriksaan Perkembangan Fetus dengan Pewarnaan Alcian

Blue-Alizarin Red

Metode pewarnaan Alcian Blue-Alizarin Red digunakan untuk

mengetahui susunan tulang rawan dan tulang keras berdasarkan perbedaan

penyerapan terhadap zat warna. Tujuan penggunaan pewarnaan ganda ini karena

tulang fetus tersusun dari beberapa jenis tulang yaitu tulang rawan dan tulang

keras. Masing-masing akan memiliki afinitas yang berbeda dalam penyerapan zat

warna sehingga akan terlihat perbedaan jenis tulang tersebut. Ruas tulang yang

terwarnai Alizarin Red (merah) adalah tulang keras, sedangkan ruas tulang yang

terwarnai Alcian Blue (biru) adalah tulang rawan (Cortes et al., 2009).