bab ii. tinjauan pustaka 2.1 tanaman kedelai (glycine max ...eprints.umm.ac.id/43837/3/bab...

12
4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L.) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kedelai Sistematika tanaman kedelai menurut Adisarwanto (2008) yaitu sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Glycine Spesies : Glycine max (L.) Merrill 2.1.2 Morfologi Tanaman Kedelai Kedelai memiliki sistem perakaran yang terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari bakal akar, sejumlah akar sekunder yang tersusun empat barisan sepanjang akar tunggang, cabang akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil, dan cabang akar sekunder. Sistem perakaran umumnya terdiri dari akar lateral yang berkembang 10-15 cm di atas akar tunggang. Saat kondisi yang berbeda, sistem perakaran terletak 15 cm di atas tanah yang tetap berfungsi mengabsorpsi dan mendukung kehidupan tanaman. Panjang akar tunggang

Upload: duonganh

Post on 14-Jun-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kedelai

Sistematika tanaman kedelai menurut Adisarwanto (2008) yaitu sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Glycine

Spesies : Glycine max (L.) Merrill

2.1.2 Morfologi Tanaman Kedelai

Kedelai memiliki sistem perakaran yang terdiri dari sebuah akar tunggang

yang terbentuk dari bakal akar, sejumlah akar sekunder yang tersusun empat

barisan sepanjang akar tunggang, cabang akar adventif yang tumbuh dari bagian

bawah hipokotil, dan cabang akar sekunder. Sistem perakaran umumnya terdiri

dari akar lateral yang berkembang 10-15 cm di atas akar tunggang. Saat kondisi

yang berbeda, sistem perakaran terletak 15 cm di atas tanah yang tetap berfungsi

mengabsorpsi dan mendukung kehidupan tanaman. Panjang akar tunggang

5

ditentukan oleh berbagai faktor, seperti kekerasan tanah, populasi tanaman,

varietas, dan sebagainya. Bintil akar pertama terlihat 10 hari setelah tanam. Akar

tunggang dapat mencapai kedalaman 200 cm, namun pada pertanaman tunggal

dapat mencapai 250 cm. (Adie & Krisnawati, 2007).

2.1.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai

Kondisi wilayah yang curah hujannya sekitar 100–200 mm/bulan dengan

hujan yang merata dan temperatur antara 25oC-27oC, serta penyinaran penuh (10

jam per hari) membuat tanaman kedelai akan tumbuh baik. Kelembapan suhu

rata-rata adalah 50% dan pada ketinggian antara 0-900 meter di atas permukaan

laut (mdpl) tumbuh optimal. Ketinggian 650 mdpl kedelai sangat optimal. Jenis

tanah yang baik antara lain adalah: alluvial, regosol, grumosol, latosol dan

andosol (Martodireso & Suryanto, 2001). Menurut Adisarwanto (2013), panjang

hari (fotoperiode) penyinaran yang dibutuhkan tanaman kedelai di daerah tropika

rata-rata 11–12 jam, sedangkan di daerah subtropis bisa mencapai

14–16 jam. Fachruddin (2000) menyatakan bahwa angka 6,0-6,8 adalah nilai pH

ideal bagi bakteri Rhizobium dan pertumbuhan kedelai. Sementara pada

pH 5,0 kedelai mengalami keracunan Al, Fe, dan Mn sehingga pertumbuhannya

terganggu.

Gambar 1. Tanaman (Balitkabi, 2016)

6

2.2 Hama Vektor Virus Mosaik Aphis glycine

2.2.1 Taksonomi Aphis glycine

Ksd Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Order : Hemiptera

Famili : Aphididae

Genus : Aphis

Species : Aphis glycine Matsumura (Blackman & Eastop, 2000)

2.2.2 Morfologi Kutu Kedelai A. glycine

Bila populasi meningkat, sebagian serangga dewasanya membentuk sayap

yang bening. Padahal, sebagian besar jenis serangga ini tidak bersayap. Tubuh A.

glycines berukuran kecil, lunak dan berwarna hijau agak kekuning-kuningan.

Untuk membentuk koloni yang baru, A. glycine dewasa berpindah kepada ke

tanaman lainnya untuk dijadikan inang (Balitbangtan, 2013).

Gambar 2. Kutu Daun Aphis glycine Matsumura

(Tilmon, Hodgson, & O’Neal, 2011)

7

Aphis dewasa memiliki panjang tubuh berkisar antara 1-1,6 mm. Jumlah ruas

antena dijadikan dasar untuk membedakan nimfa dengan imagonya. Jumlah

antena nimfa instar satu umumnya 4 atau 5 ruas, instar kedua 5 ruas, instar tiga 5

atau 6 ruas dan instar empat atau imago 6 ruas. Serangga muda (nimfa) dan imago

mengisap cairan tanaman. Serangga ini menyukai bagian-bagian muda dari

tanaman inangnya (Balitbangtan, 2013).

2.2.3 Siklus Hidup Kutu Daun Kedelai

Siklus hidup kutu daun dan karakteristik kerusakan pada kedelai, terdapat

tiga periode dampak yang dapat dikenali:

1. Mulai dari tahap pembenihan hingga tahap mekar (pertengahan Juli), kutu

populasi mencapai titik puncaknya. Sekitar 50-70% dari seluruh kutu

populasi berkoloni di atas daun dan tangkaimuda di atas tanaman kedelai.

Kerusakan kedelai yang disebabkan selama periode ini memiliki yang

terburuk berdampak pada tanaman.

2. Selama tiga hari dari sepuluh hari di bulan Juli, ketika tanaman kedelai

berhenti tumbuh, kutu daun kemudian bermigrasi dari daun bagian atas dan

ranting ke tengah atau bawah dan memakan bagian bawah daun. Pada saat

yang sama, nimfa muda muncul. Populasi kutu daun tumbuh perlahan, dan

kerusakan tanaman kedelai mulai berkurang.

8

3. Dari bulan Agustus akhir (the late pod bearing period) hingga awal

September (the yellow maturing period) pertambahan jumlah kutu melambat.

Di akhir musim gugur, kutu daun bermigrasi kembali ke tanaman buckthorn

(Hippophaea salicifolia), sebagai persembunyian mereka, dan oviposit telur

melebihi musin dingin. Selama musim gugur, kutu daun jantan dan kutu daun

betina hidup di persembunyian yang berbeda. Kutu daun betina hidup pada

tanaman buckthorn (H. salicifolia), dan kutu daun jantan hidup di kedelai.

Kutu daun mereproduksi 15 generasi selama satu tahun pada kedelai (Wang,

Fang, Lin, Zhang, & Wang, 1994).

2.2.4 Dampak Serangan Kutu Kedelai A. glycine

Kutu kedelai merupakan salah satu hama kedelai yang berkembang dalam

koloni besar dan menyebabkan kehilangan hasil mencapai 58% pada tanaman

kedelai (Wang, Fang, Lin, Zhang, & Wang, 1994). Populasi A. glycines yang

tinggi dapat mengurangi produksi kedelai secara langsung melalui beberapa

Gambar 3. Siklus Hidup Hama Kutu Daun Aphis glycine

(Wang, Fang, Lin, Zhang, & Wang, 1994)

9

kerusakan. Gejala serangannya seperti kerdil, distorsi daun, dan mengurangi

kualitas polong yang dihasilkan (Widariyanto, Pinem, & Zahra, 2017).

Kutu daun (Aphis glycines) merupakan hama yang menyerang daun muda

pada tanaman kacang-kacangan, terutama pada akhir musim hujan dan musim

panas. Serangan kutu daun terhadap daun muda menyebabkan daun menjadi

kerdil dan lebih banyak polong yang kurang berisi (Pitojo, 2003). Menurut

Nurhayati (2012), kutu daun merupakan genus yang mampu menularkan lebih

dari 160 virus yang berbeda. Virus yang ditularkan oleh kutu daun kebanyakan

menyebabkan penyakit mosaik. Beberapa juga menghasilkan penyakit kuning.

virus yang ditularkan oleh kutu daun dikategorikan ke dalam virus non persisten,

semi persisten dan persisten.

2.2.5 Tanaman Inang Kutu Daun Aphis glycine

Tanaman kedelai muda maupun tua diserang oleh A. glycine. Cuaca panas

musim kemarau menyebabkan populasi hama kutu daun tinggi. Hingga saat ini,

Gambar 4. Tanaman kedelai (kiri) dengan serangan aphid (ribuan per

tanaman). Tanaman di sebelah kanan berisi Rag1 gen

resistensi Aphid (Tilmon, Hodgson, & O’Neal, 2011).

10

kutu daun hanya menyerang tanaman kedelai (Balitbangtan, 2013). Pertumbuhan

tanaman inang terganggu dan menjadi kerdil karena cairan sel dihisap oleh kutu

daun kedelai A. glycines. Kutu A. glycines memasukkan toksin ke dalam daun

sehingga daun menguning dan permukaan berkerut. Hama ini berperan sebagai

pembawa virus (vektor) (Suryanto, 2010).

2.3 Pengendalian Secara Alami

2.3.1 Umbi Gadung (Dioscore hispida Dennst)

Taksonomi umbi gadung secara biologi dapat diklasifikasikan seperti

berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Dioscoreales

Famili : Dioscoreaceae

Genus : Dioscorea

Spesies : Dioscorea hispida Dennst. (Yuwono, 2015)

Kandungan kimia pada tanaman gadung (Dioscorea hispida Dennst) yaitu

saponin, amilim, CaC2O4, antidotum, besi, kalsium, lemak, garam, fosfat, protein

dan vitamin B1. Umbi mengandung alkaloid padat yakni dioscorin (C13H19O2N),

yang mempunyai sifat-sifat pembangkit kejang apabila termakan oleh manusia

dan hewan, substansi yang bersifat basa dan mengandung satu atau lebih atom

nitrogen dan bersifat toksik adalah ciri dari alkaloid dioscorin. Selain itu, juga

mengandung diosgenin (golongan alkaloid), dibandingkan dengan diosgenin,

dioscorin bersifat lebih toksik, namun bila dikonsumsi keduanya sering

11

menyebabkan keracunan (Pambayun, 2007). Terdapat pula asam sianida atau

HCN yang bersifat racun mematikan. Selain zat tersebut terdapat juga zat saponin,

flavonoida dan tanin (Santi, 2010).

Sifatnya yang basa, mengandung satu atau lebih nitrogen heterosiklik, dan

umumnya beracun bagi manusia menunjukkan ciri dari senyawa alkaloid. Variasi

alkaloid dioskorin di alam sangat beragam, dari mulai stabilitas, strukutur,

kemampuan menguap dan polaritasnya. Ekstraksi dan isolasi dari tepung gandum

adalah cara untuk memperoleh alkaloid dioskarin (C13H19O2N). Dioskorin

merupakan senyawa basa berwarna kuning kehijauan, bersifat higroskopis dan

rasanya sangat pahit. Senyawa ini sukar larut dalam eter dan benzene, tapi mudah

larut dalam air, etanol dan kloroform. Umbi gadung mengandung kadar dioskorin

sekitar 0,221% berat kering atau 0,044% berat basah (Koswara, 2013).

Selain alkaloid, gadung mengandung asam sianida (HCN). Senyawa ini

termasuk volatile tidak berwarna, berasa pahit dan berbau menyengat

sebagaimana asam lainnya. Memiliki titik didih 25,7 ºC memudahkan HCN larut

dalam air dalam keadaan bebas. Senyawa ini akan terakumulasi jika di dalam

jaringan, senyawa ini cepat menguap. Senyawa ini mudah dihilangkan dari bahan

karena sifat kelarutannya sangat mudah larut dalam air (Pambayun, 2007).

Gambar 5. Tanaman Gadung (Yuwono, 2015)

12

Koswara (2013) menyatakan bahwa sekitar 400 mg sianida per kg bisa dihasilkan

dari umbi gadung segar.

2.3.2 Gulma Rumput Grinting (Cynodon dactylon)

Kingdom : Plantae

Sub Kindom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Cyperales

Famili : Poaceae/ Gramineae

Genus : Cynodon Rich.

Spesises : Cynodon dactylon (L.) Pers. (USDA, 2010)

2.3.3 Alelokimia dan Kandungan Gulma Cyonodon dactylon

Senyawa alelopati merupakan senyawa yang bersifat toksik yang

dikeluarkan oleh tumbuhan. Persaingan yang timbul akibat dikeluarkannya zat

yang meracuni tumbuhan lain disebut alelopati, sedangkan senyawa kimia yang

memiliki potensi pada peristiwa alelopati disebut sebagai alelokimia. Raden et al.

(2008) menyatakan bahwa alelokimia merupakan metabolit sekunder, termasuk

diantaranya adalah asam lemak, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat

dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, cumarin, fenol dan asam fenolat,

asam amino non protein, sulfida serta nukleosida.

13

Hans Molisch pada tahun 1937 pertama kali mengemukakan istilah

alelopati (allelopathy). Berasal dari kata allelon (saling) dan pathos (menderita),

alelopati mencakup interaksi biokimiawi secara timbal balik, yaitu yang bersifat

penghambatan (penderitaan) maupun perangsangan antara semua jenis tumbuhan

termasuk mikroorganisme. Gulma, tanaman pangan, dan hortikultura (semusim),

tanaman berkayu, residu dari tanaman dan gulma, serta mikroorganisme

memungkinkan menghasilkan senyawa alelopati. Mekanisme keluarnya alelopati

dari tanaman dan gulma bisa dalam bentuk luruhan organ (decomposition),

melalui pencucian (leaching) dari organ bagian luar, senyawa yang menguap

(volatile) dari daun, batang, dan akar, serta eksudat dari akar dan serbuk sari

(Junaedi, Chozin, & Kwanghokim, 2006).

Gambar 6. Gulma Cynodon dactylon (USDA, 2010)

Analisis spektrometri-kromatografi massa gas (GC-MS) dari daun C.

dactylon mengandung gliserin (38,49%), 9,12-oktadecadienoil klorida, (Z, Z)

(15,61%), asam heksadekanoat, etil ester (9,50%), etil α-D-glukopiranosida

(8,42%), asam linoleat etil ester (5,32%) dan phytol (4,89%) serta senyawa

bioaktif lainnya dilaporkan oleh (Jananie, Priya, & Vijayalakshmi, 2011).

Konstituen utama pada rumput ini seperti tricosane (22,05%), 1,2-Propanediol

(20,30%), 3-Benzyloxy-1,2 Diacetyl (12,62%) dan 7 konstituen minor lainnya

14

dalam ekstrak etanol C. dactylon. Ekstrak hidroalkohol C. dactlyon ditemukan

mengandung 22 senyawa secara total, terutama asam heksadekanoat, etil ester

(17,49%), D-mannose (11,48%) dan asam linolenat, ester eter (11,28%). Selain

itu, hydrokuinon (69,49%), furfural (6,0%) dan levoglukosenon (2,72%)

ditemukan menjadi konstituen terkaya di antara 20 konstituen yang dicirikan dari

ekstrak fenolik (Ashokkumar, Selvaraj, & Muthukrishnan, 2013).

Senyawa alelopati tidak dikeluarkan oleh semua gulma. Kuantitas dan

kualitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh gulma antara lain dipengaruhi

kerapatan gulma, macam gulma, saat kemunculan gulma, lama keberadaan gulma,

habitat gulma, kecepatan tumbuh gulma, dan jalur fotosintesis gulma (C3 atau C4)

(Cholid, 2005).

2.4 Pengendalian Kutu Daun

Pengendalian kutu daun menurut Suryanto (2010) dianjurkan berpedoman

pada prinsip pengendalian hama terpadu, yakni sebagai berikut :

1. Pengendalian secara teknis: membersihkan gulma, menggunakan mulsa

plastik berwarna perak, konsepnya menjaga kebersihan tanaman untuk

menekan perkembangan kutu daun.

2. Pengendalian secara mekanis: bagian tanaman yang terserang dipangkas dan

dimusnahkan dengan cara dibakar.

3. Pengendalian kimiawi: Menggunakan racun serangga berbahan aktif

profenofos dengan konsentrasi 1-1,5 ml/l air atau imidakloprid dengan

konsentrasi 0,5 ml/air.

15

Pengendalian hama kutu daun juga dapat dilakukan secara hayati, yaitu

menggunakan kumbang koksi hewan pemangsa kutu daun. Pada umumnya,

kumbang koksi pemakan kutu daun berwarna cerah. Beberapa spesies yang

dikenal sebagai pemakan kutu daun adalah Hippodomia, Ceccinella adalia dan

Harmonia (Purnomo, 2010). Pengendalian hama kutu daun menggunakan

pestisida nabati pernah dilakukan oleh Mardiningsih et al. (2010) dari tanaman

mimba berbahan aktif azadirakhtin dan buah lerak berbahan aktif saponin yang

menunjukkan adanya penurunan populasi kutu daun.