bab ii tinjauan pustaka 2.1 minyak zaitun 2.1.1 asal usuleprints.umm.ac.id/42628/3/bab ii.pdf ·...

23
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Zaitun 2.1.1 Asal Usul Minyak zaitun adalah minyak yang dihasilkan dari perasan buah zaitun ( Olea europae L) yang awal mula dikembang biakkan di Cekungan Laut Tengah dan sudah digunakan pada zaman nabi untuk memasak, kosmetik dan pengobatan. Awal mula sejarah adanya minyak zaitun berawal dari Homer, seorang penyair legendaris Yunani Kuno yang membuat dan menyebut minyak zaitun ini sebagai “emas cair” dalam adikaryanya Odyssey. Penggunaan minyak zaitun untuk kesehatan jiwa maupun kesehatan badan telah dimulai sejak 6000 tahun yang lalu.Hipocrates , “Bapak Ilmu Pengobatan” mengatakan bahwa minyak zaitun memiliki nilai terapi yang tinggi bagi kesehatan (Magdalena, 2014). Lebih dari 60 resep terapi penyembuhan pasien menggunakan khasiat minyak zaitun telah dilakukan oleh Hipocrates sejak 400 SM (Orey, 2008). 2.1.2 Klasifikasi Minyak Zaitun Menurut Orey, (2008) Kualitas dari minyak zaitun dapat diklasifikasikan menjadi 5 golongan yaitu: 1. Extra virgin: Jenis minyak zaitun yang dihasilkan dari zaitun berkualitas wahid. Hanya boleh memiliki keasaman alami kurang dari 1%. Rasa buahnya masih sangat kuat. Dan dipenelitian ini menggunakan minyak zaitun extra virgin karena kualitas dan kemurniannya yang terjamin 2. Virgin: Jenis minyak zaitun yang diproses secara mekanik (dengan perasan) tanpa panas, yang mengubah tingkat keasaman menjadi antara 1-5%.

Upload: tranlien

Post on 26-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Zaitun

2.1.1 Asal Usul

Minyak zaitun adalah minyak yang dihasilkan dari perasan buah zaitun (Olea

europae L) yang awal mula dikembang biakkan di Cekungan Laut Tengah dan sudah

digunakan pada zaman nabi untuk memasak, kosmetik dan pengobatan. Awal mula

sejarah adanya minyak zaitun berawal dari Homer, seorang penyair legendaris Yunani

Kuno yang membuat dan menyebut minyak zaitun ini sebagai “emas cair” dalam

adikaryanya Odyssey. Penggunaan minyak zaitun untuk kesehatan jiwa maupun

kesehatan badan telah dimulai sejak 6000 tahun yang lalu.Hipocrates , “Bapak Ilmu

Pengobatan” mengatakan bahwa minyak zaitun memiliki nilai terapi yang tinggi bagi

kesehatan (Magdalena, 2014). Lebih dari 60 resep terapi penyembuhan pasien

menggunakan khasiat minyak zaitun telah dilakukan oleh Hipocrates sejak 400 SM

(Orey, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Minyak Zaitun

Menurut Orey, (2008) Kualitas dari minyak zaitun dapat diklasifikasikan

menjadi 5 golongan yaitu:

1. Extra virgin: Jenis minyak zaitun yang dihasilkan dari zaitun berkualitas

wahid. Hanya boleh memiliki keasaman alami kurang dari 1%. Rasa buahnya

masih sangat kuat. Dan dipenelitian ini menggunakan minyak zaitun extra

virgin karena kualitas dan kemurniannya yang terjamin

2. Virgin: Jenis minyak zaitun yang diproses secara mekanik (dengan perasan)

tanpa panas, yang mengubah tingkat keasaman menjadi antara 1-5%.

9

3. Pure: Campuran dari minyak zaitun sulingan (diolah dengan uap dan bahan

kimia) dengan yang virgin. Tingkat keasaman berkisar 3-4% dan memiliki

harga yang lebih murah.

4. Extracted and refined: Dibuat dari sisa perasan pertama dengan menggunakan

pelarut kimia, ditambahkan minyak virgin sebagai penguat rasa.

5. Pomace: Dibuat dengan ekstraksi kimia dari residu yang terrsisa setelah

perasan dan pemrosesan kedua. Mengandung keasaman 5-10% dan

ditambahkan minyak virgin sebagai penguat rasa.

2.1.3 Kandungan Minyak Zaitun

Menurut Orey (2008) terdapat enam unsur super penyangga kesehatan dalam

minyak zaitun, pertama disebutkan bahwa minyak zaitun mengandungasam lemak

esensial yaitu 55-85% Asam Oleat, asam lemak tak jenuh tunggal. Sembilan persen

padanya adalah asam linoleat yakni sebuah asam lemak tak jenuh ganda. Sedangkan

0-1,5% lainnya diisi oleh asam linoleat yang juga tak jenuh ganda. Jenis jenis asam

lemak ini, tidak seperti lemak yang jenuh dan lemak sintetis, sehat bagi jantung dan

banyak lagi manfaat lainnya. Lemak tak jenuh ganda penting dalam respon imun, dan

asam lemak esensial didalam membran sel turut menjaga stabilitas karena perannya

dalam mengatur metabolisme. Asam lemak pada permukaan kulit juga berperan

terhadap kemampuan kulit yang anti air dan menjadi bakterisida (Boyle, 2009).

Kemudian ada asam lemak omega-3 dan omega-6 yang penting dalam mencegah

penyakit jantung dan terkandung dalam jumlah besar dalam minyak ikan seperti

salmon, juga minyak biji rami. Selanjutnya dalam minyak zaitun terdapat antioksidan

sebagaimana asam lemak esensial polifenol dalam minyak zaitun baik bagi tubuh dari

ujung rambut hingga ujung kaki. Begitu juga zat besi kemudian yang berhubungan

juga dengan penyembuhan luka bakar terdapat vitamin A,C,E dan K. Selain itu

10

menurut Orey (2008) minyak zaitun memiliki kandungan vitamin A, vitamin C,

vitamin E yang mampu menangkal radikal bebas. Sedangkan berdasarkan hasil uji

analisis minyak zaitun extra virgin di lab terpadu universitas muhammadiyah malang

(2013), pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil kandungan vitamin A 38,789

SI/100 gram, kandungan Vitamin E 775,603 ppm, kandungan polifenol 400,274

ppm, kandungan oleochantal 176,977 ppm.

Vitamin A memiliki peran dalam pembentukan sel darah merah.vitamin ini

juga memiliki peran sebagai suatu antioksidan yang melawan reaksi radikal bebas dan

emiliki peran kunci dalam imunitas khususnya fungsi limfosit-T dan respon antibodi

terhadap infeksi. Setelahnya ada vitamin E yang penting untuk menjaga kesehatan

kulit dan pembuluh darah, sehingga vitamin ini dapat mempengaruhi perbaikan

jaringan (Widjianingsih dan Wirjatmadi, 2013), adapun juga vitamin C yang menurut

Boyle (2009) sangat penting untuk kesehatan sistem imun dan untuk penyembuhan

luka yang efisien, dan juga merupakan antioksidan penting.

2.2 Luka Bakar

2.2.1 Definisi

Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera, suatu bentuk kerusakan atau

kehilangan jaringan yang disebabkan kontak langsung atau terpapar dengan sumber-

sumber panas (thermal), listrik, zat kimia, atau radiasi (Tutik, 2012).Luka bakar

merupakan suatu jenis trauma yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi

sehingga memerlukan perawatan yang khusus mulai fase awal hingga fase lanjut

(Brunicardi, 2015).

11

2.2.2 Mekanisme Cedera Luka bakar

Mekanisme Cedera luka bakar disebabkan beberapa faktor yang meliputi:

1. Luka Bakar Termal Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar

atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.

2. Luka Bakar Kimia Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya

jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan

banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini.

Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat – zat pembersih

yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang

digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer.Lebih dari 25.000 produk zat

kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.

3. Luka Bakar Elektrik (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi

listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh

lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai

tubuh.

4. Luka Bakar Radiasi Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber

radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada

industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran.

Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah

satu tipe luka bakar radiasi (Rahayuningsih, 2012)

2.2.3 Derajat Luka Bakar

Menurut Sander (2010) Luka bakar berdasarkan tingkat kedalamannya dibagi

menjadi beberapa jenis, derajat satu terbatas pada lapisan dermis, derajat 2 dibagi

menjadi derajat 2 dangkal (IIA) dan dalam (IIB) dan derajat III meliputi epidermis

12

hingga dermis dan lapisan yang lebih dalam. Dan kedalaman luka ini akan menjadi

acuan untuk melakukan tindakan penanganan selanjutnya.

1. Luka bakar derajat I

a. Kerusakan jaringan terbatas di bagian permukaan (superficial) yaitu

epidermis.

b. Kering.

c. Hiperemis.

d. Nyeri (hiperesthesia) karena ujung saraf sensorik teriritasi.

e. Bullae negative.

f. Sembuh spontan 2-10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut.

Gambar 2.1 Luka bakar derajat I (Sander, 2010)

2. Luka bakar derajat IIA Dangkal (Superfisial)

a. Kerusakan mengenai bagian epidermis dan sebagian (1/3 bagian

superficial) dermis.

b. Dermal-epidermal junction mengalami kerusakan sehingga terjadi

epidermolisis yang diikuti terbentuknya lepuh (bula, blister). Lepuh ini

merupakan karakteristik luka bakar derajat dua dangkal. Bila epidermis

terlepas (terkelupas), terlihat dasar luka berwarna kemerahan, kadang pucat

dan eksudatif.

13

c. Apendies kulit (integument, adneksa kulit) seperti folikel rambut, kelenjar

keringat, kelenjar sbasea utuh.

d. Penyembuhan terjadi secara spontan umumnya memerlukan waktu antara

10-14 hari atau 7-20 hari, hal ini dimungkinkan karena membrane basalis

dan apendititis kulit tetap utuh. Membrane basalis dan apendititis

merupakan sumber proses ephitelialisasi.

Gambar 2.2 Luka bakar derajat IIA atau dangkal (Sander, 2010)

3. Luka bakar derajat IIB / Dalam (Deep partial thicknes burn)

a. Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis (2/3 bagian

superficial).

b. Apendies kulit (integument) seperti folikel, kelenjar keringat, kelenjar

sebasea sebagian utuh.

c. Kerap dijumpai eskar tipis di permukaan. Berbeda dengan eskar pada luka

bakar gderajat tiga.

d. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendies kulit yang tersisa.

Biasanya penyembuhan memerlukan waktu lebih dari dua minggu atau 21

hari.

14

Gambar 2.3 Luka bakar derajat IIB atau dalam (Sander, 2010)

4. Luka bakar derajat III

a. Kerusakan meliputi seluruh ketebalan kulit (epidermis dan dermis) serta

lapisan yang lebih dalam.

b. Kulit yang terbakar tampak berwarna pucat atau lebih putih tua karena

terbentuk eskar.

c. Secara teoritis tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan kehilangan sensasi karena

ujung-ujung serabut saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.

d. Apendises kulit (adneksa, integument) seperti folikel rambut, kelenjar

keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.

e. Tahap penyembuhan lama. Proses epithelisasi spontan baik dari tepi luka

(membrana basalis), maupun dari apendises kulit (folikel rambut, kelenjar

keringat dan kelenjar sebasea yang memiliki potensi epithelialisasi) tidak

dimungkinkan terjadi struktur-struktur jaringan teersebut mengalami

kerusakan.

15

Gambar 2.4 Luka bakar derajat III (Sander, 2010)

2.2.4 Luas Luka Bakar

Munurut Rahayuningsih (2012) Terdapat beberapa metode untuk

menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine,(2) Lundand Browder, dan (3)

hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari

metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan

tubuh yang terkena luka bakar.Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode

yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.

Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940- an sebagai suatu

alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar.

Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic,

dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).

16

Gambar 2.5 Metode rules of nine dan lund and browder

Metode lund and browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian

tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang

luas luka bakar

Gambar 2.6 Metode hand palm

17

Luas luka bakar selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga

digunakan cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara

menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan.

Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.

2.2.5 Patofisiologi Luka bakar Superficial IIA

Pembuluh darah kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan

permeabilitas meninggi. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan aliran darah yang

melewati kapiler meningkat menjadikan kulit berwarna kemerahan dan terjadi

ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler menyebabkan oedem dan

menimbulkan bulae yang mengandung banyak elektrolit. Hal ini menyebabkan

berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar

menyebabkan kehilangan cairan akibat terjadinya evaporasi/penguapan yang

berlebihan, dan masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua

(Pusponegoro, 2005). Selain itu ujung-ujung syaraf sensorik teriritasi menyebabkan

timbulnya rasa nyeri (Noer, 2006; Tyas, 2010). Tanda-tanda klinis pada luka bakar

derajat II dangkal atau superficial (IIA) berupa adanya gelembung berisi cairan

(Bulla), berkeringat karena rangsangan pada kelenjar keringat, warna merah pada kulit

yang memucat dengan penekanan, dan nyeri bila terpapar udara (Anto, 2007;

Binasari, 2011).

2.2.6 Fase Luka Bakar

a. Fase Akut

Fase akut pada luka bakar disebut juga sebagai fase awal atau fase syok.

Dalam fase akut ini penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan

nafas), breathing (mekanisme bernafas) dan circulation (sirkulasi). Gangguan nafas

tidak hanya terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat

18

terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cidera inhalasi dalam 48-72 jam pasca

trauma. Cidera inhalasi adalah penyebab kematian utama pada penderita luka bakar

pada fase akut serining terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit akibat cidera

karena panas yang berdampak sistemik.

b. Fase Subakut

Fase subakut berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi

adalah adanya kerusakan atau lehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber

panas. Luka yang terjadi akan menyebabkkan:

1. Proses inflamasi dan infeksi

2. Permasalahan pad penutupan luka dengan fokus perhatian pada luka yang

terbuka, jaringan epitel dan atau padastruktur organ fungsional.

c. Fase Lanjut

Fase lanjutan akan berlangsung sampai terjadinya jaringan parut akibat luka dan

pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Permasalahan yang muncul padafase ini

adalah adanya penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid,gangguan pigmentasi,

deformitas dan kontraktur.

2.2.7 Efek Luka Bakar

1. Kulit

Pada Kulit Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka

bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil

(smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami

injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan

tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap

injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang

luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :

19

2. Sistem kardiovaskuler

Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif

(catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan

yang mengalami injuri. Substansi – substansi ini menyebabkan meningkatnya

permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan.

Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan

permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel menyebabkan

sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan

tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan

interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume

cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik

pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar

dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung

meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya

hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit

meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler.

Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4- 20 kali lebih

besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa

dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml.

Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang

intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik

dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi. Kurang

lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak

mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac output

kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan

20

hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak

output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal.

Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah

normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan

kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan

edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.

Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan

menurunnya GFR (glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran

darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal

dan disfungsi gastrointestia pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.

4. Sistem Imun

Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte,

suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan

perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien

yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko

terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.

5. Sistem Respiratori

Sistem Respiratori Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner,

mengakibatkan penurunan kadar oksigen arteri dan “lung compliance”.

a. Smoke Inhalation.

Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang seringkali

berhubungan dengan injuri akibat jilatan api. Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan

lebih dari 30 % untuk injuri yang diakibatkan oleh api. Manifestasi klinik yang dapat

diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan

pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong,

21

agitasi atau kecemasan, takhipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing,

dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy dan

Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.Patofisiologi pulmoner yang dapat

terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.

b. Keracunan Carbon Monoxide.

CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik

terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang

dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya

CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversibel berikatan dengan

hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan

dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran

oksigen dalam darah.

2.2.8 Penyembuhan Luka Bakar Pada Kulit

Kerusakan (cedera) pada kulit akan memicu suatu sekuens yang akan

memperbaiki jaringan yang rusak. Terdapat dua jenis penyembuhan, yaitu

penyembuhan epidermis untuk cedera yangtidak terlau dalam dan penyembuhan

mendalam, yaitu apabila cedera tidak hanya merusak jaringan dermis dansubkutan.

1. Penyembuhan epidermis

Penyembuhan epidermis sering terjadi apabila cedera terdapat hanya sebatas

epidermis. Sel-sel basal yang dipisahkan oleh daerah cedera cedera. Mekanisme

pengisian darah cedera ini diperantarai oleh EGF (epidermal growth factor) yang

akan menyebabkan sel basal berpoliferasi danmenyababkan penebalan epidermis

yang rusak.

22

2. Penyembuhan mendalam

Penyembuhan mendalam terjadi apabila cedera meliputi hingga ke daerah

dermis dan subkutis. Karena cederanya lebih luas dibandingkan dengan epidermis

saja, maka proses penyembuhannya lebih kompleks dibanding penyembuhan

epidermis. Selain itu, terbentuknya jaringan parut dapat membuat daerah

penyembuhan kehilangan fungsi fisiologisnya.

Fase Penyembuhan mendalam meliputi :

a. Fase Inflamatorik

Pada fase ini, terjadi peristiwa inflamasi (respon selular dan vaskular)

yang meliputi antara lain vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh

darah, serta rekrutmen sel-sel fagosit untuk mengiliminasi agen penyebab

cedera secara/jejas. Selain itu pada fase inflamatorik juga terjadi

penggumpalan darah untk menyatukan daerah yang terpisah akibat cedera.

Dan fase ini memakan waktu singkat hanya 5-10 menit

b. Fase Migratorik

Pada fase migratorik, yang biasanya terjadi dihari ke 3-4 akan memulai

perpindahan fibroblas untuk membentuk jaringan parut. Juga akan terbentuk

keropeng didaerah cedera.

c. Fase Proliferatif

Pada fase proliferatif, terjadi pertumbuhan sel-sel epitel di bawah

keropeng, deposisi fibroblas yang semakin banyak dan pembuntakn kapiler

kapiler baru. fase ini terjadi setelah 5 hingga 2 minggu atau ketika

penyembuhan secara spontan dimulai

23

c. Fase Maturasif

Fase maturasif membutuhkan waktu 2 minggu hingga 12 bulan, pada

fase ini, keropeng yeng terbentuk akan meluruh dan digantikan dangen

jaringan sehat dankulit kembali ke ketebalannya semula. Kolagen menjadi

lebih tersususun, fibroblas berkurang, dan kapiler darah telah normal kembali.

(Orey, 2008)

2.2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

1. Usia

Semakin bertambah tua, mekanisme sel dalam penyembuhan mempunyai

respos lebih lambat dan bekerja dengan kurang efektif (Hermawan, 2008).Anak dan

dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua (WCTS, 2009).Orang tua

lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu

sintesis dari faktor pembekuan darah dan memperlambat inflamasi (Ismail, 2009).

2. Nutrisi

Pasien memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A,

dan mineral seperti Fe dan Zn (Ismail, 2009; WCST, 2009; Binasari, 2011). Pasien

yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena suplai

darah dalam jaringan adipose tidak adekuat (Ismail, 2009).

3. Infeksi

Luka yang terinfeksi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh.

Tubuh selain harus bekerja dalam penyembuhan luka, juga harus bekerja dalam

melawan infeksi yang ada, sehingga tahap peradangan akan berlangsung lebih lama.

Luka yang sembuh juga tidak sebaik biasanya (Hermawan, 2008; Tyas, 2010).

4. Hematoma

Hematoma merupakan bekuan darah.Seringkali pada luka secara bertahap

24

diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang

besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga

menghambat proses penyembuhan luka (Ismail, 2009; Widyasri, 2011).

5. Benda asing atau Mikroorganisme

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan

terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari

serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah putih), yang membentuk suatu

cairan kental yang disebut dengan nanah (pus) (Ismail, 2009; Tyas, 2010).

6. Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah

pada bagian tubuh akibat obstruksi dari aliran darah.Hal ini terjadi akibat dari balutan

pada luka terlalu ketat.Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi

pada pembuluh darah itu sendiri (Ismail, 2009; Tyas, 2010).

7. Diabetes

Penderita diabetes dengan kadar gula darah tidak terkontrol, bila mengalami

luka maka akan luka tersebut bukan saja sulit sembuh, tetapi juga akan bertambah

besar (Hermawan, 2008). Hambatan terhadap sekresi insulin mengakibatkan

peningkatan gula darah, nutrisi tida dapat masuk kedalam sel. Akibat hal tersebut

maka kanan terjadi penurunan protein-kalori tubuh (Ismail, 2009; Binasari, 2011).

8. Keadaan Luka

Keadaan luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan

luka.Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti

telah memulai tentang perawatan luka.Misalnya menunjukan bahwa lingkungan yang

lembab lebih baik daripada lingkungan kering (Ismail, 2009; widysari, 2011).

Lingkungan yang paling baik untuk proses penyembuhan luka secara alami bekerja

25

adalah lingkungan yang hangat, lembab, dan non toxic. Pengeringan luka

akanmenyebabkan semua proses penyembuhan berhenti (WCST, 2009).

Keseimbangan kelembapan pada permukaan luka adalah faktor kunci dalam

mengoptimalkan perbaikan jaringan. Keuntungan dari permukaan luka yang lembab

diantaranya adalah meningkatkan produksi faktor pertumbuhan, mengaktivasi

protease permukaan luka untuk mengangkat jarinan yang mati, meningkatkan

kecepatan angiogenesis dan proliferasi fibroblast, dan meningkatkan proliferasi dari

sel-sel epitel, sehingga dapat meningkatkan kecepatan penyembuhan (Tarigan dan

Pamila, 2007).

9. Daya Tahan Tubuh

Daya tahan tubuh yang menurun dapat disebabkan oleh berbagai sebab,

seperti obat dan kemoterapi, yang akan memperlambat penyembuhan luka. Karena

dalam proses penyembuhan, diperlukan system kekebalan tubuh untuk

membersihkan sisa-sisa jaringan yan mati dan membuat daerah luka siap untuk

diperbaiki (Hermawan, 2008).

10. Penyakit

Penyakit yang mempengaruhi seluruh tubuh akan membuat kemampuan

tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang rusak akan terganggu. Penyembuhan luka akan

berjalan lebih lambat dari biasanya (Hermawan, 2008).

11. Radiasi

Radiasi akan menghambat pembentukan kolagen yang diperlukan dalam

penyembuhan luka. Luka yang menyembuh juga lebih rapuh dan terbuka kembali

(Hermawan, 2008).

12. Obat

Banyak obat dapat mempengaruhi penyembuhan luka, baik mempercepat

26

atau dapat juga memperlambat luka untuk sembuh.Oleh karena itu, diperlukan

pengetahuan dan keterampilan bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya dalam

memberikan advice kepada pasien dalam mempergunakan obat apapun (Hermawan,

2008).

Pada kondisi tertentu pemberian obat topikal pada kulit dengan cara

mengoleskan agen topikal dianggap lebih bermakna dengan tujuan obat yang

diberikan akan dapat mempercepat proses penyembuhan.Pemberian obat topikal

pada kulit memiliki tujuan yang lokal, seperti pada superficial epidermis. Jumlah

pemakaian obat topikal pada kulit ini harus cukup, jika pemakaiannya berlebihan

justru malah tidak berguna. Jumlah yang akan dipakai, sesuai dengan luas permukaan

kulit yang terkena infeksi (setiap 3% luas permukaan kulit membutuhkan 1 gram agen

topikal). Faktor-faktor yang berperan dalam penyerapan obat, diantaranya adalah:

Keadaan stratum korneum yang berperan sebagai sawar kulit untuk obat. Oklusi,

yaitu penutup kedap udara pada salep berminyak yang dapat meningkatkan penetrasi

dan mencegah terhapusnya obat akibat gesekan, usapan serta pencucian (Asmadi,

2008).

2.2.10 Penatalaksanaan Luka Bakar

Menurut buku “ buku pintar perawatan pasien luka bakar” disebutkan bahwa

secara umum penatalaksanaan luka bakar secara sistematik dapat dilakukan dengan

menggunakan rumus 6c, yaitu clothing, cooling, chemophropylaxis, covering, dan

comforting.Pada pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling,

dan selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan.

1. Clothing, yaitu suatu upaya untuk menyingkirkan semua pakaian panas

atau terbakar. Apabila bahan pakaian yang menempel dan tidak dapat

dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase pembersihan

27

(cleaning)

2. Cooling, yaitu suatu upaya untuk mendinginkan daerah yang terkena luka

bakar dengan menguunakan air mengalir selama 20 menit. Harus dihindri

terjadinya hipotermia. Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setalah

kejadian luka bakar, kompres dengan air dingin (air sering diganti agar

efektif tetap memberikan rasa dingin) yang berfungsi untuk

menghilangkan rasa nyeri pada luka yang terlokalisasi. Jangan

mengompres dengan menggunakan es karena dapat menyebabkan

pembuluh darah mengkerut (vasokontriksi) sehingga justru akan

memperberat derajat luka dan resiko hipotermia. Untuk luka bakar

karena zat kimia dan luka bakar didaerah mata, siram dengan air mengalir

yang banyaka selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar

berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air

mengalir.

3. Cleaning, adalah upaya untuk membersihkan luka dengan bantuan obat

anastesi untuk mengurangi rasa nyeri. Dengan mebuang jaringan yang

sudah mai atau dilakukan proses debridemen, proses penyembuhan akan

lebih cepat dan resikoainfeksi berkurang.

4. Chemoprophylaxis, yaitu memberikan agen anti tetanus yang dapat

diberikan pada luka yang lebih dalam dari superficial partial-thickness.

Pemberian krim silver sulfadiazine untuk penanganan infeksi, dapat

diberikan kecuali padaluka bkar superficial. Krim silver sulfadiazine tidak

boleh diberikan pada luka bakar yang mengenai wajah, riwayat alergi

sulfa, permpuan hamil, bayi baru lahir, dan ibu mneyusui dengan bayi

kurang dari 2 bulan.

28

5. Covering, yaitu penutupan luka bakar dengan kassa, yang disesuaikan

dengan derajat luka bakar. luka bkar superfisial tidak perlu ditutup

dengan kassa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan

setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas

yang erjadi akibat hilangnyalapisan kulit akibat luka bakar.

6. Comforting, yaitu memberikan rasa nyaman pada klien dengan

memberikan obat penurun rasa nyeri atau analgetik. Faktor fisiologis

yang dapat mempengaruhi nyeri meliputi kedalaman luka, luas luka dan

tehapan penyembuhan luka.

2.2.11 Skin Care: Topical Treatments

Merupakan pengaplikasian zat topikal atau perangkat pengobatan untuk

meningkatkan integritas kulit dan meminimalisir terjadinya kerusakan integritas kulit

sesuai dengan “Nursing Interventions Classification” yang dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut (Bulecheck et al, 2008).

Tabel 2.2.11. SOP Topical treatments Menurut NIC

1. Hindari penggunaan sprai yang bertektur kasar.

2. Bersihkan dengan sabun antibakteri yang sesuai.

3. Usahakan agar pasien mengenakan pakaian yang tidak ketat.

4. Bersihkan kulit dengan medicated powder yang sesuai.

5. Lepas plester perekat dan bersihkan kotoran yang melekat.

6. Memberikan dukungan ke daerah mengalami pembengkakan (misalnya

dengan memberikan bantal dibawah lengan yang sesuai).

7. Oleskan minyak pelumas untuk melembabkan bibir dan mukosa mulut

sesuai dengan kebutuhan.

8. Menggosok punggung/leher sebagaimana mestinya.

29

9. Mengganti condom kateter yang sesuai.

10. Memberikan popok yang sesuai.

11. Berikan pembalut yang sesuai jika pasien mengalami inkontinensia.

12. Lakukan massage di sekitar daerah yang terkena.

13. Gunakan alat ostomy yang tepat.

14. Tutupi tangan dengan sarung tangan yang sesuai.

15. Menyediakan toilet yang bersih sesuai dengan kebutuhan.

16. Hindarkan pemberian kompres hangat.

17. Hindarkan penggunaan sabun yang bersifat alkali

18. Rendam dalam bak mandi berlarutan koloid jika dibutuhkan.

19. Jaga sprei agar tetap bersih, kering dan tidak kusut.

20. Lakukan mobilisasi pada pasien setiap 2 jam, sesuai dengan jadwal yang

telah ditentukan.

21. Gunakan perlengkapan tempat tidur yang dapat melindungi pasien.

22. Gunakan pelindung tumit yang sesuai.

23. Berikan bubuk pengering ke dalam lipatan kulit

24. Membrikan pengobatan yang sesuai pada daerah yang terluka,

sebagaimana mestinya.

25. Memberikan Acclusive dressing (Tegaderm atau duoderm) jika diperlukan.

26. Memberikan antibiotic topikal pada area luka sebagaimana mestinya.

27. Memberikan agen antiinflamasi topikal pada area luka sebagaimana

mestinya.

28. Berikan pelembab pada area yang terluka.

30

29. Berikan antijamur topikal ke daerah yang terkena.

30. Berikan agen debriding topikal ke daerah yang terkena.

31. Semprot kutil dengan nitrogen cair sesuai kebutuhan.

32. Periksa keadaan kulit setiap hari bagi mereka yang beresiko mengalami

kerusakan.

33. Dokumentasikan derajat kerusakan yang terjadi pada kulit.

34. Menambahkan kelembaban lingkungan dengan alat pelembab sesuai

kebutuhan.

2.3 Tikus Putih (Rattus Norvgicus)

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan spesies mamalia pertama yang

didomestikasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Tikus putih mempunyai

kemampuan adaptasi yang baik dan cenderung tahan terhadap perlakuan berbagai

macam penelitian.Selain itu, tikus putih mempunyai kesamaan fisiologis dengan

mamalia (Maloloe, 1989; Fauziah, 2011).