pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun...
TRANSCRIPT
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK METANOL
DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) TERHADAP
JUMLAH SEL GOBLET PADA TRAKEA MENCIT
GALUR DDY YANG DIINDUKSI OVALBUMIN
Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Shoffira Fathiya
NIM. 11151030000085
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1440 H / 2018 M
ii
iii
\
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul PENGARUH
PEMBERIAN EKSTRAK METANOL DAUN ZAITUN (Olea europaea L.)
TERHADAP JUMLAH SEL GOBLET PADA TRAKEA MENCIT GALUR
DDY YANG DIINDUKSI OVALBUMIN. Sholawat serta salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, serta pengikutnya
yang setia hingga akhir zaman.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian
akhir guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) Program Studi
Kedokteran Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara umum,
skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
prosedur penelitian, serta hasil dan pembahasan dari pengujian tentang pemberian
ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea L.) terhadap jumlah sel goblet pada
trakea mencit galur DDY yang diinduksi ovalbumin.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesakan penulisan skripsi ini bukan
hanya hasil dari usaha sendiri, melainkan banyak bantuan dari segala pihak hingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan dan mencurahkan rahmat-Nya kepada:
1. Dr. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD, FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr Nurul Hiedayati, Ph.D. selaku pembimbing I dan Ibu Nurlaely Mida
Rachmawati, S.Si., M.Biomed., DMS. selaku pembimbing II yang tidak
kenal lelah dalam membimbing penulis, mulai dari adaptasi mencit hingga
v
pengamatan preparat, dan terselesaikannya penulisan skripsi ini dengan
baik. Terima kasih atas segala bimbingan, arahan, nasehat, waktu, dan
tenaga yang telah diberikan demi kesuksesan penelitian ini.
4. Dr. Devy Ariany, M.Biomed dan Dr. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS,
FIRS selaku penguji sidang skripsi. Terima kasih atas seluruh koreksi,
saran, serta masukan yang membangun pada penulisan skripsi ini.
5. Drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D. selaku penanggung jawab (PJ) riset
Program Studi Kedokteran angkatan 2015, dr. Nurul Hiedayati, Ph.D selaku
PJ Laboratorium Farmakologi, Ibu Nurlaely Mida Rachmawati, S.Si,
M.Biomed., DMS. selaku PJ Laboratorium Biokimia, dr. Devy Ariany,
M.Biomed. selaku PJ Laboratorium Patologi Anatomi, Ibu Rr. Ayu Fitri
Hapsari, M.Biomed selaku PJ Laboratorium Histologi, dan Ibu Dr. Zeti
Harriyati, M.Biomed. selaku PJ Laboratorium Biologi yang telah
memberikan izin atas penggunaan laboratorium pada penelitian ini.
6. Kedua orang tua, H. Moehtsani Isnen, S.T. dan Hj. Suprihatin, S.E., serta
saudara saya Shoffiya Amaliya dan Ardhani Dzaky Aryasatya, atas segala
motivasi, dukungan, dan segala nasehat yang menjadi sumber semangat
penulis dalam menyelesaikan penelitian dan juga studi di Program Studi
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Sahabat yang selalu ada untuk mendukung, membantu, serta memotivasi
penulis dalam setiap masalah yang ada, Haseena Hersiwinukir, Alfa
Karomah, dan Maudy Rahmi. Terima kasih pula untuk Muhammad Fahmi
Aprijal dan Arrafie Fikri Al-Dzaky sebagai partner dalam mengerjakan
penelitian hingga penyusunan skripsi. Terima kasih untuk segala usaha,
waktu, tenaga, pikiran yang tercurahkan dalam proses penelitian ini.
8. Teman-teman sejawat AMIGDALA 2015, yang memberikan sebuah
persahabatan, kekeluargaan, dan kesejawatan. AMIGDALA 2015 bukan
sekedar angkatan, melainkan keluarga.
vi
9. Teman-teman COLA (CIMSA 2017-2018), yang bersamanya, penulis
merasa memiliki nilai terhadap diri. Terima kasih untuk segala
pengembangan diri yang kita lakukan bersama.
10. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang namanya tidak tersebut oleh penulis dalam pengerjaan penelitian dan
skripsi ini.
Penulis berharap kepada Allah SWT, agar diberikan balasan yang sebesar-
besarnya untuk segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis
menyadari dalam penelitian dan penulisan skripsi ini terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, khususnya
bagi mahasiswa kedokteran, masyarakat pada umumnya, dan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
Ciputat, 15 Oktober 2018
vii
ABSTRAK
Shoffira Fathiya. Program Studi Kedokteran. Pengaruh Pemberian Ekstrak
Metanol Daun Zaitun (Olea europaea L.) terhadap Jumlah Sel Goblet pada
Trakea Mencit Galur DDY yang Diinduksi Ovalbumin. 2018.
Latar belakang: Zaitun (Olea europaea L.) merupakan tanaman yang telah
diketahui banyak manfaatnya, salah satunya sebagai anti inflamasi. Namun masih
minim penelitian yang menggunakan daun zaitun yang tumbuh di Indonesia.
Konstituen utama daun dan olahan zaitun, yaitu oleuropein, mampu menurunkan
produksi mukus yang menjadi penyebab terjadinya manifestasi asma dengan
perubahan morfologi yang terjadi adalah peningkatan jumlah sel goblet.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun (EMDZ)
terhadap jumlah sel goblet trakea mencit DDY dibandingkan kelompok OVA (K3).
Metode: Penelitian ini menggunakan mencit jantan galur DDY yang dibagi
menjadi enam kelompok (n=3); (K1) Phosphate Buffered Saline (PBS), (K2) PBS
+ Carboxymethylcellulose Sodium (NaCMC), (K3) Ovalbumin (OVA), (P1) EMDZ 100 mg/kgBB + OVA, (B) Budesonid + OVA, (E1) EMDZ 100 mg/kgBB.
Untuk menimbulkan efek asma, pada kelompok K3, B, P1 disensitisasi secara
intraperitoneal (ip) dengan 50 µg OVA dalam Alumunium hidroksida 10% pada
hari ke-0 dan ke-14. Pada hari ke-29, kelompok K3, B, P1 diberi stimulasi inhalasi
OVA 5% selama 30 menit. Pada hari ke-31, dilakukan nekropsi pada mencit untuk
diambil organ trakea. Kemudian organ trakea dibuat preparat mikroskopik dan
dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan H&E menggunakan
mikroskop konfokal (Olympus BX41).
Hasil: Secara kualitatif, K3 merupakan kelompok dengan gambaran jumlah sel
goblet paling banyak. Secara kuantitatif, rerata jumlah sel goblet kelompok K1, K2,
K3, P1, B, E1 berturut-turut 17, 16, 49, 26, 25, 17. Analisis: Analisis data menggunakan uji statistik dengan SPSS versi 25.0. Kesimpulan: Pemberian EMDZ (P1) berbeda signifikan dengan kelompok OVA (K3) dan hasil tersebut sama dengan kelompok yang diberi Budesonid (B).
Kata Kunci: ekstrak metanol daun zaitun, oleuropein, anti inflamasi, peningkatan
jumlah sel goblet, ovalbumin.
viii
ABSTRACT
Shoffira Fathiya. Department of Medicine. The Effects of Olive (Olea europaea
L.) Leaf Methanolic Extracts to The Number of Goblet Cells Trachea on
Ovalbumin-induced DDY Mouse. 2018.
Background: Olive (Olea europaea L.) have been known to have many benefits,
one of which is anti-inflammatory. However, there are still a few researches using
olive leaves that grow in Indonesia. The main compound of olive leaves is
oleuropein, can reduce mucus production which is the cause of asthma
manifestations with morphological changes that occur are increase in the number
of goblet cells. Aim: To know the effects of olive leaf methanolic extracts (OLME) on the number of goblet cells in the trachea of DDY mice compared to the OVA (K3) group.
Method: The model of asthma in mouse is conducted by inducing some groups of
the; (K1) Phosphate Buffered Saline (PBS), (K2) PBS + Carboxymethylcellulose
Sodium (NaCMC), (K3) Ovalbumin (OVA), (B) Budesonide + OVA, (P1) OLME 100 mg/KgBW + OVA, (E1) OLME 100 mg/KgBW. The emerging of asthma
sensation of group K3, P1, B is taken by sensitizing 50 µg OVA in Al(OH)3 10%
interperitoneally (ip) on 0d and 14d. On 29d, group K3, P1, B is given the
stimulation by inhaling OVA 5% for 30 minutes. On 31d, we sacrificed all of the
mice to take the trachea. The microscopic preparations are made by slicing the
tracheas into small pieces with H&E staining and observed with confocal
microscope (Olympus BX41).
Result: Qualitatively, K3 are groups with the most number of goblet cells. Quantitatively, the average of the number of goblet cells trachea from group K1,
K2, K3, P1, B, E1 are, in order, 17, 16, 49, 26, 25, 17. Analysis: Data analysis uses statistical tests with SPSS version 25.0. Conclusion: The given of OLME 100 mg/KgBW (P1) has significant difference from group K3 and so does the given of Budesonide.
Keyword: olive leaf methanolic extracts, oleuropein, anti-inflammatory, increase
in the number of goblet cells, ovalbumin.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...........................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................................... iv
KATA PENGANTAR........................................................................................ v
ABSTRAK.......................................................................................................viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xv
BAB I .................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 3 1.3. Hipotesis .............................................................................................. 3 1.4. Tujuan Penelitian.................................................................................. 3 1.5. Manfaat Penelitian................................................................................ 4
BAB II ................................................................................................................ 5 2.1. Tumbuhan Zaitun (Olea europaea L.) .................................................. 5
2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Tumbuhan Zaitun................................. 5 2.1.2. Tumbuhan Zaitun dalam Al Qur’an .............................................. 6 2.1.3. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun ............................ 8 2.1.4. Farmakokinetik Ekstrak Daun Zaitun............................................ 9
2.2. Ekstrak dan Ekstraksi ......................................................................... 10 2.2.1. Ekstrak ....................................................................................... 10 2.2.2. Ekstraksi..................................................................................... 11 2.2.3. Pelarut Ekstraksi ......................................................................... 11 2.2.4. Pelarut Metanol .......................................................................... 12
2.3. Efek Anti Inflamasi Ekstrak Daun Zaitun ........................................... 13 2.4. Trakea ................................................................................................ 14 2.5. Mukus Saluran Napas ......................................................................... 16
2.5.1. Komposisi dan Fungsi Mukus Saluran Napas.............................. 17 2.5.2. Sintesis dan Sekresi MUC5AC oleh Sel Goblet .......................... 17
2.6. Asma .................................................................................................. 18 2.6.1. Definisi....................................................................................... 18 2.6.2. Patogenesis ................................................................................. 18 2.6.3. Morfologi ................................................................................... 20 2.6.4. Sel Goblet pada Asma................................................................. 21
2.7. Ovalbumin ......................................................................................... 21 2.7.1. Ovalbumin sebagai Alergen Asma pada Mencit .......................... 21 2.7.2. Induksi Asma pada Hewan Coba ................................................ 22 2.7.3. Mencit Galur DDY ..................................................................... 23
2.8. Budesonid .......................................................................................... 24
x
2.8.1. Budesonid Inhalasi dalam Terapi Asma ..................................... 24
2.9. Sodium Karboksimetil Selulosa (NaCMC) ......................................... 25 2.10. Alumunium Hidroksida sebagai Adjuvan........................................ 27 2.11. Kerangka Teori............................................................................... 28 2.12. Kerangka Konsep ........................................................................... 29
BAB III ............................................................................................................. 30 3.1. Desain Penelitian................................................................................ 30 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 30 3.3. Populasi dan Sampel........................................................................... 30
3.3.1 Populasi ...................................................................................... 30 3.3.2 Sampel........................................................................................ 31
3.4. Kriteria Sampel .................................................................................. 32 3.4.1. Kriteria Inklusi ........................................................................... 32 3.4.2. Kriteria Eksklusi ......................................................................... 32
3.5. Variabel Penelitian ............................................................................. 32 3.5.1. Variabel Bebas ........................................................................... 32 3.5.2. Variabel Tergantung ................................................................... 32
3.6. Alat dan Bahan Penelitian................................................................... 32 3.6.1. Alat ............................................................................................ 32 3.6.2. Bahan ......................................................................................... 33
3.7. Cara Kerja .......................................................................................... 33 3.7.1. Determinasi Daun Zaitun ............................................................ 33 3.7.2. Aklimatisasi Hewan Coba........................................................... 33 3.7.3. Sensitisasi Hewan Coba .............................................................. 34 3.7.4. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun pada Mencit.............................. 34 3.7.5. Booster dan stimulasi Ovalbumin pada Mencit ........................... 34 3.7.6. Nekropsi dan Pengambilan Organ Trakea ................................... 34 3.7.7. Pembuatan Preparat Trakea......................................................... 35 3.7.8. Pengamatan Mikroskopik Sel Goblet Trakea............................... 35
3.8. Manajemen Data ................................................................................ 36 3.9. Definisi Operasional ........................................................................... 37 3.9. Alur Penelitian ................................................................................... 38
BAB IV ............................................................................................................. 39 4.1. Gambaran Umum Sampel Penelitian .................................................. 39 4.2. Jumlah Sel Goblet Trakea................................................................... 39 4.3. Integrasi Penelitian dengan Keislaman................................................ 45 4.4. Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 46
BAB V............................................................................................................... 47 5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 47 5.2. Saran .................................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 49 LAMPIRAN ..................................................................................................... 53
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Olea europaea: (a) pohon; (b) daun; (c) dalam masa perkembangan;
(d) buah yang matang; (e) kulit batang ................................................................. 5 Gambar 2.2. Interaksi polifenol daun zaitun dengan ekspresi gen dan protein secara langsung.................................................................................................. 13 Gambar 2.3. Histologi trakea manusia................................................................ 15 Gambar 2.4. Histologi trakea rodensia ............................................................... 16 Gambar 2.4. Mekanisme sintesis dan sekresi MUC5AC oleh sel goblet ............. 18 Gambar 2.5. Patogenesis asma ........................................................................... 19 Gambar 2.6. Perbedaan keadaan sel goblet pada trakea normal dan asma ........... 21 Gambar 2.7. Mencit (Mus Musculus L.) ............................................................. 23 Gambar 4.1. Histopatologi epitel trakea dengan pewarnaan H&E, perbesaran 40x40................................................................................................................. 40 Gambar 4.2. Rerata jumlah sel goblet trakea mencit DDY ................................. 41 Gambar 6.1. Daun zaitun (Olea europaea L.)..................................................... 56 Gambar 6.2. Pembuatan ekstrak metanol daun zaitun......................................... 56 Gambar 6.3. Aklimatisasi hewan coba ............................................................... 57 Gambar 6.4. Sensitisasi hewan coba................................................................... 57 Gambar 6.5. Sonde hewan coba ......................................................................... 58 Gambar 6.6. Nebulisasi hewan coba................................................................... 58 Gambar 6.7. Nekropsi dan pengambilan organ trakea......................................... 58 Gambar 6.8. Preparat trakea ............................................................................... 59
Gambar 6.9. Pengamatan mikroskopik sel goblet trakea..................................... 59
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Flavonoid dan Senyawa Fenolik dalam Ekstrak Metanol Daun Zaitun
Kering ................................................................................................................. 9 Tabel 2.2. Kegunaan NaCMC berdasarkan besar konsentrasi ............................. 26 Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan ......................................................................... 31 Tabel 3.2. Definisi Operasional.......................................................................... 37 Tabel 6.1. Uji Normalitas................................................................................... 60 Tabel 6.2. Transformasi Data ............................................................................. 60 Tabel 6.3. Uji Kruskal-Wallis ............................................................................ 60
Tabel 6.4. Uji post hoc Mann-Whitney .............................................................. 61
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Determinasi Ekstrak Daun Zaitun .......................................... 53
Lampiran 2 Data Rendemen Ekstrak Metanol Daun Zaitun ................................ 54 Lampiran 3 Surat Keterangan Sehat Hewan ....................................................... 55 Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian................................................................... 56 Lampiran 5 Analisis Data................................................................................... 60 Lampiran 6 Riwayat Penulis .............................................................................. 69
x
DAFTAR SINGKATAN
Al(OH)3 : Alumunium hidroksida
Ca2+ : Kalsium
COX-2 : Enzim Cyclooxygenase 2
DAG : Diasilgliserol
DDY : Deutsch, Democratic, dan Yokohama
ERK1/2 : Extracellular signal-regulated protein kinases 1 and 2
GINA : Global Initiative of Asthma
HIGA : IgA nephritis
HPLC : High-Performance Liquid Chromatography
HT : Hydroxytyrosol
IL-13 : Interleukin 13
IL-6 : Interleukin 6
iNOS : Enzim Inducible Nitric Oxide Synthase
IP3 : Inositol Trifosfat
IPB : Institut Pertanian Bogor
IκBα : B-cells inhibitor alpha
JNK : C-Jun N-terminal kinases
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LPS : Lipopolisakarida
NaCMC : Carboxymethylcellulose Sodium
NF-κB : Nuclear Factor kappa light chain
NO : Nitric Oxide
OVA : Ovalbumin
PBS : Phosphate Buffered Saline
PLC : Fosfolipase C
Th2 : Sel T Helper tipe 2
TLR : Toll-like Receptor
VAMP : Vesicle-associated Membrane Protein
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Zaitun merupakan tanaman yang termasuk ke dalam keluarga Oleaceae
dengan genus Olea. Satu dari sekitar 20 spesies Olea ditemukan di wilayah tropis
dan subtropis. Hanya Olea europaea L. yang menghasilkan buah yang dapat
dikonsumsi. Untuk melakukan budi daya zaitun dibutuhkan daerah dengan musim
dingin ringan dan musim panas yang panjang, hangat, dan kering. Salah satu negara
yang didapati berhasil membudidayakan zaitun adalah Peru. Kebutuhan zaitun akan
area budi daya yang kering dan hangat, serta kemiripan posisi lintang dan
karakteristik temperatur seperti Peru, menjadikan budi daya zaitun dimungkinkan
untuk dilakukan di Indonesia.1 Di Indonesia, budi daya zaitun telah dikembangkan
di beberapa daerah, di antaranya di Depok.
Tanaman zaitun banyak digunakan mulai dari bagian akar, batang, daun dan
buah. Selama berabad-abad, minyak zaitun telah digunakan sebagai agen kosmetik
dan farmakologis.2 Baru-baru ini efek menguntungkan dari tanaman zaitun telah
dianggap berasal dari kandungan polifenol, yang mengandung efek antioksidan,
anti-inflamasi, anti kanker, antimikroba, antivirus, anti-aterogenik, hipoglikemik,
hati, jantung dan neuroprotektif.4,5 Keistimewaan zaitun juga tertera dalam Al-
Qur’an, buah zaitun disebutkan sebanyak tujuh kali dalam surat-surat di Al-Qur’an.
Salah satunya dalam Surat An-Nur ayat 35, zaitun disebut sebagai buah yang
diberkahi.3
Zaitun telah diketahui memiliki efek mengurangi gula darah, kolesterol, dan
asam urat. Selain itu, zaitun juga dapat menyembuhkan asma, yaitu berperan
sebagai anti inflamasi dalam efek terapi pada asma.6 Konstituen utama daun dan
olahan zaitun adalah oleuropein. Senyawa polifenol tersebut berperan dalam
pencegahan proses peradangan melalui beberapa jalur. Salah satunya, oleuropein
1
2
dapat menurunkan regulasi mediator inflamasi, sehingga menurunkan produksi
sitokin yang menjadi penyebab terjadinya manifestasi asma.
Menurut Global Initiative of Asthma (GINA) 2015, asma adalah penyakit
heterogen ditandai inflamasi kronik saluran napas.8 Tanda khas penyakit ini adalah
obstruksi jalan napas intermitten dan reversibel, radang bronkus kronik disertai
eosinophil, hipertrofi dan hiperreaktivitas sel otot polos bronkus dan meningkatnya
sekresi mukus. Peningkatan sekresi mukus disebabkan karena adanya peningkatan
ukuran kelenjar submukosa dan metaplasia sel goblet pada epitel jalan napas.9
Hipersekresi mukus yang berlebihan dapat membentuk sumbatan mukus yang
dapat menyebabkan kematian pada asma yang fatal.10
Inflamasi melibatkan berbagai tipe sel dan banyak mediator inflamasi,
namun peran sel T helper tipe 2 (Th2) penting dalam pathogenesis asma. Salah satu
sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah interleukin 13 (IL-13), yang
menyebabkan penyempitan jalan napas akibat peningkatan produksi mukus,
sehingga menyebabkan manifestasi klinis suara napas bronkial dan mengi. Mukus
diproduksi oleh sel goblet yang merupakan sel tidak bersilia pada struktur epitel
jalan napas.11 Pemberian ekstrak daun zaitun, dengan kandungan utamanya yaitu
oleuropein dapat mengurangi ekspresi gen musin (MUC5AC), sehingga dapat
mengurangi peningkatan jumlah sel goblet dan produksi mukus pada jalan nafas.49
Beberapa penelitian di luar negeri telah banyak membuktikan berbagai zat
aktif daun zaitun memiliki efek anti inflamasi, namun belum banyak yang meneliti
tentang efektivitas daun zaitun asli yang tumbuh di Indonesia dan bagaimana
efeknya pada peningkatan jumlah sel goblet. Selain itu telah ada penelitian yang
meneliti pengaruh pemberian daun zaitun pada organ bronkus. Hal ini
melatarbelakangi penulis melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pemberian
Ekstrak Metanol Daun Zaitun (Olea europaea L.) terhadap Jumlah Sel Goblet pada
Trakea Mencit Galur DDY yang Diinduksi Ovalbumin”.
3
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea
europaea L.) terhadap jumlah sel goblet pada trakea mencit galur DDY yang
diinduksi ovalbumin?
1.3. Hipotesis
Pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea L.) memberikan
efek jumlah sel goblet yang berbeda dengan kelompok OVA.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian
ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea L.) pada mencit galur DDY yang
diinduksi ovalbumin, apakah memberikan efek berbeda jumlah sel goblet pada
trakea mencit dengan kelompok OVA.
1.4.2. Tujuan Khusus
• Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea
europaea L.) sebagai anti inflamasi pada mencit galur DDY yang diinduksi
ovalbumin, apakah pada dosis yang diteliti dapat memberikan efek yang
berbeda dengan kelompok OVA.
• Mengetahui perbandingan efektivitas pemberian ekstrak metanol daun
zaitun (Olea europaea L.) dan budesonid sebagai anti inflamasi pada mencit
galur DDY yang diinduksi ovalbumin.
• Mengetahui pengaruh pemberian NaCMC pada aktivitas sel goblet.
• Mengetahui apakah pemberian ekstrak saja dapat menimbulkan respon
inflamasi, ditunjukkan dengan jumlah sel goblet trakea yang dibandingkan
dengan kelompok K2 dan kelompok OVA.
4
1.5. Manfaat Penelitian
Diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk:
1. Peneliti
a. Memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian eksperimental.
b. Mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di Program
Studi Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran.
2. Institusi
a. Memberikan sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya terkait pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun
terhadap jumlah sel goblet trakea dalam pengobatan asma sebagai
integrasi keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan sesuai dengan visi
dan misi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Menjadi pemicu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
pengaruh pemberian ekstrak metanol daun zaitun dalam pengobatan
asma, terutama efek terhadap organ lainnya.
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti berikutnya terkait pengaruh
pemberian ekstrak metanol daun zaitun dalam pengobatan asma.
3. Masyarakat Umum
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait pengaruh pemberian
ekstrak metanol daun zaitun dalam pengobatan asma yang diujikan pada
hewan coba.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumbuhan Zaitun (Olea europaea L.)
2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Tumbuhan Zaitun
Zaitun merupakan tumbuhan dengan pohon yang rindang dan tidak terlalu
tinggi, tingginya sekitar 10 meter. Batang pohon zaitun memiliki diameter yang
lebar dan relatif bengkok serta sedikit terpelintir, serta memiliki banyak cabang.
Zaitun memiliki daun yang berbentuk lanset atau oval, berukuran kecil, pendek,
sempit dan tipis dengan tekstur kasar dan warna hijau pucat pada permukaan atas
serta keabuan pada permukaan bawah. Ukuran panjang daun zaitun 4-10 cm dan
lebar sekitar 1-3 cm. Bunga zaitun berukuran kecil dan berwarna putih-krem
dengan kelopak berjumlah 4 lobus. Buah zaitun berukuran kecil, dengan kulit luar
berwarna hitam keunguan dan biji yang keras. Kulit kayu tanaman zaitun berwarna
abu pucat seperti pada gambar 2.1.6
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 2.1. Olea europaea: (a) pohon; (b) daun; (c) dalam masa perkembangan; (d) buah yang matang; (e) kulit batang6
5
6
Berdasarkan ilmu taksonomi, tumbuhan zaitun (Olea europaea L.) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:12
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionata
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Superorder : Asteranae
Order : Lamiales (Srophulariales)
Famili : Oleaceae
Genus : Olea L.
Spesies : Olea europaea L.
2.1.2. Tumbuhan Zaitun dalam Al Qur’an
Di dalam Al-Quran banyak menceritakan makanan yang disukai Nabi, yaitu
yang mengandung banyak gizi dan halal. Sejak 1400 tahun lalu, Nabi Muhammad
SAW telah menganjurkan penggunaan minyak zaitun, karena khasiatnya yang amat
besar, dan dikeluarkan dari pohon zaitun yang diberkahi.13
Aneka ragam buah-buahan diciptakan Allah SWT untuk umat manusia.
Diantara sekian banyak buah–buahan itu salah satunya zaitun. Allah SWT
melebihkan Zaitun dari buah-buahan yang lain sebagaimana yang disebutkan di
dalam Al-Quran. Dalam kitab Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fazhil Quran, terdapat 7
ayat dalam 6 surat ayat yang berbicara mengenai zaitun. Terdapat 6 kata zaitun dan
1 kata Thursina yang menunjukkan makna zaitun dalam Al-Quran. Antara ayat-
ayat tersebut adalah Surat At-Tin ayat 1-2, Surat Abasa ayat 29, Surat Al-An’am
ayat 99 dan 141, Surat Al-Mu’minun ayat 20, Surat An-Nahl ayat 11, dan Surat An-
Nur ayat 35.14
7
Dalam salah satu surat di Al Qur’an, Allah SWT berfirman:3
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula
di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. An-Nur: 35)
Dalam Sunan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda:3
“Konsumsilah minyak zaitun dan gunakanlah sebagai minyak rambut, karena
minyak zaitun dibuat dari pohon yang penuh dengan berkah.”
Al Qurthubi mengatakan “Buah zaitun mengandung banyak manfaat.
Dialah pohon yang pertama kali tumbuh di bumi, pertama kali tumbuh kembali
setelah peristiwa banjir Nuh, dan tumbuh di rumah-rumah para nabi dan sejumlah
tempat suci. Ia bahkan didoakan dengan keberkahan oleh 70 orang Nabi, di
antaranya adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad SAW
berdoa, “Ya Allah, berkahilah minyak dan pohon zaitun.” Beliau mengucapkan
doanya sebanyak dua kali.”50
8
2.1.3. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun
Dalam beberapa tahun terakhir, karakterisasi, biosintesis, dan
biotransformasi senyawa fenolik dan senyawa polar lainnya dalam minyak dan
daun zaitun telah menjadi topik hangat dalam penelitian tanaman alam.14 Daunnya
merupakan tempat utama metabolisme tanaman dan dapat dianggap sebagai sumber
potensial senyawa bioaktif. Sejumlah penelitian difokuskan pada komposisi daun
zaitun berdasarkan senyawa fenolik.15
Senyawa fenolik dalam daun zaitun banyak dan beragam. Mereka
dikelompokkan berkenaan dengan karakteristik molekuler utama seperti fenol dan
asam sederhana, lignans, secoiridoids dan flavonoid, termasuk flavon (luteolin-7-
glukosida, apigenin-7-glukosida, diosmetin-7-glukosida, luteolin, dan diosmetin),
flavonol (rutin), flavan-3-ols (catechin), fenol tersubstitusi (tirosol, hidroksityrosol,
vanilin, asam vanillat, dan asam caffeic), dan oleuropein.15,16
Konstituen utama daun dan olahan zaitun adalah oleuropein. Oleuropein
termasuk dalam keluarga senyawa kimia yang dikenal sebagai secoiridoids, yang
berlimpah pada famili oleaceae, gentianaceae, dan cornaleae, serta banyak tanaman
lainnya. Oleuropein adalah ester 2-(3,4-dihidroksifenil) etanol (hidroksitirosol) dan
memiliki kerangka oleosidik yang umum terjadi pada glukosida secoiridoid famili
oleaceae.17
Analisis ekstrak daun zaitun menggunakan High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC). Konsentrasi senyawa fenolik daun zaitun yang
diekstraksi dengan 80% metanol ditunjukkan pada Tabel 2.1. Rutin, hesperetin dan
kuersetin adalah senyawa flavonoid utama, apigenin dan kampferol adalah senyawa
flavonoid minor. Oleuropein dalam ekstrak daun zaitun berkisar dari tidak
terdeteksi sampai 539 mg/kg ekstrak sesuai dengan kondisi ekstraksi.18
Penelitian tentang flavonoid dan polifenol lainnya, sifat antioksidan,
aktivitas biologis dan pengaruhnya terhadap pencegahan penyakit benar-benar
dimulai dalam dekade terakhir. Manfaat daun zaitun telah dikenal berabad-abad dan
telah secara tradisional digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit yang
berbeda.20
9
Tabel 2.1. Flavonoid dan senyawa fenolik dalam ekstrak metanol daun zaitun kering19
Selama berabad-abad, minyak zaitun telah digunakan sebagai agen
kosmetik dan farmakologis. Baru-baru ini, penelitian pada hewan percobaan telah
menunjukkan efek hipoglikemik, hipotensi, efek anti-aritmia, efek anti-
aterosklerotik, dan vasodilator, serta efek stimulasi pada aktivasi tiroid. Anti-
mikroba, anti-virus, anti-tumor, dan aktivitas anti-inflamasi juga dilaporkan
terjadi.20
2.1.4. Farmakokinetik Ekstrak Daun Zaitun
Daun zaitun memiliki kandungan senyawa oleuropein yang paling banyak
dibanding bagian tanaman yang lain. Oleuropein akan mengalami serangkaian
proses farmakokinetik dalam tubuh. Sebagaimana obat yang diberikan secara oral,
oleuropein juga akan diabsorpsi utamanya di usus halus. Sebuah studi menyatakan
bahwa komponen fenolik, termasuk oleuropein memiliki daya absorpsi dan
bioavaibilitas yang baik.7,21
10
Namun mekanisme absorpsi komponen fenolik melalui sel epitel usus halus
berbeda-beda. Tirosol dan hidroksitirosol yang merupakan komponen polar dapat
langsung diserap melalui difusi pasif. Oleuropein yang merupakan komponen polar
dengan ukuran yang lebih besar dengan mudah berdifusi melewati fosfolipid dari
membran epitelial. Oleuropein cepat diabsorpsi dengan pemberian oral dengan
konsentrasi tertinggi di darah pada 2 jam pasca pemberian.21
Metabolisme merupakan proses kelanjutan dari distribusi yang utamanya
terjadi di organ hepar. Metabolisme ditujukan untuk mengubah metabolit yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan.14 Pada
reaksi fase I, sebagian besar oleuropein akan mengalami hidrolisis dan terbentuk
senyawa hidroksitirosol yang bersifat lebih polar.21 Selanjutnya pada reaksi fase II,
akan terjadi glukoronidasi dan sulfasi yakni reaksi konjugasi dengan substrat
endogen seperti asam glukoronat dan asam sulfat. Pada fase ini, herbal menjadi
sangat polar sehingga dapat larut air dan kemudian diekskresi di ginjal. Komponen
terbanyak yang ditemukan dalam proses ekskresi adalah hidroksitirosol yang telah
mengalami proses glukoronidasi.22 Kemudian di ekskresikan dalam bentuk tirosol
dan hidroksitirosol. Pada manusia yang mendapatkan suplemetasi oleuropein-
glikosida didapatkan 15% ekskresi dalam bentuk tirosol dan hidoksitirosol pada
urin.21
2.2. Ekstrak dan Ekstraksi
2.2.1. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat
aktif yang berasal dari bahan alami dan menggunakan pelarut yang sesuai. Bahan
alami tersebut dapat merupakan tumbuhan maupun hewan yang belum mengalami
pemrosesan kecuali pengeringan atau dapat disebut juga sebagai simplisia.
Kemudian, semua atau sebagian pelarutnya dilakukan proses penguapan. Massa
atau serbuk yang tersisa inilah yang disebut ekstrak.22
11
2.2.2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen-komponen atau bahan dari
campurannya yang terkandung dalam simplisia dengan menggunakan bantuan
pelarut yang sesuai. Proses ini dapat berupa solid menjadi liquid, liquid menjadi
liquid, dan juga ekstraksi asam basa. Pelarut yang digunakan bersifat selektif, yang
hanya dapat melarutkan komponen yang diinginkan tanpa menyebabkan material
lain dari bahan ekstraksi ikut terlarut. Beberapa pelarut yang sering digunakan
adalah etanol, metanol, n-hexana, aseton, etil asetat, kloroform dan lain-lain.23
2.2.3. Pelarut Ekstraksi
Menurut Guenther 1987, pelarut sangat mempengaruhi proses ekstraksi.
Pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:25
1. Selektivitas
Pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak dengan cepat dan
sempurna.
2. Titik didih pelarut
Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah sehingga pelarut
mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi pada proses pemurnian
dan jika diuapkan tidak tertinggal dalam minyak.
3. Pelarut tidak larut dalam air
4. Pelarut bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lain
5. Harga pelarut semurah mungkin.
6. Pelarut mudah terbakar.
Pelarut minyak atau lemak yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi antara lain:
1. Etanol
Sering digunakan sebagi pelarut dalam laboratorium karena mempunyai
kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat inert sehingga tidak bereaksi
dengan komponen lainnya. Etanol memiliki titik didih yang rendah
sehingga memudahkan pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses
distilasi.
12
2. n-Heksana
Merupakan pelarut yang paling ringan dalam mengangkat minyak yang
terkandung dalam biji–bijian dan mudah menguap sehingga memudahkan
untuk refluk. Pelarut ini memiliki titik didih antara 65–70°C.
3. Isopropanol
Merupakan jenis pelarut polar yang memiliki massa jenis 0,789 g/ml.
Pelarut ini mirip dengan ethanol yang memiliki kelarutan yang relatif tinggi.
Isopropanol memiliki titik didih 81-82°C.
4. Etyl Asetat
Etil asetat merupakan jenis pelarut yang bersifat semi polar. Pelarut ini
memiliki titik didih yang relatif rendah yaitu 77°C sehingga memudahkan
pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses destilasi.
5. Aseton
Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air, etanol, dietil eter,dll.
Ia sendiri juga merupakan pelarut yang penting. Aseton digunakan untuk
membuat plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya.
6. Metanol
Pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam
proses isolasi senyawa organik bahan alam.
2.2.4. Pelarut Metanol
Senyawa fenolik dalam daun zaitun banyak dan beragam. Sehingga
ekstraksi dilakukan menggunakan metanol yang dapat mengikat atau memisahkan
senyawa fenol bersifat polar.26 Hal ini memungkinkan perlunya penelitian
menggunakan ekstraksi metanol. Senyawa tersebut adalah senyawa universal dan
bersifat polar yang dapat melarutkan atau mengikat senyawa yang bersifat polar
pada tumbuhan, salah satunya adalah senyawa fenol.25
Syarat ideal dalam penentuan pelarut organik salah satunya adalah memiliki
titik didih yang cukup rendah agar dapat diuapkan dengan suhu rendah. Pemilihan
metanol sebagai pelarut dalam ekstraksi karena memiliki titik didih yang lebih
rendah dari pada etanol yaitu 65°C. Sedangkan etanol sendiri titik didihnya yaitu
13
78,5°C. Sehingga penelitian ini memilih metanol sebagai pelarut dalam ekstraksi
daun zaitaun.27
2.3. Efek Anti Inflamasi Ekstrak Daun Zaitun
Peradangan (inflamasi) adalah mekanisme pertahanan alami tubuh melawan
ancaman asing. Jalur pensinyalan Nuclear factor kappa light chain (NF-κB)
memainkan peran penting dalam respons inflamasi dan merupakan target untuk
mencegah peradangan. NF-κB berada di dalam sitoplasma dalam keadaan tidak
aktif karena adanya IκB kinase, enzim penghambat, oleh karena itu dapat diaktifkan
dengan sangat cepat untuk memulai produksi sitokin dan prostanoid. Ada bukti kuat
bahwa polifenol zaitun dapat berinteraksi dengan jalur ini.28,29
Gambar 2.2. Interaksi polifenol daun zaitun dengan ekspresi gen dan protein
secara langsung29
Enzim cyclooxygenase 2 (COX-2) berperan penting dalam peradangan
sebagai katalis untuk sintesis prostanoid dan karenanya terjadi respon inflamasi.
Studi seluler dengan polifenol ekstrak daun zaitun telah menemukan efek
perlindungan terhadap peradangan dengan turunnya regulasi nitric oxide (NO) dan
COX-2. Penghambatan pensinyalan seperti Toll-like receptor (TLR) yang diinduksi
14
oleh lipopolisakarida (LPS) ditunjukkan tidak hanya oleh penurunan regulasi enzim
inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan COX-2, namun juga oleh penurunan
faktor Extracellular signal-regulated protein kinases 1 and 2 (ERK1/2), c-Jun N-
terminal kinases (JNK) dan NF-κB di B-cells inhibitor alpha (IκBα) setelah
pengobatan oleuropein (Gambar 2.2).
Dalam meregulasi jalur ini, enzim pro-inflamasi interleukin 6 (IL-6) dan IL-
1β dan gen AP-1 juga mengalami penurunan regulasi. Dalam monosit manusia,
hydroxytyrosol (HT) menghambat LPS yang menginduksi COX-2 dan produksi
prostanoid, yang bagaimanapun, meningkatkan TNF-α. Terakhir, luteolin
flavonoid zaitun mengatur ekspresi COX-2 yang diinduksi IL-1β melalui ERK,
JNK dan NF-κB (Gambar 2.2).30-33
Namun belum ada sumber yang menjelaskan mekanisme efek anti inflamasi
ekstrak daun zaitun terhadap proses inflamasi yang terjadi pada asma, terutama
pada peningkatan jumlah sel goblet pada trakea.
2.4. Trakea
Trakea, segmen utama pada sistem pernapasan, merupakan organ lanjutan
dari laring. Pada carina, trakea bercabang menjadi bronkus primer kanan dan kiri
memasuki hilus setiap paru. Trakea dan bronkus primer dilapisi epitel bersilia
kolumnar pseudostratifikasi yang bertumpu pada lamina basal. Histologi trakea
dapat dilihat pada Gambar 2.3. Beberapa jenis sel dapat diidentifikasi, yaitu:11
• Sel kolumnar bersilia merupakan populasi sel dominan, membentang dari
lumen hingga lamina basal.
• Sel goblet merupakan sel tidak bersilia, kontak dengan lumen dan lamina
basal. Sel goblet memproduksi polimer musin MUC5AC dan MUC5AB.
• Sel basal terletak di lamina basal namun tidak meluas ke arah lumen.
15
Gambar 2.3. Histologi trakea manusia11
Lamina propria mengandung serat elastin. Pada lapisan submukosa terdapat
kelenjar mukosa dan serosa, yang bersama dengan sel goblet, menghasilkan
komponen mukus pada jalan napas. Sedangkan kerangka trakea dan bronkus
ekstrapulmoner merupakan tumpukan kartilago hialin berbentuk C, yang masing-
masing dikelilingi oleh lapisan fibroelastik yang menyatu dengan perikondrium.11
Pada trakea dan bronkus primer, bagian terbuka pada cincin kartilago
menghadap posterior ke arah esofagus. Bagian terbawah dari trakea adalah carina.
Serat melintang pada otot trakea menempel ke ujung bagian dalam kartilago. Pada
percabangan bronkus, cincin kartilago berubah menjadi potongan kartilago dengan
bentuk tidak beraturan, dikelilingi oleh otot polos dalam susunan spiral.11
Pada penelitian ini digunakan mencit sebagai sampel penelitian. Mencit
merupakan hewan dengan order rodensia.36 Trakea pada rodensia dan manusia
dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratifikasi. Morfologi pseudostratifikasi
disebabkan oleh variasi bentuk dan posisi inti dari berbagai tipe selnya. Pada
manusia, populasi terbesar sel-sel yang melapisi trakea adalah sel bersilia,
sedangkan trakea rodensia sebagian besar dilapisi oleh sel-sel epitel tidak bersilia.
Dalam ketiga spesies, sel tidak bersilia terdiri dari beberapa jenis sel, termasuk sel-
sel klub dan sel serosa.34
16
Gambar 2.4. Histologi trakea rodensia34
Sel-sel tidak bersilia memiliki beberapa fungsi dalam saluran udara hewan
pengerat, di antaranya memproduksi sekresi (cairan, lendir, dll) dan berkontribusi
untuk pertahanan penjamu (melalui sekresi protein antimikroba). Saluran udara
rodensia biasanya memiliki jumlah sel goblet yang rendah dibandingkan dengan
manusia. Namun, jumlah ini dapat meningkat sebagai respons terhadap peradangan
dan eksposur mikrobiologis. Pada hewan pengerat, sering terjadi melalui
transformasi sel klub menjadi sel goblet (Gambar 2.4).34
2.5. Mukus Saluran Napas
Mukus (lendir) saluran napas adalah larutan encer kompleks dari lipid,
glikokonjugat, dan protein. Mukus terdiri dari garam, enzim, dan anti-enzim,
oksidan dan antioksidan, produk-produk bakteri eksogen, sekresi antibakteri
endogen, mediator dan protein yang berasal dari sel, mediator dan protein yang
berasal dari plasma, dan debris sel seperti DNA.35
Lapisan mukus terbagi lagi menjadi dua lapisan yaitu lapisan atas yang
disebut sebagai gel layer (lapisan gel) dan lapisan bawah yang disebut sol layer atau
disebut sebagai lapisan perisiliar. Fungsi lapisan perisiliar dianggap sebagai
pelumas dari silia epitel. Lapisan surfaktan dapat membantu penyebaran lapisan gel
di atas permukaan epitel.35
Lapisan gel menangkap partikel asing dan dipindahkan ke ujung silia epitel.
Partikel yang terinhalasi terperangkap di lapisan gel yang lengket dan dikeluarkan
dari saluran udara dengan pembersihan mukosiliar. Ketika mukus mencapai
17
tenggorokan, antara mukus ditelan dan dikirim ke saluran pencernaan untuk
degradasi, atau jika berlebihan seperti pada penyakit pernapasan, akan dikeluarkan
dengan batuk.35
2.5.1. Komposisi dan Fungsi Mukus Saluran Napas
Mukus saluran napas menangkap patogen, partikel, dan bahan kimia
beracun dalam udara yang dihirup. Mukus terdiri dari gel ekstraseluler yang
mengandung air dan glikoprotein (musin) yang diproduksi oleh sel goblet, kelenjar
submukosa, dan sel klub (sel Clara) yang terdapat pada bronkioulus terminal.
Mukus saluran napas terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, dan lapisan gel
lendir. Beberapa kandungan yang terdapat di dalam mukus di antaranya adalah
mucin MUC5AC dan MUC5B, molekul antimikroba (defesin, lisozim, dan IgA),
molekul immunomodulator (secretoglobin dan sitokin), dan molekul protektif
(protein trefoil dan heregulin).11
MUC5AC dan MUC5B merupakan glikoprotein yang mengikat sejumlah
besar cairan, yang memungkinkan lendir bertindak sebagai pelumas dan
mempertahankan sifat kental dan elastisnya. Viskositas rendah dan elastisitas
menentukan efektifitas pembersihan lendir dengan kecepatan gerakan cilia dan
dengan mekanisme batuk. MUC5AC diproduksi oleh sel goblet dan MUC5B
disekresikan oleh sel goblet dan submukosa kelenjar.11
2.5.2. Sintesis dan Sekresi MUC5AC oleh Sel Goblet
Saat ligan berikatan pada permukaan sel goblet, interleukin-13 dan sinyal
reseptor-Erb meningkatkan ekspresi gen MUC5AC (Gambar 2.4). ATP, bekerja
pada membran apikal reseptor purinergik P2Y2, menstimulasi sekresi MUC5AC
polimerik. Reseptor P2Y2 berpasangan dengan Gq, mengaktifkan fosfolipase C
(PLC), yang menghasilkan diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3).11
DAG mengaktivasi Munc18 dan berikatan dengan Rab, sehingga terbentuk
kompleks Munc18-Rab. Kalsium (Ca2+) yang diaktifkan oleh synaptotagmin dan
vesicle-associated membrane protein (VAMP) mendorong vesikel mendekati
membran plasma. Syntaxin mengikat kompleks Munc18-Rab, synaptogamin dan
18
VAMP, sehingga memudahkan vesikel melakukan eksositosis dan mengeluarkan
musin ke arah lumen.11
Gambar 2.4. Mekanisme sintesis dan sekresi MUC5AC oleh sel goblet11
2.6. Asma
2.6.1. Definisi
Menurut GINA 2015, asma adalah penyakit heterogen ditandai inflamasi
kronik saluran napas disertai adanya riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk yang berbeda intensitas dan waktunya dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi.8 Tanda khas penyakit ini adalah
obstruksi jalan napas intermiten dan reversibel, radang bronkus kronik disertai
eosinofil, hipertrofi dan hiperreaktivitas sel otot polos bronkus dan meningkatnya
sekresi mukus.
2.6.2. Patogenesis
Faktor etiologi utama asma adalah predisposisi genetik terhadap
hipersensitivitas tipe 1 (atopi), inflamasi akut dan kronik pada jalan napas, dan
hiperresponsif bronkus terhadap berbagai rangsang. Inflamasi melibatkan berbagai
tipe sel dan banyak mediator inflamasi, namun peran sel T helper tipe 2 (Th2)
penting dalam patogenesis asma. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 berperan
dalam sebagian besar gambaran klinis asma, IL-14 menstimulasi produksi IgE, IL-
19
Gambar 2.5. Patogenesis asma9
5 mengaktifkan eosinofil, dan IL-13 merangsang produksi mukus dan juga
memproduksi produksi IgE oleh sel B.9
IgE melapisi sel mast sub mukosa, yang dengan pajanan alergen,
melepaskan isi granul (Gambar 2.5). Hal ini akan menginduksi dua gelombang
reaksi: fase awal (cepat) dan fase lanjut. Reaksi awal didominasi oleh
bronkokonstriksi, peningkatan produksi mukus, dan berbagai derajat vasodilatasi.
Bronkokontriksi dipicu oleh rangsangan langsung pada reseptor vagus subepitel.
Reaksi ini berlangsung selama 1-2 jam. Reaksi fase lanjut terdiri atas inflamasi
disertai pengaktifan eosinofil, neutrofil, dan sel T. Selain itu, sel epitel diaktifkan
20
untuk memproduksi kemokin yang memproduksi rekrutmen sel Th2 dan eosinofil
lebih banyak (termasuk eotaksin, kemoatraktan kuat dan activator eosinophil), dan
juga leukosit lain, sehingga meningkatkan reaksi radang.9 Reaksi ini akan terjadi
pada 4-8 jam setelah reaksi pertama.
Serangan inflamasi berulang mengakibatkan perubahan struktural dinding
bronkus, yang secara kolektif disebut sebagai remodeling jalan napas. Perubahan
ini mencakup hipertrofi otot polos dan kelenjar mukus bronkus, dan peningkatan
vaskular serta deposisi kolagen subepitel, yang dapat terjadi sangat dini, hingga
beberapa tahun sebelum timbulnya gejala.9
2.6.3. Morfologi
Perubahan morfologik pada asma dapat dijelaskan dengan melihat
perubahan yang terjadi pada orang yang meninggal akibat serangan asma parah
yang memanjang (status asmatikus) dan juga pada spesimen biopsi mukosa jalan
napas orang yang dipaparkan dengan antigen. Spesimen makroskopik yang
didapatkan dari kasus-kasus fatal, menunjukkan paru mengalami distensi
berlebihan karena penggembungan berlebihan, dan terdapat area atelektasi kecil.9
Temuan makroskopik yang paling mengejutkan adalah penutupan bronkus
dan bronkiolus oleh sumbatan mukus yang tebal dan lengket. Secara histologis,
sumbatan mukus tersebut mengandung pusaran epitel yang lepas (spiral
Curschmann). Banyak eosinofil dan ditemukan pula kristal Charcot-Leyden
(kumpulan kritaloid yang dibentuk oleh protein eosinophil). Kumpulan perubahan
morfologik lain yang khas pada asma, disebut sebagai “remodeling jalan napas”
mencakup:9
• Penebalan dinding jalan napas
• Fibrosis membran sub basemen
• Peningkatan vascular pada sub mukosa
• Peningkatan ukuran kelenjar sub mukosa dan metaplasia sel goblet pada
epitel jalan napas
• Hipertrofi dan atau hiperplasia otot bronkus
21
2.6.4. Sel Goblet pada Asma
Hiperplasia sel goblet jalan napas merupakan ciri khas pada asma, dan
merupakan objek penelitian yang sering digunakan pada hewan yang dimodifikasi
dengan penyakit pernapasan. Komposisi seluler epitel saluran napas dapat berubah,
baik oleh pembelahan sel dan dengan diferensiasi satu sel ke sel lain. Setidaknya
terdapat delapan tipe sel pada epitel saluran pernapasan.35
Dalam hal ini, sel basal, sel serosa, dan sel Clara dianggap sel progenitor
yang berfungsi melakukan pembelahan diikuti oleh diferensiasi menjadi sel-sel
bersilia yang matur atau dapat menjadi sel goblet. Namun, diferensiasi sel epitel
yang tidak bergranul merupakan jalur utama untuk produksi sel goblet baru. Pada
hewan percobaan, produksi sel goblet biasanya dengan mengorbankan sel-sel
progenitor, terutama sel serosa dan sel Clara, yang menurun jumlahnya selaras
peningkatan jumlah sel goblet. Perbedaan keadaan sel goblet pada trakea normal
dan trakea yang diinduksi asma, dijelaskan pada Gambar 2.6.35
Gambar 2.6. Perbedaan keadaan sel goblet pada trakea normal dan asma35
2.7. Ovalbumin
2.7.1. Ovalbumin sebagai Alergen Asma pada Mencit
Banyak peneliti telah meneliti asma, dimana hewan coba pertama kali
disensitisasi terhadap alergen dan kemudian distimulasi dengan alergen tersebut
melalui paru-paru. Protokol sensitisasi dan stimulasi sangat bervariasi, terutama
yang perlu diperhatikan apakah peneliti sedang menargetkan hewan coba
22
mengalami hiperresponsif jalan napas atau remodeling jalan napas. Sensitisasi
biasanya dilakukan secara injeksi intraperitoneal berupa alergen serta adjuvan.35
Alergen yang digunakan termasuk ovalbumin (OVA), picryl chloride,
sheep erythrocytes, ekstrak ragweed, dan alergen tungau debu rumah. Meskipun
secara lingkungan tidak sangat relevan, sebagian besar peneliti menggunakan OVA
sebagai alergen. Hal tersebut mungkin karena harganya relatif murah dan
ketersediaannya mudah. Mencit biasanya dinilai 1-3 hari setelah dilakukan
beberapa kali stimulasi saluran napas dan karakteristik mencit yang dipantau adalah
hiperresponsif jalan napas, peradangan saluran napas, dan IgE serum.35
2.7.2. Induksi Asma pada Hewan Coba
Pada hewan coba yang diinduksi asma menggunakan ovalbumin sebagai
alergen, hiperresponsif jalan napas sering terjadi, meskipun tidak selalu terdapat
pada hewan yang disensitisasi dan distimulasi terhadap alergen. Terdapat beberapa
laporan perbandingan berbagai protokol dalam hal kemampuan alergen dalam
menginduksi hiperresponsif saluran napas, tetapi hasil menunjukkan bahwa
keduanya baik sensitisasi sistemik dan stimulasi pada paru diperlukan untuk
menginduksi hiperresponsif saluran napas.35
Beberapa stimulasi saluran napas tanpa sensitisasi sistemik dapat
menyebabkan eosinofilia pada paru, tetapi pada percobaan in vivo, hiperresponsif
saluran napas tidak dapat diamati pada kondisi tersebut. Jalur stimulasi saluran
napas (nasal atau aerosol intratrakeal) dapat menjadi faktor. Galur hewan coba juga
memiliki dampak penting pada alergen yang menginduksi hiperresponsif saluran
napas. Hiperresponsif saluran napas relatif mudah menginduksi mencit BALB/c
dan A/J, namun lebih sulit untuk diinduksi pada galur lain, termasuk mencit
C57BL/6, meskipun peradangan saluran napas kuat pada galur ini.35
Baru-baru ini para peneliti menggunakan stimulasi alergen berulang selama
beberapa minggu hingga berbulan-bulan untuk remodeling jalan napas yang
mencirikan asma pada manusia. Secara umum, stimulasi sering menghasilkan
toleransi pada tubuh tikus. Meskipun pada galur A/J, ketika eosinofilia dan
23
hiperresponsif saluran napas dipertahankan selama beberapa bulan, didapatkan
hasil terbentuknya fibrosis subepitel dan hipertrofi otot polos saluran napas.
Bagaimana pun, modifikasi protokol percobaan dapat mengetahui perbedaan
keadaan hewan coba pada studi remodeling jalan napas.35
2.7.3. Mencit Galur DDY
Gambar 2.7. Mencit (Mus Musculus L.)36
Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya
cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik.
Mencit yang sering digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil
perkawinan tikus putih inbred maupun outbred. Dari hasil perkawinan sampai
generasi 20 akan dihasilkan galur-galur murni dari mencit. Adapun klasifikasinya
adalah sebagai berikut:36
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Species : Mus musculus
Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk
24
pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh
dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga kisarannya antara 18-
19°C serta kelembaban udara antara 30-70%.36
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35
gram. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi mencit
betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat dikawinkan pada
umur 8 minggu. Lama kehamilan 19-20 hari. Jumlah anak mencit rata-rata 6-15
ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 gram.36
Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan
tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu siklus estrusnya teratur dan dapat
dideteksi, periode kehamilannya relatif singkat, dan mempunyai anak yang banyak
serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia.36
Pada penelitian ini digunakan mencit galur DDY. Nama galur DDY adalah
singkatan dari Deutsch, Democratic, dan Yokohama. Galur DDY berbeda dari galur
ddY, karena galur DDY telah ditetapkan sebagai galur inbrida dari koloni ddY di
Yoken. Beberapa model penyakit telah dikembangkan dari galur ddY, termasuk
mencit dengan HIGA (IgA nephritis), mencit dengan obesitas, maupun mencit
dengan diabetes.37 Namun belum ada penelitian menggunakan mencit galur DDY
yang diinduksi oleh asma. Sehingga pada penelitian ini dapat melihat gambaran
asma pada mencit galur DDY.
2.8. Budesonid
2.8.1. Budesonid Inhalasi dalam Terapi Asma
Budesonid adalah suatu analog prednisolon sintetik poten yang memiliki
afinitas tinggi terhadap reseptor glukokortikoid.38 Pemberian glukokortikoid
sistemik telah lama dilakukan untuk mengobati asma kronis yang parah atau asma
akut yang bertambah parah. Pengembangan formulasi aerosol memperbaiki
keamanan terapi glukokortikoid secara nyata, sehingga penggunaannya diizinkan
untuk pengobatan asma sedang.39
25
Asma merupakan penyakit yang disebabkan oleh radang saluran napas,
hiperreaktivitas saluran napas, dan bronkokonstriksi akut. Glukokortikoid tidak
merelaksasi otot polos saluran napas sehingga memiliki efek yang kecil pada
bronkokonstriksi akut. Sebaliknya, senyawa ini efektif dalam menghambat radang
saluran napas jika diberikan secara tunggal. Sangat sedikit mekanisme yang
mengarah pada reaksi peradangan yang lolos dari efek inhibisi obat-obat ini.39
Mekanisme yang turut menyebabkan efek anti radang terapi glukokortikoid
pada asma meliputi modulasi produksi sitokin dan kemokin, penghambatan sintesis
eicosanoid, penghambatan akumulasi basofil, eosinofil, dan leukosit lain secara
nyata di jaringan paru-paru, serta penurunan permeabilitas pembuluh darah. Kerja
anti radang yang menonjol dan menyeluruh yang dimiliki kelompok obat ini
menjelaskan mengapa obat-obat ini merupakan obat yang paling efektif dalam
pengobatan asma saat ini.39
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa selama pengobatan dengan
budesonid inhalasi (600 µg dua kali sehari) selama dua tahun, hiperreaktivitas
bronkus tetap membaik sepanjang penelitian. Setelah dua tahun, sebagian besar
pasien dapat mengurangi dosis budesonid mereka menjadi 200 µg dua kali sehari
tanpa kehilangan control terhadap asmanya. Setelah budesonid betul-betul
dihentikan, hiperreaktivitas bronkus terjadi kembali, dan gejala biasanya semakin
parah, walaupun sepertiga pasien dapat menghentikan sama sekali penggunaan
inhaler budesonid tanpa memperparah gejala setelah pengobatan dalam jangka
waktu lama.39
2.9. Sodium Karboksimetil Selulosa (NaCMC)
Sodium Karboksimetil selulosa (NaCMC) adalah garam natrium dari asam
selulosa glikol dan berkarakter ionik. Disebabkan oleh proses pembuatannya,
produk yang dibutuhkan dalam farmasetika mengandung jumlah natrium klorida
yang berbeda-beda, dan menyebabkan rasa asin yang lemah. Larutannya dalam air
bereaksi netral dan tidak memiliki aktivitas permukaan. NaCMC memiliki beberapa
kategori fungsi di antaranya sebagai bahan pelapis, bahan stabilisasi, bahan
26
Tabel 2.2. Kegunaan NaCMC berdasarkan besar konsentrasi40
pensuspensi, bahan penghancur tablet dan kapsul, pengikat tablet, bahan yang
meningkatkan viskositas dan bahan penyerap air (Tabel 2.2).40
Sodium Karboksimetil selulosa (NaCMC) juga merupakan salah satu bahan
utama perekat pada perawatan ostomy (pembedahan dengan membuat lubang),
perawatan luka, dan bercak kulit, sebagai perekat pada mukosa dan untuk menyerap
eksudat luka atau cairan transepidermal dan keringat. Sifat perekat ini digunakan
dalam produk yang dirancang untuk mencegah perlekatan jaringan pasca bedah,
dan untuk melokalisasi dan memodifikasi kinetika pelepasan bahan aktif yang
diaplikasikan pada membran mukosa; dan untuk perbaikan tulang. Enkapsulasi
dengan NaCMC dapat mempengaruhi perlindungan dan pengeluaran obat.
Terdapat pula laporan penggunaannya sebagai cytoprotective agent (bahan
pelindung jaringan).40
NaCMC digunakan dalam bentuk oral, topikal, dan beberapa formulasi
parenteral. NaCMC juga banyak digunakan dalam kosmetik, perlengkapan mandi,
dan produk makanan, dan umumnya dianggap sebagai bahan tidak beracun dan
tidak berbahaya. Namun, konsumsi oral sejumlah besar NaCMC dapat memiliki
efek laksatif; terapi 4-10 g dalam dosis terbagi per hari dari tingkat viskositas
menengah dan tinggi dari NaCMC telah digunakan sebagai obat pencahar masal.40
WHO belum menentukan asupan harian yang dapat diterima untuk NaCMC
sebagai aditif makanan karena tingkat yang diperlukan untuk mencapai efek yang
diinginkan tidak dianggap berbahaya bagi kesehatan. Namun, dalam penelitian
pada hewan, pemberian NaCMC secara subkutan telah ditemukan menyebabkan
peradangan, dan dalam beberapa kasus injeksi berulang, ditemukan fibrosarkoma
di tempat injeksi.40
27
2.10. Alumunium Hidroksida sebagai Adjuvan
Alumunium hidroksida (Al(OH)3) adalah hidrogel putih yang membentuk
endapan perlahan dan supernatan yang jernih. Al(OH)3 digunakan dalam vaksin
parenteral pada manusia dan hewan.40 Pada penelitian ini, Al(OH)3 bertindak
sebagai adjuvan, dimana sebagai substansi yang membantu substansi lainnya.41
Pada pemberian bersama dengan OVA, pemberian Al(OH)3 berperan sebagai
stimulator non spesifik pada respon imun. Pemberian Al(OH)3 dapat mengaktifkan
respon imun Th2, termasuk respon antibodi IgG dan IgE. Sitokin yang diproduksi
oleh sel Th2 berperan dalam sebagian besar gambaran klinis asma.40
Alumunium hidroksida (Al(OH)3) adjuvan stabil selama minimal 2 tahun
bila disimpan pada 4–30°C dalam wadah inert yang tertutup rapat. Al(OH)3 tidak
boleh dibekukan karena struktur koloid terhidrasi akan rusak irreversibel. Al(OH)3
digunakan dalam vaksin parenteral karena dianggap tidak beracun. Namun,
Al(OH)3 dapat menyebabkan iritasi ringan, kekeringan (dryness), dan dermatitis
pada kontak kulit. Pada kontak mata, Al(OH)3 juga dapat menyebabkan kemerahan,
konjungtivitis, dan iritasi ringan jangka pendek. Proses menelan dalam jumlah
besar dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal dengan mual, muntah, dan
konstipasi. Menghirup produk kering dapat menyebabkan iritasi pernapasan dan
batuk. Reaksi hipersensitivitas tipe I setelah pemberian parenteral telah
dilaporkan.40
28
2.11. Kerangka Teori
2.12. Kerangka Konsep
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain eksperimental.
Penelitian ini menggunakan mencit galur DDY, yang akan melalui fase sensitisasi,
sonde, booster, stimulasi, nekropsi dan pembuatan preparat. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dengan melihat gambaran histopatologi trakea mencit DDY pada
semua perlakuan dan menghitung jumlah sel goblet pada minimal 10 lapang
pandang setiap ekor mencit.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari 2018 hingga September 2018.
Penelitian ini sebagian besar dilakukan di Laboratorium FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pembuatan ekstrak metanol daun zaitun dilakukan di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemeliharaan dan beberapa
perlakuan pada mencit dilakukan di Laboratorium Animal House FK UIN Jakarta.
Beberapa perlakuan lainnya (nebulisasi mencit dan pengambilan jaringan)
dilakukan di Laboratorium Farmakologi FK UIN Jakarta. Sedangkan pembuatan
preparat dilakukan di Laboratorium Sitologi Depok. Lalu dokumentasi dan analisis
preparat dilakukan di Laboratorium Histologi dan Laboratorium Biologi FK UIN
Jakarta.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit
galur DDY umur 5 minggu dengan berat badan sekitar 25-35 gram. Mencit tersebut
didatangkan dan telah diverifikasi sebelumnya oleh Institut Pertanian Bogor (IPB).
30
31
3.3.2 Sampel
Penelitian ini terdiri dari 6 kelompok percobaan (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan
Kelompok Perlakuan
K1 PBS
K2 PBS + NaCMC
K3 OVA
P1 Ekstrak metanol daun zaitun + OVA
B Budesonid + OVA
E1 Ekstrak metanol daun zaitun
Untuk menentukan jumlah total sampel yang digunakan, perhitungan menggunakan
rumus Mead: E = N – B – T.42
Keterangan:
N = Jumlah total sampel pada penelitian (dikurangi 1)
B = Blocking Component bernilai 0 jika tidak ada stratifikasi
T = Jumlah total perlakuan
E = Degree of freedom of error component, harus bernilai antara 10-20
E ³ N – B – T
10 £ N – B – T £ 20
E £ N – B – T
10 ³ (N–1) – 0 – (6–1) 20 £ (N–1) – 0 – (6–1)
10 ³ N – 1 – 5 20 £ N – 1 – 5
10 ³ N – 6 20 £ N – 6
N ³ 16 N £ 26
32
Berdasarkan rumus Mead, jumlah total sampel mencit yang digunakan
berjumlah antara 16 sampai 26 ekor. Pada penelitian ini, jumlah total sampel yang
digunakan adalah 18 ekor dengan jumlah sampel masing-masing kelompok
perlakuan sebanyak 3 ekor mencit. Jumlah ini untuk antisipasi jika ada mencit yang
mati selama penelitian berlangsung, seperti yang terjadi pada studi awal yang telah
dilakukan sebelumnya. Perlakuan setiap kelompok diberi rentang 1 hari, supaya
memudahkan peneliti dalam pengambilan sampel di akhir.
3.4. Kriteria Sampel
3.4.1. Kriteria Inklusi
a. Mencit galur DDY
b. Tingkah laku dan aktivitas mencit normal
c. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak sebelum perlakuan
d. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok atau botak
e. Preparat organ trakea utuh
3.4.2. Kriteria Eksklusi
a. Mencit tampak sakit (drop out) selama riset berlangsung
b. Mencit mati selama riset berlangsung
c. Preparat organ trakea rusak
3.5. Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun
(Olea europaea L.) secara per oral.
3.5.2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah gambaran mikroskopik serta
rerata jumlah sel goblet trakea mencit galur DDY.
3.6. Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: kandang mencit,
tempat makan dan minuman mencit, kapas, tissue, sarung tangan, sekam,
33
perlengkapan kebersihan kandang mencit, penanda perlakuan mencit (label, spidol,
ballpoint, gunting), neraca analitik, sonde, spuit 1 cc, gelas ukur, tabung reaksi
untuk menampung darah tikus, kandang kaca untuk inhalasi, sekrup, alat nebulisasi,
perlengkapan nebulisasi (pipa dispossible, selotip, sterofoam, plastisin), alat bedah
minor, lampu penerang untuk nekropsi, dan lemari pendingin.
3.6.2. Bahan
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun.
Sebanyak 500 gram daun zaitun kering diekstraksi di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), menghasilkan 16,3 gram serbuk ekstrak. Kemudian digunakan
metanol sebagai bahan pelarut. Dosis ekstrak daun zaitun yang digunakan adalah
100 mg/kgBB. Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit galur
DDY yang diberi makan (pur 512) dan minum. Selain itu pada penelitian ini juga
menggunakan PBS (MP Biomedicals), OVA (Sigma Aldrich, A5503-10G),
Al(OH)3 (Sigma Aldrich, 239186-25G), NaCMC dan akuades untuk perlakuan
hewan coba.
3.7. Cara Kerja
3.7.1. Determinasi Daun Zaitun
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun.
Sebelum melakukan penelitian, tumbuhan terlebih dahulu dideterminasi untuk
mengidentifikasi kandungan dalam ekstrak daun zaitun. Determinasi dilakukan di
Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.7.2. Aklimatisasi Hewan Coba
Mencit diadaptasikan di laboratorium animal house selama empat hari.
Mencit diadaptasikan dengan tempat tinggal barunya, serta diberi makan dan
minum ad libitum dengan pencahayaan 12 jam gelap dan 12 jam terang. Perlakuan
disamakan terhadap semua mencit.
34
3.7.3. Sensitisasi Hewan Coba
Setelah diadaptasikan, mencit memasuki fase sensitisasi. Sensitisasi
dilakukan pada kelompok perlakuan pertama dan kedua (K1 dan K2) dengan cara
injeksi secara intraperitoneal PBS-Al(OH)3. Pada kelompok perlakuan ketiga,
keempat dan kelima (K3, P1, B) sensitisasi dilakukan dengan memberikan 50µg
ovalbumin dan 10% Al(OH)3 dalam PBS sebanyak 100 µl. Pada perlakuan ke-enam
(E1), sensitisasi dilakukan dengan cara injeksi ip 30 mg ekstrak metanol daun
zaitun dan 10% Al(OH)3 dalam PBS sebanyak 100 µl. Sensitisasi dilakukan pada
hari ke-0 dan hari ke-14.
3.7.4. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun pada Mencit
Setelah mencit melewati fase sensitisasi, objek penelitian dilakukan
pemberian ekstrak daun zaitun selama 14 hari (hari ke-15 sampai ke-29) setiap hari
dengan dosis 100 mg/kgBB/hari (P1 dan E1), kelompok lain hanya diberi PBS.
Pemberian secara oral dengan menggunakan alat sonde untuk mencit.
3.7.5. Booster dan stimulasi Ovalbumin pada Mencit
Mencit diberi booster dengan inhalasi 5 ml OVA 2% selama 10 menit pada
hari ke-27 dan ke-28 kepada kelompok perlakuan K3, P1, B. Selanjutnya pada
kelompok yang tersebut distimulasi dengan inhalasi 1 ml OVA 5% selama 30 menit
pada hari ke-29. Pada kelompok perlakuan B sebelum distimulasi dengan inhalasi
OVA, sekitar 4 jam setelah booster, diinhalasi budesonid 0,5 mg/50 ml selama 30
menit pada hari ke-29. Pada kelompok perlakuan E1, dilakukan booster dengan
inhalasi ekstrak daun zaitun 100 mg/KgBB NaCMC pada hari ke-27 dan ke-28.
Setelah itu, pada hari ke-29, kelompok yang sama distimulasi dengan inhalasi
ekstrak daun zaitun NaCMC 100 mg/KgBB pada E1 selama 30 menit.
3.7.6. Nekropsi dan Pengambilan Organ Trakea
Pada hari ke-30, mencit dipuasakan selama 1 hari penuh sebelum dilakukan
dilakukan nekropsi pada hari selanjutnya. Hal ini bertujuan agar organ tikus dalam
keadaan bersih dan tidak terlalu banyak hasil pencernaan makanan, sehingga akan
menghasilkan potongan yang bersih dan bagus.
35
Pada hari ke-31, dilakukan proses nekropsi atau pembedahan dan
pengambilan organ mencit. Sebelum memulai proses nekropsi, mencit dianastesi
yaitu dengan cara dimasukkan ke dalam toples kaca berisi kapas yang telah dibasahi
eter 95%, kemudian ditutup dengan rapat. Efek anastesi diuji dengan cara
memberikan rangsang nyeri pada telapak kaki tikus. Setelah sudah tidak ada respon,
mencit siap dilakukan nekropsi.
Selanjutnya mencit dibaringkan di atas potongan gabus yang telah
disiapkan, dengan posisi menghadap ke atas. Keempat kaki mencit ditusukkan
jarum agar memudahkan dalam pembedahan mencit. Pada pembedahan ini
dilakukan untuk mengambil organ trakea. Mula-mula, jepit tipis kulit bagian atas
leher mencit (± 0,5 cm di bawah rahang mencit). Kemudian gunting tipis kulit leher
hingga terlihat organ trakea. Pastikan organ trakea tidak ikut serta. Setelah terlihat,
gunting lurus dari trakea bagian atas hingga mencapai carina (percabangan trakea
menjadi bronkus). Organ trakea tidak perlu dibebaskan dari ligament dan otot di
sekitarnya, agar bentuk atau diameter trakea tetap dan mencegah organ trakea
rusak. Setelah itu potong trakea pada kedua sisinya.
Potongan trakea diletakkan pada kertas saring yang telah dipotong kecil
menyesuaikan ukuran trakea. Selanjutnya, trakea dimasukkan ke dalam plastik
yang berisi 3 ml formalin 10% dan telah diberi label sesuai nama kelompok
perlakuan. Lalu plastik yang berisi organ trakea tersebut dimasukkan ke dalam
lemari pendingin bersuhu 4-8°C.
3.7.7. Pembuatan Preparat Trakea
Pada penelitian ini, pembuatan preparat trakea dilakukan di Laboratorium
Sitologi, Depok. Preparat trakea setiap kelompok perlakuan dipisahkan dalam
beberapa kaca objek. Setiap kaca objek terdapat 3-5 preparat trakea setiap ekor
mencit dalam setiap kelompok.
3.7.8. Pengamatan Mikroskopik Sel Goblet Trakea
Pengamatan preparat dilakukan di laboratorium Histologi dan laboratorium
Biologi FK UIN Jakarta. Alat yang digunakan adalah mikroskop konfokal
36
(Olympus BX41) dan perangkat komputer dengan software DP2-BSW. Pertama,
komputer dan mikroskop dipastikan terkoneksi baik, kemudian dinyalakan
keduanya. Preparat diletakkan di meja objek selanjutnya diamati dengan perbesaran
terkecil yaitu 4x hingga terlihat jaringan yang diamati. Kemudian tingkatkan
perbesaran pada 10x, tentukan dan tandai bagian awal pengamatan, sebagai acuan
agar tidak terjadi pengamatan berulang. Selanjutnya, perbesar pada perbesaran 40x.
Arahkan pada lapang pandang epitel dan lumen trakea. Foto seluruh bagian epitel
trakea dengan minimal 10 lapang pandang pada setiap ekor. Kemudian simpan foto
pada file hasil dokumentasi preparat.
3.8. Manajemen Data
Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan Microsoft Excel
dan analisis statistik dengan aplikasi Statistical Product and Service Solutions
(SPSS) versi 25.0. Uji stastistik yang digunakan adalah uji Kruskall-Wallis, karena
penelitian ini termasuk analitik komparatif lebih dari dua kelompok. Untuk
melakukan uji Kruskall-Wallis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Jika
uji tersebut tidak terpenuhi maka dilakukan transformasi data. Ketika uji
transformasi data tidak berhasil maka dilakukan uji Kruskall-Wallis. Pada akhir uji,
dilakukan analisis pos hoc untuk uji Kruskal-Wallis, yaitu uji Mann-Whitney. Uji
tersebut bertujuan untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan
jumlah sel goblet trakea antara dua kelompok.
37
3.9. Definisi Operasional
Untuk memudahkan peneliti agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, maka
dibuatlah definisi operasional seperti yang tertera pada tabel berikut:
Tabel 3.2. Definisi Operasional
Variabel Definisi Pengukuran Skala
Dosis ekstrak
daun zaitun
Jumlah sel
goblet trakea
Jumlah dosis ekstrak
daun zaitun yang
diberikan secara oral
pada mencit dalam
satuan mg per berat
(BB)
Menghitung jumlah sel
goblet dengan ciri sel
yang tidak bersilia, juga
kontak dengan lumen
dan lamina basal pada
preparat trakea mencit
DDY.
Menimbang berat
mencit kemudian
hitung dosis
100/mg/kgBB
Menghitung jumlah
sel goblet pada epitel
mukosa trakea
sebanyak 10 lapang
pandang setiap ekor
mencit pada setiap
kelompok dengan
perbesaran
mikroskop 40x
Numerik
Numerik
38
3.9. Alur Penelitian
Mencit tiba di Animal House
Adaptasi selama 7 hari diberi makan dan minum
Kelompok
K1
Kelompok
K2
Kelompok
K3
Kelompok
B
Kelompok
P1
Kelompok
E1
Sensitisasi PBS Al(OH)3
i.p.
(hari ke-0 dan ke-14)
Sensitisasi OVA PBS Al(OH)3 i.p.
(hari ke-0 dan ke-14)
Sensitisasi
ekstrak
Al(OH)3 ip
(hari ke-0
dan ke-14)
Sonde PBS
(hari ke-15
sampai ke-
29)
Sonde PBS
NaCMC
(hari ke-15
sampai ke-
29)
Sonde PBS NaCMC (hari ke-15 sampai hari ke-
29)
Sonde ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB NaCMC
(hari ke-15 sampai hari ke-
29)
Booster inhalasi PBS 10%
selama 10 menit
(hari ke-27 dan ke-28)
Booster inhalasi OVA 2% selama 10 menit
(hari ke-27 dan ke-28) Booster
inhalasi
ekstrak
100mg/Kg BB selama
10 menit
(hari ke-27,
dan ke-28)
Inhalasi
budesonid
0,5mg /
50mL 30
menit (hari
ke-29)
Stimulasi inhalasi PBS 10%
selama 30 menit
(hari ke-29)
Stimulasi inhalasi OVA 5% selama 30
menit (hari ke-29) Stimulasi
inhalasi
ekstrak
100mg/
KgBB 30
menit (hari
ke-29)
Mencit puasa 1 hari penuh (hari ke-30)
Nekropsi dan pengambilan organ trakea (hari ke-31)
Pembuatan preparat
Pengamatan preparat
Analisis data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Sampel Penelitian
Pada akhir penelitian, didapatkan jumlah sampel per masing-masing
kelompok perlakuan adalah 3 ekor. Hal ini disebabkan banyaknya mencit yang mati
selama penelitian berlangsung. Mencit yang mati disebabkan karena adanya
kesalahan teknik saat menyonde mencit. Hal tersebut mengakibatkan mencit mati
tersedak, karena cairan masuk ke dalam trakea dan berakhir di paru-paru.
4.2. Jumlah Sel Goblet Trakea
Penelitian ini terbagi menjadi 6 kelompok seperti yang tersaji pada Tabel
3.1. Gambaran mikroskopik trakea berdasarkan kelompok perlakuan tersebut
disajikan pada Gambar 4.1.
Dari Gambar 4.1., kelompok kontrol negatif berupa pemberian PBS (K1),
dapat diidentifikasi struktur epitel trakea normal yang terdiri dari sel kolumnar
bersilia merupakan populasi sel dominan, sel goblet yang memproduksi polimer
musin MUC5AC dan MUC5AB, serta sel basal terletak di lamina basal namun
tidak meluas ke arah lumen.11 Pada kelompok ini, tampak gambaran jumlah sel
goblet minimal. Jika dibandingkan dengan kelompok K2 (PBS + NaCMC), tampak
jumlah sel goblet pada kelompok K2 hampir sama dengan kelompok K1.
Sedangkan, kelompok kontrol positif berupa pemberian OVA (K3), didapatkan
jumlah sel goblet lebih banyak dibandingkan dengan kelompok K1 (PBS) maupun
K2 (PBS + NaCMC).
Pemberian ekstrak metanol daun zaitun dan OVA (P1), jika dibandingkan
dengan kelompok pemberian OVA (K3), sel goblet tampak lebih sedikit.
Sedangkan, pada kelompok pemberian ekstrak metanol daun zaitun dan OVA (P1)
dibandingkan dengan kelompok K2 (PBS + NaCMC), tampak jumlah sel goblet
hampir sama.
39
40
K1 K2
K3 P1
B E1
Gambar 4.1. Histopatologi epitel trakea dengan pewarnaan H&E, perbesaran 40x40
K1= kontrol negatif (PBS); K2= kontrol negatif (PBS+NaCMC); K3=
kontrol positif (OVA); P1= ekstrak metanol daun zaitun+OVA; B=
Budesonid+OVA; E1= ekstrak metanol daun zaitun. Tanda panah
menunjukkan sel goblet pada trakea mencit.
Pemberian budesonid (B) jika dibandingkan dengan kelompok pemberian
OVA (K3), sel goblet tampak lebih sedikit. Jika dibandingkan antara jumlah sel
goblet pada kelompok pemberian budesonid yang diinduksi asma (B) dengan K2
(PBS + NaCMC), tampak jumlah sel goblet hampir sama. Jika dibandingkan
dengan kelompok pemberian ekstrak metanol daun zaitun dan OVA (P1), tampak
41
Rer
ata
Jum
lah S
el G
oble
t T
rakea
jumlah sel goblet pada kelompok pemberian budesonid (B) hampir sama dengan
kelompok P1.
Pemberian ekstrak metanol daun zaitun (E1), jika dibandingkan dengan
kelompok pemberian OVA (K3), sel goblet tampak lebih sedikit. Sedangkan, pada
kelompok pemberian ekstrak metanol daun zaitun (E1) dibandingkan dengan
kelompok K2 (PBS + NaCMC), tampak jumlah sel goblet hampir sama. Jika
dibandingkan antara jumlah sel goblet pada kelompok pemberian ekstrak metanol
daun zaitun (E1) dengan kelompok pemberian budesonid (B) maupun pemberian
ekstrak metanol daun zaitun dan OVA (P1), tampak jumlah sel goblet hampir sama.
Untuk memastikan apakah jumlah sel goblet pada masing-masing
kelompok berbeda secara statistik, dilakukan penghitungan jumlah sel goblet dari
10 lapang pandang berbeda kemudian hasilnya berupa rerata setiap kelompok,
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Titiek Sunayarti47. Rerata jumlah sel
goblet trakea mencit DDY pada penelitian ini, disajikan pada Gambar 4.2.
* *
*
* *
70 * *
60 *
50
40
30
20
10
16 17 49 26 25 27 0
K1 K2 K3 P1 B E1
Kelompok Perlakuan
* = p<0,05
Gambar 4.2. Rerata jumlah sel goblet trakea mencit DDY
42
Pada kelompok K1 didapatkan rerata jumlah sel goblet 16. Sedangkan
kelompok K2 didapatkan rerata jumlah sel goblet 17. Berdasarkan uji statistik
menggunakan pos hoc Mann-Whitney, tidak didapatkan perbedaan secara
signifikan. Hal ini dikarenakan PBS merupakan larutan fisiologis yang bersifat
isotonik dan tidak beracun terhadap sel serta bertujuan untuk menjaga kadar pH dan
mempertahankan osmolaritas sel.43 Handbook of Pharmaceutical Excipients
menjelaskan bahwa dalam penelitian pada hewan coba, pemberian NaCMC secara
subkutan telah ditemukan menyebabkan peradangan.40 Pada percobaan ini,
pemberian NaCMC dilakukan per oral untuk menambah kelarutan ekstrak metanol,
tidak terbukti menyebabkan peradangan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Tahara Dilla Santi44, Haryoto45, dan Churmatul Walidah46, yang
membuktikan penambahan PBS dengan NaCMC per oral tidak menimbulkan efek
inflamasi.
Pada kelompok K3, didapatkan rerata jumlah sel goblet 49. Berdasarkan uji
statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika dibandingkan data kelompok
K3 dengan K2, didapatkan perbedaan secara signifikan, dimana rerata jumlah sel
goblet K3 lebih banyak. Hal ini disebabkan karena OVA merupakan alergen yang
digunakan dalam menginduksi asma pada mencit.35 Pemberian OVA secara
intraperitoneal dan inhalasi memiliki efek berupa remodeling jalan napas.9 Salah
satu perubahan morfologi yang terjadi yaitu penambahan jumlah sel goblet.9 Selain
itu, menurut Handbook of Pharmaceutical Excipients, pemberian OVA bersama
dengan pemberian Al(OH)3 sebagai adjuvan berperan sebagai stimulator non
spesifik pada respon imun. Pemberian Al(OH)3 dapat mengaktifkan respon imun
Th2, termasuk respon antibodi IgG dan IgE.40 Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2
berperan dalam sebagian besar gambaran klinis asma, salah satunya adalah
penambahan jumlah sel goblet.9
Pada kelompok P1, didapatkan rerata jumlah sel goblet 26. Berdasarkan uji
statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika dibandingkan data kelompok
P1 dengan K3, didapatkan perbedaan secara signifikan, dimana rerata jumlah sel
goblet kelompok P1 lebih sedikit. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
43
dilakukan oleh Matthew J Killeen yang menjelaskan bahwa terdapat berbagai
mekanisme efek anti inflamasi yang dimiliki daun zaitun.29 Selain itu, pada
penelitian ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim Yun Ho yang
menjelaskan bahwa pemberian ekstrak daun zaitun, dengan kandungan utamanya
yaitu oleuropein dapat mengurangi ekspresi gen musin (MUC5AC), sehingga dapat
mengurangi peningkatan jumlah sel goblet dan produksi mukus pada jalan nafas.49
Berdasarkan uji statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika
dibandingkan data kelompok P1 dengan K2, didapatkan perbedaan secara
signifikan, dimana rerata jumlah sel goblet kelompok P1 lebih banyak. Meskipun
ekstrak daun zaitun memiliki berbagai mekanisme efek anti inflamasi, namun pada
penelitian ini pemberian ekstrak metanol daun zaitun dan OVA (P1) masih tampak
memiliki sel goblet lebih banyak. Hal ini mungkin dikarenakan dosis yang
digunakan tidak memberikan efek terapi maksimal, sehingga perlu dilakukan
penelitian selanjutnya menggunakan beberapa variasi dosis ekstrak.
Pada kelompok B, didapatkan rerata jumlah sel goblet 25. Berdasarkan uji
statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika dibandingkan data kelompok
B dengan K3, didapatkan perbedaan secara signifikan, dimana rerata jumlah sel
goblet kelompok B lebih sedikit. Hal tersebut sesuai dengan buku farmakologi
Goodman & Gilman yang menyatakan bahwa budesonid sebagai terapi asma
memiliki mekanisme yang menyebabkan efek anti radang berupa modulasi
produksi sitokin dan kemokin.39 Dalam patogenesis asma, sitokin yang berperan
adalah IL-13 merangsang produksi mukus oleh sel goblet.9 Sehingga budesonid
dapat menurunkan aktivitas sel goblet melalui mekanisme kerjanya sebagai anti
radang.
Berdasarkan uji statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika
dibandingkan data kelompok B dengan K2, didapatkan perbedaan secara
signifikan, dimana rerata jumlah sel goblet kelompok B lebih banyak. Penelitian
yang dilakukan oleh Laitinen48, menunjukkan bahwa penderita asma yang diterapi
dengan glukokortikoid inhalasi menunjukkan perbaikan gejala dalam waktu 1
minggu. Namun, perbaikan, dalam arti berkurangnya hiperreaktivitas saluran
44
napas, dapat berlanjut hingga beberapa bulan. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian, karena pemberian budesonid hanya dilakukan satu kali di hari ke 29,
sehingga pada kelompok pemberian budesonid yang diinduksi asma (B) masih
tampak memiliki sel goblet lebih banyak. Hal ini menunjukkan, pemberian
budesonid pada penelitian ini kurang memberikan efek terapi secara signifikan pada
jumlah sel goblet, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terkait penggunaan
variasi dosis budesonid.
Berdasarkan uji statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika
dibandingkan data kelompok B dengan P1, tidak didapatkan perbedaan secara
signifikan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kelompok pemberian
budesonid tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan kelompok
pemberian ekstrak metanol daun zaitun yang diinduksi asma. Hal ini menunjukkan
ekstrak metanol daun zaitun memiliki efektivitas yang sama sebagai anti
inflamasi/anti asma jika dilihat dari rerata jumlah sel goblet.
Pada kelompok E1, didapatkan rerata jumlah sel goblet 17. Berdasarkan uji
statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika dibandingkan data kelompok
E1 dengan K3, didapatkan perbedaan secara signifikan, dimana rerata jumlah sel
goblet kelompok E1 lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Matthew J Killeen yang menjelaskan bahwa terdapat berbagai mekanisme efek
anti inflamasi yang dimiliki daun zaitun.29 Ekstrak metanol daun zaitun tidak
memberikan efek inflamasi dan tidak menginduksi terjadinya asma, sehingga sel
goblet pada perlakuan tersebut tampak lebih sedikit dibanding kelompok yang
diinduksi ovalbumin.
Berdasarkan uji statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika
dibandingkan data kelompok E1 dengan K2, tidak didapatkan perbedaan secara
signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan di atas bahwa ekstrak metanol daun
zaitun tidak memberikan efek inflamasi dan tidak menginduksi terjadinya asma,
sehingga efeknya dalam menginduksi asma sama dengan kontrol negatif.
Berdasarkan uji statistik menggunakan pos hoc Mann-Whitney, jika
dibandingkan data kelompok E1 dengan B dan P1, didapatkan perbedaan secara
45
signifikan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kelompok pemberian ekstrak
metanol daun zaitun memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan kelompok
perlakuan dengan pemberian budesonid maupun ekstrak metanol daun zaitun yang
diinduksi asma. Hal ini juga menunjukkan, pemberian budesonid dan ekstrak
metanol daun zaitun pada penelitian ini kurang memberikan efek terapi secara
signifikan pada jumlah sel goblet, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terkait
penggunaan variasi dosis budesonid dan ekstrak.
4.3. Integrasi Penelitian dengan Keislaman
Allah SWT melebihkan Zaitun dari buah-buahan yang lain sebagaimana
yang disebutkan di dalam Al-Quran. Dalam kitab Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fazhil
Quran, terdapat 7 ayat dalam 6 surat ayat yang berbicara mengenai zaitun. Terdapat
6 kata zaitun dan 1 kata Thursina yang menunjukkan makna zaitun dalam Al-Quran.
Al Qurthubi mengatakan “Buah zaitun mengandung banyak manfaat. Ia bahkan
didoakan dengan keberkahan oleh 70 orang Nabi, di antaranya adalah Nabi Ibrahim
dan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad SAW berdoa, “Ya Allah, berkahilah
minyak dan pohon zaitun.” Beliau mengucapkan doanya sebanyak dua kali.”50
Keberkahan daun zaitun dibuktikan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil
penelitian, didapatkan bahwa pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea
europaea L.) dosis 100 mg/kgBB pada mencit DDY yang diinduksi inflamasi
memiliki gambaran serta rerata jumlah sel goblet lebih sedikit dengan perbedaan
yang signifikan dibandingkan kelompok pemberian ovalbumin. Didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Kim Yun Ho yang menjelaskan bahwa mekanisme
yang terjadi adalah pemberian ekstrak daun zaitun, dengan kandungan utamanya
yaitu oleuropein dapat mengurangi ekspresi gen musin (MUC5AC), sehingga dapat
mengurangi peningkatan jumlah sel goblet dan produksi mukus pada jalan nafas.49
Hal ini mengindikasikan bahwa daun zaitun memiliki potensi sebagai terapi asma
dengan efeknya sebagai anti inflamasi.
46
4.4. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini memiliki banyak keterbatasan, antara lain sebagai berikut
1. Dosis ekstrak metanol daun zaitun yang dipakai hanya 100 ml/kgBB,
sehingga tidak dapat membandingkan efektivitas antar beberapa dosis.
2. Dosis budesonid inhalasi yang dipakai hanya 0,5 mg/50 ml, sehingga tidak
dapat membandingkan efektivitas antar beberapa dosis.
BAB V KESIMPULAN DAN
SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Kelompok pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea
L.) dosis 100 mg/kgBB pada mencit DDY yang diinduksi OVA
memiliki gambaran serta rerata jumlah sel goblet lebih sedikit
dengan perbedaan yang signifikan dibandingkan kelompok
pemberian OVA.
2. Kelompok pemberian budesonid tidak memiliki perbedaan
gambaran serta rerata jumlah sel goblet yang signifikan
dibandingkan kelompok pemberian ekstrak metanol daun zaitun
(Olea europaea L.) pada dosis 100 mg/kgBB yang diinduksi OVA.
3. Kelompok pemberian PBS dengan NaCMC tidak memiliki
perbedaan gambaran serta rerata jumlah sel goblet yang signifikan
dibandingkan kelompok pemberian PBS tanpa NaCMC.
4. Kelompok pemberian ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea
L.) dosis 100 mg/kgBB tidak memiliki perbedaan gambaran serta
rerata jumlah sel goblet yang signifikan dibandingkan kelompok
pemberian PBS dengan NaCMC (K2), namun memiliki gambaran
serta rerata jumlah sel goblet lebih sedikit dengan perbedaan yang
signifikan dibandingkan kelompok pemberian OVA (K3).
5.2. Saran
Untuk penelitian yang serupa selanjutnya diharapkan:
1. Memperbanyak jumlah sampel penelitian pada setiap kelompok
perlakuan sebagai bahan data penelitian.
2. Memperbanyak variasi dosis penelitian, sehingga dapat mengetahui
efektivitas dari masing-masing dosis.
47
48
3. Menggunakan pewarnaan khusus sel goblet, yaitu pewarnaan
Periodic Acid Schiff (PAC).
4. Menggunakan hewan coba yang lebih sensitif terhadap reaksi alergi
seperti mencit galur BALB/c.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cokrowatianto A, Wiratmo J. Kajian Potensi Budi Daya Zaitun Ditinjau dari
Kondisi Temperatur dan Curah Hujan (Studi Kasus: Provinsi NTB dan NTT)
[skripsi]. Bandung: Program Studi Meteorologi ITB. 2016: 1-2.
2. Ghanbari R, Anwar F, Alkharfy KM, Gilani A. Valuable nutrients and
functional bioactives in different parts of olive (Olea europaea L.). Int J Mol
Sci. 2012; 13: 3291–340.
3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Metode Pengobatan Nabi. ed 17. Jakarta: Griya
Ilmu; 2014. 386.
4. Cicerale S, Conlan XA, Sinclair AJ. Chemistry and health of olive oil
phenolics. Crit Rev Food Sci Nutr. 2009; 49: 218–236.
5. Cicerale S, Lucas L, Keast R. Biological activities of phenolic compounds
present in virgin olive oil. Int J Mol Sci. 2010; 11: 458–479.
6. Hashmi MA, Khan A, Hanif M. Traditional uses, phytochemistry, and
pharmacology of Olea europaea (olive). eCAM. 2015: 1–29.
7. Barbaro B, Toietta G, Maggio R, Arciello M, Tarocchi M, Galli A, et al. Effects
of the olive-derived polyphenol oleuropein on human health. Int J Mol Sci.
2014; 15(10): 18508–24.
8. Global Initiative of Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management
and Prevention (2015 update). ed 4. GINA; 2015. 14.
9. Vinay K. Buku Ajar Patologi Robbins. ed 9. Jakarta: Elsevier 2015. 461-4.
10. Toshiharu H. Molecular Mechanisms of Metaplasia, Differentiation and
Hyperplasia of Goblet Cellin Allergic Asthma. J Aller Ther. 2012; 3: 1-10.
11. Abraham L Kierszenbaum. Histology and Cell Biology: An Introduction to
Pathology. ed 4. New York: Elsevier; 2016. 413, 415, 422.
12. Bartolini G, Petrucelli R. Classification, Origin, Diffusion and History of the
Olive. FAO. 2002.
49
50
13. Najamuddin Muhammad. Mukjizat Makanan & Minuman Kesukaan
Rasulullah. Jakarta: Diva Press; 2012. 100.
14. Visioli F, Poli A, Gall C. Antioxidant and other biological activities of phenols
from olives and olive oil. Med Res Rev. 2002; 22: 65–75.
15. De La Torre-Carbot K, Jauregui O, Gimeno E. Characterization and
quantification of phenolic compounds in olive oils by solid-phase extraction,
HPLC-DAD, and HPLC-MS/MS. Agric Food Chem. 2005; 53: 4331–40.
16. Sandvoss M, Glaser T, Albert K. LC-NMR for natural products: In On-line
LC-NMR and Related Techniques. New York: Wiley; 2004. 109–128.
17. Soler RC, Espin JC, Wichers HJJ. Oleuropein and related compounds. Sci
Food Agric. 2000; 80: 1013–23.
18. Lalas S, Athanasiadis V, Gortzi O. Enrichment of table olives with polyphenols
extracted from olive leaves. Food Chem. 2011; 127: 1521-5.
19. Nashwa FS, et al. Efficiency of olive (Olea europaea L.) leaf extract as
antioxidant and anticancer agents. J Agric Proc Tech. 2014; 20: 46-53.
20. Dragana D, et al. Phytochemical analysis and gastroprotective activity of an
olive leaf extract. J Serb Chem Soc. 2009; 74(4): 367-77.
21. Omar SH. Oleuropein in olive and its pharmacological effects. Sci Pharm.
2010; 78(2): 133–54.
22. Handa SS, Khanuja SPS, Longo G. Extraction Technologies for Medicinal and
Aromatic Plants. Italy: ICS-UNIDO. 8.
23. Saifudin A. Senyawa Alam Metabolik Sekunder. ed 1. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish; 2014: 10-35.
24. Setyaningsih D, Pandji C, Permatasari DD. Kajian Aktivitas Antioksidan dan
Antimikroba Fraksi dan Ekstrak Dari Daun dan Ranting Jarak Pagar (Jatropha
Curcas L.) Serta Pemanfaatannya Pada Produk Personal Hygiene [skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2014.
25. Ernest G. Minyak Atsiri jilid I (Terjemahan). Jakarta: UI Press; 1987. 484.
26. Anastasia MH. Isolasi, identifikasi dan uji aktivitas antioksidan senyawa
flavonoid pada kulit batang gayam [skripsi]. Bali: Universitas Udayana. 2015.
51
27. Fessenden RJ, Fessenden JS. Dasar-dasar kimia organik. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997.
28. Psaltopoulou T, Kosti RI, Haidopoulos D. Olive oil intake is inversely related
to cancer prevalence: A systematic review and a meta-analysis of 13,800
patients and 23,340 controls in 19 observational studies. Lipids Health Dis.
2011; 10: 127.
29. Killeen MJ, Linder M, Pontoniere P. NF-κβ signaling and chronic
inflammatory diseases: Exploring the potential of natural products to drive new
therapeutic opportunities. Drug Discov Today. 2014; 19: 373–8.
30. Scoditti E, Nestola A, Massaro M. Hydroxytyrosol suppresses MMP-9 and
COX-2 activity and expression in activated human monocytes via PKCα and
PKCβ1 inhibition. Atherosclerosis. 2014; 232: 17–24.
31. Liu B, Qu L, Yan S. Cyclooxygenase-2 promotes tumor growth and suppresses
tumor immunity. Cancer Cell Int. 2015; 15: 106.
32. Fuccelli R, Fabiani R, Sepporta MV. Thehydroxytyrosol-dependent increase
of TNF-α in LPS-activated human monocytes is mediated by PGE2 and
adenylate cyclase activation. Toxicol Vitro. 2015; 29: 933–7.
33. Lamy S, Moldovan PL, Ben Saad A. Biphasic effects of luteolin on interleukin-
1β-induced cyclooxygenase-2 expression in glioblastoma cells. Biochim
Biophys Acta. 2015; 1853: 126–35.
34. Piper MT, Suzanne MD, Kathleen SM. Comparative Anatomy and Histology:
A Mouse, Rat, and Human Atlas. ed 2. London: Elsevier; 2018. 147-8, 150.
35. Peter JB, Jeffrey MD, Stephen IR. Asthma and COPD: Basic Mechanisms and
Clinical Management. ed 2. USA: Elsevier; 2009. 99-100, 213, 217-9.
36. Budi A. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
sebagai Bahan Anti Fertilitas. Jakarta: Adabia Press; 2010. 6-7.
37. Tomomi Y, Kyoko K, Osamu E. The ddY Mouse: a Model of Postprandial
Hypertriglyceridemia in Response to Dietary Fat. American Society for
Biochemistry and Molecular Biology. 2012; 53: 2025.
38. Bertram GK, Susan BM, Anthony JT. Farmakologi Dasar & Klinik Volume 2.
ed 12. Jakarta: EGC; 2013. 125.
52
39. Alfred GG. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. ed 10.
Jakarta: EGC; 2015. 716-7.
40. Raymond CR, Paul JS, Marian EQ. Handbook of Pharmaceutical Excipients.
ed 6. USA: Pharmaceutical Press; 2009. 34, 118-21.
41. Newman D. Kamus Saku Kedokteran Dorland. ed 28. Jakarta: EGC; 2012. 14.
42. Singh AS, Masuku MB. Sampling Technique & Determination of sample size
in applied statistics research: an overview. Ijecm. 2014; 2(11): 1-22.
43. Medicago AB. Smartbuffers Phosphate Buffered Saline (PBS) pH 7,4 and 7,2.
2011.
44. Tahara DS. Uji Toksisitas Akut dan Efek Antiinflamasi Ekstrak Metanol dan
Ekstrak n-Heksana Daun Pepaya (Carica papaya L.). Pharm Sci Res. 2015;
2(2): 112.
45. Haryoto, Kendri SY, Nurcahyanti W. Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit
Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar
yang Diinduksi Karagenin. Pharmacon. 2010; 11(1): 11.
46. Churmatul Walidah. Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati
(Mastigophora diclados) secara In Vivo [skripsi]. Tangerang Selatan: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2014. 43.
47. Titiek Sunayarti. Pengaruh Ekstrak Bawang Putih terhadap Jumlah Sel yang
Memproduksi Interferon g pada Tikus Putih Balb/C Jantan. Jurnal Medika
Planta. 2011; 1(3): 17.
48. Laitinen LA, Laitinen A, Haahtela T. A comparative study of the effects of an
inhaled corticosteroid, budesonide, and a beta 2-agonist, terbutaline, on airway
inflammation in newly diagnosed asthma: a randomized, double-blind,
parallel-group controlled trial. J Allergy Clin Immunol. 1992; 90(1): 32-42
49. Kim Yun Ho, Choi Yean Jung, Kang Min Kyung. Oleuropein Curtails
Pulmonary Inflammation and Tissue Destruction in Models of Experimental
Asthma and Emphysema. J Agric Food Chem. 2018; 1: 11-2.
50. Syaikh Imam Al Qurthubi. Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an. ed 12. Jakarta:
Pustaka Azzam; 2015. 292-3.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Determinasi Ekstrak Daun Zaitun
53
54
Lampiran 2
Data Rendemen Ekstrak Metanol Daun Zaitun
55
Lampiran 3
Surat Keterangan Sehat Hewan
56
Gambar 6.1. Daun zaitun (Olea europaea L.)
ambar 6.2. Pembuatan ekstrak metanol daun zaitu
Lampiran 4
Dokumentasi Penelitian
G n
57
Gambar 6.3. Aklimatisasi hewan coba
Gambar 6.4. Sensitisasi hewan coba
58
an coba
ilan organ trakea
Gambar 6.5. Sonde hewan coba
Gambar 6.6. Nebulisasi hew
Gambar 6.7. Nekropsi dan pengamb
59
Gambar 6.8. Preparat trakea
Gambar 6.9. Pengamatan mikroskopik sel goblet trakea
60
Lampiran 5 Analisis Data
Tabel 6.1. Uji Normalitas
Tabel 6.2. Transformasi Data
Tabel 6.3. Uji Kruskal-Wallis
61
Tabel 6.4. Uji post hoc Mann-Whitney
62
63
64
65
66
67
68
69
Lampiran 6
Riwayat Penulis
Nama : Shoffira Fathiya
NIM : 11151030000085
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 28 Januari 1998
Agama : Islam
Alamat : Jalan Rusa 5 I/89 Jababeka Residence, Cikarang, Kab.
Bekasi, Jawa Barat
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
2002 – 2003 : TK Islam Soraya Salsabill II
2003 – 2009 : SD Islam Terpadu An-Nur
2009 : SMP Negeri 1 Cikarang Utara
2009 – 2012 : SMP Islam Terpadu An-Nur
2012 – 2014 : Program Akselerasi SMA Negeri 1 Cikarang Utara
2014 – 2015 : Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2015 – sekarang : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta