bab ii. landasan teori a. tinjauan pustaka...
TRANSCRIPT
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian sampah.
Solid waste atau refuse yang lazim disebut sampah adalah benda tidak dipakai, tidak
diinginkan dan dibuang yang berasal dari suatu aktifitas dan bersifat padat ( Departemen
Kesehatan RI, 1987 ). Bahan yang tersisa atau terbuang dalam suatu proses kegiatan
manusia, yang secara ekonomi tidak memberikan keuntungan lagi bagi pemiliknya
sehingga parlu disingkirkan dari tempat dihasilkannya disebut sampah atau residu. Bentuk
dari bahan buangan ini bisa padat, cair, gas maupun berbentuk energi atau panas (Sarudji,
2010.).
Sampah (wastes) adalah zat-zat/benda-benda tidak berfungsi atau tidak dipakai lagi
baik yang berasal dari rumah-rumah maupun dari sisa-sisa proses industri (Entjang, 2000).
Menurut Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Karanganyar (2010),
sampah adalah sesuatu yang tidak lagi berguna dan dibuang oleh pemiliknya atau pemakai
semula, sumber daya yang tidak siap pakai, limbah yang bersifat padat, yang terdiri dari
zat organik dan zat anorganik, yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar
tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
a. Sumber sampah
1) Sampah domestik
Pada pemukiman penduduk, sampah biasanya dihasilkan oleh suatu keluarga
tunggal atau beberapa keluarga yang tinggal dalam suatu bangunan atau asrama.
Jenis sampah yang dihasilkan biasanya sisa makanan bahan-bahan sisa dari
pengolahan makanan atau sampah basah, sampah kering, abu dan sampah khusus.
2) Sampah komersial atau tempat-tempat umum
Tempat umum adalah tempat yang dimungkinkan banyaknya orang berkumpul
dan melakukan kegiatan, termasuk tempat tempat perdagangan. Tempat-tempat
tersebut mempunyai potensi yang cukup besar dalam menghasilkan sampah. Jenis
sampah yang dihasilkan dapat berupa sisa-sisa makanan atau sampah basah,
sampah kering, abu, sisa-sisa bahan bangunan,
sampah khusus kadang kadang terdapat sampah berbahaya.
3) Sampah industri
Industri berat atau ringan diantaranya adalah pabrik-pabrik produksi bahan-
bahan, sumber-sumber alam yaitu sumber energi, perusahaan kimia, perusahaan
pengolahan kayu, pengolahan logam, tempat pengolahan air kotor/bersih dll. Baik
yang hanya kegiatan industri, hanya bersifat distribusi, atau hanya memroses bahan
mentah, semuanya menghasilkan sampah.
4) Sampah pertanian
Daerah pertanian sampah yang dihasilkan dari tanaman atau binatang, misalnya
sampah dari kandang ternak, sampah dari kebun, sawah atau ladang.
5) Sampah alam
Sampah berasal dari sumber-sumber selain yang telah disebutkan di atas.
b. Klasifikasi sampah
1) Klasifikasi sampah menurut jenis sampah berdasarkan karakteristiknya menurut
Departemen Kesehatan RI (1987), sebagai berikut :
a) Sisa makanan atau sampah basah (garbage)
Sisa yang termasuk jenis ini adalah sampah basah yang dihasilkan dalam
proses pengolahan makanan. Karakteristik dari sampah ini dapat membusuk dan
dapat terurai dengan cepat khususnya bila cuaca panas. Proses pembusukan
sering kali menimbulkan bau yang busuk. Bahan bahan yang dapat membusuk
sangat penting diketahui dalam usaha pengumpulan dan pengolahan sampah
secara berdaya guna dan berhasil guna. Sampah ini bisa dihasilkan pada tempat
pemukiman rumah makan atau warung, rumah sakit, pasar dan sebagainya.
b) Sampah kering (rubbish)
Sampah kering terdiri dari sampah yang dapat terbakar atau yang
tidak dapat terbakar yang dihasilkan rumah tangga, perkantoran dan lain
sebagainya. Tidak termasuk sisa makanan dan benda benda yang mudah
membusuk. Jenis sampah yang dapat tebakar misalnya : kertas, plastik, tekstil,
karet, kulit, kayu, dan daun-daun kering. Jenis sampah kering yang tidak dapat
terbakar misalnya : kaca, kaleng, logam dan lain lain.
c) Sampah jalan (street cleaning)
Sampah yang berasal dari jalan, biasanya berasal dari daun-daunan dan
pembungkus.
d) Bangkai binatang (dead animals)
Sampah biologis berupa bangkai binatang kecil maupun piaraan.
e) Rongsokan kendaraan (abandoned vehicles)
Sampah bekas bekas kendaraan seperti bak mobil, becak dan sebagainaya.
f) Sampah dari bangunan (demolition wastes)
Merupakan sampah hasil sisa-sisa bangunan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi.
g) Sampah industri (industrial wastes)
Sampah padat maupun cair yang sudah tidak dipakai lagi sebagai hasil buangan
industri
h) Abu (ashes)
Benda sisa hasil pembakaran kayu, arang dan lain-lain.
i) Sampah khusus / berbahaya (hazardous waste)
Kimia beracun, pestisida, pupuk, radio aktif, biologi dan rumah sakit yang
dapat membahayakan manusia.
j) Sampah pengolahan air minum/air kotor (water treatment residual)
Sampah yang merupakan lumpur dari perusahaan air minum atau pengolahan
air kotor biasanya sebelum dibuang kebadan air atau kelokasi tempat
pembuangan diendapakan lebih dahulu setelah dalam keadaan padat baru dibuang
ketempat pembuangan atau dimanfaatkan.
2) Klasifikasi sampah menurut kelestarian pemenfaatan sampah adalah sebagai berikut
:
a) Sampah yang mudah terurai (degradable refuse)
Sampah mudah terurai secara alami melalui proses fisik kimiawi, maupun
biologis. Biasanya sampah golongan ini berasal dari bahan bahan organik, seperti
sampah sayuran dan buah buahan atau makanan, kertas, bangkai binatang.
b) Sampah yang tidak dapat diurai atau sulit diuraikan (non degradable refuse)
Sampah ini tidak dapat diuraikan atau sulit diuraikan secara alami melalui
proses fisik, kimia dan biologis menjadi molekul molekul yang lebih kecil,
biasanya berasal dari bahan anorganik, bahan sistetis dan bahan keras lainnya
seperti logam, kaca dan keramik.
2. Pengelolaan sampah.
Solid waste management maybe defined as that dcipline associated with the control of
generation , transfer and transport processing and disposal of solid waste in manner that
is in the accord with the best principles of public health, economik, engineering,
conservation, aesthetics, other environmental constderations and that also as repronsive
to public attitud (Tchobanoglous, 1977).
Pengelolaan sampah adalah suatu bidang kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan
terhadap timbulnya, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan,
pengolahan dan pembuangan sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip
terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, tehnik, konservasi, estetika, dan berbagai
pertimbangan lingkungan lainnya dengan memperhatikan sikap masyarakat. Tahapan-
tahapan dalam pengelolaan sampah umumnya adalah sebagai berikut :
a. Pengumpulan sampah (Sarudji, 2010)
Pengumpulan sampah adalah kegiatan mengangkut sampah dari tempat
penyimpanan setempat menuju ketempat pengumpulan sementara (TPS), sampai
kendaraan tersebut dikosongkan. Kendaraan pengumpul ini bisa berupa gerobak dorong
ataupun kendaraan bermotor. Sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sub sistem
pengumpulan sampah.
1) Pelayanan pengumpulan sampah
a) Pelayanan pengumpulan sampah rumah tangga
b) Pelayanan pengumpulan sampah industri/komersial.
2) Sistem pengumpulan sampah.
a) Sistem kontener diangkut
b) Sistem kontener tetap.
b. Pemindahan dan pengangkutan sampah.
Pemindahan dan pengangkutan sampah memerlukan beberapa pertimbangan yang
melatar belakangi, dengan pertimbangan pada aspek efisiensi :
1) Perlu pemindahan sampah
Pelaksanaan pemindahan sampah dapat deterapkan sistem pengumpulan kontener
diangkut atau sistem kontener tetap
2) Tipe stasiun pemindah
a) Tipe pengisian langsung
b) Tipe simpan isi
c) Tipe kombinasi antara a dan b
c. Penimbunan sampah
1) Composting.
Proses pengomposan pada dasarnya ada tiga langkah yaitu persiapan bahan,
dekomposisi sampah dan penanganan hasil. Composting merupakan proses
pemecahan bahan-bahan organik dari sampah secara bio kimia, yang hasil akhirnya
bahan-bahan menyerupai humus dan digunakan untuk mengatur kondisi tanah
petanian. Composting belum menjadi metode pembuangan sampah secara tuntas
karena dari proses ini diperlukan proses-proses pemilahan bahan sebelumnya, bahan
yang tidak digunakan sebagai bahan kompos dibuang.
2) Refuse compacting (pemadatan sampah)
Refuse compacting merupakan proses pemadatan, biasanya dilaksanakan sebelum
sampah dibawa ketempat pembuangan sampah akhir agar tidak memerlukan tempat
yang luas juga mudah di transportasikan. Hal ini memberi keuntungan membantu
memudahkan penanganan, mengefisienkan transportasi, memudahkan penyimpanan
dan mengefisienkan penggunaan tanah penimbunan. Sedangkan kerugian tidak
mengurangi berat sampah dan memerlukan tenaga dan biaya.
3) Open trench burning (pembakaran sampah)
Open trench burning merupakan model pengelolaan sampah dengan pembakaran
sampah. Sampah dibuang ke parit-parit yang tidak digunakan masyarakat dan jauh
dari pemukiman penduduk. Proses selanjutnya adalah pembakaran dan pengawasan
rutin agar pembakaran sempurna. Keuntungan metode ini adalah penggunaan lahan
lebih efisien, sedikit modal dan peralatan. Memberdayakan parit yang tidak lagi
digunakan penduduk, menghindari pencemaran air dan dapat digunakan dalam
waktu lama. Kerugian metode ini adalah timbulan asap pencemaran udara
menurunnya kualitas udara dan menggangu pernafasan.
4) Open dumping (penumpukan sampah)
Open dumping adalah merupakan pembuangan sampah terbuka dengan
meletakkan sampah begitu saja di tanah kosong atau penimbunan rawa, bekas
empang, bekas sungai, tanah yang lebih rendah dari sekitarnya, dan tebing sungai.
Merupakan model yang sangat sederhana. Cara ini adalah yang paling murah dan
mudah dilaksanakan, tetapi banyak segi negatifnya, terutama jika sampah tersebut
mudah membusuk. Lalat, tikus, nyamuk dan bakteri dapat tumbuh dan berkembang
biak pada timbunan sampah tersebut. Selain itu, bau yang tidak sedap dapat
mengganggu penduduk sekitarnya.
5) Dumping at sea (penimbunan sampah di pantai)
Yaitu pembuangan dan penimbunan dipantai. Pantai-pantai yang dangkal dapat
digunakan untuk tempat penimbunan sampah, caranya dengan membuat tanggul-
tanggul pemisah yang digunakan untuk menghalangi sampah-sampah agar tidak
terbawa arus. Sampah-sampah yang telah melebihi kapasitas tanggul akan diratakan
kemudian dipadatkan dan selanjutnya ditimbun dengan tanah atau pasir.
6) Recycling (daur ulang)
Model pengelolaan sampah daur ulang merupakan proses pengambilan barang
yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali disebut sebagai
daur ulang. Ada beberapa cara daur ulang yaitu pengampilan bahan sampah untuk
diproses lagi atau mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar untuk
membangkitkan listrik. Metode baru dari daur ulang yaitu :
a) Pengolahan kembali secara fisik
Metode ini adalah aktivasi paling populer dari daur ulang, yaitu
mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang telah dibuang,
contohnya kaleng minum alumunium, kaleng baja makanan / minuman, botol
kaca, kertas-karton, koran, majalah dan kardus. Pengumpulan biasanya dilakukan
dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak sampah / kendaraan sampah
khusus), atau dari sampah yang sudah tercampur.
b) Pengolahan kembali biologis
Material sampah (organik), seperti zat makanan, sisa makanan / kertas, bisa
diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos atau dikenal dengan
istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagai
pupuk dan gas yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
c) Pemulihan energi
Daur ulang dengan cara pengolahan menjadi bahan bakar melalui cara
perlakuan panas bervariasi mulai dari menggunakannya sebagai bahan bakar
memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk memanaskan boiler
untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator.
7) Sanitary land fill (sampah ditutup dengan lapisan tanah)
Sanitary land fill atau penimbunan sampah adalah pembuangan akhir sampah
dengan cara menimbun, memadatkan dan menutup dengan tanah penutup yang lebih
tebal pada akhir penimbunan, dengan pertimbangan agar dampak yang timbul
terhadap lingkungan dapat dikendalikan. Ada beberapa metode sanitary landfill :
a) Metode tanah datar.
b) Metode parit.
c) Metode jeram.
Lokasi pembungan sampah menjadi masalah yang sangat rumit disetiap kota besar.
Disamping harga lahan yang sangat tinggi, masyarakat disekitar lahan yang telah
dibebaskan untuk menjadi tempat pengelolaan sampah menolak. Suatu alternatif yang
sesungguhnya dapat dilaksanakan dengan aman adalah memanfaatkan lahan tempat
open dumping yang telah ada menjadi tempat pemrosesan sampah.
3. Iklim.
Iklim adalah pola cuaca yang terjadi dalam jangka waktu panjang (Witoelar, 2009).
Iklim merupakan salah satu komponam alam dan merupakan peranan yang penting bagi
kehidupan, iklim disebut juga sebagai salah satu ekosistem alam artinya iklim beserta
elemem-elemennya : radiasi surya, suhu, tekanan udara, angin, kelengasan, awan,
presipitasi, evaporasi merupakan satu kelengkapan kesetabilan alam, agar alam selalu
dalam keadaan harmonis, mantap dan serasi (Indrowuryatno, 2009 )
a. Intensitas cahaya.
Sumber energi yang menjamin keberlanjutan makluk hidup di bumi adalah radiasi
surya (energi matahari). Energi matahari yang sering disebut energi solar merupakan
energi radiasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik dengan kecepatan 300.000
km/detik. (Budiastuti, 2010). Sebagian kecil energi cahaya matahari yang mengenai
bumi akan deserap tumbuh-tumbuhan, untuk selanjutnya di konversi menjadi energi
kimia melalui reaksi fotosintesis. Ada 3 aspek cahaya yang berpengaruh bagi
kehidupan yaitu : kualitas warna cahaya, intensitas cahaya, lamanya penyinaran cahaya
(Soendjojo, 1995).
Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya. Pada
malam hari tidak aktif, namum dapat aktif dengan adanya sinar buatan. Efek sinar pada
lalat tergantung pada temperatur dan kelembaban. Jumlah lalat akan meningkat
jumlahnya pada temperatur 200 C-250 C dan akan berkurang jumlahnya pada temperatur
<100 C atau >490 C serta kelembaban yang optimum 90 %.
b. Suhu udara
Udara mempunyai sifat yang dinamis, suhu dan kelembaban cahaya akan berubah
dari waktu kewaktu. Intensitas yang diteruskan ke permukaan bumi setelah melalui
lapisan atmosfir akan pula selalu berubah, tergantung keadaan penyebaran dan
ketebalan awan. Demikian pula halnya dengan kecepatan dan arah angin. Kondisi yang
dinamis, berubah-ubah dalam waktu singkat (dalam waktu jam atau hari) disebut cuaca
(Benyamin, 1997)
Suhu udara rata-rata juga berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain.
Sebagai contoh umumnya suhu udara akan semakin rendah pada tempat yang lebih
tinggi. Suhu rata-rata akan lebih rendah pada lokasi yang jauh dari garis ekuator
dibanding dengan lokasi sekitar garis ekuator. Jadi terdapat gradasi suhu secara vertikal
dan horisontal. Panjang hari relatif tetap sepanjang tahun pada daerah tropis, wilayah
sekitar garis ekuator, tetapi akan berfluktuasi secara nyata untuk tempat-tempat yang
jauh dari garis ekuator, semakin jauh dari garis ekuator fluktuasinya semakin besar
(Benyamin, 1997).
Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama 24 periode dalam 24 jam.
Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan pertukaran energi yang berlangsung di
atmosfir. Pada siang hari sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas
atmosfir dan partikel-partikel yang melayang-layang di atmosfir. Serapan energi radiasi
matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara maksimum tercapai
pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Benyamin,
1997)
Suhu lingkungan dapat diukur dengan termometer, baik pada atmosfir maupun
dalam tanah atau air. Perubahan suhu pada atmosfir atau pada tanah banyak
dipengaruhi oleh pancaran sinar matahari, namun tidak semua pancaran sinar matahari
masuk ke bumi. Ada sinar matahari yang diserap oleh udara atmosfir, ada yang diserap
oleh awan, dipatulkan kembali ke bumi atau awan dan dipancarkan kembali oleh bumi
dan atmosfir (Soendjojo, 1995)
Perubahan suhu menimbulkan perubahan tekanan udara pada suatu tempat tertentu
atau wilayah. Perubahan tekanan udara menyebabkan terjadinya angin yang membawa
uap air sampai pada bentuk hujan. Besarnya curah hujan akan mempengaruhi kondisi
tanah dan penyebaran flora dan fauna. Banyak proses biologis yang baru terjadi pada
suhu tertentu, misalnya tumbuhan berbunga, aktifitas fauna, seperti serangga, burung,
karnivora dan lain sebagainya (Soendjojo, 1995).
Satuan yang digunakan dalam pengukuran suhu adalah derajat celcius (C), derajat
Kelvin (K), derajat Fahrenheit (F) dan derajat Reamur (R). Pengukuran suhu suatu
benda pada dasarnya merupakan pengukuran yang tidak langsung. Pada proses
pengukuran umumnya terjadi perpindahan panas dari benda yang akan diukur suhunya
ke alat pengukur suhu atau sebaliknya. Suhu yang terbaca pada alat pengukur suhu
adalah suhu setelah terjadi kesetaraan suhu udara antara benda yang diukur dengan alat
pengukur suhu. Jadi bukan suhu benda pada saat sebelum terjadi kontak antara benda
yang akan diukur tersebut dengan alat pengukur (Benyamin, 1997).
Lalat mulai aktif beraktifitas pada temperatur 150 C dan aktifitas optimumnya pada
temperatur 210C, lalat memerlukan suhu sekitar 350C – 400C untuk beristirahat, dan
pada temperatur dibawah 100C lalat tidak aktif dan diatas 450C terjadi kematian pada
lalat.
c. Kelembaban udara.
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air diudara yang dapat
dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit
tekanan uap air. Kelembaban nisbi membandingkan antara kandungan / tekanan uap air
aktual dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap air.
Kapasitas udara untuk menampung uap air (pada keadaan jenuh) tergantung pada suhu
udara (Ramelan, 2011).
Tekanan uap air adalah tekanan parsial uap air dalam udara. Tekanan uap air
ditentukan oleh kerapatan uap air dan suhu. Tekanan uap air jenuh adalah tekanan uap
air maksimum yang dapat dicapai pada suhu tertentu. Kerapatan uap air adalah jumlah
uap air yang terkandung persatuan volume udara, jadi sama dengan kelembaban absolut
yang juga disebut konsentrasi uap air. Pada kondisi tekanan atau kerapatan uap air,
udara tidak dapat lagi menampung tambahan uap air. Penambahan uap air akan
diimbangi dengan proses kondensasi sehingga jumlah uap air yang terkandung tidak
akan melebihi kapasitas tampung udara tersebut. Kemampuan udara untuk menampung
akan bertambah dengan meningkatnya suhu. Laju penguapan baik evaporasi maupun
transpirasi ditentukan oleh perbedaan potensi air atau sumber dan sasaran (Benyamin,
1997).
Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Kelembaban
berbanding dengan temperatur. Jumlah lalat pada musim hujan lebih banyak daripada
musim panas. Lalat sangat sensitif terhadap angin yang kencang, sehingga kurang aktif
untuk keluar mancari makanan pada waktu kecapatan angin tinggi.
4. Lalat.
a. Kehidupan lalat
Lalat merupakan salah satu insekta Ordo Diptera disebut demikian karena serangga
yang tergolong dalam ordo ini mempunyai 2 sayap, juga merupakan anggota Kelas
Heksapoda atau insekta mempunyai jumlah genus dan species besar mencakup 60-70 %
dari seluruh species Antropoda. Lalat tidak menggigit karena mempunyai tipe mulut
menjilat.
Musca domestica paling dominan ditemukan di timbunan sampah dan kandang
ternak. Kebanyakan lalat hijau adalah pemakan zat-zat organik yang membusuk dan
berkembangbiak di dalam bangkai, meletakan telur pada tubuh hewan yang mati dan
larva makan dari jaringan-jaringan yang membusuk. Tempat perindukan pada kotoran
binatang, kotoran manusia, saluran air kotor, sampah, buah-buahan, sayuran busuk dan
biji-bijian busuk menjadi tempat yang disenangi lalat. Jarak terbang lalat sangat
tergantung pada adanya makanan yang tersedia rata-rata 6-9 km, kadang-kadang 19-20
km dari tempat berkembang biak (Prihastini, 2006)
b. Klasifikasi lalat (Borror, 1992)
Klasifikasi jenis lalat yang hidup berdekatan dengan manusia adalah :
Phylum : Arthropoda
Class : Hexapoda
Ordo : Diptera
Family : Muscidae, Sarcophagidae, Calliphoridae, dll.
Genus : Musca, Stomoxys, Phenisia, Sarcophaga, Fanni dll.
Spesies : Musca domestika, Stomoxy calcitrans, Phenisia sp,
Sarcophage sp, Fannia sp.
Lalat merupakan serangga yang termasuk Ordo Diptera. Famili dalam Ordo Diptera
antara lain Famili Muscidae, Famili Calliphoridae. Species yang paling merugikan
ditinjau dari kesehatan manusia adalah Musca domestica, hal ini disebabkan karena
jenis lalat yang paling banyak terdapat diantara jenis-jenis lalat rumah, karena
fungsinya sebagai vektor transmisi mekanis dari berbagai bibit penyakit dan
berhubungan erat dengan lingkungan hidup manusia.
c. Morfologi lalat.
Lalat pada umumnya berukuran kecil, sedang sampai berukuran besar. Telur
berbentuk oval, berwarna putih berukuran 10 mm, larva warnannya putih tidak berkaki
kepalanya kecil makin kebelakang makin besar, pupa berbentuk lonjong umumnya
berwarna merah atau coklat. Badan lalat terbagi atas tiga bagian yaitu kepala terdapat
dua mata, antena dan mulut. Dada terdapat enam tungkai, sepasang sayap dan
abdomen. Lalat berukuran kecil sampai sedang antara 3-15 mm, badannya pendek,
kepalanya besar dan lepas, matanya besar, antena tiga ruas, sayapnya kuat dan perutnya
berambut (Handari, 1993).
Lalat mempunyai satu pasang sayap depan, satu pasang sayap lagi berubah menjadi
alat keseimbangan yang disebut haltere. Metamorfosis sempurna, alat pencernaan
sempurna, mulut dilengkapi dengan kelenjar ludah. Tipe alat mulut untuk mengunyah
dan menjilat berbentuk alat seperti belalai yang disebut probosis. Probosis dapat ditarik
kedalam atau dikeluarkan sesuai dengan keperluan hewan tersebut. Kepala, torax dan
abdomen jelas dapat dibedakan (Handari, 1993).
d. Daur hidup lalat.
Siklus hidup mulai dari lalat bertelur, telur menetas setelah 2-3 hari pada suhu 30˚
C, dengan jumlah telur 100-150 butir setiap oviposisi. Meletakkan telur hanya 2 atau 3
kelompok telur. Lalat betina bunting terbang ke arah tempat perindukan karena tertarik
oleh bau CO2, ammonia, dan bau dari bahan yang sedang membusuk. Telurnya
diletakkan jauh dari permukaan untuk menghindari proses kekeringan. Tahap larva
berlangsung selama 1-3 minggu. Kemudian mengkerut di tempat yang lebih kering
menjadi pupa. Stadium pendewasaan akan muncul dari pupa setelah satu minggu atau
lebih, dan siklus hidup berkisar 3-5 minggu pada kondisi optimal.
e. Perilaku lalat.
Penyebaran lalat sangat dipengaruhi oleh cahaya, temperatur, kelembaban. Untuk
istirahat lalat memerlukan suhu sekitar 35o – 40o C, kelembaban 90 %. Perilaku lalat
seperti kegiatan mencari makan, meletakan telur ditempat yang lembab, lalat
melakukan kawin saat terbang sehingga membuat pemangsa kesulitan untuk
menangkapnya.
Lalat mempunyai cara hidup dan sifat-sifat antara lain : suka hidup ditempat kotor,
misalnya pada kotoran hewan ataun sampah dan untuk berkembang biak membutuhkan
udara panas yang lembab dan tersedianya makanan yang cukup. Selain itu, terdapat
pula sifat-sifat khas pada lalat sebagai berikut :
1) Lalat tertarik pada bau bauan yang busuk serta bau dari makanan maupun minuman
yang merangsang.
2) Lalat dapat terbang sejauh 200 sampai dengan 1000 meter.
3) Lalat takut dengan warna biru.
(Azwar, 1986)
f. Fisiologi lalat.
Jantung memanjang dengan ostia lateral dan aorta anterior, tidak memiliki venasi
atau pembuluh kapiler. Respirasi dengan trachea yang bercabang cabang, Ekskresi
dengan dua atau beberapa buah saluaran malphigi halus yang melekat pada ujung
anterior usus belakang. Sistim syaraf dengan ganglion supra dan sub esophageal,
ganglion tersebut berhubungan dengan dua buah tali syaraf ventral dengan satu pasang
ganglia pada setiap segmennya. Alat reproduksi terpisah, gonad terdiri atas banyak
saluran dengan satu saluran median ke arah posterior, fertilisasi terjadi secara internal
(Herbert, 1993)
g. Lalat sebagai vektor bibit penyakit
Lalat hinggap di makanan kemudian mengeluarkan cairan dari moncongnya untuk
melemahkan mangsa, mengotori makanan dan meninggalkan bakteri atau virus. Pada
kakinya terdapat bulu yang dapat membawa bibit penyakit. Sebagian besar penyakit
yang ditularkan lalat adalah penyakit yang berhubungan dengan pencernaan termasuk
kolera, diare, tifus, disentri dan lain lain.
h. Macam macam lalat di Indonesia.
Jenis-jenis lalat yang hidup dan berkembang di indonesia diantara :
1) Lalat rumah (Musca domestica)
Lalat terdistribusi di hampir seluruh wilayah dunia. Lalat ini berukuran sedang,
panjangnya 6-8 mm, berwarna hitam keabu-abuan dengan empat garis memanjang
gelap pada bagian dorsal toraks. Antena terdiri dari tiga ruas, ruas terakhir paling
besar, berbentuk silinder dan dilengkapi dengan arista yang memiliki bulu pada
bagian atas dan bawah. Lalat rumah makanannya sangat bervariasi, dan cara
makannya pun tergantung pada keadaan fisik bahan makanan.
Pada daerah tropika, lalat rumah membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu 30˚C
dalam satu siklus hidupnya, dari telur, larva, pupa dan dewasa. Telur berbentuk
seperti pisang, berwarna putih kekuningan,dan panjangnya kira-kira 1 mm. Betina
bertelur dalam bentuk kelompok di dalam bahan organik yang sedang membusuk
dan lembab tetapi tidak cairan. Kelembaban yang tinggi diperlukan untuk
kelangsungan hidupnya, mereka akan menetas dalam waktu 10-12 jam pada suhu
30˚C.
2) Lalat Kandang (Stomoxys calcitrans)
Lalat ini bentuknya menyerupai lalat rumah tetapi berbeda pada struktur
mulutnya yang berfungsi menusuk dan menghisap darah. Lalat ini jarang dijumpai di
permukiman, tetapi sangat umum pada peternakan sapi perah, atau sapi yang selalu
di kandang. Lalat ini merupakan penghisap darah ternak yang dapat menurunkan
produksi susu. Terkadang menyerang manusia dengan menggigit pada daerah lutut
atau kaki bagian bawah. Baik lalat jantan maupun betina menghisap darah. Lalat
kandang dewasa berukuran panjang 5-7 mm, mempunyai bagian mulut meruncing
untuk menusuk dan menghisap darah. Sayapnya mempunyai vena 4 yang
melengkung tidak tajam ke arah kosta mendekati vena 3. Antenanya terdiri dari tiga
ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk silinder dan dilengkapi dengan arista
yang memiliki bulu hanya pada bagian atas.
Lalat betina harus mendapatkan darah untuk produksi telur. Telur diletakkan
pada habitat yang sesuai yaitu manur atau kotoran hewan yang telah bercampur
dengan urin dan sisa makanan atau rumput. Bisa juga telur diletakkan pada sampah
sayuran, kompos, potongan rumput, biji-bijian yang sedang membusuk, kotoran
ayam atau ganggang laut yang menimbun di sepanjang pantai. Lalat dewasa
menghisap darah hewan dan cenderung tetap di luar rumah di tempat yang terpapar
sinar matahari. Lalat kandang termasuk penerbang yang kuat dan bisa melakukan
perjalanan jauh dari tempat perindukannya.
3) Lalat Hijau (Calliphoridae)
Lalat ini terdiri atas banyak jenis, umumya berukuran sedang sampai besar,
dengan warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen gelap. Biasanya lalat
ini berkembangbiak di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan,
termasuk daging, ikan, daging busuk, bangkai, sampah penyembelihan, sampah
ikan, sampah dan tanah mengandung kotoran hewan.
Lalat ini jarang berkembang biak di tempat kering atau bahan buah-buahan.
Beberapa jenis juga berkembang biak di tinja dan sampah hewan lainnya bertelur
pada luka hewan dan manusia. Di Indonesia, lalat hijau umumnya di derah
pemukiman adalah Chrysomya megacephala. Lalat jantan berukuran panjang 8 mm,
mempunyai mata merah besar. Ketika populasinya tinggi, lalat ini akan memasuki
dapur, meskipun tidak sesering lalat rumah.
Lalat ini banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang berdekatan dengan kakus.
Lalat ini dilaporkan juga membawa telur cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, dan cacing kait pada bagian luar tubuhnya dan pada lambung lalat. Jenis
lalat hijau lain yang juga ditemukan di Indonesia adalah Chrysomya bezziana,
meskipun sangat jarang di daerah permukiman. Lalat ini banyak dijumpai di daerah
ternak yang dilepaskan di padang gembalaan.
4) Lalat Daging (Sarcophaga spp)
Lalat ini termasuk ke dalam Famili Sarcophagidae. Lalat ini berwarna abu-abu
tua, berukuran sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya. Lalat ini
mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya mempunyai
corak seperti papan catur. Lalat ini bersifat viviparus dan mengeluarkan larva hidup
pada tempat perkembangbiakannya seperti daging, bangkai, kotoran dan sayur
sayuran yang sedang membusuk. Tahap larva makan berlangsung beberapa hari,
kemudian keluar dari tempat makanya untuk populasi didaerah yang lebih kering.
Siklus hidup lalat ini berlangsung 2-4 hari. Lalat ini umum ditemukan di pasar dan
warung terbuka, pada daging, sampah dan kotoran, tetapi jarang memasuki rumah.
Lalat ini juga dilaporkan lambungnya mengandung telur cacing Ascaris
lumbricoides (cacing gilig) dan cacing cambuk (Trichuris trichuira).
5) Mimik (Drosophila)
Lalat ini berukuran kecil, jumlahnya bisa sangat banyak dan besifat mengganggu
serta mengancam kesehatan manusia. Lalat jenis ini tertarik pada buah dan sayuran,
terutama bahan yang mengalami fermentasi. Lalat ini jadi pengganggu utama
perusahaan pengalengan, pembuat bir, minuman dari anggur, serta pasar buah dan
sayuran. Karena begitu banyak yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya lalat
mulai dari sepotong buah yang dibuang di bawah bangku sampai sisa saus tomat
diwadahnya. Lalat ini menjadi permasalahan di restoran dan berbagai tempat
pengolahan makanan, termasuk dapur rumah tangga. Lalat dewasa berukuran
panjang 2,5-4,0 mm, biasanya berwarna kuning kecoklatan.
6) Lalat buah ( Drosophila melanogaster)
Lalat buah tertarik pada buah busuk dan ragi serta bermacam macam mikroba
yengterdapat pada buah tersebut. Varian warna mencolok, mata merah dan dan ada
yang putih sehingga merupakan binatang yang dapat digunakan dalam eksperiman
genetika dan penyebar penyakit (Kardinan, 2003).
7) Musca Sorbens
Lalat ini berwarna lebih abu-abu dari pada lalat rumah. Bagian dorsal toraksnya
mempunyai dua garis memanjang. Lalat ini berkembang biak di dalam kotoran yang
terisolasi seperti kotoran manusia. Seringkali lalat mengganggu dan sangat persisten
di permukiman. Lalat ini akan menempel pada kulit manusia, luka, dan mata
(terutama yang terinfeksi), tempat lalat menghisap serum dan cairan. Lalat ini sangat
umum di Mesir, dan oleh karenanya bertanggung jawab dalam penyebaran trakhoma
dan wabah sakit mata (epidemic conjuntivitis).
i. Kerugian yang disebabkan oleh lalat
Kebiasaan yang kotor dan menjijikan dari lalat akan membawa bermacam macam
kuman membahayakan pada bagian kaki dan rambut halus yang terdapat diseluruh
tubuh. Lalat, setelah mengambil makanan secukupnya dari timbunan kotoran akan
terbang kesuatu tempat untuk istirahat dan mencerna makanan. Kemudian hinggap
dimakanan dan memindahkan bibit penyakit kemakanan lainnya (Kardinan, 2003).
Lalat membawa bermacam-macam kuman seperti thypus abdominalis, kolera, desentri,
telur cacing, parasit pada usus dan penyalit penyakit lain.
j. Populasi lalat
1) Kepadatan.
Kepadatan adalah jumlah individu per unit area (luas) atau unit volume, sedang
kemelimpahan adalah jumlah individu dalam suatu area (tempat) tertentu
(Soegianto, 1994).
Kepadatan lalat adalah banyaknya lalat yang terdapat pada sesuatu tempat.
Kepadatan lalat sangat dipengaruhi oleh tempat perindukan, cahaya matahari,
temperatur dan kelembaban. Kepadatan tinggi jika temperatur antara 20-250C,
Populasi menurun apabila temperatur > 450C dan < 100C. Penghitungan kepadatan
lalat dan faktor abiotik umumnya dilakukan dengan metode berikut :
Fly grill yang ada dipasang, kemudian diletakkan pada tempat yang telah ditentukan
pada daerah yang akan diukur. Kemudian dalam waktu 30 detik, dihitung jumlah
lalat yang hinggap pada fly grill. Setiap lokasi pengambilan sampel dilakukan 10
kali penghitungan. Kemudian dianalisis hasil yang didapat dengan cara menghitung
rata-rata dari 5 data tertinggi. Suhu, kelembaban dan intensitas cahaya pada tiap
lokasi pengambilan sampel diukur dengan menggunakan termohigrometer dan lux
meter. Kepadatan lalat akan terukur. Tingkat kepadatan lalat dapat dipakai untuk
merencanakan upaya upaya pengendalian. Interprestasi hasil pengukuran kepadatan
lalat pada setiap lokasi (blok grill) adalah sebagai berikut (Ditjen PPM dan PLP,
1999)
a. 0 – 2 :tidak menjadi masalah.
b. 3 – 5 : Perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-
tempat berbiaknya lalat.
c. 6 – 20 : Kepadatanya padat dan perlu pengamanan
terhadap tempat – tempat berbiaknya lalat dan
bila mungkin direncanakan upaya
pengendaliannya (tinggi/padat).
d. 21 ke atas : Kepadatanya sangat padat dan perlu dilakukan
pengamanan terhadap tempat – tempat
berbiaknya lalat dan tindakan pengendalian lalat
(sangat tinggi/sangat padat).
Kampung SUKO
sungai
Jln kampung
Jalan utama
Gambar 1. Denah pengambilan sampel jumlah lalat di TPAS Sukosari
2) Pola distribusi
Distribusi atau penyebaran adalah pola tata ruang individu yang satu relative
terhadap yang lain dalam kepadatan. Penyebaran atau distribusi individu dalam satu
kepadatan biasanya bermacam – macam, pada umumnya memperlihatkan tiga pola
penyebaran, yaitu : penyebaran secara acak, penyebaran secara merata, dan
penyebaran berkelompok (Rahardjanto, 2001). Untuk mengetahui apakah
penyebaran individu didalam suatu kepadatan dalam suatu vegetasi dapat dilakukan
pengamatan, dari hasil pengamatan tersebut akan didapatkan bentuk penyebaran,
diantaranya secara acak, merata, atau berkelompok (Anonim, 2011). Berikut adalah
deskripsinya :
a) Penyebaran secara acak, jarang terdapat di alam. Penyebaran ini biasanya terjadi
apabila faktor lingkungan sangat seragam untuk seluruh daerah dimana kepadatan
berada. Selain itu, tidak ada sifat-sifat untuk berkelompok dari organisme
tersebut.
b) Penyebaran secara merata. Penyebaran ini umumnya terdapat pada tumbuhan.
Penyebaran semacam ini terjadi apabila terjadi persaingan yang kuat antara
individu-individu dalam populasi tersebut. Pada tumbuhan misalnya persaingan
untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.
c) Penyebaran secara berkelompok, penyebaran ini yang paling umum terdapat di
alam, terutama untuk hewan. pengelompokan ini terutama disebabkan oleh
berbagai hal.
SL
OTB
OD
PL
KMS
Kantor
Pengepak plastik DPU
Penyebaran dan kepadatan lalat berhubungan erat dengan keadaan setempat,
lalat tidak terdapat secara merata pada daerah-daerah tertentu, misalnya dengan
kesukaan lalat pada bau busuk dan makanannya.
3) Ketahanan hidup.
Ketahanan hidup lalat tergantung pada musim dan temperatur, lalat dewasa
hidup 2-4 minggu pada musim panas, pada musim dingin bisa mencapai 3 bulan.
Model pengelolaan sampah sanitary land fill, open dumping dan open trench
burning dapat menurunkan kuantitas lalat pada lokasi pengolahan sampah. Model-
model pengelolaan sampah tersebut dapat merusak habitat lalat, populasi lalat akan
berkurang apabila dinamika kepadatan lalat terdapat hambatan. Dua hal
perkembangan kepatan lalat yaitu potensi reproduksi lalat atau kemampuan
berkembang biak dan input kepadatan yaitu kemampuan untuk menghasilkan
keturunan. Tidak semua keturunan akan hidup, sebab mereka menghadapi
perlawanan terhadap keadaan lingkungan atau enviromental resistency yang juga
disebut faktor keluaran atau output. Faktor keluaran tergantung dari komponen
biotik dan abiotik. Komponen biotik yaitu parasit dan predaktor sedangkan abiotik
yaitu kelembaban, temperatur dan makanan.
B. Penelitian relevan
1. Dampak tempat pembuangan akhir sampah Winongo terhadap kualitas lingkungan hidup
oleh Prihastini (2006). Hasil penelitian ada hubungan yang erat antara pembuangan akhir
sampah dengan kualitas lingkungan hidup yang meliputi kepadatan lalat dan kualitas air.
2. Hubungan faktor kinerja dengan keefektifan hasil kerja petugas sampah ditempat
pembuangan sampah kota Surakarta oleh Warniati (2004). Hasil penelitian menunjukan
ada hubungan yang erat antara faktor kinerja yang meliputi jam kerja, beban kerja, sarana
prasarana, motivasi, imbalan terhadap hasil kerja di TPS yang meliputi aspek estetika dan
gangguan terhadap lingkungan.
3. Hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya dan sikap masyarakat
terhadap PSN-DBD dengan populasi nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Wonogiri oleh
Rumijati (2002). Dengan hasil penelitian kelembaban udara, suhu udara, intensitas cahaya
matahari dan sikap masyarakat berpengaruh terhadap populasi nyamuk Aedes aegypti.
4. Inventarisasi Insekta disekitar TPA, pasar dan peternakan di Surakarta oleh Rahayu
(1998). Hasil penelitiannya membuktikan peran kecoa, tikus dan lalat sebagai vektor
penyakit menular.
C. Kerangka berpikir
Setiap aktivitas yang menggunakan energi akan menghasilkan entropi sebagai
perwujudan Hukum Termodinamika. Salah satu bentuk entropi yang umum ditemui akibat
aktivitas masyarakat adalah sampah. Sampah kerapkali menimbulkan masalah sehingga
disusunlah metode pengelolaan yang tersentral. Sampah pada kawasan pemukiman hingga
komersial dikumpulkan oleh petugas untuk ditampung di tempat pembuangan sampah
sementara (TPS). Sampah tersebut diangkut oleh petugas angkutan sampah Dinas Kebersihan
dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Karanganyar ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah
(TPAS) Sukosari. Sampah yang menumpuk dan tidak segera ditangani akan mengalami
dekomposisi secara alamiah sehingga mengakibatkan bau yang tidak sedap. Kalau terjadi
hujan air akan masuk keselokan, badan sungai dan sampah menjadi sarang tikus, cacing,
bakteri, kecoak, lalat.
PENIMBUNAN SAMPAH
Gambar 2. Bagan kerangka berpikir
Barang untuk memenuhi
kebutuhan manusia
Sampah
Pengumpulan setempat/pewadahan
TPS
Aktivitas manusia
TPAS
Pemindahan dan pengangkutan
Pengelolaan sampah - Open Dumping - Open Trench Burning - Sanitary Landfill
Waktu Sampling - Pagi - Siang - Sore
Kepadatan lalat - Jumlah - Jenis
Evaluasi pengelolaan
sampah TPAS
- Iklim - Musim - Arah angin
Tingkat kepadatan lalat
D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep tersebut, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut
:
1. Ada lebih dari beberapa jenis lalat dan 15 lalat/m2 yang dijumpai TPAS Sukosari pada
model pengelolaan sampah open dumping, open trench burning dan sanitary land fill.
2. Ada pengaruh model pengelolaan sampah open dumping, open trench burning dan
sanitary land fill terhadap distribusi jumlah individu lalat.
3. Ada pengaruh waktu sampling terhadap jumlah individu lalat.
4. Ada korelasi pengelolaan sampah pada model open dumping, open trench burning,
sanitary land fill dan pada waktu sampling terhadap jumlah lalat.