bab ii kajian pustaka a. pengangkatan anak 1. a.etheses.uin-malang.ac.id/238/6/11780020 bab...
TRANSCRIPT
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengangkatan Anak
1. Pengangkatan Anak dalam Islam
a. Definisi Pengangkatan Anak
Dalam khazanah Islam, dikenal istilah al-tabanny (التبنى) yang secara
etimologis berarti اتخذا بنا, yaitu mengambil anak atau menjadikan seseorang
menjadi anak. Sedangkan secara terminologis, menurut Muhammad Syaltut,
ada dua pengertian pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain
untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian serta kasih sayang, tanpa
diberikan status anak kandung kepadanya. Hanya saja ia diberlakukan
selayaknya anak sendiri oleh orang tua angkatnya. Kedua, mengambil anak
orang lain sebagai anak sendiri dan diberi status sebagai anak kandung.
Pengangkatan anak dalam pengertian pertama lebih didasarkan pada
sikap ta’awun. Dengan harapan pada masa yang akan datang si anak dapat
memperoleh penghidupan yang layak dan mampu melaksanakan
kewajibannya, baik kepada orang tua kandungnya maupun orang tua angkatnya
secara baik. Perbuatan seperti ini dapat dibenarkan karena merupakan bagian
dari amal shaleh yang diperintahkan oleh agama. Sedangkan pengangkatan
anak dalam pengertian yang kedua bertentangan dengan hukum Islam karena
akibat hukum yang muncul justru memutus hubungan nasab antara anak
21
dengan orang tua kandungnya, begitu pula sebaliknya akan ada hubungan
hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.1
b. Sejarah dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dalam dua pengertian di atas masih dilakukan hingga
saat ini. Menurut Muhammad Syaltut tradisi pengangkatan anak dalam
pengertian memutus hubungan nasab sudah dilakukan oleh bangsa Yunani,
Romawi, India, dan Arab Pra Islam. Tradisi pengangkatan anak dalam arti
memutus nasab juga pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. sebelum diutus
menjadi Rasul. Menurut al-Qurthubi, Nabi Muhammad Saw. pernah
mengangkat Zaid bin Haristah sebagai anak angkat.2
Berdasarkan catatan sejarah Zaid bin Haritsah adalah seorang budak
milik Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian dimeredekakan oleh
Rasulullah Saw. Pengangkatan Zaid bukan merupakan hal yang tabu saat itu,
bahkan Rasulullah Saw. mengumumkan di hadapan kaum Quraish bahwa
antara beliau dengan Zaid bisa saling mewarisi. Zaid dikemudian hari juga
dikawinkan dengan Zainab binti Jahesy, putri Aminah binti Abdul Muthalib,
bibi Nabi Muhammad Saw. Atas kedekatan hubungan ini, para sahabat
memanggil Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad bukan lagi Zaid bin
Haritsah.3
1Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I (Jakarta:PT. Ichtiar Baru van
Hoeve), 26. 2 Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi, 27.
3Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama (Jakarta:Kencana,2008),
37.
22
Setelah masa kerasulan, praktik pengangkatan anak di atas kemudian
dikoreksi melalui firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 4-5 yang
berbunyi:
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu
hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Pembatalan praktik adopsi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.
terhadap Zaid bin Haritsah tergambar dalam hadits riwayat Muslim:
ث نا ي عقوب بن عبد الرحن القارى عن موسى بن عقبة عن سال بن عبد بة بن سعيد حدأنو كان ي قول ما كنا ندعو زيد بن حارثة إال زيد بن ممد حت ن زل الل عن أبيو
4)ااعوى باا ىو أ عند اا )القرآن 4Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 457.
23
Artinya: Dari Abdullah bin Umar ra. “Sesungguhnya Zaid bin Haritsah
adalah maula Rasulullah Saw. dan kami memanggilnya dengan Zaid bin
Muhammad, sehingga turun ayat “Panggillah mereka dengan nama
ayah kandung mereka, itu yang lebih adil di sisi Allah” (HR. Muslim)
Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menyatakan bahwa
Allah SWT. tidak melarang pengangkatan anak. Yang dilarang adalah
menjadikan anak-anak angkat itu memiliki hak dan status hukum yang sama
seperti anak kandung. Sebab menurut Ibn „Asyur substansi dan hakikat sesuatu
pasti melekat pada dirinya dan tidak akan berubah, baik karena dugaan maupun
pengakuan. Dengan turunnya ayat ini, Nabi Muhammad Saw. memperingatkan
agar semua orang tidak mengaku mempunyai garis keturunan dengan satu
pihak padahal hakikatnya tidak demikian. 5
Rasulullah Saw. bersabda:
ث نا يي بن زكرياء بن أب زائدة وأبو معاوية عن ث نا أبو بكر بن أب شيبة حد حدعتو أذناى ووعاه عاصم عن أب عثمان عن سعد وأب بكرة كالها ي قول س
دا من ااعى إل غي أبيو وىو ي عل » ي قول - صلى هللا عليو وسلم-ق لب ممر أبيو اانة عليو حراام «6 أنو غي
Artinya: “Barang siapa yang menasabkan dirinya kepada orang lain,
sedangkan ia mengetahui orang tersebut bukan bapaknya, maka haram
baginya surga” (HR. Muslim)
Untuk mempertegas status hukum antara anak angkat dan orang tua
angkatnya, dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 37 Allah SWT. berfirman:
5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 11
(Jakarta:Lentera Hati,2002), 221-222. 6 Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, 52.
24
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah
telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi
nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada
Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini diturunkan untuk menghapus
dampak adopsi yang dilakukan pada masa Jahiliyyah. Perkawinan Rasulullah
Saw. dengan Zainab binti Jahesy, mantan istri Zaid bin Haritsah menimbulkan
tanggapan negatif, khususnya dari kalangan Yahudi dan munafik. Secara
sosiologis, isu semacam ini sangat sensitif bagi masyarakat Arab saat itu.
Meskipun demikian, perkawinan antara Rasulullah Saw. dengan Zainab bukan
didasarkan pada hasrat seksual seperti yang dituduhkan sebagian kalangan
orientalis. Melainkan atas dasar perintah Allah SWT. untuk memperjelas tidak
adanya hubungan mahram antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.7
Meskipun demikian, bukan berarti adopsi merupakan perbuatan yang
dilarang dalam ajaran Islam. Menurut Muhammad Syaltut sangat
direkomendasikan agar seseorang dengan kelebihan materi untuk melakukan
adopsi. Terlebih bagi anak-anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua
karena ditinggal mati atau ditelantarkan oleh orang tuanya. Atau untuk
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 278.
25
mendidik dan memberikan kesempatan belajar karena orang tua kandungnya
dalam kondisi tidak mampu secara ekonomi.8 Adopsi dapat dikategorikan
sebagai salah satu ibadah sosial yang mendapat legitimasi dari al-Qur‟an.
Dalam Q.S. al-Maidah [5]: 2 Allah SWT. berfirman:
.......
Artinya: ... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya.
Dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 10 Allah SWT. berfirman:
Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Perintah untuk saling membantu kehidupan sesama dipertegas dalam
Q.S. al-Taubah [9]: 71
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
8Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspekif Islam
(Jakarta:Kencana, 2008), 43.
26
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Berdasarkan beberapa ayat di atas dapat dikatakan bahwa tolong
menolong merupakan salah satu sendi utama ajaran Islam. Bagi orang-orang
yang tidak peduli terhadap kondisi kaum lemah (al-mustadh’afin) mendapat
peringatan tegas bahkan diberi label pendusta agama dalam Q.S. al-Ma‟un
[107]: 1-3.
Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi Makan
orang miskin.
Dalam sebuah hadits riwayat Nu‟man bin Basyir, Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
ث نا وكيع عن األعمش ث نا أبو بكر بن أب شيبة وأبو سعيد األشج قاال حد حدعب عن الن عمان بن بشري قال قال رسول الل - صلى هللا عليو وسلم-عن الش
المؤمنون كرجل واحد إن اشتكى رأسو تداعى لو ساار اا د بالمى » 9 «وال ر
Artinya: .... Dari Nu’man bin Basyir ra. Berkata: Rasulullah Saw.
Bersabda: Sesama Mukmin itu bagaikan satu tubuh, jika kepalanya sakit,
maka sakit itu akan menjalar ke seluruh tubuh dengan demam dan susah
tidur. (HR. Muslim)
c. Tujuan Pengangkatan Anak dalam Islam
Menurut Andy Syamsu Alam dan M. Fauzan tujuan pengangkatan adalah
untuk meneruskan keturunan suatu keluarga. Menurut keduanya, pengangkatan
9 Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim Juz II, 526.
27
anak merupakan salah satu solusi bagi pasangan suami istri yang belum atau
tidak dikaruniai anak. Dengan harapan kehidupan rumah tangga akan berjalan
harmonis karena salah satu unsur keluarga telah terpenuhi.10
Sedangkan
menurut Musthofa Sy. secara garis besar ada dua tujuan utama pengangkatan
anak. Pertama, untuk mendapat atau melanjutkan keturunan keluarga orang tua
angkatnya. Kedua, untuk kesejahteraan atau kepentingan terbaik bagi anak.11
Lebih dari itu, tujuan pengangkatan anak yang dikehendaki oleh al-Qur‟an dan
Hadits di atas lebih pada aspek tolong menolong kepada sesama manusia,
khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Tujuan ini setidaknya dimotivasi
oleh firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Maidah [5]: 32
........... ....
Artinya: .... Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
d. Dampak Pengangkatan Anak
Para ulama sepakat bahwa pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak
memutus hubungan nasab antara anak dengan orang tua kandungnya, begitu
pula sebaliknya tidak menjadikan adanya hubungan sebab akibat antara anak
angkat dengan orang tua angkatnya. Menurut Andy Syamsu Alam dan M.
Fauzan pengangkatan anak yang dikehendaki oleh Islam tidak mempengaruhi
kemahraman antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Sehingga tidak
ada hubungan saling mewarisi dan tidak menimbulkan larangan dalam
perkawinan. Meskipun demikian, menurut Muhammad Syaltut anak angkat
10
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum, 30. 11
Musthofa Sy, Pengangkatan, 42.
28
tetap memiliki hak-hak asasi yang wajib dipenuhi oleh orang tua angkatnya.12
Sebab, hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian
beralihnya kewajiban untuk memberi nafkah sehari-hari, mendidik,
memelihara, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.13
Dalam ajaran Islam, setidaknya ada tujuh hak dasar yang wajib
dipenuhi.14
Pertama, hak untuk hidup. Islam menghapus tradisi Arab Jahiliyah
dalam hal pembunuhan terhadap anak karena kekhawatiran tidak mampu
menangggung biaya hidup sebagaimana digambarkan dalam Q.S. al-Isra‟ [17]:
31. Dalam ayat ini Allah SWT. berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar.
Dalam Q.S. al-An‟am [6]:140 Islam juga mengecam praktik pembunuhan
terhadap anak-anak yang dilakukan pada masa Jahiliyah.
Artinya: Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak
mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka
mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan
semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka
telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
12
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum, 24-27. 13
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum, 39. 14
Mufidah Ch., Psikologi, 304-312.
29
Berdasarkan dua ayat di atas Islam sangat melindungi hak hidup bagi
seseorang. menurut KH. Ali Yafie perlindungan terhadap jiwa merupakan
salah satu kebutuhan primer (dharuriyyat) yang menjadi tujuan umum legislasi
dalam syariat Islam dan wajib untuk diwujudkan bagi kemaslahatan umat
karena merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.15
Kedua, hak memperoleh kejelasan nasab. Menurut Mufidah Ch., sejak
lahir seorang anak memiliki hak dasar untuk mengetahui asal-usulnya. Selain
agar dapat memperoleh hak dari orang tua kandungnya, anak juga akan
mendapat ketenangan jiwa. Meskipun demikian, dalam konteks anak angkat
hak-hak dalam hal pengasuhan, perawatan, pendidikan dan pendampingan
hingga dewasa tetap harus dilakukan tanpa memandang statusnya. Ketiga, hak
mendapat nama yang baik. Nama dapat memberika pengaruh terhadap
perlakuan lingkungan sosial terhadap anak. Nama anak juga dapat membenuk
konsep diri, baik positif maupun negatif. Nama yang baik diharapkan dapat
memotivasi anak sehingga ia dapat berkontribusi positif terhadap orang tua,
masyarakat dan agamanya.
Keempat, hak memperoleh ASI bagi bayi berlaku salama dua tahun
sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 233. Kelima, hak
memperoleh pengasuhan, perawatan, dan pemeriharaan yang baik.
Pembentukan jiwa seseorang erat kaitannya dengan pola asuh dan perawatan
sejak ia kecil. Pada masa-masa sensitif ini keteladanan orang tua sangat
diperlukan bahkan menjadi kunci dalam mengembangkan kepribadian seorang
15
Masykuri Abdillah, Islam dan Hak Asasi Manusia:Pemahaman KH. Ali Yafie, Jalaluddin
Rahmat et.al, Wacana Baru Fiqih Sosial:70 Tahun KH. Ali Yafie, (Bandung:Mizan,1998), 193.
30
anak. Keenam, hak memiliki harta benda. Jika dilihat dari segi usia, anak-anak
dinilai belum cakap mengelola harta secara mandiri. Oleh karena itu, orang tua
atau wali bertanggung jawab mengelola harta tersebut hingga si anak dewasa.
Ketujuh, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran secara komprehensif,
baik dalam mengembangkan nalar berfikir, perilaku mulia, keterampilan hidup,
dan menjadikan sebagai manusia dengan pribadi yang baik.
2. Pengangkatan Anak pada Umumnya
a. Definisi Pengangkatan Anak
Secara etimologi pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi
(bahasa Indonesia), atau adoptie (bahasa Belanda) atau adoption (bahasa
Inggris). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adopsi berarti
pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri.16
Dalam Oxford Dictionary
of Law ditemukan pengertian adopsi sebagai berikut:
The process by which a parent's legal rights and duties in respect of an
unmarried minor are transferred to another person or persons. Adoption
differs from fostering in that it affects all the parents'rights and duties
and it is a permanent change. After adoption the natural parents are no
longer considered in law to be the parents of the child, who is henceforth
regarded as the legal child of the adoptive parents.17
Secara terminologi dapat ditemukan berbagai definisi tentang
pengangkatan anak. Dalam khazanah hukum adat menurut Hilman
Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri
oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat,
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai
Pustaka, 1989), 31. 17
Elizabeth A.Martin (ed.), Oxford Dictionary of Law Fifth Edition (United Kingdom: Oxford
University Press, 2002), 14.
31
harta kekayaan rumah tangganya.18
Surojo Wignjodipuro menyatakan bahwa
pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke
dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang
memungut anak dan anak yang dipungut timbul hubungan kekeluargaan yang
sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.19
Menurut Soerjono Soekanto anak angkat adalah anak orang lain (dalam
hubungan perkawinan yang sah menurut agama dan adat) yang diangkat karena
alasan tertentu dan dianggap sebagai anak kandung.20
Sedangkan menurut Arif
Gosita sebagaimana dikutip oleh Lulik Djatikumoro menyatakan bahwa
pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak turunannya sendiri berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang
berlaku di masyarakat yang bersangkutan.21
Definisi anak angkat dan pengangkatan anak juga dapat ditemukan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 171 huruf h
Kompilasi Hukum Islam meyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang
dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang
tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.22
Definisi ini digunakan
kembali dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
18
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1991), 20. 19
Musthofa Sy, Pengangkatan, 14. 20
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 251. 21
Lulik Djatikumoro, Hukum Pengangkatan Anak di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2011), 16. 22
Kompilasi Hukum Islam disebarluarkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
32
tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak
yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.23
Sedangkan definisi pengangkatan anak secara eksplisit ditemukan dalam
penjelasan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Admininstrasi Kependudukan.
Yang dimaksud dengan pengangkatan anak adalah perbuatan hukum untuk
mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan
dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.24
Secara khusus pengangkatan anak dilakukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.25
Dalam ketentuan umumnya dinyatakan bahwa:
Pasal 1 angka 1
Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan
atau penetapan pengadilan.
Pasal 1 angka 2
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
23
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak LN. Tahun 2002 Nomor
109 TLN. 4235 24
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan LN. Tahun
2006 Nomor 124 TLN. 4674 25
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak LN.
Tahun 2007 No. 123 TLN. 4768
33
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat.
Berdasarkan berbagai definisi di atas, setidaknya ada dua pengertian
mengenai pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain kemudian
dijadikan anak sendiri, berikut hak dan kewajibannya. Sebagaimana diatur
dalam hukum adat. Kedua, mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua atau wali yang sah kepada orang lain. Pengalihan ini tidak
memutus hubungan keperdataan antara orang tua kandung dengan anaknya.
Seperti yang dikehendaki dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku
di Indonesia. Nampaknya, definisi yang kedua ini juga dipengaruhi oleh hukum
Islam yang tidak menghendaki pengangkatan anak dalam arti memutus
hubungan kekerabatan.
b. Sejarah dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak di Indonesia telah dilakukan masyarakat adat
sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda. Hanya saja secara regulasi,
pengangkatan anak baru mendapat perhatian melalui Staatblad Tahun 1917
Nomor 129 Jo. Staatblad Tahun 1919 Nomor 81 Jo. Staatblad Tahun 1924
Nomor 557 Jo. Staatblad Tahun 1925 Nomor 93 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok untuk Seluruh Indonesia tentang Hukum Perdata dan Hukum Dagang
untuk Golongan Tionghoa.26
Peraturan hukum perdata lainnya, seperti Burgerlijk Wetboek dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur
mengenai pengangkatan anak. Baru pada tahun 1979, melalui Pasal 12 ayat (1)
26
Lulik Djatikumoro, Hukum, 19.
34
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disinggung
secara singkat mengenai tata cara pengangkatan anak.27
Namun, aturan
pengangkatan anak di Indonesia dirasa belum memadai. Untuk itu Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahakama Agung (SEMA) Nomor 2
Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak pada tanggal 7 April 1979. SEMA ini
kemudian disempurnakan melalui SEMA Nomor 6 Tahun 1983, dilengkapi
dengan SEMA Nomor 4 Tahun 1989, dan terakhir diatur dengan SEMA
Nomor 3 Tahun 2005. Departemen Sosial juga mengeluarkan Keputusan
Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak.28
Berbagai peraturan di atas masih terbatas pada
hukum formil atau aturan pelaksana. Sedangkan hukum materiil yang mengatur
hak dan kewajiban anak angkat maupun orang tua angkat belum diatur.
Hak anak angkat sebagaimana anak-anak pada umumnya dilindungi oleh
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Child) yang disahkan oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1987. Konvensi ini telah
diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pada tahun
1991, melalui Pasal 171 huruf h dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 telah diatur mengenai hak anak
angkat dalam bidang kewarisan. Delapan tahun kemudian, hak-hak anak
termasuk di dalamnya anak angkat diakomodir melalui Pasal 52 hingga Pasal
66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.29
27
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak LN. Tahun 1979 No. 32 28
Musthofa Sy, Pengangkatan, 83. 29
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia LN. Tahun 1999 No.
165
35
Baru pada tahun 2002, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pengangkatan anak diatur dalam pasal tersendiri.
Tidak hanya itu, dengan adanya asas nondiskriminasi hak-hak anak angkat juga
dilindungi secara eksplisit layaknya anak-anak pada umumnya. untuk
mempertegas status anak angkat, melalui Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diatur
tentang tata cara pengangkatan anak. Sebagai tindak lanjut atas Undang-
Undang Perlindungan Anak, pada tanggal 3 Oktober 2007 dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak. Melalui peraturan ini diharapkan pengangkatan anak
dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku, sehingga tidak timbul
penyimpangan yang merugikan kepentingan anak.
c. Tujuan Pengangkatan Anak
Menurut Arif Gosita sebagaimana dikutip oleh Lulik Djatikumoro
menyatakan bahwa enam alasan pengangkatan anak pada umumnya:30
1) Orang tua angkat tidak memiliki keturunan. Sehingga melalui
pengangkatan anak diharapkan dapat menolong orang tua angkat di hari
tua nanti;
2) Adanya perasaan belas kasihan terhadap anak angkat, baik karena
faktor ekonomi maupun ketiadaan orang tua;
3) Munculnya faktor kepuasan batin orang tua angkat, seperti mengangkat
anak perempuan atau laki-laki;
30
Lulik Djatikumoro, Hukum, 9.
36
4) Untuk memancing lahirnya anak kandung. Setelah melakukan
pengangkatan anak diharapkan lahir anak kandung dari pasangan suami
istri tersebut;
5) Untuk menambah jumlah tenaga kerja dalam keluarga;
6) Adanya hubungan keluarga antara orang tua angkat dengan orang tua
kandung.
Menurut M. Budiarto, ada dua motif pengangkatan anak, yaitu mendapat
tambahan tunjangan dari pemerintah bagi mereka yang berstatus Pagawai
Negeri Sipil dan sebagai teman bagi anak kandung yang sudah ada.31
Sedangkan menurut Musthafa Sy. dalam tradisi Jawa, seseorang mengambil
keponakan sendiri, baik laki-laki maupun perempuan dengan alasan-alasan
sebagai berikut:
1) Karena tidak memiliki anak;
2) Untuk memperkuat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang
diangkat;
3) Kerena belas kasihan disebabkan orang tuanya tidak mampu, yatim atau
yatim piatu;
4) Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapat
anak keturunannya sendiri;
5) Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat ana
perempuan atau sebaliknya;
31
Lulik Djatikumoro, Hukum, 10.
37
6) Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan
orang tua sehari-hari.32
Sedangkan tujuan pengangkatan anak dalam Undang-Undang
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak lain adalah
untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan
kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan
anak. Tidak jauh berbeda dengan ketentuan di atas, Pasal Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kepentingan yang Terbaik Bagi Anak merupakan salah satu asas yang
dianut dalam Konvensi Hak Anak PBB. Asas ini menghendaki dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat,
badan legislatif, dan badan yudikatif, maka harus mempertimbangkan
kepentingan yang terbaik bagi anak. Menurut Musdah Mulia, kewajiban ini
tidak hanya dibebankan pada penyelenggara kekuasaan negara, tetapi orang tua
dan masyarakat. Asas ini diharapkan mampu memunculkan solusi yang tepat
bagi anak, tetapi bukan atas kepentingan orang dewasa.33
Sebab, menurut Hadi
Supeno baik dalam ukuran orang dewasa belum tentu baik dalam ukuran
32
Musthofa Sy, Pengangkatan, 29. 33
Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia Konsep dan Implementasi
(Yogyakarta:Naufan Pustaka, 2010), 242.
38
kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan,
tetapi sesungguhnya justru merusak masa depan anak.34
d. Dampak Hukum Pengangkatan Anak
Akibat pengangkatan anak dalam perspektif hukum adat menurut
Musthafa Sy cukup variatif. Di daerah Jawa, pengangkatan anak tidak
memutus hubungan keluarga antara anak dengan orang tua kandungnya. Anak
masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai anggota
keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan
keturunan bapaknya. Sedangkan di Bali, pengangkatan anak merupakan
perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga orang tua
kendungnya dan masuk dalam keluarga orang tua angkatnya, sehingga anak
tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk meneruskan keturunan
orang tua angkatnya.35
Dalam kepustakaan hukum dikenal dua akibat hukum pengangkatan
anak, yaitu pengangkatan anak berakibat hukum sempurna (adoptio plena) dan
pengangkatan anak berakibat hukum terbatas (adoptio minus plena). Dalam
adoptio plena akibat yang muncul dari peristiwa ini adalah putusnya hubungan
kekerabatan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Sedangkan
adoptio minus plena tidak memutus hubungan keperdataan antara anak angkat
dengan orang tua kandung dalam hal-hal tertentu, biasanya dalam hal waris.36
Secara yuridis, akibat hukum pengangangkatan anak pertama kali diatur dalam
34
Hadi Supeno, Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak
Tanpa Pemidanaan (Jakarta:Gramedia, 2010), 56. 35
Musthofa Sy, Pengangkatan, 29. 36
Musthofa Sy, Pengangkatan, 43.
39
Staatblad 1917 No.129. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa pengangkatan
anak yang dilakukan secara sah menyebabkan anak angkat berhak memakai
nama marga orang tua angkatnya. Dalam hal pengangkatan anak dilakukan
oleh pasangan suami-istri maka anak tersebut dianggap terlahir dari
perkawinan mereka serta terputus hubungan hukum keperdataan dengan orang
tua kandungnya. Dengan kata lain segala konsekuensi hukum keperdataan,
seperti larangan kawin, hak perwalian, hak mewarisi harta peninggalan berlaku
bagi anak angkat layaknya anak kandung dari orang tua yang
mengangkatnya.37
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak berdasarkan pasal
ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan
keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang
bersangkutan. Akibat hukum ini dipertegas kembali dalam Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal ini menyatakan bahwa
pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
Meskipun demikian, hak-hak asasi anak angkat tetap harus dijamin oleh orang
tua angkatnya, karena telah dilakukan pemindahan kuasa asuh dari orang tua
kandung kepadanya.
Penghargaan terhadap hak-hak ini diatur dalam Pasal 2 Konvensi Hak
Anak PBB yang menyatakan bahwa negara-negara peserta akan menghormati
37
Lulik Djatikumoro, Hukum, 21.
40
dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini terhadap setiap
anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun,
tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta
kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua anak
atau walinya yang sah menurut hukum. Dengan demikian, pada dasarnya hak
asasi anak angkat sama dengan anak kandung.
Menurut Musdah Mulia, terapat 31 hak dasar anak menurut Konvensi
Hak Anak, antara lain:
1) Hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang;
2) Hak untuk mendapat nama;
3) Hak untuk mendapat kewarganegaraan;
4) Hak untuk mendapat identitas diri;
5) Hak untuk mendapat standar hidup yang layak;
6) Hak untuk mendapat standar kesehatan yang paling tinggi;
7) Hak mendapat perlindungan khusus dalam konflik bersenjata;
8) Hak untuk mendapat perludungan kusus jika mengalami konflik
dengan hukum;
9) Hak mendapat perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi
sebagai pekerja anak;
10) Hak mendapat perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi dalam
penyalahgunaan obat-obatan;
41
11) Hak mendapat perlindungan hukum jika mengalami eksploitasi
seksual;
12) Hak mendapat perlindungan khusus dari penculikan, penjualan, dan
perdagangan anak-anak;
13) Hak mendapat perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi
sebagai anggota kelompok minoritas;
14) Hak untuk hidup dengan orang tua;
15) Hak untuk tetap berubungan dengan orang tua bila dipisahkan dari
salah satu orang tua;
16) Hak mendapat pelatihan keterampilan;
17) Hak untuk berekreasi;
18) Hak untuk bermain;
19) Hak untuk berpartisasipasi dalam kegiatan seni dan budaya;
20) Hak mendapat perlindungan khusus dalam situasi genting;
21) Hak mendapat perlindungan khusus sebagai pengungsi;
22) Hak untuk bebas beragama;
23) Hak untuk bebas berserikat;
24) Hak untuk berkumpul secara damai;
25) Hak untuk mendapat informasi dari berbagai sumber;
26) Hak untuk mendapatkan perlindungan pribadi;
27) Hak mendapat perlindungan dari siksaan;
28) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman
dan perlakuan tidak manusiawi;
42
29) Hak mendapat perlindungan dari penangkapan yang sewenang-
wenang;
30) Hak mendapat perlindungan dari perampasan kebebasan;
31) Hak mendapat pendidikan dasar secara cuma-cuma.38
Dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa ada
sembilan hak dasar anak, antara lain:
1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
5) Anak berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan
pertama kali dalam kondisi yang membayakan.
6) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan
oleh negara atau orang atau badan.
38
Siti Musdah Mulia, Islam, 243-245.
43
7) Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam
lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
8) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan
yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
9) Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai
tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh bataskemampuan dan
kesanggupan anak yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia disebutkan enam belas hak
dasar anak, antara lain:
1) Hak mendapat perlindungan dari orang tua, masyarakat, dan negara
bahkan sejak dalam kandungan;
2) Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
3) Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.
4) Hak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai
dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara bagi setiap anak yang cacat fisik dan atau mental.
5) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan
orang tua dan atau wali.
44
6) Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal orang tua anak tidak mampu
membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai
dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau
diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
7) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya,
atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan
anak tersebut.
8) Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat,dan tingkat
kecerdasannya.
9) Hak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
10) Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan dirinya
11) Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
45
12) Hak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa
bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung
unsur kekerasan.
13) Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga
dapatmengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan
sosial, dan mental spiritualnya.
14) Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai
bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.
15) Hak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
16) Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak terdapat empat
belas hak dasar anak, antara lain:
1) Hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar;
2) Hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
3) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan;
4) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya;
46
5) Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri, kecuali dalam kondisi orang tua tidak mampu
atau dinyatakan tidak layak oleh pengadilan;
6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
7) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya.
8) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengantingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan.
9) Hak untuk beristirahatdan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
10) Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat;
11) Hak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, ketidakadilan, dan
perlakuan salah lainnya, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
12) Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam
kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam
47
kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan.
13) Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
14) Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
Secara spesifik, ada dua hak dasar yang wajib diberikan kepada anak
angkat. Pertama, hak beragama beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 39
ayat (3) dan ayat (5) yang menyatakan bahwa:
Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Ketentuan ini memberikan jaminan bagi anak-anak untuk memilih agama
yang akan dia anut, sehingga tidak ada kesan pemaksaan agama dari orang tua
angkat kepada anak angkatnya. Kedua, hak mengetahui identitas orang tua
kandungnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 yang menyatakan bahwa:
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) (2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
Selain mengatur tentang hak-hak asisi anak, secara berimbang Pasal 19
Undang-Undang Perlindungan Anak menetapkan kewajiban yang harus
dijalankan oleh setiap anak, termasuk anak angkat. Kewajiban tersebut antara
lain:
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
48
Hak-hak dasar di atas wajib dipenuhi oleh orang tua angkat, karena
secara hukum ia telah beralih status menggantikan kedudukan orang tua dalam
menjalankan kuasa asuh.39
hak-hak ini dapat dipenuhi orang tua asuh selama
masih hidup. Namun ketika orang tua angkat telah meninggal dunia terdapat
pluralitas hukum terhadap hak anak angkat dari harta peninggalan orang tua
ngkatnya yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
B. Konsep Waris Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam
1. Asas-asas Kewarisan Islam
Menurut Amir Syarifuddin terdapat lima asas dalam hukum kewarisan
Islam, antara lain:
a. Asas ijbari
Asas ini menghendaki bahwa peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
kehendak Allah SWT. tanpa bergantung pada kemauan pewaris atau atas
permintaan ahli warisnya. Berdasarkan asas ini, dari segi jumlah bagian yang
diterima oleh masing-masing orang telah ditentukan oleh Allah SWT. sehingga
pewaris maupun ahli waris tidak memiliki hak untuk menambah atau
mengurangi bagian tersebut. Selain itu, golongan yang berhak menerima harta
waris juga telah ditentukan secara pasti. Dengan demikian, tidak ada kekuasaan
bagi manusia untuk mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau
39
Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina,
melindungi,dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya. Lihat Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
49
megeluarkan orang yang berhak.40
Menurut Abdul Ghofur Anshori apabila
dalam praktiknya ada ahli waris yang tidak mau menerima harta waris karena
telah merasa cukup, maka ia tetap menerima harta tersebut. Jika setelah
diketahui dan dibagikan sesuai proporsi masing-masing ahli waris, kemudian
ada pihak yang menghibahkannya kepada orang lain maka tidak menjadi
persoalan selama jelas ikrarnya.41
b. Asas bilateral
Menurut Abdul Ghofur Anshori, istilah bilateral dikaitkan dengan sistem
keturunan. Dalam hukum kewarisan, asas ini menghendaki bahwa ahli waris
dapat menerima hak warisnya dari kedua belah pihak, baik kerabat laki-laki
maupun perempuan. Dalam Q.S. al-Nisa‟ [4]: 7 misalnya, seorang laki-laki
berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga pihak ibunya. Begitu
pula dengan perempuan berhak menerima warisan dari pihak ayah maupun
pihak ibunya.42
c. Asas individual
Dengan adanya asas individual mengandung arti bahwa harta warisan
dapat dibagi dan dimiliki secara perorangan, bukan secara kolektif seperti
dalam hukum adat Minangkabau. Masing-masing ahli waris menerima
bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Asas ini
juga menghendaki bahwa jumlah bagian setiap ahli waris tidak ditentukan oleh
40
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 17-19; Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta:Rajawali Press, 2009), 141-142. 41
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin (Yogyakarta:UII Press, 2005), 34. 42
Amir Syarifuddin, Hukum, 20; Abdul Ghofur Anshori, Filsafat, 34; Mohammad Daud Ali,
Hukum, 142.
50
banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkan. Tetapi harta yang ditinggalkan
tersebut harus tunduk pada ketentuan yang berlaku.43
Dalam beberapa bentuk nampaknya ahli waris dalam kondisi
berkelompok. Dalam Q.S. al-Nisa‟ [4]: 11 misalnya, disebutkan bahwa dua
anak perempuan mendapat bagian dua pertiga. Begitupula dengan saudara
perempuan yang mendapat bagian dua pertiga, sebagaimana terdapat dalam
Q.S. al-Nisa‟ [4]: 176. Meskipun demikian, bentuk kolektif ini hanya terjadi
untuk sementara waktu, sebelum dilakukan pembagian secara individual di
antara keduanya. Pembagian individual ini bersifat mengkikat dan wajib
hukumnya. Jika tidak dilaksanakan akan mendapat sanksi berat di akhirat kelak
karena dikhawatirkan terjadi percampuran harta yang bukan menjadi haknya.44
d. Asas keadilan berimbang
Asas ini menyatakan bahwa pembagian harta warisan harus berdasarkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Selain itu, perbedaan hak yang
diperoleh antar ahli waris disebabkan perbedaan tanggung jawab antara
mereka. Misalnya, tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap anak
lebih besar daripada tanggung jawab anak terhadap orang tua. Berdasarkan hal
ini anak mendapat bagian rata-rata lebih besar daripada orang tua. Bagitu pula
dengan anak laki-laki. Tanggung jawab utamanya adalah istri dan anak-anak
seperti yang dibebankan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 233. Dengan demikian,
43
Amir Syarifuddin, Hukum, 21; Abdul Ghofur Anshori, Filsafat, 34; Mohammad Daud Ali,
Hukum, 142. 44
Amir Syarifuddin, Hukum, 22; Abdul Ghofur Anshori, Filsafat, 35.
51
wajar apabila dalam konsep kewarisan Islam, seorang laki-laki mendapat
bagian lebih dari perempuan.45
e. Asas semata akibat kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang
lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang
mempunyai harta meninggal dunia. Dengan kata lain, peralihan harta pada saat
dipemilik masih hidup bukan kewarisan. Asas ini memiliki hubugan erat
dengan asas ijbari. Seseorang pada saat masih hidup memiliki kebebasan
menggunakan hartanya. Akan tetapi, setelah meninggal dunia ia tidak lagi
memiliki kebebasan tersebut. Jika ada, maka dilakukan melalui pengaturan
tertentu dengan batas maksimal tidak lebih dari 1/3 bagian harta tersebut.46
Abdul Ghofur Anshori menambahkan bahwa pembagian warisan
mempunyai kemungkinan untuk menyebar luas, bukan hanya pada anak saja.
Tetapi juga mancakup suami, istri, orang tua, saudara-saudara bahkan cucu ke
bawah, orang tua lurus ke atas, dan keturunan saudara-saudara. Meskipun
demikian, hal ini dibatasi pada kelompok keluarga, baik karena perkawinan
maupun nasab yang sah. Perbedaan bagian yang diterima didasarkan pada
kedekatan ahli waris dengan pewaris. Menurut Anshori hal ini disebut sebagai
asas Asas Penyebarluasan dengan Prioritas di Lingkup Keluarga.47
2. Sebab-Sebab Waris
Dalam catatan para ahli hukum Islam ada tiga sebab kewarisan pada
periode pra-Islam, natara lain:
45
Amir Syarifuddin, Hukum, 25; Mohammad Daud Ali, Hukum, 143. 46
Amir Syarifuddin, Hukum, 28; Mohammad Daud Ali, Hukum, 144. 47
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat, 35.
52
a. Pertalian Kerabat (al-qarabah)
Aspek kekerabatan sejak periode sebelum kedatangan Islam telah
menyebabkan seseorang mendapat hak waris. Namun, orang-orang yang
mendapat bagian hanyalah laki-laki yang kuat fisiknya. Sebab mereka dapat
berperang memerangi musuh demi kehormatan suku atau melakukan ekspansi
pada suku-suku yang lain. Wanita dan anak-anak tidak mendapat bagian karena
mereka dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Bahkan wanita
menjadi obyek waris itu sendiri. Dalam catatan Ahmad Rofiq, hanya anak laki-
laki, saudara laki-laki, paman dan anak laki-laki paman yang mendapat bagian
harta waris. Sedangkan menurut Muhammad Yusuf Musa, informasi yang
menyatakan bahwa wanita tidak mendapat harta waris tidak sepenuhnya benar.
Sebab ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa ada kabilah-kabilah
tertentu yang tidak membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Tradisi yang melarang wanita mendapat harta waris hanya terjadi di hijaz.48
b. Janji Prasetia (al-hilf wa al-mu‟aqadah)
Janji prasetia dijadikan dasar hubungan saling mewarisi pada masa
Jahiliyah. Melalui perjanjian ini, sendi-sendi kekuatan dan martabat kesukuan
dapat dipertahankan. Selain itu, hal ini bertujuan untuk tolong-menolong dan
menimbulkan rasa aman bagi mereka yang membuat perjanjian. Janji prasetia
terjadi setelah seseorang berikrar kepada orang lain untuk saling mewarisi
apabila salah satu di antara mereka meninggal dunia. Dalam praktiknya, bagian
orang yang berjanji prasetia didahulukan, setelah itu baru dibaikan kepada ahli
48
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), 11 .
53
waris yang lain. Menurut Ahmad Rofiq, bagian yang diperoleh melalui janji
prasetia adalah 1/6 bagian dari harta peninggalan.49
c. Pengangkatan Anak (al-tabanni)
Pengangkatan anak dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah merupakan
perbuatan hukum yang lazim. Pada umumnya, seseorang yang diangkat anak
oleh bangsa Arab saat itu adalah laki-laki yang memiliki kemampuan fisik
untuk berperang. Sedangkan perempuan justru menjadi obyek waris itu sendiri.
Pengangkatan anak pada periode ini menimbulkan beberapa akibat hukum.
Pertama, hubungan anak angkat dengan keluarga kandungnya terputus.
Kedua, status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung.
Dengan itu, segala hak seperti perlakuan, pemeliharaan dan kasih sayang
termasuk hubungan saling mewarisi sama seperti anak sendiri.50
Sedangkan setelah Islam datang dan berkembang, sebab-sebab kewarisan
berubah sebagai berikut:
a. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah)
Hubungan saling mewarisi karena faktor kekerabatan pada masa
Jahiliyah dikoreksi oleh ajaran Islam. Hubungan ini menurut Amir Syarifuddin
dapat ditentukan melalui dua cara, baik secara bilogis maupun yuridis. Secara
bilogis seorang anak misalnya, dapat secara langsung dinasabkan kepada
ibunya. Sebab hal ini bersifat alamiah dan tidak ada seorang pun para ahli yang
menentang bahwa seseorang dilahirkan dari rahim ibunya. Hanya saja untuk
menentukan hubungan saling mewarisi antara anak dengan bapaknya perlu
49
Ahmad Rofiq, Fiqh, 12-13. 50
Ahmad Rofiq, Fiqh, 14.
54
dilakukan pemeriksanaan. Sedangkan secara yuridis, seseorang memiliki
hubungan mewarisi dari bapak dan ibunya didasarkan pada sah atau tidaknya
perkawinan antara orang tuanya tersebut.51
Kedudukan laki-laki dan perempuan termasuk di dalamnya anak-anak
disamakan. Mereka diberikan hak mewarisi sepanjang hubungan
kekerabatannya jelas dan membolehkan. Sebab, boleh jadi kerabat yang dekat
menghalangi kerabat yang jauh, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Suami misalnya, secara umum dia mendapat ½ bagian dari harta istri. Tetapi
karena ada anak maka ia mendapat ¼ bagian saja. Islam tidak membedakan
status hukum seseorang dalam pewarisan dari segi kekuatan fisiknya, tetapi
semata-mata karena pertalian darah atau kekerabatan. Dengan demikian, anak
yang masih dalam kandungan pun berhak mendapat harta waris.52
b. Hubungan Perkawinan atau Semenda (al-Mushaharah)
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling
mewarisi antara suami dan istri.53
Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah
SWT. dalam Q.S. al-Nisa‟ [4]: 12. Ketentuan ini berlaku karena dua alasan,
yaitu adanya perkawinan yang sah dalam arti dilakukan berdasarkan rukun dan
syarat serta tidak ada larangan menikah. Selain itu, hubungan ini hanya berlaku
apabila ikatan perkawinan tersebut masih utuh atau dianggap utuh. Menurut
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, suatu perkawinan dianggap masih
utuh apabila perkawinan tersebut telah diputus dengan talak raj‟i, tetapi masih
dalam masa iddah. Sebab pada saat itu, suami masih berhak untuk merujuk
51
Amir Syarifuddin, Hukum, 175-177. 52
Ahmad Rofiq, Fiqh, 42. 53
Ahmad Rofiq, Fiqh, 44.
55
istrinya, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Tanpa harus membayar
mahar, mendatangkan wali maupun saksi-saksi.54
c. Hubungan Memerdekakan Budak (al-Wala‟)
Al-wala‟ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan
hamba sahaya secara suka rela. Dalam konteks awal perkembangan Islam,
hubungan saling mewarisi antara seorang tuan dengan budaknya diharapkan
memotivasi umat Islam untuk membantu penghapusan perbudakan. Adapun
bagian dari orang yang memerdekakan hamba adalah 1/6 dari harta
peninggalan jika budak yang ia merdekakan tidak memiliki sanak kerabat yang
lain. Meskipun demkian, menurut Amir Syarifuddin hubungan saling mewarisi
karena memerdekakan budak hanya ada dalam wacana saja.55
3. Unsur-Unsur dalam Kewarisan Islam
Menurut para ahli hukum Islam, ada tiga unsur dalam hukum kewarisan,
antara lain:
a. Al-muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang
yang mewariskan hartanya. Syaratnya ia harus benar-benar telah
meninggal dunia, baik secara hakiki, yuridis (hukmi) maupun secara
perkiraan (taqdiri).
b. Al-waris atau ahli waris, yaitu orang-orang yang dinyatakan mempunyai
hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, perkawinan, atau
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya ahli waris benar-benar dalam
keadaan hidup, termasuk didalamnya adalah bayi yang berada dalam
54
Supartman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam (Jakarta:
Gaya Media Utama, 2008), 29. 55
Amir Syarifuddin, Hukum, 28; Ahmad Rofiq, Fiqh, 45
56
kandungan. Selain itu, tidak ada halangan untuk saling mewarisi,
misalnya pembunuhan dan perbedaan agama.
c. Al-maurus atau al-miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurang
biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.56
4. Hak Waris Anak Angkat dan Wasiat Wajibah
Menurut Amir Syarifuddin, hukum Islam tidak mengenal lembaga
pengangkatan anak dalam arti memutus hubungan perdata antara anak angkat
dengan orang tua kandungnya. Islam hanya menganjutkan pengakatan anak
dalam konteks pemeliharaan dan membantu meringankan beban orang tua.
anak angkat akan tetap di luar garis kekerabatan orang tua angkatnya, beserta
segala akibat hukumnya.57
Penolakan Islam terhadap pengangkatan anak model
ini berdasarkan Q.S. al-Ahzab [33]: 4-5 dan Q.S. al-Ahzab [33]: 33
sebagaimana telah di bahas pada bagian sebelumnya. Dengan demikian, anak
angkat dalam konteks hukum Islam tidak memiliki hak waris dari orang tua
angkatnya.58
Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan
kontribusi anak angkat terhadap orang tua angkatnya dapat diberikan hadiah,
hibah maupun wasiat. Ketiga cara di atas hanya dapat dilakukan pada saat
orang tua angkat masih hidup dan besarnya tidak lebih dari sepertiga harta.
Persoalannya kemudian, bagaimana jika orang tua angkat belum sempat
memberikan wasiat atau hibah kepada anak angkatnya sebelum wafat? Di
56
Ahmad Rofiq, Fiqh, 28-29 57
Amir Syarifuddin, Hukum, 183 58
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta:Rajawali Pers, 2012), 192
57
Indonesia para ulama melakukan ijtihad jam‟i untuk menjawab persoalan ini.
Melalui Kompilasi Hukum Islam anak angkat diberikan hak terhadap harta
peninggalan melalui wasiat wajibah. Namun, sebelum jauh membahas tentang
aspek hukum wasiat wajibah perlu dilakukan pembasan mengenai wasiat
terlebih dahulu.
Dalam hukum Islam, wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela
dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat.59
Dalam Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Menurut Sayyid Sabiq
sebagaimana dikutip oleh Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah obyek
wasiat tidak hanya berupa barang, melainkan juga piutang maupun manfaat.60
Dasar hukum wasiat adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 180
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Menurut Zainuddin Ali, para ulama berbeda pendapat mengenai
kebolehan wasiat kepada ahli waris. Menurut ulama yang menganut asas
kewarisan bilateral seperti Hazairin menyatakan bahwa berwasiat kepada ahli
59
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam Jilid VI (Jakarta:PT. Ichtiar Baru van
Hoeve), 1926 60
Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islah di Indonesia
(Bandung:Pustaka Setia, 2011), 249
58
waris tidak dilarang. Karena Q.S. al-Nisa [4]: 11-12 tidak menghapus
keberlakuan Q.S. al-Baqarah [2]: 180. Sedangkan ulama yang menganut
madzhab patrilineal seperti Imam Syafi‟i dan murid-muridnya, tidak
diperbolehkan berwasiat kepada ibu-bapak dan kerabat, apabila mereka
mendapat bagian dalam suatu kasus kewarisan. Karena dianggap tidak ada lagi
wasiat bagi ahli waris. Oleh karena itu, ayat-ayat wasiat dihapus oleh ayat-ayat
kewarisan. Lebih lanjut Zainuddin Ali mengatakan bahwa wasiat hanya
berlaku bagi ahli waris yang terhalang untuk mendapat harta warisan dan tidak
melebihi sepertiga bagian. Wasiat juga tidak bisa menghalangi pelaksanaan
kewarisan.61
Menurut Mustafa Syalabi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofiq
menyampaikan bahwa wasiat berfungsi menangkal konflik keluarga. Karena
ada anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan
jalan waris. Padahal ia telah cukup berjasa dalam pengadaan harta tersebut.
Dengan adanya wasiat, maka kekecewaan tersebut dapat diatasi.62
Adapun
rukun-rukun wasiat menurut jumhur ulama sebagai berikut: 63
(1) al-Musi atau orang yang melakukan wasiat
Menurut jumhur ulama orang yang melakukan wasiat harus memenuhi
tiga syarat, antara lain: Pertama, cakap hukum yang ditandai dengan berakal
dan baligh menurut ulama madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i. Sedangkan
ulama madzhab Maliki dan Hambali menyatakan bahwa anak yang telah
61
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta:Sinar Grafika, 2010), 78 62
Ahmad Rofiq, Fiqh, 184. 63
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi, 1927-1928; Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah,
Hukum, 252.
59
mumayyiz boleh melakukan wasiat. Menurut Zainuddin Ali orang yang
memiliki kecakapan hukum ditandai dengan meredeka dalam arti bebas
memilih dan tidak ada paksaan.64
Kedua, Wasiat harus dilakukan secara sadar
dan sukarela. Ketiga, Orang yang melakukan wasiat tidak memiliki hutang
yang jumlahnya sebanyak harta yang akan ditinggalkan. Karena wasiat baru
dapat dilakukan setelah ahli waris membantu pewaris melunasi seluruh-
hutangnya. Syarat orang yang melakukan wasiat secara yuridis normatif diatur
dalam Pasal 194 ayat (1) yang menyatakan bahwa orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) al-Musa Lah atau orang yang menerima wasiat
Wasiat dapat ditujukan kepada orang tertentu, baik ahli waris maupun
bukan. Wasiat juga dapat ditujukan kepada yayasan atau lembaga sosial.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Adapun
syarat-syarat penerima wasiat adalah sebagai berikut:Pertama, penerima wasiat
harus benar-benar ada dan jelas identitasnya. Kedua, memiliki kecakapan
menerima wasiat. Ketiga, bukan orang yang membunuh si penerima wasiat.
Keempat, penerima wasiat bukan orang yang berlainan agama. Kelima, wasiat
tidak dimaksudkan untuk merugikan umat Islam atau sesuatu yang bersifat
maksiat.
64
Zainuddin Ali, Pelaksanaan, 79.
60
(3) al-Musa Bih atau obyek wasiat
Sesuatu yang menjadi obyek wasiat merupakan benda yang memiliki
nilai menurut syara‟. Selain itu, obyek wasiat harus bisa dijadikan hak milik,
baik berupa materi maupun manfaat. Dan yang terpenting adalah obyek wasiat
tersebut benar-benar miliki al-musi. Menurut Wahbah Zuhaily, batas maksimal
wasiat hanya dengan sepertiga harta. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
kepada Sa‟ad nin Abi Waqas ra. yang ingin membuat wasiat sebesar dua
pertiga kepada anak perempuannya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda
“Sepertiga, dan sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya baik bagimu
meninggalkan ali waris dalam keadaan kaya daripada meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin dan menjadi beban bagi orang lain. Dengan demikian,
kelebihan atas wasiat tidak dilaksanakan kecuali telah ada persetujuan dan
kerelaan dari ahli waris yang lain.65
Menurut Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah pelaksanaan wasiat
yang melebihi sepertiga bagian dilaksanakan dengan syarat permohonan
kerelaan dari ahli waris yang lain dilakukan setelah si pewasiat meninggal
dunia. Sebab, pada saat si pewasiat masih hidup maka ahli waris tidak memiliki
hak memberikan izin. Selain itu, bisa jadi si pewasiat mencabut wasiatnya.
Ahli waris yang memberikan izin disyaratkan cakap hukum, sehingga orang
yang berada di bawah pengampuan tidak bisa memberikan izin secara
mandiri.66
65
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu Juz 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk. Fiqh Islam wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani Press, 2011), 154. 66
Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum, 254.
61
(4) Sighah
Sighah wasiat harus dinyatakan secara jelas meskipun antara ijab dan
qabulnya tidak terjadi dalam satu waktu. Sebab qabul baru dinyatakan sah
apabilah si pemberi wasiat telah meninggal dunia. Namun menurut ulama
madzhab Hanafi qabul boleh dilakukan sebelum maupun sesudah di pemberi
wasiat meninggal dunia. Menurut jumhur ulama, qabul harus dilakukan oleh
orang yang telah baligh dan berakal. Apabila di penerima wasiat adalah anak-
anak atau orang gila maka yang menerima adalah walinya. Sighat wasiat dapat
dilakukan secara tertulis maupun secara lesan serta disaksikan oleh dua orang
saksi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.67
Sedangkan yang disebut wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan
oleh penguasa atau hakim sebagai aparatur negara untuk memaksa, atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Menurut Fatchur
Rahman disebut wasiat wajibah karena hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi
wasit dan munculnya kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau
putusan pengadilan tanpa bergantung pada kerelaan orang yang berwasiat dan
persetujuan penerima wasiat.68
Sedangkan menurut Suparman Usman dan
Yusuf Somawinata, wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak
dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si pewaris.
Wasiat ini tetap harus dilakukan, baik diucapkan maupun tidak, baik
67
Zainuddin Ali, Pelaksanaan, 80. 68
Musthofa Sy, Pengangkatan, 131.
62
dikehendaki ataupun tidak oleh si pewaris. Meskipun demikian, wasiat wajibah
hanya dapat dilaksanakan berdasarkan alasan-alasan hukum yang dibenarkan.69
Menurut Musthofa Sy, meskipun tidak ditemukan dalil naqli yang secara
eksplisit membahas pemberian wasiat wajibah, praktik semacam ini didasarkan
pada aspek kemaslahatan anak angkat. Sebab, orang tua angkat dibebani
kewajiban untuk mengurus segala kebutuhannya.70
Adapun dasar hukum
pemberian wasiat wajibah merupakan hasil kompromi dari berbagai para pakar
hukum Islam. Ketentuan wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama
dalam memahami Q.S. al-Baqarah [2]: 180:
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Sebagian ulama, seperti Ibn Hazm, Ahmad Ibn Hambal, Abu Ja‟far
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Hasan al-Bisri dan Abu Bakr bin Abdul Abdul
Aziz berpendapat bahwa memberikan wasiat kepada ibu-bapak dan kerabat
bersifat wajib hingga sekarang. Namun jumhur ulama menyatakan bahwa
ketentuan tentang wasiat tidak lagi berlaku karena telah dihapus dengan ayat-
ayat waris. Dengan demikian, wasiat hanya bersifat dianjurkan dengan tujuan
69
Supartman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh, 163; Abdul Aziz Dahlan (et.al),
Ensiklopedi, 1930. 70
Musthofa Sy, Pengangkatan, 132.
63
membantu meringankan beban penerima wasiat dalam menghadapi
kehidupan.71
Kelompok pertama mendalilkan bahwa Q.S. al-Baqarah [2]: 180 tidak di-
naskh. Sehingga sampai saat ini masih bersifat muhkamah. Menurut
Muhammad Abduh, antara Q.S. al-Baqarah [2]: 180 dengan ayat-ayat waris
tidak ada pertentangan dan tidak ada pula indikasi bahwa ayat waris turun
setelah ayat tentang wasiat. Namun, sebagian ulama kelompok pertama
berpandangan bahwa Q.S. al-Baqarah [2]: 180 telah ditakhshish. Sehingga ayat
tersebut hanya berlaku bagi bapak-ibu dan kerabat yang menurut ketentuan
umum pewarisan tidak mendapat bagian harta waris. Sedangkan bapak-ibu dan
kerabat yang memperoleh waris dikeluarkan dari keumuman ayat wasiat.
Berkaitan dengan persoalan wasiat wajibah, Ibn Hazm menyatakan bahwa
apabila tidak ada wasiat untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan,
maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yakni memberikan sebagaian
warisan kepada kerabat yang tidak mendapat bagian sebagai sesuatu wasiat
wajib bagi mereka.72
Sedangkan kelompok kedua berpandangan bahwa ayat wasiat telah di-
nasakh dengan ayat waris berpedoman kepada pendapat Ibn Abbas dan Ibn
Umar. Selain itu, terdapat hadits Rasulullah Saw. yang mempertegas
penghapusan ini:
71
Supartman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh, 164. 72
A. Rachmad Budiono, Pembaharian Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1999), 26.
64
عت رسول عت أبا أمامة س ث نا ابن عياش عن شرحبيل بن مسلم س اب بن ندة حد ث نا عبد الوى حد 73«إن اا د أعطى كل ذى حق حقو ال وصية لوارث » ي قول - صلى هللا عليو وسلم-الل
Artinya: ..... Sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan kepada setiap
orang, hak mereka masing-masing. Ingatlah bahwa tidak ada wasiat
bagi ahli waris.
Penetapan wasiat wajibah tidak hanya didasarkan pada penafsiran Q.S.
al-Baqarah [2]: 180 akan tetapi berdasarkan pula pada kaidah-kaidah hukum
Islam. Untuk sementara guna menghindari perasaan ketidakadilan yang belum
bertemu dasar hukumnya, para ahli hukum Islam menyatakan bahwa:
إن لويل االمر أن يأمر باملبا ح ملا يراه من املصلحة العامة و مت أمر بو و جبت طا عتو
Artinya: Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan
perkara yang dibolehkan (mubah) karena ia berpendapat bahwa hal itu
akan membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan
demikian, wajib ditaati.74
Sejalan pula dengan kaidah tindakan penguasa kepada rakyat adalah
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan ( 75.(تصرف اإلماا على الرعية منوط با ملصلحة
Wasiat wajibah baru dikenal di Indonesia sejak lahirnya Kompilasi Hukum
Islam pada tahun 1991. Sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
73
Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud Juz III (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994), 35. 74
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam Jakarta:Sinar Grafika, 2006), 102. 75
Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Kedua
(Surabaya:Kaki Lima, 2006), 75.
65
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiatdiberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
Konsep wasiat wajibah untuk anak angkat merupakan perwujudkan
konsensus ahli hukum Islam Indonesia.76
Meskipun demikian, konsep wasiat
wajibah sendiri bukan orisinal berasal dari pemikiran para ahli hukum Islam
Indonesia. Sebab, istilah ini pertama kali ditemukan dalam Undang-Undang
Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946.77
Undang-Undang ini kemudian diadopsi
oleh Maroko melalui Code of Personal Status dan Tunisia melalui Qanun al-
Ahwal al-Syakhshiyyah dengan sedikit perubahan. Wasiat wajibah di Mesir
digunakan untuk memberikan harta warisan kepada cucu keturunan anak
perempuan (generasi pertama) dan keturunan anak laki-laki (seluruh generasi)
yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu. Sedangkan menurut
Undang-Undang Maroko hanya cucu dari keturunan anak laki-laki (seluruh
generasi). Dan menurut Undang-Undang Tunisia hanya cucu dari kerutunan
anak laki-laki maupun perempuan (generasi pertama).78
Bagian yang diterima anak angkat dari wasiat wajibah tidak berbeda
dengan wasiat pada umumnya, yaitu maksimal 1/3 bagian dari harta warisan.
Meskipun demkian, menurut Habiburrahman masih terdapat disparitas
pembagian wasiat wajibah untuk anak angkat. Sebagaian hakim pengadilan
76
M. Fahmi al-Amruzi, Rekonsruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam
(Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012), 12. 77
Persamaan konsep wasiat wajibah di Indonesia dengan Mesir, Tunisia, maupun Maroko dapat
diterima. Sebab dalam catatan sejarah pembentukan Kompilasi Hukum Islam, para perumus
pernah melakukan studi banding ke negara-negara tersebut pada tahun 1986 jauh setelah
undang-undang wasiat diterapkan di negara masing-masing. Hanya saja dari sisi penerima
wasiat wajibah terjadi perbedaan di masing-masing negara termasuk Indonesia. Lihat Amin
Husein Nasution, Hukum, 27. 78
Supartman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh, 178-179.
66
agama tidak mau repot sehingga secara serta merta memberikan hak waris bagi
anak angkat sebesar 1/3 bagian sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam, tanpa mempertimbangkan apaka pemberian maksimal tersebut telah
merampas hak-hak ahli waris atau telah adil dan bijaksana. Adapun sebagian
hakim yang lain memberi bagian tidak melebihi bagian terkecil dari ahli waris.
Namun, pola kedua jarang digunakan karena harus melakukan penghitungan
telebih dahulu tehadap bagian seluruh ahli waris dan bagian anak angkat.79
Seperti halnya wasiat pada umumnya, pelaksanaan wasiat wajibah adalah
sebelum dilakukan pembagian harta warisan, bersamaan dengan ditunaikannya
hutang, nadzar, atau biaya perawatan jenazah. Sebab, bila si pewaris
mempunyai ahli waris maka perlu memperhatikan bagian masing-masing. Si
pewaris sebelum meninggal dunia pun tidak boleh memberikan wasiat
melebihi 1/3 bagian. Jika ingin memberikan lebih, harus ada persetujuan dari
para ahli waris. Sebab, wasiat menjadi haram hukumnya jika merugikan ahli
waris.80
Sebagai sebuah catatan akhir menarik disampaikan pendapat Mustofa Sy
yang menyatakan bahwa pengaturan tentang wasiat wajibah bertujuan untuk
menghindari konflik keluarga setelah orang tua angkat meninggal dunia. Sebab
dalam hukum Islam pengangkatan anak tidak menimbulkan akibat hukum
dalam hal kewarisan. Apabila terjadi sengketa dan diajukan ke Pengadilan
Agama, hakim memiliki pedoman meteriil untuk memutus. Peraturan ini akan
79
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta:Kencana, 2011),
77. 80
Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Bandung:Pustaka Setia, 2011), 254.
67
memberikan kepastian hukum dan menghilangkan disparitas putusan
kewarisan Islam yang menyangngkut anak angkat.81
C. Konsep Keadilan dalam Hukum
1. Makna Keadilan
Dalam khazanah ilmu hukum, keadilan merupakan salah satu aspek yang
penting dalam proses penegakan hukum. Meskipun demikian, menurut Munir
Fuady keadilan merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di sepanjang
sejarah kehidupan manusia tidak pernah mendapatkan gambaran yang pasti
tentang arti dan makna yang sebenarnya. Pemaknaannya akan selalu
terpengaruh oleh paham dan aliran yang berkembang pada saat definisi itu
dicetuskan.82
Secara etimologi adil berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak, sepatunya, atau tidak sewenang-wenang. Sedangkan secara
terminologi penganut teori etis menyatakan bahwa keadilan adala penilaian
terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya melalui suatu
norma yang menurut pandangan subjektif melebihi norma-norma lainnya.
Meskipun keadilan merupakan tujuan utama hukum, ia hanya dapat dinilai dari
satu pihak saja. Pandangan ini mendapat kritik dari Sudikno Mertokusumo, ia
menyatakan bahwa keadilan sebaiknya tidak hanya dinilai dari sudut pandang
satu pihak saja melainkan dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.83
Daniel Webster sebagaimana dikutip oleh Roscoe Pound menyatakan
bahwa keadilan merupakan kepentingan manusia yang paling luhur. Pendapat
81
Musthofa Sy, Pengangkatan, 136. 82
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 77. 83
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty,2005), 78
68
serupa disampaikan oleh Muhmmad Muslehuddin yang mengatakan bahwa
keadilan merupakan tujuan tertinggi dalam hukum Islam.84
Aristoteles
menyatakan bahwa Justice is political virtue, by the rules of it, the state is
regulated and these rules the criterion of what is right.85
Definisi yang
dikemukakan Aristoteles ini menekankan bahwa keadilan merupakan produk
kebijakan politik, dan melalui nilai-nilai keadilan inilah negara dijalankan dan
tercermin kriteria kebenaran. Dalam pendapatnya yang lain, Aristoteles
menyatakan bahwa justice consist in treating equals equally and unequals
unequally, in proportion to their inequality (untuk hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama, sedangkan yang tidak sama juga diperlakukan tidak
sama, sesuai dengan ketidaksetaraan mereka).
Upianus menggambarkan keadilan sebagai justitia est constans et
perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang
terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi
haknya). Rumusan ini menurut Agus Yudha Hernoko, dengan tegas mengakui
hak masing-masing person terhadap lainnya, dan apa yang seharusnya menjadi
bagiannya, demikian pula sebaliknya.86
Plato sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Muslehuddin, menyatakan bahwa justice consist in a harmonious
relation, berween the various part of the social organism. Every citizen must
do his duty in his appointed place and do the thing for which his nature is best
suited (keadilan sebagai hubungan harmonis berbagai organisme sosial, setiap
84
Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam Kajian Komprehensif
Islam dan Ketatanegaraan (Yogyakarta: LkiS, 2010), 316 . 85
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (legisprudence)
(Jakarta: Kencana, 2012), 217. 86
Agus Yudha Hernoko, Hukum, 48.
69
warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat
alamiahnya). Sedangkan menurut Herbert Spencer keadilan adalah kebebasan
individu melakukan apa yang ia inginkan sepanjang tidak mengganggu orang
lain. Pendapat ini bertolak belakang dengan pandangan Plato di atas. Meskipun
demikian, Spencer tetap mengakui bahwa manusia hidup secara berdampingan
sehingga kebebasan manusia tidak boleh mengganggu orang lain.87
Menurut John Rawls, keadilan adalah kebajikan utama dalam istitusi
sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori betapapun
elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar,
demikian pula dengan hukum, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya,
harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Keadilan tidak membiarkan
pengorbanan yang dilakukan oleh sebagian kecil orang tidak diperberat oleh
sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.88
Dengan kata lain,
keputusan sosial yang mempunyai akibat bagi semua anggota masyarakat harus
dibuat atas dasar hak (right based weight) daripada atas dasar manfaat (good-
based weight). Hanya dengan itu keadilan sebagai fairness dapat dinikmati
semua orang.89
Murtadlo Muthahhari menyatakan bahwa konsep keadilan dapat
dipahami dengan empat makna: Pertama, adil bermakna keseimbangan. Suatu
masyarakat yang ingin bertahan dan mapan, maka komponen-komponen di
87
Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin (Yogyakarta: UII-Press, 2010), 137-139. 88
John Rawls, Theory of Justice, terjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan
Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 4. 89
Agus Yudha Hernoko, Hukum, 55.
70
dalamnya harus berada dalam keadaaan seimbang, di mana segala sesuatu yang
ada di dalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar
yang sama. Keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca kebutuhan
dengan dengan pandangan yang relatif melalui penentuan keseimbangan yang
relevan dengan menerapkan potensi yang semestinya terhadap keseimbangan
tersebut. Kedua, adil adalah persamaan dan penafian terhadap perbedaan
apapun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak
memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan adanya persamaan. Ketiga, adil
adalah memelihara hak-hak indivudu dan memberikan hak kepada setiap orang
yang berhak mendapatkannya. Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial
dalam hidup di lingkungan masyarakat, dan dalam bernegara. Keempat, adil
adalah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi. 90
Menurut Madjid Khadduri, kata keadilan berarti meluruskan, mengubah,
sama, sepadan dan juga menyeimbangkan atau sebanding.91
Makna yang
terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan
sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang semestinya. Dalam
ajaran Islam, prinsip keadilan merupakan salah satu sendi utama dalam
menjalankan kehidupan. Dalam Q.S. al-Nahl [16]: 90 Allah SWT.
memerintahkan manusia untuk berbuat adil
90
Murtadlo Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam (Bandung: Mizan,
1995), 53-58. 91
Madjid Khadduri, Teologi Keadilan Prespektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 8.
71
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
72
Perilaku adil dalam kehidupan merupakan refleksi dari ketakwaan
seseorang. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah dalam Q.S al-Maidah [5]: 8
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Tidak hanya itu, dalam menangani sengketa seseorang harus
menjalankan prinsip keadilan. Misalnya memberikan kesempatan yang sama
dalam memberikan keterangan dan mengajukan bukti di muka persidangan.
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
2. Macam-Macam Keadilan
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan distributif
(justitia distibutiva / distributive justice) dan keadilan komutatif (justitia
commutativa / remedial justice). Adapun penjelasannya sebagai berikut:
73
a. Keadilan Distributif
Model keadilan ini menurut agar setiap orang mendapat apa yang
menjadi hak atau jatahnya. Menurut Aristoteles, jatah masing-masing orang
tidaklah sama, tegantung pada jasa dan kemampuannya.92
Dengan kata lain
keadilan distributif menghendaki pembagian hak secara proporsional.
Berkaitan dengan keadilan distributif, Beauchamp dan Bowie mengajukan
enam prinsip keadilan distributif. (1) Setiap orang diberikan bagian yang sama;
(2) Setiap orang diberikan hak sesuai kebutuhan individualnya; (3) Setiap
orang diberi sesuatu sesuai haknya; (4) Seseorang diberi bagian sesuai usaha
individualnya; (5) Seseorang diberikan sesuatu sesuai kontribusinya; (6) Setiap
orang diberi hak sesuai jasanya.93
Hubungan antara hasil yang diperoleh dengan jasa yang dilakukan
seseorang. Muhammad Alim menyatakan bahwa dalam setiap hubungan,
khususnya hubungan perdata, harus ada kesamaan dalam arti tidak boleh ada
unsur penindasan, pemaksaan, penipuan bahkan kekhilafan untuk memperoleh
keuntungan, dan hasil yang diperoleh harus seimbang dengan usaha yang
dilakukan. Asas ini ditarik dari firman Allah SWT dalam Q.S. al-Najm [53]:
39. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seseorang tidak memperoleh selain dari
apa yang diusahakannya.94
92
Sudikno Mertokusumo, Mengenal, 78. 93
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial
(Jakarta: Kencana, 2011), 52. 94
Muhammad Alim, Asas-Asas, 370 .
74
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya,
Menurut Faturachman, keadilan distibutif memang sangat ideal akan
tetapi tidak mudah untuk diterapkan. Untuk menerapkannya banyak persoalan
yang harus dipenuhi, salah satunya kontribusi yang diberikan seseorang harus
terukur. Prinsip ini hanya dapat diterapkan secara terbatas, ketika tolok ukur
antara input dan output sudah jelas dan disepakati oleh pihak-pihak yang
terlibat. Proporsi akan berubah berdasarkan upaya atau kontribusi yang
diberikan seseorang. Misalnya, seorang konsultan yang memberikan saran
kepada sebuah lembaga akan dibayar mahal sekalipun saran tersebut belum di
operasionalkan, bahkan belum ada hasil yang nampak. Pembayaran yang
mahal ini dikatakan adil karena sebanding dengan upaya yang dilakukan.95
b. Keadilan Komutatif
Sedangkan keadilan komutatif berupaya memberikan kepada setiap orang
hak yang sama rata. Keadilan adalah memposisikan setiap orang sama tanpa
memandang kedudukan dan sebagainya.96
Menurut Aristoteles, keadilan
bentuk ini bertujuan menyesuaikan atau menyeimbangkan interaksi antar
individu, sehingga masing-masing dapat memperoleh haknya secara sama.
Dengan kata lain, keadilan komutatif menerapkan prinsip sama rata sama rasa
(kondisi equal), tanpa memandang kualifikasi pencari keadilan.97
Contoh
keadilan komutafi terletak pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 misalnya, disebutkan bahwa segala warga
95
Faturachman, Keadilan Perspektif Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 36 96
Sudikno Mertokusumo, Mengenal, 79. 97
Munir Fuady, Dinamika, 111.
75
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Prinsip ini juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Melalui asas non-diskriminasi
seorang anak akan dijamin hak-haknya tanpa membedakan agama, ras,
kepercayaan, suku, negara, dan status sosialnya.
3. Konsep Keadilan dalam Kewarisan Waris Anak Angkat
Keadilan merupakan salah satu asas yang ditekankan dalam pembagian
waris. Seperti yang disampaikan Amir Syarifuddin pada bagian sebelumnya
tidak ada perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian
harta waris. Dengan kata lain perbedaan jenis kelamin tidak memiliki pengaruh
terhadap hak saling mewarisi. Meskipun demikian, tidak dijelaskan lebih lanjut
apakah perbedaan status seseorang mempengaruhi hak menerima harta waris
dari sisi keadilannya?
Menurut Abdul Manan, wasiat wajibah dapat berfungsi sebagai alat
untuk mengalihkan hak secara waris kepada orang yang tidak ditentukan sama
sekali bagiannya. Lebih lanjut, Abdul Manan menyatakan bahwa wasiat
wajibah bertujuan mendistribusikan keadilan bagi kelompok yang secara nash
terhalang menerima waris, seperti orang tua atau anak angkat yang mungkin
telah berjasa banyak kepada si pewaris.98
Sedangkan menurut Musthafa
Sya‟labi sebagaimana dikutip Ahmad Rofiq, dengan adanya sistem wasiat yang
98
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Kencana,
2006),168-169.
76
diatur dalam hukum Islam kekecewaan antara para pihak yang mungkin telah
berjasa dalam kehidupan pewaris dapat diatasi.99
Secara sosiologis, seseorang mengangkat anak karena tidak memiliki
kerutunan. Ketika orang tua angkat masih hidup, anak angkat diperlakukan
selayaknya anak kandung. Namun, ketika kedua orang tua sudah meninggal
dunia tidak jarang nasib anak angkat menjadi terlantar. Harta peninggalan
orang tua angkatnya sudah dibagi oleh keluarga dekat tanpa mempedulikan
bagian anak angkat. Alasannya, anak angkat bukan termasuk dalam kategori
ahli waris. Atas dasar kenyataan ini hukum di Indonesia memberikan
perlindungan melalui Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.100
99
Ahmad Rofiq, Fiqh, 184. 100
M. Fahmi al-Mursi, Rekonstruksi, 156.