bab i pendahuluan - scholar.unand.ac.idscholar.unand.ac.id/46263/7/bab i.pdfbab i pendahuluan 1.1...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inovasi bahasa termasuk dalam kajian dialektologi diakronis yang merupakan bagian
internal dari pengkajian linguistik historis komparatif. Inovasi merupakan kebalikan dari retensi.
Inovasi terjadi apabila bahasa atau dialek yang diteliti mengalami perubahan, sedangkan retensi
terjadi apabila dalam bahasa atau dialek modern yang dipakai penutur masa sekarang masih
mencerminkan unsur-unsur atau bentuk-bentuk bahasa purba (Nadra dan Reniwati, 2009: 31). Jika
dalam suatu dialek terdapat lebih banyak unsur purba dibandingkan inovasi disebut dialek purba,
sedangkan dialek yang lebih banyak mengalami inovasi daripada mencerminkan unsur lama
disebut dialek inovatif (Nadra, 2006: 103).
Cara mengetahui berubah atau tidaknya suatu bahasa, salah satunya bisa dilakukan dengan
membandingkan bahasa atau dialek yang diteliti dengan hasil rekonstruksi bahasa purba yang telah
ada, yang merupakan bahasa purba dari bahasa itu. Artinya, perbedaan itu bisa dilihat dari
cerminan unsur protobahasa terhadap bahasa yang diturunkan. Bentuk rekonstruksi bahasa purba
ditandai dengan tanda asterisk (*) sebelum bentuk yang direkonstruksikan. Rekonstruksi
protobahasa Minangkabau (PBM) telah dilakukan oleh Nadra (2006). Cerminan untuk
menganalisis inovasi bunyi dan silabe dalam penelitian ini juga didasarkan pada PBM yang telah
dilakukan oleh Nadra tersebut.
Kata Minangkabau mengacu pada dua pengertian, yaitu satuan wilayah dan satuan budaya
(Lindawati, 2015: 1). Pengertian Minangkabau sebagai satuan wilayah mengacu pada arti yakni
wilayah administratif Sumatera Barat, kecuali Mentawai. Pengertian Minangkabau sebagai satuan
budaya mengacu pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian itu,
pengertian Minangkabau sebagai satuan budaya akan lebih kompleksi apabila dibandingkan
sebagai satuan wilayah. Hal itu mengingat bahwa wilayah Minangkabau atau yang dikenal dengan
alam Minangkabau, menurut Navis (1986: 53), dalam Tambo Minangkabau dilukiskan dengan
cara yang tidak mudah sehingga susah memperkirakan letak pasti perbatasannya. Oleh sebab itu,
Adelaar (dalam Nadra, 2006: 8) menyatakan bahwa di beberapa daerah di perbatasan Provinsi
Jambi (sepanjang Sungai Batanghari), di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, di Aceh Barat
(kelompok-kelompok Jemèe), juga di Negeri Sembilan Malaysia, menggunakan bahasa yang sama
dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau.
Salah satu unsur pembangun kebudayaan adalah bahasa. Hal itu sejalan dengan yang
dikatakan oleh Koentjaraningrat (2009: 165) bahwa unsur penting pembangun kebudayaan adalah
bahasa. Dalam kebudayaan Minangkabau, bahasa yang digunakan dinamakan bahasa
Minangkabau (Lindawati, 2015: 2). Hal itu juga sejalan dengan yang dikatakan Navis yang
menyebut bahasa Minangkabau dengan istilah bahasa Minangkabau (Navis, 1986: 229).
Penelitian terhadap bahasa Minangkabau telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah
yang dilakukan oleh Nadra pada tahun 1997 (dalam Nadra 2006: 42—100). Penelitian itu terfokus
pada pemakaian variasi dialektal bahasa Minangkabau di daerah Sumatera Barat. Dari penelitian
itu, didapatkan hasil bahwa terdapat tujuh dialek di dalam bahasa Minangkabau. Tujuh kelompok
dialek itu adalah dialek Rao Mapat Tunggul (Rmt), dialek Muara Sungailolo (Msl), dialek
Payakumbuh (Pk), dialek Pangkalan-Lubuk Alai (Pla), dialek Agam-Tanah Datar (Atd), dialek
Koto Baru (Kb), dan dialek Pancung Soal (Ps). Penelitian itu melibatkan 49 titik pengamatan (TP).
Isolek-isolek yang dilibatkan dalam penelitian itu adalah isolek-isolek yang dapat mewakili bahasa
Minangkabau secara keseluruhan dan salah satu isolek yang dilibatkan ialah isolek Sumpur Kudus.
Isolek Sumpur Kudus (ISK) adalah isolek yang dituturkan oleh masyarakat Kecamatan
Sumpur Kudus. Kecamatan Sumpur Kudus terdiri atas 11 nagari. Nagari-nagari itu meliputi
Kumanis, Tanjung Bonai Aur, Tanjung Bonai Aur Selatan, Tamparungo, Sisawah, Tanjuang
Labuah, Sumpur Kudus, Sumpur Kudus Selatan, Unggan, Mangganti, dan Silantai. Masyarakat
Kecamatan Sumpur Kudus menggunakan bahasa Minangkabau dalam berkomunikasi sehari-hari
maupun dalam acara-acara besar, seperti acara adat ataupun keagamaan. Bahasa Minangkabau
yang digunakan masyarakat di Kecamatan Sumpur Kudus masih tergolong kental. Apalagi, dari
hasil tinjauan, tidak ditemukan etnis lain yang tinggal di Kecamatan Sumpur Kudus. Namun, jika
mempertimbangkan teori gelombang yang dikemukakan oleh Schmidt (dalam Hidayat, 2015:
201), yang menyatakan bahwa pada suatu wilayah bahasa, daerah-daerah yang berdekatan dengan
pusat penyebaran akan lebih banyak menunjukkan persamaan dengan pusat penyebarannya
dibandingkan dengan daerah-daerah yang jauh dari pusat penyebarannya, maka perubahan bahasa
sangat mungkin dialami ISK dari protobahasanya. Sebab, Sumpur Kudus merupakan daerah rantau
(Asnan, 2003: 283).
Dari sebelas nagari yang ada di Kecamatan Sumpur Kudus, lima di antaranya termasuk ke
dalam daerah terisolasi. Akses jalan menuju lima nagari itu sangat memprihatinkan. Hanya ada
satu jalan beraspal yang menjadi penghubung lima nagari itu dengan nagari-nagari lain. Penelitian
ini merupakan penelitian yang melihat perkembangan bahasa dari protobahasa ke bahasa
turunannya, maka penelitian ini difokuskan pada satu nagari saja sebagai titik pengamatan.
Pemilihan titik pengamatan didasarkan pada kriteria daerah yang memenuhi syarat untuk
penelitian bahasa. Oleh sebab itu, peneliti menjadikan nagari Sumpur Kudus Selatan sebagai titik
pengamatan, menimbang Sumpur Kudus Selatan merupakan daerah tertua kedua setelah Nagari
Sumpur Kudus (hasil wawancara yang dilakukan dengan Ketua Adat Nagari yang menjabat
pertama kali di Sumpur Kudus, Bapak Arlis Ombak Gilo, pada tanggal 20 Maret 2019 pukul 14:56
WIB di Jorong Calau). Pertimbangan tidak memilih nagari tertua pertama, yaitu Nagari Sumpur
Kudus karena Nagari Sumpur Kudus merupakan nagari yang paling maju dari empat nagari
lainnya, khususnya dari segi pendidikan. Hal itu ditakutkan akan menyebabkan ketidakakuratan
data. Apalagi, masyarakat Nagari Sumpur Kudus pada umumnya berprofesi sebagai pegawai
negeri dan wiraswasta yang memungkinkan mereka sering bepergian ke kota.
Perubahan yang dialami oleh ISK menyebabkan terlihatnya perbedaan dan persamaan ISK
dengan protobahasa yang menurunkannya. Perbedaan dan persamaan tersebut bisa dideskripsikan
dengan cara membandingkan bahasa Minangkabau ISK dengan protobahasanya, yaitu protobahasa
Minangkabau (PBM). Perubahan yang terjadi bisa berupa pengurangan, penambahan, atau
pergantian, baik dalam tataran fonologi, leksikal, maupun sintaksis. Namun, pada penelitian ini
difokuskan terhadap perubahan dan pewarisan dalam tataran fonologi, khususnya bunyi dan silabe.
Inovasi bunyi adalah terjadinya perubahan bunyi bahasa yang diteliti dari protobahasanya.
Beberapa jenis perubahan bunyi, menurut Crowley (2010: 23—46), adalah lenisi, penghilangan
bunyi, penambahan bunyi, metatesis, fusi, vocalbreaking, asimilasi, disimilasi, dan perubahan
lainnya. Berikut merupakan beberapa contoh data perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa
Minangkabau ISK.
Tabel 1. Contoh data perubahan bunyi dalam ISK
PBM ISK Glos
*baRu bawu baru
*gaRut gawiɁ garuk
*sәRuŋ sawuɔŋ sarung
*aRum owun harum
Berdasarkan bentuk perubahan bunyi pada contoh data dalam tabel 1 di atas, dapat dilihat
bahwa jika biasanya dalam bahasa Minangkabau umum ditemukan bentuk perubahan bunyi lenisi
(<PBM *R) > r atau (<PBM *R) > h, dalam bahasa Minangkabau ISK ditemukan lenisi (<PBM
*R) > w.
Inovasi silabe ialah terjadinya perubahan terhadap jumlah silabe bahasa turunan dari
protobahasanya. Dalam pengamatan awal, perubahan silabe juga terdapat dalam bahasa
Minangkabau ISK. Berikut merupakan beberapa contoh data inovasi silabe yang terdapat dalam
bahasa Minangkabau ISK
Tabel 2. Contoh data inovasi silabe dalam ISK
PBM ISK Glos
*mano no mana
*j(i,a,e)Rami jami jerami
*sɚRatus satuy seratus
*ba-Rɚnaŋ bonaŋ berenang
Dari contoh pada tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa dalam bahasa Minangkabau ISK
terdapat penghilangan jumlah silabe pada posisi awal dan posisi tengah. Pada posisi awal kata,
terdapat pada contoh data (< PBM *mano) > ISK no. Pada posisi tengah kata terdapat pada contoh
data (<PBM *j(i,a,e)Rami) > ISK jami, (PBM *sɚRatus) > ISK satuy , dan (< *ba-Rɚnaŋ) > ISK
bonaŋ.
Berdasarkan contoh-contoh data tersebut, menarik untuk dikaji tentang inovasi bunyi dan
silabe yang terjadi pada bahasa Minangkabau ISK. Ditambah lagi, berdasarkan pengamatan
peneliti, pada penelitian-penelitian sebelumnya tentang inovasi fonologi, data tentang perubahan
silabe hanya sedikit ditemukan. Dalam pengamatan awal, dibandingkan penelitian sebelumnya,
pada ISK ini lebih banyak terdapat perubahan silabe. Di samping itu, penelitian bahasa yang fokus
terhadap ISK belum pernah dilakukan, sehingga penelitian ini berguna sebagai salah satu upaya
pemertahanan bahasa ISK.
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
Inovasi bisa terjadi dalam segala aspek bahasa, seperti dalam tataran fonologi, leksikal,
maupun sintaksis. Namun, pada penelitian ini difokuskan pada bunyi dan silabe. Hal itu dilakukan
karena berdasarkan pengamatan awal, data tentang perubahan bunyi dan silabe lebih banyak dan
menarik diteliti dalam isolek Sumpur Kudus. Pembatasan masalah juga dilakukan agar penelitian
ini lebih terfokus.
Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
inovasi bunyi dan silabe protobahasa Minangkabau dalam isolek Sumpur Kudus dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1) Apa sajakah bentuk-bentuk inovasi dan jenis perubahan bunyi protobahasa Minangkabau
yang terdapat dalam bahasa Minangkabau isolek Sumpur Kudus?
2) Apa sajakah bentuk-bentuk inovasi silabe protobahasa Minangkabau yang terdapat dalam
bahasa Minangkabau isolek Sumpur Kudus?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan bentuk inovasi bunyi dan jenis perubahan bunyi protobahasa
Minangkabau yang terdapat dalam bahasa Minangkabau isolek Sumpur Kudus.
2) Mendeskripsikan bentuk inovasi silabe protobahasa Minangkabau yang terdapat dalam
bahasa Minangkabau isolek Sumpur Kudus.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut.
1) Manfaat Teoretis
Penelitian ini berguna dalam kajian linguistik, terutama dalam bidang dialektologi
diakronis dan menjadi sumbangan untuk linguistik historis komparatif. Dari penelitian ini, dapat
dilihat bagaimana inovasi bahasa terjadi antara protobahasa dengan bahasa turunannya, khususnya
inovasi bunyi dan silabe PBM yang terjadi dalamISK. Penelitian ini juga sebagai bentuk penerapan
dari teori inovasi bahasa terhadap penurunan bahasa dari bahasa induk ke bahasa turunan yang
bisa menambah pengetahuan dan pemahaman dalam bidang kajian inovasi bunyi dan silabe.
2) Manfaat Praktis
Bagi masyarakat Sumpur Kudus, penelitian ini dapat menjadi suatu referensi yang
memberikan pengetahuan tentang inovasi bahasa yang terjadi terhadap isolek Sumpur Kudus dari
protobahasanya, yaitu protobahasa Minangkabau (PBM). Penelitian ini juga bisa menjadi referensi
bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti isolek Sumpur Kudus ataupun bagi peneliti yang
menerapkan kajian inovasi bahasa, khususnya inovasi bunyi dan silabe. Selain itu, penelitian ini
juga bisa sebagai upaya pelestarian bahasa khususnya terhadap isolek Sumpur Kudus.
1.5 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan, penelitian terhadap isolek Sumpur Kudus secara khusus belum
pernah dilakukan. Namun, penelitian yang melibatkan isolek Sumpur Kudus dengan kajian yang
sama ataupun penelitian yang memakai kajian yang sama dengan objek yang berbeda, sudah
pernah dilakukan. Beberapa penelitian itu antara lain sebagai berikut.
1) Nadra, melakukan penelitian dengan judul “Unsur-Unsur Inovasi dalam Bahasa
Minangkabau”, tahun 1997 dan dituliskan dalam laporan hasil penelitian. Penelitian ini
memiliki 49 titik pengamatan dan salah satu titik pengamatannya adalah Sumpur Kudus.
Penelitian ini difokuskan terhadap inovasi fonologis dan inovasi leksikal yang terjadi
dalam dialek-dialek bahasa Minangkabau, baik inovasi internal maupun inovasi eksternal.
Pengelompokan dialek yang diacu dalam penelitian ini adalah pengelompokan dialek yang
telah dilakukan Nadra tahun 1997. Isolek Sumpur Kudus termasuk ke dalam kelompok
dialek Agam-Tanah Datar (Atd). Dari penelitian ini, didapatkan hasil bahwa berdasarkan
inovasi fonologi, dialek Pk merupakan dialek yang lebih banyak mengandung retensi dan
dialek Atd merupakan dialek yang lebih banyak mengandung inovasi.
2) Nadra, menulis artikel dalam jurnal dengan judul “Perbedaan Realisasi Fonem Protobahasa
Minangkabau dalam Isolek Taratak Air Hitam dan Isolek Minangkabau Umum”, tahun
2007. Penelitian ini menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-down), dengan
melihat realisasi fonem protobahasa Minangkabau (PBM) hasil rekonstruksi Nadra (1997
dan 2006) dalam isolek Taratak Air Hitam (ITAH) dan isolek Minangkabau Umum (IMU).
Dalam penelitian ini,didapatkan hasil bahwa perbedaan realisasi fonologis PBM dalam
ITAH dan IMU ada yang mengalami retensi, inovasi, dan pelesapan. Hal ini menunjukkan
bahwa antara ITAH dan IMU terdapat perbedaan dalam hal realisasi fonem PBM.
Penyebab utama terjadinya perbedaan ini adalah faktor geografis. Apalagi, secara
adminitratif ITAH termasuk ke dalam Provinsi Riau.
3) Riswara, menulis artikel dalam jurnal Bahasa dan Sastra dengan judul “Inovasi Fonologis
Denasalisasi Isolek Bonai Ulakpatian”, tahun 2015. Penelitian ini difokuskan terhadap
proses inovasi fonologis denasalisasi yang terjadi pada fonem-fonem nasal yang berada
pada posisi akhir atau silabe ultima tertutup dalam sebuah isolek yang digunakan oleh suku
Bonai di Desa Ulakpaitan, Kabupaten Rokan Hulu yang didasarkan pada protomalayik
(PM) yang direkonstruksikan oleh Adelaar (1992). Dalam penelitian ini, didapatkan hasil
bahwa isolek Bonai Ulakpatian memiliki tiga bentuk inovasi fonologis denasalisasi pada
posisi akhir beberapa fonem nasal *PM menjadi taknasal pada isolek BU (*PM > BU),
yaitu PM *n/-# > [ţ]/-#, PM *m/-# > [p]/-#, dan PM */-# > [g]/-#.
4) Utami, Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas,
menulis tesis dengan judul “Perubahan Bunyi Bahasa Minangkabau Isolek Bateh Tarok
Kabupaten Pasaman Barat”, tahun 2016. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa ada
beberapa bunyi mengalami pelemahan ataupun pelesapan dan ada juga yang mengalami
penambahan dalam bahasa Minangkabau isolek Bateh Tarok Kabupaten Pasaman Barat.
Pelesapan unsur bahasa yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pelesapan
bunyi atau fonem dan sedikit pelesapan silabe. Jenis pelesapan yang didapatkan ialah
aferesis, apokop, sinkop, dan haplologi. Aferesis terjadi pada */h/, */r/, */ŋ/, dan */m/.
Apokop terjadi pada */ʔ/ dan */r/. Sinkop terjadi pada protofonem */h/, */r/, */d/, dan */n/.
Haplologi terjadi hanya pada leksikon Protobahasa Melayik *halilipan > Protobahasa
Minangkabau *lipan > Isolek Bateh Tarok >lipen dan Protobahasa Minangkabau *ka
(l(I,u,a)(h)luah > Isolek Bateh Tarok koluaŋ. Penambahan bunyi pada Isolek Bateh Tarok
yang terjadi hanya protesis, yakni penambahan bunyi pada posisi awal.
Berdasarkan tinjauan pustaka terlihat bahwa penelitian tetang inovasi bahasa sebelumnya
sudah pernah dilakukan, baik yang melibatkan protobahasa Minangkabau maupun protobahasa
Melayik. Penelitian tentang inovasi Protobahasa Minangkabau telah dilakukan sebelumnya oleh
Nadra (1997), Nadra (2007), dan Utami (2016). Pada penelitian-penelitian tersebut, terdapat
bentuk-bentuk inovasi yang beragam dengan fokus yang berbeda-beda. Penelitian Nadra (1997)
melihat unsur inovasi bahasa secara keseluruhan (fonologis dan leksikal), penelitian Nadra (2007)
memfokuskan terhadap perbedaan realisasi fonem, dan Utami (2016) memfokuskan terhadap
inovasi bunyi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat belum ada penelitian sebelumnya yang
mengambil fokus tentang inovasi bunyi dan inovasi silabe.
1.6 Landasan Teori
Beberapa teori lingustik yang menjadi landasan dalam penelitian ini yaitu linguistik historis
komparatif (LHK), Perubahan bunyi, silabe, inovasi dan retensi, dan protobahasa.
1) Lingusitik Historis Komparatif (LHK)
Keraf (1996: 22) menyebut istilah linguistik historis komparatif dengan linguistik
bandingan historis. Lebih lanjut, Keraf menjelaskan linguistik bandingan historis adalah suatu
cabang ilmu linguistik yang mempersoalkan bahasa dalam kurun waktu tertentu dengan
memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi terhadap bahasa tersebut. Perubahan itu diamati
dengan mempelajari data dari satu bahasa atau lebih (minimal dua periode waktu), kemudian
diperbandingkan secara cermat untuk memperoleh kaidah-kaidah perubahan yang terjadi dalam
bahasa tersebut.
Menurut Schendl (2001: 9), tujuan dan ruang lingkup linguistik historis terbagi menjadi
tiga, yaitu sebagai berikut.
a. Penelitian tentang sejarah bahasa tertentu berdasarkan data tertulis yang sudah ada.
b. Penelitian tentang prasejarah bahasa dengan teori rekonstruksi bahasa, dengan
didasarkan pada bukti data yang sesuai dengan periode setelahnya. Maksudnya adalah
memperbandingkan bahasa yang sekerabat (bahasa yang memiliki banyak kesamaan)
untuk mencari tahu protobahasanya.
c. Penelitian tentang perubahan yang terjadi terhadap bahasa pada masa sekarang.
Adapun tujuan dan kepentingan LHK, menurut Keraf (1996: 23), sebagai berikut.
a. Mempersoalkan bahasa-bahasa yang serumpun dan melakukan perbandingan
mengenai unsur-unsur yang menunjukkan kekerabatannya.
b. Mengadakan rekonstruksi bahasa untuk menemukan bahasa proto yang menurunkan
bahasa-bahasa modern.
c. Menemukan pusat penyebaran bahasa proto dengan memperbandingkan bahasa yang
sekerabat dan menentukan gerak migrasi yang pernah terjadi.
2) Perubahan Bunyi
Crowley (2010: 24) menggolongkan jenis perubahan bunyi sebagai berikut.
a. Lenition ‘Lenisi’
Lenisi adalah terjadinya perubahan bunyi dari bunyi yang kuat menjadi bunyi yang lemah
(Crowley, 2010: 24). Penggolongan bunyi yang kuat dan yang lemah ini ketentuannya sudah
dijelaskan dalam ilmu fonologi. Misalnya, bunyi bersuara dianggap lebih kuat dibandingkan
dengan bunyi tak bersuara, bunyi konsonan lebih kuat dibandingkan dengan bunyi semivokal, dan
bunyi oral lebih kuat dibandingkan dengan bunyi glotal.
b. Sound Loss ‘Penghilangan Bunyi’
Penghilangan bunyi adalah terjadinya penghilangan satu atau lebih bunyi dalam perkembangan
bahasa (Crowley, 2010: 26). Menurut Crowley (27—29) penghilangan bunyi dapat
dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.
(a) Apheresis ‘aferesis’, yaitu penghilangan bunyi pada segmen awal kata (Crowley, 2010:
27). Contoh: “makanan” dalam bahasa Angkamuthi *maji > aji.
(b) Apocope ‘apokop’, yaitu penghilangan bunyi pada segmen akhir kata (Crowley, 2010: 27).
Contoh: “kutu” dalam bahasa Ambrym Tenggara *utu > ut.
(c) Syncope ‘sinkop’, yaitu penghilangan bunyi pada segmen tengah kata (Crowley, 2010: 28).
Contoh: “baru” dalam bahasa Proto-North Sarawak *baqeRu > baqRu.
(d) Cluster reduction, yaitu terjadinya pengurangan konsonan ketika konsonan berdekatan
dalam sebuah kata tanpa dipisahkan huruf vokal (Crowley, 2010: 28—29). Pengurangan
ini lazim terjadi dalam perubahan bahasa tulis ke bahasa lisan. Contoh: *gavanment >
gavament dalam bahasa Ingris.
(e) Haplology ‘haplologi’, yaitu terjadinya penghilangan suku kata tertentu ketika suku kata
itu berdekatan dengan suku kata yang sama atau serupa (Crowley, 2010: 29).
c. Sound Addition ‘Penambahan Bunyi’
Tidak hanya berupa pelemahan atau pengurangan, dalam perubahan bunyi, juga ditemukan
penambahan bunyi. Crowley (2010: 30) mengelompokkan penambahan bunyi sebagai berikut.
(a) Exrescence, yaitujenis penambahan bunyi yang terjadi ketika sebuah konsonan
ditambahkan di antara dua konsonan lain dalam sebuah kata (Crowley, 2010: 30). Contoh:
*ӕ:mtig > ԑmpti (dalam bahasa Ingris), dan *pjara > pkjara (dalam bahasa Cypriot Arab).
(b) Epenthesis ‘epentesis’, digunakan untuk menggambarkan perubahan bunyi vokal yang
ditambahkan pada tengah kata untuk memecahkan dua konsonan di sebuah gugusan
(Crowley, 2010: 31). Contoh: [film] berubah menjadi [filәm].
(c) Prothesis, yaitu perubahan bunyi berupa penambahan di awal kata (Crowley, 2010: 32).
Contoh: [ondu] menjadi [wondu] dalam bahasa Dravidian.
d. Metathesis ‘Metatesis’
Metatesis adalah perubahan bunyi berupa perubahan dalam urutan bunyi (Crowley, 2010:
32). Perubahan bunyi jenis ini termasuk jenis perubahan yang jarang ditemukan. Perubahan jenis
ini bisa dilihat dalam bahasa Ilokano Filipina. Contoh: [tubus] > [subut] “tebusan”.
e. Fusion ‘Fusi’
Fusi adalah perubahan dua bunyi yang terpisah menjadi bunyi tunggal dan membawa unsur
fonetis dari kedua bunyi asal (Crowley, 2010: 33). Contoh: *gwous > bous “sapi” (dalam bahasa
Attic Greek). Proses fusi terjadi dari *gw> b.
f. Fission ‘Fisi’
Fisi adalah perubahan satu bunyi menjadi dua bunyi atau fisi adalah proses fonetis yang
merupakan kebalikan dari fusi (Crowley, 2010: 35). Contoh: [kamjŏ] (dalam bahasa Prancis
‘camion’) > [kamioŋ].
g. Vowel Breaking ‘Pemecahan Vokal’
Pemecahan vokal adalah perubahan bunyi vokal tunggal menjadi sebuah diftong dengan
vokal asli tetap sama dengan beberapa jenis bunyi luncuran (glide) yang ditambahkan sebelum dan
sesudahnya (Crowley, 2010: 36). Contoh: *pale > pial “rumah” (dalam bahasa Kairiru).
Pemecahan vokal yang terjadi dalam contoh ini adalah pemecahan vokal *a > ia.
h. Assimilation ‘Asimilasi’
Asimilasi adalah perubahan bunyi yang terjadi ketika satu bunyi menyebabkan bunyi lain
berubah sehingga dua bunyi menjadi mirip satu sama lain dalam beberapa cara (Crowley, 2010:
37). Maksudnya adalah terjadinya perubahan dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang
hampir sama. Contoh: kata stop dalam bahasa Inggris, [t] pada [stOp’] diasimilasikan dengan [s]
yang mendahuluinya.
i. Dissimilation ‘Disimilasi’
Disimilasi merupakan kebalikan dari asimilasi, yaitu perubahan bunyi dari dua bunyi yang
sama menjadi bunyi yang tidak sama (Crowley, 2010: 44). Contohnya dalam bahasa Indonesia
bisa dilihat dari perubahan kata sarjana, yaitu [sajjana] dalam bahasa Sanskerta berubah menjadi
[sarjana] dalam bahasa Indonesia (Muslich, 2012: 121).
j. Tone Change ‘Perubahan Nada’
Tone Change adalah terjadinya perubahan bunyi berupa perubahan pada nada (Crowley,
2010: 45). Perubahan nada terjadi misalnya karena kelompok bahasa yang satu dengan kelompok
bahasa yang lainnya tidak sama dalam membunyikan vokal ataupun konsonan yang bentuknya
pada dasarnya sama.
k. Unusual Sound Change ‘Perubahan Bunyi yang Tidak Biasa’
Perubahan bunyi yang tidak biasa yang dimaksud Crowley (2010: 46) adalah jenis
perubahan bunyi yang jarang ditemukan atau langka ditemukan atau jenis perubahan bunyi selain
dari yang telah dipaparkan di atas. Keraf (1996: 92) menambahkan jenis perubahan lain
berdasarkan temuannya yaitu diftongisasi dan monoftongisasi. Keraf menjelaskan, diftongisasi
terjadi apabila satu fonem vokal proto berubah menjadi dua fonem vokal. Monoftongisasi terjadi
apabila dua vokal proto berubah menjadi dua vokal tunggal.
3) Silabe
Silabe secara etimologi berarti suku kata. Pemahaman tentang silabe ini oleh para fonetisi
didasari pada dua teori, yaitu teori sonoritas dan teori prominans (Muslich, 2012: 73). Teori
sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur akan
selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang diucapkan yang
ditandai dengan denyutan dada yang menyebabkan paru-paru mendorong udara keluar. Satuan
kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan dada yang menyebabkan udara keluar dari
paru-paru inilah yang disebut dengan satuan silabe atau suku kata. Contoh: [mәndaki] (dalam
bahasa Indonesia) terdiri atas tiga puncak kenyaringan. Masing-masing puncak kenyaringan itu
ialah [ә] pada [mәn], [a] pada [da], dan [i] pada [ki].
4) Inovasi dan Retensi
Perbedaan yang terjadi terhadap bahasa atau dialek induk dengan bahasa atau dialek pada
masa sekarang bisa berupa inovasi ataupun retensi. Inovasi adalah bahasa atau dialek yang diteliti
mengalami perubahan, sedangkan retensi adalah dalam bahasa atau dialek modern yang dipakai
penutur masa sekarang masih mencerminkan unsur-unsur atau bentuk-bentuk bahasa purba (Nadra
dan Reniwati, 2009: 31). Apabila suatu dialek terdapat lebih banyak unsur purba dibandingkan
inovasi disebut dialek purba, sedangkan dialek yang mengandung lebih banyak mengalami inovasi
daripada unsur lama disebut dialek inovatif (Nadra, 2006: 103).
Mahsun membedakan inovasi yang terjadi dalam dialektologi dengan inovasi yang terjadi
dalam LHK. Unsur-unsur berupa inovasi dalam LHK menurut Mahsun (1995: 84—85) tidak harus
merupakan unsur yang sama sekali baru dari yang diturunkan dari protobahasanya, tetapi dapat
juga berupa unsur pewarisan dari bahasa proto yang telah mengalami perubahan sesuai dengan
kaidah perubahan bunyi dalam bahasa turunannya. Unsur-unsur inovasi dalam LHK memiliki ciri-
ciri sebagai berikut (Mahsun, 1995: 85).
a. Unsur inovasi itu merupakan unsur yang sama sekali baru yang tidak memiliki kognat
dalam bahasa lain.
b. Unsur inovasi itu memiliki kesamaan dalam bahasa lain, bukan karena pewarisan etimon
protobahasa (melainkan hasil inovasi internal yang dipinjam oleh bahasa penerima), tetapi
keberadaan unsur itu tidak sesuai dengan sistem (kaidah perubahan bunyi) bahasa
(penerima) dan atau distribusi unsur itu terbatas dibandingkan dengan distribusi dalam
bahasa lain yang diduga sebagai protobahasanya.
c. Unsur inovasi itu memiliki kognat dengan bahasa lain karena pewarisan dari protobahasa
yang sama, namun pola pewarisannya (kaidahnya) memperlihatkan kekhasan, tidak sama
dengan bahasa lain yang juga sama-sama mewarisi etimon itu.
5) Protobahasa
Protobahasa atau bahasa purba merupakan sebuah kajian untuk melihat bahasa-bahasa atau
dialek-dialek yang memiliki hubungan kesejarahan dengan cara merangkaikan sistem bahasa-
bahasa atau dialek-dialek tersebut melalui rumusan kaidah-kaidah secara sederhana (Bynon dalam
Nadra, 2006: 102). Sederhana di sini maksudnya adalah cara menentukan protobahasa bisa
dilakukan dengan cara membandingkan beberapa bahasa atau dialek yang memiliki ciri-ciri
kekerabatan yang dekat. Dari perbandingan itu, akan diketahui bahasa purba atau protobahasa dari
bahasa-bahasa atau dialek-dialek tersebut. Teori yang diterapkan untuk mengkaji ini ialah teori
rekonstruksi bahasa. Dasar dalam menentukan bunyi-bunyi protobahasa yang menurunkan bahasa
yang berkerabat itu ialah melalui korespondensi bunyi.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Metode dan teknik merupakan dua istilah yang berbeda namun saling berhubungan.
Metode adalah cara yang harus dilakukan atau dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara
melakukan atau melaksanakan metode (Sudaryanto, 2015: 9). Sebelum dilakukan pengumpulan
data, diperlukan penetapan populasi dan sampel, agar data penelitian menjadi terfokus.
1) Populasi dan Sampel
Menurut Hanafi (2007: 46), populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin daripada
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari
sifat-sifatnya. Artinya, populasi adalah keseluruhan dari cakupan objek sasaran penelitian.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh inovasi bunyi dan silabe yang terdapat dalam
bahasa tutur masyarakat Sumpur Kudus. Dari sebelas nagari yang ada di Kecamatan Sumpur
Kudus, menurut peneliti, lima nagari di antaranya memenuhi syarat untuk penelitian bahasa. Lima
nagari itu ialah Sumpur Kudus, Sumpur Kudus Selatan, Unggan, Mangganti, dan Silantai.
Lima nagari tersebut relevan untuk penelitian bahasa karena nagari-nagari yang berbatasan
langsung dengan Provinsi Riau ini masih termasuk ke dalam nagari yang terisolasi. Akses jalan
dari pusat kecamatan menuju lima nagari ini hanya ada satu jalan dan harus menempuh hutan
selama lebih kurang satu jam perjalanan. Dapat dikatakan, mobilitas masyarakat kelima nagari ini
masih tergolong sulit dan terbatas. Selain itu, tingkat pendidikan di nagari-nagari ini pada
umumnya tergolong lebih rendah dibandingkan kesebelas nagari lainnya. Kesadaran untuk
bersekolah dari anak maupun dari para orang tua yang mayoritas petani masih sangat kurang.
Masih banyak terdapat kasus anak-anak tamatan sekolah dasar (SD) yang tidak melanjutkan
pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP) ataupun yang putus sekolah ketika SMP. Demi
terfokusnya penelitian ini, dari lima nagari itu, dipilih Sumpur Kudus Selatan sebagai titik
pengamatan (TP). Sumpur Kudus Selatan merupakan nagari dengan daerah tertua kedua setelah
Nagari Sumpur Kudus. Dalam penelitian ini,dipilih Nagari Sumpur Kudus Selatan sebagai titik
pengamatan dibandingkan Nagari Sumpur Kudus karena Nagari Sumpur Kudus dibandingkan
keempat nagari lainnya merupakan nagari yang paling maju dari segi pendidikan dan mobilitas.
Mengingat begitu banyaknya jumlah penutur dan luasnya wilayah bahasa yang akan
diteliti, sumber data dapat ditentukan dengan memilih sebagian dari populasi tersebut. Pemilihan
sebagian dari keseluruhan penutur atau wilayah bahasa yang menjadi objek penelitian sebagai
wakil yang memungkinkan untuk membuat generalisasi terhadap populasi itulah yang disebut
sampel penelitian. Adapun sampel yang dipilih dalam penelitian ini ialah semua inovasi yang
didapatkan dari tuturan yang disampaikan narasumber atau informan berdasarkan daftar
pertanyaan yang diajukan. Daftar pertanyaan yang menjadi acuan dalam penelitian ini ialah daftar
pertanyaan yang disusun oleh Nadra dan Reniwati (2009), dan diambil sebagai sampel sebanyak
327 kata yang telah disesuaikan dengan situasi geografis, asal-usul kata, dan sebagainya. Informan
dalam penelitian ini adalah masyarakat asli Sumpur Kudus Selatan. Penentuan informan
didasarkan pada persyaratan informan dalam penelitian bahasa menurut Nadra dan Reniwati
(2009: 37—40), sebagai berikut:
a. berusia 40—60 tahun
b. berpendidikan tidak terlalu tinggi (maksimum setingkat SMP)
c. berasal dari desa atau daerah penelitian
d. lahir dan dibesarkan serta menikah dengan orang yang berasal dari daerah penelitian
e. memiliki alat ucap yang sempurna dan lengkap
Selanjutnya, metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode dan
teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil
analisis data.
2) Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Tujuan dari sebuah penelitian adalah untuk menjawab masalah yang dirumuskan
berdasarkan objek sasaran penelitian. Objek sasaran penelitian itu ditemukan di dalam data (Nadra
dan Reniwati, 2009: 60). Artinya, data merupakan bahan yang penting dalam sebuah penelitian.
Untuk itu, ketika melakukan penelitian perlu diperhatikan cara pengumpulan data. Cara
pengumpulan data dalam penelitian dikenal dengan istilah metode pengumpulan data. Metode
pengumpulan data adalah suatu proses penguraian tentang bagaimana cara untuk mendapatkan dan
mengumpulkan data yang di dalamnya terdapat objek sasaran penelitian yang berhubungan dengan
penelitian yang akan dilakukan (Nadra dan Reniwati, 2009: 60).
Penelitian ini melibatkan penelitian bahasa lisan atau bahasa tuturan sehari-hari. Untuk itu,
metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode cakap dan
metode simak. Metode cakap adalah terjadinya kontak langsung antara peneliti selaku peneliti dan
penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 2015: 208). Metode cakap diperlukan dalam penelitian
ini untuk melakukan percakapan langsung dengan informan. Teknik dasar menjalankan metode
cakap ialah dengan teknik pancing. Teknik pancing adalah teknik yang digunakan apabila untuk
mendapatkan data, peneliti menggunakan cara memancing seseorang atau beberapa orang agar
berbicara (Sudaryanto, 2015: 209). Teknik pancing dalam penelitian ini digunakan untuk
memancing informan bertutur guna mendapatkan data. Teknik lanjutan yang digunakan dalam
penelitian ini ialah teknik cakap semuka, yaitu kegiatan memancing tuturan itu dilakukan dengan
percakapan langsung (lisan) dan bertatap muka (Sudaryanto, 2015: 209). Kemudian, teknik
pendukung yang digunakan adalah teknik catat dan teknik rekam.
Metode simak adalah metode pengumpulan data dengan menyimak, yaitu menyimak
penggunaan bahasa (Sudaryanto, 2015: 203). Metode simak diperlukan dalam penelitian ini untuk
menyimak tuturan informan. Teknik dasar metode ini ialah teknik sadap. Penerapan teknik sadap
adalah dengan menyimak informan yang diwujudkan dengan penyadapan (Sudaryanto, 2015:
203). Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik simak libat cakap dan
teknik simak bebas libat cakap. Penerapan teknik simak libat cakap ialah penyadapan dilakukan
dengan berpartisipasi sambil menyimak pembicaraan guna mendapatkan data (Sudaryanto, 2015:
203). Artinya, dalam pencarian data, peneliti terlibat langsung melakukan percakapan dengan
informan dan melakukan penyadapan sambil menyimak pembicaraan informan. Arah pembicaraan
berpedoman kepada daftar pertanyaan yang telah disediakan, yaitu daftar pertanyaan yang disusun
oleh Nadra dan Reniwati (2009). Penerapan untuk teknik simak bebas libat cakap ialah peneliti
mendengarkan penggunaan isolek Sumpur Kudus tanpa terlibat langsung dalam pertuturan.
Peneliti menyimak tuturan isolek Sumpur Kudus pada saat satu orang atau beberapa orang
masyarakat asli Sumpur Kudus sedang bertutur, seperti di warung-warung ataupun di tempat
keramaian. Kemudian, teknik pendukung yang digunakan yaitu teknik catat.
Adapun metode wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua. Pertama, peneliti
melakukan wawancara dengan tiga orang informan berdasarkan kepada daftar pertanyaan. Kedua,
peneliti melakukan wawancara dengan tokoh adat di daerah penelitian untuk menanyakan bahasa
asli isolek Sumpur Kudus.
3) Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya diadakan penganalisisan data. Dalam penelitian ini,
data yang sudah terkumpul dipilah. Kemudian, dilakukan perbandingan dengan data hasil
rekonstruksi protobahasa Minangkabau Nadra (2006) guna mencari inovasi dan retensinya. Untuk
itu, metode analisis data yang relevan digunakan untuk penelitian ini ialah metode padan. Alat
penentu dari metode padan berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang
bersangkutan (Sudaryanto, 2015: 15).
Sudaryanto (2015: 35) membedakan metode padan menjadi lima jenis berdasarkan alat
penentunya. Jika alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk atau diacu oleh bahasa atau
referen bahasa, disebut metode padan referensial. Jika alat penentunya adalah organ pembentuk
bahasa atau organ wicara, disebut metode padan fonetis artikulatoris. Jika alat penentunya adalah
bahasa lain atau bahasa asing, disebut metode padan translasional. Jika alat penentunya perekam
dan pengawet bahasa, disebut metode padan ortografis. Jika alat penentunya adalah orang yang
menjadi mitra-wicara, disebut metode padan pragmatis. Dalam penelitian ini, metode padan yang
relevan adalah metode padan fonetis artikulatoris. Metode padan fonetis artikulatoris digunakan
untuk menganalisis unsur-unsur bunyi dan silabe berhubungan dengan bunyi yang keluar dari alat
wicara penutur.
Teknik dasar analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur
penentu (PUP), dengan teknik lanjutan menggunakan teknik hubung banding menyamakan (HBS).
Teknik ini diperlukan untuk memilah unsur-unsur yang sama dan mengelompokkannya.
Pengelompokan itu berguna untuk memaparkan bunyi-bunyi atau silabe-silabe yang mengalami
inovasi dari protobahasa Minangkabau.
Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah penerapan metode dan teknik analisis data pada
penelitian ini ialah sebagai berikut.
a. Data ISK yang telah terkumpul, dipilah untuk menentukan unsur-unsur yang kognat
dengan PBM, kemudian dilakukan pengklasifikasian data.
b. Unsur ISK yang berkognat dibandingkan dengan PBM dengan cara membandingkan
bentuk protobahasa hasil rekonstruksi Nadra (2006) dengan protobahasa ISK. Kegiatan
membandingkan itu bertujuan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari PBM
ke ISK sehingga bisa ditentukan bentuk perubahan bunyi dan silabe yang terjadi.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dari atas ke
bawah (top down). Penerapan pendekatan ini ialah untuk mencari cerminan atau refleks dari
protobahasa pada bahasa turunannya, yaitu untuk mencari cerminan atau refleks dari PMB pada
ISK. Bahan yang digunakan untuk melihat unsur-unsur tersebut ialah hasil rekonstruksi PBM yang
dibuat oleh Nadra (2006).
4) Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data terbagi menjadi dua macam, yaitu bersifat informal
dan formal. Penyajian yang bersifat informal adalah penyajian dengan menggunakan kata-kata
biasa,sedangkan penyajian bersifat formal adalah penyajian dengan menggunakan tanda dan
lambang-lambang (Sudaryanto, 2015: 241). Penyajian informal dalam penelitian ini berguna
dalam mendeskripsikan hasil analisis data. Selain itu, penyajian formal juga diperlukan pada
bagian-bagian tertentu, seperti dalam memaparkan bentuk-bentuk inovasi yang terjadi dalam
bahasa Minangkabau isolek Sumpur Kudus. Tanda dan lambang yang digunakan dalam penyajian
hasil analisis penelitian ini yaitu tanda asterisk (*) untuk menandai hasil rekonstruksi PBM, tanda
kurung siku ([…]) untuk menunjukkan di dalamnya adalah satuan fonetis, tanda besar dari (>)
menyatakan perubahan dari kiri ke kanan, tanda kecil dari (<) menyatakan berasal dari, tanda #
menyatakan batas kata, dan lambang IPA (International Phonetic Assosation).
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri atas empat bab, yaitu: bab I berisi pendahuluan
yang terdiri atas latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika
kepenulisan; bab II berisi deskripsi wilayah penelitian dan situasi kebahasaan; bab III berisi
analisis data dan hasil penelitian; dan bab IV berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.