bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/42141/2/bab i.pdfketerangan tersangka dan atau...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwasanya Negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (matctsstaat), mempunyai arti bahwa
negara, termasuk di dalamnya perangkat pemerintah serta lembaga-lembaga
negara yang ada dalam pelaksanaan segala tindakan harus dilandasi oleh hukum
atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Hukum memiliki tujuan dalam rangka pencapaian suatu keadaan yang
damai dalam masyarakat, yaitu adanya tingkat keserasian tertentu antara
ketertiban dan ketentuan (peraturan), dengan demikian tujuan pokok penerapan
hukum adalah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib sesuai kaidah-
kaidah hukum itu sendiri serta untuk memberikan perlindungan atas hak-hak
individu dalam kehidupan masyarakat suatu Negara.1
Polisi Republik Indonesia (POLRI) merupakan satu-satunya instansi yang
diberikan wewenang dan tanggungjawab oleh Undang-Undang pada setiap
anggota POLRI secara individu dengan tidak membedakan pangkat dan jabatan
1 Susilo Prajogo, 2005. ”Pengantar Hukum Pidana”,Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm 115.
1
diberi kewenangan penuh untuk menegakkan hukum sebagai upaya pencegahan
sampai dengan penindakan hukum terhadap segala tindak pidana kejahatan.
Sebagai satu kesatuan dalam kebijakan kriminal dan pada hakekatnya merupakan
bagian integral dari kebijakan sosial dengan tujuan utama memberikan
perlindungan kepada masyarakat guna mencapai kesejahteraan bersama.2
Kerap kita lihat bahwa dalam proses penyidikan di kepolisian seringkali
tersangka atau terdakwa mendapatkan tindakan kekerasan dari pihak kepolisian
entah itu pemukulan, tendangan dan lain sebagainya yang menyebabkan
tersangka atau terdakwa tersebut mendapatkan luka fisik yang serius.
Hak-hak seorang tersangka atau terdakwa sebenarnya sudah cukup
diatur dan mendapat perlindungan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan bahwa guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut
tatacara yang ditentukan dalam undang-undang.3
Bahkan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mewajiban
kepada penyidik untuk memberitahukan kepada terdakwa tentang haknya untuk
2 Sadjijono, 2009. Mengenal Hukum Kepolisian. Jakarta. Bakti Pustaka. Hlm 84
3 Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2
mendapat bantuan hukum. Artinya, seorang penyidik wajib menghadirikan
seorang penasehat hukum bagi terdakwa, dalam hal seseorang disangka
melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik,
seperti yang ditulis di pasal 114 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).4
Penasehat hukum terdakwa sendiri mempunyai kewenangan dan
tanggungjawab untuk mendapingi kliennya dalam setiap pemeriksaan yang
disangkakan kepada terdakwa. Pasal 115 (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa dalam hal penyidik sedang
melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasehat hukum dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar permeriksaan.5
Sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
pasal 52 yang menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan
dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau hakim. Itu dipertegas kembali lewat pasal 117 (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatakan bahwa
4 Pasal 114 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
5 Pasal 115 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3
keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan
dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun.6
Setiap penyiksaan dan tindakan atau hukuman yang kejam, tak manusiawi,
atau merendahkan martabat manusia merupakan pelanggaran HAM. Mereka
yang dinyatakan sebagai tersangka pelaku tindak kejahatan juga dapat menjadi
korban pelanggaran HAM.
Seperti berita yang di muat di salah satu website yaitu
www.beritagar.id tentang kekerasan yang di lakukan polisi dalam penyidikan
yang mengakibatkan meninggalnya seorang tersangka. Redaksi Beritagar 18:06
WIB Rabu, 13 April 2016. Komisi Nasional Hak Asai Manusia (Komnas
HAM), menyimpulkan penyebab kematian Siyono, terduga teroris yang
ditangkap Densus 88, karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke
jaringan jantung. Kesimpulan tersebut didasari hasil autopsi yang dilakukan oleh
Ikatan Dokter Forensik Indonesia bersama Tim Dokter Forensik Muhammadiyah.
Pengurus Pusat Muhammadiyah, memutuskan melakukan visum terhadap
jenazah Siyono, setelah mendapat permintaan dari istri Siyono, Suratmi. Hasil
autopsi yang diumumkan (11/4/2016), antara lain menyebut jenazah mengalami
patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan. Tulang dada patah
akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung. Ada luka di
kepala, serta memar pada bagian tubuh belakang. Selain itu tidak ditemukan luka
6 Pasal 52 dan 117 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4
defensif, seperti menangkis misalnya. Hasil autopsi ini, berbeda dengan hasil
visum yang dilakukan oleh polisi. Sebelumnya Kepala Pusat Kedokteran dan
Kesehatan Polri Brigadir Jenderal Arthur Tampi, menjelaskan dugaan penyebab
kematian Siyono, karena kelelahan dan lemas setelah berkelahi dengan anggota
Densus 88 yang mengawalnya. Meski pun dalam visum tersebut juga ditemukan
pendarahan di rongga kepala bagian belakang. Siyono ditangkap Densus 88 di
rumahnya di Dusun Pogung, Desa Brengkungan, Kecamatan Cawas, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah, 8 Maret 2016. Ini adalah hasil pengembangan setelah polisi
menangkap terduga teroris lainnya. Siyono, menurut Kapolri Jenderal Badrodin
Haiti, anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang bertanggung jawab untuk
penyimpanan senjata. Kepala Divisi Hubungan masyarakat Polri, Irjen Pol Anton
Charliyan, menjelaskan, Siyono diminta menunjukkan tempat terduga teroris lain
dan tempat penympanan senjata. Ia didampingi satu anggota Densus 88 dan
seorang sopir, dalam kondisi mata ditutup dan tangan diborgol. Mendekati lokasi
yang dimaksud, tersangka meminta penutup kepala dan borgolnya dibuka.
Setelah penutup mata dan borgolnya dibuka, Siyono langsung menyerang dengan
memukul anggota Densus yang mengawalnya. Terjadi perkelahian, saling pukul.
Akhirnya, Siyono lemas dan pingsan ketika anggota Densus membenturkan
kepala Siyono ke badan mobil. Masyarakat memang tidak dalam kapasitas
menguji kebenaran kronologi kejadian yang disampaikan polisi, juga
membandingkan hasil autopsi dengan hasil visum. Namun masyarakat bisa
menyimpulkan adanya kekerasan dalam kasus ini. Polisi menyebutnya sebagai
5
perkelahian. Sedang Komnas HAM bilang, kekerasan dilakukan saat Siyono
bersandar, maksudnya tertidur di lantai atau berdiri menempel tembok. Yang
pasti, kekerasan itulah yang menjadi penyebab kematian seorang terduga tindak
pidana. Pertanyaan berikutnya, apakah ada kesalahan prosedur, sehingga terjadi
kekerasan ?
Polisi memang mengakui ada kesalahan prosedur dalam pengawalan
tersangka. Seharusnya minimal ada dua pengawal. Karenanya polisi menjanjikan
ada sidang etik terhadap pengawal Siyono.
Dalam kasus ini, sesungguhnya yang menjadi masalah besar bukan
hanya persoalan kesalahan prosedur. Kekerasan yang dilakukan, apa lagi sampai
menimbulkan kematian, lebih serius.
Ini termasuk melanggar KUHAP dan HAM. Hukum acara pidana jelas
mengharamkan tindak kekerasan dalam proses penyidikan terhadap seorang
tersangka, tak terkecuali tersangka teroris.
Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi
Himpunan Petunjuk Pelaksana dan Petunjuk Teknis Proses Penyidikan Tindak
Pidana, juga melarang hal yang sama. "Pada waktu dilakukan pemeriksaan,
dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apa pun."
6
Kekerasan dalam proses penyidikan oleh polisi, tak hanya sekali ini
saja disoal masyarakat maupun lembaga seperti Komnas HAM. Dalam
catatan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan), selama
2014-2015 terdapat 554 rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat Polri.
Adapun tindakan paling dominan adalah penembakan sewenang-
wenang (272 peristiwa). Korbannya pun cukup banyak, 299 meninggal.
Penyiksaan juga cukup menonjol, 84 kasus.
Masih tingginya angka tindak kekerasan yang dilakukan polisi dalam
menjalankan fungsinya, tentu menjadi hal yang sangat menyedihkan. Karena ini
berhubungan langsung dengan profesionalitas anggota Polri sebagai aparat
penegak hukum.
Kasus kematian Siyono misalnya. Bisa dipastikan akan menutup pintu
informasi yang dimiliki Siyono tentang jaringan terorisme di Indonesia. Padahal,
informasi dari Siyono sangat penting. Mengingat info awal yang dihimpun polisi
menyebutkan posisi strategis Siyono. Dia adalah salah satu panglima JI, yang
bertanggung jawab dalam penyimpanan senjata. Dia juga komandan rekrutmen
anggota baru.
7
Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain menghentikan kekerasan
dalam penyidikan. Kekerasan tidak hanya menunjukkan tingkat profesionalitas
yang rendah, tapi juga berlawanan dengan semangat polisi yang selalu diucapkan
Kapolri. Yaitu menciptakan citra polisi yang ramah dan bersahabat dengan
masyarakat.
Hal ini ada kaitannya dengan apa yang terjadi di Polres Kabupaten
Tanah Bumbu, seperti keterangan pada saat penulis melakukan wawancara
terhadap salah satu tersangka yang ada disana, mereka mengatakan bahwasanya
mereka mengalami penyiksaan selama dalam proses penyidikan ataupun dalam
pembuatan Berita Acara Penyidikan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana
mengawasi jaminan untuk tidak disiksa oleh petugas dalam masa penyidikan
dalam prakteknya.
Berita yang muncul sering hanya mempunyai nilai berita tinggi dan
menjadi isu besar. Lalu bagaimana dengan kasus-kasus "kecil" lain di berbagai
pelosok nusantara? Siapa yang bisa menjamin bahwa mereka para tersangka di
Polsek-Polsek nun jauh di sana, tidak mengalami siksaan selama dalam
pemeriksaan.
Kepolisian kini dituntut untuk lebih profesional dalam menjalankan
tugasnya. Mereka harus meninggalkan perasaan bahwa mereka pernah menjadi
bagian dari militer. Mereka harus memahami prinsip dan nilai-nilai hak asasi
8
manusia (HAM) dengan terus mengkaji dan membekali setiap personel polisi
dengan pengetahuan dan pemahaman HAM yang memadai sesuai dengan standar
internasional.
Polisi harus menyadari bahwa yang menentukan bersalah atau tidak
seorang tersangka/terdakwa adalah hakim. Selain itu, yang juga perlu mendapat
perhatian adalah sikap dari kalangan hakim. Masih banyak hakim yang "tidak
berminat" untuk berani membatalkan BAP yang dibuat dengan cara-cara
kekerasan.
Kenyataan ini semakin membuat kesan bahwa cara-cara kekerasan
dalam penyidikan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan diamini banyak
pihak. Bahkan, dianggap sebagai suatu kewajaran kalau tidak mau dibilang sudah
menjadi suatu keharusan.
Dengan niat semula untuk mengusut suatu kasus dengan baik dan
cepat sehingga mendapat pujian dari masyarakat, justru menimbulkan
ketidakyakinan dari masyarakat. Suatu kasus itu tuntas diusut sesuai dengan
prosedur atau melalui cara-cara penyiksaan atas tersangka, sehingga orang yang
tak bersalah justru yang dihukum. Pemeriksaan tidak harus melalui jalan
kekerasan.
9
Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis proses penyidikan dengan
prosedur dan menjalankan semua aturan yang ada di undang-undang itu sangat
penting, tidak dengan cara-cara kekerasan seperti pemukulan, penendangan atau
hal-hal lain yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang karena itu sifatnya
mencederai hukum dan sangat tidak diperkenankan. Seperti halnya isu-isu yang
beredar di kalangan masyarakat bahwa ada tindakan yang menyalahi aturan
dalam proses penyidikan di Polres Kabupaten Tanah Bumbu. Bahwa dalam
proses penyidikan yang terjadi di Polres Kabupaten Tanah Bumbu masih adanya
tindakan kekerasan yang di lakukan oleh penyidik, tindakan kekerasan tersebut
berupa pemukulan, tendangan dan lain sebagainya yang menimbulkan luka yang
serius bagi tersangka, tindakan-tindakan seperti itu sangat tidak dibenarkan oleh
undang-undang. Dari latar belakang tersebut sehingga dengan demikian penulis
tertarik untuk meneliti dan menganalisa tentang PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP HAK TERSANGKA DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN
SECARA BEBAS TANPA ADANYA TEKANAN DARI SIAPA PUN DAN
ATAU DALAM BENTUK APA PUN DALAM PROSES PENYIDIKAN di
Polres Kabupaten Tanah Bumbu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak tersangka dalam memberikan
keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan dari siapa pun dan atau dalam
10
bentuk apa pun dalam proses penyidikan yang terjadi di Polres Kabupaten
Tanah Bumbu ?
2. Faktor apa yang menyebabkan perlindungan hukum terhadap hak tersangka
dalam memberikan keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan dari siapa
pun dan atau dalam bentuk apa pun dalam proses penyidikan yang terjadi di
Polres Kabupaten Tanah Bumbu belum berjalan dengan baik ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap tersangka ketika hak
tersangka memberikan keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan dari
siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun dalam proses penyidikan yang
terjadi di Polres Kabupaten Tanah Bumbu.
2. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan perlindungan hukum
terhadap tersangka ketika hak tersangka memberikan keterangan secara
bebas tanpa adanya tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun
dalam proses penyidikan di Polres Kabupaten Tanah Bumbu belum berjalan
dengan baik.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis didalam penulisan penelitian
hukum ini baik secara teoritis maupun secara praktis yakni :
1. Manfaat Teoritis
11
Dari penulisan penelitian hukum ini diharapan akan membantu dalam
pengembangan dan menambah wawasan terutama dalam hal penyidikan bagi
pihak kepolisisan.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih
pemikiran bagi mahasiswa serta masyarakat dan menjadi refrensi terhadap
penyidikan bagi pihak kepolisian.
E. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis sebagai upaya
pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan sebagai syarat untuk memenuhi
predikat lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 Hukum.
2. Bagi Instansi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada badan instansi
yang terkait khususnya Polres Kabupaten Tanah Bumbu.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat terkait
dengan penyidikan bagi pihak kepolisian.
F. METODE PENELITIAN
12
1. Metode Pendekatan
Pendekatan adalah persoalan yang berhubungan dengan cara seseorang
meninjau dan dengan cara bagaimana dia menghampiri persoalan tersebut
sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya.7 Dalam penulisan ini penulis
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis
adalah jenis penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya
hukum di dalam masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat
dikaji dari tingkat efektivitasnya hukum, kepatuhan terhadap hukum, peranan
lembaga atau institusi hukum di dalam penegakan hukum, implementasi
aturan hukum, pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau
sebaliknya, pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum.8 Dalam hal ini
penulis ingin mengetahui sejauh mana perlindungan hukum terhadap
tersangka dalam proses penyidikan di Polres Kabupaten Tanah Bumbu.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi
Kalimantan Selatan dan instansi terkait yang berhubungan dengan
7 Bahder Johan Nasution, 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung. Mandar Maju. Hlm. 127
8 Salim,Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 20
13
penyidikan. Lokasi tersebut dipilih dikarenakan lokasi penelitian merupakan
asli daerah peneliti.
3. Sumber Data
Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan beberapa bahan
hukum sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
penelitian baik berupa wawancara langsung dengan responden serta
berupa dokumen lainnya yang diperoleh dari instansi terkait.
b. Sumber Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil
penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan
perundang-undangan.9
c. Sumber Data Tersier
Data Tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai data primer
atau data sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat
kabar, dan sebagainya.10
4. Teknik Pengumpulan Data
9 Zainuddin Ali, 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 106
10 Ibid, Hlm. 106
14
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Wawancara
Teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab
langsung kepada responden dengan menggunakan wawancara terstruktur
yang disiapkan oleh penulis. Yang menjadi Responden dalam penelitian
ini adalah :
Responden dari Polres Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan
Selatan yang merupakan populasi sekaligus sampel yang dipilih dengan
metode Purposive Sampling karena responden tersebut mengetahui dan
menjalankan proses penyidikan.
b. Dokumentasi
Suatu metode dimana penulis akan mengumpulkan data dengan
cara membaca, mempelajari dokumen dan arsip maupun catatan penting
lainnya yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti.
c. Studi Kepustakaan
Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku,
dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.11
5. Teknik Analisa Data
11 Zainuddin Ali, Op.cit, Hlm. 107
15
Seluruh data yang terkumpul dianalisa menggunakan analisa
Deskriptif Kualitatif, diawali dengan mengelompokkan data dan informasi
yang sama menurut subaspek dan selanjutnya melakukan interpretasi untuk
memberi makna terhadap tiap subaspek dan hubungannya satu sama lain.
Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau interprestasi keseluruhan aspek
untuk memahami makna hubungan antara aspek yang satu dengan lainnya
dan dengan keseluruhan aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian
yang dilakukan secara induktif sehingga memberikan gambaran hasil secara
utuh.12
G. SISTEMATIKA PENELITIAN
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini penulis menyajikann teori-teori maupun kaidah yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan maupun literature
yang akan digunakan untuk mendukung analisa yang akan dilakukan
pada penelitian yaitu terkait dengan perlindungan hukum terhadap
12 Bahder Johan Nasution, Op.cit, Hlm. 174
16
tersangka dalam proses penyidikan di Polres Kabupaten Tanah
Bumbu.
BAB III: PENELITIAN
Pembahasan berisi uraian dan pemaparan data-data hasil dari
penelitian yang didapat dari teknik pengumpulan data dengan tujuan
untuk mendukung analisa penulis terkait dengan perlindungan hukum
terhadap tersangka dalam proses penyidikan di Polres Kabupaten
Tanah Bumbu.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian serta
saran-saran yang perlu disampaikan terkait dengan permasalahan
yang telah diteliti.
17
18