bab 2 perompak somalia di teluk aden 2.1 awal mula ... 2 revisi... · world bank pada tahun 2002...
TRANSCRIPT
22
BAB 2
PEROMPAK SOMALIA DI TELUK ADEN
2.1 Awal Mula Perompak Somalia di Teluk Aden
Munculnya masalah perompakan di Somalia dapat dilihat sebagai akibat dari
tidak adanya pemerintahan yang efektif dan keadaan ekonomi Somalia yang
mendorong para penduduknya untuk menjadi perompak sebagai jalan untuk
memperoleh pendapatan (Stoffer, 2013). Menurut Lucas (2013) terdapat tiga fase
perkembangan munculnya perompak Somalia. Fase pertama dimulai dari jatuhnya
rezim Siad Mohamed Barre pada tahun 1991. Semenjak kejadian tersebut terjadi
kekosongan kekuasaan di Somalia yang mengakibatkan negara tidak mampu dalam
menegakkan hukum. Akibatnya banyak konflik sipil yang bermunculan untuk
memperebutkan kekuasaan saat itu.
Konflik sipil yang yang terjadi selama bertahun-tahun kemudian
menghancurkan sistem administrasi negara secara keseluruhan dan menyebabkan
Somalia pecah menjadi beberapa negara bagian baru. Pada tahun 1991, wilayah yang
dahulu bernama British Somaliland Protectorate mendeklarasikan dirinya menjadi
wilayah yang merdeka semi otonom yang kini dikenal dengan nama Somaliland.
Kemudian, kelompok lain di wilayah bagian timur laut Somalia pun ikut
mendeklarasikan diri menjadi sebuah wilayah yang merdeka yang bernama Puntland.
23
Adapun wilayah selatan dan tengah dari Somalia masih mengalami konflik senjata
antar klan dan pengikutnya.
Situasi ini menyebabkan sulitnya untuk membangun sebuah pemerintahan
administratif yang efektif di negara Somalia. Kondisi tersebut juga berpengaruh
terhadap kurangnya kontrol negara dalam pengawasan keamanan di wilayah perairan
Somalia yang akhirnya menjadi salah satu penyebab banyaknya kapal asing
penangkap ikan yang beroperasi di wilayah perairan Somalia. Seperti diketahui,
wilayah perairan Somalia terkenal memiliki komoditi laut yang yang berharga seperti
lobster, tuna, dan ikan hiu (High Seas Task Force, 2009)
Ocean Training and Promotion mencatat sekitar 200 kapal asing melakukan
kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Somalia antara tahun
1991 dan 1999. Kapal-kapal asing penangkap ikan ini pun kemudian menguasai
wilayah perairan Somalia dan sumber daya lautnya sepanjang 3.300 km.
Diperkirakan sekitar $4.000 sampai dengan $9.000 diperoleh dari kegiatan ilegal ini
(Joana, 2009:10). Aktivitas ilegal yang terus menerus dilakukan oleh kapal-kapal
asing ini pun pada akhirnya berdampak buruk bagi perekonomian penduduk di
wilayah tepi pantai Somalia yang sebagian besar menjadi nelayan
Selain melakukan penangkapan ikan secara ilegal, kapal-kapal asing juga
membuang limbah beracun di wilayah perairan Somalia (Joana, 2009:10). Praktik ini
diduga telah berlangsung sejak pecahnya perang sipil di Somalia pada tahun 1991
namun baru terbukti setelah bencana tsunami pada tahun 2004 yang menyapu ribuan
24
kontainer dan tong-tong yang berisi limbah (UNEP, 2006). Murahnya biaya yang
harus dikeluarkan oleh negara-negara Eropa untuk membuang limbah di Somalia
menjadi alasan utama. Hanya diperlukan biaya sekitar $2,5 per ton untuk membuang
limbah di wilayah perairan Somalia dibandingkan dengan biaya yang harus
dikeluarkan jika ingin membuang limbah tersebut secara aman di Eropa yang
mencapai $ 250 per ton.
Pembuangan limbah ilegal tersebut menyebabkan rusaknya biota laut dan
berdampak buruk pada perekonomian nelayan di wilayah pesisir Somalia. Beberapa
nelayan Somalia pun kemudian memilih untuk beraksi menjadi penjaga pantai. Aksi
ini dilakukan untuk melindungi dan memperoleh kembali wilayah mereka dalam
memanfaatkan sumber daya laut. Namun aksi para nelayan ini kemudian berkembang
menjadi aksi perompakan dengan mulai menyerang dan menyergap kapal penangkap
ikan asing serta menahan para kru kapal tersebut (Murphy dalam Edward R. Lucas
2013:58).
Kasus pertama yang terjadi adalah pembajakan kapal Bonsella oleh 26
perompak Somalia ketika sedang transit menuju utara Somalia pada tahun 1994. Saat
itu para perompak mengklaim bahwa mereka adalah “Somalia Coast Guard” dan
menguasai kapal Bonsella selama lima hari. Dalam rentang waktu tersebut para
perompak berusaha menggunakan kapal tersebut untuk membajak kapal lainnya
(Hansen, 2009:11). Meskipun pada akhirnya para perompak tersebut gagal dan
25
menyerah, kapal Bonsella pun dibebaskan setelah para perompak berhasil mencuri isi
kapal Bonsella.
Fase kedua perompak Somalia kemudian ditandai dengan semakin
berkembang dan meningkatnya aksi perompakan yang terjadi di wilayah Teluk Aden.
Setelah aksi perompakan pada tahun 1994, para perompak Somalia yang mulanya
hanya kumpulan nelayan pun semakin berkembang menjadi kelompok perompak
yang semakin terorganisir (Lucas, 2013:57). Adanya peluang untuk mendapatkan
penghasilan menyebabkan semakin berkembangnya aksi perompakan di Somalia. Hal
ini tidak lepas dari buruknya kondisi perekonomian Somalia. Berdasarkan data dari
World Bank pada tahun 2002 menyebutkan bahwa Somalia merupakan salah satu
negara miskin di dunia dengan pendapatan perkapita hanya $226 per tahun.
Diperkirakan sekitar 43% dari 9 juta penduduk Somalia hidup di bawah garis
kemiskinan dengan pendapatan mereka berada dibawah $1 per hari (African
Development Bank, 2010).
Lokasi Somalia yang sangat strategis juga menarik para perompak untuk
melakukan aksinya. Terletak di Afrika timur, Somalia memiliki luas wilayah 638.000
kilometer persegi dan memiliki garis pantai sepanjang 3.300 kilometer yang
berbatasan langsung dengan Teluk Aden di sebelah utara dan Samudra Hindia di
sebelah timur (Central Inteligent Agency, 2015). Wilayah perairan di sekitar Somalia
pun menjadi salah satu jalur perdagangan internasional yang menjadi pintu utama
sebelum memasuki Terusan Suez. Sehingga banyak kapal-kapal dagang dari Asia
26
menuju Eropa dan kapal pengangkut minyak dari Timur yang melewati Somalia dan
wilayah Teluk Aden.
Gambar 2.1 Peta wilayah Somalia
Sumber: University of Texas Libraries
Melihat kesempatan tersebut, para perompak Somalia pun mulai menjadikan
kapal-kapal dagang dan kapal tangker pengangkut minyak maupun gas sebagai target
utama untuk mendapatkan uang tebusan. Pada 10 April 2005 kapal tanker pengangkut
gas petrolium MV Feisty Gas berbendera Hongkong berhasil dibajak dan ditahan
oleh para perompak Somalia. Akhirnya setelah membayar uang tebusan sebesar
27
$315.000 kepada perwakilan perompak Somalia di Mombasa, Kenya, kapal tanker
tersebut berhasil dibebaskan (World Public Library Report, 2015).
Fase ketiga berkembangnya perompak Somalia pun dimulai ketika aksi
perompak Somalia mulai menjadi sorotan negara-negara di dunia. Hal ini disebabkan
ketika pada 25 September 2008, perompak Somalia berhasil membajak dan menahan
kapal MV Faina beserta para kru kapal. MV Faina yang berlayar menuju Mombasa
mengangkut perlengkapan militer. Aksi perompak Somalia yang berhasil menawan
MV Faina pun selanjutnya menyebabkan perompak Somalia mendapat perhatian dan
reaksi dari negara-negara di dunia. Hal ini disebabkan kekhawatiran akan jatuhnya
senjata militer tersebut ke tangan militan Islam Al Shabaab yang merupakan salah
satu gerakan teroris di Somalia (Lucas, 2013: 61). Namun setelah 5 bulan ditawan
oleh para perompak, kapal MV Faina beserta kru kapal pun akhirnya dibebaskan
setelah pemilik kapal membayar uang tebusan sebesar $3,2 juta (BBC, 2009).
Besarnya penghasilan yang diperoleh dari uang tebusan hasil membajak kapal
tersebut menjadikan aksi perompak Somalia meningkat tajam pada tahun 2008
(International Maritime Bureau Report, 2011). Yang mana dalam sekali melakukan
aksinya para perompak Somalia diperkirakan memperoleh pendapatan sampai dengan
$10 ribu (Middleton, 2008). Sedangkan dalam setahun para perompak Somalia
berhasil memperoleh uang tebusan mencapai $30 juta (U.S. National Security
Council, 2008). Uang tebusan ini kemudian dihabiskan untuk membeli barang-barang
mewah dan membeli senjata, kapal, serta perlengkapan lainnya untuk melakukan aksi
28
perompakan selanjutnya. Hal ini pada gilirannya kemudian membantu para perompak
Somalia ke tingkat keberhasilan yang lebih besar ketika menjalankan aksi
perompakan (Lucas, 2013: 61). Selain itu, besarnya penghasilan dari uang tebusan
yang diperoleh menyebabkan perompakan pun menjadi lahan bisnis yang
menjanjikan dan berkembang pesat di Somalia terutama di wilayah Puntland dekat
dengan Teluk Aden (Stoffer, 2013).
2.2 Kelompok Perompak Somalia
Kelompok perompak Somalia kebanyakan beroperasi dari wilayah pesisir
timur laut Puntland dan wilayah selatan Somalia (Lang 2011 dalam Stoffers 2013).
Pusat markas pelabuhan mereka berada di Harardheere, Hobyo, Garad, dan Eyl.
Lemahnya institusi pemerintahan Puntland menyebabkan banyak perompak berasal
dari wilayah tersebut. Banyak pegawai pemerintah yang korupsi dan ikut terlibat
secara tidak langsung dalam aksi perompakan (Menkhaus dan Dua, 2012).
Pemerintah Puntland juga menerima uang suap dari hasil perompakan yang
menyebabkan aksi perompakan memegang peranan penting dalam perekonomian di
Puntland.
Kelompok perompak Somalia juga dihubungkan dengan jaringan gerakan
Islam radikal Al Shabaab yang merupakan salah satu gerakan terroris di Somalia.
Perompak Somalia dan jaringan Islam Al Shabaab terlibat dalam perdagangan
manusia dan penyelundupan senjata. Selain itu terdapat indikasi uang tebusan hasil
29
perompak Somalia digunakan oleh Al Shabaab untuk mendanai aksi-aksi mereka
(Menkhaus, 2009).
Berdasarkan data dari International Maritime Bureau (IMB) pada tahun 2008
terdapat 4 grup utama perompak Somalia yang beraksi di wilayah Teluk Aden, yang
merupakan jalur utama yang harus dilewati oleh kapal-kapal dagang yang ingin ke
Laut Mediterania melalui Terusan Suez. Kelompok tersebut dilengkapi dengan roket
peluncur granat dan menggunakan perahu berekecapatan tinggi. Empat kelompok
perompak Somalia yang beroperasi di wilayah Teluk Aden yakni:
1. The National Volunteer Coast Guard (NVCG) yang dikomandani oleh
Garaad Mohamed, yang ahli dalam merompak kapal-kapal kecil dan kapal
penangkap ikan di sekitar wilayah pantai selatan Kismayu.
2. The Marka Group, yang dikomandani oleh Mohamed Siad (yang dikenal
juga dengan nama Yusuf Indha’adde) yang terdiri dari beberapa kelompok
yang tersebar di sekitar wilayah Marka.
3. The Puntland Group, yang terdiri dari kelompok nelayan tradisional yang
beroperasi di wilayah Puntland.
4. The Somali Marine, yang terkenal sebagai kelompok yang paling kuat dan
modern. Kelompok ini dikomandani oleh panglima perang Abdi
Mohamed Afweyne. The Somali Marines Group memiliki struktur militer,
yang terdiri dari laksmana armada, laksmana, wakil laksmana dan kepala
operasi keuangan (IMB, 2008).
30
2.3 Pola Operasi Perompak Somalia
Markas perompak Somalia yang paling aktif dan terbaru tersebar di sekitar
wilayah pantai Puntland, Eyl, Hobyo, dan Haradheere. Markas para perompak ini
dilengkapi dengan persenjataan yang cukup lengkap. Sehingga pemerintah lokal
cukup sulit untuk menyerang atau mengambil kembali hasil rampasan para perompak
yang disimpan di markas para perompak (International Expert Group on Piracy off
the Somali Coast, 2008). Pola operasi para perompak Somalia dimulai dari
menyiapkan alat transportasi, persiapan senjata, identifikasi target dan strategi ketika
menegosiasikan tawanan, dan investasi dari hasil pembayaran uang tebusan yang
kemudian menyebabkan para perompak kini semakin mahir (Hansen, 2009).
Pada akhir tahun 1990an sampai dengan awal tahun 2000, para perompak
menjalankan aksinya dengan target kapal penangkap ikan atau kapal pribadi yang
melewati wilayah perairan Somalia. Pada awal aksinya para perompak Somalia hanya
menawan kapal dan kru nya yang kemudian dilepaskan setelah para perompak
berhasil mengambil barang berharga yang diangkut kapal tersebut (International
Expert Group on Piracy off the Somali Coast, 2008). Namun di pertengahan tahun
2000 sampai dengan saat ini, aksi perompak Somalia mulai jauh berkembang dan
menjadikan kapal-kapal besar sebagai targetnya dan menawan mereka sampai waktu
yang cukup lama untuk mendapatkan uang tebusan. Selanjutnya uang tebusan
tersebut digunakan untuk membiayai aksi selanjutnya (IMB,2008).
Kemudian akhir tahun 2007 para perompak pun mulai memperluas wilayah
operasinya. Para perompak Somalia melihat peluang yang lebih aman dan mudah
31
merompak kapal-kapal dagang yang melewati Teluk Aden. Selain itu mereka akan
mendapatkan uang tebusan yang lebih banyak. Hal ini kemudian menyebabkan
semakin meningkatnya aksi penyerangan dan perompakan terhadap kapal-kapal
dagang yang melewati Teluk Aden dan wilayah perairan Somalia (International
Expert Group on Piracy off the Somalia Coast, 2008).
Dalam melakukan aksinya para perompak Somalia menggunakan perahu
motor yang dilengkapi dengan motor pendorong. Perahu yang dilengkapi dengan
motor pendorong ini mampu mengangkut sampai dengan empat orang perompak.
Perahu motor ini kemudian mencari targetnya dengan memilih kapal dagang atau
kapal penangkap ikan yang cenderung berkecepatan lamban. Setelah kapal target
ditentukan, para perompak kemudian mulai melancarkan serangannnya. Para
perompak Somalia ini menggunakan senjata ringan seperti AK47, granat tangan, atau
pelontar roket granat dalam menyerang targetnya (Joubet, 2009).
Menyerang dari satu arah secara berkelanjutan menyebabkan perahu
perompak lainnya berkesempatan dalam mendekati kapal target tanpa sepengetahuan
kru kapal. Ketika strategi ini berhasil para perompak akan dengan mudah menduduki
kapal dan menangkap para kru kapal. Kapal yang sudah berhasil dikuasai para
perompak kemudian diarahkan ke markas mereka yang terletak di sepanjang pesisir
Eyl, Hobyo, atau Haradheere yang dipilih berdasarkan asal klan para perompak
(International Expert Group on Piracy off The Somali Coast Report, 2008).
Selanjutnya kapal akan ditawan sampai proses negosiasi berhasil dilakukan oleh para
perompak Somalia.
32
Seiring berjalannya waktu, para perompak Somalia semakin berkembang dan
menggunakan senjata dan kapal yang lebih baik dan kuat. Uang hasil tebusan dari
aksi merompak kemudian digunakan untuk membeli perahu induk yang mampu
mengangkut perahu-perahu motor kecil dan sebagai tempat para kelompok perompak
untuk berkumpul (Burlando, Cristea, dan Lee, 2014). Para perompak Somalia juga
menggunakan GPS (Global Positioning System) dan night vision goggles dalam
menjalankan aksinya. Meskipun perlengkapan canggih ini hanya dimiliki oleh
beberapa kelompok perompak yang sudah maju dan memiliki modal yang besar
(Hansen, 2009). Perlengkapan selanjutnya yang sering ditemui adalah para perompak
Somalia membawa tangga dalam setiap aksinya. Tangga ini digunakan untuk menaiki
badan kapal target (Joubert, 2009).
2.5 Kerugian Yang Diakibatkan Dari Aksi Perompak Somalia
Aksi perompak Somalia di Teluk Aden mengakibatkan kerugian pada tingkat
yang beragam. Bagi pengusaha yang kapalnya melewati Teluk Aden, kini mereka
harus membayar biaya asuransi yang lebih tinggi akibat semakin meningkatnya aksi
perompakan yang terjadi di Teluk Aden. Pada bulan Mei 2008, perusahaaan asuransi
pengiriman terbesar yakni Lloyd’s Market Association yang berkantor pusat di
Inggris mengklasifikasikan wilayah Teluk Aden sebagai wilayah yang berisiko, yang
kemudian menyebabkan naiknya premi asuransi yang harus dibayar oleh para
perusahaan pengiriman untuk kapal-kapal yang melintasi Teluk Aden (Weber, 2009).
33
Premi asuransi yang harus dibayar meningkat hingga 40% dari tahun 2008 sampai
tahun 2009, yakni berkisar anatara $500 sampai $20.000 per kapal (Gilpin, 2009).
Total uang yang harus dibayar oleh perusahaan pengiriman dari meningkatnya biaya
premi asuransi diperkirakan mencapai kisaran $635 juta (Bowden & Basnet, 2011).
Perusahaan pengiriman sering kali harus menanggung sekitar 80% dari
kerugian yang disebabkan oleh para perompak Somalia, akhirnya menyebabkan
operator perusahaan pengirimin mendorong negara-negara untuk menempatkan
personel militer di setiap kapal dagang (Hughes & Minio-Paluello, 2012). Beberapa
kapal dagang negara-negara Eropa seperti Inggris, Italy, dan Perancis menerapkan
praktik ini yang kemudian menjadi perdebatan hukum. Pada akhir tahun 2009, sekitar
20% kapal-kapal dagang yang melewati Teluk Aden menyewa Private Contracted
Armed Security Personnel (PCASP) untuk melindungi kapal mereka. Akibatnya
diperlukan biaya tambahan mencapai $530 juta untuk menyewa PCASP (Bowden &
Basnet, 2011).
Dampak lainnya yang diakibatkan dari aksi perompak Somalia adalah uang
tebusan yang harus dibayar untuk setiap kapal dan kru yang berhasil ditawan oleh
para perompak. Pada tahun 2008 diperkirakan uang tebusan yang harus dibayar untuk
perompak Somalia sekitar $20 sampai $40 juta (Menklaus, 2009). Pada tahun 2011
uang tebusan yang harus dibayar semakin mahal akibat dari semakin banyak dan
besarnya kapal yang berhasil ditawan oleh para perompak Somalia. Berdasarkan data
yang diperoleh total uang tebusan yang harus dibayar pada tahun 2011 mencapai
34
$160 juta, dengan rata-rata $5 juta untuk setiap kapal yang berhasil ditawan.
Disamping harus membayar uang tebusan, diperkirakan ada biaya tambahan yang
harus dikeluarkan oleh perusahaan pengirimin ketika kapal mereka ditawan seperti
biaya yang harus dikeluarkan ketika menyewa tim khusus untuk bernegosiasi yang
kemudian memakan waktu yang tidak dapat ditentukan sampai negosiasi tersebut
sukses (Jones dalam Stoffers, 2013).
Bagi Somalia sendiri aksi perompak Somalia telah menyebabkan Somalia
menjadi wilayah yang cukup berbahaya yang berdampak pada hilangnya kesempatan
untuk mendapatkan investor asing untuk mengembangkan potensi dan infrastruktur di
wilayah Somalia. Meskipun cukup sulit untuk memperoleh data yang pasti
bagaimana dampak ekonomi yang ditimbulkan di Somalia, para ahli juga melihat
bahwa adanya aksi perompak Somalia telah menyebabkan berkurangnya pendapatan
bagi pelabuhan-pelabuhan di pesisir wilayah Somalia yang kemudian berdampak
pada berkurangnya pemasukan bagi warga Somalia (Maouche, 2010). Selain itu
akibat melimpahnya aliran uang yang diterima oleh para perompak Somalia,
diperkirakan terjadi inflasi yang cukup besar di Somalia (International Expert Group
on Piracy off the Somali Coast Report, 2009). Selain Somalia sendiri, berikut ini
adalah beberapa negara yang mengalami kerugian paling besar akibat dari aksi
perompak Somalia:
35
Tabel 2.1 Negara-negara yang mengalami kerugian akibat aksi perompak
Somalia
Country GDP (in
billions)
Trade via
Suez
(millions)
Trade Share
via Suez
(percentage)
Annual
Loss in
Trade
(millions)
Annual Loss
as Share of
Trade
(percentage)
Fraction of
Global Loss
(percentage)
EU 12.972 557,753 0,04 10,937 0,08 44,01
China 2.860 102,000 0,17 2,000 0,33 8,05
Japan 4.500 66,600 0,13 1,306 0,26 5,26
UAE 287 59,000 0,46 1,157 0,80 4,66
India 881 58,400 0,40 1,145 0,76 4,61
United
States
12.420 44,600 0,03 875 0,06 3,52
Korea,
Rep.
782 33,500 0,13 657 0,24 2,64
Sumber: www.ueregon.edu.com diakses pada 27 April 2015
Berdasarkan Tabel 2, Uni Eropa mengalami kerugian paling besar akibat dari
adanya aksi perompak Somalia. Total nilai transaksi perdagangan Uni Eropa yang
melewati Teluk Aden mencapai $557,753 juta. Akibat dari adanya aksi perompak
Somalia di Teluk Aden, Uni Eropa mengalami kerugian sampai dengan $11 miliar
yang setara dengan 44% dari total keseluruhan aksi perompak di dunia. Negara-
negara anggota Uni Eropa seperti Jerman mengalami kerugian paling besar yakni
36
mencapai $2,5 miliar per tahun akibat dari aksi perompak Somalia, kemudian disusul
oleh Inggris yang diperkirakan mengalami kerugian sampai dengan $1,7 miliar per
tahun, negara Perancis diperkirakan mengalami kerugian sekitar $1,3 miliar per
tahun, sedangkan Italia, Spanyol, dan Belgia diperkirakan mengalami kerugian
berkisar antara $700 juta sampai dengan $1 miliar per tahun (Voccia, 2015). Hal
inilah yang kemudian menjadi justifikasi Uni Eropa untuk secara aktif dalam
memerangi perompak Somalia di Teluk Aden demi melindungi jalur perdagangan
yang sangat penting bagi perekonomian Uni Eropa.