bab 1 sd 5

111
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel. Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Reilly, J. J.; Silverman, E. K.; Shapiro, S. D,; 2008). Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut perkiraan WHO, terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang sampai dengan berat. Lebih dari 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% 1

Upload: kazzuya-memet

Post on 25-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel. Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Reilly, J. J.; Silverman, E. K.; Shapiro, S. D,; 2008).Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut perkiraan WHO, terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang sampai dengan berat. Lebih dari 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% dari jumlah semua kematian secara global. PPOK merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah penyakit HIV/AIDS. Laporan terbaru WHO tahun 2005 menyatakan bahwa sebanyak 210 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat PPOK. Di Asia bagian Pasifik Barat, yang meliputi Asia Timur dan Pasifik, adalah bagian yang tercatat dengan angka merokok tertinggi. Sekitar 80,000 hingga 100,000 anak-anak di seluruh dunia mulai merokok setiap hari dan hampir sebagiannya adalah dari Asia. (World Health Organization, 2007). Menurut Regional COPD Working Group Jumlah kasus PPOK di Asia adalah tiga kali lipat jumlah kasus di negara-negara lain di dunia. Sedangkan di negara-negara yang sedang berkembang, perilaku merokok semakin bertambah sekitar 3.4% setiap tahun. Hal ini menunjukkan sebanyak 56,6 juta individu telah dijangkiti PPOK yang sederhana dan buruk. Data ini adalah di kalangan individu berumur 30 tahun ke atas di 12 buah negara Asia yang telah dikenal pasti Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kematian kelima di Indonesia. Prevalensi bronkitis kronik dan PPOK berdasarkan SKRT tahun 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Sedangkan hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan di 5 Rumah Sakit Provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).Berdasarkan survei di RSUP NTB, pada januari sampai desember 2011 ditemukan 71 orang penderita PPOK, 54 diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 17 orang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan berdasarkan umur ditemukan 62 orang penderita PPOK berusia lebih dari 45 tahun dan sisanya 9 orang berusia kurang dari 45 tahun. Dari data tahun 2011 tersebut ditemukan hanya 1 kasus kematian karena PPOK (RSUP NTB, 2011).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Terdapat enam faktor resiko penyebab terjadinya PPOK yaitu merokok, hiperesponsif saluran pernafasan, infeksi jalan nafas, pemaparan akibat kerja, polusi udara dan faktor genetik. Merokok dikatakan sebagai faktor risiko utama terjadinya PPOK Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam patogenesis PPOK (Alamsyah,R. M., 2009).Karena rokok memiliki pengaruh terhadap sistem pernafasan dan peredaran darah maka rokok dapat mempengaruhi fungsi faal paru seseorang dan bahkan bisa menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis. Oleh karenanya untuk mencegah terjadinya PPOK disarankan hindari asap rokok atau berhenti merokok, hindari polusi udara, hindari asap dan debu kendaraan, jangan memasang obat nyamuk bakar dalam tempat tidur dan ciptakan udara bersih di rumah dan sekitarnya, jaga kebugaran dengan olahraga dan makan makanan yang sehat serta menghindari infeksi saluran nafas berulang. Salah satu cara praktis untuk mengetahui terjadinya penyakit paru obstruksi kronis yaitu dengan mengukur nilai faal paru menggunakan spirometri dengan parameter FEV1 (force ekspiratori volume 1 second) yang dimana Pengukuran FEV1 berfungsi untuk memberikan peringatan dini adanya penurunan fungsi paru akibat PPOK pada perokok. (GOLD, 2008).Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh dari konsumsi rokok terhadap kejadian PPOK pada laki-laki usia 45 s/d 74 tahun di lihat dari nilai FEV1 di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode Oktober Tahun 2012.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Apakah ada pengaruh dari konsumsi rokok terhadap kejadian PPOK pada laki-laki usia 45 s/d 74 tahun di lihat dari nilai FEV1 di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode Oktober Tahun 2012?

1.3. Tujuan Penilitian1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh dari konsumsi rokok terhadap kejadian PPOK pada laki-laki usia 45 s/d 74 tahun di lihat dari nilai FEV1 di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode Oktober Tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Sebagai syarat untuk mendapat gelar sarjana kedokteran1.3.2.2. Untuk mengidentifikasi status banyak rokok dan lama merokok dari responden.1.3.2.3. Untuk mengidentifikasi status Hasil FEV1 < 75%. 1.3.2.4. Menganalisa hubungan antara status merokok dengan status Hasil FEV1 600 Batang/Tahun. Semakin besar angkanya, maka semakin tinggi kemungkinan untuk menderita PPOK (Suradi, 2007).

Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Sehingga perlunya suatu tindakan agar penderita PPOK tidak semakin bertambah (Suradi, 2007).

Faktor lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah terpajan oleh bahan-bahan polutan secara episodik. Baik bahan polutan itu terdapat dalam ruangan maupun diluar ruangan. Bahan-bahan polutan itu diantaranya, sulfur dioksida didapat dari pembakaran industri. Kemudian nitrogen dioksida, merupakan hasil pembakaran bahan-bahan fosil atau asap kendaraan. Kemudian oleh karena ozone yang diubah oleh sinar matahari akibat reaksi fotokimia dari nitrogen dioksida dan hidrokarbon yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industri. Pencemaran lainnya adalah dari partikel, biasanya partikel ini berasal dari pembakaran hutan, industri, dan asap kendaraan. Adapun pencemaran lain diantaranya bahan kimia organic yang mudah menguap, logam padat, Policylic aromatic hydrocarbons, produk dari jamur-jamuran, Hal-hal lain yang dapat menjadi faktor resiko juga adalah hiper-reaktivitas dari bronkus, riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang, sosial ekonomi, dan Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (PDPI, 2010).

2.2.3. Proses Terjadinya PPOK

Saluran nafas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu (gangguan pengembangan paru) serta gangguan obstruksi berupa (perlambatan aliran udara di saluran nafas). Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).2.2.4. KlasifikasiPPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI:2003).

Gambar 2.2 Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)1. Bronkitis KronisBronkitis kronis sering terjadi pada perokok dan penduduk di kota-kota yang dipenuhi oleh kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20% hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit ini. Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini didefenisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut (Robin Kumar, 2004).

Gambar 2.3 Bronkitis Kronis

Terdapat beberapa bentuk dari bronkitis kronis, yaitu:

a. Bronkitis kronis sederhanaGejala yang mungkin timbul adalah batuk produktif yang akan meningkatkan sputum mukoid, namun jalan napas tidak terhambat.b. Bronkitis mukopurulenta kronisNamun apabila sputum penderita mengandung pus yang mungkin disebabkan oleh infeksi sekunder, maka pasien dikatakan mengidap bronkitis mukopurulenta kronis.

c. Bronkitis asmatik kronisBeberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatkan hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini yang disebut sebagai bronkitis asmatik kronis, dalam hal ini sulit dibedakan dengan asma atopik.d. Bronkitis obstruksi kronis

Mereka dikatakan mengidap bronkitis obstruksi kronis apabila suatu subpopulasi pasien bronkitis kronis mengalami obstruksi aliran keluar udara yang kronis berdasarkan uji fungsi paru (Robin Kumar, 2004).Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mucus, yang dimulai dari jalur napas besar. Berbagai faktor/bahan iritan ini akan memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus dan menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil mucin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan neutrofil (Robin Kumar, 2004).

2. Emfisema

Emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut. Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai desktruksi; hal ini lebih tepat disebut overinflation. Contohnya adalah peregangan rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi unilateral (Robin Kumar, 2004).

Gambar 2.4 Emfisema

Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa bentuk morfologik telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting sehubungan dengan PPOK, yaitu:

a) Emfisema Sentrilobular (CLE)Secara spesifik CLE menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi.

b) Emfisema panlobular (PLE)

Bentuk yang penting berikutnya adalah emfisema panlobular (PLE) atau emifsema panasinar. Merupakan bentuk morfologik yang jarang., alveolus yang sebelah distal mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata; mengenai bagian asinus sentral dan perifer.

c) Emfisema Asinar Distal (Paraseptal)

Pada keadaan ini bagian proksimal dari asinus normal, namun bagian distalnya yang terkena. Emfisema tampak nyata pada daera dekat pleura, di sepanjang septum jaringan ikat lobules dan tepi lobulus. (Robin Kumar, 2004).2.2.5. Diagnosis Banding Tabel 2.2. Diagnosis Banding PPOKDiagnosis Gambaran Klinis

PPOK1. Onset usia pertengahan

2. Gejala progresif lambat

3. Riwayat merokok (lama dan jumlah)

4. Sesak saat aktivitas

5. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel

Asma 1. Onset usia dini

2. Gejal bervariasi dari hari ke hari

3. Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol

4. Dapat ditemukan alergi, rinitis dan atau eksim

5. Riwayat asma dalam keluarga

6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel

Gagal jantung kongestif 1. Riwayat hipertensi

2. Ronki basah halus di basal paru

3. Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan edema paru

4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah banyak

2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri

3. Ronki basah kasar dan jari tabuh

4. Gambaran foto toraks tampak honeycom appearence dan penebalan dinding bronkus

Tuberkulosis 1. Onset semua usia

2. Gambaran foto toraks infiltrat

3. Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA)

Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)1. Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat

2. Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotik dan klasifikasi minimal

3. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang tidak reversibel

Bronkiolitis Obliterasi1. Usia muda

2. Tidak merokok

3. Mungkin ada riwayat atritis rematoid

4. CT paru ekpirasi terlihat gambaran hipodens

Diffuse panbronchiolitis 1. Sering pada perempuan tidak merokok

2. Seringkali berhubungan dengan sinusitis

3. Ronsen dan CT Paru Resolusi Tinggi memperlihatkan bayangan diffuse nodul opak sentrilobular dan hiperinflasi

Sumber: (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2010).

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2009, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dibagi atas 4 derajat berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu:

I. Derajat 1 (PPOK ringan)

Gejala batuk kronis dan produksi sputum ada tetapi tidak sering (FEV1 / FVC < 70%; FEV1 80% Prediksi). Pada derajat ini, pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi parunya mulai menurun.II. Derajat 2 (PPOK sedang)

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum (FEV1 / FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80% prediksi). Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.

III. Derajat 3 (PPOK berat)

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (FEV1 / FVC 70%; 30% FEV1 50% prediksi). Gejala sesak lebih berat , penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.IV. Derajat 4 (PPOK sangat berat)

Gejala diatas ditambah ditambah tanda-tanda gagal nafas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen (FEV1 / FVC < 70%; FEV1 < 30% prediksi disertai gagal nafas kronik). Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa (GOLD, 2009).2.2.6. DiagnosisGejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflamasi paru. Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas dan yang bertambah saat aktifitas, batuk-batuk kronis, produksi sputum kronis, keterbatasan aktifitas serta adanya riwayat faktor resiko. Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala (PDPI, 2010).

Diagnosa dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesa. Meliputi keluhan utama dan keluhan tambahan. Biasanaya keluhan pasien adalah batuk maupun sesak napas yang kronis dan berulang. Pada emfisema paru sehari-hari cenderung memiliki keluhan sesak nafas yang biasanya diekspresikan berupa pola nafas yang terengah-engah. Pada bronkitis kronis gejala batuk sebagai keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak kadang kental dan kalau berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi bakteriel. Gangguan pernafasan kronik, PPOK secara progresif memperburuk fungsi paru dan keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi gangguan pernafasan dan jantung. Pemburukan penyakit menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kehilangan kualitas hidup (Suradi, 2007).

Adanya Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja juga sering ditemukan. Kemudian adanya riwayat penyakit emfisema pada keluarga dan terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang dan lingkungan asap rokok dan polusi udara. Kemudian adanya Batuk berulang dengan atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (PDPI, 2003).

Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed - lips breathing atau sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai. Dan adanya Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi didapati stem fremitus yang lemah pada penderita emfisema dan adanya pelebaran iga. Dan saat perkusi pada penderita emfisema akan didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah suara napas vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003).

Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa adalah Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib dilakukan pada penderita yang memang sudah dicurigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosis yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran napas. Spirometri akan menilai Forced Vital Capacity (FVC) atau Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Forced Exspiratory Volume in 1 second (FEV1) atau Volume Ekspiratory Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan kepada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paska bronkodilatornya FEV1/ FVC < 70 dan FEV1< 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian FEV1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK itu sendiri (Buist dkk, 2007, Celli, 2000 dan Lee dkk, 2006).Volume Dan Kapasitas Pernafasan

Volume dan kapasitas pernafasan merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernafasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas pernafasan dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi ventilasi pada seseorang.

Volume Pernafasan Volume Tidal

Volume Tidal adalah volume udara yang masuk dan keluar paru pada pernafasan biasa.

Volume Cadangan Inspirasi

Volume cadangan inspirasi adalah volume udara yang masih dapat dihisap ke dalam paru sesudah inspirasi biasa.

Volume Cadangan Ekspimsi

Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa.

Volume Residu

Volume residu adalah volume udara yang masih tertinggal di dalam paru sesudah ekspirasi maksimal. Volume residu ini mengakibatkan paru akan mengapung bila dimasukkan ke dalam air. Udara sisa ini berperan sebagai udara cadangan serta mencegah terjadinya perubahan kondisi udara alveoli secara ekstrem.

Volume Respirasi Semenit

Volume respirasi semenit adalah jumlah keseluruhan volume udara yang masuk atau keluar paru dalam waktu satu menit = frekuensi pernafasan x volume tidal. Pada pernafasan hiasa besarnya kurang lebih = 12 x 500 cc = 6000 cc.

Volume Ekspirasi Paksa

Volume ekspirasi paksa yang dimaksud adalah jumlah volume udara ekspirasi yang keluar paru bila seseorang menghembuskan napas sekuat-kuatnya sesudah melakukan inspirasi sedalam-dalamnya.

Kapasitas Pernafasan

Kapasitas pernafasan merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih.

Kapasitas Inspirasi

Kapasitas inspirasi adalah Volume Tidal + Volume Cadangan Inspirasi.

Kapasitas Residu Fungsional

Kapasitas residu fungsional adalah volume residu +volume cadangan inspirasi.

Kapasitas Vital

Kapasitas vital adalah volume tidal + volume cadangan inspirasi + volume cadangan ekspirasi.

Kapasitas Paru Total

Kapasitas paru total adalah jumlah keseluruhan dari volume paru yaitu volume tidal + volume cadangan inspirasi + volume cadangan ekspirasi + volume residu.

Kapasitas Pernafasan Maksimal Atau Kapasitas Respiratorik Semenit

Kapasitas pernafasan maksimal atau kapasitas respiratorik semenit adalah volume maksimal udara yang dapat dihisap ke dalam paru dalam waktu satu menit. Volume ini dihitung dengan cara meminta orang yang diperiksa bernapas secepat-cepatnya serta sedalam-dalamnya.

Ruang Rugi (Dead Space)Ruang rugi yang dimaksud adalah bagian dari saluran pernafasan yang tidak melakukan pertukaran udara dengan darah.

Ruang-rugi Anatomik

Ruang-rugi anatomik adalah bagian zona-konduksi dari saluran pernafasan. Volume ruang rugi anatomik berkisar 150 ml.

Ruang-rugi Alveol

Ruang-rugi alveol adalah bagian zona respiratorik yang gagal melakukan pertukaran gas dengan darah akibat keadaan tertentu seperti alveol yang kempes, tertutup mukus atau akibat sebab-sebab lain.

Ruang-rugi Fisiologik Atau Ruang-rugi Total

Merupakan ruang-rugi anatomik + ruang-rugi alveol.

Adanya ruang-rugi mengurangi volume udara yang mengadakan pertukaran dengan darah sehingga kapasitas ventilasi efektif lebih rendah dari volume respirasi semenit.

Kapasitas ventilasi efektif dapat dilihat dari laju ventilasi.

Laju Ventilasi (Ventilation Rate)Laju ventilasi adalah volume udara yang mengadakan pertukaran gas dengan darah dalam waktu semenit, besarnya = frekuensi pernafasan x (volume tidal-ruang rugi).

Laju ventilasi sangat dipengaruhi oleh pola pernafasan. Pernafasan yang dangkal dan cepat akan memperkecil laju ventilasi karena volume tidal menjadi kecil, sedang ruang rugi menjadi relatif besar. Pernafasan yang dalam lebih efektif untuk meningkatkan laju ventilasi.

Pemeriksaan Fungsi Paru (Fungsi Ventilasi)

Pemeriksaan fungsi paru (fungsi pernafasan, fungsi ventilasi) lazim dilakukan dengan alat spirometer, baik spirometer konvensional maupun elektronik. Spirometer konvensional akan menghasilkan grafik yang disebut spirogram, sedangkan spirometer elektronik akan menunjukkan hasil pemeriksaan dalam bentuk angka. Dengan pemeriksaan spirometrik dapat diketahui atau ditentukan semua volume pernafasan kecuali volume residu serta semua kapasitas pernafasan kecuali kapasitas pernafasan yang mengandung komponen volume residu seperti kapasitas paru total dan kapasitas residu fungsional.

Dari pemeriksaan spirometrik dapat ditentukan gangguan fungsional ventilasi seseorang. Jenis gangguan dapat digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai FEV1 kurang dari 75% clan menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibandingkan dengan nilai standar.

Gambar 2.5 Spirogram volume dan kapasitas paru

VT: tidal volume (volume tidal).

IRV : inspiratory reserve volume (vol. cadangan inspirasi).

ERV :expiratory reserve volume (vol. cadangan ekspirasi).

RV:residual volume (volume sisa).

IC:inspiratory capacity (kapasitas inspirasi).

FRC:functional residu capacity (kapasitas residu fungsional).

VC:vital capacity (kapasitas vital).TLC: total lung capacity (kapasitas pare total).

(Hood Alsagaff, 2009). FEV1 adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama pada orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara sebesar 80% dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjunya. Adanya obstruksi pernafasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVCnya. Pada penyakit obstruksi seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV1 yang lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV1/FVC kurang dari 75% berarti abnormal. Nilai normal untuk menginterpretasikan nilai faal paru yang diperoleh harus dibandingkan dengan nilai standarnya. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan faal paru :

1. Disebut normal bila nilai prediksinya lebih dari 80% untuk FEV1 tidak memakai nilai absolut akan tetapi menggunakan perbandingan dengan FVCnya yaitu FEV1/FVC.2. Bila didapatkan kurang dari 75% dianggap abnormal.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, namun dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji faal paru lainnya dapat dilakukan Uji bronkodilator biasa untuk PPOK stabil. Selain faal paru, yang rutin dilakukan adalah darah rutin (melihat leukosit, Hb dan hematokrit). Dan pemeriksaan radiologi yakni foto toraks posisi PA untuk melihat apakah ada gambaran emfisema atau bronkitis kronis (PDPI, 2003).Adapun pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal paru dengan pengukuran Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, dll. Lalu lainnya adalah uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah, CT Scan resolusi tinggi, elektrokardiografi, ekokardiografi, bakteriologi dan kadar alfa-1 antitripsin (PDPI 2003).2.2.7. Penatalaksanaan PPOKTujuan penatalaksanaan PPOK :

1. Mengurangi gejala'

2. Mencegah progresivitas penyakit

3. Meningkatkan toleransi latihan

4. Meningkatkan kualitas hidup penderita

5. Mencegah dan mengobati komplikasi

6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

7. Menurunkan angka kernatian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama tatalaksana PPOK. Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien yang telah didiagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring penyakit :

1. Pajanan faktor risiko, jenis zat dan lamanya terpajan

2. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit

3. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya asma atau TB paru

4. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru kronik lainnya

5. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung rematik atau penyakit yang menyebabkan keterbatasan aktifitas

6. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK

7. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan aktivitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi serta perasaan depresi / cemas

8. Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko terutama berhenti merokok

9. Dukungan dari keluarga.10. PPOK merupakan penyakit progresif, artinya fungsi paru akan menurun seiring dengan perburukan penyakit (PDPI, 2010).2.2.8. Menurunkan Faktor Resiko

Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit .

Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:

1. Ask (Tanyakan)Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan. 2. Advise (Nasihati)

Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.

3. Assess (Nilai)

Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).4. Assist (Bimbing)

Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi. 5. Arrange (Atur)

Buat jadwal kontak lebih lanjut(PDPI, 2010). Tabel 2.3. Penatalaksanaan berdasarkan stage dari PPOKDerajat I

FEV1 / FVC < 70%

FEV1 > 80% prediksiDerajat II

FEV1 / FVC < 70%

50% < FEV1 < 80% prediksiDerajat III

FEV1 / FVC 70%

30% FEV1 50% prediksiDerajat IV

FEV1 / FVC < 70%

FEV1 < 30% prediksi

Hindari faktor risiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA

Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza

Tambahkan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)

Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih bronkodilator kerja lama

Tambahkan rehabilitas fisis

Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang-ulang

Tambahkan pemberian oksigen jangka panjang kalau terjadi gagal napas kronik

Lakukan tindakan operasi bila diperlukan

Sumber: (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2010)Tabel 2.4.Karakteristik dan Rekomendasi Pengobatan Berdasarkan Derajat PPOK

DerajatKarakteristikRekomendasi Pengobatan

Semua derajat Edukasi (hindari faktor pencetus)

Bronkodilator kerja singat (SABA, antikolinergik kerja cepat, Xantin) bila perlu

Vaksinasi influenza

Derajat I :

PPOK RinganFEV1 / FVC < 70%

FEV1 > 80% prediksi

Dengan atau tanpa gejalaBronkodilator kerja singkat (SABA, Antikollinergik kerja cepat, Xantin) bila perlu

Derajat II :

PPOK Sedang FEV1 / FVC < 70%

50% < FEV1 < 80% prediksi

Dengan atau tanpa gejala1. Pengobatan reguler dengan bronkodilator :

a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABA

c. Simptomatik

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat III :

PPOK Berat FEV1 / FVC < 70%

30% < FEV1 < 50% prediksi

dengan atau tanpa gejala1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator :

a. Anti kolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABA

c. Simptomatik

d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respond klinis atau eksaserbasi berulang

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat IV

PPOK Sangat

Berat FEV1 / FVC < 70%

FEV1 < 30% prediksi atau gagal nafas atau gagal jantung kanan

1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator :

a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan

b. LABA

c. Pengobatan komplikasi

d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas

4. Ventilasi mekanis noninvansif

5. Pertimbangkan terapi pembedahan

Sumber: (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2010)1. Bronkodilator

Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan agonis dengan golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.

2. Kortikosteroid

Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk oral, setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama bagi penderita dengan uji steroid positif.

3. Ekspektoran

Gunakan obat batuk hitam (OBH)

4. Mukolitik

Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid

5. Antitusif

Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu

(PDPI, 2010).

Manfaatkan obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari efek samping obat.

Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi di Puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga. Asupan nutrisi diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan meningkatnya derajat sesak. Pemberian karbohidrat yang berlebihan menghasilkan CO2 yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap rehabiltasi dimana pasien harus diberikan latihan pernafasan dengan pursed-lips, latihan ekspektorasi dan latihan otot pernafasan dan ekstrimitas (PDPI, 2010).2.2.9. PrognosisBeberapa pasien mungkin hidup lebih lama dengan eksaserbasi, namun tetap dengan bantuan dari ventilasi mekanik sebelum meninggal akibat penyakit ini. Banyak kematian dari PPOK disebabkan oleh komplikasi sistem pernafasan, berhubungan dengan kondisi lain yang sebenarnya memiliki angka kematian yang rendah apabila tidak terjadi (PDPI 2003)

2.3. Lanjut Usia2.3.1. Pengertian Lanjut UsiaLansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).2.3.2. Klasifikasi dan Karakteristik Lanjut Usia 2.3.2.1. Klasifikasi Lansia Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia, menurut Depkes RI 2003 (di dalam Maryam, 2008).

a. Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia, yaitu orang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi, yaitu orang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Batasan-batasan lansia menurut WHO (di dalam Nugroho, 2000), mengelompokkan lansia menjadi empat kelompok yaitu meliputi :

a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45-59 tahun.b. Usia lanjut (elderly), ialah kelompok antara usia 60-70 tahun.c. Usia lanjut tua (old), ialah kelompok antara usia 70-75 tahun.d. Usia sangat tua (very old), ialah kelompok usia diatas 90 tahun.2.3.2.2. Karateristik Lansia

Menjadi lansia tidak bisa dihindari karena merupakan tahapan dalam proses kehidupan manusia. Menurut Irwan (2008) lansia memiliki karateristik antara lain:

a. Berusia lebih dari 60 tahun. b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif. c. Lingkungan tempat tinggal bervariasi.2.4. Hubungan merokok dengan PPOK

Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Gangguan respirasi dan penurunan faal paru paling sering terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus rokok pertahun, dan perokok aktif mempengaruhi angka kematian. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Di Indonesia, 70% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah akibat penggunaan tembakau. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau (Supari, 2008). Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernafasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernafasan dan kualitas hidup berkurang (Guyton, 2006).

Pada beberapa perokok berat yang tidak menderita emfisema, dapat terjadi bronkitis kronik, obstruksi bronkiol terminalis dan destruksi dinding alveolus. Pada emfisema berat, sebanyak empat perlima membran saluran pernafasan dapat rusak. Meskipun hanya melakukan aktivitas ringan, gawat pernafasan bisa terjadi. Pada kebanyakan pasien PPOK dengan gangguan pernafasan terjadi keterbatasan aktivitas harian, bahkan ada yang tidak dapat melakukan satu kegiatan pun. Dipercayai merokok adalah penyebab utamanya (Guyton, 2006).

Terdapat hubungan dose response antara rokok dan PPOK. Lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat dan diukur dengan Index Brinkman (IB), yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan dengan jumlah lamanya merokok dalam tahun (Supari, 2008). Derajat berat merokok ini dikatakan ringan apabila IB 0 200 Batang / Tahun, sedang jika 200 - 600 Batang/Tahun dan berat apabila lebih daripada 600 Batang/Tahun. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Penelitian GOLD et.al (2005) di Amerika menunjukkan hasil adanya hubungan dose-response antara kebiasaan merokok dengan rendahnya level FEV1/FVC dan FEV1. Jumlah konsumsi rokok sebanyak 10 batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEV1 25-75% dibanding orang yang tidak merokok.2.5. Hubungan PPOK pada Lanjut Usia

Pada lanjut usia Penuaan adalah fenomena universal yang mengubah cadangan fisiologis individu pada orang tua yang lanjut usia dan kemampuan untuk mempertahankan homeostatis, khususnya pada stres (misalnya pada kondisi sakit). Walaupun sistem pulmonal setiap harinya diserang dengan berbagai kondisi yang merugikan (misalnya pencemaran, dan merokok), sistem tersebut memiliki kapasitas untuk tetap mempertahankan hidup individu selama kehidupannya. Sebagian besar perubahan normal yang dihubungkan dengan penuaan terjadi secara bertahap, sehingga lansia dapat beradaptasi. Perubahan yang paling banyak ditemukan adalah yang berhubungan dengan homeostatis, tetapi bahkan kerusakan yang kecil dapat mengganggu keseimbangan yang tidak pasti ini (Maryam, 2008).

Dinding dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernafasan sekitar 20% pada usia 60 tahun. Otot-otot pernafasan dapat meningkatkan risiko berkembangnya keletihan otot-otot pernafasan pada lansia. Perubahan-perubahan tersebut turut berperan Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dalam penurunan konsumsi oksigen maksimum sehingga menyebabkan gangguan yang pada umumnya terjadi pada sistem respirasi yaitu :

1. Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku

2. Menurunnya aktifitas silia dan kemampuan untuk batuk berkurang

3. Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman bernafas juga menurun

4. Ukuran alveoli melebar dari biasanya dan jumlahnya berkurang

5. O pada arteri menurun menjadi 75 mmHg dan CO pada arteri tidak berganti

6. Kemampuan pegas pada dinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia.(Maryam, 2008).Akibat dari proses penuaan pada lanjut usia dan perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru serta menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita mengakibatkan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang dimana merupakan penyebab utama kematian kelima pada lansia. PPOK meliputi tiga kondisi yang terjadi dalam satu bentuk umum, yakni obstruksi aliran ekspirasi. Jika proses obstruksi dihubungkan dengan hipersekresi mukus hal itu disebut bronkitis kronis, dan jika terdapat kerusakan jaringan alveolar, hal itu dikenal dengan efisema (Maryam, 2008)2.6. Kerangka Teori

Ket :Gambar 2.6 Kerangka Teori2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 2.7 Kerangka Konsep2.8. Hipotesis

H0: Tidak ada pengaruh antara konsumsi rokok terhadap kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut hasil pemeriksaan nilai FEV1 pada pasien laki-laki usia 45 s/d 74 tahun di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Periode Oktober 2012.

H1: Ada pengaruh antara konsumsi rokok terhadap kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut hasil pemeriksaan nilai FEV1 pada pasien laki-laki usia 45 s/d 74 tahun di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode Oktober Tahun 2012.

.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah epidemiologik analitik observasional yang mengkaji hubungan antara efek (dapat berupa penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor resiko tertentu . Desain penelitian kasus- kontrol dapat dipergunakan untuk mencari hubungan seberapa jauh faktor resiko mempengaruhi terjadinya penyakit (cause-effect relationship). Studi kasus-kontrol dimulai dengan mengidentifikasi kelompok dengan penyakit atau efek tertentu (kasus) dan kelompok tanpa efek (kontrol); kemudian secara retrospektif diteliti faktor resiko yang mungkin dapat menerangkan mengapa kasus terkena efek, sedangkan kontrol tidak. (Satroasmoro, 1995)3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat dan dilaksanakan pada bulan Oktober 2012.3.3. Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah:

Variabel independent (bebas): Riwayat konsumsi rokok

Variabel dependent (terikat): Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

3.3.2. Definisi Oprasional

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu gangguan dengan karakteristik berupa keterbatasan dari jalan nafas yang tidak sepenuhnya kembali. Gangguan jalan nafas biasanya bersifat progresif dan diikuti oleh reaksi abnormal inflamasi akibat respon paru terhadap partikel gas yang berbahaya, dibagi atas 4 derajat berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu:

a. Derajat 1 (PPOK ringan)(FEV1 / FVC < 70%; FEV1 80% Prediksi).b. Derajat 2 (PPOK sedang)(FEV1 / FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80% prediksi).

c. Derajat 3 (PPOK berat)

(FEV1 / FVC 70%; 30% FEV1 50% prediksi).d. Derajat 4 (PPOK sangat berat)(FEV1 / FVC < 70%; FEV1 < 30% prediksi disertai gagal nafas kronik). (GOLD, 2009).

2. MerokokMerokok adalah suatu kata kerja yang berarti melakukan kegiatan atau aktifitas menghisap rokok yang kemudiannya dihisap dan dihembuskan keluar sehingga orang yang disekitarnya juga bisa terhisap asap rokok yang dihembuskannya, yang dinilai dengan hasil kali jumlah rata-rata batang rokok dihisap perhari dengan lama merokok dalam tahun, yang diklasifiksikan menjadi :a. Dikatakan perokok ringan apabila angka yang didapat 0-200 Batang/ Tahunb. Dikatakan sedang apabila angka yang didapat 200-600 Batang / Tahunc. Dikatakan berat apabila angkanya > 600 Batang/ Tahun(PDPI, 2003).3.4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita PPOK yang merupakan laki-laki usia 45 sampai dengan 74 Tahun dan terdaftar dalam catatan medik di RSUP NTB Periode Oktober Tahun 2012 yaitu sebanyak 51 orang.

Berdasarkan jumlah populasi tersebut dapat dihitung jumlah sampel dengan menggunakan rumus Slovin (Notoatmodjo, 2005) :

Keterangan :

n= Jumlah sampel

N= Jumlah populasi

d= Tingkat signifikan (p)

Dengan menggunakan rumus di atas maka peneliti dapat menentukan besar sampel sebagai berikut :

n = 45,23 sampel Dari hasil perhitungan sampel menggunakan rumus slovin didapatkan besar sampel 45 orang dari jumlah populasi 51. Dari 51 populasi yang ada didapatkan 29 orang yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi, yang berarti jumlah sampel yang diperoleh dari perhitungan sampel melebihi dari jumlah populasi yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi. Dalam sebuah penelitian, sampel harus memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi sehingga sampel dalam penelitian ini menggunakan 29 orang yang memenuhi kriteria tersebut yang artinya pada penelitian ini menggunakan total sampel populasi.3.5. Teknik Pengambilan SampelPengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan aksidental (Accidental) Sampling yang dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia disuatu tempat atau keadaan tertentu sesuai konteks penelitian.Kriteria sampel sebagai berikut : Kriteria inklusi :

a. Subyek penelitian laki-laki yang berusia antara 45 sampai dengan 74 tahun. b. Perokok > 10 batang/haric. Perokok > 1 Tahun

d. Hasil FEV1 < 75%

Kriteria eksklusi :

a. Subyek penelitian mengalami penyakit Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang terpapar abu dan debu selama bekerja.b. Subyek memiliki riwayat asma sebelumnya.3.6. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data3.6.1. Instrumen

Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen dalam penelitian ini adalah

1. Kuesioner/ Panduan Pertanyaan.Kuesioner digunakan untuk menggali data tentang riwayat konsumsi merokok responden dengan cara anamnesa.2. Jam tangan/ stopwatch3. Spirometri type BTL-08 4. Timbangan berat badan dan Meteran one med3.6.2. Cara pengumpulan data

1. Peneliti meminta ijin secara tertulis kepada direktur RSUP NTB untuk melakukan penelitian.

2. Kemudian peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh peneliti. Responden yang bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden.

3. Selanjutnya peneliti akan melakukan anamnesis dan menggali riwayat merokok responden yang ditetapkan sebagai sampel.

4. Melakukan pengukuran FEV1 selama 1 detik dengan menggunakan alat spirometri.

3.7. Cara Penelitian

Alur Penelitian

Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian3.8. Analisis Data

Analisa data dilakukan secara bertahap menggunakan program SPSS (Statistical Program and Service Solution)Windows versi 19 dengan menggunakan analisis statistik yang sesuai. Adapun langkah-langkah analisis data meliputi:

3.8.1. EditingSetelah semua data terkumpul maka peneliti melakukan koreksi data satu persatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengecek apakah terjadi kesalahan atau kekurangan pengisian kuesioner misalnya kesalahan atau kekurangan pada pengisian nomor urut responden, umur responden, riwayat konsumsi rokok responden dan lainnya. Koreksi data dilakukan ditempat pengumpulan data. Bila ditemukan adanya kesalahan atau kekurangan maka segera dapat dilakukan perbaikan dengan mengkoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian dan hasil pengamatan, koreksi ini dilakukan dilapangan setelah pengelolaan dan pengisian kuesioner selesai.

3.8.2. CodingSetelah editing data selesai maka dilakukan pemberian kode atau tanda tertentu terhadap hasil pengamatan dan pengukuran yang diperoleh untuk mempermudah penyusunan tabel. Dalam penelitian ini yang perlu dilakukan coding adalah :

1. Status konsumsi rokok responden :a. 1 = Perokok Beratb. 2 = Perokok Sedang c. 3 = Perokok Ringand. 4 = Tidak Merokok2. Status Kesehatan responden :

a. 1 = Pasien PPOK Derajat Sangat Beratb. 2 = Pasien PPOK Derajat Beratc. 3 = Pasien PPOK Derajat Sedangd. 4 = Pasien PPOK Derajat Ringane. 5 = Pasien Tidak PPOK 3.8.3. TabulasiUntuk memudahkan dalam menganalisa data maka data-data hasil penelitian dimasukkan kedalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria tertentu menggunakan program SPSS 16.3.8.4. Pengolahan data

Setelah proses editing, coding, dan tabulating maka peneliti melakukan pengolahan data, yaitu dengan mencari hasil diagnosa PPOK dengan skala konsumsi merokok ringan, sedang, dan berat.Dalam penelitian ini analisa yang digunakan adalah :

1. Analisis Univariat

Analisa ini diperlukan untuk mendeskripsikan dengan menggunakan tabel frekuensi dan grafik status konsumsi merokok pasien dan status kesehatan responden atau status PPOK (di RSUP NTB Tahun 2012.2. Analisis Bivariat

Analisa ini diperlukan untuk menguji hubungan antara variabel bebas yaitu status konsumsi rokok dengan variabel terikat yaitu status Penyakit Penyakit Obstruksi Kronis (PPOK).

Dalam analisa ini uji statistik yang digunakan adalah korelasi.1. Korelasi/ Regresi

Uji korelasi digunakan untuk menggambarkan kuat dan arah hubungan antara dua variabel. Korelasi ini digunakan untuk mengetahui apakah bila status riwayat konsumsi merokok responden berubah akan diikuti perubahan pada status kesehatan responden atau PPOK , apakah perubahan itu cukup kuat atau lemah, apakah perubahan yang terjadi meningkat atau sebaliknya menurun, atau bahkan tidak diikuti perubahan pada status kesehatan pasien sama sekali. Koefisien korelasi (r) menjadi indikator dari perubahan tersebut. Nilai r berkisar antara -1 sampai dengan +1. Nilai r = +1 bermakna bahwa terjadi hubungan yang sempurna dimana bila status merokok responden meningkat akan diikuti oleh peningkatan status kesehatan responden atau sebaliknya (korelasi searah). Nilai r = 0 berarti tidak ada korelasi antara status merokok responden dan status kesehatan responden. Nilai r = -1 berarti bahwa bila status merokok responden meningkat, maka akan diikuti oleh penurunan nilai status keseatan responden (korelasi berlawanan arah).

Regresi menggambarkan adanya peningkatan atau penurunan kasus PPOK pada setiap unit peningkatan atau penurunan frekuensi konsumsi rokok responden apabila kedua variable tersebut memiliki hubungan yang linear.

Nilai Odd Ratio (OR) dihitung dengan menggunakan tabel 2x2 (dummy table) sebagai berikut :Table 3.7.1Tabulasi distribusi frekuensi observasi berdasarkan status kebiasaan merokok dan status kesehatan (PPOK atau Non PPOK)

Status MerokokDiagnosaTotal

PPOKTidak PPOK

Tidak MerokokABA+B

MerokokCDC+D

TotalA+CB+DA+B+C+D

Keterangan :

A = Kasus yang mengalami paparan

B = Kontrol yang mengalami paparan

C = Kasus yang tidak mengalami paparan

D = Kontrol yang tidak mengalami paparan

Rumus perhitungan nilai OR :

OR = odd pada kelompok kasus : odd pada kelompok kontrol

OR = {A / (A+B) : B / (A+B)} / {C / (C+D) : D / (C+D)}

OR = A/B : C/D = AD/BC

Interpretasi nilai OR dan 95% CI :

a. Bila OR > 1 dan 95 % CI tidak mencakup angka 1 : perilaku yang diteliti merupakan faktor resiko timbulnya penyakit

b. Bila OR > 1 dan 95% CI mencakup angka 1 : perilaku yang diteliti belum tentu merupakan faktor resiko timbulnya penyakit.

c. Bila OR = 1, baik 95% CI tidak mencakup angka 1 maupun 95% CI mencakup angka 1 : perilaku yang diteliti bukan merupakan faktor resiko timbulnya penyakit.

d. Bila OR < 1 dan 95% CI tidak mencakup angka 1 : perilaku yang diteliti merupakan faktor protektif yang dapat mengurangi terjadinya penyakit.

e. Bila OR < 1 dan 95% CI mencakup angka 1 : perilaku yang diteliti belum tentu merupakan faktor protektif yang dapat mengurangi terjadinya penyakit.3.9. Etika Penelitian

Dalam peneltian ini, peneliti tetap mengedepankan masalah etika yaitu:

3.9.1. Lembar persetujuan menjadi responden

Lembar persetujuan dibagikan kepada seluruh subyek penelitian. Tujuannya agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian, serta kesediaan subyek untuk menjadi responden penelitian. Jika subyek bersedia menjadi responden, maka subyek harus bersedia di observasi dan di wawancara, dan peneliti akan tetap menghormati hak-hak responden.3.9.2. AnonimityNama pasien yang menjadi responden tidak perlu dicantumkan pada lembar pengumpulan data, hal ini untuk menjaga obyektifitas data. Untuk mengetahui partisipasi dan peran serta responden, peneliti cukup menuliskan nomor kode pasien pada masing-masing lembar persetujuan.3.9.3. ConfidentialityKerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dan dijumpai pada pasien, dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan benar-benar digunakan untuk tujuan penelitian.BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN4.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sampel yang diambil adalah pasien laki-laki yang berjumlah 58 orang dan telah disesuaikan dengan kriteria inklusi dalam penelitian ini. Sampel dibagi menjadi kelompok kasus sebanyak 29 orang dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dan kelompok kontrol sebanyak 29 orang dengan tanpa Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK).4.1.1. Analisa Univariat4.1.1.1. Status Banyak Rokok Yang DikonsumsiBerdasarkan status banyak rokok yang dikonsumsi didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah perokok dan persentase Responden Berdasarkan Jumlah Banyak rokok yang dikonsumsiJumlah Batang Rokok Dihisap/HariJumlah PerokokPersentase %

0-51322,4 %

6-101119 %

11-152441,4 %

16-2023,4 %

21-25813,8 %

Total58100 %

Sumber: Data primer yang diolah.

Gambar 4.1 Diagram banyak rokok yang dikonsumsi

Berdasarkan tabel dan diagram 4.1 diatas dapat dilihat bahwa banyaknya jumlah batang rokok yang dihisap oleh responden dengan konsumsi 0-5 batang rokok berjumlah 13 orang atau 22,4 % , kemudian yang mengkonsumsi 6-10 batang rokok perhari berjumlah 11 orang atau 19 %, yang mengkonsumsi 11-15 batang rokok perhari berjumlah 24 orang atau 41,4 % , yang mengkonsumsi 16-20 batang rokok perhari berjumlah 2 orang atau 3,4 %, yang mengkonsumsi 21-25 batang rokok perhari berjumlah 8 orang atau 13,8 %. 4.1.1.2. Status Lama Konsumsi Rokok Berdasarkan status lama rokok yang dikonsumsi

didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4.2 Distribusi Jumlah perokok dan persentase Responden Berdasarkan Lama Konsumsi rokokLama merokok/TahunJumlah PerokokPersentase %

0-51220,7 %

6-10813,8 %

11-15915,5 %

16-201017,2 %

21-25610,3 %

26-3023,4 %

31-3523,4 %

36-4011,7 %

41-4546,9 %

46-5035,2 %

51-5511,7 %

Total58100 %

Sumber: Data primer yang diolahGambar 4.2 Diagram Lama Konsumsi Rokok

Berdasarkan tabel dan diagram 4.2 diatas dapat dilihat bahwa lamanya rokok yang dikonsumsi responden antara 0-5 tahun berjumlah 12 orang atau 20,7%, kemudian yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 6-10 tahun berjumlah 8 orang atau 13,8%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 11-15 tahun berjumlah 9 orang atau 15,5%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 16-20 tahun berjumlah 10 orang atau 17,2%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 21-25 tahun berjumlah 6 orang atau 10,3%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 26-30 tahun berjumlah 2 orang atau 3,4%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 31-35 tahun berjumlah 2 orang atau 3,4%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 36-40 tahun berjumlah 1 orang atau 1,7%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 41-45 tahun berjumlah 4 orang atau 6,9%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 46-50 tahun berjumlah 3 orang atau 5,2%, yang mengkonsumsi rokok lamanya antara 51-55 tahun berjumlah 1 orang atau 1,7%.4.1.1.3. Status Merokok RespondenBerdasarkan status merokok responden didapatkan data dari rumus jumlah batang rokok yang dikonsumsi perhari dikalikan lamanya merokok pertahun dengan data sebagai berikut : Tabel 4.3 Distribusi Jumlah Perokok dan Persentase Responden Berdasarkan Status MerokokStatus MerokokJumlah PerokokPresentase (%)

Berat46,9 %

Sedang2441,4 %

Ringan2034,5 %

Tidak merokok1017,2 %

Total58100 %

Sumber: Data primer yang diolah

Gambar4.3Diagram status merokok responden

Berdasarkan tabel dan diagram 4.3 diatas dapat dilihat bahwa jumlah perokok atau responden yang merokok dengan status perokok berat berjumlah 4 orang atau 6,9%, kemudian perokok sedang berjumlah 24 orang atau 41,4%, perokok ringan berjumlah 20 orang atau 34,5% sedangkan responden tidak merokok berjumlah 10 orang atau 17,2% dari 58 orang. Dari sebagian besar data responden yang didapatkan dalam penelitian adalah responden dengan status perokok sedang menempati urutan tertinggi dengan 24 orang atau 41,4 % dari 58 orang responden sedangkan status perokok berat menempati urutan terbawah dengan 4 orang atau 6,9 % dari 58 orang responden.4.1.1.4. Status Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Berdasarkan status Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4.4Distribusi Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Derajat Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) di Lihat dari Hasil FEV1Hasil FEV1Jumlah RespondenPresentase (%)

Sangat Berat813,8 %

Berat46,9 %

Sedang1424,1 %

Ringan35,2 %

Tidak PPOK2950 %

Total58100 %

Sumber : Data primer yang diolah.

Gambar 4.4 Diagram Derajat Penyakit Paru Obstruksi kronis Berdasarkan tabel dan diagram 4.4 diatas dapat dilihat bahwa pasien yang mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yang dinilai dari hasil FEV1 antara lain ; derajat sangat berat berjumlah 8 orang atau 13,8 %, kemudian penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat berat berjumlah 4 orang atau 6,9 %, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat sedang berjumlah 14 orang atau 24,1 %, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat ringan 3 orang atau 5,2 % sedangkan pasien yang tidak mengalami Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) berjumlah 29 orang atau 50 % dari 58 orang.4.1.2. Analisa Bivariat4.1.2.1. Hubungan Status Merokok dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)Tabel 4.5 Crosstab Status Merokok dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)Status MerokokDiagnosaTotal

PPOKTidak PPOK

BeratMerokok21 (75%)7 (25%)28 (100%)

Sedang

Ringan Tidak Merokok8 (26,7%)22 (73,3%)30 (100%)

Tidak merokok

Total29 (50%)29 (50%)58 (100%)

Sumber : Data primer yang diolahOR = AD/BC

OR = 21.22/8.7

OR = 462/56

OR = 8,25

Dari tabel silang dan perhitungan rasio prevalensi diatas diperoleh hasil odds rasio prevalensi (OR) sebesar 8,25 (OR > 2), hal ini menunjukkan bahwa variabel independent tersebut merupakan faktor resiko yang mempengaruhi variabel dependent yang dalam dalam hal ini konsumsi rokok merupakan faktor resiko untuk memicu terjadinya penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) 8,25 kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsi rokok.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 58 orang responden, didapatkan responden yang mengkonsumsi rokok mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) berjumlah 21 orang atau 75%, dan responden yang mengkonsumsi rokok tidak mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) berjumlah 7 orang atau 25%, sedangkan responden yang tidak mengkonsumsi rokok mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) berjumlah 8 orang atau 26,7% dan responden yang tidak mengkonsumsi rokok tidak mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) berjumlah 22 orang atau 73,3%.Tabel 4.6 Uji SpearmanKategoriKoefisien korelasiP Value

Nilai0,5810,000

Sumber : Data primer yang diolah

Pada penelitian yang peneliti lakukan didapatkan adanya pengaruh konsumsi rokok terhadap kejadian penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yang dilihat dari nilai FEV1. Dengan nilai koefisien korelasi 0,581 merupakan tingkat korelasi yang sedang dengan arah korelasi positif. Korelasi pada penelitian ini diperkuat dengan nilai P Value sesbesar 0,000 lebih kecil dari dimana nilai sama dengan 0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pengaruh konsumsi rokok terhadap kejadian penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yang dilihat dari nilai FEV1.Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan FEV1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok (Suradi, 2009).

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka resiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brinkman, yaitu jumlah rata-rata konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah lamanya merokok dalam (tahun), misalnya seseorang mengkonsumsi 10 batang rokok sehari dikalikan lamanya orang tersebut merokok dalam 40 tahun terakhir sehingga didapatkan angka dari indeks brinkman adalah 400 batang tahun, maka dapat disimpulkan seseorang tersebut termasuk perokok sedang dalam klasifikasi indeks brinkman. 4.2. Keterbatasan Penelitian1. Peneliti mengabaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yang dilihat dari nilai FEV1 seperti faktor genetik, polusi udara, infeksi saluran nafas bawah berulang dan sosial ekonomi. 2. Hal-hal diatas dikarenakan terbatasnya jumlah waktu dan sampel untuk diteliti. Selain itu juga karena hal-hal tersebut diluar kemampuan peneliti untuk diteliti.3. Peneliti tidak melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium pada pasien yang mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Dari Analisa Univariat jumlah perokok dan banyak rokok yang dikonsumsi didapatkan jumlah perokok tertinggi adalah 24 orang dengan konsumsi 11-15 batang rokok perhari, sedangkan jumlah perokok terendah adalah 2 orang dengn konsumsi 16-20 batang perhari. Kemudian berdasarkan lama konsumsi rokok didapatkan jumlah perokok tertinggi adalah 12 orang dengan lama merokok antara 0-5 tahun, sedangkan jumlah perokok terendah adalah 1 orang dengan lama merokok antara 36-40 tahun dan 51-55 tahun. 2. Didapatkan juga jumlah perokok berdasarkan status konsumsi rokok tertinggi adalah 24 orang dengan status merokok sedang, sedangkan jumlah frekuensi terendah adalah 4 orang dengan status merokok berat dari 58 orang. Diperoleh juga jumlah dan persentase berdasarkan derajat penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dilihat dari hasil FEV1 dimana jumlah responden tertinggi adalah 14 orang derajat penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) sedang, sedangkan jumlah responden terendah adalah 3 orang dengan derajat penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) ringan dari 58 orang.

3. Dari Analisa Bivariat didapatkan perhitungan odds rasio, seorang perokok memiliki resiko 8,25 kali lebih besar dibandingkan bukan perokok untuk terjadinya penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). Kemudian didapatkan nilai koefisien korelasi sedang dan arah korelasi positif dengan nilai koefisien korelasi 0,581 pengaruh konsumsi rokok terhadap kejadian penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) yang dilihat dari nilai FEV1. Jadi terdapat hubungan yang signifikan antara pengaruh konsumsi rokok terhadap kejadian penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dengan P Value 0,000.5.2. Saran1. Melihat ada pengaruh konsumsi rokok terhadap kejadian penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), hal ini menunjukkan bahwa efek buruk rokok dapat mempengaruhi fungsi faal paru seseorang dan juga memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan, untuk itu diharapkan bagi masyarakat untuk mengurang atau bahkan menghindari untuk mengkonsumsi rokok.

2. Tenaga kesehatan yang telah mengetahui efek buruk rokok, diharapkan menginformasikan kepada masyarakat tentang efek buruk rokok tersebut.

3. Sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya, peneliti sebaiknya juga meneliti faktor-faktor yang belum diteliti oleh peneliti seperti faktor genetik, polusi udara, infeksi saluran nafas bawah berulang dan sosial ekonomi.

4. Untuk mengurangi efek buruk dari merokok, sebaiknya para perokok melakukan olahraga secara teratur, mengkonsumsi makanan bergizi dan tetap mengurangi konsumsi rokok.

Konsumsi Rokok

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Diteliti

Tidak diteliti

Genetik

Polusi udara

Infeksi saluran nafas bawah berulang

Sosial ekonomi

Statis mukus

Obstruksi saluran

Yang reversibel

Erosi epitel, pembentukan jaringan parut.

Metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan mukosa

Obstruksi saluran napas yang irreversible

(stenosis)

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Nilai FEV1

(force ekspiratori volume 1 second)

Produksi mukus

bertambah

Paralisis silia

Hipertropi

Hiperplasi

Kelenjar mukus

Bronkospasme

Iritasi bronkus (asap rokok)

Populasi Pasien RSUP NTB

Pasien PPOK (Populasi Kasus)

Pasien Non PPOK (Populasi Control)

Kriteria Inklusi

Pasien PPOK (Sampel Kasus)

Pasien Non PPOK (Sampel Control)

Anamnesis, Kuesioner, pengukuran FEV1

Anamnesis, Kuesioner, pengukuran FEV1

Analisa data Hubungan Merokok dengan PPOK pada kedua kelompok

5

_1415194049.unknown

_1415194109.unknown

_1415194119.unknown

_1415169206.unknown