ayo berjuang hamzah ganteng

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pertamina merupakan salah satu perusahaan yang memiliki tingkat resiko kecelakaan kerja yang tinggi Oleh karena itu Pertamina melalui Departemen LK3 telah memiliki program untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dengan menyusun kebijakan pelaksanaan program Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan (K3LL) untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan kerja, serta menciptakan tempat kerja yang aman. Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. 1

Upload: james-rambo-omega

Post on 25-Sep-2015

253 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asedaf

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Pertamina merupakan salah satu perusahaan yang memiliki tingkat resiko kecelakaan kerja yang tinggi Oleh karena itu Pertamina melalui Departemen LK3 telah memiliki program untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dengan menyusun kebijakan pelaksanaan program Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lindungan Lingkungan (K3LL) untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan kerja, serta menciptakan tempat kerja yang aman.

Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca memahami pentingnya Keselamatan kerja, dan mampu menangani korban kecelakaan kerja serta dapat mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana cara mencegah kecelakaan kerja menjadi seminimalisir mungkin ?

2. Apa pengaruh kecelakaan kerja terhadap produksi minyak ?

3. Bagaimana cara membuat pekerja menaati aturan Teknik K-3?

BAB II

TEORI

2.1 Keselamatan Kerja

Keselalatam kerja sebenarnya jauh sebelum ulmu pengetahuan berkembang telah mulai dikanal dan dibutuhkan oleh semua orang, terbukuti dengan adanya kebiasanaan dan sudah menjadi budaya dibeberapa masyarakat.

Bukti ini dapat ditemui sejak zaman dahulu hingga sekarang masih ada sebahagian masyarakat yang mempercayainya, sebagai contoh dalam pelaksanaan suatu kegiatan dalam mengharapkan keselamatan pada pembangunan atau pembuatan suatu bangunan atau proyek, sebelum kegiatan tersebut dilakukan terlebih dahulu diadakan seperti upara pemotongan hewan seperti kerbau, sapi, kambung . Hewan tersebut dipotong dan kepalanya ditanam pada lokasi proyek tersebut, sedangkan daging dimassak dan dimakan bersama sekelaigus upara do.a selamatan.

Budaya dipulau Jawa misalnya dapat dijumpai adanya pemotongan nasi tumpen,. melakukan persembahan dilaut dan lain sebagainya ini tidak lain untuk maksud mengharapakan keselamatan dalam melakukan kegiatan, pembangunan rumah tempat tinggal misalnya juga ada suatu upacara seperti sebelum kuda-kuda rumah dipasang atau sebelum pemasangan atap dilakukang pemotongan ayam warna hitam, menggantungkan berupa bibit kelapa, pisang, tebu, memasang bendera, kain warna warni dan mungkin banyak lagi upacara-upacara yang dilakukan masyarakat untuk keselamatan, baik keselamatan para pekerja yang melakukan pembangunan tersebut maupun keselamatan pemilik bangunan tersebut.

Kira-kira 180 tahun yang lalu (1829) permulaan revolusi dalam tahnik perlindungan yang dimulai dengan membuat produksi mekanis dalam ukuran besar dengan pabrik-pabrik sebagai unit produksi. Dalam revolusi tehnik perlindungan tersebut merupakan pangkal terjadinya kecelakaan dengan jumlah yang besar.

Munculnya revolusi industri di Inggris berjalan sebagai orang yang memperoleh kemenangan tanpa adanya belas kasihan, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan serta menyebar luasnya rasa takut. Hal ini menghendaki adanya pembaharuan-pembaharuan dan penyempurnaan dalam tehnologi.

Kemudian gerakan pembaharuan dan penyempurnaan tehnologi itu dilakukan oleh orang-orang yang merasa bertanggung jawab moral terhadap perbaikan untuk kepentingan sesamanya dengan memperhatikan usaha pencegahan kecelakaan.

Tujuan dari perubahan-perubahan dan penyempurnaan ini adalah untuk meyakinkan pemerintah agar melindungi pekerja-pekerja pabrik (termasuk pekerja anak-anak) yang sering kali hidup dan bekerja dengan rasa takut terhadap bahaya. Dengan usaha perlindungan tersebut dinilai akan dapat menurunkan tingkat kecelakaan.

Pada abad ke 18 ini, sebagai hasil penemuan-penemuan baru yang menarik perhatian antara lain terciptanya mesin seperti mesin-mesin tenun pintal, menyebabkan industri tekstil berkembang pesat. Timbullah permintaan akan mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang rendah dan sesuai dengan keperluan industri. Untuk itu pada umumnya dipekerjakan tenaga kerja anak dibawah umur dari kalangan keluarga miskin, mereka bekerja secara sembunyi-sembunyi dan tidak diberikan jaminan perlindungan. Mereka bekerja dengan tidak disediakan seperti sarana, sanitasi yang tidak memenuhi syarat dan bahkan mereka bekerja antara 14 atau 15 jam sehari. Lebih-lebih lagi setelah adanya peningkata akan kebutuhan tenaga kerja dibarengi dengan kecepatan perkembangan mekanisasi yang mengakibatkan pabrik dan industri lebih berbahaya lagi.

Perkembanagan usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat. Memang disadari bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang baru berkembang belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan kegiatan secara luas dibidang keselamatan dan kesehatan kerja seperti di beberapa negara telah maju. Namun demikian kegiatan tersebut di Indonesia sebenarnya telah dimulai dari sebelum perang dunia pertama pada saat itu Indonesia masih dibawah jajahan Belanda, masalah keselamatan kerja telah dilaksanakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.. Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan program-program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Gagasan untuk usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah dimulai pada kira-kira tahun 1847, sejalan dengan dimulainya pemakaian mesin-mesin uap untuk keperluan industri di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Usaha tersebut pada dasarnya bukanlah ditujukan untk perlindungan tenaga kerja, tetapi hanya ditujukan terhadap pengawasan pemakaian pesawat-pesawat uap yang pada waktu itu baru dikenal. Orang baru menyadari pada waktu itu akibat-akibat aoa yang mungkin terjadi dengan pemakaian pesawat-pesawat uap tersebut.

Sesuai dengan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik yang menggunakan ketel-ketel uap, Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1852 dengan Staatsblad Nomor 20 mengeluarkan peraturan tentang penjagaan keselamatan kerja pada pemakaian pesawat-pesawat uap. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini diserahkan kepadainstansi yang dibentuk dalam waktu yang bersamaan yaitu instansi Diens van het stoomwezen

Dengan adanya Dinas Stoomwezen ini, maka untuk pertama sekali di Indonesia, Pemerintah secara nyata mengadakan usaha perlindungan tenaga kerja darai bahaya kecelakaan kerja, walaupun baru sebatas pada para operator atau pelayan pesawat-pesawat uap saja, perlindungan itu belumlah dianggap penting. Hal ini sangat dimengerti karena pada waktu itu perlindungan tenaga kerja hanya ditujukan terhadap tenaga kerja terdiri dari orang-orang yang dijajah dan belum dianggap sebagai suatu kepentingan masyarakat oleh pihak pemerintah yang menjajah.

Pada tahun 1888 karena pengawasan atas kereta api swasta sangat dibuthkan, maka Dinas Stoomwezen itu digabungkan dengan Dinas Kereta Api Pemerintah yang pada waktu itu dinamakan Staats Spoorwagen. Penggabungan ini ternyata tidak dapat berjalan baik, karena para insinyur harus bekerja untuk dua instansi yaitu untuk Dinas Kereta Api dan Dinas Stoomwezen, sehingga mereka tidak dapat menangani masalah yang timbul pada kedua instansi tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini banyak membuat kesukaran. Oleh sebab itu pada tahun 1909 didirikan Dinas Stoomwezen sebagai dinas sendiri mempunyai perwakilan di Belanda.

Untuk membantu kelancaran tugas pengawasan ketel-ketel uap, dirasakan perlu pada waktu itu adanya suatu unit penyelidikan bahan-bahan dan didirikan pula satu unit Laboratorium Penyelidikan Bahan yang merupakan bagian dari Dinas Stoomwezen, untuk keperluan pendidikan kira-kira tahun 1912 Laboratorium tersebut diserahkan kepada Sekolah Tehnik Tinggi di Bandung dan sekarang menjadi bagian dari Kementrian Perindustrian dengan nama Balai Penelitian Bahan-bahan.

Pada akhir abad ke 19 pemakaian pesawat-pesawat berjalan sangat pesat dan disusul pula pemakaian mesin-mesin diesel, listrik di pabrik-pabrik dan industri, akan menimbulkan pula bahaya baru bagi pada tenaga kerja dan banyak terjadi kecelakaan kerja pada waktu itu. Pada tahn 1901 Pemerintah mulai memikirkan perlunya memperluas usaha pencegahan kecelakaan kerja.

Pada tahun 1905 sebagai kelanjutan usaha ini dengan Staatsblad Nomor 521 oleh Pemerintah mengelarkan suatu Peraturan tentang Keselamatan Kerja dengan nama Veiligheids Reglement sering disingkat V.R kemudian diperbaharui pada Tahun 1910 dengan Staatsblad Nomor 406 yaitu Pengawasan terhadap Pelaksanaan peraturan ini diserahkan tanggung jawabnya kepada Dinas Stoomwezen.

Sesudah Perang Dunia I proses mekanisasi dan elektrifikasi berjalan lebih pesat sekali. Mesin-mesin Diesel dan listrik mulai memegang peranan, jumlah kecelakan yang terjadi semakin meningkat, sehingga pengawasan terhadap pabrik-pabrik dan bengkel harus lebih ditingkatkan lagi. Pada Tahun 1925 nama Dienst Van Het Stoomwezen diganti dengan nama yaitu Dienst Van Het Veiligheids Toezicht disingkat V.T ( Pengawasan Keselamatan Kerja) untuk lebih mempunyai kewibawaan dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan agar lebih sesuai dengan tugas perlindungan tenaga kerja, maka Dinas V.T masuk kedalam bagian Kantor Perburuhan dibawah Departemen Van Justitie (sekarang Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia).

Perkembangan perlindungan atas Keselamatan Kerja terus meningkat seiring dengan perkembangan penggunaan Ketel-ketel uap dengan type dan jenis bermacam-macam dan mempunyai tekanan yang semakin tinggi, sehingga pengawasan harus ditingkatkan lagi. Pada Tahun 1930 Pemerintah mengeluarkan Stoomordonantie dan Stoomverordening dengan Staatsblad Nomor 225 dan Staatsblad Nomor 339 sampai sekarang peraturan ini masih tetap berlaku dan belum ada pengganti ataupun belum dicabut keberlakuannya.

Pada Tahun 1970 Peraturan Keselamatan Kerja yang lama yaitu Veilegheids Reglement 1910 diganti dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Republik Indonesia dengan Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970.

Undang-Undang Keselamatan Kerja ini sangat berbeda dengan VR 1910 yang bersifat pengawasan represif polisionil, sedangkan UU Nomor 1 Tahun 1870 bersifat Pengawasan Preventif, edukatif dan represif pro justisia, Undang-Undang ini berlaku terhadap semua tempat kerja, bukan hanya pabrik dan perbengkelan saja, yaitu disemua tempat kerja yang mempunyai sumber-sumber bahaya, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Didalam Undang-Undang Nomor 1 than 1970 telah mengamanatkan bahwa pengawasan terhadap keselamatan kerja ini telah jelas diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah dan secara operasionalnya berada dibawah tanggung jawab pegawai pengawas keselamatan kerja.

Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini pengawasan keselamatan kerja ini berada dalam Direktorat Pembinaan Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Hyperkes dibawah Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Unit kerja pengawasan keselamatan kerja ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada saat ini berada pada seksi pembinaan Keselamatan kerja setingkat esselon IV.

2.2 HIPERKES

Berangkat dari buku yang berjudul De Morbis Articum Diatriba yang ditulis oleh Barnardin Ramazzini (1633-1714) yaitu dapat jugalah disebut sebagai Bapak Kesehatan Kerja dan Higene Persahaan. Didalam bukunya itu diuraikan tentang berbagai-bagai penyakit dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, dialah yang telah membuat semakin jelasnya persoalan, bahwa pekerjaan dapat menimbulkan penyakit, yaitu penyakit akibat kerja, dia jugalah yang menambahkan cara diagnosa Hippocrates dengan satu hal, meminta sisakit untuk menceritakan apa pekerjaannya.

Di Indonesia sebenarnya sangat sulit menentukan sejak kapan dimulainya Hiperkes ini, berkembangnya dan adanya Hiperkes ini bermula dengan adanya pekerjaan dalam hubungan keja dan hubungan pengupahan atau penggajian.

Kapan dimulainya ada pekerjaan atas dasar pengupahan atau penggajian itu tidaklah dapat diketahui mulainya. Namun dapatlah dianggap mulai adanya tentara pada zaman dahulu, permulaan adanya pekerjaan dengan sistim adanya upah atau gaji yang diterima oleh tentara itu dan peperangan dapat pulalah dianggap pekerjaan yang menimbulkan korban-korban atau kecelakaan-kecelakaan akibat perang tersebut, Oleh sebab itu Hiperkes mulai berlembaga pada waktu itu. Selain dari itu pekerjaan atas dasar paksaan atau kerja paksa dan hukuman juga menjadi sebab berkembangnya Hiperkes.

Pekerja-pekerja yang melakukan pekerjaan didalam tambang pada waktu itu adalah para tawanan perang dan pesakitan, yang akhirnya mereka meninggal oleh karena melakukan pekerjaan itu sendiri.

Bapak ilmu kedokteran terkenal yaitu Hippocrates rupanya pada saat itu belum menaruh perhatian, ini dapat dibuktikan dari buku-bukunya, sebab mendasarkan teorinya kepada keseimbangan makanan dan latihan (exercise), tetapi latihan yang dimaksudkannya sama sekali tidak ditujukan kepada pekerja, begitu pula Hippocrates tidak memperhatikan pula penyakit kaum pekerja.

Kira-kira abad ke 16 baru adanya gambaran tentang penyakit-penyakit akibat kerja tambang dan pekerja-pekerja lainnya menurut Agricola dan Paracelcus.

Agricola dengan bukunya De Re Metalica (1556) sedangkan Paracelcus menulis dalam bukunya Von der Bergscht und Anderen Bergkrankheiten (1569), keduanya menulis dan menggambarkan pekerjaan-pekerjaan dalam tambang, cara mengolah biji tambang dan penyakit-penyakit yang diderita oleh para pekerja, bukan itu saja akan tetapi mereka telah mempelopori dengan gagasan bagaimana pencegahan terhadap timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dengan menganjurkan untuk membuat ventilasi, pemakaian tutup muka dengan daun-daunan pada saat pekerja melakukan pengecatan sebagai alat pelindung diri (APD), Paracelcus menguraikan dengan panjang lebar tentang bahan-bahan kimia, sehingga dia dapat dianggap telah memulai toksikologi moderen. namun orang yang disebut sebagai Bapak Hiperkes sebenarnya adalah Bernardine Ramazzini (1633-1714) dengan anjuranya pula yang sangat penting, mustahil belaka mendiagnosa penyakit akibat kerja tanpa mengetahui jenis pekerjaan sisakit.

Perkembangan Hiperkes di Indonesia sejak zaman penjajahan hanya ditujukan untuk memberikan kesehatan sekedarnya saja kepada para pekerja-pekerja agar mereka cukup sehat sehingga mampu untuk memproduksi bahan-bahan yang diperlukan oleh negara penjajah seperti Belanda, cara pengorganisasinya pun sangat sederhana tanpa adanya aturan-aturan yang jelas. Baru pabad 20 mulai dibuat aturan mengenai kebersihan, keselamatan, kesehatan yang sangat sederhana sekali sesuai dengan keperluan pada saat itu. Pada zaman penjajahan Jepang sama sekali Hiperkes tidak ada perkembangan dan begitu juga tidak ada dorongan kearah itu.

Perkembangan Hiperkes sesungguhnya baru dimulai setelah Indonesia merdeka dengan adanya Undang-Undang Kecelakaan Kerja Nomor 2 Tahun 1947 dan Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 yang dirobah menjadi undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951 telah memuat pokok-pokok yang berkaitan dengan kesehatan dan hygiene persahaan yang dilaksanakan oleh Departemn Perburuhan waktu itu.

Dengan didirikannya Lembaga Kesehatan Buruh pada tahun 1957 yang hanya berfungsi sebagai penasehat dan alat untuk meningkatkan mutu ilmiah kesehatan. Pada tahun 1965 lembaga ini dirubah menjadi Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Buruh dengan fungsinya adalah : 1) pusat pendidikan yang ditujukan kepada calon-calon dokter atau dokter yang akan bekerja diperusahaan, pengawas-pengawas perburuhan, 2) untuk memberikan jasa dan nasehat kepada buruh/pekerja, 3) pusat riset dan penelitian untuk meningkatkan mutu keilmuan kesehatan dan keselamatan kerja, 4) pusat publikasi, baik majalah maupun buku-buku pedoman tentang keselamatan dan kesehatan kerja dan 5) penghubung dan kerjasama internasional dalam keselamatan dan kesehatan kerja.

Tahun 1966 pada saat Kabinet Ampera dibentuklah secara resmi Lembaga Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja dan terakhir dirobah menjadi Pusat Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja hingga saat ini untuk tingkat pusat, sedangkan untuk tingkat daerah Provisi ada Balai Hiperkes.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Faktor - faktor Kecelakaan

Studi kasus menunjukkan hanya proporsi yang kecil dari pekerja sebuah industri terdapat kecelakaan yang cukup banyak. Pekerja pada industri mengatakan itu sebagai kecenderungan kecelakaan. Untuk mengukur kecenderungan kecelakaan harus menggunakan data dari situasi yang menunjukkan tingkat resiko yang ekivalen.

Begitupun, pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus dianalisa, untuk seseorang yang berada di kelas pelatihan kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang diketahuinya. Satu lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan terhadap kecelakaan yang kecil atau salah satu kecelakaan yang besar. Pendekatan yang sering dilakukan untuk seorang manager untuk salah satu faktor kecelakaan terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upahnya. Bagaimanapun jika banyak pabrik yang melakukan hal diatas akan menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan, dan tidak membayar upah pekerja akan membuat pekerja malas melakukan pekerjaannya dan terus membahayakan diri mereka ataupun pekerja yang lain. Ada kemungkinan bahwa kejadian secara acak dari sebuah kecelakaan dapat membuat faktor-faktor kecelakaan tersendiri.

3.1.1 Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.

1. Kapasitas Kerja

Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.

1. Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 - 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stres.

1. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).

3.1.2 Sebab-sebab Kecelakaan

Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau kondisi yang tidak aman. Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari teknik keselamatan. Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti kegagalan dalam melihat atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas sebuah tangga. Hal tersebut menunjukkan cara yang lebih baik selamat untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan memperbaiki kesadaran mengenai keselamatan setiap karyawan pabrik.

Diantara kondisi yang kurang aman salah satunya adalah pencahayaan, ventilasi yang memasukkan debu dan gas, layout yang berbahaya ditempatkan dekat dengan pekerja, pelindung mesin yang tak sebanding, peralatan yang rusak, peralatan pelindung yang tak mencukupi, seperti helm dan gudang yang kurang baik.

Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya diklasifikasikan seperti latihan sebagai kegagalan menggunakan peralatan keselamatan, mengoperasikan pelindung mesin mengoperasikan tanpa izin atasan, memakai kecepatan penuh, menambah daya dan lain-lain. Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena mereka lalai ataupun kondisi kerja yang kurang aman, tidak hanya satu saja. Keselamatan dapat dilaksanakan sedini mungkin, tetapi untuk tingkat efektivitas maksimum, pekerja harus dilatih, menggunakan peralatan keselamatan.

BAB IV

CARA PENCEGAHAN

4.1 Tindakan yang dilakukan dalam Menangani Korban Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling berkaitan. Pekerja yang menderita gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja cenderung lebih mudah mengalami kecelakaan kerja. Menengok ke negara-negara maju, penanganan kesehatan pekerja sudah sangat serius. Mereka sangat menyadari bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara akibat suatu kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sangat besar dan dapat ditekan dengan upaya-upaya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja.

Di negara maju banyak pakar tentang kesehatan dan keselamatan kerja dan banyak buku serta hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan tenaga kerja yang telah diterbitkan. Di era globalisasi ini kita harus mengikuti trend yang ada di negara maju. Dalam hal penanganan kesehatan pekerja, kitapun harus mengikuti standar internasional agar industri kita tetap dapat ikut bersaing di pasar global. Dengan berbagai alasan tersebut rumah sakit pekerja merupakan hal yang sangat strategis. Ditinjau dari segi apapun niscaya akan menguntungkan baik bagi perkembangan ilmu, bagi tenaga kerja, dan bagi kepentingan (ekonomi) nasional serta untuk menghadapi persaingan global.

Bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah ada, rumah sakit pekerja akan menjadi pelengkap dan akan menjadi pusat rujukan khususnya untuk kasus-kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Diharapkan di setiap kawasan industri akan berdiri rumah sakit pekerja sehingga hampir semua pekerja mempunyai akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Setelah itu perlu adanya rumah sakit pekerja sebagai pusat rujukan nasional. Sudah barang tentu hal ini juga harus didukung dengan meluluskan spesialis kedokteran okupasi yang lebih banyak lagi. Kelemahan dan kekurangan dalam pendirian rumah sakit pekerja dapat diperbaiki kemudian dan jika ada penyimpangan dari misi utama berdirinya rumah sakit tersebut harus kita kritisi bersama.

Kecelakaan kerja adalah salah satu dari sekian banyak masalah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja yang dapat menyebabkan kerugian jiwa dan materi. Salah satu upaya dalam perlindungan tenaga kerja adalah menyelenggarakan P3K di perusahaan sesuai dengan UU dan peraturan Pemerintah yang berlaku. Penyelenggaraan P3K untuk menanggulangi kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. P3K yang dimaksud harus dikelola oleh tenaga kesehatan yang professional.

Yang menjadi dasar pengadaan P3K di tempat kerja adalah UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja; kewajiban manajemen dalam pemberian P3K, UU No.13 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja ; tugas pokok meliputi P3K dan Peraturan Mentri Tenaga Kerja No. 05/Men/1995 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

4.2 Pengendalian kesehatan karyawan (Medical Control)

Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control) Yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi :

1. Pemeriksaan Awal Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Anamnese umumPemerikasaan kesehatan awal ini meliputi:

0. Anamnese pekerjaan

0. Penyakit yang pernah diderita

0. Alrergi

0. Imunisasi yang pernah didapat

0. Pemeriksaan badan

0. Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan tertentu :

0. Tuberkulin test

0. Psiko test

1. Pemeriksaan Berkala Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala. Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.

1. Pemeriksaan Khusus Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern laboratorium kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.

BAB V

STUDI KASUS

5.1 Produk Gagal Ban Bridgestone / Firestone Inc

Studi Kasus pada Tahun 2000 Bridgestone/Firestone Inc telah menarik 6,5 juta produk ban-nya. salah satu dari penarikan part produk otomotif Berbahaya terbesar di Dunia. penarikan tersebut diakibatkan karena kecurigaan atas kematian 175 orang dan 700 orang korban luka-luka akibat pecah ban. produsen pesaingnya GOODYEAR juga mengalami masalah yang pada produk ban-nya yang barhubung dengan kecelakaan yang mengakibatkan kematian 15 orang dan 120 orang luka-luka.

5.2 Produk Gagal Suzuki Arashi 125

Motor keluaran suzuki yang mulai diluncurkan pada Tahun 2005 ini diposisikan sebagai pendamping Shogun 125 dengan fitur lampu ditengah dan mesin lebih sedikit bertenaga dibanding shogun 125, namun produk ini kurang laku di pasaran sebab konsumen 'merasa' aneh dengan bentuk bebek seperti ini dan mereka cenderung menyukai lampu dibatok saja , padahal dari sisi mesin produk ini lebih baik dibanding supra - x 125, hl ini disebabkan brand image suzuki yang terkenal kencang tapi sedikit boros, spareparts yang mahal karena hanya tersedia original,jaringan service yang sedikit dibanding honda , dan harga jual kembali yang jatuh padahal sesungguhnya produk ini tidak seperti itu.

Pada akhirnya Tahun 2007 awal suzuki menghentikan produksi motor ini dan konsen dengan produk andalan mereka yaitu suzuki shogun 125 yang namanya masih diterima dimasyarakat walaupun angka penjualannya belum melampaui angka penjualan supra-x 125.

5.3 Kualitas Produk dan Produk Gagal

Istilah Produk Gagal sesungguhnya istilah yang diberikan kepada produk (barang ataupun jasa) yang mutu atau kualitasnya tidak memenuhi standar yang disyaratkan. Standar mutu/kualitas bisa berasal atau ditetapkan dari pabrik atau bisa pula berdasarkan ketentuan standar secara umum dari luar pabrik. Dari pabrik sendiri menetapkan standar mutu sebagai bagian dari ciri khas produk yang membedakannya dengan produk-produk lainnya yang sejenis (produk pesaing).Pihak pabrik terkadang juga menerapkan standar mutu lain yang berasal dari organisasi standar mutu sepertiISO(International Organization for Standardization) atau yang berasal dari dalam negeri sepertiSNI(Standar Nasional Indonesia). Selain itu, standar mutu tambahan lainnya juga berasal dari regulasi yang mengatur mengenai ketentuan ataupun persyaratan suatu produk baik barang maupun jasa. Misalnya, regulasi pemerintah tentang standar keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam menggunakan atau mengkonsumsi produk.

Jika dalam pengujian mutu (untuk produk jenis barang) ditemukan mutu produk di bawah standar yang ditetapkan oleh pabrik, maka produk (barang) tersebut dikategorikan sebagai Produk Gagal. Pengujian mutu tidak hanya dilakukan di dalam pabrik, akan tetapi dapat pula setelah produk tersebut beredar di pasar atau dikonsumsi oleh masyarakat. Jika selama dikonsumsi ditemukan cacat atau ketidaksesuaian dengan mutu yang dijanjikan oleh pabrik, maka produk tersebut dikategorikan Produk Gagal.

Untuk produk jenis jasa tentunya memiliki cara pengujian mutu yang berbeda dengan produk jenis barang. Kualitas jenis layanan jasa baru bisa terlihat secara nyata apabila layanan tersebut telah dijalankan atau telah dinikmati oleh konsumen. Penilaian kualitas dipertimbangkan berdasarkan penilaian konsumen berupa kepuasan dan banyaknya (kuantitas) layanan yang telah dimanfaatkan atau dikonsumsi. Dalam hal ini, produk jasa dapat dikategorikan Produk Gagal apabila kinerja kualitas layanan tidak memenuhi kepuasan yang diharapkan konsumen.Ada dua pihak yang dianggap paling tepat mengeluarkan pernyataan Produk Gagal, yaitu pihak perusahaan atau pabrikan, dalam hal ini bagian pengendali mutu (quality control) dan lembaga konsumen. Apabila dari pihak perusahaan/pabrikan mendasarkan pada standar khusus yang ditetapkan perusahaan/pabrikan, maka pihak lembaga konsumen mendasarkan pada fungsi produk dan kesesuaian dengan spesifikasi yang dijanjikan oleh pihak pabrikan. Pihak lain yang bisa menjadikan suatu produk dikategorikan Produk Gagal adalah pemerintah (regulator).

5.4 Beberapa Contoh Kasus

Bulan Januari 2009, di rumah kami sudah terjadi pemadaman listrik hingga lebih dari 10 kali. Ini sudah berkurang dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya. Untuk air minum yang berlangganan melalui PAM, tidak jarang kami mendapatkan air ledeng yang keruh. Sementara itu, kami di rumah tidak pernah sekalipun terlambat membayar tagihan baik listrik maupun PAM. Bagi PLN maupun PAM, layanan jasa (produk) yang diberikan tidak dikategorikan Produk Gagal karena dianggap masih memenuhi standar layanan yang mereka tetapkan. Namun, bagi lembaga konsumen seperti YLKI, kedua layanan jasa ini dikategorikan sebagai Produk Gagal.Di Indonesia ada cukup beragam merek suku cadang kendaraan bermotor yang beredar di pasaran baik roda dua maupun roda empat (termasuk truk dan bis). Sebagian industri otomotif yang beroperasi di Indonesia seperti Honda, Suzuki, Yamaha, dan nama-nama lain beranggapan jika merek suku cadang yang bukan mereka produksi bisa dikategorikan sebagai Produk Gagal. Sekalipun dapat difungsikan, akan tetapi standarisasi kualitas tidak sesuai dengan yang direkomendasikan pabrik sehingga dianggap pula mempengaruhi fungsi. Namun, bagi pelaku industri komponen (suku cadang), produk mereka bukan Produk Gagal karena standar kualitas masih difokuskan pada fungsi.

Jika berpedoman pada standar mutu pabrikan secara umum yang produknya dipasarkan di Indonesia, produk-produk Cina (RRC) bisa dikategorikan sebagai Produk Gagal. Sekalipun dapat difungsikan atau dioperasikan, akan tetapi kualitas atau kinerja produk tidak sesuai dengan umumnya produk-produk yang pernah dikonsumsi masyarakat Indonesia. Pada akhir tahun 2008 lalu, merek produk makanan dari Cina sempat ditarik peredaran seperti produk makanan yang mengandung kadar susu bermelamin.Pihak pemerintah pun juga menghasilkan produk yang disebut jasa layanan kepada masyarakat atau jasa pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat membayarnya melalui pajak dan berbagai pungutan resmi lainnya. Sekalipun dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi kinerja layanan tidak seperti yang diinginkan atau diharapkan masyarakat, maka produk layanan pemerintah tadi bisa dikategorikan sebagai Produk Gagal. Dari pihak pemerintah sendiri tidak demikian karena masih bisa difungsikan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Produk-produk industri yang berasal dari kelompok uni usaha kecil dan menengah (UKM) tentunya memiliki kualitas yang secara umum masih di bawah standar kualitas nasional. Usia usaha yang masih relatif baru dan modal yang lebih banyak diusahakan sendiri tentunya menjadikan unit-unit usaha seperti UKM belum mencapai standar mutu nasional, setidaknya yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jika merujuk pada pengertian produk yang secara mutu, maka tidak sedikit produk yang dihasilkan dari UKM di Indonesia bisa dikategorikan sebagai Produk Gagal.

Lulusan perguruan tinggi dengan jenjang S-1 pun bisa diberlakukan istilah Produk Gagal. Pihak perguruan tinggi mengklaim produknya berhasil karena dianggap mampu melewati tahapan persyaratan akhir studi. Ketika dibuka Job Fair, maka disitulah kemudian dikerumuni ribuan calon tenaga kerja terdidik (S-1). Hanya sedikit dari mereka yang bisa diterima dan sebagian besar lainnya kemudian menganggur. Tidak sedikit pula dari mereka yang diterima tidak mampu menaikkan nilai (value) perusahaan kecuali hanya sekedar menjalankan aktivitas operasional rutin. Tidak ada inovasi dan tidak ada pula kreativitas untuk menciptakan nilai tambah dari latar belakang pendidikannya sendiri. Selain mutu yang diharapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan pencari kerja, dari mereka lulusan S-1 itu sendiri tidak banyak berbuat sesuatu yang bisa menaikkan nilai tambah setidaknya bagi dirinya sendiri. Jika kondisi seperti ini yang terjadi, maka lulusan perguruan tinggi S-1 tadi dapat dikategorikan sebagai Produk Gagal

.Kader suatu partai politik (parpol) adalah bakal dari produk politik dari parpol itu sendiri. Para kader ini nantinya yang akan menempati posisi di tingkat struktural organisasi, jabatan di pemerintahan, ataupun di parlemen. Apabila setelah menempati posisi-posisi tersebut, mereka (produk parpol) tidak dapat menjalankan tugas atau tidak dapat menghasilkan pekerjaan sesuai yang diharapkan atau diinginkan, sesuai dengan standar berupa amanat ataupun program kerja, maka produk parpol tadi pun bisa dikategorikan sebagai Produk Gagal.

5.5 Penutup

Masih banyak sekiranya contoh kasus yang berkaitan dengan istilah Produk Gagal. Tidak hanya dibatasi pada lingkup organisasi produksi (pabrikan), akan tetapi bisa lebih luas lagi berdasarkan pengertian produksi. Jika membicarakan tema tentang Produk Gagal, maka di sini sedang berbicara tentang aspek kualitas atau mutu produk. Perlu digarisbawahi di sini, selain aspek kualitas, terdapat aspek fungsional produk yang juga sering menjadi orientasi organisasi produksi dalam menghasilkan produk.Pihak yang paling berkompeten atau berhak menentukan produknya dikategorikan sebagai Produk Gagal adalah pihak pabrikan atau perusahaan itu sendiri. Pihak lain seperti dari lembaga konsumen ataupun pemerintah hanyalah memberikan rekomendasi untuk mendorong pengakuan pihak pabrikan atau perusahaan. Dalam banyak kasus, Produk Gagal pun masih dilempar ke pasar dengan lingkup yang terbatas dan harga yang tentunya lebih rendah. Dalam hal ini, pihak perusahaan hanya menggunakan standar mutu minimal dan lebih memperhatikan aspek fungsional dari produk itu sendiri. Tidak semua mutu yang ditetapkan pihak pabrikan dibutuhkan secara utuh oleh konsumen atau pembeli.

Produk Gagal dalam konteks apapun tidak memiliki korelasi atau keterkaitan dengan peristiwa perusahaan gulung tikar ataupun nyaris bangkrut. Dalam hal ini, perusahaan yang gulung tikar atau nyaris bangkrut berkaitan dengan aspek persaingan dan daya tahan usaha. Sekalipun produknya dikategorikan Produk Gagal, akan tetapi masih diterima masyarakat, maka perusahaan akan tetap bertahan. Sekalipun tidak diterima masyarakat, akan tetapi pihak perusahaan mampu mencari dukungan modal, maka perusahaan pun akan tetap bertahan

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Kesehatan dan keselamatan kerja atau K3 diharapkan dapat menjadi upaya preventif terhadap timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja, terutama dalam industri minyak Pertamina. Tujuan dari dibuatnya penerapan Teknik K-3 ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja.

Peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan kerja adalah menjadi melalui pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi pemeriksaan awal, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan sakit pada tempat kerja dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja.

1. Saran

Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang JaminanSosial Tenaga Kerja.

Silalahi, Bennett N.B. [dan] Silalahi,Rumondang.1991. Manajemen keselamatan dankesehatan kerja.[s.l]:Pustaka Binaman Pressindo.

Suma'mur .1991. Higene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta :Haji Masagung

Suma'mur .1985. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta :Gunung Agung, 1985

Suma'mur,1990. Upaya kesehatan kerja sektor informal di Indonesia. [s.]:Direktorat Bina Peran Masyarakat Depkes RT.

21