analisis keputusan bersama menteri agama, jaksa …/analisis... · nature, explaining the...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA
AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS 1965 TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh DIAN RACHMA FITRIA
NIM. E0006107
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA
AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS 1965 TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
Oleh
Dian Rachma Fitria
NIM. E0006107
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juli 2011
Co. Pembimbing
Agus Rianto, S.H., M.Hum
NIP. 19610813 198903 1 002
Dosen Pembimbing
Mohammad Adnan, S.H., M.Hum
NIP. 19540712 198403 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Dian Rachma Fitria
NIM : E0006107
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
ANALISIS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA
AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS 1965 TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2011
Yang membuat pernyataan,
Dian Rachma Fitria NIM. E0006107
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Dian Rachma Fitria, E0006107. 2011. ANALISIS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum normatif bersifat preskriptif, menjelaskan mengenai pengaturan SKB 3 Menteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan dan cyber media. Analisis data yang digunakan adalah silogisme dengan pendekatan deduktif.
Berdasarkan hasil pembahasan dihasilkan simpulan, Pengaturan SKB 3 Menteri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965 yaitu SKB dikeluarkan bukan sebagai larangan atau pembubaran, melainkan peringatan dan perintah kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat agar mematuhi keputusan. SKB ini tidak berisi mengenai pembubaran Ahmadiyah karena pembubaran hanya dapat dilakukan oleh Presiden melalui Keppres, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Pneyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pemerintah tidak dapat membubarkan Ahmadiyah sebab keyakinan yang dianut JAI, karena Indonesia tidak memiliki pengadilan untuk mengadili suatu keyakinan. Hal yang dapat diadili adalah kegiatan penyalahgunaan maupun penodaan terhadap agama sesuai Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta bagi warga masyarakat yang terbukti melakukan tindakan berupa penyebaran permusuhan, kebencian, dan penghinaan di depan umum terhadap golongan tertentu dipidana sesuai Pasal 156 KUHP. Kata Kunci : SKB, Ahmadiyah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Dian Rachma Fitria, E0006107. 2011. AN ANALYSIS ON THE JOINTLY DECISION OF RELIGION MINISTER, HIGH ATTORNEY, AND INTERIOR MINISTER OF REPUBLIC OF INDONESIA ABOUT THE WARNING AND COMMAND TO THE FOLLOWERS, MEMBERS AND/OR ADMINISTRATOR MEMBERS OF INDONESIAN AHMADIYAH COMMUNITY (JAI) AND THE SOCIETY VIEWED FROM THE ACT NUMBER 1 PNPS 1965 ABOUT THE PREVENTION OF RELIGION ABUSE AND/OR DISGRACING. Law Faculty of Sebelas Maret University.
This law writing aims to find out the regulation of jointly decision of Religion Minister, High Attorney, and Interior Minister of Republic of Indonesia about the Warning and Command to the Followers, Members and/or Administrator Members of Indonesian Ahmadiyah Community (JAI) and the society viewed from the Act Number 1 PNPS 1965 about the Prevention of Religion Abuse and/or Disgracing.
This writing belongs to a normative law research that is prescriptive in nature, explaining the regulation of SKB 3 Menteri (3 Ministers Jointly Decision) based on the Act Number 1 PNPS 1965. The data type used was secondary data. The secondary data source employed included primary and secondary law materials. Technique of collecting data used was library study and cyber media. The data analysis used was syllogism and deductive approach.
Based on the results generated discussion conclusion, setting minister LCS 3 in terms of Act Number 1 PNPS decree issued in 1965 is not as a prohibition or dissolution, but the warnings and instructions to the Ahmadiyah Indonesia (JAI) and the Citizen in order to comply with the decision. This decree does not contain the dissolution of Ahmadiyah due to dissolution can only be done by the President through Presidential Decree (Decree), it is stipulated in Article 2 paragraph (2) of Law Number 1 PNPS in 1965 on the Prevention of Abuse and / or blasphemy. Government can not dissolve because the faith of the Ahmadiyya JAI, because Indonesia does not have a court to adjudicate a conviction. It is an activity that can be prosecuted abuse and desecration of religion in accordance with Article 156a Book of Criminal Justice Act (Penal Code) and for the citizens that are proven to act in the form of the spread of hostility, hatred, and contempt in public against a particular group shall be punished according to Article 156 of the Criminal Code.
Keywords: SKB, Ahmadiyya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul:
“ANALISIS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA
AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS 1965 TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN
AGAMA”. Penulisan hukum (Skripsi) ini bertujuan untuk melengkapi
persyaratan guna memperoleh derajat sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan berkah-Nya
pada penulis, serta memberikan kekuatan dan segala kemudahan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini.
2. Nabi Muhammad SAW, junjungan dan suri tauladan yang baik bagi penulis.
3. Kedua orang tua, Ibu dan Bapak yang tidak putus-putusnya mendoakan segala
kebaikan dan memberi dukungan pada penulis.
4. Seluruh keluarga: Mas Dana, Mbah putri, Bulik Witri, Fatma, Om Pur, Bulik
Pad, dan semua keluarga besar Hasyim yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)
ini.ss
6. Bapak Mohammad Adnan, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang
disela-sela kesibukannya telah menyediakan waktu serta pikirannya, untuk
memberikan ilmu, bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
7. Bapak Agus Rianto, S.H., M.Hum. selaku Co Pembimbing yang telah
menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya memberikan ilmu,
bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga nasihat.
8. Ibu Diana Tantri Cahyaningsih, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik,
yang senantiasa membimbing dan memberi nasihat selama penulis menuntut
ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum yang telah membantu
dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi berikut Segenap Staff dan
Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret terima kasih atas
bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di FH UNS.
11. Sahabat-sahabatku tercinta, Erika Rovita Maharani, Erlina Septiyaningrum,
Hanifah Endah Setyowati, Pratami Wahyudya Ningsih. Terima kasih atas
semangat yang telah diberikan pada Penulis selama proses Skripsi dan juga
persahabatan yang menyenangkan selama duduk dalam bangku perkuliahan.
12. Seluruh teman-teman Angkatan 2006 FH UNS; Dwi dan Hastin yang ikut
menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini; Tedjo, Eko,
Puguh, Rita, Natali yang juga berjuang dalam menyelesaikan penulisan
hukum (skripsi) masing-masing dan juga Kelompok Studi dan Penelitian
(KSP) Principium yang telah menjadi keluarga selama Penulis menuntut ilmu
di bangku perkuliahan, terima kasih atas ilmu, pengalaman, dan kekeluargaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
yang telah diberikan, adik-adikku tersayang: Aya, Yovi, Trisna, Aryani, Gatot,
Yuni, Helena, Ardani, Iffa, Maya, Dna, dll... tetap semangat!?
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
DIAN RACHMA FITRIA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori …………………............................................ 11
1. Tinjauan Tentang Agama .................................................... 11
2. Tinjauan Tentang Islam ....................................................... 14
3. Tinjauan Tentang Ahmadiyah …………………………… 18
4. Tinjauan Tentang Penodaan Agama.................................. 27
B. Kerangka Pemikiran .............................................................. 30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama ............................................................................ 33
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................. 63
B. Saran ....................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ……………………………………… 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1980
Lampiran 2. Surat Edaran Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1984
Lampiran 3. Hasil Munas Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Di dalam
Pancasila tepatnya pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” termaktub artian bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa yang syarat akan nilai religius. Begitu pula dalam Undang-
Undang Dasar tahun 1945, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). Dijelaskan bahwa
Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin
kemerdekaaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Beberapa waktu
yang lalu publik dikejutkan oleh aksi penolakan yang berujung kekerasan
yang terjadi di Cikeusik Pandeglang pada tanggal 6 Februari 2011,
permasalahan mengenai Ahmadiyah, aliran yang di tuding sesat oleh
mayoritas ulama tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia muslim namun
memperoleh dukungan dari sebagian kalangan HAM dan aktifis (Muslim)
tanah air.
Persoalan Ahmadiyah di Indonesia selama ini selalu menjadi “bom
waktu” yang dapat meledak setiap saat dan melahirkan kekerasan. Penolakan
umat islam Indonesia terhadap ahmadiyah telah terjadi sejak tahun 1930-an.
Penolakan terjadi baik dalam bentuk keberatan maupun perusakan bangunan
rumah, masjid, dan musholla milik Ahmadiyah di berbagai daerah, antara lain,
di Sumatera Timur (1953), Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969),
Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah (1981), Kalimantan Barat,
Surabaya (2006), Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor-Timur, dan
Jakarta (1990), dan lainnya. Akhir akhir ini penolakan tersebut muncul
kembali di beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Barat (2002), Parung
Bogor (2006), Kuningan dan Sukabumi (2008). (Muchlis M. Hanafi. 2011:
xviii-xix)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Oleh karena itulah Pemerintah merumuskan suatu peraturan yang
dikenal dengan istilah SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia) pada
tanggal 9 Juni 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut,
anggota, dan/atau anggota penggurus jemaat ahmadiyah indonesia (JAI) dan
warga masyarakat sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
yang merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang. Melalui SKB pemerintah tidak sedang mengintervensi
keyakinan masyarakat, tetapi sebagai upaya memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam
masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan yang
menyimpang. Di sisi lain, imbauan SKB tiga menteri agar dilakukan
pembinaan dan pengawasan oleh aparat pemerintah maupun masyarakat di
nilai belum terlaksana dengan optimal.
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 merupakan produk
hukum zaman Orde Lama. Salah satu alasan dari pembentukan Undang-
Undang ini, bahwa pada masa-masa tersebut kondisi Negara belum stabil dan
isu penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Dengan demikian,
keberadaan Undang-Undang ini penting sebagai mekanisme pengamanan
negara dan masyarakat agar negara dapat terlindungi dari paham
“komunisme” (baca: atheisme). Undang-Undang ini awalnya hanya berbentuk
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965. Melalui Undang-Undang No. 5
Tahun 1969, Penetapan Presiden itu dinyatakan menjadi Undang-Undang.
Peraturan ini merupakan realisasi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
dikeluarkan pada masa demokrasi terpimpin.
Persoalan yang muncul terkait dengan Undang-Undang ini adalah
dibatasinya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dari masyarakat.
Padahal, sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam beberapa
pasal, seperti Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1) dan (2), Pasal 28I Ayat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(1), dan Pasal 29 Ayat (2) yang secara tegas menjelaskan bahwa setiap warga
negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya. Hak tersebut merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak
dapat dikurangi ataupun dibatasi dalam keadaan apapun (non derogable
rights). Hal ini semakin diperkuat oleh ketentuan beberapa Undang-Undang
ataupun Peraturan, baik yang bersifat nasional ataupun internasional, seperti
Dekalarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 (Pasal 18), Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan/CAT), Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang HAM (Pasal 4, Pasal 22 Ayat (2)), Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial/CERD), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/Ecosob), dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan
Politik/ICCPR). Semua Undang-Undang ataupun Peraturan tersebut telah
menjelaskan secara tegas keberadaan hak-hak dasar tersebut yang harus
dilindungi dan diakui negara, salah satunya adalah hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan.
(www.komnasperempuan.or.id/wp.../JR-UU-No.1-Tahun-1965.pdf)
Persoalan kebebasan mengemuka pada Sidang Mahkamah Konstitusi
(MK) yang membahas Judicial Review Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,
4 Februari 2009. Menteri Agama Suryadarma Ali dan Menteri Hukum dan
HAM Patrialis Akbar pada sidang tersebut menyatakan bahwa negara
menjamin kebebasan, tetapi kebebasan yang ada batasnya dan bukan bebas
sebebas-bebasnya. Oleh karena itu, menurut keduanya, Undang-Undang
penodaan agama mutlak diperlukan untuk membatasi kebebasan. Kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pembantu presiden tersebut bersikukuh bahwa negara hukum justru memberi
penegasan bahwa kebebasan harus dibatasi.
Dalam instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh
Indonesia, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
disebutkan bahwa pembatasan harus dilakukan berdasarkan lima hal, yakni
ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public Health), moral
publik (public morals), keamanan publik (public safety) dan menjaga hak
dasar orang lain. Berdasarkan instrumen ini, para pendukung Undang-Undang
penodaan agama berpendapat bahwa penodaan agama dalam bentuk
penafsiran bebas harus dilarang karena merusak ketertiban publik.
(http://islamlib.com/id/artikel/uu-penodaan-agama-dan-kebebasan-hakiki)
Definisi mengenai ketertiban publik patut dipertanyakan, mengingat
banyak sekali kasus inisiatif untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau
kelompok lain berdasarkan argumen ketertiban publik. Kebebasan memang
memberi ruang bagi manusia untuk berekspresi dan berinovasi. Adanya ruang
kebebasan ekspresi dan inovasi telah menjadikan manusia semakin maju
dibanding masa lalu yang terbelenggu oleh sistim dunia yang menindas.
Tetapi pada saat yang sama, kata kebebasan juga bisa dipakai oleh kaum
anarkis. Seseorang yang melakukan aksi kekerasan adalah bentuk
pendobrakan hukum dan norma sosial. Dengan demikian, pelaku kekerasan
seolah-olah tidak peduli dan membebaskan diri dari hukum dan norma
sehingga ia merasa berhak melakukan apa saja semaunya. Kondisi dan mental
semacam ini bisa juga merupakan ekspresi kebebasan. Ketika seseorang boleh
melukai dan menganiaya orang lain secara semena-mena, dan tidak ada
perlindungan terhadap korban aniaya, maka dengan mudah kita mengatakan
bahwa tidak ada kebebasan di sana, yang terjadi justru adalah pembelengguan
dan perampasan hak. Kebebasan terjadi bukan karena setiap orang bebas
melakukan apapun yang ia inginkan, melainkan sejauhmana orang dibebaskan
dari represi dan tindakan semena-mena orang lain. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa kebebasan untuk melakukan hal seenaknya adalah
kebebasan semu atau bukan merupakan bentuk kebebasan. Kondisi di mana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
orang tidak direpresi dan diperlakukan secara semena-menalah yang
merupakan kebebasan hakiki.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan
penelitian dalam bentuk penulisan hukum dengan judul :
“ANALISIS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA
AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS TAHUN 1965
TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU
PENODAAN AGAMA”.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah Pengaturan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum
dan Masyarakat dalam hal Pengaturan Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar S1 dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada
umumnya dan Hukum dan Masyarakat (HUMAS) pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
litelatur kepustakaan terkait dengan Pengaturan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan
Warga Masyarakat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang di teliti.
b. Untuk mengembangakan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu
yang di peroleh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian akan sangat mempengaruhi perolehan data-data
dalam penelitian yang bersangkutan untuk selanjutnya dapat diolah dan
dikembangkan secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya
tujuan penelitian yang dirumuskan. Adapun rincian metode penenlitian yang
digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum
normatif atau doktrinal. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka, untuk penelitian ini penulis hanya menjawab isu hukum
dalam lapisan dogmatig hukum. Di mana penelitian hukum terdiri dari:
a) penelitian pada ranah dogmatig hukum, yaitu penelitian hukum
berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi; b) penelitian pada ranah
teori hukum, yaitu isu hukum dalam penelitian tersebut harus
mengandung konsep hukum; c) penelitian pada ranah filsafat hukum,
yaitu untuk memahami isu hukum yang berkaitan dengan asas hukum
(Peter Mahmud Marzuki, 2008: 65-77).
2. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu
hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu
yang preskriptif dan terapan. Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu
mempelajari persoalan-persoalan mengenai tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-
norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian
hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Mahmud Marzuki, 2008: 93). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan Undang-
Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan Regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. (Peter
Mahmud Marzuki, 2008: 93). Pendekatan Peraturan Perundang-undangan
yang dimaksud adalah dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada
dalam penelitian hukum adalah bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan berdasarkan hierarkinya. Bahan hukum sekunder
adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-
jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi,
dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain (Johnny
Ibrahim, 2006: 295-296).
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jurnal, buku, artikel internet, dan artikel media massa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini
menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer,
dan bahan hukum sekunder diinventarisasi dan diklasifikasi dengan
menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian
dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku (Johnny
Ibrahim, 2006: 296)
6. Tehnik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan adalah metode penalaran hukum.
Metode penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap
bahan-bahan hukum yang dianalisis dapat menggunakan penalaran
deduksi, induksi, abduksi. Penalaran deduktif digunakan untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang individual,
penalaran ini bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus
individual konkret yang dihadapi. Penalaran induktif dengan merumuskan
fakta, mencari hubungan sebab-akibat, serta mengembangkan penalaran
berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang telah diputus kemudian
membandingkan kasus faktual yang dihadapi yang menghasilkan temuan
dan kesimpulan. Sedangkan penalaran abduktif adalah penalaran hukum
yang mengandung unsur deduksi dan induksi secara bersamaan (Johnny
Ibrahim, 2006: 249-251). Dalam penelitian ini, analisis bahan hukum
yang digunakan adalah penalaran deduktif.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistem penulisan hukum semata-mata disajikan untuk memberikan
gambaran yang yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum
sebagai karya ilmiah yang disesuaikan dengan kaidah baku penulisan suatu
karya ilmiah. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4(empat)
bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan
hukum ini adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang
meliputi tinjauan tentang Agama, Islam, Ahmadiyah dan
Penodaan Agama.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian yang
membahas tentang Pengaturan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah
kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil
pembahasan dan saran-saran yang terkait dengan
permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Agama
a. Pengertian Agama
“Agama” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem
atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama
Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata “agama”
berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti “tradisi”. Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti
“mengikat kembali”. Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama)
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan
akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang
luar biasa diluar dirinya. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari
kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu :
1) Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan
yakin berasal dari Tuhan.
2) Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal
dari Tuhan.
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa “agama”
itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama
terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu
paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian
tersebut dapat disebut agama.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Agama)
Menurut L. J. Van Apeldoorn, berkenaan menjelaskan kedudukan
agama sebagai salah satu faktor dalam proses terciptanya suatu hukum
sebagaimana ia mengemukakan pandangannya terhadap agama-agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
dalam arti sempit, adalah hubungan antara Tuhan dan manusia.
Hubungan ini mengandung kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan,
sebagai rasa cinta dan percaya kepada Tuhan. Kewajiban-kewajiban itu
benar-benar bersifat keagamaan sejati, yang karena isinya diperbedakan
dari kewajiban moril maupun kewajiban-kewajiban hukum. Tetapi
hubungan antara Tuhan dan manusia membawa juga kewajiban-
kewajiban untuk menuruti kehendak Tuhan. Karena itu maka agama
meliputi lapangan yang lebih luas daripada semata-mata hubungan antara
Tuhan dan manusia. Sebab berdasarkan kewajiban menurut kehendak
Tuhan maka menganggap dirinya terikat untuk melakukan perintah, tidak
semata-mata terhadap Tuhan melainkan juga terhadap diri sendiri dan
sesama manusia. Perintah yang dinyatakan oleh Tuhan kepadanya, baik
secara langsung, yaitu kepada mereka yang menempatkan dirinya
langsung dibawah Tuhan maupun tidak langsung misalnya melalui Kitab
Suci.
b. Pembagian Kelompok Agama
Agama yang ada dan berkembang di dunia cukup banyak, ada yang
timbul dan dianut oleh para pengikutnya, tapi ada pula yang tampil
disuatu waktu dan lenyap tanpa pendukung beberapa masa kemudian.
Dengan memperhatikan berbagai ciri dari berbagai agama, kalangan ahli
agama membagi menjadi dua kelompok agama, yaitu:
1) Agama Wahyu ( Agama Langit )
Agama wahyu diturunkan Allah lewat malaikat kepada para rasul-
Nya. Rasul tersebut kemudian menyampaikan pada umat manusia.
Agama wahyu disebut juga agama Samawi karena dinisbahkan
kepada tempat yang tinggi (langit).
Ciri-ciri agama wahyu (Kaelany HD. 2000: 19) :
a) Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-
Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan
menyampaikannya;
b) Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
c) Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai
dengan situasi dan kondisi, atau sesuai dengan kemajuan rasio,
kecerdasan, dan kepekaan manusia;
d) Konsep ketuhanannya adalah monoteisme mutlak (tauhid);
e) Kebenarannnya bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap
manusia, masa, dan keadaan.
2) Agama Budaya ( Agama Alamiah )
Agama budaya tumbuh seperti halnya kebudayaan manusia, secara
kumulatif dalam masyarakat penganutnya tanpa ada utusan Allah
yang menyampaikan ajaran tersebut.
Ciri-ciri agama budaya (Kaelany HD. 2000: 20) :
a) Tidak disampaikan oleh utusan Allah (Rasul), melainkan
tumbuh secara kumulatif dalam masyarakat penganutnya;
b) Umumnya tidak memiliki kitab suci, kalaupun ada akan
mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya;
c) Ajarannnya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan akal
pikiran masyarakat penganutnya;
d) Konsep ketuhanannya bukan monoteisme, bisa animisme,
dinamisme, politeisme dan yang paling tinggi menganut
monoteisme nisbi;
e) Kebenaran ajarannya tidak bersifat universal, sehingga pada
keadaan dan masa tertentu dapat berubah-ubah.
c. Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama) :
1) Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti
cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari
angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit
menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi
bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang
dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2) Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti
cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya
pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah
mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar
agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain
agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal
keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan
nampak dalam lingkungan masyarakatnya;
3) Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio
sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama
secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama
sekalipun;
4) Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan
akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu,
pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu
dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang
memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka
mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh)
dengan itu semua.
2. Tinjauan Umum Tentang Islam
Islam artinya penyerahan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa,
Maha Perkasa, Maha Esa. Penyerahan itu diikuti dengan kepatuhan dan
ketaatan untuk menerima dan melakukan apa saja perintah dan larangan-Nya.
Tunduk pada aturan dan undang-undang yang diturunkan kepada manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
melalui hamba pilihan-Nya (para rasul). Aturan dan Undang-Undang yang
dibuat oleh Allah itu dikenal dengan istilah “syari’ah”. Kadang-kadang
syari’ah itu disebut juga din (agama). Innaddina ‘indallahi al-islam,
sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam (QS. Ali ‘Imran: 19), karena
memang agama disisi Allah ialah penyerahan yang sesungguhnya kepada
Allah (Kaelany HD, 2000: 31).
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-
agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-
hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas
manusia. Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka
peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam.
Allah ta’ala berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 19 yang artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004) QS. Al Ma’idah: 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku telah cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004) QS. Ali ‘Imran: 85 yang artinya: “Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
Dalam hal kebenaran, ajaran agama wahyu bersifat universal ada kaitan
erat dengan konsep ketuhanan yang monoteisme mutlak (tauhid). Ajaran
tauhid memang merupakan pokok dan akar dari misi segala nabi utusan
Allah. Amanat inilah yang juga diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah utusan Allah
yang terakhir. Baginda adalah pembawa rahmat untuk seluruh alam dan
merupakan Rasulullah bagi seluruh umat di dunia. Sesungguhnya Nabi
Muhammad merupakan satu anugerah dan karunia Allah SWT kepada umat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
manusia untuk menunjukkan jalan yang lurus dan benar. Baginda bukan saja
diangkat sebagai seorang rasul tetapi juga sebagai khalifah.
(http://ms.wikipedia.org/wiki/Nabi_Muhammad_s.a.w.)
Allah berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam QS. Al A’raf: 158, yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004) QS. Al Ahzab: 40, yang artinya: “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang diantara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda yang artinya, “Demi Zat yang jiwa Muhammad
berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang
mendengar kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas
dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran yang aku
bawa melainkan dia pasti termasuk salah seorang penghuni neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa
yang beliau bawa dengan disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar
pembenaran saja. Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk
kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam
yang beliau bawa lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu
karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap
tempat dan di masyarakat manapun.
Allah ta’ala berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam QS. Al Ma’idah: 48 yang artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
menjaganya.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap masa,
tempat dan masyarakat adalah dengan berpegang teguh pada agama islam
tidak akan bertentangan dengan kebaikan umat tersebut di setiap masa dan
tempat. Bahkan dengan Islamlah keadaan umat akan menjadi lebih baik.
Pernyataan Islam itu cocok bagi setiap masa, tempat dan masyarakat bukan
berarti dalam artian adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat
dan masyarakat, sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.
(http://muslim.or.id/aqidah/agama-islam.html)
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah
mendapatkan jaminan pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi
siapa saja yang berpegang teguh dengannya dengan sebenar-benarnya.
Allah ta’ala berfirman dalam QS. As Saff: 9, yang artinya: “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan Agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004) QS. An Nuur: 55, yang artinya: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dibumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah (keyakinan) dan
syariat (hukum). Islam adalah ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi
aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya
(http://muslim.or.id/aqidah/agama-islam.html) :
a. Islam memerintahkan untuk mentauhidkan Allah ta’ala dan melarang
kesyirikan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
b. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta;
c. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya;
d. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang
berkhianat;
e. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran
janji;
f. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan
melarang perbuatan durhaka kepada mereka;
g. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan
yang terputus) dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan
memutuskan silaturahim;
h. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan
melarang bersikap buruk kepada mereka.
Secara umum Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan
melarang akhlak yang rendah dan hina. Manusia diperintahkan untuk
mengerjakan segala macam amal salih dan melarang segala amal yang jelek
atau buruk. Allah ta’ala berfirman dalam QS. An Nahl: 90, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member bantuan kepada kerabat, Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
3. Tinjauan Umum Tentang Ahmadiyah
a. Pengertian Ahmadiyah
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan
Internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia.
Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi
keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di
174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia,
Australia dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia
lebih dari 150 juta orang. Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah
menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
sedang merampungkan penerjemahan Al-Quran ke dalam 100 bahasa di
dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan
Al-Quran dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah)
Ahmadiyah adalah kelompok atau jemaat yang didirikan oleh
Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di sebuah desa kecil
yang bernama Qadian, Punjab, India. Aliran ini kemudian disebarluaskan
oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku menerima wahyu dari Tuhan
dan karena itu dianggap sebagai nabi. Di India dan Pakistan sendiri,
Ahmadiyah mendapat penentangan keras dikarenakan ajarannya yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam, terutama mengenai kenabian.
Karena itu, kaum ulama sedunia telah memberikan fatwa sesat dan
menetapkan Ahmadiyah bukan salah satu bagian atau aliran dalam agama
Islam. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri
Kehakiman Republik Indonesia sejak tahun 1953 (SK Menteri
Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953), dan bernama Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang merupakan bagian dari Jemaah
Ahmadiyah Internasional.
b. Kitab Suci Ahmadiyah
Kitab suci Ahmadiyah adalah Tadzkirah. Sebagai himpunan wahyu,
Tadzkirah adalah sebuah kitab suci yang mengandung ajaran yang
diterima Mirza Ghulam Ahmad dari Tuhannya. Isinya adalah menegaskan
kenabian dan kerasulan Mirza. Orang yang kafir kepadanya akan
mendapat laknat Tuhan. Kenabian, kerasulan, dan kelebihan Mirzalah
yang ditekankan dalam Tadzkirah. Susunan lafalnya banyak yang sama
dan mirip dengan Al-Quran, tetapi maknanya disimpangkan dari yang
sebenarnya. Kata yang ditujukan kepada Nabi Muhammad dipalingkan
kepada Mirza sehingga Mirza Ghulam Ahmad lah sosok nabi yang
sebenarnya.
(http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=27230:membedah-kitab-suci-ahmadiyah-tazkirah&catid =33&Itemid=98 /)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
c. Syarat Bai’at Jamaat Islam Ahmadiyah
Ada sepuluh syarat bai’at bagi orang-orang yang ingin masuk
kedalam Ahmadiyah, yaitu harus berjanji dengan hati yang jujur bahwa
(Asep Burhanudin. 2005: 37-38) :
1) Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa
akan menjauhi syirik;
2) Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina,
pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan,
aniaya, khianat, mengadakan hura-hura, memberontak, dan tidak
akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga
dorongan terhadapnya;
3) Akan senantiasa mendirikan sembahyang lima waktu tanpa putus-
putusnya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, dengan sekuat
tenaga berikhtiar senantiasa akan mengerjakan sembahyang tahajud,
mengirim shalawat kepada junjungan Yang Mulia Rasulullah, dan
setiap hari akan membiasakan mengucapkan pujian dan sanjungan
terhadap Allah dengan mengingat karunia-karunia-Nya dengan hati
yang penuh rasa kecintaan;
4) Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak pada
tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya, dan kaum muslim
khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar pun dengan lisan,
tangan, atau dengan cara apa pun juga;
5) Akan tetap setia terhadap Allah baik dalam segala keadaan susah
ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah.
Pendeknya akan rela atas putusan Allah, dan senantiasa bersedia
menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah. Tidak akan
memalingkan mukanya dari Allah ketika ditimpa suatu musibah,
bahkan akan terus melangkah ke muka;
6) Akan berhenti dari adat buruk, dari menuruti hawa nafsu, dan benar-
benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Quran yang suci di atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan jadi pedoman
baginya dalam setiap langkahnya;
7) Meninggalkan takabur dan sombong, akan hidup dengan
merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti yang halus,
dan sopan santun;
8) Akan menghargai agama, kehormatan agama, dan mencintai islam
lebih dari jiwanya, harta-bendanya, anak-anaknya, dan dari segala
yang dicintainya;
9) Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah
umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada
umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan
Allah kepadanya;
10) Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba Allah semata-mata
karena Allah, dengan pengakuan taat dalam hal ma’ruf dan akan
berdiri di atas perjanjian ini hingga maut. Tali persaudaraan ini begitu
tinggi wawasannya, sehingga tidak akan diperoleh bandingannya,
baik dalam ikatan persaudaraan dunia maupun dalam kekeluargaan,
bahkan dalam segala macam hubungan antara hambanya dengan
tuannya.
d. Tujuan dan Akidah Jemaat Ahmadiyah
Tujuan Jemaat Ahmadiyah adalah Yuhyiddiyna wayuqiymus-syariah.
Menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali Syariat
Qur'aniah. Dalam arti yang lebih mendalam adalah untuk menghimbau
ummat manusia kepada Allah Ta'ala dengan memperkenalkan mereka
sosok sejati Rasulullah SAW, dan menciptakan perdamaian serta
persatuan antar berbagai kalangan manusia. Ahmadiyah berusaha
menghapuskan segala kendala yang timbul karena perbedaan ras dan
warna kulit sehingga umat manusia dapat bersatu dan mengupayakan
perdamaian semesta.
Kami beriman bahwa Allah itu Mahaesa dan tidak mempunyai
sekutu dalam zat-Nya maupun dalam sifat-sifat-Nya, dan tidak dilahirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
maupun melahirkan. Dia bebas dari segala jenis kekurangan dan
kelemahan dan sempurna di dalam segala sifat-Nya. Dia mengabulkan
doa-doa para hamba-Nya dan membantu mereka dalam memenuhi segala
keperluan mereka. Nikmat-nikmat-Nya, baik secara materi ataupun
rohani, tidak terbatas, dan tidak hanya dilimpahkan kepada suatu bangsa
atau kaum tertentu. Jemaat Ahmadiyah menganggap sebagai
kewajibannya untuk mengimbau umat manusia menerima Tauhid Ilahi,
sebab, penerimaan Tauhid Ilahi dapat mewujudkan perdamaian dan
persatuan diantara umat manusia.
Kami percaya bahwa semua agama besar pada awalnya mempunyai
landasan kebenaran dan masih mengandung banyak nilai keindahan.
Kami menolak dan menyangkal sikap yang bahwa tidak ada agama selain
agamanya sendiri yang mengandung suatu kebenaran atau nilai
keindahan. Kendatipun demikian, kami menganggap sebagai kewajiban
kami untuk mengumandangkan bahwasanya Islam mengandung tuntunan
Samawi dengan bentuknya yang utuh dan sempurna guna membimbing
umat manusia mencapai hubungan kedekatan dengan Allah Ta'ala.
Kami menjunjung tinggi kebebasan suara hati lebih dari segala
kemerdekaan dan sebagai hak hidup setiap makhluk manusia. Kami
memandang tidak ada dosa yang begitu keji seperti tindakan paksa atau
kekerasan dalam urusan agama. Kami memandang haram untuk
berperang atau memerangi pemerintah atau bangsa yang memberi
kemerdekaan penuh kepada penyuaraan kata hati dan agama orang-orang
yang menghuni wilayah-wilayahnya. Kami memandang orang-orang
Islam yang mensahkan perang disebabkan perbedaan dalam urusan agama
adalah sebagai kesalahan besar dalam memegang akidah yang sama-
sekali tidak sesuai dengan jiwa agama Islam yang hakiki ini.
Kami menganggap sebagai kewajiban agama yang pokok untuk
mentaati sepenuhnya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tempat
kami bernaung. Kami memandang pemberontakan dan pembangkangan
terhadap pemerintah yang berkuasa sebagai sesuatu yang sama-sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tidak dibenarkan dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kami memegang
prinsip ini dengan seteguh-teguhnya dimana pun kami berada.
Kami percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan-Nya kepada umat
manusia melalui semua agama besar mengenai turunnya seorang nabi di
akhir zaman telah menjadi kenyataan di dalam diri Hz.Mirza Ghulam
Ahmad as., pendiri Jemaat Ahmadiyah. Beliau adalah Almasih yang
ditunggu-tunggu oleh umat Kristen; Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu
oleh umat Islam; dan Krishna yang dinanti-nantikan oleh umat Hindu.
(Dikutip dari: Akidah Dan Tujuan Jemaat Ahmadiyah; Suvenir
Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari 1894-1994,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1994, h.46-47)
(http://www.alislam.org/indonesia/latar.html)
e. Kelompok Ahmadiyah
Pada tahun 1914 Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan, yang
pertama berpusat di Qadian di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin
Mahmud Ahmad, putra almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
(sekarang berpusat di Rabwah Pakistan). Dan satunya lagi berpusat di
Lahore Pakistan, di bawah pimpinan Maulana Muhammad Ali M.A.
LL.B., sekretaris almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. (Muchlis M
Hanafi, 2011: 2).
1) Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu)
dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.
Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah Qadian sebagai berikut
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah) :
a) Mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad, laki-laki
kelahiran India yang mengaku menjadi nabi, adalah nabinya;
b) Mengimani dan meyakini bahwa “Tadzkirah” yang merupakan
kumpulan sajak buatan Mirza Ghulam Ahmad adalah kitab sucinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Mereka menganggap bahwa wahyu adalah yang diturunkan kepada
Mirza Ghulam Ahmad;
c) Mengimani dan meyakini bahwa kitab “Tadzkirah” derajatnya
sama dengan Al-Quran;
d) Mengimani dan meyakini bahwa wahyu dan kenabian tidak terputus
dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Mereka beranggapan
bahwa risalah kenabian terus berlanjut sampai hari kiamat;
e) Mengimani dan meyakini bahwa Rabwah dan Qadian di India
adalah tempat suci sebagaimana Mekah dan Madinah;
f) Mengimani dan meyakini bahwa surga berada di Qadian dan
Rabwah. Mereka menganggap bahwa keduanya sebagai tempat
turunnya wahyu;
g) Wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki di luar
Ahmadiyah, namun laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan
wanita di luar Ahmadiyah;
h) Haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar
Ahmadiyah.
2) Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya
sekedar mujaddid dari ajaran Islam.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa
mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah) :
a) Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum
dalam Al-Quran dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama
yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-
jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang
terakhir;
b) Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya
tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
c) Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan
membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun;
d) Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat)
satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan
ayat: walakin rasulillahi wa khatamun-nabiyyin (QS. Al-Ahzab:
40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat;
e) Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah
tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman
dan akhlak umat tetap cerah dan segar;
f) Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat
ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para
muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi;
g) Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut
Hadits, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa
Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai
mujaddid;
h) Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun
Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya
kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir;
i) Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak
boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang
dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir;
j) Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.
Perpecahan terjadi karena timbulnya perbedaan pendapat yang
prinsipil. Golongan Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dan beliaulah Ahmad yang
diramalkan dalam Al-Quran surah As-Saff: 6. Kaum muslim yang tidak
berbaiat padanya dianggap kafir dan murtad, sekalipun belum pernah
mendengar namanya. Kelompok ini berpandangan bahwa Ahmadiyah
harus dipegang oleh seorang khalifah yang memegang kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
tertinggi. Sedangkan golongan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid, bukan nabi, dan tidak
pernah mengaku sebagai nabi. Nabi terakhir adalah nabi Muhammad,
tidak akan datang sesudahnya nabi lain karena beliau adalah qattaman
nabiyyin. Seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah
muslim, bukan kafir walaupun tidak berbaiat pada Hazrat Mirza Ghulam
Ahmad. Gerakan Ahmadiyah menurut kelompok ini dipegang oleh
Pedoman Besar (Shadr Anjuman Ahmadiyah).
f. Metode Tafsir Ahmadiyah
Tafsir Jemaat Ahmadiyah banyak merujuk ke buku-buku tafsir yang
popular dikalangan umat islam, seperti al-Kasysyaf, al-Bahr al-Muhith,
Ruh al-Ma’ani, dan sebagainya. Namun dalam mengutip pendapat para
ulama dari buku-buku tersebut, ditemukan beberapa kutipan yang tidak
tepat atau sempurna, sehingga terkesan sekedar mencari pembenaran
klaim tertentu yang sesungguhnya tidak terkandung dalam kutipan
tersebut. Tafsir tersebut juga menggunakan hadist sebagai penjelas
makna-makna Al-Quran, demikian juga pandangan para sahabat dan
tabi’in sering dikutip dalam tafsir tersebut. Selain menggunakan hadist,
pandangan sahabat dan tabi’in, yang menjadi sumber penafsiran dengan
riwayat (tafsir bi al-ma’tsur), tafsir ahmadiyah juga menggunakan
pendekatan tafsir isyari, yaitu sebuah penafsiran yang berusaha menagkap
isyarat yang terkandung dibalik lafal atau zhahir ayat. Tafsir isyari atau
batin, menurut asy-Syathibi dapat diterima sebagai sebuah penafsiran jika
memenuhi dua syarat:
1) Secara kebahasaan makna tersebut dimungkinkan, yaitu ada hubungan
antara lafal tersebut dengan makna isyarat yang di tangkap.
2) Ada dalil lain yang mendukung makna isyarat tersebut dan tidak
bertentangan dengan ayat-ayat lain.
Secara lebih rinci, Ibnu al-Qayyim, seperti dikutip Muhammad
Salim, menjelaskan empat syarat diterimanya sebuah tafsir isyari
(Muchlis M. Hanafi, 2011:11) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1) Tidak bertentangan dengan makna ayat.
2) Makna isyarat tersebut dibenarkan dan tidak bertentangan dengan
prinsip ajaran agama.
3) Lafal ayat mengisyaratkan makna tersebut walau terkesan jauh.
4) Terdapat hubungan yang erat antara lafal ayat dengan makna batin.
Ketentuan tersebut dirumuskan para ulama untuk mencegah metode
penafsiran isyari menjadi liar, sebab dengan mudah orang akan
menafsirkan untuk kepentingan tertentu.
4. Tinjauan Umum Tentang Penodaan Agama
Dalam pergaulan antar agama, semakin rutin terjadi pertemuan antar
agama. Seperti yang kita ketahui agama di Indonesia yang diakui ada 6 yaitu,
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Pada tingkat
pribadi, hubungan antar tokoh-tokoh agama di Indonesia terjalin semakin
baik dikarenakan adanya keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha
memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat khususnya yang
menyangkut kemungkinan disintegrasi bangsa akibat konflik-konflik SARA
yang berkepanjangan. Tetapi pada tingkat theologis, yang merupakan dasar
dari agama muncul kebingungan menyangkut bagaimana kita mendefinisikan
diri di tengah agama-agama lain yang eksis dan punya keabsahan. Padahal
teologi lama telah di set-up dan kemudian sejarah mengekstrimkannya dalam
suatu kondisi non-pluralitas, bahwa hanya agama dirinyalah yang benar dan
yang lain salah atau menyimpang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa kata
“menyimpang” memiliki banyak makna, antara lain adalah : 1) membelok
menempuh jalan yang lain, 2) membelok supaya jangan melanggar atau
terlanggar, 3) tidak menurut apa yang sudah ditentukan, 4) menyalahi
kebiasaan, 5) menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dan sebagainya)
Dari adanya penyimpangan itulah kemudian muncul perbuatan yang
dikenal dengan istilah “penodaan agama”. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan
dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu.”
Sedangkan Franz Magnis-Suseno, yang dikenal sebagai pastor Katolik
ordo Jesuit dan seorang profesor filsafat di Indonesia mengkritik pasal
tersebut. Pertama, penistaan agama disebut sebagai “ajaran menyimpang”. Ini
merupakan definisi keliru penistaan agama. Penistaan agama adalah
menghina suatu agama, yang pelakunya bisa dihukum, tapi bukanlah
perbedaan dari keyakinan mayoritas. Kedua, kebebasan beragama juga harus
berlaku bagi kaum minoritas.
(http://id.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-769/_nr 76/i.html)
Sebelumnya dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dijelaskan “Barang siapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian dan penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan
penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun
dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus
rupiah). Yang dikatakan golongan dalam pasal ini ialah tiap-tiap bahagian
dari penduduk Negara Indonesia yang berbedaan dengan sesuatu atau
beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (RAS), agamanya,
tempat aslinya, keturunannya, kebangsaanya atau hukum negaranya.
Kemudian pada Pasal 4 Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965
tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama,
dijelaskan lebih lanjut pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan
pasal baru yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 156a :
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. Kerangka Pemikiran
Pancasila
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah
kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat
Bagaimana Pengaturan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Keterangan :
Negara Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kebebasan beragama dijamin
dalam Pancasila yaitu sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal
29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, bahwa Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
dan menjamin kemerdekaaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Hingga beberapa saat muncul kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah yang
diduga merupakan aliran sesat oleh sebagian besar warga masyarakat.
Sebenarnya penolakan Ahmadiyah oleh umat islam di Indonesia telah
terjadi sejak tahun 1930-an. Penolakan terjadi baik dalam bentuk keberatan
maupun perusakan bangunan rumah, masjid, dan musholla milik
Ahmadiyah di berbagai daerah.
Oleh karena itulah Pemerintah merumuskan suatu peraturan yang
dikenal dengan istilah SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia) pada
tanggal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut,
Anggota, dan/atau Anggota Penggurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan warga masyarakat sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1
PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan
Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-
Undang. SKB 3 Menteri ini dimaksudkan pemerintah tidak untuk
mengintervensi keyakinan masyarakat, tetapi sebagai upaya memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya
pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham
keagamaan yang menyimpang. Di sisi lain, imbauan SKB tiga menteri agar
dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh aparat pemerintah maupun
masyarakat di nilai belum terlaksana dengan optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Dalam persoalan Ahmadiyah di Indonesia ada permasalahan yang
harus diselesaikan yaitu Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan
dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban
masyarakat, sementara dilain pihak warga JAI adalah korban tindakan
kekerasan sebagian masyarakat. Hal inilah menyebabkan penulis tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan SKB 3 Menteri terhadap
JAI berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan
Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut,
Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan
Warga Masyarakat, terdiri dari 7 butir keputusan, yang isinya:
1. Kesatu : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari
agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;
2. Kedua : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota,
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang
mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu
penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah
Nabi Muhammad SAW;
3. Ketiga : Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
termasuk organisasi dan badan hukumnya;
4. Keempat : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan
dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI);
5. Kelima : Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Keenam : Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan
pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini;
7. Ketujuh : Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(merahitam.com/isi-skb-3-mentri.html)
Sebelum menganalisis SKB tersebut, Penulis hendak menjelaskan mengenai
sejarah atau awal mula dirumuskan dan diterbitkannya SKB 3 Menteri tersebut:
Ahmadiyah adalah kelompok atau jemaat yang didirikan oleh Mirza
Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di sebuah desa kecil yang bernama
Qadian, Punjab, India. Aliran ini kemudian disebarluaskan oleh Mirza Ghulam
Ahmad yang mengaku menerima wahyu dari Tuhan dan karena itu dianggap
sebagai nabi. Di India dan Pakistan sendiri, Ahmadiyah mendapat penentangan
keras dikarenakan ajarannya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam,
terutama mengenai kenabian. Karena itu, kaum ulama sedunia telah memberikan
fatwa sesat dan menetapkan Ahmadiyah bukan salah satu bagian atau aliran
dalam agama Islam. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari
Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak tahun 1953 (SK Menteri
Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953), dan bernama Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) yang merupakan bagian dari Jemaah Ahmadiyah Internasional.
Pada tahun 1914 Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan, yang pertama
berpusat di Qadian di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra
almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (sekarang berpusat di Rabwah Pakistan).
Dan satunya lagi berpusat di Lahore Pakistan, di bawah pimpinan Maulana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Muhammad Ali M.A. LL.B., sekretaris almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
(Muchlis M Hanafi, 2011: 2).
a) Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi yang tidak
membawa syariat baru.
Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah Qadian sebagai berikut:
1. Mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad, laki-laki kelahiran
India yang mengaku menjadi nabi, adalah nabinya;
2. Mengimani dan meyakini bahwa “Tadzkirah” yang merupakan kumpulan
sajak buatan Mirza Ghulam Ahmad adalah kitab sucinya. Mereka
menganggap bahwa wahyu adalah yang diturunkan kepada Mirza Ghulam
Ahmad;
3. Mengimani dan meyakini bahwa kitab “Tadzkirah” derajatnya sama dengan
Alquran;
4. Mengimani dan meyakini bahwa wahyu dan kenabian tidak terputus dengan
diutusnya Nabi Muhammad SAW. Mereka beranggapan bahwa risalah
kenabian terus berlanjut sampai hari kiamat;
5. Mengimani dan meyakini bahwa Rabwah dan Qadian di India adalah tempat
suci sebagaimana Mekah dan Madinah;
6. Mengimani dan meyakini bahwa surga berada di Qadian dan Rabwah.
Mereka menganggap bahwa keduanya sebagai tempat turunnya wahyu;
7. Wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah,
namun laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita di luar
Ahmadiyah;
8. Haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar Ahmadiyah.
b) Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar
mujaddid dari ajaran Islam.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
1. Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam Al-
Quran dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama yang telah
disetujui oleh para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama'ah, dan yakin
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir;
2. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan
datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru;
3. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa
wahyu nubuwat kepada siapa pun;
4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu
kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin
rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS. Al-Ahzab: 40), dan berarti
membuka pintu khatamun-nubuwwat;
5. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup,
akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat
tetap cerah dan segar;
6. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap
akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi
tidak akan datang nabi;
7. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadits,
mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam
Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid;
8. Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan
Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam
Ahmad tidak bisa disebut kafir;
9. Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh
disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab
berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir;
10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Persoalan Ahmadiyah di Indonesia selama ini selalu menjadi “bom waktu”
yang dapat meledak setiap saat dan melahirkan kekerasan. Penolakan umat islam
Indonesia terhadap Ahmadiyah telah terjadi sejak tahun 1930-an. Penolakan
terjadi baik dalam bentuk keberatan maupun perusakan bangunan rumah, masjid,
dan musholla milik Ahmadiyah di berbagai daerah, antara lain, di Sumatera
Timur (1953), Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara
Barat (1976), Kalimantan Tengah (1981), Kalimantan Barat, Surabaya (2006),
Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor-Timur, dan Jakarta (1990), Nusa
Tenggara Barat (2002), Parung Bogor (2006), Kuningan dan Sukabumi (2008).
Hingga beberapa waktu yang lalu terjadi aksi penolakan yang berujung kekerasan
di Cikeusik Pandeglang pada tanggal 6 Februari 2011. (Muchlis M. Hanafi. 2011:
xviii-xix)
Menyikapi permasalahan Ahmadiyah, Pemerintah Pusat melalui
Departemen Agama bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Dalam
Negeri, Mabes POLRI dan beberapa tokoh agama telah melakukan dialog dengan
Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia (PBJAI) sejak tanggal 7 September
2007 sampai dengan 14 Januari 2008. Pertemuan tersebut menghasilkan 12 butir
penjelasan PB JAI tentang pokok-pokok keyakinan dan kemasyarakatan warga
JAI. Dalam 12 butir pernyataan tersebut pada dasarnya pihak JAI menyatakan diri
masih menjadi bagian dari Islam dan akan melakukan tindakan yang mendukung
agama Islam. Berikut ini 12 butir pernyataan tersebut :
1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan
dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi
Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa
asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa
sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah Rasulullah;
2. Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad
Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban
mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas
memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad
SAW;
4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus
dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud
adalah nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad
didepan kata Rasulullah;
5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa:
a. Tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan
kepada nabi Muhammad.
b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam
yang kami pedomani.
6. Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan
pengalaman rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan
dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27
tahun setelah beliau wafat (1908);
7. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan
orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan;
8. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut
Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah;
9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh
Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan
manapun;
10. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan
perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian
dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai
dengan Perundang-undangan;
11. Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan
bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, Bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia
mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam
umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat
ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.
(http://turunkebumi.wordpress.com/2008/01/16/12-butir-pernyataan-jemaat-
ahmadiyah/)
Kemudian pada tanggal 15 Januari 2008 diadakan rapat Bakor Pakem yang
dihadiri oleh sejumlah perwakilan, antara lain, Departemen Agama (Depag),
Kejaksaan Agung (Kejagung), Mabes Polri, Badan Inteljen Negara (BIN),
Departemen Dalam Negeri (Depdagri), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Rapat ini membahas tentang aliran Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari
pokok ajaran Islam. Menurut Jaksa Agung Muda Inteljen (JAM Inteljen), Wisnu
Subroto, ada lima poin hasil rapat Bakor Pakem tersebut. Pertama, Bakor Pakem
sudah membaca dan memahami isi 12 butir penjelasan Pengurus Besar (PB)
Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disampaikan dan ditandatangani oleh
amirnya, Abdul Basit, serta diketahui pejabat Depag dan sejumlah tokoh. Kedua,
Bakor Pakem telah membahas 12 butir penjelasan PB JAI tersebut, serta memberi
waktu kepada pengikut Ahmadiyah untuk melaksanakannya secara konsisten dan
bertanggung jawab. Ketiga, Bakor Pakem terus memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan isi 12 butir penjelasan PB JAI di seluruh Indonesia. Keempat, apabila
terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaannya, Bakor Pakem
mempertimbangkan penyelesaian lain sesuai ketentuan berlaku. Kelima, Bakor
Pakem menghimbau semua pihak dapat memahami maksud dan niat baik PB JAI
sebagai bagian membangun kerukunan umat beragama sekaligus menghindari
aksi anarkis. Wisnu menegaskan dengan hasil rapat tersebut, maka tidak ada
pelarangan pengembangan aliran Ahmadiyah. Sebab dari paparan tujuh kali
dialog yang telah dilakukan Depag dan Ahmadiyah, tidak ditemukan keyakinan
yang bertentangan dengan Islam. Kejagung juga tidak menemukan indikasi
penodaan agama sebagaimana yang dituduhkan sejumlah kelompok. Tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
yang melanggar, termasuk saat dibandingkan dengan ciri-ciri aliran sesat yang
dikeluarkan MUI. Ahmadiyah, selaku ormas keagamaan juga telah mendaftarkan
diri ke Depdagri sejak 1953 sehingga fakta tersebut menunjukkan bahwa
Ahmadiyah selama ini telah dikembangkan dan diterima dengan baik oleh
berbagai lapisan masyarakat. Hasil rapat Bakor Pakem ini menimbulkan reaksi
dari sejumlah kalangan. Ratusan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi
Umat Islam Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Sate Bandung. Aksi ini
menuntut pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah karena posisi Ahmadiyah
berada di luar ajaran Islam dan sesat. Majelis Ulama Indonesia dan Forum Umat
Islam (FUI) juga masih mempermasalahkan JAI. Menurut mereka pernyataan PB
JAI adalah rumusan kompromi untuk meredam kemarahan umat Islam dan
menyelamatkan muka pemerintah dari rakyat. JAI juga diminta untuk bertaubat.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578-T%2026773...Analisis.pdf)
Setelah melakukan pemantauan selama tiga bulan di 33 kabupaten dan 55
komunitas JAI serta bertemu dengan 277 warga JAI, Bakor Pakem menyatakan
bahwa JAI tidak melaksanakan 12 butir PB JAI secara konsisten dan bertanggung
jawab. Bakor Pakem berpendapat bahwa Ahmadiyah telah melakukan kegiatan
dan penafsiran keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam
yang dianut di Indonesia dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Bakor
Pakem merekomendasikan agar warga JAI diberi peringatan keras untuk
menghentikan perbuatan tersebut. Peringatan keras itu harus dibuat dalam Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung.
Apabila peringatan keras tersebut tidak diindahkan maka Bakor Pakem
merekomendasikan untuk membubarkan organisasi JAI dengan segala kegiatan
dan ajarannya. Bakor Pakem juga meminta semua tokoh agama, ormas Islam,
serta semua lapisan masyarakat agar menjaga ketertiban dengan menghormati
penyelesaian Jemaat Ahmadiyah.
Menanggapi masalah ini pengurus JAI menyatakan tidak melakukan hal-
hal yang dianggap tidak konsisten tersebut dan menunggu langkah selanjutnya
yang akan diambil oleh pemerintah. Dari pemantauan di lapangan, butir yang
tidak sesuai dengan 12 butir pernyataan JAI adalah: Pertama, tetap meyakini ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kedua, tetap meyakini bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah Nabi, Masih Ma’ud, dan Imam Mahdi. Ketiga, tetap meyakini isi
buku Tadzkirah tentang kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang
kenabian Mirza Ghulam Ahmad di dalamnya. Keempat, tetap menafsirkan Al-
Quran sesuai dengan buku Tadzkirah. Kelima, tetap tidak bersedia bermakmun
dalam sholat kepada orang Islam non JAI karena dianggap kufur (ingkar) kepada
kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang berarti JAI mengkafirkan Muslim non JAI
secara perbuatan. Hal tersebut dianggap dapat menimbulkan pertentangan
ditengah masyarakat sehingga mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
Pemerintah segera menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk
menghentikan kegiatan Ahmadiyah. Penerbitan SKB ini merupakan tindak lanjut
dari hasil rapat Bakor Pakem tenntang pelaksanaan 12 butir pernyataan JAI. Dan
hasil rapat Bakor Pakem dengan jajaran Kementerian Politik, Hukum, dan
Keamanan. Rapat Koordinasi tersebut merupakan tindak lanjut rekomendasi
Bakor Pakem. Jaksa Agung, Hendarman Supandji mengatakan bahwa surat
keputusan tersebut baru disusun dan segera diselesaikan. Surat keputusan tersebut
akan ditandatangani oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Agama. Jaksa Agung menegaskan bahwa surat keputusan tersebut bukan untuk
melarang aliran kepercayaan Ahmadiyah tapi agar pengikut Ahmadiyah
menghentikan kegiatannya. Widodo AS, menyatakan polisi sudah menyiapkan
pengamanan untuk menghindari tindak kekerasan oleh pihak yang tidak puas
terkait dengan pelarangan Ahmadiyah.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578-T%2026773...Analisis.pdf)
Menurut Hendarman Supandji, Pemerintah tidak dapat langsung
membubarkan JAI karena berdasarkan aturan yang ada mereka harus
diperingatkan terlebih dahulu. Jusuf Kalla menyatakan yang dilarang Bakor
Pakem adalah pengertian, ajaran, dan tata cara Jemaat Ahmadiyah yang dinilai
tidak sejalan dengan ajaran Islam yang benar. Jadi larangan terhadap ajaran
Ahmadiyah bukan berarti harus ditindaklanjuti dengan penangkapan. Sementara
itu, Jaksa Agung menyatakan bahwa SKB bukan membubarkan Ahmadiyah,
melainkan menghentikan semua aktivitas warga Ahmadiyah. Apabila SKB itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
telah diteken, Jemaat ini tak mungkin lagi melakukan aktivitas publik. Jika
Presiden mengeluarkan keputusan pembubaran, secara kelembagaan
organisasinya harus bubar, meski penganutnya tidak dilarang tetap berkeyakinan
Ahmadiyah. Tiga Menteri itu bekerja berdasarkan Penetapan Presiden RI Nomor
1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama
(PNPS Nomor 1 Tahun 1965). Di situ disebutkan, pelaku kegiatan yang
menyerupai kegiatan agama menyimpang diberi peringatan keras untuk
menghentikan dalam SKB 3 Menteri.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578-T%2026773...Analisis.pdf)
Berdasarkan uraian tersebut, Penulis hendak menganalisis lebih lanjut SKB
3 Menteri tersebut ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dapat dilihat
pada butir Kesatu SKB tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama, yaitu :
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran
tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan
dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Seperti yang
kita ketahui agama yang diakui di Indonesia ada 6 yaitu : Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, Budha dan Khong Hu Chu (Confusius), mereka akan mendapat jaminan
seperti yang diatur dalam pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
dimana Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya. Hal ini juga berlaku terhadap agama diluar tersebut diatas,
misalnya Yahudi, Shinto, dll juga memperoleh jaminan penuh dan dibiarkan
adanya asal tidak bertentangan atau melanggar ketentuan Peraturan Perundang-
undangan. Terhadap badan atau aliran kebatinan, Pemerintah berusaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran
A. Bidang I, angka 6. Dengan kata-kata “Kegiatan keagamaan” dimaksudkan
segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu
aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau
mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan
sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama
yang untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya.
(Penjelasan Pasal demi Pasal dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PnPs Tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama).
Butir kesatu dari SKB 3 Menteri tersebut menjelaskan bahwa “Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Dalam penjelasan butir kesatu tersebut terdapat kalimat “menafsirkan
tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”, jelas disini Ahmadiyah
melakukan penafsiran menyimpang terhadap pokok-pokok ajaran agama islam.
Meskipun aliran ini memang terbukti sesat, namun sulit dibubarkan karena
didukung oleh negara-negara kuat, salah satunya adalah Inggris. Dan bagi orang
awam akan cukup sulit membedakan ajaran mereka dengan ajaran Islam yang
sebenarnya. Karena di awal merekrut anggota mereka akan mengatakan Nabi
Muhammad juga nabi mereka, dan syahadatnya juga sama. Hanya saja mereka
mengatakan/menafsirkan Khataman Nabiyyin sebagai nabi termulia, bukan
penutup para Nabi dan Rasul.
(http://agama.kompasiana.com/2011/02/08/mengapa-ahmadiyah-harus
dibubarkan-oleh pemerintah/)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Sebuah "rekomendasi" dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) 1976
memberikan ide yang lebih luas dari pertanyaan mengenai dimensi, politik, global
Ahmadiyah. Dokumen ini mengacu pada asal-usul Ahmadiyah di India :
“Qadianiyah (Ahmadiyah) is a sect that is extremely destructive, that makes Islam its motto in order to veil its malicious aims. The most obvious of its difference with Islam are a) Its leader claims to be a prophet, b) the text of the Qur’an is altered, c) there is no jihad. Qadianiyah is the golden offspring of English imperialism and it did not emerge other than with the protection of this imperialism. Qadianiyah deceives the concerns of the Muslim community and it supports imperialism and Zionism. It works together with forces that oppose Islam, which struggle to destroy and distort the Islamic faith…” ( Bernhard Platzdasch. 2011: 6-7 )
Kesimpulannya adalah “Ahmadiyah Qadian adalah sekte yang sangat
merusak, yang mengusung motto Islam dalam rangka untuk menutupi tujuan yang
jahat. Perbedaan yang paling jelas dengan Islam adalah a) Pemimpinnya mengaku
sebagai nabi, b) teks Qur'an diubah, c) tidak ada jihad. Qadianiyah adalah
keturunan emas imperialisme Inggris dan tidak muncul selain dengan
perlindungan imperialisme ini. Qadianiyah menipu keprihatinan komunitas
Muslim dan mendukung imperialisme dan Zionisme. Ia bekerja sama dengan
kekuatan-kekuatan yang menentang Islam, yang berjuang untuk menghancurkan
dan mendistorsi agama Islam...”
Butir Kedua dari SKB 3 Menteri adalah “Memberi peringatan dan
memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-
pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”.
Butir kedua dapat ditafsirkan bahwa bagi anggota kelompok JAI dapat
melakukan penyebaran agama jika tidak mengatakan bahwa ajaran tersebut
sebagai Islam. Jika JAI tidak mengakui nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad SAW, maka JAI dapat melakukan kegiatan dan penyebaran
penafsirannya. Ini merupakan butir pembatasan terhadap kelompok JAI dan
menjadi penegasan secara implisit oleh Negara bahwa JAI memang menyimpang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
terutama dari pokok-pokok ajaran Islam. Jika kelompok JAI menjalankan
kegiatan tetapi tidak menyebut sebagai Islam, maka dapat diperbolehkan.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
Ahmadiyah sendiri terbagi menjadi dua golongan atau kelompok yaitu
Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore, dari penjelasan sebelumnya
mengenai dua kelompok tersebut jelas terdapat perbedaan prinsipil, sehingga
terjadi perpecahan. Golongan Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dan beliaulah Ahmad yang diramalkan
dalam Al-Quran surah As-Saff: 6 yang artinya “Dan (ingatlah) ketika putra
Maryam berkata “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu,
yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi
kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya
Ahmad (Muhammad)”. Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan
menbawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata : ini adalah sihir yang nyata”.
Kaum muslim yang tidak berbaiat padanya dianggap kafir dan murtad, sekalipun
belum pernah mendengar namanya. Kelompok ini berpandangan bahwa
Ahmadiyah harus dipegang oleh seorang khalifah yang memegang kekuasaan
tertinggi. Sedangkan golongan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid, bukan nabi, dan tidak pernah mengaku
sebagai nabi. Nabi terakhir adalah nabi Muhammad, tidak akan datang
sesudahnya nabi lain karena beliau adalah Qattaman Nabiyyin. Seseorang yang
mengucapkan dua kalimat syahadat adalah muslim, bukan kafir walaupun tidak
berbaiat pada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Gerakan Ahmadiyah menurut
kelompok ini dipegang oleh Pedoman Besar (Shadr Anjuman Ahmadiyah). Dari
penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahmadiyah Qadianlah yang
melakukan penyimpangan terhadap ajaran agama islam. Hal ini dikuatkan dengan
adanya Surat Edaran Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1984.
Dalam buku yang dikeluarkan oleh Jemaat Ahmadiyah yang berjudul
“Analisa Tentang Khataman Nabiyyin”, dinukil beberapa perkataan Mirza: “Kami
beriman bahwa Nabi Muhammad berpangkat Khataman dan sesudah beliau tidak
akan ada seorangpun terkecuali yang dipelihara oleh faidh dan berkatnya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
sudah dinyatakan oleh janjinya”, ada juga yang menjelaskan “Sesungguhnya nabi
kita (Muhammad SAW) adalah Khatamul Anbiyaa, sesudah beliau tidak ada
seorang nabi pun terkecuali orang yang diterangi oleh nur beliau, dan yang
penzahirannya adalah bayangan dari penzahiran beliau”. Kesimpulannya menurut
kepercayaan Ahmadiyah Nabi Muhammad SAW memang berpangkat Khataman
Nabiyyin, tidak ada lagi nabi sesudah beliau, terkecuali nabi yang mendapat
pangkat kenabian berkat mengikut pada beliau. Sudah disebutkan bahwa nabi
pengikut itu adalah sebagai anak bagi nabi yang diikuti. Kemudian diakhir
tulisannya, penulis buku itu menyimpulkan: “Yang menjadi perbedaan antara
kami jemaat Ahmadiyah dengan golongan Islam lain hanyalah satu, kami percaya
bahwa nabi yang dijanjikan sudah datang, yakni Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad”.
(Muhammad Sadiq H.A. 1999: 49-50).
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keyakinan Ahmadiyah
bertentangan dengan firman Allah yang berbunyi “Muhammad itu bukanlah
bapak dari seorang diantara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan Penutup
para Nabi” (Al-Ahzab: 40). Nabi Muhammad SAW juga menegaskan dalam
sabdanya “Dan sesungguhnya akan datang di kalangan umatku tiga puluh
pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku adalah Penutup
para Nabi dan tidak ada Nabi sesudahku” (H.R. Bukhari). ( Abdul Halim Mahally.
2006: 84)
Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad tidak saja sebagai Imam
Mahdi, tetapi juga Nabi Isa. Hal ini didasarkan sebagaimana dalam Hadist
Musnad Ahmad bin Hanbal jilid II hal 156: “Sudah dekat saatnya bahwa orang
yang hidup diantara kamu, akan bertemu dengan Isa Ibnu Maryam, yang menjadi
Imam Mahdi dan Hakim Adil”. Begitupula dalam Ibnu Majah Bab Ayidatusz-
zaman: “Tidak ada Mahdi kecuali Isa”. (Zaenal Abidin EP. 2007: 68-69)
Sementara mayoritas muslim meyakini bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa
adalah dua manusia yang berbeda. Ahmadiyah yakin kalau Mirza Ghulam Ahmad
adalah Imam Mahdi, padahal dia bukan keturunan keluarga Nabi Muhammad
SAW dan tidak pula sempat menjadi pemimpin di wilayah arab. Sementara sesuai
dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi tentang turunnya Imam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Mahdi, Rasulullah telah bersabda “Dunia ini tidak akan berlalu sampai suatu masa
akan hadir di muka bumi ini keturunan dari keluargaku, yang namanya akan
menggunakan namaku dan memimpin wilayah Jazirah Arab”. Intinya, Imam
Mahdi akan datang dan ciri-cirinya antara lain adalah beliau berasal dari
keturunan Fatimah (Putri Rasullullah SAW), bertempur dalam peperangan,
memimpin jazirah arab selama tujuh tahun, serta memimpin shalat di Mekah
sementara Nabi Isa akan menjadi makmumnya. (Abdul Halim Mahally. 2006: 79).
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) berkeyakinan bahwa Nabi Isa telah
wafat. Nabi Isa telah menyempurnakan tugasnya dan meninggal dunia,
sebagaimana biasanya manusia dan di kuburkan di Srinagat, Kashmir. Atas
penyelidikannya, Mirza Ghulam Ahmad menunjukkna kuburan Nabi Isa yaitu di
Mohalla Khan Yar di kota Srinagar. (Syafi R. Batuah. 1999: 31). Atas dasar itu,
JAI mengklaim hadist-hadist tentang turunnya Al-Masih di akhir zaman, yang
kebenaran informasinya tidak diragukan lagi (Mutawatir Ma’nawi), ditujukan
kepada Pemimpin Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.
Dalam Surat Al-Maidah: 117 yang artinya “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha menyaksikan atas segala sesuatu”. (Al-Quran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
Ayat tersebut dalam tafsir Ahmadiyah adalah selama Nabi Isa hidup beliau
mengamati dengan cermat pengikut-pengikut beliau dan menjaga agar mereka
jangan menyimpang dari jalan yang benar, tetapi beliau tidak mengetahui betapa
mereka telah berbuat dan itikad-itikad palsu apa yang dianut mereka sesudah
beliau wafat. Karena pengikut-pengikut beliau telah sesat maka dapat diambil
kesimpulan bahwa beliau telah wafat. (Muchlis M. Hanafi. 2011: 46)
Menurut pendapat Penulis, jelas hal ini bertentangan dengan firman Allah
dalam QS. An-Nisa’: 157-158, yang artinya: “…padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah)
orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih
pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu),
melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah
membunuhnya. Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya…” (Al-Quran
terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2004)
Dalam keyakinan Ahmadiyah Qadiani, haji bukan hanya di Mekkah al-
Mukarrohmah, tetapi juga di Qadian, tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad.
Khalifah kedua Ahmadiyah Qadiani. Mirza Mahmood Ahmad, menyatakan “Saya
sungguh-sungguh mengatakan kepada kalian bahwa Tuhan memberitahuku
tentang kesucian tanah Qadian dan ia memiliki keistimewaan seperti halnya
Mekkah al-Mukarrohmah dan Madinah al-Munawarah” (al-azl, 10 Desember,
1932). (Abdul Halim Mahally. 2006: 85)
Sama halnya dengan umat muslim, Ahmadiyah Qadiani juga mempunyai
kitab suci sendiri, yaitu “Al-Mubin”, yang lebih dikenal dengan sebutan
“Tadzkirah” di Indonesia. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan “Dengan
Keagungan Tuhan, saya meyakini wahyu yang diturunkan kepadaku seperti
keyakinanku kepada Al-Quran dan Kitab-Kitab Suci lain yang diturunkan dari
Surga” (Haqiqat-al-Wahyu, h.211). (Abdul Halim Mahally. 2006: 87)
Para pengikut Ahmadiyah tidak diperbolehkan menikah dengan non-
Ahmadiyah. Mirza Bashiruddin Mahmood yang menjadi petinggi Ahmadiyah
Qadiani sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan pernyataan tegas
bahwa “Pengikut Ahmadiyah tidak diizinkan menikahkan anak gadisnya dengan
non-Ahmadiyah”. Tetapi Mirza membolehkan pernikahan laki-laki Ahmadiyah
dengan perempuan non-Ahmadiyah. Menurut pandangannya, perempuan non-
Ahmadiyah statusnya sama seperti Ahlul Kitab, yang dalam syariat islam bisa
dinikahi. (Abdul Halim Mahally. 2006: 90-91)
Dalam paham Ahmadiyah Qadiani, shalat di belakang orang non-
Ahmadiyah tidak diperbolehkan. Khalifah al-Masih II yang tidak lain adalah putra
pendiri Ahmadiyah juga menyatakan secara tegas bahwa pengikut ahmadiyah
dilarang menjadi makmum di belakang non-Ahmadiyah, larangan ini bersifat
mutlak. Menurut Khalifah al-Masih I, Maulvi Nuruddin Bhairwi, pengikut
Ahmadiyah boleh bermakmum dengan non-Ahmadiyah hanya dalam keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
darurat atau karena ada kemaslahatan, tetapi setelah itu wajib mengulang kembali
shalatnya. (Abdul Halim Mahally. 2006: 94-95)
Dari keterangan atau uraian diatas sedikit banyak Penulis dapat menarik
kesimpulan mengenai paham dari Ahmadiyah, terkhusus Qadiani. Di Indonesia
sendiri lebih dikenal dengan sebutan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dari
berbagai penjelasan tersebut, ajaran Ahmadiyah banyak yang menyimpang atau
bertentangan dengan Syariat Islam yang dianut mayoritas muslim tidak hanya di
Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia.
A.M. Fatwa menyarankan agar Jemaat Ahmadiyah keluar dari Islam dan
mendirikan agama baru tanpa terkait dengan Islam, baik secara roh maupun
aktivitasnya. Secara konstitusional, di Indonesia tidak ada aturan pelarangan
keyakinan beragama. Namun untuk Ahmadiyah, aktivitas keyakinannya jelas
menyakiti dan menodai Islam sehingga Ahmadiyah harus menjelaskan dan
menegaskan bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam.
Sedangkan Butir Ketiga menjelaskan “Penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan
peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan
Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”.
Butir ini merupakan butir ancaman kepada JAI jika tidak mematuhi
peringatan dan perintah di butir sebelumnya. Hal ini berarti Negara, dalam hal ini
Pemerintah sudah memasukkan agama dan keyakinan dalam ranah kekuasaan
secara yuridis formal dikarenakan ada kalimat pemberian sanksi sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Di lain pihak ada ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia sehingga seperti ada kontradiksi terkait ketentuan Peraturan Perundang-
undangan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Hal ini
juga memberikan ruang bagi kriminalisasi terhadap ranah beragama dan
berkeyakinan yang sebenarnya merupakan ranah personal bagi setiap orang.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Karena dirasa Ahmadiyah masih mengembangkan ajarannya, sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama: “Barang siapa melanggar ketentuan
tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Oleh karena itu Pemerintah
merumuskan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) dan Warga Masyarakat. Dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang
menjelaskan: “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh
Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia
dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran
tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri.
Berdasarkan Penjelasan Pasal demi Pasal dari Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama, sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-
orang ataupun penganut penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota
atau anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam Pasal
1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, untuk permulaannya dirasa cukup
diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi
atau penganut-penganut aliran kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup
serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk
membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran
terlarang dengan akibat-akibatnya (jo pasal 169 K.U.H.P.).
Pasal 169 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: (1) Turut serta perkumpulan yang tujuannya melakukan kejahatan, atau turut
serta perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
(2) Turut serta perkumpulan yang tujuannya melakukan pelanggran, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(3) Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat ditambah sepertiga.
Kemudian pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
dijelaskan bahwa: “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama
bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh
Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang,
organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan
dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus
Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun”. Hal ini sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Pasal 156a yaitu: “Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama yang dianut di
Indonesia”. Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah
tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan
tersebut dalam Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahaan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Penyusunan SKB ini mengacu pada Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1
PNPS (Penetapan Presiden) Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1965. Terlepas dari itu isi SKB yang dikeluarkan tidak akan
berujung pada pembubaran JAI karena kewenangan untuk memutuskan
membubarkan ada ditangan Presiden melalui Keppres, sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Menurut Jaksa Agung, Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tidak memuat soal pembubaran organisasi
semacam Ahmadiyah. Yang diatur hanya perintah dan peringatan. Oleh karena itu
beliau menyatakan bahwa SKB tidak berisi pembubaran Ahmadiyah, tetapi lebih
kepada memberi peringatan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. SKB ini merupakan amanat
Perundang-undangan yang diperintahkan kepada Jaksa Agung demi keadilan
masyarakat. Proses penyusunan SKB harus berdasarkan rumusan-rumusan sesuai
Perundang-undangan. Hendarman Supandji mengatakan instruksi bagi JAI untuk
menghentikan kegiatan seperti yang tertuang didalam SKB tidak ada
deadlinenya. Di dalam Undang-Undang tidak ada batas waktu berapa kali diberi
peringatan. Ketentuan Undang-Undangnya tidak ada. Jika tidak mematuhi
peringatan, Ahmadiyah dinilai menodai agama dan termasuk Pasal 156a tentang
Penodaan Agama. Sementara itu Menteri Agama menegaskan bahwa
dikeluarkannya SKB tersebut bukan merupakan intervensi Negara terhadap
keyakinan seseorang. Namun langkah tersebut sebagai upaya Pemerintah sesuai
kewenangan yang diatur Undang-Undang dalam rangka menjaga ketentraman
beragama dan ketertiban kehidupan masyarakat. Menteri Agama mengharapkan
agar masyarakat tetap tenang dan tidak berunjuk rasa lagi terkait kontroversi
pembubaran Ahmadiyah.
Butir Keempat SKB menjelaskan : “Memberi peringatan dan
memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara
kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan
hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI)”.
Butir ini diperuntukkan bagi warga masyarakat secara umum untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum terhadap anggota JAI. Hal ini
memperlihatkan dualisme upaya pemerintah melalui SKB ini, di satu sisi
membatasi kegiatan JAI tetapi disisi lain melindungi anggota JAI yang selama ini
mendapatkan banyak tindak kekerasan dari warga masyarakat umum yang
menganggap JAI menyimpang.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
Kontroversi seputar Ahmadiyah, semakin meluas. Ada yang beranggapan
bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1980 sebagai awal atau
pemicu timbulnya aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Terlebih dalam Munas MUI tanggal 26-29 Juli 2005, Ahmadiyah kembali divonis
sebagai aliran sesat dan karenanya harus dilarang. Reaksi keras bermunculan ,
sekelompok orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani (AMM)
menuntut MUI untuk mencabut fatwanya. Mereka beranggapan bahwa fatwa MUI
tersebut tidak saja bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) melainkan
juga sering dijadikan landasan bagi sejumlah kalangan untuk melakukan aksi
kekerasan dan main hakim sendiri.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak pernah memerintahkan kekerasan
terhadap siapapun termasuk Ahmadiyah. Tuduhan miring bahwa fatwa MUI yang
menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat sebagai penyebab munculnya
kekerasan merupakan tidak mendasar. Menurut MUI, MUI sudah lama
mengatakan kepada publik secara lisan dan tulisan agar umat Islam tidak
melakukan tindak kekerasan atau anarkisme. MUI berpegang kepada dalil Al-
Quran dan Hadis bahwa pada kondisi perang sekalipun dilarang membakar tempat
ibadah. MUI prihatin atas terjadinya perusakan asset Jemaat Ahmadiyah oleh
pihak yang tidak bertanggungjawab dan meminta kepada pemerintah untuk
mengusut sampai tuntas.
Menurut Penulis, tidak seharusnya aksi kekerasan dilakukan terhadap
Warga JAI, Bahkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dalam Pasal 28I ayat (2) dijelaskan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Seperti yang
kita ketahui Jemaat Ahmadiyah Indonesia sering mendapat perlakuan
diskriminatif dari masyarakat sekitar akibat ajaran yang mereka yakini, terkadang
mereka juga mendapat perlakuan yang meresahkan dari masyarakat. Seperti
pengrusakan tempat ibadah dan tindak kekerasan yang tidak jarang
mengakibatkan kematian dari warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Merujuk Pasal
28D ayat (1) dijelaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Dari pasal tersebut sudah selayaknya Pemerintah melindungi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
warga Jemaat Ahmadiyah, yang notabene mereka merupakan bagian dari
Penduduk Indonesia yang wajib dilindungi keberadaannya oleh Pemerintah.
Butir Kelima dari SKB 3 Menteri menjelaskan: “Warga masyarakat yang
tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum
KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan”.
Butir ini menegaskan kembali bahwa pemerintah dengan kekuasaannya
telah memasukan isu kerukunan umat beragama ke dalam ranah hukum dengan
pemberian sanksi secara hukum kepada warga masyarakat umum yang tidak
mematuhi butir pertama dan keempat.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
Terhadap warga masyarakat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap
Jemaat Ahmadiyah diancam pidana penjara paling lama empat tahun, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yaitu: “Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah”. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal
berikutnya berarti, tiap-tiap bagian masyarakat Indonesia, yang berbeda dengan
suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negeri asalnya, agamanya,
tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau kedudukannya menurut
hukum tata negara.
Butir Keenam menjelaskan : “Memerintahkan kepada Aparat Pemerintah
dan Pemerintah Daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam
rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini”.
Butir ini memberikan kewenangan kepada Aparat Pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan dari SKB ini, hal ini dapat diartikan bahwa permasalahan
Ahmadiyah di Indonesia telah menjadi satu hal yang masuk dalam ranah
kekuasaan Pemerintah. Butir ini juga belum secara jelas menyatakan langkah-
langkah pembinaan seperti apa yang dimaksudkan sehingga jika tidak segera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dibuat aturan pelaksanaan teknis dapat dilakukan sesuai penafsiran masing-
masing aparat Pemerintah.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
Sementara itu menurut Ahmadiyah adanya berbagai Peraturan Daerah
(Perda) dan Keputusan Pemerintah Daerah yang melarang aktivitas keagamaan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam segala bentuknya jelas merupakan
pengingkaran dan pelanggaran terhadap SKB 3 menteri yang bersangkutan.
Bahkan, lebih dari itu merupakan pelanggaran konstitusional terhadap jaminan
hak beragama menurut Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan hak
beragama adalah salah satu “…. hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun atau non-derogable rights”. Di samping itu, sesuai dengan
Pasal 10 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, urusan agama merupakan urusan Pemerintah Pusat yang
tidak dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, sehingga Pemerintah Daerah baik
Gubernur maupun Bupati tidak berwenang mengurus urusan agama, termasuk
melarang kegiatan Ahmadiyah dalam bentuk apa pun di daerah masing-masing.
Apalagi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjamin Hak Asasi Manusia, yakni
setiap orang: bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (Pasal 28E
UUD 1945); berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat 2 UUD 1945); berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D UUD 1945); berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat (Pasal 28H UUD 1945); berhak bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif (Pasal 28I ayat 2 UUD 1945). Semua hak asasi tersebut
berlaku bagi semua warga negara, tidak terkecuali bagi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia dan merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi (non-
derogable rights) dalam keadaan apa pun (Pasal 28I UUD 1945). Perlu disadari
bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Dilain sisi, SKB merupakan peringatan Pemerintah. Peringatan tersebut
untuk individu dan kelompok masyarakat yang secara sengaja melakukan
penodaan agama didepan umum. Karena itu SKB merupakan dasar hukum yang
akan memperberat sanksi bagi para pelanggar. Menteri Agama menegaskan
bahwa kewenangan pejabat setara Menteri hanya terbatas pada penerbitan SKB.
Sementara untuk peningkatan hingga Keppres merupakan kewenangan Presiden.
Akan tetapi SKB ternyata memicu tafsir sepihak dan membingungkan
kalangan aparatur pelaksana di daerah. Kanwil Departemen Agama di daerah
menunggu instruksi lebih lanjut dari Pemerintah Pusat mengenai implementasi
SKB. Dalam rapat kerja komisi VIII DPR dengan Menteri Agama, Menteri dalam
Negeri, dan Jaksa Agung pemerintah meyakinkan SKB kuat secara hukum dan
efektif dalam implementasinya. Jaksa Agung mengakui bahwa SKB tidak dikenal
dalam hierarki kedudukan hukum. Baik dalam Tap MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan maupun
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Namun SKB merupakan amanat dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari implementasi SKB, Menteri Agama
berjanji akan mengefektifkan pembinaan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Jaksa
Agung juga yakin pengawasan terhadap implementasi SKB bisa efektif. Sebab
infrasruktur dalam sistem pengawasan cukup kuat hingga ke tingkat daerah.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
Pemerintah memastikan tidak akan menerbitkan Keputusan Presiden
(Keppres) tentang pembubaran JAI. SKB dinilai masih berfungsi sehingga tidak
membutuhkan Keputusan Presiden. Sejumlah organisasi massa menuntut
Pemerintah menerbitkan Keppres untuk membubarkan Ahmadiyah. SKB dinilai
tidak cukup kuat untuk mencegah penyebaran aliran Ahmadiyah di Indonesia.
Menanggapi desakan tersebut Menteri Agama menegaskan bahwa SKB
merupakan peringatan pada tokoh aliran Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
keyakinannya. Karena itu harus dilihat dulu efektivitas pelaksanaan SKB di
lapangan.
Butir Ketujuh dari SKB 3 Menteri menjelaskan: “Keputusan Bersama ini
berlaku sejak tanggal ditetapkan”.
Butir ini memberikan penetapan bahwa SKB ini secara hukum memiliki
kekuatan untuk dilaksanakan sejak dibuat pada tanggal 9 Juni 2008 sampai nanti
terdapat pencabutan terhadap SKB ini.
Dari penafsiran butir per butir SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah,
sementara dapat ditafsirkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah telah
memasukkan isu Ahmadiyah ke dalam ranah kewenangan negara secara hukum
sehingga ini tidak lagi menjadi ranah personal bahkan dapat membuka ruang
untuk terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
Dilain pihak, keluarnya SKB disesalkan oleh JAI. Untuk itu JAI akan
berkonsolidasi kedalam sebelum melakukan perlawanan hukum. Alasannya,
Indonesia adalah Negara yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila, bukan
Negara Islam sebagaimana Pakistan yang menyatakan Ahmadiyah bukan bagian
dari Islam sejak tahun 1974. Nabi mengatakan jika Islam nanti akan terbagi
menjadi 73 golongan. Lalu bagaimana satu golongan bisa memaksakan pendapat
kepada golongan yang lain. Menyinggung soal tuduhan menodai agama, JAI
mempertanyakan kenapa tuduhan tersebut baru muncul setelah adanya fatwa
MUI. Kenapa tidak dari dulu. Apakah ulama dulu tidak pandai. Mereka
beranggapan ini adalah politisasi.
Menurut mereka, Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun
1965 bertentangan dengan ketentuan beberapa pasal dalam UUD 1945, seperti
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) & ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29
ayat (2) UUD 1945, khususnya bertentangan dengan hak untuk memeluk agama,
beribadat, meyakini keyakinan, serta menyatakan sikap sesuai dengan hati
nuraninya. Selain itu, ketentuan Pasal 1 ini bertentangan dengan ketentuan Pasal
18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 yang secara
tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan ,
dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara
mengajarkannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadahnya dan menaatinya,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun
sendiri”. Pasal 1 ini juga bertentangan dengan dua Kovenan Internasional yang
telah diratifikasi Pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang ICCPR (Pasal 18) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM (Pasal 4) dan (Pasal 22 Ayat (2)). Namun, pendapat ini pernah
dibantah oleh Tim Pengacara Muslim (TPM). Anggota TPM Mahendradatta
meminta agar para pendukung aliran sesat melihat Pasal 18 ayat (3) ICCPR.
Ketentuan itu menyatakan kebebasan beragama dapat dibatasi oleh hukum dalam
rangka melindungi keselamatan publik, kesehatan, hak-hak fundamental dan
kebebasan pihak lain.
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4af83c7554820/uu-penodaan-agama-
diuji-ke-mahkamah-konstitusi)
Article 18 of the Declaration of Human Rights (UDHR) arguably became a
peremptory norm of international law in 1966 with the passing of Articles 18, 19,
20, and 27 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
The covenant concretized the basic freedoms of religion and conscience
articulated in the UDHR and made its signatories legally bound by it. In addition
to prohibiting state coercion that would impair a person’s freedom to practice or
adopt a religion or belief of one’s choice, the ICCPR also prohibits states from
denying religious minorities the right, in community with other group members,
to enjoy their own culture, profess or practice their own religion, or to use their
own language. These rights are non-derogable except if the interests of public
safety, order, health or morals, or the fundamental rights and freedoms of others,
if prescribed by law, justies their limitation. Yang artinya adalah Pasal 18 dari
DUHAM boleh dibilang menjadi norma-norma hukum Internasional pada tahun
1966 dengan disahkannya Pasal 18, 19, 20, dan 27 dari Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Perjanjian diwujudkan dalam kebebasan
dasar agama dan hati nurani diartikulasikan dalam DUHAM dan membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
penandatangan yang secara hukum terikat oleh itu. Selain melarang pemaksaan
negara yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk berlatih atau
mengadopsi suatu agama atau kepercayaan pilihan seseorang, ICCPR juga
melarang negara dari menyangkal hak minoritas agama, dalam komunitas dengan
anggota kelompok lainnya, untuk menikmati budaya mereka sendiri, mengakui
atau praktek agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka
sendiri. Hak-hak non-derogable, kecuali jika kepentingan keselamatan publik,
ketertiban, kesehatan atau moral, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain,
jika ditentukan oleh hukum, justies keterbatasan mereka. (Amjad Mahmood Khan.
2003: 231)
Sementara itu ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
PNPS Tahun 1965, dirasa bertentangan dengan prinsip negara hukum karena
prosedur pembubaran organisasi dimaksud bertentangan dengan prinsip toleransi,
keagamaan, dan pemikiran terbuka. Proses pembubaran organisasi dan pelarangan
organisasi seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen,
dan terbuka, dengan mempertimbangkan hak atas kebebasan beragama,
keberagaman dan toleransi. (http://www.ingateros.com/2010/04/uu-penodaan-
agama-isi-bunyi-uu-penodaan-agama.html)
Sementara itu, menurut Nicola Corban: Law No.1/PNPS/1965 unacceptably
allows the limitation of freedom of religion or belief and has become a
justification for restricting the freedoms and actions of minority groups and
indigenous peoples. By facilitating the recognition of six religions only, it gives
rise to violations of both civil and political rights, as well as economic, social and
political rights, for followers of religions or beliefs outside these six religions, and
also for those who do not have a religion. This Law also means that legal
instruments and policies protecting freedom of religion or belief only protect
followers of recognised religions. The concept of ‘defamation of religions’
introduced in Law No.1/PNPS/1965 and reinforced in Article 156a of the
Criminal Code is controversial from a human rights perspective. At the
international level many states argue it has no place in human rights protection,
while other states such as Indonesia argue that defamation of religions and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
religious discrimination, hatred and intolerance are two interconnected issues. At
the domestic level, defamation of religions has proven to be an abstract concept
that can lead to conflict and intolerance, especially towards followers of non-
mainstream religions or belief.
Yang artinya adalah Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tidak dapat diterima,
memungkinkan pembatasan kebebasan beragama atau keyakinan dan telah
menjadi justifikasi untuk membatasi kebebasan dan tindakan kelompok minoritas
dan masyarakat adat. Dengan memfasilitasi pengakuan enam agama saja, itu
menimbulkan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial
dan politik, bagi pengikut agama atau kepercayaan di luar enam agama, dan juga
bagi mereka yang tidak memiliki agama. Undang-Undang ini juga berarti bahwa
instrumen hukum dan kebijakan perlindungan kebebasan beragama atau
kepercayaan hanya melindungi penganut agama yang diakui. Konsep 'pencemaran
nama baik agama' yang diperkenalkan dalam Undang-Undang No.1/PNPS/1965
dan diperkuat dalam Pasal 156a KUHP menimbulkan kontroversi dari perspektif
Hak Asasi Manusia (HAM). Pada tingkat internasional banyak negara
berpendapat ia tidak punya tempat dalam perlindungan Hak Asasi Manusia,
sementara negara-negara lain seperti Indonesia berpendapat bahwa pencemaran
nama baik agama dan diskriminasi agama, kebencian dan intoleransi adalah dua
masalah yang saling berhubungan. Pada tingkat domestik, pencemaran nama baik
agama telah terbukti menjadi sebuah konsep abstrak yang dapat menyebabkan
konflik dan intoleransi, khususnya terhadap pengikut agama-agama non-
mainstream atau kepercayaan. (Nicola Colbran. 2010: 695)
Penerbitan SKB 3 Menteri sendiri mendapat perhatian khusus dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Untuk itu MUI akan membentuk tim untuk memantau
penerapan SKB tersebut. MUI tidak mempermaslahkan jika JAI hendak
membawa SKB ke jalur hukum. Pengurus Besar NU siap merangkul warga JAI
untuk kembali ke ajaran Islam yang benar. Sebagai keyakinan, kepercayaan warga
JAI tak bisa dihilangkan dengan menggunakan kekerasan atau pendekatan
keamanan. Hanya melalui dakwah dengan hikmah keyakinan warga JAI dapat
diluruskan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Menurut Hasyim Muzadi, mewakili PBNU menyatakan bahwa kalau
Ahmadiyah terbukti menyebarkan faham bahwa ada nabi setelah nabi Muhammad
SAW, bisa dipastikan hampir semua ulama di Indonesia akan menyatakan
Ahmadiyah diluar Islam. Dalam hal semacam ini MUI, sebagai lembaga
keislaman tentu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengingatkan kaum
muslimin serta mengembalikannya ke jalur Islam. Tapi jalur yang ditempuh
haruslah melalui nasihat dan bimbingan. Siapapun tidak mempunyai hak
konstitusional untuk berbuat kasar dan aniaya terhadap mereka karena kekerasan
dan aniaya itu sendiri telah bertentangan dengan ajaran Islam tentang hak hidup.
(Ahmad Subakir. 2009: 71)
PBNU mengecam kekerasan fisik yang dilakukan FPI untuk mencapai
tujuannya. PBNU berharap FPI dapat mengubah pola perjuangannya, karena
tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik pula. FPI juga diajak untuk
mengembangkan Islam yang sesuai dengan tatanan hukum dan nilai
keindonesiaan. Namun PBNU juga menolak kekerasan ideologi dan keyakinan
yang dilakukan JAI, yang dianggap sebagai penodaan terhadap ajaran Islam.
Kekerasan ideologi rawan menimbulkan rentetan kekerasan lainnya. Keyakinan
JAI tidak menjadi masalah jika Ahmadiyah menjadi agama tersendiri dan keluar
dari Islam. Pancasila memberi kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan tetapi
tidak dapat menjadi alat untuk untuk bebas menodai ajaran agama lain.
Pemerintah ingin berdiri di atas semua golongan. Itu sebabnya pemerintah
tidak membuat keputusan tentang pelarangan atau pembubaran. Pemerintah
membuat keputusan untuk memberikan peringatan dan perintah kepada penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia. SKB
diharapkan tidak menimbulkan ekses yang luas. SKB disusun dengan menjaga
keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat dan berbangsa. SKB ini bukan
intervensi dari mana pun tetapi dipikirkan bersama-sama secara hati-hati karena
cukup rumit persoalannya. Ahmadiyah bisa mengajukan Judicial Review kepada
Mahkamah Konstitusi jika tidak menerima isi SKB. Nasarudin Umar, Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag menyatakan pemerintah tidak ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
SKB soal Ahmadiyah bersifat premature. Keputusan tersebut harus permanen dan
mengakomodasi semua kepentingan.
SKB soal Ahmadiyah tidak hanya disosialisaikan didalam negeri.
Pemerintah Indonesia juga langsung menjelaskan kebijakan ini didepan Dewan
HAM PBB. Masalah Ahmadiyah ini dilaporkan delegasi Indonesia dalam sidang
Pleno Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Sidang Pleno mengagendakan
pengesahan laporan akhir Univesal Periodic Review (UPR) Indonesia dalam
sidang ke-8 Dewan HAM PBB. Laporan ini memuat sejumlah isu antara lain
perdagangan perempuan, hukuman mati, dan perlindungan HAM. Dalam rilis
Perutusan Tetap RI pada PBB delegasi RI secara khusus memberikan penjelasan
terkait dengan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah. Kepada Dewan HAM PBB
disampaikan Ahmadiyah diminta menghentikan aktivitasnya dan dihimbau
kembali ke ajaran yang sesuai agama Islam. Masyarakat Indonesia juga diminta
menghindari tindak kekerasan kepada pengikut Ahmadiyah. Keputusan tersebut
tidak bermaksud untuk melarang Ahmadiyah atau dikategorikan sebagai upaya
pemerintah untuk mencampuri kebebasan beragama warga negara. Keputusan ini
justru untuk menjaga ketentraman kehidupan beragama, termasuk melindungi
pengikut Ahmadiyah sesuai dengan kondisinya.
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128578T%2026773...Analisis.pdf)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
Pengaturan SKB 3 Menteri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS
tahun 1965 yaitu SKB dikeluarkan bukan sebagai larangan atau pembubaran,
melainkan peringatan dan perintah kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan
Warga Masyarakat agar mematuhi keputusan. SKB ini tidak berisi mengenai
pembubaran Ahmadiyah karena pembubaran hanya dapat dilakukan oleh Presiden
melalui Keputusan Presiden (Keppres), hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pemerintah tidak dapat
membubarkan Ahmadiyah sebab keyakinan yang dianut JAI, karena Indonesia
tidak memiliki pengadilan untuk mengadili suatu keyakinan. Hal yang dapat
diadili adalah kegiatan penyalahgunaan maupun penodaan terhadap agama sesuai
Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta bagi warga
masyarakat yang terbukti melakukan tindakan berupa penyebaran permusuhan,
kebencian, dan penghinaan di depan umum terhadap golongan tertentu dipidana
sesuai Pasal 156 KUHP.
B. Saran
1. Pentingnya sosialisasi tentang jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan
di Indonesia, sehingga diharapkan dapat menghindarkan dari adanya tindakan-
tindakan anarkis yang sering kali berujung pada kekerasan dan pengrusakan
yang dilakukan satu kelompok agama terhadap kelompok agama yang lain.
2. Pentingnya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pelaksanaan
SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah, dan penelusuran terhadap kelompok yang
terkena dampak SKB 3 Menteri, dalam hal ini adalah kelompok Ahmadiyah.
Untuk melihat dampak positif dan negative dari penerbitan SKB 3 Menteri.
3. Untuk warga masyarakat diharapkan lebih bersikap tenang dalam memandang
persoalan Ahmadiyah, dengan tidak melakukan kekerasan terhadap JAI,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
sebagaimana mereka juga Warga Negara Indonesia yang berhak bebas dari
perlakuan diskriminatif dan memperoleh jaminan perlindungan hukum.
4. Untuk JAI sejauh masih mengaku beragama islam untuk segera kembali pada
ajaran Islam yang lurus.
5. Diharapkan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam bisa lebih bijaksana
dengan merangkul saudara kita (JAI) untuk dibimbing kembali pada syariat
keislaman yang benar.