prosedur poligami di indonesia dan malaysia studi
Post on 08-Jan-2022
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROSEDUR POLIGAMI DI INDONESIA DAN MALAYSIA STUDI
KOMPARATIF UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 DAN
AKTA UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM
(WILAYAH-WILAYAH PERSEKUTUAN) 1984
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Program Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syariah Pada Fakultas Syariah
RAJA HASIF ASLAM BIN RAJA BADRUL HIZAM
SPM 103180009
PEMBIMBING :
DRS. RAHMADI, M.HI
TASNIM RAHMAN FITRA, S.SY., M.H
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
J A M B I
1441 H / 2020
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahawa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Fakultas Syariah
UIN STS JAMBI
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
camtumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN STS JAMBI
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN STS JAMBI
Jambi, September 2020
Raja Hasif Aslam Bin Raja
Badrul Hizam
NIM : SPM 103180009
iii
Drs. Rahmadi, M.H.I Jambi, Disember 2020
Tasnim Rahman Fitra, S.Sy., M.H
Alamat : Fak Syariah UIN STS Jambi Kepada Yth.
Jl. Raya Jambi-Ma Bulian Bapak Dekan
Simp. Sungai Duren Fak. Syariah
Muaro Jambi. UIN STS Jambi
di-
JAMBI
NOTA DINAS
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan persyaratan
yang berlaku di Fakultas Syariah UIN STS Jambi, maka kami berpendapat bahwa
skripsi saudara Raja Hasif Aslam Bin Raja Badrul Hizam “Prosedur Poligami di
Indonesia dan Malaysia Studi Komparatif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984” telah
dapat diajukan untuk dimunaqasyahkan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Jurusan Perbandingan Mazhab pada
Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak, semoga
bermanfaat bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Wassalâm
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rahmadi, M.H.I Tasnim Rahman Fitra, S.Sy.,
M.H
NIP : 196611121993021001 NIP : 199204052018011003
iv
Pembimbing I : Drs. Rahmadi, M.H.I
Pembimbing II : Tasnim Rahman Fitra, S.Sy., M.H
Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi,
Jl.Jambi- Muara Bulian KM.16 Simp. Sei Duren,
Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021
Jambi, November 202
0
Kepada:
Yth. Bapak Dekan Fakultas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Di -
Jambi
PERSETUJUAN PEMBIMBING
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Setelah membaca dan mengadakan pembaikan seperlunya, maka kami berpendapat
bahwa skripsi saudara Raja Hasif Aslam Bin Raja Badrul Hizam NIM: SPM 103180009
yang berjudul “Prosedur Poligami di Indonesia dan Malaysia Studi Komparatif
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 ” dapat diajukan untuk di munaqasyahkan
guna melengkapi tugas tugas dan memenuhi syarat syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Maka dengan ini kami ajukan skripsi tersebut agar dapat diterima dengan baik.
Demikianlah, kami ucapkan terima kasih, semoga bermanfaat bagi kepentingan
agama, nusa dan bangsa.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rahmadi, M.H.I Tasnim Rahman Fitra, S.Sy.,
M.H
NIP: 196611121993021001 NIDN: 199204052018011003
KEMENTERIAN AGAMA
UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS SYARIAH
Jln. Raya Jambi-Muaro Bulian KM. 16 Simpang Sungai Duren Kab. Muaro Jambi 36363
Telp/Fax (0741) 583183-584118 Website: iainjambi.ac.id
PENGESAHAN SKRIPSI / TUGAS AKHIR
Nomor : B-………./D.II./PP.003/01/2021
Skripsi / Tugas Akhir dengan judul : “Prosedur Poligami di Indonesia dan Malaysia Studi
Komparatif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga
Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984”
Yang dipersiapkan dan disusun oleh
Nama : Raja Hasif Aslam Bin Raja Badrul Hizam
NIM : SPM 103180009
Telah dimunaqasyahkan pada : 26 November 2020
Nilai Munaqasyah :
Dan dinyatakan telah diterima oleh Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
TIM MUNAQASYAH :
Ketua Sidang
Dra. Illy Yanti, M. Ag
NIP: 197102271994012001
Penguji I Penguji II
Drs. Hasbi Ash-Shiddiqi, M.Ag. Idris, S.S., M.H
NIP: 196406081992031004 NIP: 197804012014121 1 004
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rahmadi, M.H.I Tasnim Rahman Fitra, S.Sy., M.H
NIP: 196611121993021001 NIP: 19920405201801 1 003 Sekretaris Sidang
Dra. Choiriyah
NIP : 196602501994032001
Jambi, Januari 2021
Fakultas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
DEKAN
Dr. Sayuti Una, S,Ag. MH
NIP: 19720102 200003 1005
v
MOTTO
سطوافوإن تق لاأ تم تمخف فٱل نطماٱنكحوا ٱلن ساءابلكمم وثل ثمث ن
ما و حدةأ دلوافو تع لا
أ تم خف فإن تموربع لا
نى أ د
لكأ ي منكم ذ
أ ٣عولوالكت
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilama kamu mengawininya), Maka kawinlah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudia jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.1 (Al-Baqarah ayat 3)
1 Al-Quran dan Per Kata, Terjemahan Resmi Departmen Agama Republik Indonesia, (Al-
Quran Al-Hidayah, Tangrang Selatan: Kalim, 2011), hlm. 35
vi
ABSTRAK
Dua Studi ini Bertujuan untuk mengetahui perbandingan prosedur poligami di
Indonesia dan Malaysia. Dalam Islam tidaklah mengharamkan praktek poligami itu
karena menikah lebih dari seorang istri itu mempunyai banyak kebaikan dan
kemashlahatan dalam masyarakat terutamanya menyelesaikan beberapa perkara.
Melalui surah an-Nisa ayat 3. Poligami tidak dibenarkan secara wewenagnya tanpa
batasan dan syarat tertentu yaitu dengan berkawin seberapa ramai istri yang disukai
sama ada bertujuan ekonomi maupun politik sebagaimana dipraktekan di zaman
masyarakat Jahiliyyah. Bagi memastikan hal berkaitan poligami ini di lakukan dengan
benar Negara telah mengatur undang-undang yang berkaitan dengan poligami bagi
menjaga hak istri-istri agar tidak tertindah. Di Negara Indonesia terdapat Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan dalam pasal 3 sehingga 5
tentang poligami dan di Malaysia terdapat Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 dalam Seksyen 23 mengenai Poligami. Adapun
permasalahan dalam skripsi ini yaitu apa saja prosedur poligami yang berlaku di kedua
Negara Indonesia dan Malaysia. Apakah Dampak hukum poligami yang berlaku di luar
pengadilan Agama di Indonesia dan Malaysia. Jenis penelitian ini adalah penelitian
Library Reseacrh yaitu dengan mengambil dan membaca serta menelaah literature-
literature yang berhubungan dengan penelitian ini. Data-data yang terkumpul bersumber
dari data primier yaitu dari buku-buku bacaan yang berkaitan undang-undang bagi
kedua-dua Negara, data sekunder yaitu dari peneliti yang diperoleh dari literatur-
literatur dan buku-buku yang berkaitan yang mempunyai hubungan dengan masalah
yang teliti dan data tersier yaitu kamus bahasa. Setelah data terkumpul, kemudian
dianalisi dengan menggunakan metode komperatif. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Indonesia izin poligami istri lebih diutamakan jika suami yang hendak
berpoligami kemudian mendapat izin istri selanjutnya harus mendapatkan izin
Pengadilan Agama baru Pengadilan akan memeriksa permohonan poligami tersebut.
Sedangkan di Wilayah Persekutuan, Malaysia izin Mahkamah Syariah yang paling
diutamakan hal ini ditujukan agar seseorang yang ingin berpoligami tidak akan
melakukan perkawinan diluar Mahkamah Syariah dan jika seseorang melanggarnya
akan dikenakan denda dibawah Seksyen 124.
Kata kunci: Undang-Undang, Pengadilan Agama, Mahkamah Syariah Wilayah-
Wilayah Persekutuan, Malaysia
vii
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang kucintai:
Ayahanda Raja Badrul Hizam Bin Raja Meran serta Rosniza Binti Ismail yang telah
mendidik dan mengasuh anakanda dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih
sayang, agar kelak anakanda menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua
dan bermanafaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa, seterusnya dapat meraih cita-cita.
Saudara-saudaraku Raja Hafiz Aslam, Raja Haikal Aslam, Raja Hanif Aslam, Putri
Nur Huda, dan sekeluarga. Terima kasih di atas segala perhatian dan doa yang
diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita merupakan rahmat dan
anugerah dari-Nya, serta menjadi sesuatu yang indah buat selama- lamanya.
Sahabat-sahabatku, Muhamad Syafiq, Muhammad Salikin, dan Muhammad Hakim
serta teman temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar-
pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman-teman dari Indonesia
maupun teman-teman yang berada di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat
dan dorongan di kala suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin
dengan baik selamanya.
Terima kasih atas segalanya.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, Wr.Wb.
Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam turut dilimpahkan
kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai. Alhamdulillah
dalam usaha menyelesaikan skripsi ini penulis senantiasa diberi nikmat kesehatan dan
kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang diberi judul Prosedur
Poligami di Indonesia dan Malaysia Studi Komparatif Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu
syariah dalam bagian hukum. Juga memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh
gelar Program Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan Perbandingan Mazhab pada
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima
hambatan dan halangan baik dalam masa pengumpulan data maupun penyusunannya.
Situasi yang mencabar dari awal hingga ke akhir menambahkan lagi daya usaha untuk
menyelesaikan skipsi ini agar selari dengan penjadualan. Maka skripsi ini dapat juga
diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih
kepada semua pihak yang turut membantu sama ada secara langsung maupun secara tidak
langsung menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
ix
1. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi, MA., Ph.D selaku Rektor UIN STS Jambi, Indonesia,
Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE., M.EI selaku Wakil Rektor I, Bapak Dr. As’ad Isma,
M. Pd selaku Wakil Rektor II, dan Bapak Dr. Bahrul Ulum, S. Ag., MA selaku
Wakil Rektor III.
2. Bapak Dr. Sayuti, S. Ag., MH selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi,
Indonesia.
3. Bapak Agus Salim, MA., M.I.R., Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,
Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH, MH selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum, Perencanaan dan Keuangan dan Bapak Dr. H. Ishaq, SH, MH selaku Wakil
Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama di Fakultas Syariah UIN STS
Jambi, Indonesia.
4. Bapak Al Husni, S.Ag., M.HI, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan
Bapak Tasnim Rahman Fitra, S.Sy., M.H, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan
Mazhab Fakultas Syari’ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Drs. Rahmadi, M.HI selaku Pembimbing I dan Bapak Tasnim Rahman Fitra, S.Sy.,
M.H selaku pembimbing II yang telah banyak memberi masukan, tunjuk ajar dan
bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen, asisten dosen dan seluruh karyawan dan karyawati Fakultas
Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi yang bersangkutan.
Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan maklumat
x
maupun dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini. Oleh karenanya
diharapkan kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi pemikiran, tanggapan
dan masukan berupa saran, nasihat dan kritik demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa
yang diberikan dicatatkan sebagai amal jariah di sisi Allah SWT dan mendapatkan
ganjaran yang selayaknya kelak.
Jambi November
2020,
Penulis,
RAJA HASIF ASLAM BIN
RAJA BADRUL HIZAM
NIM : SPM 103180009
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
PENYATAAN KEASLIAN .......................................................................
NOTA DINAS .............................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................
PENGESAHAN SKRIPSI .........................................................................
MOTTO ......................................................................................................
ABSTRAK ..................................................................................................
PERSEMBAHAN ......................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................
TRANSLITERASI .....................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
B. Rumusan Masalah ............................................................................
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
D. Batasan Masalah ..............................................................................
E. Kegunaan Penelitian ........................................................................
F. Tinjauan Pustaka ..............................................................................
G. Metodologi Penelitian ......................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
xii
xiv
xv
1
9
9
10
11
11
13
xii
H. Sistematika Penulisan .....................................................................
BAB II: TINJAUN UMUM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Pernikahan .....................................................................
B. Pengertian Poligami .........................................................................
C. Sebab-Sebab Poligami .....................................................................
D. Dasar Hukum Poligami ....................................................................
E. Batasan Poligami ..............................................................................
F. Syarat-Syarat Poligami .....................................................................
BAB III : UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN AKTA
UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM (WILAYAH-WILAYAH
PERSEKUTUAN) 1984
A. Undang-Undang No.1 Tahun 1974
B. Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984
BAB IV: PROSEDUR POLIGAMI DI INDONESIA DAN
MALAYSIA
A. Prosedur Poligami Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984
B. Dampak hukum Poligami yang dilakukan tanpa mengikut prosedur
di Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984.
C. Hukum Islam Pandangan Mengenai Prosedur Poligami Tentang
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang
Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984
14
16
17
18
20
26
28
32
39
48
62
73
xiii
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran-saran ......................................................................................
C. Kata Penutup ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
80
81
83
84
90
xiv
DAFTAR SINGKATAN
UIN STS : Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudin
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PP : Peraturan Pemerintahan
WWP : Wilayah-Wilayah Persekutuan
UU : Undang-Undang
SWT. : Subhanahuwata’ala.
SAW. : Sallallahu alaihiwasallam.
ra. : Radiallahu’an.
No. : Nomor.
Q.S : Al-Quran Dan Sunnah.
cet. : Cetakan.
hlm. : Halaman
Vol. : Volume
xv
TRANSLITERASI
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
Ba’ B Be ب
Ta’ T Te ت
Sa’ s Es (dengan titik di atas) ث
Jim J Je ج
Ha’ H Ha (dengan titik di ح
bawah)
Kha Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Zal Z Zat (dengan titik di atas) ذ
Ra’ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan Ye ش
Sad S Es (dengan titik di bawah) ص
Dad D De (dengan titik di ض
bawah)
Ta’ t Te (dengan titik di bawah) ط
Za’ Z Zet (dengan titik di ظ
bawah)
ain ‘ Koma terbalik di atas‘ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
xvi
Qaf q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Min M Em م
Nun N En ن
Wawu W We و
Ha’ H Ha ه
Hamzah ` Apostrof ء
Ya’ Y Ye ي
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berpasang-pasangan adalah salah sanatul Allah yang berlaku pada segenap
makhluk ciptaan-Nnya. Sunatul Allah itu bersifat umum dan merata, sehingga tidak
ada yang terkecuali, baik manusia, haiwan maupun tumbuh-tumbuhan. Allah SWT
berfirman, surah Adz-Dzariyat: 49
ومن رونك تذكا لعلاكم نازو جي ءخلق ٤٩ش
Artinya : Dan segala sesuatukami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.2
Sunatul Allah ini merupakan ketetapan Allah SWT agar segenap makhluk-
Nya berkembang baik dan memperbanyakkan keturunan, serta melanjutkan estafet
kehidupan, setelah mempersiapkan dan membekali setiap pasangan agar masing-
masing memainkan peranan positif untuk mencapai tujuan tersebut . Allah SWT
berfirman, surah Al-Hujarat : 13
ها يوجٱلنااسي أ نث
وأ ذكر ن م نكم خلق اوقبائللتعارفوإناا شعوب عل نكم إنا ا
عند رمكم ك أ ٱللا ت قىكم إنا
أ ١٣يرعليمخبٱللا
Artinya : “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
2Depag RI, al_quran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara, 1993), hlm. 520
2
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.3
Pernikahan adalah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi
untuk memberi hak milik bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan
dan menghalalkan hubungan dengan seorang lelaki. Maksudnya, pengaruh akad ini
bagi laki-laki adalah memberi hak kepemilikan secara khusus, maka laki-laki lain
tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya kepada perempuan adalah
sekadar menghalalkan bukan memilikiny secara khusus. Oleh karenanya, boleh
dilakukan poligami, sehingga hak kepemilikan suami merupakan hak seluruh
isterinya. Arti lainnya, syariat melarang poliandri dan membolehkan poligami.4
Poligami telah menjadi sejarah panjang dalam perjalanan peradaban
manusia sejak dahulu sebelum kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah
SAW. Sebelum kedatangan agama Islam, ahli-ahli dan para ilmuan mengemukakan
bahwa poligami dalam bentuknya beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari
sejarah manusia, dan bahawasanya poligami muncul pertama kali sebagai akibat
dari perbudakan perempuan untuk bersenang-senang, sebagai pelayan dan simbol
kebesaran dan kemegahan. Oleh karena itu, pemilikan banyak perempuan biasanya
bagi para raja, para menteri dan pembesar-pembesar, dan bagi sebagian mereka hal
itu hanya semata sebagai perbudakan.5
3 Depag RI, al_quran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara, 1993), hlm. 517 4 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Terj. Abdul Hayyie al-Katani (Gema
Insani,2007) hlm. 39 5 Karam Hilmi farhat, 2007. “Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi”.
(Jakarta : Darul Haq, 2012, hlm. 5
3
Sebelum agama Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu
yang telah mentradisikan bagi masyarakat Arab. Poligami pada masa itu boleh
disebut tidak terbatas,bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para
isteri. Suamilah yang menentukan siapa yang ia ia sukai dan siapa yang ia pilih
untuk dimiliki secara tidak terbatas. Orang-orang Arab Jahiliah biasa menikahi
sejumlah besar wanita dan menganggap mereka sebagai barang kepunyaan. Bahkan
dalam sebagian besar kasusnya, ia bukanlah bagaikan perkahwinan karena para
wanita itu dapat dibawa, dimiliki dan dijual sehendaknya. 6
Setelah kedatangan agama Islam, hatta tidak menghapuskan praktek
poligami, namun Islam membatasi kebolehan berpoligami hanya sampai empat
orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan adil di antara
istri.7 Menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum berpoligami telah menjadi
kesepakatan para ulama walaupun dengan pensyaratan yang ke atas, yaitu harus
berlaku adil kepada istri-istrinya.
Yang menjadi dalil utama yang dibolehkan berpoligami adalah dari firman Allah
Swt, Surah an-Nisa : 3
سطوافوإن تق لاأ تم تمخف فٱل نطماٱنكحوا ٱلن ساءابلكمم وثل ثمث ن
ما و حدةأ دلوافو تع لا
أ تم خف فإن تموربع لا
نى أ د
لكأ ي منكم ذ
أ ٣عولوالكت
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilama kamu mengawininya), Maka kawinlah wanita-
6 AbdurRahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Cet 1, (Jakarta : PT Rineka
CIpta,1992), hlm. 44 7 Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, Cet 1, (Bandung : Pustaka Setia, 2011,
hlm. 129
4
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudia jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.8
Dengan turunnya ayat surah an-Nisa ayat 3 ini, maka al-Quran dengan
terang dan jelas menyatakan bahawasanya telah meletakkan satu peraturan untuk
ummat Islam berpoligami. Poligami tidak lagi dibenarkan secara wewenangnya
tanpa batasan dan syarat tertentu yaitu dengan berkahwin seberapa ramai istri yang
disukai sama ada bertujuan ekonomi maupun politik sebagaimana dipraktekkan di
zaman masyarakat jahiliyyah. Salah satu syarat adalah kewajiban suami
mengunakan hak poligami untuk berlaku adil terhadap istri-istri.9
Islam tidaklah mengharamkan praktek poligami itu karena menikah lebih
dari seorang istri itu mempunyai banyak kebaikan dan kemaslahatan dalam
masyarakat terutamanya menyelesaikan beberapa perkara. Melalui Surah an-Nisa
ayat 3, Islam telah memperbaiki kedudukan wanita dengan lebih baik dibandingkan
dengan amalan poligami sebelum itu. Peredaran zaman menunjukkan perubahan
sosiologi dan budaya bagi masyarakat Islam diseluruh negara-negara Islam.
Perubahan tersebut menimbulkan konsekuensi permasalahan yang sangat rumit dan
memerlukan garis panduan yang tepat untuk menyelesaikannya. Dalam praktek
poligami banyak contoh buruk dan merupakan realitas poligami. Realitas seperti itu
muncul dimana-mana.10 Diantara permasalahan yang banyak berlaku pada
8 Depag RI, al_quran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara, 1993), hlm. 77 9 Jasim Muhammad Ai-Yasin, Fiqh Wanita, Penerjemah Kaserun AS Rahman, (Jakarta : PT
Serambi Semesta Distribusi, 2017), Cet, hlm. 661 10 Hasan Aedy, Antara Poligami Syariah Dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung :
5
masyarakat hari ini adalah masalah yang berkaitan dengan poligami dimana
berlakunya perkahwinan poligami yang tidak berdaftar di pengadilan di pemerintah
negara. Poligami sebagaimana yang diketahui merupakan hal yang sering
dibicarakan, akan tetapi solusi yang ditawarkan cenderung dengan kepentingan-
kepentingan bagi individu tersebut. Oleh itu, negara telah menetapkan undang-
undang Islam bagi setiap negara masing-masing untuk melancarkan system
pemerintahan Islam di negara itu seperti undang-undang agama Islam di negara
Indonesia dan Malaysia.
Poligami atau lebih dikenal sebagai poligini dalam penelitian antropologi
adalah praktek yang tidak asing dalam kalangan masyarakat dahulu maupun
sekarang. Pernikahan poligami dikatakan memiliki fungsinya tersendiri yaitu untuk
tujuan ekonomi, politik, demografi dan social-budaya. Umpamanya masyarakat
akan menjadikan pernikahan poligami sebagai sesuatu yang dapat menambah
pendapatan ekonomi keluarga. Ini terjadi karena istri-istri akan dijadikan sebagai
tenaga kerja untuk menambah penghasilan. Namun, konsep poligami adalah sangat
berbeda dengan konsep dan praktek poligami menurut Islam. Di Indonesia dan
Malaysia, isu poligami ini sering di jadikan polemik dalam masyarakat sehingga
menimbulkan ketegangan di antara pihak-pihak tertentu. Bila saja isu poligami
mengupas kesimpulan yang dapat dibuat adalah kaum pria menyenanginya dan
kaum wanita tidak menyukainya. Hal ini akibat dari banyak keluhan-keluhan dari
pihak tertentu dengan mengatakan bahwa akibat dari pernikahan poligami,
suaminya tidak memberi nafkah dan keadilan yang sewajarnya. Maka ini
Alfabeta, 2007), hlm. 60
6
menyebabkan penceraian. Nampaknya masyarakat tidak benar-benar memahami
fungsi dan tujuan poligami yang dibenarkan oleh Islam. Kondisi ini telah
menyebabkan citra poligami yang dibenarkan oleh Islam itu jatuh, semata-mata
akibat dari ke tidak fahaman dan jahilnya masyarakat tentang konsep poligami
dalam Islam.
Indonesia adalah sebuah negara hukum.11 Di dalam negara hukum, setiap
warga berhak memperoleh perlindungan hukum, hal ini sejalan dengan salah satu
tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia menurut alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bentuk perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga negara Indonesia, antara lain
adalah perlindungan hukum di bidang keluarga melalui instrument hukum
perkahwinan. Begitu juga permasalahan di bagian perkahwinan yaitu poligami.
Antaranya pasal 4 Undang-Undang No 1 1974 yaitu seorang suami akan beristeri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.12 Di dalam perundangan negara Indonesia telah
membahaskan maslah poligami dengan pembahasasan yang sangat rinci. Terlihat
jelas kurang lebih ada 3 pedoman sebagai peraturan tentang poligami yaitu UU No.
1 Tahun 1974, PP No 9 Tahun 1975, dan kompilasi Hukum Islam (KHI).13 Prosedur
poligami di Indonesia diawali dengan pengajuan permohonan ke Pengadilan
11 Drs. H. Taufiq Hamami, SH, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman
Di Indonesia (Pasca Amandemen Tiga UUD 1945), (Jakarta : PT Tatanusa, 2013), hlm. 10 12 Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan Tentang Hukum Islam DI Indonesia, Cet 1,
(Jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013), hlm. 69 13 Ahmad Rafiq, hukum Islam DI Indonesia, Cet 4, (Jakarta, PT RajaGrafinfo Persada,
2000), hlm. 171
7
Agama setempat, kemudian Pengadilan Agama akan melihat dan menimbang untuk
memberikan izin atau tidak.
Malaysia adalah sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim
terbesar setelah Indonesia. Dalam perundangan-perundangannya juga mengatur
maslah poligami. Di Malaysia mempunyai peruntukan khusus tentang pelaksanaan
berpoligami dalam enakmen Undang-Undang Keluarga Islam masing-masing.14
Pedomen pokok di negara tersebut adalah seksyen 23 Akta Undang-Undang
Keluarga Islam (AUKI) Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984. Wilayah persekutuan
tersebut menyangkut negeri Sarawak, Kelantan, Perak, Penang, Selangor, Johor,
Pahang, Perlis, Sabah, Terengganu, Melaka, Kedah dan Negeri Sembilan.15
Semua negeri di Malaysia menyatakan bahwa setiap permohonan untuk
berpoligami harus mendapat izin tertulis dari pihak Mahkamah (pengadilan)
Syariah ataupun Hakim Syariah. Misalnya di salah satu provisi Malaysia adalah
Negeri Selangor, Seksyen 23 tentang poligami dalam Enakmen Undang-Undang
Keluarga Negeri Selangor 2002. Mahkamah akan mengeluarkan surat kepada isteri
sebagai langkah untuk memaklumkan bahwa suaminya ini ingin berpoligami, soal
untuk mendapatkan keizinan daripada istri adalah tidak dinyatakan di dalam borang
permohanan dan juga tidak diperuntukkan di dalam Undang-Undang Keluarga
islam. Sebaliknya apa yang perlu adalah pengakuan dari suami dibuat dengan
menyatakan sama ada istri sedia bersetuju atau pun tidak dengan permohonan
poligami melalui mahkamah di negeri-negeri tersebut, dengan sendirinya istri atau
14 Azni, Poligami Dalam Hukum Islam Di Indonesia dan Malaysia, (PekanBaru : Suska
Press, 2015), hlm. 183 15 Tahir Mahmud, Family Law Reform in the Muslim World, (New Delhi : N.M TRIPATHI,
1974), hlm. 199
8
istri-istrinya yang tersedia akan mengetahuinya apabila mahkamah mengeluarkan
surat tersebut sekalipun tidak diberitahu hasrat suaminya terlebih dahulu.
Pensyaratan yang juga harus dipenuhi adalah berkait dengan permasalahan
penghasilan, Mahkamah menetapkan penghasilan minimal seorang yang akan
berpoligami adalah RM3000 ke atas. Hal ini menjadi salah satu perbedaan
mencolok prosedur poligami menurut UU No 1 Tahun 1974 dan Akta UU Keluarga
Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat perbedaan prosedur poligami di
Indonesia dan Malaysia. Selain itu, masih terdapat di antara dari rakyat Indonesia
dan Malaysia yang tidak mengikut prosedur poligami yang telah ditetapkan. Hal ini
menyebabkan terjadinya dampak negative kepada masyarakat terumatanya pada
wanita yang mana akan menyebabkan permasalahan seperti nafkah dan harta
sepencarian sekiranya pasangan tersebut bercerai. Dari kedua-dua perundangan
yang dinyatakan itu, ternyata prosedur berpoligami di Indonesia dan Malaysia ada
persamaan dan perbedaan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Prosedur Poligami di Indonesia Dan Malaysia (Studi
Komparatif Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan Akta Undang-Undang
Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
9
B. Rumusan Masalah
Dari pemahaman latar belakang masalah di atas penulis membuat rumusan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur berpoligami menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dengan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-
Wilayah Persekutuan) 1984.
2. Apakah dampak hukum poligami yang dilakukan tanpa mengikuti
prosedur di Indonesia Dan Malaysia menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dengan Akta Undang-Undang keluarga Islam (Wilayah-
Wilayah Persekutuan) 1984.
3. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai prosedur poligami pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang
Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan pada masalah yang dinyatakan dilatar belakang masalah, maka
penulis membatasi penelitian ini dengan prosedur poligami di negara Indonesia
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Malaysia menurut Enakmen
Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan dan sanksi apabila
berlakunya poligami di luar Pengadilan Agama di Indonesia dan Malaysia menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Keluarga Islam
Wilayah Persekutuan.
10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ada pun
tujuan penelitian yang ingin dicapai dari apa yang terjadi adalah :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui prosedur berpoligami di dalam Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 dengan Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
b. Untuk mengetahui dampak hukum poligami yang dilakukan tanpa
mengikuti prosedur di Indonesia Dan Malaysia menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dengan Akta Undang-Undang keluarga
Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
c. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai prosedur
poligami pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Akta
Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan)
1984.
2. Kegunaan Penelitian
a. Untuk menambah dan memperdalam khazanah pengetahuan penulis tentang
prosedur poligami di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dengan Akta
Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
b. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, penelitian dan masyarakat
seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah secara baik.
c. Sebagai syarat untuk menyelesaikan program studi srata satu (S1) pada Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum, UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi
11
E. Kerangka Teori
Kerangka teori sebagai pedoman bagi penulis dalam melakukan penelitian guna
untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam judul proposal dan menghindari
penafsiran yang berbeda sehingga penulisan ini terarah dan lebih baik maka skripsi
ini sangat perlu untuk diperhatikan pengertian beberapa konsep di bawah ini.
Poligami adalah sistem perkahwinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenis waktu yang bersamaan. Dalam antropologi social,
poligami, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami dan
istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan
praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.
F. Tinjaun Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini penulis akan mengemukakan hasil pemikiran
sebelumnya dengan masalah yang di angkat dan penulis mencantumkan beberapa
penelitian yang menyangkut dengan apa yang telah penulis baca dari hasil
penelitian sebelumnya. Sehingga ke hari ini, terhadap beberapa kajian telah
dijalankan berhubung perbedaan Prosedur Poligami Indonesia dan Malaysia.
Antaranya ialah buku Karya Prof. Madya Dr. Raihanah Abdullah yang bertajuk
Poligami (Penjelasan Berdasarkan Perspektif Undang-Undang keluarga Islam Di
Malaysia). Yang diantaranya memperincikan tentang poligami di Malaysia
sekaligus memberitahu bagaimana bentuk perbedaan prosedur poligami di
Malaysia.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Rasyad Ridha menjelaskan tentang
poligami di dalam “Hukum Perkahwinan Umat Islam Di Indonesia (Perspektif Fiqh
12
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan) sebagaimana yang di kutip oleh
Ghazali sebagai berikut :
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/mudharat
daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature)
mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh, watak-watak tersebut akan
mudah timbul dengan kadar yang tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang
poligamis. Dengan demikian, poligami itu bias menjadi sumber konflik dalam
kehidupan keluarga, baik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dan isteri-
isterinya, maupun konflik antara isteri berserta anak-anaknya masing-masing.
Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogamy, sebab
dengan monogamy akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati dan suka
mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan
keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya
perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga
bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan
keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat,
misalnya isteri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah
satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah
meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan
yang shaleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan ister mandul dan
suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratories, suami
diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah
13
untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan
giliran waktu tinggal.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis lakukan, tidak ada penelitian
yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan. Hasil daripada penelitian,
wujudnya perbedaan di dalam pembahasanya dengan penelitian yang akan dikaji
ini. Penulis dapat menyimpulkan bahwa masih terdapat kelemahan dan kekurangan
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga
Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 tersebut didalam masalah Poligami.
Kesamaan penelitian ialah pada sanksi, dimana kedua-dua negara mempunyai
sanksi untuk orang yang berpoligami. Selain itu, mempunyai perbedaan didalam
sanksi itu sendiri. Yang mana sanksi di Indonesia lebih rendah dan sanksi di
Malaysia lebih tinggi, Penelitian ini penulis fokuskan kepada “Prosedur Poligami
Di Indonesia dan Malaysia (Studi komparatif Undang-Undang No 1 Tahun
1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984”
G. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yakni
suatu kajian yang menggunakan literature kepustakaan dengan cara mempelajari
buku-buku, kitab-kitab, undang-undang, maupun informasi lainnya yang ada
relevansinya dengan ruang lingkup pembahasan dengan meneliti bahan pustaka
atau data primer, sekunder dan tersier. Selain itu penelitian ini dilaksanakan
terhadap prosedur poligami yang berlaku di Negara Indonesia dan Malaysia.
14
Penulis memilih dua negara berjiran yang sama-sama mempunyai aturan mengenai
undang-undang Islam masing-masing.
b. Sumber Data
Karena penelitian ini adalah kepustakaan, maka sumber data dalam
penelitian ini berasal dari buku-buku yang didapati langsung dari pustaka seperti
Undang-Undang No. 1 1974 dan Enakmen Undang-Undang Wilayah Persekutuan.
Dengan rincian sumber data primer dan data sekunder.
c. Teknik Pengumpulan Data
Setelah bahan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolah
dan menganalisa bahan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Oleh karena
itu untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan buku-
buku yang berkaitan dengan permasalahan yang teliti, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan judul penelitian. Setelah
itu, catatan tersebut diklasifikasikan dari berbagai literature yang bersifat umum,
untuk kemudian dianalisis dan diidentifikasi sesuai dengan pokok-pokok
permasalahan yang dibahas dan melakukan pengutipan yang baik secara
langsung maupun tidak langsung pada bagian-bagian yang dapat dijadikan
sumber rujukan untuk disajikan secara sistematis
d. Teknik Analisis Data
Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan data yang lain yang
terkait dan diformulasikan menjadi suatu kesimpulan, kemudian tersusun dalam
kerangka yang jelas lalu diberi penganalisaan dengan menggunakan suatu
15
metode yang telah dikenal metode komperatif yaitu dengan
memperbandingankan suatu dengan hal lainya sehingga akan sampai pada suatu
kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan penulisan karya ilmiah ini, penulis membaginya
dalam empat bab, terdiri daripada :
Bab I, tentang pendahuluan yang terdiri daripada latar belakang masalah, rumusan
dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tijauan
pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II, metode penelitian, menjelaskan ketentuan yang ada di Indonesia dan
Malaysia serta bersis gambaran umum tentang landasan teori poligami, Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Wilayah Persekutuan, perbedaan
proedur di dua Negara ini dapat dilihat bagaimana penyeragaman yang dilakukan
mengikut Undang-Undang Poligami tersebut.
Bab III, tinjaun umum mengenai poligami serta prosedur yang dilakukan menurut
hukum Islam.
Bab IV, huraian penutup yang berkaitan tentang kesimpulan dan juga rekomendasi
kajian yang dijalankan kesimpulan ditarik dari pembuktian dan dari huraian yang
dituliskan yang berkait rapat dengan pokok permasalahan serta dari data-data yang
diperolehi agar dapat memberi gambaran keseluruhan kepada pembaca berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan. Serta saranan yang dianggap perlu menuju
perbaikan. demi terwujudnya sebuah kesempurnaan untuk perkembangan
pengetahuan dimasa yang akan datang.
16
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Pernikahan
Perkawinan menurut istilah hukum Islam sama dengan kata “nikah” dan
kata “zawaj”. Nikah menurut Bahasa mempunyai arti sebenarnya yakni “dham”
yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan
yakni “wathaa” berarti setubuh atau aqad.16 Menurutistilah Fiqh, nikah adalah salah
satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang
sempurna. Pernikahan dijadikan sebagai dasar untuk mengatur hubungan antara
seorang laki-laki dan wanita serta keturunan. Nikah ialah suatu ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan wanita untuk hidup bersama dalam suatu rumahtangga
melalui aqad yang dilaksanakan sesuai syariat Islam.17
Pernikahan juga dimaksudkan untuk menahan pandangan mata dari hal-hal
yang dilarang, menjaga kemaluan dan menjauhkan manusia dari bentuk-bentuk
hubungan yang tercela. Pernikahan bisa menjaga kelangsungan jenis manusia dan
menambah keturunan.18 Oleh karenanya, boleh dilakukan poligami, sehigga hak
kepemilika suami merupakan hak ke seluruh isterinya. Seorang suami yang
berpoligami dapat saja beristeri dua, tiga dan empat orang dalam waktu
16 ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 272 17 Nurhayati Zein, Fiqh Munakahat, (Kota Pekan Baru: Mutiara Pesisir Sumatra, 2015),
hlm. 2 18 Kathur Suhardi, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002),
hlm. 19
17
bersamaan.19
B. Pengertian Poligami
kata poligami berasal dari Bahasa Yunani, dari kata poly yang berarti
banyak dan gamein yang berarti kawin, jika digabungkan akan berarti suatu
perkawinan yang banyak.20 Dalam bahasa arab yang artinya beristri banyak lebih
dari seorang. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, poligami berarti sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya di waktu yang bersamaan. Dalam Kamus Ilmiah Populer, poligami adalah
perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih, namun cenderung diartikan
perkawinan satu orang suami dengan dua istri atau lebih. Secara terminologis, Siti
Musdah Mulia merumuskan poligami ini merupakan ikatan perkawinan dalam hal
mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama.
Dalam pengertian yang berlaku di masyarakat poligami diartikan seorang
laki-laki kawin dengan banyak wanita.21 Dalam Islam, poligami mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya
sampai empat wanita. Ada juga yang memahami dan menafsirkan surat An-Nisa
Ayat 3.22 Sebenarnya Islam tidaklah memulai poligami, tidak memerintahkan dan
juga tidak menganjurkan poligami itu. Islam hanya membolehkan poligami dalam
suasana tertentu, dengan mengadakan syarat-syarat, terutama adil dan mampu.23
19 Rodli Makmun, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponoroga: Stain
Ponorogo Press, 2009), hlm. 15 20 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, (Yogyakarta: Al-Kautsar. 1990), hlm 61 21 Mulati, Hukum Islam Tentang Perkahwinan dan Waris, (Jakarta: UPT Penerbitan
Universitas Tarumanagara, 2005),hlm. 13 22 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84 23 Chadidjah Nasution, Wanita Dalam AL-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 126
18
Poligami adalah seorang laki-laki yang menikah lebih dari seorang wanita, dalam
hal ini dibatasi hanya empat wanita (istri) dalam waktu yang sama.
C. Sebab-Sebab Poligami
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab seorang suami melakukan poligami
dalam kehidupan rumahtangga, antara lai :
1. Istri tidak bisa melahirkan keturunan. Salah satu penyebab suami berpoligami
adalah istri tidak bisa melahirkan.
2. Istri menderita sakit, sakit juga akan berpengaruh terhadap keutuhan
rumahtangga. Untuk mengatasi persoalan ini suami dihadapkan dua
permasalahan. Pertama, suami menceraikan istrinya. Kedua, menikah lagi
dengan wanita lain (poligami) dan istri yang pertama masih tetap dalam
perlindungan dan kasih sayangnya.24
3. Suami mempunyai libido seks yang kuat, baik itu disebabkan istrinya sudah tua
atau kondisi istrinya lemah atau karena banyaknya hari yang tidak
memungkinkannya melakukan hubungan suami istri, yaitu saat haif, hamil,
setelah hamil, sakit atau sebab-sebab uzur yang lain.25
4. Suami sering bepergian. Banyak laki-laki yang karena pekerjaannya harus selalu
bepergian dan dalam perjalanan tersebut tidak bisa membawa istri maka salah
satu solusi adalah poligami.26
24 Jasim Muhammad Ai-Yasin, Fiqh Wanita, Cet 1, (Jakarta: PT Serambi Semesta Distribusi, 2017), hlm. 19
25 Muhammad bin Musafir al-Thawil, Ta’adud al-Zaujat fi al-Islam, (Iskandariyah: Dar al-Iman tt), hlm. 19
26 Ibid. hlm.40
19
5. Jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Dalam keadaan darurat, terutama
dalam keadaan perang atau pasca perang, banyak wanita menjadi janda, anak
kehilangan bapak karena banyak pejuang yang gugur di medan perang. Poligami
merupakan jalan keluar dan penyelamatan bagi janda-janda dan anak-anak
yatim.27
6. Factor ekonomi. Pada zaman dahulu, tidak seperti sekarang, mempunyai banyak
istri dan banyak anak adalah menguntungkan pria secara ekonomis.
7. Masa subur wanita terbatas. Sebagian prang berpendapat bahwa faktor
terbatasnya usia produktif wanita, yakni masa menopause, adalah salah satu
penyebab poligami. Dalam kasus-kasus tertentu, seorang wanita mungkin
mencapai masa menopause sebelum melahirkan banyak anak. Hasrat pria untuk
mempunyai anak, serta ketidak sukaanya menceraikan istri pertamanya, menjadi
sebab ia mengawini istri kedua dan seterusnya istri telah lanjut usia. Lanjut usia
merupakan salah satu faktor penyebab laki-laki berpoligami karena dengan
lanjutnya usia seorang perempuan tidak biasa melayani suami dalam hal
hubungan suami istri.28
27 Ibid, hlm. 99 28 Murtadha Mutahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: PT. Lentera Baseitama,
2000), hlm 225
20
D. Dasar Hukum Poligami
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adl terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka Kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senang : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.29
Ayat di atas, seperti disebutkan, merupakan bagian dari surat al-Nisa (4).
Surat itu sendiri, dimulai dengan perintah bertakwa kepada Allah yang telah
menjadikan manusia berpasang-pasangan dan perintah memelihara hubungan
silaturrahim antara sesame manusia ayat 1. Pada ayat 2, Allah memerintahkan untuk
memberikan kepada anak yatim hartanya jika mereka sudah baligh dan larangan
menukar yang baik dengan yang buruk atau menguasai harta mereka secara tidak
benar.
Sesunguhnya inti pembicaraan induk kalimat ayat 3 itu tentang perlakuan
terhadap anak yatim, terutama anak yatim perempuan. Terhadap mereka dituntut
perlakuan “adil dari walinya yang tidak hanya berarti bersikap sama” seperti
perlakuan terhadap perempuan lain apa lagi kalau si wali menikahinya. Tuntutan
itu sangat logis, karena si wali tersebut memikul dua amanah sekaligus, selain
sebagai wali, ia juga menjadi suami si anak-anak yatim itu. Inti pembicaraan itu
disambung (anak kalimat) dengan perintah bersyarat (kalau si wali khawatir tidak
berbuat adil terhadap mereka) untuk menikahi perempuan lain yang ia sukai.
29 Depag RI, al-Quran Dan Terjemahnya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara, 1993), Hlm. 77
21
Perlakuan tidak adil terhadap anak yatim yang dinikahi sebanding beratnya dengan
menikahi beberapa orang perempuan yang bukan yatim dan bukan mawla nya.
Berkaitan dengan ayat 3 yang terdapat dalam surat al-Nisa (4) di atas,
Aisyah menyampaikan tiga penjelasan tentang sebab turunnya. Penjelasan pertama,
Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah: “Pernah ada seorang laki-laki yang menjadi
wali bagi seorang wanita yatim, lalu dinikahinya, sedangkan wanita itu memiliki
sebuah pohon kurma yang berbuah. Laki-laki itu menikahinya demi
mempertahankan pohon kurma tersebut, padahal ia tidak sepenuhnya mencintai
wanita itu. Maka Turunlah ayat ini “(ada ayat quran dalam ini kena letak) “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil”.30
Penjelasan kedua, juga diriwayatkan Al-Bukhari, Urwah bin Az-Zubair
mengabarkan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang ayat tersebut.
Aisyah menjawab: “Wahai anak saudaraku, anak yatim perempuan yang
dimaksudkan adalah wanita yatim yang berada pada pemeliharaan walinya, dan
hartanya bergabung dengan harta walinya. Sementara, walinya menyukai harta dan
kecantikannya. Karena itu, ingin mengawininya tanpa berbuat adil dalam
maharnya, seperti jika ia menikahi wanita yang lain. Maka, mereka dilarang untuk
menikahinya kecuali mereka dapat berbuat adil kepada wanita-wanita tersebut dan
memberikan mahar yang terbaik untuk mereka. Mereka diperintahkan untuk
menikahi wanita-wanita yang mereka sukai selain wanita-wanita yatim yang
dipeliharanya.
30 M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), hlm.
233
22
Urwah melanjutkan, Aisyah berkata : ‘sesungguhnya para sahabat meminta
fatwa kepada Rasulullah S.A.W. Setelah ayat ini (maksudnya kisah tersebut), maka
Allah menurunkan firman-Nya: (letak ayat Quran) “Dan mereka meminta fatwa
kepadamu tentang para wanita”. (QS An-Nisa : 127). Aisyah melanjutkan: Adapun
firman Allah yang lain : (isi ayat quran) (QS An-Nisa : 127) yaitu kalian enggan
menikahi wanita yatim tersebut jika mereka memiliki sedikit harta dan kurang
cantic. Maka dari itu, para wali dilarang untuk menikahi wanita yatim yang
disenangi karena harta dan kecantikannya kecuali dengan berbuat adil dalam
memberikan maharnya. Sebab, jika wanita yatim tersebut hanya memiliki sedikit
harta dan kurang cantic maka mereka enggan menikahinya.31 Firman Allah S.A.W
“Dua, tiga atau empat”. Artinya nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian
sukai mereka. Jika kalian suka silahkan dua, jika suka silahkan tiga, dan jika suka
silahkan empat. Menurut para Ulama, hal ini merupakan salah satu kekhususan bagi
beliau dan tidak berlaku umum untuk ummatnya, berdasarkan hadits-hadits yang
menunjukkan pembatan 4 istri yang akan disebutkan. Di antaranya : Imam Ahmad
meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah bersabda.
“Pilihlah 4 orang di antara mereka”. Begitu pula yang diriwayatkan oleh Asy-
Syafi’I, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan lainnya. Dan itu
pula yang diriwayatkan oleh malik dari Az-Zuhri secara marsal, Abu Zur’ah
berkata: “Inilah yang lebih shahih”.
Firman Allah: (isi ayat quran) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (berkahwinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
31 Ibid, hlm. 234
23
miliki.” Yaitu, jika kamu takut tidak mampu berbuat adil terhadap banyak istri,
seperti firman-Nya: (bahasa Arab) “Dan tidak akan pernah kamu mampu berbuat
adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS An-
Nisa : 129). Barang siapa yang takut berbuat demikian, maka cukuplah satu istri
saja atau budak-budak wanita. Karena, tidak wajib pembagian giliran pasa budak-
budak wanita, akan tetapi hal tersebut dianjurkan. Artinya siapa yang membagi
giliran menginap di antara mereka maka hal itu baik, dan jika tidak maka itupun
tidaklah mengapa. Makna yang paling tepat adalah janganlah kalian berbuat aniaya
menyimpang dan zhalim dalam memutuskan perkara.32
Hukum Poligami di dalam Hukum nikah dari satu atau poligami akan
berkaitan dengan hukum menikah itu sendiri. Para Ulama fikih menyebabkan
bahwa hukum menikah meliputi kelima hukum taklifi, yaitu wajib, sunnat, mubah,
makruh dan haram. Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat
yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergelojak sedangkan dia
mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan
gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.33
Adapun bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak
kawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan maka baginya hukum nikah adalah
sunat. Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak
mempunyai harta atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai
syahwat. Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada
32 Ibid, hlm. 235 33 Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007). Cet 10,
JIlid 9, hlm. 41
24
keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Sedangkan bagi yang merasa dirinya
tidak mampu bertanggungjawap dan akan menelantarkan istri dan anak maka
baginya haram menikah.34 Perintah menikah terdapat dalam ayat ini tidak bermakna
wajib dan mengikat, akan tetapi bermakna pengajaran dan pemberitahuan. Hal itu
disebabkan adanya qarinah memalingkan makna tersebut, yaitu kalimat:
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim”.
Walaupun bentuk katanya adalah perintah, akan tetapi dengan adanya
qarinah ini ia bermakna larangan terhadap pernikahan poligami yang dikhawatirkan
akan mencelakakan para istri. Bukan bermakna perintah untuk melakukan
poligami. Makna ayat itu adalah “jika kalian khawatirkan tidak akan berlaku adil
terhadap para perempuan yatim dan perempuan bukan yatim, maka janganlah kamu
nikahi kecuali pernikahan halal yang kamu merasa yakin tidak akan mencelakai
mereka, satu sampai empat orang”. Berdasarkan ayat di atas pada dasarnya hukum
poligami adalah mubah dan hukum muah tersebut bisa berbeda pasa setiap orang
yang akan melaksanakan sesuai kondisi masing-masing, yaitu mashlahah (menolak
mafsadah dan mengambil manfaat). Prinsip yang harus diterapkan dalam penerapan
mashlahah adalah menolak mafsadah lebih diutamakan dari pada mengambil
mashlahah. Prinsip ini telah dirumuskan dalam sebuah qaidah:
Artinya : “Menolak mafsadah lebih diutamakan dari mengambil mashlahah”.35
Secara umum mashlasah yang bisa diperoleh dengan poligami adalah
34 Ibid, hlm. 42 35 Muhammad Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damsyiq: Dar al-Qalam,
2000), hlm. 207
25
terpeliharanya suami dari perzinaan dan terjaminnya kehidupan perempuan-
perempuan yang tidak bersuami. Sedangkan mafsadah yang akan muncul jika pintu
poligami ditutup adalah perzinaan dan monogami. Monogami akan berimplikasi
pula terhadap penelantaran mantan istri dan anak-anak.36
Adapun persoalan yang seringkali muncul dalam perkahwinan dalam
poligami yang dapat diasumsikan sebagai sisi negative (mafsadah) dari
perkahwinan poligami adalah sebagai berikut:
1. Poligami mengakibatkan permusuhan di antara para istri sehingga
perkahwinan rumahtangga tidak harmonis.
2. Perselisihan antara istri yang dimadu sering merambat kepada anak-anak
mereka sehingga sebagian rumahtangga jadi terganggu.
3. Adanya tekanan psikologis terhadap istri pertama yang merasa diduakan
cintanya dan tekanan secara social, karena asumsi masyarakat yang selalu
mempersalahkan pihak perempuan sebagai biang keladi dari praktek
poligami.
4. Adanya anak-anak terlantar jika laki-laki yang berpoligami tidak
bertanggungjawab.37
Selain sisi negative, terdapat sisi-sisi positif (hikmah) daripada perkawinan
poligami iaitu:
1. Untuk memberi perlindungan dan penghormatan kepada kaum wanita dari
nafsu kaum lelaki yang tidak pernah bertanggungjawab.
36 Ahmad Fedyani Saifuddin, Poligini Dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta: Forest
Book, 2002), hlm. 66 37 Ibid, Hlm. 78
26
2. Poligami bertujuan untuk membantu kelompok lemah, terutama anak yatim
dan janda.
3. Wanita pada saat nifas dan haidnya seringkali tidak bisa sabar menahan
sehingga akan menyeretnua pada suatu yang haram, dan jalan keluar dari
masalah ini adalah dengan suami menikah lagi.
4. Banyaknya istri (poligami) akan mempererat hubungan beberapa keluarga.
Atas dasar pertimbangan mashlahah di atas hukum poligami bisa meliputi
semua hukum taklifi, yaitu wajib, sunnat, mubah, makhruh dan haram. Poligami
menjadi wajib apabila kebutuhannya sangat mendesak, misalnya dalam kondisi si
suami mempunyai dorongan seks yang luar biasa, kalau tidak poligami, ia pasti
akan terjerumus pada perzinaan, si suami juga potensial untuk mempunyai
keturunan. Dari sisi lain, si suami memang soleh, bisa berbuat adil kepada istir-
istrinya, dari aspek materi, si suami berkecukupan bisa menafkahi dari dua
keluarga.
E. Batasan Poligami
Al-Sarakhsiy (W.490 H) menjelaskan bahwa pada dasarnya semua kaum
perempuan halal bagi kaum laki-laki. Hal itu didasarkan pada pertimbangan
bahwa tujuan (penciptaan manusia berpasang-pasangan adalah memperoleh)
keturunan, dan hal itu baru terwujud dengan terjadinya hubungan laki-laki dan
perempuan. Kemudian diharamkanlah sebagian dari kaum perempuan itu bagi
laki-laki terttu didasarkan pada ketentuan yang disebutkan syara’, seperti
karena hubungan keibuan atau hubungan persaudaraan dan sebagainya.
Berdasarkan hal itu, seoran perempuan tidak memiliki hubungan yang
27
disebutkan syara’ itu dengan seorang laki-laki, perempuan itu halal untuk
dinikahi laki-laki tersebur.38
Larangan perkawinan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu larangan
perkawinan untuk selamanya (disebut mahram muabbad) dan larangan
perkahwinan berlaku untuk sementara waktu (mahram ghair muabbad).39
Larangan perkawinan yang bersifat selamanya itu dibatasi hanya pada tiga
kondisi, yaitu karena hubungan kekerabatan atau nasab, karena hubungan
perkawinan (hubungan mushaharah), dank arena hubungan persusuan. Semua
perempuan yang memiliki hubungan seperti itu (biasanya disebut mahram)
tercakup dalam surah an-Nisa (4) ayat 22 dan 23.Sementara kondisi yang
menimbulkan keharaman ghairu muabbad, secar umum, juga terbatas pada
tujuh kondisi, yaitu: Pertama, mengawini lebih dari satu orang sampai batas
yang telah ditetapkan yang disertai dengan pilihan untuk melakukan akad
sekaligus atau dengan cara terpisah. Pembatasan poligami maksimal empat
orang istri dalam waktu bersamaan,40 didasarkan kepada hadits Ghailan bin
Salamah. Riwayat dari Ahmad.
Artinya : Dari Ibn Umar, ia berkata: “Ghailan bin Salamah AL-Tsaqafi
masuk Islam, sementara di masa jahiliyah ia memiliki 10 orang istri yang juga
masuk islam bersamanya. Nabi SAW menyuruhnya memilih empat orang di
38 Muhammad bin Abi Sahal al-Sarakhsiy, Al-Mabsuth, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H),
Jilid 5, hlm. 109 39 Amir Syariffudin, Hukum Perkahwinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm 112 40 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Cet 4,
hlm. 177
28
antara mereka”. (HR Ahmad bin Hambal, Tirmizi).41
F. Syarat- Syarat Poligami
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat
orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pakaian,
tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan
antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan
tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah.42 Antara syarat-syarat
poligami sebagai berikut :
1. Jumlah Istri
Allah telah membatasi jumlah maksimal istri yang dinikahi, yaitu
empat orang istri. Hanya saja di sana ada beberapa usaha yang dilakukan
para pemikir untuk menelusuri batas maksimal poligami ini. Sebagian di
antara mereka ada yang berpendapat, bahwa pembatasan ini sesuai dengan
pembagian musim pada satu tahunnya.43
Sebagian yang lain berpendapat, karena jumlah kau laki-laki
dibandingkan jumlah kaum wanita adalah satu berbandingan empat.
Sehingga pembatasan tersebut sudah pas dengan perbandingan ini.
Sebagian yang lain berpendapat, karena jumlah empat ini sesuai dengan
kondisi fisikal seluruh wanita, sehingga seorang laki-laki memungkinkan
mencari istri yang perawakannya tinggi atau yang rendah, yang kurus atau
41 Muhammad Bin Surah Bin Dhohak Tirmizi, Sunan Tirmizi, (Beirut: Darul Ro’bi, 1998)
Alamiyyah, 2009 M), Juz 3, hlm. 558 42 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: kajian NIkah Lengkap, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 361 43 Kathur Suhardi, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia. (Jakarta: Pustaka Azzan, 2002), hlm
203.
29
yang gemuk atau jumlah ini sesuai dengan warna kulit manusia, antara yang
putih, kuning coklat dan hitam.
Pendapat lain menyatakan, bahwa agar dengan pembatasan ini
seorang laki-laki bisa memadukan istri yang taat pada agamanya, cantik,
berharta, terhormat dan baik keturunannya. Ini adalah perkara-perkara
terpuji yang dsebutkan Rasulullah S.A.W. Di sana ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa pembatasan ini selaras dengan jadwal bulanan wanita.
Ketika suami meninggalkan istrinya yang sedang haid selama satu minggu,
maka setelah selang empat minggu kemudian dia bisa kembali lagi ke
istrinya yang pertama, dan mendapatkannya sudah dalam keadaan suci. Ini
jika seorang suami memiliki empat istri. Semua penafsiran ini hanya sekdar
ijtihad, bisa salah dan bisa benar. Hanya Allahlah yang tahu maksudnya.
2. Nafkah
Nafkah bini meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan perkakas
yang lazim dibutuhkan. Laki-laki yanh hendak menikah harus memiliki
kesanggupan material untuk menafkahi istri yang akan dinikahinya. Jika
tidak memiliki mata pencarian untuk menafkahinya, maka sebaiknya tidak
menikah terlebih dahulu, sesuai dengan seruan Rasulullah S.A.W. Beliau
bersabda tentang kewajipan suami memberi nafkah kepada istrinya :
Artinya : “Ketahuilah, hak mereka atas kalian ialah hendaklah
kalian memberikan nafkah, pakaian dan makanan kepada mereka secara
layak”.44
44 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, ( tt: Darul Ihyad Al-Qutub Al-Arabiyah, tt), Juz 1,
30
3. Adil di antara para istri
Yang dimaksudkan adil pada ayat pertama ialah adil yang memang sanggup
di wujudkan manusia, yaitu adil dalam memberikan makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal dan perlakuan yang memang sesuai dengan masing-
masing istri.
Sedangkan adil dalam hal-hal yang berada di luar kesanggupan
manusia seperti rasa cinta dan kasih saying maka suami tidak di tuntut untuk
Meweujudkan secara sama rata. Sebab hal ini di luar kehendak manusia.
Sementara Allah juga berfirman:
لٱلن ساءوءاتوا فإنطب ن لة تهنا افكلوههصدق س ن هنف ءم عنش ا نيكم ري ٤ا ما
Artinya : “Allah tidak membebankan kepada diri melainkan menurut
kesanggupannya”.45 (An-Nisa:4)
Adil dalam cinta dan kasih saying inilah yang disinggung Allah dalam
Firman-Nya, “Dan kalian seklai-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian”.
Hati bukan merupakan hak milik orangnya, tetapi ia berada dalam
genggaman Allah yang Maha Pengasih, yang dibolak-balik menurut kehendak-
Nya. Selagi hati seorang suami lebih cenderung kepada salah seorang di antara para
istrinya, maka Allah melarang dan memperingatkannya agar kecenderungan itu
hlm.594 45 Depag RI, al_quran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara, 1993), hlm. 148
31
tidak bersifat total, lalu dia menelantarkan istri yang lain dalam keadaan
mengambang. Bersuami pun tidak dan bercerai pun tidak pula.
32
BAB III
TINJAUAN TENTANG UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 DAN
AKTA UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM (WILAYAH-WILAYAH
PERSEKUTUAN) 1984
A. Undang-Undang No.1 Tahun 1974
1. Bingkai Historis Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Latar belakang historis Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan hukum, positif sejak zaman
kolonialisme Belanda. Hukum Perkahwinan Indonesia tampaknya menarik
perhatian besar para pakar hukum karena dalam perdebatan tentang Hukum
perkahwinan itu, terlibat setidak-tidaknya tiga unsur, yaitu agama, negara
dan wanita sebagai dari kuatnya pengaruh Hukum Islam terhadap
perumusan dan perkembangan UU Perkahwinan.46
Hukum Nasional Indonesia pada umumnya bersumber dari Hukum
Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam. Dari ketiga hukum tersebut, Hukum
Islam merupakan sumber hukum yang memiliki peluang besar untuk
mendominsasi mengingat agama Islam memuat nilai-nilai dan norma-
norma yang hidup di kalangan masyarakat nusantara. Di samping itu, dalam
Hukum Islam, Hukum Adat merupakan sumber hukum komplementer
sedangkan hukum Barat merupakan hukum yang menggambarkan norma-
46 Sjam Alam, Usia Perkahwinan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Dan Konturbusinya
Bagi Pengembangan Hukum Perkahwinan Indonesia, (Universitas Gajah Muda, 2011). Hlm. 147
33
norma bangsa.
2. Masa Jajahan
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
di nusantara, kedudukan hukum Islam telah melembaga dalam masyarakat
sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa
pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum islam
yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikut nama
penghimpunannya.47 Setelah itu pemerintahan Belanda juga membuat
kumpulan hukum perkahwinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon,
Semarang, Makasar dan hukum-hukum lain semasa penjajahan. Setelah
VOC berakhir, sekitar pertengahan abad XIX, pemerintah colonial Belanda
mulai memberlakukan pembagian system hukum di Indonesia (pada masa
itu Hindia Belanda), yaitu antara lain Hukum Adat, Ordonasi (Hukum
Negara Belanda), dan BW (Burgerlijk Wetboek Hukum Perdata yang
berlaku bagi orang-orang pribumi keturunan Eropa).48
Pada kongres perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember
1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera
disusun Undang-Undang perkahwinan Namun mengalami hambatan dan
menganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.49 Pada permulaan tahun
47 Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkahwinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hlm. 11 48 Ibid,hlm 152 49 Maria Ulfah subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkahwinan,
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 9
34
1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan
Ordonasi Perkahwinan tercatat (Ownerpordonmantic Op De Ingeschrevern
Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut : Perkahwinan
berdasarkan asas monogami dan perkahwinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun penceraian yang diputuskan
oleh Hakim.50
3. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya
perbaikan di bidang perkahwinan dan keluarga melalui penetapan UU No:
22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi
masyarakat beragama Islam. Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam
Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan
perkahwinan dan menyusun rencana Undang-Undang Perkahwinan.
Akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan peraturan
Hukum perkahwinan, Talak dan Rujuk. Kepanitiaan itu dibentuk
berdasarkan surat penetapan Menteri Agama No B/4299 tanggal 1 Oktober
1950. Disamping itu, di buat peraturan-peraturan khusus untuk masing-
masing golongan. Sehingga tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan rancangan UU Perkahwinan Peraturan Umum baru. Dalam
RUU itu diaturkan beberapa hal penting di antaranya:
a. Perkahwinan didasarkan atas kemauan kedua belah pihak, batas
50 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 27
35
umur di tetapkan 18 tahun untuk pria dan 15 tahun untuk wanita.
b. Poligami diizinkan jika di bolehkan oleh hukum agama, dengan
catatan harus berlaku adil yang dinyatakan dihadapan pegawai
pencatat nikah.
c. Harta benda dan syarat-syarat penceraian 51
Kemudian Panitia dalam rapatnya bulan Mei 1953
memutuskan untuk melakukan beberapa hal :
1) Menyusun RUU pokok yang pendek saja dan berlaku untuk
umum dengan tidak menyinggung agama.
2) Menyusun RUU organik yang mengatur perkahwinan menurut
agama masing-masing yaitu bagi golongan Islam, Katolik dan
protestan
3) Menyusun RUU untuk golongan yang tidak termasuk salah satu
golongan agama tersebut.
April 1954 panitia menyampaikan menyampaikan RUU tentang
perkahwinan umat Islam kepada kepada Menteri Agama namun respon
yang diberikan Departemen Agama sangat lambat. Baru pada tahun 1957
Menteri Agama mengajukan RUU tentang perkahwinan umat Islam kepada
kabinet, tetapi masih menunggu amandemen-amandemen baru.52 Setelah
usulan itu pemerintah mengajukan RUU perkahwinan umat Islam kepada
DPR. dalam RUU itu, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu
51 Ibis, hlm.12. 52 Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkahwinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Wahan Semesta Intermedia, 2012), hlm. 84
36
yaitu persetujuan lebih dahulu isteri/isteri-isteri, harus berlaku adil, dapat
menghidupi lebih dari satu keluarga. RUU ini juga mendapat perhatian yang
cukup besar di kalangan anggota DPR dan masyarakat.53
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri kehakiman membentuk Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep
RUU Perkahwinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum
ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan
prinsip dasar hukum perkahwinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan
oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkahwinan di
Indonesia adalah perkahwinan monogamy namun masih dimungkinkan
adanya perkahwinan poligami dengan syarat-syarat tertentu serta
merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.54
4. Masa orde baru dan Kelahiran UU Perkahwinan
Pada tahun 1966 Department Kehakiman Menugaskan Lembaga
Hukum Nasional untuk menyusun RUU Perkahwinan yang bersifat nasional
yanh berlandaskan Pancasila yang basilnya disampaikan oleh Pemerintah
kepada DPR-GR tanggal 7 September 1968 dalam bentuk RUU tentang
Peraturan Perkahwinan Umat Islam dengan Amanat Presiden
R.02/PES/5/1967 tanggal 22 Mei 1967 dan RUU tentang ketentuan-
53 Ibid, hlm. 85 54 R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundangan-Undangan Perkahwinan Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988), hlm. 18
37
ketentuan Pokok Perkahwinan melalui surat Amanat Presiden
R.010/P.U/HK/9/1968. Tetapi RUU Pernikan Umat Islam dan RUU pokok
Perkahwinan belum sempat diselesaikan oleh DPR-GR bersama-sama
Pemerintsh, sudah terkandas di tengah jalan dan nasibnya sama dengan
RUU Perkahwinan yang diajukan sebelumnya.55
Pada tahun 1969 masuk juga ke DPR sebuah RUU tentang
Perkahwinan Campuran. Ada pun yang menjadi dasar pemikiran dari RUU
ini adalah bahwa sesuai dengan dasar Pancasila yang dapat mempersatukan
seluruh bangsa Indonesia dan sesuai dengan cita-cita pokok pembinaan
hukum nasional, dianggap perlu adanya UU Perkahwinan Campur yang
berlaku bagi orang-orang yang masing-masing tunduk kepada hukum yang
berlainan, karena berlainan kewarganegaraan atau agama. RUU ini terdiri
dari 8 bab dan 11 pasal berikut dengan penjelasannya.
Pada tanggal 31 Juli 1973, Presiden menyampaikan kepada DPR-RI
rancangan Undang-Undang tentang ketentuan pokok perkahwinan. Setahun
kemudian tanggal 30 Agustus 1973 menteri kehakiman atas nama
Pemerintah menyampaikan keterangan-keterangan pemerintah dan
berikutnya disusul dengan pandangan firaksi-firaksi tanggal 17-18
September 1973.56 Setelah melalui kompromi dengan DPR pada tanggal 22
Desember 1973, Menteri agama mewakili Pemerintah membawa konsep
55 Ibid, hlm. 86 56 Muhammad Kamal Hasan, Moderniasi Indonesia Respon Cendiawan Muslim, (Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hlm 191
38
RUU Perkahwinanyang di setujui DPR menjadi Undang-Undang
Perkahwinan. Pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-
Undan tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974
tanggal 2 Januari 1974.
5. Prinsip-Prinsip Dasar dalam RUU Perkahwinan
UU Perkahwinan terdiri dari 14 Bab yang terbagi dalam 67 Pasal.
Bab-bab tersebut adalah :
a. Bab I- Dasar Perkahwinan
b. Bab II- Syarat-syarat Perkahwinan
c. Bab III- Pencegahan Perkahwinan
d. Bab IV- Batalnya Perkahwinan
e. Bab V- Perjanjian Perkahwinan
f. Bab VI- Hak dan Kewajiban Suami Isteri
g. BabVII- Harta benda dalam Perkahwinan
h. Bab VIII- Putusnya Perkahwinan serta Akibatnya
i. Bab IX- Kedudukan Anak
j. Bab X- Hak dan Kewajiban antara anak dan orang tua
k. Bab XI- Perwalian
l. Bab XII- Ketentuan-ketentuan lain
m. Bab XIII- Ketentuan Peralihan
n. Bab XIV- Ketentuan Penutup
Secara umum UU Perkahwinan memiliki beberapa prinsip dasar. Prinsip-
39
prinsipvinivmerupakan asas bagi terjaminnya cita-cita luhur dari perkahwinan. Dari
UU diharapakan supaya pelaksanaan perkahwinan dapat lebih sempurna dari masa
yang sudah-sudah. Adapun prinsip-prinsip perkahwinan itu adalah asas sukarela,
asas partisipasi keluarga, asas Penceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat,
kematangan calon mempelai dan memperbaiki derajat wanita.57
B. Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984
Sebelum kedatangan Inggeris, undang-undang Islam adalah undang-undang
negara di Tanah Melayu. Mazhab yang diikuti pula ialah Mazhab Syafie. Dalam
kasus Badul Latif dan Ors Iwn Shaik Elias Bux umpamanya, Braddell C.J.C dalam
penghakimannya menegaskan “ sebelum triti-triti pertama, penduduk negeri-negeri
ini hampir semuanya terdiri daripada orang Melayu (Islam) bersama pelombong
dan pengusaha Cina. Satu-satunya undang-undang yang terokai kepada orang-
orang Melayu ialah undang-undang Islam yang diubahsuai oleh adat-adat
tempatan.58
Sementara itu dalam kasus yang lain pula iaitu kes Ramah lwn Laton
Mahkamah Rayuan Negeri-Negeri Melayu Bersekutu memutuskan bahwa undang-
undang Islam bukanlah undang-undang asing tetapi merupakan undang-undang
negara. Mahkamah hendaklah mengambil perhatian dari segi kehakiman dan mesti
mengisytiharkan undang-undang tersebut. Dalam pelbagai triti yang dibuat antara
raja-raja Melayu dengan pihak Inggeris, telah dinyatakan dengan jelas bahwa raja-
57 Muhammad Amin Suna, Hukum Keluarga Islam di Dunia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 157 58 Monir Yaacob, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur, Malaysia: Institut Kefahaman
Islam Malaysia, 2001), hlm. 51
40
raja Melayu bersetuju menerima semua nasihat Inggeris kecuali dalam hal-ehwal
agama Islam dan adat istiadat Melayu. Walaupun peruntukan tersebut diadakan
namun Inggeris pada hakikatnya sama ada secara langsung maupun tidak langsung
telah campur tangan dalam hal-ehwal Islam serta pentadbirannya.59
Beberapa undang-undang berhubung pentadbiran hal-ehwal Islam telah
diatur dalam Pelembagaan Negeri. Perlembagaan negeri bertulis yang pertama di
Tanah Melayu ialah Perlembagaan Johor tahun 1895. Ia telah menampakkan ciri-
ciri keislaman. Satu peruntukan dalam pelembagaan tersebut menyebut bahwa
pemerintah hendaklah seorang yang berbangsa Melayu, berketurunan di Raja Johor
dan beragama Islam. Diperuntukkan juga dalam Perkara VII bahwa Islam
hendaklah sentiasa dan sepanjang masa menjadi Agama Negeri Johor.60
Pelembagaan Negeri Terengganu 1911 juga bercirikan Islam. Satu daripada
peruntukannya menghendaki bahwa Raja Negeri Terengganu Seorang beragama
Islam, berbangsa Melayu dan berketurunan diraja Terengganu.61 Bab 51
perlembagaan itu juga menyebut bahwa Islam adalah agama negeri dan tiada agama
lain yang boleh dijadikan agama rasmi negeri Terengganu.
Pada hari ini, semua perlembagaan negeri kecuali Sarawak, Melaka dan
Pulau Pinang telah mempunyai peruntukan Islam sebagai agama negeri dan Raja
sebagai ketua agama bagi negeri. Bagi Wilayah-Wilayah persekutuan, Pulau
59 Ibid, hlm. 67 60 Ahamd Hidayat Buang, Undang-Undang Islam di Malaysia, (Kuala Lumpur: Penerbit
Universiti Malaya, 2007), hlm. 201 61 Ibid, hlm. 202
41
Pinang, Melaka, Sabah dan Sarawak yang merupakan negeri tidak beraja, ketua
agama untuk negeri-negeri tersebut adalah Yang di-Pertuan Agong. Dalam masa
yang sama Yang di-Pertuan Agong juga terus menjadi ketua agama negerinya.62
Walau bagaimana pun, Persidangan Raja-Raja boleh bersetuju bahwa dalam
amalan dan upacara tertentu yang meliputi seluruh persekutuan, Yang di-Pertuan
Agong diberi kuasa mewakili setiap Raja negeri-negeri atas sifat mereka sebagai
ketua agama Islam negeri Perlembagaan menyebut :
“Dalam tiap-tiap negeri melainkan negeri-negeri yang tidak mempunyai
raja, kedudukan raja sebagai ketua Agama Islam dalam negerinya secara dan
setakat mana yang diakui dan diisytiharkan oleh Perlembagaan Negeri itu segala
hak keistimewaan, hak kedualatan dan kuasa yang dinikmati olehnya sebagai ketua
agama Islam tidaklah tersentuh dan tercacat, tetapi dalam apa-apa perbuatan,
amalan atau upacara yang telah dipersetujui Majlis Raja-Raja supaya meliputi
seluruh Persekutuan, maka tiap-tiap orang Raja lain hendaklah atas sifatnya
sebagai ketua agama Islam, membenarkan Yang di-Pertuan Agong
mewakilinya.”63
Namun demikian, perlembagaan juga menyebut bahwa mempersetujui atau
tidak mempersetujui supaya apa-apa perbuatan, amalan atau upacara agama
meliputi seluruh persekutuan adalah berdasarkan budi bicara ahli Majlis Raja-Raja.
Pelembagaan Persekutuan Tanah Melayu berasaskan Perjanjian Persekutuan Tanah
62 Ibid, hlm. 203 63 Ahmad Ibrahim, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia (Kuala Lumpur:
Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1997), Hlm.34
42
Melayu 1948, sebuah perlembagaan baru bagi Malaya telah dipersetujui dan dikuat
kuasakan mulai 1 Febuari 1948.64 Perlembagaan ini memperuntukan sebuah sistem
persekutuan yang terdiri daripada negeri-negeri Melayu, negeri Melaka dan Pulau
Pinang dengan sebuah kerajaan pusat yang kuat. Perlembagaan bertulis telah
disediakan bagi kerajaan negeri-negeri Melayu yang belum lagi mempunyai
perlembagaan bertulis. Perlembagaan-perlembagaan negeri tersebut
memperuntukkan penubuhan Majlis Negeri dan Majlis Eksekutif Negeri.65 Walau
bagaimanapun, ciri-ciri asas pemerintahan di negeri-negeri yang sedia ada telah
dikekalkan. Hal ini termasuklah pengekalan peruntukan Islam sebagai agama rasmi
bagi negeri-negeri Melayu.
Perlembagaan Persekutuan Tanah Melayu 1948 sendiri sebenarnya
mempunyai peruntukan berkait dengan kedudukan Islam dalam Persekutuan. Ia
mengisytiharkan bahwa agama Islam adalah agama rasmi dan diamalkan di negeri-
negeri. Bagaimanapun, ia tertaluk kepada Fasal 48 perjanjian tersebut yang
memberi kuasa kepada Pesuruhjaya Tinggi dan Raja-Raja untuk menggubal
undang-undang dalam persekutuan.66 Majlis Negeri yang ditubuhkan di setiap
negeri pula mempunyai kuasa untuk meluluskan undang-undang termasuklah yang
menyentuh hal-ehwal agama Islam atau adat istiadat Melayu. Walau bagaimanapun
peruntukan berhubung bidang kuasa Mahkamah Syariah tidak dimasukkan dalam
peruntukan itu. Selain itu, satu perbahasan yang menarik telah berlaku dalam Majlis
64 Ibid. hlm. 41
65 Ibid. hlm. 43 66 Mohamed Suffian, Pengenalan Sistem Undang-Undang Malaysia, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), hlm. 104
43
Perundangan Persekutuan pada awal tahun 1958 seterusnya menjelaskan lagi
setakat mana peruntukan “Islam Sebagai agama Persekutuan” ditafsir dan
diaplikasikan. Pada akhir perbahasan terebut, Perdana Menteri Tunku Abdul
Rahman yang kecewa karena soal agama telah dibangkitkan, menegaskan :
“Saya suka menjelaskan bahwa negara ini bukanlah sebuah negera Islam
sebagaimana difahamkan secara umumnya. Kita jua ingin memperuntukkan Islam
hendaklah menjadi agama rasmi bagi persekutuan.”67
Malaysia tidak mengambil keputusan untuk mengharamkan praktik
poligami di kalangan masyarakat melalui wewenang undang-undang. Sebaliknya
Malaysia mengubah undang-undang poligami bertujuan untuk mengawal praktek
tersebut agar tidak terjadi suatu perkara yang tidak di inginkan akibat dari praktik
poligami yang tidak sah. Hal demikian, di setiap negeri-negeri di Malaysia telah
menyatakan bahwa setiap permohonan poligami harus mendapat kebenaran tertulis
dari mahkamah syariah atau hakim syariah. Dalam seksyen 23 (1) akta Undang-
Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984 telah menyatakan
dengan jelas dalam perkara ini bahwa campur tangan mahkamah syariah dalam
memberi keizinan poligami di buat karena masyarakat itu sendiri yang gagal
menjaga kebaikan poligami sebagaimana yang di anjurkan dalam Islam.68
Berdasarkan Undnag-Undang Perkahwinan Malaysia tentang boleh atau
tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal penting yang
67 Ibid. hlm. 106 68 Noor Aziah Mohd Awal, Pengenalan kepada Sistem Perundangan di Malaysia, (Kuala
Lumpur: International Law Book Services, 1998), hlm 75
44
dibicarakan yaitu, syarat-syarat, alasan-alasanpertimbangan boleh tidaknya
poligami, dan prosedur. Namun perlu dicatat, berbeda dengan perundang-undangan
Indonesia yang dengan tegas menyebut bahwa prinsip perkahwinan adalah
monogami, dalam perundangan-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang
prinsip pekawinan.69
Adapun syarat yang harus dipenuhi, semua undang-undang Keluarga
Malaysia mengharuskan adanya izin lebih dahulu secara tertulis dari hakim
(pengadilan). Hanya saja dalam rinciannya ada sedikit perbedaan, yang secara garis
besar dapat di kelompokkan menjadi dua, Pertama, yang merupakan kelompok
mayoritas, poligami izin dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan. Kedua,
poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat
lebih dahulu dengan membayar denda atau menjalani hukuman yang telah
ditentukan.
Walaupun pembaharuan berkaitan dengan perundangan poligami telah
banyak dijalankan di beberapa Negara-Negara Islam yang lain sejak awal tahun
1950-an, Malaysia mula menyatakan satu aturan yang khusus pada akhir 1970-an
dan awal 1980-an. Cuma apa yang ada dari segi sturktur di Selangor dan Negeri
Sembilan, suami perlu menyatakan bahwa di dalam dokumen tersebut telah
mempunyai istri dan beberapa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
kemampuan suami dan sebagainya akan ditanya. Keperluan satu undang-undang
poligami yang lebih khusus dan terperinci sangat perlu dipandang serius karena
69 Ibid. hlm. 79
45
banyak rungutan yang diterima terutamanya dalam kasus di mana perkawinan
poligami dilakukan tanpa izin istri yang sekarang. Undang-undang poligami
bertujuan untuk mengontrol perbuatan tersebut agar tidak berlaku suatu perkara
yang tidak diingini akibat dari perbuatan poligami yang tidak sah. Karena itu, di
Malaysia semua negeri-negeri menyatakan bahwa setiap permohonan untuk
poligami harus, mendapat keizinan tertulis dari Mahkamah Syariah atau pun Hakim
Syariah. Campur tangan dalam memberi keizinan poligami dibuat karena
masyarakat sendiri yang gagal untuk memjaga kebaikan poligami sebagaiman yang
dianjurkan dalam Islam.70
Secara umumnya semua negeri di Malaysia mempunyai perundangan
khusus tentang kelakuan poligami dalam Enakmen atau Akta Undang-Undang
Keluarga Islam masing-masing. Namun, sebelum penyeragaman Akta dan
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Negeri dilaksanakan, prosedur
permohonan poligami di beberapa buah negeri didapati tidak seragam, seperti
Perak, Terengganu dan Kelantan. Di ketiga-tiga negeri ini, prosedur permohonan
agak longgar. Misalnya syarat utama untuk berpoligami hanyalah mendapat
keizinan mahkamah tertulis daripada qadhi atau Hakim Syariah.71
Syarat-syarat lain seperti kemampuan suami dari segi keuangan untuk
menanggung semua istri dan anak-anak, izin atau pandangan istri pertama
tentangpermohonan poligami, perkawinan yang dicadangkan patut atau perlu dan
70 Mahamad Ariffin, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007) hlm. 51 71 Ibid. hlm. 62
46
boleh berlaku adil terhadap semua istri sebagaimana yang terkandung dalam Akta
dan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam negeri-negeri lain, tidak dinyatakan
dalam prosedur poligami negeri-negeri tersebut.72
Penyeragaman Akta dan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam negeri-
negeri telah membawa kepada beberapa perubahan penting dalam aturan undang-
undang tentang poligami di kebanyakan negeri di negara ini. Secara
keseluruhannya, perubahan yang dibuat tertumpu pada perbaikan dari sudut
prosedur permohonan polgami dan dari sudut memberikan lebih perlindungan
kepada istri-istri yang sekarang. Perubahan ini dilihat sebagai usaha
memperbaharui undang-undang poligami yang sekarang agar kebaikan semua
pihak agar istri-istri dan anak-anak tidak diabaikan.
Undang-undang kekeluargaan Islam merupakan suatu akta bagi
perundangan tertentu dalam undang-undang kekeluargaan Islam mengenai
perkawinan, penceraian, nafkah, penjagaan dan lain-lain yang berkaitan dengan
kehidupan keluarga.
Malaysia merupakan sebuah negara yang mempratek sistem kabinet
berparlimen. Sistem kabinet ini telah dibagi kepada tiga yaitu badan perundangan
(legislatif), badan kehakiman (yudikatif), dan badan eksekutif. Badan-badan
tersebut mempunyai wewenang yang tersendiri yang telah ditetapkan oleh kabinet
Negara. Tujuan badan-badan ini dipisahkan adalah badan yang mengawal badan
eksekutif dan badan perundangan supaya tidak melampaui batas. Badan kehakiman
72 Ibid, hlm. 73
47
di Malaysia terdiri dari mahkamah-mahkamah yang menjalankan fungsi-fungsi
yang tersendiri. Mahkamah di Malaysia terpisah kepada dua wewenang yang
dijalankan mahkamah syariah. Pemisahan bidang kuasa ini telah menyebabkan
berlaku beberapa perbedaan dalam pengendalian kasus dan penghakiman oleh
kedua-dua mahkamah tersebut.73
73 Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia, 1997), hlm. 48
48
BAB IV
PROSEDUR POLIGAMI DI INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Prosedur Poligami Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Akta
Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun
dalam suatu realitas, mendidik dan menjauhkan drir dari sikap teledor dan
bermalas-malasan. Begitulah yang disaksikan dengan jelas dalam hubungannya
dengan masalah poligami diantara Indonesia dan juga Malaysia. Walaupun
mengikut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga
Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Dengan menitik beratkan demi
kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat. Kebanyakkan
umat dahulu dan agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang
kadang-kadang sampai sepuluh wanita, bahkan lebih tanpa suatu syarat ikatan.
Dengan datangnya Islam, poligami yang tanpa batas kemudian dibatasi menjadi
empat orang istri saja pada waktu yang bersamaan. Poligami ini bolrh dilaksanakan
dengan pensyaratan khusus serta jumlah ketentuan yang harus dilaksanakan.
Poligami sendiri memiliki dasar hukum baik dari hokum positif maupun hukum
Islam.
1. Prosedur poligami Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun1975 menyebutkan bahwa “apabila seorang suami bermaksud untuk
beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
49
bertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam pasal 56,57, dan
58 dalam kompilasi Hukum Islam sebagai berikut74.
Pasal 56 KHI :
a. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
b. Pengajuan permohonan izin di maksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata
cara sebagaimana diatu dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975
c. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI.75
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.76
Kalau pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami,
kemudian ia memeriksa berdasarkan pasal 57 KHI dengan menggunakan pasal
41 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun
74 K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru,1976) Cet XI, Hlm.
15 75 Abdurrahmab, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo,
1992), hlm. 126. 76 Ibid, hlm.126
50
1974, yaitu : Pasal 41 “Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
ialah bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, bahwa
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun
tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu
harus diucapkan di depan siding Pengadilan.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan surat mengenai
penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja atau
surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh pengadilan77.
Pasal 58 ayat (2) KHI “Dengan tidak mengurangi pasal 41 huruf Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan isti-istri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
pengajuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
Pengadilan”78. Adapun tata cara teksnis pemeriksaannya menuruy Pasal 42 PP
Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut : Pasal 42 :
1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41,
77 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 523 78 Ibid, hlm. 127
51
Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30
hari setelah di terimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.79
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri-istri tidak mungkin diminta
persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat 2 menegaskan:
“Persetujuan yang dimaksudkan pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian ari hakim Pengadilan”.80
Namun, bila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberi putusannya yang
berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.81 Jadi pada dasarnya pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.82
Kalau seorang istri tidak mau memberi persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang di atur dalam
79 Ibid, hlm. 557 80 Ibid, hlm. 128 81 Ibid, hlm. 129 82 Ali Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 175
52
pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi. Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum
tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor
9 Tahun 1975, Pengawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya
izin pengadilan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun
197583.
Ketentuan hokum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti
telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan
poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidana.
Persoalan ini diaturkan dalam Bab IX pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
1. Kecuali apabila ketentuan lain dalam peraturan perundangan-perundangan yang
berlaku, maka :
A. Barang siapa melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, pasal 10 ayat
(3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hokum denda setinggi-
tingginya Rp. 7.500,00.
B. Pegawai Pencata yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6, 7, 8,
83 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqq Munakahat dan
Undang-Undang Perkahwinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 134.
53
9, 10 ayat (1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 Bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 7.500,00.84
2. tindak Pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang
bersangkutan melalui Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya.
Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu
sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang
yang diridhai Allah swt. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan
menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkahwinan tersebut, sehingga mesti
dihilangkan atau setidaknya dikurangi.85
2. Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984
Sebelum penulis membahas tentang prosedur poligami di Wilayah
Persekutuan 1984, ada baiknya penulis terlebih dahulu menguraikan secara ringkas
analisis tentang prosedur poligami yang diatur dalam Akta Undang-Undang
Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Secara yuridis normatif
yang berlaku di Malaysia, laki-laki dibenarkan menikahi dengan dua wanita atau
lebih. Namun, bukan dalam arti kata bebas melakukannya dan dimana saja tanpa
mengikuti jalur formalitas. Suami boleh brepoligami tetapi harus mengikut
84 Suma Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2008), hlm. 111. 85 Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 87.
54
prosedur yang berlaku didalam perundangan-perundangan yang ada.
Disini penulis telah menganalisis dan mendapati bahwa Akta Undang-
Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 telah meletakkan
syarat-syarat prosedur yang ketat untuk berpoligami, karena harus mendapatkan
izin dari istri pertama untuk permohonan poligami. Hal ini menjadi beban kepada
seorang suami untuk beristri banyak iaitu poligami. Aturan yang terdapat dalam
Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 sering
kali dilihat sebagai suatu yang sulit dan membebankan bagi sebagian suami. Oleh
karena itu, mereka mengambil jalan mudah dengan poligami di negeri lain tanpa
persetujuan Mahkamah Syariah. Aturan yang ketat dalam Akta di Wilayah
Persekutuan menyebabkan pihak suami mengambil jalan mudah untuk menikah
dengan perempuan lain yaitu dengan menikah di luar negeri tanpa persetujuan dari
Mahkamah Syariah.
Didalam Seksyen 23(3) Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-
Wilayah Persekutuan) 1984 telah mengatur bagi negeri Persekutuan ini bahwa :
“Permohonan untuk kebenaran hendaklah dikemukan kepada Mahkamah
mengikut cara yang ditetapkan dan hendaklah disertai dengan sesuatu iqrar
menyatakan alasan mengapa perkahwinan yang dicadangkan itu dikatakan patut
atau perlu, pendapatan permohonan pada masa tiu, butir-butir komitmennya dan
kewajiban dan tanggungan kewangaannya yang patut ditentukan. Bilangan orang
tanggungnnya, termasuk orang yang akan menjadi orang tanggungan berikutan
dengan perkahwinan yang dicadangkan itu, dan sama ada keizinan atau
55
pandangan istri atau istri-istrinya yang sedia ada telah diperoleh atau tidak
terhadap perkawinan yang dicadangkan itu”86
Dalam subseksyen ini menyatakan bahwa dalam aturan Akta Wilayah harus
menyatakan beberapa Syarat yang perlu dipatuhi oleh Mahkamah Syariah sebelum
sesuatu permohonan poligami itu diluluskan. Setiap permohonan haruslah
melengkapi dokumen-dokumen permohonan poligami dengan memberikan
keterangan yang dikehendaki sebagaimana yang diaturkan di bawah subseksyen
23(4). Selanjutnya pada subseksyen (2) disebutkan bahwa ketentuan ini berlaku
kepada laki-laki yang menetap dalam atau di luar Wilayah Persekutuan. Oleh
karena permohonan untuk kebenaran hendaklah dibuat di Mahkamah mengikut cara
yang ditetapkan dan hendaklah di sertai dengan suatu iqrar menyatakan alasan-
alasan yang sepatutnya di dalam permohonan poligami. Antara alasan-alasan yang
harus dibuat adalah alasan mengapa perkahwinan itu patut dijalan atau perlu,
kewajiban dan tanggungan keuangannya yang patut ditentukan, keizinan atau
pandangan istri-istrinya dan sebagainya.87
Alasan yang dinyatakan dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan)1984 bahwa di dalam prosedur Wilayah
Persekutuan harus mendapat keizinan istri pertama. Hal ini karena telah dinyatakan
di dalam Wilayah Persekutuan bahwa jika seorang suami yang ingin poligami maka
mahkamah akan mengirimkan surat saman atau surat panggilan kepada istri
86 Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 (AKTA 303), (Kuala Lumpur: International Law Book Service, 2000) hlm. 34.
87 Ibid, hlm. 44.
56
pertama walaupun tidak diketahui si suami. Dan tujuan yang dilaksanakan oleh
Mahkamah Syariah adalah untuk menyatakan bahwa si suami ingin poligami.
Menngikut dari Jabatan Syariah dan Undang-Undang, prosedur poligami
yang di atur dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984 tersebut bukan untuk menghalang poligami dilaksanakan tetapi
Akta yang mengatur untuk poligami tersebut bertujuan agar praktek poligami tidak
disalah gunakan kebolehannya yang pada akhirnya akan mendatangkan kezaliman
dan ketidak adilan kepada istri-istri dan anak-anak, sesaui dengan pensyariatan
yang dinyatakan dalam Al-Quran. Menurutnya, dalam Akta Undang-Undang
Keluarga Isla, (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 berkaitan permohonan
poligami telah ditetapkan ketentuan-ketentuan prosedur yang harus diikuti oleh
setiap orang yang ingin menikah lebih dari satu. Memang benar apa yang ditetapkan
dalam Akta itu tidak diatur atau ditetapkan dalam Islam, tapi ianya bertujuan supaya
poligami yang dibolehlkan Islam itu tidak disalah gunakan sesuka hati mereka saja.
Namun begitu masih ada yang melanggar ketentuan tersebut disebabkan mereka
merasakan prosedur yang ditetapak itu terlalu ketat hingga mereka mengambil jalan
lebih mudah yaitu dengan berpoligami tanpa kebenaran Mahkamah Syariah.88
Sesungguhnya ketetapan yang sedia ada bukanlah bertujuan untuk
mempersulitkan, tetapi undang-undang yang sedia ada tentang poligami bertujuan
supaya proses poligami menjadi lebih teratur dan terpenuhi syarat-syarat
berpoligami. Orang yang diberikan otoritas dalam memberikan putusan adalah
88 Ibid, hlm. 51
57
Hakim. Bila ada pihak yang tidak berpuas hati dengan putusan yang ditetapkan,
Hakim berpeluang melakukan upaya hukum (mengajukan banding) ke Mahkamah
Syariah yang lebih tinggi. Upaya hukum tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
memastikan keputusan Mahkamah Syariah agar dapat diterima oleh orang yang
ingin berpoligami.
Sebaliknya di dalam penegasan syarat prosedur di Wilayah Persekutuan
untuk mengetahui pengakuan suami terhadap istrinya yang menyatakan bahwa
istrinya bersetuju dengan permohonan poligami atau tidak. Jika istrinya bersetuju
permohonan untuk poligami dan telah lengkap pensyaratan prosedur poligami maka
istrinya akan dipanggil ke Mahkamah tertutup. Permohonan dapat memenuhi syarat
sebagaiman terdapat dalam seksyen 23(4) (a) (b) (c) (d) dan (e). Demikian itu,
ketentuan prosedur poligami di Wilayah persekutuan ini. Pihak istri boleh
memberikan keterangan sama ada suami benar layak atau tidak dari segi keuangan
dan adakah perkawinan yang dicadangkan harus atau perlu atau tidak. Pengalaman
istri dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan dengan suami akan dapat
membantu mahkamah menentukan kedudukan tahap kelakuan dan kemampuan
suami dalam memenuhi syarat-syarat poligami.89
Walaupun istrinya memberi keizinan untuk berpoligami, tetapo terdapat
syarat lain yang harus dipenuhi dalam prosedur poligami yang perlu diliat oleh
mahkamah sebelum perintah keizinan poligami dilaksanakan. Syarat keizinan istri
poligami yang ditetapkan dalam Akta Wilayah Persekutan juga bukan menjadi
89 Ibid, hlm. 53.
58
ukuran kepada mahkamah untuk tidak mengizinkan poligami. Selain itu, pendapata
keuangan pemohon sudah menjadi syarat terpenting dalam memohon keizinan
untuk berpoligami walaupun tidak di atur dalam perundangan tetapi syarat tersebut
harus dipenuhi mengikut prosedur poligami di Wilayah Persekutuan.90
Perbedaan di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Akta Undang-
Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 itu dapat di liat
meski memiliki sejumlah persaaman. Pengaturan poligami di Indonesia dan di
Wilayah-Wilayah Persekutuan. Tentuanya memiliki perbedaan, mengingat terdapat
perbedaan pula dalam cara berfikir dan pandangan hidup kedua negara.
Berdasarkan perkembangan sejarah dari masa penjajahan, kedua bangsa mendapat
pengaruh besar besar terhadap cara berfikir masyarakatnya. Cara berfikir
masyarakat Indonesia dapat digambarkan sebagai konkrit dan kaku, sdangakan
masyarakat Malaysia dapat digambarkan sebagai abstrak dan bebas. Cara berfikit
ini pun tercermin dan memang mempengaruhi langsung system hukum di kedua
negara. System hukum Indonesia, lebih mementingkan hukum tertulis yang secara
hirarkis, sehingga terasa begitu konkrit dan kaku. Di lain pihak, sistm hukum
Malaysia yang keberlakuan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sama kuatnya
tanpa penataan hirarkis, terasa lebih abstrak dan bebas.
Perbedaan dalam pengaturan poligami di Indonesia dan di Wilayah
Persekutuan Malaysia yang disebabkan pula oleh perbedaan pandangan hidup,
adalah mengenai pihak pemberi izin. Pemberi izin poligami di Indonesia menurut
90 Ibid, hlm. 54.
59
UU No.1 Tahun 1974 adalah pengadilan wilayah yang bertempat tinggal pemohon
izin tersebut. Namun terdapat beberapa aturan tambahan dalam pengaturan ini,
yakni warga negara yang beragama Islam, menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam),
pengadilan memberi izin adalah Pengadilan Agama, dan bagi warga negara yang
bertugas sebagai PNS, menurut PP No.10 Tahun 1983, terdapat dua pemberi izin,
yakni pengadilan dan pejabat. Berbeda halnya dengan pengaturan di Malaysia,
dasar utama pemeberian izin poligami di Malaysia adalah kepuasan hati dan
kebijaksanaan Mahkamah dan Hakim Syariah. Mahkamah atau Hakim,
berdasarkan kebijaksanaannya, dapat memberikan izin poligami apabila memang
Mahkamah dan hakim tersebut berpuas hati terhadap pemenuhan syarat-syarat yang
diatur dalam undang-undang oleh pemohon izin poligami perbedaan ini juga
mengenai persetujuan istri atau para istri, persetujuan istri atau para istri menurut
pengaturan Indonesia, yakni UU No.1 Tahun 1974, persetujuan istri atau para istri
adalah dasar utama pemberian izin poligami. Dalam PP No.9 Tahun 1975, KHI dan
PP No.10 Tahun 1983, persetujuan istri atau para istri mesti tidak menjadi dasar
utama, tetap menjadi syarat yang harus dipenuhi pemohon, sebagai lain pemberian
izin. Akan tetapi, menurut pengaturan di Malaysia persetujuan istri dan para istri,
tidaklah diwajibkan oleh undang-undang, sehingga bukan menjadi syarat yang
harus dipenuhi oleh pemohon izin. Yang diatur di Malaysia, adalah cukup
melakukan pemberitahuan rencana pologami, oleh pemohon sendiri, kepada istri
atau para istri, serta mencantumkan keterangan bahwa istri atau para istrinya
tersebut bersetuju atau tidak di dalam surat permohonan izin poligami.
Pemberitahuan ini bukanlah suatu kewajban, menurut UU melainkan sebuah
60
anjuran.
Selain itu, persamaannya di antara Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 ialah
dengan adanya undang-undang khusus yang mengatur dan tata cara perkawinan,
Indonesia dan Malaysia mempunyai beberapa kesamaan yaitu adanya wali hakim
apabila wali dari pihak-pihak keluarga tidak bias mewakilkan. Seterusnya adanya
kursus Pranikah bagi pasangan yang ingin menikah dan taklik talak ketika akad
nikah berlangsungkan, sama-sama mengizinkan poligami dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku. Adanya Pengadilan Agama yang mengatur masalah hukum
kekeluargaan untuk orang Islam. Tetapi dalam hal imi, di Malaysia dikenal dengan
Mahkamah Syariah dan sama-sama mempunyai pengadilan khusus untuk mengatur
masalah perkawinan dan penceraian.
Perbandingan perkawinan mengikut UU No.1 Tahun 1974 dan Akta UU
Keluarga Islam (WWP) 1984 ialah, menurut Peraturan Pemerintah RI No.9 tahun
1975 tantang pelaksaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1
dan 2, “Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan
dalam Undang-Undang No.32 tahun 1954 tentang pencatat Nikah, talak dan
rujuk”. Sedangkan ayat duanya menyatakan : “Pencatat perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaanmnya itu
selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai Pencatat perkawinan”. Untuk
prosedur pencatat perkawinan dan tata cara perkawinan, dari pasal 5 sampai pasal
9, pasal 10 sampai pasal 13 Peraturan Pemerintahan RI No.9 Tahun 1975.
61
“Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai”. Ayat 2:
“Untuk menlangsukan Perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Pasal 6 ayat 1 dan 2 tentang syarat-
syarat perkawinan. Oleh karena itu, Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun dalam
Pasal 7. Di bandingkan dengan Wilayah Persekutuan Malaysia perlu ada formulir
permohonan kebenaran menikah “formulir 1” berlaku bagi semua pemohon yang
tinggal di Wilayah Persekutuan saja atau untuk pemohon yang berdomisili di
Wilayah persekutuan tetapi tinggal di luar Wilayah Persekutuan. Formulir
permohonan harus di isi dengan lengkap dalam dua Salinan dengan menggunakan
tinta hitam atau biru dan disahkan oleh Penolong Pendaftar Perkawinan, Penceraian
dan Rujuk bagi daerah masing-masing. Karena di Malaysia lain Wilayah lain
Prosedur Poligaminya. Penolong dan wali harus hadir di depan Penolong Pendaftar
perkawinan , Penceraian dan Rujuk daerah ketika menandatangani formulir untuk
tujuan verifikasi. Asisten Pendaftar perkawinan, Penceraian dan Rujuk daerah harus
memastikan formulir aplikasi di isi dengan lengkap dan dokumen-dokumen
berhubung dengan disertakan sebelum menandatangani formulir itu beserta dengan
cop jabatan tersebut. Inilah perbandingan mengikut UU yang ada, lebih jelas dan
nyata di Malaysia lebih susah prosedur poligaminya berbanding dengan Indonesia.
62
B. Dampak hukum Poligami yang dilakukan tanpa mengikut prosedur di
Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Akta
Undang-Undang keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984
Pandangan yang mengatakan bahwa poligami adalah hak suami merupakan
pandangan yang tepat dan dapat diterima, namun di dalam melaksanakan haknya
itu suami tidak boleh sewenang-wenang. Oleh karena itu, mengatur pelaksanaan
kebolehan poligami melalui perundangan-perundangan menjadi suatu keharusan.
Dalam rangka mempertahankan dan menjamin UU No 1 Tahun 1974 agar ditaati,
maka undang-undang ini dan peraturan perundangan-perundangan lainnya memuat
beberapa sanksi terhadap orang yang melanggar UU No. 1 Tahun 1974, khususnya
sanksi terhadap pelanggaran aturan poligami, baik sanksi perdata atau sanksi
pidana.
Sanksi perdata mengikut Pasl 24 UU No.1 Tahun 1974 mengatur bahwa:
“Berdasarkan ketentuan tersebut, bagi seorang suami yang melakukan
perkawinan tanpa izin pengadilan atau seorang istri kawin lagi dengan seorang
laki-laki lain, perkawinannya tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh istri atau
suami yang bersangkutan kepada pengadilan”.91
Sanksi pidana dalam Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1979 dinyatakan :
1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundangan-perundangan
yang berlaku maka :
91 Saleh K Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru, 1976), hlm. 76.
63
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yan diatur dalam Pasal 3, 10 ayat
(3), 40 peraturan Pemerintahan ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal
6,7,8,9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peratuan Pemerintahan ini di hukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500.00. (tujuh ribu lima ratus rupiah).92
(2) Tindak pidana yang di maksudkan dalam ayat (1) di atas merupakan
pelanggaran. Pasal 40 ayat (1) huruf b ancaman pidana ditujukan kepada Pejabat
Pencatat Perkahwinan (PPN). Salah satu pelanggaran yang di ancam pidana
terhadap mempelai dalam ketentuan di atas adalah pelanggaran Pasal 40 PP No. 9
Tahun 1975, yang berbunyi “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih
dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pengadilan.” Yang diatur di sini ialah pelanggaran ketentuan administrasi
perkawinan, yaitu kewajiban mengajukan permohonan izin poligami secara bertulis
kepada Pengadilan. Sedangkan ancaman pidana terhadap PPN (Pasal 40 ayat (1)
huruf b ialah bilama melanggar ketentuan Pasal 4 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu delik
mengawinkan suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan.93
Dikemukakan bahwa UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dapat
dipisahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan dua
92 Ibid, hlm. 79. 93 Syahar Saidus, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau
Dari Segi Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 55.
64
alasan, yaitu : pertama berdasarkan assalec specialis derogate lex generalis, dalam
hal ini, ketentuan pidana dalam UU No.1 Tahun 1974 . PP No. 9 Tahun 1975
merupakan ketentuan khusus dari KUH Pidana. Kedua, berdasarkan teori bahwa
Hukum Tata Pemerintahan dan Hukum Pidana saling melengkapi. Dalam hal ini
UU No. 1 Tahun 1974 merupakan salah satu sumber hukum tata pemerintahan,
sedangkan KUH Pidana merupakan salah satu sumber hukum pidana di Indonesia.94
Oleh karena itu, maka untuk mempertahankan UU No.1 Tahun 1974 agar
ditaati, ia perlu didukung oleh KUH Pidana. Beberapa pasal KUH Pidana yang
mengatur ancaman pidana mengenai pelanggaran hukum perkawinan, adalah
mengikut Pasal 279 yaitu dipidana Penjara selama-lamanya 5 tahun. Pertama,
barang siapa yang kawin, sedangkan diketahuinya, bahwa perkahwinannya yang
sudah ada menjadi halangan yang sah baginya akan berkawin lagi. Kedua, barang
siapa yang kawin lagi, sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada dari
pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak yang lain tiu akan
kawin lagi.95
Kalau orang yang bersalah karena melakukan perbuatan yang diterangkan
mengikut yang pertama tadi, menyembunyikan kepada pihak yang lain bahwa
perkawinanya yang sudah ada itu menjadi halangan yang sah akan kawin lagi,
dipidana penjara selama-lamanya 7 Tahun. Dengan mengikuti pandanga bahwa
ketentuan pidana dalam PP No. 9 Tahun 1975 merupakan lex specialis terhadap
KUH Pidana, apabila ternyata seorang PPN melanggar ketentuan Pasal 44 PP No.96
94 Ibid, hlm. 56. 95 Ibid, hlm. 57. 96 Ibid, hlm. 59.
65
9 Tahun 1975, yaitu mengawinkan suami yang belum memperoleh izin poligami
dari pengadilan, maka terhadapnya hanya diancam pidana berupa kurungan selama-
lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00. ( ex Pasal ayat (1)
huruf b PP No. 9 Tahun 1975), terhadapnya tidak dapat diancam pidana berupa
penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 4.500,00. Sebagaiman tersebut dalam Pasal 436 ayat (2) KUH Pidana, karena
materi yang diatur dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b PP No. 9 Tahun 1975 sama
dengan materi yang diatur dalam Pasal 436 (2) KUH Pidana, oleh karena itu,
ketentuan yang berakhir harus dikesampingkan berdasar asas lex specialis derogate
lex generalis.97
Lain halnya, jika seorang suami yang kawin lagi tanpa izin pengadilan, mak
terhadapnya harus diterapkan ketentuan pidana dalam Pasal 279 ayat (1) ke 1
KUHP, yaitu ancaman pidana selama lime Tahun, Terhadapnya tidak dapat
diancam pidana menurut ketentuan Pasal 45 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, karena
yang diatur secara khusus dalam PP tersebut adalah pelanggaran ketentuan
administrasi perkawinan, tidak mengatur secara khusu mengenai ancaman pidana
bagi suami yang kawin lain padahal perkawinannya yang sudah ada menjadi
halangan sah baginya untuk kawin.98
Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa bagi orang yang
melakukan poligami tanpa izin pengadilan diancam dengan sanksi :
97 Ibid, hlm, 61. 98 Badri R, Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan & KUHP, (Surabaya: CV
Amin, 1985), hlm, 45.
66
1. Sanksi perdata berupa ancaman pembatalan perkawinan
2. Sanksi pidana berupa :
a. Denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
karena pelanggaran administrasi perkawinan (ex Pasal 45 ayat (1) huruf
a PP No. 9 Tahun 1975)
b. Penjara selama-lamanya lima tahun karena kawin, sedang ia
mengetahui, bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan
baginya akan kawin lagi (ex Pasal 279 ayat (1) ke 1 KUH Pidana). Hal
ini berlaku juga bagi pihak istri kedua bila ia mengetahui suaminya itu
sudah kawin.
c. Penjara selama-lamanya 7 Tahun karena menyembunyikan kepada
pihak lain bahwa dirinya telah kawin sehingga perkawinannya itu
menjadi halangan untuk kawin lagi (ex Pasal 279 ayat ke 2 KUH Pidana)
d. Penjara selama-lamanya 5 tahun karena menyembunyikan kepada pihak
lain bahwa ada dahalangan baginya untuk kawin (ex Pasal KUH
Pidana).99
Bagi PPN yang mengawinkan suami yang berpoligami tanpa izin
pengadilan dikenakan sanksi pidana berupa kurungan selama-lamanya tiga bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah ). Delik
sebagaimana diuraikan di atas merupakan pelanggaran dan termasuk delik aduan,
oleh karena itu penegakannya ditentukan sikap proaktifnya pihak istri yang dimadu.
Dampak hukum di Malaysia pula berbeda, sebagaimana dengan
99 Ibid, hlm. 50.
67
kebanyakan negara-negara Islam yang lain , Malayisa tidak mengambil keputusan
untuk mengharamkan amalan poligami di kalangan masyarakatnya melalui
penguatkuasaan Undang-Undang. Sebaliknya Malaysia menggubal UU poligami
bertujuan untuk mengawal amalan tersebut agar tidak berlaku sesuatu perkara yang
tidak diingini akibat dari amalan poligami yang tidak betul. Oleh karena itu,
Malaysia semua negeri-negerinya memperuntukkan bahwa setiap permohonan
untuk poligami mestilah mendapat kebenaran bertulis dari Mahkamah Syariah atau
pun Hakim Syariah. Dalam Seksyen 23(1), Akta Undang-Undnag Keluarga Islam
1984, memperuntukkan dengan jelas tentang perkara ini. Campurtangan
Mahkamah Syariah dalam memberi kebenaran berpoligami dibuat kerana
masyarakat sendiri yang gagal untuk menjaga kebaikan poligami sebagaimana yang
dianjurkan oleh Islam.100
Bagaimanapun dalam perkara-perkara yang lain, peruntukkan mengenai
poligami adalah tidak seragam antara negeri-negeri yang lain di Malaysia. Ini dapat
diliat seperti Wilayah Persekutuan ( A 303) beda dengan negeri yang lain, telah
memperuntukkan beberapa syarat-syarat yang perlu dipatuhi oleh Mahkamah
Syariah sebelum sesuatu permohonan poligami diluluskan. Seksyen 23(3) Akta
1984, umapamanya telah memperuntukkan bahwa :
“Permohonan kepada Mahkamah mengikut cara yang ditetapkan dan
hendaklah disertai dengan suatu akuan menyatakan alasan-alasan mengapa
100 Madya Dr. Raihanah Abdullah, Poligami Penjelasan Berdasarkan Perspektif Undang-
Undang Keluarga Islam di Malaysia, (Putrajaya: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 2014), hlm. 21.
68
perkahwinan yang dicadangkan itu patut dan perlu, pendapatan pemohon pada
masa itu, butir-buti komitnennya dan kewajipan dan tanggungannya keuangannya
yang patut di tentukan, bilangan orang tanggungannya, termasuk orang-orang
yang akan menjadi orang tanggungannya berikutan dengan perkahwinan yang
dicadangkan itu, dan sama ada izin atau pandangan isteri atau isteri-isterinya yang
sedia ada telah diperoleh atau tidak terhadap perkahwinan yang dicadangkan
itu.”101
Subseksyen ini memberi gambaran sebenar di dalam boring permohonan
poligami, sesiapa sahaja yang membaut permohonan poligami mesti melengkapkan
boring tersebut dengan maklumat-maklumat yang dikehendaki sebagaimana yang
diperuntukkan dalam Seksyen 23(3) ini. Umpamannya di dalam boring
permohonan poligami di Wilayah Persekutan seseoang pemohon dkehendaki
memberi maklumat antara lainnya. Pertama, maklumat peribadi pemohon dan bakal
isteri yang akan dikawininya. Kedua, alasan-alasan mengapa perkawinan poligami
itu perlu. Ketiga, latar belakang keuangan suami. Keempat, tanggungan keuangan
yang diberikan kepada istri dan anak-anak yang sedia ada dan juga bakal istri.
Kelima, samada cadangan pernikahan poligami itu telah mendapat persetujuan
daripada istri yang sedia ada.102
Apabila Mahkamah Syariah menerima premohonan dari seseorang untuk
berpoligami, maka Mahkamah akan mengeluarkan surat saman kepada istri untuk
101 Ibid, hlm. 29. 102 Sarah Atikah Osman, Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Book Record
GB Sdn. Bhd. 2001), hlm. 54.
69
hadir ke Mahkamah mendengar permohonan tersebut. Ini diperuntukka dalam
Seksyen 23(4) Akta 1984:
“Apabila menerima permohonan itu, Mahkamah hendaklah memangil
permohon dan isteri atau isteri-isterinya yang sedia ada supaya hadir apabila
permohonan itu didengar, yang hendaklah dilakukan dalam Mahkamah tertutup..”
Ini bermakna sesiapa sahaja yang membuat permohonan poligami melalui
Mahkamah di negeri-negeri tersebut, dengan sendirinya istri atau istri-istri yang
sedia ada akan mengetahuinya apabila Mahkamah mengeluarkan surat saman
tersebut sekali pun tidak diberitahu hasrat suami itu terlebih dahulu. Surat saman
ini dikeluarkan oleh Mhakamh Syariah kepada istri sebagai langkah untuk
memaklumkan bahwa suaminya ingin berpoligami. Soal untuk mendapat
tandatangan sitri untuk berpoligami tidak disebut di daam boring permohonan
poligami dan juga tidak diperuntukkan di dalam Undang-Undang Keluarga Islam.
Sebaliknya apa yang perlu ialah pengakuan dari suami dibuat degan menyatakan
samada istrinya bersetuju ataupun tidak dengan permohonan tersebut. Apabila
segala-segalanya telah lengkap dan istri telah datang pada hari perbicaraan di dalam
Mahkamah tertutup, maka Mahkamah akan meluluskan permohonan sekiranya
pemohon dapat memenuhi syarat sebagaiman yang terdapat dalam Seksyen 23
(4)(a)(b)(c)(d)(e) yaitu :
a. Bahwa perkawinan yang dicadangkan itu adalah patut dan perlu,
memandangkan kepada antara lain hal-hal keadaan yang berikut, yaitu
kemandulan, keuzuran jasmani, tidak layak dari segi jasmani untuk
70
persetubuhan, sengaja ingkar mematuhi perintah untuk memulihkan hak-
hak persetubuhan atau gila di pihak pihak istri atau istri-istri yang sedia ada.
b. Bahwa pemohon mempunyai kemampuan yang membolehkan dia
menanggung, sebagaimana dikehendaki oleh Hukum Syara’, semua istri
dan orang-orang tanggungannya berikutan dengan perkawinan yang
dicadangkan itu.
c. Bahwa pmohon akan berupaya memberi layanan sama rata kepada semua
istrinya mengikut kehendak Hukum Syara’.
d. Bahwa perkawinan yang dicadangkan itu tidak akan menyebabkan darar
syarie kepada istri-istri yang sedia ada.
e. Bahwa perkawinan yang dicadangkan itu tidak akan merendahkan secara
langsung atau secara tidak langsung taraf kehidupanyang telah dinikmati
atau dijangka dengan munasabah akan dinikmati seterusnya oleh istri atau
istri-istri dan orang-orang tanggungannya yang sedia ada sekiranya
perkawinan itu tidak berlaku.103
Oleh karena itu, sekiranta Mahkamah berpuas hati bahwa seseorang
pemohon itu telah memenuhi syarat-syarat di dalam Seksyen 23(4), maka
Mahkamah akan meluluskan pemohonannya sekalipun istrinya tidak bersetuju
permohonan poligami suaminya itu sebaliknya Mahkamah juga akan tetap menolak
permohonan poligami sekiranya syarat-syarat dalam seksyen 23(4) tidak dapat
dipenuhi sekalipun istrinya bersetuju dengan rela hati. Ini menunjukkan bahwa
kebenaran dan kengganan istri untuk membenarkan poligami suaminya adalah tidak
103 Ibid, hlm. 62.
71
mengikut Mahkamah Syariah. Sebaliknya maklumat yang diberi oleh istri adlah
sebagai keterangan yang boleh digunakan oleh Mahkamah untuk membantu
Mahkamah membuat keputusan meluluskan atau menolak satu-satu permohonan
poligami.104
Kebanyakan negeri-negeri di Malaysia memperuntukkan bahwa penalti
yang dikenakan bagi kesalahan berpoligami diluar kebenaran Mahkamah Syariah
adalah denda tidak lebih daripada RM1000 atau penjara tidak lebih daripada 6
bukan atau kedua-duanya sekali. Bagaimana pun bagi negeri lain di Malaysia,
poligami di luar kebenaran Mahkamah Syariah hanya dikenakan penalty yang
paling rendah jika dibandingkan dengan negeri-negeri yang lain yaitu denda tidak
lebih dari RM300 atau penjara tidak lebih dari satu bulan atau kedua-duanya.
Begitu juga di negeri lain di Malaysia ada RM500 dan paling mahal dendanya
hingga RM3000 atau penjara tidak lebih dari 2 tahun atau kedua-duanya sekali.
Bagaimanapun tidak tinggal juga ada negeri di Malaysia tidak mengenakan
sebarang penalti bagi mereka yang berpoligami di luar kebenaran Mahkamah.
Poligami di luar Mahkamah akan mengkibatkan perkawinan tersebut tidak bias
didaftarkan. Seksyen 12 Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984 memperuntukkan bahwa :
“suatu perkahwinan yang bersalahan dengan Akta ini tidak boleh didaftarkan
di bawah Akta ini”. 105
104 Ibid, hlm. 64. 105 Maisarah Haji Kamil, Akta Undang-Undang Wilayah-Wilayah Persekutuan, (Kuala
Lumpur: Insan Gerhana Sdn Bhd, 1999), hlm. 77.
72
Memandangkan poligami di luar kebenaran Mahkamah adalah suatu
kesalahan matrimonial yang melanggar Seksyen 123 Akta 1984, maka sesiapa
sahaja yang berpoligami tanpa mendapat kebenaran Mahkamah terlebih dahulu,
maka perkawinannya tidak akan didaftarkan sekalipun perkawinan itu adalah sah
di sisi syarak. Kesannya ialah sebarang tuntutan seperti nafkah di bawah Undang-
Undang berkenan adalah tidak dibenarkan. Ini adalah karena, perkawinan tersebut
adalah tidak sah di sisi Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.106
106 Ibid, hlm. 81.
73
C. Pandangan Hukum Islam Mengenai Prosedur Poligami Tentang Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984.
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Dalam hukum Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan hanya sampai empat wanita. Walapun ada
yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih empat atau
bahkan lebih dari Sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan dalam
memahami dan menafsirkan ayat dalam QS. An-Nisa (4):3, sebagaimana
penetapan dasar hukum poligami. Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami adalah seorang laki-laki yang
menikahi lebih dari seorang wanita pada waktu yang sama, akan tetapi
hanya dibatasi sampai empat orang.107
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu
tetjun dalam suatu realitas, mendidik dan menjauhkan diri dari sikap teledor
dan bermalas-malasan. Begitulah yang disaksikan dengan jelas dalam
hubungannya dengan masalah poligami. Dengan menitikberatkan demi
kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat.
Kebanyakan umat dahulu dan agama sebelum Islam membolehkan kawin
tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh wanita, bahkan lebih tanpa
suatu syarat ikatan. Dengan datangnya Islam, poligami yang tanpa batas
107 A.Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm. 202.
74
kemudian dibatasi menjadi empat orang oranb istri saha pada waktu yang
bersamaan. Poligami ini dilaksanakan dengan pensyaratan khusus serta
jumlah ketentuan yang harus dilaksanakan. Poligami sendiri memiliki dasar
hkum baik dari hukum positif maupun hukum Islam.108
Terdapat ayat dalam al-Quran yang memberikan pilihan kepada
kaum laki-laki untuk menikahi anak yatim dengan rasa takut tidak berlaku
adil karena keyatimannya atau menikahi perempuan yang disenangi hingga
jumlahnya empat istri. Akan tetapi, jika dihantui oleh rasa takut tidak
berlaku adil, lebih baik menikah dengan seorang perempuan atau hamba
sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari berbuat aniaya.109
Yang menjadi sebab turunnya ayat ini adalah pada waktu itu ada
seorang lelaki yang menguasai anak yatim, yang kemudian dikawini. Dia
mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang
menjadi tanggungjawabnya ini.110 Oleh sebab itu, di dalam perkawinan dia
tidak memberi apa-apa dan menguasai seluruh hartta perserikatan itu,
sehingga wanita ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali terhadap harta
miliknya yang telah diserikatkan. Sehubungan dengan itu Allah SWT
menurunkan ayat ke 3 dalam surah an-Nisa sebagai teguran, saran dan
peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim. Nabi Muhammad
SAW bersabda :
Artinya : “sesungguhnya Nabi SAW, telah bersabda kepada
108 Candra Sabtia, Perkawinan dalam Islam : Monogami atau Poligami, (Yogyakarta: An
Naba, 2007), hlm, 55. 109 Ibid, hlm. 56 110 Ibid, hlm. 57.
75
Ghailan bin Umayyah al-Tsaqafi yang telah memeluk agama Islam dan
memiliki sepuluh istri” pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah yang
lainnya.”111 (H.R. Imam Malik)
Dalam kompilasi Hukum Islam, yang menjadi dasar di
perbolehkannya beristri lebih dari satu orang atau poligami terdapat pada
Pasal 55, yaitu beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanya sampai empat orang istri, syarat utama beristri lebih dari seorang,
suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya
dan apabila syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristri lebih dari seorang. Walapun dalam hukum Islam
memperbolehkan poligami, akan tetapi dalam hal suami ingin berpoligami
harus mempunyai alasan yang tepat.112
2. Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984
Dasar hukum poligami di Wilayah Persekutuan yang diatur dalam Akta
Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Pesekutuan 1984
menyatakan bahwa dasar hukum Islam yang digunakan di Wilayah Persekutan
tersebut berpandukan hukum syara’ dan menggunakan dasar yang sama dalam
dasar poligami di Malaysia. Dalam surat An-Nisa Ayat 3 telah menyatakan
tentang pensyariatan poligami yang menjadi sumber rujukn yang tetap dan
mengikut syara’ dalam poligami di Malaysia.113
111 Gusmian Islah, Mengapa Nabi Muhammad SAW. Berpoligami?, (Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2007), hlm. 102. 112 Effendi Satria, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencaha,2006), hlm. 77. 113 Dusuki bin Haji Ahmad, Poligami dalam Islam. (Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah
76
Pensyariatan yang menjadi dalil utama dalam keharusan berpoligami adalah
dalam firman Allah SWT dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 3 :
سطوافوإن تق لاأ تم تمخف فٱل نمٱنكحوا ٱلن ساءاطابلكمم مث ن
حد دلوافو تع لاأ تم خف فإن ثوربع نى وثل د
لكأ ي منكم ذ
أ ماملكت و
ةأ
أ لا
تعولواArtinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adi terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilaman kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepad
tidak berbuat aniaya.” (Q.S An-Nisa (4): 3)
Disini jelas menyatakan bahwa prosedur poligami di Wilayah
Persekutuan yang diatur dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam
Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984 berlandaskan Syara’. Oleh itu, oleh itu
setelah menganalisis bahwa prosedur poligami dalam akta tersebut amat
ketat dan Mempunyai syarat-syarat yang terperinci sebelum si suami ingin
berpoligami dan menyatakan bahwa setiap prosedur di setiap negeri telah
diaturkan oleh pihak yang berwajib yang mengubah perundangan negeri itu
sendiri.114
Islamiah Malaysia, 1978), hlm. 44.
114 Nik Noraini Nik Badli Shah, Perkahwinan Dan Penceraian D Bawah Undang-Undang Islam, (Kuala Lumpur: International Law Book Services, 2008), hlm. 31.
77
Hal ini menjadikan proses permohonan poligami menjadi sulit dan
menyulitkan bagi laki-laki yang mampu berpoligami jika mempunyai
prosedur yang ketat. Oleh itu, peningkatan penceraian akan meningkat
statistic poligami akan menurun bagi laki-laki yang berkemampuan untuk
menikah lebih dari satu kali. Dengan ini, kadar pengurangan poligami di
Wilayah Persekutuan bukan hakim yang menghalang untuk berpoligami
tetapi karena individu yang mau poligami kurang melengkapi syarat-syarat
yang di tetpakan dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-
Wilayah Persekutuan 1984.115
Bedasakan ketenuan diatas bahwa dapat dipahami tentan ketentuan
yang telah diatur dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-
Wilayah Persekutuan 1984 sesuai dengan prinsip-prinsip perkawinan. Di
Malaysia, Mahkamah Syariah mempunyai maslahah tertentu untuk
membolehkan poligami hanya dengan izin Mahkamah Syariah, yaitu
Mahkamah Syariah yang menentukan keadilan dan kemampuan seseorang
dalam memberikan nafkah. Dalam Fiqh dan Usul Fiqh, konsep maslahah
adalah suatu konsep yang sangat penting. Hal ini disebabkan keringanan
(rukhsah) berpoligami ini disalah gunakan khususnya oleh orang-orang
jahil. Tujuan utama diturunkan syariat adalah agar terwujudnya
kemaslahatan bagi manusia. Maslahah mursalah menurut istilah adalah
suatu kemaslahatan mengenai hukum syara yang tidak disyariatkan oleh
syara yang mewujudkan hukum dan juga tidak mempunyai dalil-dalil syara
115 Ibid, hlm. 39.
78
yang menunjukkan ada atau tiada hukum tertentu.116 Sabda Nabi
Muhammad SAW: “tidak mudharat dan tidak memudharatkan.”117
Ulama berpendapat bahwa Maslahah mursalah boleh dijadikan
sumber hukum setelah menliti berbagai aspek dan mereka sangat berhati-
hati, bukan berdasarkan nafsu atau sangkaan semata-mata. Mereka
menetapkan syarat-syarat tertentu dalam menetapkan dasar hukum maslaha
mursalah. Syarat berhujah dengan mengikut pendapat ulama adalah.
a. Kemaslahatan hendaklah jelas dan pasti bukan berdasarkan faham
atau sangkaan semata-mata.
b. Segala kemaslahatan dalam penetapan hukum mestilah benar-benar
bertujuan untuk memberi manfaat serta menolak kemudaratan.
c. Kemaslahatan hendaklah bersifat umum, bukan untuk kepentingan
peribadi. Yaitu untuk manfaat manusia sejagat atau menolak
kemudaratan terhadap mereka, bukannya segelintir manusia sahaja.
d. Segala hukum yang ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tidak
boleh bertentangan dengan hukum dan prinsip yang telah ditetapkan
oleh nash serta ijma’ Ulama.
e. Mashlahat itu sampai ke peringkat maslahat dharuniyyah yang lima
dan mengikut susunannya, yaitu : menjaga agama, jiwa, keturunan,
akal dan harta.118
116 Zaini Nasohah, Poligam: Hak Keistimewaan Menurut Syariat Islam, (Kuala Lumpur:
Utusan Publication &Distributors Sdn Bhd, 2000), hlm. 67. 117 Ibid, hlm. 68. 118 Jamilah Muhammad, Analisis Poligami Menurut Perspektif Islam, (Kuala Lumpur:
79
Oleh itu, setelah meneliti bahwa di dalam Akta Undang-Undang
Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984 telah menggunakan
pendekatan dalam Fiqh/Usul Fiqh yaitu maslahah mursalah dalam prosedur
poligami bagi menjaga kemaslahatan yang ingin berpoligami tanpa
melanggar hukum syara’ yang telah di tetapkan di dalam Al-Quran.
Prosedur polgami yang ketat di Wilayah Persekutuan yang di atur dalam
Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984
adalah untuk menjaga kemaslahatan wanita yang akan dipoligami oleh
seorang suami.119
Firman Allah dalam al-Quran yaitu Surah An-Nisa ayat 3 yang
menjadi dasar rujukan diperbolehkan melakukan poligami menuai
pendapat, Ulama yang pada umumnya memperbolehkan melakukan praktik
poligami tidaklah cenderung memudah-mudahkan, kebolehan tersebut
mempunyai syarat yang sangat ketat. Sedangkan yang cenderung melarang
praktik poligami berasal dari Ulama-Ulama Kontemporer. Menurut mereka
dalam Islam sesungguhnya memganut prinsip monogamy dan melarang
keras terjadinya poligami karena bersumber dari kebiasaan bangsa arab pra-
Islam yang memberikan status dan kedudukan lebih dominan kepada laki-
laki
Berikut perkataan ulama tafsir tentang tafsir ayat tersebut antara
Angkatan Belia Islam Malaysia, 1977), hlm. 85.
119 Muhammad al-Mansur, Hukum Hakam Perkahwinan, (Johor Bharu: Perniagaan Jahabersa, 1998), hlm. 91.
80
lainya ialah Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat tersebut mengutip
perkataan Imam Syafie yaitu “Sunnah Rasullah SAW yang menjadi
penjelasan bagi firman Allah sesungguhnya menunjukka kepada tidak boleh
bagi seseorang selain Rasullah SAW menghimpun istri-istri lebih banyak
dari empat orang”. Selanjutnya Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Syafie ini
merupakan Jimak para Ulama kecuali pendapat yang diceritakan dari
suatu kelompok Syiah yang membolehkan menghimpun istri-istri lebih
banyak dari empat sampai dengan Sembilan orang”. Ayat tersebut
bermakna bahwa apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap
perempuan yatim jika kamu mengawininya, maka kawinilah wanita
merdeka satu sampai empat, atau budak-budak perempuan yang kamu
miliki. Di dalam tafsir Jalalain dikatakan: “Kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil diantara istri-istrimu dalam hal cinta walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung
dalam semua kecenderungan kepada istri yang kamu cintai dalam hal
pembagian malam dan nafkah”.120
120 Muhammad Yahya, Poligami Dalam Prespektif Nabi. SAW, (Makassar: Kenchana
Group, 2002), hlm 66
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari Prosedur poligami Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 di Negara Indonesia dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 di Malaysia memiliki persamaan dan
perbedaan. Negara Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yang terpakai di Indonesia dan Malaysia Seksyen 24(4) Akta Undang-Undang
Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984 menyatakan bahwa “Apabila
menerima permohonan poligami, maka Mahkamah haruslah memanggil pemohon
dan istri dan wali kepada bakal istri”. Demikian itu, negara Indonesia khusus
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengenakan apa-apa sanksi
terhadap poligami yang berlaku tanpa kebenaran Pengadilan Agama dan Malayasia
Khusus Akta Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan yang paling
diutamakan hal ini ditujukan agar seseorang ingin berpoligami tidak melakukan
perkawinan di luar Mahkamah Syariah dan jika seseorang melanggarnya akan
dikenakan denda dibawah Seksyen 124 denda sebanyak RM1000 atau penjara
selama 6 bulan. Dalam tinjaun hukum Islam terhadap kedua-dua negara ini alam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam
(Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 dinyatakan bahwa dasar hukum Islam yang
digunakan dalam prosedur poligami di kedua-dua negara ini adalah mengikut
pensyariatan yang telah ditetapkan didalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 3 tentang
keadilan dalam berpoligami. Demikian itu bahwa Indonesia dan Malaysia
81
menggunakan atau mempraktek prosedur poligami tersendiri yang telah diatur.
B. Saran-Saran
Dari setiap pembahasan dan kesimpulan yang telah dijelaskan oleh penulis,
maka dapatlah penulis memberi beberapa saran-saran yang biasa dikemukakan,
yaitu :
1. Dari penelitian ini penulis berharap kepada pemerintahan tentunya
Indonesia dapat memberikan pembaharuan hukum dan pertimbangan
hukum dalam perkawinan yang menyimpang dan memberikan mudharat.
Melihat hukum harus sesuai dengan keadaan zaman. Terutama di Indonesia
melihat aturan mengenai sanksi poligami sangat kecil dan sebagai
perbandingannya Malaysia yang menerapkan sanksi yang besar.
Diharapkan para pembuat hukum atau aturan bias mengevaluasi aturan
poligami sanksi yang ada di Indonesia.
2. Bagi mencegah atau meminimalkan terjadi poligami tanpa izin Peradilan
khusus di Negara Indonesia dan Malaysia, diharapkan semua pihak
pemerintah maupun masyarakat termasuk lembaga-lembaga social
keagamaan. Untuk sentiasa berperan aktif dalam memberi bimbingan dan
penuluhan kepada masyarakat. Supaya masyarakat sedar hikmat
berpoligami dan suami berlaku adil terhadap istri-istrinya dari segi zahir dan
batin
3. Sebagai individu, seharusnya kita peka dengan hukum yang menetapkan
oleh Negara khususnya bab berpoligami karena Negara menetapkan sesuatu
hukum untuk memudahkan urusan individu yang berpoligami dan
82
memastikan hak pihak-pihak yang terlibat dalam urusan tersebut terjamin
dan tidak di aniaya.
83
C. Kata Penutup
Alhamdulillah puji syukur ke hadrat Allah SWT atas limpahan kurnia dan
inayah-nya serta selawat dan salam atas junjungan bessar Nabi Muhammad SAW
dengan izin-Nya, akhirnya penulis dapat menyiapkan skripsi yang berjudul
“Prosedur Poligami di Indonesia dan Malaysia Studi komparatif Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah
Persekutuan) 1984” dengan jayanya. Selesainya skripsi ini, tidak bermakna penulis
berasa sempurna daripada apa yang diperolehi. Tetapi penulis merasakan masih
banyak kekurangan dari segi penulisan maupun tatacara penulisannya.
Akhirnya, susah payah penulis terbayar dengan selesainya skripsi ini.
Walaupun melalui berbagai onak dan duri, namun tidak mematahkan semangat
penulis malah menjadikan pengalaman yang amat berharga dan akan menjadi
kenag-kenangan yang indah. Penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung karena banyak
membantu penulis dalam pelaksanaan skripsi ini. Hanya Allah yang dapat
membalas jasa dan budi baik kalian.
Di samping itu, penulis berharap usaha ini dapat menjadi amalan yang
bermanfaat kepada penulis dan pembaca juga kepada perkembangan ilmu Islam dan
dapat menjadi satu bahan fikir bersama. Oleh karena itu, penulis rendah diri
memohon maaf jika terdapat kekurangan dalam skripsi atau menyinggung pihak-
pihak tertentu. Moga kita semua memproleh hidayah, keredhaan dan keberkatan
Allah SWT. Amin.
84
DAFTAR PUSAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Terj. Abdul hayyie al-
Katani
(Gema Insani, 2007).
Karam Hilmi Farhat, 2007.”Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani
Dan Yahudi”. (Jakarta: Darul Haq, 2012).
AbdurRahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Cet 1, (Jakarta : PT
Rineka CIpta,1992).
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, Cet 1, (Bandung : Pustaka
Setia, 2011).
Jasim Muhammad Ai-Yasin, Fiqh Wanita, Penerjemah Kaserun AS Rahman,
(Jakarta : PT Serambi Semesta Distribusi, 2017).
Hasan Aedy, Antara Poligami Syariah Dan Perjuangan Kaum Perempuan,
(Bandung
Alfabeta, 2007).
Azni, Poligami Dalam Hukum Islam Di Indonesia dan Malaysia, (PekanBaru :
Suska ``` Press, 2015).
Hasan Aedy, Antara Poligami Syariah Dan Perjuangan Kaum Perempuan,
(Bandung :
Alfabeta, 2007), hlm.
Drs. H. Taufiq Hamami, SH, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan
Kehakiman
Di Indonesia (Pasca Amandemen Tiga UUD 1945), (Jakarta : PT Tatanusa,
2013).
Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan Tentang Hukum Islam DI
Indonesia, Cet 1,
(Jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013).
Ahmad Rafiq, hukum Islam DI Indonesia, Cet 4, (Jakarta, PT RajaGrafinfo
Persada, 2000).
Tahir Mahmud, Family Law Reform in the Muslim World, (New Delhi : N.M
TRIPATHI,
1974).
Sjam Alam, Usia Perkahwinan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Dan
Konturbusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkahwinan Indonesia, (Universitas
Gajah Muda, 2011). Hlm. 147
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkahwinan di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
Maria Ulfah subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang
Perkahwinan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981)
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan
Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992)
Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkahwinan Islam
dalam Hukum Nasional,
R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundangan-Undangan
Perkahwinan Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988), hlm. 18
Muhammad Kamal Hasan, Moderniasi Indonesia Respon Cendiawan
Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987)
Muhammad Amin Suna, Hukum Keluarga Islam di Dunia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004)
Monir Yaacob, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur, Malaysia: Institut
Kefahaman Islam Malaysia, 2001)
Ahamd Hidayat Buang, Undang-Undang Islam di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2007)
Ahmad Ibrahim, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia (Kuala
Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1997)
Mohamed Suffian, Pengenalan Sistem Undang-Undang Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)
Noor Aziah Mohd Awal, Pengenalan kepada Sistem Perundangan di
Malaysia, (Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1998)
Mahamad Ariffin, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007)
Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia
(Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia, 1997)
ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010)
d al-MansuNurhayati Zein, Fiqh Munakahat, (Kota Pekan Baru: Mutiara
Pesisir Sumatra, 2015)
Kathur Suhardi, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002)
Rodli Makmun, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponoroga:
Stain Ponorogo Press, 2009)
Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, (Yogyakarta: Al-Kautsar. 1990)
Mulati, Hukum Islam Tentang Perkahwinan dan Waris, (Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanagara, 2005)
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996)
Chadidjah Nasution, Wanita Dalam AL-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984)
Jasim Muhammad Ai-Yasin, Fiqh Wanita, Cet 1, (Jakarta: PT Serambi
Semesta Distribusi, 2017)
Muhammad bin Musafir al-Thawil, Ta’adud al-Zaujat fi al-Islam,
(Iskandariyah: Dar al-Iman tt)
Murtadha Mutahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: PT. Lentera
Baseitama, 2000)
Depag RI, al-Quran Dan Terjemahnya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara,
1993)
M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I,
2008)
Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani,
2007). Cet 10, JIlid 9
Muhammad Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damsyiq: Dar
al-Qalam, 2000)
Ahmad Fedyani Saifuddin, Poligini Dalam Perspektif Sosial Budaya,
(Jakarta: Forest Book, 2002)
Muhammad bin Abi Sahal al-Sarakhsiy, Al-Mabsuth, (Bairut: Dar al-
Ma’rifah, 1406 H), Jilid 5
Amir Syariffudin, Hukum Perkahwinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006)
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2000), Cet 4
Muhammad Bin Surah Bin Dhohak Tirmizi, Sunan Tirmizi, (Beirut: Darul
Ro’bi, 1998) Alamiyyah, 2009 M), Juz 3
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: kajian NIkah Lengkap,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010)
Kathur Suhardi, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia. (Jakarta: Pustaka
Azzan, 2002)
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, ( tt: Darul Ihyad Al-Qutub Al-Arabiyah,
tt), Juz 1
Depag RI, al_quran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Suria Cipta Aksara,
1993)
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ichtiar
Baru,1976) Cet XI
Abdurrahmab, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik
Pressindo, 1992), hlm
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), hlm.
Ali Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqq
Munakahat dan Undang-Undang Perkahwinan, (Jakarta: Kencana, 2007)
Suma Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers.
2008)
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000)
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Akta Undang-Undang Keluarga
Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984 (AKTA 303), (Kuala Lumpur:
International Law Book Service, 2000)
Saleh K Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru,
1976)
Syahar Saidus, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya
Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1985)
Badri R, Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan & KUHP,
(Surabaya: CV Amin, 1985
Madya Dr. Raihanah Abdullah, Poligami Penjelasan Berdasarkan
Perspektif Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia, (Putrajaya: Jabatan
Kemajuan Islam Malaysia, 2014)
Sarah Atikah Osman, Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur:
Book Record GB Sdn. Bhd. 2001)
Maisarah Haji Kamil, Akta Undang-Undang Wilayah-Wilayah
Persekutuan, (Kuala Lumpur: Insan Gerhana Sdn Bhd, 1999)
A.Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Quran, (Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2002)
Candra Sabtia, Perkawinan dalam Islam : Monogami atau Poligami,
(Yogyakarta: An Naba, 2007)
Gusmian Islah, Mengapa Nabi Muhammad SAW. Berpoligami?,
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007
Effendi Satria, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencaha,2006)
Dusuki bin Haji Ahmad, Poligami dalam Islam. (Kuala Lumpur: Yayasan
Dakwah Islamiah Malaysia, 1978)
Nik Noraini Nik Badli Shah, Perkahwinan Dan Penceraian D Bawah
Undang-Undang Islam, (Kuala Lumpur: International Law Book Services, 2008)
Zaini Nasohah, Poligam: Hak Keistimewaan Menurut Syariat Islam, (Kuala
Lumpur: Utusan Publication &Distributors Sdn Bhd, 2000)
Jamilah Muhammad, Analisis Poligami Menurut Perspektif Islam, (Kuala
Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia, 1977)
Muhammar, Hukum Hakam Perkahwinan, (Johor Bharu: Perniagaan
Jahabersa, 1998)
CURRICULUM VITAE
Nama : Raja Hasif Aslam Bin Raja Badrul Hizam
NIM : SPM 103180009
Fakultas : Syariah
Jurusan : Perbandingan Mazhab
Tempat/Tanggal lahir : Selangor , Malaysia / 04 September 1994
Alamat Asal : No. 4 Tingkat 1 Block Mawar Bandar Baru Klang
41150, klang Selangor.
Alamat Sekarang : Mess Pelajar Malaysia, No. 44, RT 24, RW 08,
Jalan Melur 2, Kelurahan Simpang IV Sipin,
Telanaipura, 36124, Jambi, Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan :
No Jenis Pendidikan Tempat Tahun Tamat
1
2
3
4
Sekolah Rendah SK 2 Jalan
Batu Tiga
Maahad Tahfiz Al-Quran Wal
Qiraat Addin
Kolej Islam As Sofa
UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Selangor, Malaysia
Perak, Malaysia
Selangor, Malaysia
Jambi, Indonesia
2007
2011
2018
2020
top related