program studi s-1 keperawatan stikes...
Post on 06-Feb-2018
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
HUBUNGAN PAPARAN POLUTAN DEBU DENGAN KEJADIAN ISPA
PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
MOJOLABAN SUKOHARJO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh :
Priyono
NIM.ST13055
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah serta
karuniaNya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan
Paparan Polutan Debu dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari tanpa
adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna penyelesaian skripsi ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si. selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns., M.Kep., selaku Kepala Program Studi S-1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan
banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Happy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Pembimbing Utama yang
telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Aries Cholifah, S.Kep., Ns., M.Kes,. selaku Pembimbing Pendamping yang
telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. S. Dwi Sulisetyawati, S Kep., Ns., M.Kep., selaku Penguji yang telah
memberikan koreksi dan perbaikan terhadap penyusunan skripsi ini.
6. Dr Gunawan, selaku Kepala Puskesmas Mojolaban Sukoharjo yang telah
memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
v
7. Dr Warseno Ismunandar, MM, selaku Kepala UPT Rawat Inap Purwantoro
yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah membantu penulis.
9. Seluruh Responden yang telah bersedia untuk diteliti.
10. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam penyusunan
skripsi ini.
11. Anik Hastari, S Kep., Istri tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan dan
kesempatan dalam penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman Puskesmas Rawat Inap Purwantoro yang telah memberikan
kesempatan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, untuk
itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta, 10 Agustus 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN............................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
DAFTAR ISI............................................................................................... vi
DAFTAR TABEL....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xi
ABSTRAK .................................................................................................. xii
ABSTRACT................................................................................................ .. xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1.Latar Belakang Masalah...................................................... 1
1.2.Perumusan Masalah ............................................................ 3
1.3.Tujuan Penelitian ................................................................ 3
1.4.Manfaat Penelitian .............................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 6
2.1.Tinjauan Teori ..................................................................... 6
2.1.1. Balita ....................................................................... 6
2.1.2. Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) .............. 7
2.1.3. Paparan Polutan Debu ............................................. 20
vii
2.1.4. Pencemaran Udara .................................................. 28
2.2.Keaslian Penelitian.............................................................. 30
2.3.Kerangka Teori.................................................................... 32
2.4.Kerangka Konsep ................................................................ 32
2.5.Hipotesis.............................................................................. 33
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................... 34
3.1.Jenis dan Rancangan Penelitian .......................................... 34
3.2.Populasi dan Sampel ........................................................... 35
3.3.Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 37
3.4.Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran ...... 37
3.5.Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ...................... 39
3.6.Teknik Pengolahan dan Analisa Data ................................. 41
3.7.Etika Penelitian ................................................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN............................................................... 45
4.1.Analisis Univariat................................................................ 45
4.2.Analisis Bivariat.................................................................. 47
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................... 49
5.1.Paparan Polutan Debu di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo .......................................................... 49
5.2.Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo .......................................................... 50
5.3.Hubungan Antara Paparan Polutan Debu dengan Kejadian
ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo . 52
viii
BAB VI PENUTUP................................................................................. 55
6.1.Kesimpulan ......................................................................... 55
6.2.Saran.................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Gangguan
Pada Manusia ...................................................................... 23
Tabel 2.2 Keaslian Penelitian.............................................................. 30
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ........ 38
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Distribusi Jenis Kelamin Balita ............. 45
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Statistik Deskriptif Umur Balita............ 45
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Distribusi Status Gizi Balita .................. 46
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Distribusi Paparan Polutan Debu .......... 46
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Distribusi Kejadian ISPA pada Balita ... 47
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Korelasi Lambda....................................... 48
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori.................................................................... 32
Gambar 2.2 Kerangka Konsep ................................................................ 33
Gambar 3.1 Kerangka Rancangan Penelitian ......................................... 35
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Permohonan Studi Pendahuluan Penelitian
Lampiran 2 Pengantar Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 3 Surat Rekomendasi Studi Pendahuluan
Lampiran 4 Surat Rekomendasi Ijin Penelitian
Lampiran 5 Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 6 Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 7 Lembar Kuesioner dan Wawancara
Lampiran 8 Data Penelitian
Lampiran 9 Lembar Konsultasi
Lampiran 10 POA Penyusunan Skripsi
xii
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATANSTIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
Priyono
Hubungan Paparan Polutan Debu Dengan Kejadian ISPA Pada Balitadi Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
Abstrak
ISPA dipengaruhi oleh tiga hal yaitu adanya kuman, keadaan daya tahantubuh, dan lingkungan. Faktor resiko yang secara umum dapat menyebabkanISPA adalah keadaan sosial ekonomi menurun, pencemaran udara dan asap rokok(DepKes, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antarapaparan polutan debu dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerjaPuskesmas Mojolaban Sukoharjo.
Rancangan penelitian cross sectional. Teknik sampling ConsecutiveSampling. Sampel penelitian sebanyak 100 Balita. Variabel yang diamati paparanpolutan debu dan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja PuskesmasMojolaban Sukoharjo. Penelitian menggunakan uji statistik Korelasi Lambda.
Terdapat hubungan yang kuat dan positif antara paparan polutan debu dankejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjodengan nilai korelasi sebesar 0,680 dengan nilai p-value sebesar 0,000. Nilai p-value < 0,05 (signifikansi 5%). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin dekatjarak paparan polutan debu dengan tempat tinggal dapat meningkatkan kejadianISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
Rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbanganbagi Puskesmas Mojolaban Sukoharjo untuk meningkatkan supervisi danpembinaan pada masyarakat. Upaya promosi kesehatan diharapkan dapatmeningkatkan kualitas program Pengendalian Penyakit Menular dan programKesehatan Lingkungan.
Kata Kunci : ISPA, Paparan Polutan Debu, BalitaDaftar pustaka : 47 (1992-2014)
xiii
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCEKUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Priyono
Correlation between Dust Pollutant Exposure and Acute Respiratory TractInfection on the Toddlers at the Working Region of Community Health
Center of Mojolaban, Sukoharjo
Abstract
Acute respiratory tract infection (ARTI) is influenced by germs, bodyendurance, and environment. According to Department of Health (DepKes 2002),the common risk factors of the ARTI are the decrease of social economiccondition, air pollution and cigarette smoke. The objective of the research is toinvestigate the correlation between the dust pollutant exposure and the ARTI onthe toddlers at the working region of Community Health Center of Mojolaban,Sukoharjo.
The research used the cross sectional design. The samples of research were100 toddlers. They were taken by using the consecutive sampling technique. Thedata of research were statistically analyzed by using the Lamda’s correlation test.
The result of research shows that there was a strong and positivecorrelation between the dust pollutant exposure and the ARTI on the toddlers atthe working region of Community Health Center of Mojolaban, Sukoharjo asindicated by the correlation value of 0.680 with the p-value of 0.000, which wasless than 0.05 (significance level of 5%), meaning that the closer the house to thedust pollutant exposure was, the higher the risk of the toddlers to suffer from theARTI was.
Thus, Community Health Center of Mojolaban, Sukoharjo was expected toimprove the supervision and development on the community through medicalpromotion, which is expected to improve the quality of Transmittable DiseaseControl Program and environmental Health Program
Keywords : ARTI, dust pollutant exposure, toddlersReferences : 47 (1992-2014)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang
disebabkan oleh virus, bakteri, dan atipikal (mikroplasma) pada semua bagian
saluran pernafasan (Wong, 2004). ISPA dapat terjadi baik pada saluran bagian
atas maupun bawah. Apabila terjadi pada saluran pernafasan bagian atas dapat
menyebabkan kecacatan dan apabila terjadi pada saluran pernafasan bagian
bawah dapat menyebabkan kematian (Widjaja, 2003).
Terjadinya ISPA dipengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu
adanya kuman (terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia), keadaan
daya tahan tubuh (status nutrisi dan imunisasi), dan lingkungan (rumah kurang
ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni). Selain itu, faktor resiko
yang secara umum dapat menyebabkan ISPA adalah keadaan sosial ekonomi
menurun, pencemaran udara, dan asap rokok (DepKes, 2002).
Pencemaran udara adalah masuknya/tercampurnya partikulat
berbahaya kedalam atmosfer yang dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan, gangguan kesehatan secara umum, serta menurunnya kualitas
lingkungan (Budiman, 2006). Partikulat adalah zat padat/cair yang halus dan
tersuspensi di udara, misal embun, debu, asap, fumes, dan fog. Debu adalah zat
berukuran 0,1 – 25 mikron. Menurut WHO (2010) besarnya partikel debu
yang dapat masuk dalam saluran napas adalah berukuran 0,1 – 10 mikron.
2
Saat ini ISPA menjadi masalah kesehatan dunia. Berdasarkan WHO
(2007) ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit
menular di dunia. Hampir 4 juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan usia lanjut,
terutama di negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah.
ISPA menjadi penyebab kematian kedua di Indonesia setelah diare
(Said, 2010). Berdasarkan Riskesdas (2013) period prevalence ISPA di
Indonesia tahun 2013 adalah 25%, sedangkan karakteristik penduduk dengan
ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1 s.d 4 tahun yaitu 25,8%.
Insiden di Puskesmas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo berdasarkan
data kunjungan pasien yang disimpan oleh pemegang program pengendalian
penyakit menular terdapat 4272 pasien ISPA dari usia 2 bulan sampai dengan
5 tahun, terhitung mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Desember 2013.
Sedangkan jumlah balita secara keseluruhan sampai dengan bulan Desember
2013 adalah 7084 balita, hal tersebut menunjukkan bahwa 60,3% balita pernah
menderita penyakit ISPA.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap penduduk
sekitar Puskesmas Mojolaban didapatkan data mata pencaharian penduduk
mayoritas memiliki industri rumah tangga pembuatan genting dan batu bata
sehingga lingkungan sangat berdebu. Dalam proses pembuatan genting dan
batu bata dihasilkan banyak debu. Debu berasal dari abu sekam yang
ditaburkan sebagai bahan campuran tanah, gumpalan tanah yang dihaluskan,
sisa-sisa tanah yang mengering, dan pecahan genting dan batu bata yang
3
dihancurkan lagi untuk diproses ulang. Penyebaran debu semakin bertambah
luas bila ada angin dan kendaraan bermotor yang lewat.
Upaya Puskesmas Mojolaban Sukoharjo dalam mengatasi
permasalahan paparan polutan debu melalui program Promosi Kesehatan,
Pengendalian Penyakit Menular, dan Kesehatan Lingkungan. Program
Promosi Kesehatan dilakukan dengan penyuluhan tentang kesehatan kerja dan
pembentukan pos Usaha Kesehatan Kerja, Program Pengendalian Penyakit
menular dilakukan dengan penyuluhan tentang dampak dan bahaya ISPA,
sedangkan Program Kesehatan Lingkungan dilakukan dengan penyuluhan
tentang pembuatan pabrik genting yang sehat dan sesui dengan amdal.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan data yang telah diuraikan pada latar belakang, maka
perumusan masalahnya adalah “Apakah ada hubungan antara paparan polutan
debu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo?“.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui
hubungan antara paparan polutan debu dengan kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
4
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan paparan polutan debu di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
2. Mengetahui kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
3. Menganalisa hubungan antara paparan polutan debu dengan
kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
Sebagai bahan masukan untuk menyusun rencana kerja
tahunan dengan melibatkan lintas program yaitu program
Pengendalian Penyakit Menular, program Kesehatan Lingkungan,
dan program Promosi Kesehatan.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Menambah khazanah ilmu pengetahuan khusunya tentang
ISPA agar tidak berlanjut menjadi berat, misalnya pneumonia.
1.4.3 Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan referensi untuk mengadakan penelitian
lainnya yang berkaitan dengan paparan polutan debu dan ISPA.
5
1.4.4 Bagi Peneliti
Menambah wawasan mengenai hubungan paparan polutan
debu dengan kejadian ISPA pada balita.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Balita
Balita merupakan individu yang berumur 0-5 tahun, dengan
tingkat plastisitas otak yang masih sangat tinggi sehingga akan lebih
terbuka untuk proses pembelajaran dan pengayaan (Departemen
Kesehatan RI, 2009). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), Balita
adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak
prasekolah (3-5 tahun). Anak balita adalah anak yang telah menginjak
usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak
di bawah lima tahun (Muaris, 2009). Masa balita merupakan periode
penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan
pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan
dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh
kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan
tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau
masa keemasan. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun
yang dikenal dengan batita merupakan konsumen pasif dan anak usia
prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Muaris, 2009).
6
7
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan
dalam proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan
terhadap balita antara lain pemeriksaan perkembangan dan
pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan,
pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi, dan
pendidikan kesehatan pada orang tua (DepKes RI, 2011).
2.1.2 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
2.1.2.1 Pengertian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah proses
inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan atipikal
(mikroplasma) pada semua bagian saluran pernafasan (Wong,
2004). Infeksi Saluran Pernafasan Akut dapat terjadi baik pada
saluran bagian atas maupun bawah. Apabila terjadi pada saluran
pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keacatan dan apabila
terjadi pada saluran pernafasan bagian bawah dapat menyebabkan
kematian (Widjaja, 2003).
2.1.2.2 Klasikasi Penyakit ISPA
1. ISPA Bagian Atas
Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang
tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan
tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah
ke arah dalam. Contohnya adalah common cold, faringitis,
8
tonsilitis, dan otitis (Widoyono, 2008). Kondisi ini ditandai
oleh inflamasi akut yang menyerang baik hidung, paranasal,
tenggorok, atau laring. ISPA bagian atas mempunyai
kecenderungan meluas hingga trachea dan bronchi, bahkan
dapat diperburuk dengan kondisi pneumonia (Asih, 2004).
2. ISPA Bagian Bawah
Proses infeksi pada ISPA bagian bawah dapat
disebabkan oleh segala patogen yang menyerang saluran
pernafasan atas. Dan sering terjadi akibat perluasan infeksi
ISPA bagian atas dan umumnya berkaitan dengan pneumonia
dan tubercolusis. Pneumonia adalah inflamasi akut jaringan
paru-paru yang diakibatkan oleh patogen infeksius dan
merupakan infeksi yang mengancam jiwa (Asih, 2004)
2.1.2.3 Bahaya ISPA Bagi Anak-anak
ISPA menjadi penyebab kematian kedua di Indonesia.
ISPA mempunyai konstribusi 28% sebagai peyebab kematian pada
bayi < 1 tahun dan 23 % pada anak balita (1 - < 5 tahun) dimana
80% - 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh
pneumonia. ISPA sebagai penyebab utama kematian yang akut dan
kualitas penatalaksanaannya belum memadai (Said, 2010).
Oleh karena itu jika anak menderita batuk dan pilek maka
sebaiknya diberi pengobatan dan perawatan yang tepat. Terkadang
ISPA tidak mengakibatkan kematian tetapi kecacatan tertentu,
9
misalnya pada ISPA ringan dengan gejala batuk dan pilek biasa
jika dibiarkan akan dapat menjalar ke rongga telinga tengah,
akibatnya terjadi infeksi dengan muncul pus yang mendesak
selaput gendang pendengaran hingga pecah dan anak mungkin
menjadi tuli.
2.1.2.4 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya ISPA bagian bawah diantaranya
yaitu: (Said, 2010)
1. Kemiskinan yang luas
Kemiskinan yang luas berdampak besar dan
menyebabkan derajat kesehatan rendah dan status sosio-ekologi
menjadi buruk.
2. Derajat kesehatan rendah
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit
infeksi mudah ditemukan. Banyaknya kormobid lain seperti
malaria, campak, gizi kurang, defisiensi vit A, defisiensi seng
(Zn), tingginya prevalensi kolonisasi patogen di nasofaring,
tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak diberikan
ASI, dan imunisasi yang tidak adekuat memperburuk derajat
kesehatan.
3. Status sosio-ekologi buruk
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan
buruknya lingkungan, daerah pemukiman kumuh dan padat,
10
polusi dalam ruang akibat penggunaan biomass (bahan bakar
rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi luar ruang.
Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan ibu yang kurang
memadai serta adanya adat kebiasaan dan kepercayaan lokal
yang salah.
4. Pembiayaan kesehatan sangat kecil
Pembiayaan kesehatan yang tidak cukup menyebabkan
fasilitas kesehatan seperti infrastruktur kesehatan untuk
diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai,
tenaga kesehatan yang terampil terbatas, dan akses ke fasilitas
kesehatan sangat kurang.
5. Proporsi populasi anak lebih besar
Besarnya proporsi populasi anak akan menambah
tekanan pada pengendalian dan pencegahan pneumonia
terutama pada aspek pembiayaan.
Faktor-faktor di atas tidak berdiri sendiri melainkan berupa
sebab akibat, saling terkait dan saling mempengaruhi yang terkait
sebagai faktor resiko pneumonia pada anak.
2.1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA
ISPA sering terjadi pada bayi dan anak, yang dipengaruhi
oleh (Said, 2010):
11
1. Adanya kuman penyebab
Bakteriologik pneumonia anak-balita adalah
Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50% kasus) dan
Hemophilus influenzae type b/Hib (10-30% kasus). Pada
neonatus pneumonia sering disebabkan oleh bakteri Gram
negatif (Klebsiella spp dan E coli) dan bakteri Gram positif (S
pneumoniae, grup b streptococcus, dan S aureus).
2. Keadaan daya tahan tubuh anak
Daya tahan tubuh merupakan kemampuan tubuh untuk
mencegah masuk dan berkembangnya kuma-kuman di dalam
tubuh, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Keadaan gizi
Keadaan gizi sangat berpengaruh pada daya tahan
tubuh. Bila anak gizinya kurang atau buruk (badannya
kurus) maka lebih mudah terjangkit penyakit menular atau
penyakit infeksi karena bahan untuk pertahanan tubuh tidak
akan mencukupi. Sedangkan zat yang penting untuk
pertahanan tubuh yaitu protein. Pada bayi yang mendapat
ASI biasanya lebih tahan terhadap ISPA, keadaan ini
diperkirakan karena dalam ASI terdapat zat antibodi.
b. Keadaan kekebalan
Kekebalan pada bayi dapat ditimbulkan dengan
memberikan imunisasi terhadap penyakit tertentu.
12
Imunisasi atau vaksinasi adalah suatu tindakan
memasukkan sesuatu zat yang merangsang pembentukan
zat anti atau memasukkan kuman yang sudah dilemahkan
ke dalam tubuh anak (dapat dengan pemberian cairan
melalui mulut atau suntikan). Dengan demikian tubuh akan
membuat zat anti sehingga tubuh akan kebal terhadap
penyakit tertentu atau jika sakit tidak terlalu parah.
3. Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit termasuk ISPA. Keadaan lingkungannya tidak sehat
khususnya pada perumahan, lingkungan yang kotor dan padat,
banyak debu, ventilasi rumah kurang, dan rumah yang lembab
akan memudahkan terjangkitnya berbagai penyakit.
2.1.2.6 Penatalaksanaan Keperawatan
1. ISPA Bagian Atas
ISPA bagian atas hanya sakit ringan yang dapat
ditangani pada unit rawat jalan (kecuali jika penyakit menjadi
lebih parah). Penatalaksanaan keperawatan untuk kondisi
seperti ini lebih ditekankan pada penyuluhan kesehatan, dengan
berpedoman pada (Asih, 2004):
a. Istirahat yang cukup.
b. Minum sedikitnya 2-3 liter (kecuali ada kontra indikasi).
13
c. Medikasi: menggunakan semprot hidung atau tetes hidung
dua atau tiga kali sehari sesuai instruksi dari petugas
kesehatan.
d. Pencegahan infeksi lebih lanjut.
e. Hembuskan hidung dengan kedua notril (lubang hidung)
terbuka untuk mencegah bahan terinfeksi terdorong ke
dalam tuba eustachius.
f. Tutup mulut dengan tissu untuk mencegah droplet
mengkontaminasi udara.
g. Buang tissu yang sudah dipakai di tempat pembuangan
yang baik.
h. Hindari pemajanan jika memungkinkan.
i. Cuci tangan dengan segera terutama setelah batuk dan
bersin.
j. Mencari bantuan segara bila terjadi: selesma kambuhan,
demam tinggi, nyeri dada hebat, telinga sakit, dan gejala
berlangsung lebih dari 2 minggu.
2. ISPA Bagian Bawah
Penatalaksanaan ISPA bagian bawah ini disesuaikan
dengan diagnosa medis, misalkan pada pneumonia, yaitu
melalui pengkajian dengan data yang perlu didapatkan antara
lain (Asih, 2004):
14
a. Riwayat dan karakter awitan dan durasi batuk, demam,
menggigil, nyeri dada, dan produksi sputum (jumlah,
warna, dan konsistensi).
b. Riwayat pemajanan terhadap individu dengan infeksi.
1) Tanda-tanda penyakit kronis.
2) Tanda-tanda vital.
3) Modalitas perawatan diri untuk mengatasi gejala.
c. Pemeriksaan pulmonal, dengan cara:
1) Inspeksi: retraksi otot-otot aksesori, sianosis sentral,
dan gerakan dada terbatas.
2) Palpasi: penurunan ekspansi pada area dada yang sakit,
peningkatan fremitus taktil.
3) Perkusi: pekak.
4) Auskultasi: bunyi nafas bronchial, inspirasi krakles
(rales), dan penurunan fremitus vocal (efusi pleura).
d. Temuan laboratorium.
e. Rongent dada: gambaran difus pneumoniaatipik dan
gambaran lobaris pneumonia tipikal.
f. Hematologi: LED/SDP meningkat 10.000 sampai
25.000/mm3dan terdapat bakteri pneumonia pada anak yang
terkena pneumonia.
g. AGD: hipoksemia/respirasi alkalosis, jika yang mendasari
penyakit kronis maka respirasi asidosis.
15
Penanganan klinis dan studi intervensi ISPA bagian
bawah di negara yang sedang berkembang menunjukkan bahwa
pengobatan dini dengan antibiotik dapat mengurangi angka
kematian karena pneumonia. Kunci untuk mengurangi angka
kematian karena ISPA adalah dengan memastikan adanya akses
yang lebih baik pada penanganan kasus pneumonia dan
melakukan penanganan kasus pneumonia tepat pada waktunya.
Hal ini memerlukan perbaikan pelayanan kesehatan agar
mereka dapat memberikan pengobatan awal dengan antibiotik
berdasarkan tanda klinis yang dapat dideteksi dengan mudah.
Kebanyakan kasus pneumonia dapat dideteksi dengan
menggunakan suatu prosedur sederhana seperti dengan mencari
adanya pernafasan cepat dan penarikan dinding dada pada anak
dengan keluhan batuk atau kesulitan bernafas. Saat ini jelas
bahwa sebagian besar kasus pneumonia dan kematian pada
bulan awal setelah lahir sering tidak terdeteksi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk sistem pelaporan
kasus yang rendah.
2.1.2.7 Merawat Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun dengan ISPA di Rumah
Perawatan suportif, pengamatan yang cermat terhadap
tanda-tanda pneumonia, pemberian antibiotik, pemberian
parasetamol, dan obat spesifik lain direkomendasikan untuk
digunakan di rumah. Ibu harus mengerti bagaimana cara
16
memberikannya dan kapan perlu kembali pemeriksaan ulang
(Widjaja, 2003).
Cara merawat anak dengan ISPA di rumah (Widjaja, 2003):
1. Beri makan anak
Beri makan anak selama sakit dan tingkatkan pemberian
makan setelah sakit (masa penyembuhan), bertujuan untuk
menggantikan penurunan berat badan selama sakit, serta
membantu mencegah terjadinya kekurangan gizi. Hal ini
penting, terutama bagi anak yang mengalami ISPA bagian
bawah, yang diduga mengalami penurunan berat badan setiap
hari.
Hilangnya nafsu makan sering terjadi selama infeksi
pernafasan akut, dengan demikian usahakan agar anak makan
sedikit dan sering. Jika anak menderita demam, maka dengan
menurunkan suhu tubuhnya dapat membantu meningkatkan
nafsu makan anak. Idealnya, makanan yang diberikan selama
infeksi pernafasan akut sebaiknya memiliki kandungan gizi
dalam jumlah banyak (terutama protein) dan kalori yang relatif
besar. Bergantung pada usia anak, makanan ini dapat dicampur
dengan sereal dan kacang-kacangan olahan sendiri, atau sereal
dan daging atau ikan. Makanan buatan sendiri dipengaruhi oleh
tersedianya bahan makanan dan kegemaran daerah setempat.
Makanan dapat ditambah dengan minyak atau lemak dan gula
17
untuk menambah kalori. Pada anak yang berusia di bawah 4
bulan dan masih diberi ASI eksklusif, maka tingkatkan
pemberian ASI.
Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung
yang mengganggu proses pemberian makan. Jika hidung
tersumbat oleh mukus yang kering atau tebal, teteskan air
bergaram ke dalam hidung atau gunakan lintingan kapas basah
untuk membantu melunakkan mucus serta nasehati ibu untuk
tidak membeli obat tetes hidung sendiri tanpa resep, hal ini bisa
membahayakan.
2. Tingkatkan pemberian cairan
Tawarkan pada anak untuk minum lebih banyak, karena
anak yang mengalami infeksi pernafasan kehilangan cairan
lebih banyak daripada biasanya, khususnya jika mengalami
demam, untuk itu doronglah anak untuk mendapatkan cairan
tambahan yang akan membantu mencegah terjadinya dehidrasi.
Jika anak diberi ASI eksklusif, berikan ASI sesering mungkin,
jika tidak mendapatkan ASI eksklusif, berikan minuman
tambahan ASI (air jernih, jus, atau susu formula)
a. Legakan tenggorokan dan sembuhkan batuk dengan obat
yang aman. Obat untuk batuk dan pilek yang mengandung
atropin, kodein, alkohol, phenergan, atau antihistamin dosis
tinggi sebaiknya dihindari. Bahan-bahan tersebut dapat
18
membuat anak mengantuk dan mengganggu proses
pemberian makan serta menurunkan kemampuan anak
untuk membersihkan sekret dari paru. Obat untuk batuk dan
pilek serta antibiotik tidak mengubah lamanya keluhan
pilek. Beberapa obat batuk dan pilek tidak berbahaya dan
secara simtomatis dapat membantu. Obat yang dijual bebas
sebaiknya tidak diberikan pada bayi muda.
b. Perhatikan pertanda yang menunjukkan anak menderita
pneumonia (pada anak yang dikelompokkan dalam
nonpneumonia: batuk, pilek). Ibu sebaiknya
memperhatikan tanda-tanda berikut dan membawa anak
kembali segera ke petugas kesehatan apabila:
1) Bernafas menjadi sulit.
2) Pernafasan menjadi cepat.
3) Anak tidak dapat minum.
4) Kondisi anak memburuk.
Nasehat tambahan untuk ibu yaitu tidak menghangatkan
anaknya secara berlebihan dengan menyelimuti atau
membungkus anaknya, hal ini untuk melindungi anak dari
menggigil.
2.1.2.8 Pencegahan ISPA
Pencegahan dapat memungkinkan anak bisa bebas dari
serangan ISPA atau frekuensinya dapat berkurang. Sesuai dengan
19
cara terjadinya ISPA maka cara pencegahannya perlu dilakukan
terhadap 3 hal, yaitu:
1. Menghindarkan anak dari kuman
Caranya:
a. Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA.
b. Jika salah satu anggota keluarga mengidap ISPA maka
harus menjauh dari anak-anak.
c. Jika ibu menderita ISPA, padahal dia harus mengasuh
anaknya maka harus menutup hidung dan mulutnya dengan
masker/sapu tangan.
2. Meningkatkan daya tahan tubuh anak
Caranya:
a. Memberikan makan cukup bergizi (protein, kalori, vitamin,
dan mineral) dan ASI bagi balita yang masih menetek.
b. Kebersihan anak dijaga.
c. Memberikan kekebalan kepada bayi dengan imunisasi.
3. Memperbaiki lingkungan
Caranya:
a. Jendela/ventilasi cukup.
b. Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul di dalam
rumah.
c. Rumah tidak boleh lembab.
d. Sinar matahari pagi diusahakan dapat masuk dalam rumah.
20
e. Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni.
f. Kebersihan di dalam rumah dan di luar rumah harus dijaga,
rumah harus mempunyai jamban yang sehat dan sumber air
bersih.
g. Air buangan dan pembuangan sampah harus diatur dengan
baik agar tidak menjadi tempat berkumpulnya lalat,
nyamuk, dan tikus.
2.1.3 Paparan Polutan Debu
2.1.3.1 Pengertian
Debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh
kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,
penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan,
dan lain-lain dari benda, baik organik maupun anorganik
(Suma’mur, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI (2003)
debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses
mekanis. Jadi, pada dasarnya pengertian debu adalah partikel yang
berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami maupun mekanik.
2.1.3.2 Sifat-Sifat Debu
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh
Sitepu (2002), partikel-partikel debu di udara mempunyai sifat:
1. Sifat pengendapan
Sifat pengendapan adalah sifat debu yang cenderung
selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena
21
kecilnya ukuran debu, kadang-kadang debu ini relatif tetap
berada di udara.
2. Sifat permukaan basah
Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah,
dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini penting
dalam pengendalian debu dalam tempat kerja.
3. Sifat penggumpalan
Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga
dapat menempel satu sama lain dan dapat menggumpal.
Turbulensi udara meningkatkan pembentukan penggumpalan
debu. Kelembaban di bawah saturasi, kecil pengaruhnya
terhadap penggumpalan debu. Kelembaban yang melebihi
tingkat huminitas di atas titik saturasi mempermudah
penggumpalan debu. Oleh karena itu partikel debu merupakan
inti dari pada air yang berkonsentrasi sehingga partikel menjadi
besar.
4. Sifat listrik statis
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik
partikel lain yang berlawanan. Dengan demikian, partikel
dalam larutan debu mempercepat terjadinya proses
penggumpalan.
22
5. Sifat optis
Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat
memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.
Partikel debu yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron
dihasilkan dari proses-proses mekanis seperti erosi angin,
penghancuran dan penyemprotan, dan pelindasan benda-benda oleh
kendaraan atau pejalan kaki. Partikel yang berdiameter antara 1-10
mikron biasanya termasuk tanah dan produk-produk pembakaran
dari industri lokal. Partikel yang mempunyai diameter 0,1-1
mikron terutama merupakan produk pembakaran dan aerosol
fotokimia (Fardiaz, 1992).
Polutan partikel masuk ke dalam tubuh manusia terutama
melalui sistem pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang
merugikan terutama terjadi pada sistem pernafasan. Faktor lain
yang paling berpengaruh terhadap sistem pernafasan adalah ukuran
partikel, karena ukuran partikel yang menentukan seberapa jauh
penetrasi partikel ke dalam pernafasan. Debu-debu yang berukuran
5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas,
sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah
jalan pernafasan (Yunus, 1997).
2.1.3.3 Sumber Debu
Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu
deposite particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada
23
sementara di udara, partikel ini segera mengendap karena ada daya
tarik bumi dan suspended particulate matter adalah debu yang
tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus, 1997).
Sumber-sumber debu dapat berasal dari udara, tanah, aktivitas
mesin, maupun akibat aktivitas manusia yang tertiup angin.
2.1.3.4 Jenis Debu
Jenis debu terkait dengan daya larut dan sifat kimianya.
Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka
kemampuan mengendapnya di paru juga akan berbeda pula.
Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan
berbeda pula. Suma’mur (2009) mengelompokkan partikel debu
menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik. Klasifikasi debu
dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Gangguan Pada ManusiaNo Jenis debu Contoh (Jenis debu)1. Organik
a. Alamiah1). Fosil2). Bakteri3). Jamur
4). Virus5). Sayuran
6). Binatang
b. Sintesis1). Plastik2). Reagen
Batu bara, karbon hitam, arang, granit.TBC, antraks, enzim, bacillus substilis.Koksidiomikosis, Histoplasmosis.Actinomycosis, kriptokokus,thermophilic.Cacar air, Q fever, psikatosis.Kompos jamur, ampas tebu, tepungpadi, gabus, serat nanas, atap alang-alang, katun, rami.Kotoran burung, kesturi, ayam
Politetrafluoretilen, toluene diisosianatMinyak isopropyl, pelarut organic
24
No Jenis debu Contoh ( Jenis debu)2. Anorganik
a. Silika bebas1). Crystaline2). Amorphous
b. Silika1). Fibrosis2). Lain-lain
c. Metal1). Inert2). Lain-lain3). Sifat ganas
Quarz, trymite cristobaliteDiatomaceous earth, silica gel
Asbestosis, sillinamite, talkMika, kaolin, debu semen
Besi, barium, titanium, alumuniumBeriliumArsen, kobal, nikel hematite, uranium,khrom
(Sumber: Suma’mur P.K, 2009)
2.1.3.5 Paparan Polutan Debu Terhadap Gangguan Kesehatan
Menurut Suma’mur (1996), paparan debu yang dapat
menimbulkan ganggguan kesehatan bergantung dari:
1. Solubility
Jika bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut
dalam air, maka bahan-bahan itu akan larut dan langsung
masuk ke pembuluh darah kapiler alveoli. Apabila bahan-bahan
tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya kecil, maka
partikel-partikel itu dapat memasuki dinding alveoli, lalu ke
saluran limpa atau ke ruang peri bronchial menuju ke luar
bronchial oleh rambut-rambut getar dikembalikan ke atas.
25
2. Komposisi kimia debu
a. Inert dust
Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan
atau reaksi fibrosis pada paru. Efeknya sangat sedikit atau
tidak ada sama sekali pada penghirupan normal.
b. Poliferal dust
Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk
jaringan parut atau fibrosis. Fibrosis ini akan membuat
pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu
fungsi paru. Debu golongan ini menyebabkan fibrocytic
pneumoconiosis, contohnya: debu silika, asbestosis, kapas,
berilium, dan sebagainya.
c. Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust
Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang
tidak tahan di dalam paru, namun dapat ditimbulkan efek
iritasi yaitu debu yang bersifat asam atau asam kuat.
3. Konsentrasi debu
Semakin tinggi konsentrasi debu di udara tempat kerja,
maka semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan
kesehatan.
4. Ukuran partikel debu
Ukuran partikel besar akan di tangkap oleh saluran
nafas bagian atas. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap
26
terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil
penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai
berikut:
a. Ukuran debu 5 – 10 mikron, akan tertahan olah cilia pada
saluran pernapasan bagian atas.
b. Ukuran debu 3 – 5 mikron, akan tertahan oleh saluran
pernapasan bagian tengah.
c. Ukuran debu 1 – 3 mikron, sampai di permukaan alveoli.
d. Ukuran debu 0,5 – 1 mikron, hinggap di permukaan alveoli
dan selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru.
e. Ukuran debu 0,1 – 0,5 mikron, melayang di permukaan
alveoli.
Berdasarkan ukuran, secara garis besar partikel dapat
merupakan suatu (Mukono, 2005):
a. Partikel debu kasar (coarse particle), jika diameternya > 10
mikron.
b. Partikel debu, uap, dan asap, jika diameternya diantara 1 -
10 mikron.
c. Aerosol, jika diameternya < 1 mikron.
2.1.3.6 Mekanisme Penimbunan Debu dalam Paru
Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu
masuk ke dalam paru-paru. Partikel debu yang dapat dihirup oleh
pernafasan manusia mempunyai ukuran 0,1 mikron sampai 10
27
mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia yang
berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran
5-10 mikron yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu
bernafas. Sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan pada
bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan pergerakkan
debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan
nafas. Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan
jalan nafas sehingga akhirnya dapat menurunkan fungsi paru
(Suma’mur, 1998).
Beberapa mekanisme tertimbunnya debu dalam paru
menurut Suma’mur (2009) antara lain:
1. Inertia
Inertia terjadi pada waktu udara membelok ketika
melalui jalan pernafasan yang tidak lurus, maka partikel-
partikel debu yang yang bermassa cukup besar tidak dapat
membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus dan
akhirnya menumbuk selaput lendir dan mengendap di sana.
2. Sendimentasi
Sendimentasi merupakan penimbunan debu yang terjadi
di bronkhi dan bronkhioli, sebab di tempat itu kecepatan udara
sangat kurang kira-kira 1 cm/detik sehingga gaya tarik dapat
bekerja terhadap partikel-partikel debu dan mengendapkannya.
28
3. Gerakan Brown
Gerak Brown merupakan penimbunan bagi partikel-
partikel yang berukuran sekitar atau kurang dari 0,1 mikron.
Partikel-partikel yang kecil ini digerakkan oleh gerakan Brown
sehingga ada kemungkinan membentur permukaan alveoli dan
hinggap di sana.
2.1.4 Pencemaran Udara
Pencemaran udara merupakan peristiwa pemasukan dan
penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam lingkungan udara
akibat kegiatan alam dan manusia sehingga temperatur dan
karakteristik udara tidak sesuai lagi untuk tujuan pernafasan yang
paling baik, nilai lingkungan udara tersebut telah menurun
(Hutagalung, 2008).
Aktivitas industri merupakan kegiatan yang sangat tampak
dalam pembahasan berbagai senyawa kimia ke lingkungan. Sebagian
jenis gas dapat disandang sebagai pencemar udara apabila konsentrasi
gas tersebut melebihi tingkat konsentrasi normal dan dapat berasal
dari sumber alami seperti gunung api, rawa-rawa, kebakaran hutan,
dan nitrifikasi biologi serta berasal dari kegiatan manusia
(anthropogenic source) seperti pengangkutan, transportasi, kegiatan
rumah tangga, industri, pembangkit daya yang berbahan bakar fosil,
pembakran sampah, pembakaran sisa pertanian, pembakaran hutan,
dan pembakaran bahan bakar (Hutagalung, 2008).
29
Sumber pencemaran udara dikelompokkan ke dalam 3
kelompok besar yaitu: (Rahman, 2004)
1. Sumber pencemar udara menetap (point source) seperti asap
pabrik, instalasi pembangkit tenaga listrik, asap dapur, pembakaran
sampah rumah tangga, dan lain sebagainya.
2. Sumber pencemar udara tidak menetap (non point source) seperti
gas buang kendaraan bermotor, pesawat udara, kereta api, dan
kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan gas emisi dengan lokasi
berpindah-pindah.
3. Sumber pencemar udara campuran (compound area source) yang
berasal dari titik tetap dan titik tidak tetap seperti bandara, terminal,
pelabuhan, dan kawasan industri.
Pengelompokkan ini sesuai dengan klasifikasi sumber
pencemar udara yang ditetapkan oleh WHO tahun 2005, yaitu:
1. Sumber sebuah titik (point source) yang berasal dari sumber
individual menetap dan dibatasi oleh luas wilayah kurang dari 1 x 1
km2 termasuk di dalamnya industri dan rumah tangga.
2. Garis (line source) adalah sumber pencemaran udara yang berasal
dari kendaraan bermotor dan kereta.
3. Area (area source) adalah sumber pencemaran yang berasal dari
sumber titik tetap maupun sumber garis.
30
2.2 Keaslian Penelitian
Sepengetahuan penulis, penelitian tentang Hubungan Paparan Polutan
Debu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo belum pernah diteliti, namum penelitian lain yang
membahas tentang polutan dan kejadian ISPA nonpneumonia adalah:
Tabel 2.2Keaslian Penelitian
No Nama PenelitiJudul
PenelitianMetode
PenelitianHasil Penelitian
1. Mayae Hugo,Ova Emillia,Mei NeniSitaresmi(2014)
Pajanan Asapdalam RumahTerhadapKejadian ISPANonpneumoniaPada AnakBalita diKabupatenKapuas
Menggunakandesainpenelitiankasus kontroldengananalisis dataunivariat,bivariat danmultivariatregresilogistik.univariat,bivariat danmultivariatregresilogistik.
ISPANonpneumoniamemiliki resiko 2,7kali lebih besarmenjangkiti anakyang terpapar asapdi dalam rumahmereka (95%CI=1,16-6,60).Proporsi analisismultivariabelkondisi rumahyang tidak benar-benar higienis,anggota keluargayang terjangkitISPA, status giziburuk memilikihubungan yangsignifikan terhadapISPA
2. AndriSoebiantprp,Sandy Kurnia,AhmadKholis,ZahrohElvikri, GalihKurniawan,Pricilla, LindaDewanti(2012)
HubunganPaparan AsapRokok DenganKejadian ISPAPada Balita DiRW X DesaBanjararumKecamatanSingosariKabupatenMalang
Analitikobservasionalberupa studicross-sectional
Hasil penelitiandengan ujiaPerason Chi-squaredidapatkan hasilsignifikansi 0,933dengan levelsignifikansi 0,05.Hal inimenunjukkan tidakada hubunganpaparan asap rokok
31
No Nama PenelitiJudul
PenelitianMetode
PenelitianHasil Penelitian
dengan kejadianISPA pada Balitadi RW X DesabanjararumKecamatanSingosariKabupatenMalang.
3. ParulinSitomorang(2002)
DebuParticulateMatter (PM10)Udara RumahTinggal danKejadianPenyakitInfeksi SaluranPernapasanAkut (ISPA)Pada Balita diKelurahanCakung TimurKota JakartaTimur Tahun2002.
Penelitian inimenggunakandisain studikasus kontrol
Pada penelitian inididapatkan adanyahubungan yangbermakna antaraPM10 dan kejadianpenyakit ISPApada balita.
32
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.1Kerangka Teori
Sumber: Notoatmodjo, 2005; Chandra, 2007; Achmadi, 2008; DepKes RI, 2009.
2.4 Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisa hubungan antara
paparan polutan debu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo. Pada penelitian ini variabel independen
adalah paparan polutan debu, sedangkan variabel dependen adalah kejadian
ISPA pada Balita.
Lingkungan
Polutan Debu
Solubility
KomposisiKimia Debu
KonsentarsiDebu
UkuranPartikel Debu
ISPAPada Anak
DampakISPA
Gangguan ProsesPertumbuhan
Gangguanpada Sinus
GangguanPerkembangan Anak
Kuman Daya Tahan
33
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2Kerangka Konsep
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian (Sugiyono, 2007). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha = Ada hubungan antara paparan polutan debu dengan kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
H0 = Tidak ada hubungan antara paparan polutan debu dengan kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo.
Paparan PolutanDebu
Kejadian ISPAPada Balita
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional,
yaitu suatu penelitian survei analitik. Pengamatan cross sectional merupakan
penelitian prevalensi penyakit dan sekaligus dengan prevalensi penyebab atau
faktor risiko. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati hubungan antara
faktor risiko terhadap akibat yang terjadi dalam bentuk penyakit atau keadaan
(status) kesehatan tertentu dalam waktu yang bersamaan (Noor, 2008). Cross
sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara
faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Desain
penelitian cross sectional memiliki keunggulan antara lain mudah
dilaksanakan, sederhana, ekonomis, dan dalam hal waktu dan hasilnya dapat
diperoleh dengan cepat. Disamping itu dalam waktu yang bersamaan dapat
mengumpulkan banyak variabel, baik variabel risiko maupun variabel efek
(Notoatmodjo, 2010).
34
35
Gambar 3.1Kerangka Rancangan Penelitian
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan
dalam penelitian (Saryono, 2011). Populasi dalam penelitian ini
adalah semua Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo, dengan jumlah populasi Balita 6.983 jiwa per
Desember 2014.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang terdiri atas
sejumlah anggota yang dipilih dari populasi. Dengan kata lain,
sejumlah, tapi tidak semuanya, elemen dari populasi akan
membentuk sampel (Sekaran, 2006).
Penelitian ini menarik sampel dengan menggunakan rumus
Slovin dalam Husein Umar (2007: 78) yaitu:
Paparan Debu < 1 km2
ISPA (-)
ISPA (+)
Paparan Debu ≥ 1 km2
ISPA (-)
ISPA (+)
36
21 Ne
Nn
Dimana:
N : Besarnya populasi
n : Besarnya sampel
e : Nilai presisi 0,1 (presisi ini diambil 10% karena melihat
dari jumlah populasi yang besar)
)1,0(6.9831
6.9832
n
84,69
6.983n
98,99n = 100
Peneliti mengambil sampel dari data Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo tentang kejadian ISPA pada Balita. Jadi sampel dalam
penelitian ini sebanyak 100 Balita.
3.2.3 Teknik Sampling
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Consecutive
Sampling. Consecutive Sampling yaitu pemilihan sampel dengan
menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan
dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah
responden dapat terpenuhi (Nursalam, 2003). Penentu kriteria
sampel sangat membantu penelitian untuk mengurangi bias hasil
penelitian, khususnya jika terdapat variabel-variabel (control atau
perancu) yang ternyata mempunyai pengaruh variabel yang kita
37
teliti. Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua yaitu inklusi
dan eksklusi (Nursalam, 2003).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah balita yang
berkunjung ke Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah balita yang
menderita ISPA dengan komplikasi yang berkunjung ke
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo dan responden yang tidak yakin
dalam menentukan jarak tempat tinggal dengan sumber polutan
debu.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo pada
Februari s/d Mei 2015.
3.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran
Variabel merupakan sesuatu yang bervariasi (Saryono, 2011).
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan
variabel terikat (dependent). Definisi operasional merupakan definisi variabel
secara operasional yang diukur secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena dengan menggunakan parameter tertentu (Hidayat, 2007).
Komponen pada bagian ini meliputi variabel, definisi operasional, alat ukur,
hasil ukur, dan jenis data.
38
Tabel 3.1Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
UraianDefinisi
OperasionalAlat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel IndependenPaparanPolutanDebu
Individu yangtinggal dekatdengansumberpolutandebu/pabrikgenteng.
Kuesioner Hasilkuesionerjaraktempattinggaldengansumberpolutanpabrikgenting
1. Terpaparpolutan debuluas wilayah< 1 km2.
2. Tidakterpaparpolutan debuluas wilayah≥ 1 km2.
Nominal
Variabel DependenKejadianISPApadaBalita
Balita yangmenderitaISPA.
Observasi MelihatlaporandatasekunderdariPuskesmas
1. Tidak sakitISPA
2. Sakit ISPA
Nominal
Variabel PerancuJenisKelamin
Perbedaanantaraperempuandengan laki-laki secarabiologis sejakseseoranglahir.
Kuesioner Hasilkuesioner
1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
UmurBalita
Lamanyawaktu hidupyaituterhitungsejak lahirsampaidengansekarang.
Kuesioner Hasilkuesioner
Umur dalambulan
Rasio
Gizi Kecukupannutrisi.
Observasi MelihatlaporandatasekunderdariPuskesmas
1. Gizi Baik2. Gizi Kurang
Nominal
39
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
3.5.1 Alat Penelitian
1. Observasi
a. Kejadian ISPA pada Balita
Alat penelitian menggunakan lembar observasi.
Kejadian ISPA dilihat dari hasil pemeriksaan dokter pada
lembar catatan medis.
b. Gizi
Alat penelitian menggunakan lembar observasi.
Status gizi dilihat dari data simpus gizi KIA. Puskesmas
Mojolaban sudah menggunakan komputerisasi dalam
menentukan status gizi balita.
2. Kuesioner
a. Paparan Polutan Debu
Alat penelitian menggunakan lembar kuesioner.
Responden diminta mengisi jarak rumah dengan sumber
polutan debu, dibagi menjadi < 1km2 dan ≥ 1km2.
b. Jenis Kelamin
Alat penelitian mengggunakan lembar kuesioner.
Diisi oleh responden dalam pilihan laki-laki dan
perempuan.
40
c. Umur Balita
Diisi oleh responden, umur dalam bulan.
3.5.2 Cara Pengumpulan Data
Setelah peneliti memperoleh ijin penelitian dari Kepala
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo, peneliti menunggu waktu 2
minggu sampai cuaca cerah. Paparan polutan debu akan efektif
dalam cuaca cerah. Pembagian kuesioner mempertimbangkan
cuaca di Kecamatan Mojolaban Sukoharjo.
Sebelum membagikan kuesioner, peneliti terlebih dahulu
meminta persetujuan responden dengan mengisi lembar
persetujuan menjadi responden. Responden terlebih dulu ditanya
jarak tempat tinggal dengan sumber polutan debu pabrik genting.
Langkah tersebut bertujuan untuk menentukan nomer responden.
Nomer responden 1 s.d 50 untuk sampel Balita yang tinggal < 1 x 1
km2 dari sumber polutan debu pabrik genting. Nomer responden 51
s.d 100 untuk balita yang tinggal ≥ 1 x 1km2 dari sumber polutan
debu pabrik genting.
Responden dimohon untuk mengisi lembar kuesioner
sambil menunggu antrian pemeriksaan oleh dokter. Setelah
pemeriksaan selesai, peneliti melihat catatan medis untuk melihat
diagnose medis, berat badan, dan tinggi badan. Status gizi dilihat
setelah data tinggi badan dan berat badan dimasukkan
komputerisasi simpus gizi.
41
Dalam pengisian kuesioner, karena alasan tertentu
responden bisa dibantu oleh peneliti. Responden yang mengalami
kesulitan baca tulis, anaknya rewel, dan karena alasan lain
pengisian lembar kuesioner dibantu oleh peneliti.
3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
3.6.1 Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul pada tahap pengumpulan data
perlu diolah terlebih dahulu. Tujuan dari pengolahan data tersebut
adalah untuk menyederhanakan seluruh data yang terkumpul.
Adapun pengolahan data dalam penelitian ini meliputi (Hidayat,
2007):
1. Editing
Editing dilakukan untuk meneliti kembali apakah isian
dalam lembar kuesioner sudah lengkap. Editing dilakukan
ditempat pengumpulan data, sehingga jika ada data yang
kurang dapat segera dilengkapi.
2. Coding
Teknik koding dilakukan dengan memberikan tanda
pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam lembaran tabel kerja. Kode
dipakai untuk variabel paparan polutan debu (1 untuk terpapar
dan 2 untuk tidak terpapar debu), kejadian ISPA pada balita ( 1
42
untuk tidak sakit ISPA dan 2 untuk sakit ISPA), jenis kelamin (
1 untuk laki-laki dan 2 untuk perempuan), dan status gizi balita
(1 untuk gizi baik dan 2 untuk gizi kurang).
3. Tabulating
Tabulating adalah langkah untuk memasukkan data
hasil penelitian ke dalam tabel-tabel kriteria.
3.6.2 Analisa Data
Dalam menganalisis data, data yang telah diolah dengan
menggunakan bantuan komputerisasi kemudian dideskripsikan dan
diinterpretasikan sehingga pada akhirnya analisis data tersebut
memperoleh makna atau arti dari hasil penelitian (Notoatmodjo,
2010). Analisa data dalam penelitian ini melalui prosedur bertahap
yaitu analisis univariat dan analisis bivariat. Prosedur tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif, yaitu
menampilkan proporsi prosentase untuk variabel paparan
polutan debu, kejadian ISPA pada Balita, jenis kelamin dan
status gizi. Varian data dilakukan pada variabel umur balita.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,
2007). Yaitu variabel bebas paparan polutan debu dan variabel
43
terikat adalah kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo. Pada penelitian ini
digunakan uji statistik Korelasi Lambda. Uji Korelasi Lambda
digunakan untuk mengukur korelasi data nominal yang tidak
setara. Adapun rumus korelasi lambda adalah sebagai berikut:
(Santoso, 2010)
i
imjb RN
RnL
max
max
di mana:
nmj = Angka terbesar dari setiap kolom pada tabelkontingensi
Ri = Angka terbesar untuk total barisN = Jumlah data
Kriteria pengambilan keputusan berdasarkan tingkat signifikan
(nilai p) adalah:
a. Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.
b. Jika nilai p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
Pedoman untuk interpretasi terhadap koefisien korelasi
menggunakan teori Sugiyono (2011) dengan klasifikasi nilai r
yaitu:
a. 0,00 – 0,199 = Sangat rendah
b. 0,20 – 0,399 = Rendah
c. 0,40 – 0,599 = Cukup kuat
d. 0,60 – 0,799 = Kuat
e. 0,80 – 1,000 = Sangat kuat
44
3.7 Etika Penelitian
Menurut Hidayat (2007) etika dalam penelitian keperawatan sangat
penting karena penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan
manusia, sehingga perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu:
3.7.1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed consent)
Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang
akan dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan
sesudah pengumpulan data. Responden telah menyatakan bersedia
diteliti, mereka diminta untuk menandatangani lembar persetujuan
(informed consent) tersebut.
3.7.2 Tanpa nama (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan namanya dalam lembar pengumpulan data,
namun cukup diberi kode pada masing-masing lembar tersebut.
3.7.3 Kerahasiaan (confidentiality)
Kerahasiaan dijamin oleh peneliti, hanya kelompok
tertentu saja yang akan dijadikan atau dilaporkan sebagai hasil
penelitian.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Analisa Univariat
4.1.1 Jenis Kelamin Balita
Tabel 4.1Hasil Perhitungan Distribusi Jenis Kelamin Balita
Usia Frekuensi Persentase
Laki-laki 47 47,0%
Perempuan 53 53,0%
Jumlah 100 100%
Proporsi terbanyak balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Kabupaten Sukoharjo berjenis kelamin perempuan sebesar
53,0%.
4.1.2 Umur Balita
Tabel 4.2Hasil Perhitungan Statistik Deskriptif Umur Balita
Balita diMojolaban
(dalam bulan)
N Med Mod Mean SDNilaiMin
NilaiMax
100 36,50 40 32,97 14,86 5 58
Rerata balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban
Kabupaten Sukoharjo berusia 32,97 bulan dengan standar deviasi
14,86 bulan.
45
46
4.1.3 Status Gizi Balita
Tabel 4.3Hasil Perhitungan Distribusi Status Gizi Balita
Status Gizi Balita Frekuensi Persentase
Baik 48 48,0%
Kurang 52 52,0%
Jumlah 100 100,0%
Proporsi terbanyak balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Kabupaten Sukoharjo dengan status gizi kurang sebesar
52,0%.
4.1.4 Paparan Polutan Debu
Tabel 4.4Hasil Perhitungan Distribusi Paparan Polutan Debu
Jarak Tinggal dengan Pabrik Frekuensi Persentase
< 1 x 1 km2 50 50,0%
≥ 1 x 1 km2 50 50,0%
Jumlah 100 100%
Hasil distribusi berdasarkan paparan polutan debu yang diukur
dengan menggunakan jarak tempat tinggal dengan pabrik, maka 50
sampel untuk balita yang tinggal < 1 x 1 km2 dari sumber polutan debu
pabrik genting dan 50 sampel balita yang tinggal ≥ 1 x 1 km2 dari
sumber polutan debu pabrik genting.
47
4.1.5 Kejadian ISPA pada Balita
Tabel 4.5Hasil Perhitungan Distribusi Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian ISPA Frekuensi Persentase
Jarak Rumah dengan Pabrik < 1 x 1 km2
Tidak Sakit 8 16,0%Sakit 42 84,0%
Jumlah 50Jarak Rumah dengan Pabrik ≥ 1 x 1 km2
Tidak Sakit 42 84,0%Sakit 8 16,0%
Jumlah 50
Total 100
Kejadian ISPA pada balita yang tinggal dengan jarak <1km2
dari sumber polutan debu adalah 84,0% sedangkan kejadian ISPA pada
balita yang tinggal ≥1km2 adalah 16,0%.
4.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi, yaitu variabel bebas paparan polutan debu
dan variabel terikat kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo. Pada penelitian ini digunakan uji
statistik Korelasi Lambda. Uji Korelasi Lambda digunakan untuk
mengukur korelasi data nominal yang tidak setara.
48
Tabel 4.6Hasil Pengujian Korelasi Lambda
Variabel Nilai p Nilai rHubungan antara paparan polutan debudengan kejadian ISPA
0,000 0,680
Hasil uji korelasi lambda pada Tabel 4.6 diperoleh nilai
korelasi sebesar 0,680 dengan nilai p-value sebesar 0,000. Nilai p-value
< 0,05 (signifikansi 5%), maka H0 ditolak, artinya ada hubungan antara
paparan polutan debu dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo. Terdapat hubungan yang kuat dengan
arah positif antara paparan polutan debu dengan kejadian ISPA di
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo. Artinya semakin dekat jarak tempat
tinggal pasien dengan sumber polutan debu kemungkinan terkena ISPA
semakin tinggi.
49
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara paparan polutan
debu dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
yang telah dilakukan terhadap 100 balita diperoleh hasil sebagai berikut:
5.1 Paparan Polutan Debu di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo
Paparan polutan debu diukur dengan menggunakan jarak tempat tinggal
dengan sumber polutan debu yaitu pabrik genting. Dari 100 balita sebagai
sampel penelitian, dibagi menjadi 50 sampel untuk balita yang tinggal < 1 x 1
km2 dari sumber polutan debu pabrik genting dan 50 sampel balita yang
tinggal ≥ 1 x 1 km2 dari sumber polutan debu pabrik genting.
Menurut Rahman, dkk (2004) Sumber pencemaran udara
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok besar yaitu: 1) Sumber pencemar udara
menetap (point source) seperti asap pabrik, instalasi pembangkit tenaga listrik,
asap dapur, pembakaran sampah rumah tangga, dan lain sebagainya, 2)
Sumber pencemar udara tidak menetap (non point source) seperti gas buang
kendaraan bermotor, pesawat udara, kereta api, dan kegiatan-kegiatan lain
yang menghasilkan gas emisi dengan lokasi berpindah-pindah, 3) Sumber
pencemar udara campuran (compound area source) yang berasal dari titik
tetap dan titik tidak tetap seperti bandara, terminal, pelabuhan, dan kawasan
industri.
49
50
Penelitian Prayudi dan Susanto ( 2001 ) tentang kualitas debu dalam
udara sebagai dampak industri pengecoran logam di wilayah Cawas Klaten
didapatkan hasil konsentrasi debu di wilayah Cawas Klaten melebihi ambang
batas yang diperbolehkan. Penelitian Taisir (2005) tentang hubungan antara
status faktor pencemaran udara di dalam rumah dengan kejadian ISPA di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan tahun 2005,
menunjukkan hasil status pencemaran udara dalam rumah kategori tinggi
adalah sebesar 44%, menggunakan bahan bakar kayu/arang sebesar 11%,
menggunakan bahan bakar minyak tanah 89%, dan menggunakan bahan bakar
gas/listrik sebesar 13%.
5.2 Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo
Hasil distribusi berdasarkan kejadian ISPA pada balita dengan 50
sampel untuk balita yang tinggal < 1 x 1 km2 dari sumber polutan debu pabrik
genting sebanyak 8 balita tidak sakit ISPA dan 42 balita sakit ISPA.
Sedangkan 50 sampel balita yang tinggal ≥ 1 x 1 km2 dari sumber polutan
debu pabrik genting sebanyak 42 balita tidak sakit ISPA dan 8 balita sakit
ISPA. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa balita yang tinggal < 1 x 1 km2
dari sumber polutan debu pabrik genting lebih banyak yang sakit ISPA
daripada balita yang tinggal ≥ 1 x 1 km2 dari sumber polutan debu pabrik
genting.
51
ISPA sering terjadi pada bayi dan anak, yang dipengaruhi oleh antara
lain adanya kuman penyebab, bakteriologik pneumonia anak-balita adalah
Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50% kasus) dan Hemophilus
influenzae type b/Hib (10-30% kasus), dan keadaan daya tahan tubuh anak,
daya tahan tubuh merupakan kemampuan tubuh untuk mencegah masuk dan
berkembangnya kuma-kuman di dalam tubuh, yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain: keadaan gizi, keadaan kekebalan, dan keadaan lingkungan
(Said, 2010).
Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
termasuk ISPA. Keadaan lingkungannya tidak sehat khususnya pada
perumahan, lingkungan yang kotor dan padat, banyak debu, ventilasi rumah
kurang, dan rumah yang lembab akan memudahkan terjangkitnya berbagai
penyakit (Said, 2010).
Keadaan gizi sangat berpengaruh pada daya tahan tubuh. Bila anak
gizinya kurang atau buruk (badannya kurus) maka lebih mudah terjangkit
penyakit menular atau penyakit infeksi karena bahan untuk pertahanan tubuh
tidak akan mencukupi. Sedangkan zat yang penting untuk pertahanan tubuh
yaitu protein. Pada bayi yang mendapat ASI biasanya lebih tahan terhadap
ISPA, keadaan ini diperkirakan karena dalam ASI terdapat zat antibodi (Said,
2010).
Penelitian Munir ( 2010 ) tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi
ISPA di Puskesmas Tuban didapatkan hasil faktor yang meletarbelakangi
ISPA diantaranya tidak mendapatkan ASI eksklusif 78,18%, imunisasi
52
lengkap 83,64%, status gisi 76,36%, dan kebiasaan anggota keluarga
merokok 63,64%. Penelitian Nani (2012) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah kerja UPTD
Kesehatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggal Provinsi Sulawesi Tengah
tahun 2012, gambaran kasus ISPA pada balita, faktor ibu (pendidikan), faktor
keluarga (perilaku), faktor balita, dan faktor lingkungan menunjukkan bahwa
balita yang menderita ISPA lebih banyak dibandingkan dengan tidak ISPA.
Distribusi balita yang menderita ISPA sebanyak 99 orang (69,6%) dan yang
tidak menderita ISPA sebanyak 67 orang (40,4%).
5.3 Hubungan Antara Paparan Polutan Debu dengan Kejadian ISPA di
Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
Hasil uji korelasi lambda diperoleh nilai korelasi sebesar 0,680 dengan
nilai p-value sebesar 0,000. nilai p-value < 0,05 (signifikansi 5%), maka H0
ditolak, artinya ada hubungan antara paparan polutan debu dengan kejadian
ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo. Dalam penelitian ini
terdapat hubungan yang kuat dan arahnya positif antara paparan polutan debu
dengan kejadian ISPA di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.
Dalam pengolahan genting dan batu bata dihasilkan 2 jenis debu yaitu
debu organik dan debu anorganik. Abu sekam yang digunakan untuk
campuran tanah liat merupakan jenis debu organik, sedangkan debu yang
berasal dari tanah liat merupakan jenis debu anorganik (Suma’mur, 2009).
53
Menurut Suma’mur (1996), paparan debu yang dapat menimbulkan
ganggguan kesehatan bergantung dari beberapa faktor yaitu solubility,
komposisi kimia debu, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu. Debu
dengan tingkat solubility yang tinggi mudah larut dalam air, bahan-bahan itu
akan larut dan langsung masuk ke pembuluh darah kapiler alveoli. Komposisi
debu terdiri dari inert dust yang sedikit menimbulkan gangguan pada paru,
poliferal dust yang dapat menimbulkan jaringan parut pada paru, dan tidak
termasuk keduanya yang dapat menimbulkan iritasi pada paru. Semakin tinggi
konsentrasi debu di udara semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan
kesehatan. Semakin kecil ukuran debu semakin besar kemungkinan gangguan
yang ditimbulkan pada paru.
Ukuran debu berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran
napas. Ukuran debu 5 – 10 mikron akan tertahan olah cilia pada saluran
pernapasan bagian atas, ukuran debu 3 – 5 mikron akan tertahan oleh saluran
pernapasan bagian tengah, ukuran debu 1 – 3 mikron sampai di permukaan
alveoli, ukuran debu 0,5 – 1 mikron hinggap di permukaan alveoli dan selaput
lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru, dan ukuran debu 0,1 – 0,5 mikron
melayang di permukaan alveoli (Said, 2010).
Paparan debu dapat masuk kedalam tubuh manusia terutama lewat
saluran pernapasan. Komposisi debu terkadang juga mengandung kuman
penyebab ISPA. Debu yang menempel pada saluran pernapasan dapat
meningkatkan resiko terjadinya ISPA (Yunus, 2007).
54
Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam
paru-paru. Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia
mempunyai ukuran 0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan
tenggorokan bagian bawah ada cilia yang berfungsi menahan benda-benda
asing seperti debu dengan ukuran 5-10 mikron yang kemudian dikeluarkan
bersama secret waktu bernafas. Sedangkan yang berukuran 3-5 mikron
ditahan pada bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan pergerakkan
debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas.
Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas
sehingga akhirnya dapat menurunkan fungsi paru (Suma’mur, 1998).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitiannya Hugo, Emillia,
Sitaresmi (2014) tentang pajanan asap dalam rumah terhadap kejadian ISPA
didapatkan hasil penelitian kondisi rumah yang tidak higienis, anggota
keluarga yang terjangkit ISPA, status gizi buruk memiliki hubungan yang
signifikan terhadap ISPA Nonpneumonia pada balita. Penelitian yang
dilakukan oleh Sitomorang (2002) tentang debu particulat matter (PM10) dan
kejadian ISPA didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara
PM10 dan kejadian ISPA pada balita. Penelitian yang dilakukan Yulaekah
(2007) tentang paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru
didapatkan hasil bagi responden yang bekerja di tempat kerja dengan
konsentrasi debu di atas NAB 3 mg/m3 adalah 68,6%, sedangkan 31,4%
disebabkan oleh faktor lain.
55
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara paparan polutan
debu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Responden yang terpapar debu dan menderita ISPA sebesar 84,0%.
2. Responden yang tidak terpapar debu dan menderita ISPA sebesar 16,0%.
3. Terdapat hubungan yang kuat dan positif antara paparan polutan debu
dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
dengan nilai p-value sebesar 0,000, nilai r sebesar 0,680 dengan arah
positif.
6.2 Saran
Adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan dari penelitian ini, maka
penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
a. Melakukan supervisi dan pembinaan pada masyarakat secara rutin
sehingga dapat meningkatkan kualitas program pengendalian ISPA
dan program kesehatan lingkungan di masyarakat.
55
56
b. Melakukan intervensi tentang paparan polutan debu terhadap kejadian
ISPA pada Balita terutama pencemaran udara yang diakibatkan debu
pabrik genting. Intervensi berupa penyuluhan kesehatan lingkungan
untuk meminimalkan penyebaran polutan debu sehingga terbentuk
kesadaran dan kemauan masyarakat untuk merubah perilaku.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi khususnya masalah paparan polutan debu
terhadap kejadian ISPA pada balita dengan meningkatkan lingkungan
rumah yang lebih sehat serta terpenuhinya gizi balita yang baik.
3. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini hanya meneliti sebagian kecil masalah risiko
terjadinya ISPA pada balita. Diharapkan pada peneliti lain dapat
mengembangkan penelitian ini dengan faktor lain seperti kebiasaan
merokok, ekonomi, sosial serta desain penelitian dan teknik pengambilan
sampel yang berbeda agar didapatkan hasil penelitian yang lebih
menggeneralisasi.
4. Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan mengenai hubungan paparan polutan
debu dengan kejadian ISPA pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. (2008). Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta.
Chandra. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI. (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit SaluranPernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta:Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (2003). Modul Pelatihan Bagi Fasilitator KesehatanKerja. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (2011). Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI)Eksklusif Bagi Bayi. Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak.
Fardiaz, S. (1992). Polutan Air dan Polusi Udara. Bogor: Fakultas Pangan danGizi IPB.
Gede, A.Y.N.L. (2004). Keperawatan Medical Bedah Klien Dengan GangguanSistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Hidayat, A.A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik AnalisaData. Jakarta: Salemba Medika.
Hugo, M., Emillia, O., Sitaresmi, M.N. (2014). Pajanan Asap dalam RumahTerhadap Kejadian ISPA Nonpneumonia Pada Anak Balita di KabupatenKapuas. Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol. 1 No. 1 (2014).
Hutagalung, R. (2008). Perbaikan Kualitas Kerja Dengan Menerapkan PendekatanErgonomi Meningkatkan Kinerja Buruh AngkatAngkut Tradisional DiPasar Badung Denpasar. (Disertasi). Denpasar: Program PascasarjanaUniversitas Udayana.
Mardjanis, S. (2010). Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam RangkaPencapaian MDGs 4. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Muaris. (2009). Bekal Sekolah untuk Anak Balita. Jakarta: Gramedia PustakaUtama.
Mukono, H.J. (2005). Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap GangguanSaluran Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press.
Munir, M. (2010). Faktor-faktor yang Melatarbelakangi ISPA pada Balita Usia 1-5 Tahun di Puskesmas Tuban. Skripsi. Tuban: STIKES NU Tuban.
Nani & Hasan, R. (2012). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan KejadianISPA pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur,Kabupaten Banggal Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012. Skripsi.Jakarta: Universitas Indonesia.
Noor, N.N. (2008). Epidemiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. RinekaCipta.
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian IlmuKeperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen PenelitianKeperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Prayudi, T & Susanto, J.P. (2001). Kualitas Debu dalam Udara Sebagai DampakIndustri Pengecoran Logam Ceper. Skripsi. Jurnal Teknologi Lingkungn,Vol 2, No 2.
Puskesmas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. (2013). Data ProgramPengendalian Penyakit Menular. Januari - Desember 2013.
Rahman & Abdur. (2004). Analisis Kualitas Lingkungan, LaboratoriumKesehatan Lingkungan. Depok: FKMUI.
Riduan. (2006). Rumus Dan Data Dalam Aplikasi Statistika. Bandung: Alfabeta.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Pedoman Pewawancara PetugasPengumpul Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013.
Santoso, S. (2010). Statistik Multivariat. Jakarta: PT Gramedia.
Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan: Penuntun Praktis BagiPemula. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.
Sekaran, U. (2006). Research Methods For Business: Metodologi PenelitianUntuk Bisnis, Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Sitepu, E. (2002). Analisis Kuantitatif Debu Pada Beberapa Kilang Padi Di DesaPaya Bakung Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Medan: FKM USU.
Sitomorang, P. (2002). Debu Particulate Matter (PM10) Udara Rumah Tinggaldan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) PadaBalita di Kelurahan Cakung Timur Kota Jakarta Timur Tahun 2002. Tesis.Jakarta: UI.
Soebiantoro, A., Kurnia, S., Kholis, A., Elvikri, Z., Kurniawan, G., Pricilla, dll.(2012). Hubungan Paparan Asap Rokok Dengan Kejadian ISPA PadaBalita Di RW X Desa Banjararum Kecamatan Singosari KabupatenMalang. Karya Ilmiah. Malang: Universitas Airlangga.
Sugiyono. (2011). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suma’mur, P.K. (1996). Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT.Toko Gunung Agung.
Suma’mur, P.K. (1998). Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan.Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Suma’mur, P.K. (2009). Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:Penerbit CV. Sagung Seto.
Sutomo, B & Anggraini, D.Y. (2010). Makanan Sehat Pendamping ASI. Jakarta:PT. Agromedia Pustaka.
Taisir. (2005). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balitadi Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan Tahun2005. Skripsi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Umar, H. (2007). Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
WHO. (2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil NegaraBerkembang. Pedoman Untuk Dokter Dan Petugas Kesehatan Senior.Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Jakarta: Penerbit Buku Kedoteran. EGC.
WHO. (2005). Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, NitrogenDioxide and Sulfur Dioxide Update Global 2005: Summary of RiskAssement, WHO Regional Office For Europe. Denmark: Copenhagen.
WHO. (2007). Cancer Control Knowledge Into Action. Geneva.http://www.who.int.
WHO. (2010). MDGs 4: Mengurangi Tingkat Kematian Anak.http://www.infeksi.com/articles.php?ing=in&pg=4699. tanggal 13 – 11-2014. Jam 05.20 WIB.
Widoyono. (2008). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan danPemberantasannya. Semarang: Erlangga.
Wong & Donna, L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Yamani, A.Z. (2013). Tinjauan Ergonomi Terhadap Ambang Debu dan GangguanPernafasan Pada Pekerja (Studi kasus di Industri Kecil PenyulinganMinyak Atsiri Cengkeh Samigaluh Kulonprogo). Tesis. Jakarta:Pascasarjana Teknik Industri Universitas Islam Indonesia.
Yulaekah, S. (2007). Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru padaPekerja Industri Batu Kapur. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Yunus, F. (1997). Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengendaliannya.Cermin Dunia Kedokteran No. 115.
top related