pengembangan jenis tanaman pertanian dengan sistem ...pur-plso.unsri.ac.id/userfiles/8_ revisi...

Post on 10-Mar-2019

222 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

Pengembangan Jenis Tanaman Pertanian dengan Sistem Agroforestri sebagai Upaya Pengurangan Laju Kerusakan Hutan di Provinsi Jambi

(The Development of Agricultural Crops with Agroforestry System as an

Effort to Reduce Forest Degradation in Jambi Province)

Ari Nurlia1 dan Bambang Tejo Premono2

1,2Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Puntikayu Palembang

Telp/Fax: +62711-414864 Email: ari_nurlia@yahoo.com

ABSTRACT

Land clearing for agricultural crops is one of the factors causing high rates of deforestation in Jambi Province. This is generally done by people with low income and poor land. Social forestry schemes are being developed by the government, in an effort to optimize the utilization of forest land that has been opened by the community. This study aims to describe and analyze the potential of developing the types of agricultural crops with agroforestry systems in forest areas that have been opened by communities, in Jambi Province. Discussions, interviews and field observations were conducted in order to extract the necessary data and information. Furthermore, the data are analyzed descriptively qualitative. The results show that the biggest factor causing deforestation in Jambi is conversion of land to plantation and agriculture, forest fires, illegal logging and population increase. Deforestation doing by the community to increase their income by expanding the land. Agroforestry is one way to increase community’s income without expanding the land. Commodities based on age level is applied as a diversification strategy and harvest time. This is done so that there is sustainability of income, so that the community does not open the forest. In general, people are directed to plant commodities that have long been known and developed for generations, such as tembesu and jernang on minerals lands and jelutung, coffee, areca and pineapple on peatlands. Government efforts are needed in order to improve the knowledge and skills of farmers. There is a need for government intervention on investment that allows for development in the community. In the end the benefits to be gained not only can improve the level of the community’s economy, but also become one way to reduce the rate of deforestation caused by the opening of forest by the community in order to increase the economy.

Keywords: agroforestry, deforestation, social forestry

ABSTRAK

Pembukaan lahan untuk tanaman pertanian merupakan salah satu faktor penyebab laju kerusakan hutan yang cukup tinggi di Provinsi Jambi. Hal ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah dan miskin lahan. Skema perhutanan sosial mulai dikembangkan oleh pemerintah, sebagai upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan kawasan hutan yang telah dibuka oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis potensi pengembangan jenis-jenis

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

tanaman pertanian dengan sistem agroforestri di lahan kawasan hutan yang telah dibuka oleh masyarakat, di Provinsi Jambi. Diskusi, wawancara dan observasi lapangan dilakukan dalam rangka menggali data dan informasi yang diperlukan. Selanjutnya data dianalisis secara deskiptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor terbesar penyebab kerusakan hutan di Jambi adalah konversi lahan menjadi perkebunan dan pertanian, kebakaran hutan, ilegal loging dan peningkatan penduduk. Kerusakan hutan dipicu oleh keinginan masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya dengan cara memperluas lahan. Agroforestri merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus memperluas lahan. Konsep komoditi bertingkat berdasarkan tingkat umur di terapkan sebagai strategi diversifikasi hasil dan waktu panen. Hal ini dilakukan agar ada kelestarian pendapatan, sehingga masyarakat tidak melakukan pembukaan lahan secara lebih luas lagi. Pada umumnya masyarakat diarahkan untuk menanam jenis-jenis komoditas yang sudah lama dikenal dan dikembangkan secara turun temurun, seperti tembesu dan jernang pada tanah mineral dan jelutung, kopi, pinang dan nanas pada lahan gambut. Upaya pemerintah diperlukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Perlu adanya campur tangan pemerintah terhadap investasi yang memungkinkan untuk dikembangkan di masyarakat. Pada akhirnya keuntungan yang akan diperoleh tidak hanya dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat, tetapi juga menjadi salah satu cara untuk mengurangi laju kerusakan hutan yang di akibatkan oleh pembukaan lahan oleh masyarakat dalam rangka peningkatan ekonomi.

Kata kunci: agroforestri, deforestasi, perhutanan sosial, agroforestri

PENDAHULUAN

Provinsi Jambi, merupakan salah satu provinsi terbesar di Sumatera Bagian Selatan yang memiliki laju kerusakan yang cukup tinggi. Selama periode 2011-2014, kawasan hutan di Provinsi Jambi mengalami kerusakan mencapai 871.776 ha atau sekitar 40% dari 2,1 juta ha luas hutan di daerah itu (Pembaruan, 2014). Pembukaan lahan untuk tanaman pertanian dan perkebunan sawit merupakan beberapa faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan. Pembukaan lahan dengan cara dibakar merupakan salah satu cara yang paling banyak dilakukan masyarakat. Hal ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah dan miskin lahan. Ketidakberpihakkan pengelolaan hutan kepada masyarakat pada era sebelumnya telah menjadikan masyarakat membenarkan tindakannya untuk memanfaatkan sumberdaya hutan dengan mengabaikan aturan dan batasan yang ada. Kondisi tersebut pada banyak kasus kemudian digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh manfaat maksimal dari sumberdaya hutan dengan mengabaikan kelestariannya (Martin et al., 2010).

Perhutanan sosial merupakan salah satu cara untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Skema perhutanan sosial mulai dikembangkan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan kawasan hutan yang telah dibuka oleh masyarakat. Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan merupakan bentuk-bentuk perhutanan sosial yang dikembangkan oleh pemerintah. Tujuan pengembangan perhutanan sosial adalah meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola hutan sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar hutan (Sumanto, 2009). Pola yang dikembangkan dalam perhutanan sosial adalah pola agroforestri atau pola campuran. Agroforestri adalah sistem budidaya jenis tanaman campuran yang berpotensi mengurangi tekanan sumber daya lahan dan air dengan menghasilkan hasil panen lebih tinggi dan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya melalui

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

eksploitasi komplementaritas antar spesies (Hong et al., 2017). Sistem agroforestri dikembangkan sebagai salah satu upaya mengurangi laju konversi hutan. Sistem agroforestri mampu menjadi alternatif yang prospektif untuk menyeimbangkan tujuan ekonomis sekaligus ekologi (Alfaizin and Suryo Hardiwinoto, 2013).

Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis potensi pengembangan jenis-jenis tanaman pertanian dengan sistem agroforestri di lahan kawasan hutan yang telah dibuka oleh masyarakat sekaligus menyajikan alternatif kebijakan sebagai upaya pengurangan laju kerusakan hutan, di Provinsi Jambi

BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabar Barat dan Kota Jambi pada bulan Juni 2017. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja berdasarkan informasi yang diperoleh sebelumnya dimana pada lokasi tersebut diketahui telah memiliki sistem agroforestri yang baik terutama pada lahan gambut yang dapat dijadikan percontohan untuk daerah lainnya. B. Pengumpulan data

Secara umum penelitian ini menggunakan metode survei dimana data primer maupun data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu melalui observasi lapang, wawancara dan diskusi terfokus.

Teknik observasi lapang dilakukan guna mendapatkan informasi langsung di lapangan mengenai kondisi lahan di masyarakat meliputi pola-pola agroforestri yang diterapkan, sistem pengelolaan dan jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan.

Wawancara dan diskusi terfokus bertujuan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai informasi awal yang telah diperoleh. Wawancara bertipe open-ended dimana peneliti bertanya kepada responden kunci yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) mengenai pengetahuan, informasi maupun opini mereka terhadap fenomena yang ada. Diskusi terfokus dilakukan untuk memvalidasi data-data yang telah diperoleh dan untuk mendalami lebih jauh terhadap data yang telah didapatkan pada dua tahapan sebelumnya. C. Analisis Data

Data primer dan data sekunder di analisis menggunakan analisis sosial berdasarkan tahapan dari (Yin, 2011) dengan mengumpulkan, mengelompokkan, mengkombinasikan dan menginterpretasikan data dengan menjelaskan data dalam narasi yang dapat disajikan dengan tabel atau gambar yang sesuai untuk menjelaskan data yang akan disajikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kerusakan Hutan di Jambi Deforestasi dalam pengertian sederhana adalah kondisi kawasan yang tadinya

berhutan menjadi tidak berhutan. Menurut (Nawir, Muniarti and Rumboko, 2008), Faktor pendorong deforestasi menjadi semakin kompleks dan mencakup berbagai aspek. Ada dua macam faktor pendorong yang menyebabkan deforestasi, yaitu faktor pendorong secara langsung dan faktor pendorong tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar dan kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan dan sering terjadi terutama pada musim kemarau yang panjang. Penyebab tidak langsung antara

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

lain, adalah kegagalan pasar, kegagalan kebijakan dan persoalan sosial-ekonomi dan politik lainnya secara umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor terbesar penyebab kerusakan hutan di Jambi adalah konversi lahan menjadi perkebunan dan pertanian, kebakaran hutan, ilegal loging dan peningkatan penduduk. Sesuai dengan jalan pemikiran Barbier et al. (1997:3) dalam (Sunderlin and Resosudarmo, 1997) yang berpendapat bahwa deforestasi di Indonesia banyak terjadi pada lahan yang dikonversikan menjadi lahan pertanian, jadi peranan penyebab deforestasi dipegang oleh pertumbuhan kegiatan pertanian. Sedangkan (Geist and Lambin, 2002) menyatakan bahwa pemicu dari deforestasi adalah faktor pertanian, ektraksi kayu dan perluasan infrastruktur.

Kebakaran hutan paling banyak terjadi akibat pembukaan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian dan perkebunan sawit dan karet. Membakar lahan menjadi salah satu cara paling mudah dan murah yang dilakukan oleh masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan lahan dipicu oleh peningkatan penduduk dan faktor ekonomi masyarakat. Masyarakat meyakini semakin luas lahan yang dikelola maka akan semakin besar pendapatan yang akan mereka terima.

Namun demikian, di Kabupaten Tanjung Jabung Barat masyarakat telah mulai mengembangkan sistem agroforestri dimana optimalisasi lahan merupakan salah satu tujuannya. Sistem agroforestri membuat masyarakat tidak harus memiliki lahan yang luas untuk optimalisasi hasil. Komoditi bertingkat berdasarkan tingkat umur cepat, sedang, dan lama di terapkan sebagai strategi diversifikasi hasil dan waktu panen. Sebagian besar masyarakat telah mengganti perkebunan sawitnya dengan jenis lain yaitu kopi dan pinang. Hal ini dilakukan agar ada kelestarian pendapatan, sehingga masyarakat tidak melakukan pembukaan lahan secara lebih luas lagi. B. Jenis Tanaman Potensial Untuk Dikembangkan di Masyarakat dengan Sistem

Agroforestri Agroforestri merupakan sistem penanaman dimana tanaman berkayu ditanam bersamaan dengan tanaman musiman. Agroforestri merupakan salah satu cara untuk optimalisasi lahan agar dapat memaksimalkan hasil. Pola tanam agroforestri atau juga dikenal dengan pola tanam tumpangsari dapat memberikan dampak positif kepada petani yaitu penggunaan lahan dan waktu untuk menghasilkan berbagai jenis tanaman yang lebih efisien, dapat mencegah dan mengurangi kekosongan antar musim, pengolahan lahan menjadi minimal, dapat meragamkan gizi masyarakat dan menekan serangan hama dan patogen (Lubis, Daryanto and Tambunan, 2014). Pola agroforestri dapat membantu masyarakat meningkatkan ekonomi, dimana ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan hutan di Provinsi Jambi. Peningkatan ekonomi masyarakat dapat menahan masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan yang tentunya dapat mengurangi laju kerusakan hutan di Provinsi Jambi. Di Provinsi Jambi terdapat dua jenis lahan dalam kawasan hutan, yaitu lahan kering dan lahan gambut. Berikut merupakan jenis-jenis komoditi potensial yang dapat dikembangkan pada kedua jenis lahan tersebut dengan sistem agroforestri : B.1. Jenis tanaman potensial di lahan mineral yang dapat Dikembangkan Dengan

sistem agroforestri Lahan kering atau tanah mineral merupakan lahan yang paling banyak terdapat di Provinsi Jambi. Jenis-jenis tanaman yang dapat dikembangkan pada lahan kering sangat beragam menyesuaikan kondisi lahannya. Jenis tanaman yang telah mulai banyak

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

dikembangkan di Provinsi Jambi adalah jernang dan tembesu yang ditanam dengan pola agroforestri. Jernang merupakan hasil hutan bukan kayu yang banyak dikembangkan di Provinsi Jambi terutama di Kabupaten Sarolangun. Jernang dapat di tanam bersamaan dengan tanaman karet yang merupakan jenis tanaman utama yang banyak ditanam di wilayah ini atau dengan jenis tanaman MPTS. Hal ini dikarenakan jernang membutuhkan inang untuk rambatannya. Hasil jernang yang utama adalah resin atau getahnya. Resin atau getah jernang dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat karena memiliki nilai ekonomi dan ada pangsa pasarnya (Ardi et al., 2011). Resin jernang telah di ekspor ke beberapa negara antara lain Hongkong, China dan Singapura. Produk yang dapat dihasilkan dari jernang antara lain obat-obatan, kosmetik dan bahan baku pewarna pewarna. Harga jernang bervariasi antara Rp. 150.000 sampai dengan Rp. 400.000,-/Kg tergantung dari salurannya pemasarannya. Hasil penelitian dari (Ardi et al., 2011) menyatakan untuk memenuhi kebutuhan layak bagi petani maka usaha agroforesti jernang harus di usahakan dengan luas minimal 1,28 hektar. Tembesu merupakan jenis tanaman kehutanan yang banyak di usahakan di Sumatera Bagian Selatan. Di Jambi, tembesu di kombinasikan dengan tanaman sawit dan karet. Tembesu umumnya tumbuh secara alami dilahan masyarakat pada saat pembukaan lahan. Namun saat ini tembesu mulai ditanam masyarakat baik sebagai tanaman pagar maupun sebagai tanaman campuran. Secara ekonomi tembesu layak di usahakan karena kayunya memiliki nilai jual yang tinggi. Tembesu dapat di usahakan pada lahan kering dengan campuran tanaman musiman. Umumnya pola agroforestri yang diterapkan masyarakat di jambi adalah agroforestri tembesu-karet dan agroforestri tembesu-sawit. B.2. Jenis tanaman potensial di lahan gambut yang dapat dikembangkan dengan sistem

agroforestri Berbeda pada lahan kering, jenis tanaman yang dapat tumbuh pada lahan gambut

lebih terbatas. Potensi lahan gambut untuk pertanian sangat bergantung pada jenis vegetasi dan substratumnya atau tanah bagian dasar serta kondisi daerah hinterlandnya (Djaenudin, 2008). Tidak semua jenis tanaman pertanian dapat beradaptasi dengan jenis lahan ini, hanya jenis-jenis tertentu yang dapat tumbuh dan berkembang baik pada jenis lahan gambut. Lahan gambut memiliki sifat yang beragam bergantung dari komposisi pembentukannya. Pola pengembangan yang tepat dan ideal untuk lahan ini, adalah melalui usahatani terpadu (farming system) (Sudana, 2005). Berikut adalah beberapa jenis tanaman yang dapat dikembangkan pada lahan gambut: a. Kopi Liberika

Kopi liberika merupakan salah satu jenis tanaman pertanian unggulan yang dikembangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kopi liberika di Kabupaten Tanjung Jabung Barat telah ditetapkan sebagai varietas bina melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.4968/Kpts/SR.120/12/2013 tanggal 6 Desember 2013. Kopi liberika memiliki keunggulan tahan terhadap hama dan dapat ditanam di lahan marginal seperti tanah gambut.

Kopi liberika dapat dipanen pada umur 2,5 – 3 tahun tergantung dari kondisi lahannya. Buah kopi liberika akan terus meningkat setiap tahun dan akan mencapai puncaknya pada umur 7 – 9 tahun. Pada umur puncak tersebut, kopi liberika dapat menghasilkan 9 -15 kuintal per hektar setiap tahunnya, bahkan dapat mencapai 20 kuintal per hektar setiap tahunnya jika dikelola secara intensif.

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

Bunganya yang tidak serentak membuat kopi liberika dapat dipanen setiap bulan dengan cara dipilih. Pemetikan hanya dilakukan pada buah yang matang saja untuk menjaga kualitas kopi yang dihasilkan. Pencampuran buah kopi yang matang dengan kopi mentah dapat menyebabkan kualitas kopi menurun dan harga menjadi rendah. Pemetikan dilakukan secara manual dengan cara dipetik. Selain kopi yang dipetik dipohon, kopi luwak liberika juga banyak ditemukan di antara tanaman-tanaman kopi. Kopi luwak liberika memiliki harga yang lebih tinggi dibanding dengan kopi liberika murni.

Kopi liberika dapat dikembangkan dengan pola agroforestri dengan tanaman beriang dan pinang dengan jumlah maksimal 25% dari total populasi agar tidak mengganggu hasil tanaman kopi. Tanaman beriang dan pinang selain berfungsi sebagai tanaman pembayang berfungsi sebagai tanaman konservasi dan hasilnya dapat menambah pendapatan petani. Selain itu, tanaman palawija sebagai tanaman musiman dapat ditanam di periode awal pertumbuhan tanaman kopi sebagai upaya pemanfaatan ruang tumbuh yang masih tersedia.

(a) Pola campuran kopi dan pinang (b) Produk-produk dari kopi liberika

Gambar 1. Pola agroforestri berbasis kopi dan produk-produknya Kopi liberika dapat dijual dalam produk mentah, produk setengah jadi, dan produk

jadi. Dalam bentuk produk mentah, kopi liberika dijual dalam bentuk buah yang belum diberi perlakuan apapun. Harga kopi liberikan dalam bentuk ini masih murah berkisar antara Rp.3000,- sampai dengan Rp. 5.000,- rupiah per Kgnya. Sedangkan dalam bentuk setengah jadi, kopi liberika dijual dalam green bean dan kopi roaster, harga dalam bentuk ini mencapai Rp. 100.000,- dan dalam produk jadi yaitu kopi bubuk, harga kopi liberika mencapai Rp. 150.000,- per Kgnya. Kopi liberika luwak memiliki harga pasaran lebih tinggi dibanding produk kopi lainnya. Harga kopi liberika luwak berkisar antara Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 300.000,- per Kgnya. b. Nanas

Nanas merupakan salah satu jenis tanaman pertanian yang dapat beradaptasi pada lahan marginal yaitu gambut. Komoditas nanas memiliki prospek pasar yang cukup besar baik dalam negeri maupun luar negeri. Nanas dapat dikembangkan dengan pola agroforestri bersamaan dengan tanaman jelutung, beriang dan pinang.

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

(a) Pola campuran nanas dan jelutung (b) Pola agroforestri nanas dan beriang

(c) pola agroforestri nanas dan pinang (d) Buah nanas segar sebagai produk

Gambar 2. Pola agroforestri berbasis nanas dan produknya

Produk nanas di Provinsi Jambi hingga saat ini sebagian besar masih berupa buah segar. Petani langsung memasarkan buah nanas dengan cara dijual langsung secara eceran dan dijual secara borongan. Selain di jual secara lokal, nanas segar di jual oleh pengumpul ke beberapa wilayah antara lain Jakarta dan Bali.

Di Provinsi Lampung yang merupakan salah satu sentra produksi nanas terbesar di Indonesia, nanas tidak hanya dijual dalam bentuk buah segar tetapi juga dalam bentuk nanas olahan dalam kaleng. PT. Giant Great Pinneapple (GGP) merupakan salah satu perusahaan terbesar yang bergerak dalam industri pengelolahan produk nanas olahan. Produk nanas olahan dalam kaleng diproduksi untuk kebutuhan ekspor dengan jumlah pemanenan dalam sehari mencapai 2.000 ton untuk memenuhi kebutuhan nanas olahan.

Selain produk nanas olahan dalam kaleng, untuk skala lokal buah nanas dapat diolah menjadi makanan dan minuman seperti sari buah dan nutri jelly. Pengolahan buah nanas menjadi produk olahan selain menyelamatkan hasil panen, pengolahan buah nanas juga dapat memperpanjang umur simpan, diversifikasi pangan dan meningkatkan kualitas maupun nilai ekonomis buah nanas (Lesbani et al., 2014).

c. Pinang

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan kopi dan nanas, pinang merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat ditanam bersamaan dengan kedua jenis tanaman tersebut. Varietas pinang yang terkenal adalah pinang betara. Pinang betara merupakan satu-satunya varietas unggulan di Indonesia yang ditetapkan sebagai pinang unggul dengan

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

SK MENTAN Nomor 199/Kpts/SR.120/1/2013. Pinang betara dikembangkan oleh masyarakat di Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan pola campuran.

Pinang mulai berbuah pada umur 3 – 4 tahun dan dapat dipanen setiap 20 hari sekali. Dikarenakan batangnya yang semakin tinggi pada setiap tahunnya, pemanenan buah pinang dilakukan dengan alat bantu galah dari bambu. Pemanenan hanya dilakukan pada buah yang masak saja. Namun demikian, saat ini ekspor berbasis pinang muda juga telah mulai berkembang.

Pemasaran pinang hampir seluruhnya dilakukan untuk penjualan ekspor. Produk yang dapat dihasilkan pada komoditi pinang adalah biji pinang. Biji buah pinang masak yang kering di ekspor ke Pakistan, India dan Thailand, sedangkan pinang muda di ekspor ke Korea dan China untuk bahan baku permen.

(a) Buah pinang yang sedang dijemur (b) Persemaian pinang gambut

Gambar 3. Buah pinang masak kering dan persemaian pinang gambut Selain dengan tanaman nanas, kopi dan beriang, tanaman pinang juga dapat ditanam

dengan tanaman musiman yaitu padi atau jagung. Campuran pinang dengan padi dan jagung dilakukan secara bergilir selama daur pinang. Analisis finansial pada tingkat suku bunga riil 11% menunjukkan menunjukkan pengusahaan pinang dengan padi/jagung mampu memberikan keuntungan dengan nilai NPV yang positif, BCR lebih dari satu dan IRR d atas nilai suku bunga. Hal ini menunjukkan pola campuran pinang dengan padi dan jagung layak di usahakan. Tabel 1. Nilai NPV, BCR dan IRR untuk pengusahaan tanaman pinang dengan

padi/jagung di lahan gambut NPV BCR IRR

295.968.735 3,54 30,9

Sumber : Data olahan

C. Alternatif Kebijakan

Bertolak pada kedua sub bab yang telah dibahas di atas, pola agroforestri dengan mengembangkan jenis-jenis tanaman unggulan lokal yang telah terbukti unggul baik dalam hal kualitas maupun pemasarannya diharapkan selain dapat mengoptimalkan lahan juga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan segala kelebihan dan kekurangan dari setiap jenis tanaman yang ada, hendaknya pada program perhutanan sosial yang digalakkan oleh pemerintah tidak hanya terfokus pada pengelolaan lahannya

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

saja tapi juga memikirkan permasalahan tersebut. Permasalahan yang sering dialami petani berada pada hilir pengelolaan yaitu pemasarannya. Ketidaktahuan petani akan kualitas produk yang dihasilkan menyebabkan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga dan mengakibatkan harga produk menjadi rendah. Peran serta pemerintah menjadi sangat penting dalam menyampaikan teknologi-teknologi pasca panen kepada petani untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, walaupun terkadang tidak semua level petani mampu mengimplementasikannya karena terkait tingkat pengetahuan dan permodalan yang dimiliki petani.

Diversifikasi produk merupakan salah satu cara untuk terus meningkatkan pendapatan masyarakat. Upaya pemerintah diperlukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Tidak hanya dalam hal transfer informasi, tetapi juga perlu adanya campur tangan pemerintah terhadap investasi yang memungkinkan untuk dikembangkan di masyarakat. Pada akhirnya keuntungan yang akan diperoleh tidak hanya dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat saja, tetapi juga menjadi salah satu cara untuk mengurangi laju kerusakan hutan yang di akibatkan oleh pembukaan lahan oleh masyarakat dalam rangka peningkatan ekonomi.

KESIMPULAN

Faktor terbesar penyebab kerusakan hutan di Jambi adalah konversi lahan menjadi perkebunan dan pertanian, kebakaran hutan, ilegal loging dan peningkatan penduduk. Kerusakan hutan dipicu oleh keinginan masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya dengan cara memperluas lahan. Agroforestri merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus memperluas lahan. Komoditi bertingkat berdasarkan tingkat umur cepat, sedang, dan lama di terapkan sebagai strategi diversifikasi hasil dan waktu panen. Hal ini dilakukan agar ada kelestarian pendapatan, sehingga masyarakat tidak melakukan pembukaan lahan secara lebih luas lagi. Selain itu, diharapkan masyarakat juga berfungsi untuk melakukan monitoring terhadap kawasan hutan di sekitarnya. Komoditi yang dia arahkan untuk dikembangkan adalah jenis komoditas yang sudah lama dikenal dan dikembangkan secara turun temurun, seperti tembesu dan jernang pada tanah mineral dan jelutung, kopi, pinang dan nanas pada lahan gambut. Upaya pemerintah diperlukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Tidak hanya dalam hal transfer informasi, tetapi juga perlu adanya campur tangan pemerintah terhadap investasi yang memungkinkan untuk dikembangkan di masyarakat. Pada akhirnya keuntungan yang akan diperoleh tidak hanya dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat, tetapi juga menjadi salah satu cara untuk mengurangi laju kerusakan hutan yang di akibatkan oleh pembukaan lahan oleh masyarakat dalam rangka peningkatan ekonomi.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. JICA yang telah memberikan dukungan pendanaan penelitian tahun 2017 melalui

kegiatan kerjasama konsorsium BRG-JICA dengan BP2LHK Palembang. 2. Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Palembang atas dukungan dalam melaksanakan kerjasama penelitian.

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

3. Dr. Edwin Martin, S.Hut., M.Si, atas segala bimbingannya baik masukan dan sarannya dalam pembuatan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alfaizin, D. and Suryo Hardiwinoto (2013) Studi Komposisi, Struktur, Biomassa, dan Cadangan Karbon pada berbagai Umur Agroforestry berbasis Karet di Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo, Jambi. Universitas Gajah Mada.

Ardi et al. (2011) ‘PROSPEK USAHA AGROFORESTRY KARET DAN JERNANG DI KABUPATEN SAROLANGUN-JAMBI (Prospects of Rubber and Jernang Agroforestry in the District of Sarolangun- Jambi)’, Jurnal ilmu-ilmu sosial dan ekonomi, 6(1), pp. 10–14.

Djaenudin, D. (2008) ‘Perkembangan penelitian sumber daya lahan dan kontribusinya untuk mengatasi kebutuhan lahan pertanian di indonesia’, Jurnal Litbang Pertanian, 27(98), pp. 137–145.

Geist, H. J. and Lambin, E. F. (2002) ‘Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation’, BioScience, 52(2), p. 143. doi: 10.1641/0006-3568(2002)052[0143:PCAUDF]2.0.CO;2.

Hong, Y. et al. (2017) ‘Intercropping and agroforestry in China – Current state and trends’, Agriculture, Ecosystems & Environment. Elsevier, 244(May), pp. 52–61. doi: 10.1016/j.agee.2017.04.019.

Lesbani, A. et al. (2014) ‘Pembinaan Industri Kecil Sari Buah Nanas Dan Nutri Jelly Sebagai Pengolahan Alternatif Dari Buah Desa Beti Inderalaya Selatan’, Jurnal Pengabdian Sriwijaya, pp. 241–246.

Lubis, R. R. B., Daryanto, A. and Tambunan, M. (2014) ‘ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PRODUKSI NANAS : STUDI KASUS DI KABUPATEN SUBANG , JAWA BARAT Technical Efficiency Analysis of Pineapple Production : A Case Study in Subang Regency , West Java’, Jurnal Agro Ekonomi, 32(2), pp. 91–106.

Martin, E. et al. (2010) Laporan Hasil Penelitian Sosial Forestri. Palembang.

Nawir, A. A., Muniarti and Rumboko, L. (2008) Rehabilitasi hutan di Indonesia. Edited by A. A. Nawir, Muniarti, and L. Rumboko. Bogor: CIFOR.

Pembaruan, S. (2014) ‘Sekitar 40% Hutan di Jambi Rusak Berat’, Http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/sekitar-40-hutan-di-jambi-rusak-berat/68639.

Sudana, W. (2005) ‘Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian’, Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 3(2), pp. 141–151.

Sumanto, S. E. (2009) ‘Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial Dalam Perspektif Resolusi Konflik [Social Forestry Development Policy in Conflict Resolution Perspective]’, Forestry Policy Analysis Journal, 6, pp. 13–25.

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017 “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal untuk Optimalisasi Lahan Suboptimal”

Editor: Siti Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6

Sunderlin, W. D. and Resosudarmo, I. A. P. (1997) Laju dan penyebab deforestasi di Indonesia: penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya, Occasional Paper. Center For International Forestry Research. Bogor.

Yin, R. K. (2011) Qualitative Research from Start to Finish, Journal of Chemical Information and Modeling. New York: The Guilgorf Press.

top related