laporan akhir studi kelayakan kawasan jatinangor sebagai kawasan perkotaan
Post on 13-Oct-2015
297 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
G. Geulis
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
G. Geulis
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
G. Geulis
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 1
IPEND HULU N1.1 Latar Belakang
Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di
Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota
pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 an sesuai dengan
konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan
tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatanbernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota
yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre)
yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat
pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk
mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan
tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa
Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut, dipindahkan
empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi
Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti
(UNWIM).
Selanjutnyan Jatinangor ditetapkan sebagai kecamatan yang
sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten
Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta
Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan
Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian
nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan
pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan
menjadi 26 kecamatan.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 2
Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK)
Perguruan Tinggi Jatinangor Tahun 2000 2010, kawasan pendidikan tinggi
Jatinangor adalah kawasan yang meliputi delapan desa dari duabelas desa yang
termasuk Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang yaitu:
1. Desa Cikeruh 5. Desa Sayang
2. Desa Hegarmanah 6. Desa Cipacing
3. Desa Cilayung 7. Desa Jatiroke
4. Desa Cibeusi 8. Desa Cileles,
serta dua desa yang termasuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, yaitu:
1. Desa Cileunyi Wetan
2. Desa Cileunyi Kulon.
Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi
mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya sivitas
akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa.
Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh
pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih
beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula
industri dan kerajinan rumah tangga.
Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun
1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan
kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung
cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut
yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun
1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Adapun kegiatan perkuliahan berturut-turut
dimulai pada tahun 1982, 1987, 1989, dan 1991. Perubahan fisik Kawasan
Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai
kawasan relokasi perguruan tinggi di atas.
Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan
mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan.
Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di
sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi
mahasiswa.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 3
Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah,
karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga
pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi
lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota. Hal ini
menyebabkan belum diterapkannya konsep tata ruang kota yang ada secara
konsisten, meskipun kawasan Jatinangor telah memiliki beberapa rencana tata
ruang sejak tahun 1987. Kebijakan Penataan ruang terbaru adalah Rencana
Detail Tata Ruang Pusat Kecamatan Cikeruh 1995-2005, kemudian Rencana
Umum Tata Ruang Kawasan Pendidikan Jatinangor 1999- 2010.
Menurut Revisi Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Jatinangor
(2002), rencana-rencana tata ruang yang ada mempunyai kesamaan dalam
fungsi utama yaitu sebagai lokasi perguruan tinggi dan pusat rekreasi. Untuk
fungsi umum, ada sedikit perbedaan yaitu dalam pelayanan sosial, terminal, jasa
dan distribusi, pusat pemasaran barang dan jasa, pusat pelayanan kesehatan,
kegiatan industri, permukiman dan perkantoran. Disamping itu terdapat
beberapa perbedaan prinsip seperti penetapan jalan tol, TPA, sumber air baku,
pemakaian air tanah, sumber pelayanan listrik, telepon dan lain-lain.
Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi
akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari
pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat,ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet,
penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.
Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan dalih pembangunan
mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta
udara terasa panas. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air
karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak.
Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas
akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat.
Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin
menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara
sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh
interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 4
terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal
(Bapeda, 2002).
Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa selain etnis Sunda, etnis
lainnya mempunyai jumlah yang signifikan yaitu sekitar 18% dari total 83.206
penduduk yang tinggal di Jatinangor. Beberapa kelurahan yang berbatasan
langsung dengan kawasan pendidikan bahkan mempunyai etnis non Sunda
kurang lebih 20% antara lain Kelurahan Cintamulya, Cibeusi, Hegarmanah serta
Cikeruh.
Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang
terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah,
pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah
warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda)
tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap
Jatinangor.
Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang
signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian
(petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya
sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti
buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk
dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta
adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi
12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah
penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari
struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya
4,1% lulusan perguruan tinggi.
Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan
ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang
lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan
pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota
Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non
pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan
toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 5
Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju
mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.
Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa
keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata
pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan.
Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual
dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk
mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah
tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi
mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar.
Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang
perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada
penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat
mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh
manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang.
Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa,
menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para
pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusanperguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan
bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan
kualitas tenaga kerja yang rendah.
Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan
selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non
pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh
munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Besar tumpukan sampah di Kecamatan Jatinangor yang bersumber dari
perumahan, industri, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran dan fasilitas
pendidikan yang mencakup sekolah-sekolah dan dan perguruan tinggi mencapai
96 m3/hari. Menurut proyeksi pada tahun 2005 meningkat menjadi 116,31
m3/hari, tahun 2010 sebesar 135,52 m
3/hari, tahun 2015 menjadi 157,78
m3/hari, serta pada tahun 2020 mencapai 182,76 m
3/hari.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 6
Ketersediaan air di Kawasan Jatinangor memiliki karakteristik yang
berbeda antara air tanah tengah dan air tanah dangkal. Potensi air tanah dangkal
di Jatinagor sebesar 18.890.649 m3/tahun, pengambilannya sebesar 2.619.933,5
m3tahuni Untuk air tanah tengah sebesar 2.000.000 m
3/tahun, sedangkan
pengambilannya sebesar 4.600.000 m3
/tahun. Dari data tersebut terjadi
ketidakseimbangan dalam pengambilan air tanah tengan yang dilakukan oleh
kegiatan industri pada kedalaman 40 s.d 150 meter di dalam tanah. Pengambilan
air tahan tengah secara berlebihan mengakibatkan penurunan muka air tanah di
Jatinangor sebesar 3.5 meter per tahun (Diponegoro, 2004). Hal ini didukung
oleh pencatatan hidrografi di PT Coca Cola yang menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan muka air tanah sebesar 20 meter selama enam bulan terakhir
(www.pikiranrakyat.com)
Dari aspek transportasi, Jalan Raya Jatinangor merupakan jalan arteri
primer yang memiliki intensitas kegiatan di sepanjang jalan yang banyak
membangkitkan pergerakan. Karakterisrik pergerakan ideal di Jalan Raya
Jatinangor adalah pergerakan kendaraan yang relatif cepat dan bebas hambatan.
Namur sepanjang jalan dari Kampus IPDN s.d UNPAD banyak pejalan kaki,
serta banyaknya angkutan umum yang menunggu dan menaik-turunkan
penumpang sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas.
Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Secara sosiologis maupun geografis, kawasan Jatingangor merupakan
kawasan pinggiran (periphery), yaitu kawasan yang dilihat aspek jaraknya jauh
dari pusat kota bahkan ada di perbatasan dengan wilayah juridiksi kabupaten
lain. Sementara itu, dari aspek hubungan politik personal ataupun kelompok,
kawasan ini cukup jauh dari kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Oleh
karena itu, sejumlah permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan
bahwa Jatinangor seolah-olah tidak bertuan karena memang secara sadar
ataupun tidak, kawasan ini terkategorikan kawasan pinggiran.
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi
masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 7
perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola
kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian,
berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup
punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai
penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan
politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh
karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan
dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang
secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak
mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan.
Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciri-
ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan
kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor
1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan
mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan
baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan.
1.2 Perumusan Masalah
Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor secara planologis telah
berubah menjadi kawasan terbangun (urbanized area), mengalami
perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum
berstatus sebagai kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.
Untuk menetapkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan tidak cukup hanya
dengan menetapkan dari aspek fisik saja tetapi diperlukan kajian bagaimana
kelayakan kawasan Jatinangor dari aspek lain seperti kependudukan, ekonomi,
kelembagaan/ pemerintahan, lingkungan serta aspek tata ruang dan
pengembangan wilayahnya.
1.3 Maksud, Tujuan dan Sasaran
Maksud dilakukannya studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan
menganalisis tingkat kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan,
sedangkan tujuannya adalah :
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 8
1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan Jatinangor sebagai kawasan
perkotaan dari aspek aspek sosia ekonomi, kelembagaan, lingkungan, serta
aspek tata ruang..
2. Memberikan rekomendasi secara umum tenteng kebutuhan-kebutuhan
kawasan Jatinangor untuk dapat memenuhi persyaratan sebagai kawasan
perkotaan.
3. Merumuskan saran-saran studi lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka
persiapan untuk menjadikan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan.
Adapun sasaran dari kegiatan studi ini yaitu :
1. Terdeliniasi kawasan perkotaan dengan perumusan fungsi kawasan sesuai
dalam karakteristik dan arahan kebijakan yang telah ditetapkan pada
perencanaan yang lebih .
2. Terumuskannya tipologi kota dan memetakan standar kebutuhan kota
sesuai tipologinya.
3. Terumuskannya suatu strategi untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang
mampu mendorong pengembangan kawasan perkotaan yang diharapkan.
4. Terumuskannya model lembaga pengelola perkotaan yang sesuai dengan
kebutuhan.
1.4 Keluaran
Sesuai dengan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup maka
keluaran yang diharapkan dari Penyusunan Study Kelayakan Kawasan
Perkotaan Jatinangor adalah: Tersusunnya dokumen study kelayakan (feasibility
study) kawasan perkotaan Jatinangor dari aspek sosial budaya, ekonomi,
kelembagaan, lingkungan serta tata ruang.
1.5 Manfaat Studi
Manfaat dari studi ini adalah:
Pemerintah Kabupaten Sumedang memiliki bahan masukan untuk
menetapkan strategi dan kebijakan perencanaan dan pengembangan
Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung.
Pemerintah Kabupaten Sumedang mempunyai bahan acuan guna penetapan
program pengembangan kawasan perkotaan di Kawasan Jatinangor.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 9
1.6 Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Kawasan Perkotaan;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten
Sumedang Tahun 2005-2025;
6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Sumedang Tahun 2009-2013;
1.7 Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika dari laporan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor
sebagai Kawasan Perkotaan ini adalah sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, maksud, tujuan,
serta sasaran. Selain itu, juga berisi keluaran, manfaat studi serta
sistematika pembahasan.
Bab 2 Kajian Teori dan Normatif
Bab ini berisi teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan
studi kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor. Aspek normatif yang
diacu antara lain terdiri dari PP No 34 Tahun 2009, Permendagri No 1
Tahun 2008 serta Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 tentang
standar pelayanan minimal perkotaan.
Bab 3 Metode Penelitian
Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam kajian, ruang
lingkup studi, sumber data serta operasionalisasi indicator yang
digunakan dalam menilai kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor,
Teknik pengumpulan dan Analisis Data, organisasi pelaksana dan
jangka waktu penelitian
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 10
Bab 4 Arahan Kebijakan Kawasan Perkotaan
Bab ini menjelaskan mengenai Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan
Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten
Sumedang 2005-2025, Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan
Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang
Bab 5 Analisis Kelayakan Kawasan Perkotaan
Bab ini menjelaskan tentang Karakteriktik dan Potensi Kawasan
Perkotaan Jatinangor-Cimanggung, Pengukuran Indikator Kawasan
Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang dan Lingkungan,
Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan, Arahan Pengembangan
Kawasan Perkotaan
.Bab 6 Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
Bab ini menjelaskan tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Model-
model Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan Jatinangor di
Kabupaten Sumedang, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan
Jatinangor
Bab 7 Kebijakan Dan Strategi Kawasan Perkotaan
Bab ini menjabarkan kebijakan dan strategi dalam pengembangan
kawasan perkotaan pada kawasan perkotaan Jatinangor setelah
ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.
Bab 8 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Perkotaan
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil
kajian dan rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam
menindaklanjuti penetapan kawasan perkotaan Jatinangor
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 1
B BIIK JI N TEORI D N NORM TIF
2.1 Konsep Perkotaan
Hoselitz (dikutip oleh Widiarto: 1995) berpendapat bahwa pertumbuhan kota yang
senantiasa diharapkan adalah pertumbuhan yang generative dan bukan parasitic.
Sebagai pertumbuhan yang generatif, kegiatan di kota tersebut harus dapat memberi
kesempatan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya, dan mampu menarik kawasansekitarnya (hinterland) untuk tumbuh berkembang bersama-sama.
Jika dilihat dari sudut pandang teori ini, tampaknya Jatinangor belum dapat
berperan seperti apa yang digambarkan Hoselitz tersebut, padahal jika kota tumbuh sebagai
parasit akan berakibat terjadinya disorganisasi sosial. Fenemena yang terjadi di kawasan ini
nampaknya menjadi indikasi penguatan apa yang dikatakan dalam teori ini. Terjadi
gentrifikasi sosial, yakni tergesernya penduduk asli oleh pendatang merupakan indikasi
bahwa kota tidak tumbuh secara generatif, dimana kesempatan usaha dan kerja yang ada
banyak dinikmati oleh orang luar.
Sementara itu disorganisasi sosial pada kawasan ini diindikasikan dengan
melonggarnya norma-norma sosial. Kajian sosial oleh Bappeda (2002) memperlihatkan
bahwa secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh
interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama,
degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal.
Jatinangor walaupun dalam konsep Tata Ruang Bandung Raya
(MBUDP/Metropolitan Bandung Urban Development Project) telah ditetapkan sebagai
kota counter magnet yang kegiatannya didominasi oleh perguruan tinggi, namun
kenyataannya tetap sebagai daerah pinggiran/ Periphery.
Terhadap kenyataan ini John Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata
ruang, lokasi serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 2
Di daerah perencanaan biasanya terdapat daerah inti (centre) dan daerah pinggiran atau
periphery regions. Daerah pinggiran sering disebut daerah pedalaman atau daerah
sekitarnya. Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar metropolis atau
megapolis, dikategorikan sebagai daerah daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis
sisanya merupakan sub sistem-sub sistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh
lembaga-lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam
satu hubungan ketergantungan substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-
sama membentuk sistem spasial yang lengkap.
Daerah inti pada umumnya dikategorikan sebagai daerah metropolitan
(metropolitan region), dan poros pembangunan (development axes). Sedangkan daerah
pinggiran dapat dikategorikan sebagai daerah perbatasan (frontier region), dan daerah
tertekan (depresed region).
Jadi jika dilihat dari kacamata analisis Friedman di atas, Jatinangor merupakan
daerah pinggiran yang kekuatannya hanya kecil karena hanya merupakan sub-sistem
pemerintahan dan ekonomi, yang pusatnya berada di Kota Bandung. Oleh karena itu
walaupun masalah sudah begitu kompleks, namun lembaga-lembaga formal yang ada tidak
mempunyai kekuatan sendiri untuk menata dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Akses terhadap sumber-sumber kekuatan dan kekuasaan juga relatif kecil.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerahdan Peraturan Pemerintah Nomor 34, tahun 2009, jika dua daerah mempunyai masalah
yang tidak dapat diselesaikan keduabelah pihak, maka pemerintah yang ada di atasnya
harus dapat menjadi mediator. Dalam banyak kasus, akhirnya pihak-pihak yang
berkepentingan membentuk lembaga pengelola atau disebut juga sekretariat bersama
(sekber) yang bertugas untuk merumuskan penyelesaian masalah. Namun eksekusinya
biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak, kecuali jika ada proyek khusus yang
menangani masalah yang bersangkutan, misalnya MBUDP yang memberikan bantuan
infrastruktur dasar seperti drainase induk, sanitasi (sewerage), jalan, dsb.
Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh
Puslitbang Permukiman Dep. PU (2007) menunjukkan ke arah fenomena tersebut.
Pembangunan Regional Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi),
Kartamantul (Jogyakarta, Sleman, Bantul), Gerbangkartasusila (Gersik, Jombang,
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 3
Majakerta, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan sebagainya pada dasarnya bertujuan untuk
mereduksi konflik-konflik perbatasan. Dalam kasus tersebut selalu dibentuk lembaga atau
sekretaiat bersama yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari daerah yang berkonflik.
Kajian Puslitbang Permukiman (2006) tentang Pengembangan Lembaga Lokal
dalam Pembangunan Perumahan menunjukkan bahwa ada Lembaga Pemerintahan Desa
(Kabupaten Sleman dan Kabupaten bandung) yang diberi kewenangan untuk memberikan
izin konversi lahan untuk perumahan dengan skala yang kecil (di bawah 10 rumah). Hal ini
disebabkan tidak mampunya lembaga yang berkompeten untuk menangani seluruh
permasalahan yang dihadapi, sehingga dipandang perlu untuk memberdayakan lembaga
pemerintahan desa. Fenomena ini mengindikasikan dimungkinkannya suatu lembaga
diberikan kewenangan yang lebih untuk mengurusi masalah-masalah yang dipandang urgen
untuk dicarikan secara cepat solusinya.
Alternatif lain yang hampir sama antara lain mengangkat camat di daerah
perkotaan sebagai manajer kota (city manager). Kebijakan (what) tentang arah
pengembangan kota tingkat kecamatan tetap diatur dan diputuskan pada tingkat kabupaten
dalam bentuk Peraturan Daerah dan atau Peraturan Bupati, sedangkan camat sebagai
manajer kota lebih banyak menjalankan (how), dari kebijakan yang telah ditetapkan pada
tingkat kabupaten. (Sadu Wasistiono, 2007).
Bentuk lain dari penyelesaian konflik antar wilayah, tetapi ke arah pengembanganekonomi adalah konsepLocal Economic Development(LED) dan Pengembangan Lembah
Silikon (Silicon Valley) di Amerika Serikat. LED yang mengedepankan kekuatan lembaga
yang ada (lembaga-lembaga ilmiah, pemerintahan, swasta), dan memanfaatkan potensi
lokal yang ada untuk mengembangkan ekonomi rakyat dapat menjadi lembaga yang
berpengaruh untuk dapat menekan kekuatan inti yang ada di Pusat. LED dapat
memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah untuk dikembangkan demi kesejahteraan
masyarakat sekitarnya, sekaligus menyelesaikan konflik lintas wilayah. Hal ini pula
sebenarnya pemikiran yang mengilhami berkembangnya Lembah Silikon di Amerika,
dimana masyarakat sekitar lembah memanfaatkan secara bersama-sama hasil penelitian
lembaga riset dan perusahaan swasta yang ada di lembah, dengan cara yang legal dan
terorganisasi dengan baik.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 4
Dari telaah pustaka di atas, kiranya perlu dikaji lebih dalam bahwa penangan
kawasan Jatinangor memerlukan sebuah lembaga. Saat ini sudah ada lembaga yang
memikirkan masalah tersebut, namun tidak mempunyai kekuatan politik dan finansial
untuk melakukan tindakan operasional. Di sisi lain terdapat lembaga pendidikan tinggi
yang mempunyai kekuatan moril dan ilmiah pada kawasan ini, namun tidak mempunyai
domain mengurusi masalah perkotaan. Terdapat lembaga yang legal mengurusi masalah
perkotaan, namun hanya sebatas administrasi dan pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan
kombinasi kekuatan-kekuatan tersebut untuk membentuk lembaga yang berpengaruh.
Model-model pembangunan regional antar kota, lembah silikon, LED, atau kajian lembaga
lokal untuk pembangunan perumahan di atas dapat menjadi referensi kajian ini.
Mengikuti amanat Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009, dan Permendagri
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, bahwa dalam
pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan:
hasil studi kelayakan
rencana induk pembangunan perkotaan baru
rencana pembebasan lahan
Untuk itu pada studi ini akan dilakukan kajian yang dipersyaratkan oleh kedua
peraturan di atas, yakni studi kelayakan yang ditinjau dari beberapa aspek. Kajian lebih
lanjut pada bagian ini akan menelaah difinisi dan kriteria kelayakan untuk menilai tingkatkekotaan suatu kawasan
Di dalam Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah
merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu:
geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu
lingkungan dan sebagainya. Dalam pengembangan wilayah termasuk pengembangan
kawasan perkotaan setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu
(http://staff.blog.unnes.ac.id/oktavilia atau http://www.slideshare.net/oktavilia):
(1) analisis biogeofisik;
(2) analisis ekonomi;
(3) analisis sosiobudaya;
(4) analisis kelembagaan;
(5) analisis lokasi;
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 5
(6) analisis lingkungan
Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2008, tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan bahwa perencanaan
kawasan perkotaan baru diprioritaskan untuk:
memecahkan permasalahan kepadatan penduduk akibat urbanisasi
menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan dan jasa; dan
menyediakan ruang bagi kepentingan pengembangan wilayah di masa depan.
Persyaratan penetapan lokasi perencanaan kawasan perkotaan baru meliputi:
sesuai dengan sistem pusat permukiman perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten
termuat dalam RPJMD
memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi
perkotaan dan bukan kawasan yang rawan bencana alam
terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis
maupun yang direncanakan beririgasi teknis
memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan;
tidak mengakibatkan terjadinya pembangunan yang tidak terkendali. dengan kawasan
perkotaan disekitarnya
mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya mempunyai luas kawasan budi daya paling sedikit 400 hektar dan merupakan satu
kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah perencanaan
perkotaan dalam satu daerah kabupaten.
Rencana pembangunan kawasan perkotaan baru ditetapkan oleh kepala daerah
dan dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru. Kawasan
perkotaan baru yang berlokasi pada bagian dari dua atau lebih kabupaten yang berbatasan
langsung dilakukan atas dasar kerjasama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan kerjasama antar daerah dapat dibentuk Badan Pengelola
Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang bertanggung jawab kepada masing-masing
bupati. Masa tugas Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru sesuai dengan
jangka waktu rencana pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan baru. Keanggotaan
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 6
Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru terdiri atas unsur Pemerintah
Kabupaten, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat setempat, dan
unsur pengembang.
Struktur Organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan Kawasan
Perkotaan Baru ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Keanggotaan, struktur organisasi,
tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan kawasan perkotaan baru yang berlokasi
di dua atau lebih daerah Kabupaten yang berbatasan langsung diatur dengan Keputusan
Bersama Bupati.
Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru melaporkan
pelaksanaan tugasnya secara berkala dan atau sewaktu-waktu jika diperlukan kepada bupati
dan terbuka bagi masyarakat.Bupati melaksanakan evaluasi, pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan baru.
2.2 Visi dan Misi Perkotaan
A. Visi Dan Misi Pengembangan Perkotaan
Visi dan misi pengembangan perkotaan didasarkan pada Peraturan Menteri PU
no. 494/PRT/M/2005. Secara rinci visi dan misi pengembangan perkotaan adalah sebagai
berikut:
Visi
Untuk mencapai kehidupan perkotaan yang aman, damai, dan sejahtera, perlu
dirumuskan visi tentang kondisi kota yang ingin dicapai di masa depan. Kota-kota di masa
depan adalah kota yang dapat memberikan kehidupan yang sejahtera, nyaman dan aman
bagi warganya, yang layak huni bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Secara umum
kriteria kota yang ingin dicapai, yaitu :
1. Tempat dimana anak-anak, orang tua, dan bahkan para penyandang cacat dapat
berjalan-jalan, dan bermain-main bersama;
2. Tempat dimana kebersamaan dan canda dapat memecahkan permasalahan yang muncul
dalam lingkungan bertetangga;
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 7
3. Tempat dimana kita tidak hanya melindungi kawasan bersejarah, tetapi juga ruang
terbuka hijau dan hutanhutan kota memberikan nilai tambah tersendiri bagi kehidupan
dan keindahan permukiman;
4. Tempat dimana tingginya kualitas hidup dapat menarik kegiatan usaha dan tenaga kerja
yang berbakat dan dengan demikian menghidupkan perekonomian kota;
5. Tempat dimana kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bagi keluarga dan bukan
memboroskannya karena terjebak dalam kemacetan lalu-lintas;
6. Tempat dimana seluruh masyarakatnya dapat menyelenggarakan aktivitasnya sehari-
hari dengan aman dan tenang, yang terbebas dari kriminalitas serta kerusahan-
kerusahan sosial, dan ancaman terorisme.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka visi pengembangan pembangunan
perkotaan nasional dapat dijabarkan sebagai berikut:
Terwujudnya kawasan perkotaan yang layak huni,berkeadilan sosial sejahtera,
berbudaya, produktif, dan berkembang secara berkelanjutan serta saling memperkuat,
dilaksanakan oleh para petaruh (stakeholders) secara partisipatif, responsif, transparan
dan akuntabel dalam mewujudkan pengembangan wilayah.
Perwujudan visi akan lebih optimal apabila terdapat kerjasama yang sinergis antar
stakeholders dari seluruh kegiata-kegiatan.
Dalam kerjasama ini pemerintah bertindak sebagai enabler dan masyarakat sebagaidoer. Untuk itu dibutuhkan perumusan misi sebagai terjemahan dari visi atau kondisi yang
diharapkan untuk mengidentifikasi arah kebijakan yang akan ditempuh.
Misi
Upaya penacapaian Visi tersebut diatas dilakukan beberapa misi berikut ini :
1. Mengembangkan Kota yang layak huni
a. Lingkungan kota yang nyaman
Tingkat kepadatan penduduk yang optimal (efisiensi pelayanan, sesuai dengan
daya dukung kota)
Ketersediaan prasarana dan sarana dasar dengan kulaitas yang memadai.
Memiliki tingkat pelayanan dan jumlah fasilitas umum yang memadai.
Memiliki penataan kawasan dan bangunan yang serasi dan terpelihara.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 8
Lingkungan sosial budaya yang mendukung keharmonisan kehidupan masyarakat.
b. Lingkungan Kota yang aman
Tingkat polusi udara yang rendah dan terkontrol;
Tingkat pencemaran air dan tanah yang rendah dan terkontrol;
Keamanan (tingkat kriminalitas yang rendah) dan ketertiban kota yang terjaga;
Tingkat pelayanan dan fasilitas kebakaran yang baik (berfungsi dan mencukupi);
Stabilitas sosial, ekonomi, politik.
2. Mengembangkan kota yang sejahtera
Tersedianya segala kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan dan permukiman)
yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan
masing- masing (orang tua, anak-anak, diffable people, dst);
Tersedianya lapangan pekerjaan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tidak adanya kesejangan pendapatan yang besar antar seluruh lapisan
masyarakat.
3. Mengembangkan lingkungan yang berkeadilan sosial, sejahtera dan berbudaya.
Kesamaan dan keadilan dalam pelindungan hukum;
Setiap individu, kelompok masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap
kesempatan berperan serta dan mengaktualisasikan aspirasinya dalam kehiduan
kota;
Setiap individu atau kelompok masyarakat memilki akses yang sama terhadap
kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha;
Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangan
budaya lokal.
4. Mengembangkan pembangunan kota yang berkelanjutan
Pengembangan kota yang berkelanjutan secara umum terwujud apabila ekonomi
kota berkembang, berdaya saing global, pendapatan mayarakat dan pemeritah
bertambah dan tetap dapat mempertahankan kualitas sumber daya alam dan lingkungan.
Hal ini antara lain mencakup;
a. Aspek ekonomi
Daya saing kota; faktor faktor penentu daya saing adalah keunggulan sumber
daya dan kemampuan pengelolaan kota. Dalam hal ini pengefektifan keterkaitan
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 9
kota dan desa menjadi sangat penting alam upaya meningkatkan daya saing kota
dan mencegah menurunnya ekonomi perdesaan;
Pengembangan ekonomi kota;
1. Pengembangan produk unggulan kota melalui pengembangan iklim usaha
yang kondusif;
2. Menggali potensi kota melalui pelibatan seluruh stakeholder dalam
pembangunan
3. Mengembangkan inovasi untuk mempertahankan kualitas produk dan jasa;
4. Pengelolaan sektor informal agar mandiri dan sinergis dengan sektor
informal ;
5. Pemecahan masalah pengangguran dan semi pengangguran;
Kemampuan kota unutk siaga dan siap mengatasi bencana dan bankit dari
bencana.
b. Aspek sosial budaya
Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya sedemikian rupa sehingga
dapat meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial , dan juga mengurangi
gangguan- gangguan sosial. Upaya mencapai masyarakat madani dilaksanakan
melalui;
Pemeliharaan keanekaragaman budaya Kesamaan hak bagi setiap individuataupun kelompok masyarakat untuk memenuhi aspirasi budayanya;
Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan perkotaan;
Penyelesaian masalah dislokasi penduduk perkotaan berkaitan dengan masalah
lahan.
c. Aspek lingkungan
Pengelolaan sumber daya secara efsien dan berkelanjutan;
Pembangunan kota dilakukan dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Pengendalian dampak lingkungan dengan tetap menjaga kulaitas lingkungan.
Pengendalian dampak lingkungan akibat pembangunan
Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 10
5. Mengembangkan pola pengelolaan kota berdasar tata pemerintah yang baik.
a. Pengembangan serta peningkatan mekanisme pelibatan masyarakat dan dunia
usaha; antara lain melalui forum diskusi dan koordinasi, pengembangan pola- pola
kemitraan , dan sebagainya.
b. Pengembangan struktur kelembagaan pengelolaan kota; penyesuaian struktur dan
kewenangan kelembagaan dalam rangka paradigma pembangunan perkotaan yang
baru yaitu transparan, partisipatif, terdesentralisir serta efsien dan efektif.
c. Pengembangan sistem informasi; untuk medukung pola pengelolaan perkotaan
dengan penerapan tata pemerintaha yang baik maka diperlukan sistem informasi
yang interaktif dari pemerintah,masyarakat dan dunia usaha yang mudah diakses
dan dimengerti semua pihak terkait;
d. Pengembangan potensi pendanaan; upaya- upaya peningkatan kemampuan kota
unutk memperoleh dana bagi pengelolaan dan pembangunannya antara lain melalui
peningkatan daya tarik bagi investor, pengeloalaan atau manajemen perusahaan
daerah serta peningkatan penerapan konsep kewirausahaan dalam pengelolaan
pembangunan kota.
6. Mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa.
a. Keterkaitan desa- kota
Pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitansoaial ekonomi antara kota dan desa ( Wilayah hinterlandnya) agar saling
menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan;
Pembangunan kota hendakya dipadukan dengan perkembangan daerah
perdesaan di pinggirnya, karena daerah pinggiran tersebut juga terkena dampak
pembangunan dan urbanisasi.
Peningkatan kemampuan perdesaan dalam pembangunan.
b. Keterkaitan antar kota
Pengembangan sistem perkotaan dengan memperhatikan pemantaan fungsi,
peran dan hirarki kota sesuai dengan potensi dan kedudukannya dalam
pengembangan wilayah;
Pengembangan kebijakan perkotaan sebagai upaya mencegah terjadinya
ketimpangan antar wilayah dan antar kota, terutama antara kota-kota besar yang
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 11
sangat potensial terintegrasi dalam sistem perekonomian global, dengan kota-
kota menengah dan kecil lainnya.
2.3 Landasan Kebijakan Pengembangan Perkotaan
Landasan kebijakan ini adalah suatu kondisi dasar yang ingin dicapai (policy
driver) dalam pembangunan perkotaan. Landasan kebijakan tersebut adalah :
1) Terlaksananya desentralisasi secara efektif dan efisien, dilandasi dengan penerapan tata
pemerintahan yang baik (good governance).
2) Terciptanya pola pembangunan yang berkelanjutan termasuk pola pemanfaatan,
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam.
3) Terwujudnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan meliputi penyedian lapangan kerja,
akses pada perumahan dan modal/ sumber-sumber keuangan, serta akses pelayanan
dasar yang adil dan merata.
4) Terwujudnya kesadaran dan upaya-upaya penanganan masalah sosial budaya.
5) Terwujudnya bentuk-bentuk dukungan kota pada pembangunan nasional.
Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan pada dasarnya
diarahkan kepada sasaran pelaksanaan Pembangunan Perkotaan agar dapat :
a. Mengevaluasi pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan yang selama ini
dilakukan;b. Mengkaji dan menganalisis program Pembangunan Perkotaan yang lalu dan yang akan
datang;
c. Menyesuaikan antara pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan di pusat dan
daerah;
d. Sehingga dapat menilai efektifitas pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan
dengan cermat sesuai ketentuan yang berlaku, agar memberikan hasil yang optimal bagi
negara dan masyarakat.
Dengan tersedianya kriteria dan ukuran-ukuran atau indikator-indikator
kinerja pembangunan perkotaan dalam pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan,
akan dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan
secara efesien dan efektif, dan peningkatan produktifitas secara umum bagi
terwujudnya Pembinaan dan Pengendalian Prasarana dan Sarana Dasar Perkotaan yang
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 12
produktif, handal dan bermanfaat, dalam pengembangan wilayah dan ekonomi dalam
Pembangunan Perkotaan.
Namun demikian, Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan
dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable), apabila adanya kerjasama antara
Departemen Pekerjaan Umum dengan Dinas Pekerjaan Umum di Propinsipropinsi
wilayah kajian baik dipusat maupun didaerah. Peran serta masyarakat untuk ikut dalam
Pengembangan Indikator kinerja Pembangunan Perkotaan pelaksanaan program
Pembangunan Perkotaan secara lebih transparan sesuai kriteria dan ukuran-ukuran
dalam menilai dan mengevaluasi serta mengetahui untuk mengetahui kinerja
penyedian, pengelolaan, dan penyampaian pelayanan prasarana dan sarana suatu kota
sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan :
a. Perubahan Paradigma Pembangunan
Otonomi daerah : menggeser kekuasaan regulasi, program, anggaran dan
kewenangan untuk kebijakan dari Departemen Sektoral di Pusat ke
Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pembangunan dari pendekatan sektoral ke pendekatan kewilayahan dengan
pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatoris.
b. Semangat dan Orientasi Pembangunan
Masyarakat madani, manajemen modern dan terbuka
Ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak, unggul dan adaptif terhadap
globalisasi
c. Semangat Privatisasi
Ada trend yang menuntut bahwa pengusahaan dan pembangunan tidak lagi
dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi lebih banyak dilakukan atas dasar korporasi
di daerah, dengan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai Enabler dan
masyarakat dan swasta sebagai pelaku utama.
d. Paradigma Baru Pembangunan
1. Paradigma Lama Pembangunan (Dahulu)
Top Down (Sentralistik)
Pemerintah menyiapkan, melaksanakan, mengendalikan dan
Pemerintah/Kota pasif.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 13
Kebijakan pembangunan tertutup, diketahui sekelompok orang dan
Pemerintah/Kota pasif . Tidak melalui mekanisme yang seharusnya
partisipasif
2. Paradigma Baru
Bottom Up (Desentralistik)
Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat menyiapkan, melaksanakan
dan mengendalikan/mengevaluasi
Kebijakan pembangunan transparan, rasional dan evaluatif serta
partisipatif
Sesuai dengan mekanisme penyusunan berpartisipatif
3. Dampak Otonomi Daerah (OTDA) pada pengembangan indikator efektifitas
pelaksanaan program pembangunan perkotan. Adanya OTDAmenjadikan
pengambil keputusan di daerah harus:
Lebih proaktif dalam meberi arah dan peluang bagi dunia usaha untuk
kiprah (lokal action)
Menentukan pendekatan pegembangan indikator efektivitas pelaksanaan
program pembangunan perkotaan sebagai suatu incorporated dimana
masing-masing stakeholder peduli
4. Sosialisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan
Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan.
a. Sosialisasi
Mengupayakan agar prinsip keterbukaan dalam pengembangan
Indikator pembangunan
Secara aktif mengupayakan agar proses Pengembangan Indikator
Kinerja Pembangunan Perkotaan dapat sampai kepada yang
berkepentingan (stakeholder) Mengupayakan agar proses keikutsertaan masyarakat dalam semua
tingkat proses Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan
Perkotaan makin lama makin terwujud, sehingga dalam tahap
implementasinya sudah dipahami alasan-alasan dilakukannya
kegiatan-kegiatan yang ada.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 14
b. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja
Pembangunan Perkotaan
Pemanfaatan
(1) Bantuan pemikiran/pertimbangan
(2) Penyelenggaraan kegiatan pelaksanaan program Pembangunan
Perkotaan
(3) Bantuan teknis
Pengendalian
(1) Pengawasan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan
(2) Pemberian informasi / pelaksanaan program Pembangunan
Perkotaan menjelaskan atas hak masyarakat
(3) Menjaga konsistensi dengan daerah secara komprehensif
(4) Peningkatan peran serta masyarakat menjadi salah satu prioritas.
Fungsi dan peranan pemerintah sudah harus bergeser dari peranan sebagai
provider dengan tingkat otoritas yang besar ke arah peranan sebagai enabler sebagai
pendorong bagi tumbuhnya peran serta masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian
program Pembangunan Perkotaan yang direncanakan akan dapat tepat pada sasaran, lebih
efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya serta lebih sustainable bagi kepentingan
masyarakat dan negara, serta, Departemen Pekerjaan Umum Khususnya.Pengalaman selama ini masih menunjukan bahwa antara program Pembangunan
Perkotaan dipusat dan di daerah yang ada dirasa belum optimal dan tepat sasaran. Sering
terjadi ketidaksinkronan dalam kebijakan Pembangunan Perkotaan itu sendiri.
Untuk itulah pengembangan indikator efektifitas pelaksanaan program
Pembangunan Perkotaan perlu dilakukan, untuk selanjutnya dapat memberikan bahan
masukan teknis bagi perumusan indikator untuk keperluan penentuan kinerja
Pembangunan Perkotaan.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 15
2.3 Tipologi Kota
Penetapan tipologi didasarkan pada:
a. Asumsi bahwa tingkat perkembangan suatu kota dapat dicerminkan oleh jumlah
penduduk yang tinggal di kota tersebut (berdasarkan kondisi empiris, semakin tinggi
jumlah penduduk suatu kota, ketersediaan prasaranaperkotaan, semakin kental sifat
kekotaan dari kota tersebut);
b. Fungsi utama kota ditentukan berdasarkan kelengkapan prasarana yang dimiliki suatu
kota yang dapat berfungsi sebagai outlet aliran barang atau orang, dan fungsi kota yang
telah ditetapkan dalam PP 47 tahun 1997.
c. Dominasi kegiatan wilayah kota ditentukan menurut peranan subsektor yang ada dalam
perhitungan PDRB kabupaten/kota terhadap kontribusinya dalam pembentukan nilai
PDRB regional (Provinsi).
Pengelompokan kota berdasarkan kesamaan dapat diartikan menyatukan tipe- tipe
kota dalam tipologi. Penentuan tipologi kota dapat dilakukan sesuai dengan skala kota
(magnitute) karakter kota, maupun fungsi kota. Pengelompokan kota berdasarkan skala
(magtitute) dapat dilihat dari berbagai segi, antar lain dari luas kota atau jumlah penduduk,
besar kawasan pusat kota, dan sebagainya. Sedangkan pengelompokan berdasar karakter
kota dapat didasarkan pada sifat kota sebagai daerah pesisir, daerah daratan ( secara letak
geografis), atau didasarkan pada fungsi (sesuai PP 47/1997), dimana kota dilihat darikelengkapan prasarana dalam upaya mendukung pergerakan ekonomi wilayah, dimana kota
dapat diklasifikasikan sebagai PKW, PKL, PKN.
Dalam penentuan dan pengukuran kinerja pembangunan perkotaan, salah satu aspek
yang dinilai harus dapat dilakukan dalam kelas yang sama. Dalam artian, bahwa penilaian
terhadap skala kota tidak dapat dibedakan kota dengan skala pelayanan nasional dengan
kota skala pelayanan lokal, demikian sebaliknya. Oleh karena itu dalam mengukur indikator
yang digunakan akan tergantung dengan skala kota (baik ditinjau dari fungsi dan karakter).
Penentuan tipologi kota dalam penilaian kota skala yang paling signifikan apabila
diuji adalah skala kota terhadap penduduk yang dilayaninya. Kota ditinjau dari skalanya
dapat dibedakan menjadi;
Kota Metro;
Kota Besar;
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 16
Kota Sedang;
Kota Kecil.
Pada UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang pasal . dan penjelasannya
Tipologi kota berdasarkan jumlah penduduk, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Kawasan Perkotaan Kecil yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani sebesar 20.000 hingga 100.000 jiwa;
2. Kawasan Perkotaan Sedang yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;
3. Kawasan Perkotaan Besar yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang
dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;
4. Kawasan Perkotaan Metropolitan yaitu Kawasan Perkotaan atau kota dengan penduduk >
1.000.000 jiwa.
2.4 Indikator Perkotaan
2.4.1 Konsep Dasar Indikator Perkotaan
A. Pengertian dan Fungsi Indikator perkotaan
Indikator perkotaan adalah ukuran kuantitatif maupun kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran pengembangan perkotaan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitungdan diukur serta dipergunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja
pengembangan perkotaan. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan
bahwa kinerja hari demi hari dari sebuah kota dapat menunjukan perubahan, terutama
untuk menuju sasaran yang telah ditentukan.
Secara umum indikator perkotaan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Memperjelas tentang aspek yang akan diukur
b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak tertentu untuk menghindari
kesalahan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan serta dapat pengukur kinerja secara
menyeluruh.
c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi guna peningkatkan
efektivitas dan effisiensi di masa datang
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 17
B. Penetapan kriteria indikator perkotaan
Penetapan kriteria indikator perkotaan (urban indicator) dengan mempertimbangkan:
a) Comprehensiveness berbagai faset kinerja perkotaan. Indikator harus mampu
digunakan sebagai alat analisis yang lengkap dan menyeluruh diberbagai aspek
pelayanan kota.
b) Applicability dan simplicity kriteria. Kriteria indikator harus bisa diterapkan
disemua wilayah Indonesia oleh semua pelaku. Oleh karena itu pertimbangan
kesederhanaan pada alat ukur sangat perlu dikedepankan.
c) Universalitas kriteria. Mengingat keragaman wilayah Indonesia maka kriteria
indikator harus bisa diterapkan disemua wilayah secara umum tanpa kecuali.
d) Fleksibilitas dan kemungkinan untuk disesuaikan dari waktu ke waktu termasuk
penyesuaian prioritas kajian.
C. Syarat-syarat Indikator Perkotaan
Penentuan indikator kinerja harus mempertimbangkan beberapa sendi sendi,
agar indikator yang ada dapat diaplikasikan secara tepat dan bermanfaat. Syarat-
syarat indikator kinerja antara lain:
a) Jelas. Artinya dapat dipahami oleh banyak aktor
b) Spesifik. Artinya untuk memperoleh penilaian yang tidak menimbulkan salah
persepsic) Dapat diukur. Artinya indikator harus dapat diukur baik secara kuantitaif
maupun secara kualitatif
d) Relevan. Artinya indikator dapat menangani dan menilai segala hal yang
berhubungan dengan kinerja
e) Fleksibel. Artinya indikator yang ditentukan harus cukup mampu
mengakomodasikan perubahan yang terjadi didalam penilaiaian dan tuntutan
lingkungan sekitar
f) Sensitif. Artinya dapat mengakomodasikan perubahan yang ada, sehingga tidak
menimbulkan kesalahan penilaian berkaitan dengan perubahan lingkungan
g) Obyektif. Artinya indikator harus dapat diukur oleh berbagai pihak dan
menghasilkan nilai yang relatif sama
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 18
h) Efektif. Hal ini terutama berkaitan dengan data dan informasi yang dibutuhkan
dalam penilaian kinerja AB III - 3
Selain itu dalam pengukuran kinerja harus dilakukan dalam waktu yang singkat
dan tepat waktu, mudah diimplementasikan, serta dapat didefinisikan dengan jelas.
Kecepatan merupakan hal penting dalam pengumpulan dan pendistribusian data. Tugas
pengumpalan data pada penilaian kinerja merupakan kegiatan utama. Seringkali penilaian
kinerja dianggap sederhana, sehingga pada tahap pengumpulan data, banyak terjadi
kesalahan dan kurangnya validitas data. Oleh karena itu untuk mengurangi kesalahan dan
meningkatkan validitas pengukuran perlu dilakukan bersama dengan stakeholder kota
yang menjadi obyek penilaian kinerja.
2.4.2 Lingkup Obyek Penilaian Indikator Perkotaan
Pada dasarnya penilaian kinerja pengembangan perkotaan ini menilai bagaimana
operasional pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan penyediaan/pembangunan
perkotaan kepada masyarakat yang berada pada wilayah administratif dari kota tersebut.
Secara umum pendekatan ini memang menjadi salah satu pembatasan dalam penilaian
kinerja pemerintahan,
dikarenakan secara umum pertumbuhan kota sudah barang tentu akan berdampak
pada area disekitar kota (urban periphery). Pendekatan ini dilakukan dengan dasar bahwapelayanan minimal yang harus disampaikan oleh pemerintah Kota minimal dapat
mencakup seluruh wilayah administrasi. Penilaian kinerja kota di dalam kegiatan ini lebih
ditekankan pada lingkup batas administrasi.
2. 4.3. Kriteria Penilaian Indikator Pengembangan Perkotaan Yang Ada.
A. Indikator Perkotaan (Urban Indikator) menurut UNHCS
Selain indikator good urban governance, UNHCS juga mengembangkan sistem
indikator yang terdiri atas 23 indikator kunci dan 9 daftar data kulitatif. Pengembangn
indikator ini didasarkan pada Habitat agenda dan Resolution 15/6 and 17/1 UNHCS.
Indikator dan data tersebut merupakan data minimum yang diperlukan untuk mengukur
sejauh mana komitmen dan konsistensi dalam pengembangan kota dan pemukiman.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 19
Indikator yang dimaksud diklasifikasi ke dalam 5 bab dan disubklasifikasikan
menjadi 20 area kunci dari Istanbul +5 Universal Reporting Format. Selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 2.1. berikut :
Tabel 2.1
Daftar Indikator Kota sebagai respon terhadap20 Habitat genda Key Areas Of Commitment
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 20
Indikator-indikator dalam Urban Indicator versi UNHCS ini memerlukan data
yang cukup banyak dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Data tersebut
dibagi dua, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil
konsultasi dengan kelompok pakar dalam skala kecil untuk memberikan penilaian yang
merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu, diperlukan :
(a) Pakar dengan kualifikasi tinggi di masing-masing Negara yang menjadi narasumber
untuk melakukan penilaian mengenai indikator-indikator tersebut.
(b) Pakar tersebut harus berkomunikasi langsung dengan UNHCS dan pekerjaannya harus
dikaji dan dikomentari melalui beberapa tahapan.
Dalam hal ini, kompleksitas perolehan data yang memenuhi persyaratan sangat
tinggi. Untuk semua data, prinsip utamanya adalah bahwa data tersebut adalah data terbaik
yang ada, termutakhir dan sepenuhnya terdokumentasi. Selain itu, yang perlu digarisbawahi
adalah bahwa penialian terhadap indikatorindikator tersebut tidak dilakukan secara
terfragmentasi mengingat adanya hubungan sistematik antar indikator untuk memperoleh
gambaran total mengenai setiap sektor dan setiap kota yang dinilai kinerjanya.
Permasalahan yang dihadapi di sini adalah bahwa data-data tersebut dimiliki oleh
dinas-dinas pemerintah yang berbeda-beda khususnya per sektor. Untuk mengantisipasi
adanya inkonsistensi pendataan, perlu koordinasi in timely manner. Untuk data pada
aspek-aspek yang relatif stabil dalam arti tidak mengalami perubahan yang signifikan daritahin ke tahun, data lama dapat digunakan dengan dilengkapi proses ekstrapolasi.
Sementara data yang menyangkut aspek yang berubah secara cepat, diharuskan
menggunakan data yang terbaru.
Indikator Perkotaan untuk manajemen Lingkungan Menurut UNHCS
Dalam skala internasional, UNHCS bekerja sama dengan World Bank,
mengembangkan satu perangkat indikator perkotaan untuk membantu negara-negara
menghadapi Konferensi Habitat II tahun 1996. indikator-indikator yang dimaksud,
dirangkum pada Tabel 2.2.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 21
Tabel 2.2
Indikator Perkotaan Untuk Manajemen Lingkungan menurut UNHCS
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 22
B. Indikator perkotaan (urban indikators) menurut Asian Development Bank
Lebih spesifik daripada UNHCS, yang indikatornya berlaku untuk kota-kota
dalam skala internasional,Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 meluncurkan
sekaligus melakukan pengukuran kinerja 18 kota di Asia. Pengukuran kinerja ini dilakukan
dengan mengangkat isu kemiskinan perkotan di negara-negara di Asia sebagai isu utama.
ADB menekankan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya diindikasikan oleh
pendaatan yang rendah semata, melainkan juga menyangkut aspek human capital
development, gender equity, social protection, good governance, lack of discrimination
dangeograic location.
Pengukuran kinerja tersebut didasarkan pada 140 indikator kota yang
dikelompokkan ke dalam 13 divisi utama, yaitu :
(a) Populasi, migrasi dan urbanisasi :
Menggambarkan karakteristik kependudukan suatu kota melalui indikator-indikator
seperti jumlah penduduk (bertempat tinggal dan bekerja), angka migrasi, komposisi
penduduk menurut umur, jumlah rumah tangga, jumlah anggota keluarga rata-rata dan
jumlah rumah tangga yang tingal di pemukiman ilegal.
(b) Kesenjangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan :
Menggambarkan kondisi perekonomian suatu kota melalui indikator-indikator seperti
distribusi pendapatan, kemiskinan, tenaga kerja anak, tenaga kerja informal, danpenganguran
(c) Kesehatan dan pendidikan
Menggambarkan kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat suatu kota dilihat dari
indikator seperti jumlah orang per tempat tidur rumah sakit, angka kematian bayi. Hasil
pengukuran dirangkum dalam Cities Data Book for Asian and Pasific Region.
Sementara ringkasannya dipaparkan oleh Peter Hall dalam Urban Indicators for Asias
Cities : From Theory to Practise, 2000 angka harapan hidup, angka kematian
diakibatkan oleh penyakit menular, tingkat keluarga berencana, angka buta huruf untuk
orang dewasa, tingkat pnerimaan murid sekolah, jumlah siswa yang lulus perguruan
tinggi, rata-rata tingkat pendidikan akhir dan jumlah murid per kelas.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 23
(d) Produktivitas dan daya saing kota :
Menggambarkan perkembangan perekonomian kota melalui penilaian terhadap
indikator-indikator seperti PDRB per kapita, struktur mata pencaharian, pengeluaran
rumah tangga pada item utama, tingkat investasi menurut sector (infrastruktur,
perumahan dan layanan publik lainnnya), tingkat pariwisata, daftar investasi utama,
biaya hidup sehari dan jumlah corporate headquarters.
(e) Teknologi dan Connectivity :
Masih berkaitan dengan perkembangan perekonomian perkotaan yang dinilai dari
tingkat pengeluaran pemerintah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, tingkat
penggunaan telepon (lokal, interlokal, internasional dan mobile) serta tingkat koneksi
internet (jumlah dan pertumbuhan).
(f) Perumahan :
Merepresentasikan pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Namun
dalam hal ini, ukuran dan kualitas rumah tidak perlu dipentingkan, melainkan lebih
menekankan pada guna lahan dan harga lahan. Oleh karena itu, indikator-indikator yang
digunakan antara lain tipe hunian, tipe kepemmilikan, harga jual dan sewa rumah,
pembiayaan kepemilikan rumah, tingkat produksi perumahan, perlakuan terhadap
pemukiman liar, pengeluaran pemerintah dan jumlah penduduk yang tidak memiliki
rumah.(g) Lahan kota :
Menggambarkan sejauh mana tingkat penggunaan lahan perkotaan, apakah banyak lahan
tidur atau tidak serta apakah hal itu berkaitan dengan tingkat permintaan terhadap lahan
atau tidak, dan seterusnya.
(h) Pelayanan Umum :
Terdiri atas air, listrik, saluran air kotor/limbah, telepon dan sarana pengumpulan
sampah (TPA/TPS). Indikator yang digunakan antara lain jumlah koneksi, investasi per
kapita, pengeluaran untuk operasional dan pemeliharaan, cost recovery, tingkat
produtivitas karyawan dalam melayani publik, penyedia, tingkat kekurangan dan
gangguan dalam pelayanan, tingkat konsumsi serta tarif berlaku.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 24
(i) Lingkungan Perkotaan :
Dinilai dengfan indikator seperti volume sampah yang dihasilkan, pengelolaan sampah,
pengolahan limbah/air kotor, tingkat polusi udara, tingkat penggunaan energi, tingkat
kebisingan dan tingkat kerusakan akibat bencana alam.
(j) Transportasi Perkotaan :
Kelompok indikator ini pada dasarnya mengukur lalu lintas barang dan jasa. Termasuk di
dalamnya, indicator-indikator seperti moda yang digunakan dari rumah ke tempat kerja,
waktu melakukan perjalan (median), tingkat kepemilikan kendaraan, tingkat aktivitas
pelabuhan dan udara, serta jumlah barang yang diangkut menurut jenis kendaraan. Selain
itu, pengukuran ini dilakukan pula terhadap aspek kebijakan seperti tingkat pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan jalan, tingkat kemacetan, cost recoovery from fees dan
tingkat kecelakaan lalu lintas.
(k) Budaya :
Hanya diukur dari jumlah pengunjung pada setiap atraksi utama yang diselenggarakan
oleh kota.
(l) Keuangan Pemerintah Daerah :
Kelompok ini mengukur berbagai jenis indikator input dan output, antara lain sumber
pendapatan daerah, pengeluaran rutin pemerintah daerah, tingkat efisiensi penarikan
pajak, debt service charge, employment, tingkat upah dan sejauh mana komputerisasidilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
(m) Pemerintahan dan Manajemen Perkotaan :
Kelompok yang terakhir ini relatif besar dan sangat heterogen, yaitu termasuk data-data
mengenai fungsi pemerintah daerah, tingkat partisipasi, kebebasan dari pemerintah pusat,
anggota dewan, representasi, aplikasi perencanaan, berbagai indeks yang secara langsung
berkaitan dengan kualitas hidup (kepuasan pelanggan, persepsi kota sebagai tempat
hidup, tingkat kejahatan) serta indeks-indeks mengenai akses terhadap informs perkotaan,
hubungan antara administrasi kota dengan masyarakat dan eksistensi unit distrik yang
terdesentralisasi. Sayangnya, dalam pengukuran di lapangan, indikator mengenai kulaitas
hidup sulit diperoleh dan tidak memungkinkan untuk melakukan survei terhadap persepsi
secara langsung.
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 25
Metoda pengukuran ADB secara umum jauh lebih mudah dan feasible dalam hal
perolehan data daripada metoda pengukuran yang dikemukakan oleh UNDP dan
UNHCS sebelumnya. Dalam hal ini, ADB lebih banyak menggunakan data kuantitatif
dan menekankan pada proses pengolahan data statistik yang pada umumnya dimiliki oleh
instansi-instansi di negara-negara di Asia.
Formulasi Lingkup dan Kriteria Penilaian per-Kotaan
Indikator penilaian kinerja pembangunan perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks,
yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas Hidup, serta beberapa aspek,yaitu:
1. Aspek Penduduk
Indikator yang digunakan:
- Tingkat pertumbuhan penduduk;
- Tingkat migrasi; dan
- Tingkat kepadatan penduduk.
2. Aspek Produktifitas Perkotaan
Indikator yang digunakan:
Tingkat kemiskinan;
Tingkat pengangguran;
Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;
Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;
Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan
Tingkat ketergantungan penduduk.
3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan
Indikator yang digunakan:
Tingkat kematian ibu;
Tingkat kematian bayi; Angka Prevelensi Penyakit Diare;
Rata-rata usia harapan hidup warga;
Ketersediaan fasilitas Puskesmas;
Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan
Ketersediaan apotek;
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 26
Angka melek huruf;
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).
4. Aspek Permukiman dan Lingkungan
Indikator yang digunakan:
Rasio penduduk kumuh per penduduk total;
Persentase permukiman kumuh;
Luasan permukiman kumuh;
Rasio Ruang Terbuka Hijau;
Pengaduan polusi/pencemaran;
Jumla kejadian kebakaran; dan
Tindak kejahatan per 1000 penduduk.
5. Aspek Ekonomi
Indikator yang digunakan:
Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB)
Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB
Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir
Analisis ICOR
Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
Rata-rata pendapatan penduduk perkapita
Disparitas Pendapatan Antarsektor
Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Elastisitas kesempatan Kerja
Tingkat Kemiskinan
6. Aspek Budaya
Indikator yang digunakan:
Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs,
benda arkeologis dan kawasan bersejarah)
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 27
Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan
budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)
Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang
melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)
7. Aspek Sosial
Kependudukan, Indikator yang digunakan:
Kepadatan Penduduk Kota
Kepadatan Penduduk Kelurahan
Angka Migrasi
Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk
Tingkat kematian bayi
Rata-rata usia harapan hidup warga
Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)
Ketersediaan jumlah tenaga medis
Ketersediaan Apotek
8. Aspek Spasial
Indikator yang digunakan:
Konversi Lahan
Ketersediaan Ruang Publik
Keberadaan lingkungan kumuh
9. Aspek Prasarana
1) Sektor Air Bersih
Aset, meliputi :
a. Sumber Air
b. Kualitas Air
c. Kebocoran Air
d. Pelayanan
Cakupan Pelayanan
Cakupan Pelanggan
Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik)
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 28
Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik)
Tingkat penggunaan air
Tarif Air
2). Sektor Transportasi
Aset, meliputi :
a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi
b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan
c. Kondisi Jalan
d. Terminal Angkutan Darat
e. Terminal Udara
3). Sektor Sanitasi
Aset, meliputi :
a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system)
b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system)
4). Sektor Persampahan
Aset, meliputi :
a. Pengumpulan
b. Pengangkutan
c. Kapasitas Pembuangand. Metoda Pembuangan
e. Kepemilikan Lahan TPA
f. Pelayanan, meliputi :
- Cakupan Pelayanan
- Retribusi Sampah
- Kerjasama dengan Masyarakat
10. Aspek Pengelolaan Pemerintah
a. Pewujudan Rencana Tindakan
b. Ketergantungan Dengan Pemerintah Pusat
c. Kepuasan Masyarakat
d. Akses Informasi Publik
e. Aspek Pengelolaan Prasarana air bersih
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 29
f. Aspek Pengelolaan Prasarana Persampahan
g. Aspek Pengelolaan Prasarana Air Limbah
h. Aspek Pengelolaan Prasarana Drainase
i. Aspek Pengelolaan Prasarana Jalan dan Transportasi
C. Standar Pelayanan Minimal (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001
Didalam upaya untuk menilai kualitas pelayanan suatu prasarana dan sarana
perkotaan ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu tentang pelayanan yang minimal
harus diberikan oleh prasarana dan sarana perkotaan tersebut.
Di negara kita, khususnya di lingkungan kimpraswil, kajian tentang standar
pelayanan minimal yang harus diberikan untuk masing-masing sektor prasrana dan
sarana perkotaan telah ditetapkan standarnya.
Kajian tentang Standar Pelayanan Minimal Prasarana dan Sarana Perkotaan ini
didasarkan pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan
Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001.
Di bawah ini akan dikaji Standar Pelayanan Minimal untuk sektor Air Bersih,
Drainase, Air Kotor, Persampahan dan Jalan dan Angkutan Kota, yaitu;A. Sektor Air Bersih
Standar Pelayanan Minimal Air Bersih yang diatur dalam Kepmen Kompraswil
No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut :
1. Indikator Pelayanan: penduduk terlayani, tingkat debit pelayanan/orang dan tingkat
kualitas air minum
2. Cakupan Pelayanan: 55-75% penduduk terlayani
3. Tingkat Pelayanan: 60-220 lt/org/hari, untuk permukiman dikawasan perkotaan, 30-
50 lt/org/hari, untuk lingkungan perumahan pedesaan
4. Kualitas Pelayanan: Memenuhi standar air bersih Beberapa ukuran penilaian
kualitas pelayanan dari sumber yang lain adalah:
Kadar garam dalam air bersih:1000-3000 ppmslightly saline
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perkot
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 30
3000-10000 ppm moderately saline
10000-35000 ppm very saline
lebih dari 35000 ppm brine
Ph Air Bersih normal: 6 8 Kekerasan air karena mengandung calcium dan magnesium:
0 60 ppmsoft
61 120 ppm moderately hard
121 180 ppm hard
lebih dari 180 ppm very hard
Faktor biologis yang terkait dengan kualitas air : BOD (Biochemical OxygenDemand)
Kualitas umum air : tidak berbau, berasa, berwarna dan tidak mengandungsesuatu yang menyebabkan menurunnya kualitas air.
Kemenerusan pelayanan (jam pelayanan): jam/hariB. Drainase
Standar Pelayanan Minimal Drainase yang diatur dalam Kepmen Kompraswil
No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut :
1. Indikator Pelayanan : Luas genangan banjir tertangani di daerah perkotaan dan
kualitas penangangan2. Cakupan Pelayanan : Tidak ada genangan banjir di daerah kota / perkotaan > 10 Ha
3. Tingkat Pelayanan: Di lokasi genangan dengan tinggi genangan rata-rata > 30 cm;
lama genangan > 2 jam; frekuensi kejadian banjir > 2 kali setahun
4. Kualitas Pelayanan: Tidak terjadi lagi genangan banjir, bila terjadi genangan; tinggi
genangan rata-rata < 30 cm, lama genangan < 2 jam; frekuensi kejadian banjir < 2
kali setahun.
Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk drainase juga menyediakan
informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni :
Genangan < 10 Ha, penanganan drainase mikro
Genangan > 10 Ha, penanganan drainase makro
Kriteria Disain/Perencanaan meliputi:
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan - ...
http:///reader/full/laporan-akhir-studi-kelayakan-kawasan-jatinangor-sebagai-kawasan-perko
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 31
Saluran Primer/ Makro drainase untuk kawasan strategis, perdagangan, industri,
permukiman untuk penanganan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun
Saluran sekunder untuk penanganan genangan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun
Saluran Tersier, untuk penanganan genangan < 10 Ha, PUH 2-5 tahun
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah:
Penanganan kualitas limbah, apabila saluran drainase terpadu dengan saluran limbah
rumah tangga. Dalam hal ini pengenceran air limbah kotor diperlukan untuk dapat
dibuang secara langsung ataupun dengan diolah terlebih dahulu.
Debit saluran pengglontor yang direncanakan harus mampu mendorong limbah air kotor
yang ada di jaringan bersangkutan.
C. Air Kotor/ Limbah
Standar Pelayanan Minimal Air Kotor/ Limbah yang diatur dalam Kepmen
Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:
1. Indikator Pelayanan: Tingkat penyediaan sarana sanitasi terhadap jumlah penduduk kota/
perkotaan dan kualitas penanganan
2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan
3. Tingkat Pelayanan:
Sarana sanitasi individual dan komunal (sistem onsite): Toilet RT/ Jambang/MCK,
Septik Tank, Truk tinja, IPLT
Sistem off-site: Modular/full Sewerage System terdiri dari jaringan sewer dan IPAL
4. Kualitas Pelayanan:
Sistem On-site:
- Separasi antara grey water (mandi, cucian) terhadap black water (kakus)
- Penyaluran black water yang baik ke septik tank, tanpa ada kebocoran dan baru
- Tidak ada rembesan langsung/ pencemaran air tinja dari septik tank ke air tanah
- Efisien removal BOD dan SS > = 85%
- Tidak ada komplain terhadap permintaan penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja,
pengolahan lumpur tinja selanjutnya di IPLT
Sistem Off-site:- Tidak ada separasi antara grey water terhadap black water, tetapi disain sewerage
dapat bersatu denganstorm sewer
-
5/22/2018 Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai
top related