keterangan ahli hukum pidana pengujian undang … · hubungan timbal-balik dan saling ... teori...
Post on 13-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
KETERANGAN AHLI HUKUM PIDANA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ahli Hukum Pidana Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
A. Pendahuluan
Cita hukum Indonesia ialah Pancasila, sebagaimana terkandung di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk
selanjutnya disingkat UUD 1945). Salah satu norma paling mendasar di dalam cita hukum
itu ialah cita tentang keadilan. Artinya, hukum yang diciptakan harus hukum yang adil
bagi semua pihak.1 Dalam rangka penegakan hukum,2 maka harus didasarkan kesamaan
dihadapan hukum (equality before the law) dan atas kepastian hukum yang adil,
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27, dan 28D ayat (1) UUD 1945 serta
memberikan manfaat.
Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap kepentingan agama, negara
memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran agama dari segala bentuk
penyalahgunaan dan/atau penodaan.3 Implementasi perlindungan terhadap ajaran
agama, maka negara memerlukan kriminalisasi4 terhadap perbuatan yang menyerang
kepentingan agama. Oleh karenanya, negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku
dalam hukum pidana (ius punale)5 dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk
penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.
1 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi
Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 91. 2 Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral. Penegakan hukum
seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat. 3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama, menegaskan agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (atheis).
4 Kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana. Lihat: Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 62. Hukum mewujud dalam undang-undang sebagai sarana perubahan sosial, berarti perundang-undangan merupakan bagian dari suatu kebijakan tertentu. Dengan demikian, undang-undang adalah satu rangkaian alat-alat yang dimiliki oleh pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Lihat: Roeslan Saleh, 1991, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.19.
5 Moeljatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: pertama, menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Kedua, menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Ketiga, menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah
2
Tindak pidana terhadap agama, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: delik-
delik yang bersangkutan dengan agama (relating, concerning), dan delik-delik yang
ditujukan terhadap agama (against).6 Kedua aspek mengenai tindak pidana terhadap
agama tersebut diatur dalam KUHP7, tepatnya pada Pasal 156a KUHP. Rumusan Pasal
156a KUHP menekankan kepada teori yang memandang rasa keagamaan sebagai
kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi. Pasal 156a KUHP merupakan
delik yang berada dalam ruang lingkup Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban
Umum”. Aturan-aturan dalam bab ini juga dikenal dengan “haatzai artikelen” atau pasal-
pasal “penyebar kebencian”. Ketika ditempatkan dalam Bab Kejahatan Terhadap
Ketertiban Umum, maka pada dasarnya pelarangan atas perbuatan tersebut karena
sangat berpotensi menggangu Ketertiban Umum. Keberlakuan hukum pidana dalam
upaya memberikan perlindungan terhadap agama sangat terkait dengan kepentingan
publik dalam rangka mewujudkan ketertiban umum. Apabila kepentingan agama
diabaikan ketika terjadi penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap agama, maka
dikhawatirkan menjadi pembuka gerbang timbulnya ancaman terhadap Ketertiban
Umum dan bahkan Ketahanan Nasional. 8
Menurut Muladi pengaturan tentang tindak pidana penodaan agama dan kehidupan
beragama merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan “nation state‟ yang religius,
di mana semua agama (religion) yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan
hukum yang besar yang harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari
ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup
beragama.9 Hal yang sama dinyatakan oleh Mardjono bahwa penghinaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dan atau pun dengan cara lain
mengganggu kehidupan beragama akan membahayakan kedamaian hidup
bermasyarakat dan kesatuan bangsa.10 Kepentingan hukum (recht belangen) – yang
melanggar larangan tersebut. Lihat: Moeljatno, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.
6 Oemar Seno Adji, 1985, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, hlm.96-97 ; Supanto, 2007, Delik Agama, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), Surakarta, hlm.6.
7 KUHP pada awalnya tidak mengatur tindak pidana terhadap agama yang pada pokoknya ditujukan kepada perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan. Pengaturan tentang tindak pidana terhadap agama barulah dikenal dalam sistem hukum pidana Indonesia ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian berdasarkan Pasal 4 dimasukkan ke dalam KUHP. Dimasukkannya norma hukum Pasal 4 ke dalam KUHP mengandung makna ada keterhubungan antara Pasal 156a dengan pasal sebelum dan sesudahnya.
8 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menyebutkan Kewaspadaan Nasional atas berbagai keadaan yang memecah persatuan nasional, dimana penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara. Kewaspadaan Nasional merupakan salah satu pilar bagi Ketahanan Nasional.
9 Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam, Batam 17 Januari 2004, hlm. 7
10 Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana: Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.95.
3
harus dilindungi - itu adalah “tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga, agar tidak
dilanggar, dan yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat.”
B. Pembahasan dan Analisis (Inti Keterangan Ahli)
Dalam kepentingan pemberian keterangan ahli hukum pidana terkait dengan
pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965)11, analisis difokuskan keberlakuan kaidah hukum, teori serta pada
asas-asas/doktrin hukum pidana. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
1. Landasan Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
1) Landasan Filosofis
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau dari kaidah hukum secara fiosofis
tidaklah bertentangan, bahkan selaras dan sejalan dengan cita-cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi. Agama dan negara memiliki relasi yang erat dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga menyatakan kemerdekaan
Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Kalimat tersebut adalah
salah satu representasi pengakuan negara terhadap eksistensi agama. Berdasarkan Sila
Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 sejumlah ahli Hukum Tata Negara, seperti
Ismail Suny, mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk
kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. 12
Indonesia sesuai dengan ideologi Pancasila tidak menganut paradigma sekularistik
maupun integralistik,13 namun menganut paradigma simbiotik. Paradigma simbiotik
memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni berlakunya
hubungan timbal-balik dan saling memerlukan.14 Dengan demikian, kebijakan-kebijakan
politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama. Menjadi
suatu keharusan jika kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk
dilindungi.
11 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan
Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, Penetapan Presiden ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
12 Ismail Suny, 1987, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 7-8. 13 Kepentingan agama itu merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi atau tidak, tergantung
pada politik suatu negara dalam memandang hubungan negara dengan agama. Mengenai hal ini ada dua doktrin yang saling bertolak belakang, yaitu ; pertama, pandangan yang memisahkan antara agama dan negara (separation of state and crurch/trennung von staat und kirche), dan kedua, pandangan yang menyatukan antara agama dan negara (einheif von staat und kirche). Lihat : Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, hlm.105.
14 Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Lihat : Adi Sulistyono, ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”, Makalah Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum,” FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008.
4
2) Landasan Teoretis
Ditinjau dari perspektif teoretis, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 memiliki
landasan teori yang sangat kuat. Berdasarkan paradigma simbiotik, menurut penulis
terdapat dua identitas yang memerlukan perlindungan, yakni agama dan individu
sebagai penganut agama di satu sisi, sedangkan di sisi lain adalah negara yang berperan
dalam memberikan perlindungan baik terhadap agama dan individu-individunya. Di
sinilah letak keterpaduan antara, individu, negara dan ajaran agama yang saling
berhubungan erat, tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Menurut Imam al-Ghazali
bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada
fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang.” Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau dari teori al-Maqashid Syariyah - sebagai wujud dari teori
al-Mashlahah al Mursalah – sangat berkesuaian, mengingat aspek perlindungan dalam al-
Maqashid Syariyah menunjuk pada agama, keturunan, jiwa, akal dan harta.
Lebih lanjut, menurut teori solvasasi hukum (pelarutan hukum) - yang penulis
gagas - menempatkan al-Maqashid Syariyah sebagai suatu kebutuhan dan berdayaguna
dalam upaya menjaga kepentingan agama dan negara. Dengan kata lain, dalam
membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan
terhadap agama, keturunan, jiwa, akal dan harta, maka keberlakuan teori solvasisasi
hukum ini sangat efektif dan berdayaguna. Keberadaan teori pelarutan hukum
mengakomodasi kepentingan agama dan negara. Teori solvasisasi hukum ini sebagai
landasan teoretis keberlakuan al-Maqashid Syariah dalam sistem hukum pidana nasional,
dalam kepentingan perlindungan terhadap ajaran pokok agama. Terciptanya hubungan
kooperatif antara al-Maqashid Syariah dengan hukum positif adalah manifestasi relasi
negara dan agama dalam paradigma negara simbiotik. Perspektif teori solvasisasi hukum
sangat terkait dengan teori receptio a contrario, teori lingkaran konsentris, teori
eksistensi hukum Islam dan teori pluralisme hukum. Kesemuanya itu juga berhubungan
dengan tujuan hukum Islam dalam tata hukum indonesia. Teori solvasisasi hukum
diharapkan dapat menjadi basis teoretis pembangunan model politik hukum sistem
Ketahanan Nasional dari adanya ancaman ekspansi ideologi transnasional yang
bermuatan transendental.15 (Keberlakuan teori solvasisasi hukum dalam kaitannya
dengan sistem Ketahanan Nasional dan Politik Hukum Pidana dapat dilihat pada bagan
lampiran 1).
Penentuan perbuatan sebagai tindak pidana terhadap agama, berhubungan dengan
teori-teori yang mendasari hukum pidana untuk menentukan adanya suatu tindak pidana
terhadap agama. Dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, adanya tiga teori dimaksud,
yaitu:16
15 Lebih lanjut baca : Abdul Chair Ramadhan, Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional
Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syiah Iran, Disertasi. Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016.
16 Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana …Op.Cit, hlm.87. Lihat juga : Barda Nawawi Arief, 2007, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingannya di Berbagai Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 2.
5
1. Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban atau ketenteraman
umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi;
2. Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai
kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi;
3. Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu an sich sebagai
kepentingan hukum yang harus dilindungi atau diamankan oleh negara.
Teori-teori tersebut di atas didasarkan pada pemahaman bagaimana melindungi
kepentingan agama melalui instrumen hukum pidana.
Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian
sosial yang berbeda dangan kaidah-kaidah lainnya, yaitu dikenal ada 4 (empat) tanda
hukum (attributes of law), yakni sebagai berikut :17
1. Attribute of authority; bahwa hukum merupakan keputusan-keputusan mana yang
ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi di masyarakat,
2. Attribute of intention of universakl application; bahwa keputusan-keputusan
penguasa mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa mendatang,
3) Attribute of obligation; bahwa keputusan-keputusan penguasa harus berisikan
kewajiban-kewajiban pihak kesatu kepada pihak kedua dan sebaliknya,
4) Attribute of sanction; bahwa keputusan-keputusan dari pihak penguasa harus
diikutkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
Keempat tanda hukum di atas sangat relevan dengan keberlakuan Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965. Perlindungan terhadap ajaran agama sangat terkait dengan
kewajiban negara agar tidak terjadi ketegangan-ketegangan yang dapat berujung pada
aksi main hakim sendiri ketika terjadi dugaan tindak pidana terhadap agama. Ketiadaan
pengaturan dalam freedom to act dapat menimbulkan:
1. Potensi konflik masal;
2. Anarkisme atas nama agama;
3. Hegemoni kekuasaan dan mayoritas.18
3) Landasan Yuridis
Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 memiliki landasan yuridis yang
kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (stufen
theory).19 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Negara menjamin kemerdekaan
17 Sabian Utsman, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.172. 18 Lihat: Pendapat sebagai ahli Nur Syam dalam sidang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor
1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm 243.
19 Stufen theory yang diajarkan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa sistem hukum merupakan hierarki apabila suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Lihat: Lili Rasjidi, 1985, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung. Lihat juga : Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.272.
6
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jika Pasal 28E merupakan hak setiap
warga negara, maka Pasal 29 ayat (2) merupakan kewajiban negara untuk memberikan
jaminan terhadap ketentuan Pasal 28E dimaksud. Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang tetap melekat pembatasan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 28J UUD 1945). Atas dasar norma hukum
konstitusi yang mengatur mengenai agama, merupakan mandat yang harus dilakukan
oleh penyelenggara negara untuk membuat norma hukum yang berisi jaminan bagi
setiap orang untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap agamanya.
Diakui bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama, akan tetapi
negara justru harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin
kebebasan dan kerukunan beragama. Bahkan negara juga dapat melakukan pembatasan-
pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi melainkan untuk
menjamin hak-hak orang lain.20
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya perlindungan Hak Asasi Manusia,
termasuk perlindungan atas kebebasan hak atas kebebasan beragama atau keyakinan.
Terhadap keberadaan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal, tentunya harus diiringi
dengan kewajiban dan tanggungjawab terhadap hak asasi orang lain. Masyhur Effendi
dan Taufani Sukmana menggambarkan/merumuskan : SH (subjek hukum) adalah
pemilik H (hak) + K (kewajiban) + TJ (tanggung jawab), disingkat : SH = H + K + TJ.
Bertemunya tiga elemen pada seseorang dalam bermasyarakat menunjukkan kesadaran
hukum seseorang cukup tinggi. Sebaliknya, kalau hanya dua elemen saja pada diri
seseorang, menunjukkan kesadaran hukum yang bersangkutan pada tingkat meso, lebih-
lebih hanya satu elemen, maka hak dan kesadarannya masih rendah,.21 Pembatasan
pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum (forum externum)
merupakan pembatasan hak-hak dasar seseorang didasarkan pada doktrin due process of
law22, dan ini merupakan inti dari suatu negara hukum atau negara yang berdasarkan
kepada rule of law.
20 Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 140/PUU-VII/2009 dalam perkara Pengujian Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
21 A. Masyhur Effendi & Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi Manusia), Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.55.
22 Konsep tentang pelaksanaan hukum yang adil (due process of law), dikenal dengan dua macam due process yakni yang prosedural dan yang substantif. Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep tentang keadilan yang fundamental (fundamental fairness). Dalam perkembangannya, due process of law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang. Adapun yang dimaksudkan dengan due process of law yang substantif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan terhadap manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang. Karena itu, doktrin due process of law yang substantif pada prinsipnya tidak lain dari suatu kriteria terhadap wajar tidaknya suatu kebijaksanaan atau tindakan pemerintah atau parlemen yang menyangkut dengan hak-hak dasar manusia. Lihat: Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, , hlm.47.
7
4) Landasan Sosiologis
Selanjutnya, ditinjau dari sudut sosiologis, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
menyebutkan Kewaspadaan Nasional atas berbagai keadaan yang memecah persatuan
nasional dengan maraknya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan
hukum Agama, terjadi hampir diseluruh Indonesia. Kesemuanya itu, dapat
membahayakan persatuan bangsa dan negara. Perlu diketahui, bahwa Kewaspadaan
Nasional23 merupakan salah satu pilar bagi Ketahanan Nasional. Tanpa adanya
Kewaspadaan Nasional, maka Ketahanan Nasional dengan sendirinya akan melemah dan
terancam.
Penyalanggunan dan/atau penodaan terhadap agama yang dapat melahirkan
konflik horizontal (das sein), sehingga dan oleh karenanya memerlukan das sollen. Jika
terjadi konflik, maka konflik tersebut merupakan kenyataan alamiah atau peristiwa
konkrit (das sein), namun demikian memerlukan kenyataan normatif atau apa yang
seyogianya dilakukan (das sollen). Dalam hukum yang terpenting bukanlah apa yang
terjadi, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Mencermati konflik dan potensi konflik
antara umat Islam dengan penganut Ahmadiyah di Indonesia pada dasarnya dapat
dilakukan dengan memperhatikan adanya momentum yang bersifat tidak rutin atau
sporadis dalam hubungan keduanya. Dimana konflik yang terjadi bersamaan dengan
adanya ekspresi atau tereksposnya ajaran Ahmadiyah di tengah masyarakat yang
bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam.
Faktor utama yang menyulut konflik horizontal tersebut tidak lain adalah
bersumber dari doktrin kenabian Mirza Ghulam Ahmad, yang demikian kuat merasuk
dalam diri penganut Ahmadiyah. Resultan dari doktrin tersebut melahirkan tahriful
Qur'an (mendistorsi al-Qur'an). Kedua hal inilah yang menjadi faktor elementer
terjadinya konflik horisontal antara umat Islam dengan penganut Ahmaditah. Konflik
horisontal yang terjadi tentunya memerlukan jaminan stabilitas dan ketertiban oleh
lembaga penegak hukum. Kepentingan agama juga perlu memperoleh jaminan
perlindungan hukum, sehingga tidak dilakukan perbuatan-perbuatan yang menyerang
atau merugikannya. Kebijakan penanggulangannya juga perlu menyesuaikan dengan
perkembangan tipe kejahatan. Untuk kepentingan ini, maka politik penegakan hukum
sangat berperan dalam membentuk politik kriminal.24
23 Kewaspadaan Nasional sering diartikan sebagai sikap otoriter sebuah pemerintahan yang
menjadikan terhambat terbentuknya masyarakat sipil (civil society) dan sebagai bentuk ke otoriteran rezim. Padahal Kewaspadaan Nasional sebagai bentuk kesiapan dan kesiagaan dari segala ancaman. Paradigma Kewaspadaan Nasional bersifat multidimensional, konprehensif, berwawasan kebangsaan dan ke-Indonesiaan demi keselamatan dan keberlangsungan (sustainability) NKRI. Lihat: Abdul Chair Ramadhan, Op.Cit, hlm. 10.
24 Hukum pidana dan penegakannya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal policy), politik kriminal merupakan bagian dari politik penegakan hukum (law enforcement policy). Politik penegakan hukum merupakan bagian bagian politik sosial (social policy) yang merupakan usaha setiap masyarakat dan Negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Lihat: Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 24 Februari 1990, Semarang, Universitas Diponegoro, hlm.6.
8
2. Perumusan Norma Dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
Dalam hukum pidana terkandung dalam asas legalitas. Menurut Jan Remmelink,
makna dalam asas legalitas adalah bahwa undang-undang yang dirumuskan harus
terperinci dan cermat. 25 Hal ini didasarkan pada prinsip “nullum crimen, nulla poena sine
lege certa”. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus
jelas, sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian
hukum.26 Selain itu, asas legalitas juga mengandung makna larangan untuk menerapkan
analogi, yang dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta.”27
Terkait dengan asas legalitas, rumusan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
tidaklah melanggar asas legalitas, didalilkan sebagai berikut di bawah ini :
1) Norma hukum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidaklah mengandung unsur
multi tafsir dalam setiap rumusan pasalnya dan tidak pula merugikan hak-hak
konstitusional seseorang/sekelompok orang yang tergabung dalam badan hukum.
2) Norma hukum yang diatur dalam Pasal 1 adalah larangan terhadap perbuatan
penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang
diakui di Indonesia. Penilaian terhadap penafsiran dan kegiatan yang menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Frasa “dengan sengaja” dalam Pasal 1, mengandung makna bahwa penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang memang ditujukan kepada sikap batin pelaku baik
terhadap perbuatan maupun akibatnya. Dengan demikian, penerapan kesengajaan
(dolus) dalam Pasal 1 sudah tepat. Demikian pula, frasa “di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum” tidak
dimaksudkan dalam ranah forum internum, melainkan pada wilayah forum
externum.
3) Norma hukum dalam rumusan Pasal 2 yang mengatur tentang penerapan sanksi
tindakan berupa SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri adalah
wujud dari prinsip ultimum remedium. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
menganut sistem dua jalur (double track system) mengenai sanksi hukum, yakni
jenis sanksi tindakan di satu pihak, dan jenis sanksi pidana di pihak lain. (Untuk
lebih jelasnya, lihat lampiran 2)
4) Norma hukum dalam rumusan Pasal 3 merupakan sebagai langkah terakhir (last
resort), sesuai dengan double track system yang dianut dalam Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965. Penggunaan sistem dua jalur ini hanya berlaku pada
penyalahgunaan ajaran agama, bukan ditujukan kepada permusuhan dan penodaan
terhadap agama. Dengan adanya prinsip ultimum remedium, menempatkan negara
(baca: pemerintah) tidak menjadikan dirinya melebihi kewenangannya (ultra vires)
25 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.357-359.
26 Machteld Boot sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm.79.
27 Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.357-359.
9
maupun bertindak semena-mena atau menyalahgunakan wewenang (abuse of
power).
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak membatasi keyakinan seseorang
(forum internum)28, akan tetapi hanya membatasi pernyataan pikiran dan sikap sesuai
hati nuraninya di depan umum (forum externum)29 yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama yang dianut di Indonesia, mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jika menafsirkan adalah sesuatu yang
sah, maka sah pula menyebarkan hasil-hasil penafsiran agama. Oleh kerana itu, negara
tidak boleh membatasinya. Namun, kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu
agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Pembatasan diterapkan terhadap kebebasan
pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum (forum externum)
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.30 Jika suatu kegiatan, tafsiran yang
kemudian disebarluaskan dan menimbulkan keresahan, konflik dan ketegangan, maka
tidak ada alasan bagi pemerintah untuk bertindak demi menjaga harmoni, kedamaian
dan ketertiban umum warga negara dan penduduknya. Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya Nomor 84/PUU-X/2012 dalam uji materi terhadap Undang-Undang Nomor
1/PNPS/196531, telah menyatakan bahwa Pasal 156a KUHP yang dirumuskan dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari KUHP. Dengan demikian sanksi pidana dalam Pasal 156a KUHP yang
terkait dengan penafsiran suatu ajaran agama atau penyimpangan dan penyalahgunaan
agama tertentu merupakan sanksi yang bersifat ultimum remedium. Menurut Mahkamah,
penerapan Pasal 156a KUHP dengan penafsiran sebagaimana dimaksud permohonan
para Pemohon adalah ruang lingkup kewenangan mutlak peradilan umum, atau
merupakan permasalahan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma.
28 Terdapat dua jenis forum internum yaitu: pertama, kebebasan beragama dan keyakinan yang pasif.
Kebebasan pasif menyangkut hak untuk memiliki agama atau keyakinan sesuai dengan pilihannya, ini termasuk hak untuk pindah agama. Negara dilarang melakukan tindakan berupa mendikte atau melarang pengakuan seseorang atas sebuah agama atau keyakinan, atau keanggotaan atas sebuah agama atau keyakinan, melepaskan agama atau keyakinannya atau mengubahnya. Kedua, kebebasan beragama dan keyakinan yang aktif. Seseorang menjalankan hak atas kebebasan beragama atau keyakinan secara eksternal, dan hal ini dihubungkan dengan dunia luar seseorang. Ketika seseorang sedang menjalankan ibadah di rumah atau ditempat ibadah bersama orang lain secara privasi (tidak di depan umum), maka negara ataupun pihak ketiga tidak bisa melakukan intervensi.
29 Forum externum terkait perbedaan penafsiran (interpretasi). Perbedaan interpretasi terhadap teks suci atau doktrin agama mengakibatkan timbulnya perbedaan faham, keyakinan atau aliran keagamaan. Secara teoritis dan praktis perbedaan interpretasi terhadap doktrin agamalah yang menimbulkan faham, aliran dan gerakan kegamaan baru. Perbedaan pada tingkat pemahaman – pada prinsipnya – tidak bisa dihindarkan, terutama karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, pemahaman dan pengamalan serta perkembangan budaya masyarakat.
30 Dengan sengaja “menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum” merupakan ranah forum externum karena telah terkait dengan hak asasi manusia orang lain, kehidupan kemasyarakatan, kepentingan publik, dan kepentingan negara. Kebebasan aksentuasi beragama (freedom to act) merupakan hak asasi yang dapat dibatasi (derogable right).
31 Sebelumnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009, tanggal 19 April 2010 juga telah menolak permohonan untuk menyatakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan konstitusi.
10
Lebih lanjut, ketentuan dalam rumusan Pasal 4 Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 dimaksudkan sebagai perintah pembentuk Undang-Undang untuk
memasukkan norma hukum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ke dalam KUHP,
sehingga dan kita kenal dengan Pasal 156a KUHP. Pelekatan huruf “a” adalah sebagai
pembeda dengan pasal sebelumnya, yakni Pasal 156 KUHP. Pasal 156a melalui ketentuan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 secara sistematis ditempatkan
(disisipkan) diantara Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Hal ini mengandung makna adanya
keterhubungan dengan norma hukum pasal sebelum dan sesudahnya. Tegasnya,
rumusan Pasal 156a memiliki keterhubungan dengan perbuatan yang dilarang pada
Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Dengan demikian penempatan Pasal 156a dimasukkan
dalam Bab V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum memiliki nuansa kebatinan dengan
upaya negara melindungi rasa keagamaan (gefuhlsschutz theorie) yang dipandang
penting untuk diberikan jaminan perlindungan terhadap perbuatan yang menyerang
kepentingan agama secara langsung (againts).
Penekanan Pasal 156a huruf a KUHP berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditujukan kepada niat jahat (dolus malus) dengan wujud
perbuatan memusuhi atau menghina. Oleh karena itu, perbuatan permusuhan yang tidak
terdapat di dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
diadakan di dalam Pasal 4. Selain itu, dilihat dari judul Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 tidaklah mengindikasikan adanya perbuatan “permusuhan”, hanya
disebut “penyalahgunaan dan/atau penodaan agama”. Hal ini mengindikasikan bahwa
pembentuk undang-undang memandang perlu memasukkan perbuatan permusuhan
dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 – ditempatkan pada posisi pertama pada
Pasal 4 – dimaksudkan agar tecipta keterhubungan dengan pasal sebelumnya (Pasal 156)
dan pasal sesudahnya (Pasal 157). Dapat dilihat pada Pasal 156 yang merumuskan
“menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan” dan Pasal 157
“menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum,
yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan.” Kata-kata “kebencian atau penghinaan” pada kedua pasal tersebut juga
bersingggungan dengan unsur penodaan dalam Pasal 156a huruf a, sebab penodaan juga
mengandung sifat “menghina” selain melecehkan dan merendahkan. Perbuatan
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama dapat dipastikan
dilakukan dengan kesengajaan (dolus)32, bukan dengan culpa. Bagan pada halaman
berikut memvisualisasikan keterhubungan sebagaimana dimaksudkan.
32 Menurut Jan Remmelink, dolus dapat dimengerti sebagai (berbuat) dengan kehendak dan maksud
(atau dengan menghendaki dan mengetahui : willens en wettens) untuk memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana ditemukan dalam perumusan kejahatan. Menurutnya, dolus tidak perlu ditujukan pada sifat terlarang dari perbuatan dan undang-undang tidak menuntut adanya ‘kesengajaan dengan niat jahat’ (boos opzet / dolus malus). Dikatakan pula, bahwa dalam dolus sebab itu terkandung elemen kehendak dan intelektual (pengetahuan), tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wettens (disadari atau diketahui). Lihat : Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.143 & hlm.152. Terkait willen en weten di dalam kesengajaan terdapat dua toeri, yakni teori kehendak (de willenstheorie) dan teori pengetahuan/dapat membayangkan (de voorstellingstheorie). Teori pertama diusung Von Hippel menerangkan sebagaimana ditulis Bambang Poernomo bahwa sengaja adalah kehendak (de wills) untuk membuat suatu perbuatan. Kehendak untuk menimbulkan akbibat dari perbuatan itu, dengan kata lain jika seseorang melakukan perbuatan tertentu, sudah pasti ia melakukannya itu
11
Bagan 1. Keterhubungan Pasal 156a dengan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP
(Sumber : Abdul Chair Ramadhan, 2017)
Keterangan : KP : Kesengajaan Dengan Kepastian/Keharusan KM : Kesengajaan Dengan Kemungkinan
hendak menimbulkan akibat tertentu pula. Pasti pula ia melakukan untuk menghendaki akibat ataupun ikhwal yang menyertai perbuatannya tersebut. Teori kedua ialah teori pengetahuan/dapat membayangkan (devoorstelings) yang diajarkan oleh Frank. Teori ini menjelaskan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ihwal yang menyertai itu dapat dikehendaki. Perbuatannya memang dikehendaki akan tetapi terhadap akibat atau ihwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula. Karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau ihwal yang menyertai dari perbuatannya. Lihat : Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 156. Menurut doktrin, dikenal adanya corak atau gradasi kesengajaan, yaitu: kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn). Lihat: Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.172-174 ; S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, hlm. 9
UU NOMOR 1/PNPS/1965
Pasal 156 KUHP
Pasal 156a Huruf a KUHP
Permusuhan
Penyalahgunaan
Penodaan
Pasal 4
Pasal 157 KUHP
Pasal 156a Huruf b KUHP
Permusuhan
Kebencian
Penghinaan
KM
KP
KM
KP
Kebencian KM
Penghinaan KM
Permusuhan
KP
12
Objek perkara atau kegiatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
1/PNPS/196, menentukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penafsiran yang menyimpang tentang suatu agama yang dianut di Indonesia.
2. Kegiatan-kegiatan keagamaan dari organisasi atau aliran kepercayaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan suatu agama yang dianut di Indonesia.
3. Mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan,
penyalahgunaan, dan menodai suatu agama yang dianut di Indonesia.
4. Mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan supaya orang tidak menganut
agama apapun yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Pada perbuatan penafsiran yang menyimpang dan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan suatu agama, menurut penulis adalah
tergolong perbuatan yang bersifat penyalahgunaan ajaran agama. Perbuatan
penyalahgunaan secara sadar kepastian dapat menimbulkan perbuatan penodaan
terhadap agama. Di sisi lain, perbuatan penodaan terhadap ajaran agama dapat terjadi
tanpa harus adanya penyalahgunaan ajaran agama.
Visualisasi pada bagan bagan di atas, mengasumsikan seseorang yang menyatakan
perasaan permusuhan terhadap golongan penduduk tertentu yang berdasarkan agama
(Pasal 156 KUHP) secara sadar kepastian berakibat pada permusuhan kepada agama
tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156 huruf a KUHP. Menyatakan
perasaan kebencian atau penghinaan terhadap golongan penduduk yang juga
berdasarkan agama tertentu (Pasal 156 KUHP), secara sadar kemungkinan (dolus
eventualis) dapat mengakibatkan terjadinya permusuhan terhadap agama atau penodaan
terhadap agama (Pasal 156 huruf a KUHP). Pasal 156a Huruf a KUHP terkait dengan dolus
premeditatus. Dolus premeditatus adalah sengaja yang telah direnungkan atau dipikirkan
terlebih dahulu. Dengan demikian, pelaku dapat dipastikan melakukan perbuatannya
dengan sebelumya telah direnungkan atau dipikirkan terlebih dahulu, tidak termasuk
disini karena kelalaian (culpa).
Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki sebagaimana
dirumuskan pada Pasal 156 KUHP, namun terjadi akibat yang tidak dikehendaki
sebagaimana dirumuskan pada Pasal 156a huruf a KUHP, maka kepada pembuat
dikenakan ketentuan ancaman pidana Pasal 156a huruf a KUHP. Namun, perlu dicatat
khusus pada Pasal 156a huruf b hal tersebut tidak dimungkinkan, mengingat huruf b
harus “dengan maksud”. Dengan kata lain terjadinya kesengajaan secara kepastian
maupun secara kemungkinan tidaklah mungkin terjadi kepada akibat yang tidak
dikehendaki yang mensyaratkan adanya kesengajaan dengan maksud.
Pasal 156a huruf a tergolong tindak pidana yang dirumuskan secara formil dan
apabila dikaitkan dengan tindak pidana permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
agama yang dilakukan oleh seseorang, maka ia mengarahkan pikirannya untuk
mewujudkan perbuatan yang dilarang. Berbeda halnya pada delik materil, pikiran
ditujukan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang. Terbentuknya kesalahan
menurut hukum pidana ditentukan dari sikap batin seseorang. Sikap batin inilah yang
13
kemudian mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu termasuk pula
mengharapkan terjadinya akibat. Dengan kata lain, kesalahan selalu ditandai dengan
adanya pikiran yang berujung melahirkan suatu tindakan - baik berbuat atau tidak
berbuat - atau juga timbulnya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Menjadi
jelas, bahwa kehendak dan pengetahuan seseorang telah mendorong pikirannya untuk
mewujudkan perbuatannya.
C. Kesimpulan
Perbuatan penyalahgunaan agama secara sadar kepastian dapat menimbulkan
perbuatan penodaan terhadap agama. Ketika terjadi penodaan agama, maka derajat
penananganan yang dilakukan adalah berbeda dengan penyalahgunaan agama. Oleh
karena itu, diperlukan adanya peringatan keras dalam bentuk SKB terhadap
penyalahgunaan agama. Keberlakuan SKB terkait adanya pelanggaran sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS/1965 adalah ruang lingkup
kewenangan mutlak Peradilan Umum, atau merupakan permasalahan penerapan norma,
bukan persoalan konstitusionalitas norma. Dengan demikian, permohonan yang diajukan
oleh pihak Pemohon harus ditolak. Terlebih lagi, apabila Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya
beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum, maka
dikhwatirkan akan semakin berkembangnya tindakan menghakimi sendiri
(eigenrichting).
Terlepas dari segala kekurangan yang ada dalam Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965, terdapat suatu hal yang menarik yakni pengakuan kepentingan agama
dikonsepsikan sebagai bagian dari kepentingan umum. Sejalan dengan kaidah,
“mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat”, dan
“jika kita tidak dapat mengambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan (dibuang)
seluruhnya”, maka Undang-Undang Nomor 1/PNPNS/1965 harus dipertahankan selama
belum ada undang-undang yang baru yang lebih baik.
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Hasil Penelitian, dll.
Abdul Chair Ramadhan, Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syiah Iran, Disertasi. Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016.
_____________, 2017, Tindak Pidana Penodaan Agama, Lisan Hal, Jakarta.
A. Masyhur Effendi & Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi Manusia), Ghalia Indonesia, Bogor.
Adi Sulistyono, ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”, Makalah Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum,” FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta.
Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2007, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingannya di Berbagai Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Eddy O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
Ismail Suny, 1987, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, Jakarta.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lili Rasjidi, 1985, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung.
Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana: Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta.
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung.
Moeljatno, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional. Diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam, Batam 17 Januari 2004.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 24 Februari 1990, Semarang, Universitas Diponegoro.
Oemar Seno Adji, 1985, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta.
_____________, 1981, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta.
Roeslan Saleh, 1991, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Sinar Grafika, Jakarta.
Sabian Utsman, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
15
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Supanto, 2007, Delik Agama, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), Surakarta.
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang,
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-X/2012.
Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009.
16
Lampiran 1 : Bagan Posisi Teori Solvasisasi (Pelarutan) Hukum
(Sumber: Abdul Chair Ramadhan, 2016)
SISTEM KETAHANAN NASIONAL
TEORI AL-MAQASHID SYARIAH
TEORI SOLVASISASI HUKUM
POLITIK HUKUM PIDANA
TEORI RECEPTIO A CONTRARIO
TEORI LINGKARAN KONSENTRIS
TEORI EKSISTENSI HUKUM
ISLAM
TEORI PLURALISME HUKUM
TUJUAN HUKUM ISLAM
TATA HUKUM INDONESIA
17
Lampiran 2 : Model Penerapan Sanksi Tindakan Tindak Pidana Terhadap Agama
(Sumber : Abdul Chair Ramadhan, 2017)
UU No.1/PNPS/1965
Penyelewengan Agama (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3)
Delik permusuhan atau penodaan terhadap agama (huruf a).
Delik agar orang tidak memeluk agama (huruf b).
Penyelewengan terhadap penafsiran ajaran pokok agama.
Penyelewengan terhadap kegiatan agama.
Langsung diproses sebagai tindak pidana melalui pemeriksaan penyidikan dan penuntutan di pengadilan.
Diberikan peringatan keras lebih dahulu dengan Skep Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.
Proses pemidanaan bila tidak mengindahkan peringatan keras / pembubaran / pelarangan.
Ancaman hukuman masksimum 5 (lima) tahun penjara.
Pasal 4 (Pasal 156a KUHP)
18
top related