jarah wa tadil
Post on 30-Dec-2015
88 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEILMUAN DALAM ISLAM
AL JARH WA TA’DIL: SALAH SATU BUKTI KEHEBATAN KEILMUAN DALAM ISLAM
28/04/2013 | By anwar | Reply
Oleh Difa, Peneliti InPAS Pendahuluan
Rasulullah SAW tidaklah mewariskan harta benda dan kekayaan kepada umatnya. Namun Rasulullah SAW mewariskan kepada kita dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Al-qur’an adalah kalam Allah yang telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul SAW tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua sabda Rasul SAW tersebut bisa diterima karena belum tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.
Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun setelahnya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits.
Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits, ada satu cabang ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadits tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal, perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan hadits yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Pengertian Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil
Menurut bahasa, kata jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu-jarhan ( جرحا – يجرح – جرح ) yang berati “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila katajaraha (جرح) dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”.
Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh dantajrih; dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaan kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan bahwa kata al-jarhberkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang; namun ketercelaan memang telah tampak pada diri seseorang itu. Sedangkanat-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
Adapun kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan ( تعديال – يعدDل – عدDل ), artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-jarh wa ta’dil merupakan ilmu yang membahas keadaan para rawi hadits dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Sejarah Ilmu Al-Jarh Wwa Ta’dil
Sejarah pertumbuhan ilmu al-jarh wa ta’dil selalu seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadits, karena bagaimanapun juga untuk memilah dan memilih hadits-hadits shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadits yang maqbul dan yang mardud.
Embrio praktek men-jarh dan men-ta’dil sudah tampak pada masa Rasulullah SAW yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah (saudara kerabat yang buruk) dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin Walid dengan sebutan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah”.
Selain dari riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah SAW tentang al-jarh dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para Sahabat. Kita dapat menemukan banyak kasus di mana Sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap Sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadits. Keadaan demikian berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para pakar ilmu hadits berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para perawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap ridha Allah. Maka, apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang perawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.
Syu’bah bin al-Hajjaj (82-160 H) pernah ditanya tentang hadits yang diriwayatkan Hakim bin Jubair. Syu’bah yang dikenal sangat keras terhadap para pendusta hadits berujar: أخافالنلر. Karena ketegasan dan keteguhannya inilah
yang menjadikan Imam Syafi’i berkomentar:لوالشعبةماعرفالحديثبالعراق. “Seandainya tidak ada Syu’bah, niscaya hadits tidak dikenal di Irak”.
Suatu kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali al-Madini tentang kualitas ayahnya. ‘Ali hanya menjawab: Tanyalah kepada orang lain”. Orang yang bertanya tersebut rupanya masih menginginkan jawaban ‘Ali al-Madini sendiri, sehingga ia tetap mengulang-ulang pertanyaannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu mengangkatnya kembali, ‘Ali berujar: هضعيفD .هذاالدينأن “ini masalah agama, dia (ayah ‘Ali al-Madini) itu dla’if”.
Menyadari betapa urgen-nya sebuah penilaian hadits dalam hal rawi hadits, para ulama hadits di samping teguh, keras dan tegas dalam memberikan penilaian, juga dikenal teliti dalam mempelajari kehidupan para rawi. Sebegitu telitinya, Imam Asy-Sya’bi pernah mengatakan: “Demi Allah, sekiranya aku melakukan kebenaran sembilan puluh kali dan kesalahan sekali saja, tentulah mereka menilaiku berdasarkan yang satu kali itu”.
Demikianlah para ulama telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil. Di samping mengiprahkan diri, para ulama juga memotivasi para muridnya untuk turut andil mencari tahu keadaan rawi tertentu dan menjelaskan kepada yang lainnya.
Begitu besar rasa tanggung jawab para ulama hadits dalam menilai kualitas rawi, mereka mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding menyimpan emas, perak dan barang-barang berharga lainnya. Kiprah menilai keadaan para perawi ditegaskan berulang kali oleh para ulama hadits dalam rangka menjaga sunnah dari tangan-tangan perusak dan pemalsu hadits, yang pada gilirannya menjadiwasilah mengetahui kualitas dan nilai hadits.
Dengan demikan pada dasarnya ilmu al-jarh wa ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan dengan periwayatan hadits, yakni semenjak masa Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan uswah dan tradisi semacam itu. Sebagaimana firman Allah yang tertuang dalam (Q.S. al-Ahzab [33]: 70-71): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” Tujuan Pokok Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
Tujuan pokok dalam mempelajari al-jarh wa ta’dil adalah:1. Untuk menghukumi/mengetahui status perawi hadits2. Untuk mengetahui kedudukan hadits / martabat hadits, karena tidak mungkin
mengetahui status suatu hadits tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
3. Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.
Tingkatan-Tingkatan Lafadz Al Jarh dan Al Ta’dil
Para ulama ahli hadits telah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk menyifati karakteristik para rawi dari segi diterima atau tidaknya riwayat haditsnya. Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya.
Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita adalah karya tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) dalam kitabnya yang besar “Al-jarh wa al-Ta’dil”. Ia telah menyusun martabat al-jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.
Banyak ulama hadits yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-jarh wa al-ta’dil ini. Di antaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikitpun. Kemudian datang ulama lain dan berpendapat sama dalam klasifikasi dan hukum-hukumnya secara global. Namun, mereka menambahkan beberapa perincian. Di antara ulama terakhir ini yang paling masyhur adalah al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al-Sakhawi.
Kemudian datanglah al-‘Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-jarh wa al-ta’dil. Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai ganti kata kemudian (tsumma). Di samping itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafazh-lafazh julukan pada setiap martabat, serta menjelaskan hukum masing-masing martabat.
Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitabnya al-Nukhbah ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi daripada martabat yang ditambahkan oleh al-Dzahabi dan al-‘Iraqi. Yaitu tingkatan yang dijuluki dengan bentuk kata af’al al-tafdhil, seperti autsaq an-nas. Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahi satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas. Penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabat jarh menjadi enam. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama-ulama Hadits di atas merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat kecacatan dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Sebagai contoh sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu: Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[16]Pertama, , , mرn qظoي ن rهq ل ليس oاسv الن ضبط أ vاس الن ثق ,orang yang paling tsiqat/terpercaya)أوpaling dabit, tiada bandingan baginya),Kedua, oهo nل مoث nنqع nو
q أ rهn عqن rأل nسq ي q ال mنq ,si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya)فrالatau diragukan lagi keadilannya),Ketiga, , , mظoفqح mةqقo ث mنnوrم
n مqأ mةqقo ث mةqقo ث mةqقo ,terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur)ثterpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),Keempat, , , , , ضابطثبت, عدل حافظ عدل إمام حجة ,kokoh, sempurna, hujjah, iman)متقنadil lagi hafiz, adil lagi dabit)Kelima, , قصدو, به بأس ال Lafal-lafal tersebut .(benar, jujur, tidak ada masalah)مأمونhanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke-dabitannya.Keenam, , , الله, شاء إن صدوق صويلح الصواب من ببعيد ليس syeikh, tidak jauh dari)شيخbenar, agak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya. Tingkatan lafadz al-Jarh.Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh-nya, sampai kepada yang paling ringan jarh-nya.
Pertama, menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: الناس، الكذب أكذب ركن (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan
misalnya: وضاع, meskipun lafal yang dipergunakan (pendusta, pengada-ada) كذابmenunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya:
, , , , , oقqة� oث ب qسn qي ل mقnو rرn مrت mكoالqه qثn nحqدoي ال rقoر nسq ي oعnضqوn oال ب mمqهv مrت oبoذq nك oال ب mمqهv مrت(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat).
Keempat, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
, , , , rهr nث دoي qح rبq nت rك ي q ال ء� nي qشo ب qسn qي ل جoد�ا mفn ضqعoي rهr nث دoي qح qحoرrط rهr nث دoي qح vد rر(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
mفn ضqعoي ،rهnوrفvعqض ،oهo ب rجq ت nحr qي ال ، oثn nحqدoي مrضnطvرoبr ال(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).
Keenam, mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
منه , ثق , , أو غير ضعيف فيه بحجة، ليس ل مقا فيه القوي بذلك ليس(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan. Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan), Bertaqwa, Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat,
dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat), Jujur, Belum pernah dijarh, Menjauhi fanatik golongan, Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
Kitab-Kitab yang membahas tentang Al-jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan:1. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dha’if saja dalam karyanya.2. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.3. Dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dha’if dan yang tsiqaat. Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka [28]:1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.5. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Ahmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’karya Imam Bukhari.7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315 biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.10. Kitab Al-jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.[29] 11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu Hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orang yang di-jarh.30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi sepuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu: al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya Imam empat madzhab: Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini. Kesimpulan
Hadits sebagai salah satu pedoman Islam kini tidak hanya sebagai suatu alat legitimasi belaka. Tapi hadits kini telah menjadi suatu ilmu tersendiri (‘Ulumul Hadits) yang patut untuk dipelajari dan dikaji umat Islam pada khususnya dan manusia yang cinta ilmu pada umumnya. Sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam, hadits memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya
adalah ilmu al-jarh wa ta’dil. Yaitu cabang dari ‘ulumul hadits yang membahas tentang celaan dan pujian kepada para periwayat hadits. Telah meninggalnya mereka para periwayat membuat kita tidak mudah untuk menelitinya. Dari kitab-kitab yang mengkaji ilmu inilah kita bisa mengetahui tsiqoh tidaknya mereka.
Dari sini kita bisa tahu bahwa kepedulian para ulama ahli hadits untuk menjaga dan membentengi risalah yang agung ini dari upaya-upaya pemalsuan dan kepentingan-kepentingan yang hanya mementingkan kelompok saja. Dan dari sini pula kita bisa tahu bahwa keilmuan dalam Islam begitu hebat, begitu besar karena para ulama hanya mengharap ridho Allah semata. Karena inilah yang diwariskan Rasulullah SAW untuk kita umatnya hingga akhir zaman.
Daftar PustakaAl-Khatib, Ajaz, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1975).Isma’il, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007).Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits,
(Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003).Thahan, Mahmud, Usul al-takhrij wa Dirasat al-Asanid,
(Riyad: Maktabah al-ma’arif li an-nasyr wa at-tauzi’, t.th). http://fentirakhmawati.blogspot.com/2012/10/al-jarh-wa-al-tadil.html
Posted on May 8, 2013 by julianasari78
Nama : Juliana Sari
NIM : 12531162
Contoh Pembahasan Rawi Dari Satu Kitab Al-Jarh Wa Ta’dil
Dalam menentukan apakah riwayatnya diterima ( bersifat positif/al-‘adl) atau ditolak (bersifat negatif/al-jarh), kita dapat memepelajari beberapa kitab yang memuat
penjelasan tentang ditolak atau di terimanya suatu periwayatan tersebut. Beberapa kitab yang dapat digunakan diantaranya Ma’rifat Rijal,Adh-Dhuafa,Adh-Dhuafa Wa
Almatrukin,Al-Jarh Wa At-Ta’dil.Dan Tahdzib At-Tahdzib. Namun, dalam contoh pembahsan ini akan dijelaskan diterima atau ditolaknya perawi dari satu kitab yaitu
kitab Tahzhib At-Tahdzib.[1]
Tahdzib At-Tahdzib merupakan karya Syihab ad-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn ‘Ali Ibn Hajar al-’Asqalani, lahir di Mesir 12 Sya’ban 773 H dan wafat tahun 852 H. Sejak kecil
Ibn Hajar telah piatu dan diasuh oleh ayahnya yang juga merupakan ahli fiqih, bahasa dan qira’ah. Selain itu Ibn Hajar juga mampu menghafal al-Qur’an dengan
sempurna sejak umur 9 tahun. Tahdzib al-Tahdzib merupakan karya Ibn Hajar yang berupaya meringkas dan menyempurnakan kitab Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi
yang oleh Ibn Hajar dianggap terlalu panjang dan bertele-tele. Adapun contoh pembahsan rawi dari kitab Tahdzib At-Tahdzib sebagai berikut:
A. Harun Bin Ibrahim
a. Nama lengkapnya: Harun Bin Ibrahim Al-Ahwazi Abu Muhammad Al-Bashri.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadist. Guru-gurunya antara lain: Muhammad Bin sirrin, Qotadah, Farazdiq, Jarir. Murid-muridnya antara lain: Ibnu Mubarok,
Waqi’, Hammad bin Mas’adah, Zaid bin Hubab, Al-Waaqidi, Abu Naim, Abu ‘Asim.
c. Pernyataan para kritikus hadist tentang dirinya:
(1) Abu Mu’in : Harun Bin Ibrahim tsiqoh
(2) Abu Hatim : orang yang tidak cacat
(3) Ibnu Hibban : Terpercaya
B. Harun Bin Ishaq
a. Nama lengkapnya: Harun bin Ishaq Bin Mohammad bin Malik Bin Zabid Hamdani Abu al-Qasim Al-Kufi Al-Hafiz.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadist. Guru-grunya antara lain: Ayahnya, Hafs Bin Ghias, Ibnu ‘Uyainah, Al-Muharibi, Mu’tamir Bin sulaiman, Abi
Khalid Al-Ahmar, Abduh Bin Sulaiman, Ibnu Abi Fudaik, Qudamah Bin Muhammad Al-khosyarimi, Ibnu Fudhail, Waki’, Yahya Bin Muhammad Al-Jari, Abdu Rozaq. Murid-
muridnya antara lain: Al-Bukahri, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Musa Bin Harun, Abu Bakar Al-Astram, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ahmad Bin Harun Al-Bardiji, Ibnu
Waroh, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Bajir, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Daud, Badri Bin Haitsam Al-Qodi, Ibnu Abi Hatim, Husain Bin Isma’il Al-Muhamali
c. pernyataan para kritikus hadist tentang dirinya.
(1) Abu Hatim : Harun Bin Ishaq saduq
(2) Ali Bin Husain Bin Junaid : Adapun Muhammad Bin Abdullah Ibnu Numair menghormatinya
(3) An-Nasa’i ; Tsiqoh
(4) Ibnu Khuzaimah : seorang hamba pilihan Allah
(5) Ibnu Hibban ; Terpercaya
(6) Muthayyan : wafatnya tahun 258
(7) An-Nasa’i : Dia senang kepada Abu sa’id Al-Asyaj, yang sedikit bicara
C.Harun Bin Isma’il
a. Nama lengkapnya: Harun bin Ismail Al-Khozaz Abu Hasan Al-Basri
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadist. Guru-grunya antara lain: Ali Bin Mubarok, Hammam Bin Yahya, Qurroh Bin Khalid, Shu’uq Bin Hazni,
Abdullah Bin Syamith Bin’Ajlani. Murid-muridnya antara lain: Abu Musa Muhammad Bin Mutsanni, Al-Fallas, Hajjaj Bin Sya’ir, Ishaq Bin Mansur Al-Kusij, Abdullah Bin
Munir, Abu Daud Harrani, Abu Al-Azhar, Abdu Bin Hamid, Abu Ishaq Al-Jauzajani, Muhammad Bin Abdul Malik Ad-Daqiqi, Abbas Ad-Dauri.
c. Pernyataan para kritikus hadist tentang dirinya:
(1) Abu Hatim : jujur, memiliki buku tentang Ali bin Mubarak, dia adalah pedagang
(2) Abu Daud : orang yang tidak cacat, cukup mendengarkan Hasan Bin Ali : Tsiqoh
(3) Ibnu Hibban : Terpercaya
(4) Ibnu Abi ‘Ashim : wafat pada tahun 206[2]
Dalam mengkaji atau menggunakan Tahdzib at-Tahdzib dirasa masih ditemui kesulitan, masih diperlukan kitab-kitab seperti Tarikh ar-Ruwah atau kitab Thabaqah yang
urutannya berdasarkan kurun waktu, bukan
[1] Mushthalahul Hadits, Fatchur Rahman (Bandung : Al-Ma’arif, 1991), hlm. 279
[2] Tahdzib At-Tahdzib [pdf], Syihab al-Din Abu al-Fadl ahmad Ibn Ali Al-Asqalani (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1994),hlm. 252
ILMU JARH WA AL TA'DIL
BAB I
Pendahuluan
Bila melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat
prihatin. Orang begitu mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik
alasannya, karena beda golongan, pemahaman maupun takut tersaingi. Dengan
demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena dengan ia dijarh,
ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahkan ta'lim pun yang
biasa ia bisa bubar.
Selain itu dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat
sebagai penjarh. Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang
menjadikannya ia dijarh. Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam
dirinya terdapat perbuatan yang menjadikan ia dijarh?
Kalau memang orang yang dijarh memang melakukan perbuatan yang
menyebabkan ia dijarh sudahkah ia klarifikasi? Kalau sudah, sudah kah ia
menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal ini dilakukan sudah barang tentu
tidak akan terjadi jarh secara serampangan. Sehingga dengan makalah ini
penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang menginginkan pengetahuan
seputar pembasan al-jarh dan at-ta'dil. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
Untuk memberikan sedikit gambaran perlu saya sampaikan pengertian
ilmu al-jarh dan at-ta'dil. Ilmu al-jarh dan at-ta'dil adalah ilmu yang
menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
penetapan adil dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima
atau menolak riwayat mereka.
BAB II
Pembahasan
1. Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil
Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha – yajrahu yang
berarti akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang
dimaksud dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam,
atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang
dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang
ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti
menggugurkan keabsahan saksi.
Secara istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi
atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau
lemahnya riwayat yang disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti
pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang
menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periwayat tersebut.
Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan
sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-
jarhberkonotasi tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak
pada diri seseorang. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari
dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengemukakan
sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata
ta’dilberarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat,
sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan
riwayatnya dapat diterima.
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa
ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat
(kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif
atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian
yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk
meneliti kualitas hadits bisa diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Adapun
yang menjadi objek penelitian suatu hadits selalu mengarah pada dua hal
penting, yang pertama berkaitan dengan sanad/rawi (rangkaian yang
menyampaikan) hadits, dan kedua berkaitan dengan matan (redaksi) hadits.
Dengan demikian keberadaan sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa
dipisahkan.
2. Apakah Jarh Harus Diterangkan Sebabnya?
Dalam hal ini ulama berpendapat, sebagian ulama tidak mengharuskan
menjelaskan jarh selama syarat-syarat sebagai Jarih telah terpenuhi. Sedangkan
sebagian yang lain mengharuskan menjelaskan sebab-sebab jarh. Di antara
alasannya:
1. Menjelaskan sebab-sebab jarh tidak sulit, karena dengan satu sebab sudah
cukup.
2. Kebanyakan manusia menyelisihi perbuatan yang menjadikan seseorang dijarh.
Yang sependapat dengan pendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud
Ath Thahhan, Ibnu Ash Shalah dan yang lainnya.
3. Apakah Ta’dil Harus Diterangkan Sebabnya?
Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Di antaranya yaitu:
1. Sebagian para imam berpendapat, harus menyebutkan sebab-sebab
keadilannya. Adapun alasannya ada dua:
Karena kadang seseorang memberikan rekomendasi keadilan tidak sesuai
dengan sebab yang menjadikan seseorang adil. Sebagaimana yang dikatakan
kepada Ahmad bin Yunus: “Abdullah bin Al ‘Amari dha’if, maka dia berkata:
“Sesungguhnya yang mendha’ifkannya hanyalah orang-orang Rafidhah yang
marah kepada bapaknya. Seandainya kalian melihat jenggot dan keadaannya
maka Anda akan mengetahui bahwa ia seorang yang tsiqah. “
Sesungguhnya sebab-sebab tersebut mempunyai peran sangat besar terhadap
keadilan seseorang, maka manusia cepat memujinya dengan melihatnya secara
dzahir.
2. Sebagian yang lain tidak mengharuskan penyebutan sebab keadilan. Adapun
alasannya ada dua:
Ijma’ umat, bahwa ta’dil tidak diambil kecuali dari perkataan orang yang adil
pula, yang mengetahui segala sesuatu yang menjadikan seseorang adil atau
jarh.
Sesungguhnya sebab-sebab keadilan sangat banyak sekali. Bila diharuskan
menyebutkannya, maka penta’dil harus menyebutkan setiap perbuatan baik
yang dilakukan orang yang dita’dilnya yang sesuai dengan syar’i maupun yang
bertentangan dengan syar’i, sehingga ini sangat sulit untuk menyebutkannya.
Ulama yang berpendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud Al-
Thahhan, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi. Pendapat yang kedua
inilah yang paling banyak dipakai.
4. Tingkatan-tingkatan dalam Jarh wa ta’dil
Berdasarkan hasil penelitian ulama ahli kritik hadits, ternyata keadaan para periwayat hadits bermacam-macam. Sesuai dengan keadaan para periwayat itu, maka ulama ahli kritik hadits menyusun peringkat para periwayat di lihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Keadaan para periwayat yang bermacam-macam itu dibedakan dalam ilmu jarh wa ta’dil. Urut-urutan lafaz itu dikenal dengan sebutan maratib al- alfaz al-jarh wa ta’dil (peringkat lafaz-lafaz ketercelaan dan keterpujian).
Jumlah peringkat yang berlaku untuk jarh wa ta’dil tidak disepakati oleh
ulama ahli hadits. Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi empat
peringkat untuk al-jarh dan empat peringkat untuk al-ta’dil, sebagian ulama ada
yang membaginya menjadi lima peringkat untuk al-jarh dan untuk al-ta’dil. Dan
sebagian ulama lagi ada yang membaginya masing-masing (yakni untuk jarh dan
ta’dil) kepada enam peringkat.
5. Dengan Apa Jarh Seseorang Ditetapkan
Jarh ditetapkan dengan salah satu dari dua poin berikut:
1. Kesaksian satu atau dua orang yang adil. Perbedaan pendapat dalam hal ini
sebagaimana yang terjadi pada (dengan apa keadilan ditetapkan). Jadi jarh
dietapkan cukup dengan kesaksian satu orang yang adil, laki-laki atau
perempuan, merdeka atau budak.
2. Kemasyhuran dikalang ahli ilmu dengan jarh (cacat) nya. Barang siapa yang
terkenal dikalangan ahli ilmu jarh (cacat) nya, maka ia majruh (orang yang
dijarh). Bahkan ini jarhnya lebih kuat dari pada jarh dari kesaksian satu atau
orang yang adil.
6. Dengan Apa Ta’dil Seseorang Ditetapkan
Keadilan seseroang ditetapkan dengan salah satu dari hal-hal berikut:
1. Persaksian seorang ulama bahwa ia seorang yang adil. Maka barangsiapa
disaksikan keadilannya maka ia seorang yang adil. Para ulama' berbeda
pendapat tentang jumlah penta'dil dikatakan cukup. Sebagian ulama'
berpendapat penetapan keadilan seseorang perawi harus dua atau lebih. Ini
merupakan qiyas dari persaksian hak seseorang. Namun menurut jumhur ulama'
penatapan keadilan seseorang perawi cukup dengan satu kesaksian seorang
yang adil.
2. Dengan ketenaran dan kepopuleran keadilannya dikalangan ahli ilmu.
Barangsiapa yang masyhur keadilannya, banyak pujian atas ketsiqahan dan
amanahnya dikalangan ahli ilmu, maka sudah tidak membutuhkan penetapan
adil secara sharih. Dalam kitab At tadrib Ar rawi Imam An Nawawi
menyebutkan contoh, yaitu Malik (bin Anas), dua orang yang bernama As Sufyan
(As Sufyan Ats Tsauri dan As Sufyan bin Uyainah), Al 'Auza'I, Asy Syafi'i dan
Ahmad (bin Hanbal).
7. Syarat-syarat Jarih
Selain beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh Jarih dan
Mu’addil secara umum, ulama’ juga menetapkan beberapa syarat khusus
sebagai Jarih, yaitu:
1. Jarih harus seorang yang adil, agar ia menahan dan berhati-hati dari menuduh
seseorang dengan kebatilan.
2. Dia harus mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari dan mengetahui
keadaan perawi.
3. Mengetahui sebab-sebab jarh.
4. Tidak ta’ashub.
8. Syarat-syarat Mu’addil
Selain itu, para ulama’ juga menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seorang Jarih dan Mu’addil. Di antara syarat-syarat sebagai Mu’addil adalah sebagai berikut:
1. Mu’addil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan selamat
dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
2. Mu’addil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari keadaan
para perawi.
3. Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang perawi adil atau
jarh (cacat). Dan tidak menghukumi kecuali telah pasti kebenaran sebab-sebab
tersebut.
4. Tidak ta’ashub terhadap orang yang dita’dilnya, sehingga ia akan manta’dil
dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.
9. Tingkatan-tingkatan Sebagai Jarih
Dalam Kitab Taisir ‘Ulum Al Hadis li Al Mubtadi’in, Amru Abdul Mun’im
Salim, menyebutkan tingkatan Jarih sebagaimana pada tingkatan Mu’addil di
atas, yaitu:
1. Mutasyadid dalam menjarh, seperti Abu Hatim Ar Razi dan Al Jauzajani.
2. Musrifin (terlalu mudah) dalam menjarh, seperti Abu Al Fath Muhammad bin
Al Husain Al Azdi.
3. Mu’tadil dalam menjarh, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi,
Ibnu Ma’in, Asy Syaikhani.
10. Tingkatan-tingkatan Sebagai Mu’addil
Dalam tingkatan –tingkatan Mu’addil, dikenal istilah-istilah sebagai berikut:
1. Mutasyadid (terlalu ketat dalam memberikan rekomendasi adil kepada seorang
perawi). Untuk yang kedua ini ta’dilnya dipegang erat-erat, apalagi terhadap
perawi yang diperselisihkan. Diantara para ulama’ yang mutasyadid adalah Abu
Hatim Ar Razi, Al-Jurjani dan An Nasa’i. Ibnu Ma’in juga dikatakan sebagai
mutasyadid.
2. Mu’tadil (sikap pertengahan). Untuk tingkatan yang ketiga, perkataan
diterima, dan tidak ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur. Ulama’ yang
termasuk mu’tadil adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi, Ibnu
Ma’in, Asy Syaikhani dan At Tirmidzi.
11. Lafaz-lafaz dalam Tajrih
1. Lafaz yang menunjukan adanya kelemahan (yaitu jarh yang paling ringan),
contohnya fulan layyinun Al Hadis, atau hadisuhu maqalun (hadisnya
diperbincangkan).
2. Lafaz yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap perawi tidak dapat
dijadikan hujjah, contoh fulan laa yuhtaj bihi (fulan tidak bisa dijadikan hujjah),
atau dha’if, lahu manakir (hadis nya munkar).
3. Lafaz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat ditulis hadis nya, contoh :
fulan laa yuktab hadis uhu (fulan hadis nya tidak ditulis), laa tahillu riwayatahu
(tidak boleh meriwayatkan darinya), fulan dha’if jiddan, wahn bi marattin (orang
yang sering melakukan persangkaan).
4. Lafaz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta atau pemalsuan hadis.
Contoh fulan muthamun bil kadzb (fulan dituduh berbuat dusta), fulan
muthamun bi Al Wadh’i (fulan dituduh membuat hadis palsu), yasriqu Al
Hadis (dia mencuri hadis), matruk, atau laisa bi tsiqah.
5. Lafaz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta atau yang semacamnya,
contoh kadzab atau dajjal, wadha’ (pemalsu).
6. Lafaz yang menunjukkan adanya mubalaghah (superlatif) dalam perbuatan
dusta, contoh fulan paling pembohong, ilaihi al muntaha bi al kadzb (dia
pangkalnya kedustaan) dan lainnya.
12. Lafaz-lafaz dalam Ta’dil
Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta’dil
menetapkan lafaz-lafaz dalam jarh wa ta’dil menjadi empat tingkatan,
sedangkan para ulama lainnya menambah dua point menjadi enam, di antaranya
adalah:
1. Lafaz menggunakan bentuk superlative (mubalaghah) dalam ketsiqahan atau
mengikuti wazan af’al. , contoh: Fulanun Asbata An Nas (Fulan adalah manusia
yang paling teguh), fulan ilaihi Al Muntaha fi At Tatsabut (fulan yang paling
tinggi keteguhannya) dan lainnya.
2. Lafaz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan
ketsiqahannya dan keadilan contoh: tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
3. Ungkapan yang menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh:
Tsiqah, tsabit, mutqin.
4. Lafaz yang menunjukkan ta’dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan
dan ketelitian, contoh: shaduquna (orang yang jujur), ma’mun (terpercaya) laa
ba’sa bih (tidak masalah atau tidak ada cacat).
5. Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh; Fulanun
Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan darinya).
6. Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis (lumayan) atau
yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).
Karena terjadi perbedaan peringkat, maka ada lafaz yang sama untuk
peringkat al-jarh dan ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz
saduq, misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat kedua dalam
urutan al-ta’dil dan ada ulama yang menempatkannya pada urutan keempat.
Adanya perbedaan dalam menempatkan peringkat lafaz, untuk jarh wa ta’dil itu
memberi petunjuk bahwa memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh
lafaz jarh wa ta’dil diperlukan penelitian misalnya dengan menghubungkan
penggunaan lafaz itu kepada ulama’ yang memakainya.
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang macam-macam lafaz untuk
jarh wa ta’dil beserta peringkatnya masing-masing, perlu dipelajari lebih
mendalam kitab-kitab yang membahas al-jarh wa ta’dil.
13. Hukum Tingkatan-tingkatan Al-Jarh
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap
hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya
orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan
pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah,
tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
14. Hukum Tingkatan-tingkatan Ta’dil
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian
mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi
hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka dengan
membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dhabith.
Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak
sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi
hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk
pengujian, karena mereka tidak dhabith.
Kitab-kitab Tentang Jarh Wa Ta’dil dan Metode Penyusunannya
1. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi:
Isti’ab fi ma’rifat al-Ashab Susunan Ibnu ‘Abdil Barr (W. 463 H/1071 M).
Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, susunan ‘Izz al-Din Ibnu al-Asir
(W. 630 H/1232 M).
Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 652
H/1449 M).
Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadits yang disusun
berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah), yaitu:
al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H)
Tazkirah al-Huffaz karya Muhammad Ibn Ahmad al-Zahabi (W. 748
H/1348 M).
Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis secara umum.
Al-Tarikh al-Kabir, karya al-Bukhari (W. 256 H/870 M).
Al-jarh wa al-ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim al-Razi (W. 328 H).
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab tertentu.
Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Siqqah wa al-Sadad, karya Ahmad
bin Muhammad al-Kalabazi (W. 318 H). kitab ini membahas khusus para
periwayat hadis pada kitab Sahih Bukhari.
Rijal Sahih Muslim, karya Ahmad ‘Ali al-Asfahani (W. 428 H). kitab ini
membahas khusus para periwayat dalam Sahih Muslim.
Al-Jam’u Baina al-Sahihain, karya Ibnu al-Qaisarani bin Tahir al-Maqdisi
(W. 507 H). Kitab ini membahas para periwayat dalam sahihBukhari
dan sahih Muslim.
Al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’, karya Muhammad bin Yahya al-Tamimi (W.
416 H). Kitab ini membahas khusus periwayat dalam al-Muwatta’ Imam Malik.
Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Abdul Gani al-Maqdisi (W. 600 H). Kitab
ini membahas para periwayat hadis dalam kutub al-sittah,
yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan
al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.
BAB IIIKesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak mudah dan
gampang untuk menta'dil atau bahkan menjarh seseorang. Sebab ada
persyaratan yang sangat ketat untuk menjarh atau menta'dil seseorang tidak
seenaknya saja kita bilang orang itu jarh atau ta'dil.
Bila perkataan dua orang Imam terhadap seorang perawi, maka kita
harus membahasnya; pertama apakah pertentangan ini hakiki atau tidak? Bila
salah seorang ulama' menjarh disebabkan ketidakdhabitannya, namun ulama'
yang lain menta'dilnya, ada kemungkinan ketidakdhabitannya setelah ia dita'dil.
Bila salah seorang ulama' menjarh disebabkan ikhtilathnya (kelalaiannya), dan
ulama' lain mentsiqahkannya, maka ada kemungkinan dia ta'dil sebelum
ikhtilath, dan yang menjarh setelah ikhtilath, dan seterusnya.
AL-JARH WA AL-TA’DIL
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
Ulumul Hadits
Dosen Pengampu :
Dr. Saifuddin, M.Ag
Disusun Oleh :
Muhammad Rasyidi, S.Pd.I
NIM : 11.0212.0809
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
IAIN ANTASARI
BANJARMASIN
2011AL-JARH WA AL-TA’DIL
1. A. Pendahuluan
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak
diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak
diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan
kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak
waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan
pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu
yakni ilmu hadits riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan
kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam
menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik
mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi
yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih
tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena
kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu
hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan
perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
Tulisan ini berusaha mengetengahkan perngertian “al- Jarh wa al-Ta’dil’, dasar-dasar
kebolehan melakukan “ al-Jarh wa al-Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-
cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.1. B. Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil
Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرح يجرح جرحا yang berarti
melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir[1], selanjutnya
dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia
menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الحاكم
.”hakim itu menolak saksi“ الشاهد جرح
Menuut Istilah,al- Jarh ialah:
سقوط مما يتر تب عليه وضبطه حفظه ا ويخل يسلم عد ا لته في الراوي هو ظهور وصف
ورد ها اوضعفها روايته
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak
kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan
menyebabkan riwayatnya di tolak”.[2]
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh menurut
istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan
ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur
riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.[3]
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan).[4] Adapun
Pengertian ta’dil menurut ahli hadis antara lain:
وصف الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره
r“ Sifat rawi dari segi diterima dan nampak keadilannya”.[5] Sedangkan menurut Prof. Dr.
Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته وصف الراوى بصفات
“’Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi
sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.[6]
Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang
membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka.
[7]Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
يبحث عن الرواة من حيث ماورد فى شأ نهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة علم
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan
ungkapan atau lafaz tertentu”.[8]
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti dikutip Faturahman
mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh dan Ta’dil
para perawi dengan menggunakan lafadz-lafazd tertentu dan membahas pula tentang
tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah satu cabang
dari ilmu Rijal al- Hadits.
Dan dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa
Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan
memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.1. C. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh dan Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain
adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan
dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan
kelemahannya kepada orang lain.[9] Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib
kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan
maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita
tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan
menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan
mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban
melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan
yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
a. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: [10]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.(QS. Al Hujurat: 6).
b.Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 282.
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[[11]] tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan “ adalah orang-orang yang kamu ridhai
agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan
bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam
menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil
ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan
dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at
Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[12]1. D. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan ta’dil dan syarat seorang kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang
menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima
macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.[13]1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati
dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang
rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan
diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi
seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:[14]1. Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.1. E. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at
adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa
ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi: Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa
adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان
“ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”.Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:[15]1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi
sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui
keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas
perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama
ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil.
Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang
dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang
perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib,
mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:1. Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya
sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[16]
Pertama, mرn qظoي qهr ن , ليس ل oاسv vاس , أ ضبط الن أو ثق الن
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, oهo nل وn عqنn مoثq nهr أ ألr عqن nسq q ي qنm ال فrال
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, mظoفqح mةqقo , ث mنnوrمn oقqةm مqأ oقqةm, ث oقqةm ث ث
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan
hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, ال بأس به قصدو
(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan
seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan
seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan
lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan
kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai
penguatnya.[17]1. b. Tingkatan lafadz al-Jarh. Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan
tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah,
misalnya dengan kata-kata: ركن الكذب أكذب الناس،
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini
menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta
namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع
)pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan
(mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta
lafadz yang digunakan misalnya:
oقqة� oث nسq ب qي وnقm, ل rرn , مrت mكoالqه , qثn nحqدoي رoقr ال nسq , ي oعnضqوn oال vهqمm ب , مrت oبoذq nك oال vهqمm ب مrت
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah.
Lafadz yang digunakan:
rهr nث دoي qح rبq nت rك q ي يnء�, ال qشo nسq ب qي nفm جoد�ا, ل rهr, ضqعoي nث دoي qح qحoرrط ,rهr nث دoي qح vد rر
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan
Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh
hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
mفn oهo، ضqعvفrوnهr، ضqعoي qجr ب ت nحr qي ، ال oثn nحqدoي مrضnطvرoبr ال
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah
mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, غير أو ثق منه
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya
terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat
empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat
kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut
adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[18]1. F. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi.
Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama,
pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik,
sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib[19] sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang
perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan
diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai
pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut: Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari
ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.[20]
Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yangmentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini
kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulamalain.
Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf darimengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal
ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat
urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits
palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
Ma’luf, Louis. Kamus al-Munjid, al-Mathba’ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus,1989.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki
Putra Semarang, 2010.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah al-Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1974.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis, Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.),
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.
[1] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), h.
83.
[2] Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1975), h. 260.
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman,
Lc.), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 82.
[4]Drs. H. Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 31.
[5] Ibid, h. 262.
[6] Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 279.
[7] Ajaz al-Khatib,op.cit., h. 261.
[8] Drs. H. Munzier Suparta, M.A, Op.cit., h. 31-32.
[9] Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama,
2006), h. 171-172.
[10] Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
[11] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
[12] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267
[13] Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, op.cit., h. 280-281.
[14] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif,
1974), h. 310-311.
[15] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267
[16] Dr. Nawir Yuslem, M.A., op.cit.,h. 173.
[17] Ibid., h. 174.
[18] Ibid., h. 174-175.[19] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267.[20] Ibid, h. 267.
A)Pendahuluan
Rasulullah SAW tidaklah mewariskan harta benda dan kekayaan kepada umatnya.
Namun Rasulullah SAW mewariskan kepada kita dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah.
Al-qur’an adalah kalam Allah yang telah dijamin kemurniannya. Sedangkan Sunnah atau
sabda Rasul SAW tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua sabda Rasul
SAW tersebut bisa diterima karena belum tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari
Rasulullah SAW.
Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua
setelah Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur’an
yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai
kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.
Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun
setelahnya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan
perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para
periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karenanya
muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul
Hadits.
Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits, ada satu cabang ilmu
yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu al-jarh wa
ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadits tentang
keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak,
akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal,
perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang
begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya
Rasulullah SAW kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena
terjadinya pertikaian di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak
mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang
mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya
sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah
SAW dan hadits yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana
hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya.
B)Pembahasan
Pengertian ilmu jarh wa ta’dil
Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha – yajrahu yang berarti akibat atau
bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan dengan
fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati
karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim
pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti
menggugurkan keabsahan saksi.
Secara istilah ilmu hadis, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan
seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang
disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang
sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh
periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan
sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi
tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri seseorang. Sedang al-
tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela
seseorang.
Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang
dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, kata ta’dil berarti mengungkap sifat-sifat
bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi
periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu
yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus
mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang
rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-
lafadz tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk meneliti kualitas
hadis bisa diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Adapun yang menjadi objek penelitian
suatu hadis selalu mengarah pada dua hal penting, yang pertama berkaitan dengan sanad/rawi
(rangkaian yang menyampaikan) hadis, dan kedua berkaitan dengan matan (redaksi) hadis.
Dengan demikian keberadaan sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Asal Usul dan Pertumbuhan Ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dil
Al-jarh wa at-ta’dil dan pembahasanya tentang rawi-rawi itu sudah ada sejak Rasulullah Saw.
Kemudian dilanjutkan pada masa sahabat dan masa tabi’in lalu diteruskan pada masa
sesudahnya. Al-jarh wa at-ta’dil telah dimulai sejak masa kenabian dan merupakan sesuatu
yang disyariatkan dari Rasulullah Saw atas sebagian rawi-rawi dengan meneliti keta’dilan
mereka.
Aktivitas jarh wa ta'dil yang berkembang pada masa awal adalah seputar materi hadis. Dalam
perkembangan selanjutnya, kritik terhadap materi tidak lagi dirasakan memadai. Para ulama
yang mempunyai perhatian secara khusus terhadap hadis kemudian mengembangkan kritik
sanad. Salah satu sebab dari beralihnya aktivitas ulama kepada pengembangan kritik sanad ini
menurut Syuhudi Ismail, mempunyai ikatan dengan kemunculan hadis-hadis palsu.
Kemunculan hadis-hadis palsu itu secara erat kaitannya dengan kelompok-kelompok di
kalangan umat Islam, menyusul peristiwa terbunuhnya khalifah Ustman bin affan tahun 36 H.
dan terbunuhnya Husein bin Ali tahun 61 H. menurut Ibnu Sirrin, sebagaimana dikutip oleh
Ali Mustafa Ya'qub, pada mulanya umat Islam tidak pernah menanyakan sanad hadis. Akan
tetapi, sejak terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan, umat Islam selalu menanyakan dari
siapa hadis itu. Apabila hadis itu berasal dari orang-orang penyebar bid'ah maka mereka
menolaknya.
Sedangkan menurut Ibn ’Adi (365 H), ilmu Al-jarh wa at- ta’dil telah ada sejak zaman
sahabat. Bahkan menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, perkembangan ilmu Al-jarh wa at-
ta’dil sejaln dengan perkembangan periwayatan daam Islam. Ia mengatakan bahwa para
ulama dulu telah membicarakan keadaan-keadaan para perawi. Hal ini identik dengan ilmu
Al-jarh wa at-ta’dil yang memang membahas keadaan para perawi itu. Diantara sahabat yang
pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah bin Shamit (34 H) dan
Anas bin Malik (39 H).
Pada masa tabi’in muncul beberapa ulama yang membahas masalah ini. Di antara para tabi’in
yang tercatat membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H) dan Sa’id bin al-Musyaiyab
(94 H).
Pada abad ke-2 H, sekitar pasca tahun 150 H, para ahli mulai memperketat dan ramai
membicarakan tentang keadaan para perawi ini. Dengan kata lain, perkembangan ilmu jarh
wa ta’dil mengalami kemajuan dengan bukti aktivitas para ahli yang semakin giat men-tajdid
dan men-ta’dil para perawi. Di antara ulama besar yang memberi perhatian pada masalah ini
adalah Yahya bin Said al-Qaththan (189 H) dan Abdurrahman bin Mahdy (198 H).
Generasi sesudahnya adalah Yazin bin Harun (189 H), Abu Daud ath-Thayalisy (240 H) dan
Abdurrazaq bin Human (221 H).
Sedangkan penyusunan kitab-kitab tentang jarh wa ta’dil baru dilakukan setelah masa ini, atau
sekitar abad ke-3 H. Di antara pemuka-pemuka ilmu jarh wa ta’dil pada masa ini adalah
Yahya bin Ma’in (223 H), termasuk pada masa ini adalah Ahmad bin Hambal (241 H),
Muhammad bin Sa’ad (230 H), Ali bin Madiny (234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (235 H),
dan Ishaq bin Rahawaih (237 H).
Ulama-ulama lain yang tercatat pada masa itu adalah ad-Darimi (255 H), Al-Bukhari (256 H),
Muslim (261 H), Al-Ajali (261 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Daud (257 H), Abu Hatim ar-
Razi (277 H), Baqi ibn Makhlad (276 H), dan abu Zur’ah ad-Dimasqi (281 H).
Perkembangan ini terus berlanjut sampai pada masa Ibnu Hajar al-Asqalani (821 H), yang
menghasilkan karya Lisan al-Mizan, yang terdiri dari 6 jilid dan memuat kurang lebih 14.343
perawi.
Syarat – Syarat Yang Melakukan Al-Jarh dan At-Ta’dil
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian
untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan
para perawi dan keadilan mereka.[3]Bagi yang berstatus sebagai mu’addil dan mujarrih
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut
a. Berilmu pengetahuan.
b. Takwa.
c. Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan
makruhat-makruhat).
d. Jujur.
e. Menjauhi.fanatik golongan
f. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan
1. Berilmu pengetahuan.Adapun yang dimaksudkan dengan berilmu pengetahuan yaitu
menguasai berbagai macam disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya yang berkonotasi ke dalam
materi hadis. Karena mustahil bagi orang yang mentajrih atau menta’dil itu bisa memberikan
argumen-argumen atas tuduhannya jikalau tidak ada ilmu yang dimiliki. Disamping itu, ilmu
ini butuh penalaran yang sangat tinggi sehingga ilmu ini tidak menerima riwayat dari orang
yang kurang cerdas dalam berfikir.
2. Taqwa.Jadi, bagi orang yang mentajrih atau menta’dil harus dalam keadaan takut oleh
Allah karena hal ini akan sangat berdampak negatif jika seorang penjarah atau penta’dil tidak
meyakini existensi sang Maha pencipta.
3. Wara’.Adapun yang dimaksud dengan wara’ yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat
atau perbuatan maksiat, hal-hal yang syubhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat.
Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan
yang dimurkahi oleh Allah.
4. Jujur.Ini adalah sifat yang paling urgen yang mana orang harus berlaku jujur dalam
memberikan persaksian bahwa si polan telah begini dan begitu. Karena tidak menutup
kemungkinan ada orang yang mentajrih hanya sekedar ingin menjatuhkan orang yang tidak
disukai.
5. Menjauhi fanatik golongan.Syarat ini ada kaitannya dengan jujur karena orang yang tidak
menjauhi sektenya masing-masing dalam memberikan persaksian itu akan dominan dalam
mempertahankan sekte yang dianut. Maka pada akhirnya, pendapatnya akan tidak jujur
disebabkan karena arogansi yang dimiliki oleh masing-masing sekte.
6. Mengetahui sebab-sebab mentajrih atau menta’dil seseorang. Sebagaimana yang telah
diketahui bersama bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa tidak diterima tajrih atau ta’dil
jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Olehnya itu, para ulama yang setuju dengan
pendapat diatas telah sepakat untuk memasukkan syarat bagi orang yang mentajrih atau
menta’dil bahwa harus ada penyebutan sebab-sebab, mengapa dia mentajrih atau menta’dil si
polan
Olehnya itu, apabila kita menemui sebagian ahlli jarh dan ta’dil menjarahkan
ataupun menta;dilkan seorang perawi, maka kita tidak perlu segera menerima pendapatnya
tersebut tetapi hendaklah kita melakukan penelitian terlebih dahulu. Karena, kadang-kadagng
sebab-sebab yang digunakan untuk menjarah atau menta’dil itu setelah kita adakan
penyelidikan ternyata dapat dipakai untuk menolak tuduhannya.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,“Apakah kamu tidak takut terhadap
orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan
Allah?”. Dia berkata,“Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada
Rasulullah shallallaahu[5] Kitab Al Kifayah Fi Ilm Al Riwayah
Metode Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at
adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan
dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya.
Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaj al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai
saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut
kebaikannya”
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan
antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits
karena perawinya tidak kuat hafalannya.
Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa
dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya.
Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
اللسان تستقيم يكن لم
“ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama
tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan
bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup
mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”.Alasannya tidak disebutkan karena
terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan
misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh,
leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut (Ajaj al-Khatib ada dua jalan:[15] (Ajaj
al-Khatib وومصطلحه الحديث أصول )
3. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi
sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka
tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
4. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang
perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara
mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas
Pertentangan Jarh dan Ta’dil dan kaedah-kaedah penyelesaiannya
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama
yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama,
pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik,
sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya
mengetahui perawi itu setelah ia (perawi tersebut) bertaubat, sehingga mereka
menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu
pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya
lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya
mengetahui perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang
perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan
diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai
pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari
ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur,
alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat
kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang
menta’dil.[20]
Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama
yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat
ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak,
namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama
lain.
Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya,
kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari
mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah
meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ajaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal
ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat
urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh wat-Ta’diil Menurut Ibnu Abi Haatim
Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
إلي كتابه في الدمشقي الحسن بن علي القاسم أبي الحافظ بن القاسم محمد أبو الحافظ أخبرنا
قال األسكندرية ثغر من إلى كتابه في أحمد بن محمد بن أحمد طاهر أبو الحافظ أخبرنا قال منها
أبو أنبأنا قال أبي أنبأنا قال إذنا الهروي أحمد بن عبد ذر أبي الحافظ بن عيسى مكتوم أبو أخبرنا
بن محمد حاتم أبي بن عبدالرحمن محمد أبو اإلمام أنبأنا قال األصبهاني عبدالله بن حمد علي
شتى : مراتب على والتعديل الجرح في األلفاظ وجدت قال الحنظلي إدريس
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abu Muhammmad Al-Qaasim bin Al-
Haafidh Abil-Qaasim ‘Aliy bin Al-Hasan Ad-Dimasyqiy dalam kitabnya yang ditulisnya
kepadaku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abu Thaahir Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad dalam kitabnya yang ditulisnya kepadaku dari pesisir negeri
Iskandariyyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Maktuum ‘Iisaa bin Al-
Haafidh Abi Dzarr ‘Abd bin Ahmad Al-Harawiy dengan izinnya, ia berkata : Telah
memberitakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy
Hamd bin ‘Abdillah Al-Ashbahaaniy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Al-
Imaam Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim Muhammad bin Idriis Al-handhaliy,
ia berkata : “Aku dapati lafadh-lafadh al-jarh wat-ta’diil itu bermacam-macam tingkatan”.
( التعديل : (مراتب
بحديثه - 1 يحتج ممن فهو ثبت متقن أو ثقة إنه للواحد قيل فإذا
وهي - 2 فيه وينظر حديثه يكتب ممن فهو به بأس ال أو الصدق محله أو صدوق إنه قيل وإذا
الثانية المنزلة
الثانية - 3 دون أنه إال فيه وينظر حديثه يكتب الثالثة بالمنزلة فهو شيخ قيل وإذا
لإلعتبار – 4 حديثه يكتب فإنه الحديث صالح قيل وإذا
Tingkatan-Tingkatan Ta’diil :
1. Apabila dikatakan pada seseorang bahwasannya ia tsiqah (terpercaya) atau mutqinlagi tsabt,
maka ia termasuk orang yang haditsnya dapat digunakan sebagai hujjah.
2. Apabila dikatakan bahwasannya ia seorang yang shaduuq atau mahalluhush-shidq(tempatnya
kejujuran) atau laa ba’sa bih (tidak mengapa dengannya), maka ia termasuk orang yang
ditulis haditsnya dan riwayatnya perlu diteliti (lebih lanjut). Ini adalah tingkatan kedua.
3. Apabila dikatakan ‘syaikh’, maka ini adalah tingkatan ketiga yang ditulis haditsnya dan
riwayatnya perlu diteliti (lebih lanjut). Hanya saja, kedudukannya di bawah tingkatan kedua.
4. Apabila dikatakan ‘shaalihul-hadiits’, maka ia ditulis haditsnya untuk i’tibaar.
( الجرح : (مراتب
إعتبارا - 1 فيه وينظر حديثه يكتب ممن فهو الحديث بلين الرجل في أجابوا وإذا
دونه - 2 أنه إال حديثه كتبة في األول بمنزلة فهو بقوي ليس قالوا وإذا
به - 3 يعتبر بل حديثه يطرح ال الثاني دون فهو الحديث ضعيف قالوا وإذا
وهي - 4 حديثه يكتب ال الحديث ساقط فهو كذاب أو الحديث ذاهب أو الحديث متروك قالوا وإذا
الرابعة المنزلة
عباراتهم من وجده عندما حاتم أبي إبن ذكره ما هذا
Tingkatan-Tingkatan Jarh :
1. Apabila para ulama menjawab predikat seseorang dengan sebutan ‘layyinul-hadiits’, maka ia
termasuk orang yang ditulis haditsnya dan riwayatnya perlu diteliti (lebih lanjut)
untuk i’tibaar.
2. Apabila para ulama berkata laisa biqawiy (tidak kuat), maka ia seperti tingkatan pertama,
hanya saja kedudukannya di bawahnya.
3. Apabila para ulama berkata ‘dla’iiful-hadiits’, maka kedudukannya di bawah tingkatan kedua
yang tidak dibuang haditsnya, namun digunakan sebagai i’tibaar.
4. Apabila para ulama berkata ‘matruukul-hadiits’ atau ‘dzaahibul-hadiits’ atau‘kadzdzaab’,
maka ia adalah orang yang haditsnya digugurkan, tidak boleh ditulis haditsnya. Ini adalah
tingkatan keempat.
Inilah yang disebutkan Ibnu Abi Haatim ketika mendapatkan perkataan-perkataan para ulama
(dalam al-jarh wat-ta’diil)”
[selesai – diterjemahkan Zikhirwan’ dari buku Jawaabul-Haafidh Al-Mundziriy ‘an As-ilati
fil-Jarh wat-Ta’diil hal. 46-53, Cet. 1/1411 H – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas,
bogor – 15011435/18112013 – 23:40].
Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas
perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli
hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam
melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan
sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-
masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam)
tingkatan, yaitu:
2. Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya
sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, , , mرn qظoي ن rهq ل ليس oاسv الن ضبط أ vاس الن ثق أو
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, oهo nل مoث nنqع nوq أ rهn عqن rأل nسq ي q ال mنq فrال
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, , , mظoفqح mةqقo ث mنnوrمn مqأ mةqقo ث mةqقo ث mةqقo ث
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan
yang baik),
Keempat, , , , , ضابطثبت, عدل حافظ عدل إمام حجة متقن
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , ,قصدو به بأس ال مأمون
(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang,
tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, , , الله, شاء إن صدوق صويلح الصواب من ببعيد ليس شيخ
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan
seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan
lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan
kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai
penguatnya.[17]
2. b. Tingkatan lafadz al-Jarh. Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan
tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan
jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah,
misalnya dengan kata-kata: الناس، الكذب أكذب ركن
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini
menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun
tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: ,وضاع كذاب
)pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan
(mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz
yang digunakan misalnya:
, , , , , oقqة� oث ب qسn qي ل mقnو rرn مrت mكo هqال qثn nحqدoي ال rقoر nسq ي oعnضqوn oال ب mمqهv مrت oبoذq nك oال ب mمqهv مrت
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah.
Lafadz yang digunakan:
, , , , rهr nث دoي qح rبq nت rك ي q ال يnء� qشo ب qسn qي ل جoد�ا mفn ضqعoي rهr nث حqدoي qحoرrط rهr nث حqدoي vد rر
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan
Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh
hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
mفn ضqعoي ،rهnوrفvعqض ،oهo ب rجq ت nحr qي ال ، oثn nحqدoي مrضnطvرoبr ال
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah
mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
منه , ثق , , أو غير ضعيف فيه بحجة، ليس ل مقا فيه القوي بذلك ليس
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya
terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat
empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat
kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut
adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[18]
Kitab-kitab Tentang Jarh Wa Ta’dil dan Metode Penyusunannya
1. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi:
Isti’ab fi ma’rifat al-Ashab Susunan Ibnu ‘Abdil Barr (W. 463 H/1071 M).
Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, susunan ‘Izz al-Din Ibnu al-Asir
(W. 630 H/1232 M).
Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 652
H/1449 M).
Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadits yang disusun
berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah), yaitu:
al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H)
Tazkirah al-Huffaz karya Muhammad Ibn Ahmad al-Zahabi (W. 748
H/1348 M).
Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis secara umum.
Al-Tarikh al-Kabir, karya al-Bukhari (W. 256 H/870 M).
Al-jarh wa al-ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim al-Razi (W. 328 H).
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab tertentu.
Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Siqqah wa al-Sadad, karya Ahmad
bin Muhammad al-Kalabazi (W. 318 H). kitab ini membahas khusus para
periwayat hadis pada kitab Sahih Bukhari.
Rijal Sahih Muslim, karya Ahmad ‘Ali al-Asfahani (W. 428 H). kitab ini
membahas khusus para periwayat dalam Sahih Muslim.
Al-Jam’u Baina al-Sahihain, karya Ibnu al-Qaisarani bin Tahir al-Maqdisi
(W. 507 H). Kitab ini membahas para periwayat dalam sahihBukhari
dan sahih Muslim.
Al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’, karya Muhammad bin Yahya al-Tamimi (W.
416 H). Kitab ini membahas khusus periwayat dalam al-Muwatta’ Imam Malik.
Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Abdul Gani al-Maqdisi (W. 600 H). Kitab
ini membahas para periwayat hadis dalam kutub al-sittah,
yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan
al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.
BAB IIIKesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak mudah untuk
menta'dil atau menjarh seseorang. Sebab ada persyaratan yang sangat ketat
untuk menjarh atau menta'dil seseorang tidak seenaknya saja kita bilang orang
itu jarh atau ta'dil.
Bila perkataan dua orang Imam terhadap seorang perawi, maka kita
harus membahasnya; pertama apakah pertentangan ini hakiki atau tidak? Bila
salah seorang ulama' menjarh disebabkan ketidakdhabitannya, namun ulama'
yang lain menta'dilnya, ada kemungkinan ketidakdhabitannya setelah ia dita'dil.
Bila salah seorang ulama' menjarh disebabkan ikhtilathnya (kelalaiannya), dan
ulama' lain mentsiqahkannya, maka ada kemungkinan dia ta'dil sebelum
ikhtilath, dan yang menjarh setelah ikhtilath, dan seterusnya.
top related