bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · rangkaian pengalaman spiritual yang dapat...
Post on 11-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan potensi untuk tunduk dan mengabdi
kepada sesuatu yang adikodrati (supernatural). Manusia dimanapun berada dan bagaimanapun
mereka hidup, baik kelompok maupun individu terdorong untuk melakukan pengabdian kepada
Yang Maha Tinggi (Jalaludin, 2002). Berdasarkan hasil riset dan observasi, ahli psikologi
berpendapat bahwa pada diri manusia terdapat keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal.
Keinginan dan kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan kodrati berupa keinginan untuk mencintai dan
dicintai Tuhan. Hal tersebut terbentuk dalam kegiatan kerohanian dipercaya merupakan suatu
rangkaian pengalaman spiritual yang dapat meningkatkan kepekaan diri, menempatkan diri pada
posisi dan sudut pandang orang lain, serta upaya identifikasi terhadap figur Tuhan yang diyakini
sebagai Pengasih dan Penolong (Ramayulis, 2007: 26).
Kegiatan kerohanian dapat diterima oleh setiap orang, salah satunya adalah melalui
institusi keagamaan yang mereka anut. Agama mengacu pada institusi, dogmatis, dan aturan-
aturan. Agama sebagai salah satu pranata sosial dalam masyarakat memiliki ajaran-ajaran yang
bekerja melalui pikiran dan nurani setiap pemeluknya dan memungkinkan pemeluknya
membangun sistem nilai sendiri yang menjadi pedoman bagi hidupnya (Snyder, 2000).
Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam. Dalam
ajarannya, Islam memeritahkan wanita yang telah memasuki usia akil baligh untuk menutup
auratnya dengan menggunakan jilbab. Karena ajaran Islam baru memasuki Indonesia pada sekitar
2
Universitas Kristen Maranatha
abad ke- 13, maka tidak mudah untuk kebudayaan Islam diterima oleh masyarakat Indonesia,
yaitu budaya penggunaan jilbab oleh wanita yang menganut agama Islam di Indonesia.
Jilbab di dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah khumur, sebagaimana terdapat dalam
surat An-Nuur ayat 31: “Hendak mereka menutupkan khumur (jilbabnya) ke dadanya.”
Dalil Al-Qur’an lainnya yang menjelaskan mengenai wajibnya wanita berjilbab adalah
dalam surat Al-Ahzab : 59 yang artinya
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”
Ayat di atas telah memberikan batasan yang jelas tentang pakaian yang harus dikenakan
oleh wanita muslimah, yaitu wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali apa yang dikecuali oleh
syariat (yang dimaksud dalam hal ini adalah wajah dan dua telapak tangan). Ketetapan syari’at ini
tidak lain adalah untuk melindungi, menjaga, serta membentengi wanita dari laki-laki yang bukan
mahramnya.
Adapun pedoman lain yang mengharuskan wanita muslimah untuk menggunakan
jilbabnya terdapat dalam Al- Quran surat Al-A’raf (7) ayat 2 dimana isinya adalah “ Hai anak
Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian yang indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian
itu adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, agar mereka selalu ingat.”
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan pakaian untuk menutupi
aurat wanita supaya mereka menggunakannya dan selalu ingat kepada Allah SWT. Jilbab dalam
Al-Qur’an itu adalah kain yang menutupi dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain
3
Universitas Kristen Maranatha
yang dipakai lapisan kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita. Wanita dikatakan berjilbab
apabila membungkus atau menutupi seluruh tak terkecuali wajah, tidak tipis, tidak berbau harum
atau sejenisnya, tidak untuk bermewah-mewahan atau memamerkan dan tidak menyerupai kaum
laki-laki.
“Ada beberapa alasan wanita untuk berjilbab yaitu sebagai ciri-ciri wanita muslim,
mendapat pahala, terlihat cantik dan berakhlak, terhindar dari godaan pria yang bukan
mahramnya, menjaga aurat, melindungi kulit dari sinar matahari, dan kebanggaan menjadi wanita
muslim” (Satriya, 2013). “Adapun alasan - alasan yang menyebabkan keharusan perempuan
untuk berjilbab menutupi auratnya. Yang pertama adalah alasan filosofis yang berpusat pada
kecenderungan ke arah perjuangan melawan kenikmatan dalam rangka melawan nafsu
manusiawi. Kedua adalah alasan keamanan, misalnya agar istri cantik tidak dirampas orang lain.
Ketiga alasan ekonomi, yaitu perempuan diberi pakaian tertutup dan dilarang pergi ke luar rumah
agar-laki-laki (suami/ayah) dapat mengeksploitasinya dengan menjadi pelayan bagi kepentingan
laki-laki. Keempat alasan peradaban manusia dengan rujukan Al-Qur’an” (Shihab, 2005).
Jilbab adalah identitas wanita Islam, mahkota yang harus di junjung tinggi. Jika seorang
wanita telah memutuskan untuk berjilbab, maka ia harus siap dengan segala konsekuensinya.
Siap menjaga sikap dan perilakunya. Sebab, jika seorang wanita berjilbab melakukan hal-hal
yang tidak semestinya, maka yang dituding bukan hanya diri wanita itu, tetapi jilbab dan Islam.
Contohnya, jika seorang wanita berjilbab merokok di tempat umum, maka masyarakat akan
berkata “Kok pakai jilbab merokok ?” Jilbab dan Islam mendapat kesan negatif.
Terlepas dari segala argument tentang hak asasi seseorang untuk bebas melakukan apapun
sepanjang tidak mengganggu kepentingan orang lain, wanita yang telah memutuskan untuk
berjilbab hendaknya menjaga adab perilaku karena ia merupakan jati diri. Sudah selayaknya
4
Universitas Kristen Maranatha
wanita berjilbab menjaga jati diri dan martabat sebagai seorang wanita muslimah dengan sebaik-
baiknya. Tidak memperlakukan sesuka hati dan membuat peraturan sendiri. Ada yang berjilbab
awalnya karena merasa mendapat hidayah, namun dalam perjalanan hidupnya ketika merasa
kecewa dengan apa yang dialaminya, lalu jilbab pun dilepaskan. Jika ada seorang wanita
berjilbab tetapi akhlaknya buruk, berarti wanita itu hanya sekedar ‘mengetahui’ belum
‘memahami’.
Jilbab merupakan fenomena yang belum lama muncul ke permukaan Indonesia. Isu jilbab
di Indonesia mulai marak di awal tahun 1990. Hal tersebut semakin nyata jika melihat jumlah
perempuan berjilbab di Indonesia yang semakin meningkat. Kini setelah semakin jauh dari era
orde baru, jumlah perempuan berjilbab menjadi hal yang sangat lumrah. Jilbab sendiri merupakan
fenomena yang kompleks yang tidak ada habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Hal ini dapat
terjadi karena kaum muslim hidup berdasarkan pola yang berirama antara ruang dan waktu,
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam segala aspek kehidupan. Orang Indonesia yang
cenderung dinamis menjadi alasan semakin banyaknya penggunaan jilbab di dalam banyak
lapisan kehidupan.
Semakin dinamisnya orang Indonesia, membuat perilaku pemakaian jilbab menjadi hal
yang menarik untuk dieksplorasi dan dikembangkan. Berbagai seni dan kreasi dalam
memodifikasi cara memakai jilbab mulai berkembang pada akhir tahun 2000-an. Hal tersebut
dipelopori oleh kalangan muda yang terimbas dari dampak globalisasi yang membuat akses
internet menjadi hal mudah sehingga memungkinkan seseorang melihat keadaan di luar negeri
termasuk gaya memakai jilbab di luar negeri.
Maka dari itu muncul fenomena perempuan yang memakai jilbab dengan modis, trendi
dan fashionable. Beberapa dari mereka bahkan membentuk komunitas Hijabers (pengguna hijab
5
Universitas Kristen Maranatha
atau jilbab) dan ada hampir di tiap kota di Indonesia. Adapun dampak positif dari komunitas
hijabers yaitu menambah citra positif di masyarakat umum mengenai wanita pengguna hijab itu
telah merambah ke dunia fashion dimana hijabers menjadi pusat dunia fashion hijab. Tidak hanya
dari sisi pengguna tetapi juga muncul perancang-perancang busana hijab dan peluang berbisnis
menjadi semakin terbuka lebar. Namun disamping itu dampak negatifnya adalah jadi semakin
berkurang mengenai keyakinan yang mereka pegang mengenai jilbab yang digunakannya.
Fenomena berjilbab yang saat ini dikenal sebagai dunia hijab kian marak di kalangan
masyarakat khususnya wanita muslimah yang tergabung dalam suatu komunitas hijabers.
Komunitas Hijabers dapat dikatakan menjadi penggagas penggunaan jilbab dan busana muslim
yang gaya, trendi, cantik dan segar. Berkat mereka pula, jilbab dilirik anak muda yang
menggemari dunia mode. Kemunculan komunitas hijabers pada tahun 2011 dirasakan banyak
aspek, tidak saja mempengaruhi pemakai hijab, tapi juga membuat peluang bisnis busana muslim
terbuka lebar.
Salah satunya adalah Hijabers Community kota Bandung. Komunitas ini didirikan
pertama kali pada tanggal 14 Februari 2011 yang bernama Forum Annisa Bandung. Hijabers
Community ini pada mulanya terdiri dari 12 komite dan berkembang menjadi 20 orang lalu 30
orang dan pada akhirnya menjadi 100 orang dan 50 orang diantaranya yang aktif mengikuti
seluruh kegiatannya. Forum Annisa Bandung ini pertama kali memiliki visi misi yaitu untuk
mengadakan pengajian rutin saja. Namun pada bulan Maret 2011, Forum Annisa Bandung ini
berubah nama menjadi Hijabers Community Bandung (HCB).
Visi dari Hijabers Community Bandung ini adalah mendalami ilmu agama, sebagai wadah
silaturahmi, menonjolkan citra positif muslimah muda, dan menyempurnakan kewajiban. Adapun
misi dari Hijabers Community Bandung ini adalah mengangkat citra positif hijab,
6
Universitas Kristen Maranatha
mempersatukan semua kelompok atau individu wanita khususnya muslimah di Bandung dan
sekitar, hijab adalah wajib hukumnya namun Hijabers Community bukan sekolah agama,
mensosialisasikan hijab sebagai kewajiban yang menyenangkan bagi seluruh muslimah dan
merangkul semua yang sedang atau dalam proses berhijab.
Kegiatan yang diadakan di Hijabers Community ini adalah pengajian bulanan dimana
merupakan kegiatan komunitas ini yang rutin dilakukan, charity atau bakti sosial yang dilakukan
pada saat terjadi hujan lebat di daerah Bandung dan Hijabers Community Bandung ini berusaha
untuk terus aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan bernilai positif.
Kegiatan lain yang pernah dilakukan yaitu, hijab and beauty class, hijab tutorial,
talkshow, konser amal HCB, pengajian akbar dan HCB road to school. HCB juga pernah
mengikuti shooting “Karimah” di stasiun televisi Trans 7, kemudian shooting “Hijab Staiista” di
TV9 Malaysia. HCB juga membuka kegiatan open recruitment for new committe dimana
kegiatan ini dilakukan utuk melibatkan anggota dari Hijabers Community Bandung untuk turut
menjadi pengurus Hijabers Community Bandung.
Setelah wawancara yang dilakukan, diantara anggota-anggota Hijabers Community
memiliki keyakinan yang berbeda dalam menggunakan jilbab. Sebagian besar diantaranya
anggota hijabers Community dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan dalam menggunakan
jilbab. Sebagian kecil sudah didasarkan atas kesadaran diri dalam menggunakan jilbab. Hal ini
memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap individunya dimana dapat mempengaruhi tingkat
keyakinan pada Hijabers Community yang berbeda pula.
James Fowler mendefinisikan keyakinan atau faith sebagai proses pengenalan konstitutif
yang mendasari proses penyusunan dan pemeliharaan suatu kerangka acuan arti dan makna
seorang pribadi, yang timbul dari rasa kasih sayang dan komitmen pada pusat-pusat nilai lebih
7
Universitas Kristen Maranatha
tinggi yang memiliki daya untuk mempersatukan segala pengalaman dunia, dan dengan demikian
memberikan arti pada seluruh hubungan, konteks, pola-pola kehidupan sehari-hari, serta pada
pengalaman akan masa lampau dan masa mendatang. Pada umumnya faith dikaitkan dengan
keyakinan pada Tuhan. Faith juga tidak harus selalu tertuju pada Tuhan atau sosok makhluk
lainnya tetapi bisa juga keyakinan terhadap sains atau kemanusiaan.
Fowler membagi tahapan perkembangan keyakinan menjadi tujuh tahap, yaitu tahap
primal faith dimana merupakan tahap keyakinan awal yang elementer yang ditandai oleh rasa
percaya dan setia kepada semua orang dan lingkungan yang mengasuh bayi. Tahap intuitive
projective faith terjadi pada usia 3-7 tahun. Dimana di tahap pertama ini dunia pengalaman sudah
mulai disusun oleh pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuat, namun diangkat
ke dalam imajinasi. Pada tahap ini anak mulai aktif bertanya, mereka kesulitan dalam
membedakan kenyataan dan fantasi. Anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai tokoh
yang dikaguminya. Tahap mythic-literal faith yang terjadi pada usia 7 – 12 tahun. Pada tahap ini
yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi
kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok pembinaan agama, sekolah
atau kelompok sekolah yang berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran paling
mengena jika disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran
melalui kisah rekaan cenderung diterima. Tahap synthetic – conventional faith terjadi pada usia
12-20 tahun. Pada tahap ini muncul kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal,
dimana remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain menurut pola pengambilan
perspektif antar pribadi secara timbal balik. Memiliki kemampuan menyusun gambaran percaya,
termasuk kepada Tuhan. Interpersonal yang ada membuat dunia ini menjadi hidup dan individu
dapat berpikir tentang hipotesis untuk mensintesis iman yang masih umum.
8
Universitas Kristen Maranatha
Pada Tahap individuatif reflective terjadi pada usia 20 tahun keatas. Dalam tahap ini
ditandai adanya reflektif kritis atas semua pendapat, keyakinan dan nilai lama. ‘Individuatif’, saat
inilah manusia tidak semata-mata bergantung pada orang lain, tetapi sadar akan tanggung jawab
dan komitmen. Tahap conjuction faith terjadi pada usia 35 tahun keatas. Tahap ini ditandai oleh
suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks dan
ambiguitas dalam hidupnya. Tahap ini melibatkan kemampuan untuk terus bersama sebagai cara
untuk mengungkapkan suatu kesadaran baru bahwa kebenaran lebih beragam dan kompleks
dibanding yang sebelumnya diyakini. Seseorang di tahap ini artinya dirinya mulai terbuka
terhadap perbedaan keyakinan namun tetap komitmen terhadap keyakinannya. Tahap
universalizing faith terjadi pada usia 45 tahun keatas. Dimana gaya hidup langsung berakar pada
kesatuan dengan Tuhan, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Ada rasa
keutuhan dan keinginan untuk bertindak berdasarkan apa yang baik bagi semua orang. Mereka
memiliki mimpi dan akan bertindak dengan komitmen yang mendalam. Seseorang menerima
perbedaan keyakinan namun bahkan lebih dari itu yaitu keinginan untuk menolong tanpa
berpandang bulu yaitu tanpa melihat suku ataupun agama.
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada 10 orang, 8 diantaranya mulai muncul
kesadaran tentang diri, sadar bahwa menggunakan jilbab merupakan keinginan dari dirinya tidak
semata-mata bergantung dari orang lain dan memiliki komitmen dan tanggung jawab atas
keinginannya tersebut. Dua (2) diantaranya masih dipengaruhi oleh lingkungan dalam
menggunakan jilbab. Bahwa keyakinan mereka menggunakan jilbab itu dipengaruhi oleh aturan-
aturan pada lingkungannya.
9
Universitas Kristen Maranatha
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa setiap anggota Hijabers Community memiliki
motivasi yang berbeda dalam menggunakan jilbab, dimana hal tersebut dapat dijelaskan melalui
gambaran stages of faith dari Hijabers Community di kota Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran stages of faith pada Hijabers
Community di kota Bandung
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai stages of faith
pada Hijabers Community di kota Bandung.
1.3.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai stages of faith dari
Hijabers Community di kota Bandung berdasarkan tahapan-tahapan primal faith, intuitive-
projective faith, mythic-literal faith, synthetic conventional faith, individuative-reflective,
conjunctive faith dan universalizing faith.
Tujuan lain dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keterkaitan antara stages of faith
pada Hijabers Community di kota Bandung dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
10
Universitas Kristen Maranatha
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini memiliki kegunaan teoritis yaitu
Memberikan informasi bagi bidang psikologi spiritual mengenai tahapan-tahapan
perkembangan keyakinan secara kognitif (stages of faith).
Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan
mengenai stages of faith.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi kepada setiap anggota hijabers community mengenai alasan
pribadi menggunakan jilbab.
Memberikan informasi kepada organisasi mengenai pemetaan stages of faith dan
pengembangannya.
1.5 Kerangka Pikir
Faith Development adalah proses pengenalan konstitutif yang mendasari proses
penyusunan dan pemeliharaan suatu kerangka acuan arti dan makna seorang pribadi, yang timbul
dari rasa kasih sayang dan komitmen pada pusat-pusat nilai lebih tinggi yang memiliki daya
untuk mempersatukan segala pengalaman dunia, dan dengan demikian memberikan arti pada
seluruh hubungan, konteks, pola-pola kehidupan sehari-hari, serta pada pengalaman akan masa
lampau dan masa mendatang. Setiap manusia pasti akan mengalami faith development ini
11
Universitas Kristen Maranatha
termasuk pada Hijabers Community di kota Bandung. Pada umumnya faith dikaitkan dengan
keyakinan Hijabers Community kepada Tuhan. Stages of faith dari Hijabers Community
merupakan gambaran mengenai tahapan perkembangan imannya.
Rentang usia Hijabers Community Bandung berusia antara 19 – 26 tahun. Stages of faith
dari Hijabers Community ini dipengaruhi oleh dua faktor eksternal dan faktor internal. Salah satu
faktor internal yang dimiliki Hijabers Community adalah usia. Menurut Piaget perkembangan
kognitif Hijabers Community Bandung berada pada tahap operasional formal. Pada tahap ini,
perkembangan kognitif formal operational Hijabers Community di kota Bandung mulai
meningkat, mereka sudah mulai berpikir secara abstrak, logis dan idealis. Demikian juga dalam
hal memandang agama, hijabers mulai berusaha memahami ajaran bersifat abstrak, mulai
merefleksikan, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai keyakinan. Menurut
Fowler pun perkembangan usia dapat mempengaruhi tahapan keyakinan yang dimilikinya.
Semakin tua usia seseorang maka semakin tinggi tingkat keyakinan yang dimilikinya.
Selain faktor internal, Hijabers Community Bandung juga memiliki faktor eksternal yaitu
pengalaman hidup yang signifikan. Adapun pengalaman hidup yang signifikan perkembangan
struktural hijabers community tidak hanya disebabkan oleh kematangan biologis dan tidak hanya
dihasilkan oleh proses belajar. Ditinjau dari perspektif kognitif, perkembangan Hijabers
Community merupakan hasil interaksi struktural lingkungan. Sebuah tahap menjadi mantap
apabila interaksi antara organisme dan lingkungannya seimbang. Menurut Piaget sebuah tahap
menjadi mantap apabila tingkat akomodasi komunitas muslimah berjilbab cukup memadai
sehingga asimilasi berjalan lancar tanpa halangan. Dalam hal ini menyebutnya sebagai tahap
keseimbangan.
12
Universitas Kristen Maranatha
Fowler (20004) mengemukakan terdapat tujuh aspek struktural dalam tahap kepercayaan
eksistensial. Ketujuh aspek struktural dapat mengidengtifikasi ciri-ciri dominasi khas tahap faith
development Hijabers Community di kota Bandung. Timbulnya tahap tertentu bergantung pada
tingkat perkembangan silang antara tujuh aspek faith development.
Ketujuh aspek struktural yang dimiliki oleh Hijabers Community tersebut adalah aspek A,
“Bentuk Logika” yaitu Hijabers Community memandang faith itu bukan merupakan suatu
perasaan yang tidak rasional, tetapi sebagai faith knowing yang bersifat holistik dan integratif.
Dalam aspek ini dititikberatkan seluruh pola formal pemikiran dan penalaran yang pada tahap
kognitif tertentu tersedia bagi pribadi. Agar pola operasional yang terintegrasi dari suatu tahap
kepercayaan muncul, maka tingkatan operasi kognitif seharusnya dikembangkan. Perkembangan
cara-cara menentukan kebenaran dan jenis intuitif-imajinatif menuju jenis yang lebih kritis-logis
memainkan peran besar. Logika Hijabers Community ini mulai dari tidak dapat membedakan
realitas dan persepsinya sendiri sampai memiliki kemampuan untuk berpikir sintesis.
Aspek kedua yaitu aspek B “Pengambilan Peranan”, Hijabers Community memandang
bahwa keyakinan bukanlah urusan pribadi serba privat semata-mata sebab berkembangnya
kepercayaan pribadi sangatlah bergantung dari orang-orang lain. Perspektif keyakinan Hijabers
Community diambil alih atau sekurang-kurangnya sangat dipengaruhi oleh perspektif keyakinan
orang lain, seperti orang tua, dan teman-teman. Pengambilan peranan pada Hijabers Community
ini mulai dari melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain sampai mengekspresikan
pengambilan peranan tersebut dengan rasa solidaritas dan mengorbankan dirinya demi
kepentingan orang lain.
Aspek C, “Bentuk Pertimbangan Moral” merupakan tahap-tahap pertimbangan moral
untuk menjelaskan tahap-tahap keyakinan dalam sebuah bentuk yang agak dimodifikasi. Fowler
13
Universitas Kristen Maranatha
melihat berbagai hubungan penting antara tahap-tahap pertimbangan moral dan tahap-tahap
keyakinan. Fowler mengemukakan suatu teori mengenai diri dan pribadi. Menurut Fowler, tahap
keyakinan bukan merupakan tahap terakhir dan metaforis yang memahkotai seluruh
perkembangan moral. Pertimbangan moral pada Hijabers Community itu mulai dari melakukan
sesuatu berdasarkan konsekuensi dan tindakannya sampai memiliki moralitas yang lebih tinggi
yang meliputi pengorbanan diri. Pertimbangan moral Hijabers Community ini mulai dari adanya
punishment dari
Aspek D, “Batas-batas Kesadaran Sosial”. Aspek ini memiliki hubungan dengan aspek
“Pengambilan Peranan”. Yang dipusatkan pada aspek ini adalah pada soal konstitusi identitas diri
dalam suatu dunia sosial. Batas-batas kesadaran pada Hijabers Community ini mulai dari dibatasi
oleh keluarga sampai bersifat universal, mulai terbuka dan mengevaluasi perspektif dari orang
lain.
Aspek E, “Tempat Autoritas” menyangkut soal apa dan siapa yang diakui dan diterima
pada Hijabers Community sebagai instasi autoritas bagi sang pribadi. Dalam keyakinan serta
loyalitas serta komitmen terhadap sumber otoritas tersebut, hijabers community menyusun sendiri
dan menemukan harkat diri serta martabat mulianya sebagai manusia. Tempat autoritas pada
Hijabers Community mulai dari eksternal autoritas yang dependen sampai autoritas tersebut
diinternalisasikan ke dalam dirinya. Mereka menggunakan jilbab mulai dari atas dasar dorongan
keluarga sampai kepada pengorbanan dirinya demi kepentingan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Aspek F,”Bentuk Koherensi Dunia”, menekan bagaimana Hijabers Community
memandang dan menafsirkan keseluruhan dunia dan menciptakan pandangan dunianya secara
berturut-turut. Memfokuskan perhatian Hijabers Community pada cara bagaimana setiap tahap
keyakinan dapat menyumbang dalam upaya pribadi untuk menciptakan keseluruhan arti dalam
14
Universitas Kristen Maranatha
suatu pandangan dunia yang semakin komprehensif dan integral. Hal ini terlihat mulai dari
komunitas muslimah berjilbab memandang dunia masih menyatu dengan dirinya sampai
koherensi Hijabers Community terhadap dunia bersifat uiversal dan memiliki dimensi yang
mendalam.
Aspek G,”Fungsi Simbol” menyangkut soal perkembangan kemampuan menggunakan
dan memahami simbol. Fowler menguraikan bagaimana di aspek ini dalam berbagai tahap pada
Hijabers Community menggunakan dan menanggapi seluruh simbol dan mitos serta bagaimana
hal itu ditafsirkan. Fungsi simbol Hijabers Community mulai dari tidak dapat membedakan
simbol antara fantasi dan realitas sampai kekuatan generatif dari simbol direalisasikan.
Dalam ketujuh aspek tersebut, dapat diketahui mengenai gambaran dari stages of faith
dalam Hijabers Community. Fowler mengemukakan 7 tahap faith development. Tahap-tahap
tersebut adalah primal faith yaitu tahap kepercayaan awal yang elementer yang ditandai oleh rasa
sang bayi, nserta pada gambaran kenyataan yang paling akhir dan mendasar. Dalam penelitian ini
tahap ini tidak diikutsertakan karena semua orang dianggap sudah mampu melewati tahap ini.
Tahap yang pertama adalah intuitive-projective faith. Pada tahap ini dunia pengalaman
Hijabers Community sudah mulai disusun oleh pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional
yang kuat, namun diangkat ke dalam imajinasi. Pada tahap ini Hijabers Community mulai aktif
bertanya, mereka kesulitan dalam membedakan kenyataan dan fantasi. Keyakinan mereka dalam
menggunakan jilbab mengambil pola dari apa yang dekat dari dirinya, seperti orang-tua. Mereka
menggunakan jilbab karena melihat atau meniru dari ibunya.
Tahap yang kedua adalah mythic-literal faith. Pada tahap ini yang paling berperan dalam
perkembangan iman Hijabers Community adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang
paling dekat dengannya, misalnya kelompok pembinaan agama, sekolah atau kelompok sekolah
15
Universitas Kristen Maranatha
yang berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran paling mengena jika disampaikan
dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran melalui kisah rekaan
cenderung diterima. Pada tahap ini, keyakinan Hijabers Community dalam menggunakan jilbab
ditentukan oleh teman dan institusinya.
Tahap yang ketiga adalah synthetic conventional faith ketika seseorang di dalam Hijabers
Community memasuki masa remaja. Pada tahap ini remaja dapat menyusun gambaran diri yang
baru yang dibangun dalam ketergantungannya kepada orang-orang lain yang berarti baginya.
Seorang di Hijabers Community yang berada di tahap ini sedang mencari identitas dirinya
berdasarkan lingkungan dimana mereka tumbuh. Oleh sebab itu, dalam memilih kepercayaan,
mereka akan sangat bergantung pada aturan di lingkungan. Di tahap ini ada kemungkinan
anggota komunitas berjilbab ini masih goyah dengan apa yang dilakukannya.
Tahap keempat yaitu individuative-reflective faith. Pada tahap ini muncul suatu kesadaran
tentang identitas diri yang khas dan otonomi. Hijabers community mulai mengajukan pertanyaan
kritis mengenai keseluruhan nilai, pandangan hidup, keyakinan kepercayaan dan komitmen yang
sampai saat itu bersifat tidak diucapkan. Pada tahap ini Hijabers Community mulai dapat
mengambil keputusan sendiri mengenai kepercayaan yang mereka anut tanpa dipengaruhi oleh
lingkungannya. Keyakinan Hijabers Community dalam menggunakan jilbab didasari atas
kesadaran diri tanpa ada pengaruh dari lingkungan. Keyakinan mereka dalam menggunakan
jilbab ini karena menurut mereka merasa ini adalah keputusan yang baik dan benar yang mereka
yakini. Namun mereka menghargai hanya kepada teman yang sama dengan dirinya yaitu teman
yang berjilbab juga. Pada tahap ini, Hijabers Community sudah mulai dapat menginternalisasikan
keyakinannya tetapi hanya toleran sebatas pada komunitas yang sama dengannya.
16
Universitas Kristen Maranatha
Tahap kelima adalah conjunctive faith. Pada tahap ini batas diri, kepribadian dan
pandangan hidup yang telah ditetapkan dengan jelas menjadi kabur dan seakan kosong. Hijabers
Community ini menyadari bahwa ia bukanlah semata-mata ego rasional yang memiliki sifat
sewenang-wenang dan satu dimensional, tapi berakar dalam suatu lapisan psikis yang mendalam.
Pada tahap ini Hijabers Ccommunity menjadi merasa sungguh-sungguh peka terhadap segala
macam paradoks, pertentangan dan kontradiksi yang ingin dipersatukannya. Seseorang di
komunitas ini menjadi semakin toleran terhadap ambiguitas dan paradoks dan mulai bisa
menerima perbedaan yang ada. Mereka mulai melihat orang lain bukan hanya dari
kepercayaannya saja tetapi melihat orang lain sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki
kebebasan dalam menganut kepercayaan. Seseorang di komunitas ini memandang orang lain
yang berbeda keyakinan dengan terbuka, mereka menerima perbedaan keyakinan yang ada. Pada
tahapan ini, seseorang di Hijabers Community sudah mulai menerima perbedaan yang ada.
Perbedaan dimana ada yang tidak sesuai dengan dirinya. Bahwa beragam adalah merupakan hal
yang utama yang harus dihargai. Pada tahapan ini Hijabers Community menghargai teman-
temannya yang berbeda keyakinan dengannya dan bersikap toleransi terhadap perbedaan.
Tahap terakhir adalah universalizing faith. Seseorang di komunitas ini gaya hidup
langsung berakar pada kesatuan dengan Tuhan, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang
terdalam. Seseorang di tahap ini memiliki rasa keutuhan dan keinginan untuk bertindak
berdasarkan apa yang yang baik bagi semua orang. Memiliki mimpi dan akan bertindak dengan
komitmen yang mendalam. Di tahapan ini, Hijabers Community tidak hanya menghargai
perbedaan keyakinan yang ada tetapi juga ikhlas membantu orang lain yang berbeda keyakinan
dengan dirinya dan apa yang dilakukan adalah semata-mata sebagai sesama makhluk Tuhan.
Pada tahapan ini, Hijabers Community walaupun berjilbab tetapi mereka bisa melakukan
17
Universitas Kristen Maranatha
kebaikan, membantu kepada yang membutuhkan serta berani mengorbankan dirinya demi
kepentingan orang lain yang juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan tanpa memandang perbedaan
suku dan agama.
Ketujuh tahap ini dibedakan dan diidentifikasikan Fowler menurut tendensi
perkembangan tertentu, mulai dari struktur yang sederhana dan belum teridentifikasikan menuju
struktur yang lebih kompleks dan terdiferensi. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
dilihat dalam bagan sebagai berikut:
18
Universitas Kristen Maranatha
Hijabers Community di
Kota Bandung
Stage of Faith
Internal
Usia
Eksternal
Pengalaman
Hidup
(bergantu
Aspek struktural
Logika
Pegambilan peranan
Pertimbangan moral
Batas-batas kesadaran sosial
Tempat autoritas
Bentuk koherensi dunia
Fungsi simbol
Stage 1 intuitive-projective faith
Stage 2 mythi -literal faith
Stage 3 synthetic conventional faith
Stage 4 individuative reflective
Stage 5 conjunctive faith
Stage 6 universalizing faith
19
Universitas Kristen Maranatha
1.6 Asumsi Penelitian
Hijabers Community di Kota Bandung berada pada salah satu dari tahapan Faith
Development, Intuitive Projective Faith, Mythic – Literal Faith, Sintetic Conventional
Faith, Individuatitive-Reflective, Conjunctive Faith dan Universalizing Faith.
Tahap 0 (Primal Faith) tidak diukur dalam penelitian ini karena Hijabers Community di
Kota Bandung diasumsikan telah melewati tahapan ini.
Hijabers Community di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi Stages of faith pada Hijabers Community di Kota
Bandung adalah usia dan faktor eksternal yang mempengaruhi Stages of faith pada
Hijabers Community adalah pengalaman hidup.
Stages of faith Hijabers Community akan dilihat melalui tujuh aspek struktural, yaitu
Aspek Logika, Aspek Pengambilan Peranan, Aspek Pertimbangan Moral, Aspek Batas-
batas Kesadaran Sosial, Aspek Tempat Otoritas, Aspek Bentuk Koherensi Dunia dan
Aspek Fungsi Simbol.
top related