analisis strukturalisme estetika islam dalam...
Post on 18-Jul-2020
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS STRUKTURALISME ESTETIKA ISLAM DALAM
MOTIF BATIK CIREBONAN
Skripsi:
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
METEOR MARDIANSYAH
NIM: 1112051000127
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
i
ABSTRAK
Nama: Meteor Mardiansyah
NIM: 1112051000127
Analisis Strukturalisme Estetika IslamDalam Motif Batik
Cirebonan
Batik merupakan kesenian Indonesia yang dinobatkan
oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Adapun
sejarah batik di Cirebon tidak lepas dari sejarah kerajaan Islam di
Cirebon sendiri. Batik Cirebon terbagi menjadi tiga, yaitu batik
Pesisiran, batik Pedalaman dan batik Keratonan. Dari setiap
motifnya, terdapat makna-makna baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun beragama.
Berdasarkan paparan di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian. Adapun
pertanyaannya adalah bagaimana struktur dalam (deep structure)
dalam motif batik Cirebonan, bagaimana struktur luar (surface
structure) motif batik Cirebonan? Kemudian, pertanyaan seperti
apa estetika Islam di dalam motif batik Cirebonan?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
pendekatan kualitatif dengan deskriptif analisis. Penelitian
deskriptif akan mempelajari masalah-masalah yang berkembang
di masyarakat, hubungan, sikap serta proses yang berlangsung
dan pengaruh dari setiap fenomena.
Sebagai karya tulis ilmiah, data-data yang dihasilkan
dianalisis menggunakan teori strukturalisme milik Ferdinand de
Saussure. Teori ini bertujuan untuk mencari makna dan
menganalisis suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Adapun cara kerja strukturalisme menggunakan sign, signifier
dan signified, kemudian langue dan parole, sinkronik dan
diakronik dan terakhir paradigmatik dan sintagmatik.
Motif batik Cirebonan memiliki makna yang dalam. Motif
Mega Mendung sebagai motif pesisiran dengan pola awannya
mengandung makna dunia atas tempat Allah bersemayam.
Kemudian batik Sawat Pengantin mengajarkan bahwa sebagai
manusia harus selalu berdo’a dan memohon perlindungan.
Terakhir motif batik Paksi Naga Liman yang mengajarkan bahwa
sebagai manusia harus saling menjaga, berbuat baik dan tidak
berlebihan.
Kata Kunci: Batik, Cirebonan, Strukturalisme, Makna, Estetika
Islam.
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi
maha penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas berbagai hidayahnya yang membimbing penulis untuk
menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Strukturalisme
Estetika IslamDalam Motif Batik Cirebonan ini. Shalawat
beserta salam senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikut-
pengikutnya yang memberikan banyak pengetahuan dan panduan
hidup manusia.
Dalam penulisannya yang memakan waktu kurang lebih
dua tahun, penulis sadar masih banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Berbagai macam hambatan, rintangan serta
godaan yang ada akhirnya berhasil penulis lewati dengan
perjuangan keras. Hal tersebut juga berkat do’a, motivasi,
inspirasi dan bantuan yang datang dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dengan segala kekurangan dan kerendahan hati penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga, khususnya Ibu Arniya yang tidak henti-
hentinnya mendo’akan anaknya dalam
memperjuangkan hidup dan menghadapi masalah-
masalah yang dihadapi oleh anaknya. Terima kasih
juga kepada adik tercinta Mentari Mardiansyah yang
selalu menemani dan menjaga Ibu di kampung
halaman, sehingga mengurangi rasa khawatir saya yang
berada jauh darinya. Kepada keluarga besar Bapak
iii
Sukarna dan Ibu Umina yang tidak henti-hentinya
memberikan motivasi dan nasihat agar penulis tetap
kuat menghadapi masalah yang sedang dihadapi.
Semoga dengan selesainya skripsi ini penulis dapat
menjalani hidup lebih baik lagi dan dapat memberikan
manfaat baik bagi keluarga.
2. Kepada jajaran Dekanat Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Suparto, M.Ed, Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah,
S.Ag. BSW. MSW sebagai Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Sihabuddin Noor, M.Ag., sebagai
Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, , serta
Drs. Cecep Castrawijaya, M.A., sebagai Wakil Dekan
III Bidang Kemahasiswaan. Semoga dalam
perjuangannya memimpin Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi mendapat kemudahan dan mampu
menjaga nama besar Fakultas.
3. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Ibu Dr.
Armawati Arbi, M.Si, sebagai Ketua Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Bapak Dr. Edi
Amin, MA., sebagai Sekertaris Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam. Berkat keduanya yang selalu
mengingatkan dan mengarahkan, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga dimanapun
dan kapanpun Allah SWT membalas semua
kebaikannya.
iv
4. Kepada Dosen Penasihat Akademik Bapak Prof. Andi
Faisal Bakti, MA. Ph.D penulis ucapkan banyak terima
kasih karena berkat ilmu dan inspirasinya yang selalu
memberikan semangat bagi penulis. Penulis berharap
semoga dalam setiap langkah dan perjuangannya
Bapak Prof. Andi selalu diberikan kekuatan dan hasil
terbaik.
5. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Bapak Rachmat Baihaky, MA., sebagai Dosen
pembimbing skripsi dan Abang yang selalu
memberikan motivasi kepada penulis untuk tetap
semangat dalam belajar dan berproses baik dalam
dunia pendidikan maupun organisasi. Semoga hajat
melanjutkan program Doktoralnya diberikan
kemudahan oleh Allah SWT dan mendapatkan hasil
terbaik.
6. Seluruh Dosen, Staf Tata Usaha, pihak keamanan dan
kebersihan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan
banyak ilmu, pengalaman dan pelajaran hidup bagi
penulis selama menjadi mahasiswa.
7. Keluarga besar Mahasiswa Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima
kasih telah mau menerima penulis menjadi keluarga
baru di Ciputat.
v
8. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman
KKN Ampera 2015 yang memberikan kesempatan
penulis untuk belajar mengabdikan diri kepada
masyarakat. Semoga kita semua menjadi manusia-
manusia yang bermanfaat bagi sesama.
9. Kepada keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Ciputat dan Lembaga Pers Mahasiswa Islam
Cabang Ciputat penulis ucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya, karena berkat Himpunan
Mahasiswa Islam penulis mendapatkan banyak ilmu,
pengetahuan, pengalaman serta keluarga baru selama
menjadi mahasiswa.
10. Keluarga besar Markas Komando yang mau berbagi
suka maupun duka, menjadi rumah dan keluarga bagi
penulis. Terima kasih sebanyak-banyaknya, semoga
ikatan ini tetap terjaga dimanapun dan kapanpun.
11. Kepada teman-teman di Tongkrongan Insan Cita,
Almarhum Bang Slash, Bang Ipang, Mas Ni’am serta
teman-teman yang lainnya penulis berterima kasih.
Semoga pengalaman dan ilmu yang dibagikan
memberikan manfaat bagi penulis untuk tetap mencari
ilmu.
12. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada teman-teman dan adik-adik Remaja Masjid Al-
Barokah, Cirebon dan Komunitas Milenial Tegalan
(Komite). Semoga ilmu yang didapat penulis dapat
membantu pembangunan di kampung kelahiran.
vi
13. Terima kasih kepada teman spesial Kuraesin Ratnasari
yang sudah memberikan semangat, do’a dan warna
baru kepada penulis. Semoga Allah Swt membalas
kebaikannya dan lekas mendapatkan jodoh.
14. Kepada Mentor Bang Sirajuddin Arridho terima kasih
banyak sudah bersabar membimbing penulis selama
menjadi mahasiswa.
15. Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman
satu perjuangan Mahasiswa angkatan 2012. Kepada
Gilang Sakti, Fajri Yanwar, Sopyan Assauri, Abdul
Fattah, Glamora Lionda, Mugni, Hafiz Fathur, Reza,
Halim Kantuy, dan Adhiya yang selalu menjaga
kebersamaan dan saling menyemangati untuk sama-
sama menyelesaikan studi di Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi.
16. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada Mak
Ung dan Ibu Hj. Ade Ervina yang sudah menerima dan
memberikan pengetahuan tentang batik kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Ciputat, 08 Juli 2019
Penyusun,
Meteor Mardiansyah
NIM: 1112051000127
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................... 8
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 8
E. Metodologi Penelitian ....................................................... 9
F. Teknik Analisis Data ....................................................... 11
G. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 11
H. Pedoman Penelitian ......................................................... 12
I. Tinjauan Pustaka ............................................................. 12
J. Kerangka Berfikir............................................................. 14
K. Sistematika Penulisan ..................................................... 15
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pemaknaan ...................................................................... 17
1. Semiotika .................................................................. 17
2. Strukturalisme ........................................................... 19
3. Denotasi dan Konotasi .............................................. 31
4. Kode .......................................................................... 32
B. Strukturalisme Dalam Konsep Kebudayaan .................... 32
C. Estetika ............................................................................ 37
viii
D. Estetika Islam .................................................................. 38
1. Abstraksi ................................................................... 39
2. Struktur Modular ....................................................... 39
3. Kombinasi Suksesif ................................................... 40
4. Repetisi ...................................................................... 40
5. Dinamisme ................................................................ 41
6. Kerumitan .................................................................. 41
E. Batik ................................................................................ 41
BAB III GAMBARAN UMUM KOTA DAN KABUPATEN
CIREBON SERTA BATIK CIREBONAN
A. Kondisi Sosiologis Masyarakat Cirebon ......................... 45
1. Interaksi Masyarakat Cirebon .................................. 45
2. Struktur Masyarakat ................................................ 46
3. Budaya Masyarakat Cirebon ................................... 47
B. Letak Geografis Wilayah Cirebon .................................. 49
C. Batik Sebagai Kesenian Masyarakat Cirebon ................. 51
D. Motif Batik Cirebonan .................................................... 53
E. Perkembangan Batik Cirebonan ...................................... 57
BAB IV ANALISIS DATA
A. Struktur Dalam (deep structure) Motif Batik Cirebonan
......................................................................................... 59
B. Struktur Luar (surface structure) Motif Batik Cirebonan
.......................................................................................... 81
C. Estetika Islam Motif Batik Cirebonan ............................ 91
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 99
B. Saran .............................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 105
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Sign, Signifier, Signified
Motif Mega Mendung .................................................................. 60
Tabel 4.2 Paradigmatik dan Sintagmatik
Motif Mega Mendung .................................................................. 69
Tabel 4.3 Sign, Signifier, Signified
Motif Sawat Pengantin ................................................................ 70
Tabel 4.4 Paradigmatik dan Sintagmatik
Motif Sawat Pengantin ................................................................ 75
Tabel 4.5 Sign, Signifier, Signified
Motif Paksi Naga Liman ............................................................. 76
Tabel 4.6 Paradigmatik dan
Sintagmatik Motif Paksi Naga Liman ......................................... 81
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir .................................................... 14
Gambar 2.1 Segitiga Tanda Saussure........................................... 22
Gambar 3.1 Motif Batik Mega Mendung .................................... 54
Gambar 3.2 Motif Batik Sawat Pengantin .................................. 55
Gambar 3.3 Motif Batik Paksi Naga Liman ............................... 56
Gambar 4.1 Motif Batik Mega Mendung .................................... 60
Gambar 4.2 Motif Batik Mega Mendung ..................................... 62
Gambar 4.3 Motif Batik Mega Mendung .................................... 67
Gambar 4.4 Motif Batik Mega Mendung Kupu-Kupu ................ 67
Gambar 4.5 Motif Batik Mega Mendung Daun .......................... 69
Gambar 4.6 Motif Batik Sawat Pengantin ................................. 70
Gambar 4.7 Motif Batik Paksi Naga Liman ............................... 76
Gambar 4.8 Abdi Dalam Keraton ................................................ 79
Gambar 4.9 Motif Batik Paksi Naga Liman Singa Barong ......... 80
Gambar 4.10 Motif Awan Cina .................................................... 82
Gambar. 4.11 Pola Pohon Motif Sawat Pengantin ....................... 83
Gambar. 4.12 Pola Sayap Motif Sawat Pengantin ....................... 84
Gambar. 4.13 Pola Garis Motif Sawat Pengantin ........................ 85
Gambar. 4.14 Pola Paksi Motif Paksi Naga Liman ..................... 86
Gambar. 4.15 Pola Naga Motif Paksi Naga Liman ...................... 87
Gambar. 4.16 Pola Liman Motif Paksi Naga Liman .................... 88
xii
Strukturalisme
Struktur Dalam
(deep structure)
1. Sign, Signifer,
Signified
2. Langue dan
Parole
3. Sinkronis
4. Sintagmatik dan
Paradigmatik
Motif Batik
Cirebonan
Struktur Luar
(surface structure)
1. Sejarah
2. Tradisi
3. Aktifitas
Sosial
Estetika Islam
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang penuh dengan
keanekaragaman sumber daya alam, adat istiadat, seni,
dan budaya. Salah satu dari warisan kesenian yang ada di
Indonesia adalah batik. Ditinjau dari sejarahnya, kesenian
batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan
Majapahit dan terus berkembang pada kerajaan dan raja-
raja berikutnya. Namun setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit, kerajinan batik tetap menjadi salah satu karya
seni yang terus dilestarikan oleh umat Islam. Hal tersebut
bisa dilihat dari banyaknya daerah-daerah pembuatan
batik di Jawa adalah daerah-daerah santri yang kemudian
batik digunakan sebagai komoditi oleh pedagang-
pedagang muslim untuk melawan perekonomian Belanda.
Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini
menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa
ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau pada awal abad ke-
XIX. Batik yang dihasilkan ialah batik tulis sampai awal
abad ke-XX dan kemundian muncul apa yang namanya
batik cap sekitar tahun 1920. 1
Batik merupakan karya seni yang banyak
digunakan sebagai bahan untuk dijadikan sebagai pakaian
1Asti Musman, Batik: Warisan Adiluhung Nusantara, (Jogjakarta:
Andi Publisher, 2011), h. 2.
2
yang memiliki nilai luhur dan menjadi ciri khas
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Pada tahun 2008,
Malaysia mengklaim batik sebagai karya seni asli
masyarakat Malaysia. Klaim tersebut berdasarkan
kesamaan rumpun antara Malaysia dengan
Indonesia.Melihat situasi tersebut, sebagian besar
masyarakat Indonesia mengecam perbuatan yang
dilakukan oleh Malaysia atas klaimnya terhadap batik.
Oleh karena itu, pada tahun 2008 pemerintah Indonesia
mendaftarkan batik sebagai warisan budaya asli Indonesia
ke UNESCO. Berkat dorongan masyarakat Indonesia
yang menganggap batik memiliki nilai-nilai luhur yang
syarat akan makna filosofisnya dan ancaman dari
Malaysia, maka batik Indonesia secara resmi diakui oleh
UNESCO dengan dimasukan ke dalam Daftar
Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan
Manusia (Representative list of intangible cultural
heritage of humanity) dalam sidang ke empat Komite
Antar Pemerintah di Abu Dhabi, pada 02 Oktober
2009.2Ketetapan oleh UNESCO ini mematahkan klaim
Malaysia atas batik Indonesia.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia
memproduksi batik seperti Solo, Pekalongan, Jogjakarta,
Garut, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua dan
Cirebon. Akan tetapi setiap daerah tentu mempunyai
2http://www.antaranews.com/berita/156389/batik-indonesia-resmi-
diakui-unesco/, diakses Minggu, 27 November 2016, pukul 15.21 WIB.
3
corak yang berbeda-beda dan menjadi ciri khasnya
masing-masing. Perbedaan corak atau motif disebabkan
oleh sejarah, kondisi geografis dan kepercayaan masing-
masing daerah tersebut.
“Ini disebabkan penghasil batik memiliki ciri atau
selera yang masing-masing berbeda. Ini semua
baik dilihat dari ragam, corak, warna yang mana
lingkungan alam daerah si pembuat sangat
berpengaruh, baik dilihat dari adat istiadat,
lingkungan alam maupun system teknologinya.”3
Selain itu tidak sedikit juga motif batik yang murni
dari orang Indonesia sendiri melainkan dipengaruhi oleh
budaya asing seperti budaya China. Salah satu motif batik
yang mendapat pengaruh budaya asing adalah motif batik
yang ada di Cirebon. Pengaruh tersebut dikarenakan
sejarah, kondisi geografis dan akulturasi. Dalam
sejarahnya, munculnya kegiatan membatik di Cirebon
karena peranan Ki Gede Trusmi. Beliau merupakan
pengikut setia Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
menyebarkan agama Islam salah satunya melalui kegiatan
membatik. Dahulu kegiatan membatik juga dilakukan
oleh golongan tarekat Asatarriyah yang mengabdi di
keraton Cirebon dan anggota tarekat tersebut kebanyakan
tinggal di daerah Kecamatan Trusmi dan sekitarnya.
Kegiatan membatik dijadikan sebagai sumber pendapatan
untuk keraton saat itu dan pusat gerakan tarekat ini adalah
di Banjarmasin.
3Adeng, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), h 150
4
Cirebon merupakan daerah perdagangan yang
strategis, karena jalur perdagangan di Cirebon dapat
menghubungkan berbagai daerah di pulau Jawa bagian
utara. Maka dari itu, tidak mengherankan jika Cirebon
menjadi daerah pelabuhan, perindustrian, budaya dan
pariwisata pada zamannya.
“Kota ini pun secara geografis dapat
menghubungkan jalur perekonomian antara Jawa
Barat dan DKI Jakarta dengan daerah-daerah di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan letak
geografis yang strategis, maka tidak mengherankan
kota Cirebon tumbuh dan berkembang sebagai kota
pelabuhan, perdagangan, industry dan budaya
pariwisata di Jawa Barat.”4
Sebelum masuknya Islam, wilayah Cirebon
termasuk dalam wilayah Pajajaran yang dikuasai oleh
Prabu Siliwangi. Melihat letaknya yang strategis Islam
pun masuk ke wilayah Pajajaran (Cirebon) yang dipimpin
oleh Sunan Gunung Jati. Setelah Islam masuk ke Cirebon,
proses penyebaran agama Islam di Cirebon tidak terlepas
dari kedatangan bangsa China ke Cirebon. Hal tersebut
dikarenakan keberadaan pelabuhan Muara Jati di Cirebon
yang menjadi tempat berlabuhnya para pedagang, baik
pribumi maupun non pribumi. Sejarah juga mencatat
bahwa kedatangan bangsa China ke Cirebon pada abad
ke-14 adalah pengaruh dari proses penyebaran Islam
Sunan Gunung Jati ke wilayah China hingga kemudian
4Adeng, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra , h. 9.
5
Sunan Gunung Jati menikahi seorang putri bangsawan
dari China yang bernama Nio Ong Tien.
“Ketika Sunan Gunung Jati kembali ke tanah Jawa,
Putri Nio Ong Tien turut serta menysuul Syekh Syarif
Hidayatullah ke tanah Jawa dengan memberikan tiga
buah kapal dengan 150 awak kapal, lengkap dengan
memberikan cinderamata berupa peralatan rumah
tangga, piring, cangkir, guci, sutera dan lain-lain di
bawah pimpinan seorang panglima yang bernama Lie
Gwan Tjang dan nahkoda Lie Gwen Hien.”5
Pernikahan antara Sunan Gunung Jati dengan Putri
Nio Ong Tien membawa pengaruh besar bagi kehidupan
beragama dan berbudaya masyarakat Cirebon. Hal
tersebut karena terjadinya proses akulturasi budaya Islam
Cirebon dengan budaya China yang sampai saat ini masih
terjaga. Proses akulturasi tersebut juga menginspirasi
berbagai berbagai kesenian, salah satunya motif batik.
Salah satu motif batik Cirebonan yang mendapat
pengaruh dari China adalah motif Mega Mendung. Motif
batik Mega Mendung merupakan motif batik pesisiran
yang banyak disukai oleh masyarakat Indonesia. Motif
yang menurut pendapat banyak orang elegan tersebut
syarat akan makna.
5Didin Nurul Rosidin,Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI),h. 152.
6
“Mega Mendung juga dilambangkan sebagai
dunia mistis, secara awam Mega Mendung artinya
akan tahan hujan, ini pertanda bahwa hujan
merupakan lambang kemakmuran.”6
Selain motif batik Mega Mendung, Cirebon juga
memiliki motif batik lainnya seperti motif batik Sawat
Pengantin dan Paksinaga Liman yang disebut motif batik
Cirebonan.
Bagi masyrakat Cirebon, batik harus selalu dijaga
dan dilestarikan keberadaannya. Berbagai bentuk upaya
pelestarian kesenian tersebut bisa dilihat dari instansi-
instansi (sekolah, dinas-dinas, organisasi kepemudaan) di
Cirebon yang pada hari-hari tertentu diwajibkan memakai
batik. Selain intansi-instansi di atas, batik juga banyak
digunakan oleh masyarakat Cirebon ketika menghadiri
acara-acara formal maupun non formal, seperti pengajian,
ziarah, kondangan, rapat masyarakat dengan pegawai
pemerintah dan perayaan hari-hari besar Islam. Untuk
menjaga kelestariaannya, memakai batik juga bisa
dijadikan sebagai ajang promosi agar batik bisa tetap
diterima oleh semua golongan. Bentuk lain dari upaya
melestarikan batik tersebut adalah mempelajari secara
teori maupun praktik membatik di kalangan siswa sekolah
yang ada di Cirebon.Akan tetapi, kurangnya literatur
tentang batik Cirebonan menjadi masalah tersendiri bagi
masyarakat Cirebon yang ingin mempelajari batik baik
6Adeng, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), h.153.
7
dari sejarah, motif, dan makna yang terkandung di balik
motifnya.
Melihat kondisi tersebut, peneliti ingin mengetahui
lebih dalam atau lebih jauh lagi tentang motif batik
Cirebonan, baik dari segi sejarahnya, struktur yang
membentuk motif batik tersebut dan makna estetika yang
terkandung di dalamnya. Sebagai upayanya, dalam
penelitian ini penulis menggunakan teori strukturalisme
Ferdinand de Saussure guna mencari struktur dalam dan
struktur luar yang kemudian membentuk sebuah pola atau
motif sebagai teori utama.
Dari penjabaran di atas, maka penulis tertarik
dengan tema penelitian dan mengangkat sebuah judul,
yaitu “Analisis Strukturalisme Estetika Islam Dalam
Motif Batik Cirebonan” yang meninjau secara kritis
motif batik Cirebonan dan aspek estetika Islam yang
terkandung di dalam motif batiknya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang penelitiannya, maka
penulis membatasi penelitian ini dengan hanya mencari
struktur atau sistem-sistem yang membentuk sebuah motif
batik Cirebonan dengan cara mengkaji dan menganalisis
sejarah, adat istiadat, dan estetika Islam yang terkandung
dalam motif-motif tersebut.
Maka dari itu, berdasarkan latar belakang dan
batasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
8
1. Bagaimana struktur dalam (deep structure)
motif batik Cirebonan?
2. Bagaimana struktur luar (surface structure)
motif batik Cirebonan?
3. Seperti apa estetika Islamyang terkandung di
dalam motif batik Cirebonan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dinyatakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui:
1. Struktur dalam (deep structure) motif batik
Cirebonan.
2. Struktur luar (surface structure) motif batik
Cirebonan.
3. Estetika Islam yang terkandung pada batik
Cirebonan.
D. Manfaat Penelitian
Dalam ranah akademis, penelitian ini diharapkan
bisa memberikan kontribusi dalam kajian ilmu
komunikasi, terutama pada kajian strukturalisme
Ferdinand de Saussure dan cultural studies. Sedangkan
dalam ranah praktis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang struktur yang membentuk
sebuah motif batik kemudian kode-kode yang terkandung
di dalam motif tersebut. Selain itu, penelitian ini juga
dapat dijadikan sebagai cara menjaga dan melestarikan
warisan budaya dunia yaitu batik.
9
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk
memahami kompleksitas dunia nyata7. Dalam
penelitian ini paradigma yang digunakan adalah
konstruktivisme. Dalam penjelasan ontologi
paradigma konstruktivis, realita yang ada merupakan
hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.8
Untuk itu, perlu adanya interaksi peneliti dengan
pembatik guna mencari tahu segala sesuatu yang
berhubungan dengan batik.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan sifat penelitian deskriptif. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatian pada suatu makna di
balik fenomena yang terjadi di masyarakat.
“Dalam penelitian kualitatif, tidak
mendeskripsikan sebuah fenomena, sehingga
fenomena itu “tak berangka”, namun yang
terpenting adalah menjelaskan makna,
mendeskripsikan makna dari fenomena yang
muncul, bahkan menjelaskan “meta-maknawi”
yaitu makna di balik makna.”9
7Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), h. 9 . 8Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 82. 9Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, h. 150.
10
Sedangkan penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah masyarakat, tata cara yang berlaku
dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-
sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang
sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu
fenomena.10
Dalam penelitian ini penulis berupaya untuk
menghimpun data, mengelola dan menganalisa secara
kualitatif dan menafsirkannya.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah motif batik
Cirebonan, sedangkan objek penelitiannya sendiri
adalah analisis strukturalisme motif batik Cirebonan
dalam aspek estetika Islam.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 01 Maret
2017 sampai 31 Maret 2019.Bertempat di Rumah
Produksi Batik Tulis, Kelurahan Kalitengah,
Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon.
5. Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan
akurat, di sini peneliti menggunakan data primer dan
data sekunder.
10
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), h.
55.
11
Data primer adalah data yang diperoleh langsung
dari responden berupa hasil temuan penelitian
observasi serta wawancara dengan pengrajin batik,
pengusaha batik dan budayawan daerah Cirebon.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber-
sumber tertulis yang terdapat di dalam buku, jurnal,
kutipan-kutipan, dokumentasi atau literatur lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini.
F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh di lapangan dianalisis dalam
bentuk deskriptif kualitatif dengan tujuan
mendeskripsikan hal-hal dalam penelitian, kemudian data
tersebut dianalisis dengan cara yang interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas.
Maksudnya, penulis melakukan penafsiran data dan fakta
yang erat kaitannya dengan permasalahan penelitian.
G. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga
teknik pengumpulan data, yaitu:
1. Observasi
Mengadakan pengamatan secara langsung proses
pembuatan motif batik di Rumah Produksi Batik
Tulis, Kelurahan Kalitengah, Kecamatan Tengah
Tani, Kabupaten Cirebon.
12
2. Wawancara
Penulis akan menghimpun data dari wawancara
secara langsung dengan para pengrajin batik di
Trusmi, owner tokobatik danpengamat budaya di
daerah Cirebon.
3. Dokumentasi
Menurut Burhan Bungin metode dokumentasi
adalah salah satu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada
intinya, metode dokumentasi adalah metode yang
digunakan untuk menelusuri data historis.11
Dalam
penelitian ini, studi dokumentasi bertempat di Rumah
Produksi Batik Tulis Cirebon.
H. Pedoman Penelitian
Pedoman penelitian ini adalah SK Rektor No. 507
tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
I. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis
mengadakan penelitian lebih lanjut kemudian
menyusunnya menjadi suatu karya ilmiah yaitu skripsi.
Maka langkah awal yang penulis tempuh adalah mengkaji
terlebih dahulu skripsi-skripsi atau karya ilmiah yang
11
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), h. 121.
13
mempunyai bahasan yang hampir sama dengan yang akan
penulis teliti. Maksud dari pengkajian ini adalah agar
dapat diketahui bahwa apa yang penulis teliti sekarang
tidak sama dengan penelitian skripsi-skripsi terdahulu.
Setelah melakukan pencarian terhadap skripsi-
skripsi terdahulu, penulis hanya menemukan satu skripsi
yang mempunyai bahasan tentang batik Cirebonan. Akan
tetapi penelitian ini lebih terpusat pada kontribusi tarekat
Syattariyah terhadap perubahan sosial masyarakat keraton
Cirebon. Penelitian tersebut ditulis oleh Ivan Sulistiana,
mahasiswa asal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
tahun 2015. Judul penelitian tersebut adalah “Tasawuf dan
Perubahan Sosial di Cirebon; Kontribusi Tarekat
Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton,
Pondok Pesantren dan Industri Batik.”
Selain mencari skripsi di perpustakaan utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
penulis juga mencari skripsi di berbagai kampus lainnya
yang mempunyai bahasan serupa. Adapun skripsi tersebut
adalah skripsi karya Dewi Wulansari, mahasiswa
Universitas Padjajaran, Fakultas Ilmu Komunikasi,
Jurusan Bidang Kajian Hubungan Masyarakat, tahun 2013
dengan judul skripsi “Makna Batik Mega Mendung
Sebagai Simbol Budaya Cirebon”. Pembahasan utama
dari skripsi ini adalah mengkaji batik mega mendung
dengan teori semiotika Roland Barthes yang tentunya
14
berbeda dengan apa yang akan penulis saat ini kaji, yaitu
analsis strukturalisme milik Ferdinand de Saussure.
J. Kerangka Berfikir
Gambar 1.1
15
K. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman dalam
penelitian, penulis membagi hasil penelitian ini menjadi
lima bab. Adapun sistematika penulisannya, sebagai
berikut:
Skripsi ini diawali dengan pendahuluan yang
terdapat pada bab I. Di dalam bab I tersebut terdapat
permasalahan yang mencakup latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, dan rumusan
masalah. Selain itu ada terdapat juga tujuan dan manfaat
penelitian, kemudian ada metodologi penelitian yang di
dalamnya terdapat pendekatan penelitian, sifat penelitian,
subjek dan objek penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data, teknik penulisan,serta waktu dan
tempat penelitian. Kemudian, isi terakhir dari bab I ini ada
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Skripsi sebagai salah satu karya ilmiah tentu
membutuhkan landasan-landasan salah satunya landasan
teori yang dibahas di dalam bab II. Berikut gambaran dari
bab II dalam skripsi ini: Dalam bab ini, penulis akan
menjelaskan pemikiran dasar tentang pemaknaan. Setelah
itu, sebagai fokus dari penelitian ini penulis akan
menguraikan teori strukturalisme Ferdiand de Saussure.
Kemudian, penulis akan menjelaskan tentang estetika
Islam.
Di dalam bab III skripsi ini penulis akan
menjabarkan gambaran umum yang terdapat di lokasi
16
penelitian. Gambaran umum ini meliputi: Gambaran
sosiologis masyarakat Cirebon dalam aspek interaksi antar
masyarakat, struktur masyarakat dan budaya masyarakat
Cirebon. Selain itu, peneliti juga menjelaskan tentang
batik sebagai kesenian masyarakat Cirebon dan
perkembangan batik Cirebonan dari segi industry dan
mode.
Bab IV dalam skripsi ini berisi tentang analisis
data yang didapatkan oleh penulis sesuai dengan kajian
teori yang menjadi landasan penelitian. Kemudian,
harapan dari hasil analisis ini dapat menjawab rumusan
masalah yang sudah dijelaskan dalam bab I.
Langkah terakhir dari seluruh proses dan hasil
penelitian ini adalah bab V. Adapun isi di dalamnya, ialah
penutup yang berisi kesimpulan sebagai rangkuman hasil
analisis dan saran-saran yang ditawarkan oleh penulis.
17
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pemaknaan
Dalam memahami dan menikmati media saat ini
terdapat berbagai masalah. Masalah tersebut timbul akibat
pemahaman akan pemaknaan yang kurang didasari
dengan banyaknya proses untuk memahami makna dari
pesan yang disampaikan oleh media. Branston dan
Stafford dalam bukunya The Media Stundent’s Book
menjelaskan bahwa untuk memahami suatu makna bisa
dilakukan dengan pendekatan semiotika, strukturalisme,
denotasi konotasi dan kode, baik melalui kata-kata, warna,
gestur, musik ataupun gaya.1
Akan tetapi, untuk mencari dan memahami makna
yang terdapat di dalam batik Cirebonan, peneliti hanya
menggunakan teori strukturalisme. Namun peneliti juga
akan menjelaskan pendekatan semiotika, denotasi dan
konotasi serta kode sesuai dengan yang dijelaskan oleh
Branston dan Stafford.
1. Semiotika
Alex Sobur dalam Analisis Teks Media
mengatakan semiotika berasal dari bahasa Yunani,
yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda yang
1Gill Branston & Roy Stafford, The Media Student’s Book,
(Wolverhampton: St. Edmundsbury Press, 20003), h. 9.
18
dimaksud adalah sesuatu yang terlahir atas
kesepakatan sosial yang dapat mewakili sesuatu
yang lainnya. Seperti contohnya awan gelap
menandakan akan turunnya hujan. Secara
terminologis, semiotik merupakan suatu
pendekatan yang menganalisis serangkaian objek,
peristiwa dan kebudayaan sebagai tanda. Lebih
jauh lagi, semiotika adalah hasil penafisran
peneliti dan masyarakat yang terlibat dalam proses
penelitian lewat tanda-tanda dan lambang yang
ada.2
Lahirnya semiotika terinspirasi oleh
strukturalisme yang digagas oleh Saussure. Dalam
perkembangannya, seorang filsuf asal Amerika
Serikat, Charles S. Peirce mengenalkan semiotika
yang lebih rinci dari pendekatan mengenai tanda
yang digagas oleh Saussure. Maka dari itu, istilah
Semiotika lebih dikenal oleh para pelajar sebagai
pendekatan menganalisis tanda. Selain Peirce,
Roland Barthes juga menerapkan model Saussure
dalam meneliti karya-karya sastra dan gejala-
gejala yang ada dalam kebudayaan. Barthes
menegaskan bahwa komponen-komponen tanda,
2Semiotik merupakan ilmu yang menganilisis serangkaian objek ,
peristiwa dan kebudayaan sebagai tanda. Dalam hal ini, semiotika merupakan
sebuah karya yang ditafsirkan oleh peneliti dan masyarakat lewat tanda-tanda
atau lambang-lambang. Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 95-96.
19
yakni penanda atau menurut Saussure signifiant
dan petanda yang menurut Saussure signifie, di
dalam tanda-tanda juga terdapat sesuatu yang
bukan bahasa, yaitu mite. Mite merupakan
keseluruhan sistem kepercayaan yang terdapat
pada masyarakat untuk mempertahankan dan
menegaskan identitasnya.3
2. Strukturalisme
Strukturalisme lahir berkat jasa seorang
pakar linguistik kelalhiran Swiss, Ferdinand de
Saussure, dengan karya monumentalnya tentang
dasar-dasar linguistik umum, Course de
Linguistique General.Strukturlisme Saussure
terinspirasi oleh pendekatan sosiologi Emile
Durkheim dalam Des Regles de la Methode
Sociologiques tahun 1885 yang mengatakan
bahwa untuk meneliti masyarakat, peneliti dapat
melihatnya dari berbagai pendekatan, seperti
interaksi antar anggotanya yang kemudian
membentuk suatu tradisi, adat istiadat dan
aktifitas sosial. Dari pendekatan tersebut, peneliti
dapat menarik data-data tentang fenomena objektif
3Dalam perkembangannta yang terakhir kajian mengenai tanda dalam
masyarakat didominasi oleh karya filsuf Amerika, Charles S. Peirce yang
ajarannya jauh lebih terinci daripada Saussure yang lebih programatis.
Sedangkan bagi Barthes, komponen-komponen tanda, yakni penanda
(Saussure: signifiant) dan petanda (Saussure: Signifie), terdapat juga tanda-
tanda bukan bahasa; antara lain terdapat pada mite. Ferdinand de Saussure,
Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, cet. III 1996), h.27.
20
yang mendasari seluruh aktifitas sosial.Pendekatan
terhadap masyarakat oleh Emile Durkheim
tersebut mengispirasi Saussure untuk meneliti
bahasa.4
Ahimsa-Putra dalam RH. Widada
menyatakan terdapat sejumlah asumsi dan gagasan
pokok terpenting dalam strukturalisme Saussure
itu dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Pertama, strukturalisme pada hakikatnya
mengasumsikan bahwa dunia natural
maupun kultural selalu hadir di hadapan
manusia sebagai satu bangunan makna-
makna. Menurut struktur yang ada, seluruh
aktifitas manusia akan menghasilkan apa
yang disebut dengan makna. Oleh karena
itu, kedua, di dalam strukturalisme ada
asumsi bahwa pelbagai aktifitas sosial
berikut hasil-hasilnya, misalnya upacara
olah seni, system kekerabatan dan
perkawinan, pola tempat tinggal dan
aktifitas lain dapat dipahami sebagai kita
memahami bahasa. Hal tersebut
dikarenakan bahasa merupakan satu
bentuk pemaknaan utama bagi dunia.
Bentuk-bentuk pemaknaan lain dapat
dijelaskan dengan mengikuti prinsip-
prinsip penjelasan untuk bahasa. Ketiga,
mengacu pada konsep langue dan parole
dalam linguistik Saussure, maka bentuk
4Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat pantas diteliti secara
ilmiah karenainteraksi anggota-anggotanya menimbulkan adat istiadat, tradisi,
dan kaidah perilaku yang seluruhnya membentuk kumpulan data yang mandiri.
Fenomena yang disebutnya fakta sosial ini dapat diteliti secara ilmiah
sebagaimana ilmu-ilmu fisika menyelidiki benda atau objek. Lihat Ferdinand
de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. III 1996), h. 5.
21
aktifitas sosial-budaya yang lain
menunjukan adanya tararan seperti itu.
Maka dari itu, di sini para strukturalis
memahami akan adanya sebuah struktur
dalam (deep structure) yang sejajar dengan
langue dan struktur permukaan (surface
structure) yang sejajar dengan parole
dalam setiap aktifitas sosial budaya
manusia dan hasil-hasilnya. Keempat,
mengikuti saran Saussure tentang
pendekatan sinkronis untuk bahasa, maka
fenomena sosial budaya yang lain pun
dapat dipahami dan dijelaskan dengan baik
melalui pendekatan sinkronis. Unsure-
unsur dalam satu fenomena sosial budaya
lebih dapat dijelaskan meknanya dengan
melihat relasi-relasi dan perkembangannya
dalam rentangan waktu (diakronis). Relasi
sinkronis ditempatkan mendahului relasi
diakronis. Kelima,relasi-relasi antar unsur
yang berada dalam sebuah struktur
merupakan penghadir dan penentu
makna”.5
Asumsi-asumsi tersebut menyatakan, bahwa
bahasa yang digunakan untuk berinteraksi akan
melahirkan suatu fenomena berupa adat istiadat,
kesenian, kemudian aktifitas-aktifitas sosial yang
membentuk sebuah struktur tersendiri dalam
masyarakat. Di dalam fenomena tersebut terdapat
berbagai macam makna yang berbeda antara
masyarakat satu dengan yang lainnya, maka untuk
meneliti makna yang terkandung dalam sebuah
5Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h
. 31-32.
22
23
Saussure menyebut konsep tersebut dengan sistem
dikotomi tanda signified dan Signifier atau signifie
dan signifiant yang bersifat atomistis. Konsep ini
melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan
yang bersifat asosiasi antara yang ditandai atau
signified dan yang menandai signifier. Tanda adalah
kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan
sebuah ide atau petanda (signified) dengan kata lain,
penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan
yang bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material
dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar
dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah
gambaran mental, pikiran, atau konsep.6
Pemikiran Saussure juga mempunyai gaung yang
kuat dalam rumpun ilmu-ilmu sosial budaya secara
umum dan akhirnya menjadi sumber ilham bagi
sebuah paham pemikiran yang dinamakan
strukturalisme.
Selain itu, Saussure memandang setidaknya
terdapat tiga aspek pendekatan strukturalisme yang
dalam bahasa Prancis disebut langue, parole dan
langage. Ketiga aspek tersebut akan mengantarkan
kita untuk mengetahui makna dalam bahasa.
6
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h
. 36
24
A. Langue, Parole dan Langage
1. Langue
langue adalah bahasa dalam wujudnya
sebagai suatu system yang digunakan oleh
individu dalam berinteraksi. Maka dari itu,
keberadaan langue menjadi suatu keniscayaan
dalam setiap individu. Langue menghadirkan
fakta-fakta sosial yang jelas dan keberadaannya
dapat diselidiki dalam suatu masyarakat.
Saussure menambahkan bahwa langue
merupakan bahasa sebagai suatu sistem, maka
bahasa tersebut dapat saling dipahami oleh
individu-individu penutur.7
2. Parole
Al-Fayyadl dalam Derridanya menjelaskan
bahwa Parole merupakan kegiatan yang
sifatnya individual. Kegiatan tersebut
melingkupi proses penyaringan, pengolahan
dan pengucapan suatu bahasa yang kemudian
menghasilkan suatu konsep tersendiri.8
7Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif
yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan para penutur
saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur
dalam masyarakat. Lihat Harimurti Kridalaksana, Mongin-Ferdinand de
Saussure (1857-1913), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 17. 8Parole adalah seluruh yang diujarkan atau diucapkan oleh manusia,
termasuk konstruksi-konstruksi yang muncul dari pilihan individu, atau
bentuk-bentuk pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan berbagai
konstruksi tersebut. Muhammad Al-Fayyadl, DERRIDA, (Yogyakarta: Lkis,
2012), h. 31.
25
Saussure menegaskan bahwa parole adalah
suatu kesatuan yang diujarkan oleh seseorang.
kesatuan tersebut melingkupi konstruksi-
konstruksi individu yang lahir dari kegiatan
seorang penutur. Sederhananya, individu bebas
mengartikan atau memaknai suatu ucapan atau
tindakan yang dilakukan oleh sang penutur.9
Dengan kata lain, parole adalah tindakan
individual dalam kegiatan seleksi dan
aktualisasi. Parole terdiri dari kombinasi-
kombinasi yang digunakan si subjek agar bisa
menggunakan kode langue untuk
mengungkapkan pemikiran pribadinya. Jadi
parole adalah penggunaan aktual bahasa
sebagai tindakan individu.
3. Langage
Langage merupakan kesatuan antara
langue dan parole. Walaupun keberadaan
langage melingkupi keseluruhan masyarakat,
akan tetapi langage sendiri tidak bisa disebut
sebagai fakta sosial atau fakta yang ada pada
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
keberadaan parole yang lahir dari individu-
9Yang dimaksud dengan parole ialah keseluruhan apa yang diujarkan
orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan
penutur, atau pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan
konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Ferdinand de
Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, cet. III 1996), h 6.
26
individu yang bebas dalam menanggapi suatu
fenomena. Saussure menambahkan bahwa
kehadiran parole akan melahirkan unsur
kerelaan dalam masyarakat. Oleh karena itu,
langage tidak memiliki prinsip-prinsip
keutuhan dalam suatu masyarakat dan
memungkinkan hal tersebut untuk tetap diteliti
secara ilmiah.10
B. Hubungan Antara Langue dengan Parole
Roland Barthes dalam Petualangan Semiologi
menjelaskan, bahwa kehadiran langue dan parole
merupakan suatu kemajuan tersendiri dalam dunia
linguistik, karena tidak lagi berbicara tentang
pencarian sebab, perubahan-perubahan, pergeseran
yang terjadi dan hubungan-hubungannya. dan
mengisnpirasi perkembangan keilmuan lainnya
seperti semiotika.11
Maka dari itu, hubungan antara
langue dan parole harus dipahami dengan sebaik
mungkin.
10
Langage tidaklah memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena
terkandung di dalamnya faktor-faktor individu yang berasal dari pribadi
penutur. Bila penutur pribadi dan perilakunya dimasukan, selalu akan ada
unsur kerelaan yang merupakan unsur yang tak teramalkan. Harimurti
Kridalaksana, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005), h. 17. 11
Konsep (dikotomis) langue dan parole adalah sentral dalam
pemikiran Saussure dan telah menjadi suatu yang sangat baru jika
dibandingkan dengan linguistik jaman sebelumnya, yang disibukan dengan
pencarian sebab-sebab perubahan historis dalam pergeseran pengucapan,
dalam asosiasi-asosiasi spontan dan dalam aksi analogi. Roland Barthes,
Petualangan Semiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 16.
27
Dalam hubungannya, langue tidak dapat hadir
tanpa adanya parole dan tidak ada parole yang ada
di luar langue. Di satu pihak langue adalah “harta
yang dikumpulkan lewat praktik parole semua
orang yang termasuk dalam satu komunitas yang
sama”. Namun di pihak lain, langue tidak akan
menjadi mungkin ada kecuali lewat parole: Secara
historis, fakta-fakta parole selalu mendahului fakta-
fakta langue (parole yang membuat langue
berevolusi), dan secara genetis, langue hadir dalam
individu lewat pembelajaran dengan parole yang
mengelilingi individu itu.
Sebagai upaya memahami langue dan parole,
Saussure membandingkan sifat-sifat keduanya,
sebagai berikut:
“Parole sebagai perbuatan bertutur
selamanya bersifat perorangan, bervariasi,
berubah-ubah, dan mengandung banyak hal
baru. Di dalamnya tidak ada kesatuan sistem,
jadi tidak dapat diteliti secara ilmiah. Supaya
sesuatu dapat didekati secara ilmiah, objek itu
haruslah “diam” karena kita harus
menghitung dan mengukurnya. Parole terjadi
dari pilihan perorangan yang tidak terhitung
jumlahnya, banyak sekali pengucapan-
pengucapan dan kombinasi-kombinasi baru.
Jadi, pemberian terhadapnya bersifat tak
terbatas. Parole bukanlah sesuatu yang
kolektif, semua perwujudannya bersifat sesaat,
pengungkapannya bersifat sesaat dan
heterogen, dan merupakan perilaku pribadi.
Parole dapat diungkapkan dengan rumus:
28
(1+1’+1’’+1”’..............). Sebaliknya langue
adalah pola kolektif, dimiliki bersama oleh
semua penutur, jadi dapat diungkapkan
dengan rumus: (1+1+1+1+1+1.........) = 1
Langue berada dalam bentuk “keseluruhan
kesan yang tersimpan dalam otak setiap
orang”, yang hampir menyerupai sebuah
kamus yang dibagikan kepada setiap orang,
ada pada setiap orang, sama untuk semua
orang, tetapi tidak terpengaruh oleh kemauan
para penyimpannya. Langue adalah produk
sosial dari kemampuan bahasa dan sekaligus
merupakan keseluruhan konvensi yang
dipengaruhi oleh kelompok sosial untuk
memungkinkannya mempergunakan
kemampuan itu. Karena merupakan tempat
penyimpanan tanda-tanda yang diterima
orang dari penutur lain dalam masyarakat,
pada dasarnya langue adalah benda pasif,
sedangkan parole adalah benda aktif. Langue
adalah perangkat konvensi yang kita terima,
siap pakai, dari penutur-penutur terdahulu”.12
Dalam pembagian di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa secara keseluruhan parole tidak
dapat diselidiki karena sifatnya yang bermacam-
macam, tidak tetap dan tidak ada batasan.
Sebaliknya langue dapat diselidiki dengan mudah
karena keberadaannya yang jelas dalam masyarakat
dan disepakati bersama. Maka, Saussure
12
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S.
Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. III 1996), h 8-9.
29
menegaskan bahwa bahasa sebagai langue dijadikan
sebagai objek berkomunikasi.13
Selanjutnya dari strukturalisme Saussure adalah
diakronik dan sinkronik. Kata diakronik berasal dari
bahasa Yunani, yaitu dia artinya sepanjang dan kata
chronos yang berarti waktu. Dalam istilah linguistik,
diakronik berarti studi bahasa dari waktu ke waktu.
Sementara kata sinkronik juga berasal dari bahasa
Yunani syn yang artinya bersama. Kata sinkronik
artinya bersama dalam satu waktu. Dalam istilah
linguistik, sinkronik berarti studi tentang kebahasaan
untuk waktu tertentu. Dengan demikian, menurut
Saussure bahasa dapat dilacak dari waktu ke waktu dan
dipelajari untuk jangka waktu tertentu.14
Menurut Saussure, kajian sinkronis mempunyai
beberapa keuntungan dari sudut praktis maupun ilmiah,
lebih dari kajian historis. Pendekatan historis tidak
dapat dimanfaatkan untuk mempelajari perkembangan
bentuk-bentuk bahasa sampai diperoleh informasi yang
andal tentang hubungan sistematis di antara bentuk-
bentuk itu dalam tahap bahasa sebelumnya
13
Karena sifatnya yang berubah-ubah, bervariasi, tanpa batas dan
tidak dapat diperkirakan, parole menjadi fenomena yang tidak jelas bentuknya.
Karena itu, Saussure kemudian menetapkan bahasa sebagai langue yang dapat
dijadikan sebagai objek berkomunikasi. Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 17.
14
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S.
Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. III 1996), h 29.
30
danperbedaan di antara hubungan sistematis dalam
pelbagai tahap perkembangan bahasa.
Bahasan terakhir strukturalisme Saussure ialah
sintagmatik dan paradigmatik. Adapun yang dimaksud
dengan hubungan-hubungan sintagmatik adalah
hubungan diantara mata rantai dalam suatu rangkaian
ujaran. Hubungan ini disebut in praesentia karena
butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam
wicara. Suatu sintagma dapat berupa satuan berurutan
apa saja yang jelas batasnya atau jumlahnya sekurang-
kurangnya ada dua. Segmen itu bisa berupa fonem,
kata, frasa dan sebagainya.
Sedangkan, hubungan asosiatif atau paradigmatik
adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian
bentuk jadian dengan bentuk dasar unit bahasa;
sedangkan hubungan sintagmatik ialah hubungan yang
diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam
satu tindak wicara.
Menurut Saussure, bentuk-bentuk bahasa dapat
diuraikan secara cermat dengan meneliti hubungan
asosiatif atau paradigmatik dan hubungan sintagmatik
itu. Ia menekankan pentingnya gagasan itu dengan
memberi contoh dari dunia luar linguistik, yakni tiang
bangunan. Tiang itu berhubungan satu sama lain dan
dengan bagian lain dari bangunan (secara sintagmatik
31
karena hubungan ada bersama sekaligus) dan
berhubungan dengan jenis tiang lain yang bisa saja
dipergunakan (secara asosiatif di antara tiang yang ada
itu dengan tiang lain yang mungkin terpikir oleh kita,
tetapi tidak ada).15
3. Denotasi dan Konotasi
Tanda merupakan makna denotasi atau
makna yang sesungguhnya dari tanda itu
tersendiri. Akan tetapi, untuk mendefinisikan
sesuatu, tanda juga dapat dikonotasikan. Langkah
konotasi dilakukan dengan menghubungkan
sesuatu dengan mengasosiasikan konsep dan nilai-
nilai budaya atau pemaknaan pribadi terhadap
sesuatu. Salah satu contoh dari pemaknaan
denotasi dan konotasi adalah pemaknaan warna.
Warna merah dalam denotasi adalah bagian dari
spektrum warna, sedangkan dalam konotasinya
warna merah merupakan warna yang mengandung
keberanian. Proses konotasi dalam warna merah
tersebut didapat dalam konteks perjuangan.16
15Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S.
Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. III 1996), h 36. 16
Tanda adalah makna denotasi yang sesungguhnya dari tanda itu
sendiri. Misalnya warna merah adalah sebuah bagian dalam spektrum warna.
(denotasi). Tetapi, tanda juga dapat dikonotasikan untuk dapat mendefinisikan
sesuatu. Mereka bisa menghubungkan sesuatu dengan mengasosiasikan konsep
budaya dan nilai-nilai, atau makna dari pengalaman pribadi. Gill Branston &
Roy Stafford, The Media Student’s Book, (Wolverhampton: St. Edmundsbury
Press, 20003), h. 15.
32
4. Kode
Sebuah makna tidak selamanya melekat di
dalam kehidupan bermasyarakat. Misalkan, warna
hijau dalam lampu lalu lintas berarti jalan, tidak
menutup kemungkinan diganti dengan warna pink
asalkan pergantian tersebut mendapat persetujuan
bersama. Selain itu, dalam kata-kata berbagai
bahasa, kata Anjing dalam bahasa Indonesia dan
Dog dalam bahasa Inggris mempunyai makna
yang sama walaupun kode yang dipakainya
berbeda. Maka dari itu sebuah kata atau simbol
dalam pendekatan kode bersifat polisemik atau
multitafsir.17
B. Strukturalisme Dalam Konsep Kebudayaan
Dalam perkembangannya, strukturalisme Saussure
menjadi salah satu induk dari berbagai disiplin keilmuan
yang ada. Perkembangan tersebut bisa dilihat dari
berbagai tokoh yang terinspirasi oleh pendekatan
strukturalisme Saussure, diantaranya Claude Levi-Strauss
yang menggunakan strukturalisme dalam studi
antropologi, Roland Barthes, Sigmund Freud, Roman
Jakobson, Metz dan Serres. Akan tetapi, perkembangan
strukturalisme terhambat karena gerakan yang disebut
dengan Post-strukturalisme yang mengkritik habis
strukturalisme sendiri, seperti Derrida dengan
dekonstruksinya, Focault dan Julia Kristeva.
17
Gill Branston & Roy Stafford, The Media Student’s Book, h. 16.
33
Melihat keadaan tersebut, strukturalisme tetap
menjadi salah satu bidang kajian yang menarik untuk
meneliti suatu fenomena dalam kehidupan. Oleh karena
itu menurut Saussure tujuan dari strukturalismenya ialah
untuk menyelidiki suatu sistem sosial atau disebut langue
dari kenyataan yang ada, yaitu parole.
Dalam strukturalisme budaya, fenomena yang
hadir di masyarakat tidak akan terlepas dari sesuatu yang
disebut struktur sosial. Dalam fenomena tersebut, bentuk-
bentuk simbol diproduksi, ditransmisikan dan diterima
oleh masyarakat. John B. Thompson dalam bukunya,
yaitu Kritik Ideologi Global menjalaskan upayanya
menguraikan konsepsi budaya dalam strukturalisme, maka
seorang peneliti harus terlebih dahulu memperhatikan
bentuk-bentuk simbol yang ada dengan memperhatikan
konteks dan proses yang terstruktur secara sosial.18
Sebagai langkah awal yang perlu diperhatikan
adalah kerangka kerja yang digunakan merupakan hasil
kombinasi yang sistemis terhadap makna dan konteks
yang dibawa oleh konsepsi struktural budaya. Maka dari
itu, untuk memahaminya John menerangkan bahwa
terdapat lima karakteristik bentuk simbol yang disebut
dengan intensional, konvensional, struktural, referensial
dan kontekstual. Sebelum lebih jauh membahas lima
18
Dalam menguraikan konsepsi budaya ini sebagai konsepsi
“struktural”, saya akan memperhatikan konteks dan proses yang terstruktur
secara sosial dengan bentuk-bentuk simbol yang dikandungnya. John B.
Thompson, Kritik Ideologi Global, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 191.
34
karakteristik bentuk simbol di atas, John menegaskan
kembali ia menggunakan istilah bentuk-bentuk simbol
tersebut karena mengacu pada rangkaian suatu fenomena
makna yang luas, baik dalam hal tindakan, sikap, ritual
hingga ucapan, teks, tayangan televisi dan karya seni.
Pertama yang harus diketahui adalah karakteristik
intensional bentuk-bentuk simbol. Maksud dari
intensional tersebut, ialah bentuk-bentuk simbol yang
merupakan ekspresi dari seorang subjek untuk seorang
subjek atau banyak subjek. Maksud dari peryataan di atas,
yaitu bentuk-bentuk simbol diproduksi, dikonstruksi dan
diterapkan oleh seorang subjek yang dalam memproduksi
dan menerapkan bentuk tersebut mengikuti tujuan dan
keinginan tertentu dan berupaya mengekspresikan dirinya
untuk seorang subjek atau banyak subjek yang dalam
menerima dan menafsirkan suatu bentuk simbol
merasakannya sebagai ekspresi dari seorang subjek, yaitu
sebagai sebuah pesan yang harus dipahami.19
Bentuk-bentuk simbol lahir dari ungkapan
individu yang berusaha untuk mengekspresikan sesuatu
kepada individu lain dengan terlebih dahulu
memproduksi, mengkonstruksi dan menerapkan bentuk-
bentuk simbolnya.
Karakteristik kedua bentuk-bentuk simbol adalah
aspek konvensional. Aspek tersebut menjelaskan, bahwa
19
John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2015), h. 193.
35
produksi, konstruksi dan penggunaan bentuk simbol
Demikian juga interpretasi terhadap bentuk simbol yang
dilakukan oleh subjek yang menerimanya merupakan
proses yang secara tipikal mencangkup aplikasi aturan,
kode dan macam-macam konvensi.20
Aturan, kode dan
konvensi terbentuk dari aturan-aturan tata bahasa sampai
pada konvensi gaya bahasa dan ekspresi, dari suatu kode
yang berhubungan dengan tanda sampai interaksi individu
yang mencoba mengekspresikan dirinya dan berupaya
menafsirkan ekspresi individu lainnya.
Selanjutnya adalah karakteristik bentuk simbol
struktural yang menegaskan, bahwa bentuk-bentuk simbol
adalah konstruksi yang memperlihatkan struktur
artikulasinya. Memperlihatkan struktur artikulasi dalam
artian, bahwa secara tipikal memuat elemen-elemen yang
berada dalam relasi yang menentukan satu dengan yang
lainnya.21
Elemen-elemen tersebut dan relasinya tersusun
atas sebuah struktur yang dapat dianalisa secara sistemis,
seperti yang dicontohkan oleh John, yaitu seseorang dapat
menganalisa penggunaan kata dalam sebuah gambar atau
struktur narasi sebuah mitos.
Karakteristik keempat bentuk-bentuk simbol ialah
aspek referensial yang memandang, bahwa bentuk-bentuk
simbol merupakan konstruksi yang secara tipikal
mencerminkan sesuatu, mengacu pada sesuatu,
20
John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, h. 195. 21
John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, h. 197.
36
menyatakan sesuatu tentang sesuatu.22
Ciri dari
karakteristik referensial menurut John adalah ekspresi
bahasa mengacu pada objek tertentu. Ekspresi tersebut
memperoleh ketegasan maknanya dengan cara yang
berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan adanya kondisi
umum yang mengacu kepada suatu objek atau banyak
objek, individu atau banyak individu dan satu keadaan
atau banyak keadaan. Contohnya adalah lukisan pada
masa renaissance dapat berarti sebuah kejahatan manusia,
setan bahkan kematian.
Contoh di atas menjelaskan bahwa dalam
karakteristik referensial, terdapat proses menegaskan dan
menyatakan serta mengilustrasikan dan menggambarkan.
Karakteristik terakhir dari bentuk-bentuk simbol
adalah aspek kontekstual yang menjelaskan, bahwa
bentuk-bentuk simbol selalu dibawa dalam konteks dan
proses sosial tertentu yang di situ bentuk-bentuk simbol
itu diproduksi, ditransmisikan dan diterima.23
Karakteristik kontekstual menjelaskan bagaimana bentuk-
bentuk simbol tersebut beredar dan dapat diterima dalam
dunia sosial, selain itu juga bagaimana pemahaman dan
nilai yang dikandungnya dapat diterima masyarakat.
Kondisi di atas sangat dipengaruhi oleh konteks dan
institusi yang memproduksinya, memediasinya dan
melestarikannya.
22
John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, h. 200. 23
John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, h. 202.
37
C. Estetika
Estetika merupakan salah satu cabang dari filsafat
metafisika. Dalam perkembangan awalnya, estetika
disebut dengan istilah keindahan atau dalam bahasa
Inggris disebut beauty, sedangkan istilah estetika sendiri
baru ditemukan sekitar abad ke-18. Menurut Shipley
dalam buku Estetika Sastra dan Budaya menjelaskan,
bahwa sebelum estetika lahir, istilah yang digunakan
adalah keindahan, beauty, beaute yang berasal dari bahasa
Latin, yaitu bellus, yang berarti sesuatu yang baik, sifat
yang baik, keutamaan dan kebajikan. Lebih lanjut lagi,
Shipley menjelaskan pengertian Estetika secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta, penurunan dari
kata aisthe yang berarti suatu hal yang dapat ditanggapi
dengan indra atau tanggapan indra terhadap sesuatu yang
disebut karya seni.24
Secara garis besar, keberadaan estetika dibagi
menjadi dua periode, yaitu periode klasik yang diawali
sejak era Sokrates, yaitu pada abad ke-4 SM sampai era
Baumgarten abad ke-19 dan abad modern sejak
Baumgarten sampai saat ini. Dari pembagian tersebut,
The Liang Gie dalam Estetika Sastra dan Budaya, karya
Nyoman menegaskan sasaran dari estetika klasik meliputi
keindahan secara umum, perbedaan antara keindahan
24
Secara etimologis (Shipley, 1957:21) estetika berasal dari bahasa
Yunani, yaitu: aistheta, yang juga diturunkan dari aisthe (hal-hal yang dapat
ditanggapi dengan indra, tanggapan indra). Nyoman Kutha Ratna, Estetika
Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 2-3.
38
alam dan keindahan seni, keindahan khusus yang ada
dalam karya seni, cita rasa dan estetis. Sedangkan estetika
ilmiah meliputi bahasan karya seni sebagai ilmu atau
estetika perbandingan, sejarah karya seni, sosiologi karya
seni, estetika eksperimental, estetika psikologis dan
estetika matematis. Sebagai aliran filsafat modern,
estetika ilmiah meliputi berbagai jenis seni, seperti seni
lukis, pahat, musik, tari, teater, sastra serta arsitektur.25
Dalam perkembangannya, karya seni mempunyai
manfaat penting bagi manusia. Manfaat tersebut adalah
manfaat jasmani dan rohani. Kedua manfaat tersebut tidak
dapat dipisahkan dalam karya seni. Seperti dalam
kehidupan manusia yang hidup dengan keadaan yang
berkecukupan secara jasmani, akan tetapi mereka tetap
merasakan kegelisahan dan kegelisahan tersebut akan
melahirkan penderitaan karena di dalam jiwanya tidak
ditanamkan sesuatu yang indah yang diciptakan oleh
Tuhan. Tuhan merupakan sumber bagi segala sesuatu
bentuk keindahan, kedamaian dan keharmonisan. 26
D. Estetika Islam
Seni dalam Islam dilandasi dengan pernyataan
kalimat tauhid, yaitu la ilaha illa Allah yang berarti tidak
ada tuhan selain Allah. Allah merupakan yang awal dan
25
Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, h. 31-32. 26
Di samping Maha kasih, Maha kuasa dan berbagai sebutan yang
pada dasarnya mengacu pada kebesaran-Nya, Tuhan adalah Maha indah,
sumber segala sesuatu yang berfungsi untuk menyenangkan, memberikan
kedamaian bagi umat manusia. Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan
Budaya, h. 33-34.
39
dan yang akhir, sehingga seni islam juga sering disebut
seni dengan pola-pola infinit atau keabadian. Maka dari
itu, tauhid menjadi dasar dalam seni Islam. Estetika atau
seni Islam diharapkan mampu membawa kesadaran tauhid
bagi pelaku seni atau penikmat seni.27
Dalam rangka melahirkan kesan infinitas dan
transendensi yang dituntut oleh ajaran tauhid, Al-Faruqi
menyebutkan adanya enam karakteristik, yaitu:
1. Abstraksi
Keberadaan figur dalam seni Islam menjadi
kontroversi sendiri dikarenakan Islam tidak mengenal
simbolisasi terhadap Tuhan. Namun, figur yang
dimaksudkan adalah figur yang mengingatkan kesadaran
manusia terhadap Tuhan melalui mahkluk ciptaan-Nya.
“Pola infinit seni Islam adalah, yang pertama,
sifat abstrak. Meskipun representasi figuratif tidak
sepenuhnya dihilangkan, namun mereka sangat
jarang ditampilkan dalam seni Islam."28
2. Struktur Modular
Struktur modular menjelaskan bahwa karya seni
Islam tersusun atas bagian-bagian kecil yang kemudian
menjadi satu kesatuan. Bagian-bagian kecil tersebut
memiliki karakteristiknya masing-masing.
27
Seni Islam didasarkan pada pernyataan La ilaha illa Llah-bahwa
tidak ada tuhan selain Tuhan dan bahwa sepenuhnya Ia berbeda dengan
manusia maupun alam. Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 5-6.
28Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, h. 8.
40
“Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian
atau modul yang dikombinasikan untuk
membangun rancangan atau kesatuan yang lebih
besar. Masing-masing dari modul ini adalah
sebuah entitas yang memiliki keutuhan dan
kesempurnaan diri, yang memungkinkan mereka
diamati sebuah unit ekspresif dan mandiri.”29
3. Kombinasi Suksesif
Kombinasi suksesif menegaskan adanya pola yang
berkelanjutan. Pola-pola tersebut ditambahkan guna
membentuk suatu kombinasi yang lebih besar lagi.
Keberadaan pola-pola baru tersebut tidak boleh mengganti
pola dasar, akan tetapi harus menjadi penyempurna atas
pola dasar.
“Pola-pola infinit dalam seni Islam menunjukan
adanya kombinasi keberlanjutan (suksesif) dari
modul-modul dasar penyusunannya. Elemen-
elemen tersebut disusun untuk membangun sebuah
desain yang lebih besar, yang utuh dan
independen.”30
4. Repetisi.
Repetisi bertujuan untuk menegaskan struktur atau
pola-pola yang terdapat dalam seni Islam. Selain itu,
pengulangan yang dilakukan akan melahirkan suatu karya
yang besar dan berkesinambungan.
“Sifat keempat yang diperlukan dalam rangka
menciptakan kesan infinitas dalam sebuah objek
29Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, h. 9.
30
Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, h. 10.
41
seni adalah pengulangan dalam intesitas yang
cukup tinggi.”31
5. Dinamisme
Maksud dari dinamisme, ialah karya seni Islam
yang terus berkembang menyesuaikan kondisi yang
ada di dalam masyarakat. Perkembangan ini
menjadikan karya seni Islam dapat terus dinikmati
tanpa ada kejenuhan bagi para penikmatnya.
“Desain Islam bersifat dinamis, yaitu ia
merupakan desain yang harus dialami melalui
waktu.”32
6. Kerumitan
Kerumitan menjadi ciri terakhir dalam karya seni
Islam yang mengharuskan keseriusan penikmat seni Islam
untuk menikmati dan memahami karya seni tersebut.
“Detail yang rumit merupakan ciri keenam sebuah
karya seni Islam. Kerumitan memperkuat
kemampuan suatu pola untuk menarik perhatian
pengamat dan mendorong konsentrasi kepada
entitas struktural yang direpresentasikannya.”33
E. Batik
Batik merupakan hasil cipta karya seseorang
dalam bentuk lukisan atau pola-pola tertentu yang
terdapat pada sebuah kain. Pola tersebut dibuat dengan
menggunakan alat-alat khusus agar menjadi ciri khas
tersendiri.
31Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, h. 11.
32
Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, h. 11. 33
Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, h. 13.
42
“Batik adalah lukisan atau gambar pada kain mori
dengan menggunakan lilin (malam) yang diproses
melalui ketrampilan ragam hias (motif) dengan
perpaduan warna-warna serta mempunyai pola
yang khas.”34
Dalam proses pembuatannya, butuh keterampilan
khusus dari pembatik demi menjaga esensi yang
terkandung di dalam motif batik tersebut. Dahulu, proses
pembuatan batik memakan waktu yang lama, yaitu dua
minggu atau bahkan satu bulan lebih. Hal tersebut
dikarenakan proses pembatikan masih dilakukan secara
manual, akan tetapi sejak era modern sekarang ini, proses
pembatikan menjadi semakin cepat dengan menggunakan
mesin-mesin cetak sehingga produk yang dihasilkan
memiliki beberapa jenis, seperti:
1. Batik Tulis
Batik tulis adalah batik yang dibuat secara
tulis tangan dengan menggunakan canting sebagai
alat tulisnya. Motif dari batik tulis sangat halus
dan tidak ada sambungannya.
2. Batik Cap
Batik cap adalah batik yang dibuat
menggunakan cap. Di dalam cap terdapat motif
batik yang kemudian cap tersebut dimasukan ke
dalam lilin atau malam lalu ditempelkan ke kain
mori.
34
Adeng, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), h. 152.
43
3. Batik Kombinasi
Batik ini dibuat dengan cara
mengkombinasikan tehnik membatik dengan
menggunakan cap dan tulis. Dalam proses
pembuatannya, batik kombinasi lebih memakan
waktu yang singkat dibandingkan dengan batik
tulis.
4. Batik Printing
Batik ini dibuat menggunakan mesin cetak
modern. Walaupun begitu, kualitas batik printing
tidak lebih baik dari batik tulis karena warna yang
dihasilkan cepat pudar.
44
45
BAB III
GAMBARAN UMUM KOTA DAN KABUPATEN
CIREBON SERTA KESENIAN BATIK CIREBONAN
A. Kondisi Sosiologis Masyarakat Cirebon
1. Interaksi Masyarakat Cirebon
Masyarakat Cirebon adalah perpaduan antara dua
suku besar yaitu suku Jawa dan suku Sunda.
Akulturasi kedua suku tersebut melahirkan suku yang
mandiri yaitu suku Cirebon. Sejak dahulu hingga
sekarang suku Cirebon adalah suku yang berbeda dari
suku Jawa dan suku Sunda. Hal itu terlihat dari jejak
sejarah yang termuat dan terungkap dalam kitab
Purwaka Caruban Nagari, nama Cirebon berasal dari
kata Sarumban yang jika diucapkan maka menjadi
Caruban. Seiring perkembangan caruban berubah
menjadi Carbon, Cerbon dan akhirnya menjadi
Cirebon. Sarumban memiliki arti Campuran, maka
Cirebon berarti Campuran. Selain akulturasi dari Jawa
dan Sunda, masyarakat Cirebon juga berinteraksi
dengan budaya luar, seperti China, Eropa dan Arab.
Ada hal yang unik dari masyarakat Cirebon yaitu
adalah bahasa. Masyarakat Cirebon dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa Cirebon. Bahasa
Cirebon mendapat banyak pengaruh dari budaya
Sunda. Hal itu terjadi karena Cirebon berbatasan
langsung dengan kebudayaan Sunda khususnya Sunda
46
Kuningan dan Sunda Majalengka, dan juga
dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa. Hal
ini terbukti dengan adanya kata taocang berarti kuncir
yang merupakan serapan bahasa China, kata bakda
berarti setelah yang merupakan serapan bahasa Arab
dan kemudian kata sonder berarti tanpa yang
merupakan serapan bahasa Eropa (Belanda). Bahasa
Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno bahasa
Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan,
misalnya isun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tidak
digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.
2. Struktur Masyarakat
Pada Abad 15 keberadaan Suku Cirebon bermula
dari sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati.
Situasi di Muara Jati sangat produktif. Sektor
perdagangan menjadi ladang usaha yang kuat di
daerah tersebut. Banyak kapal-kapal singgah disana
termasuk kapal dari luar negeri seiring dengan
perkembangan daerah Muara Jati menjadi kerajaan
Cirebon pada masa pangeran Walangsungsang putra
Prabu Siliwangi.
Sejak perdagangan mulai berkembang pesat di
daerah Muara Jati yang sekarang menjadi Cirebon,
perkembangan Islam di daerah tersebut sudah mulai
berkembang. Mayoritas masyarakat Cirebon memeluk
agama Islam. Adapun Islam yang ada dalam
masyarakat Cirebon memiliki kekhasan tersendiri. Hal
47
itu karena Islam di Cirebon berakulturasi dengan
kebudayaan setempat. Selain itu penyebaran agama
Islam berkembang pesat diantaranya karena ada
Walisongo yang terkenal yaitu Sunan Gunung Jati
yang menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon.
Dalam segi tata kelola pemerintahan serta
organisasi sosial masyarakat Cirebon terdapat sistem
pemerintahan seperti adanya Bupati dan Walikota
beserta aparatur. Namun secara budaya setempat dan
sejarah yang telah terjadi dalam masyarakat Cirebon
adapula Sistem pemerintahan kerajaan yaitu keraton.
Dalam lingkungan keraton ada keturunan raja yang
menjabat sebagai Sultan Cirebon. Ada beberapa
keraton di daerah Cirebon yaitu Keraton Kasepuhan,
Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.
3. Budaya Masyarakat Cirebon
Cirebon sebagai daerah pantai Utara Pulau Jawa
bagian Barat.Dalam konteks sejarahnya,Cirebon
terbukti mampu melahirkan kebudayaan yang
berangkat dari nilai tradisi dan agama.Maka dari itu,
kesenian yang mengiringi kebudayaan Cirebon
memasukkan unsur-unsur agama di dalamnya. Dalam
kaitannya, kesenian yang pada mulanya merupakan
sarana dakwah agama (Islam) menjadi semacam oase
di padang gurun. Betapa tidak. Syekh Syarif
Hidayatullah yang juga dikenal dengan nama Sunan
48
Gunungjati bermukim di Cirebon mengembangkan
agama melalui pendekatan kultural.
Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan
Sunda itu akhirnya memiliki ciri khas sendiri, yakni
adanya keberanian untuk mengadopsi nilai lama
dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai
diajarkan Sunan Gunung Jati. Dalam pentas kesenian
panggung, asimilasi budaya terlihat jelas. Nilai budaya
masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama. Tak
heran jika kenyataan ini mengundang nilai tambah
yang patut disyukuri. Artinya, postmodernis sudah
berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon.
Keberanian seniman tradisi memasukkan unsur baru
(ajaran agama Islam) pada kesenian lokal agaknya
sepadan dengan nilai posmo.
Budaya Cirebon yang kabarnya merupakan
budaya serapan Jawa (Kerajaan Mataram) dan Sunda
(Kerajaan Padjajaran) itu menempati posisi unik. Dua
budaya besar di pulau Jawa itu bertemu di Cirebon.
Budaya serapan itu pun makin lengkap bersintesa
dengan spiritualitas Islam. Inilah kekayaan budaya
Cirebon yang mengisi ruang kesenian lokal. Dari
sinilah kemudian muncul seniman rakyat yang asik
berkarya tanpa terpaku pada intruksi sutradara,
sementara ketika tidak manggung mereka menjalani
profesi kesehariannya
49
B. Letak Geografis Wilayah Cirebon
Secara administratif Cirebon dibagi menjadi dua
wilayah, yaitu wilayah Kota dan Kabupaten.
1. Letak Geografis Kota Cirebon
Kota Cirebon terletak pada 6°41′LU
108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian
timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke
timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11
kilometer dengan ketinggian dari permukaan
laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota
Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat
sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan
258 km dari arah Kota Jakarta.
Kota Cirebon terletak pada lokasi yang
strategis dan menjadi simpul pergerakan
transportasi antara Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Letaknya yang berada di wilayah
pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki
wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan
dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota
Cirebon adalah 37,54 km2 dengan dominasi
penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan
tanah pertanian (38%).
Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah Utara
dibatasi Sungai Kedung Pane, Sebelah Barat
dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten
50
Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai
Kalijaga, Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa.
Sebagian besar wilayah merupakan dataran
rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl,
sementara kemiringan lereng antara 0-40 % di
mana 0-3 % merupakan daerah berkarateristik
kota, 3-25 % daerah transmisi dan 25-40 %
merupakan pinggiran.
Kota ini dilalui oleh beberapa sungai di
antaranya Sungai Kedung Pane, Sungai
Sukalila, Sungai Kesunean, dan Sungai
Kalijaga.
2. Letak Geografis Kabupaten Cirebon
Kabupaten Cirebon berada di daerah
pesisir Laut Jawa. Berdasarkan letak
geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon
berada pada posisi 6°30’–7°00’ Lintang
Selatan dan 108°40’-108°48’ Bujur Timur.
Bagian utara merupakan dataran rendah,
sedang bagian barat daya berupa pegunungan,
yakni Lereng Gunung Ciremai. Letak
daratannya memanjang dari barat laut ke
tenggara. Wilayah Kabupaten Cirebon dibatasi
oleh:
a. Utara Kabupaten Indramayu, Laut Jawa
b. Barat Kabupaten Majalengka
c. Selatan Kabupaten Kuningan
51
d. Timur Kota Cirebon, Kabupaten Brebes
(Jawa Tengah)
Letak daratannya memanjang dari Barat
Laut ke Tenggara. Dilihat dari permukaan
tanah/daratannya dapat dibedakan menjadi dua
bagian, Wilayah Kecamatan yang terletak
sepanjang jalur pantura termasuk pada dataran
rendah yang memiliki letak ketinggian antara 0
– 10 m dari permukaan air laut, sedangkan
wilayah kecamatan yang terletak di bagian
selatan memiliki letak ketinggian antara 11 –
130 m dari permukaan laut.
C. Batik Sebagai Kesenian Masyarakat Cirebon
Salah satu batik Nusantara yang terkenal dan
memiliki ciri khas yang kuat adalah batik Cirebon.
Sejarah batik Cirebon berkaitan dengan adanya
proses akulturasi budaya dan penyebaran agama
Islam oleh Sunan Gunung Jati di daerah Cirebon pada
abad ke-16. Salah satu upaya Sunan untuk
menyebarkan agama Islam adalah melalui batik.Para
santri Sunan yang awalnya melakukan kegiatan
membatik sebagai sumber pendapatan mereka.Letak
Cirebon yang berada di daerah pesisir membuat
terjadinya pertukaran budaya sangat mudah.
Masuknya batik bermula ketika Pelabuhan Muara
Jati (sekarang Pelabuhan Cirebon) menjadi tempat
persinggahan para pedagang asing yang berasal dari
52
Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Masuknya
pedagang-pedagang asing tersebut menyebabkan
terjadinya akulturasi berbagai budaya dan
menghasilkan bentuk budaya baru. Batik Cirebon
salah satunya.
Batik Cirebon memiliki 3 ragam hias, yaitu batik
Keratonan, batik Pesisiran dan batik Pedalaman. Jika
dilihat dari wilayah tumbuh-kembangnya, batik
Cirebon termasuk jenis batik Pesisiran yang terbuka
terhadap pengaruh asing. Keterbukaan terhadap
pengaruh dari luar membuat batik pesisir Cirebon
memiliki motif yang beragam dan warna yang atraktif,
dengan ragam hias bersifat naturalis. Namun
demikian, sebagian batik Cirebon masuk dalam
kelompok batik keratonan dan batik pedalaman.
Cirebon memiliki 3 keraton, yaitu Keraton
Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton
Kacirebonan. Ketiga keraton tersebut memunculkan
motif-motif klasik yang hingga sekarang masih
dikerjakan oleh sebagian masyarakat Desa Trusmi.
Batik Keratonan, sesuai namanya, dikembangkan
di wilayah Keraton. Berbeda dengan batik Pesisiran
yang motifnya berciri naturalis, ragam hias
batik keratonan bersifat simbolis. Maka dari itu, motif
batik Keratonan dikembangkan berdasarkan
pada nilai-nilai spiritualitas dan pemurnian diri yang
53
menekankan sifat keselarasan manusia dengan alam
semesta.
Warna yang digunakan batik keratonan pun
tidak sesemarak batik pesisiran. Batik Keratonan
umumnya berwarna lembut dengan warna
dasar sogan, indigo, hitam, putih.Batik Keratonan
dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Islam. Motifnya
didominasi simbol-simbol Kecirebonan, seperti batu-
batuan (wadas), kereta singa barong, ganggang, naga,
taman, sayap-sayap terbentang, pengantenan, bentuk
hutan, dan lain-lain. Sementara batik Pedalaman
dicirikan dengan warna-warna teduh dan
gelap.Warnanya sangat berbeda dengan batik
Pesisiran dengan warna-warna cerahnya.
D. Motif Batik Cirebonan
Dalam sejarahnya, munculnya kegiatan membatik
di Cirebon karena peranan Ki Gede Trusmi. Beliau
merupakan pengikut setia Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati menyebarkan agama Islam salah satunya
melalui kegiatan membatik. Dahulu kegiatan membatik
juga dilakukan oleh golongan tarekat Asatarriyah yang
mengabdi di keraton Kesepuhan Cirebon dan anggota
tarekat tersebut kebanyakan tinggal di daerah Kecamatan
Trusmi dan sekitarnya. Kegiatan membatik dijadikan
sebagai sumber pendapatan untuk keraton saat itu dan
pusat gerakan tarekat ini adalah di Banjarmasin.
54
55
2. Batik Sawat Pengantin
Gambar 3.2
Batik Sawat Pengantin merupakan batik
yang sering digunakan oleh masyarakat Cirebon
dalam acara pernikahan. Dalam motif tersebut
terdapat makna yang dalam bagi para
pengantin. Harapan dan do’a para pengantin
terkandung di dalam motif batik Sawat
Pengantin. Akan tetapi, saat ini keberadaan
batik Sawat Pengantin sudah jarang ditemukan
karena prosesi dan adat dalam pernikahan
perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan beralih
ke prosesi yang lebih modern.1
1Secara garis besar, batik ini memberikan konotasi simbolisme
menuju keesaan seperti pengantin yang penuh dengan harapan dan
kebahagiaan. Masyarakat Cirebon memiliki keyakinan tentang sebuah harapan
dari Sang Pencipta yang diekspresikan melalui motif batik sawat pengantin.
Motif batik sawat pengantin merupakan motif batik pedalaman. Adeng, Kota
Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 127.
56
3. Motif Batik Paksinaga Liman
Gambar 3.3
Batik Paksinaga Liman adalah batik yang
banyak dipakai oleh para abdi dalam di Keraton
Cirebon. Motif dalam batik tersebut
menggambarkan tiga binatang tangguh, yaitu
Garuda, Ular dan Gajah yang melambangkan
kekuatan kerajaan Islam di Cirebon. Selain
digunakan oleh para abdi dalam keraton, batik
motif ini juga banyak dipesan oleh para
penikmat batik dari dalam maupun luar negeri.2
2Batik Paksinaga Liman bermotif kereta kencana paksinaga liman
Cirebon. Paksinaga Liman merupakan perwujudan gabungan dari binatang
Paksi (Garuda), Naga (Ular) dan Liman (Gajah). Paksinaga Liman adalah
simbol kekuatan kerajaan Cirebon yakni udara (paksi), laut (naga) dan darat
(liman). Batik ini biasa dipesan oleh turis-turis Jepang untuk dijadikan bahan
kimono. Motif batik ini merupakan salah satu dari motif batik keraton.Adeng,
Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 129.
57
E. Perkembangan Batik Cirebonan
Pusat batik Cirebon yang paling terkenal adalah
Desa Trusmi.Di desa ini, terdapat banyak pengusaha batik
dengan beragam ukuran, mulai dari pengusaha kecil
rumahan hingga pengusaha besar. Desa Trusmi yang
terletak di Kecamatan Plered, kurang lebih delapan kilo
meter ke arah barat dari pusat Keraton Kesepuhan
Cirebon, merupakan sentra kerajinan batik ternama. Di
sepanjang jalan desa ini banyak berdiri showroom batik
berselang-seling dengan rumah penduduk. Desa Trusmi
dibagi menjadi dua, yaitu Trusmi Kulon dan Trusmi
Wetan. Terdapat beberapa desa di sekitar Trusmi yang
juga menjadi pusat produksi batik, di antaranya adalah
Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan.
Menurut cerita masyarakat setempat, batik Trusmi
disebarkan oleh pemuka agama Islam, Ki Buyut Trusmi.
Awalnya Ki Buyut Trusmi bersama Sunan Gunung Jati
menyebarkan agama Islam di desa tersebut sambil
mengajarkan membatik pada penduduk setempat yang
akhirnya membuat desa ini dikenal sebagai kampung
batik.Begitu terkenalnya kampung batik Trusmi hingga
batik Cirebon identik dengan sebutan batik
Trusmi. Pengusaha batik Trusmi umumnya membuat
batik untuk jarit, sarung, ikat kepala, dan keperluan
sandang lainnya, serta barang rumah tangga seperti taplak,
sarung bantal dan sebagainya. Beragam cinderamata batik
58
yang diproduksi sangat terkenal. Oleh sebab
itu, Trusmi ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan
wisata belanja di Kabupaten Cirebon.
59
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Struktur Dalam (Deep Structure) Motif Batik
Cirebonan
Motif batik Mega Mendung merupakan motif
batik yang paling terkenal diantara motif-motif lain di
Cirebon. Hal tersebut dikarenakan adanya akulturasi
antara budaya China dan Cirebon. Selain itu sejarah
kejayaan kerajaan Islam di Cirebon pada abad ke-16 turut
menjadikan motif ini sebagai simbol dari Cirebon. Motif
batik Mega Mendung memiliki makna tersendiri bagi
masyarakat Cirebon, yaitu harapan yang hanya ditujukan
kepada Allah Swt. Selain itu, maksud dari motif batik
tersebut adalah sebagai pengingat bagi manusia untuk
selalu berdo’a dan memohon hanya kepada yang di atas
atau Allah Swt.
“Motif Mega Mendung iku wis dadi nyawane wong
Cirebon. Sebab ning sejarae Sunan Gunung Jati seng
wis jadinang Cirebon kerajaan Islam terus santri
atawa muride pada ngelakoni kesenian ngebatik.
Nah, batik mega mendung duwe maksud bari kita
para menusa kudu jejaluk ning Gusti Allah.”1
1
Motif mega mendung itu sudah menjadi nyawa orang Cirebon.
Sebab dalam sejarahnya, Sunan Gunung Jati menjadikan Cirebon sebagai
kerajaan Islam dan para santri atau muridnya diajarkan membuat kesenian
batik. Nah, batik mega mendung mempunyai arti agar para manusia meminta
hanya kepada Allah SWT. Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik
dan Budayawan di Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret
2019.
60
61
(berkah).
Tabel 4.1
Motif batik Mega Mendung adalah motif
batik yang memiliki pola dasar berbentuk awan
yang melingkar. Motif batik ini memiliki warna
biru tua sebagai warna utama dengan sedikit warna
biru muda sebagai gradasi warna yang menambah
kesan elegan. Selain itu untuk garis awannya
berwarna putih. Sebagai karya seni tingkat tinggi,
motif batik Mega Mendung memiliki makna yang
terdapat pada pola awan dan setiap warnanya.
Bentuk awan dimaknai sebagai perlindungan,
warna putih sebagai kesucian, biru muda sebagai
harapan dan biru tua sebagai tanda mendung atau
akan turun hujan (berkah).
2. Langue dan Parole
Menurut Ferdinand de Saussure langue
merupakan suatu bahasa atau sistem yang dapat
dipahami oleh setiap individu-individu dalam
suatu masyarakat. Dalam motif batik Mega
Mendung, ciri yang paling menonjol untuk
menggambarkan motif batik tersebut adalah
gambar awan yang menggumpal dan saling
menyambung. Motif ini sudah menjadi ikon dari
kota Cirebon dan sebagian besar masyarakat
Cirebon mengetahui motif batik ini walaupun
62
63
masyarakat awam dengan ciri gambar awan yang
saling sambung-menyambung.
Selain langue yang mengatakan bahasa
atau sistem dipahami oleh setiap individu dalam
suatu masyarakat, terdapat juga parole. Menurut
Ferdinand de Saussure parole adalah suatu
kesatuan yang diujarkan oleh seseorang. Kesatuan
tersebut melingkupi konstruksi-konstruksi individu
yang lahir dari kegiatan seorang penutur.
Sederhananya, individu bebas mengartikan atau
memaknai suatu ucapan atau tindakan yang
dilakukan oleh sang penutur.
Motif batik Mega Mendung memiliki
banyak makna, baik tentang kehidupan
bermasyarakat dan beragama. Dalam kehidupan
bermasyarakat, motif batik Mega Mendung
memiliki makna seorang pemimpin yang ditandai
dengan gambar awan harus selalu memberikan
perlindungan kepada masyarakat atau
bawahannya. Selain itu warna biru sebagai warna
dasar motif batik Mega Mendung menandakan
maskulinitas seorang pria yang dimana menurut
kamus besar bahasa Indonesia maskulinitas adalah
keberanian, kemandirian dan ketegasan.3 Motif
3Maskulinitas (disebut juga kejantanan atau kedewasaan) adalah
sejumlah atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan anak laki-laki dan
pria dewasa. Maskulinitas didefinisikan secara sosial dan diciptakan secara
biologis.Sifat maskulin berbeda dengan jenis kelamin. baik laki-laki maupun
64
Mega Mendung juga memiliki makna, bahwa
seseorang yang sedang dilanda kesedihan atau
berduka ditandai dengan awan mendung berarti
dilarang larut dalam kesedihan. Seseorang tersebut
harus menghadapi kesedihan dengan ketenangan
dan kesejukan seperti awan mendung yang
memberikan hawa sejuk.
“Mega Mendung iku banyak artinya, misal
pemimpin harus sering ngasih bawahan atau
masyarakat perlindungan dan kenyamanan.
Terus warna biru diartinang sifat maskulin
yang bijaksana. Mega mendung ngajaraken
seseorang yang sedih jangan sampe larut
sedih. Harus nyikapi kesedihan dengan
ketenangan kaya awan mendung yang
memberikan hawa sejuk.” 4
Dalam kehidupan beragama, Mega
Mendung memiliki pesan-pesan tersendiri. Dalam
kepercayaan Taoisme, awan melambangkan dunia
yang luas, abadi, bebas dan bermakna
transendental konsep ketuhanan.5 Selain itu Mak
Ung selaku budayawan dan pembatik mengartikan,
bahwa motif batik Mega Mendung itu memiliki
pesan agar para pemakainya selalu mengingat
perempuan dapat bersifat maskulin. Ciri-ciri yang melekat pada istilah
maskulin adalah keberanian, kemandirian dan ketegasan.
4Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019. 5
Labib Ilmi, “Makna Motif Mega Mendung dan Wadasan Pada
Keraton di Cirebon,” (Skripsi S1 Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
2012).
65
Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan
perlindungan bagi mahluk hidup di dunia, karena
awan itu di atas jadi kita yang di bawah harus
selalu momohon dan menggantungkan segala
sesuatunya hanya pada Allah SWT. Pesan tersebut
ditandai oleh awan yang melambangkan dunia atas
atau dunia luas yang diciptakan Allah SWT.
Dalam Islam pesan tersebut dijelaskan
dalam Al-qur’an surat Al-Ikhlas, ayat 1-4, yang
berbunyi:
الصهمد )( ل يلد و أحد )( الله ين ( ول د )ل يول قل هو الله له كفوا أحد
Artinya: Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang
Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
tidak pula diperanakkan,dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia.6
“Mega Mendung iku mengajarkan setiap
manusia agar terus mengingat yang di atas,
yaitu Gusti Allah. Meminta, memohon terus
berdoa hanya pada Gusti Allah, sebab Allah
yang nyiptaknang langit, bumi dan seisinya.”7
Selain pemaknaan tersebut, masih terdapat
beberapa pendapat atau makna tentang motif batik
6
Assobar, “Al-Qur’an dan Tejemahannya.” (Jakarta: Pustaka Al-
Mubin), h. 604.
7Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
66
Mega Mendung. Sesuai dengan parole yang
memberikan individu untuk bebas menuturkan
atau memaknai suatu tanda dan bahasa yang
berkembang dalam masyarakat.
3. Sinkronik dan Diakronik
Dalam kajian lingusitik sinkronik menurut
Saussure merupakan studi tentang kebahasaan
untuk satu waktu tertentu. Jadi sinkronik
mempelajari suatu bahasa atau sistem yang
terdapat dalam waktu tertentu. Sedangkan
diakronik menjelaskan bahasa atau sistem dari
waktu ke waktu.
Dalam motif batik Mega Mendung, simbol
awan merupakan simbol dasar yang digunakan
oleh para pengrajin batik. Bentuk awan tersebut
telah ada sejak awal kesenian membatik di
Cirebon. Simbol awan tersebut telah bertahan dari
generasi ke generasi hingga saat ini.
Menurut Mak Ung yang menjadi ciri atau
tanda motif batik Mega Mendung adalah adanya
simbol awan. Simbol tersebut yang kemudian
dikenal sebagai Mega Mendung. Jika simbol awan
dihilangkan, maka batik tersebut tidak bisa disebut
sebagai Mega Mendung. Maka dari itu, seorang
pembatik yang membuat motif Mega Mendung
wajib menghadirkan gambar awan.
67
68
tersebutdikarenakan untuk menyesuaikan
kebutuhan atau permintaan konsumen. Selain
perubahan warna, terdapat tambahan berbagai
macam simbol, seperti di atas terdapat gambar
kupu-kupu berwarna hijau yang mendampingi
gambar awan.
“Sekarang jaman udah maju.Jadi
produksi batik juga harus maju nyesuain
kebutuhan pasar atau keinginan pembeli.
Terus supaya lebih menarik aja biar
pembeli gak bosan sama motif batik yang
itu-itu aja.”9
4. Paradigmatik dan Sintagmatik
Menurut Saussure, paradigmatik
merupakan sinonim dari suatu tanda. Setiap tanda
akan mempengaruhi makna yang kemudian makna
tersebut menjadi poros sintagmatik.
Dalam penelitian motif batik Mega
Mendung, paradigmatik dari motif ini adalah
simbol awan yang merupakan simbol utama dari
motif tersebut.Jika simbol awan diganti dengan
simbol bunga atau daun, maka motif tersebut tidak
bisa disebut sebagai motif Mega Mendung.
Walaupun simbol bunga atau daun mendominasi
motif batik, tapi jika terdapat gambar awan maka
9Wawancara bersama Ibu Ade Ervina, (Pengusaha Batik Rumah,.
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
69
70
71
menyambung
membentuk
segi empat.
sedang
melaksanakan
proses
pernikahan.
Tabel 4.3
Motif batik Sawat Pengantin merupakan
motif batik khas pedalaman yang memiliki
berbagai pola dasar, diantaranya terdapat pohon,
sayap dan garis-garis yang membentuk segi empat.
Sama halnya dengan batik Mega Mendung, setiap
pola dari motif Sawat Pengantin memiliki makna
yang dalam, khususnya bagi para pengantin yang
sedang melaksanakan prosesi pernikahan. Namun,
saat ini motif Sawat Pengantin sulit ditemukan.
Hal tersebut dikarenakan dahulu motif batik ini
hanya digunakan oleh para Abdi Dalam Keraton
Cirebon dan pengantin.
2. Langue dan Parole
Motif batik Sawat Pengantin merupakan
salah satu motif yang masuk dalam katagori batik
kelas atas, sebab motif batik ini hanya khusus
digunakan oleh kalangan Abdi Dalam keraton
Cirebon dan para pengantin. Selain faktor di atas,
makna yang terkandung di dalam motif batik
Sawat Pengantin juga tinggi, khususnya bagi
pengantin yang mengadakan acara resepsi
72
pernikahan. Namun dalam perkembangannya,
masyarakat secara umum belum mengetahui
banyak tentang batik Sawat Pengantin. Hal
tersebut dikarenakan keberadaannya yang hanya
ada di lingkungan keraton Cirebon dan tidak
disebarluaskan kepada masyarakat sekitar.
“Batik Sawat Penganten atau Mas
nyebutSawat Pengantin itu batike para
abdi dalem keraton. Batik sawat itu batik
langka, terus cuma bisa dilihat oleh
masyarakat umum misal ada nikahan yang
pengantennya menggunakan kemben10
batik
Sawat Pengantin.”11
Jadi dalam perkembangannya saat ini,
motif Sawat Pengantin hanya dikenal oleh orang-
orang tertentu, seperti pembatik, pengamat budaya
dan Abdi Dalam Keraton. Selain itu, motif ini
hanya digunakan dalam acara-acara khusus seperti
pernikahan sehingga masyarakat secara umum
masih banyak yang mengetahuinya.
Menurut Mak Ung, motif batik Sawat
Pengantin memiliki berbagai makna, diantaranya
adalah pengharapan seorang pengantin agar
kehidupan berkeluarganya diberi perlindungan
oleh Allah SWT. Dalam motif batik Sawat
Pengantin, perlindungan tersebut ditandai dengan
10Pakaian tradisional yang digunakan dengan cara melilitkan kain
batik dari dada sampai kaki.
11Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
73
gambar pohon. Selain perlindungan dari Allah
makna pohon dalam motif tersebut adalah suatu
keluarga yang kokoh dan dapat saling menghidupi.
Selanjutnya dalam motif tersebut terdapat gambar
sayap yang memiliki makna, bahwa setiap harapan
dan do’a yang keluar akan langsung menuju ke
atas atau langsung sampai kepada Allah SWT.
Dalam motif batik sawat pengantin, gambar pohon
dan sayap dikelilingi oleh garis-garis yang
berhubungan membentuk persegi empat. Garis-
garis tersebut mempunyai makna menjaga
keseimbangan hidup. Jadi, garis yang membentuk
persegi empat tersebut adalah gambaran
keseimbangan antara dunia dan akhirat atau
individu dan sosial.
“Batik sawat penganten itu punya tiga
gambar utama. Ada pohon terus elar atau
sayap terus gars kotak-kotak. Pohon
gambarnang perlindungan soale rimbun
terus kokoh, sayap itu nerbangin harapan
do’a yang kesebut terakhir garis-garis itu
keseimbangan.”12
3. Sinkronik dan Diakronik
Dari dulu hingga saat ini motif batik Sawat
Pengantin tidak mengalami perubahan atau
penambahan pola-pola baru. Hal tersebut
dikarenakan untuk menjaga kelestarian dan makna
12Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
74
yang terkandung di dalamnya. Dalam aspek
kegunaannya, dahulu motif batik Sawat
Pengantinhanya digunakan oleh kalangan Abdi
Dalam keraton Cirebon dan dalam acara-acara
pernikahan di Cirebon.
“Gambar motif Sawat Penganten tidak
berubah, tidak ada tambahan-tambahan
gambar.Misalkan dirubah berarti
mengganti makna dan namanya bukan
Sawat Pengantin lagi.”13
Namun seiring berkembangnya waktu,
pengantin sudah jarang yang menggunakan batik
Sawat Pengantin sebagai pakaian adat karena lebih
memilih gaun-gaun yang lebih terlihat anggun.
Selain itu, walaupun tidak ada perubahan dari pola
tetapi dalam segi pewarnaan mengalami
perubahan. Dahulu batik ini memiliki warna dasar
putih dan coklat, namun saat ini banyak ditemukan
warna coklat dan hitam atau coklat dan kuning.
Perkembangan lain dari motif sawat pengantin ini
adalah dari aspek produksi yangdimana saat ini
sudah banyak industri-industri rumah yang
membuat batik ini.
“Jamannya udah berubah. Udah jarang
penganten yang mau make pakaian adat,
khususnya batik motif Sawat. Udah pada milin
gaun-gaun modern yang lebih bagus. Terus
13Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
75
perubahan lain itu di pewarnaan Mas. Dulu
warna sawat penganten coklat dan putih terus
sekarang banyak variasi, misal coklat dan
hitam atau coklat tambah kuning.”14
4. Paradigmatik dan Sintagmatik
Paradigmatik Sintagmatik
Pohon, sayap dan
garis kotak-kotak.
Pola dasar motif batik Sawat
Pengantin Binatang, bulu
dan lingkaran.
Tabel 4.4
Motif Sawat Pengantin memiliki tiga pola
utama, yaitu pohon yang berarti perlindungan
Allah SWT atau keluarga tidak dapat digambarkan
dengan binatang, kemudian sayap yang berarti
mengantarkan harapan atau do’a langsung ke Allah
SWT tidak dapat digambarkan dengan bulu dan
garis kotak-kotak yang berati keseimbangan hidup
dunia dan akhirat tidak dapat dirubah dengan
sebuah lingkaran. Pola-pola tersebut tidak berubah
dari waktu ke waktu dan jika terdapat perubahan
pada bentuk polanya maka tidak lagi disebut batik
Sawat Pengantin.
14Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
76
Motif terakhir yang penulis teliti adalah motif
batik Paksi Naga Liman.Motif ini merupakan salah satu
motif batik keraton yang dipakai oleh abdi dalam
keraton.Motif batik ini diadopsi dari kereta Paksi Naga
Liman yang merupakan kendaraan Sultan Cirebon pada
zaman dulu.Paksi Naga Liman merupakan lambang
kekuatan kerajaan Cirebon yang dimana Paksi
melabangkan udara, Naga melambangkan laut dan
Liman melambangkan darat.
Gambar 4.7
1. Sign, Signifier, Signified
Sign Signifier Signified
Motif batik
Paksi Naga
Liman
Nampak sebuah
kereta yang
ditarik oleh
binatang fiksi
Cirebon, yaitu
Paksi Naga
Liman atau
Paksi naga liman
adalah binatang
fiksi yang
melambangkan
kekuatan kerajaan
Cirebon. Paksi
atau burung
77
Garuda
diwakilkan
dengan sayap,
Naga
diwakilkan
dengan tubuh
dan Gajah
diwakilkan
dengan kepala
yang saling
berhadapan di
antara gapura
khas keraton.
Selain itu
terdapat motif
karang di bawah
kereta.
Garuda bermakna
kekuatan udara,
Naga merupakan
simbol kekuatan
air atau laut
kemudian Liman
atau Gajah adalah
kekuatan daratan.
Tabel 4.5
2. Langue dan Parole
Motif batik Paksi Naga Liman merupakan
motif yang menggambarkan kereta kencana atau
kendaraan Sultan kerajaan Islam Cirebon.Paksi
Naga Liman sendiri adalah binatang fiksi yang ada
di Cirebon.Setiap binatang tersebut melambangkan
suatu kekuatan.Nama Paksi Naga Liman sendiri
sangat populer di kalangan masyarakat Cirebon
78
sebagai salah satu bukti peninggalan sejarah
kerajaan Islam di Cirebon.
“Paksi Naga Liman sudah terkenal di
masyarakat Cirebon, sebab sering
dipamerkan di acara-acara syukuran, ider-
ideran atau arak-arakan terus bisa dilihat di
musium keraton.Paksi Naga Liman
sebenernya binatang mitos gabungan Garuda,
Ular Naga terus Gajah.”15
Binatang Paksi Naga Liman sendiri
memiliki makna kekuatan kerajaan Islam
Cirebon.Paksi atau burung Garuda dengan
sayapnya melambangkan kekuatan udara kerajaan.
Kemudian Naga dengan tubuhnya memiliki makna
kekuatan tempur laut dan terakhir Liman atau
Gajah dengan kepala mendongak ke atas yang
memegang tombak memiliki makna kekuatan
perang di darat, hal tersebut dikarenakan Gajah
dianggap sebagai salah satu binatang terkuat yang
ada di daratan. Selain itu, tombak yang dipegang
belalai gajah berarti seorang pemimpin yang
mempunyai integritas atau tujuan yang jelas bagi
masyarakatnya.
“Paksi itu burung Garuda yang dipercaya
sebagai penguasa langit, Naga berarti
penguasa laut terus Liman Gajah makhluk
atau binatang kuat di darat.Nah tombak
yang ada di Gajah berarti pemimpin atau
15Wawancara bersama Mak Ung, (Pengrajin Batik dan Budayawan di
Kali Tengah, Kabupaten Cirebon) pada Minggu, 31 Maret 2019.
79
80
81
Paradigmatik Sintagmatik
Garuda, Naga, Gajah Simbol kekuatan
kerajaan Islam Cirebon Elang, Kobra, Singa
Tabel 4.6
Sayap dalam Paksi Naga Liman dipercaya
sebagai sayap burung Garuda yang merupakan
simbol negara Indonesia, kemudian Naga yang
menjadi tubuh merupakan binatang mitologi yang
menjaga laut dan kepala Gajah yang belalainya
memegang tombak. Tiga binatang tersebut tidak
dapat dipisahkan atau digantikan dengan binatang-
binatang lain walaupun jenisnya sama karena sudah
melekat di kepala masyarakat Cirebon.
B. Struktur Luar (Surface Structure) Motif Batik
Cirebonan
1. Sejarah Motif Batik Cirebonan
Lahirnya beragam kesenian masyarakat Cirebon
tidak lepas dari letak Cirebon yang strategis dengan
adanya pelabuhan Muara Jati yang berdiri pada awal
Abad ke-16. Pelabuhan tersebut menjadi tempat
singgah dan menetap bagi para pedagang dari China,
India, dan Arab. Kondisi tersebut kemudian
melahirkan berbagai akulturasi, khususnya dalam
bidang kesenian. Salah satu kesenian yang mendapat
82
83
84
85
86
87
Melihat sejarah atau mitologinya, Gajah merupakan
salah satu hewan yang sering digunakan sebagai dalam
kendaraan dalam peperangan. Sehingga dalam motif batik
Paksi Naga Liman, Gajah memiliki makna sebagai
penjaga alam bawah atau bumi dari kejahatan selain itu,
Gajah juga bermakna bahwa seorang pemimpin harus
memiliki kesabaran dan selalu mengayomi.
Gambar 4.15
Hewan kedua mahluk mitologi Paksi Naga Liman
adalah Ular Naga. Dalam Paksi Naga Liman bentuk Ular
Naga bisa dilihat pada tubuh hewan tersebut. Ular Naga
dalam mitologi Hindu yang terdapat dalam cerita
Mahabrata dipercayai sebagai peguasa dunia bawah atau
air. Sedangkan menurut kepercayaan masyarakat
Indonesia sebelum Hindu mempercayai Naga sebagai
mahluk yang memberikan kesuburan dalam bidang
pertanian. Kesuburan tersebut diperoleh dari ketersediaan
air yang dikuasai oleh Naga untuk sawah.
88
Gambar 4.16
Liman atau Burung Garuda merupakan sayap dalam
mahluk mitologi Paksi Naga Liman. Sayap tersebut
merupakan perwujudan dari dunia atas atau langit. Dalam
mitologi Hindu, Garuda merupakan perwujudan setengah
manusia dan setengah burung yang menjadi Raja bagi
para burung. Garuda dipuja karena sering disebut sebagai
perwujudan Dewa Api karena sinarnya yang terang.
Dalam kitab Ramayana, Garuda diceritakan membantu
Rama ketika mencari Shinta yang pada saat itu diculik
oleh Rahwana. Di Indonesia sendiri Garuda dijadikan
sebagai simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Burung Garuda
memiliki filosofi agar bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang besar dan kuat. Hal tersebut bertujuan untuk
memberitahu kepada masyarakat, bahwa Indonesia harus
menjadi negara yang maju dan selalu jaya.
89
2. Tradisi Batik Cirebonan
Sebagai warisan leluhur, batik menjadi kesenian
wajib bagi mayarakat Cirebon. Upaya melestarikan batik
sendiri masih terjaga dengan adanya pusat kesenian batik
Cirebon di daerah Trusmi. Tradisi membatik di daerah
Trusmi sendiri bermula pada abad ke-16 dimana pada saat
itu Sunan Gunung Jati bersama muridnya Ki Gede Trusmi
menyebarkan agam Islam di wilayah Trusmi. Saat itu
batik menjadi salah satu komoditi perekonomian kerajaan
Islam Cirebon.
Pada masa kejayaan kerajaan Islam Cirebon batik
hanya digunakan oleh para Abdi Dalam Keraton dan para
santri. Seperti motif Mega Mendung yang sampai saat ini
masih menjadi ikon di Cirebon. Hal tersebut dapat dilihat
dari berbagai ornamen-ornamen yang terdapat di sekitar
Keraton. Adapun motif Sawat Pengantin yang dahulu
hanya digunakan saat diselenggarakannya pernikahan-
pernikahan dan motif Paksi Naga Liman yang diadopsi
dari kereta kencana atau kendaraan Sunan yang ditarik
oleh mahluk mitologi yang menjadi salah satu motif batik
keratonan. Bagi masyarakat dahulu batik merupakan
komoditi yang langka karena keberadaannya hanya
terdapat di lingkungan keraton.
Namun setelah sepeninggalan Sunan Gunung Jati,
kesenian membatik tidak hanya dilakukan oleh para Abdi
Dalam Keraton atau santri tetapi masyarakat umum juga
dapat memproduksi batik sendiri. Faktor perekonomian
90
Keraton yang tidak stabil mengakibatkan para masyarakat
harus mulai hidup mandiri dengan membatik dan dijual
kepada Keraton untuk dijual lagi kepada para pedagang
asing yang sedang berlabuh di Cirebon. Sampai saat ini
batik masih menjadi salah satu komoditi masyarakat
Cirebon.
3. Aktifitas Sosial Masyarakat
Dalam perkembangannya kesenian membatik di
Cirebon mengalami berbagai hambatan, salah satunya
adalah kurangnya generasi muda yang bisa membuat batik
tulis. Hal tersebut menjadi kekhawatiran akan kelestarian
batik Cirebonan. Selain itu kemajuan teknologi menjadi
faktor yang sangat berpengaruh untuk kelestarian batik
tulis karena dengan adanya teknologi proses membatik
menjadi lebih cepat dan instan sehingga mempengaruhi
harga dan kualitasnya. Berbeda dengan batik tulis yang
proses pembuatannya membutuhkan waktu lama karena
dikerjakan dengan cara manual.
Namun sejak ditetapkannya batik sebagai warisan
budaya oleh UNESCO para pengusaha batik turut
melestarikan kesenian membatik dengan cara
mengundang para pelajar dari mulai TK, SD, SMP, dan
SMA untuk belajar membuat batik tulis. Kegiatan tersebut
diharapkan menjadi salah satu upaya agar generasi muda
di Cirebon bisa menjaga keberadaan batik tulis. Upaya
lain dari proses pelestarian batik adalah setiap tanggal 2
Oktober pemerintah atau pengusaha batik mengadakan
91
acara berbentuk festival batik yang bertujuan agar batik
lebih dikenal dan dicintai oleh masyarakat. Selain itu di
tanggal yang sama seluruh instansi di Cirebon
mewajibkan anggotanya untuk menggunakan batik.
Adapun upaya pelestarian batik yang dilakukan
oleh masyarakat Cirebon adalah dengan menjadikan batik
sebagai pakaian formal saat menghadiri acara-acara
seperti pernikahan, pemakaman, pertemuan orang tua
murid sekolah dengan para guru dan lain-lain. Upaya-
upaya yang dilakukan masyarakat tersebut bertujuan
supaya keberadaan batik tidak tergerus oleh
perkembangan fashion yang mengikuti perkembangan
zaman.
C. Estetika Islam Dalam Motif Batik Cirebonan
Batik merupakan karya seni tingkat tinggi dengan
gambar berbentuk pola-pola. Dalam perkembangannya,
selain merupakan karya seni batik juga dapat dijadikan
sebagai media manusia untuk tetap mengingat kebesaran
Allah Swt. Cirebon sebagai salah satu kerajaan Islam
yang ada di wilayah pulau Jawa menjadikan batik sebagai
media silaturahmi antar masyarakat dengan keluarga
keraton. Maka dari itu, sampai saat ini para pengrajin
batik tetap menjaga eksistensi batik dan menjaga
kelestariannya.
Melihat hal tersebut, penulis melihat batik bukan
hanya sekedar komoditas yang diperjual belikan,
melainkan terdapat makna yang dalam. Tingginya estetika
92
yang terkandung membuat batik banyak digemari oleh
masyarakat, khususnya di Indonesia. Ismail Raji Al-
Faruqi mengatakan setiap kesenian atau estetika Islam
harus selalu dilandasi dengan pernyataan kalimat tauhid.
Dalam bukunya, Seni Tauhid, Ismail menyebut terdapat
enam karakteristik estetika dalam Islam. Maka dari itu,
dalam bagian ini penulis akan menganalisis motif batik
Cirebonan sesuai dengan karakteristik yang disebutkan
oleh Ismail Raji Al-Faruqi.
1. Abstraksi
Seperti yang sudah dituliskan di atas, motif
batik Mega Mendung memiliki banyak makna,
salah satunya ialah agar pemakainya dapat selalu
mengingat keesaan Allah SWT. Pola awan sebagai
pola utama menggambarkan dunia atas yang di
mana masyarakat percaya bahwa dunia atas adalah
tempat di mana Allah SWT bersemanyam. Dalam
Al-qur’an surat At-Thaha ayat 5 terdapat ayat yang
mengatakan bahwa Allah SWT berada di atas
Arsy.
وى ت رش اس ع ل ى ا ل ع الرهح Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.17
Sama halnya dengan motif batik Mega
Mendung, motif batik Sawat Pengantin juga
17Assobar, “Al-Qur’an dan Tejemahannya,” h. 312.
93
memiliki makna yang mengingatkan manusia
kepada Allah SWT. Motif batik Sawat memiliki
makna pengharapan seorang pengantin agar
kehidupan berkeluarganya diberi perlindungan
oleh Allah SWT. Dalam motif batik Sawat
Pengantin, perlindungan tersebut ditandai dengan
gambar pohon. Selain itu, dalam motif tersebut
terdapat gambar sayap yang memiliki makna,
bahwa setiap harapan dan do’a yang keluar
akanlangsung menuju ke atas atau langsung
sampai kepada Allah SWT.
Al-qur’an menjelaskan hal tersebut dalam
surat Al-A’raf ayat 55, berikut bunyi suratnya;
نهه ل يب ة إ ي ف ا وخ رع ض م ت وا ربهن ع اد
ي د ت ع م ال Artinya: Berdo’alah kepada Tuhanmu
dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.18
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
menyeru kepada manusia agar selalu berdo’a atau
memohon hanya kepada-Nya dengan kerendahan
hati dan suara yang lemah lembut dengan kata lain
18Assobar, “Al-Qur’an dan Tejemahannya,” h. 157.
94
seseorang harus berdo’a dengan perasaan pasrah
dan takut do’a tersebut tidak diterima Allah SWT.
Motif terakhir adalah motif Paksi Naga
Liman yang merupakan batik keratonan. Motif
batik ini memiliki pola utama binatang fiksi yang
menarik sebuah kereta Sultan kerajaan Islam
Cirebon. Sebagai binatang fiksi, tentu Paksi Naga
Liman memberikan makna bagi seorang pemimpin
atau manusia agar menjadi manusia yang berbuat
baik dan dapat membawa perubahan. Seperti
dalam Al-qur’an surat Al-Ankabut ayat 69 yang
menjelaskan bahwa Allah selalu bersama orang-
orang yang selalu berbuat baik.
ا ن ل ب م س ه ن ه ي د ه ن ا ل ين وا ف د اه ي ج والهذ
ي ن س ح م ل ع ا م نه الله ل وإ Artinya: Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.19
19Assobar, “Al-Qur’an dan Tejemahannya,” h. 404.
95
2. Struktur Modular
Struktur modular menjelaskan bahwa karya
seni Islam tersusun atas kombinasi-kombinasi
kecil yang membentuk satu kesatuan. Dalam motif
batik Cirebonan, pola-pola yang ada di dalam
batiknya saling sambung menyambung. hal
tersebut menjelaskan adanya kesatuan makna
dalam batik tersebut.
3. Kombinasi Suksesif
Dalam estetika Islam, kombinasi suksesif
menjelaskan adanya pola yang berkelanjutan.
Walaupun terdapat pola-pola baru atau tambahan,
tapi tidak merubah makna utama atau makna dari
pola dasarnya.
Dalam motif batik Mega Mendung,
perkembangan dunia fashion mengharuskan
adanya modifikasi atau penambahan-penambahan
pola baru seperti penambahan pola kupu-kupu
ataupun daun-daunan. Akan tetapi, masyarakat
pada umumnya akan melihat batik tersebut tetap
sebagai motif batik mega mendung.
4. Repetisi
Pengulangan atau repetisi memiliki tujuan
sebagai penegasan akan makna-makna yang
terkandung dalam setiap pola. Dalam motif batik
Cirebonan, repetisi terdapat pada adanya pola yang
diulang-ulang dengan maksud sebagai penegasan
96
akan makna yang terkandung di dalamnya. Selain
itu, pengulangan akan menghasilkan nilai seni
yang tinggi sehingga dapat menaikan harga jual
dari batik tersebut.
Dalam motif batik Mega Mendung,
pengulangan pola awan akan menegaskan kepada
pemakainya agar di setiap waktunya seseorang
mengingat Allah SWT. Kemudian, dalam batik
Sawat Pengantin pengulangan pola pohon, sayap
dan garis persegi memiliki makna bahwa sebagai
manusia harus selalu memohon atau berdo’a hanya
kepada Allah agar diberikan perlindungan.
Terakhir motif batik Paksi Naga Liman yang
diulang-ulang diharapkan manusia agar selalu
berbuat baik dan bertanggung jawab atas
perbuatannya.
5. Dinamisme
Seiring perkembangan waktu, industri
batik selalu mengalami berbagai inovasi. Hal
tersebut bertujuan agar seni batik tetap dapat
dinikmati oleh setiap orang dari berbagai
golongan. Selain perkembangan dalam bidang
mode atau fungsinya, batik juga mengalami
berbagai perubahan dalam bidang motifnya.
Dalam motif batik Mega Mendung, saat ini
terdapat berbagai macam variasi atau penambahan-
penambahan pola sesuai dengan selera pasar dan
97
kebutuhan konsumen. Berbeda dengan motif batik
Mega Mendung, motif batik Sawat Pengantin tidak
banyak mengalami perubahan. Perubahan dalam
motif Sawat Pengantin hanya terdapat dalah hal
pewarnaan. Perubahan dan perkembangan juga
terlihat dari motif batik Paksi Naga Liman yang
dimana saat ini banyak terdapat pecampuran antara
batik Paksi Naga Liman dengan motif batik Singa
Barong atau motif batik Paksi Naga Liman dengan
motif Mega Mendung dalam satu kain batik.
Seperti yang dijelaskan di atas, walaupun terdapat
penambahan-penambahan polatidak berarti
merubah makna dari pola utama batik tersebut.
6. Kerumitan
Batik merupakan karya seni yang memiliki
nilai tinggi baik dari aspek penjualan maupun
pemaknaan. Nilai yang tinggi tersebut dikarenakan
adanya pola-pola yang tidak semua orang bisa
membuatnya. Pola-pola yang rumit ini
mengharuskan para penikmat karya seni ataupun
seseorang berfikir secara mendalam untuk
memahami pesan yang hendak disampaikan dalam
setiap polanya. Dalam hal pembuatannya pun
mengharuskan seseorang pembatik memiliki
konsentrasi yang tinggi agar batik yang
dihasilkannya berkualitas.
98
Motif batik Mega Mendung memiliki pola
yang sederhana, akan tetapi untuk menghasilkan
batik yang berkualitas tinggi dengan pola-pola
yang saling berhubungan, pembatik harus tetap
memiliki konsentrasi dan konsisten agar tidak
banyak terjadi kesalahan dalam menggambar pola
dan ukuran setiap polanya. Berbeda dengan motif
batik Sawat Pengantin yang memiliki tingkat
kerumitan yang tinggi, karena dalam motif Sawat
Pengantin terdapat banyak pola-pola yang harus
saling berkaitan. Karena memiliki tingkat
kerumitan yang tinggi, tidak semua pembatik di
Cirebon bisa membuat motif Sawat Pengantin.
Motif selanjutnya adalah motif Paksi Naga Liman
yang merupakan hasil adopsi dari kereta atau
kendaraan Sultan kerajaan Islam Ciebon. Motif
batik Paksi Naga Liman adalah salah satu motif
batik yang memiliki tingkat kerumitan tinggi.
Motif ini menggambarkan sebuah kereta Paksi
Naga Liman yang sedang berhadapan, maka dari
itu pembatik merasa kesulitan karena harus
menyamakan ukuran motif Paksi Naga Liman
yang saling berhadapan.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh peneliti,
maka dapat disimpulkan bahwa dalam motif batik
Cirebonan terdapat estetika Islam yang terkandung di
dalamnya. Kesimpulan tersebut berdasarkan analisis dari
teori strukturalisme Ferdinand de Saussure yang terbagi
menjadi dua, yaitu struktur dalam dan struktur luar, serta
analisis estetika Islam dari Ismail Raji Al-Faruqi. Adapun
kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah, antara lain:
1. Struktur Dalam (deep structure) Motif Batik
Cirebonan
Motif batik merupakan salah satu karya
seni yang memiliki nilai tinggi karena di setiap
polanya memiliki makna yang dalam. Adapun
makna dan estetika Islam yang terkandung dalam
motif batik Cirebonan, seperti Mega Mendung
yang memberikan pesan kepada manusia agar
selalu mengingat Allah SWT karena dalam motif
tersebut terdapat pola awan yang menggambarkan
dunia atas tempat Allah bersemayam. Sama halnya
dengan motif mega mendung, motif sawat
pengantin mengandung makna yang dalam,
khususnya bagi para pengantin atau masyarakat
pada umumnya agar selalu berdo’a dan memohon
segala sesuatunya kepada Allah SWT. Makna
100
tersebut digambarkan dengan pola pohon, sayap
dan garis-garis kotak. Sedangkan motif terakhir,
yaitu motif Paksi Naga Liman memiliki makna
yang diwakilkan oleh mahluk fiksi Paksi yang
berarti Burung Garuda sebagai perwujudan dunia
atas, kemudian Naga sebagai perwujudan dunia air
dan Liman atau Gajah sebagai perwujudan dunia
bawah atau tanah. Selain itu, Paksi Naga Liman
dahulu dipercaya oleh masyarakat Cirebon sebagai
mahluk yang menjaga kerajaan Islam Cirebon dari
para penjajah.
2. Struktur Luar (surface structure) Motif Batik
Cirebonan
Dalam sejarahnya, motif batik Cirebonan tidak
terlepas dari pengaruh budaya luar, seperti Hindu dan
China. Hal tersebut tidak lepas dari sejarah Cirebon
sebagai daerah transit para pedagang dari dalam dan
luar negeri. Pengaruh budaya asing pada motif batik
Cirebonan dapat dilihat pada motif batik Mega
Mendung yang terinspirasi dari motif-motif atau
hiasan awan yang terdapat pada ornamen-ornamen
kerajaan China dinasti Ming. Selain motif batik Mega
Mendung, batik lain yang mendapatkan pengaruh
budaya asing adalah motif batik Paksi Naga Liman.
Motif batik tersebut terinspirasi dari kereta kencana
yang ditarik oleh hewan fiksi, yaitu Paksi atau Gajah,
Naga atau Ular Naga, dan Liman atau Burung Garuda.
Hewan-hewan tersebut merupakan hewan yang banyak
101
ditemui dalam cerita umat Hindu, baik di India maupun
di Indonesia. Selain itu, pengaruh dari Sunan Gunung
Jati yang menyebarkan agama Islam dan menjadikan
Cirebon sebagai kerajaan Islam berhasil menjadikan
Cirebon menjadi daerah yang banyak melahirkan
kesenian salah satunya batik.
Sebagai warisan budaya yang diakui oleh
UNESCO, batik menjadi identitas baru bagi
masyarakat Cirebon. Maka dari itu setiap masyarakat
atau instansi di Cirebon harus terlibat aktif dalam
upaya melestarikan dan menjaga agar batik bisa
bertahan dari penrkembangan zaman. Dalam
perkembangannya, industri atau motif batik banyak
mengalami perubahan-perubahan. Perubahan tersebut
terdapat dalam penambahan pola baru sebagai penghias
pola utama dan dalam aspek pewarnaannya. Akan
tetapi, penambahan tersebut tidak berarti merubah
makna yang terkandung dalam motif batiknya.
3. Estetika Islam Dalam Motif Batik Cirebonan
Melihat sejarah batik yang tidak lepas dari
kejayaan kerajaan Islam Cirebon maka tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam setiap motifnya memiliki
nilai-nilai yang Islami. Hal tersebut bisa dilihat dari
motif batik Mega Mendung yang mengajarkan
seseorang agar selalu memohon hanya pada Allah Swt.
Selain itu, motif ini juga memberikan pesan kepada
manusia agar tidak larut dalam kesedihan karena masih
ada Tuhan. Selanjutnya motif batik Sawat Pengantin
yang mengajarkan para pengantin untuk selalu
102
mengirimkan do’a atau harapan dan memohon
keberkahan hanya kepada Allah Swt. Motif terakhir
adalah motif Paksi Naga Liman yang terinspirasi dari
kendaraan yang digunakan oleh Sunan Gunung Jati.
Selain makna yang terkandung di dalamnya
dari setiap motif batik Cirebonan memiliki berbagai
kombinasi. Hal tersebut dikarenakan tuntutan dunia
mode yang mengharuskan batik bersaing dengan
pakaian-pakaian yang lebih modern. Adapun proses
pembuatan batik yang setiap polanya memiliki
kerumitan menjadikan tantangan sendiri bagi para
pengrajin batik untuk selalu mengedepankan kualitas
batik.
B. Saran
Selain mendapati kesimpulan dari hasil analisis
penelitian, penulis juga memiliki beberapa saran-saran,
diantaranya:
Pertama, kepada para pembaca dan masyarakat.
Batik merupakan warisan budaya tak benda yang
ditetapkan oleh UNESCO, maka untuk menjaga warisan
luhur tersebut masyarakat khususnya generasi muda harus
sadar dan turut berperan untuk kelestariannya. Adapun
contoh peran generasi muda atau masyarakat untuk
menjaga kelestarian batik adalah dengan mempelajari,
baik mempelajari proses pembuatannya maupun
mempelajari makna yang terkandung dalam setiap
polanya.
103
Kedua, kepada para pengrajin dan pengusaha
batik. Perkembangan teknologi menjadi salah satu momok
tersendiri bagi pengrajin batik. Adanya teknologi tersebut
dapat memudahkan pengusaha batik memproduksi batik
dengan cepat menggunakan metode printing. Akan tetapi
adanya batik hasil print dapat mengurangi nilai seni dalam
batik tersebut karena pembuatannya tidak melalui proses
olah tangan manusia dalam pembuatan polanya. Selain
itu, adanya teknologi tersebut membuat pengrajin batik
tulis semakin berkurang keberadaannya. Untuk
mengimbangi kemajuan zaman, para pengrajin batik harus
selalu melakukan inovasi baik dari segi pola batik maupun
fungsinya. Dalam bidang fashion, seseorang desainer
harus mampu membuat inovasi atau model-model pakaian
berbahan batik agar batik dapat dinikmati oleh seluruh
kalangan manusia.
104
105
DAFTAR PUSTAKA
Adeng. Batik: Warisan Adiluhung Nusantara. Jogjakarta: Andi
Publisher, 2011.
Al-Faruqi, Ismail Raji. Seni Tauhid. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1999.
Al-Fayyadl, Muhammad. DERRIDA. Yogyakarta: Lkis, 2012.
Assobar. Al-Qur’an dan Tejemahannya. Jakarta: Pustaka
Al-Mubin
Barthes Roland. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Branston, Gill & Stafford, Roy. The Media Student’s Book.
Wolverhampton: St. Edmundsbury Press, 2003.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Ilmi, Labib. Makna Motif Mega Mendung dan Wadasan Pada
Keraton di Cirebon. Skripsi S1 Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia, 2012.
Kridalaksana, Harimurti. Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-
1913). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Mulyana, Dedi.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010.
Musman, Asti. Batik: Warisan Adiluhung Nusantara.
Jogjakarta: Andi Publisher, 2011.
Nazir, Moh.Metode Penelitian.Bogor: Ghalia Indonesia, 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. Estetika Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
106
Rosidin, Didin Nurul.,Kerajaan Cirebon.Jakarta: Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI.
Saussure, Ferdinand de. Pengantar Linguistik Umum, terj.
Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, cet. III 1996.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012.
Sulistiyana, Ivan. 2013. Skripsi. Tasawuf dan Perubahan Sosial
di Cirebon; Kontribusi Tarekat Syattariyah terhadap
Perkembangan Institusi Keraton, Pondok Pesantren dan
Industri Batik. Jakarta: UIN Syarif Hidyatullah.
Thompson, John B. Kritik Ideologi Global. Yogyakarta:
IRCiSoD, 2015.
Widada, Rh. Saussure Untuk Sastra. Yogyakarta: Jalasutra,
2009.
Referensi Internet
Surya. “Batik Indonesia Resmi Diakui UNESCO.” Artikel
diakses Minggu, 27 November 2016, pukul 15.21 WIB.
Dari http://www.antaranews.com/berita/156389/batik-
indonesia-resmi-diakui-unesco/,
Wulansari, Dewi. “Makna Batik Mega Mendung Sebagai Simbol
Budaya Cirebon.” Artikel diakses Senin, 7 Januari 2019,
pukul 20.01 WIB. Dari http:// pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2017/01/Dewi-Wulansari.pdf
Transkip wawancara
Nama Informan:
Ibu Hj. Ulfiah (Pengrajin batik dan Budayawan)
Waktu dan Tempat:
Rumah produksi batik tulis, kelurahan Kalitengah, kecamatn
Tengah Tani, kabupaten Cirebon, Minggu, 31 Maret 2019.
Sudah berapa lama Mak membatik?
Sudah lama sih pas waktu SD udah diajarin ngebatik
sama orang tua.
Motif batik apa saja yang pernah Mak buat?
Banyak Mas. Macem-macem pokoknya mah
tergantung pesanan.
Apakah Mak mengetahui motif batik mega mendung dan
seperti apa motif tersebut?
Iya pasti tau lah Mas. Mega mendung itu awan, jadi awal
membuat motif mega mendung itu gambar awan. Pembatik yang
menggambar mega mendung terus gak ada gambar awan berarti
namanya bukan mega mendung. Jadi gambar awan ya wajib ada
Bisa anda ceritakan sejarah motif tersebut?
Sejarae sih gak tau banyak, tapi kalo cerita-cerita
orang tua mega mendung asale sing China. Kan dulu Kanjeng
Sunan Gunung Jati pernah nikah sama putri Ong Tien terus
seserahane barang-barang kaya guci, piring terus kain yang
banyak gambar awannya. Tapi sejarah benere sih gak tau
Mas.
Apa saja nilai dan Pesan yang terkandung dalam motif
tersebut?
Nilai apa Mas? Misal nilai jual ya pasti ada, tapi
misalkan maknae mega mendung iku banyak, misal pemimpin
harus sering ngasih bawahan atau masyarakat perlindungan
dan kenyamanan. Terus warna biru diartinang sifat maskulin
yang bijaksana. Mega mendung ngajaraken seseorang yang
sedih jangan sampe larut sedih. Harus nyikapi kesedihan
dengan ketenangan kaya awan mendung yang memberikan
hawa sejuk. Mega mendung iku mengajarkan setiap manusia agar
terus mengingat yang di atas, yaitu Allah. Meminta, memohon terus
berdoa hanya pada Allah, sebab Allah yang nyiptaknang langit,
bumi dan seisinya. Gampanya kaya gini mega mendung iku wis
dadi nyawane wong Cirebon. Sebab ning sejarae Sunan
Gunung Jati seng wis jadinang Cirebon kerajaan Islam terus
santri atawa muride pada ngelakoni kesenian ngebatik. Nah,
batik mega mendung duwe maksud bari kita para menusa
kudu jejaluk ning Gusti Allah.
Terus Mak Ung apakah Mak Ung mengetahui motif batik
Sawat pengantin?
Oh sawat penganten, iyah motif khas Cerbon sama
kaya mega mendung.
Bisa diceritakan sejarah dan perkembangan motif
tersebut?
Duh sejarah lagi. Kalo sawat penganten gak terlalu tau
sejarae Mas soale batik sawat penganten atau Mas nyebut sawat
pengantin itu batike para abdi dalem keraton. Batik sawat itu batik
langka, terus cuma bisa dilihat oleh masyarakat umum misal ada
nikahan yang pengantennya menggunakan kemben batik sawat
pengantin.
Gambar motif sawat penganten tidak berubah, tidak ada tambahan-
tambahan gambar. Misalkan dirubah berarti mengganti makna dan
namanya bukan sawat pengantin lagi. Terus perubahan lain itu di
pewarnaan Mas. Dulu warna sawat penganten coklat dan putih
terus sekarang banyak variasi, misal coklat dan hitam atau coklat
tambah kuning.
Apa saja pesan dan unsur-unsur yang membentuk motif
tersebut?
Batik sawat penganten itu punya tiga gambar utama. Ada pohon
terus elar atau sayap terus gars kotak-kotak. Pohon gambarnang
perlindungan soale rimbun terus kokoh, sayap itu nerbangin
harapan do’a yang kesebut terakhir garis-garis itu keseimbangan.
Pesan apa saja yang terkandung dalam motif tersebut
bagi pasangan pengantin?
Jamannya udah berubah. Udah jarang penganten yang mau make
pakaian adat, khususnya batik motif sawat. Udah pada milin gaun-
gaun modern yang lebih bagus. Apakah Mak Ung mengetahui
motif batik Paksi Naga Liman?
Batik Paksi iyah batike abdi dalam keraton sama kaya
motif singa barong.
Bisa Mak Ung ceritakan sejarah dan perkembangan motif
tersebut?
Sejarah motif batiknya ya paling gak jauh beda sama kereta
kencana Paksi Naga Liman yang dulu dipakai Kanjeng Sultan.
Paksi Naga Liman sudah terkenal di masyarakat Cirebon, sebab
sering dipamerkan di acara-acara syukuran, ider-ideran atau arak-
arakan terus bisa dilihat di musium keraton. Paksi Naga Liman
sebenernya binatang mitos gabungan Garuda, Ular Naga terus
Gajah. Nah mungkin para abdi dalem keraton ngambil inspirasi
batik Paksi dari kereta kencana Paksi.
Pesan-pesan apa saja yang ada pada motif batik tersebut?
Pesan-pesane ya paling artie aa di tiga mahluke Mas.
Misal Paksi itu burung Garuda yang dipercaya sebagai penguasa
langit, Naga berarti penguasa laut terus Liman Gajah makhluk atau
binatang kuat di darat. Nah tombak yang ada di Gajah berarti
pemimpin atau Sultan harus punya tujuan jelas dan berpendirian
tegas.
Mengetahui,
Pengrajin Batik Tulis
Ibu Hj. Ulfiah
Nama Informan:
Ibu Hj. Ade Ervina (Pengusaha Batik Tulis Rumahan)
Waktu dan Tempat:
Rumah produksi batik tulis, kelurahan Kalitengah, kecamatn
Tengah Tani, kabupaten Cirebon, Minggu, 31 Maret 2019.
Menurut Ibu bagaimana perkembangan industri batik saat
ini?
Alhamdulillah sekarang batik banyak yang nyari,
terkhusus batik Cirebon atau batik mega mendung. Dari
penjualan juga ada peningkatan gak kaya dulu-dulu yang masih
susah. Apalagi kan sekarang zamannya internet jadi buat
masarinnya gampang Mas.
Bagaimana cara atau strategi agar batik dapat diterima oleh
masyarakat luas?
Strateginya dengan cara mengajarkan anak-anak kalo
batik itu warisan nenek moyang yang harus dijaga. Mangkanya
di Cirebon setiap sekolah atau dinas-dinas biasaya hari rabu atau
kamis wajib memakai seragam batik. Terus dari pengrajin juga
harus selalu punya ide buat motif-motif batiknya agar pembeli
tidak bosan dengan motif batik yang itu-itu saja. Tapi masih
banyak juga yang nganggep batik itu kuno.
Apa perbedaan antara batik tulis, batik cap sama batik
printing?
Kalo batik tulis ya dibuatnya digambar atau manual,
jadi butuh waktu lama kadang sampe satu minggu atau lebih buat
nyelesain batik tulis ukuran 200X100 senti tergantung ruwet atau
rumitnya motif. Jadi semakin rumit semakin mahal harga
jualnya. Kalo batik cap biasanya buat batik-batik konteporer
kaya motif kotak-kotak. Nah batik tulis gambarnya make canting
kalo cap ya dicap kaya orang nyetempel. Misal batik printing itu
emang enak dan gampang, bisa ngirit waktu pembuatan. Tapi
kualiatasnya gak bagus jadi walaupun rapih terus warnanya
banyak tapi cepet luntur. Mangkanya pas dijual harganya murah
soalnya gak ada nilai seninya gak kaya batik tulis.
Apa faktor penghambat dalam proses pemasaran batik?
Faktor penghambat ya paling persaingan bisnis antara
pengusaha batik, terus dari model-model harus bersaing sama
pakaian-pakaian yang ngikutin budaya Barat. Tapi sekarang kan
batik sudah jadi warisan budaya jadi banyak yang nyari-nyari.
Batik juga sering disertakan di pameran-pameran fashion
internasional dan biasanya motif mega mendung yang
dipamerkan.
Apa harapan Ibu ke depannya terhadap batik?
Harapannya sih semoga batik tetap bertahan dan terus
dan jangan sampai punah. Batik juga diharap bisa nyaingin
pakaian model ke Barat-baratan jadi bisa diterima masyarakat.
Apalagi sekarang sekarang jaman udah maju. Jadi produksi batik
juga harus maju nyesuain kebutuhan pasar atau keinginan pembeli.
Terus supaya lebih menarik aja biar pembeli gak bosan sama motif
batik yang itu-itu aja. Mangkanya harus terus ada inovasi mau itu motif
lama atau motif-motif baru. Intinya batik bisa terus dipakai karena kan
itu warisan budaya.
Mengetahui,
Pengusaha Batik Rumah Cirebon
Ibu Hj. Ade Ervina
Dokumentasi
Gambar 1. Saat penulis sedang melakukan proses wawancara dengan Ibu Hj.
Ade Ervina.
Gambar 2. Foto bersama Ibu Hj.Ade Ervina di Rumah Produksi Batik
Gambar 3. Penulis melihat langsung pembuatan pola batik tulis
Gambar 4. Seorang pengrajin sedang membuat batik dengan metode cap
Gambar 5. Penulis bersama Mak Ung yang sedang membat batik tulis
Gambar 6. Terlihat Mak Ung sedang mengambil malam cair dengan canting
Gambar 7. Bentuk canting atau alat pembuat motif batik
Gambar 8. Wajan dengan cairan pewarna untuk batik
Gambar 9. Proses pewarnaan pada kain batik
Gambar 10. Salah satu pembatik sedang melakukan pewarnaan pola
top related