advokasi berbasis hak di industri ekstraktif

43

Upload: publish-what-you-pay-pwyp-indonesia

Post on 16-Apr-2017

314 views

Category:

Government & Nonprofit


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

sampul Advokasi Industri Ekstratif.indd 1sampul Advokasi Industri Ekstratif.indd 1 10/11/2015 14:43:1910/11/2015 14:43:19

Page 2: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:Bingkai dan Pengalaman dari Negara-Negara Asia Tenggara

Pius GintingMeliana LumbantoruanRonald Allan Barnacha

Page 3: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

ii

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

ISBN : 978-602-72039-8-3

Penulis

Pius GintingKepala Unit Kajian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Meliana Lumbantoruan.Manajer Riset dan Pengetahuan, Publish What You Pay Indonesia

Ronald Allan BarnachaStaf advokasi, Philippines Rural Reconstruction Movement (PRRM)

Peninjau

Christina HillKoordinator advokasi pertambangan, Oxfam Australia

Maryati AbdullahKoordinator Nasional, Publish What You Pay Indonesia

Hak cipta dilindungiEdisi Pertama, 2015

Makalah ini diterbitkan oleh Yayasan Transparasi Sumberdaya Ekstraktif-Publish What You Pay Indonesia, dengan dukungan dari Natural Resource Governance Institute, United Stated Agency for International Development (USAID). Isi makalah adalah tanggung jawab Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan tidak serta-merta mencerminkan pandangan USAID, pemerintah Amerika Serikat, atau Natural Resource Governance Institute (NRGI).

Publish What You Pay IndonesiaJl. Tebet Utara 2C No.22B, Jakarta Selatan 12810, IndonesiaTelp/Fax :+62-21-8355560 | E: [email protected]

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

ii

Page 4: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

iii

Da� ar Isi

Latar Belakang ...................................................................................................................................................................... 1

Pentingnya Hak Komunitas dalam Rantai Nilai Industri Ekstraktif. ......................................................2

Pentingnya Advokasi Berbasis Hak Komunitas ..................................................................................................4

Defi nisi dan Kerangka Internasional ........................................................................................................................5

Pendekatan Berbasis Hak ..........................................................................................................................................5

Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan ..........................................................................5

FPIC dalam Kerangka Pandangan ICMM......................................................................................................... 9

Hak terhadap Informasi ........................................................................................................................................... 12

Studi Kasus dari Asia Tenggara ..................................................................................................................................14

Studi Kasus Indonesia ...............................................................................................................................................15

Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia ................................................................15

Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia ..........................................................................................................15

Peran CSO dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas ....................... 17

Studi Kasus Filipina ..................................................................................................................................................20

Kerangka Regulasi .................................................................................................................................................20

Konstitusi Filipina 1987 .......................................................................................................................................20

Undang-undang Hak Asasi Masyarakat Adat 1997 (IPRA) ................................................................21

Perkembangan Terbaru FPIC dalam Undang-Undang Filipina .................................................... 24

Bagi Hasil kepada Masyarakat Adat .............................................................................................................27

Advokasi Komunitas Berbasis Hak Terkait Operasi Industri Ekstraktif ................................. 28

Perjuangan Berlanjut: Menjunjung Hak-Hak Masyarakat Adat .................................................. 29

Peran Organisasi Masyarakat Sipil ...............................................................................................................30

Pengalaman Global ......................................................................................................................................................... 33

Studi Kasus Australia ................................................................................................................................................ 33

Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara ............... 34

Pelajaran dan Rekomendasi ........................................................................................................................................ 35

Pelajaran tentang Kerangka Regulasi ............................................................................................................... 35

Pelajaran tentang Peran CSO dan Pemberdayaan Komunitas ............................................................ 35

Pelajaran tentang Kebijakan dan Advokasi Kelembagaan .................................................................... 35

Da� ar Pustaka ................................................................................................................................................................... 37

iii

Page 5: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

iv

Kata Pengantar

Industri ekstraktif telah memainkan peran yang lebih aktif di negara-negara Asia Tenggara. Dalam hal tersebut, terdapat hak-

hak masyarakat yang harus dihormati. Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan berbasis hak asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis hak,. Dalam advokasi berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi dan dihormati dan menganggap hak asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab menggunakannya untuk menciptakan kehidupan komunitas yang konstruktif.

Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan, tingkat kandungan lokal, adanya pemantauan partisipatif yang berkeadilan dalam distribusi pendapatan dari sektor ekstraktif, dan memastikan jaminan pascatambang dengan melakukan rehabilitasi lingkungan untuk memastikan standar keamanan dan lingkungan.

Tulisan ini akan mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus dari pengalaman masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, dalam tulisan ini juga memaparkan pembelajaran dari internasional, yaitu dari Negara Australia dan Norwegia.

Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama segenap pihak yang membantu para penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Terselesaikannya tulisan ini tidak luput dari dukungan USAID, Natural Resource Governance Institute (NRGI), dan terkhusus buat Chritina Hill yang sudah mau memberikan masukan untuk isi tulisan ini, dan terkahir tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk dukungan seluruh rekan-rekan Sekretariat Nasional PWYP Indonesia.

Jakarta, Mei 2015

Maryati Abdullah

Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia

Page 6: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

1

Pendekatan berbasis hak asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis hak, biasanya diasosiasikan dengan advokasi

berbasis kebutuhan. Namun, keduanya sebetulnya dapat dibedakan. Di dalam advokasi berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi dan dihormati. Sementara itu, di dalam advokasi komunitas berbasis kebutuhan, sebuah komunitas dipandang sebagai kelompok yang berurusan dengan masalah dan butuh menjadi target tindakan karitatif. Di dalam pendekatan berbasis kebutuhan, sebuah komunitas memandang dirinya sendiri sebagai kelompok yang dirugikan dan memerlukan bantuan. Sebaliknya, pendekatan berbasis hak menganggap hak asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab menggunakannya untuk menciptakan kehidupan komunitas yang konstruktif.

Industri ekstraktif telah memainkan peran yang lebih aktif di negara-negara Asia Tenggara sebagaimana dapat dilihat dari tren data perdagangan di sektor ekstraktif. Menurut data perdagangan, ekspor dan impor intra dan ekstra ASEAN pada 2013 di sektor ekstraktif menduduki tempat kedua tertinggi di dalam total perdagangan terbesar ASEAN. Total nilai perdagangan intra dan ekstra di sektor ekstraktif per 2013 adalah US$493988 juta (nilai ekspor sebesar US$ 220166 juta dan nilai impor sebesar US$273821 juta). Andil nilai perdagangan keseluruhan sektor ekstraktif adalah 19,7% terhadap perdagangan total ASEAN.

Tren tersebut juga terjadi di Indonesia pasca krisis ekonomi 1998 sebagaimana dibuktikan

oleh peningkatan jumlah izin yang pada awalnya kurang dari 4.000 izin di dalam periode sebelum krisis menjadi 10.918 izin pada 2014.1 Nilai ekspor dari sektor ekstraktif juga mengikuti tren kenaikan dengan nilai ekspor batubara melonjak tajam hingga 600% dari hampir US$4 miliar di 2005 ke US$24 miliar di 2013 seperti ditunjukkan grafi k di bawah ini.

Gambar 1. Nilai Ekspor Tiga Komoditas Mineral

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Namun, meskipun nilai ekonominya besar, aktivitas intensif di sektor industri ekstraktif tidaklah secara otomatis memperbaiki kehidupan warga yang mendiami wilayah di sekitar lokasi pertambangan. Nyatanya, banyak wilayah pertambangan di Indonesia masih terbelakang. Misalnya, Sumbawa Barat, Mimika, Bangka Selatan, Morowali, dan Kutai Barat2. Hingga batas tertentu, faktor-faktor geografi s di daerah-daerah terpencil menimbulkan tantangan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan agar bisa mengangkat suatu wilayah dari status keterbelakangannya. Tetapi tampaknya industri

1 Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi danSumberdaya Mineral Maret 2014.

2 http://.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal

Latar Belakang

30000

25000

20000

15000

10000

5000

02005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

4,354.16,085.7 6,681.4

10,485.2 13,817.1

Export Value (US$ 000.000)

US$

000

.000 18,499.4

27,221.9 26,166.3

24,501.4

Page 7: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

2

ekstraktif justru punya andil terhadap keadaan ini karena meskipun jangka waktu operasi yang lama di daerah-daerah ini, ia tidak mampu menyejahterakan penduduk setempat.

Dalam hal pekerjaan, sektor ekstraktif hanya mempekerjakan 1.555.564 orang (1% dari jumlah seluruh pekerjaan yang ada). Angka ini relatif kecil dibandingkan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang menyerap 35% dari angkatan kerja (Badan Pusat Statistik Indonesia).Menurut Kementerian Perindustrian, dari 2009 sampai 2013 industri ini telah menciptakan sekitar 60.000 lapangan kerja.3 Sektor pertambangan menyerap lebih sedikit tenaga kerja karena industri ekstraktif bergantung pada teknologi mekanis yang tidak membutuhkan banyak orang.

Karena di bawah mekanisme pasar, warga lokal tidak secara otomatis dipekerjakan di industri ekstraktif, namun advokasi berbasis hak wajib diterapkan. Untuk mencegah keterbelakangan komunitas yang menghuni wilayah di sekeliling lokasi industri ekstraktif, konsensus untuk melakukan kegiatan-kegiatan industri ini harus lahir hanya melalui pertimbangan persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan (free informed consent). Banyak komunitas merasa putus asa dan frustrasi karena operasi industri ekstraktif di dalam ruang hidupnya. Industri ekstraktif dipandang sebagai penyebab gangguan di dalam pola kehidupan tradisional mereka, mencemari air, udara dan laut, serta memicu perampasan lahan. Mereka juga mengeluhkan bahwa industri ekstraktif memiliki kekuasaan dan sekutu yang kuat. Oleh karena itu, komunitas merasa mereka tidak memiliki harapan selain menerima dampak negatif industri ekstraktif.

Pentingnya Hak Komunitas dalam Rantai Nilai Industri Ekstraktif

Industri ekstraktif mungkin menimbulkan beragam dampak lingkungan dan sosio-ekonomi. Industri ekstraktif seharusnya berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan sehingga pengembangan industri ekstraktif seharusnya

3 http://www.pwc.com.au/asia-practice/indonesia/assets/publications/mineIndonesia-May-2013.pdf, page 28

dipandu oleh tata kelola yang kuat dan prinsip-prinsip yang transparan dari penyerapan kontrak dan lisensi, melalui operasi ladang minyak, hingga pemungutan dan penggunaan akhir dari hasil sewa. Berikut rantai nilai industri ekstraktif:

Bagan1 :Rantai Nilai Industri Ekstraktif

Sumber: E Mayorga Alba, 2009 - EI Value Chain: A comprehensive integrated approach to developing EI

Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Tahap pertama dari rantai tersebut adalah persiapan wilayah pertambangan. Perhatian utama pada tahapan ini ialah hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan “tingkat kandungan lokal” (local content) - termasuk konsultasi lokal dan penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa setempat – adalah aspek kunci di dalam industri ekstraktif. Apabila ditetapkan secara tepat, kewajiban tingkat kandungan lokal bisa meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial dan membantu mengurangi risiko proyek jangka panjang.

Pada rantai kedua, selama fase operasi, masyarakat harus berjuang untuk mendapatkan perhatian bagi isu-isu lingkungan seperti keterlibatan di dalam konsultasi awal dan praktik pemantauan partisipatif serta keadilan dalam distribusi pendapatan dari sektor ekstraktif. Kapasitas administratif dan audit serta jaminan akan adanya pelaporan publik yang regular adalah rantai ketiga. Rantai keempat ialah memastikan bahwa bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemeritah daerah ditetapkan melalui konstitusi negara ataupun perangkat hukum. Lalu rantai kelima adalah mendorong evaluasi proyek-proyek industri ekstraktif yang menyertakan estimasi dampak lingkungan dan sosialnya, dan manfaat sosio-ekonomi yang diharapkan serta keberlanjutannya dalam jangka panjang, dan

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

2

Page 8: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

3

juga menaruh perhatian pada isu-isu terkait penonaktifan ladang minyak dan gas serta tambang yang patut diperhatikan secara cermat, termasuk pemantauan pasca penutupan.

Operasi pasca penambangan dan rehabilitasi lingkungan yang rusak adalah hal krusial untuk memastikan standar keamanan dan lingkungan. Selain itu, kegiatan ekonomi pascatambang juga harus menjadi perhatian. Jika masyarakat sadar akan hak-haknya dan mampu memperjuangkan agar hal itu dipenuhi, isu-isu ini bisa ditangani dengan baik dan mereka tidak akan menjadi warga negara yang lemah dan terus berada dalam ketidakpastian seperti halnya dalam pendekatan karitatif.

Pendekatan berbasis hak di dalam industri ekstraktif vital untuk menjamin bahwa orang-orang ini bisa memperoleh dampak positif dari kehadiran industri tersebut dan ini tidak hanya dirasakan oleh segelintir elit, tetapi juga oleh seluruh komunitas. Penerapan pendekatan

berbasis hak akan mengatasi efek-efek negatif dari kegiatan industri ekstraktif, yang menghasilkan fenomena kutukan sumberdaya (resource-curse phenomenon), karena hak komunitas dilindungi, dihormati dan dipenuhi berdasarkan aturan hukum internasional dan nasional sebagaimana kebutuhannya untuk menerapkan pembangunan partisipatif.

Oleh karena, industri ekstraktif memiliki karakter yang spesifi k, membawa dampak lingkungan yang besar terhadap warga sekitarnya dan mencakup serangkaian kegiatan di bidang pertambangan/ekstraksi, maka pendekatan berbasis hak ideal diberlakukan pada setiap fase kegiatan – (1) di dalam konsensus apakah pertambangan tersebut dilakukan atau tidak; (2) selama produksi, seperti peningkatan produksi dan aspek-aspek lingkungan di seluruh proses produksi; (3) transportasi hasil tambang yang bisa menghasilkan debu sepanjang rute,; dan (4) kegiatan pasca-pertambangan. Fase-fase ini diilustrasikan di dalam gambar berikut.

Gambar 2 : Titik Krusial dalam Siklus Pertambangan bagi FPIC

Sumber:Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (diolah)

3

Page 9: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

4

Pentingnya Advokasi Berbasis Hak Komunitas

Advokasi adalah proses pemanfaatan informasi secara strategis untuk mengubah kebijakan yang mempengaruhi hidup

masyarakat yang dirugikan (disadvantaged people). Seringkali melibatkan lembaga-lembaga lobi pembangunan dan politik di belahan Utara. Keterampilan advokasi digunakan untuk menggugat kebijakan lokal, nasional dan internasional, memperkuat struktur yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan yang mengendalikan hidup mereka dan membuka kesempatan agar masyarakat dapat terlibat di dalam perubahan kebijakan. Salah satu jenis advokasi dikenal sebagai advokasi berbasis hak komunitas.

Advokasi berbasis hak komunitas telah dipromosikan dan dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Advokasi tipe ini berbeda dengan advokasi yang menawarkan bantuan kepada suatu komunitas tanpa

menyediakan suatu kerangka yang solid mengenai hak-hak masyarakat dan yang memandang mereka sebagai penerima alih-alih objek dengan hak-hak yang kuat.

Signifi kansi advokasi berbasis hak didasarkan pada asumsi bahwa sebuah komunitas bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik apabila negara memenuhi hak-haknya dan di dalam suatu negara demokratis yang mengindahkan hukum, hak-hak yang diakui tersebut memadai untuk mewujudkan hidup yang bermartabat. Jika hak-hak tersebut masih belum ada, mereka haruslah diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil dan komunitas. Advokasi berbasis hak memastikan bahwa jasa-jasa untuk memenuhi hak-hak komunitas akan berlangsung melampaui masa advokasi dan ini agak berbeda dengan pendekatan berbasis bantuan, di mana jasa-jasa untuk menyalurkan bantuan akan terhenti ketika program terhenti karena pertimbangan tertentu.

Page 10: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

5

Defi nisi & Kerangka Internasional

Pendekatan Berbasis Hak Pendekatan berbasis hak bisa dilacak dari

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan perjanjian lainnya yang membentuk Perundang-undangan Hak Internasional (International Bill of Rights).Hak-hak yang dicakup oleh perjanjian tersebut meliputi hak atas kehidupan, kemerdekaan (liberty)dan keamanan seseorang; hak persamaan di hadapan hukum; hak atas pendidikan dasar secara cuma-cuma; hak atas pekerjaan dan upah yang adil; hak atas kebebasan berpindah tempat, bertempat tinggal dan kebangsaan; kebebasan berpendapat, hati nurani, berkepercayaan, beragama dan hak untuk memiliki dan mengungkapkan pendapat tanpa intervensi. Negara-negara yang telah menyetujui hak-hak asasi manusia yang mendasar ini mempunyai kewajiban hukum dan moral untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Mereka adalah penanggung kewajiban hukum dari hak-hak ini dan harus menghormati kewajiban terhadap warga negaranya. Dengan deklarasi ini, hak komunitas disebut berdasarkan hak asasi manusia.

Pendekatan berbasis hak asasi manusia merupakan kerangka konseptual bagi proses perkembangan manusia yang secara normatif berlandaskan standar-standar hak asasi manusia internasional dan secara operasional diarahkan untuk mempromosikan dan melindungi manusia di dalam permasalahan pembangunan dan menyasar praktik-praktik diskriminasi dan distribusi kekuasaan yang tidak merata yang menghambat kemajuan pembangunan. Di dalam pendekatan hak asasi manusia, rencana, kebijakan dan proses pembangunan ditambatkan pada sistem hak dan kewajiban yang terkait dengannya yang ditetapkan lewat hukum internasional. Dengan demikian, pendekatan ini dapat mempromosikan

keberlanjutan pembangunan, pemberdayaan, khususnya pada kelompok masyarakat yang paling marjinal, untuk berperan serta di dalam perumusan kebijakan guna menuntut pertanggungjawaban terhadap mereka yang berkewajiban untuk bertindak.

Pendekatan berbasis hak mengakui penyebab kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan terletak pada pelanggaran hak-hak masyarakat dan mereka yang hak-hak asasi paling mendasarnya diingkari memiliki posisi secara hukum untuk mengadvokasi demi perubahan. Paradigma ini ditransformasikan dari paradigma yang memandang masyarakat sebagai ‘warga yang membutuhkan’ menjadi paradigma yang memandang bahwa apa yang secara fundamendal dan legal menjadi hak-hak masyarakat diingkari. Oleh karena itu, tugas utama di dalam mengadopsi pendekatan berbasis hak di dalam pembangunan komunitas adalah untuk menentukan bagaimana isu-isu yang diidentifi kasi oleh masyarakat tersebut berkorespondensi dengan hak-hak asasi yang hakiki, dan menggali bagaimana cara terbaik untuk menerapkan hak-hak ini di ranah lokal, nasional dan internasional. Lebih jauh, pendekatan berbasis hak bertujuan untuk memperkuat kemampuan negara untuk memenuhi kewajibannya sebagai penyandang kewajiban (duty bearers) dan memperluas kesempatan dialog yang konstruktif dengan penyandang hak.

Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free,prior and informed consent/FPIC)

Salah satu syarat advokasi berbasis hak adalah persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Free and Prior Informed Consent). FPIC

Page 11: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

6

ialah mekanisme dan proses dimana Masyarakat Adat (indigenous peoples/IPs) mengambil keputusan mereka sendiri atau independen kolektif mengenai persoalan-persoalan yang mempengaruhi mereka sebagai perwujudan hak atas tanah mereka, wilayah and sumberdaya; hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (self-determination); dan integritas budaya. FPIC dibuat sebagai suatu perangkat hukum lunak di dalam Deklarasi Masyarakat Adat PBB (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples/UNRIP). FPIC bertujuan untuk menciptakan dialog dengan masyarakat dan mencapai kesepakatan tentang kapan dan dimana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mungkin memiliki dampak signifi kan pada masyarakat lokal dan lingkungan, dan sifat dari kompensasi dan paket manfaat yang terkait, mengatasi perbedaan kekuasaan dalam negosiasi di mana komunitas-komunitas semuanya terlalu sering memiliki suara yang jauh lebih lemah ketimbang pemerintah dan perusahaan-perusahaan. 4

Meski tidak memiliki defi nisi universal, FPIC umumnya menghendaki agar komunitas-komunitas diberi informasi secara memadai mengenai proyek-proyek pembangunan tepat pada waktunya dan diberikan kesempatan untuk menyetujui atau menolak proyek-proyek ini lepas dari tekanan yang tidak semestinya. FPIC merupakan hak yang disandang Masyarakat Adat berdasarkan hukum internasional dan mengemuka secara luas sebagai prinsip praktik terbaik bagi pembangunan berkelanjutan. FPIC juga bisa dilihat dari tingkat internasional dan regional. Berikut penjelasan dari kerangka tersebut:

I. Tingkat Internasional

Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli di Negara-negara Merdeka (International Labor Organizations’ Convention on Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) - 169/1989 merujuk pada prinsip persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan di dalam konteks

4 Abbi Buxton and Emma Wilson, FPIC and Extractive Industries. IIED:UK. 2013, hlm. 4

relokasi Masyarakat Adat dari tanah mereka di pasal 6. Dalam pasal 6, 7 dan 15, konvensi tersebut bermaksud memastikan bahwa tiap upaya yang dilakukan negara telah melalui konsultasi penuh dengan Masyarakat Adat terkait pembangunan, tanah dan sumberdaya. 5

Naskah Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Dra� Declaration on the Rights of Indigenous People/UNDD’ (Sub-komisi resolusi 1994/45, tambahan) merupakan instrumen yang mengemuka terkait hak-hak masyarakat asli yang secara eksplisit mengakui prinsip FPIC di dalam artikel 1, 12, 20, 27 dan 30. UNDD mengacu pada hak Masyarakat Adat untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi pembangunan atau menggunakan tanah, wilayah dan sumberdaya lain yang mereka miliki, termasuk FPIC dari negara terkait dengan pembangunan dan pemanfaatkan sumber permukaan dan sumber sub-permukaan seperti:

a) Pasal 10 tentang relokasi paksa;

b) Pasal 12 tentang budaya dan kekayaan intelektual;

c) Pasal 20 terkait tindakan legislatif dan administratif yang diambil oleh negara;

d) Pasal 27 terkait tanah, wilayah dan sumberdaya Masyarakat Adat;

e) Pasal 30 dengan perencanaan pembangunan.6

Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Racial (UN Commi� ee on the Elimination of Racial Discrimination/CERD) membuat observasi, rekomendasi dan menghimbau negara untuk ‘memastikan bahwa anggota Masyarakat Adat memiliki hak terkait peran serta yang efektif dalam kehidupan publik dan tidak ada keputusan yang secara langsung berhubungan terhadap hak dan kepentingannya yang diambil tanpa persetujuan atas dasar informasi’ (Rekomendasi Umum XXIII 51 mengenai orang-orang Asli yang diadopsi pada Pertemuan Komite ke 1235, 1997).

5 Ronald busiinge, FPIC Concepts to responsible mining in sustaining rivers and community, http://archive.riversymposium.com/index.php?element=BUSIINGE

6 Parshuram Tamang. An Overview of the Principle of Free, Prior and Informed Consent and Indigenous Peoples in International and Domestic Law and Practices. New York: 2005

Page 12: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

7

Pada tahun 2000, di dalam kesimpulan observasinya terhadap laporan Australia, CERD menegaskan, rekomendasinya bahwa pihak negara menjamin peran serta yang efektif dari komunitas-komunitas asli di dalam pelbagai keputusan yang mempengaruhi hak-hak mereka atas tanah, sebagaimana dituntut pasal 5C dari Konvensi dan Rekomendasi Umum XXIII dari Komite, yang menekankan pentingnya menjamin ‘persetujuan atas dasar informasi’ dari Masyarakat Adat.7

Konvensi Keanekaragaman Biologis (Convention on Biological Diversity/CBD) 1992 di dalam pasal 8(J) meminta negara-negara yang terikat kontrak menghormati, melestarikan dan mempertahankan pengetahuan, inovasi dan praktik komunitas-komunitas lokal dan asli untuk mempromosikan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemangku kepentingan dari aset tersebut.

Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) 1992 menerima Masyarakat Adat sebagai kelompok utama implementasi Agenda 21. Pasal 22 Deklarasi Rio secara eksplisit menyebutkan bahwa Masyarakat Adat dan komunitasnya dan komunitas lokal lainnya berperan vital di dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan karena pengetahuan dan praktik-praktik tradisional mereka. Negara seharusnya mengakui dan sepatutnya mendukung identitas, budaya dan kepentingan mereka, dan memungkinkan peran serta mereka secara efektif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Agenda 21 dan Prinsip-Prinsi Hutan mengakui: hak-hak adat terhadap tanah dan kekayaan intelektual dan budaya dan mempertahankan praktik adat dan administratifnya; kebutuhan akan partisipasi yang lebih besar; nilai dari keterlibatan mereka di dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.

II. Tingkat Regional

Naskah Deklarasi Amerika tentang Hak-hak Masyarakat Adat dari Organisasi Negara-negara Bagian Amerika (American Declaration on the Rights of Indigenous Peoples of the Organization of American States/‘OAS’)pada

7 Opcit, hlm. 5

pasal XVII dan XXIII menyatakan bahwa negara memperoleh FPIC sebelum persetujuan proyek apapun yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumberdaya Masyarakat Adat, khususnya terkait pembangunan, pemanfaatan atau eksplorasi mineral, air dan sumberdaya.

Komisi Hak Asasi Inter-Amerika (Inter-American Commission on Human Rights/‘IACHR’) telah mengembangkan yurisprudensi yang luas mengenai FPIC. Komisi tersebut telah menyatakan hukum hak asasi manusia Inter-Amerika membutuhkan langkah-langkah khusus untuk menjamin pengakuan terhadap kepentingan khusus dan kolektif Masyarakat Adat yang di dalamnya terdapat pekerjaan dan penggunaan lahan tradisional dan sumberdaya mereka serta hak untuk tidak dicerabut dari kepentingan ini, kecuali dengan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi. Pada 2003, IACHR menyatakan bahwa FPIC secara umum dapat diterapkan pada keputusan negara yang akan membawa dampak kepada tanah Masyarakat Adat dan komunitasnya, seperti pemberian konsesi untuk mengeksploitasi sumberdaya alama di wilayah-wilayah adat8.

Strategi dan prosedur pada isu-isu sosio-budaya yang terkait dengan Lingkungan Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American Development Bank/IADB) 1990 menetapkan bahwa secara umum IDB tidak akan mendukung proyek-proyek yang mengenai tanah dan wilayah kesukuan, kecuali jika disetujui masyarakat suku asli. FPIC sudah disertakan di dalam kebijakan IADB mengenai Transmigrasi Non-Sukarela.

Pada 1998 Dewan Menteri Uni Eropa (European Union/EU) mengadopsi sebuah Resolusi yang berjudul Masyarakat Suku Asli di dalam Kerangka Kerjasama Pembangunan Komunitas dan Negara-negara Anggota. Kerangka tersebut menetapkan bahwa masyarakat asli berhak menentukan jalur pembangunannya sendiri, yang mencakup hak terhadap objek-objek, khususnya di lingkungan tradisional mereka. Hal ini diteguhkan lagi pada 2002 oleh Komisi Europa, yang menyatakan bahwa EU mengartikan penyataan ini setara dengan FPIC.

8 Fergus Mackey, A Guide to Indigenous Peoples’ Rights in the Inter-American Human Rights System. FPP: 2001

Page 13: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

8

Sementara itu, negara-negara di wilayah Asia Tenggara mengadopsi instrumen hak asasi manusia kawasan pertama kali pada 18 November 2012 yang disebut sebagai Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human Right Declaration/AHRD) - Pernyataan Phnom Penh9. AHRD merupakan tata cara standar pertama, dokumen politik untuk mengkodifi kasikan hak-hak asasi mendasar dan kebebasan fundamental di negara-negara anggota ASEAN yang harus mereka hormati, promosikan dan lindungi. Deklarasi ini juga merupakan perwujudan komitmen para pemerintah ASEAN untuk mengamankan hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental masyarakat ASEAN. AHRD sejalan dengan komitmen ASEAN di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Di sisi lain, pembukaan Naskah Perjanjian ASEAN tentang Akses terhadap Sumberdaya Biologis dan Genetis (Southeast Asian Nations Dra� Agreement on Access to Biological and Genetic Resources) 2000 mengakui prinsip fundamental bahwa persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan dari negara anggota dan masyarakat asli serta komunitasnya yang mengejawantahkan gaya hidup tradisional haruslah dijamin sebelum akses dapat terjadi10.

III. Tingkat Nasional

Filipina, Malaysia, Australia, Venezuela, Peru, dan sebagainya memiliki legislasi nasional mengenai persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan Masyarakat Adat untuk seluruh kegiatan yang berdampak pada tanah dan wilayahnya.

Di Filipina Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat (1997) mengakui hak Masyarakat Adat terhadap FPIC untuk semua kegiatan yang mempengaruhi tanah dan wilayahnya termasuk:

a) Eksplorasi, pembangunan dan penggunaan sumberdaya alam;

b) Penelitian bioprospecting;

c) Pemindahan dan relokasi;

d) Eksplorasi arkeologis;

9 AICHR:What you need to know (2nd edition). 2012, The ASEAN Secretariat : Jakarta

10 Makalah Kebijakan. Framework for incorporating indigenous communities within the rules accompanying the Sabah Biodiversity Enactment 2000. November : 2004

e) Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi Masyarakat Adat seperti Perintah Eksektutif 263 (Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas);

f) Masuknya militer.

Venezuela mengadopsi sebuah hukum tentang keanekaragaman hayati (biodiversity) pada Mei 2000. Pasal 39 menetapkan bahwa pelestarian keanekaragaman budaya melalui pengakuan dan promosi pengetahuan tradisional (traditional knowledge/TK’ dan Pasal 44 memilik ketentuan bahwa penyandang TK ini dapat menentang penyerahan akses terhadap sumberdaya atau materi genetis atau projek TK di wilayah mereka atau meminta pemberhentian kegiatan yang mereka takutkan akan berdampak terhadap warisan budaya dan keanekaragaman hayatinya11. Negara bagian Sarawak, Malaysia, menyetujui Ordonansi Pusat Keanekaragaman Hayati Sarawak 1977, dan kemudian regulasi-regulasi Keanekaragaman Hayati Sarawak 1998 (Akses, Koleksi dan Penelitian). Dewan Sarawak bertanggung jawab atas pengaturan akses, koleksi, riset, proteksi, pemanfaatan dan ekspor sumberdaya biologis negara bagian. Pada 2004, Negara Bagian Sabah di dalam ‘Kerangka untuk mempersatukan Masyarakat Adat dengan peraturan-peraturan yang menyertai Undang-undang Keanekaragaman Hayati Sabah 2000’ menciptakan sistem aturan yang menjamin bahwa masyarakat asli akan sepanjang waktu dan senantiasa menjadi pencipta, pengguna dan pemelihara pengetahuan tradisional dan akan secara kolektif menikmati manfaat dari penggunaan pengalaman semacam itu.

Di lima negara bagian Australia, persetujuan tanpa paksaan telah diperoleh melalui Dewan Pertanahan yang dikendalikan masyarakat asli secara hukum di kawasan tambang selama lebih dari 30 tahun. Prosedur persetujuan ini diulas oleh Institut Penelitian Ekonomi dan Industri Nasional pada 1999, yang mendapati bahwa mereka telah sukses di dalam mengawal kontrol masyarakat Aborigin terhadap tanahnya dan juga menetapkan bahwa sebuah proses negosiasi yang

11 Gupta, Anil K. (2004), WIPO-UNEP Study on the Role of Intellectual Property Rights in the Sharing of Benefi ts Arising from the Use of Biological Resources and Associated Traditional Knowledge, WIPO AND UNEP.Study No. 4.

Page 14: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

9

memungkinkan peningkatan porsi lahan Aborigin di wilayah yang tersedia bagi eksplorasi mineral. Secara keseluruhan, syarat utama FPIC ialah partisipasi. Partisipasi diperlukan karena di dalam proses FPIC keputusan-keputusan yang diambil akan mengarah pada pembangunan sumberdaya yang secara sosial dapat diterima dan secara politik berkelanjutan, sertaakan menyediakan pertimbangan yang berimbang dari pemerintah, perusahaan-perusahaan dan masyarakat sipil.

FPIC tentang Pandangan Kerangka ICMMDi samping kerangka tersebut di atas, terdapat

pula kerangka dan pandangan lain mengenai FPIC. Dewan Internasional Tambang dan Logam (International Council on Mining and Metals/ICMM) didirikan pada 2001 untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang berkelanjutan di industri tambang dan logam. Sasaran utama ICMM ialah untuk membangun hubungan yang konstruktif antara perusahaan-perusahaan tambang dan logam dengan masyarakat asli berdasarkan asas saling menghormati, keterlibatan yang bermakna, kepercayaan dan manfaat bersama.

Di dalam kerangka ICMM, FPIC meliputi suatu proses dan hasil. Melalui proses ini, Masyarakat Adat: (i) mampu mengambil

keputusan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi; (ii) diberi waktu yang cukup untuk terlibat di dalam pembuatan keputusan proyek sebelum keputusan-keputusan kunci dibuat dan dampaknya terjadi; dan (iii) diinformasikan secara penuh mengenai proyek tersebut serta dampak dan manfaat potensialnya. Hasilnya, masyarakat asli bisa memberi atau menahan persetujuan tanpa paksaan terhadap suatu proyek, melalui sebuah proses yang diusahakan konsisten dengan proses pembuatan keputusan tradisional mereka sembari menghormati hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan berdasarkan pada perundingan dengan itikad baik. Komitmen di dalam pernyataan posisi yang terkait dengan persetujuan tanpa paksaan ini berlaku bagi proyek-proyek baru dan mengubah proyek-proyek yang sudah ada, yang mungkin sekali akan memilik dampak yang signifi kan bagi komunitas Masyarakat Adat. Pernyataan posisi ini tidak berlaku surut. Masyarakat Adat dan bukan Masyarakat Adat kemungkinan akan terdampak secara signifi kan, para anggota boleh memilih untuk memperluas komitmen yang dicantumkan di dalam pernyataan posisi tersebut kepada masyarakat di luar Masyarakat Adat.

Gambar 3: Visi dan Komitmen ICMM Mengenai kerangka ICMM, seluruh anggota

mengakui bahwa:

ICMM member commitments10 principles for sustainable development + 6 position statements

1. Implement ethical business practices and apply good corporate governance

2. Integrate SD in corporate decision-making

3. Uphold fundamental human rights

4. Manage risks based on sound science

5/6. Improve environment, health and safety performance continuously

7. Conserve biodiversity & contribute to integrated land use planning

8. Encourage a life cycle approach to materials management

9. Contribute to community development

10. Publicy report, independently assure and engage openly and transparently

Mining and Protected Areas

Mining: Partnerships for Development

Climate Change

Mining and Indigenous Peoples

Mercury Risk Management

Transparency of Mineral Revenues

ICMM at a glance

ICMM Visionleading mining and metals companies working together and with others

to strengthen the contribution

to sustainable development

Fundamental implication

creating value for shareholders while

simultaneously creating value for

the communities and societies in which they

operate

Our role: a catalyst for improving enviromental and social performance in the mining and metal’s industry

t

Sumber: Pertambangan untuk Pembangunan (Presentasi untuk Forum Antar-pemerintah mengenai Pertambangan, Mineral, Logam dan Pembangunan Berkelanjutan), FernandesDiez (www.icmm.com)

Page 15: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

10

1. Masyarakat Adat memiliki hubungan yang khusus dan mendalam, dan diidentifi kasikan dengan, tanah dan air dan unsur-unsur ini terikat pada kesejahteraan fi sik, spiritual, budaya dan ekonomi. Mereka juga mungkin mempunyai pengetahuan dan pengalaman tradisional yang berharga di dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Masyarakat Adat di banyak wilayah di seluruh dunia sudah secara historis dirugikan dan mungkin masih sering mengalami diskriminasi, tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian. Proyek-proyek tambang dan logam bisa memiliki imbas positif dan negatif yang signifi kan pada komunitas-komunitas lokal.

2. Kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di proyek-proyek tambang dan logam umumnya diakui sebagai satu atau lebih dari hal-hal berikut: pemilik sertifi kat formal lahan atau kepentingan hukum yang diakui atas lahan atau sumberdaya; penuntut kepemilikan atas lahan atau sumberdaya; secara adat pemilik atau penghuni lahan atau sumberdaya; pengguna lahan atau sumberdaya untuk keperluan-keperluan seperti berburu, memancing, mengumpulkan benih/buah dan obat, atau untuk keperluan spiritual atau ritual; berada dalam objek material atau sumberdaya budaya yang bermakna; berada dalam lanskap yang punya arti khusus karena asosiasi, tradisi atau kepercayaan; anggota dari komunitas setempat yang lingkungan sosial, ekonomi dan fi siknya mungkin dipengaruhi oleh pertambangan dan kegiatan terkait.

3. Masyarakat Adat memiliki hak-hak dan kepentingan-kepentingan individu dan kolektif dan secara internasional diakui bahwa hak-hak mereka ini harus dilindungi oleh pemerintah dan dihormati oleh perusahaan-perusahaan yang terkait. Dua instrumen internasional kunci di dalam bidang ini adalah Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 169 mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli (1989), dan Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP) yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada September

200712. “UNDRIP meletakkan hak-hak yang seharusnya dicita-citakan oleh negara-negara untuk bisa diakui, dijamin dan dilaksanakan” dan “membentuk sebuah kerangka diskusi dan dialog antara Masyarakat Adat dan Negara.”13

4. Proyek-proyek tambang dan logam yang sukses membutuhkan dukungan jajaran pihak-pihak yang berkepentingan dan terdampak. Ini meliputi baik persetujuan legal formal dan regulatoris yang dianugerahi oleh negara dan dukungan yang luas dari masyarakat setempat yang menerima perusahaan. Masyarakat Adat seringkali memiliki karakteristik budaya, struktur tata kelola dan cara berinteraksi dan membuat keputusan yang menjauhkannya dari penduduk yang bukan masyarakat asli. Hal tersebut menuntut perusahaan-perusahaan untuk terlibat dengan cara-cara yang pantas secara budaya dan menaruh perhatian pada kapasitas, hak-hak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di dalam konteks keterlibatan komunitas yang lebih luas. Negara memiliki hak untuk mengambil keputusan tenang pembangunan sumberdaya menurut aturan hukum nasional yang berlaku, termasuk aturan hukum yang melaksanakan kewajiban negara penerima di bawah hukum internasional. Beberapa negara telah membuat penetapan persetujuan secara eksplisit melalui hukum nasional dan sub-nasional. Akan tetapi di kebanyakan negara, “baik Masyarakat Adat ataupun kelompok penduduk lainnya memperoleh hak untuk memveto proyek-proyek pembangunan yang mempengaruhi mereka”, sehingga FPIC harus dipandang sebagai sebuah “prinsip untuk dihargai setinggi-tingginya di dalam perencanaan dan implementasi”14.

5. Negara juga mempunyai peran penting yang harus ia mainkan di dalam mengikutsertakan Masyarakat Adat. Mereka mungkin terlibat dalam menentukan komunitas mana saja yang harus dianggap asli, membentuk proses untuk

12 Per October 2012, 22 negara telah meratifi kasi ILO 169 yang bersifat mengikat secara hukum di negara-negara tersebut.

13 Sebagaimana dinyatakan dalam UN Development Group’s Guidelines on Indigenous Peoples’ Issues (2008).

14 Sebagaimana diungkapkan dalam in the UN’s Department of Economic and Social Aff airs Resource Kit on Indigenous Peoples’ Issues (2008).

Page 16: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

11

mencapai FPIC dan menentukan bagaimana ini terkait dengan proses-proses yang diatur untuk memastikan peran serta komunitas di dalam pengambilan keputusan. Mengingat peran mereka di dalam menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat dengan masyarakat yang lebih luas, negara juga punya tugas penting di dalam mencari resolusi dari perselisihan pendapat yang mungkin timbul antara Masyarakat Adat dan perusahaan untuk mencapai FPIC.

6. Di beberapa negara, istilah asli (indigenous)mungkin kontroversial dan istilah-istilah setempat yang kurang lebih setara mungkin digunakan (seperti masyarakat suku asli/tribal peoples, masyarakat pertama/fi rst peoples, masyarakat pribumi/native people, dan masyarakat aborigin. Di dalam situasi lainnya, mungkin tidak ada pengakuan akan pelecehan oleh negara, atau istilah tersebut mungkin memiliki asosiasi negatif sehingga menghalangi orang untuk mengakui identitas asli.

Terlepas dari konteks lokal, para anggota ICMM menolak segala bentuk diskriminasi atau kekurangan yang terkait dengan budaya, identitas, kerentana dan akan berusaha menerapkan prinsip-prinsip yang diejawantahkan di dalam pernyataan posisi ini terhadap kelompok-kelompok yang memperlihatkan apa yang umumnya diterima sebagai ciri-ciri Masyarakat Adat. 15

ICMM juga memiliki komitmen di dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan ICMM di mana perusahaan-perusahaan anggota ICMM berkomitmen untuk:

1. Terlibat dengan Masyarakat Adat yang punya potensi terkena dampak, dengan tujuan: (i) menjamin bahwa pembangunan proyek tambang dan logal memelihara penghormatan terhadap hak-hak, kepentingan, aspirasi, budaya dan penghidupan masyarakat asli yang berbasis sumberdaya alam; (ii) menyusun proyek-proyek untuk menghindari dampak

15 Sebagaimana didefi nisikan adalam ILO 169 dan diringkas dalam bagian section 1.3 dari ICMM’s Good Practice Guide: Indigenous Peoples and Mining (2010).

yang merugikan dan meminimalisir, mengelola atau memberi ganti rugi dampak-dampak ikutan yang tak terhindarkan; dan (iii) memastikan manfaat dan kesempatan yang berkelanjutan bagi Masyarakat Asli melalu pengembangan proyek-proyek tambang dan logam.

2. Memahami dan menghormati hak-hak, kepentingan dan perspektif Masyarakat Adat terkait sebuah proyek dan dampak potensialnya. Kajian dampak sosial dan lingkungan atau analisis sosial dasar akan dikerjakan untuk mengidentifi kasi siapa saja yang mungkin terkena dampak dari suatu proyek dan juga sifat dan jangkauan dampak potensial pada Masyarakat Adat dan komunitas-komunitas yang punya potensi terimbas. Pelaksanaan kajian semacam ini seharusnya bersifat partisipatoris dan inklusif untuk membantu membangun pemahaman lintas budaya antara perusahaan-perusahaan dan komunitas-komunitas, serta mendukung sasaran sebagaimana digambarkan pada komitmen 1 di atas.

3. Menyetujui keterlibatan yang sesuai dan proses konsultasi dengan Masyarakat Asli yang berpotensi terkena dampak dan pejabat pemerintah yang berwenang sesegera mungkin selama perencanaan proyek, untuk memastikan partisipasi Masyarakat Adat yang berarti di dalam pembuatan keputusan. Dukungan harus disediakan untuk mengembangkan kapasitas komunitas demi perundingan dengan itikad baik berdasarkan keadilan. Proses-proses ini harus diusahakan secara konsisten dengan proses-proses pengambilan keputusan Masyarakat Asli dan mencerminkan hak-hak asasi manusia yang diterima secara internasional, dan sepadan dengan skala dampak potensial dan kerentanan komunitas yang terimbas. Proses-proses ini seharusnya mewujudkan ciri-ciri perundingan yang beritikad baik dan didokumentasikan di dalam sebuah rencana yang mengidentifi kasi perwakilan-perwakilan komunitas yang berpotensi terkena dampak dan pemerintah, proses konsultasi dan protokol yang disetujui, tanggung jawab timbal balik dari pihak-pihak terhadap proses keterlibatan dan kesempatan untuk mencari jalan lain

Page 17: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

12

ketika terjadi perselisihan pendapat atau kebuntuan sebagaimana digambarkan oleh komitmen 6 di bawah ini. Rencana tersebut harus mendefi nisikan apa yang merupakan persetujuan tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat yang akan terkena dampak secara signifi kan. Keterlibatan dan proses konsultasi yang disepakati harus diterapkan lewat kerjasama dengan komunitas-komunitas adat yang potensial terkena dampak, melalui cara yang menjamin partisipasi mereka secara proposional di dalam pembuatan keputusan.

4. Pekerjaan untuk memperoleh persetujuan tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat untuk proyek-proyek baru (dan berlaku untuk proyek-proyek yang sudah ada) terletak pada lahan yang secara tradisional dimiliki oleh atau di bawah penggunaan adat Masyarakat Adat dan kemungkinan besar akan memiliki imbas besar terhadap Masyarakat Adat, termasuk dimana relokasi Masyarakat Adat dan/atau dimana warisan budaya yang kritis akan terkena dampak secara signifi kan akan terjadi16. Proses-proses persetujuan tanpa paksaan harus berfokus untuk mencapai kesepakatan yang menjadi dasar suatu proyek (perubahan atau proyek yg sudah ada) untuk terus dilanjutkan. Proses-proses ini seharusnya tidak memberikan hak veto terhadap individu-individu atau sub-kelompok maupun menuntut dukungan persetujuan penuh dari Masyarakat Adat yang berpotensi terkena dampak (kecuali jika dimandatkan secara hukum). Proses-proses persetujuan tanpa paksaan seharusnya tidaklah menuntut perusahaan-perusahaan untuk menyetujui aspek-aspek di luar kendali mereka.

5. Berkolaborasi dengan pejabat berwenang yang bertanggung jawab untuk mencapai hasil yang konsisten dengan komitmen-komitmen di dalam pernyataan posisi ini, dalam situasi dimana pemerintah bertanggung jawab mengelola kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat dengan membatasi campur tangan perusahaan. Dimana pemerintah setempat menuntut para anggota untuk mengikuti proses-proses yang sudah disusun

16 Relokasi Masyarakat Adat dan dampaknya terhadap warisan budaya krisits haruslah dihindari sejauh yang dimungkinkan.

untuk mencapai hasil melalui pernyataan posisi ini, para anggota ICMM tidak diharapkan menjalani proses-proses yang paralel.

6. Mengantisipasi kemungkinan bahwa perbedaan pendapat akan muncul, yang dalam beberapa kasus mungkin mengarah pada kemunduran atau penundaan di dalam mencapai kesepakatan yang sedang dirundingkan dalam itikad baik. Perusahaan-perusahaan dan komunitas-komunitas yang potensial terkena dampak harus menyetujui ujian yang masuk akal atau kesempatan untuk kembali ke awal, yang akan diterapkan manakala perbedaan pandangan muncul. Hal ini mencakup mencari pertimbangan atau nasihat dari pihak-pihak yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Pada saat komitmen 4 berlaku dan persetujuan tanpa paksaan tidak dicapai kendati seluruh pihak sudah mencoba usaha terbaiknya, untuk menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan Masyarakat Asli dan masyarakat yang lebih luas, pemerintah mungkin menetapkan bahwa suatu projek harus diteruskan dan memerinci ketentuan-ketentuan yang harus berlaku. Di dalam keadaan semacam ini, para anggota ICMM akan menentukan apakah mereka seharusnya tetap terlibat di dalam sebuah proyek.

Hak terhadap Informasi Informasi merupakan kebutuhan fundamental

baik bagi individu maupun masyarakat secara luas. Hak terhadap informasi juga dipandang sebagai hak asasi manusia yang hakiki dan juga esensi dari tata kelola yang baik dan demokrasi yang bekerja dengan baik. Kebebasan informasi (Freedom of Information/FOI) punya peran kunci di dalam mendukung pengawasan terhadap pemerintah dan pengelolaan informasi yang tepat adalah bagian dari upaya untuk menciptakan masyarakat yang melek informasi. Seluruh badan publik, termasuk legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bertanggung jawab untuk menjamin kebebasan informasi, dan tanggung jawab ini juga meluas hingga ke organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat di dalam menghantarkan jasa-jasa publik17.

17 Ahmad Faisol, dkk. Fulfi lling The Right To Information: Yayasan TIFA, 2010

Page 18: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

13

Hak terhadap informasi juga merupakan ide dasar di balik gerakan yang lebih luas bagi pemerintahan yang terbuka dan akuntabel yang saat ini mendapatkan daya dorong dan pengakuan yang lebih luas. Perkembangan yang patut diperhatikan di wilayah ini adalah digulirkannnya Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka (Open Government Partnership) pada 2011 yang berpotensi membuka kesempatan baru bagi masyarakat sipil untuk mendesak pengakuan dan penghormatan yang lebih besar bagi hak terhadap informasi.

Secara umum, hak terhadap informasi mencakup hak untuk:

1. Memeriksa pekerjaan, dokumen dan rekaman.

2. Membuat catatan, ringkasan atau kopi dokumen atau rekaman yang sah.

3. Mengambil sampel materi yang sah.

4. Memperoleh informasi dalam bentuk material cetak, disket, fl oppy, pita, video, dan kaset atau di dalam bentuk elektronik apapun atau melalui materi cetak.

Ada beberapa prinsip hak terhadap kebebasan informasi yang dikemukakan oleh rezim nasional maupun internasional yang harus dipertimbangkan, seperti:

Pertama-tama, penyingkapan maksimal (maximum disclosure) yang terdiri atas praduga bahwa seluruh informasi yang dipegang badan publik tunduk pada penyingkapan dan bahwa praduga ini boleh dilampaui hanya di dalam keadaan-keadaan yang sangat terbatas. Lebih jauh, prinsip ini merangkum alasan mendasar yang mendasari konsep kebebasan informasi itu sendiri dan idealnya ia seharusnya ditetapkan di dalam Konstitusi untuk memperjelas bahwa akses terhadap informasi resmi adalah hak mendasar. Tujuan sampingan legislasi seharusnya adalah untuk mengimplementasikan penyingkapan maksimal di dalam praktik. Badan-badan publik memiliki kewajiban untuk menyingkap informasi dan setiap anggota masyarakat memilik hak yang bersesuaian untuk menerima informasi.

Kedua, kewajiban untuk mengumumkan prinsip dan badan publik yang wajib menyiarkan informasi. Kekebasan informasi menyiratkan

tidak hanya badan publik tersebut mengabulkan permintaan informasi, melainkan juga menyiarkan dan menyebarkan secara luas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan kepentingan publik, hanya terhadap batasan-batasan yang proporsional terhadap sumberdaya dan kapasitas. Informasi harus disiarkan dan bergantung pada badan publik terkait. Hukum harus menetapkan baik kewajiban umum untuk menyiarkan informasi dan kategori-kategori kunci informasi yang harus disiarkan. Badan-badan publik harus berkewajiban untuk menyiarkan informasi dalam kategori sebagai berikut:

a) Informasi operasional mengenai bagaimana badan publik tersebut berfungsi, termasuk biaya, tujuan, akun yang diaudit, standar, capaian, dan seterusnya, khususnya dimana badan tersebut menyediakan jasa langsung kepada publik;

b) Informasi berdasarkan permintaan apa saja, keluhan atau tindakan langsung yang diambil oleh anggota masyarakat terkait dengan badan publik tersebut;

c) Panduan yang melalui keberadaannya para anggota masyarakat dapat melayangkan masukan bagi proposal kebijakan dan perundang-undangan;

d) Tipe informasi yang dipegang badan tersebut dan bentuknya; dan

e) Isi dari keputusan atau kebijakan apa saja yang mempengaruhi publik, bersama dengan alasan-alasan bagi keputusan tersebut dan materi latar belakang mengenai pentingnya merumuskan keputusan tersebut.

Ketiga, mempromosikan pemerintahan yang terbuka. Ini berarti badan publik ini harus secara aktif mengkampanyekan dan mempromosikan Pemerintahan yang Terbuka (Open Government). Praktik dari kegiatan-kegiatan mendasar ini akan bervariasi dari negara ke negara, tergantung pada faktor-faktor seperti bagaimana jasa-jasa sipil diselenggarakan, hambatan kunci terhadap penyingkapan informasi secara bebas, taraf literasi dan tingkat kesadaran masyarakat umum.

Page 19: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

14

Studi Kasus dari Asia Tenggara

Studi Kasus IndonesiaSejarah Partisipasi Warga Negara di era

reformasi (misalnya pada anggaran, pembuatan kebijakan publik, perencanaan pembangunan nasional serta pada sektor industri ekstraktif juga menyebutkan momentum pembentukan hukum Keterbukaan Informasi Publik, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, Hukum Lingkungan serta Keputusan Mahkamah Konstitusi diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan Keputusan Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada judicial review tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Hukum dan keputusan lain Mahkamah Konstitusi pada judicial review UU Kehutanan.

Di bawah rezim Soeharto, komunitas dan para aktivis pendamping melakukan kegiatan-kegiatan advokasi dengan membantu komunitas secara langsung mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya. Salah satu contoh kasus di bidang industri ekstraktif ialah yang terkait dengan kasus tambang PT Freeport Indonesia. Merespons protes keras warga Amungme terhadap hilangnya ruang hidup mereka, PT Freeport Indonesia menyepakati Perjanjian Januari 1974. Kelahiran Perjanjian Januari disebut-sebut sebagai peristiwa bersejarah bagi suku ini karena perjanjian tersebut menjadi perjanjian formal antara Freeport dan warga Amungme di bawah pengawasan rezim Soeharto yang diwakili oleh pemerintah provinsi Papua. Dengan kesepakatan ini, suku Amungme harus secara sukarela melepaskan tanahnya untuk dijadikan kawasan pertambangan dan sebagai gantinya, Freeport akan menyediakan berbagai fasilitas sosial dan kesempatan bekerja. Fasilitas-fasilitas tersebut dibangun dalam lima tahun dan menghabiskan US$14 juta per tahunnya.

Amiruddin (2003) menyatakan bahwa isi perjanjian tersebut secara substansial tidak membawa perbaikan apapun bagi kehidupan

suku Amungme karena pelaksanaannya sangatlah tergantung pada rencana pemerintah daerah, pemerintah pusat dan Freeport. Alhasil, orang-orang Amungme tidak lebih dari sekadar objek pembangunan baik bagi pemerintah maupun Freeport18. Kasus ini membuktikan bahwa dana bantuan yang diberikan kepada komunitas tidaklah efektif jika warganya diposisikan sebagai objek bantuan atau aksi karikatif alih-alih sebagai pihak yang hak-haknya harus dipenuhi. Situasi ini bisa makin bertambah buruk manakala dana bantuan kian menipis. Persoalan yang dihadapi suku Amungme ini sulit dihindarkan karena di bawah rezim Soeharto, ruang partisipasi warga sangatlah terbatas. Kegiatan pertambangan adalah keniscayaan oleh komunitas sesuai dengan UU No. 11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan.

Perubahan politik yang berhembus pasca lengsernya Soeharto membuka jalan bagi penguatan hak-hak komunitas seperti yang ditetapkan melalui TAP MPR No. IX/2011 mengenai Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Terkait dengan industri ekstraktif, hak-hak masyarakat untuk berpartisipasi tertuang dalam UU Kehutanan, UU Minyak dan Gas, UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Upaya ini juga diperkuat melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU Kehutanan.

Yang tak kalah penting ialah keberadaan UU No. 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral baru menetapkan apakah kontrak-kontrak pertambangan termasuk kategori informasi publik atau tidak pada 2013. Akibatnya, komunitas masih harus berjuang

18 Amiruddin&Aderito Jesus de Soares, PerjuanganAmungme Antara Freeport danMiliter , ELSAM, 2003, www.elsam.or.id/downloads/1296452697_Perjuangan_Amungme.pdf

Page 20: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

15

untuk mengetahui apakah hak-haknya dijamin di dalam kontrak pertambangan yang dibuat oleh pemerintah dan perusahaan. Sumberdaya mineral dan batubara dimiliki oleh negara dan diklaim digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi nyatanya, negara mengontrolnya dan tidak menawarkan kesempatan yang luas bagi partisipasi warga.

Pendekatan berbasis hak-hak komunitas di industri ekstraktif sangatlah sulit diterapkan di negara yang tidak demokratis dan tidak memberikan ruang bagi komunitas untuk benar-benar berpartisipasi. Menyusul jatuhnya rezim orde Baru, kesempatan pun tersedia bagi masyarakat untuk membela hak-haknya melalui pendekatan ini. Advokasi yang dipimpin oleh masyarakat sipil kemudian mendesakkan perubahan peraturan, antara lain TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan ini menyatakan bahwa pembaruan Agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip di antaranya:

a. Menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;

b. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;

c. Mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat dan keberagaman budaya bangsa yang berdasarkan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Pendampingan masyarakat menggunakan pendekatan berbasis hak terus berlanjut melalui uji materi terhadap beberapa aturan, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU Kehutanan, yang bertujuan untuk memastikan hak-hak komunitas sebagaimana dituangkan di situ secara tegas mengakui hak-hak masyarakat. Oleh karena itu, advokasi terhadap masyarakat dilakukan bukan sekadar karena mereka membutuhkan, melainkan juga untuk mencari hak-hak apa saja yang dilanggar, memulihkan hak-hak tersebut dan mengukuhkannya di dalam aturan, misalnya lewat uji materi perundang-undangan. Kegiatan-kegiatan paralegal dan pemberian informasi tentang hak-hak warga yang terdampak oleh industri ekstraktif pun menjadi mungkin.

Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia

Pada masa pemerintahan Soeharto, UU No. 11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ialah kebijakan pengelolaan sumberdaya esktratif yang paling penting. Undang-undang ini tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk melaksanakan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi. Jika negara telah menetapkan sebuah kawasan untuk menjadi lokasi pertambangan, penduduk yang tinggal di sekitarnya haruslah mengalah dan menerimanya. Pendekatan advokasi masyarakat berdasarkan hak tidak mungkin diterpakan karena pemerintah menganggap persetujuan rakyat terhadap rencana pertambangan tersebut tidaklah perlu. Pemerintah mengklaim pertambangan ditujukan untuk melayani kepentingan publik kendati dikelola oleh pihak swasta.

Setelah kejatuhan Soeharto, perjuangan komunitas untuk melindungi ruang hidupnya dari kegiatan ekstraktif menguat. Izin-izin pertambangan yang dikeluarkan selama periode ini makin banyak, sehingga partisipasi warga semakin penting, mulai dari tuntutan masyarakat di lapangan hingga perubahan kebijakan dan upaya hukum. Diantaranya ialah uji materi terhadap UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk bisa membuka partisipasi warga. Kesuksesan masyarakat sipil lainnya adalah uji materi terhadap UU Kehutanan yang memungkinkan Masyarakat Adat mengelola hutan secara penuh di bawah hukum adat sebagai bagian dari haknya. Dengan dipraktikkannya prinsip-prinsip ini, industri ekstraktif yang hendak memanfaatkan hutan Masyarakat Adat harus tunduk dengan mekanisme FPIC agar dapat memperoleh persetujuan warga.

Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia Konstitusi Indonesia telah meletakkan

landasan umum bagi warga negara/rakyat untuk mempertahankan hak-haknya terhadap sumberdaya alam, ruang hidup dan mata pencahariannya. Meskipun demikian, pengakuan tersebut masih terlalu umum dan tidak dirinci dalam Undang-undang dan pelbagai aturan yang sudah ada. Kerangka regulasi yang bersifat umum sebagaimana yang digambarkan di bawah ini

Page 21: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

16

terdiri dari 4 lapisan: (1) Konstitusi, (2) TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (3) beberapa Undang-undang yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan, minyak dan gas, kehutanan) beserta Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, dan (4) Keputusan Mahkamah Konstitusi, termasuk mengenai pertambangan mineral dan batubara serta kehutanan.

Konstitusi

• Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Pasal 27 ayat2)

• Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak bisa diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. (Pasal 28H ayat 4)

• Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.(Pasal 28H ayat 1)

• Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat 3)

TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Reformasi agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan mengoptimalkan

partisipasi rakyat.

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Setiap orang berhak:

a. Melihat dan mengetahui Informasi Publik;

b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk memperoleh Informasi Publik;

c. Memperoleh salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-undang ini; dan/atau

d. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(Pasal 4)

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab; secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, serta berwawasan lingkungan;

(Pasal 10).

UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

1. Kontrak kerjasama wajib memuat antara lain, pengembangan masyarakat sekitar dan menjamin hak-hak Masyarakat Adat; (Pasal 11)

2. Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada: tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik Masyarakat Adat;

(Pasal 33)

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.

(2) Masyarakat dapat:

a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

(Pasal68)

Page 22: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

17

Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral danBatubara (Keputusan MK No. 32 Tahun 2010)

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat masyarakat” dalam tidak dimaknai “wajib melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.”

Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi UU No. 41 Tahun 1999 (Keputusan MK No. 35 Tahun 2012)

Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Keputusan ini menghentikan monopoli penguasaan negara atas hutan dan memberikan landasan hukum bagi Masyarakat Adat untuk mengelola kawasan hutan.

Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan hidup telah menggunakan sarana regulasi ini untuk memperkuat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan bagi warga. Tetapi, Indonesia masih memerlukan aturan-aturan yang lebih rinci, konkret dan mampu melindungi hak-hak warga lewat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.

Peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas

Kasus Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta

Masyarakat Kulonprogo umumnya hidup dari bertani. Mereka menghabiskan waktu luangnya dengan beternak, seperti lembu, kambing dan bebek, dan pada umumnya mereka memiliki ternak. Mereka juga menanam pisang dan manga di pekarangan. Warga hidup bergotong royong, misalnya dengan membersihkan jalan bersama-sama.

Pada 2005 sebuah rencana untuk membuka penambangan pasir besi pun mengemuka dan ditolak oleh sebagian besar warga. Persetujuan terhadap usulan tersebut hanya diberikan oleh mereka yang tinggal di luar daerah yang direncanakan sebagai wilayah pertambangan. Rencana tersebut akan berdampak pada tiga kecamatan, yakni Galur, Panjatan and Wates.

Warga di ketiga kecamatan ini menolak wilayah mereka dijadikan kawasan tambang pasir besi karena penghidupan mereka seluruhnya bergantung dari bertani, yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Pertanian sudah cukup mencukupi penghidupan 50,000 orang warga tersebut. Mereka membandingkan efek positif dari bercocok tanam: pada tahun 1970-an, tak satu pun dari mereka yang bersekolah hingga sekolah menengah atas ataupun univesitas. Namun, situasi berubah setelah mereka mengolah lahan di tepian pantai, yang berujung pada perbaikan ekonomi. Sekarang banyak diantara warga yang bisa melanjutkan pendidikan, bahkan hingga universitas ditengah melambungnya biaya pendidikan saat ini.

Page 23: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

18

Salah satu warga yang bernama Maryanto mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti bertani karena mereka lebih suka menjadi petani daripada penambang pasir. Mereka tidak perlu memperoleh ijazah maupun berurusan dengan jadwal kerja yang ketat. Apa yang mereka kerjakan juga berhasil menciptakan lapangan kerja bagi warga lainnya. Buruh pemetik cabai dari ketiga kecamatan yang terkena dampak bersatu padu dan menghadang rencana penambangan tersebut. Mereka mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) pada April 2006.

Perusahaan yang mereka hadapi adalah PT Jogja Magasa Iron yang memperoleh Kontrak Karya (KK/Contract of Work) yang ditandatanganinya dengan pemerintah Republik Indonesia pada 4 November 2008. Proyek tambang pasir besi di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini dinyatakan akan membangun industri pembuatan besi terpadu. Kontrak kerja ini ialah yang pertama di Pulau Jawa dan merupakan kontrak karya pertama yang dikeluarkan sejak krisis ekonomi dan penyelenggaraan otonomi daerah.

Naskah kontrak karya tersebut telah direkomendasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun demikian, warga di sekitar wilayah tambang yang direncanakan tersebut tidak pernah dilibatkan atau dimintai persetujuannya sebelum kontrak tersebut dibuat.

Saham PT Jogja Magasa Iron 30 persen dimiliki perusahaan Indonesia, PT Jogja Magasa Mining, dan 70 persen dipegang oleh perusahaan asal Australia, Indo Mines Limited. Cadangan besi yang ditemukan dalam pasir besi di lokasi tersebut berjumlah 33.6 juta ton Fe dan produksinya direncanakan mencapai 1 juta ton per tahun. Cadangan ini diperoleh dari konsentrat pasir besi. Proyek ini akan menambang bagan galian pasir besi dengan sistem tambang terbuka (open pit) dan hasilnya akan diolah menjadi konsentrat untuk kemudian menghasilkan besi kasar (pig iron) dengan kandungan Fe>94%. Menurut rencana, perusahaan tersebut akan memulai kegiatan penambangan pada 2011 dan memproduksi besi

kasar pada 2012. Namun, karena protes warga petani, proyek tersebut hingga kini belum beroperasi.

Pada tahap konstruksi perusahaan akan menyerap 5.000 tenaga kerja lokal, sementara di fase awal produksi ia akan mempekerjakan 3.000 orang. Angka ini lebih rendah dari jumlah petani yang akan terkena dampak investasi ini yaitu 50.000 orang, sehingga ini berarti industri pertambangan tersebut tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi warga.

Investasi dari perusahaan tersebut secara total akan mencapai US$1,1 miliar, yang terdiri dari US$5 juta untuk persediaan (bahan baku), US$ 6 million untuk pemasangan rel (rail sliding), US$350 juta untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik 350 megawa� (MW), US$10 juta untuk fasilitas pelabuhan dan US$600 juta untuk investasi pertambangan. Proyek ini diharapkan setiap tahun menyumbang US$20 juta ke penerimaan negara melalui setoran pajak, US$ 11,25 juta dari royalti, US$7 juta dari pendanaan lokal dan US$55 juta melalui pengeluaran operasional.

Pada 10 tahun pertama PT Jogja Magasa Iron diperkirakan akan menyumbang 1,5% dari penjualannya masing-masing ke pemerintah daerah dan ke pengembangan komunitas (community development), yang setelah periode tersebut akan ditingkatkan menjadi 2%. Kendati demikian, tawaran ini dinilai tidak dapat menyejahterakan warga dan mereka lebih memilih bertani di lahan tepian pantai. Komunitas tersebut mempertahankan ruang hidupnya dari pertambangan melalui penolakan langsung yang disampaikan ke instansi pemerintah terkait dan pendidikan terhadap warga.

Komunitas menyatakan:

“Sejak 2006, kami, penghuni tepian pantai Kabupaten Kulonprogo, telah berjuang mempertahankan Hak-hak Asasi kami (sebagaimana dijamin oleh UU No. 39 Tahun 1999), Hak-hak Ekonomi, Sosial danBudaya (sebagaimana dijamin oleh UU No. 11 Tahun 2005), dan Hak-hak atas Tanah (sebagaimana dijamin oleh UU No. 5 Tahun 1960). Kehadiran hak-hak ini dan masa depannya

Page 24: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

19

di bawah ancaman karena kebijakan pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk menambang pasir besi dan membangun pabrik baja di wilayah yang dihuni oleh dan menyediakan mata pencaharian bagi penduduknya. Hanya dengan mengetahui rencana ini saja, pertambangan ini telah memicu konfl ik antara masyarakat dan pemerintah, tanpa akhir di depan mata”19.

Proses yang menetapkan ruang hidup mereka sebagai kawasan tambang tidak bersesuaian dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Kontrak Karya PT Jogja Magasa Mining dibuat tatkala Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyatakan bahwa wilayah pesisir didesain sebagai kawasan pertanian, pariwisata dan perikanan. Komite khusus RTRW 2009 dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara jelas menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak diperuntukkan bagi pertambangan. Berlawanan dengan keputusan ini, pemerintah provinsi dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral secara sepihak menunjukkan sebagai wilayah pertambangan.

Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang dikendalikan oleh kekuasaan feodal sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2012. Warga yang menolak penambangan menghadapi intimidasi dan kriminalisasi. Sekelompok orang menyerang pos penjagaan dan poskamling yang didirikan warga. Insiden ini terjadi pada 2008. Sekitar 200 orang bersenjata merusak fasilitas-fasilitas umum, seperti poskamling, pos ronda dan rumah-rumah warga. Polisi menindak pelaku sebagai respons terhadap aduan warga, tetapi tidak menyasar para pelaku utama, menurut laporan lanjutan warga kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat

19 http://325.nostate.net/library/position-paper-summary.pdf

(DPR). Selain ke polisi, warga juga melaporkan insiden perusakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun sayangnya, mereka tidak dapat memperoleh hasil sesuai yang diharapkan.

Kemudian pada 2000, warga setempat dikriminalisasi dengan dakwaan melanggar Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu merampas kebebasan hak orang lain. Tukijo, salah satu pemimpin yang mengorganisir perjuangan warga melawan pertambangan pasir besi tersebut, divonis bersalah dan ia dihukum dengan kurungan tiga tahun penjara.

Warga Kulonprogo mampu memperjuangkan hak-haknya karena mereka memiliki keahlian organisasional yang baik. Warga mendirikan sebuah organisasi yang dinamai Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) pada 2007. Organisasi warga ini berusaha untuk tidak bergantung pada organisasi non-pemerintah. Akan tetapi, mereka juga membuka peluang untuk berkerjasama dengan organisasi semacam itu di dalam perlawanannya. Bersama-sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, PPLP melawan kriminalisasi terhadapnya dan bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), ia berjuang melawan pelanggaran rencana tata ruang pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan menuntut uji materi UU No. 4 Tahun 2009 untuk bisa mendapatkan persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan dari warga setempat sebelum menjadikan suatu wilayah sebagai kawasan tambang.

Page 25: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

20

Studi Kasus Filipina

Kerangka Regulasi Masyarakat Adat Filipina terdiri dari sejumlah

besar suku bangsa asli yang tinggal di negara tersebut. Mereka adalah keturunan penduduk asli Filipina. Mereka tidak tersapu kolonisasi berabad-abad oleh Spanyol dan Amerika Serikat di Kepulauan Filipina, dan sepanjang proses tersebut mereka mempertahankan adat-istiadat dan tradisi mereka. Masyarakat Adat Filipina telah mencapai langkah signifi kan di dalam upaya melindungi wilayah kekuasaan leluhur mereka beserta identitasnya. Kendati berhadapan dengan marjinalisasi politik dan ekonomi, mereka berhasil mendapatkan traksi hukum di dalam perjuangan mempertahankan diri dari beragam ancaman.

Pada 1997, Kongres Filipina mengesahkan Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples’ Rights Act/IPRA Law) atau Undang-undang Republik No. 8371, yang mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat budaya adat/Masyarakat Adat, menetapkan mekanisme implementasi, menyisihkan dana dan mencapai tujuan-tujuan lainnya20. Undang-undang ini mengakui hak Masyarakat Adat untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyediakan mekanisme perlindungan wilayah kekuasaan leluhur Masyarakat Adat dan segala sumberdaya yang terkandung di dalamnya. IPRA mengadopsi konsep “persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan” (FPIC) sebagai alat untuk membentengi hak-hak Masyarakat Adat dan memberi mereka ruang untuk berbicara tentang persoalan-persoalan yang berimbas pada mereka. FPIC di dalam konteks ini menuntut agar komunitas Masyarakat Adat diperlengkapi dengan informasi yang memadai dan dapat diakses, dan bahwa konsensus ditentukan sesuai dengan hukum adat dan praktik-praktik Masyarakat Adat bebas dari segala bentuk manipulasi maupun koersi dari luar. IPRA menuntut agar FPIC diperoleh sebelum

20 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples’ Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371 (1997)

proses ekstraksi sumberdaya dilakukan di wilayah kekuasaan leluhur dan tanah adat mereka. Jika berjalan secara efektif, FPIC melambangkan alat yang kritis untuk mewujudkan penentuan nasib sendiri (indigenous self-determination), mempromosikan partisipasi warga di dalam pembuatan keputusan dan memitigasi risiko konfl ik di sekitar proyek sumberdaya alam.

Sayangnya, meski ada aturan keras yang berlaku, Masyarakat Adat di Filipina menghadapi kendala-kendala yang cukup berarti dalam merealisasikan haknya untuk memberi atau menahan FPIC. Catatan kebijakan ini menggambarkan perlindungan hukum kunci bagi FPIC di Filipina maupun rintangan bagi efektifnya pelaksanaan FPIC di masa lalu. Selain itu, catatan kebijakan ini juga menyoroti corak pelaksanaan aturan yang diadopsi pemerintah pada 2012 untuk mempromosikan implementasi FPIC yang lebih baik di masa mendatang.

Konstitusi Filipina 1987Konstitusi Filipina mengandung ketentuan

eksplisit mengenai perlindungan hak-hak Masyarakat Adat. Konstitusi ini menjamin hak-hak Masyarakat Adat terhadap ranah kekuasaan leluhur dan tanah. Konstitusi 1987 memperlihatkan pergeseran kebijakan “dari asimilasi dan integrasi menuju pengakuan dan pelestarian.21

Berikut pasal-pasal yang relevan dari Konstitusi tersebut:

• Bagian 22 dari Pasal II. Negara mengakui dan mempromosikan hak-hak komunitas budaya adat ada di dalam kerangka kesatuan nasional dan pembangunan.

• Bagian 5 dari Pasal VI. Selama tiga masa berlaku berturut-turut setelah diratifi kasinya Konstitusi ini, setengah dari kursi partai

21 Reynato S. Puno, The IPRA: Indigenous Peoples and their Rights (2008).

Page 26: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

21

dialokasikan dan akan dialokasikan bagi para perwakilan masyarakat adat da� ar22 , sebagaimana ditetapkan oleh hukum, melalui seleksi atau pemungutan suara dari buruh, petani, kaum miskin kota, komunitas budaya adat, perempuan, kaum muda, dankelompok lainnya yang serupa seperti ditetapkan hukum, kecuali kelompok keagamaan.

• Bagian. 5 dari Pasal. XII. Negara, tunduk pada ketentuan Konstitusianal kebijakan dan program pembangunan nasional, akan melindungi hak-hak masyarakat budaya adat di tanah leluhur mereka untuk memastikan kesejahteraan ekonomi, sosial dan budayanya.

• Kongres mungkin mempersiapkan kondisi yang memungkinkan penerapan hukum adat yang mengatur hak milik atau hubungan-hubungan yang menentukan kepemilikannya dan luas wilayah kekuasaan leluhur.

• Bagian 6 dari Pasal XIII. Negara akan menerapkan prinsip-prinsip pembaruan agraria atau penatalayanan (stewardship), kapan saja dapat diterapkan sesuai dengan Undang-undang, dalam disposisi atau pemanfaatan sumberdaya alam lainnya, termasuk tanah di ranah publik yang sedang disewakan atau dalam konsesi yang cocok untuk pertanian, tunduk pada hak sebelumnya, hak atas rumah dan pekarangan dari penghuni skala kecil, dan hak terhadap tanah leluhur mereka.

• Bagian 17 dariPasal XIV. Negara akan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak budaya masyarakat adat untuk menjaga kebudayaan, tradisi, dan institusi mereka. Hal ini akan menjadikan pengakuan hak-hak tersebut dimasukkan dalam rencana dan kebijakan nasional.

• Bagian 12 dari Pasal XVI. Kongres mungkin membentuk badan konsultasi untuk memberikan nasihat kepada Presiden mengenai kebijakan-kebijakan yang berdampak pada komunitas budaya adat, yang mayoritas anggotanya akan berasal dari komunitas semacam itu.

22 Menurut Konstitusi, perwakilan daftar partai berjumlah 20% dari jumlah total perwakilan di daftar tersebut.

Undang-undang hak asasi Masyarakat Adat 1997 (Indigineous Peoples’ Rights Act/IPRA)

Mantan president Fidel Valdez Ramos memprakarsai pertemuan-pertemuan badan legislatif dan eksekutif wilayah dan masyarakat sipil untuk merumuskan satu agenda pembangunan bersama. Agenda ini menjadi kerangka komprehensif pemerintah di dalam mengentaskan kemiskinan. Sebuah “da� ar hal-hal yang dapat dikerjakan” (doable list) dirumuskan, memprioritaskan agenda sektor-sektor dasar melalui capaian konsensus dan proses kolaborasi konsultatif dari badan-badan pemerintah nasional dan masyarakat sipil. Agenda ini telah menjadi “Agenda Reformasi Sosial” (Social Reform Agenda/SRA)23”. SRA ialah seperangkat reformasi utama yang terpadu untuk memperbaiki proses-proses demokratis dan memungkinkan warga negara untuk a) memenuhi kebutuhan dasar dan menjalani kehidupan yang layak; b) memperluas andil sumberdaya yang darinya mereka bisa hidup atau meningkatkan hasil dari kerja; dan c) memungkinkan mereka untuk berperan serta secara efektif di dalam proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hak-hak, kepentingan dan kesejahteraan mereka.24 SRA menghasilkan berbagai undang-undang yang penting, termasuk IPRA.

IPRA melaksanakan ketetapan konstitusi yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak dan kepentingan Masyarakat Adat terkait wilayah kekuasaan leluhur mereka25. Penegakan IPRA yang menonjol menandai pergeseran dua paradigma di dalam cara pemerintah memandang Masyarakat Adat. Pertama, hal ini menggugat gagasan bahwa negara memonopoli pelaksanaan undang-undang. IPRA mengakui sistem hukum Masyarakat Adat yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan, mengidentifi kasi luas wilayah kekuasaan leluhur, dan dapat dijadikan

23 Carlos Bueno, The Social Reform Agenda, MetroPost

24 United Nations, Social Aspects of Sustainable Development in the Philippines (April 1998)

25 Pasal XII Konstitusi menetapkan: Bagian 5. Negara, tunduk pada ketentuan Konstitusi ini dan kebijakan serta program pembangunan nasional, akan melindungi hak-hak komunitas budaya adat atas wilayah lelulurnya untuk menjamin kesejateraan ekonomi, sosial dan budayanya. Kongres mungkin bisa memfasilitasi diterapkannya hukum adat yang mengatur hak milik atau hubungan-hubungan yang mengatur kepemilikan dan cakupan wilayah leluhur.

Page 27: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

22

acuan untuk memutuskan melakukan eksploitasi sumberdaya atau tidak. Kedua, memutus persepsi bahwa Masyarakat Adat menyebabkan perusakan hutan26. Sebelum ada IPRA, wacana yang tersebar luas adalah bahwa Masyarakat Adat merusak hutan melalui sistem pertanian “tebang dan bakar” (slash and burn).

Segera sesudah diloloskannya IPRA, Ketua Mahkamah Agung purna-tugas hakim agung Isagani Cruz dan pengacara Cesar Europe mengajukan gugatan yang mempertanyakan kesesuaian undang-undang baru tersebut dengan konstitusi. Di dalam gugatan tersebut, mereka mengklaim bahwa aturan ini melanggar hak negara untuk mengontrol dan mengawasi ekplorasi, pembangunan, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam nasional27. Beberapa pengkritik IPRA, termasuk misalnya Kamar Dagang Pertambangan Filipina, meyakini bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan dua prinsip hukum yang telah ditetapkan: bahwa hanya negara yang bisa memiliki tanah dan bahwa Departemen Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam memegang yurisdiksi tunggal terhadap hutan dan sumberdaya mineral28. Perwakilan Biro Pertambangan dan Geologi mengklaim bahwa “memberikan hak-hak prioritas atas sumberdaya mineral kepada Masyarakat Adat di wilayah leluhur mereka … sama dengan menyerahkan kontrol penuh negara atas seluruh sumberdaya”29.

Di dalam Cruz v. Sekretaris Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam30, Mahkamah Agung Filipina menjunjung konstitusionalitas IPRA dengan batasan setipis mungkin31. Keputusan tesebut menjelaskan bahwa IPRA tidaklah melanggar Doktrin Kerajaan (Regalian Doctrine) (yang berpandangan bahwa negara memiliki semua tanah dan air yang berada di ranah publik) karena

26 June Prill-Brett, Contested Domains: The Indigenous Peoples Rights Act (IPRA) and Legal Pluralism in the Northern Philippines, 55 J. LEGAL PLURALISM& UNOFFICIAL L., 11, 16-17 (2007).

27 New Law on Indigenous Peoples Faces Legal Challenge, Philippine Center for Investigative Journalism (1998)

28 ibid

29 ibid

30 G.R. No. 135385 (December 6, 2000)

31 Ketika Hakim memutuskan bahwa suara mereka seri: 7-7 (Tertunjuk paling baru di Mahkamah Agung tidak ikut serta dalam pembahasan kasus ini dan tidak memberikan suara). Hakimmengangkat kasus tersebut lagi tetapi pemungutan suara tetap tidak berubah. Tuntutan terhadap Aturan 56, Bagian 7 dari Ketentuan Prosedur Sipil, petisiHakim Cruz dibatalkan,

wilayah kekuasaan leluhur adalah tanah privat. Tanah yang sudah dikuasai sejak dahulu kala dianggap tidak pernah bersifat publik. Mahkamah Agung mengumumkan doktrin ini secara resmi dalam kaitan dengan hak milik kaum pribumi di Filipina lebih dari satu abad yang lalu melalui kasus Cariño versusPemerintah Kepulauan,32 yang membenarkan kepemilikan berdasarkan kepemilikan sedari dulu kala. Keputusan Mahmakah Agung Filipina mengakui sifat privat dari wilayah kekuasaan leluhur, memisahkannya dari ranah publik dan konsep hukum yang biasa dipergunakan untuk menggugat konsitusionalitas IPRA. Penggabungan FPIC ke dalam IPRA memunculkan harapan bahwa Filipina dapat mencegah penggusuran Masyarakat Adat.

FPIC mempunyai dasar perundang-undangan yang jelas di dalam hukum Filipina, dan adalah salah satu elemen IPRA yang paling penting33. IPRA mendefi nisikan FPIC sebagai konsensus dari seluruh anggota masyarakat budaya adat (Indigenous Cultural Communities/ICCs)/Masyarakat Adat (Indigenous Peoples/IPs) yang ditentukan sesuai dengan hukum dan praktik adatnya masing-masing, bebas dari manipulasi, campur tangan dan paksaan pihak luar, dan diperoleh setelah mengungkapkan keseluruhan tujuan dan cakupan kegiatan tersebut, di dalam bahasa yang bisa dipahami komunitas.

FPIC disebutkan berulang kali di dalam IPRA dengan tujuan melindungi kepentingan Masyarakat Adat di wilayah kekuasaan leluhurnya. Dalam konteks IPRA, FPIC secara khusus mengacu pada hak masyarakat asli untuk tinggal di batas wilayah mereka; hak terhadap situs keagaaman dan budaya serta upacara; hak untuk memberi atau menahan akses ke sumberdaya biologis dan genetis serta pengetahuan adat yang terkait dengan pelestarian, penggunaan dan perbaikan sumberdaya; dan hak untuk menebus di dalam kasus-kasus dimana hak kepemilikan/tanah telah dialihkan tanpa persetujuan mereka. IPRA juga menuntut FPIC untuk “mengeksplorasi, menggali ataupun melakukan penggalian pada situs

32 212 US 449 (1909)

33 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371 (1997)

Page 28: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

23

arkeologis” dari Masyarakat Adat dan “sebelum penyerahan lisensi, sewa atau izin eksploitasi sumberdaya alam” yang dapat berdampak pada kepentingan Masyarakat Adat34.

Defi nisi IPRA mengenai wilayah kekuasaan dan tanah leluhur cukup komprehensif. Wilayah kekuasaan leluhur dimiliki secara kolektif dan bisa meliputi tanah, perairan darat, area tepi pantai, dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya (termasuk mineral). Tanah kekuasaan leluhur, yang pengertiannya lebih sempit ketimbang wilayah kekuasaan leluhur, mungkin berada di bawah kepemilikan individu atau kelompok tradisional. Undang-undang ini juga menetapkan sendiri batas-batas (self-delineation) wilayah kekuasaan leluhur, termasuk tanah yang tidak lagi mereka huni namun secara tradisional telah menggunakan:

Bagian 51. Penentuan Batas Tanah dan Pengakuan Wilayah Kekuasaan Leluhur. — Penentuan sendiri batas-batas akan menjadi prinsip pemandu di dalam mengidentifi kasi dan menetapkan garis batas tanah di wilayah kekuasaan leluhur. Dengan demikian, masyarakat budaya adat atau Masyarakat Adat yang terkait akan mempunyai peran penentu di dalam seluruh kegiatan yang terkait. Pernyataan Tersumpah dari Para Tetua hingga cakupan teritori dan perjanjian/pakta yang dibuat dengan ICCs/IPs, kalaupun ada, akan sangatlah penting di dalam menentukan teritori tradisional ini. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengidentifi kasi tanah yang secara tradisional dihuni ICCs/IPs dan menjamin perlindungan akan hak-hak mereka secara efektif atas kepemilikan dan barang milik yang terkait. Dalam pelbagai kasus yang sesuai, berbagai tindakan akan diambil untuk mengamankan hak ICCs/IPs yang berkenaan dengan tanah yang mungkin sudah tidak lagi mereka tempat secara eksklusif, tetapi yang secara tradisional menjamin kelangsungan kegiatan subsistensi dan kegiatan tradisional mereka, khususnya ICCs/IPs yang masih berpindah-pindah (nomadic) dan/atau peladang berpindah.

34 ibid

IPRA juga menetapkan peran pemerintah di dalam mengidentifi kasi dan juga menentukan batas-batas wilayah kekuasaan leluhur melalui Komisi Nasioanl Masyarakat Adat (National Commission on Indigenous Peoples/NCIP). IPRA membentuk NCIP, badan pemerintah yang bertanggung jawab atas pengembangan dan implementasi kebijakan dan program untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak Masyarakat Adat. Komisi ini beranggotakan tujuh Komisioner yang ditunjuk oleh Presiden (semuanya anggota komunitas Masyarakat Adat) yang memilik kekuasaan administratif, kuasi-yudisial dan kuasi-legislatif. NCIP bertugas mengeluarkan sertifi kat hak milik wilayah kekuasaan leluhur dan sertifi kat sebagai prasyarat untuk pemberian izin, sewa dan hibah (kepada perusahaan, pemerintah ataupun entitas lainnya) bagi penggunakan sebagian wilayah kekuasaan leluhur tersebut. IPRA menuntut NCIP menerangkan secara resmi bahwa warga memberikan persetujuan tanpa paksaan bagi eksploitasi sumberdaya alam di wilayah kekuasaan leluhur mereka sebagai syarat untuk persetujuan proyek. (Bagian 46 (a)).

Meskipun merupakan undang-undang yang kuat, IPRA juga punya beberapa kelemahan. Ada keprihatinan tentang caranya menyederhanakan dan menstandarisasi konsep seperti Masyarakat Adat, hukum adat dan konsepsi mengenai wilayah kekuasaan leluhur35. Hal ini menjadi catatan mengenai berbagai perbedaan yang ada di antara beragam komunitas Masyarakat Adat di Filipina. IPRA juga dilemahkan oleh undang-undang mengenai sumberdaya alam lainnya seperti Undang-undang Pertambangan, yang berakibat pada ketidakjelasan implementasinya. 36

Meskipun demikian, terlepas dari tantangan semacam ini, undang-undang tersebut secara tegas memperkuat hak-hak Masyarakat Adat terhadap wilayah kekuasaan leluhur dan integritas budaya mereka. Banyak upaya telah dilakukan untuk memperlunak ketetapan undang-undang tersebut, namun sejauh ini Masyarakat Adat dan organisasi masyarakat sipil di Filipina telah berhasil mempertahankannya.

35 Celeste Ann Castillo Llaneta, The Road Ahead for the Indigenous Peoples (2012)

36 ibid

Page 29: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

24

Perkembangan terbaru FPIC di dalam Undang-undang Filipina

Pemerintahan sekarang ini – yang dipimpin oleh Presiden Benigno Aquino III – telah mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan komunitas Masyarakat Adat. Pemerintah mengembalikan lagi NCIP di bawah Kantor Presiden37, “untuk memastikan upaya terpadu untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan, program dan proyek yang arahnya untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak dan kesejahteraan ICCs/IPs38”. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran tambahan untuk NCIP agar ia bisa membentuk pengadilan kuasi-yudisial. Pengadilan ini mencoba menuntaskan isu-isu terkait IPRA, mengurangi, kalaupun tidak menghapuskan, perlunya litigasi di pengadilan lain39. Selain itu, pemerintah juga menunjuk Zenaida Brigida Hamada-Pawid, yang bekerja di Organisasi Masyarakat Sipil sebelum bergabung dengan pemerintah, sebagai ketua NCIP. Dengan rekam jejaknya membela hak-hak Masyarakat Adat, tidaklah mengherankan jika terjadi reformasi progresif di dalam masa jabatannya.

NCIP mengeluarkan aturan baru untuk melaksanakan FPIC40. Aturan ini bermaksud mengklarifi kasi ketentuan-ketentuan yang paling rentan terhadap penyalahgunaan, misinterpretasi, misrepresentasi, sogok, dan korupsi41. Kamar Dagang Pertambangan Filipina memprotes aturan tersebut dengan alasan NCIP gagal berkonsultasi dengan pemangku kepentingan mengenai revisi aturan ini dan mengutip kehilangan potensi investasi dan penundaan di sejumlah proyek eksplorasi dan penambangan kunci. Biro Pertambangan dan Geologi Departemen Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam turut mempertanyakan aturan tersebut dan menuding bahwa ia akan mengurangi investasi pertambangan.

37 Perseus Echeminada, NCIP welcomes its return to the Offi ce of the President, Philippine Star, (November 11, 2010)

38 Executive Order No. 11, s. 2010

39 Log cit, Celeste Ann Castillo Llaneta: 2012

40 Republic of the Philippines, Administrative Order No. 03-12 or The Revised Guidelines on Free and Prior Informed Consent (FPIC) and Related Processes of 2012 (April 2012)

41 Celeste Ann Castillo Llaneta, The Road Ahead for the Indigenous Peoples, (2012) quoting NCIP Chair ZenaidaBrigida Hamada-Pawid

Akan tetapi, NCIP menerbitkan revisi aturan tersebut pada 16 Mei 2012 sebagai upaya mengatasi tantangan-tantangan implementasi yang sudah dijelaskan di bagian terdahulu. Bagian 3 dari Perintah Administratif No. 03-12 atau “Revisi Pedoman Persetujuan atas dasar Informasi Awal tanpa Paksaan dan Proses Terkait pada 2012” memuat Deklarasi Kebijakan, dengan menyatakan bahwa:

1. FPIC mewujudkan dan memperkuat pelaksanaan hak ICCs/IPs atas Wilayah Kekuasaan Leluhur, Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia, Swa-Tata Kelolat dan Pemberdayaan dan Integritas Budaya;

2. Hak ICCs/IPs untuk mengelola, mengembangkan, menggunakan dan memanfaatkan tanah dan sumberdaya di dalam wilayah kekuasaan leluhur mereka akan diperhatikan secara penuh;

3. Tidak akan ada konsensi, lisensi, izin atau sewa, perjanjian bagi-hasil ataupun usaha lain yang akan mempengaruhi wilayah kekuasaan leluhur akan diberikan atau diperbaharui tanpa proses yang diuraikan oleh undang-undang dan Pedoman ini.

Beberapa ciri utama dari aturan pelaksana yang secara umum bersifat progresif tersebut ialah:

1. Mencantumkan dengan jelas bahwa Masyarakat Adat punya hak untuk mengembangkan resolusi persetujuan tanpa paksaan (a resolution of consent) atau resolusi bukan-persetujuan (resolution of non-consent). Kedua jenis resoulusi ini diadopsi oleh Masyarakat Adat yang terdampak atau melalui tetua/pimpinan adat yang berwenang dan memungkinkan warga untuk menyampaikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan rencana, program, proyek atau kegiatan. Dalam hal penolakan, resolusi bukan-persetujuan juga harus menyertakan alasan tindakan tersebut. (Bagian 5).

2. Menyediakan “investigasi lapangan” yang terdiri dari penelitian lapangan untuk menentukan apakah proyek tersebut tumpang

Page 30: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

25

tindih dengan/berdampak pada tanah masyarakat serta mengidentifi kasi siapa di antara warga yang mau menyerahkan FPIC atau menahannya. Ketentuan ini menuntut keikutsertaan para pemimpin Masyarakat Adat di dalam tim penelitian lapangan. Pimpinan Masyarakat Adat, sponsor proyek dan badan pemerintah yang terkait harus menyepakati isu-isu seperti biaya, format untuk mendokumentasikan kegiatan (foto, video, dsb) serta proses lain yang relevan, serta hasil investigasi lapangan tersebut harus disahkan oleh majelis komunitas.

3. Memfasilitasi pembentukan Tim FPIC di tiap provinsi. Tim ini meliputi pejabat provinsi, pejabat hukum provinsi, ahli teknik dari kantor provinsi atau daerah, kepala tim investigasi lapangan dan dua tetua atau pimpinan Masyarakat Adat yang dipilih warga (Bagian 16). Tim FPIC mengemban tugas sebagai berikut (berdasarkan Bagian 18):

a. Dengan pemberitahuan sebelumnya, mengadakan siding majelis yang pertama untuk mengesahkan: (1) laporan investigasi lapangan; (2) identitas tetua dan pemimpin Masyarakat Adat; (3) proses pengambilan keputusan; (4) sensus warga (migran atau sebaliknya/pendatang); (5) daerah terdampak; (6) keberadaan konfl ik perbatasan dengan wilayah kekuasaan leluhur lainnya;

b. Mendokumentasikan dan menjembatani mekanisme resolusi konfl ik, jika ada, oleh tetua/pimpinan Masyarakat Adat terpilih;

c. Memfasilitasi dan mendokumentasikan gerak-gerik majelis dan bertanggung jawab atas penafsiran, terjemahan, klarifi kasi, ataupun elaborasi masalah yang didiskusikan atau diangkat;

d. Mengarahkan semua pihak pada ketentuan-ketentuan IPRA yang terkait di tiap tahapan;

e. Mempresentasikan hasil yang disepakati dan rencana keuangan selama berlangsungnya sidang majelis;

f. Mengundang pakar independen yang sesuai, jika ada, untuk membagikan

pandangannya atas aspek apa saja dari proyek tersebut;

g. Jika komunitas Masyarakat Adat setuju dengan kegiatan tersebut, membantu membuat naskah Resolusi persetujuan tanpa paksaan dan nota kesepakatan (Memorandum of Agreement/MoA), atau Resolusi Bukan-Persetujuan;

h. Membuat catatan akuntansi, sesuai dengan standar akuntansi dan audit yang diterima secara umum, dari segala uang dan barang yang diterima terkait pelaksanaan FPIC; dan

i. Mempersiapkan dan menyerahkan laporan FPIC dengan rekomendasi, dan ringkasan inti laporan tersebut, yang keduanya sewajarnya ditandatangani di bawah sumpah oleh pimpinan tim dan para anggotanya.

4. Menyediakan aplikasi ganda FPIC sepanjang berlangsungnya proyek. Ketentuan ini menghendaki bahwa: “Kecuali jika secara khusus disebutkan di dalam MoA, pelaksanaan FPIC secara terpisah berlaku untuk tiap fase utama dari kegiatan yang diusulkan seperti Ekplorasi; Operasi atauPengembangan; Kontrak operator; dan sejenisnya” (Bagian 20).

5. Meminta pelaksanaan sidang majelis Masyarakat Adat sebanyak dua kali. Sidang pertama diadakan segera sesudah dana FPIC 42 diberikan. Selain pemberitahuan resmi kepada wakil dari wilayah kekuasaan leluhur dan yang lainnya, pengumuman tertulis juga harus ditaruh, “tujuh (7) hari sebelum kegiatan diselenggarakan di tempat-tempat yang mudah terlihat dan di sekitar tempat tinggal komunitas ICC/IP” (Bagian 22). Selama sidang, para

42 RevisiPanduan FPIC dari NCIP 2012 memuat ketentuan mengenai iuran FPIC. Iuran tersebut dibayarkan oleh aplikan (perusahaan) berdasarkan kerja dan rencana keuangan untuk investifasi lapangan atau konferensi FPIC. Rencana keuangan harus disetujui aplikan, perwakilan Masyarakat Adat yang bersangkutan dan NCIP selama pra-konferensi tentang investigasi lapangan/rencana keuangan. Rencana keuangan harus meliputi (a) biaya makanan dan makanan ringan, ongkos transportasi dan pengeluaran bagi mereka yang terlibat dalam investigasi lapangan; (b) dokumentasi kegiatan investigasi seperti foto dan/atau video, rekaman kaset dan pengembangan, reproduksi dokumen; dan (c) Lainnya akan disepakati seluruh pihak sebelum konferensi. Komputasi pengeluaran atau biaya haruslah berdasarkan tarif yang bisa diterapkan di daerah tertentu tempat investifasi atau FPIC dilaksanakan. Uang tersebut disetor di akun piutang yang dibuat untuk tujuan tersebut oleh kantor perwakilan daerah NCIP.

Page 31: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

26

peserta akan diberi materi orientasi IPRA dan proses FPIC, mengesahkan laporan investigasi lapangan, mengidentifi kasi dan mengesahkan pimpinan Masyarakat Adat, menetapkan proses yang akan dilakukan untuk mencapai konsensus, menerima kerja dan rencana keuangan untuk proses tersebut, dan mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan.

Sidang majelis kedua berisi presentasi dari pihak yang mengusulkan proyek tersebut. Bagian 22 dari ketentuan tersebut menyebutkan bahwa presentasi ini harus berisi:

a. Rencana Operasi dan skop dan cakupan proposal;

b. Biaya dan manfaat proposal tersebut bagi komunitas masyarakat dan wilayah kekuasaan leluhurnya;

c. Anggapan tentang kerugian atau dampak buruk bagi warga; dan

d. Langkah-langkah yang akan diambil oleh perencana proyek untuk menghindari atau mengurangi dampak tersebut.

Para ahli dan pemangku kepentingan lainnya bisa diajak ikut serta, dan warga memperoleh kesempatan untuk bertanya dan mengungkapkan keprihatinan mereka. Ketentuan tersebut juga menetapkan bahwa Masyarakat Adat “akan dibiarkan sendiri untuk menyetujui jadwal pengambilan keputusan/pencapaian konsensus dan kapan harus mengumumkan keputusannya.”

6. Menuntut pengesahan majelis manakala kesepakatan telah dicapai di antara warga komunitas. Tim FPIC harus menjelaskan MoA tersebut kepada warga “di dalam bahasa yang mereka pakai dan pahami” (Bagian 22). Komunitas harus mengkonfi rmasi dan kedua belah pihak harus menandatangani perjanjian sebelum diikat. Resolusi persetujuan tanpa paksaan atau bukan-persetujuan juga ditandatangani.

7. Tandai area yang dikecualikan. Ini meliputi tanah suci dan tempat pemakaman Masyarakat Adat, situs budaya dan pusaka lokal dan internasional, wilayah yang dianggap kritis atau dijadikan cagar oleh Masyarakat Adat

untuk tujuan tertentu dan wilayah lain yang ditandai secara khusus oleh mereka (Bagian 25).

8. Melarang beberapa undang-undang yang mungkin mengarah pada penyalahgunaan proses selama periode penundaan suatu aplikasi proyek. Sebagai contoh, aplikan (perencana proyek) harus menghindari: menggunakan kekerasaan, paksaan atau intimidasi apapun, membawa senjata api pada saat kunjungan ke komunitas; menyuap atau menjanjikan uang, perlakuan istimewa (privilege)atau imbalan; perundingan di bawah tangan dengan Masyarakat Adat, dst. Sama halnya, para pekerja NCIP tidak boleh menerima uang atau hadiah dari aplikan, berupaya untuk mempengaruhi hasil dari proses tersebut; gagal untuk bertindak secara pantas dalam menanggapi keluhan warga; menggelar pertemuan-pertemuan tidak resmi seperti “acara minum-minum dan makan bersama”, dst. Akhirnya, anggota atau pimpinan komunitas masyarakatadat haruslah menghindari tindakan mengumpulkan dukungan maupun menerima uang atau hadiah, merundingkan atau menengahi tanpa wewenang, berusaha terlalu mempengaruhi hasil dari proses tersebut, dsb. (Bagian 65. Ketentuan tersebut juga mencantumkan sanksi bagi pelanggaran hal-hal yang diaturnya. (Bagian 66)

Sementara ketentuan di atas menegakkan langkah pengamanan untuk mempromosikan implementasi FPIC yang efektif, beberapa kelompok Masyarakat Adat dan masyarakat sipil telah menengarai sejumlah kerisauan terkait aspek tertentu dari ketentuan tersebut. Misalnya saja, ketentuan tersebut menganjurkan batas waktu untuk proses pengambilan keputusan pada Masyarakat Adat yang mungkin tidak sesuai dengan proses aktual yang dijalani Masyarakat Adat untuk mengevaluasi proyek dan membuat keputusan atas dasar informasi43. Batas waktu ini dimasukkan sebagai perubahaan menit-menit terakhir terhadap ketentuan NCIP.

43 Bagian 22 menetapkan bahwa di akhir siding majelis komunitas kedua, …ICCs/IPs harus dibiarkan sendirian untuk menyepakati jadwal

pengambilan keputusan/pencapaian konsensus dan kapan harus mengeluarkan keputusan tersebut. Kegiatan ini haruslah tidak lebih dari 10 hari dari siding kedua dan harus selesai dalam jangka waktu yang masuk akal tetapi tidak lebih dari dua bulan setelahnya.

Page 32: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

27

Batasan tersebut di naskah revisi ketentuan versi sebelumnya mendapat kecaman keras dari Masyarakat Adat karena dianggap tidak pantas secara budaya dan tidak masuk akal. UNCERD juga menghimbau pemerintah untuk menjamin batas waktu yang realistis untuk proses konsultasi agar bisa menjaga konsistensi sesuai semangat FPIC.44 Ketentuan ini juga menetapkan bahwa para pendukung proyek ini punya kesempatan untuk mencari persetujuan tanpa paksaan tiap enam bulan.45 Di dalam melaksanakan hak untuk penentuan nasib sendiri dan FPIC, beberapa komunitas bisa jadi memutuskan untuk menolak suatu proyek selama bertahun-tahun dan dalam kasus ini, warga tidak bisa dipaksa untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka. Akhirnya, meski ada gunanya jika ketentuan menuntut adanya dua kali sidang majelis, nyatanya lebih banyak lagi pertemuan dibutuhkan untuk proyek yang ruwet seperti proyek di sektor migas dan tambang– untuk menjamin bahwa warga komunitas sempat menerima informasi tentang proyek itu dan punya waktu untuk mencerna informasi dan merumuskan pertanyaan.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang menonjol tersebut, ketentuan pelaksana ini sayangnya menempuh perjalanan panjang untuk mempromosikan implementasi FPIC secara efektif dan partisipatoris sesuai dengan IPRA jika dibandingkan dengan ketentuan pelaksana sebelumnya yang cacat. Ketentuan tersebut hanya baru-baru ini saja teruji.

Bagi hasil kepada Masyarakat AdatKegiatan ekonomi Masyarakat Adat sebelum

masuknya industri ekstraktif di wilayah kekuasaan leluhur mereka adalah di antara yang terburuk dan paling termarjinalkan di dalam masyarakat Filipina. Mereka mengalami diabaikan dan didiskriminasi dalam penyediaan layanan sosial dasar oleh pemerintah. Anggaran 2008 menunjukkan bahwa wilayah dengan konsentrasi Masyarakat Adat tertinggi justru mendapatkan dana alokasi paling sedikit dari pemerintah pusat (CAR –1,22%,

44 CERD Concluding Observations to the Philippines UN Doc CERD/C/PHL/CO/20 (August 27, 2009)

45 Pernyataan dariJejaring Masyarakat Adat dan Industri Ekstraktif (Indigenous Peoples and Extractive Industries Network/IPEIN) kepada Forum Bisnis dan Hak-hak Asasi Manusia (22 Desember 2012)

CARAGA –1,38%, Region IX –1,58%). Oleh karena itu, penyediaan layanan sosial di wilayah mereka jauh di bawah wilayah lainnya di seluruh bagian negara (ADB 2001). Kurangnya anggaran secara umum menyebabkan kondisi hidup yang lebih buruk dan tingginya insidensi (incidence) kemiskinan di daerah di mana Masyarakat Adat berada atau terkonsentrasi. Hal ini, misalnya, terlihat dari fakta bahwa Mindanao, di mana 61% Masyarakat Adat tinggal, menyumbang 31% terhadap total insidensi kemiskinan nasional dan memiliki tingkat kemiskinan dan insidensi subsistensi tertinggi di antara kelompok utama untuk seluruh negara.

Insidensi kemiskinan di Mindanao mencapai 38,8%, naik 1,1% dari 2003. Tingkat insidensi kemiskinan Mindanao 11,9poin persentase lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional 26,9%. Insidensi subsistensi – proporsi keluarga dan individu yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok– di Mindanao juga yang tertinggi, mencapai 19,2%. Daerah Cordillera, di mana 99% penduduknya adalah Masyarakat Adat, ialah salah satu wilayah termiskin dengan alokasi anggaran terendah meskipun kontribusinya besar terhadap kekayaan negara. Empat dari enam provinsi Cordillera adalah provinsi termiskin di Filipina, dan tiga kota dari dua dari provinsi tersebut termasuk 100 kota termiskin se-Filipina. Badan Koordinasi Statistik Nasional (National Statistics Coordination Board/NSCB) menempatkan provinsi Apayao sebagai yang ke-4 termiskin dan provinsi Abra yang ke-9 termiskin di seluruh negeri, sementara Kalinga dan Ifugao ada di urutan ke-11 dan ke-16 berturut-turut.

Komunitas Masyarakat Adat dijumpai di hutan, gunung, dataran rendah dan daerah pesisir pantai dan berbeda-beda tingkat pertumbuhan sosial ekonominya. Mereka hidup dari kombinasi berbagai sistem produksi, termasuk berladang di kaki gunung, pertanian menetap dengan tanaman pangan seperti beras, jagung dan sayur-mayur, berburu dan meramu di hutan, beternak, memancing di sepanjang pesisir pantai dan sungai, dan membuat serta menjual kerajinan tangan lokal. Beberapa Masyarakat Adat, seperti Dumagats dari Quezon dan Aetas dari Zambales, telah mempertahankan cara hidup berpindah-pindah – berburu dan meramu di hutan dan berladang

Page 33: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

28

di level subsistensi yang marjinal. Masyarakat lainnya, seperti Igorots di Cordillera danbanyak lagi Masyarakat Adat lainnya di Filipina, sekarang terlibat dalam kegiatan pasca tanam dan di luar pertanian, seperti juga produksi kerajinan tangan, pertambangan skala kecil, konstruksi, jasa dan pekerjaan musiman.

Banyak masyarakat asli bekerja pada kegiatan yang langsung menghasilkan uang tunai, seperti menjalankan usaha kecil-kecilan dan berdagang produk lokal, memberi nilai tambah pada produk pertaniannya dan memenuhi kebutuhan pokoknya. Hanya segelintir yang bisa bekerja di pemerintahan ataupun lembaga swasta dan memperoleh gaji tetap, sementara yang lainnya bergantung pada remitensi yang dikirimkan anggota keluarganya yang bekerja tetap di pusat-pusat perkotaan ataupun di luar negeri. Penghasilan tunai juga berasal dari uang pension dari lembaga asuransi. Pengaruh luar telah mengakibatkan pelbagai perubahan di dalam sistem ekonomi Masyarakat Adat. Secara umum bisa kita katakana bahwa saat ini mayoritas Masyarakat Adat bertahan dengan pertanian subsistensi, tetapi karena keterdesakan untuk mempertahankan diri, mereka makin terintegrasi dengan ekonomi pasar di seluruh negeri.

Advokasi Komunitas Berbasis Hak Terkait Operasi Industri Ekstraktif

Karakteristik umum masyarakat di Filipina ialah kelekatan mereka pada tanah, teritori dan sumberdaya dari leluhurnya. Pandangan dunia bahwa “tanah adalah kehidupan” tertanam secara mendalam di dalam eksistensi mereka. Tanah ialah “basis territorial yang mutlak sebagai ruang hidup bagi komunitas dan sumber pangan serta kebutuhan lainnya” dan secara langsung berkaitan dengan budaya dan lingkungan terdekatnya. Tanah ialah tempat tinggal mereka sedari dulu kala. Ia juga menjadi basis material bagi identitas kolektif dan keberlangsungan hidup mereka sebagai Masyarakat Adat. Tanah leluhur bagi Masyarakat Adat merupakan konsep holistic yang meliputi tidak hanya tanah, tetapi juga sumberdaya: sungai, hutan, fl ora dan fauna, mineral di bawah permukaannya dan udara di atasnya. Tanah ini bukanlah barang untuk diperjualbelikan atau

dipertukarkan, melainkan sumberdaya yang harus dirawat untuk generasi mendatang.

Kepemilikan tanah di antara Masyarakat Adat sangatlah beragam dan fl eksibel, mulai dari komunal ke semi-komunal hingga privat. Hak atas tanah terutama berasal dari warisan, investasi kerja dan perbaikan aktual atas tanah. Akses dan kontrol terhadap tanah dan sumberdaya secara tradisional diatur melalui hukum adat yang disusun oleh mereka sendiri. Tanah dipandang sebagai warisan kolektif yang harus dipertahankan lintas generasi karena ia adalah sumber kehidupan dan penghidupan bagi penghuninya. Komunitas Masyarakat Adat biasanya berada di daerah yang kaya akan cadangan keanekaragaman hayati. Ini sangat terkait dengan praktik pengelolaan sumberdaya alam yg berkelanjutan yang telah melestarikan kekayaan alam dari tanah. Sistem pengetahuan Masyarakat Adat mengenai pengelolaan sumberdaya yang khas terus bertahan hingga berbagai taraf. Pengetahuan adat berfungsi sebagai seperangkat panduan di dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya di dalam wilayah tanah leluhur mereka.

Undang-undang Republik Filipina 8371 ditegakkan sebagai undang-undang pada 29 Oktober 1997, menciptakan Komisi Nasional Masyarakat Adat (NCIP), menggabungkan ONCC dan OSCC sebagai kantor organisnya. NCIP berfungsi untuk menyelesaikan isu-isu dan persoalan Masyarakat Adat di Filipina dan mengawasi pelaksanaan undang-undang 8371 tersebut. Aturan ini memuat ketentuan khusus menyangkut pertambangan dan tanah suku asli dan secara umum, tanah mana saja yang tidak punya kepemilikian di Filipina yang seringkali dianggap bukan bagian Tanah Leluhur. Dengan demikina, perusahaan pertambangan manapun yang ingin memulai kegiatan tambang harus pertama-tama memperoleh izin tambang dan untuk itu, ia harus mendapatkan Persetujuan tanpa Paksaan atas dasar Informasi Awal dari masyarakat suku asli dan persetujuan itu harus disertifi kasi dan disetujui oleh 7 komisioner.

Proses yang panjang dan melelahkan ini berawal di level bawah dan naik hingga ke Manila dimana NCIP akhirnya mensertifi kasi FPIC.

Page 34: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

29

Proses tersebut mulai ketika ada situs potensial yang sedang dipertimbangkan sebuah perusahaan tambang yang lalu mengirimkan personil penghubung ke area tersebut untuk bicara dengan pemimpin masyarakat asli (Datu) dan mendiskusikan minat tersebut dengan mereka dan melihat apakah mereka terbuka terhadap gagasan tersebut. Jika pada tahap ini Datu yang mengontrol wilayah tersebut keberatan, lantas kita tidak akan melanjutkan usaha itu karena akan berakhir sia-sia.

Jika Datu mendukung proyek tersebut, maka diperlukan forum konsultasi dengan dewan suku asli di wilayah tersebut. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan Datu, tetapi juga keseluruhan dewan. Jika dewan setuju, proses akan dilanjutkan ke langkah berikutnya, tetapi jika tidak, usaha itu pun terhenti. Langkah selanjutnya ialah mendapatkan persetujuan dari Badan Permusyawaratan Provinsi dan mengumumkan lewat poster info proyek yang direncanakan di wilayah tersebut agar terjadi forum warga yang terbuka dengan semua Datu, pemimpin Dewan Suku Asli dan seluruh warga di komunitas tersebut dan di wilayah sekitarnya di mana di kasus terakhir ada lebih dari 200 orang hadir.

Forum terbuka yang besar ini diawasi oleh Komisi Nasional Masyarakat Adat Daerah dan jika disetujui, NCIP akan menandatangani nota kesepakatan dengan komunitas suku asli. Nota ini, bersama dengan sertifi kasi wilayah Persetujuan atas dasar Informasi awal Tanpa Paksaan diteruskan ke kantor pusat Manila untuk dipertimbangkan 7 komisioner yang membentuk NCIP dan setelah mereka melakukan tinjauan dan menyetujui kesepakatan dan aplikasi untuk sertifi kasi FPIC mereka akan mengeluarkan sertifi kasi FPIC. Tanpa sertifi kasi ini, Biro Pertambangan dan Geosains tidak akan menyetujui FPIC karena sertifi kasi dari NCIP tersebutadalah persyaratan mutlak.

Jadi sebagaimana bisa dilihat, suku asli dilindungi secara cermat oleh hukum dan artikel-artikel yang diterbitkan adalah propaganda murni yang dihembuskan lobi anti-pertambangan yang menggunakan Masyarakat Adat untuk mengeksploitasi agenda mereka.

Perjuangan Berlanjut: Menjunjung Hak-hak Masyarakat Adat

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat adalah perjuangan yang telah dilakukan dengan penuh semangat selama bertahun-tahun. Diadopsinya deklarasi hak-hak masyarakat oleh Dewan Umum PBB pada 13 September 2007 telah memicu sorak-sorai di seluruh dunia di antara masyarakat budaya adat dan beragam dukungan dari masyarakat sipil. Meski UNDRIP bukanlah instrumen yang mengikat secara hukum, ia meletakkan “standar penting untuk perlakuan terhadap masyarakat asli yang tanpa diragukan akan menjadi alat yang berarti untuk menghapuskan pelanggaran hak asasi manusia di muka bumi yang dihuni oleh 370 juta warga Masyarakat Adat dan membantu mereka melawan diskriminasi dan marginalisasi,” menurut PBB.

Di Filipina, disahkannya IPRA pada 29 Oktober 1997 juga menimbulkan sorak-sorai yang sama yang berkumandang bahkan dari bagian paling marjinal masyarakat Filipina, yang dihuni kira-kira14 hingga 15 juta Masyarakat Adat yang terbagi ke dalam 110 kelompok etno-linguistik. Pemahaman bersama pada akhirnya menjadi undang-undang nasional yang bertujuan melindungi dan menjunjung hak-hak Masyarakat Adat. IPRA dengan empat rangkaian hak yg akan ia lindungi bersamaan dengan disahkannya sebagai undang-undang muncul seperti hujan yang tengah dinanti-nantikan. Mereka yang sudah begitu lama berteriak di jalanan dan balai legislatif memperjuangkan aspirasi pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat pun hanyut dalam perayaan. Empat paket hak ini meliputi hak atas wilayah dan tanah leluhur, hak untuk swa-kelola dan pemberdayaan, hak keadilan sosial dan hak asasi manusia serta hak atas integritas budaya.

IPRA memfasilitasi pembentukan NCIP yang oleh undang-undang dimandatkan untuk “melindungi dan mempromosikan kepentingan dan kesejahteraan dengan memperhatikan kepercayaan, adat-istiadat, tradisi dan lembaga mereka.” Sayangnya, sampai sejauh mana NCIP menjalankan mandatnya atau bagaimana IPRA telah diimplementasikan sejak diloloskan pada 1997 adalah cerita duka yang lain dari Masyarakat

Page 35: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

30

Adat. Masyarakat Adat di Filipina terus mengalami diskriminasi sosial, marjinalisasi ekonomi dan ketidakberdayaan politik kendati sudah muncul IPRA dan NCIP. Dikecualikan dari ranah sosial-ekonomidan politik, mereka tetap menjadi kelompok yang mewakili kaum paling miskin dan rentan.

Peran Organisasi Masyarakat Sipil Bantuan kepada masyarakat sipil makin

menjadi bagian penting dari agenda pembangunan. Berada di ruang antara keluarga dan negara, serta mendorong koordinasi tindakan publik di antara anggotanya dan warga negara lainnya, organisasi masyarakat sipil paling sering dielu-elukan karena perannya mempromosikan dan melindungi demokrasi46. Namun demikian, sumbangsihnya terhadap pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan kian diakui dan didukung47. Aspek fundamental dari operasi organisasi masyarakat sipil (civil society organizations/OMS) berkaitan dengan peran mediasi antara individu dan negara yang ia jalankan. Analis telah menunjukkan secara empiris bagaimana negara dan warga negara bisa memetik manfaat dari jejaring organisasi masyarakat sipil yang rapat di dalam memediasi hubungan keduanya. Kinerja program pemerintah membaik dan dampak kebijakan negara ditingkatkan dan lebih tersebar luas, tatkala alih-alih berinteraksi dengan warga negara sebagai individu secara sendiri-sendiri, instansi pemerintah berhubungan dengan kelompok warga yang relatif lebih terorganisir. Warga negara juga mampu memperoleh manfaat yang lebih besar dari program-program pemerintah dan dari peluang pasar apabila upayanya sendiri diorganisasikan dan lebih direkatkan oleh OMS48. Ada alasan-alasaan yang baik untuk percaya mengapa organisasi yang lahir dari masyarakat bisa menunjukkan peran mediasi ini secara efektif dibandingkan dengan organisasi lainnya yang dirintis dan dikendalikan oleh negara. Manakala

46 Literatur yang mengaitkan peran dari organisasi semacam ini dengan “gelombang keempat” demokratisasi diEuropa TimurdanAmerika Latin direpresentasikan, misalnya, oleh Schmitter and O’Donnell (199x), Ekiert (199x)

47 Lihat, misalnya, Barber 1995; Fukuyama 1995; Kothari 1988; Ostrom, Gardner and Walker 1994; World Bank 1993, 1997.

48 Penjelasan teoritis dan empiris yang berguna mengenai hubungan-hubungan ini tersedia, misalnya, dalam Ostrom (1990); Rosenstone and Hansen (1993); and Verba, Schlozman and Brady (1995).

analis pembangunan secara tradisional berfokus pada sumberdaya dan kapasitas yang ada di antara badan-badan pemerintah, sebuah sumberdaya yang secara relatif diabaikan, terdiri dari talenta dan energi yang hidup di kalangan kaum miskin sendiri, makin diidentifi kasi oleh kajian terbaru di bawah rubrik modal sosial (social capital). Menurut kajian ini, organisasi masyarakat sipil penting untuk memobilisasi modal sosial dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan.

Modal sosial didefi nisikan sebagai aspek-aspek dari organisasi sosial, termasuk jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang membantu terjadinya koordinasi dan kerjasama demi keuntungan bersama. Komunitas dan kelompok yang lebih diikat lebih erat oleh ikatan kepercayaan dan jejaring gotong royong kemungkinan besar bisa mencapai kinerja pembangunan yang lebih unggul daripada komunitas dan kelompok lain yang ikatan dan jejaringnya lebih lemah. Modal sosial di dalam hitungan ini memiliki dimensi kognitif – meliputi norma, nilai, sikap dan kepercayaan yang mempengaruhi orang untuk melakukan aksi kolektif – dan dimensi struktural yang dibentuk oleh organisasi formal atau informal yang memfasilitasi aksi kolektif untuk mencapai beberapa sasaran bersama49.

Komunitas dengan tingkat modal sosial yang tinggi dilimpahi kapasitas untuk menyelesaikan tugas berlipat-lipat terkait kesejahteraan kolektif. Namun demikian, beberapa agensi perlu mengontrol hal ini dan mengubahnya menjadi rangkaian manfaat. Bagaimana tepatnya modal sosial dari komunitas mana saja digerakkan untuk mengatasi masalah pembangunan yang khusus? Sebagai contoh, bagaimana sebuah komunitas dari warga negara miskin bisa memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki untuk mengatasi beberapa persoalan umum, katakanlah membantu sistem suplai air atau meningkatkan produktivitas pertanian? Penelitian empiris mengenai modal sosial masih relatif baru, tetapi bukti yang muncul mengindikasikan bahwa beberapa tindakan agensi diperlukan di kebanyakan kejadian untuk

49 Tentang modal sosial, secara umum, dankaitannya dengan performa kelembagaan, lihat Putnam et al. (1993) dan Coleman (1990).Tentang perbedaan antara dimensi kognitid dan structural dari modal sosial, lihat Uphoff (1999) dan Krishna (1999).

Page 36: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

31

membuat penggunaan sumberdaya dan modal sosial produktif.

OMS memegang peran kritis di dalam menggerakkan modal sosial. Modal sosial ialah sumberdaya yang dimiliki komunitas manapun hingga taraf tertentu dan ia membantu menyelesaikan persoalan ganda yang sifatnya kolektif. Meski demikian, sebagaimana sumberdaya lainnya, perlu diaktivasi untuk dipadukan dengan sumberdaya lainnya, termasuk fi sik, fi nansial dan sumberdaya manusia. Analogi yang berguna menarik perbedaan antara stok (stock) dan aliran (fl ow). Agar bisa berguna bagi pembangunan ataupun tujuan lainnya, stok modal sosial yang dimiliki suatu komunitas haruslah diubah menjadi aliran manfaat. Sebagaimana lapisan yang kaya akan biji mineral, modal sosial hanya punya potensi dan bukan nilai riil hingga ia diaktivasi dan dikombinasikan dengan sumberdaya lainnya secara bijaksana.

Tindakan memobilisasi modal sosial ini dan mengikatnya dengan sumberdaya lainnya diperankan secara mendasar oleh OMS. Biasanya OMS yang punya akar lokal – secara sah dan akuntabel – bisa mendayagunakan sumberdaya kultural dan sosial yang membentuk modal sosial. Bukti yang dikumpulkan serangkaian kecil studi yang telah dilakukan sejauh ini terkait pembangunan dan modal sosial mengindikasikan cukup jelas bahwa bentuk-bentuk organisasi yang dipaksakan dari luar jarang berhasil di dalam memberdayakan sumberdaya dari modal sosial komunitas50. Kajian terdahulu dengan tujuan mempelajari efek dari tipe organisasi yang berbeda-beda dalam hal menggerakkan partisipasi masyarakat di dalam program-program pembangunan juga mendukung kesimpulan yang sama. Keanggotaan organisasi dan mereka yang muncul dari akar rumput kemungkinan besar bersandar pada tradisi lokal terkait koordinasi dan kerjasama dibnadingkan organisasi lainnya yang dibuat dengan pendekatan dari atas ke bawah51.

50 Misalnya, lihat Grootaert (1998), Krishna and Uphoff (1999), Reid and Salmen (1999).

51 Kajian yang representatif dari genre ini termasuk Esman and Uphoff (1984), Carroll (1992), dan Farrington et al. (1993). Organisasi lainnya dapat juga mendukung mobilisasi sosial di tingkat level, studi ini menunjukkan, tetapi hanya organisasi yang diterapkan dari luar dapat sukses dalam hal ia belajar akuntabel terhadap penduduk setempat (ketimbang terhadap atasan mereka) dandengan demikian memperoleh

Oleh karena itu, salah satu manfaat kritisnya yang biasanya dimiliki OMS terhadap organisasi yang disponsori negara berkaitan dengan kemampuan mereka untuk secara efektid dan sah memberdayakan cadangan modal sosial. Karena hasil yang baik tercapai lewat bantuan tindakan kolektif, modal sosial terbantun dan tradisi kerjasama demi kebaikan bersama diteguhkan lebih lanjut. Mendorong dan memfasilitasi lingkarang setan mobilisasi modal sosial memberikan alasan di balik keprihatinan saat ini terkait bantuan bagi organisasi masyarakat sipil.

Namun, kendati peran yang dimainkan OMS di dalam mengefekti� an mobilitasi sosial dan mengendalikan modal sosial semakin diakui dengan baik, petunjuk praktis yang tersedia sangat sedikit untuk membantu praktisi menerjemahkan ekspektasi ke dalam realitas di lapangan. Bagaimana rencana dan strategi dirancang di situasi terberi mana pun yang dapat membantu memperkuat OMS secara tepat? Sub-bidang pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat sipil relatif baru dan sedikit jawaban telah tersedia untuk menjawab isu-isu yang menjadi kepedulian praktis. Pengembangan teori di wilayah yang baru dan sedang naik daun ini akan lambat dan berciri induktif. Situasi-situasi butuh perhatian lebih lanjut untuk dirinci ketimbang yang biasanya bisa diberika para teoretisi mengenai masyarakat sipil, sehingga penjelasan yang bersifat deduktif hampir tidaklah cukup untuk tujuan ini. Penjelasan induktif, berdasarkan pengalaman proyek perintis, dengan dmikian menyedian bagian terbesar dari proses pembelajaran yang diperlukan untuk membantu dan memandu upaya berikutnya. Dalam konteks ini sangat berguna untuk menyatukan wawasan dan pelajaran dari contoh-contoh para perintis – bukan hanya sekadar menyelaraskan pengakuan yang sudah layak dan sepantasnya bagi upaya mereka, melainkan juga agar bisa menjadi patokan buat pelajaran masa depan.

Studi kasus ini telah dirangkai bersama agar bisa mempromosikan pembelajaran bersama di antara mereka yang berkepentingan dengan memajukan solusi-solusi masyarakat sipil bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

legitimasi lokal hingga derajat tertentu.

Page 37: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

32

Delapan studi kasus, yang mewakili jumlah proyek dan negara secara setara, telah diseleksi dari sejumlah besar pengalaman yang menarik dan instruktif oleh penyunting. Bunga rampai kasus ini didasarkan seberapa baik hasil yang dicapai oleh kasus khusus manapun sebagaimana diukur dari sebarapa kayanya pengalaman tersebut didokumentasikan. Setiap kasus menghantar pembaca langkah demi langkah melaui beragam tahap dari pengalaman belajarnya, menguraikan bagaimana persoalan partikular diatasi secara memuaskan dalam situasi yang spesifi k, dan menyediakan wawasan tentang bagaimana proyek dan program serupa bisa dikembangkan di negara lain dan konteks yang berbeda.

Kendati tidak pada dirinya sendiri membentuk batang tubuh teori yang general yang relevan bagi segala situasi dan tiap negara, kasus-kasus ini mewakili lapisan pengalaman praktis yang kaya, yang didapatkan dari beraneka situasi dan berkaitan dengan sektor, negara dan tipe organisasi masyarakat sipil yang berbeda. Kerangka analitis singkat yang disajikan di bawah membantu penyusunan wawasan yang berguna bagi para praktisi karena mereka berhadapan dengan situasi lapangan di mana pun di belahan dunia yang tengah berkembang.

Page 38: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

33

Pengalaman Global

Studi Kasus AustraliaSebagai negara yang memilik sejarah industri

ekstraktif yang kuat dan panjang, Australia menjalani perubahan besar terhadap dan memiliki standar maju di dalam penerapan FPIC. Australia meratifi kasi Deklarasi Universal Hak Asasi Masyarakat Adat kendati kebijakan tersebut tidak bersifat mengikat52. Dalam kenyataannya, pengakuan perusahaan-perusahaan Australia terhadap FPIC masih rendah. Oxfam Australia dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan tersebut mengklaim mereka menghargai hak asasi manusia, para perwakilan perusahaan tidak mendukung FPIC. Dengan demikian hak untuk persetujuan atas dasar informasi oleh Masyarakat Adat dan penduduk lokal yang terdampak industri ekstraktif dipisahkan dari hak-hak asasi manusia.

Oxfam mengkaji pernyataan dari 53 perusahaan ekstraktif yang masuk dalam da� ar 200 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Australia (Australian Securities Exchange/ASX 200). Dari 53 perusahaan, hanya 14 yang menerbitkan komitmennya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia di dalam keseluruhan operasinya. Angka ini sangat rendah mengingat 2/3 kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan organisasi non-pemerintah terkait dengan sektor tersebut.

Sebanyak 12 dari 53 perusahaan yang telah dikaji telah mengumumkan komitmennya untuk menghormati hak asasi manusia. Komitmen ini sering ditunjukkan dalam kebijakan hak asasi manusia atau kebijakan komunitas atau kode perilaku (code of conduct) perusahaan. Namun, Australia sesungguhnya telah membuat kemajuan, khususnya di negara bagian Northern Territory, lewat keberadaan hak-hak Tanah Aborigin (Northern Territory Act) yang disahkan pada 1976,

52 http://www.iaia.org/conferences/iaia12/uploadpapers/Final%20papers%20review%20process/Smith,%20Howard.%20%20Informed%20consent%20in%20Australia%E2%80%99s%20Northern%20Territory.pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1

sebagai dasar hukum bagi masyarakat Aborigin di sana untuk menggugat hak-hak berdasarkan tradisi atas tanah.

Undang-undang ini adalah regulasi pertama yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak Aborigin. Sekitar 50% tanah Northern Territory dan 85% wilayah lautnya merupakan milik masyarakat Aborigin. Empat dewan didirikan untuk mewakili kepentingan Aborigin atas tanah, yakni Central Land Council, Tiwi Land Council, Northern Land Council, dan Anindilyakwa Land Council. Keempat dewan ini tidaklah sempurna dan persoalan tetap saja terjadi. Lemahnya persepsi untuk melibatkan mereka di dalam konsultasi masih saja menjadi problem utama yang bisa memicu munculnya kasus hukum. Sebagai contoh, beberapa warga Aborigin mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses konsultasi terkait dengan Perjanjian Rio-Tinto Alcan Gove (2011) dan pengembangan sistem pembuangan limbah nuklir. Akhirnya, masyarakat Aborigin melakukan gugatan hukum untuk menyelesaikan kedua kasus tersebut.

Baik peraturan maupun kebijakan pemerintah telah menghambat pelaksanaan FPIC. Kendati Hak-hak Tanah Aborigin menjamin FPIC, aturan tersebut pada dasarnya memaksa masyarakat untuk menolak pertambangan seketika atau membiarkan pertambangan berjalan tanpa menyediakan informasi yang memadai mengenai mineral yang ditambang, dampak serta durasinya. Kebijakan pemerintah memandang bahwa proses analisis mengenai dampak lingkungan hanya konsultasi semata karena persetujuan tanpa paksaan adalah bagian dari proses perjanjian dan kontrak awal.53

53 http://www.iaia.org/conferences/iaia12/uploadpapers/Final%20papers%20review%20process/Smith,%20Howard.%20%20Informed%20consent%20in%20Australia%E2%80%99s%20Northern%20Territory.pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1

Page 39: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

34

Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara

Perusahaan-perusahaan minyak datang ke Norwegia pada 1960-an dan pada 2010 pengalaman industri minyak Norwegia agaknya tampil sebagai kesuksesan menyeluruh, dalam artian banyak maksud awal yang sukses. Melalui Statoil, kepemilikan strategis negara, lembaga profesional yang kuat seperti Direktorat Perminyakan dan yang terpenting, pengembangan teknologi secara terus-menerus, Norwegia berhasil menjamin bagian terbesar pendapatan dari industri minyak mengalir ke pemerintah, dan pada akhirnya masyarakat. Selain itu, sejalan dengan bertambahnya jumlah perusahaan transnasional bergerak di sektor minyak, gas dan mineral, Norwegia mencatat atau memiliki investasi yang signifi kan dari dana pensiun (Pension Fund) Norwagia, operasi di wilayah Masyarakat Adat mancanegara seperti Filipina, Canada, Burma, Rusia, Alaska, dan lain sebagainya. Sejumlah proyek tersebut memiliki, atau berpotensi memiliki, dampak negatif yang besar terhadap kemungkinan Masyarakat Adat ini menikmati hak-haknya.

Dalam hal ini, Norwegia telah mengambil beberapa langkah positif untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan yang beroperasi di wilayah Masyarakat Adat di luar negeri di mana ia berkomitmen, misalnya, untuk mengeluarkan perusahaan seperti Barrick Gold, Freeport-Mc-Moran, Rio Tinto dan Samling

Global dari portfolio dana pensiunnya. Norwegia juga mempertimbangkan memperbaiki “panduan upaya memperkuat dukungan bagi Masyarakat Adat di dalam kerjasama pembangunan” tahun 2004 agar bisa lebih mencerminkan Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat PBB, khususnya persyaratan terkait FPIC. Norwegia juga telah secara proaktif mendukung inisiatif seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi yang menuntut penghormatan akan hak-hak masyarakat asli, termasuk kewajiban memperoleh persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan. Selain itu, tanggung jawab Norwegia terhadap Masyarakat Adat yang terkena dampak tindakannya atau aksi korporasi telah diatasi melalui berbagai cara.

Pada 2004 Kementerian Luar Negeri Norwegia mempublikasikan ‘panduan bagi upaya memperkuat dukungan bagi Masyarakat Adat dalam kerjasama pembangunan’, berkomitmen terhadap pendekatan berdasar hak asasi manusia terhadap kerjasama pembangunan yang didasarkan pada Konvensi ILO No. 169. Demikian pula sebuah laporan yang terbit pada 2003 ‘Look North! Challenges and Opportunities in the Northern Areas’ yang dihasilkan oleh komite ahli yang ditunjuk Pemerintah Norwegia. Laporan tersebut memuat rekomendasi yang serupa bahwa ‘perusahaan minyak publik dan swasta di wilayah masyarakat asli harus tunduk pada persyaratan konsultasi dari ILO-169 sebagai dasar kegiatan mereka’.54Laporan tersebut juga menyatakan bahwa: ‘Sesuai dengan ILO, istilah FPIC menjadi landasan terkait persyaratan perusahaan yang ingin beroperasi di wilayah Masyarakat Adat’55.

54 Lihat Norwegia mendapatiperusahaan publik terbesar Kanada, Barrick Gold, http://www.corpwatch.org/article.php?id=15286 Norwegian government declares Malaysian timber giant an unethical company http://www.culturalsurvival.org/news/malaysia/norwegian-government-declares-malaysian-timber-giant-unethical-company; lihat juga Norway throws out Freeport June 2006 http://www.minesandcommunities.org/article.php?a=220dan Norway blacklists miner Rio Tinto September 2008http://news.bbc.co.uk/1/hi/business/7608097.

55 Look North! Challenges and Opportunities in the Northern Areas’ yang dibuat oleh komite ahli yang ditunjuk Pemerintah Norwegia pada 2003, (selanjutnya Look North! Report) tersedia di: http://www.regjeringen.no/Rpub/NOU/20032003/032/PDFS/NOU200320030032000DDDPDFS.pdf.

Page 40: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

35

Pelajaran & Rekomendasi

Pelajaran Mengenai Kerangka RegulasiSetelah memasuki era pasca kediktatoran,

baik Indonesia maupun Filipina telah mencatat kemajuan dalam pengakuan terhadap hak-hak komunitas. Regulasi pun telah dibuat untuk mempromosikan hak-hak ini melalui mekanisme FPIC. Namun untuk kasus Indonesia, regulasi yang mengatur implementasi FPIC untuk memastikan hak-hak masyarakat terlindungi masih sangat umum. Hal serupa juga berlaku di dalam lembaga berwenang yang mengawasi eksekusi FPIC. Sebagai pembanding, Filipina telah mencatatkan kemajuan beberapa langkah menyusul dikeluarkannya Undang-undang mengenai Hak-hak Masyarakat Adat pada 1997 dan pendirian Komisi Nasional Masyarakat Adat (NCIP). Komunitas diberikan hak untuk memberikan persetujuan tanpa paksaan atau tidak terkait rencana kegiatan ekstraktif di ruang hidupnya. Keberadaan aturan yang terperinci untuk mengatur FPIC memudahkan advokasi dengan pendekatan berbasis hak. Sebaliknya, ketiadaan aturan dan lembaga yang diperlukan berujung pada sulitnya melindungi hak-hak komunitas sebagaimana bisa dilihat dalam kasus Indonesia.

Mahkamah Konstitusi Indonesia lewat keputusan tahun 2002 telah mengakui hak kelola Masyarakat Adat atas hutan. Ini adalah suatu kemajuan. Namun sayangnya, aturan yang lebih rinci belum ada. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat hanya menetapkan pembentukan organisasi Masyarakat Adat dan belum meliputi perlindungan hak-hak ini melalui mekanisme FPIC.

Pelajaran Tentang Peran OMS dan Pemberdayaan Masyarakat

Organisasi Masyarakat Sipil sangat berpengaruh dalam advokasi hak-hak komunitas.

Dalam kasus Kulonprogo, Yogyakarta, lembaga bantuan hukum dan kelompok aktivis lingkungan membantu warga memperjuangkan ruang hidup mereka melawan perusahaan tambang. Persoalan warga Kulonprogo ini diangkat OMS sebagai bukti bahwa hak-hak konstitutional rakyat terhadap lingkungan yang sehat dan hak milik belumlah diakui secara konkret melalui UU Pertambangan No. 4 Tahun 2009. Perwakilan warga juga didatangkan sebagai saksi. Organisasi masyarakat sipil di Indonesia mampu menangkap persoalan di lapangan di tengah ketiadaan pengakuan terhadap Masyarakat Adat dan warga lainnya yang terdampak industri ekstraktif sehingga kerap menimbulkan konfl ik, lalu mengaitkannya dengan advokasi kebijakan melalu uji materi undang-undang, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU Kehutanan. Strategi ini perlu dilanjutkan dan disempurnakan. Masalah komunitas yang berulang kali terkadi, seperti konfl ik di pertambangan dan persoalan lingkungan, berakar dari belum adanya ketentuan rinci untuk melaksanakan aturan yang sudah ada atau masih buruknya implementasi. Inilah alasan mengapa organisasi masyarakat sipil sangatlah penting.

Pelajaran Tentang Kebijakan dan Advokasi Lembaga

Keberadaan Komisi Nasional Masyarakat Adat (NCIP) di Filipina sangat membantu di dalam perjuangan memperoleh hak-hak komunitas Masyarakat Adat. Komisi ini mengatasi isu-isu dan keprihatian Masyarakat Adat yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Terdapat ketentuan spesifi k di dalam Undang-undang ini terkait pertambangan dan tanah masyarakat asli dan secara umum tanah lainnya yang tidak bersertifi kat hak milik yang tidak dianggap bagian Wilayah Leluhur. Dengan demikian sebelum perusahaan tambang memulai kegiatan penambangan, mereka

Page 41: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

36

pertama-tama harus memperoleh izin tambang dan persyaratan untuk mendapatkan izin tersebut ialah Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan dari Komunitas Masyarakat Asli yang lalu harus disertifi kasi dan disetujui oleh 7 komisioner NCIP.

Keberadaan NCIP telah membantu supaya hak-hak komunitas Masyarakat Adat bisa dipertahankan dengan lebih baik. Indonesia masih membutuhkan institusi khuss untuk memastikan FPIC dilaksanakan di seluruh bidang ekstraktif.

Page 42: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

37

Da� ar Pustaka

Alba, E Mayorga. 2009. EI Value Chain: A comprehensive integrated approach to developing EI. The World Bank

AICHR. 2012. What you need to know (2nd edition). Jakarta: The ASEAN Secretariat

sExecutive Order No. 11, s. 2010

Faisol, Ahmad, dkk, Fulfi lling The Right To Information,Yayasan Tifa: 2010

G.R. No. 135385 (December 6, 2000)

Llaneta, Celeste Ann Castillo, 2012. The Road Ahead for the Indigenous Peoples.

Mackey, Fergus. 2001. A Guide to Indigenous Peoples’ Rights in the Inter-American Human Rights System. Forest Peoples Programme.

New Law on Indigenous Peoples Faces Legal Challenge. 1998. Philippine Center for Investigative Journalism

Policy Paper. 2004. Framework for incorporating indigenous communities within the rules accompanying the Sabah Biodiversity Enactment 2000.

Prill-Bre� , June. 2007. Contested Domains: The Indigenous Peoples Rights Act (IPRA) and Legal Pluralism in the Northern Philippines, 55 J. LEGAL PLURALISM& UNOFFICIAL L., 11, 16-17.

Puno, Reynato S. 2008. The IPRA: Indigenous Peoples and their Rights

Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples’ Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371 (1997)

Republic of the Philippines. 1997. The Indigenous Peoples Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371

Republic of the Philippines, Administrative Order No. 03-12 or The Revised Guidelines on Free

And Prior Informed Consent (FPIC) and Related Processes of 2012, April 2012

Tamang, Parshuram. 2005. An Overview of the Principle of Free, Prior and Informed Consent and Indigenous Peoples in International and Domestic Law and Practices. New York

United Nations, Social Aspects of Sustainable Development in the Philippines (April 1998)

Internet

h� p://www.iaia.org/conferences/iaia12/uploadpapers/Final%20papers%20review%20process/Smith,%20Howard.%20%20Informed%20consent%20in%20Australia%E2%80%99s%20Northern%20Territory.pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1

h� p://www.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal

Page 43: Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

38

h� p://www.pwc.com.au/asia-practice/indonesia/assets/publications/mineIndonesia-May-2013.pdf, page 28

h� p://325.nostate.net/library/position-paper-summary.pdf

h� p://www.iaia.org/conferences/iaia12/uploadpapers/Final%20papers%20review%20process/Smith,%20Howard.%20%20Informed%20consent%20in%20Australia%E2%80%99s%20Northern%20Territory.pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1

h� p://www.corpwatch.org/article.php?id=15286

http://www.culturalsurvival.org/news/malaysia/norwegian-government-declares-malaysian-timber-giant-unethical-company;

h� p://www.minesandcommunities.org/article.php?a=220

h� p://news.bbc.co.uk/1/hi/business/7608097.stm