adab safar

Upload: herman-thehunter

Post on 08-Jul-2018

270 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 8/19/2019 Adab Safar

    1/14

    Adab-Adab Safar Sesuai al Qur’an dan as Sunnah 

    Di tengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan, pernahkahAnda mencoba menyisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak; Apa niat dan tujuan kepergian (safar) Anda? Dan tahukahanda kapankah anda disebut seorang musafir? Dan Bagaimana adab  –   adab syariat yang mesti Anda perhatikan agar safarmenjadi safar yang penuh berkah?

    Jika niat kepergian Anda adalah untuk sebuah kebaikan, maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu

    ‘alaihi wa sallam: 

    ح      

      ن  راد ي  ذا   ا ل اذ  َو ح         ن  و      ن    ن  راد 

               ن َ ح         َ حف ئ      

    “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidakmengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kalilipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya.Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan.” (HR. Bukhari).

     Namun, jika yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya Anda berhati-hati dan waspada, karena ketahuilah, kepergian(safar) Anda adalah tercela dan dilarang. Dan perlu diketahui niat tempatnya dihati, tidak perlu dilafazh-kan.

    Tak cukup dengan niat untuk sebuah kebaikan, jika kepergian (safar) Anda diwarnai dengan adab  –  adab syar’i, maka InsyaAllah kepergian (safar) Anda menjadi safar yang berberkah. Namun jika tidak, Anda telah meninggalkan berbagai keutamaan

    yang telah tersedia di hadapan Anda. Maka, cobalah untuk menyimak risalah singkat ini.

    A. Kapan kita dikatakan seorang musafir? 

    Dari banyak pendapat yang ada, -insyaa Allaah- pendapat yang paling råjih, adalah tanpa adanya jarak perjalanan yangkhusus, sesuai dengan ‘urf (kebiasaan masyarakat), jika kepergiannya tersebut menurut ‘urf (kebiasaan masyarakat) adalahsuatu safar, maka ia terhitung musafir, jika tidak, maka tidak.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:

    “Dalil yang lebih tepat dan kuat ialah pendapat ulama yang membolehkan qashar shalat dan berbuka puasa ketika musafir dantidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling shahih.” (Rujuk Kitab Majmuu’ al-Fataawaa, 24/106)

    Imam Abu al-Qasim al-Kharqi rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni:

    “Aku tidak setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak adahujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari kata-kata para sahabat yang saling menyanggah.Sedangkan, tidak boleh berhujjah menggunakan dalil yang saling berbeda.” 

    Disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa pendapat yang paling rojih adalah  tiada batasan tertentu yang membataskanseseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia tergantung kepada ‘uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari manadia berada (kawasan kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar kebiasaannya) tanpa dibatasi jaraknya.

    (Disimpulkan dari perbahasan dalam buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah TajukMengqashar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s. 161-204)

    Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek pada link berikut:Qasharkanlah (Pendekkanlah) shalatmu Ketika Engkau Musafir  

    https://abuzuhriy.wordpress.com/2009/08/11/adab-adab-safar-sesuai-al-quran-dan-as-sunnah/https://abuzuhriy.wordpress.com/2009/08/11/adab-adab-safar-sesuai-al-quran-dan-as-sunnah/https://abuzuhriy.wordpress.com/2009/08/11/adab-adab-safar-sesuai-al-quran-dan-as-sunnah/http://www.facebook.com/note.php?note_id=72913192076http://www.facebook.com/note.php?note_id=72913192076http://www.facebook.com/note.php?note_id=72913192076https://abuzuhriy.wordpress.com/2009/08/11/adab-adab-safar-sesuai-al-quran-dan-as-sunnah/

  • 8/19/2019 Adab Safar

    2/14

    B. Adab-adab safar sesuai sunnah Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam  

    1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi 

    Disunnahkan bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berpamitan sebelummenjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorangmusafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

     –  Saling berpamitan dan saling mendoakan bagi mereka yang hendak safar, dan mereka yang ditinggalkan 

    Berkata Imam Ibnu Abdil Barr – rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitankepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada doa mereka berkah.” 

    Berkata Asy-Sya`bi  – rahimahullah-: “Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk mengunjungi saudaranya dan

    menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.” 

     –  Doa orang yang hendak pergi kepada yang ditinggalkan 

    د ا اي   ودا  

    ‘ Astawdi’ukumullah, alladzi laa tadhii’u wadaa-i’ahu’  

    “Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan- Nya..” 

    (Hasan; HR. Ahmad, dll)[1. Rasuulullaah bersabda:

    ئادو   ىا ا دأ     إ خ اذإ 

    Jika kalian hendak keluar safar, maka katakanlah kepada mereka yang kalian tinggalkan:  Astawdi’ukumullah, alladzi laatadhii’u wa daa-i’ahu’  (Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan- Nya…)] 

    Berkata al Munawiy: ح ش عدا اذإ     دو ا اذإ يا يأ 

    “Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan tersia-siakan, karena Allah ta’ala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti akan menjaganya…” 

    (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)

     –  Doa orang yang ditinggalkan kepada orang yang hendak safar 

    Sebagaimana doa Rasuulullaah ketika melepas pasukan perang: أ اخو أو د ا عد  

    ‘Astaudi’ullaha diinak, wa amaanatak wa khawaatima a’maalik‘  

    (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian).” (HR atTirmidziy, dll)

    Rasuulullaah bersabda ketika hendak mengutus pasukan perang:  ح ذا ادع ا ش  

    Jika dititipkan sesuatu pada Allaah, maka Dia akan menjaganya

      ا خ   َ  َ  ا ع    

    Dan aku titipkan pemeliharaan agama kalian, amanah yg kalian emban, serta kesudahan amalan kalian kepada Allaah (Terdapat

    dalam Shahiih at-Tirmidziy)

    Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menjadikan agama dan amanah seseorangsebagai titipan, karena di dalam safar seseorang akan tertimpa rasa berat, dan takut sehingga hal itu menjadi sebabtersepelekannya sebagian perkara-perkara agama. Lantaran itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan kebaikan bagiorang yang safar berupa bantuan dan taufiq. Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukandi dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa

  • 8/19/2019 Adab Safar

    3/14

    sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat. Kemudian, jika ia kembali kepadakeluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya”.  [LihatTuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy]

    Beliau juga mendoakan:

     ح

     

     وو

     ذ

     غو

     اى

     ا

     زودك

     

    ‘zawwadakaLLaahut taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta’  

    Semoga Allaah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosamu, serta mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu

     berada (HR at Tirmidziy)[1. Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, Dari Anas -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Adaseorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian (ia) berkata, “Wahai Rasulullah, saya

    hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.” 

     ل زودك ا اى

    Maka beliau menjawab, “ZawwadakaLLaahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).” 

    Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” 

    ذ غو ل 

    Beliau menjawab, “Wa ghafara dzanbaka (dan semoga Allah mengampuni dosamu).” 

    Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” 

     ح ا  و ل 

    Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada).” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunanat-Tirmidzi (3/155) software Maktabah asy-Syamilah, dinukil dari: Bekal Safar: Kutitipkan Mereka Kepada-Mu, Ya Allah…)]

    Berkata al Munawiy:

     ح

     

     وو

     ذ

     غو

     اى

     ا

     زودك

     ا

     

     وأن

     ذ

     خ

     ل

     أن

     داا

     

     

     وب

     

    “Dianjurkan bagi masing-masing orang (baik yang pergi maupun yang ditinggal) untuk mengucapkan bacaan itu kepadasaudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim (ditinggal) menambahkan bacaan ‘zawwadakallahut taqwa wa ghafara

    dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta‘.” 

    (Faidh al-Qadir)

    2. Dibencinya safar sendirian 

    Terdapat hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : 

     وحه  ار ر     ةح  اس   ا    

    “Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidakseorangpun yang akan melakukan safar di waktu malam sendirian “. (HR. Bukhari).

    Larangan tersebut bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalamhadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar. Wallahu A`lam.

    Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, berkata: Rasulullah

    Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.”   (HR. Abu Daud,

    dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah).

    Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[1. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 6/53 dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam As Silsilah

    http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bekal-safar-kutitipkan-mereka-kepada-mu-ya-allah.htmlhttp://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bekal-safar-kutitipkan-mereka-kepada-mu-ya-allah.htmlhttp://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bekal-safar-kutitipkan-mereka-kepada-mu-ya-allah.htmlhttp://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bekal-safar-kutitipkan-mereka-kepada-mu-ya-allah.htmlhttp://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bekal-safar-kutitipkan-mereka-kepada-mu-ya-allah.html

  • 8/19/2019 Adab Safar

    4/14

    Ash Shohihah no. 62.] Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah adab.[Lihat perkataan Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6/53.]

    3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih 

    Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika tiga

    orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud, dan berkata Al-Albanirahimahullah : “Hadits hasan shahih). 

    Apabila pada safar yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut, maka dianjurkan untuk mengangkat salah seorang darimereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atasmereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah

    -Subhanahu wa Ta`ala-.

    4. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar 

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak akan menemani safar seseorangyang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.” (HR. Muslim).

    Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan

    selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

    ن

    ا ا س  ا

    “Terompet adalah merupakan seruling syaithan.” (HR. Muslim).

    5. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram 

    al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Nabi Shall allahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jaraksehari semalam tanpa didampingi mahram.” (HR. Bukhåriy)

    Dalam lafazh Muslim: “Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang laki-laki yang merupakan mahramnya.” (HR. Bukhari).

    6. Disunnahkan safar pada waktu terbaik  

    Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab

     bin Malik, beliau berkata,

    ا  ن – و  ا ص –  م ا ج  ن   

     ون  ك  ةوغ   م ا خج   

    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjad i kebiasaan beliau untukbepergian pada hari Kamis.” [HR. Bukhari no. 2950.]

    Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu pagi, ار   

     كر  

     

    “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”  [HR. Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albanimengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhibno. 1693.]

    Ibnu Baththol mengatakan, “Adapun Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akankeberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan manusiauntuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi

     shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah didalamnya.” [Syarhul Bukhari Libni Baththol, Asy Syamilah, 9/163]

    Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awalmalam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di malam hari. [Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib,Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H, 7/171.] 

  • 8/19/2019 Adab Safar

    5/14

    Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ارض ى  ن     

    “ Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.” [HR. Abu Daud no.2571, Al Hakim dalam Al Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5/256. Syaikh Al Albani mengatakan

     bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah no. 681.]

    7. Hendaknya melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi  

    Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda, ر      خ اذ

     ا

     خ

     

     

    َ

     ر

     

     

     

      دخ

     ذا و

     اء

     ج

     

     

    َ

    ء

     

    “ Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang  dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimudari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.” [HR. Al Bazzar, hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323]

    8. Membaca doa –  doa ketika safar yang telah ma’tsur (diriwayatkan) dari Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam 

     –  Doa ketika ketika meninggalkan rumah   ة 

     و لح   ا     ا   

    bismillah, tawwakaltu ‘alallåh,laa hawla wa laa quwwata illa billaah 

    “Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah,”  

       أو   أو  ظأ وأ ظأ وأ لز  أو  لز و     أو  ن    ذأ إ 

    ا 

    allaahumma inni ‘a-udzubika an a-dhilla au u-dhall, au azilla au uzall, au azhlam au uzhlam, au ajhala au yujhala ‘alayya…  

    “Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (syetan atau orang yang berwatak

    syetan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau dari berbuat bodoh atau dibodohi.”   (Shahih, di shahihkan asy-syaikh al-albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud, HN. 5094).

     –  Doa menaiki kendaraan 

    ا   ا   ا  

    “Bismillaah, bismillaah, bismillaah” 

    (dengan menyebut nama Allaah, dengan menyebut nama Allaah, dengan menyebut nama Allaah)

    Ketika sudah duduk di atas kendaraan, membaca:  ا 

    “Alhamdulillah” 

    (Segala puji bagi Allaah)

    Lalu membaca, ن  َ

     ر           َا    ى ا ن  

    “Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa robbina lamun- qolibuun” 

    (Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dansesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami)

    Kemudian mengucapkan,  ا   ا   ا 

    “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah”. 

    Lalu mengucapkan, ا  ا   ا     

    “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” 

    Setelah itu membaca,   ب  ا          َغ     ظ  َ  

  • 8/19/2019 Adab Safar

    6/14

    “Subhaanaka inni qad zhalamtu nafsii, fag hfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta” 

    (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang

    mengampuni dosa-dosa selain Engkau) [Shahiih; HR Abu Daawud][1. Berdasarkan hadits ‘Aliy bin Rabi’ah, ia berkata: 

    ا

     ل

     ظ

     

     اى

     

     ثث

     

    ا

     

     ل

     ب

    ا

     

      ر

     و

     

     

      ا    تش     َا    يا ن  {  ل

    ث

     

     

    } ن  َ

     ر     أ  إ با     غ  ظ  إ  ثث أ ا ثث  ا ل 

    ثءش 

        أي

    ث

      

    ث ص  ص و  ا ص ا لر أر ل ؤا أ    

     ر نإ ل ا لر    ءش 

       أي

     اغ  ذ إ   اب غك

     إذا ل رب  

    Aku menyaksikan ‘Aliy bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu dibawakan kendaraan untuk dikendarainya. Ia berkata:

    “bismillaah”, maka setelah ia telah diatas punggungnya, maka ia berkata: “alhamdulillaah”, kemudian ia berkata:“Subhanalladzi sakh-khara lanaa hadzaa, wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa rabbinaa lamun-qalibuun” kemudian diamengucap “alhamdulillaah” tiga kali, Allaahu akbar tiga kali, (kemudian ia berucap) “Subhaanaka inni qad zhalamtu nafsii,faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta” kemudian ia senyum. Kemudian aku berkata: “terhadap apakah engkau bersenyum wahai amirul mukminin?” Ia menjawab: Sungguh aku telah melihat Rasuulullaah melakukan seperti apa yang akulakukan tadi (yaitu membaca dzikir-dzikirnya), kemudian beliau senyum. Maka aku bertanya “terhadap apakah engkau bersenyum wahai Rasuulullaah?” maka beliau menjawab: “sesungguhnya Rabbmu, benar-benar takjub terhadap hambaNya, jika ia berkata: “rabbighfirliy dzunubiy, innahu laa yaghfiru dzunuba ghayruk” (Ya Allaah, ampuni dosaku; karena

    sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain (daripada)Mu) (Shahiih; HR at Tirmidziy)]

     –  Doa bepergian 

    ن  َ

     ر    و     و ا َ   يا ن 

     subhaanaalladzi sakh-khårålanaa wa maa kunna lahu muq’riniin wa inna ila råbbina lamunqålibuun 

    ” Maha Suci Allah yang telah menjalankan k ami, dan sebelumnya kami tidak mampu, dan hanya kepada Rabb kami, kamikembali.” 

        و   واى

    ا ا َ    َ    

    ا 

    allåhumma inni nas-aluka fii safarinaa hadzaa al-birrå wat-taq’wa, wa minal ‘amali maa tardhå 

    “Ya Allah! sesungguhnya aku memohon kepadaMu kebaikan dan ketakwaan di dalam perjalanan kami. Begitu pula amal yangEngkau ridhai” 

    ه   ط  و  َا   َ  ن

     

    ا 

    allåhumma hawwin ‘alaynaa f ii safarinaa haadzaa wa ath-wi ‘annaa bu’dah 

    “Ya Allah mudahkan/ ringankanlah perjalanan kami ini, dan jadikan perjalanan yang jauh menjadi dekat dari kami.”  

        وا

    ا  ح

    ا   

    ا 

    allåhumma antash-shååhibu fiis-safar, wakh-liifatu fil ahl,

    “Ya Allah! Engkaulah teman di dalam perjalanan, dan Pemimpin/ Penjaga keluarga dan harta.”  

    ل و    ا ا ءو   وبة ا

    ا ءو   ذ   

     

    ا وا  

    allåhumma inni a-‘udzubika min wa’ -tsaa-is-safar, wa ka`aabatil munzhår, wa suu-il munqålabi fil maali wal ahli wal walad

    “Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari lelahnya perjalanan, dan sedihnya pemandangan, serta kesia-siaantempat kembali, dan buruknya pemandangan pada harta, keluarga, dan anak.” (HR. Abu Daud, Shahih).

     –  Doa Apabila kembali dari safar 

    Doa di atas dibaca (yakni doa bepergian), dan ditambah: ُون ح َ

    ُون   ن  ن  آ

    aayibuuna taa`ibuuna ‘aabiduuna li råbbinaa haamiduun 

  • 8/19/2019 Adab Safar

    7/14

    Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Råbb kami (HR. Muslim 2/998.).

    9. Shålat diatas kendaraanya ketika dalam perjalanan 

    Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas kendaraannya.

    Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakanshalat di atas tunggangan beliau ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya ke arah kiblat dan shalat denganmemberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan beliau mengerjakan shalat witir

    di atas kendaraan beliau.” (HR. Al-Bukhari).

    10. Doa ketika singgah di suatu tempat 

    Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

    sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa :     خ

    َ

    ش  ت

    ا ا ت ذ   

     A’uudzubikalimatillaahitt -tammmaati min syarri maa khålaq

    “Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan.” (maka) Tidakakan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut.” (HR. Muslim).  

    11. Disunnahkan untuk tinggal sementara dan makan secara bersama di satu tempat. 

    Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana merekatiba (singgah) dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah.

    Diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata : “Ketika para sahabat singgah di suatutempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika

    kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaansyaithan. Setelah itu apabila mereka turun singgah d isuatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnyahingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akanmencakup mereka semua” (HR. Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al-Albani – Rahimahullah).

    Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka. Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai

    Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkinkarena kalian makan dengan terpisah- pisah? ”Para sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

     besabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.” (HR. Abu Daud, dan dihasankan oleh Al-Albani Rahimahullah).

    12. Hendaklah orang yang bersafar bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) ketika melewati tempat yangtinggi. 

    Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Bahwasanya seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah,

    sesungguhnya aku hendak bersafar, maka berilah aku nasehat” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu bertakwa kepada AllahTa’ala, dan mengucapkan takbir (bertakbir) ketika melewati tempat yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

    Juga berdasarkan hadits Jabir yang ia menuturkan: “Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami ber takbir, dan apabila menurunmaka kami bertasbih”. (HR. Al-Bukhari).

    13. Hendaklah mengucapkan “bismillaah” jika mengalami gangguan dalam perjalanan 

    Jika terjadi suatu gangguan dalam perjalanan (seperti kendaraan mogok), janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithanakan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”)

    Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan

    yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,

     و

    ل   و ن  ا  ح ظ   ذ  اذ   نا   ب ا  ن  ح غ   ذ  اذ   ا      

  • 8/19/2019 Adab Safar

    8/14

    “Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar

     seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang

    tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan se perti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan sepertilalat.” [HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat  Al Kalimu Ath Thoyib no. 238]

    [Dikutip dari Tips Mudik Lebaran Penuh Berkah; Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]

    14. Apabila takut terhadap gangguan manusia, maka hendaklah ia berdoa seperti yang diajarkan olehRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 

    روش   َذ   و ر    َ    

    ا 

    allåhumma inna naj’ -‘aluka fiy nuhuurihim wa na’uudzubika min syuruurihim 

    Artinya, “Ya Allah, Sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai Penolong dalam menghadapi mereka, dan sesungguhnyakami berlindung kepadaMu dari kejahatan-kejahatan mereka” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani),

    15. Hendaklah dia berdoa di dalam safarnya dan memohon kepada Allah Ta’ala kebaikan dunia dan akhirat. 

    Karena safar merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terdapat tigadoa yang mustajab yang tidak dir agukan lagi padanya: do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bersafar, dan do’a orangtua kepada anaknya.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

    16. Musafir Ketika Bertemu Waktu Sahur (Menjelang Shubuh) 

     Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan,

      ا   َ    َو حص َ

     َر    حو ا    

    ر

    ا 

    “ Samma’a saami’un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi ‘alainaa. Robbanaa shohibnaa wa afdhil ‘alainaa ‘aa-idzan billahiminan naar “ 

    (Semoga ada yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabbkami, peliharalah kami dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api neraka) .” [HR. Muslim no.

    2718] [Dikutip dari Tips Mudik Lebaran Penuh Berkah; Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]

    17. Membaca dzikir ketika masuk desa/kota 

    Disebutkan dalam shahiih ibnu khuzaimah, bahwa tidaklah Rasuulullaah melihat suatu daerah, dan hendak untuk

    memasukinya; kecuali beliau membaca pada saat melihat daerah tersebut:

    ط

    ا 

    رب      

    ا را 

    رب   ظ    

    ا تا

    ا 

     رب

    ا  ذر  

    ا 

     ورب      

     Allaahumma rabbassamawaatis sab’i wa maa azhlalna, wa rabbal ardhiinassab’i wa maa aqlalna, wa rabbasy syayaathiini

    wa maa adhlalna, wa rabbarriyaahi wa maa dzarayna

    “Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan apa yang dinaunginya. Tuhan penguasa tujuh bumi dan apa yang di atasnya. Tuhan Yangmenguasai syetan-syetan dan apa yang mereka sesatkan. Tuhan Yang menguasai angin dan apa yang diterbangkannya.

     

    ش    ا  

    ش   َذ        وخ  ا    خ َ    

    fa inna nas aluka khayra hadzihil qaryati wa khayra maa fiihaa. Wa na’uudzubika min syarri hadzihil qaryati wa syarri maafiihaa

    Maka kami mohon kepada-Mu kebaikan desa ini, kebaikan penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. Kami berlindungkepada-Mu dan kejelekan desa ini, kejelekan penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. [HR an Nasaa-iy (sunan al kubra),

    ibn hibbaan, ibnu khuzaymah, al haakim; dishahiihkan al haakim dan adz dzahabi, dikatakan al albaaniy: “hasan li ghayrihi”]  

    Maka ketika kita melihat sebuah daerah yang kita ingin kita masuki, maka ketika daerah itu terlihat, maka kita mengucapkandzikir diatas.

  • 8/19/2019 Adab Safar

    9/14

  • 8/19/2019 Adab Safar

    10/14

    Hal ini menandakan, selama seseorang MASIH MENIATKAN untuk TIDAK MUKIM ditempat yang ia safari tersebut, makaia masih disebut musafir, sehingga selama itu pula ia DISUNNAHKAN untuk meng-qasharkan shalatnya.

     –  Bolehnya jama’ bagi musafir 

    Para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, sepertiseorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalamhadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’. (Lihat al Irwa’, III/40; dipetik dari abusalma ).

    Imam Ahmad rahimahullah di dalam al-Musnadnya (6/241) menambahkan:

    “Kecuali shalat Maghrib dan subuh”. (Rujukan: Catatan kaki no. 71, m/s. 550, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i) 

    Dari Ibnu ‘Abbas, dia menyatakan: 

    “Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi Kalian (ملسو هيلع هللا ىلص) ketika tidak dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat danketika dalam perjalanan dua rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat.”  (HR Muslim)

    Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam:

     –  Ada musafir saa-ir, yaitu yang berada dalam perjalanan

     –  Dan ada musafir naazil, yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.

    Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa -ir maupunmusafir naazil. Namun yang lebih afdhol (lebih utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat (jika ia masih bisamengerjakannya pada waktunya masing-masing).

    Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masingwaktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak.

    Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabungdua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.

    (penjelasan diatas adalah penjelasan asy-syaikh al-utsaimin råhimahullåh, lihat http://islamqa.com/ar/ref/49885,  dialih

     bahasakan oleh al-ustadz muhammad abduh tuasikal)

    19. Apabila MENG-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) (baik makmumnya mukim atausafar) tetap meng-qåshar-kan shålat. 

    Dan bila ada makmum yang mukim, maka tetap harus menyempurnakan shålatnya.

    Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:

    “Para ulama telah sepakat bahwa jika orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafirlalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qashar –  pen.), maka orang yang bermukim harusmenyempurnakan shalatnya (kepada empat rakaat).” (Rujukan: al-Mughni, 3/146. Lihat: Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403)

    Jika seorang musafir mengimami beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu secaralengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya).(Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 12/260). 

    (Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani,

    Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 270-271)

    20. Apabila DI-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) oleh mukim, tetap menyempurnakanshålatnya 

    Ibnu ‘Abbas rahimahullah (ketika bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim) dan duarakaat (Qashar) jika shalat sendirian.(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 17 (688))

    http://abusalma.wordpress.com/2006/12/04/shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/http://abusalma.wordpress.com/2006/12/04/shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/http://abusalma.wordpress.com/2006/12/04/shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/http://islamqa.com/ar/ref/49885http://islamqa.com/ar/ref/49885http://islamqa.com/ar/ref/49885http://abusalma.wordpress.com/2006/12/04/shalat-jama%E2%80%99-dan-qashar/

  • 8/19/2019 Adab Safar

    11/14

    Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan: “Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jika seorang musafirmelakukan takbiratul ihram di belakang orang yang bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakanshalat separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat)”. (at-Tamhiid, 16/311-312)

    “Mereka yang bermusafir ketika menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan

    imamnya (shalat sempurna/empat rakaat). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 271) 

    21. Tidak ada shålat sunnah kecuali shalat sunnah fajar, witir dan shalat sunnah muthlaqåh 

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

    “Kegigihan dan kesungguhan Rasulullah (ملسو هيلع هللا ىلص

    ) dalam memelihara shalat sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalatsunnah yang lainnya sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika dalam perjalananmau pun ketika sedang di rumah… Tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah (

    ملسو هيلع هللا ىلص

    ) mengerjakan shalat sunnah rawatib selain shalatsunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam perjalanannya.” (Rujuk: Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/315) 

    Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim, ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat witryang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan

    sebelum shalat subuh.

    Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama telah sepakat untuk menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalatsunnah mutlak (shalat-shalat sunnah yang tidak memiliki sebab khusus untuk ia dilakukan) dalam perjalanan.”   (Syarhun Nawawi ‘alaa shahih Muslim, 5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 269) 

    22. Tidak ada shålat jum’at bagi sesama musafir 

    Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Tidak ada shalat Jum’at bagi Musafir”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442],Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih]

    Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak melaksanakan shalat Jum’at ketika safar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi

    Syaibah, 2/104; sanadnya hasan, namun shahih dengan riwayat mauquf Al-Baihaqiy di awal].

    Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalushalat dua raka’at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum’at [Diriwayatkan o leh Ibnu Abu Syaibah [1/442], IbnulMunzdir [4/20] dengan sanad yang shahih; dari abul-jauzaa]

    dari Al-Hasan : Bahwasannya ‘Abdurrahman bin Samurah pernah berada di negeri Kaabul (Afghanistan) pada musim dinginselama semusim atau dua musim. Ia tidak melak ukan shalat Jum’at, dan ia shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi

    Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; abul-jauzaa].

    Dari Ats-Tsauriy, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, ia berkata : “Mereka tidak mengerjakan shalat Jum’at ketika safar. Danmereka tidaklah shalat kecuali dua raka’at” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 3/173-174 no. 5202; sanadnya shahih]. ‘Mereka’yang dimaksud Ibraahiim An- Nakha’iy ini adalah beberapa tabi’in dan shahabat yang semasa dengannya, karena ia sendiri

    termasuk tabi’iy kecil (thabaqah ke-5, wafat tahun 196 H). [dari abul-jauzaa]

    dari Mak-huul, ia berkata : “Tidak ada kewajiban bagi musafir shalat ‘Iedul-Adlhaa, shalat ‘Iedul-Fithri, dan shalat Jum’at”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; dari abul-jauzaa].

    dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata : “Masruuq, ‘Urwah, Al-Mughiirah, dan sejumlah orang dari kalangan shahabat ‘Abdullah

     pernah keluar untuk safar. Tibalah hari Jum’at, namun mereka tidak shalat Jum’at. Dan tiba pula hari ‘Iedul-Fithri, namunmereka tidak shalat ‘Ied” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; dari abul-jauzaa].

    dari Ibraahiim : “Shahabat-shahabat kami pernah berperang selama kurang lebih setahun, dimana mereka menqashar shalatnamun tidak melakukan shalat Jum’at” [idem, sanadnya shahih; dari abul-jauzaa].

    dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq3/172 no. 5197; sanadnya shahih; dari abul jauzaa]

    Berkata Ibnul Mundzir:

  • 8/19/2019 Adab Safar

    12/14

    “Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu‘alaihi wa sallam dalam safar -safarnya tentu pernah melewati hari Jum’at. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau shallallaahu‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jum’at dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhurdi ‘Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jum’at. Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau shallallaahu ‘alai hi

    wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Al-Ausath, 4/20; dari abul-jauzaa]

    Berkata al Imaam ibnul Qudaamah: “…Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam biasa melakukan safar, namun beliau tidakmelakukan halat Jum’at dalam safarnya itu. Dan ketika dalam haji wada’ di ‘Arafah pada hari Jum’at, beliau shalat Dhuhurdan menjamaknya, tanpa melakukan shalat Jum’at. Hal yang sama dengan Al -Khulafaaur-Raasyidiin radliyallaahu ‘anhum

    dimana mereka biasa bersafar untuk haji dan selainnya tanpa ada seorang pun dari mereka melakukan shalat Jum’at dalamsafarnya. Begitu pula dengan shahabat-shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lainnya dan orang-orang setelahmereka….” [Al-Mughniy, 3/216; dari abul-jauzaa]

    Ini berlaku bagi sesama musafir yang melewati atau menempati suatu daerah yang disafarinya, dan tidak ada disana orangmukim. Maka sesama mereka tidak shalat jum’at, tidak pula shalat ‘id. Wallaahu a’lam. 

    23. Tetap mendatangi shalat jum’at dan jama’ah apabila melewati kampung yang mengumandangkan adzan,

    atau telah sampai ditempat safarnya dan mendengar adzan 

    Rasuulullaah shallalaahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ءاا     ا 

    Shalat Jumu’at diwajibkan atas SETIAP yang mendengar adzan (Hasan; HR Abu Daawud)

    Ma’mar pernah bertanya kepada az-Zuhriy tentang musafir yang melewati satu kampung/desa yang bertepatan dengan hariJum’at, maka ia menjawab : ا  ناذا  اذإ 

    “Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri shalat Jum’at” [Shahiih; diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq 3/174 no.5205; kutip dari ustadz abul-jauzaa]

    Demikian pula shalat jama’ah, berdasarkan keumuman hadits: ر  إ  ةص    ءاا   

    “Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian tidak memenuhinya maka tidak ada sholat baginya kecuali orang yang memiliki

    udzur.” 

    Diatas dikatakanااء

     

     

    , , sedangkan

     disini umum, berlaku pada mukim maupun musafir. Demikian pulaااء

     itu umum,apakah itu adzan shalat jum’at ataukah adzan shalat lima waktu. Maka perintah diatas ini berlaku untuk shalat jum’at maupunshalat berjama’ah. 

    Sekalipun musafir telah menjama’-taqdim shalatnya (sebelum keberangkatan atau ditengah perjalanannnya), tapi ketika iamelewati daerah atau telah sampai di temapt safarnya dan masuk shalat berikutnya dan ia mendengar adzan, maka hendaknya

    ia shalat kembali bersama orang-orang mukim.

    Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda: 

      ص  ن   اس    اذ  

    Jika kamu mendapati (imam dan jama’ahnya sedang shalat) maka shalatlah bersama manusia, meskipun engkau SUDAH

    SHALAT

    Juga sabda beliau: َ          رد ن   

    Jika engkau mendapati (shalat) bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka), sesunggunya shalatmu (bersama mereka)

    adalah naafilah

    Juga sabda beliau: ةا صصأ   ص   و    ردأ ن   

    Shalatlah pada waktunya; dan jika engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka); JANGANENGKAU KATAKAN: ‘aku sudah shalat, maka aku tidak shalat lagi (bersama mereka)’  

    Maka:

    => Sekalipun seorang musafir telah menjama’-taqdim shalatnya, tapi ia melewati daerah yang dikumandangkan adzan waktushalat berikutnya; atau ia sudah sampai ke tempat safarnya dan ia mendapati adzan; maka hendaknya ia tetap mendatangimasjid dan shalat bersama orang-orang mukim, meskipun ia telah shalat.

  • 8/19/2019 Adab Safar

    13/14

    => KELIRU. Jika seorang musafir yang telah sampai ditempat tujuannya; tapi malah shalat di hotel/aula/rumah bersama sesamamusafir, padahal disekitarannya masih ada masjid. Hendaknya ia shalat di masjid bersama orang-orang mukim.

    24. Disunnahkan untuk tidak puasa bagi yang kepayahan, dan dianjurkan puasa bagi yang mampu 

    Pertanyaan:

    Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya puasa musafir padahal ia merasa berat ?

    Jawaban: Apabila puasa dirasa memberatkan dan membebaninya maka itu menjadi makruh hukumnya, karena Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang pingsan, orang-orang disekitar beliau berdesak-desakan, beliau bertanya : “Kenapaorang ini?”. Mereka menjawab. “Dia berpusa”. Beliau bersabda : “Puasa di waktu bepergian bukanlah termasuk kebaikan” [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karenasangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/BabBolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]

    Adapun bila terasa berat atasnya puasa dengan kepayahan yang sangat maka wajib atasnya berbuka, karena RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala orang banyak mengadukan kepada beliau bahwa mereka merasa berat berpuasa (tatkala bepergian, - pent) Nabi menyuruh mereka berbuka, lalu disampaikan lagi kepada beliau, “Sesungguhnya sebagian orang tetap

     berpuasa”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mereka itu ahli maksiat! Mereka itu pelaku maksiat!” [Diriwayatkanoleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di bulan Ramadhan bagi musafir selain tujuan maksiat

    (1114)]

    Sedangkan bagi orang yang tidak mengalami kepayahan untuk berpuasa, yang paling afdhal adalah tetap berpuasa meneladaniRasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala beliau tetap berpuasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Darda Radhiyallahu‘anhu, “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan di panas terik yang menyengat, tiadaseorangpun dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah”  

    [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karenasangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/BabBolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]

    [Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar

    Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah,http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0] 

    25. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai urusannya dan tanpamenunda-nunda 

    Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut agar segera kembali kepadakeluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam, beliau bersabda : “Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dantidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari).  

    Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: “Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari keluarganya lebih dari

    keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikandi saat kepergiannya. Diamnya berkumpul bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau duniawiyah. Lagi pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan kekuatandalam pelaksaan ibadah” (Fathul Bari (3/730)).

    26. Makruh bagi seorang musafir pulang menjumpai keluarganya di malam hari tanpa menginformasikansebelumnya 

    Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:   “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangseseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.” 

    Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah mengetuk pintu rumah istrinyahingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.” 

    Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak mendatanginya di malam hari,sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan istrinya yang tidak rapi. Dari hadits-hadits ini juga dianjurkannya para istri untuk berhias untuk suaminya untuk melayani suaminya yang baru datang dari safar.

    http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0

  • 8/19/2019 Adab Safar

    14/14

    27. Disunnahkan shalat dua rakaat bagi musafir ketika kembali ke negerinya 

    Diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari suatu perjalananmaka yang pertama kali segera beliau lakukan shalat di masjid dua raka’at. 

    Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan : Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau tiba

    dari suatu perjalanan pada waktu dhuha,beliau mendatangi masjid lalu mengerjakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk“(HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad).

    28. Apabila telah sampai di rumah, maka disunnahkan berjima’ dengan istri  

    Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, (yang artinya) 

    “Artinya : Jangan tergesa-gesa hingga engkau dapat datang pada waktu malam -yaitu ‘Isya’- agar ia (isterimu) sempat menyisirrambut yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. Selanjutnya, hendaklah engkau menggaulinya” (HR. Bukhåriy, Muslim,Ahmad, al-Baihaqiy dan selainnya)

    Hal ini adalah Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Ka’ab bin Malik radhiyallaahu‘anhu ketika ia tidak ikut perang Tabuk dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3088) dan Muslim

    (no. 716 (74)).

    [sumber: Buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-TaqwaBogor –  Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006; dari almanhaj] 

    Semoga risalah singkat ini bisa bermanfa’at bagi kita, dam semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya, memahaminya

    dengan baik dan benar, serta mengamalkannya dengan benar; dengan sebaik-baiknya.

    Disusun: Abu Zuhriy al-Gharantaliy

    Artikel AbuZuhriy.com. Link: https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578  

    http://www.almanhaj.or.id/content/2085/slash/0http://www.almanhaj.or.id/content/2085/slash/0http://www.almanhaj.or.id/content/2085/slash/0https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578http://www.almanhaj.or.id/content/2085/slash/0