kata pengantar dengan mengucapkan puji syukur alhamdullillah kepada allah swt, penulis merasa sangat...

215
i

Upload: others

Post on 24-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

  • ii

  • KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan puji syukur Alhamdullillah kepada Allah

    SWT, penulis merasa sangat berbahagia dapat menyusun buku yang

    diberi judul “Dinamika Sosial Masyarakat Pesisir”. Bahan kajian

    yang disajikan dalam buku ini merupakan hasil penelitian pada tahun

    2009-2010 dalam rangka persiapan penulisan disertasi pada Program

    Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Penerbitan buku didasarkan

    atas dorongan dan motivasi dari teman sejawat dan teman seprofesi,

    terutama Bapak Abisai Rollo, SH (Ondoa i Besar Lembaga Adat

    Kampng Skouw Yambo Kota Jayapura).

    Melalui buku ini pembaca diajak untuk memahami dinamika

    sosial masyarakat pesisir di Indonesia. Dalam penjabaran materi

    buku ini dibuat seperaktis mungkin sehingga akan sangat mudah

    untuk dipahami pembaca. Secara garis besarnya, setelah membaca

    buku ini pembaca akan memahami tentang interaksi sosial

    masyarakat pesisir, kon lik nelayan, dinamika kon lik, bentuk

    penyelesaian kon lik, dan kelembagaan lokal masyarakat pesisir.

    Penulis tidak dapat mewujiudkan buku ini sebagaimana mestinya

    tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini

    perkenankan pengucapkan terima kasih kepada penghargaan kepada

    iii

  • Prof. Ir. Saleh S. Ali, M.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, M.S., Prof.

    Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., Prof. Dr. Ir. Niartiningsih, M.P., dan

    Prof. Dr. Muh. Akmal Ibrahim, M.Si., serta semua pihak yang telah

    berpartisipasi dalam proses penyusunan dan penerbitan buku ini. Selain

    itu, penulis juga tak lupa menyampaikan terima kasih kepada Istriku

    (Irnawati), keempat putriku (Widi, Wiwi, Winda, Wilda), kedua

    orangtuaku, dan saudara-saudaraku, serta teman sejawat dan teman

    seprofesi di STITEK Balik Diwa Makassar atas dorongan, motivasi dan

    doanya sehingga penulis dapat melahirkan sebuah karya yang dapat

    bermanfaat bagi keharmonisan hidup masyarakat pesisir.

    Tentu saja, buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena

    itu, tegur sapa dari mana pun datangnya demi kesempurnaan buku

    ini, akan penulis terima dengan hati yang lapang.

    Makassar, 31 Maret 2017

    Penulis

    iv

  • KATA PENGANTAR ONDOAFI

    BESAR LEMBAGA ADAT

    KAMPUNG SKOUW YAMBE KOTA

    JAYAPURA PROVINSI PAPUA

    Ide dan gagasan penerbitan buku ini cukup menarik, karena ide

    dan gagasan penerbitannya lahir melalui diskusi kecil tentang budaya

    dan kearifan lokal masyarakat pesisir dibeberapa daerah di

    Indonesia. Diskusi itu dilakukan dengan santai dan penuh

    kekeluargaan di daerah ujung timur negara Republik Indonesia,

    tepatnya di Koya Barat Distrik Muara Tami Kota Jayapura Provinsi

    Papua. Distrik Muara Tami yang merupakan wilayah ke-Ondoa i-an

    Skouw Yambe berbatasan langsung dengan negara Papua New Giniea.

    Saya secara pribadi dan selaku Ondoa i Besar Skouw Yambe

    menyambut baik terbitnya buku yang berjudul “Dinamika Sosial

    Masyarakat Pesisir” yang ditulis oleh sahabat saya Dr. Lukman

    Daris, S.Pi., M.Si., yang selama ini saya anggap sebagai saudara

    sekaligus teman diskusi dalam berbagai hal. Saya sangat berharap

    semoga buku yang ditulis oleh saudara Lukman Daris ini dapat

    menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir di era

    otonomi daerah seperti sekarang ini.

    Buku ini penting dimiliki dan dibaca oleh akademisi, birokrasi,

    politisi, dan pamangku kepentingan lainnya agar dapat dijadikan acun

    dalam penyusunan program dan kebijakan di daerah pesisir. Begitu juga

    v

  • dengan masyarakat adat, tokoh-tokoh nelayan, dan masyarakat

    pesisir lainnya penting untuk dijadikan pedoman dalam berinteraksi

    dalam kehidupan sehari-hari.

    Saya berharap, agar penulis tetap proaktif mencari ilmu dan

    informasi dari berbagai sumber agar mampu menjawab tantangan

    perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang begitu cepat

    saat ini. Terima kasih____Janawo

    Skouw Yambe, 07 April 2017 Ondoa i Besar,

    Abisai Rollo, S.H.

    vi

  • Daftar Isi

    KATA PENGANTAR ............................................................................... iii DAFTAR ISI .............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    A. Latar Belakang .................................................................. 1

    B. Konsepsi Kon lik Sosial ................................................... 11

    C. Masalah dan Kegunaan Buku 15

    BAB II KONSEP KONFLIK SOSIAL WILAYAH PESISIR ................. 17

    A. Teori Kon lik .................................................................... 17

    B. Masyarakat Nelayan ....................................................... 24

    C. Kon lik Nelayan di Wilayah Pesisir 29

    D. Resolusi Kon lik ............................................................... 35

    E. Proses dan Interaksi Sosial ............................................ 38

    vii

  • F. Kelembagaan Masyarakat Pesisir 42

    G. Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya

    Perikanan Tangkap ......................................................... 46

    H. Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

    dan Berkelanjutan .......................................................... 49

    I. Teknologi Penangkapan Ikan ......................................... 52

    BAB III DINAMIKA SOSIAL DAN PENYELESAIAN KONFLIK NELAYAN ............................................................................... 57

    A. Bentuk Interaksi Sosial Masyarakat dan Potensi

    Kon lik Dalam Kegiatan Perikanan Tangkap ................ 57

    B. Bentuk dan Dinamika Kon lik Nelayan dalam

    Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap ........ 109

    C. Jenis dan Peran Kelembagaan Lokal dalam

    Pengelolaan Sumberdaya dan Penyelesaian

    Kon lik Nelayan ............................................................ 149

    BAB IV PENUTUP ............................................................................ 191

    DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 193

    viii

  • Daftar Gambar

    Gambar 1. Kerangka Pikir Dinamika Kon lik dan Peran

    Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maros. 15

    Gambar 2. Respon terhadap Berbagai Kon lik melalui

    Beberapa Istilah .............................................................. 36 Gambar 3. Jaring Klitik Siap Dioperasikan (A),

    dan Jaring Klitik Sedang Beroperasi (B). 79 Gambar 4. Alat Tangkap Cantrang atau Parenreng/Pattarik (A),

    dan Cantrang Sedang Beroperasi (B). 85 Gambar 5. Bubu atau rakkang (A), dan alat tangkap bubu

    kepiting dioperasikan (B). .............................................. 90 Gambar 6. Jenis Alat Tangkap Sodo yang Menggunakan

    Tenaga Manusia (A), dan Hasil Modi ikasi

    Menjadi Sodo Perahu (B) ................................................ 93 Gambar 7. Peta Sebaran Akti itas Alat Tangkap Nelayan

    di Desa Pajjukukang Berdasarkan Hasil FGD

    dan Survey Lapangan ...................................................... 96

    ix

  • Gambar 8. Ilustrasi Kon lik Kenelayanan yang Terjadi

    di Wilayah Pesisir Desa Pajjukukang 108 Gambar 9. Eskalasi kon lik nelayan di wilayah perairan

    Desa Pajjukukang ........................................................... 142 Gambar 10. Posko POKWASMAS dan kegiatan Pembinaan

    Kelompok dari Dinas Perikanan & Kelautan

    Kabupaten Maros ........................................................... 170 Gambar 11 Jalinan Hubungan antara Punggawa, Pa’bilolang

    dan nelayan .................................................................... 178

    x

  • Daftar Tabel

    Tabel 1. Kelompok Alat Tangkap Ikan Nelayan di Indonesia. ......... 54 Tabel 2. Bentuk Akomodasi antara Nelayan Alat Tangkap

    Cantrang, Sodo Perahu, Jaring Klitik dan

    Bubu Rakkang di Desa Pajjukukang. .................................. 96 Tabel 3. Bubu Rakkang ...................................................................... 97 Tabel 4. Bentuk Persaingan antara Nelayan Alat Tangkap

    Cantrang, Sodo Perahu, Jaring Klitik

    dan Bubu Rakkang di Desa Pajjukukang. 106 Tabel 5. Dinamika kon lik antar kelompok nelayan

    di Desa Pajjukukang .......................................................... 143 Tabel 6 Eskalasi Kon lik .................................................................. 146 Tabel 7 Bentuk Kon lik antara Nelayan Alat Tangkap

    Cantrang, Sodo Perahu, Jaring Klitik

    dan Bubu Rakkang di Desa Pajjukukang 148 Tabel 8 Identi ikasi kelembagaan appalili’ dalam konteks

    tindakan kolektif dalam tataran nilai tradisi 164

    xi

  • Tabel 9. Eksistensi Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan

    dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap

    dengan Basis Kultural serta Kategori menurut Sektor

    di Desa Pajjukukang ........................................................... 182 Tabel 10. Eksistensi Kelembagaan Lokal dalam Penyelesaian

    Kon lik Nelayan dengan Basis Kultural serta

    Kategori menurut Sektor di Desa Pajjukukang 188

    xii

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Perkembangan peradaban dan pertumbuhan penduduk dunia menyebabkan pengelolaan sumberdaya perikanan pun semakin

    kompleks. Apabila dilihat dari konteks negara berkembang seperti

    Indonesia di mana faktor sosial, politik, ekonomi, dan demogra i yang

    tidak mendukung menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi

    tantangan besar bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Tidaklah

    mengherankan apabila kemudian selama enam puluh tahun lebih

    bangsa ini merdeka, sektor perikanan belum menunjukkan

    potensinya sebagai sektor yang dapat diunggulkan, meski realitas

    potensi isik dan geogra is sumberdaya perikanan jauh lebih baik

    daripada negara-negara di Asia lainnya.

    Dibalik peran strategis dan prospek potensi dari ekosistem pesisir

    dan lautan berserta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya bagi

    pembangunan nasional, terdapat berbagai kendala dan kecenderungan

    yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) kedua

    ekosistem ini. Berdasarkan kajian Balai Riset Kelautan dan Perikanan

    tahun 2005, mengilustrasikan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya

    ikan umumnya sudah menunjukkan gejala lebih tangkap

    1

  • (overϔishing) pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan, yang

    ditandai dengan menurunnya trend produksi sumberdaya ikan dan

    perubahan komposisinya seperti menurunnya rata-rata panjang ikan

    yang tertangkap disamping makin mendominasinya ikan-ikan yang

    dahulu umumnya dikategorikan sebagai ikan tangkapan samping atau

    by-catch. Masa-masa sepanjang tiga dekade yang lampau telah

    menjadi beban yang berat bagi sumber daya alam ekosistem pesisir

    dan laut di Indonesia. Sumber daya alam di kedua ekosistem ini telah

    mengalami kerusakan parah akibat beban eksploitasi komersial yang

    hanya bertujuan mengejar keuntungan jangka pendek semata.

    Berbagai studi telah menunjukkan kerusakan terumbu karang akibat

    penangkapan ikan dengan bom, penggunaan racun asam (potasium),

    penambangan karang dan polusi. Menurut Pusat Pengembangan dan

    Studi Oceanology LIPI, diperkirakan hanya 7% dari batuan karang

    yang masih dalam keadaan baik, sedangkan 70% sudah dikategorikan

    rusak parah. Data resmi lainnya menyatakan pula bahwa dari total

    luas batuan karang di Indonesia yang mencapai 60.000 meter persegi,

    hanya 6% dalam keadaan baik. Bentuk pengelolaan dan pemanfaatan

    dalam konteks kekinian jelas menunjukkan fenomena terbalik

    (ahistory) dari sistem pengelolaan tradisional yang sarat dengan

    upaya perlindungan sumberdaya alam.

    Perubahan-perubahan tersebut berkolerasi signi ikan dengan

    kenyataan-kenyataan di lapangan yang semakin menyulitkan nelayan

    dalam upaya pencarian daerah ϔishing ground. Hampir pada umumnya

    nelayan semakin sulit mendapatkan ikan di daerah tangkapan

    sebelumnya. Wilayah tangkap semakin jauh dari pantai ke arah perairan

    lepas dengan dukungan teknologi yang masih serba terbatas.

    Konsukuensinya, biaya produksi seperti bahan bakar minyak yang

    diperlukan jauh lebih besar sementara perolehan jumlah hasil tangkapan

    semakin berkurang. Dengan kondisi seperti ini, dapat diasumsikan secara

    ekonomi usaha penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tradisional

    menjadi tidak lagi menguntungkan. Fenomena lain yang

    2

  • tak-kalah menariknya di dalam pencarian daerah-daerah penangkapan

    ikan yang lebih menguntungkan, faktanya telah pula menimbulkan kon

    lik horisontal di daerah-daerah penangkapan tersebut. Munculnya friksi-

    friksi antara nelayan telah menjadi konsukuensi logis dari efek negatif

    akibat keadaan yang dimaksud. Bahkan banyak diantara nelayan

    terpaksa memanfaatkan sumberdaya ikan di daerah penangkapan yang

    dilarang seperti di kawasan konsevarsi laut, kawasan suaka perikanan,

    daerah perlindungan dan rehabilitasi mangrove dan terumbu karang.

    Diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No.

    32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana setiap daerah

    memiliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya

    ikan di suatu perairan tertentu. Diasumsikan juga sebagai pemicu

    terjadinya kon lik sosial antar nelayan di berbagai wilayah di Indonesia

    baik yang sifatnya kon lik vertikal maupun horisontal. Penafsiran tentang

    ketentuan pengelolaan sumberdaya ikan, telah diterjemahkan keliru oleh

    sebagian daerah yang kemudian mengklaim wilayah-wilayah tertentu

    dalam kewenangannya sebagai wilayah perairan yang hanya boleh

    dimiliki oleh daerah tersebut. Kon lik agraria antar kelompok-kelompok

    nelayan tentu saja menjadi implikasi dari penafsiran pengkaplingan

    wilayah pengelolaan oleh masing-masing daerah otonomi.

    Fakta-fakta tersebut di atas diindikasi telah menjadi pemicu

    timbulnya kon lik-kon lik kenelayanan dewasa ini, baik yang sifanya laten

    maupun manifes. Proposisi ini dibangun berdasarkan kondisi empirik

    dari berbagai kon lik sosial antar nelayan yang dimensinya sudah

    semakin meluas, bukan hanya melibatkan antar desa, kecamatan dalam

    suatu kabupaten tetapi juga nelayan antar kabupaten dalam satu provinsi

    dengan berbagai macam motif yang melatarinya.

    Jika kita kembali melihat catatan sejarah kon lik perikanan di

    Indonesia, kon lik kenelayanan merupakan fenomena yang sudah lama

    terjadi. Pada tahun 1970-an misalnya, telah terjadi kon lik besar-besaran

    antara nelayanan “tradisional” dengan nelayan pengguna alat tangkap

    pukat harimau (trawl) yang terjadi di Sumatera dan Jawa. Meskipun

    3

  • pemberitaannya sangat minim (jaman Orde Baru1), tetapi kon lik ini

    telah menelan banyak korban jiwa dan juga harta (alat tangkap dan

    perahu). Bahkan begitu seriusnya kon lik tersebut, Presiden Soeharto

    sampai harus mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan trawl

    melalui KEPRES No. 39 tahun 1980.

    Kon lik dalam dunia kenelayanan di Indonesia menjadi hal

    penting untuk mendapatkan perhatian yang serius, karena ; (1)

    gejalanya meluas banyak tempat di Indonesia2, (2) kompleksitasnya

    tidak sesederhana yang kita bayangkan. Selain itu, (3) korban yang

    diakibatkan kon lik kenelayanan ini juga tidak sedikit baik berupa

    harta benda (alat tangkap dan perahu/kapal) maupun korban jiwa,

    (4) tidak tampak usaha-usaha yang sistematis secara kelembagaan

    untuk memahaminya apalagi mengelolanya.

    Kon lik kenelayanan sebagaimana telah disebutkan pada uraian

    sebelumnya, sesungguhnya merupakan re leksi masyarakat pesisir

    sebagai suatu sistem sosial3, dimana dalam eksistensinya, ia menghadapi

    berbagai ‘masalah fungsional’ agar dapat bertahan hidup (survive),

    tumbuh dan berkembang (develop) dalam mengadaptasi sumberdaya

    alamnya. Oleh karena itu, Satria (2002) mengidenti ikasikan kon lik yang

    terjadi di masyarakat nelayan menjadi empat macam, yaitu : (1) kon lik

    kelas, yaitu kon lik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam

    memperebutkan wilayah penangkapan (ϔishing ground), seperti kon lik

    nelayan trawl di perairan pesisir yang sebenarnya wilayah tangkapan

    nelayan tradisional; (2) kon lik orientasi, yaitu kon lik yang terjadi antar 1 Pada rezim pemerintahan Orde Baru, media dan pemberitaan dikuasai dan dikontrol oleh

    negara. Pada masa ini, rezim pemerintahan telah mendefinisikan konflik secara sempit dan

    negatif. Konflik selalu dikaitkan dengan ketidakamanan dan ketidakharmonisan yang

    mengancam eksistensi pemerintah. Oleh karena itu, segala bentuk kejadian yang bersifat

    konflik sedapat mungkin tidak dipublikasikan kepada masyarakat (Susan, 2009). 2 Penelitian Wahono dkk (2009) konflik kenelayanan intensif terjadi di tiga provinsi (Papua,

    Sulawesi Utara dan Maluku). Zenner (1996), Satria dkk (2002) juga menulis konflik di Sulawesi Selatan. Analisis terhadap kliping dari berbagai surat kabar pada kurun waktu tiga tahun terakhir juga menunjukkan bahwa konflik kenelayanan telah terjadi di perairan dari ujung utara Sumatra sama Masalembo di Kalimantan (Adhuri, 2003).

    3 Sistem sosial masyarkat pesisir adalah suatu sistem atau mekanisme hubungan antara masyarakat yang sedikitnya hubungan tersebut berada dalam tiga aspek, yaitu (1) hubungan masyarakat dengan sang pencipta, (2) hubungan antara masyarakat itu sendiri, dan (3) hubungan masyarakat dengan sumberdayanya. Ketiga hubungan inilah yang mewarnai dnamika perjalanan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir (Nur Indar, 2005).

    4

  • nelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan

    jangka panjang) dalam pemanfaatan sumberdaya, seperti kon lik

    horizontal antara nelayan yang menggunakan bom atau potassium

    cyanide dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan;

    (3) kon lik agraria, yaitu kon lik yang terjadi akibat perebutan ϔishing

    ground. Kon lik ini dapat terjadi pada nelayan antar kelas maupun

    nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan, kon lik dapat juga

    terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti kon lik

    penambangan pasir Riau, dimana nelayan harus berhadapan dengan

    para pengusaha penambang pasir; dan (4) kon lik primordial, seperti

    yang telah disebutkan di atas. Namun jika ditelusuri lebih jauh, kon lik

    identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan

    kon lik kelas maupun kon lik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi

    sebelum diterapkannya otonomi daerah.

    Sementara Nur Indar (2005) mengkategorikan kon lik di wilayah

    pesisir atas 2 (dua) jenis, yaitu; (1) Kon lik vertikal. Kon lik vertikal

    terjadi akibat terdapatnya perbedaan kebijakan pengelolaan dan

    pemanfaatan sumberdaya dari pemerintah dengan sistem pengelolaan

    dan pemanfaatan yang dianut oleh masyarakat pesisir yang bersifat

    tradisional (asli). Jenis kon lik ini paling dominan terjadi pada era Orde

    Baru atau rejim sentralistik yang berakibat terjadinya degradasi

    ekosistem dan sumberdayanya; dan makin meningkatnya biaya

    pengelolaan dan pengawasan. Praktek pengelolaan sumberdaya berbasis

    sentralistik selama kurun waktu lebih kurang 32 tahun menonjolkan

    degradasi peran sentral sistem tradisional (kelembagaan lokal),

    hilangnya karakter pluralistik masyarakat pesisir, dan kuatnya kon

    igurasi sumberdaya milik bersama. (2) kon lik horizontal adalah kon lik

    kepentingan yang terjadi diantara masyarakat pesisir itu sendiri akibat

    makin variatifnya stakeholders dalam peran dan strateginya. Kon lik ini

    terjadi akibat intervensi faktor eksternal, seperti perubahan indeks pasar,

    informasi dan kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan dan

    pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan laut. Diantara faktor

    eksternal yang menyebabkan terjadinya kon lik horizontal adalah

    5

  • orientasi ekonomi yang berupaya menggantikan sistem sosial dengan

    argumentasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hubungan

    antara masyarakat pesisir tidak lagi berlandaskan hubungan sosial dan

    kekerabatan (kearifan lokal yang humanis), tetapi lebih ditujukan kepada

    hubungan timbal balik ekonomi yang kapitalistik. Serupa dengan Kusnadi

    (2002) tersimpulkan pula bahwa faktor-faktor yang menyebabkan

    terjadinya kon lik di kalangan masyarakat nelayan setidaknya

    dipengaruhi oleh enam faktor utama, yakni tidak dipatuhinya pranata-

    pranata pengelolaan sumber daya lokal; konteks sosial-budaya; kebijakan

    negara; variabel-variabel teknologis; tingkat tekanan pasar; dan tekanan

    penduduk. Nelayan atau kelompok-kelompok nelayan dengan teknologi

    penangkapan yang dimilikinya (tradisonal, semi-tradisonal dan modern)

    harus bersaing secara bebas dan kompetitif diantara mereka untuk

    mendapatkan sumberdaya perikanan. Dalam persaingan bebas yang

    tidak seimbang ini, berlaku hukum besi “siapa yang kuat, dialah yang

    menang” yang merupakan pemicu timbulnya kon lik terbuka di antara

    mereka. Dalam pandangan Pollnac (1984) dalam Wahyono et,all (2000)

    dikemukakan bahwa, salah satu sumber kon lik di wilayah pesisir dan

    laut adalah meningkatnya intensitas eksploitasi sumberdaya yang

    berkaitan erat dengan pertambahan unit eksploitasi, pertambahan

    penduduk (demograϔi), lapangan kerja, perubahan tingkat komersialisasi

    (permintaan pasar) yang diiringi oleh perubahan teknologi, serta kondisi

    ekologis sumberdaya yang semakin terbatas.

    Dari uraian singkat para peneliti kon lik pada masyarakat nelayan diatas,

    menarik untuk dicermati adalah kesimpulan yang sama terhadap

    terdegradasinya peran kelembagaan lokal yang dianggap cukup efektif

    sebagai katalisator peredam kon lik. Ini menjadi penting, karena dalam

    komunitas di pedesaan kelembagaan lokal merupakan entitas yang telah

    menjadi tatanan yang melembaga dalam masyarakat yang terbangun dari

    unsur-unsurnya serta aturan-aturan sebagai nilai dan norma yang mengatur

    lembaga asli tersebut. Dalam pengelolaan sumberdaya perairan misalnya, di

    Maluku telah eksis lembaga sasi, di Bali dan Nusa Tenggara

    6

  • dikenal awig-awing, di Aceh dikenal lembaga panglima-laut (Basuki dan

    Nikijuluw, 1996). Kombong di Sulawesi Selatan (Salman, 1995), Mapalus

    di Sulawesi Utara (Kasakoy, 1986). Kelembagaan Ondoaϔi di Papua,

    Mappalili di Kabupaten Pangkep (Nyonri, 2009), Panglima Menteng serta

    Kappalli di Selayar (Ahmadin dan Jumadi, 2009) dan masih banyak yang

    lain yang tidak sempat disebutkan satu per-satu. Konteks keberadaan

    kelembagaan lokal ini, sangat penting artinya karena merupakan

    pedoman bertingkah laku bagi petani/nelayan yang tidak melihat alam

    sebagai sesuatu yang harus dikuras untuk mendapatkan hasil yang

    sebesar-besarnya tetapi petani/nelayan berusaha untuk menjaganya

    melalui aturan-aturan yang sangat dihormati oleh sesamanya yang juga

    sekaligus berfungsi efektif untuk mencegah terjadinya kon lik diantara

    mereka (S. Ali, 2000). Namun dalam perkembangannya, menurunnya

    peran dan eksistensi kelembagaan lokal dalam mengelola tata kehidupan

    masyarakat pedesaan/pesisir, Salman (2003) mengkritisinya bahwa ini

    erat kaitannya dengan paham paradigma pembangunan modernisasi

    yang pernah kita anut pada rezim pemerintahan Orde Baru, dimana

    kelembagaan yang sifatnya tradisional (asli) dianggap tidak cocok

    sebagai wahana pembangunan sehingga harus diabaikan, bahkan

    “dihilangkan fungsi dan perannya” dan dihadapkan keharusan untuk

    membentuk lembaga/organisasi baru (modern) yang ternyata dalam

    implementasinya tidak selalu berhasil dan justru banyak menimbulkan

    leg (kesenjangan) di dalam masyarakat.

    Bukti empiris ini dapat juga dijadikan penjelas bahwa kon lik pada

    masyarakat pesisir dapat pula muncul karena adanya kesenjangan antara

    tujuan, sasaran, perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak yang

    terkait (lembaga/organisasi pengelola modern)4. Banyak pihak 4 Dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, sering muncul konflik antara

    berbagai pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkannya. Pihak-pihak yang berkepentingan itu antara lain sektor perikanan, pariwisata, pertambangan lepas pantai, perhubungan laut, industri maritim, konservasi dan pertahanan/keamanan (Cicin-Sain, 1998). Masing-masing pihak tersebut mempunyai kepetingan, maksud, target dan rencana untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya tersebut. Misalnya, sektor perikanan mempunyai tujuan untuk meningkatkan produksi ikan tangkap dan budidaya. Sektor pariwisata bahari bertujuan untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan

    tamasya, snorkelling dan scuba diving. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) ingin mengkonservasi keanekaragaman hayati lautnya. Perbedaan maksud, tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan (Putra, 1994).

    7

  • pengambil keputusan menyadari bahwa telah terjadi penangkapan ikan

    secara illegal, terjadi pengeboman terumbu karang, berkembangnya

    pengrusakan ekosistem mangrove dan padang lamun, benturan antar

    kelompok nelayan, namun faktanya memperlihatkan bahwa hampir tidak

    ada perhatian yang serius dan memadai untuk dapat mengatasi persoalan

    tersebut sebagai upaya yang sistematis dan terintegrasi.

    Sulawesi Selatan yang menjadikan sektor perikanan dan kelautan

    sebagai sektor andalan dalam pertumbuhan ekonominya terdiri dari

    empat suku bangsa yaitu : Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

    Jumlah penduduknya tercatat sampai tahun 2009 sebanyak 8.342.083

    jiwa. Terdapat 354.007 jiwa merupakan nelayan dan 121.895 jiwa adalah

    petani ikan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi panjang garis pantai

    2.500 km, perikanan laut 600.000 ton/tahun, perairan umum 40.000

    ton/tahun, budidaya tambak 150.000 ha, budidaya air tawar 100.000 ha

    dan areal budidaya laut 600.000 ha. Disamping itu terdapat pula pulau-

    pulau kecil sebanyak 232 buah, terdiri dari pulau-pulau Sangkarang

    (Spermonde), Taka Bonerate dan pulau-pulau Sembilan di Pantai Timur

    (Dinas Perikanan dan Kelautan SULSEL, 2009).

    Serupa dengan wilayah persisir lainnya di Indonesia, kasus kon lik

    kenelayanan di Sulawesi Selatan juga memperlihatkan pola dan indikasi

    yang sama atau hampir sama dengan kasus kon lik kenelayanan pada

    umumnya. Kasus-kasus tersebut, misalnya; (1) di Kabupaten Pangkep

    dan Barru, terjadi pengusiran kelompok nelayan penggunaan bagan

    rambo (lift net) yang beroperasi di wilayah penangkapan nelayan

    tradisional (di jalur penangkapan I perairan pantai hingga batas 3 mil

    laut) oleh kelompok nelayan pengguna bagan tancap; (2) kon lik nelayan

    di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros, terjadi pelarangan

    pengoperasian alat tangkap trawl mini dalam kegiatan penangkapan

    udang dan kepiting oleh kelompok nelayan pengguna alat tangkap jaring

    insang tetap, jaring klitik dan nelayan pengguna bubu; (3) kon lik di

    Kabupaten Pangkep, Takalar, Sinjai, dan Kota Makassar, terjadi

    pelarangan dan penyanderaan perahu penangkap ikan karang dengan

    menggunakan bahan kimia (cyanide ϔishing) dan bahan peledak (blash

    ϔishing) oleh nelayan tradisional (Satria, et. all., 2002). 8

  • Dalam konteks demikian diatas, memperlihatkan bahwa berkon lik

    merupakan instrumen yang paling sering digunakan dalam mengatasi

    krisis relasi sosial menuju ke kondisi ekuilibrum nilai dan norma sosial

    sebagai pemecahan masalah (problem solving). Dengan demikian, kon lik

    di wilayah pesisir atau kon lik sosial nelayan pada dasarnya tidak selalu

    berkonotasi negatif, seringkali kon lik tersebut menjadi entry point untuk

    mengetahui keinginan masyarakat pesisir dalam memanfaatkan suatu

    sumberdaya milik bersama (common property) yang open acces. Oleh

    karena itu dalam perkembangannya, sangat dibutuhkan kajian-kajian

    mengenai kon lik kenelayanan yang terintegratif sehingga dapat

    mengelola kon lik secara arif dan bersifat konstruktif dalam

    mendinamisasi poses sosial pada masyarakat pesisir.

    Dari beberapa hasil kajian penelitian dalam hal konflik nelayan

    baik secara eksplisif maupun tidak, pada umumnya masih berfokus

    kepada kondisi konfliknya itu sendiri, sementara untuk studi yang

    menghubungkan dinamika konflik dengan peran kelembagaan lokal

    baik sebagai pengelola sumberdaya perikanan maupun sebagai

    mediasi dalam penanganan konflik yang terjadi belum pernah

    dilakukan. Misalnya; Kusnadi (2002) tentang Konflik Sosial Nelayan,

    Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan; Shaliza F (2004)

    tentang Dinamika Konflik Antar Komunitas di Kabupaten Bengkalis;

    Lukman (2004) tentang Konflik Nelayan dalam Pemanfaatan Ruang

    Wilayah di Kabupaten Maros; Yanti (2006) tentang Konflik

    Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir Kabupate Bulukumba; Kinseng

    (2007) tentang Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di

    Indonesia, Studi Kasus di Balik Papan Kalimantan Timur; Nur Indar

    (2008) tentang Kajian Konflik Wilayah Penangkapan Ikan di

    Kabupaten Maros; dan lain sebagainya.

    Oleh karena itu, menjadikan apa yang telah disebutkan diatas

    sebagai salah satu pertimbangan, maka studi ini memfokuskan diri

    kepada dinamika konflik dan peran kelembagaan lokal dalam

    pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap sebagai kajian spesifik

    yang membedakan penelitian-penelitian sebelumnya.

    9

  • Lokasi penelitian buku hasil penelitian disertasi ini adalah Desa

    Pajjukukang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros. Di desa ini,

    berdasarkan survey awal yang dilakukan tampak bahwa interaksi sosial

    masyarakat nelayan cukup tinggi dalam memanfaatkan sumberdaya

    perikanan yang ditandai oleh beragamnya alat tangkap perikanan yang

    dipergunakan seperti; pukat gadan, pattarik atau parrenreng, pa’sodo

    perahu, pa,bubu dan sebagainya sehingga fenomena kon lik kenelayanan

    menjadi proses sosial yang juga ikut mewarnai interaksi sosial kelompok-

    kelompok nelayan tersebut dalam dinamikanya. Asumsi ini terbangun

    berdasarkan berbagai kasus kon lik kenelayanan yang pernah terjadidi

    desa ini, seperti; kon lik nelayan pengguna alat tangkap trawl mini, sodo

    perahu dengan nelayan jaring klitik dan nelayan bubu.

    Oleh karena itu, asumsi sementara yang dapat dijelaskan bahwa,

    dinamika kon lik kenelayanan yang telah berlangsung di Pajukukang,

    disatu sisi telah melahirkan tipologi konflik kaitannya dengan

    penggunaan alat tangkap yang perubahannya dari masing-masing

    tahap kon lik sesuai dengan kondisi lingkup sosial yang lebih besar

    dan bervariasi mengikuti interaksi dengan kekuatan produksi yang

    peredarannya lebih dominan namun hubungan-hubungan

    kemasyarakatan (social relation) masih memperlihatkan hubungan-

    hubungan penyesuaian atau keterikatan berdasarkan kearifan

    tradisional melalui nilai-nilai adat kenelayanan serta pelaksanaan

    upacara-upacara yang bersifat tradisi dan keagamaan sebagai wujud

    kelembagaan lokal yang masih melembaga (institutionalized).

    Atas dasar asumsi inilah yang memunculkan ide dalam kajian ini

    untuk menjadikan konflik kenelayanan dan peran kelembagaan lokal

    sebagai kerangka berpikir dalam memahami kenyataan sosial

    tersebut. Proposisi ini dikonstruksi berdasarkan konteks faktual

    bahwa, masyarakat nelayan Sulawesi Selatan adalah masyarakat

    bahari yang secara umum dalam struktur sosialnya telah memiliki ciri

    tersendiri dalam kegiatan kenelayanan berdasarkan budaya lokal

    yang diwarisinya, seperti pengetahuan lokal (indigeneous knowledge),

    teknologi tradisional (traditional technology), dan

    10

  • hubungan-hubungan produksi (relation of production) melalui relasi

    kekerabatan dan patronase, sehingga konteks konflik kenelayanan

    dan peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya

    perikanan tangkap, gambarannya akan terlihat dari ciri dan dinamika

    konflik yang terjadi dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang

    pernah dilakukan.

    Hasil studi ini diharapkan membawa suatu pemahaman terhadap

    sosiologi kon lik dan kelembagaan masyarakat nelayan sebagai bahan

    formulasi kebijakan. Studi ini juga memiliki kepentingan akademis

    untuk mencoba mengembangkan perspektif teori-teori kon lik dan

    kelembagaan yang telah dominan dalam wacana sosiologi perikanan,

    khususnya dalam menelaah kondisi masyarakat pesisir yang semakin

    kompleks, yang dicirikan dengan beragamnya usaha perikanan, baik

    perikanan tangkap maupun budidaya dengan cara produksi

    sederhana-tradisional maupun kapitalis-modern, yang dalam

    perspektif Neo-Marxis bahwa kompleksitas struktur sosial akan

    menjadi sumber munculnya kon lik-kon ik baru dalam masyarakat.

    B. Konsepsi Konflik Sosial Konsep kon lik dalam pandangan Karl Marx, harus terpahami

    sebagai suatu kenyataan sosial yang bisa ditemukan di mana-mana. Bagi

    Marx, kon lik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen

    masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai, sehingga jenis

    dari kon lik sosial ini pun bisa bermacam-macam, yakni; kon lik antara

    individu, kon lik antara kelompok, dan bahkan kon lik antara bangsa

    (Raho, 2007). Dalam konteks ini, laut merupakan suatu sumberdaya yang

    bernilai, ia merupakan common property maupun open access sehingga

    membuka ruang untuk terjadinya kon lik dengan segala dimensinya.

    Sementara Max Weber, berpandangan bahwa kon lik dan

    pertentangan kepentingan dari berbagai individu dan kelompok

    merupakan determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan

    sosial. Dengan kata lain, struktur dasar masyarakat sangat ditentukan

    oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok

    untuk mendapatkan sumberdaya yang bernilai dan terbatas yang

    11

  • akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena

    segala sumberdaya dalam kadar tertentu selalu terbatas, maka kon lik

    merupakan realitas untuk mendapatkannya (Wulansari, 2009),

    Dari dua pandangan penggagas teori kon lik diatas (Karl Max dan

    Marx Weber) yang penegasannya kepada kepemilikan dan

    pengorganisasian sosial, maka kondisi sumber daya yang menjadi ruang

    perebutan yang dapat menimbulkan kon lik di suatu kawasan, sedikitnya

    dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu: pranata pengelolaan sumber

    daya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan negara, variable teknologi,

    tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut

    mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak terhadap keadaan

    sumber daya. Konteks sumberdaya laut bernilai tinggi atau sebaliknya,

    dapat dilihat dari: pertama, misalnya, tingkat kepentingan laut. Untuk

    mereka yang sangat tergantung pada laut, baik untuk keperluan

    transportasi, sumber mata pencaharian hidup maupun untuk keperluan

    lain, menjadikan kepentingan laut sangat tinggi. Sebaliknya, bagi mereka

    yang keperluan hidupnya tidak tergantung dengan laut, nilai kepentingan

    laut menjadi rendah. Kedua, laut juga dikatakan bernilai jika memiliki

    sumberdaya dan kondisi ekologisnya sedemikian rupa sehingga orang

    mudah mengeksploitasinya. Dalam hal yang terakhir ini, tentu

    berhubungan pula dengan mudah atau tidaknya proses distribusi pasar

    berjalan, atau ada atau tidaknya permintaan pasar. Kondisi pasar itu

    sendiri sedikit banyak dipengaruhi oleh masyarakat lain, sehingga

    kemungkinan intensitas terjadinya proses tukar-menukar semakin besar

    dapat terjadi.

    Dalam tataran kon lik Wahyono, et all (2000) menyebutkan

    bahwa salah satu sumber kon lik utama dalam pengelolaan

    sumberdaya laut adalah peningkatan intensitas eksploitasi. Hal ini

    berkaitan erat dengan unit eksploitasi, pertambahan penduduk

    (demograϔi), lapangan kerja, permintaan pasar, kondisi ekologis

    sumberdaya, dan perubahan teknologi. Yang kesemuanya

    berimplikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap

    aspek sosial, ekonomi, ekologi, teknologi, serta hukum dan kebijakan

    terhadap masyarakat pesisir, khususnya komunitas nelayan. 12

  • Jika dilihat secara empirik dinamika komunitas nelayan yang

    bermukim di wilayah pesisir, pada dasarnya mereka dipengaruhi oleh

    faktor internal dan faktor eksternal dalam dinamisasi kehidupannya.

    Faktor internal yang dimaksud antara lain; pertumbuhan penduduk,

    cara pemanfaatan sumberdaya perikanan, dan penggunaan teknologi

    penangkapan. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi, antara

    lain; perubahan ekologi/ekosistem, kebutuhan pangsa kerja, dan

    permintaan pasar. Dinamika ini juga akan semakin nyata dan variatif

    karena terjadinya proses interaksi antara masyarakat lokal dan

    masyarakat pendatang, pemerintah lokal, antara pemerintah lokal

    dengan pelaku pasar lokal, masyarakat lokal dengan pelaku pasar

    lokal (baik yang sifatnya temporer maupun yang permanen).

    Konteks interaksi dalam pandangan Max Weber dikatakan bahwa

    ketika terjadi interaksi, seseorang atau kelompok sebenarnya tengah

    berusaha atau belajar bangaimana memahami tindakan sosial orang atau

    kelompok lain. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-

    pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna

    tindakan sosial yang mereka lakukan (Suyanto, 2007). Dengan demikian,

    interaksi sosial yang terjadi dalam komunitas nelayan diasumsikan dapat

    menimbulkan perbedaan motivasi, makna atau persepsi tentang tatacara

    pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap sehingga dapat memicu

    terjadinya kon lik sosial kenelayanan.

    Dengan acuan teori dan kajian fenomologis yang demikian, maka

    masyarakat nelayan di pesisir Kabupaten Maros diasumsikan juga

    mengalami hal yang demikian, khususnya nelayan Desa Pajjukukang.

    Misalnya, persepsi masyarakat tentang tatacara pemanfaatan alat

    penangkapan ikan dengan menggunakan sodo perahu di wilayah pesisir

    Kecamatan Bontoa. Nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan bubu

    menganggap bahwa sodo perahu termasuk jenis alat tangkap yang

    dilarang karena dapat merusak ekosisten padang lamun dan terumbu

    karang. Sementara nelayan pengguna sodo perahu berpendapat bahwa

    alat tangkap yang digunakan bukan sejenis trawl mini ataupun cantrang

    karena belum ada aturan mengatakan bahwa sodo perahu sejenis trawl

    13

  • dan dalam pengoperasiannya tidak ditarik oleh perahu motor

    melainkan didorong dengan menggunakan perahu motor. Kondisi

    inilah yang menyebabkan terjadinya kon lik internal antara kelompok

    nelayan yang berbasis pada alat tangkap yang berbeda.

    Demikian halnya dengan perilaku masyarakat nelayan pada tingkat

    aktor juga turut mempengaruhi durasi dan intensitas kon lik yang terjadi,

    konteks ini erat kaitannya dengan “sistem nilai budaya dan sikap” sebagai

    “faktor-faktor mental” yang mempengaruhi pemikiran, sikap dan

    tindakan mereka dalam kehidupan kesehariannya maupun dalam hal

    membuat keputusan-keputusan penting lainnya (Koentjaraningrat,

    1985). Hal tersebut merupakan suatu rangkaian konsepsi-konsepsi

    abstrak yang hidup dalam alam pikiran yang terwadahi dalam

    kelembagaan lokal yang memberikan pegangan kepada masyarakat

    untuk melakukan kontrol sosial, yakni sistem pengawasan tingkah laku

    anggotanya (Soekanto, 1987). Artinya, kelembagaan lokal baik yang

    bersifat kultur maupun lembaga lokal yang termasuk dalam sektor publik

    (administrasi lokal dan pemerintahan lokal), sektor sukarela (voluntary

    sector) serta yang termasuk dalam sektor swasta (private sector)

    mengandung makna sebagai aturan yang menjadi pedoman perilaku yang

    terwadahi sehingga tercipta penerimaan dan kepatuhan pada masyarakat

    dimana lembaga beraktivitas (Salman, 2003). Mengacu pada pendekatan

    konseptual sebelumnya, maka dapat diasumsikan bahwa kelembagaan

    lokal sesuai dengan fungsinya dapat berperan aktif dan efektif dalam

    meredam terjadinya kon lik sosial antar nelayan baik yang bersifat laten

    (tersembunyi) maupun manifes (terbuka) dalam upaya menjaga

    keutuhan masyarakat yang bersangkutan.

    Dengan demikian, maka kelangsungan proses - proses sosial

    tersebut akibat dinamika konflik yang terjadi dan peran kelembagaan

    lokal dalam pengelolaan maupun mediasi konflik pada perikanan

    tangkap di Kabupaten Maros menjadi kajian yang dilihat. Alur

    kerangka pemikiran dari buku hasil penelitian ini sebagaimana yang

    telah diuraikan di atas dapat disederhanakan seperti yang terlihat

    pada gambar-1:

    14

  • - Nelayan Cantrang - Nelayan Jaring klitik

    - Nelayan Sodo Perahu - Nelayan Bubu

    Pemanfaatan Sumberdaya

    Perikanan Tangkap

    Konflik Nelayan :

    - Konflik agrarian (wilayah) - Konflik orientasi - Konflik teknologi

    Masyarakat Lokal Administrasi dan Pemerintah (Voluntary Sector) : Lokal (Public Sector) :

    - Appalili‟ - Kepala Desa - Punggawa-sawi - Kepala Dusun

    - Pokwasmas Pesisir - Penyuluh Perikanan

    K

    E L

    Resolusi Konflik E M B

    A

    G A A

    N

    L Pasar Lokal (Private Sector) :

    - Pedagang pengumpul O

    K

    (pabbilolang /pappalele) A L

    Gambar 1. Kerangka Pikir Dinamika Kon lik dan Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maros.

    C. Masalah dan Kegunaan Buku

    Konteks pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah pesisir yang sangat beragam dengan intensitas eksploitasi yang cukup

    tinggi, dipengaruhi oleh jumlah dan variasi jenis alat tangkap, jumlah

    penduduk, permintaan pasar, dan perubahan teknologi penangkapan

    ikan. Perebutan sumberdaya perikanan sebagai sumber daya alam milik

    bersama (common property) maupun open access menjadikan kon lik

    kenelayanan sebagai fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan

    15

  • bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya, dalam

    masyarakat pesisir akan tersadari dan terasakan bahwa kon lik itu

    dapat muncul sewaktu-waktu dalam lingkungan kehidupannya. Kon

    llik juga dapat terartikan sebagai suatu proses sosial dalam

    masyarakat, yang terjadi akibat adanya proses perubahan dari

    tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda (baru).

    Oleh karena itu, dalam kenyataannya kon lik bersifat inherent dalam

    kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang

    fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang

    kon lik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka menuju ketatanan

    yang dinamis. Dalam tatanannya, maka yang perlu diketahui bukanlah

    apakah kon lik itu ada atau tidak ada, tetapi bagaimana intensitas dan

    tingkat kekerasannya, dan dalam bentuk apa kon lik itu terjadi. Apakah

    menyangkut masalah fundamental atau isu-isu sekunder, pertentangan

    tajam atau sekadar perbedaan pandangan? Seperti apa intensitas kon lik

    yang menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan pihak-

    pihak (kelompok-kelompok) yang berkon lik dan berujung pada

    kekerasan kon lik menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi

    kon lik, mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara isik. Dengan

    demikian, dibutuhkan suatu proses pengelolaan kon lik yang baik

    (konstruktif) dan melembaga, karena dapat mengindenti ikasi dan

    memecahkan persoalan kon lik yang bertujuan mewujudkan

    keseimbangan ekonomi, sosial, budaya dan kelestarian sumberdaya alam

    dalam dinamisasi kehidupan manusia dalam ruang sosial masyarakat.

    Kegunaan buku ini secara akademik, keterangan ilmiah yang

    diperoleh dimaksudkan untuk menunjang teori perubahan sosial

    (social change) khususnya pada teori-teori konflik sosial (social

    conflict).

    Secara praktis, buku hasil penelitian ini diharapkan dapat

    memberikan informasi dalam perumusan kebijakan pemanfaatan dan

    pengelolaan wilayah pesisir khususnya di Kabupaten Maros melalui

    penguatan peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan kon lik

    nelayan dalam kerangka yang konseptual. ()

    16

  • BAB II

    KONSEP KONFLIK SOSIAL

    WILAYAH PESISIR

    A. Teori Konϐlik

    Teori kon lik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena kon lik di dalam

    masyarakat. Teori kon lik adalah suatu perspektif di dalam sosiologi yang

    memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-

    bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang

    berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan

    komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh

    kepentingan sebesar-besarnya (Raho, 2007).

    Kon lik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan

    sering bersifat kreatif. Kon lik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak

    sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan kon lik biasanya

    diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang

    lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena

    itu kon lik tetap berguna, apalagi karena memang merupakan bagian

    dari keberadaan kita. Dari tingkat mikro, antar pribadi hingga tingkat

    kelompok, organisasi, masyarakat dan negara, semua bentuk

    hubungan manusia-sosial, ekonomi dan kekuasaan, mengalami

    pertumbuhan, perubahan dan kon lik (Fisher dkk., 2000).

    17

  • Pandangan tentang kon lik juga dikemukakan, Karl Marx dalam

    Raho (2007), dimana kon lik pahami sebagai suatu kenyataan sosial

    yang bisa ditemukan di mana-mana. Bagi Marx, kon lik sosial adalah

    pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk

    memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari kon lik sosial ini

    bisa bermacam-macam yakni kon lik antara individu, kon lik antara

    kelompok, dan bahkan kon lik antara bangsa. Tapi kon lik yang paling

    menonjol menurut Marx dalam Raho (2007) adalah kon lik yang

    disebabkan oleh cara produksi barang-barang material. Dalam proses

    produksi barang-barang material, ada dua kelompok yang terlibat. (1)

    Kelompok kapitalis, mereka adalah orang-orang yang mempunyai

    modal (capital) dan mengusai sarana produksi, seperti nelayan

    punggawa. (2) Kelompok pekerja, mereka adalah orang-orang yang

    menyerahkan tenaganya untuk menjalankan alat-alat produksi dan

    imbalannya mereka mendapatkan upah, misalnya nelayan sawi.

    Teori kon lik menurut Dahrendorf (1986) lebih dikenal dengan nama

    teori kon lik dialektika. Bagi Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua

    wajah yakni kon lik dan konsensus. Kita tidak mungkin mengalami kon lik

    kalau sebelumnya tidak ada konsensus. Distribusi kekuasaan yang

    berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya kon

    lik sosial. Kekuasaan dalam sebuah perkumpulan bersifat dialektika.

    Dalam setiap perkumpulan terdapat dua kelompok yang saling

    bertentangan, yaitu kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok

    yang dikuasai (bawahan). Kedua kelompok tersebut mempunyai

    kepentingan yang berbeda (Dahrendorf, 1986 ). Oleh karena itu, kon lik

    pasti selalu ada dalam setiap kehidupan bersama walaupun mungkin

    secara tersembunyi (laten). Fungsi kon lik menurut Dahrendorf adalah

    menciptakan perubahan dan perkembangan.

    Kepentingan yang berbeda-beda memudahkan terjadinya kon lik.

    Masing-masing kelompok mengejar tujuan untuk kepentingan masing-

    masing yang berbeda, maka kelompok-kelompok akan bersaing dan

    berkon lik dalam memperebutkan kesempatan dan sarana. Perbedaan

    pendirian, tujuan, budaya, kepentingan dan sebagainya, sering terjadi

    18

  • pada situasi-situasi perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial ini

    secara tidak langsung dapat dilihat juga sebagai penyebab terjadinya

    kon lik-kon lik sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial yang begitu

    cepat inilah yang akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai di

    dalam masyarakat, dan pada akhirnya akan menyebabkan perbedaan-

    perbedaan pendirian di dalam masyarakat. Kon lik adalah sebuah

    proses sosial yang bersifat disosiatif dan sering berlangsung dengan

    keras dan tajam (Masmuh, 2008).

    Hal yang berbeda dikemukan oleh Lewis Coser dalam Poloma

    (2007), yang menekankan fungsi kon lik bagi sistem sosial atau

    masyarakat. Coser lebih memusatkan perhatian pada fungsi kon lik dalam

    mempertahankan keutuhan kelompok. Dia berpendapat bahwa proses-

    proses kon lik yang sering terjadi mempunyai akibat-akibat yang positif

    bagi masyarakat. Oleh karena itu, teori kon lik yang dikemukakan Coser

    disebut teori fungsionalisme kon lik (Poloma,2007).

    Lebih lanjut, Coser dalam Poloma (2007), berpandangan bahwa

    sumbangan kon lik berpotensi positif untuk membentuk dan

    mempertahankan struktur. Coser menekankan pentingnya kon lik untuk

    mempertahankan keutuhan kelompok. Kon lik dapat memperkuat

    solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang

    terancam disintegrasi, kon lik dengan masyarakat lain dapat menjadi

    kekuatan untuk mempersatukan. Coser melihat kon lik sebagai sesuatu

    yang fungsional dan secara positif dapat membantu mempertahankan

    struktur sosial. Sejalan dengan pandangan Coser, Dahrendorf (1986)

    menyatakan bahwa keberadaan kon lik tidak perlu dipandang sebagai

    peristiwa yang merisaukan, tetapi justru dengan munculnya kon lik dapat

    menghasilkan sebuah perubahan dalam masyarakat sehingga lebih

    dinamis dalam berinteraksi.

    Max Weber dalam Suyanto (2007), berpandangan bahwa ketika

    terjadi interaksi sosial, seseorang atau kelompok sebenarnya tengah

    berusaha atau belajar bagaimana memahami tindakan sosial orang atau

    kelompok lain. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-

    pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan

    19

  • makna tindakan sosial yang mereka lakukan. Interaksi sosial ini dapat

    menimbulkan perbedaan motivasi, makna atau persepsi tindakan

    sosial seseorang atau kelompok sehingga dapat memicu terjadinya

    kon lik sosial dalam masyarakat. Max Weber dalam Wulansari (2009), memandang kon lik dan

    pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai individu dan

    kelompok yang saling bertentangan sebagai determinan utama dalam

    pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain, struktur dasar

    masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai

    individu dan kelompok untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas

    yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena

    segala sumberdaya ini dalam kadar tertentu selalu terbatas, maka kon lik

    untuk mendapatkannya selalu terjadi dalam masyarakat.

    Kon lik dapat berwujud kon lik tertutup (latent), mencuat

    (emerging), dan terbuka (manifest). Kon lik tersembunyi dicirikan

    dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak

    sepenuhnya berkembang dan belum terangkat kepuncak kon lik.

    Sering kali satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadarinya

    adanya kon lik bahkan yang paling potensialpun. Kon lik mencuat

    adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridenti

    ikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan

    permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dan penyelesaian

    masalahnya belum berkembang. Disisi lain kon lik terbuka adalah kon

    lik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam

    perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi,

    dan mungkin juga mencapai jalan buntu (Wijardjo dkk., 2001).

    Menurut Wijardjo dkk (2001), kebanyakan kon lik atas sumberdaya

    alam mempunyai sebab-sebab ganda. Biasanya kombinasi dari masalah-

    masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah

    pada kon lik terbuka. Lebih lanjut, Wijardjo (2001) mengatakan bahwa

    dari pengalaman empirik di berbagai daerah di Indonesia, sumber pokok

    kon lik atas sumberdaya alam adalah kon lik yang bersifat struktural,

    dengan melibatkan unsur-unsur lainnya. Unsur yang dimaksud, dapat

    dianalisis dengan kerangka-kerangka sebagai berikut : 20

  • (1) Kon lik struktural, terjadi ketika terjadi ketimpangan untuk

    melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang

    berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan

    kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai

    akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain

    persoalan geogra is dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan

    alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan

    yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu; (2) Kon lik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang

    dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Kon lik

    kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa

    untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. (3) Kon lik nilai, disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang

    tidak bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada.

    Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti

    pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk,

    benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus

    menyebabkan kon lik. Manusia dapat hidup berdampingan

    dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Kon lik

    nilai baru muncul ketika orang berusaha untuk melaksanakan

    suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem

    nilai yang eksklusif di mana di dalamnya tidak dimungkinkan

    adanya percabangan kepercayaan; (4) Kon lik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi

    negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi,

    atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitive). Masalah-

    masalah ini sering menghasilkan kon lik-kon lik yang tidak realistis

    atau tidak perlu, karena kon lik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi

    obyektif untuk terjadinya kon lik, seperti terbatasnya sumber daya

    atau tujuan-tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada. Masalah

    hubungan antar manusia seperti yang disebut diatas, sering kali

    memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu

    kon lik destruktif yang tidak perlu;

    21

  • Dalam rangka memahami cara mengelola kon lik (Fisher dkk.,

    2001) menyebutkan ringkasan teori-teori utama mengenai penyebab

    terjadinya kon lik, masing-masing dengan metode dan sasaran yang

    berbeda. Teori-teori tersebut, antara lain: (1) Teori hubungan masyarakat yang menganggap bahwa kon lik

    disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan

    dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu

    masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai dalam teori ini adalah :

    a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara

    kelompok-kelompok yang mengalami kon lik dan

    b. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa

    saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. (2) Teori negosiasi prinsip, yang menganggap bahwa kon lik

    disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan

    pandangan tentang kon lik oleh pihak-pihak yang mengalami.

    Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :

    a. Membantu pihak-pihak yang mengalami kon lik untuk

    memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan

    isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi

    berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada

    posisi tertentu yang sudah tetap.

    b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang

    menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. (3) Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa kon lik yang berakar

    dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia isik mental dan

    sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan, identitas,

    pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti

    pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai adalah :

    a. Membantu pihak-pihak yang mengalami kon lik untuk

    mengidenti ikasi dan mengupayakan bersama kebutuham

    mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-

    pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dan;

    b. Agar pihak-pihak yang mengalami kon lik mencapai

    kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

    22

  • (4) Teori identitas berasumsi bahwa kon lik disebabkan karena

    identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya

    sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak diselesaikan.

    Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :

    a. Melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak

    yang mengalami kon lik mereka diharapkan dapat

    mengidenti ikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang

    mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun

    empati dan rekonsiliasi di antara mereka dan;

    b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan

    identitas pokok semua pihak. (5) Teori kesalahpahaman antar budaya berasumsi bahwa kon lik

    disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di

    antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai

    adalah :

    a. Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami kon lik

    mengenai budaya pihak lain;

    b. Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang

    pihak lain dan;

    c. Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. (6) Teori transformasi kon lik berasumsi bahwa kon lik disebabkan

    oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang

    muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

    Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :

    a Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang

    menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk

    kesenjangan ekonomi;

    b Mengembangkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di

    antara pihak-pihak yang mengalami kon lik dan;

    c Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk

    mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian,

    pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.

    23

  • B. Masyarakat Nelayan

    Pengertian masyarakat adalah kelompok-kelompok individu yang

    teratur, dimana setiap kelompok manusia saling bergaul dan

    berinteraksi dan bekerjasama dalam jangka waktu yang cukup lama

    (Linton 1973 dalam Sunarto, 1993). Menurut Mattulada (1997),

    masyarakat pesisir adalah sekelompok manusia yang hidup

    bekerjasama di suatu daerah tertentu yang disebut pantai. Sementara

    itu orang yang bertempat tinggal di pesisir pantai dan mempunyai

    mata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan dan hasil laut

    lainnya disebut nelayan. Sebagai masyarakat nelayan dalam

    melakukan penangkapan ikan di laut bergantung pada kemudahan

    bersama karena tempat usahanya tergolong liar, berpindah-pindah,

    dan ikan yang ditangkap berkembang biak secara alamiah.

    Arti nelayan dalam buku statistik perikanan Indonesia disebutkan

    nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam

    operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang

    hanya melakukan pekerjaan, seperti membuat jaring, mengangkut alat-

    alat/perlengkapan kedalam perahu/kapal, mengangkut ikan dari

    perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin, juru

    masak yang bekerja diatas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai

    nelayan. Dari pengertian itu tersirat jelas, nelayan dipandang tidak lebih

    sebagai kelompok kerja yang tempat bekerjanya di air; yaitu sungai,

    danau atau laut. Karena mereka dipandang sebagai pekerja, maka

    kegiatan-kegiatannya hanya re leksi dari kerja itu sendiri dan terlepas

    dari iloso i kehidupan nelayan, bahwa sumber penghidupannya terletak

    dan berada dilautan. Sumber kehidupan yang berada di laut mempunyai

    makna bahwa manusia yang akan memanfaatkan sumber hidup yang

    tersedia dilaut tidak mempertentangkan dirinya dengan hukum-hukum

    alam kelautan yang telah terbentuk dan terpola seperti yang mereka lihat

    dan rasakan. Tindakan yang harus dilakukan dan perlu dilaksanakan

    adalah mempelajari melalui penglihatan, pengalaman sendiri atau orang

    lain guna melakukan penyesuaian alat-alat pembantu penghidupan

    sehingga sumber penghidupan itu dapat berguna dan berdaya guna bagi

    kehidupan selanjutnya (Raharjo, 2002). 24

  • Menurut Arief (2002) laut sebagai bagian dari alam semesta

    mempunyai kecirian tersendiri dibandingkan dengan bagian alam

    semesta lainnya seperti tanah, udara dan panas matahari. Kecirian

    yang berbeda nyata dan sangat besar antara laut dengan tanah telah

    memberikan kesempatan pada manusia untuk mengenalinya lebih

    dalam, terutama setelah dikaitkan dengan udara dan panas matahari

    diantara keduanya, agar dapat bermanfaat bagi sumber penghidupan.

    Ternyata dari pengalaman yang berlangsung berabad-abad lamanya

    telah memberikan pengetahuan pada mereka bahwa perlakukan

    terhadap laut dan tanah harus berbeda, karena keduanya itu

    mempunyai sifat-sifat alam yang berbeda. Pengenalan sifat-sifat alam

    tersebut telah mendorong manusia untuk bersikap dan berbuat

    terha-dapnya selaras dengan sifat-sifat alam itu. Dari hasil

    pengenalan sifat alam tadi, peleburan manusia terhadap laut dan

    tanah telah pula menciptakan sikap hidup yang berbeda diantara

    keduanya. Dapat dilihat dari hasil hidup itu dari peralatan hidup yang

    mereka ciptakan. Manusia yang bergelut dengan laut; peralatan hidup

    utamanya seperti perahu dengan segala atributnya. Sedangkan,

    manusia yang bergelut dengan tanah; peralatan hidup utamanya

    seperti bajak tanah, dengan segala atributnya pula.

    Selanjutnya dikatakan bahwa dengan terciptanya peralatan untuk

    hidup yang berbeda itu, maka secara perlahan tapi pasti, tatanan

    kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok, kemudian

    membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya bertumpu pada

    sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat

    pula disebut sebagai hasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa

    umum, hasil ciptaan yang berupa peralatan isik disebut teknologi dan

    proses penciptaannya dikatakan ilmu pengetahuan dibidang teknik.

    Bagi nelayan hasil ciptaan berupa alat-alat teknik kelautan sangatlah

    serasi dengan kebutuhan mereka sehari-hari, karena peralatan

    tersebut berguna secara langsung dalam menopang mewujudkan

    kehidupan mereka yang bersumber dari laut.

    25

  • Adapun hasil ciptaan yang berupa bukan isik, adalah yang disebut

    sendi-sendi yang mengatur kehidupan mereka, baik secara perorangan

    atau berkelompok terhadap alam atau kekuatan supra natural yang

    berada diluar jangkauan pikir mereka. Hasil kedua ciptaan itu, dalam

    praktek kehidupan nelayan tidak boleh saling dipertentangkan, tetapi

    harus difungsikan setara dan serasi dalam keharmonisan, sehingga

    tercipta kondisi yang seimbang antara kedudukan nelayan sebagai

    manusia dengan kedudukan alam sekitarnya yang menghidupi mereka.

    Perwujudan dari sendi-sendi dasar pengaturan kehidupan nelayan

    tampak pada dinamika kehidupannya. Dinamika itu dapat berupa

    kelembagaan dan sistem yang mereka anut, dan ada juga pandangan

    kehidupan. Hal-hal itu dapat dilihat dari sumber kehidupan dan

    fenomena kehidupan yang berkenaan dengan kelautan, pengetahuan,

    tempat tinggal, norma-norma kemasyarakatan dan sanksi-sanksinya,

    peranan kepemimpinan dan juga pola interaksi kehidupan diantara

    sesama nelayan atau diluar mereka, juga proses asimilasi terhadap orang

    yang masuk kedalam kelompok mereka. Kesemuanya itu didasarkan pada

    sistem nilai-nilai yang telah mereka miliki dan jaga bersama.

    Dari pendapat Fernando, dkk, (1985) menyatakan bahwa ada

    bentuk-bentuk kebiasaan pengaturan penangkapan (ϔishing rights) di

    “Masyarakat Perikanan” (Fishing Communities), bahwa orang diluar

    masyarakat perikanan tersebut tidak dibolehkan menangkap ikan di

    daerah-daerah penangkapan masyarakat nelayan (Community ϔishing

    ground) dan tenaga kerja penangkapannya juga tidak diambil dari

    masyarakat diluar mereka. Pada mulanya, seperti daerah-daerah

    penangkapan yang tertutup bagi anggota masyarakat lainnya mulai

    terbuka, karena sebab-sebab kelangkaan tenaga kerja untuk menangkap

    ikan di tempat-tempat tertentu yang selama ini sifatnya tertutup.

    Kecenderungan tersebut makin tampak jelas, setelah alat penang-kapan

    nelayan secara tekhnik makin meningkat kemampuannya. Dan

    pemakaian istilah ‘Masyarakat Perikanan’ tidak hanya digunakan oleh

    Fernando, tetapi didalam buku yang sama itu, telah dipakai juga oleh

    Frederichs and Nair (1985) pada penelitian nelayan pantai di Peninsular

    26

  • Malaysia, maka istilah nelayan, secara fungsional tidak dapat lagi hanya

    dipandang sebagai kelompok kerja statis, tetapi mereka ada-lah bagian

    dari masyarakat tersendiri yang dinamis yang mampu mengatur dirinya

    sendiri dan beradaptasi atau saling tergantung dan mempengaruhi

    masyarakat lain yang berada diluar sistem kemasyarakatan mereka.

    Aspek budaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas atau erat

    kaitannya dengan kondisi pekerjaan/matapencaharian masyarakatnya.

    Soemardjan (1974) dalam Sunarto (1993), mengemukakan bahwa

    masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan

    kebudayaan, sehingga setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat

    satu dengan lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa ikatan yang membuat

    satu kesatuan manusia menjadi satu masyarakat adalah pola tingkah laku

    yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam batas-batas

    kesatuannya termasuk matapencahariannya.

    Dalam masyarakat mempunyai struktur dan seringkali memiliki

    perbedaan masyarakat etnik tertentu dengan masyarakat etnik lainnya.

    Sehubungan dengan itu Mubyarto (1984), mengemukakan bahwa

    masyarakat nelayan ditinjau dari aspek ekonomi memiliki strati ikasi

    sebagai berikut : (1) nelayan kaya yang mempunyai kapal yang

    mempekerjakan nelayan lain sebagai pendega tanpa dia sendiri ikut

    bekerja, (2) nelayan kaya yang mempunyai kapal tetapi dia sendiri masih

    ikut bekerja sebagai awak kapal; (3) nelayan sedang yang kebutuhan

    hidupnya dapat ditutupi dengan pendapatan pokoknya dari bekerja

    sebagai nelayan, dan mempunyai perahu tanpa mempekerjakan tenaga

    dari luar keluarga; (4) nelayan miskin yang pendapatan dari perahunya

    tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga harus ditambah dengan

    bekerja lain untuk kebutuhannya beserta istri dan anaknya; (5) nelayan

    pendega atau Nelayan Sawi yang tidak mempunyai perahu, sehingga

    kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan bekerja sebagai awak kapal.

    Secara sosiologis, Sallatang (1982), berpandangan bahwa dalam

    komunitas masyarakat pesisir khususnya di Sulawesi Selatan terdapat

    kelompok nelayan yang terdiri atas Punggawa dan Sawi. Kelembagaan ini

    sangat kuat ikatannya karena selain dimensi ekonomi, dimensi sosialpun

    27

  • sangat kuat beroperasi didalamnya. Ciri patron - klien disegala aspek

    kehidupan (ekonomi, sosial dan politik) masyarakat nelayan menjadi ciri

    tersediri didalam komunitasnya. Secara struktural punggawa terdiri atas

    dua kelompok yaitu : (1) Punggawa Besar berkewajiban mengorganisir

    anggotanya, menyediakan modal, memasarkan produksi ikan, dan

    melakukan pembagian bagi hasil; (2) Punggawa kecil, berkewajiban

    membantu Punggawa Besar terutama dalam mewujudkan pelaksanaan

    operasi penangkapan ikan yang dipimpinnya secara langsung; (3) para

    Sawi, berkewajiban mentaati Punggawa terutama dalam mendukung dan

    melaksanakan operasi penangkapan ikan. Untuk keperluan itu menjadi

    kewajiban Punggawa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para

    Sawi dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilannya.

    Dilihat dari aspek teknologi, nelayan tradisional pada umumnya

    cukup terampil dengan peralatan yang dimilikinya yang merupakan

    sarana tangkap dengan kemampuan terbatas tetapi sukar untuk

    ditingkatkan ke arah modernisasi. Sumberdaya manusia (pendidikan

    yang rendah) dan posisi ekonomi nelayan yang sangat rendah karena

    modal terbatas, produkti itas rendah dengan hasil tangkapan yang tidak

    menentu karena pengaruh musim, serta jaminan pemasaran yang tidak

    menentu pula karena berbagai kendala. Keadaan ini akan menyulitkan

    dalam proses transformasi teknologi yang akhirnya menghambat

    transformasi struktural masyarakat nelayan kearah kondisi yang lebih

    baik. Kondisi prasarana dan sarana seperti jalan, dermaga, pasar, TPI, dok

    serta cold storage dan pabrik es belum menunjang upaya peningkatan

    produksi dan mutu hasil tangkapan nelayan (Setyohadi, 2000).

    Dari aspek lingkungan isik dalam mengadaptasi atau mengelola

    sumberdaya yang dimilikinya, merupakan kondisi dimana nelayan

    mempertaruhkan jiwa dalam mencari/memburu sumberdaya (khususnya

    ikan), maka keterikatan nelayan terhadap hal-hal yang sifatnya mistik atau

    kepercayaan lokal, dipengaruhi oleh dua motif utama, yaitu untuk

    memperoleh keselamatan dan untuk memperoleh rezeki atau tangkapan ikan

    yang banyak. Tampaknya memang lapangan pencaharian hidup kaum

    nelayan amat menantangnya untuk mempercayai kekuatan-

    28

  • keuatan gaib dan untuk mendekat padanya. Mereka selama berada

    diatas samudra merasa sedang mempertaruhkan jiwa - raga dalam

    mendapat rezeki yang disediakan Tuhan untuknya. Motif rezeki

    didasari oleh sikap alam pada dirinya, alam samudra dengan segala

    kekuatan gaibnya kadang-kadang dirasakan demikian ramah (banyak

    hasil tangkapan), tetapi tidak jarang pula dirasakan sangat angkuh

    padanya (kurang atau tidak ada hasil tangkapan). Menurut mereka

    kondisi tersebut erat kaitannya dengan masalah nazar, perahu atau

    jala yang jarang diselamati dengan ritual barasanji atau baca salawat.

    Jadi intropeksi diri senantiasa dilakukan sampai diperoleh

    pemecahannya (Darwis, dalam Mukhlis (ed) 1989).

    Disamping itu profesi sebagai nelayan tradisional, secara umum

    dalam setahun hanya dapat melakukan penangkapan ikan antara 6 – 8

    bulan akibat dibatasi oleh musim penangkapan dan jangkauan wilayah

    operasi akibat minimnya fasilitas yang dimilikinya. Aspek pengelolaan

    usaha mereka, juga masih sangat lemah sehingga mudah menjadi sasaran

    eksploitasi. Minimnya pendapatan keluarga nelayan dan banyaknya

    waktu luang yang dimiliki menjadi satu diantara pemicu cara berpikir

    pintas baik yang dilakukan secara partisipasi maupun secara prakarsa,

    yang dampaknya antara lain menimbulkan tindakan penangkapan ikan

    secara ilegal menggunakan bahan peledak, racun kimia bahkan

    pengambilan karang untuk bahan baku industri kapur dan keperluan

    lainnya. Kesemuanya itu bermuara kepada pengrusakan lingkungan

    dengan alasan yang sangat sederhana yaitu untuk menghidupi keluarga.

    C. Konϐlik Nelayan di Wilayah Pesisir Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria et. all (2002)

    mengidenti ikasi paling tidak terdapat empat macam kon lik nelayan

    berdasarkan faktor penyebabnya. Pertama, kon lik kelas, yaitu kon lik

    yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah

    penangkapan (ϔishing ground), yang mirip dengan kategori gear war

    conϔlict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan tradisional

    merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat

    29

  • perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti, kon lik yang terjadi

    akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang

    sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional.

    Kedua, kon lik orientasi, adalah kon lik yang terjadi antar nelayan

    yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya,

    yaitu antara nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara

    pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka

    panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang

    bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan

    lain sebagainya (orientasi jangka pendek).

    Ketiga, kon lik agraria (wilayah penangkapan), merupakan kon lik

    yang terjadi akibat perebutan ϔishing ground, yang bisa terjadi antar

    kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi antara

    nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan

    pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh

    Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conϔlict.

    Keempat, kon lik primordial, merupakan kon lik yang terjadi

    akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya.

    Anatomi kon lik di atas menggambarkan betapa kompleksnya kon lik

    nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah

    otonomi daerah.

    Disamping keempat tipe tersebut di atas, masih ada satu tipe kon

    lik nelayan yang sering terjadi dalam masyarakat pesisir dewasa ini,

    yaitu konϔlik teknologi. Kon lik teknologi, merupakan kon lik yang

    terjadi karena penggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak

    ramah lingkungan. Penggunaan teknologi semacam ini hampir terjadi

    disemua daerah di Sulawesi Selatan. Teknologi penangkapan ikan

    yang digunakan umumnya menyebabkan kerusakan dan kehancuran

    sumberdaya perikanan, misalnya penggunaan alat tangkap trawl

    mini, cantrang, bagan rambo, dan sodo perahu yang sampai saat ini

    masih banyak beroperasi di wilayah pesisir Kabupaten Barru,

    Pangkep dan Kabupaten Maros (Satria, et. all, 2002).

    Kon lik nelayan adalah suatu situasi dimana seorang nelayan atau

    kelompok nelayan bersaing satu sama lain dalam upaya memperebutkan

    30

  • sumberdaya ikan atau ruang wilayah penangkapan ikan. Kon lik yang

    sering terjadi dalam masyakat nelayan, yaitu; (a) kon lik antara nelayan

    mini trawl dengan nelayan sero, (b) kon lik antara nelayan mini trawl

    dengan nelayan rajungan (trammel net), dan (c) kon lik antara nelayan

    mini trawl dengan nelayan payang. Selain itu, belakangan ini muncul juga

    kon lik dalam pemanfaatan ruang penangkapan ikan. Kon lik tersebut

    muncul karena perbedaan jenis alat tangkap, seperti kon lik antara

    nelayan mini trawl dengan pukat cincin, kon lik antara nelayan bagan

    tancap dengan bagan rambo di Pangkep, dan kon lik antara nelayan mini

    trawl dengan jaring klitik di Maros (Satria, dkk., 2002), serta (d) kon lik

    nelayan sodo yang didorong oleh perahu motor dengan nelayan

    pengguna jaring klitik dan bubu di Kabupaten Maros (Achmad, 2003).

    Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai maksud, tujuan,

    target dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut.

    Perbedaan maksud, tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong

    terjadinya kon lik pemanfaatan sumberdaya kelautan (Putra, 1994).

    Sektor perikanan mempunyai tujuan untuk meningkatkan produksi ikan

    tangkap dan budidaya. Sektor pariwisata bahari bertujuan untuk

    meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan tamasya, snorkelling

    dan scuba diving. Pengembang kawasan reklamasi bertujuan membangun

    kota pantai yang bisa langsung melihat ke pulau, matahari tenggelam dan

    pantai berpasir, sementara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)

    ingin mengkonservasi keanekaragaman hayati lautnya. Untuk mencapai

    maksud, tujuan dan sasaran tersebut, setiap instansi menyusun

    perencanaan sendiri, dengan sasaran dan fungsinya yang berbeda-beda.

    Perencanaan dari masing-masing sektor ini sering tumpang tindih dan

    berkompetisi memanfaatkan ruang laut yang sama. Tumpang-tindih

    perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumberdaya ini memicu

    munculnya kon lik pemanfaatan di wilayah pesisir.

    Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat

    pesisir untuk mengelolanya secara tradisional. Tetapi bila ada investor

    yang minta izin, hak pengelolaannya diberikan kepada investor dan

    penduduk lokal sering tersingkir oleh situasi seperti ini tanpa

    31

  • kompensasi ekonomi yang layak. Sehingga timbul kerancuan bahwa

    di satu sisi Sumber Daya Kelautan (SDK) dianggap milik penduduk,

    tetapi di sisi lain dianggap milik pemerintah. Kerancuan pemilikan

    dan penguasaan SDK ini mendorong timbulnya dua jenis kon lik yaitu

    kon lik kewenangan dan kon lik pemanfaatan (Crawford, 1998;

    Cincin-Sain, 1998).

    Kon lik pemanfaatan muncul akibat meningkatnya persaingan dalam

    pemanfaatan SDK di wilayah pesisir. Kon lik ini dipicu oleh beberapa

    faktor, yaitu; (1) pihak yang berkepentingan menyusun perencanaannya

    sendiri-sendiri, dan sering rencana sektor berbeda dengan rencana

    pemerintah daerah atau masyarakat, (2) belum tersedia data dan

    informasi yang akurat mengenai sumber daya di wilayah pesisir, (3) intensitas dan jumlah kegiatan pembangunan belum ditetapkan

    menurut pertimbangan daya dukung lingkungannya, dan (4) adanya

    ambiguitas (kerancuan) pemilikan dan penguasaan sumberdaya

    kelautan (Putra, 1994).

    Kon lik pemanfaatan berkembang karena adanya ambiguitas

    (kerancuan) pemilikan dan hak penguasaan SDK, serta kerancuan di

    antara beberapa instansi yang mempunyai hak mengeluarkan izin pemanfaatan. Sampai saat ini status pemilikan dan penguasaan SDK

    belum ditata dengan baik, apakah tanpa pemilik (open access property),

    milik masyarakat tertentu (common property), milik pemerintah (state

    property) atau quasi-swasta (quasi-private property) (Bromley and

    Cernea, 1989). Kerancuan dalam pemilikan ini berimplikasi pada ketidak

    jelasan siapa yang berhak mengelola dan memberi izin pembangunannya.

    Sering pemilikan dan hak pemanfaatan ini dikaitkan dengan pemilikan

    lahan di pesisir (Ruddle dkk., 1994).

    Masyarakat di pesisir mempunyai persepsi yang berbeda dengan

    pemerintah, pemilik lahan menganggap mereka yang berhak

    memanfaatkan SDK di depan lahan mereka. Persepsi ini dapat

    dilaksanakan penduduk selama pemanfaatan tersebut tidak

    menimbulkan nilai ekonomi yang relatif besar, dan instansi yang

    berwewenang kurang tertarik mencampuri urusan keabsahan pemilikan

    32

  • tersebut. Tetapi bila nilai ekonomi pemanfaatan SDK relatif besar,

    maka berbagai pihak mengklaim bahwa mereka yang berhak

    mengelolanya (Rossiter, 1997). Ironisnya bila sumberdaya tersebut

    mengalami degradasi banyak masyarakat dan Pemerintah Daerah

    yang dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab. Dari kasus kon

    lik diatas, belum ada instansi yang berwewenang secara resmi

    menyatakan bertanggung jawab terhadap degradasi SDK dan ikut

    menyelesaikan kon liknya (Butarbutar, 1998).

    Kusnadi (2002) mengemukakan beberapa alternatif sebagai jalan

    keluar yang bisa dipertimbangkan untuk mengurangi kon lik di

    wilayah pesisir yaitu : (1) Menegakkan aturan hukum yang melarang penggunaan teknologi

    penangkapan yang merusak lingkungan, seperti trawl yang dapat

    mengakibatkan kecemburuan sosial dan meningkatnya

    kesenjangan pendapatan diantara kelompok-kelompok nelayan.

    Dalam berbagai kasus masyarakat nelayan penegakan norma

    hukum tidak mudah dilaksanakan karena potensi melanggarnya

    cukup besar. Oleh sebab itu keterlibatan aparat yang berwenang

    sangat diperlukan (Acheson, 1989). Akan tetapi ini akan sulit,

    kalau terdapat keterlibatan oknum birokrat dan aparat. (2) Mengembangkan pranata penangkapan dan pengelolaan sumberdaya

    yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Terdapat

    empat model pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat

    dikembangkan adalah goverment management (pengelolaan yang

    dilakukan oleh pemerintah), co-management (pengelolaan bersama

    antara pemerintah dan komunitas), open-acces (pengelolaan terbuka

    untuk semua pihak) dan lokal level management (pengelolan oleh

    komunitas). Model yang berisiko tinggi terhadap komunitas dan

    lingkungan adalah open acces. (3) Mengembangkan secara intensif kesadaran konservasi sumberdaya

    perikanan. Kesadaran akan konservasi lingkungan sangat dibutuhkan

    untuk mendasari hal diatas dalam upaya berkesinambungan

    membangun masyarakat nelayan. Pengembangan kesadaran

    33

  • konservasi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan pranata-

    pranata lokal. Dalam kasus di Ghana, peranan pranata lokal

    sangat penting untuk menjaga kelangsungan penggunaan

    sumberdaya lingkungan. (Kusnadi, 2002).

    Marx dalam Poloma, 2007, mengemukakan bahwa kepentingan yang

    berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya kon

    lik sosial. Dalam kaitannya dengan kon lik nelayan di Kabupaten Maros

    yang melibatkan berbagai pelaku antara lain kelompok nelayan pengguna

    alat tangkap sodo perahu, nelayan pengguna alat tangkap bubu

    (rakkang), nelayan pengguna jaring klitik (jaring rajungan), tokoh

    masyarakat lokal, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah yang

    mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Pada sisi ini

    dapat menguntungkan bagi perkembangan dan rekayasa teknologi

    penangkapan ikan serta memudahkan terbentuknya kelompok-kelompok

    nelayan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Di sisi lain, jika

    tidak terkoordinasikan dengan baik, maka berpontensi menimbulkan kon

    lik baik antara individu maupun kelompok yang dapat mempengaruhi

    perubahan interaksi sosial masyarakat nelayan, serta pemanfaatan

    sumberdaya perikanan dan laut yang tidak berkelanjutan.

    Mengikuti Bennet (1976) dan Harris (1980), cara produksi

    menunjukkan usaha manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan

    material dan sosial di sekitarnya. Melalui sistem matapencaharian hidup,

    manusia berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, dan dengan

    demikian melalui sistem matapencaharian hidup, dapat dilihat usaha

    manusia untuk memanfaatkan dan mengubah lingkungan ekologi dan

    sosial untuk mendukung kelangsungan hidupnya (Bennet, 1976). Sebagai

    suatu sistem matapencaharian hidup, hak ulayat dan hak masyarakat

    lokal/tradisional dapat memperlihatkan aspek sosial, ekonomi, politik,

    ekologi dan teknologi yang terlibat dalam suatu cara adaptasi masyarakat

    nelayan (Wahyono dkk., 2000).

    Dalam hal ini, adaptasi dipahami secara umum sebagai cara manusia

    atau komunitas untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alland,

    34

  • 1975 dalam Wahyono dkk., 2000). Adaptasi adalah suatu konsep yang

    mengandung pengertian bersifat prosesual, dalam arti bahwa terjadi

    proses interaksi antara manusia dan lingkungan di sekitarnya, dan proses

    itu selalu terbuka. Adaptasi dapat menghasilkan suatu bentuk pranata

    baru, di samping itu dapat pranata lama yang sudah ada (Orlove, 1980

    dalam Wahyono dkk., 2000). Apabila terjadi suatu pranata baru, maka

    dikatakan bahwa proses interaksi tersebut berupa evolusi yang

    cenderung merubah struktur suatu komunitas masyarakat nelayan.

    Adaptasi teknologi penangkapan ikan yang dilakukan oleh sebagian besar

    masyarakat nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Maros telah

    menimbulkan kon lik nelayan yang berkepanjangan, karena peran

    pemerintah sebagai mediator belum mampu menghasilkan bentuk

    penyelesaian yang optimal, nyata, dan hanya bersifat sementara.

    D. Resolusi Konϐlik

    Penyelesaian kon lik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga

    sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum

    atau meja perundangan. Terdapat beberapa karakteristik teknis penyelesaian

    kon lik, yaitu : (1) lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok

    yang saling bersengketa daripada tawar menawar, (2) ber ikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian, dan (3) menuntut

    kesepakatan banyak pihak untuk satu keputusan. Seorang mediator yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian

    sengketa (Maguire dan Boiney, 1994 dalam Musdalifah, 2007).

    Meskipun upaya penyelesaian kon lik pemanfaatan sumberdaya alam

    yang ada dapat diselesaikan melalui jalur hukum di pengadilan, namun

    kebanyakan kasus kon lik pada saat ini tidak diselesaika