spm

159
KEDARURATAN UMUM ONKOLOGI DAN KEDARURATAN BEDAH ONKOLOGI PENDAHULUAN Kedaruratan bedah onkologi sering tumpang tindih dengan kedaruratan onkologis secara umum, sehingga mungkin masih penting artinya jika kita juga menyinggung kedaruratan onkologis secara umum terlebih dahulu. Secara umum kedaruratan onkologis menunjukkan adanya keganasan yang telah lanjut, dimana keadaan darurat tersebut terjadi akibat komplikasi dari tumor metastasenya, dan lebih jarang lagi sebagai akibat tumor primer. Meskipun demikian “assesment” yang lengkap dan detail dari keadaan tumor ataupun metastasenya perlu dilakukan, untuk melakukan managemen secara komprehensif, dan memberikan hasil akhir yang optimal, meskipun hanya untuk meningkatkan kwalitas hidup penderita. Pada umumnya kedaruratan onkologis adalah : Obstruksi jalan napas Sindroma vena cava (terutama superior) Penekanan pada medula spinalis Effusi rongga pericardial (tamponade) ataupun rongga toraks Metastase cerebri dan meningitis carcinomatosa Uropati obstruktif Kedaruratan metabolik Kedaruratan akibat kemoterapi anti kanker Kedaruratan bedah DIAGNOSA DAN MANAGEMEN KEDARURATAN ONKOLOGIS. 1. OBSTRUKSI JALAN NAPAS . 1

Upload: agus

Post on 03-Feb-2016

72 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

AGS

TRANSCRIPT

Page 1: SPM

KEDARURATAN UMUM ONKOLOGIDAN KEDARURATAN BEDAH ONKOLOGI

PENDAHULUAN

Kedaruratan bedah onkologi sering tumpang tindih dengan kedaruratan onkologis secara umum, sehingga mungkin masih penting artinya jika kita juga menyinggung kedaruratan onkologis secara umum terlebih dahulu. Secara umum kedaruratan onkologis menunjukkan adanya keganasan yang telah lanjut, dimana keadaan darurat tersebut terjadi akibat komplikasi dari tumor metastasenya, dan lebih jarang lagi sebagai akibat tumor primer. Meskipun demikian “assesment” yang lengkap dan detail dari keadaan tumor ataupun metastasenya perlu dilakukan, untuk melakukan managemen secara komprehensif, dan memberikan hasil akhir yang optimal, meskipun hanya untuk meningkatkan kwalitas hidup penderita.

Pada umumnya kedaruratan onkologis adalah :

Obstruksi jalan napasSindroma vena cava (terutama superior)Penekanan pada medula spinalisEffusi rongga pericardial (tamponade) ataupun rongga toraksMetastase cerebri dan meningitis carcinomatosaUropati obstruktif Kedaruratan metabolikKedaruratan akibat kemoterapi anti kankerKedaruratan bedah

DIAGNOSA DAN MANAGEMEN KEDARURATAN ONKOLOGIS.

1. OBSTRUKSI JALAN NAPAS . Obstruksi trakea seringkali terjadi sebagai akibat penekanan akibat keganasan

yang berasal dari luar trakea, dan sering juga terjadi akibat lesi yang benigna. Sedangkan obstruksi dari bronkus lebih sering terjadi sebagai akibat keganasan dari endo-bronchus (bronchogenic carcinoma) tersebut. Metastase pada trakea ataupun bronkus adalah sangat jarang (kurang dari 2%). Obstruksi jalan napas dapat juga terjadi oleh karena tracheomalacia, stenosis pasca radioterapi.

Diagnosa.Sulit untuk membedakan obstruksi tersebut pada trakea ataupun bronkus. Biasanya gejala dan tanda yang sering muncul adalah :

- dyspnea- orthopnea- batuk

1

Page 2: SPM

- suara nafas berbunyi- Stridor- Suara serak / berubah- Hemoptisis

Foto toraks dan foto leher (tehnik jaringan lunak) dapat membantu diagnosa obstruksi jalan napas, yaitu dengan melihat penyempitan trakea, tarikan terhadap trakea, bronkus, atelektasis dll.

Terapi.Terapi darurat sangat diperlukan secepatnya untuk mencegah kematian.Trakeostomi rendah dapat dilakukan pada cincin trakea bagian bawah, sedikit diatas manubrium sterni. Dalam keadaan stenosis trakea yang cukup panjang, sering kali diperlukan dilatasi dari stenosis, dan dipasang kanula trakeostomi yang cukup panjang (mungkin tidak tersedia di Indonesia), ataupun dengan pemasangan T-tube.

2. SINDROMA VENA CAVA SUPERIOR.Vena vena besar pada rongga toraks sangat mudah mengalami kompresi dan

obstruksi. Jika vena cava superior terbendung, maka seringkali terjadi efusi pleura, edema pada muka, kepala, extremitas bagian atas, dan trakea. Pada bentuk yang lebih berat lagi dapat terjadi edema otak, terjadinya pengisian atrium jantung ( gangguan “preload”). Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari berat ringannya obstruksi pada vena cava superior, dan juga ada tidaknya obstruksi pada organ organ vital disekitarnya (trakea dll).Pada umumnya SVC (“Superior Vena Cava Syndrome”) disebabkan karena keganasan pada rongga mediastinum. Angka pada literatur barat dikatakan kurang lebih 75 % disebabkan oleh keganasan pada paru, sedangkan sisanya disebabkan oleh karena limfoma, lesi benigna seperti TBC ataupun thrombosis vena o.k CVP. Di Indoensia angka ini belum jelas.

Diagnosa.- edema dari muka- adanya kongesti vena vena di leher, lengan atas - Jika SVC terjadi secara perlahan-lahan, seringkali diagnosa lebih sulit

ditegakkan, dan memerlukan pemeriksaan khusus seperti venografi, radioisotop.

- CT Scan dengan bantuan kontras, biasanya dapat memastikan lokasi dari obstruksi, dan kira kira penyebab obstruksi tersebut.

- Diagnosa histopatologi/ sitologi, didapatkan dari biopsi lesi yang dicurigai atau metastasenya, sitologi sputum, bronkoscopi, FNA (untuk limfoma, tumor paru).

- Bahkan kadang kadang tindakan yang lebih agresif seperti torakotom ataupun mediastinoscopi pun dilakukan.

- Seringkali tindakan untuk memastikan diagnosa ditunda agar keadaan darurat penderita dapat diatasi terlebih dahulu.

2

Page 3: SPM

Terapi.- Terapi sangat tergantung dari etiologi SVC.- Dalam keadaan darurat, (adanya obstruksi trakea), maka diagnosa

etiologi ditangguhkan.- Radioterapi dengan dosis harian yang lebih tinggi merupakan terapi

pilihan. (Biasanya diberikan 4.0 Gy perhari), sampai mencapai 30 - 50 Gy.- Pada keganasan sistemik, maka kemoterapi merupakan pilihan yang

lain. Pilihan kemoterapi sangat tergantung pada kecurigaan terhadap data histopatologi / sitologi ataupun kecurigaan kita.

- Kombinasi radioterapi dan khemoterapi merupakan pilihan yang diharapkan dengan cepat akan mengecilkan masa tumor yang menyebabkan kompresi.

- Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat yang hampir selalu diberikan, untuk mengurangi edema, dan reaksi inflamasi sebagai akibat tumor nekrosis ataupun lisis setelah pengobatan.

- Pengobatan untuk lesi benigna, seperti TBC statika, anti trombus diberikan sesuai etiologinya.

Prognosa.Pada keganasan, umumnya “dubious ad malam” oleh karena adanya SVC menunjukan keadaan stadium yang telah lanjut.

3. SPINAL CORD COMPRESSION.Kompresi medula spinalis hampir selalu merupakan kedaruratn onkologis,

terutama jika gejala kerusakan neurologis terjadi secara cepat, oleh karena jika telah terjadi kelumpuhan atau paraplegia, maka harapan untuk pulih kembali menjadi semakin kecil.Penekanan pada medulla spinalis sering terjadi pada metastase karsinoma mamma, paru, prostat, mieloma multiple, limfoma. Seringkali metastase tersebut terdapat pada epidura, ataupun pada corpus vertebrae, yang kemudian tumbuh menekan pada medula spinalis, ataupun menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra, dan menekan medula spinalis.

Gejala Klinis Dan Diagnosa.Sering kali gejala dan tanda yang muncul, bukan sebagai akibat langsung dari kompresi medulla spinalis, melainkan sebagai akibat dari “para - neoplastic syndrome”.Gejala sebagai akibat langsung kompresi biasanya a.l :- gejala awal yang muncul adalah rasa nyeri lokal pada daerah tumor /

metastase. Nyeri dirasakan semakin bertambah jika penderita batuk, bersin, membungkuk dan sebagainya.

- Hal diatas diikuti dengan gangguan sensoris, seperti parestesia, anestesia, dingin, dan sebagainya.

- Gangguan motorik.- Jarang dijumpai gangguan fungsi vegetatif.

3

Page 4: SPM

Diagnosa ditegakkan dengan :- Pemeriksaan foto polos x-ray, untuk melihat proses osteolitik, atau

osteoblastik, fraktur kompresi.- CT Scan- Myelografi- Pemeriksaan dengan bahan radioisotop.- MRI, dikatakan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. - Pemeriksaan CSF tergantung ada tidaknya indikasi dan kontraindikasi.

Terapi.Terapi terhadap kompresi medula spinalis yang disebabkan oleh metastase keganasan, sangat tergantung pada :- sensitivitas keganasan tersebut terhadap radioterapi.- Tersedianya ahli untuk melakukan dekompresi bedah.- Level dari kompresi tersebut.- Cepat lambatnya gangguan neurologis terjadi.- Pernah tidaknya menjalani kemoterapi, dan sensitif tidaknya terhadap kemoterapi.

Sebagai dasar terapi yang dipilih adalah :- Radioterapi. Meskipun hal ini bersifat paliatif. Adapun dasar

pemilihan radioterapi, adalah pada umumnya tumor telah bersifat sistemik. Dosis radiasi perhari adalah harus cukup tinggi 3 - 4 Gy.

- Pembedahan dekompresi / laminektomi, biasanya dengan approach posterior, mengingat kausa kompresi adalah kolapsnya corpus vertebrae yang terletak didepan medulla spinalis. Sehingga pada laminektomi untuk dekompresi pada bagian posterior vertebra, akan lebih mengurangi stabilitas vertebra yang terkena. Pada kompresi didaerah servikal, maka dekompresi bedah cukup memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya paralise pada otot otot pernafasan. Pada keadaan dimana tumor primer tidak diketahui, maka laminektomi dan pengambilan jaringan tumor, dapat bersifat paliatif dan sekaligus diagnostik.

- Corticosteroid (dosis tinggi : dexamethasone 4-10 mg / 6 jam), dapat mengurangi edema peritumoral dan memperbaiki fungsi neurologis.

- Kemoterapi. Terutama untuk keganasan yang telah diketahui sensitif terhadap kemoterapi.

- Gabungan dari semua modalitas diatas. Dilakukan pada keganasan dengan agresifitas yang tinggi, seperti “multiple myeloma”, “limfoma”, dsb.

4. TAMPONADE JANTUNG DAN EFUSI PLEURA.Biasanya tamponade jantung lebih sering terjadi sebagai akibat invasi

langsung keganasan paru ataupun esophagus. Sedangkan metastase hematogen biasanya berasal dari keganasan paru, payudara, limfoma, leukemia, melanoma ataupun sarkoma. Lebih jarang lagi berasal dari keganasan G.I tract. Komplikasi

4

Page 5: SPM

radiasi didaerah toraks, juga dapat menimbulkan tamponade jantung (“post-radiation pericarditis”).Efusi pleura juga merupakan kedaruratan yang sering muncul pada penderita dengan keganasan (10%), dan harus mendapatkan perhatian yang serius. Pada wanita efusi pleura sering dijumpai pada keganasan payudara, ovarium, uterus dan serviks. Efusi pleura terjadi sebagai akibat meningkatnya permeabilitas kapiler, naiknya tekanan hidrostatis, hipoalbuminemia, gangguan drainaie lymfe akibat obstruksi oleh tumor, reaksi inflamasi akibat tumor dsb. Gejala dan tanda yang muncul tergantung dari derajat efusi tersebut dan kausanya.

Gejala dan Tanda Klinis.Efusi Pleura.- Sebagian penderita (25 %) tanpa gejala dan tanda.- 50-90% pasien dengan keganasan primer atau metastatik pada pleura akan datang

dengan efusi pleura.- 90% akan datang dengan efusi lebih dari 500 ml, dan 30% bilateral.- Sesak napas, batuk, nyeri toraks merupakan gejala utama.- Takipnea, ekspansi toraks yang terbatas, redup pada perkusi, turunnya fremitus

suara, deviasi trakea dll, merupakan tanda yang dapat dijumpai.

Efusi Percardia.- Batuk, sesak napas, nyeri toraks, ortopnea, palpitasi, anxietas / gelisah, pusing,

fatique.- Distensi vena jugular (eksterna), pembengkakan gambaran jantung, suara jantung

terdengar lemah dan jauh, aritmia, “pericardiac friction rubs”.

Diagnosa.Efusi Pleura :- Klinis, fisik diagnostik yang baik.- Radiologi : tumpulnya sinus phrenico-costalis (AP atau lateral foto),

perselubungan hemitoraks, atau bilateral, mediastinal shifting.- Sitologi cairan pleura.- Lab/ biokimia cairan pleura : CEA dll.- Torkcosintesis : diagnostik dan terapeutik.- Biopsi pleura.- Toracoskopi.- Toracotomi diagnostik.

Efusi Percardium.- Klinis, fisik diagnostik yang baik.- Radiologi : perubahan “contour” dari jantung, “water – bottle heart”.- C.T scan - Ekokardiografi.- EKG.- Pericardiosentesis : Sitologis, terapeutik.

5

Page 6: SPM

Terapi.Pada prinsipnya bersifat paliatif, dengan prognosa rata- rata buruk.

Efusi Pleura.- Sclerotherapy : “tetracyclin intrapleural”.

Dosis : Tetracyclin 1 gram ( bisa lebih). Quinacrine. Lidocaine 150 mg Premedikasi : narcotik. Obat obat lain : Bleomycin, Nitrogen mustard, Thiotepa, 5FU,

Talc, radiasi, BCG dan corynebacterium parvum.- Radioterapi eksternal : terutama untuk limfoma.- Pembedahan : pleurektomi, pleuro-peritoneal shunting (Denver shunt).

Efusi Pericardium.- Drainase dengan kateter. - Penyuntikan obat kedalam rongga pericard : nitrogen mustard, thio tepa,

quinacrine.- Radioterapi : terutama untuk lymphoma.- Pembedahan : pemasangan kateter intra perikard, sampai terjadi simpisis antara

perikard dan epikard.- Prognosa buruk.

5. METASTASE SEREBRAL DAN MENINGITIS KARSINOMATOSA.Kedua hal ini merupakan kedaruratan yang sering terjadi bersama sama, oleh

karenanya kami bicarakan secara bersama sama pula. Kedaruratan yang muncul pada metastase serebral diakibatkan oleh kenaikan tekanan intrakranial, herniasi otak ataupun perdarahan otak. Sedangkan meningitis karsinomatosa, tampaknya akan lebih sering diketemukan, oleh karena makin banyak “survivor” pasien dengan limfoma, ataupun leukemia, dengan kemajuan kemoterapi. Karena kemoterapi pada umumnya tidak dapat menembus “blood brain barrier”, maka tumor primer diluar CNS seringkali dapat terkontrol dengan baik.

Diagnosa Klinis.Metastase serebral :- Terutama sebagai akibat tekanan intrakranial yang meningkat, adanya penekanan

pada lokasi tertentu, dan adanya edema otak.- Gejala yang sering muncul yaitu menurunnya status mental, vomitus, nausea, dan

headache.- C.T scan, MRI.- Mielografi, jika ada tanda tanda kompresi spinal.- FNA baik intraoperatif maupun melalui “burr hole”, untuk diagnosa pasti.

6

Page 7: SPM

Meningitis karsinomatosa.- Gejala yang muncul berupa kelainan neurologis yang tidak mengarah

pada satu lokasi / area.- Headache, vomitus, nausea, perubahan status mental, lethargi,

hilangnya memori.- Pemeriksaan CSF terutama untuk sitologis.- CT scan / MRI- Mielografi jika ada tanda tanda kompresi spinal.

Terapi.Serebral metastases.- Kortikosteroid dosis tinggi. (deksamethasone 10 mg a 6 jam perhari),

yang diteruskan selama terapi radiasi dijalankan. Hal ini untuk mencegah terjadinya edema otak sekunder sebagai akibat radiasi.

- Radioterapi. “Gamma knive” jika lesi kecil.- Surgery. Pembedahan ini penting jika kemungkinan metastase masih

diragukan (tidak ada tumor primer, ataupun tidak ada riwayat pernah menderita tumor ganas). Pembedahan juga penting dieprtimbangkan pada keadaan dimana tumor primer dapat terkontrol dengan baik, dan tidak menunjukan adanya diseminasi sistemik ditempat lain.

Meningitis karsinomatosa.- Pemberian “intrathecal chemotherapy” sendiri atau dikombinasi

radioterapi dilokasi tumor sesuai dengan defisit neurologis. Adapun obat obat yang digunakan a.l : methotrexate, thiotepa, cytosine arabinose. Tergantung dari jenis keganasan yang menjadi etiologi (lmfoma, leukemia ).

- Injeksi intraventrikuler dapat pula dipertimbangan, terutama untuk mencapai dosis terapeutik dilokasi ini.

- Radiasi “whole brain and brain stem” dengan dosis 30 Gy, dalam waktu 2 minggu, jika lokasi defisit neurologis tidak jelas.

6. OBSTRUSTIVE UROPATHY.Biasanya berhubungan dengan keganasan dari rongga abdomen,

retroperitoneal, dan pelvis. Gejala dan tanda tanda yang muncul tergantung dari tempat obstruksi. Obstruksi pada “bladder neck” biasanya disebabkan oleh keganasan prostat (laki laki), Ca cervix (wanita). Obstruksi pada ureter biasanya disebabkan oleh keganasan yang terletak intra abdominal atau paraaortal, seperti misalnya sarkoma, limfoma, metastase keganasan pada kelenjar getah bening para - aorta. “Obstructive uropathy” pada umumnya disebabkan oleh proses keganasan itu sendiri, meskipun perlu juga dipertimbangkan sebagai akibat keadaan benigna, ataupun komplikasi terapi terhadap keganasan. Seperti misalnya striktura urethra akibat pembedahan atau radioterapi, absces, hematoma pada pelvis. Pada keadaan keganasan tertentu, sering

7

Page 8: SPM

terjadi “acute nephropathy” sebagai akibat batu asam urat yang tertimbun pada tubulus ginjal, misalnya pada myeloproliferative disorder, lymphoma.

Gejala klinis.Timbulnya retensi urine, nyeri pada pinggang (‘flank pain”), hematuria, ataupun infeksi saluran kemih berulang, merupakan tanda tanda adanya obstruksi saluran kemih. Seringkali obstruksi ini tidak terdiagnosa, sampai terjadinya kegagalan fungsi ginjal. Terjadinya gangguan pada proses pengosongan kandung kemih akan menimbulkan gejala “hesitancy”, “urgency”, “nocturia”, “frequency” dan lemahnya pancaran miksi. Adanya gejala oliguria berganti - ganti dengan poliuria, menunjukan adanya obtruksi partial dari ginjal. Pemeriksaan fisik perlu diperhatikan pembesaran prostat, retensi kandung kemih, terabanya ginjal. Menurunnya tonus sphincter anus, dan refleks bulbocavernosus menunjukan kemungkinan suatu “neurogenic bladder” o.k metastase.

DiagnosaPada prinsipnya kausa dan lokasi obstruksi harus dapat didiagnosa.- Lab : BUN, S creatinin, elektrolit darah, calcium, asam urat, DL, UL.- USG dari ginjal.- I.V.P- CT. Scan.- Scintigrafi ginjal- “Percutaneous antegrade pyelografi” untuk kepentingan diagnostik dan juga

terapeutik.- Endoskopi dan “retrograde pyelography” jika diperlukan.

Terapi.- Terapi terhadap keganasan primer.- Retensi urine dapat diatasi dengan kateterisasi, suprapubic sistostomi.- Jika obstruksi terletak pada ureter dan terjadi hidronefrosis, dan

pertimbangan tumor dapat dikontrol dengan modalitas terapi yang ada, maka perlu dipertimbangkan nephrostomi.

- Radioterapi ataupun kemoterapi terhadap kausa / keganasan yang menekan. dengan mempertimbangkan dosis obat terhadap fungsi ginjal dsb.

- Koreksi terhadap kelainan elektrolit dan kimia darah.

7. KEDARURATAN METABOLIK.Kedaruratan onkologis merupakan kedaruratan yang “under reportation”. Oleh

karena seringkali tidak memberikan gejala ataupun tanda yang jelas, kecuali dilakukan “assesment” secara baik.Adapun kedaruratan metabolik yang akan sering dijumpai adalah a.l :

a. Hiperkalsemia.

8

Page 9: SPM

Terjadi jika mobilisasi Ca dari tulang melampaui kemampuan ekskresi Ca oleh ginjal. Dan keganasan merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan terjadinya hiperkalsemia. Keganasan yang sering menimbulkan hiperkalsemia adalah keganasan payudara, paru, hipernefroma, multiple mieloma, SCC leher kepala, esophagus dan tiroid. Sebaliknya keganasan glandula paratiroid seringkali menimbulkan hiperkalsemia, akan tetapi sangat jarang dijumpai. 80% dari hiperkalsemia o.k keganasan akan didapatkan adanya metastase pada tulang, akan tetapi luas kerusakan tulang tersebut paralel dengan tinggi rendahnya kadar kalsium dalam darah. Kenaikan kalsium dalam darah menunjukan progresi keganasan, dan seringkali merupakan indikator adanya prognose yang buruk. 20% dari hiperkalsemia tidak menunjukan adanya metastase tulang, dan pada keadaan ini peneliti mencurigai adanya substansi hormonal seperti “parathyroid – hormone like susbtances” ataupun “osteolytic prostaglandins” yang disekresikan oleh sel sel tumor yang akan menimbulkan mobilisasi Ca. Pada multiple myeloma, hiperkalsemia terjadi oleh karena adanya produk “osteoclast activating factors (OAF)” oleh sel plasma abnormal, dan bukan akibat efek langsung dari sel tumor terhadap tulang. Adanya metastase tulang ataupun efek indirek dari substansi hormonal ektopik akan menstimuli aktifitas dan proliferasi osteoklas. SCC dari leher kepala ataupun esophagus seringkali menyebabkan gejala gejala seperti hiper-paratiroidisme, oleh karena produksi “parathormon” ataupun substansi “parathyrotropic”.Biasanya berhubungan dengan hiperkalsemia, maka akan terjadi pula “hipofosfatemia”, kenaikan “cyclic AMP” dan kenaikan “bone alkali phosphatase”.

Pemeriksaan Klinis.Hiperkalsemia memberikan keluhan : rasa lelah, anorexia, nausea, poliuria, polidipsia dan konstipasi. Secara neurologis hiperkalsemia memberikan tanda kelemahan otot, lethargy, apathy, dan hiporefleksi. Tanpa terapi gejala gejala ini akan semakin berat, dan akan timbul perubahan status mental, psikosis, kejang – kejang, koma dan akhirnya meninggal dunia. Pasien dengan hiperkalsemia yang lama, akan terjadi kerusakan tubulus ginjal yang permanen berupa “renal tubular acidosis”, glukosuria, aminoasiduria, dan hiperfosfaturia. Kematian tiba tiba dapat terjadi sebagai akibat aritmia cordis, jika terjadi kenaikan akut dari Ca. EKG sering menunjukan adanya perubahan “pemendekan interval QT, pelebaran gelombang T, bradikardia, dan memanjangnya PR.

Terapi.Seringkali dijumpai keadaan dehidrasi pada pasien dengan hiperkalsemia.- Pada keadaan hiperkalsemia yang ringan, maka terapi cukup diberikan

rehidrasi saja. Dan jika terdapat modalitas terapi anti tumor yang efektif, maka pemberian terapi anti tumor akan menurunkan Ca darah secara otomatis.

9

Page 10: SPM

- Ca serum harus dikoreksi, sampai pengobatan anti tumor yang efektif dapat dimulai. Mobilisasi pasien untuk mencegah osteolisis, konstipasi harus diobati.

- Rehidrasi dengan NaCl fisiologis akan meningkatkan ekskresi Ca. Rehidrasi dapat diberikan dengan cepat (250 – 300 ml / jam) dan diberikan furosemid I.V untuk mencegah reabsorbsi Ca.

- Pada “multiple myeloma”, “lymphoma”, “leukemia, dan “carcinoma mamma pemberian kortikosteroid untuk menghambat reabsorbsi tulang dan kerja OAF, dilaporkan cukup efektif. Dosis yang diperlukan cukup besar, yaitu antara 40 – 100 mg prednisolon / hari.

- Pemakaian obat obat yang akan meningkatkan ca darah harus dihindari. (diuretik thiazide, vit A dan vit D).

- Obat khusus untuk hipercalcemia adalah “mithracin (plicamycin)”. Suatu agen kemoterapi yang dapat bekerja efektif mencegah reabsorbsi tulang dengan menurunkan jumlah dan aktifitas dari osteoklas.

- Calcitonin juga bekerja menghambat reabsorbsi tulang, dan akan menurunkan kadar Ca beberapa jam setelah pemberian. Pemakaian calcitonin seringkali harus dikombinasi dengan glucorticoid untuk mencegah terjadinya “tachyphylaxis”.

- Pemberian “diphosphonat” pada hipercalcemia oleh karena karsinoma mamma atau “multiple nyeloma” cukup memberikan hasil, meskipun pemberian I.V dari diphosphonat dilaporkan memberikan komplikasi hipotensi, hipocalcemia, gagal ginjal dan kematian. Demikian juga pemberian phosphat I.V tidak dianjurkan oleh karena tingginya komplikasi yang terjadi.

7.2. Uric Acid Nephropathy.Nephropathy o.k asam urat sering terjadi pada keganasan yang

mempunyai “turn over cell” yang tinggi. Hai ini sering terjadi pada keadaan dimana terapi sitotoksik diberikan dan terjadi kematian sel-sel tumor secara masif (“tumor lysis syndrome”). Sel-sel tumor yang mati ini akan menimbulkan hiperuricemia dan penumpukan kristal asam urat pada traktus urinarius. Tipe keganasan yang menimbulkan kedaruratan ini antara lain : limfoma (Burkitt lymphoma), leukemia dan “myeloproliferative disorder”. Lysis dari tumor yang menimbulkan “tumor lysis syndrome” juga dapat terjadi pada pengobatan dengan radiasi.

Gejala klinis.Sebagai gejala dan tanda-tanda yang sering terlihat adalah uremia, seperti a.l nausea, vomitus, lethargy, dan oliguria. Pengobatan yang dini akan memberikan hasil kembalinya fungsi ginjal. Kadang-kadang sulit dibedakan antara nephropathy akibat hiperuricemia, ataupun gagal ginjal oleh kausa lain dengan sekunder hiperuricemia. Pemeriksaan asam urat darah pada keadaan akut seringkali mencapai rata rata 20,1 mg/dL (berkisar antara 9.2 – 92 mg/dL). Jika terjadi “nyeri pinggang” dan hematuria, maka perlu dilakukan USG untuk melihat obstruksi ureter. IVP sebaiknya dihindarkan untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. Pada “tumor lysis syndrome” sering juga terjadi

10

Page 11: SPM

hiperphophatemia dan hipocalcemia. Pemeriksaan lab yang diperlukan antara lain BUN, Serum Kreatinin, Ca, phosphor, dan asam urat.

Terapi.Objektif dari pengobatan adalah pencegahan. Pasien dengan resiko tinggi dilakukan terapi pencegahan a.l hidrasi yang cukup, allopurinol, dan alkalinisasi urine.

8. KEDARURATAN AKIBAT KEMOTERAPI8.1. Sepsis kateter vena sentral

Pengobatan kanker saat ini yang makin intensif menyebabkan penggunaan akses vaskuler sangat luas. Akses vaskuler merupakan penyebab infeksi yang cukup banyak pada penderita kanker, sehingga diperlu pemeriksaan lebih lanjut bila timbul kecurigaan infeksi oleh karena pemakaian kateter.

Diagnosa.Gejala klinis berupa eritema, indurasi terkadang supurasi. Pada keadaan bakteremia atau sepsis, maka perlu pemeriksaan kultur baik dari darah dan tempat suntikan. Kuman penyebab paling banyak adalah Staphylococcus coagulase negative, kemudian kuman gram positif, gram negatif dan jamur.

TerapiAntibiotika selama 10-14 hari. Bila menggunakan kateter multi lumen atau port, maka antibiotika harus diberikan secara bergantian pada lumen tersebut.

8.2. Tumor lysis syndrome Tumor lysis syndrome (TLS) merupakan komplikasi yang amat serius dari pengobatan kanker dengan kemoterapi, radiasi, terapi hormonal serta cryotherapy yang memerlukan perawatan multidisiplin di ruang ICU untuk mencegah terjadinya gagal ginjal dan kematian. TLS dapat timbul spontan pada penderita dengan limfoma dan lekemia. Umumnya penderita dengan massa tumor yang bulky dan besar serta sensitif terhadap kemoterapi atau radiasi mudah terkena TLS. Sindroma ini dipicu oleh “turn over cell” yang cepat dan peningkatan dari materi intraseluler ke dalam aliran darah, yang melampaui kemampuan ekskresi ginjal sehingga terjadi peningkatan kadar elektrolit yang membahayakan penderita. TLS dapat terjadi setelah pengobatan Limfoma (Burkitt’s Lymphoma, Non Hodgkin Lymphma), Acute Lymphoblastic Leukemia, Acute Nonlymphoblastic leukemia, atau Chronic Myelogenous Leukemia fase blast crisis, Kanker paru small cell, metastasis kanker payudara dan metastasis meduloblastoma

11

Page 12: SPM

TerapiAntibiotika selama 10-14 hari. Bila menggunakan kateter multi lumen atau port, maka antibiotika harus diberikan secara bergantian pada lumen tersebut.

8.3. Tumor lysis syndrome Tumor lysis syndrome (TLS) merupakan komplikasi yang amat serius

dari pengobatan kanker dengan kemoterapi, radiasi, terapi hormonal serta cryotherapy yang memerlukan perawatan multidisiplin di ruang ICU untuk mencegah terjadinya gagal ginjal dan kematian. TLS dapat timbul spontan pada penderita dengan limfoma dan lekemia. Umumnya penderita dengan massa tumor yang bulky dan besar serta sensitif terhadap kemoterapi atau radiasi mudah terkena TLS. Sindroma ini dipicu oleh “turn over cell” yang cepat dan peningkatan dari materi intraseluler ke dalam aliran darah, yang melampaui kemampuan ekskresi ginjal sehingga terjadi peningkatan kadar elektrolit yang membahayakan penderita. TLS dapat terjadi setelah pengobatan Limfoma (Burkitt’s Lymphoma, Non Hodgkin Lymphma), Acute Lymphoblastic Leukemia, Acute Nonlymphoblastic leukemia, atau Chronic Myelogenous Leukemia fase blast crisis, Kanker paru small cell, metastasis kanker payudara dan metastasis meduloblastoma

Gejala klinis- Hiperurisemia- Hiperkalemia : Gejala hiperkalemia diperburuk oleh insufisiensi ginjal.

Perubahan pada EKG (K > 6 mEq) berupa hilangnya gelombang P, gelombang T yang tinggi, pelebaran kompleks QRS, depresi segmen ST. Bila hiperkalemia berlanjut dapat terjadi heart block samapi cardiac arresst

- Hiperfosfatemia - Hipokalsemia

Pencegahan- Rehidrasi- Membuat ph urine menjadi alkali selama 1-2 hari pertama pengobatan- Alupurinol, pada tumor-tumor yang besar sudah dapat diberikan

sebelum kemoterapi dimulai

Terapi- Monitor EKG pada keadaan hiperkalemia atau hipokalsemia- Pada hiperkalemia diberikan insulin dan glukosa, loop diuretika dan

sodium bikarbonat, calcium, oral atau rectal kayexalate setiap 6 jam.- Bila kondisi memburuk atau hiperkalemia tak teratasi dipertimbangkan

untuk hemodialisis.

9. KEDARURATAN BEDAH9.1. Obstruksi intestinal

12

Page 13: SPM

Merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi di bidang onkologi. Obstruksi intestinal bisa berasal dari intra abdominal atau ekstra abdominal. Lebih kurang 2/3 dari kasus obstruksi intestinal intra abdominal dijumpai pada penderita kanker ovarium, tumor dari kolon dan metastasis, sedang sisanya dijumpai pada hernia, adesi dan enteritis akibat radiasi. Obstruksi intestinal ekstra abdominal sebagai akibat metastasis berasal dari keganasan paru, payudara dan melanoma. Obstruksi intestinal tanpa penyebab mekanik (Ogylvie’s syndrome) sering dijumpai pada penderita kanker sebagai akibat penggunaan narkotik analgetik, abnormalitas elektrolit, radiasi, malnutrisi, imobilisasi yang lama yang menyebabkan motilitas usus terganggu.Keputusan untuk melakukan pembedahan sering menimbulkan kontroversi.

Pemeriksaan klinis- Anamnesis- Pemeriksaan fisik- Penunjang laboratorium dan pencitraan (colon in loop, CT scan abdomen

dengan kontras oral dan rectal)

Terapi- Resusitasi cairan dan elektrolit- Mencari underlying disease- Dekompresi intestinal dengan pemasangan pipa nasogastrik- Dekompresi dengan kolonoskopi dipertimbangkan bila diameter

sekum tidak melebihi 10 cm- Penderita dengan obstruksi intestinal partial dicoba dengan pemberian

medikamentosa dimana ± 50 % pasien berespon dengan pengobatan konservatif selama 2 minggu

- Pembedahan dikerjakan bila terjadi dilatasi progresif dengan impending perforasi atau jika ada tanda dan gejala peritonitis atau pengobatan konservatif gagal

9.2. Pendarahan.Insidens pendarahan intraabdominal yang disebabkan oleh keganasan

adalah jarang. Penyebab pendarahan yang terbanyak adalah ulkus peptikum, gastritis atau yang berhubungan dengan limfoma dan metastasis tumor. Diagnosis dan terapi adalah sama dengan penanganan kasus pendarahan intestinal yang bukan disebabkan oleh kanker

9.3. Perforasi intestinalPerforasi intestinal dapat terjadi setiap saat selama tahap perjalanan penyakit maupun dalam pengobatan (kemoterapi atau radiasi) atau dapat sebagai akibat lanjut dari metastasis tumor. Perforasi traktus gastrointesrtinal sebagai akibat pemberian kemoterapi pada kasus solid tumor metastase umumnya fatal. Sebagian besar perforasi intestinal pada penderita kanker bukandisebabkan oleh penyakit kankernya tetapi oleh penyebab lain seperti ulkus peptikum, divertikulitis dan appendicitis dan penanganannya sama dengan prinsip

13

Page 14: SPM

pembedahan standar. Perforasi intestinal umumnya dijumpai pada sekum. Mortalitas yang dijumpai pada tindakan laparotomi emergency mencapai 30%. Dengan pemberian kemoterapi mortalitas meningkat diatas 80%. Hal ini disebabkan karena toksisitas dari kemoterapi terhadap mieloid, adanya malnutrisi, dan efek imunosupresif, sehingga gejala khas dari perforasi intestinal menjadi tidak jelas yang mengakibatkan keterlambatan diagnose dan terapi.

9.4. Obstruksi bilierObstruksi bilier pada hilus dari hepar atau pada kelenjar getah bening

aorta sangat jarang tetapi menimbulkan masalah pada penderita kanker. Obstruksi ini umumnya disebabkan oleh limfoma, melanoma, kanker payudara, kolon, lambung, paru dan ovarium. Obstuksi pada biliary tree umumnya brerasal dari common bile duct dan pankreas. Diagnosis terbaik ditegakkan dengan CT scan yang dapat memberikan informasi tentang lokasi, derajat obstruksi, informasi tentang organ intra abdominal yang lain yang juga sering menyebabkan obstruksi. Dengan CT scan dapat dikerjakan guiding FNA untuk mendap[atkan diagnosa patologi. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah endoscopic guiding. Prognosa penderita dengan obstruksi bilier sangat jelek.

TerapiDitujukan untuk meringankan obstruksinya dan mencegah cholangitis. ERCP dan pemasangan stent merupakan pilihan drainase, bila gagal dapat dikerjakan Percutaneous Transhepatic Drainage. Eksternal radiasi dengan atau tanpa kemoterapi dapat merupakan pengobatan paliatif, khususnya pada tumor primer bilier dan pancreas. Pembedahan dikerjakan pada penderita dengan kemungkinan hidup yang lama, resiko rendah atau kemungkinan metastasisnya rendah.

DAFTAR PUSTAKA :1. Glover D., Glick J.H. : Oncologie Emergencies. American

Cancer Society Textbook of Clinical Oncology. Chapter 34. American Cancer Society, Atlanta. 1991. pg 513-533.

2. Yahalom J. : Superior Vena Cava Syndrome. Oncology Emergency In : DeVita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (eds), Cancer Principles & Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphi. 2001. pg. 2609-1215.

3. Fuller B.G., Heiss J.D., Oldfield E.H., Spinal Cord Compression. Oncology Emergency In : Devita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (Eds), Cancer Principles & Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphi. 2001. pg. 2617-2630.

4. Warrel Jr. R.P., Metabolic Emergencies. Oncology Emergency In : DeVita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (eds), Cancer Principles & Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphi. 2001. pg. 2633-2642.

14

Page 15: SPM

5. Walther M.M., : Urologic Emergencies. Oncology Emergency In : DeVita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (eds), Cancer Principles & Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia. 2001. pg. 2645-2651.

6. Wayne JD, Bild RJ. Oncologic Emergencies in : Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM. Eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook 3rd ed Lippincott William & Wilkins. Philadelphia. 2003. pg. 491-509.

7. Yahanda AM. Surgical Emergencies in the Cancer Patient in : Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, et al Eds. Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. Springer-Verlag New York, Inc. 2001. pg. 1823-1839.

ABDOMEN AKUT

BATASAN : Suatu kelainan yang terdapat dalam rongga abdomen yang memerlukan

pemeriksaan segera untuk dapat dilakukan tindakan secara cepat dan tepat (Motto : it is safer to look and see than to wait and see)

Penyebab/Patofisiologi :Kelainan abdomen akut, dapat disebabkan oleh :

A. Trauma :- trauma tumpul- trauma tajam.

Trauma abdomen, baik tumpul maupun trauma tajam dapat menyebabkan terjadinya :

a. Perdarahan didalam rongga abdomen, akibat rupture organ-organ didalam rongga abdomen, misalnya terjadi rupture pada :

- Hati- Limpa- Pembuluh darah

- Untuk gejala, pemeriksaan dan diagnose dibicarakan dalam trauma abdomen.

b. Trauma abdomen dapat menyebabkan terjadi perforasi usus, selanjutnya terjadi peritonitis.

B. Infeksi :Batasan : yang dimaksud infeksi disini adalah infeksi akut pada organ-organ abdomen, seperti :

- Apendisitis akut- Kolecytitis akut- Kolangitis akut- Pankreatitis akut

15

Page 16: SPM

Penyebab : Gejala, pemeriksaan dan diagnose - baca pada bab-bab masing-masing kelainan diatas.

C. Obstruksi usus/ileusDefinisi : adalah gangguan pasase usus sehingga penderita tidak dapat flatus dan buang air besar.

Jenis ileus : - Ileus obstruksi- Ileus paralitik

Ileus obstruksi dapat dibagi menjadi :- Ileus obstruksi partial- Ileus obstruksi total

Penyebab : - Sumbatan pada lumen usus- Sumbatan dari dinding usus- Sumbatan dari luar usus

- Selanjutnya dibicarakan dalam bab obtruksi usus.

Ileus paralitik :

Penyebab :- Sepsis- Uremi- Hipokalemia- Kerusakan syaraf tulang belakang- dll

Gejala : penderita tidak bisa flatus dan bab, disertai muntah- muntah, dehydrasi dan syok.

Pemeriksaan/diagnose : - Klinis- Foto abdomen- Pemeriksaan celah dubur

Penanganan : - Decompresi lambung (NGT)- Istirahatkan usus (puasa)- Mengembalikan keseimbangan cairan elektrolit

(infus, dauer cateter).- Perbaikan faktor penunjang :

- Kalium- Hb.

16

Page 17: SPM

- albumin

- Berikan obat-obat untuk merangsang peristaltik usus.Yang paling penting adalah mencari penyebab terjadi

paralitik ileus

D. Perdarahan- Yang dimaksud disini adalah perdarahan dari lumen tractus G.I.- Dapat dibagi menjadi 3 bagian asal dari perdarahan :

a. Perdarahan saluran cerna atasb. Perdarahan saluran cerna tengahc. Perdarahan saluran cerna bawah

a. Perdarahan Saluran Cerna AtasPenyebab :

- Varices- Ulcus peptikum- Keganasan- dll

Gejala : Terjadi Hematemesis dan melena

Pemeriksaan : - Pasang pipa lambung- Foto UGI- Endoscopy- Citologis cairan lambung

b. Perdarahan Saluran Cerna TengahDefinisi, perdarahan yang disebabkan oleh kelainan-kelainan yang terdapat pada Duodenum – jejenum – ileus.

Penyebab : - Tifus- Devertikel- Hemangioma- dll.

Gejala : melenaPemeriksaan/diagnose ; sukar dapat dilakukan pemeriksaan :

- Angiografi

c. Perdarahan Saluran Cerna BawahDifinisi : perdarahan yang terjadi pada colon-rectum-anus

Penyebab : - Haemoroid- Keganasan

17

Page 18: SPM

- Polyp- Invaginasi- dll.

Gejala : - Darah segar- Gumpalan-gumpalan darah

Pemeriksaan/diagnose : - Rectal toucher- Proktoskopi- Rektoskopi- Sigmoidos kopi- Foto polos/kontras- Kolonoskopi

Tindakan pada perdarahan saluran cernaa. Konservatifb. Operatif

Konservatif : - Perdarahan saluran cerna dapat ditanggulangi secara konservatif,

kalau Hb dapat dipertahankan lebih 10 gr %

Operatif : Kalau terjadi penurunan Hb. Secara drastis perlu dilakukan operasi sesuai dengan lokalisasi dan jenis kelainan yang ada.

Daftar Acuan : 1. Dudley, H.A.F. : Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th ed. John Wright Son ltd. Bristol 1986 pp. 336-345.2. Ellis H., Special form of Instistinal Obstruction ; Schwartz,

Hellis, Maingot Abdominal Operation 9th ed bol I Appleton & Lange Connecticut; 1990; 993-998

3. Jagger J; Hepatic Trauma in Advances in Trauma and Critical Care, Mosby Year Book vol 8, 1993; 29-49.

4. Jurkovich etial; Trauma; Management of acute Lupiries, Tex Book of Surgery, Saunder & cp 1992

5. Schire G. Tom et al ; Trauma Edited by Schwarts el al, Mc Grohill Co, New York 1994; 75-223

18

Page 19: SPM

RADANG AKUT USUS BUNTU

BATASAN

Adalah proses keradangan akut pada usus buntu

PATOFISIOLOGI

Ada 2 hipotesa yang diajukan :a. Adanya kotoran (tinja-fekolit), biji-bijian lain yang terperangkap dalam lumen

dan kemudian menimbulkan keradangan (obstruksi apendikuler).b. Hematogen dari proses infeksi di luar usus buntu (tampak serosa lebih merah

daripada mukosa)

GEJALA KLINIS

1. Sering dimulai dengan nyeri di daerah epigastrium. Setelah beberapa jam, nyeri berpindah dan menetap di fosa iliakan kanan

2. Gejala ini disusul dengan anoreksia, mual dan muntah-muntah3. Suhu badan sub febril 37,5 – 38,5 C, sampai terjadi penyulit dimana suhu

badan akan meningkat sampai 40 c.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

1. Klinis didapatkan gejalal-gejala rangsangan peritoneum dengan pusat didaerah Mc Burney.

- Nyeri pada tekanan intra abdominal yang naik (batuk, jalan).- Nyeri tekan dengan defans muskuler- “ Rebound phenomen” : menekan perut bagian kiri dan dilepas

mendadak, dirasa nyeri pada perut sebelah kanan bawah.- “Rovsing sign” : menekan daerah kolon desendesn/transversum udara

akan menekan sekum hingga timbul sakit.

19

Page 20: SPM

- “ Tenhorn sign” : menarik testis kanan, timbul nyeri perut kanan bawah- Psoas sign mengangkat tungkai kanan dalam ekstensi, timbul nyeri perut kanan bawah- “Obturator sign” : fleksi dan endorotasi sendi panggul kanan, timbul

nyeri perut kanan bawah.

Gajala-gejala diatas tidak semua akan positif 2. Colok dubur : nyeri pada jam 10.00 – 11.003. Lekositosis, tidak terlalu tinggi (kurang dari 10.000/sm3).4. Sedimen urin perlu untuk menyingkirkan kelainan dari ureter5. Foto polos abdomen menunjukkan adanya udara di daerah sekum dan ileum distal

(tidak mutlak dibuat kecuali untuk menyingkirkan kelainan ureter (misalnya : batu ureter).

DIAGNOSIS BANDINGA. Golongan Gastro-Enteritis : pada G.E. biasanya dimulai dengan

mual dan muntah, baru disusul dengan rasa sakit. Sebaliknya pada apendisitis akut dimulai dari sakit dan disusul dengan mual dan muntah.1. Limfadenitis mesenterik : jarang dan biasanya dijumpai pada anak-anak dan

dewasa muda2. Entero-kolotis : biasanya kronis. Ada faktor psiko-somatik3. Ileitis terminalis : jarang dijumpai di Asia. Radiologis menunjukkan

gambaran sarang lebah (penyakit Crohn).

B. Kelainan organ-organ pelvis wanita1. Pecahnya folikel ovarium yang terjadi pada pertengahan siklus

menstruasi2. Keradangan : salfingitis. Lokalisasi nyeri lebih rendah dan pada RT/VT didapatkan nyeri pada genitalia interna.3. Torsi kista ovarium.4. Kehamilan diluar kandungan : amenore, ciran bebas dalam rongga

peritoneum dan anemia.

C. Kelainan saluran air kemih :1. Batu ginjal/ureter; nyeri berupa kolik, terutama di daerah pinggang.

Sedimen urin menunjukkan kelainan dan pada BOF sssssering tampak batu radiopaq.

2. Pielonefritis : gejala sepstis dan adanya piuria

D. Kelainan-kelainan lain didalam abdomen1. Tukak peptik2. Kolesistitis3. Pankreatitis4. Diverkulitis5. Perforasi karsinoma kolon

20

Page 21: SPM

E.Penyakit-penyakit diluar abdomen1. Pneumonia2. Pleuritis3. Infark miokard

PENYULIT

Dengan medikamentosa sebagian dapat sembuh, tetapi sering disusul dengan krisis-krisis berikutnya yang biasanya lebih berat.Yang sering adalah timbul penyulit berikut :1. Pembentukan infiltrat, dapat berlanjut dengan pembentukan abses.2. Timbul perforasi hingga terjadi peritonitis umum. Timbul gejalal-gejala sepsis dengan febris tinggi dan lekositosis sampai 20.000/mm3. Morbiditas dan mortalitas menjadi tinggi3. “Foie appendiculare : terjadi emoh kuman-kuman lewat sistem porta ke hepar sehingga timbul mikro-mikro abses di hepar. Penderita jatuh dalam keadaan toksis dengan ikterus. Prognosis sangat jelek.

PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan adalah apendisektomi, dengan persiapan-persiapan pra bedah sebagai berikut :1. Infus larutan garam fisiologis atau ringer laktat2. Ampisilin 1 g.i.v. + metronidasol 1 g. sup. Diberikan 1 jam pra –bedah,. Bila pada operasi ternyata didapatkan apendiks yang sudah mengalami perforasi, maka langsung dibuat pembiakan kuman dan tes kepekaan kuman terhadap antibiotik.

Pasca bedah : 1. Infus diteruskan dengan komposisi 2 gram fisiologis dan 3 dekstrose

5% dalam 24 jam, sampai makan per oral dapat dimulai.2. Bila bising usus mulai terdengar dapat dimulai minum sedikit-sedikit (3

sendok makan/jam)3. Bila flatus sudah terjadi dan perut tidak kemubng, maka makan cair dapat

dimulai4. Mobilisasi dapat dimulai segera pasca bedah, kalau pasien sadar.5. Pada apendisitis akut yang tak mengalami penyulit, cukup diberikan antibiotika

propilaksis ampisilin 1 gr + metronidasol 1 gr. Sup. Waktu premedikasi. Bila sudah mengalami penyulit septik (gangren/perforasi) diberikan antibiotika :

- Ampisilin 3X1 gr. Intra vena- Aminoglikosid 3X60 mg. Intra vena (1,5 mg/kg BB) dan - Metronidazol 3X0,5 gr. Intra vena atau Sefalosporin generasi III 3X1 gr. I.v. dengan Metronidazol 3X0,5

21

Page 22: SPM

gr.i.v.

Daftar Acuan : 1. Dudley, H.A.F. : Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th ed. John Wright Son ltd. Bristol 1986 pp. 336-345.2. Schwartz S.I. and Ellis, H. : Maingot’s Abdominal Operation. Vol.2, 9th.ed., Appleton

Century Crofts, Norwalk Connecticut, 1990, pp. 953-978.3. Sjukur A. “ Peritonitis dan Permasalahannya, PIT IKABDI, Bandung, 1988.

HERNIA INGUINALIS DAN FEMORALIS

BATASAN

Penonjolan abnormal dari jaringan atau organ intra abdominal (sebagian atau seluruhnya) melalui lubang atau defek dinding abdomen.Hernia inguinalis lateralis (=indirekta) keluar melalui anulus internus menunju ke kanalis inguinalis – anulus eksternus dan keluar ke dalam kantong zakar (ICD550). Hernia inguinalis medialis, kantong hernia keluar melalui segitiga Hasselbach – menuju anulus eksternus; sedang hernia femoralis, kantong melalui anulus femoralis menuju ke fossa ovalis.

PATOFISIOLOGI

Hernia inguinalis indirekta sebagian besar mempunyai dasar kongenital karena penonjolan dari prosesus vaginalis peritonei.Hernia inguinalis direkta dan hernia femoralis merupakan hernia didapat (acquisita).Hernia femoralis lebih banyak dijumpai pada wanita karena perubahan fisik dan biokemis yang terjadi waktu hamil, ( panggul wanita lebih lebar dari pada laki-laki ).Setiap kondisi yang menyebabkan kenaikan tekanan intra abdominal memegang peranan untuk timbulnya dan membesarnya hernia.

GEJALA KLINIS

Benjolan daerah inguinal yang timbul bila penderita berdiri atau mengejan dan dapat masuk kembali bila penderita berbaring. Sebagian besar tidak memberikan keluhan.Bila isi hernia tidak dapat masuk kembali disebut hernia irreponibilis.Bila terjadi penjepitan isi hernia oleh anulus dan timbul gangguan pasase isi usus dan atau gangguan vaskul

22

Page 23: SPM

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

H. Ing.Indirekta H.Ing.Direkta H.FemoralisUsia Semua umur Orang tua Dewasa & tuaKelamin Terutama pria Pria & wanita Terutama wanitaLokasi Diatas ligamentum

inguinalDiatas ligamentum ing.

Dibawah ligamentum ing

Dengan menekan anulus int. dan penderita mengejan (thumb test)

Tidak keluar benjolan

Keluar benjolan Keluar benjolan

Tes invaginasi jari lewat skrotium ke dalam kanalis ing. Pend. Mengejan.(finger test)

Tonjolan pada ujung jari

Tonjolan di sisi jari

Tangan kanan jari II menekan anulus internus kanan, jari III menekan anulus eksternus kanan jari IV menekan fossa ovalis kanan, penderita mengejan (Zieman test)

Dorongan pada jari II

Dorongan pada jari III

Dorongan pada jari IV

DIAGNOSIS BANDING

- Hidrokel testis/funikulus- Limfadenopati inguinal

23

Page 24: SPM

- Varikokel- Abses inguinal- Orki-epidedimitis

KOMPLIKASI

Hernia inkarserata dapat terjadi ileus obstruksi ICD 550.1Hernia strangulata ICD 552.0

PENATALAKSANAAN

Untuk kuratif dilakukan : - Herniotomi dan herniorafi (satu sisi ICCOPIM 5.530)

( bilateral ICCOPIM 5.532)- Pada hernia inkarserata/strangulata dilakukan pembedahan darurat. Bila terdapat

nekrosis usus perlu dilakukan reseksi dan reanastomosis.Pada hernia inkarserata dengan dehidrasi, pra-bedah perlu rehidrasi dengan pemberian Ringer laktat kurang lebih 2000 cc. Dalam 2-4 jam.

Untuk antibiotika profilaksis perlu diberikan Ampisilin 1 g.i.v.1 jam pra-bedah, diteruskan 3X1 g.i.v/hari selama 1-2 hari.Bilaman ternyata terdapat nekrose dan perlu reseksi, antibiotik terapeutik diberikan tripel drug : Ampisilin, Gentamisin dan Metronidasol

Simtomatis untuk :Nyeri : Asam Mfenamat 3X500 mg./hari selama 3 hari.

Daftar Acuan : 1. Dodson, T.F. : Hernia in : amnual of Clinical Problems in Surgery, 1st.ed., Little Brown and Co., Boston, 1984, pp. 215-2182. Dudley, H.A.F. : Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th ed. John Wright Son ltd. Bristol 1986 pp. 375-3813. Way, L.W. : Hernia & Other Lesions of the Abdominal Wall. In : Current Surgical

Diagnosis and Treatment, 9th. Ed., Prentice Hall International Inc., 1991, pp. 700-710.

24

Page 25: SPM

HEMOROID INTERNA

BATASAN

Hemoroid interna adalah pelebaran, pemanjangan dan berkelok-keloknya vena pada pleksus hemoroidalis superior

PATOFISIOLOGI

Penyebab terjadinya hemoroid interna adalah kenaikan tekanan vena hemoroidalis, sirosis hepatis, trombosis vena porta, tumor abdomen; dan prolaps terjadi karena kendornya jaringan dibawah mukosa dan kulit.Faktor yang mempengaruhi timbulnya hemoroid : - faktor keturunan : adanya kelemahan struktur dinding pembuluh darah.- Faktor anatomi dan fisiologi : vena hemoroidalis tidak mempunyai klep sehingga

memudahkan terjadinya timbunan darah dalam pleksus hemoroidalis.- Diare kronis/obstipasi kronis- Perubahan makanan yang sudah biasa- Penurunan tonus sfingter - kehamilan

GEJALA KLINIS

Gejala utama berupa :a. Perdarahan melalui anus yang berupa darah segar tanpa rasa nyeri.b. Prolaps yang berasal dari tonjolan hemoroid sesuai gradasinya.

Gejala lain yang mengikuti :a. nyeri sebagai akibat adanya infeksi sekunder atau trombus.

25

Page 26: SPM

b. iritasi kronis ssekitar anus oleh karena anus selalu basahc. anemia yang menyertai perdarahan kronis yang terjadi.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

a. Anamnesa : berak diselimuti darah segar atau menetes darah segar sehabis berak

b. Fisik : kemungkinan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan luar, kadang-

kadang didapatkan anemia.c. Colok dubur :

tidak didapatkan rasa nyeri, tidak teraba tumor.Colok dubur harus dilakukan untuk mendapatkan kelainan lain.

d. Proktoskopi : ditentukan lokasi dan gradasi hemoroid interna yang selanjutnya digunakan

untuk menentukan cara pengobatannya.Gradasi hemoroid interna : Gradasi I :

Terdapat dilatasi dari pleksus hemoroidalis tanpa adanya prolaps.Gradasi II :

Adanya prolaps yang keluar sewaktu penderita berak dan dapat kembali kedalam saluran anus tanpa manipulasi.

Gradasi III :Prolaps hanya dapat direposisi dengan bantuan manual.

Gradasi IV :Walaupun dengan bantuan manual, prolaps tidak dapat dikembalikan kedalam saluran anus.

DIAGNOSIS BANDING

Pada penderita dewasa harus di diagnosis banding : - karsinoma rektum- karsinoma anus- fisura ani- amubiasis- polip rektum

Pada penderita anak harus di diagnosis banding :- polip rektum- invaginasi- fisura ani

KOMPLIKASI

26

Page 27: SPM

- perdarahan- trombosis- prolaps

PENATALAKSANAAN

Hemoroid asimtomatik tidak memerlukan pengobatan, cukup dengan mengatur makanan, banyak sayur dan buah-buahan.Hemoroid interna grade I-II dapat diobati dengan obat-obat lokal (supositoria atau salep) yang mengandung kortikosteroid an bahan anestesia, diet yang mengandung serat (buah-buahan segar), injeksi bahan sklerosan – fenol oli 5% 3-5 ml. Tiap tonjolan maksimal 12-15 ml. Bahan sklerosan lain yaitu kinin uretan 5%, sodium morhuat atau tetradesil sulfat 0,25 – 0,50 ml.Pengobatan lain dengan ligasi karet gelang, bedah krio, infra red koagulasi atau hemoroidektomi.Hemoroid grade III-IV memerlukan tindakan bedah hemoroidektomi.

Daftar Acuan : 1. Condon, R.E., Nyhus, L.M. : Manual of Surgical Therapeutics. 7th. Ed., Litle Brown

and Co., Boston, 1988, pp.317-3222. Goligher, J.C. : Hemorrhoid or piler – Surgery of the Anus, Rectum Colon. 5th. Ed.,

Bailere Tindall, London, 1984, pp. 98-149. 3. Way, L.W. : Current Surgical Diagnosis and Treatment, 9 th. Ed., Appleton & Lange,

1991, pp. 683-685.

27

Page 28: SPM

ILEUS OBSTRUKSI

BATASAN

Gangguan pasase isi usus secara normal ke rektum karena hambatan ekstrinsik atau intrinsik, baik pada usus kecil maupun pada usus besar.

PATOFISIOLOGI

Obstruksi usus menyebabkan reaktif hiperperistaltik, distensi lumenusus oleh gas dan cairan dan pertumbuhan kuman-kuman. Transudasi cairan kedalam lumen usus menyebabkan syok hipovolemik.Kehilangan cairan asam lambung dan klorida pada obstruksi daerah pilorus atau jejunum proksimal menyebabkan alkalosis metabolik.Metabolik asidosis terjadi pada obstruksi usus distal.Pada “Closed loop obstruction” dapat terjadi gangren dan perforasi dari usus.

GEJALA KLINIS

Kolik borborigmi dan bising usus meningkat. Didapatkan kontur dan “steifung” disertai obstipasi dan distensi. Pada obstruksi proksimal muntah terjadi lebih dini, sedang pada obstruksi distal muntah terjadi lebih lambat.Didapatkan dehidrasi dan febris. Bila obstruksi disertai dengan strangulasi dirasakan nyeri hebat yang terlokalisisr, terus-menerus dan keadaan umum yang cepat menurun.Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan rektum yang kosong.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

28

Page 29: SPM

- Foto polos abdomen dengan posisi tegak atau lateral dekubitus tampak distensi usus proksimal dari hambatan dan fenomena anak tangga.

- Pada dugaan tumor kolon dapat dibuat foto barium enema

Penyebab ileus obstruksi yang paling sering dijumpai di Indonesia :1. Hernia inguinalis lateralis inkarserata2. Pelekatan (streng)3. Keganasan usus besar4. Pada anak-anak sering dijumpai kelainan kongenital5. Kelainan lain adalah volvulus, invaginasi dan lain-lain

Pada ileus obstruksi perlu dibedakan antara yang tanpa strangulasi (simpel) dan yang disertai strangulasi.

DIAGNOSIS BANDING

- Ileus pralitik- Oklusi vaskular usus akut

Macam ileus

Nyeri Usus Distensi Muntah borborigm

Bising usus/ abdomen

Keterangan

Obst. Simpel tinggi

++(kolik)

+ +++ Meningkat -

Obst. Simpel rendah

+++ (kolik) +++ + lambat fekal

Meningkat -

Obst. Dengan strangulasi

++++ ( terus

menerus, terlokalisir)

++ +++ Tak tentu biasanya

meningkat

+

Paralitik + ++++ + Menurun -Oklusi vaskuler

++++ +++ +++ Menurun +

PENYULITBila disertai strangulasi dapat terjadi gangren usus.Cepatnya penanganan sangat menentukan prognosa penderita

PENATALKSANAAN

1. Dekompresi dengan pipa lambung2. Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. Juga keseimbangan asam basa3. Koreksi bedah Tindakan bedah yang dilakukan sesuai dengan kelainan patologinya

29

Page 30: SPM

4. Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi penyebabnya

Daftar Acuan :

1. Condon, R.E., Nyhus, L.M. : Manual of Surgical Therapeutics. 7th. Ed., Litle Brown and Co., Boston, 1988, pp.273-290

2. Dudley, H.A.F. : Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th ed. John Wright Son ltd. Bristol 1986 pp. 353-374.3. Way, L.W. : Current Surgical Diagnosis and Treatment, 9 th. Ed., Prentice Hall

International Inc., 1991, pp. 610-611, 613-618, 626-629, 640-643.

BATU EMPEDU

BATASAN

Terdapatnya batu didalam kantong empedu dan atau dalam saluran empedu.

PATOFISIOLOGI

80% batu empedu terdiri dari kolesterol. Kolesterol tidak larut dalam air. Kelarutan kolesterol di dalam cairan empedu dipengaruhi asam empedu dan fosfolipid. Bilamana karena suatu hal terjadi gangguan keseimbangan ini, terjadi presipitasi dari kolesterol (empedu litogenik) dan terbentuk batu empedu (segitiga “SMALL”).

Penyakit batu empedu dipengaruhi beberapa faktor :

hormon, terutama estrogen dan progesteron. nutrisi dan obat-obatan kehamilan adipositas

Epidemiologi penyakit batu empedu : lebih banyak dijumpai pada wanita dengan perbandingan 2:1 dengan pria (Female). lebih sering pada orang yang gemuk (Fat). bertambah dengan tambahnya usia (Forty) lebih banyak pada multipara (Fertile) lebih banyak pada orang-orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obat tertentu (Foot).

30

Page 31: SPM

sering memberi gejala-gejala saluran cerna (Flatulen)

GEJALA KLINIS

Kurang lebih 10% penderita batu empedu bersifat asimtomatik.Gejala yang dapat timbul : Nyeri (60%)

bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan dan menjalar ke bahu kanan.Nyeri ini sering timbul karena rangsangan makanan berlemak.Nyeri dapat terus, bila terjadi penyumbatan atau keradangan

DemamTimbul bila terjadi keradangan. Sering disertai menggigil.

IkterusIkterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama (duktus hepatikus/koledokus).

Pemeriksaan fisik : Bila terjadi penyumbatan duktus sistikus atau kolesistitis dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama pada waktu penderita menarik napas dalam (MURPHY’S SIGN)

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

1. LaboratoriumPada ikterus obstruksi terjadi :

- Adanya peningkatan kadar dalam darah dari bahan-bahan : a. bilirubin direk dan totalb. kolesterolc. alkali fosfatased. gama glukuronil transferase

- Bilirubinuria- Tinja akolis

2. Ultrasonografi3. Kolesistografi oral 4. Pemeriksaan khusus pada ikterus obstruksi :

- Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)- “Endoscopic retrograde cholangio pancreatography” (ERCP)- Computerized tomography scanning (CT Scan)

DIAGNOSIS BANDING

- Gastritis- Tukak peptik- Pankreatitis

Pada ikterus obstruksi :- Kolangio karsinoma- Karsinoma pankreas (sindroma Couvoisier)

31

Page 32: SPM

KOMPLIKASI

- Kolesistitis akut (80% )- Emfiema- Ikterus obstruksi (20%) karena batu saluran empedu (ICD 574.5)- Kolangitis (ICD 576.1)- Ileus obstruksi karena batu (2%)- Degenerasi keganasan (1%)

PENATALAKSANAAN

- Batu kantong empedu : Kolesistektomi (ICOPIM 5.511)- Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM 5.513)

+ antibiotika profilaksis : ampisilin 1 g.i.v + aminoglikosida 60 mg.i.v (1X) atau sefalosporin generasi III 1 g.i.v (1X), kombinasi dengan metronidazol 0,5 gr i.v (drip dalam 30 menit)

- Disertai keradangan (kolesistitis/kolangitis) :+ Antibiotika terapi : kombinasi tripel antibiotika

- ampisilin 3X1 g./hari i/v- aminoglikosida 3X60 mg/hari i.v atau antibiotika ganda- metronidzol 3X0.5 g.i.v (drip dalam 30 menit)- sefalosporin gen III 3X1 gm./hari i.v. + metronidazol 3X1 g./hari i.v.

Daftar Acuan :

1. Dame, S.S. : Diseases of The Liver and Biliary System 6th. Ed., Blackwell Scientific Publication. Osford, 1981, pp. 222-224, 476-498.s

2. Schwartz S.I. and Ellis, H. : Maingot’s Abdominal Operation. 9 th.ed., Prentice Hall International Inc., 1990, pp. 1337-1479.

3. Way, L.W. : Current Surgical Diagnosis and Treatment, 9 th. Ed., Prentice Hall International Inc., 1991, pp. 527-557.

4. Wibowo, S. : Batu Empedu, Penelitian prospektif 140 kasus berurutan selama 4 tahun dari tahun 1981 sampai dengan 1983 di Surabaya. Pertemuan Ilmiah IKABDI ke 6, Surabaya, 1983.

32

Page 33: SPM

KARSINOMA KOLON - REKTUM

BATASAN

Neoplasma ganas jenis karsinoma pada kolon (ICD 153) dan rektum (ICD 154).

PATOFISIOLOGI

Penyebab karsinoma kolon dan rektum masih belum jelas. Ada beberapa faktor predisposisi mempengaruhi terjadinya karsinoma kolon dan rektum.a. diet rendah seratb. polip tunggal dan poliposis kolon/rektumc. kolitis ulserosaLokasi terbanyak dari karsinoma kolon dan rektum adalah di rekto-sigmoid (60-70%)

GEJALA KLINISTipe tumor dan gejala yang timbul berhubungan dengan lokasi tumor :

Kolon kanan Kolon kiri RektumTipe Besar Kecil Infiltrat

Vegetatif Stenosis UlserasiUlserati Vegetatif

Gejala klinik Kolitis Obstruksi ProktitisDispepsia Sering Jarang JarangPerubahan kebiasaan buang

Diare Konstipasi yang progresif Tenesmus

33

Page 34: SPM

air besarObstruksi Jarang ominan JarangDarah dalam tinja Mikroskopik Mikroskopik/makroskopik MakroskopikMemburuknya keadaan umum

Dini Lambat Lambat

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

- Fiskik :Tumor abdomenGejala-gejala ileus obstruksi pada stadium lanjut

- Colok dubur :Teraba tumor pada karsinoma rektum rendah.

- Proktoskopi/sigmoidoskopi :Pada karsinoma rektum dan sigmoid

- Kolonoskopi :Pada karsinoma kolon

- “Barium in loop :pada karsinoma kolon dan rektum

- Laboratorium : Pemeriksaan tinja benzidine; serologis CEA (Carcinoma Embryonic Antigen).

Pembagian stadium karsinoma kolon dan rektum menurut sistim TNM UICC.

Lebih praktis digunakan pembagian menurut Astler-Coller (modifikasi DUKES) : DUKES A : tumor terbatas pada mukosa atau submukosa

B : tumor menembus muskularis propria Belum ada metastase pada kelenjar limfe regional.C : tumor sudah mengadakan metastase pada kelenjar limfe

regionalD : tumor sudah mengadakan metastase jauh.

DIAGNOSIS BANDING

- Tuberkuloma- Amuboma- Hemoroid- Polip/poliposis kolon dan rektum

KOMPLIKASI

- Anemia- Ileus obstruksi

PENATALAKSANAAN

Kuratif : - Kolon kanan : hemikolektomi kanan

34

Page 35: SPM

- Kolon kiri : hemikolektomi kiri ICOPIM 5.455- Kolon transversum : kolontransversektomi- Sigmoid : reseksi anterio- Rektum : > 12 cm. Dari anus : reseksi anterior

(ICOPIM 5.455) < 6 cm. Dari anus : reseksi abdomino perineal

(ICOPIM 5.484)antara 6-12 cm dari anus : proktosigmoidektomi atau “sphincter saving operation”

(ICOPIM 5.485) Paliatif : Untuk karsinoma kolon/rektum yang inoperabel- kolostomi proksimal tumor (ICOPIM 5.461)- pintas ileo-kolostomi (ICOPIM 5.458)

Daftar Acuan : 1. Corman, M.L. : Colon and Rectal Surgery. 1st. ed., 1984, pp. 267-412.2. Goligher, J.C. : Surgery of the Anus, Rectum Colon. 5th. Ed., Bailere Tindall, London,

1984, pp. 426-793. 3. Schwartz S.I. and Ellis, H. : Maingot’s Abdominal Operation., 9th.ed., Prentice Hall

International Inc., Englewood Cliffs, 1990, pp. 1033-1172.4. Spiessl, B., Scheibe, O. and Wagne, G. : UICC-TNM Atlas. Springer-Verlag, 1982,

pp. 78-99.

35

Page 36: SPM

PERFORASI TIFUS

BATASAN

Suatu infeksi umum dari peritoneum (General Peritonitis) yang disebabkan oleh pecahnya usus (terutama usus kecil) karena penyakit tifus abdominalis.

PATOFISIOLOGI

Terjadi trombosis pada pembuluh-pembuluh vena usus akibat keradangan pada usus oleh kuman Slmonella thyphosa.Trombosis ini menyebabkan nekrosis dari dinding usus (ante mesenterium) kemudian terjadi perforasi.

GEJALA KLINISa. Penderita panas badan kurang lebih 2 minggu disertai perut kembung dan kemudian timbul nyeri perut yang hebat.b. Adanya tanda-tanda syok/pre syok dan dehidrasic. Penderita tak dapat flatus/berak

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

a. Inspeksi : - pernapasan perut tertinggal b. Palpasi : - nyeri tekan seluruh perut, defans muskulerc. Perkusi : - nyeri ketok seluruh perut

- suara redup hati hilang (oleh karena adanya pneumo peritoneum).

36

Page 37: SPM

d. Auskultasi : - suara bising usus hilang Serologi : Widal, kultur empedu Foto : foto polos perut (diafragma) dan foto lateral tampak pneumo

peritoneum berupa gambaran udara dibawah diafragma di atas hepar (air sickle).

DIAGNOSIS BANDING

1. Perforasi organ berongga : - appendiks.- usus kecil/besar- lambung- kandung empedu

2. Pelvio peritonitis (infeksi organ-organ genitalia interna wanita)3. Peritonitis primer

KOMPLIKASI

- Fistula enterokutan- Toksemia – Septikemia

PENATALAKSANAAN

- Infus – rehidrasi dengan ringer laktat kurang lebih 4 liter dalam 2-4 jam, atau 20 cc/kg BB/jam dalam waktu 2-4 jam.

- Kloramfenikol injeksi 3X1 g./24 jam + Ampisilin 3X1 g./24 jam+ Metronidazole 1 g.i.v./drip dalam waktu 30 menit 3X1 g./24 jamAntibiotika tersebut juga diberikan 1 jam pra-bedah

- Laparotomi : Lubang pada usus dijahit primer dengan Dexon atau sutera 000. Cuci rongga perut dengan :

- larutan garam faali 3-4 liter- larutan garam faali + Betadine (500 cc – 600 cc) 1,5 –2 liter.

Drain subfasial Subkutan dan kulit dijahit situasi (sekunder)

Daftar Acuan :

1. Dudley, H.A.F. : Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th ed. John Wright Son ltd. Bristol 1986 pp. 276-285, 690-691.2. Schwartz S.I. and Ellis, H. : Maingot’s Abdominal Operation. Vol.1, 9th.ed., Appleton

Century Crofts, Norwalk Connecticut, 1990, pp. 341-351.3. Sjukur A. : Penelitian perforasi peritonitis di UGD RSUD Dr. Soetomo tahun 1979-

1980. Arsip Lab. Ilmu Bedah FK UNAIR.

37

Page 38: SPM

KEDARURATAN BEDAH ANAK

Distres Pernafasan :

I. Definisi :Distres pernafasan diartikan sebagai kesulitan bernafas terlihat dari adanya takipnea, pernafasan cuping hidung, stridor, air hunger, retraksi interkosta dan sianosis.

II. Patofisiologinya :Distres pernafasan terjadi akibat hiperkapnea dan hipoksia, yang disebabkan oleh ;

a. Ventilasi yang abnormalb. Kegagalan difusic. Terjadinya shunting

a. Ventilasi abnormal : termasuk seluruh malformasi struktur yang mencegah jumlah udara yang adekwat mencapai alveoli agar terjadi pertukaran oksigen dan CO2 antara lain akibat adanya ;

1. Sumbatan jalan nafas ; dapat terjadi dalam berbagai tingkatan mulai dari hidung seperti atresia choanae, sampai ke bronchus seperti bronkomalacia. Mungkin juga karena factor intrinsic seperti hemangioma subglottis, atau juga factor ekstrinsik seperti vascular ring. Stridor ( noisy breathing ) akibat terjadinya turbalensi aliran udara karena terjadi obstruksi saluran nafas.

38

Page 39: SPM

2. Penurunan volume paru-paru, akibat tekanan dari luar seperti pnemotoraks, hernia diafragmatika, juga akibat berkurangnya jaringan paru-paru karena digantikan oleh tumor, kiste atau karena kegagalan pertumbuhan congenital seperti agnesis atau hipoplasi paru-paru.

3. Kegagalan fungsi otot-otot pernafasan sebagai pencerminan perkembangan otot-otot pernafasan yang tidak adekwat, seperti pada eventerasi diafragma, karena trauma kelahiran seperti lesi nervus phrenicus, dan juga karena kelainan susunan saraf pusat.

b. Kegagalan diffusi : sebagai akibat kegagalan alveolus karena perkembangan abnormal seperti penyakit hialin membran, karena aspirasi, atelektasis, pnemonia, dan gagal jantung kongesti.

c. Shunting dalam jantung ( kiri ke kanan ) : akibat defek sektum dan kelainan lain yang menyebabkan rendahnya oksigenasi darah yang masuk ke peredaran sehingga PaO2 menurun.

III. Penampilan klinis :

Usia pada saat gejala muncul kecepatan progresivitasnya dapat memberikan perkiraan penyebab distress pernafasan.

a. Gejala muncul sesaat setelah bayi lahir, memperlihatkan gejala malformasi berat, dan merupakan salah satu keadaan yang mengancam jiwa bayi. Contoh, kelainannya seperti hernia diafragmatika, agenesis trakea, hipoplasi paru-paru, paralysis nervus phrenikus atau pita suara. Sedangkan penyakit hialin membran terjadi setelah beberapa saat bayi lahir.

b. Jika gejala distres pernafasan muncul tiba-tiba pada anak yang sebelumnya sehat kemungkinan penyebabnya karena proses mekanis seperti pnemotoraks atau aspirasi.

c. Restlesness ; dapat merupakan gejala awal distress pernafasan yang terjadi pada bayi tanpa gejala sebelunya. Keadaan ini merupakan gejala penting yang tidak terdeteksi sebelumnya oleh petugas yang tidak terlatih atau waspada. Berikutnya terjadi takipnea, selanjutnya dispnea, disertai nafas cuping hidung, retraksi dan grunting dan ahirnya terjadi sianosis.

d. Stridor merupakan gejala yang paling pathognomonik dari sumbatan jalan nafas dari daerah laring sampai carina trakea. Wheezing sebagai petunjuk terjadinya obstruksi bronchus. Opisthotonus menunjukkan adanya tekanan pada jalan nafas, seringkali terlihat pada pasien dengan vascular ring.

IV. Diagnosis :

A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Merupakan bagian paling penting dalam menentukan ventilasi yang adekwat atau bahkan menentukan adanya sumbatan jalan nafas. Auskultasi paru-paru seringkali membuat keliru, karena suara nafas dapat dengan mudah ditransmisikan dari paru-paru ke sisi lainnya. Bahkan bayi dengan pnemotoraks memperlihatkan suara nafas masih dalam batas normal.

39

Page 40: SPM

B. Penunjang diagnosisFoto toraks ; pada bayi dengan distress pernafasan harus segera dikerjakan, karena dapat memberikan informasi tentang kondisi paru-paru, saluran nafas. Seringkali juga pemeriksaan foto toraks akan membantu membedakan kasus distress pernafasan yang non bedah dengan yang kasus bedah. Foto toraks posisi tegak lebih memberikan informasi dibandingkan foto dalam kondisi terlentang untuk kasus hernia diafragmatika dengan kiste paru-paru atau membedakan antara emfisema lobaris dengan pnemotoraks.Pemeriksaan radiology jaringan lunak leher dapat memberikan gambaran penting untuk menentukan diameter jalan nafas dan adanya tekanan dari luarnya. Pemeriksaan atau analisis gas darah membantu dalam membedakan sianosis karena jantung atau paru-paru, termasuk dalam kontribusinya menentukan penyebabnya.Caranya dengan memberikan oksigen 100% pada bayi sianosis maka akan terlihat adanya perbaikan pada bayi dengan sianosis paru-paru tetapi karena jantung tidak terjadi perubahan.

C. Tes patensi jalan nafas ; Pipa lambung melalui hidung untuk menegakkan diagnosis adanya arteri choanae dan memastikan diagnosis atresi esophagus.

D. Laringoskopi ;Untuk kasus obstruksi jalan nafas dapat dikerjakan emergensi, karena dapat mengetahui kondisi laring sehingga dapat dipasang pipa trakea untuk mengatasi sumbatan jalan nafas bagian atas.

E. Bronkoskopi ;Dikerjakan pada semua bayi dengan gejala stridor, walaupun belum memperlihatkan gejala distress pernafasan. Pemeriksaan bronkoskopi merupakan tindakan sederhana yang memberikan diagnosis akurat dan spesifik sehingga dapat ditentukan kebutuhan koreksi dengan pembedahan. Salah satu penyebab stridor yang jarang diduga adalah karena trakeomalacia.

F. Esofagogram ;Untuk menentukan adanya vascular ring.

V. Diagnosis banding :

Sebagian besar abnormalitas ventilasi sifatnya mekanis sehingga membutuhkan terapi pembedahan, sedangkan kelainan difusi dapat diatasi dengan terapi medis.a. Obstruksi jalan nafas ;

1. Nasofaring ;a) Tidak terbentuk lubang hidungb) Atresi choanaec) Ensefalokeld) Teratoma

2. Mulut ;a) Makroglosia

40

Page 41: SPM

b) Pierre robinsyndromec) Kiste hipofaringd) Tiroid lingual

3. Larynx ;a) Paralisis pita suarab) Laringomalasia – congenital laryngeal stridor (CLS)c) Hemangioma laringotrakeald) Limpangioma laringitrakeale) Celah laringotrakeoesofageal

4. Leher ;a) higroma kistikab) Goiter

5. Trakea ;a) Stenosis subglotisb) Kiste atau hemangioma subglotisc) Trakeomalasiad) Stenosis trakeae) Atresi trakeaf) Ring vascular

b. Penurunan volume paru-paru

1. Hernia diafragmatika2. Agenesis paru-paru3. Pnemotoraks4. Chylotoraks5. Emfisema lobaris6. Kiste paru-paru7. Malformasi adenomatoid kistika

c. Kegagalan fungsi otot1. Trauma nervus phrenikus2. Eventerasi diafragma3. Otot abdomen tidak terbentuk4. Paralisis spinalis

d. Kegagalan difusi1. Penyakit hialin membran2. Aspirasi

a. Mekoniumb. Atresia esophagusc. Fistula Trakeoesofagusd. Penyakit susunan saraf pusat

3. Atelektasis4. Pneumonia5. Perdarahan paru-paru6. Emfisema interstisialis paru-paru7. Wilson- mikity syndrome

41

Page 42: SPM

8. Takipnea transien dan bayi baru lahir9. Gagal jantung kongesti

VI. Pengelolaan ;

Pengelolaan spesifik tergantung kasusnya, beberapa prinsip yang harus dilakukan ;a. Diperlukan pemasangan pipa endotrakeal, untuk diagnosis obstruksi jalan

nafas dan mengatasi obstruksi tersebut dan membantu ventilasi. Kesalahan sering terjadi karena penggunaan pipa yang agak besar dan atau ditempatkan terlalu jauh. Posisi pipa endotrakeal harus dipastikan dengan pemeriksaan radiology.

b. Bantuan ventilasi harus diberikan dengan hati-hati pada pasien hernia diafragmatika dan emfisema lobaris, karena dengan tekanan sedang dapat menimbulkan pecahnya paru-paru sehingga dengan cepat menimbulkan tension pnemotoraks yang fatal.

SUMBATAN JALAN NAFAS

I. Sumbatan jalan nafas ;Terhalangnya aliran udara / oksigen dari saluran nafas ke paru-paru

II. Patofisiologi ;a. Terhambatnya aliran udara karena berkurangnya

ukuran saluran nafas pada keadaan aliran udara yang tinggi terjadi penurunan yang nilainya proposional dengan seperempat dari diameter lumen.

b. Pekerjaan pernafasan menjadi meningkat sehingga otot pernafasan bekerja lebih berat untuk menggerakkan udara melawan tingginya hambatan

c. Kelelahan otot-otot akibat aktivitas pernafasan yang berlebihan akan memicu terjadinya dekompensasi menimbulkan hipoksia dan hiperkapnea ( retensi CO2 )

III. Gejala klinis ;a. Sesak nafas ( dysepnea ) merupakan gejala

obstruksi jalan nafas paling menonjol, bayi mengalami kesulitan dalam bernafas sehingga terlihat lemah dan berkeringat.

b. Stridor sebagai petunjuk terdapat sumbatan didaerah larynx atau trakea

42

Page 43: SPM

c. Wheezing sebagai gejala sumbatan bronkusd. Opisthotonos memperlihatkan usaha untuk

mengurangi tekanan pada trakea dan kadangkala terlihat pada pasien dengan vascular ring

e. Sianosis merupakan tanda paling ahir sumbatan jalan nafas dan menunjukkan bahwa pasien sudah mengalami dekompensasi tidak mampu untuk menggerakkan udara yang cukup untuk mempertahankan oksigenai.

IV. Diagnosis ;a. Pemeriksaan fisik pada mulut dan wajah

pasien tidak terdapat kelainan tetapi bayi stridor menunjukkan bahwa obstruksi pada atau di bawah larynx.

b. Pemeriksaan foto dibuat untuk menentukan kelainan pada paru-paru dan saluran nafas intratoraks, biasanya dalam keadaan normal.

c. Pemeriksaan radiology jaringan lunak leher untuk menemukan adanya trakeomalasia atau terdapat penyempitan subglottis.

d. Laringoskopi dilakukan jika secara pemeriksaan fisik tidak menemukan penyebab obstruksi jalan nafas. Jika bayi dalam keadaan distress pernafasan berat dan terjadi dekompensasi sebaiknya dipasang pipa endotrakea. Terjadinya kesulitan dalam memasukkan pipa menunjukkan terdapat stenosis subglottis atau laring sehingga merupakan indikasi untuk segera dilakukan bronkoskopi.

e. Bronkoskopi merupakan indikasi dilakukan pada semua bayi dengan stridor maupun yang mengalami distress pernafasan yang jelas.

f. Pemeriksaan oksigen arteri dan CO2 merupakan indikasi walaupun bayi telah mengalami kompensasi terhadap obstruksi jalan nafasnya.

V. Pengelolaan :a. Sumbatan jalan nafas yang terlihat

1. Lubang hidung tidak terbentukJarang ditemukan namun merupakan kelainan yang mengancam terjadinya distress pernafasan karena neonatus umunya bernafas melalui hidung, namun terdapatnya pernafasan melalui mulut sementara dapat mengatasi jalan nafas. Tindakan trakeostomi dapat dilakukan sampai pembadahan definitive, rekonstruksi lubang hidung dapat dikerjakan. Bayi dengan kelainan ini umumnya mempunyai kelainan congenital lainnya yang termasuk serius juga.

2. Atresia choamae , tidak selalu diketemukan dengan pemeriksaan biasa, karena umumnya

43

Page 44: SPM

diketemukan pada saat kesulitan memasukkan pipa endotrakea melalui gejala keadaan faring.

3. Ensefalokel atau teratoma sering ditemukan melalui celah palatum atau dihipofaring sebagai massa globuler yang ditutupi kulit menyebabkan sumbatan jalan nafas. Diagnosis dengan CT-scan perlu dikerjakan sebelum eksisi dilakukan untuk mengetahui hubungannya ke rongga otak.

4. Makroglosia, sebagai penyerta beckwith’s syndroma, hipotiroid congenital, dan kelainan lainnya.Sumbatan jalan nafas dapat dikelola dengan positioning namun dengan pernafasan melalui mulut atau trakeostomi perlu dilakukan.

5. Pierre robin syndrome, hipoplastik mandibula dengan celah palatum dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas karena lidahnya. Menempatkan bayi dalam posisi tegak dapat membantu mengatasi sumbatan jalan nafas , namun kadangkala dibutuhkan pengalihan pernafasan melalui mulut. Pada kasus berat dianjurkan utnuk menempatkan lidah pada posisi kedepan dengan menjahitkan dasar lidah kearah tulang hyoid atau dapat mempergunakan kawat “skewer”, alternatif lain dilakukan trakeostomi temporer dan pemberian makanan melalui gastrotomi.

6. Higroma kistika, dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat tekanan pada laring atau trakea, atau tertekannya laring dan subglottis oleh kiste, atau terdorongnya lidah keatas oleh kiste, sumbatan dalam rongga mulut. Eksisi kiste melalui pembedahan perlu dikerjakan sesegera mungkin. Diperlukan trakeostomi temporer.

7. Goiter jarang terjadi pada bayi tetapi dalam keadaan jarang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, sehingga perlu dikerjakan tiroidektomi parsial.

b. Obstruksi laringoparing1. Kiste hipoparing, biasanya dengan pemeriksaan rutin

tidak dapat ditemukan karena jika pedunculated maka akan berputar di belakang ovula sehingga tidak nampak. Tindakan untuk eksisi dapat mengatasi dan biasanya sederhana saja tindakannya.

2. Tiroid lingualis, teraba sebagai massa padat di dasar lidah, foramen sekum. Mungkin merupakan tiroid yang sebenarnya yang tidak mengalami migrasi kearah kaudal. Untuk menghindarkan sumbatan jalan nafas sebaiknya dilakukan eksisi disertai dengan pemberian terapi hormon tiroid.

3. Paralisis pita suara, mungkin congenital, trauma persalinan atau pembedahan terhadap nervus laringeus rekurent. Jika terjadi bilateral perlu dilakukan trakeostomi, Sedangkan tindakan definitive dengan melakukan fiksasi pita kearah abduksi dikerjakan jika fungsinya tidak pulih secara normal.

4. Laringomalacia (stridor laringeal congenital) merupakan penyebab stridor pada neonatus yang paling sering ditemukan.

44

Page 45: SPM

Terjadinya pelunakan lipatan tulang rawan laring pada saat inspirasi menyebabkan epiglottis berbentuk omega.

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan laringoskopi langsung mempergunakan alat jenis right angle atau fiberoptik karena dengan laringoskopi standar akan menyebabkan kesalahan diagnosis akibat terjadinya stabilisasi basis laring sehingga bentuk omega menjadi kolaps. Stridor sangat khas terjadi pada saat inspirasi dan mungkin biphasic.

Laringomalasia yang jelas-jelas menimbulkan distress dan serak akan menyebabkan sumbatan jalan nafas sehingga diperlukan terapi, namun seringkali dengan membesarnya bayi, tulang rawan menjadi kaku dan kaut menyebabkan stridor menghilang dalam waktu 1-2 tahun. Jarang membutuhkan trakeostomi.

5. Hemangioma laring. Tidak sesring ditemukannya hemangioma subglottis dan terapinya sangat sulit. Jika terjadi sumbatan jalan nafas yang jelas dilakukan trakeostomi. Umumnya pada neonatus terapi hemangioma dengan stiroid memberikan hasil.

c. Obstruksi trakea.1. Celah laringoesofagus jarang ditemukan, umumnya

sebagai varian dari fistula trakeoesofagus yang meluas sampai ke laring. Tersedak dan aspirasi karena pemberian makanan sebagai gejala yang sering ditemukan. Diagnosis ditegakkan pada saat bronkoskopi, namun sering terjadi kesalahan karena alat masuk ke trakea dengan mudah. Terapi pembedahan perlu dilakukan dengan trakeostomi sebelumnya.

2. Stenosis subglottis, mungkin congenital atau dapatan akibat penggunaan pipa endotrakeal yang besar.

a. Terjadi penyempitan jalan nafas didaerah tulang rawan cricoid. Nekrosis akibat tekanan pipa endotrakeal akan menyembuh menimbulkan jaringan parut sehingga jalan nafas menyempit.

b. Melakukan dilatasi sudah cukup membantu penyembuhan namun harus dilakukan berulang-ulang selama beberapa bulan.Eksisi dengan laser dan membelah trakea disertai pendauralihan tulang rawan telah dipergunakan dengan sukses.

3. Kista dan hemangioma subglottis. Kelainan ini merupakan tantangan dalam upaya pemberian terapi karena daerah subglottis merupakan predileksi dari hemangioma saluran nafas. Umumnya membutuhkan tindakan trakeostomi segera, dan eksisi dari kista. Umumnya hemangioma menghilang secara spontan dan untuk

45

Page 46: SPM

mempercepat proses dapat diberikan kortikosteroid sistematik, namun terapi laser sangat efektif dilakukan.

4. Trakeomalasia merupakan penyebab obstruksi jalan nafas yang relatif sering ditemukan pada neonatus, namun disertai kelainan congenital mayor lainnya seperti atresia esophagus atau agenesis paru-paru. Diagnosis seringkali salah jika bayi tidak bernafas spontan pada saat dilakukan pemeriksaan trakea dengan bronkoskopi, karena pada saat ekspirasi terjadi kolaps kearah anteroposterior. Trakeomalasia minor tidak memrlukan terapi, sedangkan pada kasus berat perlu dilakukan trakeostomi temporer.

5. Stenosis trakea, dibawah subglottis jarang ditemukan, jika ditemukan dapat dilakukan dilatasi stenting, insisi diikuti dengan graft autogenous tulang rawan dan telah dikerjakan dengan sukses.

6. Atresia trakea jarang ditemukan, sejauh ini merupakan kasus yang tidak dapat dikoreksi dan umumnya disertai dengan malrotasi bronkus dan paru-paru yang berat.

7. Vaskular ring, terjadi karena dissolusi primitif vascular aortic arches. Umumnya tanpa gejala dan tidak terdiagnosis.

a. Gejala timbul karena tertekannya esophagus atau jalan nafas oleh arteri sehingga terjadi disfagi, stridor dan distress pernafasan. Jika obstruksi jalan nafas berat maka terjadi opisthotonus.

b. Banyak kemungkinan yang terjadi akibat terbentuknya vascular ring, kebanyakan gejala timbul karena terdapat arkus aorta ganda, atau arteri subclavia kanan aberan dan arcus aorta kanan dengan dusctus arteriosus.

c. Esofagogram, memperlihatkan identitas yang khas pada vascular ring yang memberikan gejala, dengan angiografi akan memberikan gambaran anatomi yang jelas.

d. Pembedahan merupakan tindakan kuratif dan umumnya memungkinkan untuk dikerjakan. Gejala persistan terjadi akibat trakeomalasia pada bagian trakea yang tertekan.

8. Bronkomalasia, biasanya disertai dengan kelainan paru-paru lainnya seperti agenesis paru-paru. Bronkie kolaps paa saat respirai terlihat dengan pemeriksaan bronkoskopi. Pada kasus ini sepertinya dibuthkan ventilasi dengan tekanan positif pada jalan nafas ( continous positive airway pressure / CPAP ) sampai bronkie tumbuh matang dan kuat.

PNEUMOTORAK

I. Definisi ;

46

Page 47: SPM

Terdapatnya udara pada ruang pleura, ditemukan pada 1-2% bayi baru lahir.Tension pneumotorak : terdapat udara bertekanan dalam ruang pleura, pada neonatus keadaan ini sangat fatal.

A. Pneumotorak spontan : Didapatkan pada penyakit hialin membran, aspirasi mekonium, distress, fetalis, pneumonia, kadangkala didapatkan juga pada paru-paru normal. B. Pneumotoraks iatrogenik, seringkali terjadi karena :

1. Intubasi2. Resusitasi3. Tekanan Ventilasi berlebihan4. Penghisapan lendir5. Continous Ventilatory Pressure6. Pemasangan kateter vena sentral7. Bronkoskopi8. Trakeostomi9. Pascabedah : torakostomi, TEF rekuren,

reseksi paru – paru

II. Patofisiologi :A. Pneumotorak Spontan dan pneumotorak lainnya terjadi karena ventilasi artificial

menyebabkan pecahnya alveolus. Udara menyebar kedalam intertisial paru –paru sampai kepermukaan pleura, sehingga terjadi bleb sub pleura yang kemudian pecah kedalam ruang pleura. Pneumotorak pascabedah yang disebabkan instrumentasi terjadi akibat perlukaan pada pleura sehingga berhubungan dengan pleura dengan udara luar rongga torak, hal ini terjadi karena :1. Tekanan negatif parsial dalam

rongga pleura akan menyebabkan terhisapnya bagian melalui setiap bagian yang terbuka.

2. Kolapsnya paru – paru secara alami elastis, sehingga tidak lama kemudian tertekan oleh tekanan negatif ruang pleura.

3. Jika pasien dalam alat Bantu pernafasan ventilasi positif mendorong udara masuk melalui alveolus yang bocor kedalam ruang pleura.

4. Akibat paru – paru kolaps, maka pertukaran udara berkurang sehingga terjadi distress pernafasan dan sianosis, dengan luasnya bergantung dari luasnya pneumotoraks.

B. Tension pneumotoraks, terjadi karena masuknya udara secara terus menerus kedalam rongga pleura menimbulkan tekanan positif terjadi akibat :1. Mekanisme ventil yang

terjadi jaringan lunak yang mencegah udara keluar sehingga menumpuk dan menekan paru – paru

2. Tekanan didalam ruang pleura menyebabkan paru – paru kolaps dan menyebabkan mediastinum yang

47

Page 48: SPM

fleksibel pada neonatus terdorong ke dalam sisi berlawanan kemudian menekan paru – paru kesisi berlawanan.

3. Angulasi dan vena-vena besar akibat tekanan mediastinum yang terdorong tersebut menyebabkan venous return terhambat.

4. Terjadi penurunan curah jantung ( cardiac output ), selanjutnya terjadi hipotensi dan henti jantung.

III. Presentasi klinis :A. Distress pernafasan yang terjadi secara

tiba- tiba pada bayi baru lahir dan neonatus menunjukkan terjadi pneumotorak, tanpa atau disertai dengan adanya penyakit paru – paru, atau sedang mendapatkan bantuan pernafasan. Pneumotorak terjadi apnea, bradikardi dan henti jantung dalam waktu yang cepat.

B. Pada pemeriksaan fisik terlihat torak asimetris dan terdorong kearah denyut jantung, penurunan suara nafas pada neonatus sulit ditentukan karena terpengaruh pancaran nafas sisi lain torak

C. Pneumotorak dapat terjadi perlahan – lahan sehingga gejala timbl perlahan bahkan terkadang tanpa gejala jika jumlahnya sedikit. Terjadinya hipoksia dan hipercapnea tercermin dari gambaran analisa gas darah sebagai satu – satunya tanda.

IV. Diagnosis :A. Foto torak posisi tegak membantu

dalam diagnosis, karena pada foto toraks posisi tidur pada pneumotorak kecil sulit terlihat.

B. Transilumonasi, dengan sumber sinar fiberoptik merupakan diagnosis yang cepat untuk pneumotoraks dan hasilnya sangat akurat kecuali pada bayi yang kecil atau terdapat edema dinding toraks yang massive, oleh karena itu transiluminator sebaiknya disediakan pada ruang intensif neonatus ( NICU )

V. Terapi :A. Pada pneumotoraks kecil ( 10 – 20% )

tanpa memberikan gejala pada bayi pada ventilator dan tidak menderita penyakit paru – paru serta tidak terdapat bukti kebocoran udara secara berketerusan tidak perlu diberikan terapi. Perlu dilakukan pemeriksaan torak foto serial sampai pneumotorak mengalami resolusi.

B. Umumnya semua pneumotorak perlu dipasang torak tube untuk mengurangi gejala dan mengontrol kebocoran udara berikutnya.

C. Aspirasi dengan jarum merupakan prosedur darurat untuk tension pneumotorak angiocath diperlukan untuk mencegah leserasi paru – paru.

48

Page 49: SPM

D. Terapi pembedahan diperlukan jika terdapat kebocoran bedah pascabedah melalui trakea atau bronkus, namun hal ini jarang ditemukan pada neonatus.

VII. Evaluasi :A. Pemeriksaan klinis tanda – tanda distress pernafasan B. Evaluasi fungsi toraks drainC. Pemeriksaan foto toraks ulang sesuai kebutuhan

ATRESIA ESOFAGUS DAN FISTULA TRAKEOESOFAGUS

I. Definisi :Terganggunya kontinyuitas esophagus dan hubungannya dengan trakea akibat gangguan embriogenesis pada usia 6 minggu janin dalam kandungan. Variasi kelainan yang dapat terjadi antara lain :1. Atresia esophagus dengan fistula traeoesofagus pada bagian distalnya dengan

insiden sekitar 85%2. Atresia esophagus dengan fistula trakeoesofagus pada bagian proksimal3. Atresia esophagus dengan fistula trakeoesofageal pada bagian proksimal dan

distal4. Atresia esophagus tanpa fistula5. Fistula trakeoesofagus tanpa atresiaSeringkali terdapat kelainan congenital lain sebagai penyerta dikaitkan dengan kumpulan kelainan seperti pada vertebra, anus, jantung, ginjal dan anggota gerak yang diakronim menjadi vactrel.

II. Patofisiologi kelainan :Akibat atresia esophagus menyebabkan pasien tidak dapat menelan makanan

maupun ludah dan sekresi yang ada dalam rongga mulut denga resiko kemungkinan terjadi aspirasi kedalam paru – paru sehingga menimbulkan distress pernafasan, atelektasis dan pneumonia. Terdapatnya hubungan antara esophagus bagian diatal dengan trakea menyebabkan udara masuk ke gester dan saluran pencernaan lainnya sehingga abdomen distensi. Sedangkan regurgitasi isi gaster kedalam paru – paru akan menimbulkan pneumonia kimiawi dengan segala konsekwensi klinisnya.

III. Gejala Klinis :Umumnya terdapat riwayat polihidramnion saat ibu hamil yang dapat dideteksi sebelum bayi lahir. Setelah bayi memperlihatkan gejala hipersalivasi sehingga pada saat awal mulut dan hidung bayi terlihat berbuih, kondisi ini harus diketahui oleh

49

Page 50: SPM

dokter dan paramedis yang menagani bayi. Selanjutnya bayi mengalami distress pernafasan sianosis. Jika bayi telah diberikan minum sejak awal akan memberikan gejala muntah bahkan tersedak. Sedangkan pada kasus atresia esophagus tanpa fistula gejala awalnya sering tidak jelas dan umumnya gejala yang terlihat menonjol terjadi pneumonia berulang. Diagnosis ditegakkan melalui pemasangan pipa lambung atau nastrogastrik tube pada bayi yang memperlihatkan gejala diatas, dan biasanya pemasangan tersebut gagal dilakukan. Pemeriksaan foto torak dilakkan untuk memastikan posisi pipa lambung dan melihat gambaran udara dalam gaster serta adanya komplikasi pneumotorak pada paru – paru. Pemeriksaan radiology dengan kontras jarang dibutuhkan, disamping kemungkinan meningkatnya komplikasi paru – paru.Berbagai permasalahan yang terjadi pada atresia esophagus dengan fistula trakeoesofagus antara lain : Prematuritas yang menyertai kelainan ini sehingga akan memperberat dalam pengelolaan pasien. Pada pasien ini alat bantuan pernafasan sangat dibutuhkan karena belum matangnya pertumbuhan dan perkembangan organ secara keseluruhan dengan berbagai manifestasinya seperti; hipoglikemi, hipokalsemi, masalah nutrisi dan ikterus. Distress pernafasan karena komplikasi pneumonia merupakan masalah tersendiri yang akan memperberat kelainan ini, dan jika disertai dengan distensi abdomen akibat banyaknya udara yang masuk kesaluran pencernaan melalui fistula. Kelainan congenital lain yang menyertai dijumpai sekitar 30 – 50% sehingga akan mempengaruhi pengelolaan pasien. Kelainan jantung yang menyertai kelainan ini umumnya sangat berat dan mengancam jiwa pasien. Sekitar 10 % kasus dapat disertai juga imperforasi anus. Jarak yang panjang antara bagian atas esophagus yang atresia dengan bagian distal sangat mempengaruhi teknis pembedahan karena kemungkinan terjadinya ketegangan pada anastomosis esfagus. Besarnya fistula trakeoesofagus akan menimbulkan ventilasi yang tidak adekwat dari paru – paru karena udara respirasi bocor kedalam saluran pencernaan sehingga tindakan gastrostomi akan dapat membantu mengurangi dampak dari masalah ini.

IV. Terapi dan pengelolaan pasienUntuk atresia esophagus dengan atau tanpa trakeoesofageal fistula terapinya hanya dengan pembedahan, untuk itu semua tindakan awal yang dikerjakan bertujuan untuk mempersiapkan bayi dilakukan pembedahan segera atau tertunda. Pengelolaan awal terhadap pasien atresia esophagus dengan fistula trakeoesofagus bertujuan untuk menghindarkan terjadinya kompliksai ke paru – paru dan membuat kondisi pasien optimal untuk dilakukan pembedahan definitive. Setelah diagnosis ditegakkan, bayi diletakkan dalam penghangat atau incubator posisi setengah duduk sekitar 60 untuk mencegah refluks cairan gaster, dilakukan pengisapan aktif terhadap saliva agar tidak terjadi aspirasi. Berikan cairan intravena untuk replecement cairan tubuh dan nutrisi, antibiotik untuk mencegah infeksi jika keadaan umum bayi baik dan optimal untuk pembedahan definitive anastmosis esophagus dapat segera dilakukan tergantung kemampuan fasilitas dan tenaga medis yang melakukannya. Pembedahan bertahap dilakukan jika bayi mengalami pneumonia, sepsis, terdapat kelainan jantung, prematuritas, terduga, jarak esophagus proksimal dan distal cukup jauh, kondisi pernafasan pasien tidak baik. Tahapan tindakan yang dilakukan dengan melakukan gastrostomi untuk mencegah refluks isi gaster ke paru – paru, pemberian nutrisis,

50

Page 51: SPM

melakukan esofagostomi untuk drainase saliva sehingga mencegah aspirasi. Berbagai tehnik pembedahan dapat dikerjakan dalam upaya untuk membuat anastomosis esophagus, melalui pendekatan retropleura dicari segmen esophagus atas kemudain segmen esophagus bawah diasproksimasi untuk dilakukan anastomisis. Agar tidak terjadi ketegangan maka esophagus distal dapat diperpanjang dengan lengthening. Jika jaraknya terlalu jauh maka dikerjakan transposisi kolon atau membuat gastric tube. Pengelolaan pascabedah lebih ditujukan untuk mempertahankan pernafsan bayi sehingga bayi membutuhkan pernafsan bantuan sampai kondisi stabil. Selanjutnya untuk mempertahankan potensi esophagus dilakukan dilatasi rutin terhadap esophagus sehingga kaliber esophagus dapat dipertahankan sekitar 14 F selama 10 – 14 hari.

V. Komplikasi :Komplikasi pasien bedah yang seringkali ditemukan terjadi pneumotorak, kebocoran anastomis esophagus, kebocoran trakea, insufisiensi pernafasan berkepanjangan. Sedangkan komplikasi lambat terjadinya striktur esophagus, retensi makanan pada bagian atas anastomosis, gastreoesofageal refleks, obstruksi jalan nafas, infeksi paru – paru berulang, kekambuhan trakeoesofageal fistula.

VI. Prognosis :Prognosisnya sangat bergantung pada kondisi awal bayi dan kemampuan pengelolaannya serta tindakan pembedahan definitive yang dilakukan.

51

Page 52: SPM

HERNIA DIAFRAGMATIKA

I. Definisi :Hernia diafragmatika intra abdomen melalui defek congenital pada diafragma menimbulkan distress pernafasan berat pada saat bayi lahir. Paling sering hernia terjadi melalui foramen bochdalek sebagai defek posterolateral dari diafragma akibat kegagalan penutupan canal pleuroperitoneal pada usia janin 8 – 10 minggu kandungan. Delapan puluh lima persen terjadi di sisi kiri dan memberikan gejala dalam beberapa jam setelah bayi lahir. Penyebabnya tidak diketahui.

II. Patofisiologi :Terganggunya perkembangan paru – paru akibat desakan seluruh organ intratoraks kearah sisi kiri berlawanan menimbulkan keadaan sebagai berikut :a. Terdapatnya hipoplasi paru –paru berat disertai berkurangnya jumlah permukaan

alveolus untuk pertukaran gas dan berkurangnya pembuluh darah paru – paru.b. Terdorongnya jantung kearah sisi berlawanan dapat menyebabkan hipoplasi juga

terjadi pada paru – paru kontralateral.c. Lapisan otot pembuluh darah arteri pulmonaris menebal sehingga terjadi

peningkatan resistensi pembuluh darah pulmoner.

III. Gambaran klinis :A. Distress pernafasan berat beberapa menit setelah bayi lahir akibat penekanan yang

ekstensif paru – paru. Pada tahap awal perhatikan terjadinya disapnea, sianosis dan takipnea. Makin awal gejala terlihat memperlihatkan besarnya derajat hipoplasi pulmoner berarti prognosisnya semakin buruk.

B. Pada hernia yang ringan pada awalnya tanpa gejala namun setelah bayi lahir menelan udara maka saluran pencernaan distensi hingga paru – paru tertekan menimbulkan distress pernfasan.

C. Kemampuan hidup bayi berhubungan langsung dengan usia saat gejala timbul. Pada bayi yang gejalanya timbul setelah 8 jam setelah lahir, angka kemampuan hidupnya mencapai 90%, sedangkan bayi yang gejala distress pernafasan telah

52

Page 53: SPM

muncul pada 8 jam pertama usia bayi baru lahir, hanya 1 dari 3 bayi yang hidup. Terhadap bayi tersebut sebaiknya dilakukan pembedahan lebih dini. Hernia diafragmatika congenital merupakan kedaruratan medik neonatusvpaling sering ditemukan. Identifikasi yang cepat dan segera dilakukan rujukan untuk terapi pembedahan sangat diperlukan pada kasus seperti ini untuk mendapatkan kesempatan mempertahankan kehidupan bayi.

D. Hernia diafragmatika tanpa gejala kadangkala ditemukan juga, terutama jika pada sisi kanan, pasien tidak memperlihatkan gejala apapun dalam beberapa hari bahkan sampai bulan, hal ini karena terjadi karena hepar menghalangi proses herniasi organ intra abdomen. Ditemukan beberapa kasus terjadi hernia sisi kanan diafragmatika karena berkaitan dengan infeksi strestokokus pada neonatus.

IV. Diagnosis :A. Distress pernafasan yang terjadi setelah beberapa jam bayi lahir dapat di curigai

akibat hernia diafragmatika.B. Pemeriksaan fisik memperlihatkan abdomen skafoid dan suara jantung bergeser

ke sisi berlawanan. Suara nafas menurun sampai menghilang. Ada atau tidaknya bising usus tidak dijadikan pedoman karena suara usus mudah diteruskan dari abdomen pada berbagai keadaan tertentu.

C. Pemeriksaan foto toraks memperlihatkan tidak terdapat udara yang banyak pada jam pertama kelahiran bayi karena usus belum berisi udara, umumnya terlihat massa dirongga toraks. Pemeriksaan foto toraks ulang setelah 15 – 30 menit kemudian akan memperlihatkan udara yang banyak dirongga toraks sehingga diagnosis dapat ditegakkan. Foto dalam posisi tegak perlu dibuat untuk membedakan nya dengan kista paru –paru congenital atau malformasi adenomatoid kistika, karena kadang – kadang keadaan tersebut dapat membuat kita keliru.

D. Jika terjadi keraguan pasang pipa lambung ke dalam lambung sehingga pada pemeriksaan foto terlihat lokasi dari gaster.

E. Untuk menegakkan diagnosis pemeriksaan gas darah tidak diperlukan, tetapi untuk menentukan progresivitas hipoksia, hiperkapnea dan asidosis pemeriksaan gas darah penting dilakukan.

V. Permasalahan pada hernia diafragmatika:A. Asidosis respirasi, hiposemia, hiperkapnea terjadi karena terganggunya

pertukaran gas oksigen dan karbondioksida akibat erkurangnya jaringan paru paru.

B. Asidosis metabolic terbentuk dengan cepat karena rendahnya perfusi jaringan perifer akibat rendahnya kadar oksigen darah.

C. Persisten fetal circulation ( PFC ) terjadi karena kegagalan vasodilatasi pulmoner, yang seharusnya sudah terjadi begitu bayi lahir. Keadaan ini dipicu oleh

53

Page 54: SPM

terjadinya hipoksia, hiperkapnea, dan asidosis. Terjadinya right to left shunting memberikan kontribusi terhadap hipoksemia dan asidosis perifer.

D. Terjadinya kerusakan pada paru – paru yang hipoplasi akibat hipoksia, hiperkapnea, dan asidosis menimbulkan perdarahan intertisial, udema dan deposisi timbulnya pseudohialin membran, yang selanjutnya akan lebih mengancam pertukaran gas.

E. Terjadi tension pneumotoraks akibat dilakukan ventilasi dengan tekanan tinggi terhadap bayi, karena tidak adanya respon terhadap resusitasi yang dilakukan, dikerjakan tekanan yang berlebihan pada ventilasi sehingga terjadi kerusakan tambahan pada paru – paru yang hipoplasi berakibat alveolus ruptur.

VI. Indikasi pembedahan :Adanya hernia diafragmatika merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan, karena tidak ada terapi non medis yang dapat mengatasinya. Tidak terdapat kondisi neonatus lain yang mempunyai penekanan untuk segera dilakukan pembedahan untuk menyelesaikan masalah selain kasus ini

VII. Persiapan prabedah :A. Penanganan awal :

1. Keterlambatan terapi merupakan kesalahan terbesar yang sering dilakukan sehingga hasil ahirnya menimbulkan pasien yang terbengkalai.

2. Tindakan resusitasi nafas pada hernia diafragmatika congenital tidak mungkin memberikan hasil sampai hernianya dilakukan reposisi kedalam rongga abdomen, sehingga paru paru dapatmelakukan ventilasi.

3. Pipa lambung nomer 14F harus dipasang kemudian dihisap aktif untuk mengurangi distensi usus yang akan mengancam paru paru.

4. Cegah terjadinya kehilangan panas badan bayi karena hipotermi akan menimbulkan asidosis dan meningkatnya kebutuhan oksigen.

5.Pemasangan infus perlu dilakukan disertai pengambilan contoh darah arteri untuk pemeriksaan gas darah.

6.Permberian bikarbonat akan menurunkan asidosis namun hasilnya terbatas sekali, kecuali setelah paru paru dapat dilakukan ventilasi.

7.Pemasangan pipa trakea harus dilakukan walaupun pasien dapa bernafas dengan baik karena perubahan pernafasan akan terjadi dengan cepat sehingga selama pasien belum mendapat penanganan definitive ancaman terhadap pernafasan yang adekwat masih akan terjadi.

8. Pernafasan bantuan, harus diberikan dengan frekwensi yang cepat dengan tekanan rendah ( < 35 cm H2O ) sehingga dapat mengurangi C02 namun mencegah alveolus ruptur dan mengurangi kemungkinan terjadi pneumotoraks.

B. Persiapan pembedahan ;1.Resusitasi prabedah dikerjakan sebelum pasien dilakukan pembedahan difintif.2.Pembuatan foto toraks posisi tegak dikerjakan bila sebelumnya tidak ada.3.Tempatkan bayi pada ruangan dengan pengatur suhu badan agar tetap normal jika

kemungkinan mempergunakan selimut pemanas ( warming blankit ) dan warmed ventilatory gasses.

54

Page 55: SPM

4.Pemmasangan arteri dan vena line diperkuat, dan pengambilan contoh darah untuk pemeriksaan gas darah harus segera dilakukan. Pernafasan bayi dipertahankan dan diperbaiki oleh ahli anestesi pediatri agar oksigen jaringan dapat diperbaiki dan asidosis berkurang, berikan bikarbonat 1 mEq / Kg BB.

5.Jika memungkinkan pertahankan agar PaO2 diatas 100 mm Hg dengan memberikan ventilasi oksigen 100 % jika tidak merupakan suatu tanda prognosisnya buruk.

VIII. Pembedahan :A. Anestesi :

Karena dibutuhkan pemberian oksigen 100% maka bahan inhalasi tidak selalu dibutuhkan sehingga dipergunakan analgesia dan pelemas otot intravena. Ventilasi yang diberikan frekwensinya tinggi dengan tekanan yang rendah sehingga terjadi pertukaran gas yang optimal dengan mengurangi kemungkinan ruptur alveolus paru – paru yang belum matang atau kemungkinan terjadinya tension pneumotoraks.

B. Tehnik pembedahan :1. Insisi tranversal abdomen atas memberikan lapangan operasi sangat baik

untuk reposisi hernia diafragmatika dan memperbaiki defeknya. Selain itu akan mempermudah melakukan pemeriksaan terhadap usus akan kemungkinan terjadinya malformasi, karena sebagian besar pasien mengalami malrotasi usus yang memerlukan perbaikan.

2.3. dilakukan pemasangan pipa lambung panjang ke seluruh bagian usus yang

bisa dicapai sehingga dapat diisap seluruh isi saluran penceraan untuk mempermudah reposisi usus dari rongga pleura.

4. Kantong hernia yang ditemukan harus dieksisi pada saat memperbaiki defek diafragma.

5. Pada sebagian besar kasus, defek diafragma dapat ditutup primer dengan melakukan penjahitan mattres dengan bahan non absorble yang kuat. Pada defek yang lebar diperlukan pemasangan Dacron mesh. Pemasangan pipa toraks diperlukan melalui lobang yang dibuat diluar insisi pertama.

6. Setelah hernia tereposisi paru – paru tidak perlu dikembangkan karena pemberian tekanan udara yang tinggi akan menyebabkan alveolus paru – paru yang hipoplasi pecah sehingga terjadi kebocoran udara secara berkelanjutan dan menimbulkan komplikasi pascabedah.

7. Penutupan dinding abdomen masih mungkin dilakukan walaupun rongga peritoneum selalu lebih kecil dari normal. Jika perlu otot – otot abdomen dapat direnggangkan, disertai dengan melakukan pengosongan isi usus dengan melakukan milking secara hati – hati agar volumenya berkurang. Pada kasus yang sulit dilakukan penutupan abdomen karena terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen maka dilakukan penjahitan kulit saja dengan satu lapis jahitan atau dipasang bahan prostesis.

55

Page 56: SPM

8. Pipa toraks tidak perlu dilakukan penghisapan namun sebaiknya dipasang stop cook dengan semprit sehingga pascabedah dapat dilakukan pengurangan atau penambhan udara sesuai dengan kebutuhannya, agar mediastinum dapat berada ditengah – tengah sehingga tidak enimbulkan ekspansi terlalu kuat ke paru – paru kontralateral. Jika pipa toraks dihubungkan ke mesin penghisap atau water seal tekanan positif ventilasi akan menimbulkan ekspansi berlebihan secara gradule terhadap paru – paru kontralateral dan menimbulkan aliran udara kearah sisi tempat yang dilakukan operasi. Bantalan udara dipelihara dengan membiarkan hemitoraks yang dilakukan pembedahan mengalami sumbatan sebagai pencegahan.

9. Sebaiknya dipasang arteri line melalui arteri umbilicalis untuk pengambilan contoh darah post ductal.

IX. Perawatan pascabedah :Pengelolaan pascabedah terhadap bayi ini merupakan kesulitan terbesar dalam bidang bedah anak. Dalam 48 jam pertama dibutuhkan perawatan yang memadai oleh dokter dan paramedis yang berpengalaman dalam bidang ini terutama dalam hal pengaruh fisiologi dan terapinya sendiri.Beberapa kesalahan yang patut diketahui :a. Pasien harus dikelompokkan

bergantung pada beratnya penyakit dan prognosisnya seperti metode yang dikemukakan oleh Collins sebagai berikut :1. Bayi kelas 1; tidak mengalami

hipoksia yang kritis dan umumnya bertahan hidup dengan pengelolaan biasa. Bayi ini mempunyai jaringan paru – paru yang cukup fungsinya.

2. Bayi kelas 2 ; PO2 Post ductal arteri tidak pernah mencapai diatas 100 mm Hg, dalam waktu 1 jam dengan ventilasi maksimal memakai oksigen 100% bayi ini mempunyai fungsi jaringan paru paru yang tidak adekwat dan tidak mampu hidup kecuali dengan terapi.

3. Bayi kelas 3 ; PO2 arteri post ductal mencapai diats 100 mm Hg, diats 1 jam tetapi kemudian mengalami deteorisasi. Bayi semacam ini tampaknya mempunyai paru – paru yang cukup berfungsi tetapi mengalami shunting sehingga sirkulasi vetal menetap atau mungkin menimbulkan kerusakan terhadap paru – paru pada sisi yang tidak dilakukan pembedahan sehingga mempengaruhi pertukaran gas.

b. Tujuan primer perawatan pascabedah untuk menangani pasien kelompok marginal ( bayi kelas 3 ) agar tetap bertahan hidup dengan melakukan pencegahan terhadap 2 kelompok besar komplikasi yaitu ;

56

Page 57: SPM

1. Sirkulasi fetal persisten akibat vasokontriksi pulmoner, sehingga terjadi shunting dari kanan ke kiri melalui ductus dan foramen ovale.a. Dengan sangat

sensitivenya pembuluh darah paru – paru terhadap oksigen, CO2 dan PH, maka sirkulasi fetal persisten sebaiknya dicegah dengan menghindarkan terjadinya hipoksia, hiperkapnea dan asidosis melalui ventilasi yang adekwat.

b. Mencegah sirkulasi fetal persisten merupakan keadaan yang sangat kritis, karena dengan munculnya hal ini kadangkala menyebabkan terapi tidak efektif.

2. Kerusakan pada paru – paru yang masih baik ( pada sisi yang tidak dilakukan pembedahan ) ; juga dapat teradi karena hipoksia, hiperkapnea dan asidosis serta overdistensi skunder akibat tekanan ventilasi yang berlebihan atau akibat hisapan kontralateral.

c. Pengelolaan ventilasi secara rinci merupakan factor penting untuk mencegah sirkulasi fetal persisten dan keruskan pada paru – paru yang tidak dilakukan pembedahan.1. Pasien harus dibuat paralysis, jika pasien tidak paralisis maka pasien akan

melawan alat bantu pernafasan sehingga mempengaruhi pernafasan. Dianjurkan memberikan pavulon atau pancuroneum roomide 0,5 – 1,0 Mg/Kg BB dibagi dalam 4 X pemberian.

2. Ventilasi yang rendah dengan atau tanpa memberikan end respiratory tresure ( CPAP ) dan Oksigen 100%, sudah cukup memberikan penurunan PA CO2 sampai kadar dibawah normal ( 30 –35 mm Hg ) melalui over ventilasi.

3. Tidak melakukan penyapihan pasien dari alat bantu pernafasan dalam waktu 36 jam dan pada kasus yang berat bahkan dibutuhkan waktu yang lebih lama.

4. Diberikan bolus bikarbonat 1 mEq / Kg BB untuk memperbaiki asidosis metabolic, tetapi akan menjadi tidak efektif jika oksigenasi darah adekwat yang belum dicapai.

5. Mediatinum tetap diusahakan disentral untuk mencegah overdistensi paru - paru yang sehat. Jika perlu dimasukkan udara sedikit demi sedikit atau tiba – tiba melalui pipa torak yang telah dipasang. Pembuatan foto toraks lebih sering dikerjakan setiap 1 jam pada 4 – 8 jam pertama dan setiap 4 jam pada 24 jam berikutnya untuk menentukan posisi mediastinum serta mendeteksi adanya pneumotoraks lebih awal.

6. Pneumotorak kontralaterral paling baimdicegah dengan memberikan ventilasi tekanan darah naum jika terjadi secepatnya dipasang pipa toraks. Pemasangan pipa toraks pada sisi rongga toraks yang tidak dilakukan pembedahan dianjurkan untuk mencegah komplikasi.

57

Page 58: SPM

7. Diperlukan pemantauan yang ketat melalui penentuan PA O2. PACO2 dan PH lebih sering untuk mengatur ventilasi. Secara berkala dilakukan pemeriksaan elektrolit, hematokrit dan gula darah.

8. Ekstra korporal membrane oksigenetion ( ECMO ) untuk beberapa kasus memberikan banyak keberhasilan untuk terapi bayi dengan hernia diafragmatika yang tidak mapu mempertahankan pertukaran gas secara adekwat pascabedah. Melakukan bypass terhadap paru paru dilakukan untuk beberapa hari sampai minggu.

X. Komplikasi :A. Komplikasi pembedahan meliputi

1.Trauma organ intraabdomen pada saat reposisi hernia.2.Trauma kelenjar adrenal akibat kesalahan melakukan penjahitan pada saat

memperbaiki defek diafragma.3.Kerusakan terhadap paru – paru yang kolaps karena upaya untuk

mengembangkannya.B. Komplikasi lanjut paska bedah :

1. Insufisiensi pernafasan yang persisten2. Hernia berulang3. Infeksi pada bahan penutup yang dipergunakan.

XI. Prognosis :Sebagian besar bayi yang tidah bertahan hidup karena mempunyai malformasi yang multiple dan berat terutama pada jantung, sedangkan bayi yang dapat hidup umumnya tidak mempunyai kelainan sehingga berikutnya dapat hidup normal. Karena paru – paru neonatus mempaunyai kemampuan regenerasi paru – paru yang baru, sehingga bayi yang bertahan hidup tidak mempunyai ancaman pernafasan pada kehidupan selanjutnya.

58

Page 59: SPM

OMPHALOCELE PECAH DAN GASTROKISIS

I. Definisi :

Omphalocele :Defek dinding abdomen di daerah tali pusar karena gangguan penutupan secara kongenital pada janin usia 8 minggu di dalam kandungan, sehingga isi rongga abdomen seperti hepar dan usus halus berada diluar rongga abdomen, hanya di tutupi lapisan peritoneum, dengan besar defek berkisar antara 2-15 cm.

Gastroskisis :Kegagalan penutupan dinding abdomen secara kongenital di sekitar umbilicus (umumnya di sebelah kanan umbilicus), sehingga usus halus dan atau sebagian kolon berada di luar rongga abdomen (jarang ditemukan hepar atau lien) tanpa ditutupi oleh peritoneum atau lapisan dinding abdomen lainnya, dengan lebar defek umumnya kurang dari 5 cm.

59

Page 60: SPM

Secara bersamaan omphalocele dan gastoschisis dapat disertai kelainan lain seperti :1. Exstrophy cloaca :

Omphalocele disertai agenesis hindgut, imperforasi anus, exstrophy vesika urinaria, dan vesikointestinal fistula.

2. Pentalogy Cantrell :Omphalocele epigastrium, celah sternum, kelainan jantung kongenital, tidak terbentuknya diafragma sentral dan pericardium.

II. Patofisiologi kelainan :

A. Pada omphalocele :- karena organ intra bdomen yang berada di luar rongga abdomen masih di bungkus peritoneum jarang terjadi trauma maupun iritasi langsung oleh cairan amnion.- jika peritoneum pembungkus pecah terjadi iritasi cairan amnion terhadap

usus, atau terjadi trauma pada organ intra abdomen pada saat persalinan. - karena organ abdomen sejak awal berada diluar maka rongga abdomen tidak terbentuk dengan sempurna. - sering bersamaan dengan kelainan kongenital organ lainnya terutama kelainan saluran pencernaan.

B. Pada gastroskisis :- karena dinding abdomen tanpa pembungkus maka organ abdomen

terendam dalam cairan amnion dengan segala konsekwensinya.- iritasi usus oleh cairan amnion menyebabkan usus kaku.- tidak terfiksirnya usus memudahkan terjadinya volvulus sehingga usus

mengalami gangguan vaskularisasi, edema dan menebal, dan usus tampak memendek dari normal.

- rongga abdomen tidak terbentuk sempurna sehingga menimbulkan diskrepansi antara usus dan rongga abdomen.

- jarang disertai dengan kelainan organ lainnya karena umumnya gastroskisis terjadi pada fase akhir kehidupan janin dalam kandungan.

III. Diagnosis :Ditegakkan secara klinis maupun radiologis dengan ultrasonografi janin dalam kandungan (prenatal diagnosis).

IV. Permasalahannya :A. Umum

1. Dapat mengalami hipotermia.2. Dehidrasi dan hipovolumia.3. Infeksi organ-organ intra abdomen.

B. Khusus 1. Omphalocele :

60

Page 61: SPM

Dapat disertai kelainan congenital lain, pada sekitar 50% kasus seperti:

a. Trisomy 13, 18,21.b. Bekwith-Wiedeman syndrome terdiri dari : omphalocele,

macroglossia, facial nervus flammeus, indented ear lobe, microcephally dan hiperplasi dari ginjal, pancreas dan hepar disertai hippoglikemia hebat.

c. Kelainan jantung kongenital.d. Kelainan genitourinarius, neurologis dan skeletal.e. Malrotasi usus, diverticulum Meckel’s atresia intestinalis

dan duplikasi.2. Gastroskisis :

a. Umumnya bayi lahir prematureb. Sebagian besar mengalami malrotasi intestinalis.c. Terdapat diverticulum Meckel’sd. Mengalami atresia intestinalis karena sebelumnya terjadi

iskemi usus akibat volvulus intra uterine karena semua usus tidak terfiksir.

e. Usus-usus mengalami pemendekan sehingga menimbulkan malabsorpsi.

V. Pengelolaan :A. Awal :

1. Resusitasi pasien :a. pemberian cairan intravena sesuai kebutuhanb. pemasangan nasogastric tube 10-12c. pemberian antibiotik spectrum luas sesuai kebutuhand. bungkus isi rongga abdomen yang berada di luar dengan

kasa atau bahan steril dan dibasuhi dengan NaCL hangat (cairan fasiologis)

e. tempatkan bayi dalam inkubator untuk mempertahankan suhu bayi optimal.

2. Persiapan pembedahan :a. Periksa fisik pasien untuk mengetahui terdapatnya kelainan

kongenital lainnya.b. Pemeriksaan laboratorium standar : darah tepi rutin, faal

hemostasis.c. Pembuatan foto rontgent paru-paru dan abdomend. Siapkan ruang perawatan intensif pasca bedahe. Siapkan transfusi darah segera.

B. Definitif :Prinsip :

1. memasukkan ke seluruh organ abdomen yang berada di luar abdomen

2. menutup dinding abdomen secara primer atau skunder.teknis operatif :

61

Page 62: SPM

1. penutupan primer : keluarkan seluruh isi saluran pencernaan melalui NGT atau rectum setelah pasien dalam keadaan teranestesi renggangkan dinding abdomen secara manual dengan jari tangan seluruh organ abdomen yang berada diluar dimasukkan ke dalam rongga abdomen secara hati-hati agar tidak menimbulkan peningkatan tekanan intra abdomen. defek pada dinding abdomen ditutup lapis demi lapis, jika tidak memungkinkan maka penutupan dilakukan dengan menjahit kulit saja setelah dilakukan “counter incisi” kulit di sebelah kanan dan kiri defek.2. penutupan bertahap.Tahap I : organ abdomen yang berada di luar dibungkus dengan bahan

sintetis steril (mesilk, mesk, salastic, dll) yang dijahitkan pada portonium tempat defek dinding abdomen.

bahan sintetis (mesh) pembungkus tersebut selanjutnya dibuat seperti bentuk silinder yang ujungnya dapat diputar secara perlahan-lahan untuk membuat organ abdomen masuk kedalam rongga abdomen.

Tahap II : setelah epitilisasi dan pembentuk kulit lengkap pada seluruh defek bahan sintetis (mesh) dicabut bertahap jika masih terdapat defek kulit dapat dilakukan “skin graft”.

Perawatan pascabedah

1. Ancaman terhadap distress pernafasan sehingga pasien sebaiknya dirawat intensif dengan bantuan pernafasan untuk beberapa hari.

2. Starus vena cava interior membuat tekanan organ abdomen dalam rongga abdomen yang sempit akan menyebabkan udem dan sianosis kedua tungkai bawah dan dapat menimbulkan penurunan curah jantung (cardiac output) karena penurunan venous return dengan segala akibatnya.

3. Penilaian fungsi saluran cerna seperti defekasi resorpsi, makanan dan lain-lainnya setelah pasien dirawat beberapa hari pasca bedah.

Komplikasi :A. awal :

1. Infeksi bahan sintetis pada kasus dengan penutupan bertahap2. Obstruksi intestinalis.

B. lanjut :1. Hernia abdomen

62

Page 63: SPM

2. Malabsorbsi intestinalisPrognosis :

1. Pada omphalocele tergantung pada kelainan congenital lain yang menyertai2. Pada gastroskisis sangat ditentukan kelainan terhadap pasien dan kondisi saluran

cerna dan kemampuan memberikan nutrisi.

OBSTRUKSI SALURAN PENCERNAAN PADA NEONATUS

I. Definisi :

Obstruksi saluran pencernaan pada bayi baru lahir (newborn) disebabkan karena malformasi mulai ari pylorus sampai anus. Muntah hijau (bilious) pada neonatus merupakan gejala terjadinya obstruksi saluran pencernaan sampai dapat disingkirkan terdapat penyebab yang lain.

II. Patofisiologi :

Patofisiologi terjadinya gejala sebagai akibat peningkatan sekresi intestinal dan penurunan absorbsi sehingga terdapat akumulasi isi lumen saluran pencernaan dan menyebabkan dilatasi serta udema dinding saluran penceranaan. Kondisi ini

63

Page 64: SPM

dapat diperberat juga dengan tertelannya udara kedalam saluran pencernaan sehingga dapat menimbulkan :

1. tekanan pada diafragma yang akan mengganggu pernafasan bayi.2. Hiperperitalsis dan akumulasi cairan dalam lumen saluran

pencernan berakibat terjadi gerakan peristalsis membalik sehingga bayi muntah.

3. Gangguan keseimbangan elektrolit akibat keluarnya isi saluran pencernaan melalui muntah baik pada obstruksi usus tinggi maupun rendah.

4. Kehilangan cairan tubuh (dehidrasi akibat skuestrasi cairan dalam lumen usus akan menurunkan sirkulasi darah dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan syok hipovolumik.

5. Metabolik asidosis sebagai akibat rendahnya perfusi jaringan tubuh karena kurangnya resorbsi dalam usus dan terjadinya dehidrasi maupun syok hipovolumik.

Manifestasi klinis akibat obstruksi saluran pencernaan sangat bergantung pada lokasi obstruksi pada saluran pencernaan serta resiko yang ditimbulkannya.

III. Gejala Klinis :

Obstruksi usus pada umumnya akan menimbulkan gangguan pasase isi lumen sehingga pasien tidak dapat defekasi maupun flatus sebagai gejala klinis yang dikeluhkan oleh orang tua pasien. Tidak keluarnya mekonium pada bayi baru lahir merupakan gejala yang sering ditemukan sebagai gejala awal namun harus dilihat apakah bayi mempunyai lubang anus. Namun demikian keluarnya mekonium pada bayi baru lahir perlu dikaji dari segi kwalitas dan kwantitasnya karena beberapa kasus obstruksi saluran pencernaan congenital seperti atresia ileum maupun obstruksi lebih tinggi lagi seringkali mekonium masih dapat deluar namun kwalitasnya tidak normal, keluarnya sedikit-sedikit dan berwarna pucat.

Distensi abdomen dan muntah-muntah merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan, terutama jika lokasi obstruksi saluran pencernaan rendah seperti ileum, kolon, maupun anorektum. Sedangkan jik obstruksi terjadi pada lokasi lebih tinggi seperti duodenum atau jejunum, gejala muntah-muntah sangat menonjol tanpa jelas terlihat adanya distensi abdomen.

Pemeriksaan fisik abdomen akan memperlihatkan gambaran obstruksi usus pada umumnya, gambaran peristaltic terlihat didinding abdomen, bisisng usus meningkat namun jarang terdengar suara metalik. Pada palpasi dan perkusi terdengar timpani maupun ketegangan pada dinding abdomen. Jika telah terjadi komplikasi perfusi usus akan didapatkan gambaran peritonitis. Tidak terdapatnya lubang anus akan membuat diagnosis malformasi anorektum sebagai penyebab obastruksi usus. Obstruksi saluran pencernaan yang lanjut memberikan komplikasi yang berat seperti, syok hipovolumik, dehidrasi sampai sepsis.

IV. Diagnosis :

64

Page 65: SPM

Diagnosis lebih banyak didasarkan pada gejala klinis yang spesifik seperti terdapatnya gejala muntah dan distensi abdomen pada bayi baru lahir. Terabanya “calay like loops” pada usus merupakan gambaran khas meconium ileus. Gejala klinis ini akan berkurang setelah dilakukan pemeriksaan rectum dengan keluarnya feses cair yang menyemprot disertai dengan berkurangnya distensi abdomen dapat di duga disebabkan penyakit Hirschsprung’s ; enterokolitis nekrotikans akan mudah ditegakkan diagnosisnya jika bayi lahir dengan tindakan atau terdapat riwayat persalinan patologik, kemudian setelah bayi lahir dalam beberapa hari mengalami distensi abdomen akut dengan keadaan umum yang memburuk dan tanda-tanda obstruksi usus.

Penunjang diagnosis dengan pemeriksaan foto polos abdomen akan membantu dalam menentukan lokasi obstruksi saluran pencernaan melalui gambaran udara dalam lumen usus yang terlihat. Jika dalam foto polos abdomen tersebut terlihat hanya gambaran satu gelembung udara di bagian proksimal dan gambaran udara merata dalam saluran pencernaan lainnya, ini merupakan tanda terdapat obstruksi di daerah pylorus. Gambaran “double bubble” udara dalam lumen usus bagian proksimal merupakan gambaran terjadinya sumbatan di daerah duodenum atau pancreas anulare. Tetapi jika gambaran ini disertai gambaran udara pada bagian distal saluran pencernaan kemungkinan akibat obstruksi parsial setinggi duodenum karena stenosis atau malrotasi usus. Gambaran udara lebih dari dua gelembungkemungkinan akibat obstruksi di daerah jejunum, sedangkan jika terdapat gelembung udara lebih banyak disertai gambaran “air fluid level” sebagai petunjuk terdapat obstruksi didaerah ileum dan atau kolon. Pada keadaan ini dibutuhkan pemeriksaan radiology tambahan seperti enema bariun jika gejala klinis yang menyertai tidak jelas. Pada penyekit Hirschsprung’s gambaran foto polos akan memperlihatkan tidak tedapat udara di daerah rongga pelvis, dan pemeriksaan enema bariun akan terlihat jelas gambaran daerah saluran pencernaan yang aganglionis menyempit dilanjutkan dengan gambaran berbentuk corong di daerah transisi dan daerh melebar pada bagian usus yang berganglion karena terjadi pelebaran kolon yang disebut megakolon. Dengan pemeriksaan enema bariun gambaran yang ditemukan akan dapat membedakan kelainan sebagai berikut :

Penemuan dalam foto : Kelainan yang terjadi :1. Mikrokolon (kolon patensi

normal dengan lumen sempit )2. Kolon kiri sempit3. Obstruksi daerah kolon4. Dilatasi kolon proksimal,

disertai penyempitan kolon distal dan daerah transisi

5. Kolon normal disertai massa mekonium di kolon kiri

6. Kolon normal

1. Kemungkinan terjadi atresi ileum, mekonium ileus

2. Small left colon syndrome3. Atresi kolon4. Penyakit Hirschprung’s5. Meconium plug syndrome6. Hernia interna, band congenital,

penyakit hirschsprung’s total kolon, ileus obstruksi non mekanis

Keterlambatan diagnosis akan memperbeat kelainan pada saluran pencernaan karena obstruksi yang berkepanjangan akan menimbulkan berbagai komplikasi akibat dilatasi dan distensi usus akan iskemi dinding, menyebabkan mengalami

65

Page 66: SPM

perforasi akibat strangulasi ataupun enterokolitis sehingga terjadi peritonitis umum dengan segala konsekwensinya. Pasien jatuh dalam kondisi syok hipovolumik, metabolic asidosis, sepsis sampai disseminated intravascular coagulatin (DIC).

V. Pengelolaan :

Terapi obstruksi saluran pencernaan adalah pembedahan laparotomi eksplorasi untuk mencari dan mengatasi penyebabnya baik yang bersifat sementara maupun difinitif. Urgensi pembedahan bergantung pada lokasi obstruksi dan terdapatnya komplikasi, jika obstruksi tinggi tanpa komplikasi pembedahan dapat dilakukan berencana setelah dilakukan koreksi gangguan cairan dan elektrolit yang terjadi. Sedangkan jika obstruksi rendah walaupun tanpa komplikasi, pembedahan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadi komplikasi dengan terlebih dahulu memperbaiki keadaan umum pasien dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi. Pada obstruksi usus dengan komplikasi tindakan pembedahan dikerjakan segera setelah perfusi dapat diperbaiki.

Persiapan prabedah sangat penting artinya untuk keberhasilan terapi pasien obstruksi saluran pencernaan terutama dalam upaya memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Pemasangan pipa lambung (nasogastric tube) sejak awal akan membantu menurunkan akumulasi cairan dalam saluran pencernaan bagian atas sehingga tekanan ke diafragma dapat dikurangi serta mencegah muntah-muntah dan aspirasi ke paru-paru. Pada kasus tanpa komplikasi, cairan yang diberikan untuk menutupi cairan yang hilang selama ini, diberikan cairan dextrose 10% dalam lauratan saline (NaCL) 0,225% dalam jumlah yang sesuai dengan berat badan pasien ditambah dengan perkiraan jumlah cairan tubuh yang hilang. Pemberian Kcl untuk koreksi sekitar 4 mEq/L pada setiap 100 ml cairan yang akan diberikan. Pemberian cairan melalui intravena diberikan dengan cepat, sekitar setengah dari perkiraan cairan yang hilang diberikan dalam waktu 4 jam untuk mengembalikan volume cairan tubuh yang beredar dan mengembalikan perfusi jaringan terutama ke ginjal dengan pemantauan produksi urine, pada seluruh perkiraan cairan yang dibutuhkan harus sudah habis dalam 12-16 jam dari saat pemberian. Pada kasus obstruksi saluranpencernaan yang telah mengalami komplikasi resusitasi cairan tubuh dan perbaikan keadaan umum pasien harus dilakukan dengan cepat sehingga pembedahan laparotomi eksplorasi dapat segera dikerjakan. Pemberian antibiotik spektrum luas diberikan sebelum pembedahan dilakukan untuk mencegah infeksi walaupun belum terlihat tanda-tanda sepsis.

VI. Evaluasi :Tergantung kasus sebagai penyebab obstruksi intestinalis dan tindakan

pembedahan definitif yang dilakukan untuk mengatasinya.

66

Page 67: SPM

ATRESIA DUODENUM DAN PANKREAS ANULARE

I. Definisi :

Secara embriologis atresia duodenum terjadi sebagai akibat kegagalan rekanalisasi saat pembentukan “solid cord” stage saluran pencernaan bagian atas janin dalam kandungan kelainan yang terjadi secara anatomis dapat berupa tidak adanya hubungan ke dua bagian duodenum tersebut atau dihubungkan oleh jaringan yang fibrotik diantara kedua bagian tersebut. Sekitar 40% kasus obstruksi duodenum kongenital sebagai akibat adanya sekat (diafragmatic web) didalam lumen duodenum kongenital, selain itu dapat juga terjadi stenosis duodenum, pankreas anulare. Obstruksi duodenum kongenital ini 80% terjadi sebelah distal ampula vater.

67

Page 68: SPM

II. Gejala Klinis :

Sebagai akibat terjadinya obstruksi duodenum akan menimbulkan akumulasi cairan gaster dan sekresi empedu maupun pankreas, menyebabkan terjadinya muntah berwarna hijau (bilious) pada bayi baru lahir atau setelah 1 atau 2 hari kemudian. Keadaan ini menimbulkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit seperti natrium, chlorida, kalium maupun bikarbonat dengan segala konsekwensinya. Karena obstruksi ini telah terjadi sejak bayi dalam kandungan maka sering terdapat riwayat ibu hamil dengan polihidramnion (ditemukan pada 50% kasus). Pasase mekonium pada 30% kasus masih terjadi sehingga seringkali mengelabui dalam menegakkan diagnosis. Distensi abdomen tidak jelas terlihat menyeluruh, umumnya hanya terlihat didaerah epigastrium terutama pada kasus yang terlambat diketahui. Ikterus ditemukan pada 40% kasus akibat terjadinya peningkatan resirkulasi enterohipatik dari bilirubin. Pada stenosis duodenum gejala muntah seringkali agak terlambat terjadi, lebih menonjol terlihat muntah yang intermiten disertai dengan kegagalan peningkatan berat badan bayi (failure tothrive), dengan gejala penyerta pnemonia akibat aspirasi berulang.

III. Diagnosis :

Diagnosis ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan penunjang radiologis dengan pemeriksaan foto polos abdomen. Terlihat gambaran dua gelembung udara “Double bubble” sebagai manifestasi dari pengisian udara gaster dan duodenum. Jika pada pemeriksaan foto tersebut terlihat juga gambaran udara pada saluran pencernaan lainnya menunjukkkan bahwa masih ada udara dapat melewati duodenum ini berarti obstruksi tidak komplit sehingga kemungkinan yang terjadi stenosis duodenum atau malrotasi saluran pencernaan.

IV. Pengelolaan :

Masalah penting pada obstruksi saluran pencernaan akibat atresi duodenum adalah terjadinya dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit tubuh sehingga merupakan kondisi yang harus diketahui dan segera mendapat perhatian untuk dikoreksi. Terdapatnya prematuritas pada hampir 50% kasus merupakan masalah tambahan yang memberatkan dalam pengelolaan, apalagi kasus ini seringkali disertai kelainan kongenital lain seperti trisomy 21 (30%), kelainan jantung, ginjal, CNS dan muskuluslektal pada 33% kasus.

Pengelolaan awal terhadap obstruksi duodenum kongenital ditunjukkan pada perbaikan keseimbangan cairan elektrolit, karena terapi kelainan ini hanya dengan pembedahan untuk memperbaiki pasase saluran pencernaan. Tindakan

68

Page 69: SPM

pembedahan untuk koreksi terhadap penyebab obstruksi duodenum tidak perlu dikerjakan emergensi, karena masih terdapat waktu untuk memperbaiki keadaan umum bayi sampai optimal untuk dilakukan pembedahan. Pembedahan yang saat ini menjadi pilihan untuk mengatasi obstruksi duodenum oleh sebab apapun adalah melakukan anastomis duodenostomi, dimana duodenum bagian proksimal dihubungkan dengan bagian distal melalui sambungan sisi ke sisi (side to side anastomis) dengan salah satu tehnisnya disebut "“diamond shave” anastomis. Jika penyebab obstruksi akibat adanya sekat (web) dapat dikerjakan eksisi sekat dengan perhatian yang serius akan hubungannya dengan muara ampula vater. Pada web lumen duodenum seringkali terdapat “windsock” fenomena dimana sekat memanjang kedalam lumen lebih distal sehingga seringkali lokasi obstruksi tidak sesuai dengan tempatnya, pada keadaan ini perlu dilakukan tes dengan kateter untuk mengetahui posisi dari basis sekat yang sebenarnya

pada dinding duodenum. Mempertahankan pipa lambung pascbedah sangat penting untuk mengurangi tekanan cairan isi gaster pada tempat anastomis sehingga kemungkinan terjadinya kebocoran dapat dihindarkan. Pemberian makanan per oral sebaiknya ditunda sampai 1 minggu atau lebih, sehingga terhadap pasien ini pascabedah pemberian nutrisi parenteral akan dikerjakan pembedahan sampai 2-3 hari pascabedah jika dapat diyakinkan pembedahan tanpa kontaminasi atau tidak terdapat ancaman kemungkinan terjadinya kebocoran anastomis.

V. Komplikasi :

Komplikasi yang paling sering terjadi akibat kegagalan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit sehingga pasien jatuh pada metabolik asidosis berat dengan segala konsekwensinya. Pada saat pembedahan untuk eksisi sekat duodenum seringkali terjadi trauma pada muara ampula vater sehingga berakibat terjadi ikterus pascabedah. Striktur anastomis duodenum pascabedah juga dapat terlihat dari lambatnya pengosongan duodenum pascabedah setelah 3 minggu kemudian, sehingga harus dibuktikan dengan pemeriksaan kontras saluran pencernaan bagian atas.

VI. Prognosis :

Prognosis umumnya baik sekitar 90% kelainan ini dapat diperbaiki dengan pembedahan, namun adanya kelainan kongenital yang menyertai serta keterlambatan pengelolaan akan mempertinggi angka kematian akibat obstruksi duodenum kongenital.

VII. Evaluasi :

69

Page 70: SPM

Untuk penilaian kelancaran dan potensi duodenum dengan saluran pencernaan pada bagian distal, dilakukan evaluasi terhadap fungsi defekasi, pasase usus, gejala muntah dan distensi abdomen. Evaluasi lanjut dilakukan terhadap patensi duodenum karena kemungkinan terdapat penyempitan atau stenosis di daerah anastomosis sering terjadi.

Penyakit Hirschsprung’s

I. Definisi :Tidak terdapatnya sel ganglion pada kolon, sekitar 90% mengenai kolon sigmoid dan rektum, sehingga menimbulkan gangguan peristaltik usus yang berakibat terjadinya obstruksi usus fungsional.

70

Page 71: SPM

II. Patofisologi :Kegagalan umum parasimpatis pada kolon menyebabkan peristaltik usus hilang sehingga profulsi feses dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon dibagian proksimal daerah aganglionis sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut, dan atau khronis tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi khronis menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemi disertai iritasi feses menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat bahkan terjadi sepsis sampai gejala septik akibt dehidrasi dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihanu. Pada anak lebih besar enterokolitis khronis menimbulkan hipoproteinemia akibat hilangnya protein melalui ulkus mukosa.

III. Gejala klinis :A. Pada bayi baru lahir dan usia beberapa minggu :

1. obstruksi intestinalis akut distensi abdomen massive muntah hijau gangguan defekasi : konstipasi dehidrasi sampai syok

2. konstipasi khronis terdapat obstruksi intestinalis parsial berulang distensi abdomen diare

3. enterokolitis akut atau khronis diare khronis atau akut muntah-muntah distensi abdomendemamsepsis

B. Pada anak lebih besar 1. konstipasi sebagai gejala pokok2. perut buncit3. tidak bisa mengedan4. malnutrisi 5. fekaloma

IV. Diagnosis :A. Klinis : berdasarkan gejala klinis sesuai usia pasienB. Penunjang :

1. Biopsi rektum – PA2. Radiologi ;

a. poto polos abdomen 2 posisi, AP, lat dan tengkurap akan memperlihatkan :

71

Page 72: SPM

gambaran obstruksi usus akut/khronis udara tidak mencapai cavum pelvis

b. enema barium memperlihatkan : gambaran daerah rektum yang menyempit, daerah proksimal

yang dilatasi dibatasi daerah transisi. gambaran lipatan mukosa kolon (transversal

fold)3. Laboratorium :

Jika ditemukan gejala komplikasi enterokolitis seperti; syok septik, malnutrisi dan lain-lain.

V. Diagnosis banding :A. Bayi baru lahir dan usia beberapa minggu ;

1. mekonium plug syndrome2. stenosis anus3. prematuritas4. enterokolits netroktikans5. fisura anus

B. Anak lebih besar ;1. konstipasi ok beberapa sebab2. stenosis anus3. tumor anorektum4. fisura anus

VI. Pengelolaan :A. Awal :

1. Bayi baru lahir dan neonatus :a. atasi obstruksi intestinalis dengan intestinal

dekompresi ; pasien dipuasakan dan pemasangan NGT no.8/10 fr pemberian cairan intravena dengan komposisi cairan dextrose

5% dalam 0,225% salin sesuai dengan kebutuhan ditambah 2 mEq KCL/100 cc cairan masuk

pemberian antibiotik prophylasi spektrum luas rectal washing dengan Na CL hangat 10 cc/kg BB/hari (2x sehari)

b. jika gejala obstruksi intestinalis berhasil diatasi pasien disiapkan untuk kolostomi berencana.

2. Anak lebih besar :a. atasi enterokolitis yang menyertai dengan ;

intestinal dekompresi rectal washing pemberian antibiotik spektrum luas

b. persiapan kolostomi berencana

3. jika pada pengelolaan awal gejala obstruksi intestinalis tidak dapat diatasi, maka pasien dipersiapkan untuk laparotomi eksplorasi sehingga dapat langsung dilakukan kolostomi (lavelring kolostomi)

72

Page 73: SPM

B. Lanjut :1. semua pasien penyakit Hirschprung’s yang telah dilakukan

kolostomi sesuai indikasinya segera siapkan untuk pembedahan definitif.2. Pembedahan definitif dikerjakan setelah memenuhi syarat

untuk pembedahan berencana dari segi fisik dan kondisi umum pasien3. teknik pembedahan definitif penyakit Hirschsprung’s ;

a. teknik Duhamel ; tarik terobos kolon retro rektalb. teknik Soave ; tarik terobos kolon endorektalc. teknik Swenson ; tarik terobos kolon dengan

anastomosis langsung ekstra abdomen.

VII. Evaluasi :A. Pasca kolostomi :

1. menentukan adanya enterokolitis dan mencegahnya dengan melakukan irigasi rutin kolon dan rectum melalui “ colorectal washing”

2. evaluasi kaliber kolon pada bagian proksimal kolostomi sebagai indikasi bahwa besar kolon sudah memenuhi untuk dilakukan pembedahan definitif tarik terobos terutama pada bayi dan anak lebih besar.

3. Penilaian kondisi fisik bayi dan anak untuk pembedahan definitif4. Penilaian komplikasi kolostomi seperti ;

a. iritasi kulit dinding abdomen sekitar kolostomib. prolaps kolostomic. inverted kolostomid. struktur lumen kolostomie. pendarahan stoma

B. Pasca pembedahan definitif :a. pendarahan dan iskemi pasca

reseksi kolon untuk tarik terobosb. infeksi ; retro rektal absesc. kebocoran anastomosisd. inkontinensi anuse. striktur anusf. enterokolitis

VIII. Prognosis :Penyakit Hirschsprung’s tanpa komplikasi dan mendapat pengelolaan yang baik dan benar mempunyai prognosis yang baik.

ANUS IMPERFORASI

I. Definisi :

73

Page 74: SPM

Obstruktif malformasi anorektum karena agenesis anus, agenesis rektum dan atresia rektum yang dapat disertai fistule ke perineum, vagina atau saluran kencing bagian bawah.

II. Patologi kelainan :Anus imperforasi memberikan keluhan karena terjadinya obstruksi intestinalis dan adanya fistule sehingga menimbulkan gangguan evakuasi mekonium setelah bayi lahir atau kesulitan defekasi pada usia lebih besar.Kelainan ini dapat disertai adanya kelainan kongenital lain pada vertebra, jantung trakea esofagus, ginjal dan ekstremitas (akronim VACTERL) sehingga dapat memperberat penmpilan klinis dan pengelolaannya.

III. Gejala klinis :a. tidak ditemukannya lubang anus pada bayi baru

lahir sehingga evakuasi mekonium tidak terjadi.b. Terdapat keluhan mekonium keluar bersama-sama saat pasien kencing atau

didaerah perineum atau vagina karena adanya fistule.c. Memperlihatkan gejala obstruksi intestinalis

rendah seperti kembung, muntah hijaud. Pada pemeriksaan fisik, anus tidak ditemukan pada

tempat yang seharusnya, sering ditemukan fistule ke perineum vestibulun vagina sehingga tampak mekonium keluar melalui tempat tersebut.

e. Bayi usia lebih dari 24 jam akan memperlihatkan gambaran obstruksi intestinalis rendah.

f. Pemeriksaaan fisik juga dilakukan untuk mengetahui kelainan kongenital lain yang menyertai anus imperforasi.

2. Diagnosis : Imperforasi anus diagnosis dapat ditegakkan secara klinis karena jika :

I. mekonium keluar pada perineum atau vestibulun vagina dapat ditegakkan diagnosis imperforasi anus dengan fistule ke vestibulun vagina atau kutaneus perineum sehingga diagnosis penunjang tidak perlu dibuat lagi.

II. Jika tidak ditemukan fistule didaerah perineum atau vagina maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti ;

c. urinalis untuk menentukan adanya sel epitel mekonium sebagai petunjuk terdapat fistule antara saluran cerna dengan saluran kencing bagian bawah (jika terdapat riwayat mekonium keluar melalui kencing).

d. Invertogram foto dari lateral pada abdomen dan pelvis untuk menentukan tingginya rectal pouch.

3. Pengelolaan : A. Awal :

74

Page 75: SPM

I. perawatan neonatus bayi baru lahir sehingga harus dirawat bersama dokter anak (pediatri).

II. Jika terdapat fistule perlu dinilai apakah fistule adekuat untuk pasase mekonium. Jika adekuat kolostomi dapat dilakukan berencana secepatnya kondisi bayi stabil dan optimal.

III. Bayi dipersiapkan untuk kolostomi dengan ;c. bayi dipuasakan dan dipasang NGTd. berikan cairan intravena dextrose 5% dalam cairan

salin (NaCL) 0,225% sesuai kebutuhan.e. Pemberian antibiotik spektrum luas untuk

profilaktisIV. jika terdapat perineal band atau membran anus dapat

dilakukan eksisi dengan lokal anestesi untuk evakuasi mekonium dilanjutkan dengan dilatasi dan businasi.

V. Kolostomi dilakukan emergnsi jika tidak ditemukan adanya fistule untuk evakuasi mekonium.

VI. Tempat koostomi di daerah perbatasan antara kolon dessenden dan kolon sigmoid dengan “divided coloctomy” dimana stroma proksimal dan distal diletakkan terpisah. Jika sulit dikerjakan teknik tersebut, kolostomi dikerjakan pada kolon transversum kiri dengan “double bareel colostomy”

B. Lanjut :A. perawatan neonatus dilanjutkan untuk menentukan adanya

kelainan kongenital lain yang menyertai imperforasi anusB. persiapan untuk pembedahan definitif dengan postero

saggittal anorectoplasty pada usia 10 minggu setelah berat badan bayi mencapai 5 kg dengan hemoglobin darah minimal 10 gr%persiapan dilakukan antara lain ;

c. foto distal kolostrogram untuk menentukan letak rectal pouch dengan anal dimple

d. foto kontras saluran kencing (IVP/urogram) dan foto tulang belakang lumbalis.

4. Evaluasi :A. Pasca kolostomi :

I. fungsi kolostomi untuk evaluasi mekonium dan fesesII. komplikasi kolostomi

B. Pasca pembedahan definitifA. penyembuhan luka operatif definitifB. dilatasi dan businasi anusC. kontinensi anus

5. Prognosis :Kontinensi anus baik jika kelainan sederhana dan dikelola dengan baik dan benar.

75

Page 76: SPM

HERNIA INGUNALIS LATERALIS INKARSERATA

I. Definisi : Masuknya abdomen viscus kedalam kantong peritoneum melalui processus vaginalis persisten kemudian terjepit pada anulus intenus kanalis inguinalis sehingga isi kantong tersebut tidak dapat kembali kedalam rongga abdomen

II. Patofisiologi kelainan : I. menetapnya processus vaginalis menyebabkan terjadinya

kantongan yang berhubungan dengan rongga abdomenII. masuknya organ abdomen terutama usus kedalam kantongan

tersebut menimbulkan terjadinya hernia inguinalis lateralis (endorektal)III. peningkatan tekanan intraabdomen akibat bayi/anak

menangis dan atau mengedan akan menyebabkan semakin banyak usus yang mengisi kantong hernia, sehingga terjepit oleh anulus internus kanalis inguinalis

IV. terjepitnya usus dalam kantong hernia akan menimbulkan gejala obstruksi usus mekanius dan tanda-tanda gangguan vaskularisasi usus (strangulasi)

III. Gejala klinis :A. terdapat riwayat adanya benjolan yang timbul hilang di

daerah inguinalB. tiba-tiba benjolan didaerah inguinal menetap dan

memberikan gejala/keluhan nyeri hebat atau menyebabkan bayi/anak rewel dan menangis terus disertai muntah-muntah.

C. Pemeriksaan fisik didaerah inguinal ditemukan benjolan yang keras dan menetap

D. Terdapat tanda-tanda obstruksi intestinal pada pemeriksaan abdomen.

IV. Diagnosis :Ditegakkan secara klinis tanpa diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya.

V. Diagnosis banding :1. hidrokel tunikuli2. abses inguinal3. limtadenopati

VI. Pengelolaan :1. pasien dirawat dan dilakukan :

a. intestinal dekompresi dengan : pasien dipuasakan pemasangan NGT

76

Page 77: SPM

b. pemberian cairan intravena dengan jumlah dan komposisi sesuai kebutuhan

c. pemberian sedativa dan analgesia intravena atau perrectal jika tidak terdapat komplikasi lain.

2 reposisi manual dapat dilakukan dengan cara menekan benjolan hernia secara perlahan-lahan pada saat pasien telah tidur nyenyak

3. jika reposisi berhasil pasien dirawat dengan pengawasan ketat untuk 4 jika reposisi gagal pembedahan dilakukan segera untuk melepaskan jepitan

pada isi kantong hernia.

VII. Evaluasi :A. Pasca reposisi manual :

1. observasi terhadap kekambuhan hernia2. evaluasi adanya tanda-tanda akut abdomen ok perforasi, reposition, un mase dari isi kantong hernia3. persiapan pembedahan hernia berencana

B. Pasca herniotomi segera :1. observasi tanda-tanda komplikasi awal pembedahan hernia

3. evaluasi kekambuhan. pembedahan berencana 48 jam berikutnya.

77

Page 78: SPM

INTUSSUSEPSI

I. Definisi : Masuknya segmen usus proksimal ke segmen usus bagian distal terutama ileum terminalis ke kolon, tanpa menyingkirkan kemungkinan masuknya segmen usus halus ke usus halus atau kolon ke kolon dengan manifestasi klinis gambaran obstruksi dan strangulasi intestinalis.

II. Patofisiologi : Berdasarkan penyebab terjadinya intussusepsi maka patofisiologinya terdiri atas :1. Intussusepsi idiopatik :

Terjadinya hipertropi jaringan limfoid (peyer’s patches) dinding usus merupakan penyebab paling banyak terjadinya intussusepsi. Penebalan ini

dapat sebagai akibat adanya infeksi virus yang menimbulkan gastroenteritis dan atau infeksi saluran nafas atas seperti adenovirus. Daerah dinding usus yang mengalami hipertropi tersebut menyebabkan gangguan pada kontinyuitas gerakan (motilitas) usus sehingga bagian tersebut dapat sebagai bagian intussuseptum dari intussusepsi yang masuk ke dalam segmen usus dibawahnya sebagai intussupien.

2. Intussusepsi dengan “lead point” : Titik awal dari intussuseptum dari intussussepsi merupakan kelainanyang terjadi pada dinding usus halus seperti divertikulum Meckel’s, polip

intestinalis, hematome pasca trauma atau karena Henoch-Schonchelein purpura, limfoma, duplikasi usus dan benda asing dalam lumen usus, kadangkala terjadinya abnormalitas feses karena anak mengalami cystic fibrosis. Intussusepsi karena lead point ini umumnya ditemukan pada anak lebih besar sekitar 5% kasus.3. Intussusepsi pascabedah abdomen dan torak terjadi sebagai akibat gangguan

4. Motilitas saluran pencernaan walaupun tidak ditemukan adanya lead poit. Progresivitas intussusepsi bervariasi tergantung dari timbulnya pembengkakan pada intussuseptumnya, udem dinding usus serta sumbatan aliran vena-venanya sehinga akan menimbulkan :

1. Obstruksi intestinalis yang mengakibatkan dilatasi usus dan hilangnya cairan ke dalam dinding usus, lumen usus dan rongga peritoneum.

2. Perdarahan vena-vena mukosa usus yang mengalami kongesti3. Gangren akibat strangulasi yang tidak diperbaiki.

78

Page 79: SPM

III. Gambaran klinis :Intussusepsi idiopatik merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada bayi usia 6-8 bulan (sekitar 50-85% kasus). Sedangkan intussusepsi dengan lead point dapat terjadi pada semua usia.Gejala klinis paling sering terdapat keluhan ibu pasien, bayi atau anaknya defekasi mengandung darah bercampur lendir. Umumnya bayi dan anak terlihat sehat dengan gizi baik dan terdapat riwayat perubahan pemberian makanan.Setelah mengalami gastroenteritis dan atau infeksi saluran nafas atas dengan terdapat nyeri abdomen intermiten sehingga bayi menangis dan terlihat kakinya menekuk kearah abdomen dalam kurun waktu 20 detik sampai bebrapa menit kemudian bayi menjadi tenang kembali seolah-olah tidak mengalami kelainan. Gejala ini berulang kembali setelah 1 sampai 2 jam berikutnya, namun kadangkala intussusepsi tanpa gejala nyeri ditemukan pada 90% kasus memperlihatkan gejala muntah dan distensi abdomen, kemudian diikuti oleh defekasi mengandung darah dan lendir (currant jelly stool’s) pada 50% kasus.Pada pemeriksaan fisik saat terjadi serangan nyeri bayi tampak pucat, sakit dan gelisah namun setelahnya menjadi tenang dan terlihat sehat. Kadangkal terlihat dehidrasi, palpasi abdomen seringkali teraba massa berbentuk sosis kwadran kanan atas, pada sebagian besar bayi yang mengalami intussusepsi. Pemeriksaan rektum mungkin teraba massa dari intussuseptum dan pada sarung tangan terlihat lendir dan darah. Kadangkala dari anus terlihat prolaps dari intussuseptum yang keluar melalui lubang dubur sehingga sulit dibedakan dengan kasus prolaps rektum atau mukosa anus (kasus ini umumnya painless).Pada kasus yang telah lanjut terlihat distensi abdomen dengan tanda-tandaobstruksi intetinalis, jika pasien tidak mendapatkan penanganan yang baik dan benar didapatkan tanda-tanda dehidrasi berat bahkan sampai syok.Pemeriksa laboratorium akan didapatkan gambaran leukositosi (>20.000 mm3) dan dibedakan dengan gejala obstruksi intestinalis lain, demikian juga pada intussusepsi pasca bedah umumnya terjadi setelah 2-5 hari kemudian dengan meningkatnya produksi NGT disertai dengan memburuknya keadaan pasien tanpa penyebab yang jelas.Pemeriksaan radiologis dengan foto polos abdomen posisi AP tegak dianjurkan jika gejala klinis belum mendukung karena pada fase awal akan terlihat gambaran distribusi udara dalam usus lebih banyak pada sisi kiri abdomen sedangkan gambaran udara usus sisi abdomen kanan menghilang. Pemeriksaan dengan kontras enema barium dapat dilakukan pada kasus tanpa komplikasi atau gejala klinis belum jelas. Dengan enema barium akan terlihat loksai intussusepsi terutama jika terdapat ileosekokolokolikal intussusepsi sedangkan intussusepsi ileoileal sulit ditegakkan diagnosis dengan cara ini. Gambaran kontras akan memperlihatkan adanya

79

Page 80: SPM

“cupping “ seperti gambarah huruf “U” terbalik didaerah intussusepsi dan intussuseptum dari kolon.

IV. Diagnosis ditegakkan :A. Secara klinis dengan riwayat adanya currant jelly’s stool dan teraba massa

berbentuk sosis pada abdomen dan dalam perabaan melalui pemeriksaan rektum teraba massa seperti pseudo portio.

B. Enema barium :Tampak gambaran cupping yang jelas antara intussuseptum dan intussupien.

V. Permasalahan pada intussusepsi : A. Kesulitan diagnosis pada bayi dengan gejala klinis yang minimal dan tidak

spesifik sehingga pemeriksaan penunjang enema barium sebaiknya dikerjakan jika tidak terdapat kontra indikasi.

B. Pada intussusepsi yang lanjut dengan dehidrasi dan syok umumnya telah terjadi obstruksi intestinalis dan nekrosis usus.

C. Jika telah terjadi prolaps intussuseptum perlu dibedakan dengan prolaps mukosa rektum melalui pemeriksaan rektum yang cermat dengan ditemukannya celah diantara bagian yang prolaps dengan mukosa anorektum.

VI. Pengelolaa : A. Non Operatif :

1. Melakukan reposisi intussusepsi dengan tekanan hidrostatis (enema barium) umumnya berhasil pada intussusepsi idiopatis jika dikerjakan pada tahap awal terjadinya intussusepsi sedangkan intussusepsi dengan lead point tidak akan memberikan hasil bahkan membahayakan akan terjadinya perforasi.

2. Kontraindikasi dilakukan tindakan reduksi, intussusepsi dengan tekanan hidrostatis :

a. pasien dalam keadaan syok dan sepsis.b. Dilatasi intestinalis massivec. Peritonitisd. Perforasi intestinalise. Gejala gangren intestinalis

3. Prosedurnya :a. bayi dalam keadaan baik dan stabil telah terhidrasi

dan telah dipasang infus.b. Pasien telah dipersiapkan untuk tindakan

pembedahanc. Kamar operasi telah dipersiapkan

80

Page 81: SPM

d. Tekanan hidrostatis dibatasi sampai setinggi 42 inchi (102 cm)

4. Parameter keberhasilan :a. Dari gamaran radiologi

barium dapat mencapai ileum terminalis tanpa hambatan

terlihat gambaran seluruh kolon terisi yang diistilahkan

sebagai “window terbuka” sebagai gambaran U terbalik

ileum terminalis terisi kolon yang diistilahkan sebagai “window terisi”.

b. Secara klinis Distensi abdomen menghilang Pada perabaan “massa seperti sosis” pada abdomen menghilang pasien dapat mengeluarkan barium yang bercampur

dengan feses.B. Pembedahan :

1. Indikasi :a. kegagalan reduksi dengan tekanan hidrostatisb. pasien intussusepsi yang memperlihatkan gejala komplikasic. semua pasien intussusepsi yang tidak akan dikerjakan reduksi non operatif.

2. Persiapan pembedahan :a. secara klinis telah terehidrasib. pasien dipuasakan dan dipasang NGT untuk intestinal dekompresi c. berikan antibiotika sesuai kebutuhan dan indikasinyad. kalau perlu siapkan transfusi

3. Teknik pembedahan :a. prosedur standar insisi transversa subumbilikus kanan secukupnya

b. jika saat peritoneum terbuka cairan pertonium masih jernih segera temukan segmen usus yang intussusepsi dan lakukan reduksi manual dengan teknik milking seperti memerah susu secara gentle

c. segmen usus yang telah nekrosis dan mengalami gangren dilakukan reseksi dan anstomosis usus jika kondisi umum pasien memungkinkan

d. pada keadaan umum pasien yang buruk lakukan eksteorisasi atau ileostomi dengan double stoma

e. evaluasi yang baik usus yang telah dilakukan reduksi manual

81

Page 82: SPM

sebelum rongga abdomen ditutup.

4. Evaluasi pasca bedah :a. fungsi motilitas usus.b. Kesinambungan cairan dan elektrolit pasien.

VII. Prognosis :1. Intussusepsi tanpa komplikasi dengan pengelolaan yang

tepat dan benar, prognosisnya baik.2. Angka kekambuhan setelah reduksi dengan tekanan

hidrostatis mencapai 5% dan reduksi dengan pembedahan mencapai 2%.

82

Page 83: SPM

APPENDISITIS

I. Definisi : Peradangan pada apendiks vermiformis.

II. Patofisiologi :Peradangan yang progressive dari apendiks vermiformis diawali dengan terjadinya obstruksi lumen dan kemudian mengalami gangren dan perforasi.A. obstruksi lumen apendiks vermiformis sebagai awal dari

proses peradangan (imflammasi) dapat terjadi karena adanya fekolit (feses yang mengeras) dan atau hiperflasi jaringan limfoid dinding apendiks vermiformis akibat infeksi virus.

B. Sekresi yang terus menerus mukosa apendiks menyebabkan terjadinya timbunan cairan dalam lumen sehingga dinding apendiks menipis menyebabkan gangguan vaskularisasi dengan segala konsekwensinya.

C. Keradangan apendiks tanpa ostruksi dapat juga terjadi namun dapat menghilang secara spontan tanpa perlu terapi.

D. Invasi bakteri aerob dan anaerob yang normal ada dalam lumen apendiks akan memperberat proses peradangan dan terbentuknya pus. Escheria coli dan bacteriodes merupakan kuman yang didapatkan dalam biakan pus.

E. Selanjutnya mukosa apendiks mengalami ulserasi sehingga pus masuk ke lapisan serosa membentuk fibrinofurulen exudat. Akibat gangguan vaskularisasi, apendiks mengalami gangren sampai perforasi.

F. Mikroperforasi apendiks menimbulkan local iritasi peritoneum sekitarnya sehingga terjadi peritonitis local dan atau pengumpulan pus disekitar apendiks (peri apendikular abses). Pada anak-anak kemampuan omentum dan usus dalam melokalisir exudat yang keluar dari perforasi dinding apendiks kurang sehingga mempermudah terjadinya peritonitis umum dengan segala manifestasi klinisnya.

III. Gejala Klinis :A. Apendisitis akut memberikan gejala yang khas berupa

nyeri perut daerah periumbilikus akibat distensi apendiks vermiformis selanjutnya nyeri perut berpindah ke daerah kwadran kanan bawah abdomen (daerah Mc Burney) sebagai manifestasi adanya iritasi local peritoneum oleh exudat yang ada pada lapisan serosa dinding apendiks atau karena mikroperforasi yang terjadi.

83

Page 84: SPM

B. Mual dan muntah terjadi setelah timbul gejala nyeri perut, seringkali sulit dibedakan dengan gejala gastroenteritis, kadang-kadang pada anak lebih besar terdapat gejala anoreksia sehingga semakin menyulitkan diagnosis.

C. Pemeriksaan fisik akan mendapatkan anak yang tiba-tiba mengalami sakit, wajah nampak pucat, agak sulit berjalan dan tungkai kanan terlihat flexi pada saat tiduran, bibir terlihat kering, pipi kemerahan, anak mengalami demam dengan suhu axilla diatas 38 derajat celcius, tetapi jika suhu tinggi perlu dibedakan antara apendisitis perforasi dengan kemungkinan penyebab lainnya.

D. Pemeriksaan palpasi abdomen ditemukan titik nyeri diaerah “Mc Burnyey’s” terutama pada apendisitis akut. Spasme otot-otot abdomen kwadran kanan bawah terjadi karena iritasi peritoneum dibawahnya. Kadang-kadang disertai tanda-tanda “Rebound tenderness regiditas” dinding abdomen muncul jika telah terjadi perforasi apendiks. Obturator dan Psoas sign sebagai petunjuk lain terdapat proses keradangan didaerah posterior lokasi apendiks namun jarang ditemukan pada anak-anak. Pemeriksaan rectum dilakukan jika penemuan gejala seperti diatas masih belum dapat membantu diagnosis apendisitis, pada pemeriksaan ini akan ditemukan tenderness kearah kanan dinding rectum, kadangkala dapat diraba adanya massa atau pembentukan abses.

E. Gejala klinis seperti disebutkan diatas hanya ditemukan pada setengah kasus apendisitis akut anak-anak. Beberapa kasus memberikan gejala nyeri perut ringan kemudian menjadi progresif secara lambat, namun seringkali kasus tidak sampai menimbulkan perforasi. Nyeri perut kanan bawah seringkali tanpa didahului nyeri periumbilikus sehingga agak sulit menentukan secara pasti kelainan di apendiks. Tidak jarang anak tanpa memperlihatkan gejala demam, demikian pula apendisitis retrorektal atau perlvinal gejala abdomen minimal sekali dan hanya dengan pemeriksaan rectum dapat ditemukan adanya tanda-tanda iritasi peritoneum dan pembentukan abses.

F. Beberapa kasus memperlihatkan gejala peritonitis umum yang lebih menonjol akibat terjadinya perforasi dan pembentukan abses. Anak terlihat sakit berat, demam tinggi abdomen distensi dan tegang. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri perut menyeluruh dan seluruh dinding abdomen mengalami rigiditas, jika abses terlokalisir dalam rongga peritoneum maka gejala klinis yang terlihat dan ditemukan minimal hanya teraba massa dengan palpasi bimanual dari dinding abdomen dan pemeriksaan rectum.

IV. Pemeriksaan penunjang :A. Pemeriksaan laboratorium :V. Darah

Umumnya ditemukan leukositosis (11.000 – 15.000 mm3) dengan pergeseran sel ke kiri namun demikian hasil pemeriksaan leukosit normal dapat ditemukan pada anak dengan apendisitis, sedangkan jika hasil

84

Page 85: SPM

pemeriksaan leukosit mencapai 20.000 mm3 dengan gejala klinis minimal untuk apendisitis kemungkinan disebabkan keadaan lain.

VI. UrinalisisPerlu diperiksa jika terdapat gejala klinis yang sulit dibedakan dengan infeksi saluran kencing. Umumnya hasil pemeriksaan urine normal pada apendisitis pada beberapa kasus apendisitis dapat ditemukan sel darah merah dan atau sel darah putih pada sedimen urine.

B. Pemeriksaan radiology atau ultrasound :Untuk gejala apendisitis tertentu membutuhkan pemeriksaan radiology dan atau ultrasound (USG) seperti :

1. foto polos abdomen akan memperlihatkan gambaran mass effect” akibat hilangnya gambaran gas di daerah abdomen kanan bawah, ditemukan pada 10% kasus dapat terlihat gambaran fekolit (feses yang mengeras sebagai penyebab sumbatan obstruksi lumen apendiks).

2. ultrasound/USG dapat terlihat ukuran apendiks lebih besar dari normal disertai gambaran abses periapendikuler atau tumpukan abses didaerah rongga pelvis. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan rutin pada anak dengan gejala klinis minimal atau anak yang gemuk.

3. enema barium perlu dikerjakan pada anak dengan nyeri perut berulang tanpa gejala penyerta yang jelas. Tanda-tanda apendisitis akut akan terlihat gambaran barium yang menunjukkan penyempitan lumen apendiks dan tiba-tiba terhenti (cutt off) akibat adanya obstruksi.

V. Diagnosis :A. Apendisitis akut dapat ditegakkan diagnosisnya dengan

gejala klinis saja terutama yang memperlihatkan gejala klinis klasik. Pemeriksaan penunjang laboratorium untuk menemukan adanya tanda-tanda infeksi akut dalam darah (leukositosis dan pergeseran sel ke kiri).

B. Apendisitis dan gejala klinis yang tidak jelas atau minimal membutuhkan pemeriksaan penunjang radiology dan ultrasound (USG) bahkan CT-scan abdomen.

VI. Diagnosis Banding :A. Konstipasi : massa feses yang teraba pada pemeriksaan

palpasi abdomen dan pemeriksaan rectum dapat membedakannya dengan apendisitis.

B. Gastoenteritis : gejala muntah dan diare mendahului gejala sakit perut umumnya tidak ditemukan nyeri perut terlokalisir didaerah abdomen bagian bawah.

C. Penyakit radang panggul : terutama anak wanita dapat menyerupai gejala apendisitis, anamun dapat dibedakan dari proses nyeri perut yang tidak didahului oleh nyeri perut klasik didaerah periumbilikus.

85

Page 86: SPM

D. Beberapa kasus lain seperti infeksi saluran kencing dan infeksi Meckel’s divertikulum, pnemonia paru kanan loabus bawah, intussusepsi, sickle cell crisis, regional enteritis, kolesistisis kadangkala gejala klinis menyerupai apendisitis.

VII. Pengelolaan : Setelah diagnosis ditegakkan tindakan pembedahan untuk apendiktomi harus segera dilakukan. A. Apendisitis akut :

1. Persiapan prabedah segera : pasien dipuasakan dan kalau perlu dipasang NGT diberikan infus sesuai kebutuhan antibiotik dengan spectrum luas untuk profilaksis

2. Tindakan pembedahan : dibuat insisi transversal pada titik tengah garis antara umbilical denga SIAS Musculus obliqus internus dan eksternus dibelah sesuai dengan arah seratnya. setelah peritoneum terbuka dilihat cairan yang keluar untuk menentukan adanya penyebaran infeksi dalam rongga peritoneum dilakukan apendiktomi

B. Apendisitis perforasi : 1. persiapan prabedah lebih serius untuk memperbaiki

keadaan umum pasien dan rehidrasi sehingga pasien siap untuk dilakukan pembedahan.

2. pembedahan dilakukan dengan laparotomi eksplorasi dan insisi tetap dibuat transversal, dibawah umbilicus untuk memudahkan membersihkan cairan peritoneum dan melakukan apendiktomi yang umumnya telah mengalami gangrene.

3. pada penutupan dinding abdomen jika kondisi rongga peritoneum sangat terkontaminir sebaiknya dipasang drain sub farsial dan dinding abdomen dijahit preimer longgar, untuk drainase pus yang mungkin terbentuk (delayed primer suture).

VIII. Evaluasi pasca bedah :A. Pasca apendiktomi :

Umumnya kondisi pasien baik dan cepat pulih dari stress pembedahan dan pembiusan sehingga tidak membutuhkan pengelolaan dan perawatan pasca bedah.

B. Pasca laparotomi :1. pemberian infus diteruskan sampai dehidrasi dan fungsi usus

baik, sesuai dengan kebutuhan cairan dengan komposisi untuk replesemen cairan, elektrolit dan nutrisi.

2. antibiotik diberikan sampai 10 hari pasca bedah3. pemasangan NGT diteruskan sampai produksi berkurang dan

fungsi usus telah pulih kembali, pascabedah laparotomi oleh

86

Page 87: SPM

karena peritonitis umum biasanya fungsi usus akan berkurang selama beberapa hari bahkan sampai beberapa minggu.

4. perawatan luka operasi dilakukan secara intensif dengan memberikan antiseptik local dan evaluasi terjadinya infeksi luka operasi.

5. pemeriksaan rectum sebaiknya dikerjakan karena sering terjadi sisa abses didaerah rongga pelvis.

IX. Komplikasi :A. Pembentukan abses intra peritoneal sehingga menimbulkan

gangguan fungsi usus berkepanjangan disertai demam dan leukositosis serta shift to left pada pemeriksan daraha.

B. Obstruksi intestinal akibat adesi dan keradangan terutama pada pascabedah apendisitis perforasi dengan segala manifestasi klinisnya.

Bahan Bacaan :

1. ESSENTIAL of PEDIATRIC SURGERY

Mare I. Rowe, M.D; James A.O’Neil Jr., M.D. : Jay L. Grosfeld, M.D; Eric W. Fondkallsrud, M.D.; Arnold G. Coran, M.D Mosby – year Book, Inc; St Louis, Misouri Copyright 1995

2. PEDIATRIC SURGERY Keith W. Ashcraft, M.D.; Thomas M. Holder, M.D. Second edition; W.B. Saunder Company Philadelphia; Copyright 1993.

87

Page 88: SPM

SUMBATAN JALAN NAFAS

Batasan

Sumbatan jalan nafas adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa akibat jalan nafas yang tersumbat (obstruksi) atau tidak “patent”.

Patofisiologi

Jalan nafas pada keadaan normal merupakan suatu saluran terbuka yang menghubungkan paru dengan dunia luar. Dapat mengalami sumbatan oleh berbagai sebab seperti : trauma, tumor (malignansi), korpus alienum, aspirasi, peradangan / infeksi stenosis anomali kongenital. Sumbatan jalan nafas berakibat : asphyxia, hypoxia, hipoxemia, dan acidosis yang memerlukan penanganan (disobstruksi) segera.

Gejala dan tanda klinis

Penderita mengalami distris pernafasan :a. Sulit bernafas dengan lapang dan lega (sesak nafas).b. Suara hilang, serak, ngorok, stridor.c. Cyanosis dan berkeringat dingin.d. Otot – otot pernafasan tambahan tampak bekerja (leher dan dada).e. Berusaha melakukan hyperventilasi.f. Penderita tampak gelisah & penurunan kesadaran.g. Saturasi oxigen rendah dan acidosis.

Pemeriksaan dan diagnosis Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda distres pernafasan dengan penyebab sumbatan jalan nafas (trauma, tumor, peradangan, aspirasi / korpus alienum).

88

Page 89: SPM

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan : inspeksi, palpasi, dan auskultasi. a. Inspeksi

Pasca trauma : - Jejas di wajah / leher, dada.- Darah / berbuih / benda asing di rongga mulut / hidung.- Noisy, nafas cepat, standar, gangling

Pada tumor / peradangan : tampak masa tumor / peradangan di leher / wajah dekat saluran nafas dan mulut.Pada stenosis : kemungkinan terlihat bekas operasi / pasca trauma.Pada tumor mediastinum kemungkinan terdapat vena cava superior sindrom.

b. PalpasiTeraba krepitasi tulang saluran nafas, empysema subkutis, teraba tumor / radang yang menekan saluran nafas, jalan nafas (trahea) bergeser teraba sikatrik di leher.

c. AuskultasiRonchi (retensi sputum, darah / cairan), whezzing (obstruksi)

Pemeriksaan tambahan seperti : laryngoskop, bronkoskop dapat menentukan letak obstruksi dan penyebabnya hanya dikerjakan bila alat tersedia dengancepat. Apabila fasilitas memadai dilakukan pemeriksaan pulse oximeter dan analisa gas darah. Pemeriksaan foto rontgen leher / toraks diperlukan.

Diagnosa bandingPada obstruksi jalan nafas bagian atas dapat ditentukan penyebabnya dengan baik apabila tanda-tanda dan gejala decermati. Gejala dan tanda-tanda lebih cepat ditemukan oleh karena letaknya dipermukaan leher (diluar rongga toraks). Pada obstruksi jalan nafas bawah sulit dibedakan dengan asthma bronchiale, peradangan paru, tumor intra bronkhial, tumor mediastinum.

Penyulit Bila obstruksi jalan nafas dibiarkan akan menimbulkan aspixia, hypoxia, hypoxemia, acidosis dan berakhir dengan kematian.Pada obstruksi akut dan total maka perlu penanganan cepat, dari pada obstruksi partial. Masih mempunyai kesempatan untuk mencari penyebab obstruksi.Prognose tergantung dari cepatnya mengatasi obstruksi (disobstruksi). Perlu diingat obstruksi jalan nafas merupakan penyebab utama kematian.

Penatalaksanaan

1. Obstruksi saluran nafas bagian atas (leher dan kepala)Dapat dikerjakan secara bertahap (disobstruksi)a. Manuver

- Buka mulut dan bersihkan, keluarkan benda asing secara manual / alat isap (suction)

- Extensi kepala (tidak dikerjakan pada trauma) oleh karena sering terdapat cedera tulang leher.- Chin lift- Jaw thrust

89

Page 90: SPM

- Extensi kepala kontra indikasi pada traumab. Intubasi endotrakealc. Crico thyroidotomyd. Tracheostomy (bila cricothyroidotomy tidak memungkinkan)e. Therapy oxygenasi dan bantuan ventilator

2. Obstruksi saluran nafas bagian bawah (intra torakal)a. Oxygenasi, bronchoscopyb. Thoracotomy, sternotomy (in order)

Rujukan 1. Witterick IJ, Gullane PJ, Irish JC : Trauma to the larynx. Thoracic Surgery ed by

F Griffith Pearson MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1535 – 1542.2. Mullen DS, Ratnani S : Tracheo bronchial trauma. Thoracic Surgery ed by F

Griffith Pearson MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1543 – 1554.3. Smitheringale A : Foreign bodies in the Respiratory tract. Thoracic Surgery ed by

F Griffith Pearson MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1591 – 1600.4. ACS : ATLS for physicion Chicago, 1993.

PNEUMO TORAKS

Batasan

Pneumo toraks adalah suatu kondisi klinis terdapatnya udara pada rongga pleura.Dibedakan menjadi 2 kelompok :- Tension pneumo toraks yaitu pneumo toraks dengan tekanan intra pleural yang

tinggi.- Simpel pneumo toraks yaitu pneumo toraks tanpa tekanan intra pleural yang

tinggi.

PatofisiologiTension pneumo toraks akan terjadi bila ada satu aliran udara melewati katup (one way valve) dimana udara bisa masuk dari paru ke rongga pleura terus menerus, tanpa adanya jalan keluar sehingga tekanan udara intra pleura menjadi tinggi. Menyebabkan paru kalaps, mediastinum terdorong kesisi sehat, trakhea bergeser ke sisi sehat, diaphragma terdorong kebawah, dinding dada terdorong keluar sehingga sela iga menjadi melebar. Akibat mediastinum yang terdorong maka “venous return” menjadi terganggu dan menurun. Juga terjadi penekanan pada paru kontra lateral. Penyebabnya biasanya karena : ventilasi mekanik (PEEP), ruptur bulla spontan, trauma tumpul toraks dengan kerusakan dinding toraks (pleural damage). Pada pneumo toraks simpel tidak terjadi peningkatan tekanan intra pleura. Udara masuk ke intra pleura tanpa menimbulkan efek masa yang berarti.

Gejala dan tanda klinis

Pada simpel pneumo toraks gejala dan tanda klinis tidak sehebat tension pneumo toraks. Tension pneumo toraks memberi gambaran :

90

Page 91: SPM

Inspeksi : - tampak sesak, nafas cepat.- asimetri dinding dada (statis dan dinamis).- jejas (pada truma).- trakhea terdorong ke sisi sehat. Pada tension pneumotoraks- dilatasi vena leher.Palpasi : - krepitasi patah- nyeri tekan igaPerkusi : - timpani sisi sehat, batas jantung bergeser / terdorong kesisi sehat- atau hypersonor sisi yang sakitAuscultasi : - suara nafas melemah / hilang sisi sakit

Pemeriksaan tambahan : punctie pleura akan keluar udara.Selain kondisi diatas tension pneumo toraks sering dengan syok (hypotensi), nadi cepat, cyanosis, acral dingin, berkeringat, hyperventilasi. Akan terjadi hypoxia, hypercarbia dan acidosis.

Pemeriksaan penunjang adalah :- Analisa gas darah (AGD).- Elektrokardiografi (EKG).- Pulse oxy meter.- Rontgen foto toraks (jangan dikerjakan pada tension pneumo toraks).

Diagnosa Ditentukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, penunjang. Apabila dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik sudah jelas maka penunjang tidak diperlukan (toraks foto).

Diagnosa banding

1. Massive hemo toraks / hemato toraks dibedakan oleh karena adanya suara dulness pada perkusi & punctie pleura keluar darah.

2. Cardiac tamponade, oleh karena adanya syndrom yang sama dengan tension pneumo toraks.

Penatalaksanaan

1. Pada tension pneumo toraksa. thoracosentesis di ICS II MCL sisi sakit (needle decompression)b. Pemasangan chest tube ICS V dianterior dari mid axillary line sisi sakit (bila

thoracosentesis tidak memberi hasil dengan cepat) dihubungkan dengan WSD atau continues suction.

2. Pada pneumo toraks simplea. pemasangan chest tube seperti diatas, dihubungkan dengan WSD.

91

Page 92: SPM

Penyulit

Hypoxia, hypercarbia dan acidosisPrognosa tergantung kecepatan mengembangkan paru / mengeluarkan udara dari rongga pleura.Persisten pneumotoraks dengan pemasangan chest tube selama 3 hari harus dicari kemungkinan suatu fistula yang besar. Apalagi diikuti emphysema subkutis.Tindakannya :- Bronkhoskopi (lesi sentral).- Torakotomi (repair).- Torakoskopi (lesi perifer diagnosis & repair).

Rujukan : 1. Fullerton DA, Grover FL : Trauma to the Lung and Pleura. Thoracic Surgery ed

by F Griffith Pearson MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1561 – 1565.2. ACS : ATLS for physicion Chicago, 1993.

HEMO TORAKS / HEMATO TORAKS

Batasan

Hemo toraks / hemato toraks adalah terdapat kumpulan darah pada rongga pleura. Hemo toraks massive bila penumpukan darah yang cepat 20% Estimated Blood Volume (EBV) atau 800 cc pada orang dewasa (Indonesia). Pada orang barat, darah dirongga toraks 1500 cc. Perhitungan yang pasti adalah bila darah yang keluar > 5cc/kg BB/jam.

Patogenesis

Pada trauma tumpul / tajam terjadi robekan arteri / vena besar di rongga dada, ruptur / robekan parenkhim paru, robekan arteri interkostalis dan kerusakan dinding dada. Kerusakan dari struktur anatomis diatas, menyebabkan perdarahan terakumulasi pada rongga pleura. Bila cepat terkumpul menjadi massive hemato toraks dan bila darah yang terkumpul sedikit dan lambat disebut hemato toraks. Akibat hemato toraks akan timbul : distress pernafasan, syok dan anemia.

Gejala dan tanda klinis

1. Pada hemato toraks umumnya akan ditemukan : distress pernafasan, syok, anemia, hypoxia dan cyanosis. Makin banyak perdarahan dirongga toraks (massive hemotoraks) gejala dan tanda itu semakin jelas.

2. Efek massa lokal akan menimbulkan :

92

Page 93: SPM

Inspeksi :- pernafasan asimetri (statis & dinamis).- nafas cepat dan berat.- trakhea bisa disentral / tergeser ke sisi sehat.- vena leher bisa kosong / melebur.- Pada trauma tusuk : ada benda yang tertancap, tampak luka tusuk

masuk / keluar.- Pada trauma tumpul ditemukan jejas (lecet, memar, lacerasi).Palpasi :- nyeri dinding dada, ICS melebur / normal.- Krepitasi.- dullness pada sisi sakit.Auskultasi : suara nafas menghilang / menurunPunctie percobaan pada ICS V Posterior axillary line (supine position) ditemukan darah (positif).

Diagnosis

Ditetapkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang.Pemeriksaan penunjang adalah :- Pasang EKG (sinus trachycardia, RBBB, proxismal ventricular contraction,

perubahan gelombang ST dll).- Toraks foto dikerjakan setelah massive hemato toraksnya di drainage dan kondisi

penderita stabil.

Diagnosis banding

1. Tension pnematotoraks, pneumotoraks.2. Kontusio pulmonum.

Penyulit

1. distress pernafasan.2. syok.Prognose ditentukan oleh cepatnya resusitasi cairan / transfusi dan tindakan difinitif. Syok berat dan lama prognosenya buruk.

Penatalaksanaan

- Massive hemato toraks dilakukan dekompresi / drainage segera, perdarahan awal yang melebihi 800 cc, biasanya penderita syok memerlukan tindakan torakotomi. Torakotomi juga di indikasikan pada perdarahan 3 – 5 cc / kg BB / jam, perdarahan arterial / venous setelah drainage awal.

- Pada luka tusuk dengan benda tertancap tidak dibenarkan mencabutnya. Penderita dibawa ke pusat yang ada fasilitas untuk tindakan torakotomi. Benda tertancap dicabut dengan persiapan drainage dan torakotomi. Apabila trauma tusuk tidak ada benda tertancap dan luka terbuka maka dilakukan debridemen dengan

93

Page 94: SPM

penjahitan kedap udara dan air, dressing berlapis. Pada evaluasi klinis terdapat hemato toraks maka dilakukan pemasangan toraks drain. Tindakan torakotomi bila ada indikasi. Pada luka tusuk tembus dibawah ICS V dinding dada depan (anterior), dibawah ICS VI dinding dada samping (lateral) dan dibawah ICS VII (tip scapula) dinding dada belakang (punggung) harus dipikirkan luka tusuk mengenai diaphragma tembus ke abdomen. Tindakannya adalah : peritoneal lavage, bila hasil positif atau ada tanda-tanda abdominal injury dengan jelas dilakukan laparotomy, repair diaphragma translaparotomy (interrupted, simpul ke abdomen). Hemato toraks yang terjadi ditangani berdasarkan jumlah perdarahan intra pleura :Perdarahan kumulatif 800 cc setelah repair diaphragma, dilakukan torakotomi, cari sumber perdarahan repair kerusakan pada paru yang terjadi.

Rujukan

1. Fullerton DA, Grover FL : Trauma to the Lung and Pleura. Thoracic Surgery ed by F Griffith Pearson MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1561 – 1565.

2. ACS : ATLS for physicion Chicago, 1993.

TAMPONADE JANTUNG

Batasan

Tamponade jantung adalah suatu desakan intra perikardium oleh cairan intra pericardium yang menyebabkan jantung sulit melaksanakan gerakan / aktifitas fungsi pompa darah.

Patofisiologi

1. Adanya penumpukan sejumlah cairan intra perikardium menyebabkan penekanan pada jantung. Hal ini dapat terjadi bila pengisian rongga intra perikardium oleh cairan sangat cepat dimana dinding perikardium tidak / belum sempat mengembang menyebabkan jantung terganggu aktifitas kontraksinya.

2. Menyempitnya rongga intra perikardium oleh karena perikardium mengkerut atau mengeras walaupun cairan intra perikardium tak banyak menyebabkan jantung terganggu aktifitas kontraksinya.

Etiologi

1. Pada trauma, luka tusuk jantung adalah penyebab tersering tamponade jantung. Trauma tumpul jantung sebagian kecil menyebabkan tamponade. Trauma ini menyebabkan kerusakan pada otot jantung, arteri koronaria, arteri besar intra perikardium, arteri pada perikardium sendiri.

94

Page 95: SPM

2. Perikardial effusion masif : baik oleh karena perikarditis infeksi, malignansi / keganasan penyakit sistemik. Terjadi produksi cairan berlebihan dibandingkan absorbsinya.

3. Post surgery : operasi mediastinum dan jantung.4. Penebalan perikardium pada perikarditis konstruktiva.

Gejala dan tanda-tanda

Oleh karena jantung mendapat tekanan / desakan dari luar maka ditemukan Trias Beck’s : hypotensi arterial (syok), dilatasi vena leher, suara jantung yang jauh dan lemah. Manifestasi klinis lain adalah : Pulsus paradoxus (penurunan tekanan sistolik lebih 10 mmHg pada saat inspirasi), CVP dan tachycardia. Rontgen toraks pada efusi perikardium terlihat bayangan kardiomegali, atau normal pada perikarditis konstriktiva. Pada tamponade jantung oleh karena adanya cairan intra perikardium maka monitoring dengan elektrocardiografi didapatkan : QRS low voltage dengan dysrithmia. Ekhokardiografi 2D menunjukkan adanya cairan intra perikardium yang berlebihan, cairan menekan jantung kanan “out flow tract” dan atrium. Tampak pada M mode diastolic volume menurun (filling pressure ). Dorongan pada jantung dikenal dengan “Cardiac Swing”. Perikardiosethesis didapatkan cairan berupa : darah, effusi serous, serosanguinis, nanah, tergantung penyebabnya.Pada tamponade jantung olek karena perikarditis kontriktiva : cairan tidak banyak ditemukan intra perikardium,auscultrasi terdapat frichion rub dinding perikardium menebal, kalsifikasi dan rigid (seperti batok kelapa). Terjadi penekanan terhadap jantung secara merata. Kondisi ini akan ditemukan pada Ekhokardiografi. Tidak perlu dilakukan perikardiosenthesis.

Diagnosis

1. Anamnesa : adanya riwayat trauma (tajam / tumpul), penyakit terdahulu, operasi jantung / mediastinum.

2. Pemeriksaan fisik : inspeksi, palpasi / perkusi dan auskultasi (gejala dan tanda seperti diatas).

3. Perikardiosenthesis pada perikardial effusion dan trauma.4. Foto toraks kardiomegali / kalsifikasi.5. EKG, Ekhokardiografi.

Pada trauma tusuk dada dicurigai mengenai jantung dan terjadi tamponade jantung, apabila : luka tusuk prekordial batas garis parasternal kanan, MCL kiri, atas garis sejajar melalui insissura yugularis, bawah garis sejajar melalui xyphoideus.

Diagnosa banding

1. Bedakan dengan massive hemato toraks dan tension pneumo toraks.2. Pericardial effusion non tamponade.3. Kelainan – kelainan intra kardiak.

95

Page 96: SPM

Penyulit

1. Syok.2. Gagal jantung.

Penatalaksanaan

1. Dekompresi dengan melakukan perikardiosenthesis dilakukan dengan tehnik :a. Pasang monitor : CVP, EKG selama prosedur.b. Setelah desinfeksi daerah xyphoid / sub xyphoid dan drapping dilakukan

anaesthesi lokal.c. Menggunakan jarum 16-18 G (15 cm) atau yang lebih panjang

dihubungkan dengan spuit yang berisi tree way stop cock.d. Tusukan pada kulit 1-2 cm kiri xypho chondral junction 45 dengan garis

datar kulit. Arahkan jarum ke cranial menuju tip scapula kiri, sampai menembus pericardium.

e. Evaluasi terhadap monitor EKG, perubahan T ware di QRS complex.f. Isap cairan sebisanya, dihubungkan dengan saluran pengisap / kedap air.

2. Dekompresi dengan perikardiostomi dikerjakan bila perikardiosenthesis tidak berhasil atau produksi efusi perikardiosenthesis sangat banyak dan residual.Tindakannya : - sub xyphoid perikardiostomi.- ICS V anterior kiri perikardiostomi window .

3. Bila tamponade jantung pasca trauma, sumber perdarahan tidak diketahui, perikardiostomi sudah dilakukan tetapi perdarahan tetap berlangsung dan syok dilakukan torakotomi dengan memotong sternum atau sternotomi dilanjutkan mencari sumber perdarahan dan repair (tanpa / dengan CPB).

4. Pada perikarditis konstriktiva dilakukan sternotomi dan perikardiektomi mempergunakan “bone cutter”.

5. Pada “post pericardiostomy syndrome” dengan tamponade jantung dikerjakan Redo sternotomi, bila tidak terjadi tamponade cukup diberi anti imflamasi non steroid.

Rujukan 1. Jones WG II : Pericardial disease, Thoracic Surgery ed by F Griffith Pearson

MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1373 – 13832. ACS : ATLS for physicion Chicago, 1995

96

Page 97: SPM

PATAH (FRACTURE) TULANG IGA

Batasan 1. Patah tulang iga adalah ketidak bersambungnya (dis continuitas) tulang iga.2. Bila patah tulang iga 2 tulang disebut patah tulang iga multiple.3. Bila patah tulang iga 2 tulang berdekatan dan segmental akan terjadi flail chest.

Patofisiologi Patah tulang iga menimbulkan robekan pleura, robekan visceral, pembuluh darah sehingga patah tulang iga diikuti dengan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis pneumo toraks, hemato toraks, kontusio pulmonum dll. Patah tulang iga 1 - 3 kecurigaan ruptur arteri besar. Patah tulang iga 4-9 sering terkena paru, ruptur arteri interkostalis. Patah tulang iga 10-12 dipikirkan kerusakan ginjal, hepar, lien. Pada flail chest harus dipikirkan contusio pulmonum dengan dystress pernafasan, hypoxia yang berat. Segmental fracture (flail chest) memberi pengaruh respirasi paradoxal, yaitu suatu gerakan segmental fraktur yang berlawanan dengan gerakan dinding dada keseluruhan saat bernafas. Adanya patah tulang multiple apalagi segmental menandakan suatu trauma yang cukup keras sehingga manifestasi klinis akan lebih berat, dan sebaliknya suatu patah tulang iga simple memberi gejala ringan seperti rasa nyeri saja.

Gejala dan tanda-tanda Pada patah tulang iga simple penderita sadar, mengeluh nyeri pasca trauma, sesak. Pada penderita dengan trauma hebat dengan multiple / segmental fracture maka akan terjadi kontusio pulmonum, perdarahan intra pleura, hyroxia, penurunan kesadaran.

97

Page 98: SPM

Gejalanya adalah Inspeksi : 1. ada jejas yang luas.2. sesak nafas dan pernafasan cepat, pergerakan paradoxal segmen patah iga.3. sputum campur darah.4. pernafasan ngorok (noizy), mulut dan hidung keluar darah berbuih.Palpasi :1. ada krepitasi, ada segmen patah tulang (flail chest).2. nyeri tekan.Auskultasi : 1. suara nafas bervariasi dari vesikuler sampai ronchi kasar, whezzing.Oleh karena hypoxia biasanya kesadaran menurun, gelisah, mungkin juga ditemukan tanda-tanda syok hypovolemik, asphyxia.

Diagnosis :Dari anamnesa ditemukan riwayat trauma, pemeriksaan fisik tanda patah tulang iga dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisa gas darah (AGD) dan chest Xray untuk melihat fraktur dan kondisi visceral lainnya. Pada fraktur single dan simple kadang tidak perlu pemeriksaan AGD,oleh karena tidak ada distress nafas, syok, hypoxia. Pemeriksaan EKG sebaiknya dikerjakan.

Diagnosa banding Flail chest harus dipikirkan DD : Blast injury dengan parenchymal bleeding (contusio pulmonum).

Penatalaksanaan terutama untuk flail chest1. Bersihkan jalan nafas dari darah berbuih yang keluar dari paru.2. Bila tidak ada syok, hati-hati memberikan cairan, guna mencegah over hydrasi.3. Reexpansi paru : berikan oxygen yang cukup, rerusitasi cairan secukupnya,

analgetika. Kalau perlu memberikan ventilator setelah intubasi.4. Pada fracture simpel cukup analgetika yang kuat. Penggunaan anestesi inter costal

block yaitu pemberian anastesi lokal didaerah para vertebrane 5 cm dari corpus vertebrae 2 costae dibawah dan diatas yang sakit / patah. Cairan anasthesi dimasukkan sekitar 1-2 cc, setiap 6-8 jam. Analgetika yang lain dapat diberikan peroral atau injeksi (iv, im) atau drip mempergunakan syringe pump.

Penyulit 1. Hypoxia berat.2. Kadang-kadang syok.Prognose : 20 – 30 % mengalami ARDS.

Rujukan 1. Fullerton DA, Grover FL : Trauma to the Chest Wall. Thoracic Surgery ed by F Griffith Pearson

MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 1561 – 1565.

98

Page 99: SPM

2. ACS : ATLS for physicion Chicago, 1993.

HEMOPTISIS MASIF

Batasan Hemophisis masif adalah darah yang dibatukkan sebanyak 400 cc / 24 jam. Perdarahan yang terdapat pada saluran pernafasan (tracheo bronchial tree) bisa menyebabkan asphyxia. Beberapa buku menyebutkan jumlah darah bervariasi dari 100 cc – 1000 cc, selama 24 – 48 jam. Secara kwalitatif dikatakan berapapun jumlah perdarahan yang terjadi sebelumnya, ada hemoptisis dan lung disease yang berat.

Patofisiologi Adanya endapan darah dalam saluran pernafasan akan menimbulkan ancaman jiwa bagi penderita oleh karena terjadi asphixia akibat tracheo bronchial tree penuh dengan darah. Perdarahannya sendiri tidak menyebabkan kematian. Darah yang dibatukkan sering kali tertelan kembali sehingga jumlah perdarahan sulit dimonitor.Penyebabnya adalah : 1. Imflamasi, tuberculosa, bronchiectasis, aspergilosis, necrotizing pnemonitis,

cystic fibrosis, lung abses.2. Neoplasma.3. Trauma.4. Iatrogenic.5. Pulmonary embolism.6. Arterio venous fistula.7. Cardiac valve disease.8. Broncho vascular fistula.

Diagnosis & klinis

99

Page 100: SPM

Didapatkan dari anamnesa adanya riwayat dan sedang batuk darah, jumlah 400 cc/hari. Harus dibedakan dengan hematomesis (muntah darah). Pada batuk darah harus dicari jumlah perdarahan segar / bekuan, lamanya perdarahan, nyeri dada, hubungan batuk darah dengan istirahat, kerja, posisi, merokok, sesak / sulit bernafas, gelisah, penyakit terdahulu.Pada pemeriksaan klinis :- Inspeksi tampak kurus, pucat dan anemia, sesak (tachypnea), gelisah,

kemungkinan penurunan kesadaran, batuk darah 400 cc/hari.- Palpasi : mencari underlying disease kelainan paru (cairan / masa) pemeriksaan

leher, kelainan jantung (pembesaran jantung).- Auskultasi : - Suara nafas vesicular / amphoric

- Whezzing dan ronchi - Ada murmur

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan : sputum sitolasy dan kultur- Chest Xray : - infiltrasi lokal paru, atelectasis, kapitasi, cyste, destroyed

lobe. - mitral heart configuration.

- Tomografi bisa melihat cavitas, salid lesion.- CT scan : dapat melihat obstruksi, stenosis, chronic bronchitis, bronchiectasis.- Angiografi & perfusion scan : mengetahui emboli paru.- Bronchial arteriografi dengan selective bronchial arteriografi melihat : hyper

plasia bronchial artery (TBC) melihat broncho pulmonary communication.- Bronkhoskopi :

untuk melokalisir lesi, yang dipakai bisa bronkhoskopi rigid / flexible, lebih baik rigid bronkhoskopi.

merupakan prosedur of choise.

Penatalaksanaan Bertujuan 1. Mencegah asphyxia.2. Melokalisir tempat perdarahan.3. Menghentikan perdarahan.4. Menentukan penyebab perdarahan.5. Mengobati penderita secara difinitif.

Terapi medik1. Posisi kepala lebih rendah supaya tidak osphixia.2. Venous line, dengan resusitasi cairan.3. AGD monitoring.4. Pemberian sedatif.5. Anti tussive.6. Oxygen.7. Antibiotika.8. Transfusi darah.

100

Page 101: SPM

9. Reversal of anti coagulation.10. Cortico steroid.

Methode kontral perdarahan :- Endobranchial contral.- Arterial embolisation.- Drainage tubular external.- PEEP.- Pneumo peritoneum.- Pneumo thorax.- Intra venous angiotensin.- Radio therapy.

Pembedahan (thoracotomy, reseksi)Seleksinya :1. Fungsi paru cukup baik.2. Tidak ada kontra indikasi medis.3. Tidak ada kerusakan mitral.4. Perdarahan dilokalisir dahulu dengan pemeriksaan bronkhoscopi perioperatif.5. Karsinoma bisa direseksi.

Tindakan Bedah 1. Segmentectomy.2. Wide resection.3. Lobectomy.4. Pneumonectomy.

Diagnosis banding- Epistaxis / pendarahan hidung.- Hematomesis.

Penyulit - Asphyxia.- Penyakit paru khronis.- Dengan berkembangnya teknologi penghentian pendarahan morbidities dan

mortalitas lebih sedikit.

Rujukan :1. Guimaraes, CA : Massive hemoptisis, in Thoracic Surgery ed by F Griffith

Pearson MD, Churchill Livingstone, New York, 1995, 581 - 596.

101

Page 102: SPM

RUPTUR DIAPHRAGMA

Batasan Ruptur diaphragma adalah robekan diaphragma akibat trauma tajam atau trauma tumpul.

PatofisiologiPada luka tusuk tembus dinding toraks dibawah ICS V kanan dan ICS IV kiri atau ICS VI dan ICS VII belakang, lebih sering terkena diaphragma terutama yang kiri oleh karena saat perkelahian orang bergulat dan berhadapan, musuh kebanyakan bukan kidal menusuk dinding dada bawah sisi kiri. Tusukan menembus dinding toraks dan selanjutnya menembus diaphragma. Lima belas persen luka tusuk dinding toraks mengenai diaphragma. Pada trauma tumpul terutama regio torako abdominal sering terjadi ruptur diaphragma kiri, hal ini oleh karena diaphragma kiri relatif tidak terlindung dari tekanan intra abdominal yang tinggi dan cepat atau trauma langsung. Liver cukup efektif melindungi diaphragma kanan. Robekan diaphragma secara tumpul bentuknya tidak beraturan dan tidak jelas luasnya. Sedangkan bila terjadi tajam maka lukanya jelas, bentuknya tegas dan kecil. Pada trauma tumpul sering diikuti masuknya organ intra peritoneal ke intra pleural seperti lambung lien, colon, intestine, omentum.

Gejala dan tanda – tanda- Riwayat trauma tumpul sekitar torako abdominal memberi peringatan

kemungkinan robekan diaphragma yang luas, tak beraturan.

102

Page 103: SPM

Riwayat trauma tusuk dibawah ICS V dinding dada depan. ICS VI mid axillary line dan dibawah ICS VII tip scapula perlu dipikirkan ruptur diaphragma dengan gejala, distress pernafasan, shock, abdominal pain, tenderness, cairan bebas.

- Keluhan yang ada, serak (distress pernafasan), nyeri dada, cardiopulmonary kompromized karena penekanan paru kontra lateral, tension pneumo toraks dan mediastinal shift.

Pemeriksaan fisik Inspeksi : ada jejas toraco abdominal, luka tusuk.Palpasi : - nyeri tekan torako abdominal.

- krepitasi. - dullness (darah). - tympani (lambung).

Auskultasi: - suara bising usus di intra pleura kiri, suara paru hilang.

Penunjang Foto polos toraks memberi gambaran adanya masa berongga masuk ke intra pleura, batas diaphragma hilang, atau elevasi hemi diaphragma. Selain itu ada cairan intra pleura atelectasis, kolaps paru, mediastinal shift, kompresi paru kontra lateral. Kadang – kadang gambaran seperti tension pneumo toraks. Untuk lebih meyakinkan dipergunakan test nasogastric tube (NGT) bertanda yang dimasukkan ke gaster melalui hidung. Apabila NGT itu berada di intra pleura maka dapat diyakini bahwa diaphragma dimana masa berkembang tadi adalah gaster di intra pleura. Masuknya gaster ke intra pleura sering disebut “harnia diaphragmatika traumatika”. Kontras study dapat dilakukan untuk mempertegas organ intra peritoneal yang herniasi.

Pemeriksaan lain adalah : fluoroscopy, thoracoscopy, laparoskopi, CT dan MRI dapat membantu, radio nucleide, spleen scaning.

Diagnostik Dapat dilakukan berdasarkan anamnesa pemeriksaan fisik, penunjang. Diagnosis ruptur diaphragma cukup sulit, perlu berbagai pemeriksaan penunjang untuk menentukannya :

a. Ruptur diaphragma kiri lebih sering daripada kanan.b. Ruptur diaphragma oleh karena trauma tumpul lebih besar daripada

trauma tajam.c. Herniasi lebih sering pada trauma tumpul.

Diagnostik ditujukan untuk mencari “associate injury” selain ruptur diaphragma.

Diagnose banding - Eventerasi diaphragma.- Lesi n. phrenicus sehingga elevasi diaphragma.

Penatalaksanaan Luka tusuk dada seperti diatas / trauma tumpul toraco abdominal selalu curiga organ – organ yang dilindungi oleh dinding toraks oleh karena :

103

Page 104: SPM

1. Buktikan adanya perdarahan intra abdominal dengan melakukan DPL. Kalau terbukti dilakukan laparotomy.

2. Repair robekan diaphragma akut dikerjakan dengan translaparotomy, sedangkan bila ruptur diaphragma dengan herniasi lebih dari 3 minggu dilakukan trans torakotomy repair, oleh karena perlekatan organ abdominal ke intra pleura sulit dibebaskan. Repair diaphragma secara all layer, interrupted figure of eight memakai non obsorble (tidak diserap). Kadang memerlukan prosthetic material, autolagous tissue.

Penyulit - Distres pernafasan.- Shock / syok oleh karena perdarahan - Nyeri hebat dibagian bawah dinding toraks.- Obstruktive ileus.

Rujukan 1. Fullerton DA, Grover FL : Gracker GM, Miller Je, jr : Trauma to the Diaphragma

Esophagus and Thoracic duct in Thoracic Surgery ed by F Griffith Pearson MD, Churchill Livingstone, New York,+ 1995, 1566 – 1571.

SINGKATAN :

ICS : Inter Costal Space

MCL : Mid Clavicular Line

WSD : Water Scal Drainage

RBBB : Right Bundle Branch Block

ST : SST wave pada Elektrokardiografi

EKG : Elektrokardiografi

CVP : Central Venous Pressure

ARDS : Adult Respiratory Dystress Syndrome

104

Page 105: SPM

Fraktur Tulang-tulang Muka

DEFINISI : Fraktur Tulang-tulang Muka dikepala yang tidak membatasi otak. Dibagi menjadi 4 jenis fraktur : Fraktur mandibula Fraktur maksila Fraktur zigoma Fraktur hidung

Kriteria diagnosis

Anamnesis

Terdapat riwayat trauma pada tulang muka.PemeriksaanPerdarahan lewat lubang hidung dan mulutAdanya deformitasUntuk tiga jenis yang pertama bisa ditemukan maloklusi

Diagnose banding- tak ada

Pemeriksaan penunjangFoto rontgen jenis dan proyeksi bergantung pada keperluan

105

Page 106: SPM

KonsultasiDokter Spesialis Bedah Saraf, Dokter Spesialis Saraf.Dokter Spasialis Mata.

Perawatan RSRawat inap:Bila memberikan gangguan saluran napas.Persiapan operasi.

TerapiKonservatifBila tidak memberikan gangguan fungsi maupun bentuk dan frakturdianggap cukup stabil.Operatif

PenyulitGangguan bentuk atau fungsiInfeksiKnitian bila ada ceclera kepala berat.

Masa pemulihanUntuk 3 fraktur pertama 8 minggu atau lebih.Untuk fraktur lainnya 2 minggu.Prognosa :Sembuh, normal.Sembuh dengan deformitas/ cacat fungsi

106

Page 107: SPM

Luka Bakar

DEFINISI : Luka akibat bahan/ benda panas yang mengenai tubuh.

Pemeriksaan1. Derajat kedalarnan:I hanya eritemII kerusakan sampai sebagian dermisIII kenisakan seluruh dermis atau lebih dalarn

Dalarn penilaian derajat I tidak diperhitungkan.2. Luas luka bakar dalam %, untuk kemudahan menggunakan rumus 9.3. Lokasi luka bakar.

Diagnosis banding- tak ada

Pemeriksaan penunjang- tak ada

Perawatan RSRawat inap untuk :Luka bakar derajat II / III lebih dan 10 % pada anak-anak, 15% pada dewasa.

107

Page 108: SPM

Derajat III > 2%.Luka bakar disertai trauma berat lain: inhalasi dan sebagainya.Luka bakar listrik.

TerapiDidahulukan penanggulangan terhadap gangguan jalan nafas dan sirkulasiPerkiraan jumlah dan pemberian cairan dengan menggunakan rumus Baxter:Hari I diperkirakan memerlukan: berat badan dalam kg x % luas luka bakar x 4 cc ringer laktat.

Terapi pada luka:Derajat II, obat topikal untuk lukaDerajat III, obat topikal yang dapat menembus skar (silversulfadiazin)Antibiotika (bila luka kotor)Toksoid 1 cc untuk tiap 2 mg, 3 x berturut-turut, ATS diberikan pada semua yang belum pemah mendapat toksoid.Antasid untuk luka bakar luas.Dieet kalori dan protein tinggi.FisioterapiBila penyebab adalah bahan kimia, perlu dibilas secara tuntas dengan air segera pada jam-jam permulaan.

PenyulitGangguan saluran napasGangguan sirkulasi bila berlanjut dapat rnenyebabkan kegagalan organ multipel.Kelebihan atau kekurangan cairan maupun electrolit.

Infeksi pada kulit, saluran napas, saluran kemih.Ulkus stres.Parut hipertrofi dan kontraktur, untuk jangka panjangDeformitas penampakan yang hebat.

Lama perawatanSangat dipengaruhi oleh kedalaman dan luas luka. Dirawat sampai luka lebih kecil dari indikasi perawatan.

Masa pemulihanSangat bervariasi, mungkin 2 tahun atau lebih bergantung pada parut yang terjadi.

Prognosa :Sembuh dengan kecacatan warna kulit saja sampai kecacatan berat, tidak dapat menggerakkan sendi-sendi.Kematian.

108

Page 109: SPM

AVULSI KULIT

DEFINISI : Ter1epasnya kulit dari dasar/kulit sekitarnya, sebagian besar atau total.

Diagnosis banding- tak adaPemeriksaan penunjang- tak adaTerapiPenilaian vitalitas kulit yang terlepas dan pembuangan kulit yang ternyata mati.Penjahitan situasi sisa kulit yang masih vital.Skin graft (tandur kulit) pada luka terbuka yang tersisa.

PenyulitKematian sebagian atau seluruh kulit yang terangkatInfeksiParut yang jelek.

Lama perawatan2 rninggu atau lebih

Lama pemulihan

109

Page 110: SPM

4 rninggu sampai 1-2 tahun tergantung faktor-faktor yang menyertainya.

PrognosaSembuh baikSembuh dengan cacat.

KEPUSTAKAAN

1. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong (Editor), Buku Ajar Ilmu Bedah ; Edisi Revisi; Jakarta; Penerbit Buku kedokteran, EGC, 1997.

2. Mimis Cohen, M.D. (Edit); Mastery of Plastic and Reconstructive Surgery (3 vol); 1994; Little Brown and Company; Boston/ New York/ Toronto/London.

3. James W. Smith, Sherrell J. Aston (Edit); Grabb and Smith's Plastic Surgery; Fourth Edition; 1991; Little, Brwon and Company; Boston/Toronto/London.

4. Joseph G. McCarthy, M.D. ; Plastic Surgery (8 vol) ; W.B.Saunders Company, Philaadelphia, London Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, 1990.

5. Ian A. McGregor M.B., Ch. M., F.R.C.S.(Eng.), F.R.C.S. (Glasg.), Hon. F.A.C.S.; Fundamental Techniques of Plastic Surgery; 1980, Churchill Livingstone, Edinburgh london and New York.

6. Richard J. Greco (Edit) ; Emergency Plastic Surgery ; 1991; Little, Brown and Company, Boston/Toronto/London.

7. Craig A. Foster, M.D., D.D.S., John E. Sherman, M.D.,(Edit) ; Surgery of Facial Bone Fractures ; Churchill Livingstone, New york, Edinbergh, London, Melbourne, 19

110