smk kompasiana

28
SMK: Sekolah Mencetak Kuli? http://www.kompasiana.com/agussaefudin/smk-sekolah-mencetak- kuli_55c818f5187b6183048b4567 Pendahuluan ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara- negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Persaingan global di segala bidang ini tidak hanya melanda negara-negara ASEAN tetapi juga negara-negara di seluruh penjuru dunia. Bagi negara maju, mungkin adanya persaingan global hanya menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan negara-negara yang lain. Tetapi bagi negara berkembang seperti Indonesia, adanya persaingan global menuntut untuk meningkatkan segala sektor negara, baik politik, ekonomi, pendidikan, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan semua sektor tentunya dilaksanakan melalui pembangunan bangsa. Dalam upaya pembangunan bangsa, tampaknya pengembangan sumber daya manusia adalah yang paling penting dan utama jika dibandingkan dengan pengembangan sumber daya alam. Masalah SDM tidak bisa lepas dari masalah tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja sangat bergantung pada kualitas SDM. Oleh karena itu, kualitas SDM harus mendapatkan prioritas utama untuk ditingkatkan dan dikembangkan guna mendapatkan kualitas tenaga kerja yang baik. Peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi generasi muda calon tenaga kerja merupakan tanggung jawab dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil. Dengan kata lain, melalui pendidikan akan diperoleh calon tenaga kerja yang

Upload: siswanto-ayahnya-nuhahana

Post on 14-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hubin

TRANSCRIPT

SMK: Sekolah Mencetak Kuli?http://www.kompasiana.com/agussaefudin/smk-sekolah-mencetak-kuli_55c818f5187b6183048b4567

Pendahuluan

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara

ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka

meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan

ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta

penduduknya. Persaingan global di segala bidang ini tidak hanya melanda negara-

negara ASEAN tetapi juga negara-negara di seluruh penjuru dunia. Bagi negara maju,

mungkin adanya persaingan global hanya menuntut mereka untuk menyesuaikan diri

dengan negara-negara yang lain. Tetapi bagi negara berkembang seperti Indonesia,

adanya persaingan global menuntut untuk meningkatkan segala sektor negara, baik

politik, ekonomi, pendidikan, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peningkatan semua sektor tentunya dilaksanakan melalui pembangunan bangsa. Dalam

upaya pembangunan bangsa, tampaknya pengembangan sumber daya manusia adalah

yang paling penting dan utama jika dibandingkan dengan pengembangan sumber daya

alam. Masalah SDM tidak bisa lepas dari masalah tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja

sangat bergantung pada kualitas SDM. Oleh karena itu, kualitas SDM harus

mendapatkan prioritas utama untuk ditingkatkan dan dikembangkan guna mendapatkan

kualitas tenaga kerja yang baik.

Peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi generasi muda calon tenaga kerja

merupakan tanggung jawab dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun

nonformal. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari

proses penyiapan SDM yang berkualitas, tangguh, dan terampil. Dengan kata lain,

melalui pendidikan akan diperoleh calon tenaga kerja yang berkualitas sehingga lebih

produktif dan mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain.

Dalam hal ini, pertambahan penduduk yang tidak memiliki keterampilan kerja akan

mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu pasar utama bagi produk-produk asing

dan pasar lapangan kerja bagi tenaga asing. Pertumbuhan penduduk yang tidak dikelola

dengan baik akan menjadi bencana bagi Indonesia jika tidak diikuti dengan peningkatan

kulitas SDM. Pertumbuhan penduduk tahun 2010 sampai pada tahun 2035 merupakan

bonus demografi bagi indonesia.

Bonus demografi ini merupakan suatu fenomena di mana struktur penduduk sangat

menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat

besar, sedangkan proporsi usia muda sudah semakin kecil dan yang berusia lanjut

belum banyak. Diperkirakan oleh pemerintah tahun 2035 working age mencapai 70%

dan dependency rasio mencapai 40% artinya pada tahun 2035 sekitar 7 orang

produktivitas dengan 4 orang tidak produktivitas mampu menopang perekonomian

Indonesia menjadi lebih baik.

Peningkatan kualitas SDM adalah jawaban atas tuntutan dan tantangan perubahan

jaman. Pengelolaan pendidikan terutama yang berkaitan dengan penyiapan tenaga

kerja harus menjadi titik perhatian utama agar mampu mengubah struktur dan kualitas

tenaga kerja yang memiliki daya saing dan produktivitas tinggi dalam membangun

ekonomi masyarakat. Pendidikan memegang peranan penting bagi peningkatan kualitas

sumber daya manusia.

Trilling dan Fadel (2011) menyatakan bahwa pada era global ini yang terpenting adalah

bagaimana memfungsikan pendidikan sebagai sebuah proses menyiapkan peserta didik

agar sukses menempuh kehidupannya di masa depan. Kemampuan untuk menghadapi

masa depan itulah yang perlu ditumbuhkembangkan dalam proses pendidikan.

Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional

memainkan peran yang sangat strategis bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja

nasional yang terampil. Lulusan SMK diharapkan menjadi sumber daya manusia yang

siap pakai, dalam arti ketika mereka telah menyelesaikan sekolahnya dapat

menerapkan ilmu yang telah mereka dapat sewaktu di sekolah.

Kenyataan di lapangan kerja menunjukkan bahwa daya serap lulusan SMK masih

rendah. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik yang

menyatakan bahwa Jumlah tenaga kerja Indonesia per Agustus 2014 mencapai 182,99

juta orang. Dari jumlah itu, 7,24 juta orang di antaranya berstatus pengangguran

terbuka. Tingkat pengangguran terbuka paling banyak adalah lulusan sekolah

menengah kejuruan (SMK), diploma, dan universitas. Jumlah pengangguran lulusan

SMK adalah 11,24 persen dari total jumlah pengangguran. Pengangguran lulusan SMK

ini naik tipis dibandingkan Agustus 2013 yang mencapai 11,21 persen. Jumlah lulusan

SMK yang menganggur ini persentasenya lebih besar dibanding persentase lulusan

SMA biasa yang mencapai 9,55 persen. Berturut-turut kemudian lulusan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) sebesar 7,15%, dan lulusan Diploma sebesar 6,14%.

Kepala BPS Suryamin (dalam tempo.com, Rabu (5/11/2014)) menengarai, belum

adanya link and match antara pendidikan kejuruan dengan industri menyebabkan

lulusan SMK yang paling banyak menganggur. Lulusan SMK seharusnya langsung

dapat kerja karena memiliki keahlian sesai dengan kompetensi keahlian. Salah satu

penyebab daya serap rendah ini adalah belum ada link and match antara kompetensi

lulusan SMK dengan kualifikasi keahlian yng dibutuhkan unia industri. Link and

match adalah kebijakan sejak zaman Orde Baru, yang dibuat Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan saat itu Wardiman Djojonegoro. Salah satu upaya yang dilakukan SMK

dalam kebijakan ini adalah penerapan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). PSG dalam

Kurikulun Pendidikan Berbasis Kompetensi siswa dapat beriteraksi baik di dalam

maupun diluar, yaitu di dalam berarti di sekolah melalui praktek di bengkel dan di luar

artinya belajar di perusahan atau dunia industri melalui magang atau praktek kerja

industri (prakerin). Siswa diharapkan mengetahui lingkungan kerja berdasarkan bidang

yang dia kuasai, selain itu juga akan mengerti tata cara kerja yang baik dan mengerti

akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.

Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sekolah dengan dunia industri. Sudah

menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar SMK memiliki peralatan praktik yang jauh

tertinggal dibandingkan dengan peralatan dan teknologi yang diterapkan dunia industri

sehingga ilmu yang dipelajari oleh siswa SMK hari ini tidak sinkron dengan tuntutan

dunia industri. Praktik kerja indstri (prakerin) yang dilaksanakan dalam tiga sampai

dengan enam bulan di dunia industri kadang menjadi sia-sia ketika siswa magang pada

perusahaan atau industri kecil sebagai akibat dari keterbatasan kuota dari perusahaan

besar dalam menerima siswa magang. Hal ini terjadi karena jumlah siswa yang belajar

di SMK dengan jumlah industri yang bersedia menerima siswa melaksankan praktik

kerja industri tidak seimbang dimana jumlah siswa jauh lebih banyak dibandingkan

dengan kuota yang disediakan industri untuk siswa magang.

Guru produktif sebagai instruktur yang mengajar mata pelajaran kejuruan juga

mempunyai peran dalam kesenjangan lulusan SMK dengan tuntutan dan kebutuhan

dunia industri. Hal ini terjadi dikarenakan sebagian besar guru produktif

mandek (stagnan) dalam keilmuan mutakhir sebagaimana yang diterapkan oleh dunia

industri. Guru produktif yang merupakan produk LPTK seringkali memiliki keterbatasan

pengetahuan akan teknologi mutakhir, banyak guru produktif yang tidak mampu

mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disebabkan banyak

keterbatasan dari guru sendiri. Dengan demikian faktor guru produktif dan

profesionalisme juga merupakan variabel yang perlu diperhatikan ketika membahas link

and match lulusan SMK dengan dunia kerja.

Kritik atas Kegagalan SMK?

Secara konseptual sesungguhnya tidak ada yang salah dengan SMK. Direktorat

Pendidikan Mengah Kejuruan (2003) menyatakan bahwa tujuan Sekolah Menengah

Kejuruan memiliki tujuan umum, yaitu: (1) menyiapkan peserta didik agar dapat

menjalani kehidupan secara layak, (2) meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta

didik, (3) menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan

bertanggung jawab, (4) menyiapkan peserta didik agar memahami dan menghargai

keanekaragaman budaya bangsa Indonesia, dan (5) menyiapkan peserta didik agar

menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki wawasan lingkungan, pengetahuan

dan seni. Tujuan khusus SMK, adalah: (1) menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja,

baik secara mandiri atau mengisi lapangan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan

industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan program

keahlian yang diminati, (2) membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan

gigih dalam berkompetensi dan mampu mengembangkan sikap profesional dalam

bidang keahlian yang diminati, dan (3) membekali peserta didik dengan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) agar mampu mengembangkan diri sendiri melalui

jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kenyataan di lapangan saat ini menunjukkan bahwa slogan SMK yang santer terdengar

“SMK Bisa!” mulai nampak loyo dan kuyu melihat fakta BPS menyoal jumlah

pengangguran. SMK yang sejatinya mempersiapkan generasi sekolah menengah untuk

siap terjun ke dunia kerja nampaknya ironi semata. Sloga di atas sepertinya hanya

membara saat generasi muda menempuh di jenjang sekolah. Sedang di dunia kerja,

penyerapan baik yang diharapkan nampak belum optimal. Seperti termaktub dalam

salah satu poin Sekolah Menengah Kejuruan dalam

website www.ditpsmk.net  yaitu Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai

etos kerja dan kompetensi berstandar internasional belum terwujud. Etos kerja yang

digadang-gadang mampu mempersiapkan siswa di dunia kerja nampaknya belum

optimal. Hal ini terkendala pengelolaan setengah hati SMK. Pemerintah memberikan

keleluasaan dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan. Namun, saat ini belum

ada peningkatan mutu pendidikan SMK dan pemetaan mobilisasi lulusan SMK.

Kebijakan pemerintah ini justru ditanggapi dengan euforia, yaitu munculnya SMK-SMK

baru. Apabila tidak ada peningkatan kualitas SMK, maka industri akan kesulitan

menyerap lulusan SMK yang jumlahnya cukup besar.

Kegagalan pendidikan SMK selama ini yang berimplikasi terhadap rendahnya daya

serap lulusan dan dicapnya SMK sebagai sekolah yang mencetak pengangguran dan

kuli tidak lepas dari banyak faktor yang saling terkait, baik menyangkut kebijakan

pemerintah, pengelola SMK termasuk kepala sekolah dan guru, sarana dan prasarana,

serta dunia usaha/industri selaku mitra SMK. Penulis menginventarisasi kegagalan

pendidikan SMK, sebagai berikut:

 

1. Kebijakan Setengah Hati Pemerintah

Pemerintah dalam kebijakan pendidikan menengah kejuruan melalui Provinsi Vokasi,

Kabupaten Vokasi bahkan sampai dengan Kelurahan/Desa Vokasi menekankan

keberpihakannya pada Sekolah Menengah Kejuruan. Hal ini didasarkan pada pemikiran

bahwa melalui SMK para siswa dibekali keterampilan. Kelebihan sekolah di SMK

sebelum lulus para siswa diberi kesempatan praktk kerja industri (prakerin).  Umumnya

para siswa akan dilepas di dunia kerja rata-rata antara 3 sampai 6 bulan.  Siswa di SMK

diharuskan membuat sebuah karya disebut Tugas Akhir (TA) dan uji kompetensi yang

menilai sampai sejauh mana penguasaan keahlian setelah selama 3 tahun belajar

sebagai persyaratan kelulusan. Lulusan siswa SMK dikatakan setelah lulusan siap

masuk di dunia kerja. 

Kebijakan hebat ini mendapatkan respons yang luar biasa dari masyarakat yang

diitunjukkan dengan semakin bertambahnya jumlah-jumlah SMK dan juga minat orang

tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke SMK.  Banyak SMK swasta yang didirikan

menyambut antusiasme masyarakat atas kebijakan pemerintah ini. Selanjutnya yang

terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya pendirian SMK ini tidak diimbangi

dengan penyediaan sarana dan prasarana praktik yang memadai dan guru-guru yang

kompeten. SMK negeri dan swasta yang ada selama ini ada  belum secara optimal

mendapatkan bantuanupgrading alat-alat praktik maupun pelatihan kompetensi bagi

guru produktif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

mutakhir. Kuantitas SMK yang semakin besar yang tidak diimbangi dengan kualitas baik

sarana dan prasarana, guru yang kompeten, dan nihil mendapatkan mitra dunia

usaha/industri menjadkan semakin banyaknya SMK sastra yang kurang praktik

sehingga lulusanpun menjadi tidak berkualitas dan akibatnya sulit untuk masuk dunia

kerja.

Salah satu penyebab terjadinya kondisi ironis dalam implementasi pendidikan SMK

disebabkan ketidakseimbangan antara produk hukum dengan perencanaan dan

implementasi kebijakan yang ditetapkan. Sebagai contoh dalam pelaksanaan

pendidikan sistem ganda dan kemitraan sekolah dengan industri, pemerintah

seharusnya tidak setengah-setengah dalam membantu SMK dalam meningkatkan

kualitas lulusannya. Perlu langkah konkrit bagaimana mengatur dunia usaha dan industri

agar membantu SMK dalam melaksanakan program bersama dalam upaya menyiapkan

tenaga kerja siap pakai. Penyiapan aturan atau bahkan undang-undang yang mengikat

semua dunia usaha dan industri dalam merealisasikan kerjasama ini. Nasionalisme

DUDI dibangun dengan dimulai dari membuat aturan dan undang-undang dan aturan

yang mengikat mereka menuju ke arah pembangunan bangsa yang kuat.

 

2. Rendahnya Visi Kepala SMK

Kepala SMK hendaknya memiliki visi jauh ke depan karena lulusannya berhubungan

langsung dengan masalah ketenagakerjaan dan kebutuhan dunia usaha serta industri.

Kebanyakan kepala SMK yang memandang bahwa SMK tidak ubahnya dengan

sekolah-sekolah lain menyebabkan proses pembelajaran yang berlangsung juga sama

dengan sekolah-sekolah menengah yang lain dengan orientasi pada tingginya persetase

kelulusan dan nilai ujian nasional semata. UN dan penilaian-penilaian normatif dan

kognitif menjadi panglima dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga lulusan yang

dihasilkan hanya memiliki selembar ijazah dan pengakuan-pengakuan normatif formal

saja tanpa dimbangi dengan soft skill sebagai kecakapan hidup (life skill)saat terjun di

masyarakat.

 

3. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Kejuruan/Produktif

Guru pengampu mata pelajaran kejuruan/produktif mempunyai peran yang stategis

dalam menghasilkan lulusan SMK yang kompeten dan siap kerja. Lulusan SMK yang

berkualitas hanya akan terwujud jika guru yang mengajar dan memfasilitasi kegiatan

pembelajaran termasuk praktik keterampilan kejuruan sesuai dengan kompetensi

keahlian adalah guru profesional yang kompeten. Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa sebagian besar guru kejuruan/produktif yang merupakan lulusan LPTK telah

tertinggal dalam penguasaaan ilmu pengetahuan dan tenologi. Banyak ilmu

pengetahuan dan tenologi terbaru dan mutakhir yang tidak dikuasai oleh guru

dikarenakan keterbatasan guru dalam mengakses informasi dan tidak

mendapat upgrading keilmuan dan kompetensi dalam pendidikan dan pelatihan yang

memadai. Hasil penilaian uji kompetensi guru yang diumumkan oleh pemerintah

menunjukkan bahwa nilai kompetensi guru sebagian besar adalah rendah dan dilihat

dari sisi kualitasnya banyak keilmuan yang telah tertinggal dibandingkan dengan

kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara pesat.

 

4. Sarana dan Prasarana Praktik yang Tertinggal

Dunia industri berkembang pesat seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Perkembangan ini tidak mampu diimbangi oleh sebagian besar SMK. Sarana

dan prasarana praktik SMK banyak yang sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai lagi

dengan perkembangan teknologi yang diterapkan dunia industri. SMK yang kurang atau

tidak memiliki fasilitas praktik, membuat lulusannya tidak terampil.  Masyarakat sering

menyebut dengan SMK Sastra.  Lulusan seperti itu kalah dalam persaingan masuk

dunia kerja.  Tes akademik kalah dengan lulusan SMA, sementara tes keterampilan

selalu gagal.  Mereka juga sulit memilih pekerjaan di luar jurusannya di SMK. 

Lengkaplah kemeranaan lulusan SMK Sastra itu.

 

5. Kurikulum SMK yang Membingungkan

Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional.

Kurikulum berfungsi sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan

bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran. Kurikulum diperlukan untuk membantu guru dalam

mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan dari berbagai berbahan

kajian. Kurikulum yang dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyelenggarakan

kegiatan pembelajaran disusun melalui proses yang komprehensif dan sistematis.

Dengan demikian, dalam pengembangan kurikulum perlu diterapkan pedekatan

menyeluruh secara sistematik dan sistemik.

Sekolah Menengah Kejuruan mempunyai kekhususan. Kekhususan tersebut terletak

pada mata pelajaran produktif. Seperti halnya mata pelajaran lain, standar isi (SI) dan

standar kompetensi lulusan (SKL) mata pelajaran produktif juga perlu dikaji. Kegiatan

kajian diusulkan agar dilakukan dengan melibatkan para guru dan dosen

berpengalaman industri, para profesional DU/DI dalam bidangnya serta asosiasi profesi

terkait. Pelibatan mantan anggota Kelompok Bidang Keahlian (KBK) pada Majelis

Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) sangat disarankan. Buram final perlu disebar-

luaskan secara terbuka kepada para pemangku kepentingan untuk mendapat masukan.

Mengingat KTSP SMK harus mengacu pula pada Standar Kompetensi Kerja Nasional

Indonesia (SKKNI), sedangkan belum semua program keahlian memiliki SKKNI, perlu

upaya sinergis dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) untuk penyusunan

SKKNI terkait yang belum terbit.

Berdasarkan analisis pelaksanaan di lapangan, penambahan mata pelajaran pada

kelompok normatif (Seni Budaya) dan pada kelompok adaptif (Ilmu Pengetahuan Sosial

dan Ilmu Pengetahuan Alam) berdampak pada beban belajar peserta didik di sekolah

menengah kejuruan di satu sisi, di sisi lain berkurangnya alokasi waktu untuk mata

pelajaran produktif. Sehingga beban jumlah jam belajar dengan perbandingan alokasi

waktu tatap muka, praktik sekolah dan praktik industri (1:2:4) berimplikasi pada

penyediaan waktu lebih banyak dari yang diamanatkan pada standar isi

(mengakomodasi jumlah jam perminggu maksimum 40 jam). Oleh karena itu jam real

praktik disekolah dan industri harus dihitung serta melakukan penambahan jumlah jam

pelajaran lebih dari 4 jam pelajaran untuk memenuhi pencapaian standar kompetensi

lulusan.

 

6. Produk SMK yang Tak Didukung

Kegiatan pembelajaran SMK yang efektif adalah berbasis kompetensi dan berbasis

produksi. Dengan demikian siswa SMK diharapkan mampu menghasilkan proyek yang

berupa produk atau jasa sesuai dengan kompetensi keahlian yang dipelajari.  Unit

poduksi yang merupakan elemen penting SMK yang menjadi ciri khusus dan

membedakan dengan pendidikan menengah lainnya mempunyai peran yang strategis

dalam memperkenalkan dan memasarkan produk SMK.

Contoh paling nyata berkaitan dengan Esemka yang merupakan salah satu produk

siswa SMK yang dibanggakan. Esemka adalah produk mobil nasional hasil rakitan

siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan yang bekerja sama dengan institusi dalam

negeri dan beberapa perusahaan lokal dan nasional. Kandungan komponen lokal

(dalam negeri) berkisar antara 50%-90%. Namun faktanya, mobnas Esemka terengah-

engah mencoba menghirup nafas dalam gempuran mobil Jepang. Esemka yang

digadang-gadang oleh Jokowi menjadi serupa Timor nampak mangkrak. Lebih lagi

pemerintah nampak masa bodoh. Dengan dikeluarkannya kebijakan mobil murah,

seperti menikam mati produksi hasil tangan-tangan siswa SMK. Sudah empat hari mobil

Esemka buatan PT Solo Manufaktur Kreasi dipamerkan di Jakarta Convention Center

(JCC), Senayan, Jakarta Pusat. Hingga hari ini baru 3 unit mobil Esemka yang berhasil

terjual di acara Pameran Produk Dalam Negeri 2013. Marketing PT Solo Manufaktur

Kreasi Tri Yuli Puspitarini mengatakan sejak mengikuti pameran di JCC, 4 hari lalu

sampai saat ini baru 3 unit mobil Esemka yang laku terjual (berita: finance.detik.com).

 

Menuju SMK Bisa! yang Unggul

 

Membangun sekolah unggul sebagaimana slogan SMK Bisa ! dan unggul dalam segala

hal termasuk menghasilkan lulusan yang kompeten yang kompetetif dalam persaingan

global dan dunia kerja bahkan mencetak wirausahawa muda adalah  sebuah kalimat

yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dicapai. Tetapi kata sulit belum tentu tidak bisa

bahkan sangat mungkin dicapai jika direncanakan secara matang dan direalisasikan

dengan penuh dedikasi dan loyalitas demi mewujudkan generasi penerus yang tangguh.

Sesuai dengan pengertian dasarnya, sekolah unggul (effective school) berarti sekolah

yang memiliki kelebihan, kebaikan, keutamaan jika dibandingkan dengan yang lain,

maka dalam konteks ini sekolah unggul mengandung makna sekolah model yang dapat

dirujuk sebagai contoh bagi kebanyakan sekolah lain karena kelebihan, kebaikan dan

keutamaan serta kualtas yang dimilikinya baik secara akademik maupun non akademik.

Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus dimiliki

sekolah unggul. Kesembilan kriteria tersebut menjadi rambu-rambu yang harus dipenuhi

oleh SMK untuk menjadi sekolah yang unggul, yaitu:

1. Masukan (input), yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria

tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang

dimaksud adalah : (1) prestasi belajar superior dengan indikator angka rapor dan

nilai UN, serta hasil tes prestasi akademik, (2) skor psikotes yang meliputi

intelgensi dan kreativitas, (3) tes fisik, jika diperlukan.

2. Sarana dan prasarana yang menunajang unutk memenuhi kebutuhan belajar

siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya, baik dalam kegiatan kurikuler

maupun ekstra kurikuler.

3. Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan

menjadi keunggulan yang nyata baik lingkung fisik maupun social-psikologis.

4. Guru dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul baik dari segi

penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun komitmen dalam

melaksanakan tugas.

5. Kurikulum dipercaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal

sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar

yang lebih tinggi.

6. Kurun waktu belajar lebih lama dibandingkan sekolah lain. Karena itu perlu ada

asrama untuk memaksimalkan pembinaan dan menampung para siswa dari

berbagai lokasi. Di kompleks asrama perlu adanya sarana yang bisa

menyalurkan minat dan bakat siswa seperti perpustakaan, alat-alat olah raga,

kesenian dan lain yang diperlukan. Alokasi waktu untuk pengembangan soft

skill dalam kerangka kecakapan hidup sangat ditekankan termasuk di dalamnya

kompetensi kerja produktif dan praktik kewirausahaan

7. Proses belajar mengajar harus berkulitas dan hasilnya dapat

dipertanggungjawabkan (accountable) baik kepada siswa, lembaga maupun

masyarakat.

8. Sekolah unggul tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta didik di

sekolah tersebut, tetapi harus memiliki resonansi sosial kepada lingkungan

sekitarnya. Dalam kaitannya dengan produk yang dihasilkan diharapkan berbasis

pada kebutuhan dan permintaan pasar/masarakat sekitar sehingga produk yang

dihasilkan akan diterima dan dapat berkembang semakin baik yang berimplikasi

pada pengembangan diri siswa.

9. Nilai lebih sekolah unggul terletak pada perlakuan tamban di luar kurikulum

nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan dan perluasan,

pengajaran remedial, pelayanan bimbingan dan konseling yang berkualitas,

pembinaan kreatifitas dan disiplin.

Di samping kesembilan kriteria sekolah unggul dari Departemen Pendidikan Nasional

yang menjadi acuan maka SMK Bisa yang benar-benar unggul juga harus mempunyai

nilai lebih yang ditunjukkan dalam integrasi kecerdasan inteletual, emosional, dan

spiriual, serta bagaimana membangun paradigma pembelajaran unggul,  pembelajaran

berbasis kewirausahaan sebaai dasar mencetak wirausahawan, menjajadkan UPJ

sebagai perusahaan sekolah, dan membangun secara kuat jaringan mitra industi yang

handal. Masing-masing aspek untuk mewujudkan SMK Bisa yang unggul dijelaskan

sebagai berikut.

 

1. Integrasi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual

Mencermati sekolah unggul yang diajukan di atas, secara eksplisit masih mengarah

pada aspek-aspek bersifat tangible, atau berada pada ranah kognitif sehingga sulit

diharapkan mampu menciptakan manusia utuh yang sesungguhnya (insan kamil).

Manusia utuh yang diharapkan lahir dari sekolah unggul adalah manusia yang

menampilkan citra sebagai sosok makhluk tuhan yang di dalam dirinya terdapat potensi

rasional (nalar), potensi (emosi) dan potensi spiritual. Tiga dimensi keunggulan (cerdas

intelek, cerdas emosional dan serdas spiritual)dalamperspektif Islam mencitrakan sosok

manusia utuh.

Lembaga pendidikan yang terlalu banyak menekankan pentingnya nilai akademik,

kecerdasan otak atau IQ saja, mengabaikan kecerdasan emosi yanga mengajarkan:

integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan,

keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi menjadikan pendidikan

kehilangan ruhnya.

Aspek emosional sebagai salah satu unsur yang menandai ke- diri-an manusia

tidakbisadiabaikan, karena ia akan membentuk karakter kepribadian manusia, terutama

ketika iamenghadapi berbagai kerumitan dan keruwetan kenyataan hidup. Secara

esensi kecerdasan emosional (EQ) adalah hatiyang mengaktifkan nilai-nilai kita yang

terdalam, mengubahnya dari suatu yangkita piker menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati

mampu mengetahui hal-hal mana yang tidakboleh, atau tidak dapat diketahui oleh

pikiran kita. Kedua aspek tersebut, dalam perspektif pendidikan ideal belumlah cukup

untuk menggambarkan kebutuhan sosok manusia. Sebab dalam diri manusia terdapat

satu asek penting lainnya yaitu potensi spiritual. Pemanduan ketiga potensi ini

menggambarkan keutuhan manusia yang sesungguhnya. Sebab bukanlah manusia jika

hanya memiliki rasio, tetapi tumpul rasa. Juga ukanlah manusia jika iamenggambarkan

sosok dirinya sebagai makhluk yangterus menrus berzikir tanpa memiliki kepekaan

terhadap aspek-aspek lain (sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya).

Karena itu, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat

kebaikan, kebenaran,keindahan, dan kasih saying dalam hidup kita, kecerdasan untuk

menghadapi persoalanmakna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan

perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Dengan lain

pernyataan, pendidikan adalah kemampuan merasakan hubungan  yang

tersembunyi (the hidden connection) antar berbagai fenomena dalam hidup manusia.

Dengan mengorientasikan tiga unsur tersebut berarti sekolah unggul telah

mengakomodasi sisi kemanusiaan peserta didik secara komprehensif, tidak hanya

berkutat pada persoalan nilai UN, atau pengetahuan kognitif saja,  tetapi hal ini juga

menekankan semua segi kehidupan manusia seperti spiritualitas,moralitas, sosialitas,

rsadan rasionalitas. Sebab, menentukan kriteria keunggulan sekolah dari sisi kognitif

saja tidak hanya mereduksi keluasan makna dan fungsi pendidikan, tetapi juga sekolah

akan menjadi semacam ajang pemaksaan budaya dominan, yaitu prestise dan

popularitas sesaat parashateholders sehingga siswanya tidak lagi dipandang sebagai

“people who can transform knowledge and society”, tetapi sebagi makhluk semi mati

yang bisa direkayasa untuk kepentingan-kepentingan pragmatis pula.

Sekolah yang idealnya merupakan sebuah proses humanisasi dan liberalisasi (amr bil

ma’ruf wa hany ‘an almungkar) menjadi keilangan relevansi dan jati dirinya bagi

pemecahan permasalahan dalam pembangunan manusia seutuhnya. Lembaga

pendidikan unggul idealnya berkepentingan untuk menempatkan manusia sebagai

makhluk yang memiliki potensi multidimensi seperti dikemukakaan di atas, tidak untuk

menjadikan manusiasebagai makhluk tuna dimensi. Dengan demikian output lembaga

pendidikan unggul mampu hidup serasi bukan hanya dengan habitat ekologinya

(lingkungan keluarga, manusia dengan anggota masyarakat, manusia dengan alam)

tetapi juga manusia dengan Tuhan.

 

2. Paradigma Pembelajaran SMK Unggul

Pembelajaran pada SMK unggul memandang bahwa semua siswa mempunyai potensi

untuk berkembang sehingga kata kunci yang dipegang adalah tidak ada produk gagal.

Hal ini berarti bahwa semua siswa dididik dengan berorientasi pada tujuan SMK dengan

berbasis kompetensi kerja sesuai kebutuhan tenaga kerja dan berbasis proyek. Dengan

demikian lulusan SMK diharapkan merupakan tenaga kerja terampil yang siap pakai.

Pembelajaran SMK unggul dapat dicapai dengan baik jika didukung oleh beberapa

faktor, diantaranya:

1. Kepemimpinan kepala sekolah visioner dan berwawasan luas;

2. Guru profesional dan kompeten;

3. Sarana dan prasarana serta peralatan praktik yang memadai sesuai dengan

dunia usaha/industri;

4. Pendekatan pembelajaran yang digunakan berpusat pada siswa(student

centered learning);

5. Pembelajaran mata pelajaran kejuruan/produktif berbasis kompetensi dan proyek

sesui dengan standar industri dengan memperhatikan ranah kognitif, afektif, dan

psikomotorik;

6. Pembiasaan budaya kerja unggul baik disiplin, kejujuran, ketertiban, kerja sama

dan tanggung jawab;

7. Pelaksanaan praktik kerja industri (prakerin)/pendidikan sistem ganda yang

efektif pada dunia usaha/industri yang relevan dengan kompetensi keahlian yang

dipelajari untuk memberikan gambaran nyata dunia kerja;

8. Dukungan profesonal/praktisi dunia usaha/industri dalam pembelajaran sebagai

guru tamu yang memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir sesuai

tuntutan dan kebutuhan dunia kerja.

Ada 5 (lima) indikator yang menunjukkan pembelajaran pada SMK unggul, yaitu:

1. Pembentukan Karakter (Charater Building)

Manusia pada hakikatnya terdiri dari 2 sisi, yaitu; jasmani & rohani. Kedua sisi tersebut,

selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi

pendidikan terhadap 2 sisi tersebut tidak seimbang (terutama pada sisi rohani), maka

akan terjadi krisis akhlak yang didalamnya tidak ada lagi kejujuran, kepedulian,

tanggung jawab, saling menghargai dll.Character Building adalah bidang studi yang

memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Tapi pada saat ini, kenyataannya

pendidikan/materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah, yaitu dalam bidang studi

agama.

2. Agen Perubahan (Agent of Change)

Sekolah semestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya telah luntur, bahkan

sudah merasuk keparadigma masyarakat. Bahwa sekolah unggulan adalah sekolah

yang murid-muridnya pandai dan baik, serta untuk masuk kesekolah tersebut butuh

biaya yang mahal. Sekolah jeblok adalah sekolah yang murid-muridnya bodoh dan 

nakal atau anak buangan (yang tidak diterima masuk sekolah unggulan).Dalam hal ini,

Bukankah sebuah sekolah dibangun untuk mencerdaskan anak yang bodoh, serta

membuat baik anak yang nakal.  Dengan menerapkan Multiple Intelegence

Research kepada setiap siswa pada tiap tahun, ternyata tidak semua siswa bodoh.

Setiap siswa memiliki kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang beragam dan

patut dihargai. 

3. Proses Terbaik (The Best Process)

Konsekuensi Agent of Change adalah proses pembelajaran yang terbaik. Proses

pembelajaran ini harus mengandung kekuatan emosi positif dari proses awal hingga

akhir pembelajaran harus benar-benar menyentuh perasaan siswa. Jika hal ini terjadi,

maka akan menimbulkan penjiwaan dari siswa tersebut dan pelajaran tersebut akan

terekam dalam memory jangka panjang.

4. Guru Terbaik (The Best Teacher)

Ada 3 hal yang menentukan untuk menjadi guru terbaik yang dapat memberikan

pembelajaran optimal bagi siswanya sehingga dihasilkan lulusan berkualitas dan

paripurna, yaitu: (1) guru sebagai fasilitator, memfasilitasi dengan memberi porsi yang

besar kepada siswa dalam proses pembelajaran sehingga pemikiran siswa dapat

tumbuh kembang dengan optimal; (2) guru sebagai katalisator, akan terus memantik

kemampuan siswa termasuk bakatnya, terutama pada siswa yang lamban dalam

memahami pelajaran; dan (3) guru harus dapat menyesuaikan gaya mengajarnya

dengan gaya belajar siswa, apabila proses teaching style dengan learning style sesuai

maka akan muncul kondisi sebenarnya dimana tidak ada pelajaran yang sulit dan

semua siswa dapat menerima pelajaran dari guru.

5. Manajamen Sekolah (School Management)

Manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan SDM tingkat tinggi, sangat

kompleks dan dibutuhkan orang-orang profesional untuk mengelolanya. Manajemen

sekolah ibarat kedua kaki kita yang melangkah menuju satu tujuan kehidupan yang

mulia. Kaki kanan ibaratcontext system, yaitu penyelenggara pendidikan dan  kaki kiri

ibaratcontent system, yaitu kepala sekolah dan guru. Jadi alangkah padunya bila

langkah kedua kaki ini melangkah dengan harmonis.

 

3. Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan sebagai Dasar Mencetak Wirausahawan

Pembelajaran pada SMK unggul di samping berbasis kompetensi dan proyek yang

menunjukkan keutuhan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berbasis

kewirusahaan sebagai dasar mencetak wirausahawan muda. Lulusan SMK seharusnya

mampu menciptakan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya sendiri bahkan pada

tataran yang lebih luas dapat membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain. Nilai-nilai

dan jiwa kewirausahaan dapat ditanamkan sejak dini dan yang paling efektif adalah

melalui pendidikan. Dengan demikian pembelajaran produktif sangat strategis jika

dilakukan dengan berbasis kewirausahaan. Pembelajaran produktif merupakan mata

pelajaran yang mengajarkan kompetensi keahlian sesuai bakat dan minat peserta didik

sesuai dengan kejuruan (vokasional) yang dipilih dan membekali peserta didik dengan

pengetahuan, keterampilan dan sikap (attitude)untuk memasuki dunia kerja. Perlu dikaji

dan diteliti secara mendalam dengan pendekatan kualitatif tentang model implementasi

pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan pada SMK yang dapat menanamkan

dan menginternalisasi nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan bagi siswa SMK sehingga pada

saatnya nanti lulusan SMK dapat menjadi wirausahawan-wirausahawan muda yang

dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, bagi diri, keluarga dan

masyarakatnya.

Wibowo (2011) menyatakan bahwa pembelajaran produktif akan lebih bermakna jika

diajarkan dengan berbasis kewirausahaan karena dapat menginternalisasikan jiwa dan

mental kewirausahaan kepada peserta didik. Pendidikan berbasis kewirausahaan akan

membentuk kurikulum berbasis kewirausahaan yang sangat sesuai dengan karakter

Sekolah Menengah Kejuruan yang lulusannya dipersiapkan memasuki dunia kerja.

Pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan dalam praktiknya dapat dilakukan

dengan menanamkan nilai-nilai dan jiwa kewirausahaan pada peserta didik yang dapat

dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berpusat pada potensi, perkembangan,

kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya dengan cara

mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan dalam proses pembelajaran produktif.

Melalui integrasi ini diharapkan peserta didik akan memperoleh kesadaran betapa

pentingnya nilai-nilai kewirausahaan. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran bukan

lagi sekedar menjadikan peserta didik menguasai kompetensi produktif yang ditargetkan

tetapi juga mengenal, menyadari dan peduli, serta menginternalisasi nilai-nilai

kewirausahaan dan menjadikannya perilaku dalam kehidupannya.

Hasil penelitian Samsudi (2014) tentang pengembangan model pembelajaran program

produktif SMK untuk membentuk karakter kewirausahaan lulusan menunjukkan hasil

bahwa pembelajaran program produktif SMK memiliki posisi strategis dalam

pengembangan kompetensi siswa, baik kompetensi teknis (hard competence) maupun

kecakapan kewirausahaan (soft competence). Materi pembelajaran perlu didesain

dengan memfokuskan pada kegiatan produktif (membuat atau menciptakan produk baik

barang maupun jasa) yang menekankan karakter kewirausahaan, metode pembelajaran

bersifat penugasan atauproject work, dan evaluasi hasil pembelajaran perlu

menerapkan teknik evaluasi unjuk kerja dengan menekankan evaluasi proses dan

produk.

Pembelajaran produktif berbasis kewiarusahaan sangat efektif diterapkan pada SMK

agar lulusan siap memasuki dunia kerja bukan hanya sebagai pencari kerja tetapi juga

sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Pendidikan produktif berbasis kewirausahaan

akan efektif jika materi pembelajaran produktif didesain dengan baik memuat nilai-nilai

kewirausahaan dengan pendekatan yang tepat dan evaluasi unjuk kerja maka siswa

akan lebih termotivasi untuk belajar lebih baik dan nilai-nilai kewirausahaan

terinternalisasi secara lebih bermakna.

 

4. UPJ sebagai Dunia Usaha/Industri di Sekolah

Unit produksi adalah unit usaha yang memiliki keseimbangan antara aspek komersial

dan aspek akademik, yang diselenggarakan dalam lingkup organisasi sekolah dengan

memanfaatkan fasilitas yang dimiliki sekolah yang bersangkutan. Keuntungan itu

dimanfaatkan untuk membantu pembiayaan pendidikan dan meningkatkan

kesejahteraan bagi warga sekolah, termasuk siswa dan pengelola yang bersangkutan.

Unit produksi pada umumnya bekerja dalam lingkup unit usaha sekolah, aktivitasnya

tidak mengganggu program intrakurikuler.

Berdasarkan pedoman pelaksanaan unit produksi (Dikmenjur, 2007), tujuan

penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah: (1) wahana pelatihan berbasis produksi/jasa

bagi siswa; (2) wahana menumbuhkan dan mengembangkan jiwa wirausaha guru dan

siswa pada SMK/MAK; (3) sarana praktik produktif secara langsung bagi siswa; (4)

membantu pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan fasilitas dan biaya-biaya

operasional pendidikan lainnya; (5) menambah semangat kebersamaan, karena dapat

menjadi wahana peningkatan aktivitas produktif guru dan siswa serta

memberikan income dan peningkatan kesejahteraan warga sekolah; dan (6)

mengembangkan sikap mandiri dan percaya diri dalam pelaksanaan kegiatan praktik

siswa.

Unit produksi SMK sejak awal diharapkan menjadi salah satu alternatif dan pendekatan

melahirkan dunia usaha di lingkungan SMK, dengan memberdayakan seluruh aset dan

potensi yang dimiliki SMK. Profil unit produksi SMK meliputi: (1) struktur organisasi:

adanya struktur organisasi yang terintegrasi dengan struktur organisasi sekolah;

(2)sumber permodalan: sistem permodalan melibatkan warga sekolah/stake

holder termasuk siswa; (3) program: perencanaan kegiatan unit produksi dengan: (a)

menerapkan konsep-konsep manajemen produksi, manajemen SDM, akuntansi

keuangan, dan pemasaran, (b) kegiatan produksi terintegrasi dengan proses belajar

mengajar, (c) kegiatan unit produksi menjadi alternatif pelaksanaan praktik kerja industri

dan sebagai proses pelatihan kewirausahaan, (d) pemasaran produk melibatkan seluruh

warga sekolah dan stake holder, termasuk alumni; (4) pengelolaan profit: profit

terdistribusi dengan persentase yang disepakati bersama warga sekolah, mendukung

dana operasional sekolah, pengembangan SDM, kegiatan sosial kemasyarakatan; (5)

pembukuan dan pertanggungjawaban keuangan dilakukan mengikuti Standar Akuntansi

Keuangan. Audit keuangan minimal satu kali dalam 3 bulan oleh tim audit yang dibentuk

bersama warga sekolah, laporan pertanggungjawaban keuangan unit produksi dilakukan

minimal setiap akhir tahun akademik.

 

5. Jaringan Mitra Industri yang Handal

Karakteristik pendidikan kejuruan menurut Djohar (2007:1295-1297) adalah sebagai

berikut:

1. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk

menyiapkan penyediaan tenaga kerja. Oleh karena itu orientasi pendidikannya

tertuju pada lulusan yang dapat dipasarkan di pasar kerja.

2. Justifikasi pendidikan kejuruan adalah adanya kebutuhan nyata tenaga kerja di

dunia usaha dan industri.

3. Pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup

domain afektif, kognitif, dan psikomotorik yang diaplikasikan baik pada situasi

kerja yang tersimulasi lewat proses belajar mengajar, maupun situasi kerja yang

sebenarnya.

4. Keberhasilan pendidikan kejuruan diukur dari dua kriteria, yaitu keberhasilan

siswa di sekolah (in-school success), dan keberhasilan siswa di luar sekolah

(out-of school success). Kriteria pertama meliputi keberhasilan siswa dalam

memenuhi persyaratan kurikuler, sedangkan kriteria kedua diindikasikan oleh

keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang

sebenarnya.

5. Pendidikan kejuruan memiliki kepekaan/daya suai (responsiveness) terhadap

perkembangan dunia kerja. Oleh karena itu pendidikan kejuruan harus bersifat

responsif dan proaktif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan 

menekankan kepada upaya adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi

prospek karir anak didik dalam jangka panjang.

6. Bengkel kerja dan laboratorium merupakan kelengkapan utama dalam

pendidikan kejuruan, untuk dapat mewujudkan situasi belajar yang dapat

mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif.

7. Hubungan kerjasama antara lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia usaha

dan industri merupakan suatu keharusan, seiring dengan tingginya tuntutan

relevansi program pendidikan kejuruan dengan tuntutan dunia usaha dan

industri.

Dengan memperhatikan karakteristik SMK di atas maka jaringan kemitraan antara SMK

dengan dunia usaha/industri menjadi keniscayaan yang tidak dapat diabaikan.

Peran industri semakin penting bagi SMK karena perkembangan teori pendidikan dan

pembelajaran kejuruan lebih banyak menempatkan DUDI sebagai tempat belajar cara

kerja yang efektif. Ada dua teori belajar di tempat kerja yang pokok yang terkait dengan

DUDI, yaitusituated learning dan work-based learning (belajar berbasis tempat kerja).

Kerjasama sekolah dan industri harus dibangun berdasarkan kemauan dan saling

membutuhkan. Pihak dunia kerja dan industri seharusnya menyadari bahwa pihak

industri tidak akan mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang mereka perlukan dengan

persyaratan yang dikehendaki, tanpa membangun program pendidikan bersama.

Perencanaan kurikulum dan praktiknya bisa disusun dengan pihak industri.

SMK unggul membangun jaringan yang luas dengan dunia usaha/industri sebagai mitra

dalam menyelenggarakan pembelajaran agar dihasilkan lulusan yang berkualitas dan

siap kerja. Sebagaimana amanah Undang-undang bahwa SMK diberi kepercayaan

untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja dan menjadi

tenaga kerja yang produktif. Lulusan SMK idealnya merupakan tenaga kerja yang siap

pakai, dalam arti langsung bisa bekerja di dunia usaha dan industri.

Fungsi dunia usaha/industri dalam proses pembelajaran, di antaranya:

(1) sebagai tempat praktik kerja industri yang diharapkan apat memberikan gambaran

nyata kepada siswa SMK tentang dunia kerja sebenarnya;

(2) dunia usaha/industri sebagai tempat magang kerja. Sistem magang merupakan

sistem yang cukup efektif untuk mendidik dan menyiapkan seseorang untuk

memperdalam dan menguasai keterampilan yang lebih rumit yang tidak mungkin atau

tidak pernah dilakukan melalui pendidikan massal di sekolah. Dalam sistem magang

seorang yang belum ahli (novices) belajar dengan orang yang telah ahli (expert) dalam

bidang kejuruan tertentu. Sistem magang juga dapat membantu siswa SMK memahami

budaya kerja, sikap profesional yang diperlukan, budaya mutu, dan pelayanan

konsumen; dan

(3) industri sebagai tempat belajar manajemen industri dan wawasan dunia kerja. Dunia

usaha/industri dimanfaatkan oleh sekolah sebagai tempat pembelajaran tentang

manajemen dan organisasi produksi. Siswa SMK kadang-kadang melakukan

pengamatan cara kerja mesin dan produk yang dihasilkan dengan secara tidak langsung

belajar tentang mutu dan efisiensi produk. Selain itu siswa juga belajar tentang

manajemen dan organisasi industri untuk belajar tentang dunia usaha dan cara

pengelolaan usaha, sehingga mereka memiliki wawasan dan pengetahuan tentang

dunia usaha. Melalui belajar manajemen dan organisasi ini juga bisa menambah

wawasan siswa pada dunia wirausaha.

 

Penutup

SMK sudah saatnya menjawab tantangan globalisasi dan AFTA serta menjawab cap

negarif masarakat sebagai Sekolah Mencetak Kuli dan pengangguran dengan bukti

nyata, yaitu menghasilkan lulusan paripurna yang berkualitas dan kompetiif dalam dunia

kerja dapat terserap secara signifikan sehingga tidak ada lagi berita lulusan SMK

menjadi pengangguran. SMK Unggul bukan hanya menghasilkan lulusan yang

kompeten dan siap kerja tetapi juga wirausahawan yang mampu menciptakan lapangan

kerja bagi dirinya dan bagi orang lain sehingga harapan melalui SMK dapat

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Konsep sekolah unggul bagi SMK

bukanlah hal yang sulit direalisasikan jika segenap komponen penyelenggara

pendidikan SMK dan stakeholder bekerja secara serius memberikan layanan

pembelajaran yang berkualitas dan mendapat dukungan dari masyarakat dan dunia

usaha/industri sehingga ke depan SMK bukan lagi sekolah pilihan kedua tetapi sekolah

utama dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, kompeten dan

kompetitif serta mampu mengatasi tantangan jaman yang selalu berubah.

Pengembangan kelembagaan SMK di arahkan melalui jalan: (1) memasukkan

pendidikan kejuruan ke dalam perencanaan pembangunan ekonomi, sosial, dan

pengembangan industri; (2) meningkatkan investasi dalam pendidikan kejuruan; (3)

mendukung mekanisme multichannel investasi SMK; (4) memfasilitasi pelatihan dan

kualitas guru; (5) meningkatkan standar kualifikasi berbasis KKNI; (6) membangun

sistem penjaminan mutu lulusan SMK; dan (7) menggandeng industri yang dapat terlibat

dalam evaluasi kualitas pendidikan kejuruan.

Pendidikan kejuruan akan efektif jika: (a) tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara,

alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja, (b) melatih

seseorang dalam kebiasaan berpikir, dan bekerja seperti yang diperlukan dalam

pekerjaan itu sendiri, dan (c) sekolah sebagai lingkungan dimana siswa dilatih

merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja. SMK dapat membangun

kemitraan (partnership) dengan dunia usaha/industri melalui beberapa jalan, di

antaranya: (1) membuat mekanisme pembelajaran di SMK yang didukung oleh dunia

usaha/industri; (2) mempromosikan kerja sama skeolah dengan dunia usaha/industri

dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan; (3) mendorong dunia

usaha/indsutri menjalankan SMK; dan (4) mendorong SMK terlibat dalam pelatihan bagi

calon tenaga kerja dan teknisi di dunia usaha/industri. 

PUSTAKA

Brown, L. B. 1998. Applyng Constructivism in Vocational and Career Education.

Columbus: ERIC.

Djohar, A. (2007). Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Dalam Ilmu dan Aplikasi

Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press. Hal. 1285-1300.

Djojonegoro, Wardiman.1998. Pengembangan Sumberdaya Manusia Melalui

Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamalik, O. 1990. Pendidikan Tenaga Kerja Nasional: Kejuruan,Kewirausahaan dan

Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Helmut Nolker & Eberhard Schoenfeldt. 1983.Pendidikan Kejuruan. Jakarta : PT

Gramedia.

Herminarto Sofyan, dkk.2013.Paradigma Baru Pendidikan Vokasi. Universitas Negeri

Yogyakarta.

Raelin, J. A. 2008. Work-Based Learning: Bridging knowledge and action in the

worksplace. San Francisco: Jossey-Bass.

Stein, D. 1998. Situated Learning and Adult Education. ERIC Digest No. 195. Columbus:

ERIC Clearinghouse on Adult, Career, and Vocational Education, Center on Education

and Training for Employment, the Ohio State University. ERIC No. EJ. 461 126).

Tedjasutisna, Ating. 2004. Memahami Kewirausahaan SMK. Bandung: CV. Armico.

Trilling, Bernie. and Fadel, Charles. 2009. 21st Century Skill: Learning for Life in Our

Times. San Faransisco: Jossey Bass Pub.

Inilah Penyebab Utama Lulusan SMK Sulit Terserap di Dunia IndustriSiswa SMK asal Kabupaten Karawang kalah bersaing di dunia industri otomotif. Padahal, wilayah dengan sebutan lumbung padi tersebut merupakan surga bagi investor. Akan tetapi, serapan tenaga kerja asli lulusan sekolah Karawang masih rendah.

Kepala Sekolah SMK Sunan Gunung Jati Karawang, Mizaq Setiawan, mengatakan, masih rendahnya daya serap lulusan SMK terhadap dunia industri otomotif, salah satunya peralatan praktik yang minim. 

Dengan kata lain, sampai saat ini sekolah hanya memiliki peralatan apa adanya. Bahkan, alat yang ada seperti mesin mobil masih menggunakan produk lama. Padahal, setiap tahunnya industri otomotif selalu berkembang. Termasuk soal perubahan mesin kendaraan.

"Siswa kami sulit keterima perusahaan otomotif, karena minimnya pengetahuan tentang komponen kendaraan yang terbaru," kata Mizaq, kepada Republika.

Saat ini saja, lanjut Mizaq, siswa SMK Sunan Gunung Jati mencapai 733 orang. Mereka, seluruhnya tercatat sebagai siswa jurusan teknik kendaraan ringan. Peralatan yang digunakan praktik, sudah tak sesuai dengan perkembangan teknologi kendaraan produk perusahaan otomotif.

Untuk membeli alat baru, lanjut dia, sekolah sangat kesulitan. Karena, bantuan pemerintah sangat minim. Bahkan, ke sekolah swasta bantuan peralatan sangat jarang. Sehingga, satu-satunya cara untuk membeli alat baru hasil swadaya orang tua siswa. Itupun, kalau tidak ada yang komplain.

Diakui dia, lulusan SMK Sunan Gunung Jati yang keterima di salah satu perusahaan otomotif, seperti Toyota sangat jarang. Prosentasinya, satu berbanding 100. Jadi, dari 100 lulusan paling juga hanya seorang yang keterima. Itupun, benar-benar lulusan terbaik.

Sementara itu, Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Edward Otto Karen, mengakui, sampai saat ini lulusan SMK asal Karawang masih sedikit yang keterima di Toyota. Padahal, pabrik Toyota berada di kawasan ini. Setelah ditelusuri, ternyata yang menjadi salah satu penyebabnya karena keterbatasan peralatan praktik yang dimiliki SMK.

"Karena itu, kami berupaya membantu SMK yang ada di Karawang," kata

Edward.

Salah satunya, dengan memberikan bantuan. Seperti mobil, knalpot, dan axel mobil, link assy dan sub assy exhaust pipe. Semua peralatan itu, khusus untuk praktik para siswa.

Dengan peralatan tersebut, diharapkan para siswa SMK terutama jurusan teknik otomotif bisa mengenal peralatan yang sesuai standar perusahaan. Jadi, ketika mereka lulus dan mengikuti ujian, tidak akan kaget lagi dengan peralatan tersebut.

"Saat ini, jumlah karyawan Toyota asli Karawang baru 60 persen. Tapi, yang lulusan SMK masih sedikit," kata dia.

Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang, Agus Supriatman, mengatakan, jumlah SMK yang ada di wilayahnya mencapai 69 sekolah. Lulusan SMK tersebut, memang masih sangat sedikit yang diserap di perusahaan otomotif. Paling juga hanya 10 persen dari rata-rata kelulusan.

"Kita akui lulusan SMK Karawang masih minim yang keterima di perusahaan besar," kata Agus.

Salah satu penyebabnya, karena minimnya peralatan praktik. Pemerintah daerah, lanjut Agus, berupaya membantu sekolah. Namun, bantuannya masih minim, yakni Rp 1,2 juta per SMK per tahun. Padahal, idealnya biaya untuk kegiatan praktik jurusan teknik otomotif sebesar Rp 2,4 juta.

Karena anggaran dari pemerintah minim, sambung Agus, pihaknya meminta partisipasi dari pihak swasta. Pasalnya, jika tak dibantu pihak swasta, keberhasilan di dunia pendidikan sulit terealisasi. 

www.republika.co.id