seni dan peristiwa - salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan oesman effendi, rusli, krisna...

25
1 Kalam 27 / 2015 P okok tulisan ini adalah seni dan peristiwa dalam dua dekade terakhir, khususnya di Indonesia. Tapi untuk sedikit mendiskusikan hal ini, agaknya kita justru mesti menyusurinya agak jauh ke belakang, pada jejak-jejak yang ditinggalkan pada pertengahan dekade 1970-an. Di sekitar masa itulah isu mengenai representasi—khususnya seni rupa—mengalami guncangan. Kita boleh menyebutnya sebagai krisis representasi, sebelum seni bertubi- tubi datang sebagai “peristiwa”. Seni dan Peristiwa Hendro Wiyanto Hendro Wiyanto adalah kritikus dan kurator seni rupa independen yang tinggal di Jakarta. Ia menulis kritik seni rupa di sejumlah media di dalam dan luar negeri. Proyek kuratorialnya, antara lain, adalah rangkaian pameran retrospektif FX Harsono di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2009), Singapore Art Museum (2010), Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); dan Biennale Yogyakarta VII: Countrybution, Taman Budaya Yogyakarta (2003). Esai ini pada mulanya disampaikan dalam diskusi Seni sebagai Peristiwa: Pengalaman Indonesia 20 Tahun Terakhir, Serambi Salihara, 05 Februari 2013.

Upload: others

Post on 25-Dec-2019

29 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

1 PB

Kalam 27 / 2015

Pokok tulisan ini adalah seni dan peristiwa dalam dua dekade

terakhir, khususnya di Indonesia. Tapi untuk sedikit

mendiskusikan hal ini, agaknya kita justru mesti menyusurinya

agak jauh ke belakang, pada jejak-jejak yang ditinggalkan pada

pertengahan dekade 1970-an. Di sekitar masa itulah isu mengenai

representasi—khususnya seni rupa—mengalami guncangan. Kita

boleh menyebutnya sebagai krisis representasi, sebelum seni bertubi-

tubi datang sebagai “peristiwa”.

Seni dan Peristiwa

Hendro Wiyanto

Hendro Wiyanto adalah kritikus dan kurator seni rupa independen yang tinggal di Jakarta. Ia menulis kritik seni rupa di sejumlah media di dalam dan luar negeri. Proyek kuratorialnya, antara lain, adalah rangkaian pameran retrospektif FX Harsono di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2009), Singapore Art Museum (2010), Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); dan Biennale Yogyakarta VII: Countrybution, Taman Budaya Yogyakarta (2003). Esai ini pada mulanya disampaikan dalam diskusi Seni sebagai Peristiwa:

Pengalaman Indonesia 20 Tahun Terakhir, Serambi Salihara, 05 Februari 2013.

Page 2: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

2 PB

Kalam 27 / 2015

Danarto dan kesurupan

Pada mulanya adalah Danarto. Pada 1974 seniman serbabisa ini

“menulis” sebuah “cerita pendek” dengan tajuk yang tidak lazim:

sebuah gambar, jalur-jalur penanda notasi dengan gelombang cak

dan ngung.1 Tapi menulis cerita pendek bagi Danarto tidak cukup

menghasilkan ragam tulisan; ia juga menggambar, mengetengahkan

berbagai citraan. Seperti seorang perancang tipografi yang piawai,

Danarto menggubah, menyusun dan memain-mainkan susunan

kata dan ragam aksara layaknya menata gambar. Sebuah cerita bagi

Danarto agaknya memerlukan wadahnya yang lain, yang tidak sekadar

mengikuti standar karya sastra, misalnya saja kelancaran alur cerita.

Wadah itu bagi sensibilitas Danarto yang jamak adalah komposisi

atau tata rupa, yang memungkinkan cerita—sistem-sistem penandaan

melalui struktur yang bermakna—dapat beralih rupa sebagai obyek-

obyek gambar. Kata-kata mengantarkan pesan, tetapi kata adalah

juga obyek rupa, raut geometri yang memiliki asosiasi tertentu

dengan satuan-satuan ekspresif perupaan. Memasuki struktur cerita

karya Danarto dengan demikian tak dapat dilepaskan dari menikmati

keartistikan dan susunan rupa-gambar.

Danarto agaknya ingin menggiring kita untuk mengalami

apa yang “permukaan” pada penanda, yakni ragam rupa tulisan,

menyadari kehadiran mediumnya yang asali, yakni aksara sebagai

citra atau imaji. Apakah citra atau imaji (image, imitari) itu adalah

batas pemaknaan atau malah mau meluaskannya? Menikmati karya

itu adalah memasuki wilayah abu-abu yang menerobos batas-batas

1 Danarto, Adam Makrifat: Kumpulan Cerita Pendek (Jakarta: Balai Pustaka, cetakan kedua, 1992), 37-61.

Page 3: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

3 PB

Kalam 27 / 2015

representasi bahasa dan gambar. Apakah gambar—sebagai sistem

atau representasi analogis, sebagai imitari—justru dimaksudkan untuk

berdamai ketimbang bertentangan dengan sistem-sistem penandaan

atau makna (bahasa)? Apakah yang inteligibel, pernyataan-pernyataan

yang dapat kita tangkap, sebagaimana kita memahami pesan sebuah

kalimat, perlu menjadi antipati terhadap pengalaman yang (lebih)

hidup, seperti halnya yang disajikan melalui sebuah gambar? Bahkan

cerita tak lain adalah satuan-satuan bunyi yang berulang—ngung, cak,

klst, klui, ck, ck, ck—mengingatkan kita pada khazanah mantra yang

meleburkan makna dan bunyi, dan asosiasi yang kuat pada rupa. Pada

awalnya adalah bunyi dan berakhir sebagai ruang antara rupa-bunyi.

Danarto jelas memerlukan lebih dari satu medium untuk

menggugah kita pada apa yang dibayangkannya sebagai sebuah

peristiwa, bahkan pada “pengalaman yang seolah-olah” mengenai

kondisi real time. Komputer Otto Wizenberg tentang para penari Sang

Hyang Jaran yang kesurupan bara api dapat menampilkan berbagai

peristiwa di belahan dunia lain di waktu yang bersamaan dengan

momen kesurupan itu. Real time bagi Danarto adalah “peristiwa”

imajiner di dalam karya sastra atau pengalaman keberaksaraan kita

seperti kegandrungan seniman video merekam kejamakan peristiwa

masa kini. Kali ini real time dimaknai melalui “kesurupan” dan

kesurupan adalah peristiwa lintas medium bagi Danarto. Masa kini,

ujar Irit Rogoff, real time adalah terminologi baru dalam media yang

“menjelaskan suatu momen ketika kebenaran menjadi nyata dalam

satuan waktu.”2 Cerita pendek “cak-ngung” Danarto juga membawa

2 Krisna Murti, “Media Baru dan Inul” dalam Esai tentang Seni Video dan Media

Baru (Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archive, 2009), 43.

Page 4: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

4 PB

Kalam 27 / 2015

kita pada pesan-pesan tak terdefinisikan mengenai keserentakan

pengalaman, semacam kontraksi ruang dan waktu yang belakangan

didengungkan oleh para teoretikus globalisasi di masa kini. Inilah

“avant-garde tradisi” Danarto, jika kita boleh menggunakan istilah

gado-gado yang pernah digunakan oleh Jim Supangkat. Penggunaan

idiom-idiom atau bahasa lokal untuk pencarian sesuatu yang baru,

kejutan-kejutan yang tak mungkin dibayangkan oleh kanon-kanon

di dalam tradisi itu sendiri.

D.A. Peransi dan Sanento Yuliman

Pada waktu yang tidak terpaut jauh dengan keajaiban dan kejamakan

cerita pendek Danarto—yang saya kira tak banyak diketahui oleh

kalangan seni rupa sekarang—D.A. Peransi mengamati munculnya

kesadaran baru di kalangan pelukis di masa itu. Ia meringkaskan

kecenderungan itu dengan istilah teknis dalam khazanah filsafat

“eksistensi yang mendahului esensi”. Ia menunjuk kanvas-kanvas

kosong Danarto, juga bidang kanvas lukisan-lukisan Oesman

Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, sebagai “kejadian kreatif”.

Bagi Peransi, mengamati lukisan seperti itu tidak sama lagi dengan

mengamati sebuah obyek, tapi menyaksikan “subyek yang meloncat

keluar dari dinding”. “Lukisan,” tulis Peransi, “sebagai sesuatu yang

statis lengkap pada dirinya sendiri karena dibingkai oleh suatu

kerangka estetik tertentu dan berdiri di ruang yang berbeda dengan

penonton adalah abstraksi masa lampau. . . . Lukisan atau patung

sebenarnya tidak berdiri sendiri, terpisah dari dunia penonton, akan

tetapi berada dalam ruang insani yang sama.”

Page 5: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

5 PB

Kalam 27 / 2015

Karena pusat “kejadian kreatif” tak lain adalah (eksistensi)

subyek-pelukis, maka “tidak ada lagi sesuatu yang mau digambarkan

seperti dalam kerangka estetika skolastik, akan tetapi sesuatu dibuat

nyata, dinyatakan.” Dengan kesadaran baru seperti itu, agar menjadi

lebih “eksistensial” ketimbang “esensial”, Peransi lalu membuang

bingkai-bingkai dari lukisannya sendiri. Ia menegaskan bahwa karya

seni telah dilepaskan dari abstraksi yang mengurungnya, menjadi

kenyataan sebagaimana kenyataan-kenyataan lain mengelilingi

kita. Mengakui eksistensi subyek adalah mengakui kebebasan dan

keunikannya, dan dengan begitu tak mungkin lagi membayangkannya

sebagai semacam esensialisme dari “isme-isme”. Demikianlah

“keindahan” lahir dari subyek, tapi keindahan itu adalah keindahan

yang “bertaut erat dengan perjuangan hidup, perjuangan politik dan

sosial”. Dalam kaitannya dengan seni, keindahan berwajah dua: pada

satu sisi ia bukan ciri-ciri amung (atau “esensi” dalam istilah Peransi)

di dalam karya itu, dan pada sisi lain ia menjadi lebih “insani”. Pendek

kata, keindahan semacam itu bukan lagi obyek-universal yang terpatri

pada suatu karya, yang sudah ditetapkan sebelumnya, yang “pra-

eksisten”, melainkan dunia yang dialami sebagai “waktu yang kreatif”.3

Sanento Yuliman menjelaskannya lebih terang kepada kita

soal itu, bukan dengan ketaksaan perspektif (kebebasan) ala subyek

sebagaimana ditunjukkan oleh Peransi. Peransi telah menggarisbawahi

makna “eksistensi” bagi seniman, tapi sekaligus ia juga mengakui apa

yang sebenarnya bersifat “esensi” bagi seniman, yakni kebebasannya,

“esensi” seni sebagai suatu kejadian atau peristiwa, “waktu kreatif”-

3 D.A. Peransi, “Lee? Levi? Amco? Texwood? (Seni Lukis Kita Masa Kini dalam Pertimbangan Kritis)”, Sinar Harapan, 04 Januari 1975.

Page 6: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

6 PB

Kalam 27 / 2015

nya. Dengan menganggap bahwa karya seni adalah ekspresi atau

representasi “eksistensi” seniman, maka baginya “eksistensi” dengan

demikian mendahului “esensi”, bahwa “kejadian kreatif” adalah

pergulatan “eksistensial” bagi pelukis. Tapi dengan mengetengahkan

lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita

dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu dan kita

percaya bahwa sebenarnya ada yang “esensial” pada seni lukis mereka.

Bagi Sanento, agaknya lebih penting melihat perubahan nyata

pada praktik artistik seniman dan pandangan estetis yang melatari

hadirnya karya seni itu sendiri ketimbang memperdebatkannya di ranah

filsafat. Yang “insani” itu menjadi lebih terang kalau orang mengamati

apa yang jamak yang dibuat oleh seniman, bukan apa yang ”esensial”

yang menstatuskannya sebagai seniman. Jika kebebasan adalah kondisi

“seismografis” (istilah “seismograf” memang digunakan oleh Sanento4)

dalam pendekatan Peransi, maka obyek-obyek insani dalam pengamatan

Sanento justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya, katakanlah

yang “non-seismograf”. (Istilah “non-seismograf” digunakan oleh Jim

Supangkat, yang berarti “memusuhi cara-cara yang terasa ‘teralienasikan’”,

yakni “bahasa khusus seni lukis, seni patung atau cabang seni rupa

lainnya.”5) Kita tafsirkan, bahwa yang “non-seismograf” ini bukan tidak

mengakui kebebasan yang “imanen” yang ada pada tiap seniman (atau

manusia pada umumnya), tapi tidak sepakat dengan pengandaian bahwa

kebebasan itu mengesensialkan bahasa estetik seniman.

4 Sanento Yuliman, “Perspektif Baru” dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia:

Kumpulan Karangan, editor Jim Supangkat (Jakarta: Gramedia, 1979), 96. Selanjutnya ditulis Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia.

5 Jim Supangkat, “Seni Rupa Baru Indonesia 75”, Gerakan Seni Rupa Baru

Indonesia, 101.

Page 7: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

7 PB

Kalam 27 / 2015

Ketika mengantar Pameran Seni Rupa Baru 1975 Sanento

menulis bahwa ada semacam dorongan (pada seniman) untuk melihat

ke sekitar, memungut benda-benda dari lingkungan sehari-hari, dan

membuat konstruksi. Seniman-seniman angkatan terdahulu bisa

puas dengan pengalaman imajinasi, renungan, dunia dalam yang

menghasilkan “syair rupa”. Para seniman yang baru justru menyerbu

“dunia luar”, dunia konkret, menghendaki pengalaman yang lebih

penuh, yang total (Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, 98).

Dengan terang-terangan menyebut “dunia luar” kita tahu

bahwa tak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai yang “esensial” di

sana. “Dunia luar” bukanlah sesuatu yang “esensial” bagi “eksistensi”

seniman, lalu menjadi “esensi” bagi “perjuangan eksistensialnya”

sendiri berupa “perjuangan hidup, perjuangan politik dan sosial”,

seperti dibayangkan oleh Peransi. Tak ada “syair rupa” yang sanggup

mengumumkan diri sebagai representasi satu-satunya, yang “esensial”

dari “dunia luar”, pun tak ada “bingkai” pada dunia luar yang jika

“bingkai” itu dibuang, maka dunia yang tampak bagi kebebasan

seniman niscaya menjadi “eksistensial”. Sebaliknya, jika istilah-istilah

teknis filosofis itu tetap mau kita gunakan, kita dapat mengatakan

bahwa “eksistensi” seniman justru mengandaikan dunia luar yang

ditafsirkan adalah dunia yang selalu ada di dalam sebuah “bingkai”,

supaya “eksistensi” menjadi mungkin.

Jim Supangkat dan Ade Darmawan

Yang “luar” itu menjadi semakin penting, tulis Jim Supangkat. Meski

tak menyebutnya sebagai “esensi”, Jim menganggap yang “luar” itu

adalah seolah-olah (ada sesuatu yang) “obyektif” yang “seni secara

Page 8: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

8 PB

Kalam 27 / 2015

teoretis”, yang “membuat teori ‘geregetan’ menjadi semakin terdesak”.

Yang pasti, dengan menekankan bahwa yang “luar” itu semakin

penting, konsekuensi bagi para seniman adalah lenyapnya “distansi

dunia aktual pengamat dengan dunia imajiner”. Mengikuti pandangan

itu, karya seni lahir dari konsepsi “non-seismograf” yang kini lebih

menggugah para seniman (Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, 101).

Kondisi “seismograf” itu dapat kita katakan sebagai sesuatu (subyek

dan atau bahasa) yang eksklusif bagi dunia luar, sedangkan “non-

seismograf” bersifat inklusif terhadap dunia luar yang jamak.

Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa contoh-contoh

karya “eksistensial” yang ditunjuk oleh Peransi justru bersumber dari

bahasa esensial “pengekspresian”. Sedangkan dalam hubungannya

dengan “dunia luar”, tujuan seniman adalah “pengungkapan”. Pada

“pengekspresian” terjadi transformasi dunia luar menjadi unsur-

unsur esensial dalam seni rupa (rupa garis, bentuk, bidang dan

warna), tapi “pengungkapan” lebih bersifat “jujur” dan “keawam-

awaman”. Menganggap ada yang “esensial” pada seni (rupa) adalah

“khaos”, karena itulah imaji yang begituan mesti dibersihkan, pertama-

tama dari makhluk yang gemar meng-“esensial”-kan segala rupa atau

bentukan: seniman (Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, 102).

Berkarya kini menjadi sebuah “aksi komunikatif” menurut

istilah masyhur Habermas, yang mengandaikan relasi-relasi

intersubyektif dalam tindakan itu. Bagi Jim, para seniman generasi baru

yang muncul di pertengahan 1970-an itu ingin “berkomunikasi dalam

arti yang sesungguhnya, bukan komunikasi filosofis, humanistis.”

Jika lukisan poci bagi Basuki Resobowo tak akan pernah

sebanding dengan barang bernama poci dan lukisan burung tak

bisa kita sejajarkan dengan burung yang nyata—menurut kaidah

Page 9: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

9 PB

Kalam 27 / 2015

Sudjojono—maka kualitas perseptif itu kini dibubarkan. Marilah kita

berkomunikasi tentang poci dan burung sambil memandang poci dan

burung betulan di ruang pameran atau di mana pun. Bahwa poci dan

burung (tertentu) telah dipilih oleh para seniman, menunjukkan poci

dan burung itu “berbeda” dari poci dan burung yang ada di sembarang

tempat. Memang tak ada perbedaan material apa pun di antara

keduanya, kata Boris Groys. Status ontologis antara yang seni dan

yang bukan-seni sudah bubar, kata sejumlah kritikus seni di Indonesia.

Seni masa kini tidak dapat “diproduksi” dengan asumsi kebedaan

seperti itu, tapi hanya bisa dipresentasikan sebagai karya seni. Tempat

kencing Duchamp yang sangat masyhur dan dianggap karya seni itu

tidak memupus sekat antara produksi dan kreasi. Perbedaan di antara

keduanya tetap ada, meski obyeknya sama. Barang jadi (readymades)

lahir melalui prosedur produksi dan seleksi; tanpa melewati tanggung

jawab individual untuk memilih-milih barang yang sesuai dengan

standar produksi atau memasukannya ke tong sampah. Tindakan

kreasi terutama adalah tindakan menyeleksi, tanpa melalui prosedur

produksi yang bersifat birokratis semacam itu. Hal itu mirip tindakan

Tuhan yang setelah menciptakan dunia lalu berujar bahwa dunia itu

baik adanya. Bukankah kita tak paham, dari mana Tuhan memperoleh

gagasan mengenai yang baik? Tampaknya begitulah yang dilakukan

Duchamp yang mendaku bahwa tempat kencing itu baik adanya,

yang alasan-alasannya tetap rahasia bagi orang lain. Tindakannya

itu “kreatif”, kata Groys, maka kita menganggap Duchamp adalah

seniman dan bukan sekadar tukang ledeng.6

6 Boris Groys, “On Contemporary Art” dalam Outlook!: Cultural Olympiad,

International Art Exhibition (Athens: 2003).

Page 10: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

10 PB

Kalam 27 / 2015

Pendeknya, seniman memiliki persepsi yang berbeda

bahkan mengenai soal-soal “keawaman” seperti itu. Mengaitkannya

dengan idiom para avant-garde yang ingin menyatukan seni dan

kehidupan, Boris Groys menyebutnya sebagai “universalisme lemah”

(weak universalism). Ia menulis bahwa golongan pembaharu sering

disalahpahami sebagai non-profesional (-isme) karena mereka

mendeprofesionalisasi seniman: meleburkan seni dan kehidupan.

Tetapi deprofesionalisasi seni adalah tindakan artistik yang mau

mengubah praktik seni, karena itu deprofesionalisasi adalah tindakan

yang sangat profesional. Deprofesionalisasi itu seperti tanda-tanda

lemah yang memanifestasikan kekosongan waktu—mengingatkan

para mesianis yang meramalkan datangnya akhir zaman—yang justru

dibutuhkan untuk produksi dan perenungan akan tanda-tanda yang

dianggap berharga.7

Itulah cara berdamai dengan “dunia luar” dan sikap oposisi

terhadap keesensialan. Istilah-istilah ini digunakan oleh Jim Supangkat

dalam kalimat “Ketakutan ini menjadi damai apabila teriakan

untuk bebas sudah keluar, dan rupanya tak ada jalan lain kecuali

berani mengambil sikap oposisi dan menerima konsekuensinya:

meninggalkan ‘predikat seni’ kalau perlu” (Seni Rupa Baru Indonesia,

103). Sikap keawam-awaman tak lain adalah politik tabula rasa—kita

ingat Affandi yang mengaku sebagai sekadar “tukang gambar”. Empat

puluh tahun kemudian, seniman itu, yang lebih memilih membaca

koran Pos Kota ketimbang datang ke pameran, menyerahkan

7 Boris Groys, “The Weak Universalism” dalam Playing by the Rules: Alternative

Thinking/Alternative Spaces, disunting dengan prakata oleh Steven Rand dan pengantar oleh Heather Kouris (New York: apexart, 2010), 124.

Page 11: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

11 PB

Kalam 27 / 2015

seluruh alasan penciptaan “seni”-nya kepada keawaman publik, yang

memancing komentar karyanya dengan kalimat “Gua bisa bikin nih,

karya ini”.8

Representasi “adalah segi denotatif tertentu pada realitas yang

tidak siap pakai; denotasi (makna sebuah gambar) tidak menentukan

bagaimana mesti menggambar, tapi jenis-jenis gambar akan lebih

menentukan denotasi pada gambar itu;”9 yakni “representasi

yang mengada” (being a representation), yang terus-menerus mesti

kita ciptakan ketimbang sesuatu “yang menyandang kegunaan

representasional” (having a representasional use).10 Para seniman akan

menganggap representasi semacam itu adalah batas atau sejenis fiksi

yang menjauhkan, yang mengasingkan mereka dari realitas sehari-

hari. Representasi dengan kata lain didaku telah mengalami krisis.

Subagio Sastrowardoyo dan mata penyair

Harry Suliztiarto yang membuat kejutan dengan memanjat kubah

planetarium di kompleks Taman Ismail Marzuki (1975) suatu

kali menebangi pepohonan, menjebol semua urat akarnya lalu

memamerkannya di Galeri Soemardja, Bandung. Semua tindakan itu

8 Komentar Ade Darmawan terhadap lukisan Affandi, dalam Human Resource

Development, Katalog Pameran Tunggal Ade Darmawan (Jakarta: Ark Galerie, 2012), 90. Selanjutnya ditulis Human Resource Development.

9 Nelson Goodman, “Reality Remade: A Denotation Theory of Representation” dalam The Philosophy of the Visual Arts, disunting oleh Philip Alperson (New York & Oxford: Oxford University Press, 1992), 88-101.

10 Roger Scruton, “Photography and Representation” dalam Arguing about Art:

Contemporary Philosophical Debates, disunting oleh Alex Neill dan Aaron Ridley (London & New York: Routledge, 2008), 230.

Page 12: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

12 PB

Kalam 27 / 2015

adalah pengalaman mengenai kesia-siaan yang paling total, yang tidak

diberikan oleh “yang konvensional seperti membuat lukisan atau

patung”. “Estetika yang terlibat di sana,” ujar Chandra Johan, sahabat

karibnya, adalah “estetika kekuatan dan kekerasan.” Di sekitar masa-

masa “penyimpangan” itu, Arahmaiani menegaskan pernyataannya

yang diingat banyak orang: “Saya ingin memperluas kanvas saya

seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri, dan mengganti kuas

dan cat dengan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan”.11

“Dunia luar” atau “kehidupan” yang dibayangkan oleh

Arahmaiani itu pasti bukanlah sejenis medium, terlalu luas untuk

disebut sebagai medium. “Dunia luar” tak pernah bisa sepenuhnya

dijebol, karena dunia semacam itu tak punya urat-akar. Kita juga tak

mungkin membayangkannya sebagai readymades tanpa mereduksinya

habis-habisan—melalui prosedur birokratis maupun “kreasionis”,

meminjam bahasa Groys, dan dengan mereduksinya seperti itu,

tentunya bukan lagi sepenuhnya “dunia luar”.

Sebuah puisi Subagio Sastrowardoyo menunjukkan

bagaimana dunia luar telah cenderung dianggap sebagai negasi

terhadap keindahan yang diesensialkan oleh seniman:

Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk

kota. “Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu,” kata

penyair, “kecuali nyawaku ini yang teraniaya.”

Rakyat yang miskin merangsak ke muka. “Kami ingin

matamu!” teriak mereka. “Kami ingin matamu, yang bisa

11 Chandra Johan, “Arahmaiani”, makalah diskusi (Jakarta: Galeri Lontar, Juni 2000). Selanjutnya ditulis “Arahmaiani”.

Page 13: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

13 PB

Kalam 27 / 2015

merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi

emas di jalan. Beri matamu, matamu!”

Ada yang masih mau membela penyair itu. “Ingat,

tanpa mata penyair menjadi buta!”

Tetapi rakyat yang putus asa tidak peduli. Mereka

renggut mata penyair itu dari lubang matanya, dan lewat

kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya.

Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka

menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola

mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.

Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa

menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu

indahnya. Begitu indahnya!”12

Dunia luar itu dianggap niscaya mengandaikan (posisi) hiruk

pikuk penonton yang ingin merenggutkan keindahan yang menyatu

dengan tubuh penyair. Rosalind E. Krauss menyebut berbagai upaya

seniman untuk memperluas medium dan keluar dari batasan formal

representasi itu adalah kondisi “pascamedium”: kondisi agregat yang

mencakup segala bentuk dan jenis medium yang digunakan, tapi

sekaligus menyangkut posisi penonton terhadap apa yang ditampilkan

oleh seniman.13 Itulah dunia hiruk pikuk yang penuh ketaksaan, yang

mencemaskan Subagio, atau malah merangsang kesurupan real time

yang justru dinikmati sebagai ujaran-ujaran mantra oleh Danarto.

12 Subagio Sastrowardoyo, “Mata Penyair”, Horison, Juli 1993, 57.13 Rosalind E. Krauss, “A Voyage on the North Sea: Art in the Age of Post-Medium

Condition (New York: Thames & Hudon, 1999), 24.

Page 14: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

14 PB

Kalam 27 / 2015

Karya seni dan penonton

Konfrontasi antara karya seni dan penonton—yang meledak

di pertengahan 1960-an dengan munculnya karya-karya seni

Minimal(isme)—jika boleh disederhanakan adalah soal “posisi” dan

“bukan-posisi” penonton karya seni. Tak mungkin ada keesensialan

yang hadir, mustahil hadir keotentikan, kualitas dan segala macam

nilai (universal) pada karya seni karena pemusatan pada penonton

juga berarti hadirnya durasi (dalam) pengalaman menonton.

Sejatinya itulah yang disebut sebagai paradigma (panggung) teater

yang membentuk kondisi nonseni. Pendeknya, apa saja yang berada

di antara kesenian, ya itulah yang namanya teater, bukan seni rupa

(lukisan dan patung). Seni rupa, demi keesensialannya bermusuhan

dengan teater pada titik itu. “Karya Minimalisme itu tak ada bedanya

dengan pintu, meja atau kertas kosong,” kata Greenberg. Jika kondisi

keobyekan (objecthood) itu dihadirkan di ruang pameran, benda-

benda itu tidak cuma berkonfrontasi dengan kita, tapi menciptakan

keseluruhan situasi dan cara melihat, dan akhirnya melibatkan juga

tubuh kita sebagai penonton. (“Susah beeng ngeliat karya seni,” kata

Jim pada 1975.)

Robert Morris (seniman Minimalis atau literalis) berujar,

“Saya ingin menekankan bahwa benda-benda berada di dalam ruang

bersama dengan seseorang, bukan orang yang berada di dalam ruang

lalu dikepung benda-benda.”

Michael Fried (kritikus seni rupa) menyatakan, “Apa yang

salah dengan karya-karya seniman literalis jelas bukan karena sifat

antropomorfismenya, tetapi maknanya dan ketersembunyian

Page 15: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

15 PB

Kalam 27 / 2015

antropomorfisme pada karya-karya teatrikal itu dan hal itu yang tak

bisa disembuhkan.”14

Empat puluh tahun kemudian, perdebatan semacam itu makin

sayup atau mungkin tak terdengar lagi oleh kita. Sebagai seniman

yang lebih memilih posisi “kesurupan pascamedium” Danarto justru

dengan mulus dan meyakinkan menggunakan istilah “panggung

teater Titarubi” untuk Herstory, pameran tunggal Titarubi di Bentara

Budaya, Jakarta, 2007. “Titarubi tak mengusung hakikat,” katanya,

“melainkan bahasa sehari-hari.”15

Sebenarnya, “yang jadi masalah,” tulis Robert Morris yang

menentang prinsip-prinsip Modernisme Greenberg dan Fried pada

1967, “bukan soal ilusionisme pada lukisan yang memang tak bisa

dielakkan. Soalnya adalah ilusionisme itu memang sulit dipegang atau

dijelaskan (elusif), tidak aktual, dan menyandang sifat alusif yang tidak

menentu. Cara itu kuna karena membuat pengalaman kita terbelah

melalui tanda-tanda yang kita buat sendiri di atas bidang datar. Ada

alasan-alasan kultural di balik hal itu. Sifat mendua antara barang

dan alusi itu juga sudah berlangsung lama, ditopang oleh kekuasaan

kelembagaan yang sangat besar. Tapi premis-premis itu sudah usang

dan tak meyakinkan lagi. Dualitas itu mengandung ketaksaan yang

tak terterima bagi pandangan empiris maupun pragmatis.”16

14 Michael Fried, “Art and Objecthood” dalam Art and Objecthood: Essays and

Reviews (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1998), 157.15 Danarto, “Panggung Teater Titarubi”, Kompas, Minggu, 23 September 2007.16 Charles Harrison dan Paul Wood, “Modernity and Modernism Reconsidered”

dalam Paul Wood, Francis Frascina, Jonathan Harris, Charles Harrison, Modernism in Dispute: Art since the Forties (New Haven & London: Yale University Press, 1994), 189.

Page 16: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

16 PB

Kalam 27 / 2015

Sejak 1977 Harsono memamerkan pistol-pistolan dari kerupuk

dan memosisikan pengunjung pameran untuk langsung menanggapi

barang atau makanan sehari-hari itu. Antropomorfisme (atas nama

penonton) tak perlu disembunyi-sembunyikan lagi. Penonton sungguh-

sungguh diundang untuk menyelesaikan argumentasi sang seniman,

publik menjadi elemen kritis karya “literalis” itu, dan senimannya yakin

bahwa semua tindakan itu “kreatif” dan “bermakna”.17

Jika kita membaca kembali cerita pendek “cak-ngung” Danarto

yang disebutkan di bagian awal tulisan ini—ditulis hampir empat puluh

tahun yang lalu—kita akan menemukan sejumlah metafora yang (sudah)

menunjukkan upaya untuk mengkonkretkan imaji-imaji keobyekan

semacam itu. Ia misalnya menulis, “darah dan daging musik”, “jasad

musik”, “coretan-coretan cakar ayam cahaya”. Pelajaran bagi seni tari

menurut Danarto tak lain adalah dunia sehari-hari kita, atau “dunia

luar” bagi sang seniman, yang sepenuhnya mengandung ketaksaan yang

niscaya antara “eksistensi” dan “esensi”: gerakan-gerakan yang terjadi di

kebun, daun yang bergoyang dihembus angin, tembok yang merekah

karena ada biji yang memecahkannya, arus sungai yang menghantarkan

lumpur ke tepi-tepinya, biji kapas yang pecah dan menghamburkan

bahan kain yang serupa salju, tanah longsor, biji yang menjelma buah

yang lezat. Tapi sebaiknya kita juga perlu tahu, Danarto tak cuma

kesurupan dalam cerpen, ia juga perupa imajiner dalam karya itu yang

menyelundupkan imaji-imaji tentang patung air, patung musik dan

patung cahaya, cukup dengan mengucap “abracadabra”.18

17 Hendro Wiyanto, “FX Harsono dan Perkembangan Karyanya (1972-2009)” dalam Amanda Katherine Rath, Hendro Wiyanto, Seng Yu jin, Tan Siuli, Re:

Petisi/Posisi FX Harsono (Yogyakarta: Langgeng Art Foundation, 2010), 78.18 Danarto, “Abracadabra” dalam Godlob: Kumpulan Cerita Pendek (Jakarta: Grafiti

Pers, 1987), 142-157.

Page 17: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

17 PB

Kalam 27 / 2015

Dengan kata lain, peristiwa sehari-hari yang selama ini

kebanyakan luput dari perhatian seniman yang memperjuangkan

“eksistensi” atau percaya pada “esensi” bahasa pengekspresian telah

beramai-ramai didaulat menjadi seni, bukan cuma sebagai bahan-

bahan inspirasinya. Pertengahan 1970-an adalah masa yang mengubah

paradigma (jika istilah ini boleh digunakan) kesenian, khususnya seni

rupa kita secara mendasar. Sketsa-sketsa di atas sekadar menunjukkan

bahwa perubahan itu telah dipicu oleh semacam kesadaran akan krisis

representasi yang dialami oleh sejumlah seniman melalui praktik seni

rupa mereka sendiri.

Seni dan peristiwa

Jika demikian, apakah peristiwa (dalam seni)? Mengapa seni

kemudian cenderung menjadi peristiwa? Sanento Yuliman dan

Chandra Johan bercakap-cakap pada suatu ketika di Bandung. Salah

satu kesimpulan mereka, konon adalah ini: semakin dunia seni rupa

itu serius dipikirkan, semakin tidak kelihatan serius hasilnya. Dan,

seluas apa pun kemungkinan kesenian kita, sebagaimana ditegaskan

Chandra Johan, kita perlukan bingkainya untuk memisahkannya dari

yang lain.

Kita sudah menunjukkan sekilas bahwa perdebatan di kalangan

seni rupa itu sungguh-sungguh serius, meski hasilnya bisa saja—

anda bilang—tak terlalu serius, seperti memanjat planetarium atau

membawa kerupuk ke ruang pameran. Akibat-akibatnya, misalnya

tak sedramatis kisah imajiner penyair yang dibutakan kedua matanya

oleh rakyat miskin yang merangsek ke kota. Tapi bagaimanapun

perdebatan itu adalah sebuah “peristiwa” yang mencetuskan

Page 18: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

18 PB

Kalam 27 / 2015

serangkaian istilah “eksistensi”, “esensi”, “pengekspresian” dan

“pengungkapan”, yang menunjukkan ketegangan prosedur-

prosedur kreatif yang ditempuh seniman dalam beberapa dekade

terakhir ini; dan itulah yang mendasari kategori mengenai (karya)

seni. Lalu bagaimana mengaitkan “peristiwa” berbau diskursus itu

dengan praktik para seniman? Mengaitkan seni dengan peristiwa

mengandaikan ketidakpercayaan akan esensialisme medium yang

menjadikan representasi seni bersifat esensial. Era itu tampaknya

benar-benar sudah dianggap berakhir. Karya semacam itu akan

langsung bersaing dengan berita-berita dramatis di Pos Kota, kerbau

bernama SBY yang digiring di Bunderan HI atau seorang pacar yang

menumbukkan diri di kereta api (Human Resource Development). Jika

representasi adalah “segi denotatif tertentu” atau “yang mengada”,

masih bisakah kita membayangkan hal-hal itu pada suatu peristiwa?

Bukankah peristiwa berada di luar bentuk, mengatasi bentuk, dan

salah satu ciri utamanya adalah kesegeraan (immediacy), kontingensi,

dan bukan suatu yang cenderung stabil seperti bentuk? Apakah krisis

representasi adalah krisis bentuk? Atau menciptakan bentuk-bentuk

baru, yang sebenarnya adalah khaos (baru)?

Dalam esai yang njlimet mengenai (pementasan) Slamet

Gundono, Dorky Park, Badiou dan Deleuze, Goenawan Mohamad

menulis tentang bentuk, kosmos dan khaos.

“Bentuk”, Goenawan menulis, bukanlah “kosmos” yang

mengimbangi “khaos”; dalam pementasan-pementasan itu

dengan berhasil ditunjukkan bahwa bentuk justru terkait dengan

“kecenderungan khaotik”. “Tangkapan artistik” tak lain adalah

“khaosmos”, antara ketertiban kosmos dan khaos yang karut-marut.

Tapi yang menarik dalam tulisan itu adalah anggapan bahwa dalam

Page 19: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

19 PB

Kalam 27 / 2015

ranah artistik, kejadian adalah juga momen mikro, tidak selalu kisah-

kisah besar yang lalu dicatat oleh sejarah.19 Kalau begitu saya akan

mengingat “saya yang berlomba-lomba dengan perasaan saya” dalam

diri Affandi maupun kanvas pletat-pletot sang seniman yang kini

mungkin cenderung makin dilupakan, barangkali karena dianggap

tak ada “peristiwa” apa pun dengan medium dwimatra.

Di manakah sekarang kita berada? Tanya Peter Bürger. Lebih

tepatnya, barangkali bagaimana sikap kita, misalnya, terhadap bentuk,

karena kita juga mewarisi Oesman Effendi, Jim Supangkat, Harsono,

Peransi, Sanento, Arahmaiani, Ade Darmawan dan masih banyak lagi

yang lain? Modernisme itu bentuk, dan bentuk itu bukan semacam

wadah yang tinggal kita penuhi, tapi sesuatu yang tak tergantikan

dan mesti kita tangkap secara partikular. (Ingatlah misalnya perihal

lukisan “poci” dan “burung”.) Karya seni itu hanya menjadi sejati jika

bentuk dan isinya menjadi identik, begitu khotbah Hegel dua abad

dulu. Ketika seniman mengalami alienasi di masa modern—terhadap

dirinya sendiri maupun dunia—mereka mau menunjukkan bahwa

subyek itu unggul terhadap bentuk. Dorongan sang subyek lalu

adalah memurnikan bentuk, mengancam apa saja yang bernama isi.

Otonomi bentuk lalu sama saja artinya dengan otonomi seniman,

yang pada gilirannya mengundang para seniman avant-garde untuk

melenyapkan batas seni dan kehidupan. Itulah kisah kelahiran para

pembaharu.

Bürger lalu mengajukan apa yang disebutnya sebagai “konti-

nuitas dialektis” terhadap modernisme bentuk-bentuk seperti itu.

19 Goenawan Mohamad, “Dari Sudamala: Khaos dan Bentuk”, Kompas, 06 Februari 2008.

Page 20: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

20 PB

Kalam 27 / 2015

Katanya, kita tak perlu menabukan representasi, tetapi di saat yang

sama jangan memercayai substansialitasnya. Bentuk dan ekspresi

adalah dialektika partikular yang tak bisa direduksi, barangkali

nasibnya memang sudah begitu. Tapi yang partikular tidak berarti

situasi individual, melainkan pengalaman sosial yang dibiaskan

lewat subyek. Itu berarti re-semantisasi seni, kata Bürger, yakni

menautkan sikap penerimaan pada praktik kehidupan dengan

sensitivitas seniman untuk melahirkan bentuk yang spesifik, tanpa

mengarahkannya pada yang formal apriori di dalam seni. Ini artinya,

bagi kita, kita bisa merayakan, misalnya kanvas-kanvas kosong karya

Danarto pada era 1970-an sebagai “peristiwa artistik” yang luar

biasa, dan tidak memperlakukannya sebagai “fetisisme material”.20

Goenawan Mohamad bisa tetap memandangi lukisan Rusli yang tak

selesai (tidak sama dengan “rampung”, katanya), sebagai “peristiwa

atau sesuatu yang selamanya belum selesai, belum siap pakai.”21

Persis di tahun itu, Tisna Sanjaya mengemas paket pernyataan

“seni rupa”-nya, bernafsu memborong “dunia luar” menjadi karya

“peristiwa”. Isi paketnya begini: “Paket kesenianku saat ini tentang

pengujian kembali masalah-masalah sosial, moral, agama, politik,

estetika. Bisa jadi karyaku adalah cerminan keberadaanku kini. .

.respons, kepedulian atau mungkin ketidakpedulian.”22 Terlibat

dengan segala hal rupanya bisa juga sekaligus berarti terasing dari

20 Peter Bürger, “The Decline of Modernism” dalam The Polity Reader in Cultural

Theory (Cambridge: Polity Press, 1994), 148. Selanjutnya ditulis The Polity

Reader in Cultural Theory.21 Goenawan Mohamad, “Fragmen: Peristiwa”, Horison, November 2004, 32.22 Heru Hikayat, “The Art Which is Trying to be Significant”, makalah untuk

South East Asia Performance Art Symposium, Bangkok, 25-27 November 2005.

Page 21: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

21 PB

Kalam 27 / 2015

apa saja, melahirkan peristiwa yang di Bandung diharu-biru sebagai

tindakan “jeprut”, alias terputus dari dunia. Jika tuntutan dari kaum

avant-garde mengenai pelenyapan batas antara kehidupan dan

seni menjelma kenyataan, seni tentunya akan berakhir. Tapi jika

pemisahan itu kita terima seperti adanya, seni pun akan mengalami

nasib yang sama: tamat (The Polity Reader in Cultural Theory, 148).

Apakah “seni sebagai peristiwa” akan menyelamatkannya atau ikut

menguburnya?

Betapa luasnya perhatian seniman terhadap dunia luar, pikir

kita sekarang. Alangkah banyak soal yang ingin dibereskannya

sehingga kita, para penonton, ikut-ikutan mengalami situasi “jeprut”.

Kita tentu saja tidak tahu bagaimana berbagai soal yang mahapelik

itu akan diuji oleh seniman dan bagaimana kita mesti menguji

“kepedulian” yang sekaligus juga “ketidakpedulian”. Tak jarang khaos

dalam “bentuk”-nya di atas panggung atau melalui arus peristiwa

sehari-hari menjelma sebagai khaos pernyataan seniman yang kini

berpaling sepenuh-penuhnya pada kehidupan, pada “dunia luar”.

Pada 2004, pukul 04:00 pagi, sebagaimana dikutip Heru

Hikayat, Frino Bariarcianur Barus, anak muda lulusan Jurusan

Komunikasi di Bandung melakukan aksi berjalan mundur dari puncak

kawah Tangkuban Perahu ke titik kilometer nol di kota Bandung.

Perjalanan “jeprut” menempuh jarak 30 km ini menyela kehidupan

(rutin) sebuah kota, agar seni tidak benar-benar terputus dengan

dunia, tidak mengucilkannya, tapi menciptakan sebuah formasi baru

untuk menandai lingkungan kotanya sendiri.

Pada 11 Februari 2002, koran Metro di Bandung memuat

berita kematian Kwee Hong Liong alias Johanes Christiawan, pada

usia 26 tahun. Kwee adalah mahasiswa Studio Seni Grafis FSRD

Page 22: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

22 PB

Kalam 27 / 2015

ITB, Bandung. Ia memuatkan pada berita kematiannya sendiri, yang

dibikinnya sendiri, foto diri tampak depan dan belakang. Tidak hanya

itu, Kwee menempelkan selebaran berita kematiannya di tembok-

tembok di kampus. Kata Tisna “Jeprut” Sanjaya pengajarnya, “karya”

semacam itu tidak penting nilai estetiknya, tapi terobosannya terhadap

yang normatif di dalam masyarakat. Itulah sebentuk interupsi

khas seniman di tengah-tengah hiruk pikuk headlines politik, tulis

Aminudin T.H. Siregar.23

Yang sedang terus-menerus berlangsung adalah “palingan

performatif”, kurang-lebih warisan praktik seni peristiwa Allan

Kaprow pada 1960-an yang mendaku kehidupan sebagai dasar apa

saja bagi resepsi artistik. Melalui yang “performatif” kata-kata juga

bertindak, yakni sebagai ujaran-ujaran performatif, kata John Austin

yang memberi inspirasi munculnya gagasan-gagasan performatif.

Seni semacam itu, yang kini menjadi (seni) performans yang

dirayakan di mana-mana tidak ingin menghadirkan ilusi peristiwa,

tetapi menghadirkan peristiwa sebagai seni. Itulah situasi paradoks di

dalam seni karena nyatanya dalam keseharian kita—dari bisnis sampai

politik—kita juga melakukan serangkaian performans. Bentuk-

bentuk sosialisasi kita, misalnya, jelas adalah performans.24

Berpaling pada kehidupan juga berarti seni tidak mengasingkan

diri dari tubuh senimannya sendiri, yang justru perlu menisbikan

kehadiran seluruh penonton, setidaknya dalam imajinasi sang seniman.

Ego seniman mesti digerus, agar penonton bukan satu-satunya alasan

23 Aminudin T.H. Siregar, “Makna di Balik Iklan Kematian”, Kompas, 17 Februari 2002.

24 Jens Hoffmann dan Joan Jonas, Art Works Perform (London: Thames & Hudson, 2005), 12.

Page 23: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

23 PB

Kalam 27 / 2015

untuk menghadirkan sebuah peristiwa. Tubuh adalah medium atau

hantu-hantu yang teraniaya untuk menciptakan peristiwa simbolis

berulangnya kembali siklus kematian dan kehidupan dalam arti yang

paling privat bagi Melati Suryodarmo yang melakukan performans

berdurasi 12 jam di Bandung (I’m A Ghost in My Own House; 2012).

Pada pengantar singkat untuk undangan diskusi ini disebut-

sebut seni rupa Kesenian Unit Desa (KUD), istilah yang kita dengar

sejak pertengahan 1980-an dan rupanya masyhur sampai sekarang.

Pada pertengahan 1980-an, Moelyono berjalan menyusuri pasar, bukit

dan sungai sampai ke Teluk Brumbun di ujung selatan Tulungagung.

Pertemuannya dengan seorang ibu pedagang ikan laut dalam

“peristiwa” sebentar itu menyulut rasa bersalahnya sebagai mahasiswa

seni rupa yang proyek akhirnya adalah “kolase penderitaan rakyat

miskin”. Perasaan bersalah itu adalah awal penebusan yang panjang

terhadap jenis-jenis formalisme yang kita lihat sudah dipersoalkan

sejak dekade 1970-an. Jika kita melihatnya dari dataran tinggi seni

rupa (“seni rupa atas”, kata Sanento), kita melihat ada lebih banyak

masyarakat yang diasingkan oleh seni jenis ini daripada memperoleh

sekadar manfaatnya. Seni dapat menjadi alat analisis, dan pameran,

siapa bilang tak bisa menjadi sebentuk advokasi bagi persoalan nyata

di masyarakat?25 Tapi apakah semua “peristiwa” bermanfaat bagi

sebagian besar masyarakat, kecuali menebus rasa bersalah senimannya

sendiri? Bukankah realitas itu sendiri lebih sering menyadarkan kita

ketimbang yang sebaliknya?

Itulah yang digambarkan sebagai yang “relasional” dalam seni

rupa kontemporer, yang lebih berbicara kepada kita soal formasi

25 Baca, Moelyono, Pak Moel Guru Nggambar (Yogyakarta: INSIST Press 2005).

Page 24: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

24 PB

Kalam 27 / 2015

(formation) daripada bentuk (form). Esensi manusia, dalam kacamata

estetika relasional Bourriaud adalah trans-individual, ikatan-

ikatannya adalah bentuk-bentuk sosial yang menyejarah. “Akhir

sejarah” atau “akhir seni” dengan demikian adalah sesuatu yang tak

mungkin baginya, karena permainan akan selalu dimainkan lagi,

menurut fungsi, para pemain dan sistem yang dibangun dan dikritik.

Estetika relasional didasari oleh “materialisme perjumpaan” (Louis

Althusser), materialisme yang acak, bertolak dari dunia yang selalu

berubah. Kata Duchamp, itulah permainan seluruh masyarakat dalam

berbagai kurun waktu yang kita sebut sebagai seni.26

Lebih-kurang 20 tahun kemudian, mungkin dengan rasa

bersalah yang lebih “situasionis”, Reza “Asung” Afisina menampari

mukanya sendiri di dalam ruang pribadinya, selama 10 menit 45

detik di sebuah markas bernama ruangrupa. Seperti pesakitan

Asung melebamkan raut mukanya seraya membaca ayat-ayat Injil

(Lukas 12: 03-11) mengenai hukuman dan pengampunan Tuhan. Ia

menciptakan formasi privat dengan dirinya sendiri, tetapi sekaligus

juga menyadari efek reproduktifnya dalam masyarakat yang dipenuhi

janji dan pertukaran simulasi tanda. Ruang privat itu diproduksi

melalui logika perekaman video, ditampilkan kembali seperti kita

menonton litani pertunjukan pada sebuah televisi. What (2001) karya

Reza yang termasuk salah satu karya video yang fenomenal dalam

perkembangan seni di Indonesia adalah sebuah “teror” yang berasal

dari ruang privat.27

26 Nicolas Bourriaud, Relational Aesthetics, diterjemahkan oleh Simon Pleasance dan Fronza Woods (Paris: Les presses du réel, 2002), 7.

27 Hafiz, 10 Tahun Seni Video Indonesia, 2000-2010 (Jakarta: Divisi Pengembangan Seni Video Ruangrupa, 2011).

Page 25: Seni dan Peristiwa - Salihara wiyanto-seni dan... · lukisan-lukisan Oesman Effendi, Rusli, Krisna Mustajab dan Sadali, kita dapat mengatakan bahwa para pelukis itu adalah para pemburu

25 PB

Kalam 27 / 2015

Dunia luar kini bukan lagi luar, karena yang luar seakan-

akan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan yang dalam.

Para seniman mungkin tak bisa lagi berada di suatu bagian yang

dianggapnya inti (atau yang “representatif”) dari sesuatu yang tertutup

dari yang luar. Tetapi kita tetap bisa mengenali intensi-intensinya

yang menentukan bentuk dan jenis formasi yang diciptakan atau

dikritik. Barangkali saja, intensi itu adalah sejenis “formasi apriori”

untuk menciptakan sebuah peristiwa.

Peristiwa—sebagai “seni”—telah membebaskan para seniman,

juga kita para penonton yang berada di luar. Tetapi kini peristiwa

juga menilai kita; tiap peristiwa segera dilampaui dan dinilai oleh

peristiwa yang lain sehingga tak jarang kita merasa berada di paling

luar dari yang di luar. Itulah posisi yang “tanpa pusat yang tetap”, yang

eks-sentris, kata Paul Crowther.28

28 Paul Crowther, “The Postmodern Sublime: Installation and Assemblage Art”, Art & Design Profile No. 40, 1995, 9.