pneumotoraks
TRANSCRIPT
PNEUMOTORAKS
I. PENDAHULUAN
Respirasi (pernapasan) melibatkan keseluruhan proses yang menyebabkan pergerakan
pasif O2 dari atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme sel, serta pergerakan pasif
CO2 selanjutnya yang merupakan produk sisa metabolisme dari jaringan ke atmosfer. Sistem
pernapasan ikut berperan dalam homeostasis dengan mempertukarkan O2 dan CO2 antara
atmosfer dan darah. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara sistem pernapasan dan jaringan.(1)
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan
terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal
sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan
maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik (2).
II. EPIDEMIOLOGI
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak
diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun.
Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan pendekatan
baru berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS = video assisted thoracoscopy
surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami
pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di rumah sakit (2).
Insidensinya adalah 10/100.000 orang dewasa per teahun, laki-laki > perempuan,
kadang-kadang diturunkan dalam keluarga orang dengan tubuh lebih tinggi cenderung lebih
sering mengalam pneumotoraks. (4)
III. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI PNEUMOTORAKS
1
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (2), (3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun
paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena
jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan
paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga jenis, yaitu (2) :
2
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas (2).
Penghitungan Luas Pneumotoraks
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis
kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai
dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :
3
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-
masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2).
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus rata-
rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83 512______ = ________ = ± 50 % 103 1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan
jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat
antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).
IV. PATOGENESIS
4
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm) = __________________ x 10
3
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh
jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura dibatasi
oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial yakni pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura
parietalis melapisi otot-otot, dinding dada, tulang , dan kartilago. Diagfragma dan
mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura visceralis melapisi paru dan menyusup ke
dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi
cairan (10-20 mL) dan berfungsi sebagai pelumas di antara kedua lapisan pleura.(2)
Efek pneumotoraks bergantung pada ada ridaknya kebocoran pleura.
- Pneumotoraks “tertutup” : lubang kebocoran menutup saat paru mengempis
sehingga jumlah udara yang masuk ke rongga pleura terbatas, tekanan pleura tetap
negatif dan secara perlahan-lahan terjadi resolusi walaupun tidak diterapi.(4)
- Pneumotoraks “terbuka” : bila terdapat hubungan persisten anatar saluran
pernapasan dengan rongga pleura (fistula bronkopleura) ditandai oleh adanya
gelembung udara yang persisten pada drainase dada. Paru tidak bisa mengembang
dan terdapat infeksi yang signifikan karena transmisi organisme melalui saluran
pernapasan ke rongga pleura.(4)
- Pneumotoraks tension : bila lubang bocor tetap terbuka namun berfungsi sebagai
katup searah (one way valve) antara saluran pernapasan dengan rongga pleura.
Kenaikan progresif dari volume udara dalam rongga pleura menyebabkan
meningkatnya tekanan udara dalam rongga pleura di atas tekanan atmosfer yang
menekan paru, jantung dan garis mediastinal. Pengisian dan output jantung
menyebabkan sakit berat dan kematian.(4)
V. GAMBARAN KLINIS
Pneumotoraks kecil bisa asimptomatik, pneumotoraks sedang-besar, nyeri dada
menddadak disertai sesak adalah gejala yang palimg sering dijumpai.Terdapat hiperinflasi
dengan menurunnya ekspansi paru dan melemahnya bunyi napas.(4)
Emfisema subkutan bisa terjadi akibat cocornya udara ke kulit dan jaringan subkutan
yang terasa menetas (cracklng) dalam kulit. Bisa disertai pembengkakan wajah dan gangguan
5
saluran pernapasan. Pnemuotraks tension menybabkan dispnea yang berat, deviasi trakea,
takikardia dan hipotensi.(4)
VI. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah (2) (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek,
dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi
yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada
jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut, (2):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada
tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3),:
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
6
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain (3):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara
7
yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah
merupakan bagian paru yang kolaps
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
8
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru dan
pneumonia. Pada pasien muda, tinggi pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada
pneumotoraks umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer.
Pneumotoraks spontan spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan
pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura. (2)
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup,
maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi
tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam
beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari (2)
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara (2) :
9
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2),.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol (2).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik
infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (2).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau
pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2
di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke
rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter
toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter
toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya
berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (2), (3).
10
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang.
Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura
sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam.
Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa
belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal (2).
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat
bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah dengan abrasi pleura atau pleurektomi untuk melekatkan kedua
pleura dilakukan pada pneumotoraks yang tidak membaik setelah drainage dengan
selang dan pada pneumotoraks rekuren.(4)
IX. PROGNOSIS
Pasien dengan pneumotorkas spontan hampir separuhnya akan mneglami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy .
Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi
terbuka. Pasien-pasien yang pentalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang
mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena
sangat berbahaya. (2)
KESIMPULAN
11
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh udara, sehingga
menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang menimbulkan gangguan dalam
pengembangannya terhadap rongga dada saat proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien
sering mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan
pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel
yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada hasil foto
röntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan bronkovaskuler pada lapang paru
yang terkena, disertai adanya garis putih yang merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil
röntgen juga dapat diketahui seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang
terkena pendesakan serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan pemberian O2 yang
dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang berat dapat dilakukan tindakan
pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit yang
mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA12
1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC;
1996. p. 410.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bascom, Rebecca. Pneumothorax,. Updated: 2011 June 21; cited 2011 August 6
Available from http://emedicine.medscape.com/article/ 424547
4. Davey, patrick. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series; 2002. p.26-
27
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited
: 2011 August 6 . Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 315.
7. David, Rhacel Davids. Guillian-Barre Syndrome,. Updated: 2011 May 10; cited 2011
August 14 Available from http://emedicine.medscape.com/article/ 315632
8. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1650.
9. Anonim. Tuberculosis (TB). Cited : 2011 August 14. Available from :
http:// www.totalkesehatananda.com/tuberculosis5.html
10. Anonim. Amrboxol 30 MG. Cited : 2011 August 14. Available from :
http:// www.farmasiku.com
11. Nabili,Siamak, . Anemia . Cited : 2011 August 14 . Available from :
http://www.medicinenet.com/ script/main/art.asp?articlekey=2015
LAPORAN KASUS
13
Nama Penderita : Tuan. MD
Kelamin : Laki-laki
Tgl. Lahir : Makassar, 30 Juni 1961
Alamat : Jalan Manuruki II
No. RM : 22 78 45
Tgl. Pemeriksaan : 29 Juli 2011
Ruangan : Baji Pamai II kamar 208
Keluhan Utama : Sesak nafas
Anamnesis terpimpin :
Dialami 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit,sebelumnya pasien sudah sering mengalami
gejala seperti ini sejak 1 tahun yang lalu namun tidak terus menerus. Pasien tidur dengan
bantal yang tinggi. Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas maupun cuaca. Sesak tidak
membaik jika merubah posisi. Batuk (+) sejak 2 bulan terakhir dengan lendir yang sulit
dikeluarkan. Berkeringat lebih di malam hari. Penurunan berat badan dirasakan dalam 1
tahun tahun terakhir kurang lebih 10 kg. Nyeri dada (-)
Demam (-) Riwayat demam (+) kadang-kadang tetapi turun sendiri tanpa pemberian obat.
Menggigil (-) Pusing (-).
Mual (-) Muntah (-) Nyeri Ulu Hati (-) 1 bulan terakhir pasien mengeluh nafsu makan
menurun.
- Riwayat penyakit tekanan darah tinggi dan kencing manis tidak diketahui
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat ibu (sudah meninggal) dengan keluhan sesak nafas.
- Riwayat penggunaan OAT (-)
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat trauma dada (-)
Status Praecens
14
Sakit Sedang/Gizi Kurang/ Compus Mentis
BB : 30 kg TB : 153 IMT : 12.81 kg/m2
Tekanan darah :110/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Pernapasan : 30 kali/menit
Suhu : 37.0 C
Pemeriksaan Fisis
Anemis (+) Ikterus (-) Sianosis (-) DVS : R -2 cmHg
Dada
Inspeksi : simetris
Palpasi : fremitus raba menurun (D), nyeri tekan (+)
Perkusi : Paru kiri :sonor
Paru kanan : hipersonor
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikular, menghilang pada ICS IV (D)
Bunyi tambahan : Rh : + + Wh : - - - + - - - + - -Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea midklavikularis sinistra
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : Pekak, Batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : BJ I/II : murni reguler
Bunyi tambahan : bising (-)
Perut
Inspeksi : datar, ikut gerak nafas
Palpasi : Nyeri tekan (-) Massa Tumor (-) Hepar/Lien tidak teraba
Perkusi : Tymphani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Ektremitas : edema (-) wasting (+)
Pemeriksaan Laboratorium :
15
Jenis pemeriksaan 27 Juli 2011 28 Juli 2011 29 Juli 2011
WBC 8.300 12.5
RBC 4.46 x 103 4.28 x 103
HgB 11.5 10.9↓ 10.9↓
MCV 78↓ 78↓ 73↓
MCHC 33.0 32.6 29.1↓
MCH 25.8↓ 25.6↓ 21.2↓
Trombosit 440. 103
SGOT/SGPT 12/15
GDS 142
Ureum 42.2
Kreatinin 0.21
Pemeriksaan Penunjang Lainnya :
Foto Thoraks PA
Kesan : Pneumotoraks Dextra16
Suspek KP Lama Aktif
Apusan Darah Tepi ( 28 Juli 2011)
Kesan : Anemia bimorfik + Leukositosis tanda-tanda infeksi
Ringkasan:
Laki-laki 50 tahun, dyspneu, sejak 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Gejala ini sudah
sering dirasakan 1 tahun terakhir Pasien tidur dengan bantal yang tinggi. Dyspneu d effort (-)
Batuk (+) dengan lendir yang sulit dikeluarkan. Berkeringat lebih pada malam hari. Riwayat
penurunan berat badan dalam 1 tahun terakhir kurang lebih 10 kg. Riwayat demam (+) turun
sendiri tanpa pemberian obat. Riwayat penggunaan OAT disangkal pasien.
Pada pemeriksaan fisis toraks didapatkan bunyi pernapasan menghilang (D) pada ICS IV,
vokal fremitus menghilang (D), paru kanan hipersonor dan didapatkan bunyi tambahan
ronkhi di paru sebelah kiri.
Pada pemeriksaan fisis jantung Ictus cordis terlihat di ICS 5 Linea Midklavikularis sinistra
dan teraba.Batas jantung sulit dinilai.
Diagnosis Sementara : Pneumotoraks (D)
Suspek TB Paru
Anemia mikrositik hipokrom e.c susp Def. Fe
Gizi Buruk
Diagnosis Diferensial : Suspek Tumor Paru
Pengobatan : O2 2-4 liter
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Rencana Pemeriksaan : Sputum BTA 3 kali Analisa Gas Darah
Foto Thoraks kontrol Feses Rutin
Prognosis : Dubia et bonam
FOLLOW UP
27 Juli 2011
T : 110/70
N : 84
P : 30
S : 36.8 C
PH 1
KU : Sesak
SS/CM/ GK
Anemia ( +) Ikterus (-) Sianosis (-)
DVS R-2 cmHg
Respi :
Bunyi pernapasan : Vesikular
R/
IVFD RL 20 tts/menit
02 2 liter
Konsul CITO pasang WSD
Konsul Pulmo
Konsul Gizi
17
menghilang pada ICS IV (D)
Bunyi tambahan : Rh: + + Wh : - - - + - - - + - - Vokal Fremitus (D) menghilang
Vokal Fremitus (S) normal
Sonor pada hemithoraks sinistra
Hipersonor pada hemithoraks dextra
Cardio :
BJ I/II murni reguler
Abd : Peristaltik (+) Kesan N
Hepar/ Lien tidak teraba
BAB : Normal
BAK : Lancar kesan biasa
RT : Ampula kosong, Mukosa licin,
Sphinkter mencekik, Feses (+) Darah (-)
Lendir (-)
A : Pneumotoraks (D)
Suspek TB Paru
Keluarga menolak
pemasangan WSD
30 Juli 2011
T : 120/70
N : 78
P : 28
S : 36,8
PH 4
KU : Sesak menurun
SS/CM/ GK
Anemia ( +) Ikterus (-) Sianosis (-)
DVS R-2 cmHg
Respi :
Bunyi pernapasan : Vesikular
menghilang pada ICS IV (D)
Bunyi tambahan : Rh : + + Wh : - - - + - - - + - - Vokal Fremitus (D) menghilang
Vokal Fremitus (S) normal
Sonor pada hemithoraks sinistra
R/
IVFD RL 20 tts/menit
02 2 liter
Ambroxol tab 3 x 1
SPUTUM BTA ( +)
18
Hipersonor pada hemithoraks dextra
Cardio :
BJ I/II murni reguler
Abd : Peristaltik (+) Kesan N
Hepar/ Lien tidak teraba
BAB : Normal
BAK : Lancar kesan biasa
A : Pneumotoraks (D) e.c TB Paru
Anemia mikrositik hipokrom e.c susp
Def. Fe
1 Agustus 2011
T : 110/60
N : 80
P : 30
S : 36.7 C
PH 6
KU : Sesak menurun
SS/CM/ GK
Anemia ( +) Ikterus (-) Sianosis (-)
DVS R-2 cmHg
Respi :
Bunyi pernapasan : Vesikular
menghilang pada ICS IV (D)
Bunyi tambahan : Rh : + + Wh : - - - + - - - + - - Vokal Fremitus (D) menghilang
Vokal Fremitus (S) normal
Sonor pada hemithoraks sinistra
Hipersonor pada hemithoraks dextra
Cardio :
BJ I/II murni reguler
Abd : Peristaltik (+) Kesan N
Hepar/ Lien tidak teraba
BAB : Normal
BAK : Lancar kesan biasa
A : Pneumotoraks (D) e.c TB Paru
R/
Diet TKTP sesuai advise
Gizi
IVFD NaCl 0.9 % 20 tts/
menit
Rifampisin 1 x 300 mg
INH 1 x 300 mg
Pirazinamid 1 x 500 mg
Etambutol 1 x 500 mg
Vit B6 1 x 1
Ambroxol 3 x 1
19
Anemia mikrositik hipokrom e.c susp
Def. Fe
4 Agustus 2011
T : 130/ 70
N : 89
P : 28
S : 36.7
PH 9
KU : Sesak menurun
SS/CM/ GK
Anemia ( +) Ikterus (-) Sianosis (-)
DVS R-2 cmHg
Respi :
Bunyi pernapasan : Vesikular
menghilang pada ICS IV (D)
Bunyi tambahan : Rh : + + Wh : - - - + - - - + - - Vokal Fremitus (D) menghilang
Vokal Fremitus (S) normal
Sonor pada hemithoraks sinistra
Hipersonor pada hemithoraks dextra
Cardio :
BJ I/II murni reguler
Abd : Peristaltik (+) Kesan N
Hepar/ Lien tidak teraba
BAB : Normal
BAK : Lancar kesan biasa
A : Pneumotoraks (D) e.c TB Paru
Anemia mikrositik hipokrom e.c susp
Def. Fe
R/
Diet TKTP sesuai advise
Gizi
IVFD NaCl 0.9 % 20 tts/
menit
Rifampisin 1 x 300 mg
INH 1 x 300 mg
Pirazinamid 1 x 750 mg
Etambutol 1 x 750 mg
Vit B6 1 x 1
Ambroxol 3 x 1
*keluarga minta pulang
paksa
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan sesak nafas, yang kami pikirkan adalah penyebab
sesak nafas itu sendiri. Penyebab sesak nafas dapat dibedakan atas dua hal yakni
cardiopulmonal dan non cardiopulmonal.
Untuk non kardiopulmonal, sesak nafas dapat didapatkan misalnya pada penyakit
Gastro Esofageal Refluks Diseaese (GERD), keadaan psikososomatis atau pada penyakit
Guiliian Barre Syndrome (GBS) namun untuk mengarahkan diagnosis ke arah non
20
cardiopulmonal dapat kita singkirkan, karena tidak ditemukan hal-hal yang mendukung ke
arah tersebut. Gastro Esofageal Refluks Diseases (GERD) misalnya tidak didapatkan nyeri
dada ataupun rasa terbakar (heartburn)(6) , sedangkan keadaan psikosomatis pada pasien ini
tidak ditemukan adanya gangguan kejiwaan seperti cemas berlebihan ataupun waham-waham
tertentu. Guillian Barre Syndrome (GBS) pun dapat kita singkirkan mengingat tidak
ditemukannya parese pada extremitas bawah dan angka kejadian GBS yang sering terjadi
pada umur muda(7) , sedangkan pada pasien ini sudah tidak tergolong umur muda.
Pasien ini sesak tidak dipengaruhi aktivitas dan tidak ada nyeri dada serta tidak
didapatkan faktor resiko cardiovaskuler misalnya hipertensi, riwayat merokok, diabetes
mellitus dan obesitas (8) ,sehingga kami memfokuskan ke arah pulmonal.
Pasien ini kami curigai dengan Tuberculosis paru atas dasar gejala klinis berupa
batuk sejak 2 bulan yang lalu dengan lendir yang sulit dikeluarkan, penurunan berat badan
kurang lebih 10 kg dalam 1 tahun terakhir disertai penurunan nafsu makan dan pada
pemeriksaan sputum BTA didapatkan hasil yang positif.
Pemeriksaan fisis kami dapatkan fremitus raba menurun pada paru sebelah kanan dan
pada perkusi kami mendapatkan hipersonor pada paru sebelah kiri. Dari hal tersebut kami
memikirkan komplikasi dari tuberculosis paru yakni pneumotoraks dan efusi pleura.Efusi
pleura dapat kita singkirkan atas dasar sesak nafas tidak dipengaruhi perubahan posisi.
Pneumotoraks pada pasien ini tergolong pneumotoraks spontan sekunder yakni suatu
pneumotoraks yang terjadi akibat adanya penyakit paru yang mendasarinya (2), dalam kasus
ini tuberkulosis paru. Kami mendiagnosis banding dengan tumor paru atas dasar adanya
penurunan berat badan yang signifikan.
Prinsip penanganan pada pasien ini terbagi atas dua hal yakni penanganan
pneumotoraks itu sendiri serta penanganan penyakit yang mendasarinya(2). Untuk penanganan
pneumotoraks hal yang dapat dilakukan adalah pemasangan water sealed drainage (WSD)
dengan tujuan untuk mengeluarkan udara dalam paru namun sangat disayangkan pada pasien
ini pemasangan WSD tidak dilakukan karena keluarga tidak setuju. Dalam keadaan gawat
darurat dapat dilakukan tindakan torakotomi, sedangkan untuk mengobati penyakit yang
mendasarinya yakni pengobatan tuberculosis paru kategori I yang menurut WHO 1991
ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum BTA positif(2). Pemberian vitamin B6 untuk
mencegah efek samping dari INH (9). Pemberian mukolitik bertujuan untuk membantu
pengluaran lendir (10).
21
Pasien ini tergolong anemia yang berdasarkan bentuk dan jumlah sel dengan
interpretasi anemia mikrositik hipokrom, dugaan sementara disebabkan oleh suatu perjalanan
penyakit yang kronik yakni tuberkulosis paru. Anemia mikrositik hipokrom sendiri dapat
disebabkan oleh defisiensi Fe (11).
Pasien ini termasuk gizi buruk, untuk lebih optimalnya penanganan nutrisi kami
konsultasikan ke bagian gizi klinik dan sebagai hasil konsultasi pasien diberikan diet TKTP.
Prognosis untuk pneumotoraks adalah dubia et bonam jika segera ditangani, namun
pada pada pasien ini prognosisnya dubia et malam karena penanganan awal tidak maksimal
dalam hal ini pemasangan water sealed drainage (WSD).
22