perspektif hidrologis dan struktur bawah...

7
Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN Arhananta, Faishal Arkhanuddin, dan Muhammad Dzulfikar Faruqi UPN VETERAN YOGYAKARTA, Jalan SWK No. 104 (Lingkar Utara) Condongcatur, 55283, Daerah Istimewa Yogyakarta Email : [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak Mata air rekahan merupakan salah satu tipe mata air yang dilihat dari permunculan air. Mata air rekahan banyak bermunculan di daerah karst. Mata air ini digolongkan sebagai akuifer rekahan/fissure dengan sistem saluran diffuse. Porositas sekunder dan tingkat karstifikasi yang dihasilkan akibat pelarutan menimbulkan semakin meningkatnya debit air di daerah karst. Kenaikan debit ini juga dibarengi respon dalam saluran yang sangat cepat. Struktur bawah tanah yang kompleks akan struktur sekunder geologi berupa lipatan atau patahan yang dilanjutkan dengan pelarutan merupakan pemicu utama pembentukan rekahan tempat terisinya air yang kemudian muncul kembali di permukaan sebagai mata air rekahan yang juga suatu pertanda besarnya potensi longsor, gempa bumi, arus air deras yang tiba-tiba, maupun gerakan tanah sebagai ancaman bencana di sekitar daerah ini. Terlenanya masyarakat terhadap kenikmatan air yang melimpah membuat mereka terpicu membuka lahan pertanian di sekitar daerah mata air yang justru memperbesar rekahan di permukaan dan mempercepat pelarutan pada bidang retakan. Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul penahan pergerakan tanah yang sesuai dengan kondisi bawah permukaan. Mitigasi non struktural berupa himbauan untuk tidak membuka kawasan pertanian di sekitar mata air rekahan, papan informasi tentang gerakan tanah dan arus deras serta pembuatan jalur evakuasi merupakan solusi paling tepat setelah kita mengetahui kajian hidrologi serta struktur bawah tanah daerah mata air rekahan. Kata Kunci : karst, mata air, mitigasi, rekahan, struktur geologi.

Upload: hadieu

Post on 06-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH

DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN

Arhananta, Faishal Arkhanuddin, dan Muhammad Dzulfikar Faruqi

UPN VETERAN YOGYAKARTA, Jalan SWK No. 104 (Lingkar Utara) Condongcatur, 55283, Daerah

Istimewa Yogyakarta

Email : [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Mata air rekahan merupakan salah satu tipe mata air yang dilihat dari permunculan air. Mata air

rekahan banyak bermunculan di daerah karst. Mata air ini digolongkan sebagai akuifer

rekahan/fissure dengan sistem saluran diffuse. Porositas sekunder dan tingkat karstifikasi yang

dihasilkan akibat pelarutan menimbulkan semakin meningkatnya debit air di daerah karst.

Kenaikan debit ini juga dibarengi respon dalam saluran yang sangat cepat. Struktur bawah tanah

yang kompleks akan struktur sekunder geologi berupa lipatan atau patahan yang dilanjutkan

dengan pelarutan merupakan pemicu utama pembentukan rekahan tempat terisinya air yang

kemudian muncul kembali di permukaan sebagai mata air rekahan yang juga suatu pertanda

besarnya potensi longsor, gempa bumi, arus air deras yang tiba-tiba, maupun gerakan tanah

sebagai ancaman bencana di sekitar daerah ini. Terlenanya masyarakat terhadap kenikmatan air

yang melimpah membuat mereka terpicu membuka lahan pertanian di sekitar daerah mata air yang

justru memperbesar rekahan di permukaan dan mempercepat pelarutan pada bidang retakan.

Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul penahan pergerakan

tanah yang sesuai dengan kondisi bawah permukaan. Mitigasi non struktural berupa himbauan

untuk tidak membuka kawasan pertanian di sekitar mata air rekahan, papan informasi tentang

gerakan tanah dan arus deras serta pembuatan jalur evakuasi merupakan solusi paling tepat

setelah kita mengetahui kajian hidrologi serta struktur bawah tanah daerah mata air rekahan.

Kata Kunci : karst, mata air, mitigasi, rekahan, struktur geologi.

Page 2: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang memiliki

keragaman dalam kajian geologi. Karst juga

merupakan suatu warna tersendiri yang

melengkapi keanekaragaman tersebut.

Realisasi pengembangan kawasan karst pun

juga telah tercapai dengan peresmian Geopark

Gunungsewu. Daerah karst memiliki banyak

potensi dalam pertambangan sampai

pariwisata, untuk itu pentingnya kajian

mengenai karst harus terus dikembangkan.

Daerah karst dihasilkan akibat adanya proses

Karstifikasi. Proses ini berperan penting di

dalam pelarutan batugamping yang sifatnya

karbonatan dengan CO2 yang dihasilkan dari

aktivitas tumbuhan yang berada diatasnya,

sehingga lama kelamaan akan melarutkan

batugamping di sekitarnya dan akan

membentuk suatu morfologi berupa dolina,

uvala, lokva, dsb.

Pada daerah karst memiliki ciri khas

berupa mata air rekahan yang terbentuk akibat

adanya bidang-bidang kekar yang terdapat

pada akuifer. Pada daerah karst, mata air

freatik sangat dominan. Kelimpahan air

freatik pun seharusnya dapat dimanfaatkan

secara optimal untuk penghidupan penduduk

untuk kegiatan sehari hari dan bercocok

tanam, namun kelimpahan tersebut juga

menuai hambatan dalam pemanfaatannya

dikarenakan sifat kelarutan daerah karst yang

membuat air freatik langsung masuk kedalam

sungai bawah tanah. Hal tersebut dapat

dibuktikan pada munculnya mata air rekahan

yang terdapat di Telaga Biru Ngreneng, Desa

Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten

Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Semakin besar debit aliran mata air

yang terdapat dalam suatu karst, semakin

menunjukkan bahwa tingkat karstifikasi

semakin tinggi. Hal tersebut membawa nilai

positif dan negatif. Hal negatif yang biasanya

terjadi adalah adanya amblesan diakibatkan

adanya penggerusan lapisan batugamping

oleh air. Untuk itu, mitigasi kebencaan

struktural maupun nonstruktural didaerah

pemunculan air khususnya pada spring yang

bertujuan masyarakat sekitar daerah karst

tidak dirugikan dan optimalisasi air dapat

tercapai sangatlah diperlukan.

Studi Pustaka dan Dasar Teori

1. Geologi Regional

Karst di wilayah Gunung Kidul pertama

kali diperkenalkan oleh Danes (1910) dan

Lehmann (1936) dan lebih terkenal dengan

nama karst Gunungsewu. Daerah penelitian

berada di Kecamatan Semanu, Kabupaten

Gunung Kidul, kurang lebih 7 kilometer dari

pusat kota Wonosari. Daerah penelitian

termasuk ke dalam lembar Peta Geologi

Lembar Surakarta – Giritontro dan terletak di

atas Formasi Wonosari yang secara umum

tersusun atas batugamping terumbu,

kalkarenit, dan kalkarenit tufaan, dengan

hubungan stratigrafi yang menjemari dengan

bagian atas dari Formasi Oyo (Surono dkk

dalam Widyaningtyas, 2014) .

Gambar 1. Peta daerah penelitian di daerah Semanu,

Gunung Kidul, Yogyakarta (Widyaningtyas, 2014).

Secara umum daerah penelitian yang

masuk dalam pegunungan selatan ini

dikontrol oleh empat pola arah kelurusan

geologi yaitu arah NE-SW, N-S, NNW-SE

dan E-W (Van Bemmelen, 1949).

Page 3: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

2. Hidrogeologi Karst

2.1.Akuifer

Terminologi atau batasan yang terkait

dengan perlapisan geologi dan mempunyai

peranan penting bagi keterdapatan airtanah

adalah akuifer (aquifer), akiklud (aquiclude),

dan akitard (aquitard) (Sudarmadji, 2013).

Akuifer merupakan suatu unit geologi yang

dapat menyimpan dan mengalirkan air dalam

jumlah yang cukup. Sementara itu, unit

geologi yang tidak dapat melalukan air

disebut aquiclude, sedangkan aquitard adalah

unit geologi dengan permeabilitas rendah

yang dapat menyimpan dan mengalirkan air

secara lambat.

Aquifer karst berbeda dari aquifer non-

karst karena adanya jaringan pembuluh atau

saluran-saluran menyerupai pipa dengan

bentuk tak beraturan yang saling berintegrasi.

Aquifer karst biasanya unik karena di

dalamnya sering terdapat tiga jenis porositas

sekaligus, yakni porositas matriks atau

intergranuler (pori-pori antarbutir), porositas

retakan, dan porositas rongga (Kusumayudha,

2004).

Domenico dan Schwartz (1990)

membagi sifat komponen aliran di karst

menjadi dua, yaitu (1) komponen aliran

rembesan (diffuse) dan (2) komponen aliran

saluran/lorong (conduit). Komponen diffuse

adalah komponen aliran yang masuk ke

sungai bawah tanah melalui proses infiltrasi

yang terjadi perlahan-lahan melewati zona

permukaan bukit karst (epikarst) dan

kemudian mengimbuh sungai bawah tanah

berupa tetesan atau rembesan-rembesan,

sedangkan komponen conduit adalah

komponen aliran yang mengimbuh sungai

bawah tanah melalui ponor yang ada di

permukaan, dan melewati rongga-rongga

yang besar dengan kecepatan aliran yang

cepat (Adji, 20--)

3. Karstifikasi

Karstifikasi merupakan proses

permbentukan bentuk lahan karst yang

didominasi proses pelarutan. Karstifikasi

diawali dengan larutnya CO2 di dalam air

membentuk senyawa H2CO3. Senyawa H2CO3

bersifat tidak stabil di dalam air, sehingga

terurai menjadi ion H+ dan HCO32-.

Selanjutnya ion H+ menguraikan CaCO3

menjadi ion Ca2+ dan HCO32- (Anshori, 2015).

Reaksi dalam proses pelarutan dirumuskan

sebagai berikut.

𝐶𝑎𝐶𝑂3 + 𝐻2𝑂 + 𝐶𝑂2 → 𝐶𝑎2+ + 2𝐻𝐶𝑂3−

Karstifikasi dipengaruhi oleh faktor

pengontrol dan faktor pendorong. Faktor

pengontrol menentukan dapat tidaknya proses

karstifikasi berlangsung, sedangkan faktor

pendorong menentukan kecepatan dan

kesempurnaan proses karstifikasi (Adji,----).

Faktor Pengontrol terjadinya karstifikasi

terdiri dari (1) batuan mudah larut, kompak,

tebal, dan mempunyai banyak rekahan, (2)

curah hujan yang cukup (>250 mm/tahun),

dan (3) batuan terekspos di ketinggian yang

memungkinkan perkembangan sirkulasi

air/drainase secara vertikal. Sedangkan faktor

pendorong terjadinya karstifikasi yaitu: (1)

temperatur dan (2) penutupan hutan.

Batuan yang mengandung CaCO3

tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi

kandungan CaCO3, semakin berkembang

bentuk lahan karst. Kekompakan batuan

menentukan kestabilan morfologi karst

setelah mengalami pelarutan. Apabila batuan

lunak, maka setiap kenampakan karst yang

terbentuk seperti karen dan bukit akan cepat

hilang karena proses pelarutan itu sendiri

maupun proses erosi dan gerak masa batuan,

sehingga kenampakan karst tidak dapat

berkembang baik.

Page 4: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Kecamatan Semanu memiliki banyak

fenomena Karst. Selain bukit kerucut,

sinkholes atau dolina sangat umum dijumpai

pada batugamping segar maupun lapuk.

Proses pembentukan sinkholes akan memicu

terjadinya amblesan tanah. Amblesan tanah

ini terjadi karena adanya proses pelarutan

batuan bawah permukaan oleh air yang umum

terjadi pada batuan karbonat (batugamping,

dolomit), endapan garam dan gypsum (Allen

dalam Widyaningtyas, 2014).

Poland dan Davis dalam Putra (2014)

menyatakan bahwa amblesan pada

batugamping diakibatkan karena proses

pelarutan batugamping secara terus menerus

sehingga celah berkembang menjadi rongga,

yang mana apabila bagian atas dari rongga

terlalu lemah, keruntuhan atau amblesan di

permukaan dapat terjadi.

Kejadian amblesan di daerah karst

berkaitan dengan proses pembentukan

sinkholes. Proses pembentukan sinkholes

dibagi menjadi enam genesa, yaitu: solution

sinkhole, collapse sinkhole, dropout sinkhole,

buried sinkhole, caprock sinkhole, dan

suffusion sinkhole (Waltham dkk dalam

Widyaningtyas, 2014).

Gambar 2. Proses-proses amblesan yang berkaitan dengan

pembentukan sinkhole (Waltham, dkk dalam Widyaningtyas,

2014)

Waltham, dkk menjelaskan bahwa

solution sinkhole dan collapse sinkhole tidak

memiliki litologi atau endapan penutup di atas

batu gamping. Apabila lapisan penutup di atas

batugamping berupa tanah yang kohesif

seperti lempung, maka tipe amblesan yang

terjadi adalah dropout sinkhole. Jika lapisan

penutup tersusun atas endapan pasiran, maka

amblesan yang terjadi bertipe suffusion

sinkhole. Dan, apabila litologi yang

mengalami amblesan merupakan lapisan

batuan lain maka proses pembentukan

sinkhole disebut caprock sinkhole. Sedangkan

buried sinkhole terjadi karena adanya proses

pembebanan dan kompaksi yang dialami oleh

endapan penutup secara perlahan dan waktu

yang lama.

Faktor pengontrol yang berpengaruh

dalam proses pembentukan sinkhole/

amblesan yaitu litologi, kelurusan geologi dan

morfologi (Widyaningtyas, 2014).

Berdasarkan evaluasi peta topografi,

satuan morfologi daerah penelitian dapat

dibagi menjadi tiga satuan kelerengan, yaitu:

(1) satuan datar-landai (kelerengan < 20°),

satuan agak curam (kelerengan 20°-40°), dan

satuan curam (kelerengan > 40°).

Penelitian Widyaningtyas, dkk, 2014,

menunjukkan bahwa faktor pengontrol

keberadaan amblesan (sinkhole) di daerah

penelitian dipengaruhi secara berurutan oleh

litologi (65%), jarak dari kelurusan geologi

(23%), dan kelerengan (12%).

Secara umum, litologi penyusun di

daerah semanu adalah perselingan

batugamping terumbu dengan batugamping

berlapis. Di satuan lereng datar-landai,

umumnya kondisi batuan sudah mengalami

pelapukan membentuk tanah/endapan

berukuran lempung hingga pasir dengan

fragmen-fragmen batugamping berukuran 10

cm. Di bagian yang lain, pada satuan lereng

curam umum dijumpai batugamping segar

(Widyaningtyas, 2014).

Page 5: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

4. Pengelolaan Daerah Karst

Menurut Suryatmojo (2006),

pengelolaan daerah karst dibagi menjadi tiga

aspek, yaitu: abiotic, biotik,dan sosial.

Pengelolaan daerah karst dalam aspek

abiotik meliputi: (1) Penataan kawasan

berdasarkan karakteristik ekosistemnya dan

penetapan zonasi-zonasinya, baik untuk

kawasan budidaya, kawasan lindung, kawasan

industri, kawasan pertambangan, dan fungsi-

fungsi yang lain terutama untuk menjamin

berjalannya fungsi hidrologis kawasan karst

yang spesifik. (2) Memanfaatkan potensi air

bawah tanah untuk kegiatan produksi

pertanian, perkebunan, dan sarana air bersih

dengan mengeksploitasi secara tepat dan

mempertahankan kelestarian kualitas dan

kuantitas airnya. (3) Mengembangkan potensi

landscape karst yang unik sebagai potensi

wisata minat khusus (ecotourism).

Sedangkan, pengelolaan dalam aspek

biotik meliputi: (1) menerapkan kegiatan

budidaya pertanian ramah lingkungan dengan

mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida

kimiawi yang bertujuan untuk memelihara

kualitas air bawah permukaan, (2)

meningkatkan intensifikasi dan diversifikasi

budidaya pertanian, dan (3) mengembangkan

unit-unit lahan percontohan kegiatan

pertanian yang optimal.

Dan yang terakhir, pengelolaan dalam

aspek sosial yang meliputi: (1) meningkatkan

kualitas sumber daya manusia melalui

penyuluhan dan pelatihan tentang cara

konservasi daerah karst, (2) peningkatan

pelayanan kesehatan masyarakat, dan (3)

menyediakan pelayan fasilitas-fasilitas public,

seperti listrik, air bersih dll.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode

studi kajian pustaka dan data sekunder dari

penelitian sebelumnya tentang karst daerah

Semanu yang kemudian dianalisis lebih lanjut

lalu dititikberatkan pada mitigasi

kebencanaan daerah mataair rekahan.

Hasil dan Pembahasan

Hidrologi

Berdasarkan data sekunder, debit air

merupakan faktor penting dalam pelarutan

dalam karst. Semakin besar debit air yang

mengalir pada sungai bawah permukaan

karst, maka semakin besar tingkat pelarutan

atau karstifikasi yang terjadi, sehingga akan

menyebabkan rongga-rongga tempat

mengalirnya sungai membesar dan sistem

diffuse berubah menjadi sistem conduit.

Daerah penelitian didominasi oleh aliran

sungai bawah permukaan dengan debit yang

cukup besar. Dapat dianalisis bahwa sistem

yang berkembang di daerah penelitian adalah

sistem conduit. Dengan berkembangnya

sistem conduit, maka akan membawa

dampak negatif di daerah karst tersebut,

antara lain: (1) terjadinya banjir bawah

permukaan pada musim hujan, (2)

menurunnya kualitas airtanah karena tidak

adanya penyaring, dan (3) menyebabkan

terbentuknya sinkhole/amblesan karena

intensifnya pelarutan yang terjadi. Semakin

keruh air maka dapat diartikan semakin

banyak suspensi partikel terlarut yang

terangkut dalam debit air.

Struktur

Dalam penelitian ini struktur memiliki

dua peran yaitu sebagai agen porositas

sekunder lewat rekahan dan retakan serta

peran pengontrol terbentuknya amblesan

sinkhole yang memanjang menurut kelurusan

geologinya.

Kebencanaan

Dari data sekunder yang telah diperoleh,

dapat dianalisis bahwa kejadian

amblesan/sinkhole di zona batugamping segar

akan berkaitan dengan solution dan collapse

sinkhole, sedangkan pada batugamping lapuk

yang membentuk lapisan penutup, kejadian

Page 6: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

amblesan/sinkhole berkaitan dengan genesa

yang lain.

Mitigasi

Mitigasi di daerah penelitian menitik-

beratkan pada bencana amblesan dan

kekeringan di sekitar mataair rekahan agar

terjadi optimalisasi potensi air pada wilayah

karst. Mitigasi di daerah penelitian dibagi

menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan

mitigasi non-struktural.

Mitigasi struktural sendiri juga dibagi

menjadi 2, yaitu cara alami dan non-alami,

dengan tujuan membuat tanggul horizontal

berupa lapisan kedap air di atas batugamping

untuk menghambat air meteorik yang

tersimpan dalam porositas retakan dan

porositas rongga tidak langsung lolos ke

dalam sirkulasi vertikal yang akan melarutkan

dan meneruskan aliran air ke dalam sungai

bawah tanah. Mitigasi Struktural alami yaitu

dengan penanaman pohon-pohon berkayu

berakar kuat seperti Tectona grandis (pohon

jati) yang dapat hidup dengan baik pada

musim kemarau agar batugamping yang

masih keras segera lapuk dan menjadi

material lempung maupun pasir penyusun

tanah terrarosa yang kedap air. Penanaman

pohon jati diletakkan pada daerah morfologi

karst positif yang akhirnya menghasilkan

tanah terrarosa penutup lapisan morfologi

negatif seperti uvala ataupun sinkhole yang

secara tidak langsung membuat lokva sebagai

danau penampung air yang baik pada daerah

karst. Sifat akar jati yang selalu mencari

kemana arah air berada akan menutup retakan

dan rongga pada batugamping yang menjadi

recharge sistem aliran air bawah tanah yang

secara tidak langsung akan mengurangi

potensi amblesan serta pengontrol debit air

untuk menimimalisir banjir pada daerah mata

air pada saat musim penghujan. Sedangkan

mitigasi struktural non-alami dengan

penimbunan permukaan morfologi karst

negatif dengan alat berat .

Mitigasi non-struktural di daerah mata

air rekahan adalah kelanjutan dari mitigasi

struktural yaitu himbauan kepada masyarakat

untuk tidak bercocok tanam di daerah yang

kondisi batugampingnya lapuk bukan karena

akar tanaman dan menganjurkan pertanian

yang bersistem tumpang sari antara tanaman

pohon berkayu seperti Tectona grandis

dengan tanaman berupa jagung atau tanaman

palawija lain. Selain itu juga dibuat jalur

evakuasi menurut kelandaian lereng (<20°)

yang landai karena relatif lebih aman dari

potensi amblesan dan bencana lain.

Kesimpulan

Tingkat Karstifikasi berperan penting

di dalam pembentukan struktur bawah tanah

dari daerah karst. Hal tersebut diakibatkan

adanya pelarutan batugamping oleh

kandungan CO2 yang dihasilkan oleh air yang

berada pada sungai bawah tanah. Struktur

bawah tanah yang terdapat pada Karst di

daerah Semanu mampu membentuk tipe mata

air rekahan. Selain itu, faktor-faktor seperti

kekompakan batuan & debit air yang

mengalir. Semakin besar debit air yang

mengalir pada sungai bawah permukaan karst,

maka semakin besar tingkat pelarutan atau

karstifikasi yang terjadi, sehingga akan

menyebabkan rongga-rongga tempat

mengalirnya sungai membesar dan sistem

diffuse berubah menjadi sistem conduit.

Dengan berkembangnya sistem

conduit, maka akan membawa dampak negatif

di daerah karst tersebut, antara lain: (1)

terjadinya banjir bawah permukaan pada

musim hujan, (2) menurunnya kualitas

airtanah karena tidak adanya penyaring, dan

(3) menyebabkan terbentuknya

sinkhole/amblesan. Semua dampak itu dapat

diatasi dengan mitigasi bencana. Mitigasi

Struktural alam yaitu dengan penanaman

pohon pohon berkayu berakar kuat seperti

Tectona grandis (pohon jati) yang diletakkan

pada daerah morfologi karst positif dan

Page 7: PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH …seminar.ftgeologi.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/2.38.pdf · Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

akhirnya menghasilkan tanah terrarosa

penutup lapisan morfologi negatif seperti

uvala ataupun sinkhole yang secara tidak

langsung membuat lokva sebagai danau

penampung air yang baik pada daerah karst,

sedangkan mitigasi struktural nonalami

dengan penimbunan permukaan morfologi

karst negatif dengan alat berat. Mitigasi non-

struktural lewat himbauan untuk pertanian

yang bersistem tumpang sari antara tanaman

pohon berkayu seperti Tectona grandis

dengan tanaman berupa jagung atau tanaman

palawija lain serta pembuatan jalur evakuasi

yang berdasar kelandaian lereng.

Pustaka

Anshori, Arif. 2015. Erosi Nol untuk Keberlanjutan Bukit Karst di Gunung Kidul. Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Gillieson, D. 1996. Caves: Processes, Development and management, Blackwell, Oxford.

Haryono, E. Dan T. N. Adji. -----. Geomorfologi dan hidrologi karst : Buku Ajar. Kelompok Studi Karst. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kusumayudha, Sari B. 2004. Mengenal Hidrogeologi Karst. Yogyakarta: Pusat Studi Karst Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, UPN “Veteran” Yogyakarta.

Suryatmojo, Hatma. 2006. Strategi Pengelolaan Ekosistem Karst di Kabupaten Gunung Kidul. Dipublikasikan pada Seminar Nasional Strategi Rehabilitasi Kawasan Konservasi di Daerah Padat Penduduk. Fakultas Kehutanan UGM 2006.

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam.

Widyaningtyas C.P., Doni Perkasa Eka Putra. 2014. Pemetaan Bahaya Amblesan Daerah Karst Kecamatan Semanu, Kabupaten

Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014.