modulkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/publikasi/modul pemulihan... · dalam arti diabaikan....
TRANSCRIPT
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN
MODUL Pemulihan bagi Perempuan korban kekerasan dan diskriminasi
dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan
Nama tim penulis dan diskusi :
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
2 Komnas Perempuan
Nama tim penulis dan diskusi:
Azriana, Adriana Venny Aryani, Agustin Prasetyo Murniati, Andy Yentriyani, Indriyati Suparno, Indah Sulastry, Kristy Purwandari, Nina Nurmila, Rina Refliandra, Saparinah Sadli, Sheila Soraya, Sri Nurherwati, Sawitri, Soraya Ramli, Saur Tumiur Situmorang, Yuniyanti Chuzaifah
Pernyataan hak cipta
ISBN 978-602-330-003-7
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
3 3 3Komnas Perempuan
UCAPAN TERIMA KASIH
Trimakasih Kami Sampaikan kepada para pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam Penyusunan dan Uji Coba modul:
kelompok Lajnah Imailah Jemaat Ahmadiayah: Amatu As Sajidah,Chadi Less, Hasanah, Indah Rosida, Jemah, Linda Khalida, Nurmei Sari, Nurilah Tunisa, Narsih Priwanti, Radhiyah, Rauhun Thayyiba, Ratna K, Tien Kartini Elon, Venty F Nurunisa
Jemaat GkI Ysamin: Renata Anggraeni
komnas Perempuan: Andy Yentriyani, Sri Nurherwati, Indriyati Suparno, Saur Tumiur Situmorang, Nina Nurmila, Azriana, Soraya Ramli, Indah Sulastry, Rina Refliandra, Rita Fortuna, Tuti Widyaningrum, Sri Candra Wulaningsih, Shanti Ayu, Christina Yulita Purbawati.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
4 Komnas Perempuan
Sekapur Sirih
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan kekayaan alam serta keragaman suku bangsa, tradisi, adat, bahasa dan agama, serta negara yang memberi jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada penduduknya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, utamanya Pasal 29 Ayat (2), Pasal
28E Ayat (1) dan (2), Pasal 28I (1). Sejalan dengan itu, hak ini juga dijamin dalam Pasal 22 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan beragama dan berkeyakinan secara umum adalah hak dan kebebasan setiap orang dimanapun dia berada untuk memilih dan menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluknya, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan/atau keyakinannya. Perbedaan agama/ kepercayaan ini, seharusnya memperkaya bangsa ini dalam kehidupan sosial dan spiritual serta menjunjung tinggi harkat dan martabat setiap orang, bukan justru menjadi pemicu perbedaan pandangan yang berujung kepada konflik.
Dengan adanya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh Konstitusi maka idealnya, negara tidak bisa membuat keputusan hukum atau tindakan yang menekan atau mengatakan bahwa agama lainnya, atau suatu aliran/sekte agama atau suatu kepercayaan adalah “sesat dan menimbulkan keresahan”. Kebebasan beragama dan berkeyakinan juga mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil, tidak diskriminatif dan melindungi semua pengikut agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia. Dalam putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 yaitu permohonan Pengujian UU No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Mahkamah Konstitusi dalam butir 3.54 hingga 3.55 menjelaskan bahwa negara mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia, sebagaimana secara tegas dijelaskan berkaitan dengan tafsir bahwa Undang-Undang itu hanya membatasi penga-kuan terhadap enam agama saja maka dikatakan “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh Undang - undang PNPS Pasal 29 ayat 2 dimana mereka di biarkan berkeyakinan sejauh tidak melanggara ketentuan - ketentuan dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya. Menurut Mahkamah Konstitusi makna kata “dibiarkan” yang terdapat di dalam penjelasan Pasal 1 paragraf ketiga UU Pencegahan Penodaan Agama diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang, dan bukan dibiarkan dalam arti diabaikan. Agama sama-sama dibiarkan untuk tumbuh, berkembang, diperlakukan sama, dan tidak dihambat.
Pernyataan dari Mahkamah Konstitusi ini seharusnya menjadi dasar untuk tidak ada keraguan lagi bagi siapapu bahwa Negara dan Pemerintah harus menjamin kebebasan seseorang dalam beragama negara harus menjamin agar tidak ada lagi tekanan, kekerasan,
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
5 5 5Komnas Perempuan
syiar (miring) kebencian dan pengasingan bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan apapun. Mereka harus dibiarkan untuk tumbuh, beribadah sesuai dengan keyakinan mereka, berkarya dan diberdayakam untuk kebaikan, kesatuan dan kesejahteraan bangsa dan negara.
Penegakan hukum di indonesia terhadap kasus- kasus yang dialami oleh komunitas minoritas agama dan perlindungan terhadap korban masih jauh dari harapan. kelengkapan hukum belum sepenuhnya bisa di jalankan apabila penjiwaan, kapasitas serta kesadaran belum di miliki oleh aparatur negara, penegak hukum serta masyarakatnya. berbagai tindakan intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan beragama dalam bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas minoritas agama yang mencuat pasca rejim orde baru adalah wujud dari minimnya penjiwaan dan kapasitas hukum itu, menghargai keyakinan, harkat, dan kehormatan manusia lain sebagai ciptaan tuhan yang tertinggi adalah tujuan dan ajaran utama semua agama serta ajaran budi pekerti. ajaran tersebut bukanlah sekedar pengetahuan yang di berikan, tetapi merupakan suatu kapasitas yang harus di bangun dan di tumbuh kembangkan serta di berdayakan, ajaran semua agama dan keyakinan memiliki makna agar kita “ memperlakukan orang lain seperti kamu sendiri ingin di perlakukan”. makna tersebut tidak cukup hanya di ketahui tetapi manusia perlu di berdayakan untuk bisa mejalankannya dengan seksama.
Komnas Perempuan mengambil sikap atas serangan pada komunitas Ahmadiyah pada tahun 2005 yang berpuncak pada insiden berdarah di Cikeusik, tahun 2011. Intimidasi serta kekerasan yang bertujuan menutup lokasi ibadah GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang telah berkekuatan hukum, maupun tindakan intoleransi lainnya yang terjadi di wilayah indonesia, Kami mengagas berbagai upaya untuk mendukung upaya korban memperjuangkan hak-haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Komnas Perempuan memahami bahwa pada setiap peristiwa intoleransi, perempuan dari komunitas minoritas mengalami diskriminasi dan kekerasan secara langsung maupun sebagai akibat lanjutan dari peristiwa itu. Kami menempatkan hasil konsultasi dengan komunitas korban dan pembela HAM sebagai titik berangkat untuk mengagas upaya pemantauan lebih lanjut. Pemantauan tersebut bertujuan untuk menghadirkan informasi lebih sistematik tentang pengalaman perempuan komunitas minoritas agama atas kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak kemerdekaan beragama. Upaya lain yang ditempuh adalah melakukan advokasi kebijakan, dan juga membangun ruang-ruang untuk pemulihan bagi komunitas korban, khususnya perempuan
Modul pemulihan ini, yang diharapkan dapat menjadi inisiatif bergulir oleh berbagai pihak. Pengembangan modul ini merupakan salah satu cara Komnas Perempuan memaknai mandatnya sebagai lembaga negara yang independen yang memfokuskan perhatian pada perbaikan situasi perempuan korban kekerasan serta mewujudkan hak asasi perempuan dalam menghadapi dampak kekerasan yang mereka alami.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
6 Komnas Perempuan
Modul Pemulihan Bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Konteks Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama diharapkan dapat membantu memulihkan perempuan korban kekerasan berbasis agama. Modul ini mengadopsi pendekatan penemuan diri, pendekatan yang memberdayakan ini berakar kuat dalam tradisi gerakan perempuan. Penemuan diri bukan saja dalam pribadi tetapi juga memiliki makna semesta kehidupan individu tersebut. Semesta menempatkan individu dalam relasi personalnya dengan orang lain, anggota keluarga, komunitas, masyarakat dan juga dalam posisinya sebagai warga negara. Proses pemulihan yang berangkat dari pengenalan pada kekuatan sekaligus tantangan, serta membangun strategi untuk menghadapi inilah yang di rujuk Komnas Perempua dalam Konsep Pemulihan Dalam Makna Luas (PDML). Apa yang terjadi di dalam diri dapat berpengaruh terhadap semestanya, dan diri individu juga dipengaruhi oleh situasi semestanya. Dengan pemahaman PDML, maka pendekatan yang dianjurkan dalam modul ini diharapkan mampu menumbuhkan ketahanan diri dan sekaligus menjadi daya pemulihan bagi diri dan komunitasnya.
Akhir kata, Komnas Perempuan secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Ibu Nunuk Murniati, Ibu Sheila Soraya, dan Sawitri yang telah mengawal proses penyusunan modul ini bersama dengan tim Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional periode (Husein Muhammad, Andy Yentriyani, Khunti Tridewiyanti, Dahlia Mahdani, Rita Fortuna) dan Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan (Sri Nurherwati, Indriyati suparno, Saur Timur Situmorang, Soraya Ramli, Indah Sulastri, Rina Refliandra). Komnas Perempuan juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Shinta Nuriyah selaku Pelapor Khusus Komnas Perempuan terkait persoalan ini, Prof. Saparinah Sadli, Myra Diarsi dan Kristi Purwandari atas masukannya pada awal pengembangan modul ini.
Modul ini telah diujicobakan beberapa kali bersama tim pemantau Pelapor Khusus Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, serta dengan sejumlah perwakilan komunitas korban. Atas kepercayaan kawan-kawan perempuan penyintas dan pembela HAM yang telah mendukung ujicoba ini, kami mengucapkan terima kasih.
Selamat membaca dan menggunakan modul pelatihan ini. Semoga dapat memberikan hasil pemberdayaan yang merupakan faktor penting dalam perjuangan pemenuhan hak-hak konstitusional, termasuk dalam mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan beragama.
Jakarta, 28 Februari 2015Komnas Perempuan
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
7 7 7Komnas Perempuan
DAFTAR ISI
Halaman Judul 1
Ucapan Terima Kasih 3
Sekapur Sirih 4
Daftar Isi 7
Daftar Istilah 10
Pendahuluan 13
Bagaimana Menggunakan Modul ini 17
Sistematika Modul 19
BAGIAN 1 Pondasi 21
Tema 1 : Membangun Kepercayaan (Trust building) 22
Tema 2 : Perkenalan secara Personal 23
Tema 3 : Warna-warni Kehidupan 24
BAGIAN 2 Berbagi Pengalaman 27
Tema 4 : Bisikan Positif 28
Tema 5 : Memulai Proses Pemulihan: Mengenal dan Menyadari
Pengalaman-pengalaman dalam kehidupan 28
Tema 6 : Peraturan Emas 30
Tema 7 : Debriefing – Renungan Malam 31
BAGIAN 3 Membangun Kekuatan Diri 33
Tema 8 : Analisis Personal Berprespektif Feminis 34
Tema 9 : Kedamaian dan Ketentraman Diri 35
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
8 Komnas Perempuan
Tema 10 : Mengali Potensi Kekuatan Feminis 35
Tema 11 : Simbol Damai 37
Tema 12 : Malam Kesenian 38
BAGIAN 4 Menata Langkah 39
Tema 13 : Mari Bekerjasama 40
Tema 14 : Pohon Harapan 41
Lembar Kerja
Lembar Kerja 1: Warna – Warni Kehidupan 43
Lembar Kerja 2: Mengenal dan Menyadari Pengalaman dalam kehidupan 44
Lembar Kerja 3: Peraturan Emas 45
Lembar Kerja 4: Pohon Harapan 47
Daftar Handout
Handout 1 : Daftar untuk Persiapan Logistik 48
Handout 2 : Skema Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 51
Handout 3 : Analisis Personal 52
Handout 4 : Kekuatan Femisnis 57
Daftar Pustaka 74
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
9 9 9Komnas Perempuan
Lampiran
Lampiran 1: Jaminan Perlindungan Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Kontradiksinya 76
Lampiran 2: Pengalaman Kekerasan dan Diskriminasi Perempuan Minoritas Agama dan Hak-Hak Konstitusional yang Dilanggar 86
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
10 Komnas Perempuan
DAFTAR ISTILAHAxioma: adalah pernyataan yang harus diterima kebenarannya sebagai realitas, tanpa harus dibuktikan, karena muncul dari pengalaman.
Debriefing: Penyintas diberikan kesempatan untuk meriview peristiwa traumatik yang mereka alami dan reaksinya terhadap hal itu. Dilakukan dengan mengajak peserta bicara, namun tanpa paksaan.
Dzakar : Dalam modul ini adalah laki-laki yang merujuk pada kodrat yaitu jenis kelamin.
Feminisme: sebuah kesadaran tentang adanya ketidak adilan terhadap perempuan secara sistematis dan universal (diseluruh dunia). Intinya adalah kesadaran dan berjuang untuk keadilan perempuan khususnya, keadilan sosial pada umumnya. (Disimpulkan dari pandangan Nancy F.Cott dalam bukunya “The Grounding of Modern Feminism.Sementara yang di maksud dengan feminis lainnya yaitu: Feminisme adalah sebuah teori yang berusaha menganalisis pelbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam jenis pemahaman kebudayaan mengenai apa artinya menjadi perempuan (Jackson dan Jones (1998: 1). Teori ini pada awalnya diarahkan untuk tujuan politis gerakan perempuan, yakni kebutuhan memahami subordinasi perempuan dan pengucilan perempuan dalam pelbagai wilayah kultural dan sosial. Feminisme bukanlah aktivitas intelektual abstrak yang terpisah dari kehidupan kaum perempuan, tetapi ia sebuah teori yang hendak menjelaskan kondisi kehidupan yang dijalani perempuan. Sementara itu istilah Feminis juga di maknai sebagai sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya.
Forum Internum: Hak yang di miliki oleh setiap orang yang tidak boleh dikurangi, dibatasi dan dipaksakan.
Forum Eksternum: Hak yang dimiliki oleh seorang/ sekelompok orang yang boleh di batasi atua dikurangi dengan dengan sayarat tertentu seperti oleh Undang – undang
Gynephobia: adalah ketakutan dibawah sadarkarena manusia mengalami ketegangan antara air dan api sebagai elemen cosmic ketika masih di dalam rahim
Imanen: faham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subyektif. Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin immanere yang berarti “tinggal di dalam.1 Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Imanen adalah berada di kesadaran atau di akal budi (pikiran)2
1 http://suyastrapande.blogspot.com/2012/10/definisi-transenden-dan-imanen.html2 http://kbbi.web.id/imanen
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
11 11 11Komnas Perempuan
Jejer Wadon: adalah bahasa Jawa yang berarti perempuan sejati, perempuan sungguhan, perempuan yang sadar bahwa dirinya perempuan, bukan perempuan hasil konstruksi sosial budaya patriakhat, bukan pula perempuan yang sama dengan laki-laki atau perempuan yang mengambil alih pandangan serta cara berpikir laki-laki.
Katarsis: adalah suatu metode terapi dimana pasien diminta untuk mengingat kembali dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengalami kembali ketegangan dan ketidakbahagiaannya dengan tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional/ gangguan mental. Terapi katarsis ini dikenalkan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud (https://dinamikaguru.wordpress.com/2012/11/29/katarsis-dalam-pendidikan).
Kosmic air: adalah simbol perempuan dan api adalah simbol laki-laki. Ketakutan perempuan merupakan kekuatan perempuan dan kekuasaan laki-laki adalah ketakutan laki-laki. Ketegangan ini dialami oleh semua manusia, perempuan dan laki-laki.
Makro Kosmik: Kehidupan manusia di luar rahim ibu, yang sudah bergabung dengan alam semesta.
Mikro Kosmik: Proses kehidupan manusia diawali dengan ketakutan dalam air dan kegelapan di dalam rahim ibu sebelum lahir ke dunia.
Mar’ah atau nisa’ : Dari bahasa arab yaitu feminim merujuk pada suatu sifat untuk jenis kelamin tertentu.
Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16). 3
Meta Kosmik: sesuatu yang berada diluar cosmic (alam semesta), metacosmic adalah alam semesta lain, alam diatas langit, keilahian. Masyarakat Budha menyebutnya dengan nama NIRWANA
Partriaki: Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya.Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma.
3 https://phierda.wordpress.com/2012/12/18/budaya-patriarki-dalam-pendidikan-gender-di-masyarakat/
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
12 Komnas Perempuan
Phobia: ketakutan yang berlebih terhadap benda-benda atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar pada kenyataan
Rijaal : Dari bahasa arab yaitu maskulin merujuk pada suatu sifat untuk jenis kelamin tertentu.
Sekularisme: sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan4
Untsa’ : Dari bahasa arab yaitu perempuan yang merujuk pada kodrat yaitu jenis kelamin.
4 https://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
13 13 13Komnas Perempuan
PENDAHULUAN
Kasus kekerasan terhadap komunitas minoritas agama yang terjadi akhir -akhir ini memberikan gambaran tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia yang masih memprihatinkan. Tindakan intoleransi dan pelanggaran yang terjadi baik yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi
agama, ataupun yang melibatkan negara masih terus berlanjut. tindakan kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas agama tersebut menimbulkan, dampak yang besar terhadap anggota kelompok, yang membuat mereka merasa takut dan tidak nyaman dalam melaksanakan aktivitas keagamaan, menjalankan ibadah, maupun menikati berbagai hak yang lainnya sebagai warga negara
Perempuan bisa jadi mengalami kekerasan yang sama dengan kelompok lainnya ketika serangan terjadi, tetapi sangat mungkin kekerasan yang dialami berbeda karena diri keperempuannya. Perbedaan ini terlihat ketika misalnya perempuan mengalami acaman kekerasan seksual.
Konflik dan kekerasan atas nama agama yang terjadi akhir-akhir ini, telah mengoreskan penderitaan tersendiri bagi perempuan. Mereka menjadi korban dan dibayangi rasa takut serta cemas, akan terjadinya penyerangan kembali. Hal ini tentu saja menimbulkan dampak yang mendalam pada perempuan korban kekerasan berbasis agama, seperti harus mencari nafkah untuk kebutuhan hidup keluarga, disaat pasangan hidup mereka kehilangan pekerjaan atau terenggut nyawanya akibat penyerangan yang terjadi. Dampak lebih berat dirasakan oleh perempuan korban atas intimidasi yang mereka terima, kekerasan fisik, penghancuran harta benda dan juga pelecehan seksual, yang membuat mereka mengalami trauma serta ketakutan untuk melakukan aktivitas ibadahnya. Sangat berpengaruh dalam proses kehidupan mereka sehari - hari, sehingga di butuhkan proses pemulihan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka alami. Trauma dan rasa ketakutan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan berbasis agama tentu saja berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari – hari.
Di tengah besarnya dampak yang dialami oleh perempuan korban kekerasan berbasis agama, belum ada proses pemulihan yang sistematis dan berkelanjutan yang dilakukan terhadap perempuan korban kekerasan berbasis agama.
Proses pemulihan yang sistematis dan berkelanjutan perlu dilakukan terhadap perempuan korban kekerasan berbasis agama dengan menempatkan mereka sebagai subjek utama dalam penyusunan mekanisme pemulihannya.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
14 Komnas Perempuan
Model pemulihan ini mengadopsi pendekatan penemuan diri yang dibangun oleh dan dalam gerakan perempuan (atau kerap disebut pendekat feminis). Peserta proses pemulihan dibantu untuk menemukan kekuatan – kekuatan positif yang ada di dalam diri mereka dan mengembangkan itu sebagai sebuah kekuatan besar yang mereka miliki. Penemuan ini diharapkan dapat membangun kesadaran dan tekad yang jelas dalam diri individu perempuan korban kekerasan berbasis agama dan juga bisa terciptanya komunitas yang berdaya dengan membangun proses penguatan satu dengan yang lain. Selain itu juga diharapkan peserta dapat lebih mengenal diri sendiri, lingkungannya, saling mendukung, meningkatkan toleransi serta bisa menghormati perbedaan yang ada satu dengan yang lain. Dengan demikian, ia juga dapat menjadi kekuatan membangun suatu proses pemulihan pada komunitasnya.
Dalam gagasan ini, pemberdayaan dan penguatan korban/penyintas menjadi bagian yang integral. Pemberdayaan individu atau masyarakat adalah sebagai suatu usaha untuk mengembalikan atau meningkatkan kapasitas individu atau kelompok masyarakat agar mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tangung jawab sebagai warga negara. Tujuan akhir dari pemberdayaan adalah terbentuknya kepercayaan diri dan kekuatan dalam diri individu/ masyarakat sehingga mampu memperjuangkan nilai-nilai manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai pribadi yang 1) Unik, yaitu dalam konteks kemajemukan manusia; 2) Merdeka dari segala belenggu yang menghambat hak asasinya untuk hidup dan berkembang; 3) Mandiri untuk mampu menjadi penentu hidupnya sendiri dan bertangung jawab terhadap diri sendiri dan sesama.
Wujud dari keberdayaan sejati adalah kepedulian, kejujuran, bertindak adil, tidak mementingkan diri sendiri dan sifat-sifat baik lainnya. Manusia yang berdaya dan sehat jiwa tidak akan merusak atau merugikan orang lain tetapi memberikan cinta kasih yang ada dalam dirinya kepada orang lain dengan tulus sehingga hidupnya bermakna bagi dirinya dan bermanfaat bagi lingkungan. Pemberdayaan, karenanya menjadi sebuah proses yang mentransformasi korban dari situasi terus meratapi dan/ atau mengeluhkan dirinya sebagai korban yang tidak berdaya menjadi penyintas yang berdaya yaitu yang mengenal diri sendiri dan lingkungannya, saling mendukung, adanya toleransi, percaya dan menikmati kebhinekaan, bermusyawarah dalam mencari solusi bersama, mencapai tujuan hidup dan memberdayakan lingkungan sekitarnya.
Pendekatan pemberdayaan ini juga yang menjadi nafas dalam mengembangkan modul pemulihan yang saat ini tengah Anda baca. Dengan pendekatan tersebut, pemulihan diharapkan menjadi proses yang dapat menguatkan para peserta dimana pun mereka berada dan dari latar belakang apapun. Hal ini karena mereka dapat lebih mengenal dirinya sendiri, kekuatan dan tantangan serta kesempatan-kesempatan yang ada di
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
15 15 15Komnas Perempuan
lingkungannya. Peserta diharapkan dapat memelihat realita kehidupannya sendiri dan lingkungannya secara jernih dan dapat mencari cara-cara cerdas, berbudi dan mandiri untuk menanggani masalah-masalah yang timbul dalam kehidupannya.
Modul Pemulihan Bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Konteks Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan disusun dengan menggunakan konsep yang sederhana dan ringan. Hal ini dimaksudkan agar modul ini dapat diterapkan di manapun oleh fasilitator dan peserta. Berdasarkan hal ini, maka teknik yang dipilih dalam modul ini antara lain adalah roleplay (bermain peran), permainan mengambar dan studi kasus. Pemilihan teknik ini tentunya mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Teknik roleplay dilakukan dengan membuat situasi yang semirip mungkin dengan realita yang ada dan memastikan bahwa setiap peserta dapat mempermainkan peran mereka tersebut semaksimal mungkin sehingga mengasah pengenalan mereka pada realita sehari-hari. Teknik permainan dengan mengambar dilakukan agar peserta dapat mengungkapkan ekspresi tentang pengalaman emosional mereka, seperti pengalam kekerasan, pelecehan, perkosaan, penindasan dan lain sebagainya. Sebab tidak semua orang dapat mengekspresikan perasaan yang mereka alami pada saat itu juga, maka modul ini juga memperkenalkan permainan yang tujuannya adalah untuk mengajak peserta untuk melihat makna dari permainan yang sedang dilakukan terkait dengan situasi yang mereka hadapi. Teknik studi kasus dilakukan untuk mengajak peserta melihat kembali pengalaman – pengalaman nyata yang dialami oleh peserta dan bagaimana mereka bisa kuat melewati itu semua.
Meskipun sasaran utama modul pelatihan ini adalah anggota, fasilitator atau pendamping dari komunitas korban, namun diharapkan pelatihan ini dapat digunakan bagi masyarakat dan aparat di lingkungan di mana peserta menetap. Hal ini supaya para peserta mendapatkan dukungan dan perlindungan sosial. Dengan demikian, peserta diharapkan dapat menjadi kekuatan proses pemulihan yang lebih luas di komunitasnya masing–masing.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
16 Komnas Perempuan
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
17 17 17Komnas Perempuan
Bagaimana Menggunakan Modul Ini
Modul pemulihan bagi perempuan korban kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan beragama/ berkeyakinan ini disiapkan untuk menginspirasi proses pemulihan bagi korban kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intolerasi dan
kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia, khususnya bagi para perempuan.
Modul ini berisikan empat kelompok utama kegiatan berdasarkan tujuan pemulihan, yaitu; (a) Pondasi, (b) Berbagi Pengalaman, (c) Membangun Kekuatan Diri dan (d) Menata Langkah. Bagian Pondasi sangatlah penting, sebab selain mengakrabkan suasana, bagian ini juga meletakan dasar saling percaya pada setiap orang yang hadir dalam kegiatan tersebut. Bagian Berbagi Pengalaman, peserta diharapkan mengeksplorasi rasa dan penghayatannya pada peristiwa yang dialami, menemukan kesamaan maupun kekhasan pengalaman, dan menumbuhkan rasa solidaritas. Bagian Membangun Kekuatan Diri , mengajak peserta beranjak dari fokus pada peristiwa dan penderitaan kepada menemukan kekuatan yang ia miliki dan dibangun dari waktu ke waktu. Pada bagian inilah proses memantapkan ketahaan dari yakni; menyadari dan merawat daya juang yang dimiliki masing-maing individu dan komunitas dalam menghadapi berbagai ketidakadilan. Bagian terakhir yakni Menata Langkah adalah bagian yang mengajak peserta untuk memetakan berbagai potensi kekuatan dan tantangan yang ada di sekitarnya, peluang maupun tantangan, serta rencana arah dalam menggunakan potensi itu untuk memperbaiki keadaan.
Pemulihan merupakan sebuah proses yang tumbuh. Untuk itu fasilitator disarankan menggunakan panduan kegiatan yang dijabarkan dalam modul ini secara berurutan. Waktu yang dibutuhkan untuk proses pelaksanaan modul ini adalah dua hari. Jika tidak dapat dilakukan dalam satu waktu, maka upayakan agar kegiatan diakhiri dengan semangat positif yang memberdayakan peserta.
Dengan maksud memberikan ruang yang cukup efektif untuk pengungkapan pengalaman dan perasaan, setiap proses disarankan dilakukan dalam kelompok kecil yakni 8-15 orang. dengan maksud dapat memberikan ruang yang cukup efektif untuk mengungkapkan pengalam dan perasaan.
Modul ini dibangun dengan asumsi peserta sebanyak 10 orang, baik itu anggota, fasilitator maupun pendamping komunitas minoritas agama yang menjadi korban intoleransi. Kesamaan atau perbedaan karakter usia, latar belakang sosial ekonomi dari peserta
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
18 Komnas Perempuan
perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi dinamika kelompok. Semakin lebar perbedaan yang ada, semakin penting bagian PONDASI dikemas agar dapat membangun keakraban dan rasa saling percaya sesama peserta.
Mengenali bahwa untuk sebagian besar komunitas minoritas agama yang menjadi korban intoleransi, berkumpul bersama merupakan sebuah kemewahan. Hal ini karena seringkali kegiatan berkumpul dicurigai dan kemudian diserang. Untuk itu, fasilitator perlu memastikan jaminan keamanan dan juga mempersiapkan peserta pada langkah antisipasi dan penyikapan situasi darurat. Kenyamanan ruangan untuk bercengkrama dan bercerita juga perlu memperoleh perhatian khusus. Upayakan ruangan cukup luas untuk peserta bergerak bebas, kursi/meja yang dapat digeser, penerangan dan sirkulasi udara yang cukup. Sebab dalam bercerita mungkin terjadi ledakan emosi, maka fasilitator juga perlu mempersiapkan alat atau media yang bisa membantu menenangkan peserta, bahkan memastikan kontak medis jika dibutuhkan.
Dalam kegiatan pemulihan, ada banyak metodologi yang dapat digunakan. Modul ini menyarankan sejumlah metodologi yang dianggap paling sesuai dengan kebutuhan mencapaian tujuan setiap bagian. Namun, fasilitator dapat menggantikan dengan metodologi yang lain selama dianggap mampu menghantarkan peserta pada tujuan yang sama.
Fasilitator untuk kegiatan di dalam modul ini diharapkan sudah memiliki pengetahuan dasar tentang hak asasi manusia dan keadilan gender, serta tentang proses pemulihan yang memberdayakan. Supaya mendapatkan gambaran utuh tentang perjalanan korban kekerasan intoleransi maka disarankan membaca buku Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama. Buku laporan tersebut sebagai sumber substansi dari panduan ini, yang ringkasannya dapat juga dibaca pada bagian lampiran. .
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
19 19 19Komnas Perempuan
Sistematika Modul
BAGIAN 1PONDASI
1. Trust building (30 menit)2. Perkenalan secara personal (60-90 menit)3. Warna-warni kehidupan
(90 menit)
BAGIAN 2BERBAGI PENGALAMAN
4. Bisikan positif (45 menit)5. Memulai proses pemulihan:
mengenal dan menyadari pengalaman-pengalaman dalam kehidupan (240 menit)
6. Peraturan emas Renungan Malam (90 menit)
7. Debriefing – Renungan Malam (90 menit)
13. Mari bekerjasama (45 menit)14. Pohon Harapan (120 menit)
8. Analisis personal berpers-pektif feminis (180 menit)
9. Kedamaian dan ketentraman diri (30 menit)
10. Mengali kekuatan feminis (120 menit)
11. Simbol damai (90 menit)12. Malam kesenian (120
menit)
BAGIAN 3 MEMBANGuN
KEKuAtAN DIRI
BAGIAN 4 MENAtA LANGKAh
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
20 Komnas Perempuan
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
21 21 21Komnas Perempuan
BAGIAN 1Senyumlah, tinggalkan sedihmu. Bahagialah, lupakan takutmu. Sakit yang kamu rasa,
tidak setara dengan bahagia yang akan kamu dapat.
www.dakwatuna.com – diunduh pada tanggal 18 Desember 2014
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
22 Komnas Perempuan
Tema 1 : Membangun kepercayaan
Tujuan
Membangun suasana saling percaya antara Fasilitor dan Peserta, dan antar Peserta. Hal ini sangat penting bagi keberhasilan seluruh proses pemulihan yang dirancang melalui modul ini.
Capaian
Membuat kontrak atau kesepakatan bersama sebagai landasan kepercayaan satu sama lain
Metode
Ceramah dan dialog
Waktu
30 menit
Media
Kertas plano warna, spidol, penyemat atau name tag
Langkah Fasilitator
1. Fasilitator membuka sesi dengan memberikan penjelasan bahwa pelatihan ini bersifat partisipatif dan belajar dengan melakukan kegiatan/bertindak. Melakukan diskusi dan musyawarah serta mencari solusi bersama, semua ini diterima dengan baik dan tidak ada yang salah.
2. Membuat kesepakatan bersama terhadap beberapa hal berkaitan dengan semua kegiatan yang akan dilakukan selama pelatihan, yaitu :
a. Tidak ada yang akan menilai dan menghakimi peserta lain.b. Setelah kegiatan selesai setiap hari tidak akan dibahas kembali oleh peserta
secara pribadi atau dalam kelompok. c. Semua bersepakat bahwa setiap ide, pendapat, ungkapan, masukan diterima
dengan baik. Semua peserta berusaha menjadi pendengar yang baik dan belajar bersama, termasuk para Fasilitator.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
23 23 23Komnas Perempuan
d. Semua pernyataan, cerita dan ekspresi diberlakukan secara rahasia (confidential).
e. Suasana yang diharapkan adalah suasana penuh kepercayaan, pengertian, kerjasama dan kasih sayang.
f. Peserta bisa mengikuti proses pelatihan sejak awal sampai dengan pelatihan selesai
g. Selama pelatihan HP di silent, SMS dan bertelphone bisa dilakukan pada saat jam istirahat atau pelatihan sudah selesai pada setiap harinya
h. Pelatihan dimulai dan ditutup dengan doa bersama sesuai dengan keyakinan masing-masing peserta, atau sesuai dengan kebiasaan atau budaya yang ada di suatu komunitas/ tempat.
Tema 2 : Perkenalan Secara Personal
Tujuan
1. Setiap peserta mengenal masing-masing secara personal2. Peserta belajar membagi pengalaman pribadi secara jujurMetode
Menulis dan Dialog
Waktu
60 - 90 menit
Media
Kertas plano , spidol, penyemat nametag
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan alur perkenalan secara personal dan tujuannya, kemudian peserta diberi waktu 5 menit untuk mengingat dan menuliskan pengalaman yang akan dituliskan di metaplan dan dibagikan kepada peserta lain, dengan pedoman sebagai berikut :
• Nama lengkap, nama panggilan• Kota/ daerah asal, domisili sekarang
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
24 Komnas Perempuan
• Latar belakang pendidikan formal, tidak formal, dan pendidikan dari masyarakat
• Dalam pergaulan, hal-hal yang disukai dan hal-hal yang tidak • Kegiatan yang membuat hati merasa suka cita• Pengalaman yang membanggakan dan memberikan kepuasan dalam
hidup.• Keinginan atau cita-cita yang diharapkan ke depan• Masalah yang menghambat keinginan
2. Setiap peserta diberi waktu 3 – 5 menit untuk membagi pengalamannya3. Peserta diminta menulis nama panggilan dan disematkan di bajunya4. Perkenalan selesai
Catatan :
Fasilitator menekankan tentang hal-hal yang disukai peserta dan pengalaman yang membanggakan sebagai kekuatan peserta dalam pelatihan ini
Tema 3 : Warna –Warni kehidupan
Tujuan
Peserta berbagi perasaan, kekhawatiran dan harapan-harapan mereka, saling berempati, dan saling menghargai.
Metode
Dialog, diskusi kelompok, Pleno
Waktu
90 menit
Media
Kertas A4, Pensil warna/ Crayon, lembar kerja 1
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
25 25 25Komnas Perempuan
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator memberikan penjelasan kepada peserta bahwa tema ini merupakan latihan menarik yang sederhana untuk mengungkapkan bagaimana setiap orang memiliki pandangan, kekhawatiran dan harapan yang berbeda dari suatu hal atau kejadian yang sama dalam kehidupan mereka.
2. Fasilitator membagikan kepada peserta, berupa: Lembar Kerja 1, kertas A4, pensil warna/ crayon.
3. Fasilitator meminta kepada peserta untuk mengambil duduk yang nyaman. Dalam 10 menit, peserta diminta menutup mata dan mengkaitkan pikirannya dengan kejadian-kejadian kehidupannya dengan warna yang berbeda-beda. Pikirkan apa makna dari warna setiap hari dalam satu minggu yang dibayangkan?
4. Ingatan akan warna tersebut kemudian dituliskan di kertas A4 yang sudah dibagikan.
5. Fasilitator meminta masing-masing Peserta berbagi cerita tentang warna hari-hari mereka. Pada saat ada peserta yang menceritakan tulisannya, maka peserta yang lainnya diminta menikmati, membayangkan, dan menghargai apa yang sedang diungkapkan.
6. Apabila ada Peserta yang membuat semua hari dalam seminggu dengan warna sama, atau tidak ada warna yang dikaitkan, atau mengasosiasikan dengan hal yang lain (bukan warna), semua ini dapat diterima dengan baik, dihargai dan didengar ungkapannya.
7. Setelah semua Peserta sudah mengungkapkan tulisan warna-warni dalam satu minggu, Fasilitator dapat menanyakan kepada peserta apa perasaan yang dirasakan ketika menggambar dan mewarnai gambar-gambar tersebut dan apa pengaruhnya terhadap diri kita.
8. Di akhir tema ini, Fasilitator menyampaikan maksud dari permainan tersebut, yaitu :
• Bahwa emosi dan perasaan dalam diri setiap orang dapat terpicu dengan cara yang berbeda-beda. Setiap orang unik dan berpikir dengan cara yang berbeda-beda serta melihat sesuatu dari segi pandang yang berbeda. Namun kadangkala kita tidak dapat memahami orang lain yang memiliki pandangan yang berbeda dari kita dalam melihat suatu kejadian yang sama. Memang kita perlu berusaha agar dapat menerima
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
26 Komnas Perempuan
dan memahami pandangan, perasaan dan ungkapan orang lain, karena justru hal ini dapat memperkaya diri kita untuk melihat satu kejadian dari segi pandang yang berbeda-beda.
• Kegiatan mengkaitkan hari dengan warna adalah kegiatan yang sederhana. Ada kemungkinan ketika peserta menjelaskan makna hari tertentu yang diasosiasikan dengan warna tertentu akan terungkap perasaan, kekhawatiran serta harapan dari diri peserta. Apabila diinginkan kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan meminta peserta mengkaitkan perasaan atau kekhawatiran, begitupula harapan-harapan mereka dengan warna tertentu dan berbagi makna tersebut. Ini dapat ditulis di kertas dengan pen atau crayon warna-warni. Ungkapan ini dapat dibahas atau berbagi bersama dalam kelompok kecil atau besar. Setelah semua sudah berbagi meminta peserta untuk menyimpan catatan tersebut. Pada akhir pelatihan dapat melihat kembali apa yang sudah mereka tuliskan.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
27 27 27Komnas Perempuan
BAGIAN 2Apapun yang terjadi, nikmati hidup ini.
Hapus air mata, berikan senyummu. Terkadang, senyum terindah datang setelah air mata penuh luka.
www.omyogablog.blogspot.com, diunduh pada tanggal 18 des 2014
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
28 Komnas Perempuan
Tema 4 : Bisikan Positif
Tujuan
Membangun suasana menyenangkan, kerjasama, komunikasi, dan menjalin kepercayaan.
Metode
Permainan
Waktu
45 menit
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan tujuan sesi ini dan alur permainan yang akan dilakukan
2. Fasilitator meminta Peserta duduk melingkar, satu peserta secara suka rela diminta memulai membisikkan pesan positif atau ungkapan positif apapun ke telinga teman di sampingnya dan seterusnya hingga ke peserta terakhir dalam lingkaran tersebut.
3. Peserta yang terakhir diminta menyebutkan pesan berantai dengan suara keras. Sering kali yang terjadi adalah pesan sudah berubah dan mereka akan tertawa. Hal yang sama dapat dilakukan dari dua arah.
Tema 5 : Memulai Proses Pemulihan : Mengenal dan Menyadari Pengalaman-pengalaman dalam kehidupan
Tujuan
Mengenal dan menyadari pengalaman yang terjadi dalam hidup Peserta dan mulai proses pemulihan.
Metode
Dialog, diskusi kelompok kecil dan kelompok besar
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
29 29 29Komnas Perempuan
Waktu
240 menit
Media
Kertas A4, kertas plano, pensil , pen, crayon/ pensil warna, lembar kerja 2.
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dan alur kegiatan. Selanjutnya Fasilitator menjelaskan bahwa tema ini merupakan ruang peserta untuk merefleksikan dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman yang selama ini mereka alami dan rasakan, yang belum pernah mereka ungkapkan karena merasa bersalah atau takut untuk mengungkapkan. Hal-hal yang terlarang diungkapkan, begitu pula perasaan marah, kecewa, takut, cemas, gelisah, sedih dan kebingungan.
2. Fasilitator membagi peserta dalam kelompok kecil 2 hingga 4 peserta. Setiap peserta diberi 2 kertas ukuran A4 dan 1 kertas plano serta pensil atau pen dan 2 set crayon/ pensil berwarna.
3. Fasilitator meminta kepada peserta untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman yang mereka alami secara terbuka di dalam kelompok kecil. Setiap kelompok kecil diberikan lembar kata kunci sebagai alat bantu untuk merangsang pemikiran atau perasaan peserta, Lembar kerja 2.
4. Fasilitator kembali mengingatkan bahwa apa yang disampaikan oleh peserta di kelompok kecil, masing-masing akan saling menjaga kerahasiannya. Pada saat ada peserta yang bercerita, maka peserta yang lain menjadi pendengar yang baik dan berempati. (90 menit)
5. Setelah selesai bercerita di kelompok kecil, Fasilitator meminta peserta mengekpresikan pengalaman hidupnya dengan media menggambar. Hal ini dapat dilakukan oleh tiap peserta dengan membuat gambar pengalaman mereka masing-masing di kertas A4 atau menggambar secara bersama-sama di satu kertas plano. Pilihan ini diserahkan kepada masing-masing peserta. (30 menit)
6. Fasilitator meminta peserta berkumpul dalam kelompok besar dan mempersilahkan mereka untuk memulai berbagi cerita sesuai dengan gambar masing-masing. (120 menit)
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
30 Komnas Perempuan
Catatan :
Fasilitator bisa menyimpulkan pentingnya menyadari dan mengenal pengalaman-pengalaman dalam kehidupan (sebagai se-orang Feminis) sebagai proses awal pemulihan bagi korban. Kesadaran ini sangat erat kaitannya dengan hak dan pengetahuan dari kelompok korban, serta para penyintas untuk mampu menghargai perbedaan dan mengenali bahwa semua ajaran Tuhan (agama apapun) mengajarkan kebaikan.
Tema 6 : Peraturan Emas
Tujuan
Menghargai perbedaan dengan mengenali bahwa semua ajaran Tuhan mengajarkan kebaikan-kebaikan dalam semua keyakinan.
Metode
Dialog
Waktu
60 menit
Media
Lembar kerja 3
Langkah fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan maksud dan tujuan dari tema peraturan emas.
2. Fasilitator membagikan lembar kerja 3, kemudian Fasilitator meminta kepada Peserta untuk membacakan peraturan emas secara bergantian.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
31 31 31Komnas Perempuan
3. Fasilitator meminta Peserta untuk berdiskusikan secara bebas, dengan panduan pertanyaan :
• Apa yang dirasakan Peserta setelah membaca peraturan emas tersebut?
• Pembelajaran apa yang mereka peroleh setelah membaca peraturan emas tersebut?
Catatan :
bahwa keyakinan itu merupakan relasi kita pribadi kepada Tuhan (Penyebutan di sesuaikan dengan agama dan kepercayaan peserta) dan itu tidak kasat mata atau kelihatan. Kita sering merasakan sesuatu kejadian yang tidak bisa dipikir oleh pikiran, tidak dilihat tapi bisa kita rasakan. Orang yang memiliki kedekatan dengan sang misteri (Tuhan) pasti pernah merasakan, namun orang yang tidak dekat akan mencari perbedan-perbedaan yang nampak. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan secara pribadi, sehingga relasi pribadi tersebut harus sering dibangun, sehingga ketika terjadi sesuatu, sang misteri akan melindungi kita.
Tema 7 : Debriefing – Renungan Malam
Tujuan
Refleksi untuk melepas ganjalan, atau perasaan atau pikiran. Saling berbagi dalam kelompok besar dan untuk lebih mengakrabkan para peserta.
Metode
Refleksi dan Dialog
Waktu
90 menit
Media
Lilin/ Lampu minyak, bunga melati dan pandan, musik refleksi, karpet/ tikar
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
32 Komnas Perempuan
Langkah Fasilitasi
1. Peserta bersama Fasilitator duduk di lingkaran dan di depan setiap peserta diletakkan satu lilin/ lampu minyak. Cahaya ruangan dibuat redup. Apabila tidak dapat memberi tiap peserta satu lampu maka dapat meletakkan satu lampu di tengah lingkaran.
2. Fasilitator menjelaskan apa yang akan dilakukan, yaitu setiap peserta diminta berbagai apa yang sudah dirasakan selama satu hari ini secara bergiliran. Masing-masing peserta diberi waktu 15 menit.
3. Dalam suasana hening, Fasilitator memulai berbagi cerita. Apabila setelah fasilitator selesai dan belum ada yang mau berbagi, disarankan untuk diam dan tenang saja. Biasanya akan ada Peserta yang lain yang akan memulai.
4. Untuk membantu suasana yang nyaman dan tenang dapat dipasang musik di latar belakang. Bila dinginkan Peserta dapat bernyanyi bersama atau sambil tidur di lantai untuk relaksasi.
Catatan :
Fasilitator mengutamakan proses refleksi yang berjalan sehingga setiap peserta memiliki ruang dan keberanian untuk mengungkapkan perasaan dan ganjalan sepanjang proses yang telah berjalan. Di akhir sesi dialog dan refleksi ini, fasilitator mengikat proses dengan pernyataan yang memperkuat saling percaya diantara peserta, dan semua yang terlibat dalam proses.
Jika ada Peserta lain yang menangis pastikan semua peserta lain tetap diam dan mem-biarkan peserta tersebut untuk meluapkan emosinya, setelah peserta tenang baru kem-bali ditanyakan akan melanjutkan bercerita atau cukup.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
33 33 33Komnas Perempuan
BAGIAN 3“Belajarlah dari hari kemarin, hidup untuk hari ini, dan berharaplah
untuk hari esok.”
www. ummatanwasatan.net – diunduh tgl 18 des 2014
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
34 Komnas Perempuan
Tema 8 : Analisis Personal Perspektif Feminis
Tujuan
1. Peserta belajar memahami bentukan gender terhadap kehidupannya
2. Peserta belajar menemukan dirinya
3. Peserta menyadari kehidupan yang realistis bahwa manusia tidak ada yang sama (nilai pluralitas)
Metode
Refleksi, tanya jawab, assigment
Waktu
180 menit
Media
air minum, tisue, kertas A4, spidol kecil/ pen, musik refleksi, karpet/ tikar
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan tema analisis personal perspektif feminis secara singkat. Handout 3.
2. Peserta dibagi dalam kelompok kecil berjumlah 4 hingga 6 peserta. Setiap peserta diminta menceritakan :
• pengalaman diperlakukan tidak adil karena posisi inferior dengan kelompok lain.
• Luka batin yang pernah dialami, karena diberlakukan tidak adil gender sebagai perempuan.
Dua pertanyaan refleksi tersebut ditanyakan pada setiap tahap sejarah hidup yang masih dapat diingat oleh peserta.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
35 35 35Komnas Perempuan
3. Fasilitator memandu Peserta untuk saling berbagi cerita dan mengingatkan kembali kesepakatan bersama tentang rasa aman dan saling memberikan dukungan.
Tema 9 : kedamaian Dan Diri ketentraman
Tujuan
Membangun ketentraman dan kedamian diri.
Metode
Meditasi
Waktu
30 menit
Media
Musik untuk meditasi, bunga melati
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator memandu Peserta untuk duduk melingkar, mengatur nafas dan memejamkan mata. Selanjutnya membiarkan semua untuk menikmati aroma bunga melati dan mendengarkan suara musik.
2. Dalam hitungan waktu 30 menit, Fasilitator meminta Peserta membuka mata perlahan-lahan.
Tema 10 : Menggali kekuatan Feminis
Tujuan
Berbagi daya, tanggapan, serta inisiatif yang positif yang telah dilakukan oleh para Peserta di lingkungan mereka.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
36 Komnas Perempuan
Metode
Ceramah dan dialog, diskusi kelompok kecil
Waktu
120 menit
Media
kertas plano, pena/ spidol kecil
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan tema menggali kekuatan Feminis dan tujuannya. (lihat Handout 4)
2. Fasilitator membagikan kertas plano dan spidol kecil kepada setiap Peserta.
3. Fasilitator meminta Peserta menuliskan “Ajaran apa saja dari Nenek atau Ibu yang membekali kekuatan mereka sebagai perempuan”.
4. Fasilitator meminta Peserta membaca dan berbagi daya tentang ajaran dari nenek/ ibu yang sudah mereka tuliskan.
5. Setelah selesai berbagi daya, Fasilitator meminta tulisan tersebut direnungkan dan disimpan menjadi kekuatan dan pengingat tentang apa yang sudah kita miliki sehingga menjadi lebih percaya diri.
Catatan :
Perlu diperhatikan ketika berhadapan dengan peserta yang tidak mengenal ibu atau neneknya, serta tidak merasakan pengaruh Ibu dan Nenek dalam proses kehidupannya. Fasilitator bisa membantu peserta untuk berefleksi dari pengalaman teman atau orang terdekat yang memiliki pengalaman dengan ibu/ neneknya
Fasilitator juga bisa mengumpulkan peserta yang tidak mengenal ibu/neneknya tersebut dalam satu kelompok untuk dilakukan pendekatan khusus.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
37 37 37Komnas Perempuan
Tema 11 : Simbol Damai
Tujuan
Peserta membuat proklamasi diri dengan membuat simbol damai dan harapan untuk keberlangsungan hidupnya.
Metode
Membuat pernyataan dan simbol damai
Renungan
Waktu
90 menit
Media
Lilin, malam, piring kue dari kertas, korek, metaplan 2 warna dipotong persegi empat, spidol, pot bunga dari tanah liat, musik refleksi, karpet/tikar
Langkah Fasilitasi
1. Fasilitator menjelaskan tema simbol damai. Selanjutnya meminta kepada Peserta untuk mengambil peralatanan (lilin, malam, spidol dan kertas 2 warna).
2. Peserta diminta menuliskan perasaan/pikiran negatif dan perasaan/pikiran positif dalam 2 kertas yang berbeda. Selanjutnya peserta membuat proklamasi diri dalam bentuk simbol damai (dengan lilin dan malam).
3. Fasilitator menyiapkan lagu yang akan diyanyikan bersama dan atau meminta Peserta membuat puisi tentang perjuangan perempuan.
4. Fasilitator memandu prosesi proklamasi dengan urutan :
• Peserta diminta membakar kertas yang bertuliskan perasaan/pikiran negatif secara bergantian. Kemudian kertas dengan tulisan perasaan/pikiran positif disimpan.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
38 Komnas Perempuan
• Peserta duduk melingkar menghadap simbol damai masing-masing dan selanjutnya Fasilitator memulai dengan menyalakan lilin dan menyampaikan makna simbol damai/ harapan yang dibuatnya. Kemudian diikuti Peserta lainnya dengan bergantian.
• Setelah semua lilin dan simbol damai/harapan disampaikan, Fasilitator meminta salah satu Peserta untuk menyampaikan puisi dan atau memandu untuk menyanyikan lagi secara bersama-sama.
Tema 12 : Malam kesenian
Tujuan
Relaksasi dan bergembira ria, adanya kebersamaan dalam suasana akrab.
Metode
Bernyanyi/ menari atau aktifitas seni lainnya
Waktu
120 menit
Media
Alat musik/musik
Langkah Fasilitasi
Bernyanyi dan menari bersama/ Berpantun/ Puisi. Acara bebas. Peserta diminta mempersiapkan bagian ini sesuai budaya dan kebiasaan setempat.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
39 39 39Komnas Perempuan
BAGIAN 4Jangan biarkan orang lain menghalangimu untuk mengejar impianmu. Tetap berjuang,
dan percayalah, semua akan indah pada waktunya
IMPIAN
http://loopdigital.co.uk/wp-content/uploads/2012/01/dream_high.jpg
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
40 Komnas Perempuan
Tema 13 : Mari Bekerjasama
Tujuan
Membangun kerjasama, kreatifitas, dan menguatkan komunikasi, serta saling mendukung.
Metode
Permainan
Waktu
45 menit
Media
Kertas A4/ flipchart
Pena/ pensil/ crayon berwarna
Stopwatch
Langkah Fasilitasi
1. Peserta dibagi dalam kelompok kecil 4 atau 5 individu. Mereka diberikan kertas A4 atau flipchart dengan pena, pensil atau crayon berwarna dan stopwatch. Meminta Peserta membuat gambar bersama tanpa memdiskusikan lebih dulu jadi secara spontan.
2. Meminta satu Peserta dalam kelompok kecil untuk memulai mengambar atau bentuk apapun yang ia inginkan tanpa berbicara atau berdiskusi dengan siapapun. Setiap Peserta diberi 5 detik lalu ganti ke Peserta disampingnya untuk melanjutkan gambar, dan terus demikian bergantian setiap Peserta 5 detik hingga 1 menit.
3. Fasilitator memegang stopwatch atau menghitung dalam hatinya 1,2,3,4,5 untuk memberitahu “ganti” setelah 5 detik sampai semuanya dapat giliran dan sampai habis waktu 1 menit.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
41 41 41Komnas Perempuan
4. Setelah itu setiap kelompok diberi pertanyaan untuk didiskusikan dan dijawab:
• Apakah kelompok menggambar sesuatu yang dapat dimengerti?
• Apakah dirasakan ada pengertian diantara anggota kelompok?
• Bagaimana anggota kelompok mendukung sesamanya?
• Apakah waktu menjadi kendala atau menjadi tekanan?
• Apakah ada kecenderungan alami yang membuat anggota kelompok untuk menggambar secara selaras dan saling mendukung?
5. Permainan ini dapat dimainkan oleh anak-anak dan remaja, pertanyaan atau diskusi disederhanakan.
Catatan :
Inti permainan yang perlu ditekankan oleh Fasilitator adalah bahwa komunikasi sangat penting dalam menentukan keputusan terbaik. Membangun kerjasama menjadi kekuatan dalam menyelesaikan persoalan. Diperlukan komunikasi yang baik, kreativitas serta kesediaan untuk saling dukung dalam mewujudkan kerjasama untuk mencapai tujuan.
Tema 14 : Pohon Harapan
Tujuan
Menyadari tantangan, kekuatan/ daya, dan harapan Peserta.
Metode
Kerja kelompok: Refleksi, mengambar, dan memotong/ menggunting
Waktu
120 menit
Media
Lembar kerja 4 , kertas warna-warni, spidol kecil, spidol besar, lakban kertas, gunting, kertas plano
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
42 Komnas Perempuan
Langkah Fasilitasi
1. Peserta dibagi dalam kelompok kecil 2 atau 3 orang diberikan potongan kartu berbentuk apel, kartu berbentuk ulat dan kartu berbentuk layang-layang.
2. Pasang gambar pohon yang besar di tengah ruangan. Tiap peserta diminta merenungkan atau merefleksikan bersama di kelompok kecilnya apa yang selama ini menjadi kendala dalam hidup mereka? Dan apa yang menjadi kekuatan mereka? Serta apa cita-cita/ keinginan atau harapan mereka ke depan yang ingin mereka lakukan.
3. Buah apel adalah simbol kekuatan/ kebaikan/ hal positif. Ulat adalah simbol tantangan/ hambatan/ hal negatif. Dan layangan adalah simbol cita-cita/ harapan/ apa yang ingin dicapai kedepan. Lihat Lembar Kerja 4
4. Peserta setelah bermusyawarah di kelompok menulis di kartu apel atau ulat atau layangan sesuai dengan hal-hal yang dialami dan diinginkan. Lalu satu persatu simbol-simbol tersebut di tempelkan di pohon besar yang ada.
5. Apel dan ulat dapat di tempel di tangkai atau ranting pohon atau dimanapun diinginkan dan layang-layang ditempel di bagian awan-awan diatas pohon.
6. Setelah melakukan hal ini, setiap kelompok bermusyawarah bersama dan melihat mana yang lebih banyak dalam kehidupan mereka hal positif ?, negatif ? atau harapan-harapan ke depan? dan apa yang dapat mereka lakukan untuk lebih memperkaya kehidupan mereka dengan kebaikan, kekuatan positif dan harapan yang bermanfaat bagi mereka dan semua orang.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
43 43 43Komnas Perempuan
LEMBAR kERJA 1Warna – warni kehidupan
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
44 Komnas Perempuan
LEMBAR kERJA 2Mengenal dan Menyadari Pengalaman dalam kehidupan
Akta Nikah
INDIVIDU
Kekerasan“Hujatan”
Pendidikan Agama
di SekolahRumah Ibadah
Kartu Keluarga
Pengasingan/Pindah Rumah
MencariNafkah
KTP
Akta Lahir Perasaan Prasangka
Pemakaman
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
45 45 45Komnas Perempuan
LEMBAR kERJA 3Peraturan Emas
PERATURAN EMAS
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
46 Komnas Perempuan
Uraian Lembar kerja 3
Islam
Tidak seorang pun di antaramu adalah seorang mukmin kecuali dia menginginkan bagi saudaranya apa yang diinginkannya bagi dirinya sendiri. Hadis 40, An Nawawi 13
kristen
Berbuatlah pada orang-orang lain apa yang engkau inginkan mereka berbuat padamu. c.f. Mathew 7:12 dan Luke 6:31
Hindu
Keseluruhan tugas adalah ini: jangan melakukan pada orang lain apa saja yang jika dilakukan padamu akan menyebabkan penderitaan. Mahabharata 5:1517
Budha
Jangan menyakiti orang lain dengan apa yang menyebabkan engkau sendiri menderita. Udana Varqa 3:18
kong Hu Cu
Apa yang tidak diharapkan mengena diri sendiri, janganlah diberikan kepada orang lain. Zhong Yong XII:3
Bahá’í
Berbahagialah dia yang lebih mendahulukan saudaranya dari pada dirinya sendiri. Words of Paradise
Yahudi
Apa saja yang kaubenci, jangan kaulakukan pada sesamamu. Itulah keseluruhan Taurat; sisanya hanyalah penjelasan. Talmud, Shabbat 31a
Zoroaster
Jiwa yang baik hanyalah jiwa yang tidak melakukan pada sesamanya apa yang tidak baik bagi dirinya sendiri. Dadistan-i-Dinik 94:5
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
47 47 47Komnas Perempuan
LEMBAR kERJA 4Pohon Harapan
Contoh Gambar:
Apel
Layang-layang
Ulat
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
48 Komnas Perempuan
HANDOUT 1Daftar untuk Persiapan Acara dan Logistik
Mempersiapkan tempat:
1. Pilih tempat yang punya ruang pleno, cukup untuk 20 kursi yang disusun melingkar, tambah 2-3 ruang untuk ruang diskusi kelompok. Ruangan untuk diskusi kelompok bisa menggunakan kursi (juga disusun melingkar) atau duduk di atas tikar/karpet. Cek langsung tempat sebelum acara.
2. Cukup cahaya, sirkulasi udara baik, suhu nyaman.
3. Kirimkan surat konfirmasi ke tiap peserta, termasuk agenda/jadwal, peta lo-kasi. Telpon tiap peserta beberapa hari sebelum lokakarya untuk memastikan konfirmasi kehadiran penuh untuk 4 hari lokakarya.
4. Hadir di tempat acara sebelum peserta tiba. Akan terasa menyenangkan kalau kedatangan disambut oleh seseorang, ditunjukkan jalan ke kamar-kamar, tem-pat acara dan berkeliling. Kreatif-lah dengan penyambutan anda.
5. Siapkan daftar penghuni kamar/blok dan petanya di tempat yang mudah dilihat. Siapkan kartu-kartu kecil dengan nama-nama peserta untuk ditempel di tembok luar/pintu kamar untuk memudahkan menemukan kamar para peserta.
6. Aturlah agar ada orang yang mengunci pintu-pintu ruang kelas di malam hari.
7. Periksa lagi kamar-kamar agar tidak ada yang tertinggal (inilah kegunaan adan-ya peta kamar dan penghuninya untuk mengetahui siapa pemilik barang yang tertinggal).
8. Ruangan untuk keperluan kegiatan kelompok kecil.
Persiapan logistik (sudah siap sebelum acara):
1. Salinan (foto kopi) jadwal/ agenda untuk tiap peserta.
2. Salinan (foto kopi) lembar materi untuk tiap peserta.
3. Salinan (foto kopi) lembar isian Evaluasi untuk tiap Peserta dan para Fasilitator.
4. Kertas ukuran A4 sejumlah peserta untuk mengambar.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
49 49 49Komnas Perempuan
5. Kertas kecil (ukuran kira-kira 16 x 6 cm) untuk tiap peserta untuk dibakar sewaktu membuat simbol damai.
6. Sedikitnya 10 pak crayon besar.
7. Spidol marker ujung besar untuk menulis di kertas plano.
8. Sedikitnya 50 lembar kertas plano.
9. Selotip kertas.
10. Tanah liat, atau, lilin mainan kira-kira 10-15 kg untuk tiap lokakarya. Bila tidak ada lilin mainan, bisa dengan adonan terigu dan minyak goreng yang warna-warninya dicampur dengan pewarna sintetis.
11. Lilin kecil sejumlah Peserta dan Fasilitator (bisa diganti pelita kecil)
12. Piring kertas untuk menaruh simbol perdamaian.
13. Korek api dan pemantik api.
14. CD atau tape player untuk memainkan musik selama lokakarya, terutama untuk acara berkumpul di malam kedua. Atau speaker komputer yang bermutu bagus sebagai pengeras suara dari musik yang dimainkan di komputer.
15. Sejumlah musik MP3, CD atau kaset untuk musik latar.
16. Kudapan untuk pesta kecil di malam kedua.
17. Pulpen untuk tiap peserta.
18. Kotak P3K
Ruangan untuk kegiatan menggambar (pagi, hari kedua):
Menggambar butuh alas yang keras dan rata. Bila ruangan berkarpet empuk atau bertikar, maka ada bagian ruangan yang keras dan rata, misalnya: ada bagian lantai yang keras dan rata, meja-meja yang cukup untuk alas kertas plano, tembok yang luas (karena gambar-gambar nantinya akan dipajang di tembok, selain tembok bisa jadi alas menggambar).
Ruangan untuk kegiatan berkisah (pagi sampai sore, hari kedua):
Ruang-ruang kecil (sejumlah kelompok kecil) yang menjamin privasi masing-masing kelompok kecil.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
50 Komnas Perempuan
Ruangan untuk kegiatan berkumpul (pesta kecil di malam hari kedua):
Sebuah ruangan cukup untuk berkumpul semua orang. Ada meja-meja dan kursi-kursi untuk makan kudapan-minum bersama. Bila peserta merencanakan menari bersama, maka ada lantai dansanya lengkap dengan perlengkapan pemutar musik.
Ruangan untuk membuat simbol perdamaian (pagi, hari ketiga):
Ruangan (bisa juga di luar ruangan) yang menjamin privasi.
Ruangan untuk kegiatan membakar kertas (siang, hari ketiga):
Lebih baik ruang terbuka karena asap dari kertas yang dibakar bisa mengganggu.
Ruangan untuk kegiatan menyalakan lilin di simbol perdamaian (siang, hari ketiga):
Lebih baik ruang tertutup (supaya lilin tidak mati tertiup angin) dengan ventilasi yang baik agar asap dari lilin tidak memenuhi ruangan. Tapi kalau lilin diganti dengan pelita kecil, mungkin lebih baik di luar ruangan tapi cukup menjamin kenyamanan dan privasi selama kegiatan berlangsung.
Ruangan untuk kegiatan perayaan (siang, hari ketiga):
Ruangan (bisa juga di luar ruangan) yang menjamin privasi.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
51 51 51Komnas Perempuan
Handout 2 Skema Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
FORUM INTERNUM ( Tidak Boleh Dikurangi dalam kondisi Apapun )
1. Hak untuk menganut agama atau keyakinan tertentu berdasarkan pilihannya sendiri;
2. Hak untuk memiliki atau melakukan penafsiran keagamaan;
3. Hak untuk berpindah agama
TIDAK BOLEH DIBATASI
TIDAK BOLEH DIKURANGI
TIDAK BOLEH DIPAKSA
DAPAT DIBATASI
Dengan syarat-syarat :
1. Diatur oleh Undang-Undang 2. Jika memang benar-benar diperlukan untuk
melindungi : a) kesehatan umum; b) keselamatan umum; c) ketertiban umum; d) moral umum;
atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain
3. Tidak ditetapkan secara diskriminatif
FORUM EKTERNUM (Dapat dibatasi/ dikurangi dengan syarat)
1. Hak untuk melakukan kegiatan ritual seperti ibadah/sembahyang atau upacara keagamaan, baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka;
2. Hak untuk mendirikan tempat ibadah; 3. Hak untuk memungut iuran keagamaan; 4. Hak untuk menggunakan benda-benda ritual dan
simbol-simbol agama; 5. Hak untuk merayakan hari besar agama; 6. Hak untuk menunjuk atau menetapkan pemuka agama; 7. Hak untuk mengajarkan agama dalam sekolah keagamaan; 8. Hak untuk menyebarkan ajaran agama; 9. Hak untuk mencetak dan mendistribusikan publikasi
keagamaan; 10. Hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau
perkumpulan keagamaan; 11. Hak untuk membuat pengaturan makanan; 12. Hak berkomunikasi dengan individu atau kelompok tingkat 13. nasional dan internasional mengenai hal-hal keagamaan; 14. Hak untuk menggunakan bahasa keagamaan; 15. Hak orangtua untuk memastikan pendidikan agama kepada
46 Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan.
Handout 2Skema Hak kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
52 Komnas Perempuan
HANDOUT 3 ANALISIS PERSONAL5
Dasar pemikiran
Berdasarkan penelitiannya, Elizabeth Hurlock seorang pakar psikologi perkembangan mengatakan bahwa pendidikan anak harus dimulai sejak dalam kandungan. Teori ini menunjukkan betapa pentingnya peran Ibu ketika sedang mengandung anak-anaknya. Peran ibu dalam menindak lanjuti perkembangan sebuah kehidupan terbukti sangat besar. Realitas menunjukkan bahwa :
Setiap Ibu hamil mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda-beda, baik fisik, psikis maupun spiritualnya6 .
Makanan, minuman dan jejamuan atau obat-obat yang diminum berbeda dan atau berbeda pengaruhnya terhadap masing-masing tubuh pribadi Ibu hamil.
Makanan, minuman, jejamuan Ibu hamil berbeda atas dasar tempat, waktu dan kemauan atau keinginan setiap Ibu hamil.
Situasi sosial ekonomi budaya mempengaruhi perkembangan anak di dalam kandungan selama sembilan bulan sepuluh hari.
Ketika anak lahir, tradisi budaya, termasuk tindakan medis, langsung mempengaruhi proses hidup anak. Budaya ini berbeda sesuai tempat dan waktu (gender).
Mengikuti proses kehidupan manusia sejak terjadi konsepsi dalam rahim, intervensi terhadap proses hidup janin berbagai macam telah terjadi. Makanan dan minuman janin mengikuti apa yang dimakan dan diminum ibunya. Suasana jiwa dan spirit (roh) dipengaruhi oleh suasana jiwa dan roh ibunya. Selama di dalam rahim, hidup dalam air ketuban dan suasana gelap, ia mengalami proses alamiah (nature) bersamaan dengan budaya (nurture). Ketika ia lahir, intervensi budaya bertambah banyak. Budaya yang sekarang hidup dalam masyarakat adalah budaya patriakhat, dimana pranata kehidupan dibuat atas dasar pandangan pater/ Bapak saja. Pranata kehidupan yang ditentukan oleh Budaya patriarkis meliputi :
5 Dokumen Feminis Learning Centre (FLC – SP), ditulis oleh A.Nunuk P.Murniati6 Psikolog Carl Yung mengatakan bahwa setiap pribadi manusia terdapat tiga lapis dalam tubuhnya.
Paling luar adalah lapisan fisik, kemudian lapisan psikis (jiwa), dan paling dalam adalah spirit atau roh.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
53 53 53Komnas Perempuan
Sistem religi dan upacara keagamaan.
Sistem, struktur dan organisasi kemasyarakatan
Sistem pengetahuan
Bahasa
Kesenian, meliputi seni tari, seni suara, seni busana, seni pengolahan makanan, seni kerajinan tangan dan sebagainya.
Sistem mata pencaharian
Sistem teknologi dan peralatan
Jadi7 setiap manusia tumbuh dan berkembang dibentuk oleh pranata kehidupan lingkungan hidupnya, berbeda atas dasar waktu, tempat dan kemauan setiap orang. Proses ini dalam ilmu Psikologi disebut sosialisasi, dalam ilmu Sosiologi dinamakan gendering.
Ketika kaum Feminis sosial mempermasalahkan mengapa perkembangan dunia tidak ramah terhadap perempuan, penelitiannya menemukan bahwa relasi dalam masyarakat patriarkis adalah relasi timpang diantara kelompok dalam masyarakat. Relasi superior dan inferior merupakan sumber diskriminasi dan berlanjut dengan ketidak adilan. Ketika gender digunakan sebagai alat analisis, ditemukan bahwa relasi timpang antara laki-laki dan perempuan merupakan akar masalah diskriminasi terhadap perempuan. Ternyata dalam prosesnya, relasi timpang berbasis jenis kelamin ini berkembang menjadi relasi timpang berbasis kuasa, relasi superior dan inferior untuk berbagai macam kelompok di masyarakat. Relasi superior – inferior ini beranak- pinak menjadi struktur masyarakat hirarkhis. Proses konstruksi sosial budaya ini berjalan pelan, terus menerus dan sistematis, sehingga menghilangkan kesadaran manusia, sehingga dianggap kebenaran. Diskriminasi terjadi tidak hanya terhadap perempuan, tetapi juga terjadi bagi kelompok inferior lainnya. Untuk menghapuskan diskriminasi diperlukan proses penyadaran. Budaya adalah buatan manusia maka dapat diubah oleh manusia juga. Budaya tidak adil dapat dirubah menjadi budaya adil, dengan membutuhkan proses penyadaran terus menerus. Pranata kehidupan baru yang adil bagi semua manusia dan semesta alam, harus diciptakan oleh manusia.
Penyadaran gender membuat orang menjadi sadar gender, artinya mempunai perspektif gender. Seseorang yang mempunyai perspektif gender akan memperhitungkan
7 Koentjaraningrat, 1989
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
54 Komnas Perempuan
konstruksi sosial budaya yang membentuk semua manusia dan lingkungan hidupnya. Sesuatu fenomena yang terjadi merupakan akibat dari suatu sebab. Hukum sebab akibat merupakan dasar untuk membuat analisa masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Pendidikan melalui penyadaran
Proses pembentukan pribadi seseorang oleh sosial budaya, melalui keluarga, masyarakat lingkungan hidupnya, lembaga agama, negara dan dunia. Oleh karena pengaruh pendidikan ini berjalan terus menerus dan sistematis, maka orang menjadi tidak sadar. Proses penyadaran dilakukan melalui refleksi diri, analisis personal.
Seseorang menjadi seperti yang ada saat ini adalah sebuah akibat dari sebuah sebab yang membentuk dirinya. Sebab ini perlu ditelusuri sehingga ia menyadari proses pembentukan dirinya. Sejak dalam rahim, ia dipengaruhi oleh keadaan biologis, psikologis, spiritual, sosial, ekonomi, budaya dari ibunya. Maka ketika ia lahir, ia sudah membawa pengaruh ini.
Setelah lahir, berbagai pranata kehidupan membentuk dia. Bayi yang baru lahir langsung kena pengaruh sosial, ekonomi, budaya, agama, politik, medis/ aturan kesehatan, dan lain-lain.
Pengaruh tersebut melalui keluarga, sekolah, masyarakat lingkungan hidup, lembaga agama, negara, dan global.
Analisis Personal
Sebagai alat refleksi untuk mengetahui SIAPA AKU ? perlu dilakukan Analisis Personal. Untuk mempermudah ingatan, sejarah hidup dibuat bertahap :
1. Masa bayi, sejak dalam kandungan – umur 5 tahun. Tentu saja sejarah ini diperoleh dari ceritera orang tuanya atau saudara-saudaranya.
2. Masa kanak-kanak. Umur 6 – 12 tahun3. Masa remaja, umur 13 – 21 tahun4. Masa dewasa, umur 22 – 34 tahun5. Masa pasca dewasa umur 35 - 49 tahun6. Masa pra Lansia umur 50 – 60 tahun7. Masa Lansia umur 61 - selanjutnya
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
55 55 55Komnas Perempuan
Pada setiap tahap sejarah hidup, di ingat-ingat pengalaman yang pernah terjadi berkaitan dengan :
A. Untuk Umum
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari lingkungan
Ajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang diperoleh
Ajaran tentang bermasyarakat, pengalaman dalam hidup bermasyarakat yang mengesankan dan tak terlupakan.
Ajaran agama yang mempengaruhi hidupnya
Ajaran budaya yang mempengaruhi hidupnya
Pengalaman yang dipengaruhi oleh situasi sosial, ekonomi dan budaya.
Pengalaman yang diperoleh di sekolah
Pengalaman yang diperoleh dalam hidup bermasyarakat, berorganisasi.
Pengalaman dalam kehidupan beragama
Pengalaman konflik dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat
Pengalaman hidup yang telah membentuk sifat-sifat pribadi
Pengalaman hidup yang membuat bangga dan puas.
Lain-lainnya
B. Untuk Penyadaran Gender
Pengalaman diperlakukan tidak adil karena diposisikan inferior dengan kelompok lain
Luka batin yang pernah dialami, karena diperlakukan tidak adil gender, baik sebagai perempuan, laki-laki maupun kelompok seks minoritas (transgender atau orientas seks berbeda).
Kedua butir materi refleksi tersebut dipertanyakan pada setiap tahap sejarah hidup. Tentu saja yang dapat diingat.
C. Untuk penyadaran Feminis
Pengalaman diperlakukan diskriminatif (tidak adil) sebagai perempuan. Sebagai perempuan dibedakan dengan laki-laki.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
56 Komnas Perempuan
Luka batin yang pernah dialami, karena diperlakukan diskriminatif (tidak adil) sebagai perempuan.
Kedua butir materi refleksi tersebut dipertanyakan pada setiap tahap sejarah hidup.
Pemulihan luka batin8
Ketika metoda refleksi analisis personal mengakibatkan katarsis, maka perlu dilakukan pemulihan.
Pemulihan dapat dilakukan dengan cara :
1. Konseling
2. Ekspresi: menggambar, bermain peran, gerak tubuh, yoga, shibashi, menyanyi, menari, berteriak, marah-marah, dan sebagainya
3. Merenung : kontemplasi tubuh, meditasi
4. Relaksasi dengan menggunakan bantuan indera mata: melihat warna warni, pemandangan, gambar binatang, taman, dsb. Menggunakan bantuan indera pendengaran: musik lagu-lagu lembut, suara yang dirancang dengan gelombang tertentu, suara alam semesta di alam terbuka, dsb. Menggunakan bantuan indera penciuman : aroma terapi, bunga-bunga, insent, dedaunan (pandan), kekayuan (cendana), akar-akaran (setu), dan sebagainya
*******
8 APKM. Oktober 2014 Dok. Rumah Belajar, FLC-SP
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
57 57 57Komnas Perempuan
Handout 4kEkUATAN FEMINIS9
(FEMINIST POTENTIAL)
Pengantar
Feminis dan feminisme seringkali dipandang sebagai istilah yang kotor, menjijikkan, sehingga perlu dihindari atau dibungkus rapat-rapat dengan istilah “wanita” agar nampak cantik. Banyak perempuan di Indonesia masih takut menggunakan istilah ini karena pada era pemerintahan Orde Baru, istilah ini sering dikaitkan dengan gerakan wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap melawan pemerintahan sehingga menjadi partai terlarang. Alasan mengapa “Feminisme” mendapat perlakuan demikian karena ada banyak faktor antara lain: Feminisme belum dipahami secara utuh, pemahaman utuh tersebut sengaja dikaburkan untuk melawan gerakan kaum feminis, usaha untuk menakut-nakuti perempuan agar selalu diam, usaha untuk melestarikan politik patriarkis yang sudah mapan, dan bentuk-bentuk pelanggengan ideologi patriarkis yang lain.
Para aktivis perempuan yang bergabung dengan organisasi atau lembaga yang bergerak untuk isu perempuan seperti Komnas Perempuan, Perserikatan Solidaritas Perempuan, dan organisasi perempuan lainnya menghadapi dua pilihan yakni ikut melestarikan “ketakutan” atau berusaha mensosialisasikan pengertian Feminisme secara utuh agar masyarakat luas semakin memahami Feminisme sebagai sarana untuk perubahan sosial. Kami (para aktivis perempuan) memilih yang ke dua. Tulisan ini merupakan upaya untuk menambah wawasan Feminisme kepada masyarakat. Kami berharap tulisan ini bisa digunakan, disebarluaskan dan dikembangkan sesuai dengan situasi dan konteks yang berjalan.
Pengertian Feminisme
Istilah Feminisme sendiri muncul setelah perjuangan kaum Feminis sudah berjalan berabad-abad. Kaum perempuan berjuang untuk keadilan kaumnya, karena dalam kehidupan terjadi diskriminasi berbasis jenis kelamin. Feminisme sebuah fenomena mendunia yang mempunyai multi bentuk. Feminisme dapat berarti wawasan sosial
9 Dokumen RUMAH BELAJAR “YABINKAS”, (2014) Ditulis oleh Dra.A. Nunuk Prasetyo Murniati, MA, Teolog Feminis Katolik, anggota Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), mantan Komisioner Komnas Perempuan.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
58 Komnas Perempuan
yang berakar dari pengalaman perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan.
Joann Wolski Conn mendefinisikan Feminisme sebagai seperangkat ide yang tertata dan sekaligus rencana aksi praktis, yang berakar dari kesadaran kritis kaum perempuan tentang bagaimana kebudayaan diartikan dan diterapkan oleh kaum laki-laki, demi keuntungan mereka sendiri, menindas kaum perempuan dan serentak merendahkan martabat kaum laki-laki sebagai manusia10 .
Feminisme dimengerti pula sebagai ideologi berbasis pengalaman perempuan. Solidaritas Perempuan menetapkan Feminisme sebagai ideologi organisasi.
Nancy F. Cott dalam bukunya “The Grounding of Modern Feminism” mengatakan bahwa sukar untuk membuat kata-kata yang menggambarkan perubahan posisi perempuan yang selama ini sudah terkonstruksi sosial budaya. Baru pada tahun 1933 Kamus Oxford memasukkan kata feminisme yang diberi arti “pandangan dan prinsip-prinsip untuk memperluas pengakuan hak-hak perempuan”. Pengertian ini juga belum dapat menggambarkan pengertian Feminisme sesuai dengan yang dimaksud. Nancy mengatakan bahwa Feminisme tidak bisa dibuat definisi, tetapi harus dimengerti dan difahami, kemudian dihayati untuk dilakukan dalam kehidupan nyata. Menurut pandangannya, Feminisme mengandung tiga komponen penting. Pertama, suatu keyakinan bahwa tidak ada perbedaan hak dasar manusia berbasis seks, sehingga perjuangannya menentang relasi hirarki berbasis kuasa. Menurutnya relasi ini adalah akar diskriminasi yang menjurus pada ketidak adilan, menciptakan relasi superior dan inferior, dimana kelompok superior mengontrol kelompok inferior.
Kedua, suatu pengakuan bahwa dalam masyarakat telah terjadi konstruksi sosial budaya yang merugikan perempuan. Konstruksi sosial budaya ini buatan manusia (nurture) bukan ilahi atau fitroh (nature). Ketiga, berkaitan dengan komponen ke dua, muncul identitas gender dan peran gender. Feminisme menggugat perbedaan yang mencampur adukkan perbedaan seks (biologis) dan gender (konstruksi sosial budaya). Jadi pendapat Nancy dapat dimengerti bahwa, Feminisme sebagai sebuah kesadaran tentang adanya ketidak adilan terhadap perempuan secara sistematis dan universal (diseluruh dunia). Intinya adalah kesadaran dan berjuang untuk keadilan perempuan khususnya, keadilan sosial pada umumnya.
Feminisme dapat pula dipandang secara ilmiah, yaitu menekankan pentingnya pada kebiasaan kita mengumpulkan data dan menganalisis informasi. Dalam hal ini,
10 Anne M.Clifford, “Memperkenalkan Teologi Feminis”, hal. 29
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
59 59 59Komnas Perempuan
Feminisme juga dimengerti sebagai perangkat analisis. Dalam menganalisis informasi dari suatu kehidupan, dicari dimana kaum perempuan dirugikan, dan siapa yang diuntungkan. Keuntungan yang diperoleh oleh kelompok masyarakat tersebut dianalisis, dicari akar masalahnya.
Gelombang kehidupan Feminisme
Seperti mengalirnya sejarah manusia, Feminisme juga mengalir sebagai gelombang yang tidak dapat dibendung. Kesadaran kritis kaum perempuan mendorong kaum perempuan lainnya untuk berjuang, melawan ketidak adilan. Berbasis pada pengalaman perempuan yang sudah sangat lama diperbodoh, diperlakukan tidak adil, ditindas, maka pengetahuan (teori) yang diperoleh dan cara perlawanan juga sesuai dengan pengalaman tersebut.
Feminisme gelombang pertama, ditandai dengan munculnya sekolah-sekolah perempuan. Perempuan mulai berjuang melalui buku yang mereka tulis, seperti misalnya Christien De Pizan menulis “The Book of the City of Ladies” (tahun 1365). Buku ini membahas siapa yang menentukan bahwa perempuan secara kodrati lebih cenderung kepada kebatilan dan kejahatan dari pada kaum laki-laki, sehingga perempuan dijuluki “penggoda serta sumber dosa”. Apakah ditentukan oleh Sang Pencipta atau oleh manusia (laki-laki). Pada jaman itu buku ini membuat gempar masyarakat, karena melawan kemapanan.
Mary Wollstonecraff menulis Buku “A Vindication of the Rights of Women” (Pemulihan Hak-Hak Perempuan). Ia menuntut Hak-Hak perempuan agar dipulihkan atau dikembalikan.
Disamping munculnya sekolah perempuan, dan buku-buku yang memberi inspirasi, secara berani kaum perempuan mulai berkomunitas untuk berbagi pengalaman. Pengalaman perempuan tertindas dan diperlakukan tidak adil ini ternyata terjadi di berbagai aspek kehidupan. Perjuangan melawan ketidak adilan terhadap perempuan dari berbagai aspek kehidupan ini menimbulkan aliran-aliran Feminisme.
Feminisme gelombang kedua ditandai dengan munculnya empat aliran besar:
1. Feminsme Liberal, menekankan pemulihan hak-hak politik, pendidikan, hak memilih dan dipilih. Diambilnya hak-hak ini dari kaum perempuan, berakibat perempuan diperbodoh, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik. Kaum perempuan harus melakukan keputusan politik yang diambil oleh kaum laki-laki.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
60 Komnas Perempuan
2. Feminisme Marxis, menekankan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi. Pekerjaan perempuan dalam keluarga (pekerjaan domestik) tidak dianggap sebagai pekerjaan bahkan dinilai sebagai pekerjaan tidak produktif. Padahal pekerjaan dalam keluarga merupakan pekerjaan untuk mendukung dan menyegarkan pekerjaan laki-laki yang bekerja di ranah publik. Mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan pekerjaan mempersiapkan tenaga kerja.
3. Feminisme Radikal, menekankan penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan berawal dari relasi kuasa dalam keluarga. Kaum feminis radikal menyadari bahwa tubuh perempuan dikuasai laki-laki dan dibenarkan serta dilegalkan melalui lembaga keluarga. Penindasan perempuan berawal ketika dalam keluarga tubuh perempuan dianggap sebagai “milik” laki-laki dan boleh diperlakukan apa saja. Aliran ini menyumbang pemikirannya “the personal is political”, karena perempuan sudah harus menjalani keputusan politik laki-laki dari tubuhnya. Maka perlawanan politik perempuan juga harus berawal dari tubuhnya. Perempuan berjuang untuk otoritas tubuhnya.
4. Feminisme Sosialis, menekankan dominasi kaum laki-laki berkulit putih dalam perjuangan kelas ekonomi masyarakat kapitalis. Perempuan dalam masyarakat kapitalis mengalami penindasan yang berlapis-lapis. Dalam masyarakat kapitalis, relasi timpang tidak hanya berbasis jenis kelamin, tetapi juga berbasis ras, etnik, dan warna kulit. Aliran ini yang menyumbangkan pengertian gender sebagai alat analisis untuk masyarakat yang timpangnya berlapis-lapis. Gender sebagai konstruksi sosial budaya membuat pranata kehidupan sebagai kelas-kelas sosial, sehingga mengakibatkan ketidak adilan. Konstruksi sosial budaya pula yang dapat merubah pranata kehidupan menjadi adil. Gender mainstreaming merupakan alat untuk merekonstruksi sosial budaya agar terjadi masyarakat yang lebih adil.
Kesadaran perempuan akan adanya diskriminasi terhadap perempuan tidak dapat berhenti, terus berlanjut. Arus gelombang mendorong munculnya aliran-aliran baru yang pada dasarnya merupakan kritik kepada aliran yang terdahulu dan munculnya kesadaran baru.
Feminisme Gelombang ketiga ditandai makin banyak aliran-aliran Feminisme yang menganalisis kehidupan atau teori perspektif patriarkis (misal Teori Freud), filsafat Aristoteles (pandangan dikotomi tentang manusia), teologi Agustinus yang mengatakan bahwa “woman is misbegotten man” (=perempuan adalah manusia yang salah jadi). Analisis dan perlawanan tersebut diwujudkan dengan memberi sumbangan pikiran melalui pandangan baru. Aliran yang bermunculan ini tidak akan berhenti :
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
61 61 61Komnas Perempuan
Feminisme Psikoanalitik, Feminisme Existensialis, Feminisme Postmodern, Feminisme Kultural, Feminisme Multikultural, Feminisme Global, Feminisme Lingkungan, Feminisme Agama Agama, Feminisme Kosmik, dan masih akan berlanjut lagi.
Oleh karena itu pemahaman Feminisme perlu disebar luaskan agar tidak difahami sebagai Feminisme Liberal atau Feminisme Radikal saja, yang membuat orang takut, karena berdampak pada kebebasan seks dan melawan laki-laki secara harafiah.
kekuatan atau Potensi Feminis
Kekuatan atau potensi seseorang menurut teori psikolog Carl Jung meliputi kekuatan lapisan paling luar, tubuh (bilogis), kemudian lapisan jiwa (psikologis) dan lapisan paling dalam adalah roh (spiritualitas). Seseorang berada dalam kekuatan optimal ketika ketiga ranah lapisan tersebut dalam keadaan sadar. Namun realitas kehidupan sering dan bahkan kerap kali “mengacaukan” kesadaran dari lapis-lapis pribadi manusia tersebut. Konstruksi sosial budaya (Gender) merupakan sebab rancunya kesadaran seorang pribadi manusia. Oleh karena itu ketika seseorang akan menggali kekuatan pribadi atau potensi personalnya, wajib meneliti dan refleksi diri agar mampu melihat situasi dirinya, serta potret dirinya. Analisis pengalaman personal merupakan salah satu cara untuk memproses kesadaran diri terhadap konstruksi sosial budaya yang mempengaruhi hidupnya.
Aliran-aliran Feminisme melakukan penelitian hal tersebut di atas untuk mengetahui kekuatan perempuan yang sudah dilemahkan oleh konstruksi sosial budaya, baik di ranah biologis, psikologis dan spiritual. Di ranah spiritual, Feminisme agama-agama menganalisis mengapa di dalam agama masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan dimarginalkan, bahkan dipandang sebagai “penggoda”dan sumber dosa. Diskriminasi ini mengakibatkan pelemahan perempuan di ranah kehidupan spiritual atau religiusitas, padahal, agama mengatur relasi manusia dengan Sang pencipta, Sang misteri, yang bisa dirasakan keberadaanNya, tetapi tidak pernah bisa dilihat.
Diskriminasi terhadap perempuan tersebut wajib dipertanyakan, berasal dari mana, perlu dicari sebabnya, mengapa dalam agama masih terjadi pelemahan kekuatan spiritual perempuan. Pada abad 17 Elizabeth Cady Stanton sudah mulai mengamati alkitab/ kitab Suci. Ia membaca, meneliti, menelusuri sejarahnya, untuk memahami duduk persoalannya. Ia menemukan bahwa alkitab memiliki bahasa yang androcentris11 . Diskriminasi terhadap perempuan dalam agama masih tetap ada sampai kini, membuat sejumlah Feminis meninggalkan agama, tidak percaya lagi pada agama. Mereka memilih “keluar” dari
11 Andros dari bahasa Yunani (Greek) berartimale = laki-laki dewasa. Jadi bahasa Alkitab adalah baha-sa dari laki-laki dewasa.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
62 Komnas Perempuan
agama dan menyatakan diri sebagai sekular, tidak beragama walaupun mereka tetap percaya kepada Allah.
Munculnya feminisme agama-agama ini justru untuk memahami kitab suci, ajaran agama dan penerapan ajaran agama yang tidak manusiawi, khususnya terhadap kaum perempuan. Aliran ini mempunyai hipotesa, bahwa Allah itu misteri, Maha rahim, Maha kasih, Maha adil. Jadi jika terjadi ketidak adilan dan pranata agama yang tidak manusiawi, pasti itu bukan berasal dari Allah.
Aloysius Pieris, seorang Pastor Jesuit dari Srilanka prihatin melihat fenomena kaum feminis keluar dari agama karena alasan tersebut. Ia sadar dan mengakui bahwa da-lam agama terjadi diskriminasi terhadap perempuan dan ia bisa memahami kemarahan kaum perempuan, tetapi menurut dia, kaum feminis tidak perlu keluar dari agama. Pieris mengkritik para feminis yang keluar dari agama. Menurut dia justru Feminisme dibutuhkan dalam Agama untuk mengkritik ajaran dan praktek agama yang tidak manusiawi. Pieris mengamati ada lima kesalahan kaum feminis yang harus direfleksikan12.
1. Kesalahan pandangan feminis dari aspek psikologis. Feminis menganggap bahwa relasi timpang berbasis kuasa hanya disebabkan oleh sifat laki-laki yang egoistis (self-ishness) dan serakah (greedy), ingin kuasa. Laki-laki menindas kaum perempuan yang secara alamiah lemah tidak berdaya. Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa sifat manusia selfishness dan greedy bukan hanya monopoli laki-laki. Kaum perempuanpun mempunyai sifat sejenis dengan egoistis dan serakah itu. Sifat posesif perempuan yang terlalu melindungi (over protective), merupakan sifat yang bisa menguasai orang lain sehingga orang lain merasa tertindas. Sifat perempuan selalu curiga, cemburu, ini sama dengan sifat selfishness. Jadi dalam diri perempuan juga ada sifat-sifat yang potensi dominasi terhadap sesama, kalau tidak disadari.
2. Kesalahan pandangan feminis dari aspek sosiologis. Feminis menganggap bahwa relasi timpang berbasis kuasa hanya terjadi antara kaum laki-laki dan perempuan, karena laki-laki menguasai perempuan. Pandangan ini mendapat kritik pula, karena dalam masyarakat yang dikonstruksi sosial budaya berbentuk hirarkhis, relasi timpang berbasis kuasa ini tidak hanya ada dalam relasi timpang berbasis jenis kelamin saja. Relasi tersebut juga ada dalam masyarakat perempuan sendiri. Perempuan tanpa sadar menempatkan dirinya pada posisi ordinat, posisi kuasa sehingga menindas sesama kaum perempuan bahkan juga laki-laki. Secara sosiologis perempuan bisa menindas (menguasai) orang lain berbasis jenis kelamin, umur, ras, etnis, warna kulit dan kelas sosial lainnya.
12 Aloysius Pieris, “Fire & Water”, Bab 6
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
63 63 63Komnas Perempuan
3. Kesalahan pandangan feminis dari aspek politik. Feminis menganggap bahwa perjuangan hak asasi manusia selesai jika hak asasi manusia perempuan sudah diakui. Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa perjuangan perempuan memperoleh pengakuan tentang hak-hak asasi manusia tidak hanya untuk hak-hak kaum perempuan saja, tetapi berlanjut untuk hak-hak manusia seluruhnya. Semua manusia lahir dari rahim perempuan. Perjuangan hak-hak perempuan adalah suatu proses untuk menuju pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia seluruhnya, bahkan keselamatan alam semesta tempat semua mahluk hidup.
4. Kesalahan pandangan feminis dari aspek filosofi. Feminis memisahkan manusia dengan cosmos (alam semesta). Dalam mengkritik pandangan ini Pieris mengatakan bahwa seharusnya kaum feminis melihat cosmos dan ma-nusia itu sebagai kesatuan. Pandangan feminis seharusnya tidak mengikuti pandangan maskulin yang antroposentris (human oriented), tetapi seharusnya kosmosentris, karena kehidupan manusia berawal dari rahim perempuan. Kosmo adalah rahim seluruh kehidupan dari semua ciptaan Allah.
5. Kesalahan pandangan feminis dari aspek teologi. Feminis memandang dirinya sebagai komunitas orang tertindas yang pasti diselamatkan. Teologi Pembebasan mengajak kita sadar bahwa Allah memang menjanjikan keselamatan bagi kaum tertindas, termasuk perempuan. Tetapi penyelamatan ini tidak tanpa syarat. Janji Allah menyelamatkan kaum tertindas tidak cuma-cuma, tetapi mereka selamat karena mereka menanggapi janji Allah dengan serius dan penuh tanggungjawab. Mereka bersedia berjuang bersama Allah melawan kekuatan-kekuatan dari kuasa dunia yang menindas.Jadi secara teologis, kaum perempuan wajib menanggapi janji keselamatan Allah dengan serius dan tanggung jawab, berjuang bersama Allah melawan penindasan perempuan.
Atas dasar kritik tersebut di atas, Aloysius Pieris memberikan pandangan untuk memasukkan kosmos (kosmik) dalam feminisme. Feminis Asia tidak bisa menyatakan dirinya sebagai feminis Asia kalau hanya mengulang pandangan dan teori dari para tokoh feminis dari negara barat. Feminisme yang mempunyai pengertian sangat luas dan dalam, diwarnai oleh pengalaman hidup dan situasi sosial budaya yang berbeda-beda. Asia sampai saat ini masih mempunyai banyak masyarakat matriakhat 13, bukan
13 Matriaki adalah pranata kehidupan yang berwawasan perempuan, khususnya di daerah-daerah pertanian dan hutan.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
64 Komnas Perempuan
sekedar matrilineal14 , maka tidak mengherankan apabila Asia kaya akan spiritualitas/kepercayaan/agama lokal yang melihat Sang Pencipta ada dalam kosmik, suatu kepercayaan bahwa Sang Pencipta, Sang Pemberi Hidup ada diantara cintaanNya.
Munculnya budaya patriarkis di Asia selain sejak munculnya feodalisme setelah jaman pertanian dan perkembangan peternakan, juga didukung oleh tradisi agama-agama langit, metakosmik (Yahudi, Kristen dan Islam)15 .
Menurut Malinowski, banyak masyarakat di Asia yang semula pranata kehidupannya berorientasi pada gyne-centric (orientasi perempuan) diambil alih oleh budaya patriakahat ketika terjadi penaklukan terhadap masyarakat asli (indigenous people) 16. Akibat peristiwa sejarah Asia tersebut feminisme Asia dihadapkan pada dua pilihan ekstrim, yaitu tetap menggunakan metakosmik (agama dari langit) sebagai sumber inspirasi perjuangan keadilan perempuan walaupun tidak cocok, atau melepaskan semua agama metakosmik, dan mengambil jalan pendekatan sekuler seperti yang dilakukan oleh para feminis dari negara barat. Untuk menghindari dua ekstrim tersebut Pieris menawarkan Feminisme Kosmik melalui analisis permasalahan gyne-phobia (phobi perempuan). 17
Mary Daly menyebut gyne-phobia sebagai akar masalah penindasan perempuan yang tersublimasi (tidak disadari). Gynephobia adalah ketakutan dibawah sadar karena manusia mengalami ketegangan antara air dan api sebagai elemen kosmik18 ketika masih di dalam rahim. Awal hidup manusia berada dalam air ketuban dan kegelapan di rahim ibunya. Pada saat ini terjadi ketegangan antara air dan api (cahaya) yang menimbulkan sublimasi ketakutan, ketakutan yang tidak disadari. Ketakutan dibawah sadar ini ada dalam diri setiap manusia, perempuan dan laki-laki. Ketakutan ini tidak hanya sudah mendarah daging dalam diri seseorang, tetapi juga di organisir secara sitematis oleh sosial budaya (gender) dalam masyarakat dan ditetapkan sebagai kebenaran alamiah yang berasal dari Allah.
Ketegangan elemen kosmik yang menimbulkan ketakutan di bawah sadar ini perlu dipahami, kemudian disadari, karena mempengaruhi cara pandang,cara berpikir, sikap
14 Ahli waris berdasarkan garis keturunan ibu15 Hasil belajar penulis dalam Consultation Asian Women Comissasion EATWOT, Madras, Agustus
1989. Metakosmik adalah sesuatu yang berada diluar kosmik (alam semesta), mikrosmikkosmik adalah alam semesta lain, alam diatas langit, keilahian. Masyarakat Budha menyebutnya dengan nama NIRWANA
16 B.Malinowski, “Sex, Culture and Myth”, NY. 196217 Dari bahasa Yunani (Greek), gyne berarti female, perempuan. Phobi artinya takut18 Elemen kosmik air adalah simbol perempuan dan api adalah simbol laki-laki. Ketakutan
perempuan merupakan kekuatan perempuan dan kekuasaan laki-laki adalah ketakutan laki-laki. Ketegangan ini dialami oleh semua manusia, perempuan dan laki-laki.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
65 65 65Komnas Perempuan
dan perilaku manusia dalam berelasi dengan kosmik. Ketakutan di bawah sadar yang berawal dari rahim ini dianalisis agar disadari sehingga dipamahami kaitan ketidak sadaran manusia dengan kosmik dan metakosmik (spiritualitas/ religiositas/ agama).
Aloysius Pieris menganalisis keterkaitan antara religiusitas, ketakutan bawah sadar (sublimasi) dan kosmik dengan sebuah ceritera refleksi pribadinya kurang lebih seperti berikut:
“Proses konsepsiku menjadi manusia di rahim ibuku, diawali peristiwa persiapan manusia (prehuman), dengan gegap gempitanya persaingan masa dari jutaan sel sperma ayahku berebut untuk bertemu dengan hanya sebuah sel telur ibuku yang dilepas dari indung telurnya. Selanjutnya secara biologis (alamiah) sperma ayahku menunggu dan memilih satu sel telur subur yang lepasnya sesuai dengan siklus tubuh ibuku. Kemudian terjadilah pertemuan sel sperma ayahku dengan sel telur ibuku yang telah menunggu. Inilah awal konsepsiku sebagai manusia. Aku mulai hidup dalam kegelapan di rahim ibuku berenang dalam air ketuban (mikro kosmik) dan makan sari makanan dari makanan yang dimakan ibuku. Sembilan bulan sepuluh hari aku hidup dalam rahim dan akhirnya aku lahir ke dunia (makro kosmik)”.
Selanjutnya Pieris menegaskan bahwa fenomena biologis persaingan jutaan sperma untuk merebutkan sebuah sel telur ini tidak bisa dianggap sebagai persaingan laki-laki untuk merebut perempuan yang tidak melawan (diam=pasif), dan kemudian ditetapkan sebagai perilaku laki-laki aktif dan perempuan pasif oleh sosial budaya. Fenomena biologis tersebut mengandung rahasia ilahi yang tidak kasad mata. Persaingan jutaan sel sperma berebutan sel telur dapat dianalogikan dengan perjuangan di hutan rimba, “yang kuat akan mengalahkan yang lemah”. Memang, kenyataannya hanya sperma yang kuat bisa bertemu dengan sel telur yang masak dan kemudian berproses menjadi embrio, manusia baru. Peristiwa pre human yang mengandung rahasia ilahi tidak dapat dikaitkan dengan hukum dalam kehidupan masyarakat yang dibuat oleh manusia. Proses kehidupan manusia diawali dengan ketakutan, hidup dalam Kosmik (micro kosmik), dalam air dan kegelapan. Ketegangan hidup dalam air tanpa cahaya, merupakan pengalaman awal kehidupan manusia, pengalaman ketakutan yang tersublimasi.Pengalaman awal ini tidak dapat dihilangkan, dan harus diterima secara sadar dan penuh tanggung jawab sebagai realitas hidup. Realitas pengalaman bahwa manusia mulai hidup, kenal dengan kegelapan, air ketuban didalam rahim, merupakan fakta relasi semua manusia dengan perempuan. Jadi sublimasi ketakutan manusia terhadap Kosmik (gelap dan air), bersamaan dengan sublimasi ketakutan relasi setiap manusia dengan rahim (=perempuan)19. Realitas ini harus disadari, tidak perlu disublimasikan sehingga menjadi ketakutan di bawah sadar.
19 Fire & Water, hal. 13-14
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
66 Komnas Perempuan
Oleh karena itu cara pandang berorientasi pada kosmik dapat merubah sublimasi ketakutan ini menjadi kesadaran nyata terhadap gyne-phobia. Kosmik sebagai alam semesta merupakan rahim kehidupan semua ciptaan (mikro kosmik). Mary Daly menggunakan istilah gyne ecological orientation, untuk menghilangkan phobi tersebut agar manusia, khususnya perempuan tidak memisahkan manusia dari kosmik, alam semesta20
Berdasarkan refleksi pengalaman, pengamatan, pembelajaran, dan penelitian, dengan pandangan cosmocentris Pieris memberikan tiga axioma 21 untuk kaum Feminis, khususnya Feminis Asia.
1. Feminisme mempunyai ciri permanen (tetap), maka Feminisme bukanlah suatu perjuangan sementara, tetapi perjuangan yang terus menerus dan berkelanjutan. Perjuangan Feminisme bertujuan untuk keselamatan semua umat manusia dan mahluk hidup (seluruh isi kosmik). Feminisme tidak hanya berhenti setelah hak-hak perempuan terpenuhi, tetapi terus berlanjut sampai terpenuhinya hak-hak semua manusia dan alam semesta.
2 Relasi Feminisme dan Agama adalah relasi perkawinan yang tidak terceraikan, baik dalam suka dan maupun duka. Agama adalah bahasa roh, yang bicara juga kepada alam bawah sadar manusia dan menuntun manusia untuk memahami eksistensi dirinya. Percakapan bahasa roh di bawah sadar antara Agama dan Feminisme ini menimbulkan pertanyaan tentang model sekularisme dari Feminisme. Ajaran Agama tidak mungkin dilaksanakan dalam ideologi yang hampa, tetapi harus berorientasi pada aksi/ perbuatan nyata. Ketika Agama ikut menentukan pranata kehidupan yang ideal dalam kehidupan masyarakat, tetap harus diingat bahwa di alam bawah sadar manusia sudah terpengaruh gyne-phobia. Kesadaran terhadap gyne-phobia akan membuat manusia, khususnya perempuan, mengetahui duduk persoalan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Gyne-phobia mengakibatkan manusia memisahkan diri dengan kosmik. Tetapi perempuan mempunyai pengalaman bahwa kosmik tidak terpisahkan dengan tubuhnya. Perempuan membawa mikro kosmik dalam tubuhnya dan hidup dalam makro kosmik. Tubuh perempuan merupakan kesatuan kosmik, micro dan macro kosmik. Maka dari itu, dalam perspektif kosmik Feminisme harus menjadi kritik tetap dan berkelanjutan terhadap Agama. Kosmik dan metakosmik adalah sebuah rangkaian.
20 Pandangan ini juga merupakan pandangan kaum Feminis Lingkungan. Feminis lingkungan meman-dang dirinya menyatu dengan alam semesta, kosmik (micro dan macro kosmik). Perusakan alam berkaitan dengan kekerasan/perkosaan terhadap tubuh perempuan.
21 Axioma adalah pernyataan yang harus diterima kebenarannya sebagai realitas, tanpa harus dibukti-kan, karena muncul dari pengalaman
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
67 67 67Komnas Perempuan
3 Berkaitan dengan axioma satu dan dua, maka Feminisme dapat dipahami sebagai sebuah subjek, proses kehidupan yang sangat alamiah, yang tidak dapat dijelaskan secara tepat, kecuali dipahami melalui refleksi filosofis yang menyentuh kejujuran dari lubuk hati/ hati nurani/suara hati yang paling dalam, untuk memahami kaitannya dengan eksistensi manusia. Pemahaman Feminisme membutuhkan bahasa batin, bahasa roh, sentuhan keilahian, yang pasti selalu jujur. Sebaliknya nalar/ratio dan ilmu pengetahuan sering menipu manusia dalam menentukan pandangan, cara berpikir dalam mengambil keputusan. Hati nurani pasti mengingatkan, ketika nalar atau pengetahuan memberi keputusan salah, tetapi manusia sering tidak memperhatikan dan tidak mau mendengarkan. Kemudian situasi yang terjadi, hati nurani akan memberi bukti akibatnya di kemudian hari, bahwa hati nuranilah yang betul. Feminisme berusaha mengembalikan dan meneguhkan peran dialog alam bawah sadar dengan tubuh manusia dalam usahanya mencari jati diri manusia yang otentik, melalui bahasa batin. Realitas hidup menunjukkan bahwa ideologi yang diberi pembenaran secara nalar/ rasional, kerap digunakan untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Pandangan seksis berawal dari ideologi semacam ini, yang kemudian berakibat ketidak adilan dan penindasan terhadap perempuan, bahkan terhadap seluruh ciptaan.
Belajar Feminisme kosmik dari Aloysius Pieris 22
Pieris tidak setuju dengan pilihan para feminis, khususnya feminis Asia untuk meninggalkan agama dan memilih sekularisme. Menurut dia, para Feminis memandang sekularisme tanpa refleksi secara mendalam, sehingga mereka seolah-olah mengingkari sebagai bangsa Asia maupun sebagai feminis. Mereka mengabaikan kaitan gyne-ecological (perempuan/ rahim dan semesta alam) dengan kehidupan manusia. Pieris menekankan bahwa kalau sekularisme dipertentangkan dengan metakosmik, berarti sama dengan mempertentangkan antara rasionalisasi pemikiran teologi masyarakat liberal negara-negara barat yang menganggap dunia tidak sakral dengan pandangan bangsa Asia tentang kesakralan dunia yang dirasakan dengan hati yang paling dalam (dirasakan melalui batin serta hati nurani).
Para sekularis menolak terperangkap oleh ideologi agama yang sudah melembaga. Mereka mempunyai pengalaman dan cara sendiri untuk mengekspresikan relasi transenden (relasi keilahian) yang sebenarnya merupakan bagian dari rahasia alam semesta (kosmik). Mereka melakukan relasi transenden melalui pikiran dan hatinya. Tetapi mereka lupa bahwa sekularisme atau ideologi sekuler berakar pada desakralasisi kosmik, mengabaikan ke-ilahian dalam kosmik.
22 Sumber : Fire & Water, Bab 3 dan Bab 6
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
68 Komnas Perempuan
Sekularisme berawal pada abad ke 17 ketika Cartesian mereduksi pengertian dunia sebagai mesin yang mati. Sama halnya dengan pandangan Aristoteles bahwa ibu bumi/ibu pertiwi (mother earth) adalah pasif (negatif), kemudian terjadi maskulinisasi ilmu pengetahuan, ilmu dan teknologi aktif menguasai bumi yang pasif. Kejadian ini merupakan awal dari modernisasi teknologi barat, yang berbuah menjadi ajaran (teologi) Kristen tentang alam semesta.
Manusia menganggap dirinya berkuasa atas bumi untuk menguasai dan menaklukkan alam semesta. Bumi yang mengandung materi kehidupan manusia diambil secara paksa untuk memenuhi kehidupan manusia. Bumi yang mengandung banyak misteri dipandang “kikir” sehingga dibenarkan menurut ratio, untuk “diperkosa”. Ketika alam semesta dianggap sebagai benda mati (human oriented), manusia tidak dapat lagi melihat atau merasakan rahasia ke-ilahian yang ada dalam kosmik 23.
Sesuatu yang tidak nampak kasat mata, itu ada, karena dapat dirasakan sebagai yang tidak diketahui atau yang tidak disadari. Misalnya air, tidak hanya sekedar zat yang mengandung H2O seperti yang dilihat kaum sekuler, tetapi air juga sebagai tanda kehidupan (rahim kehidupan). Seperti juga angin, bukan sekedar udara yang bergerak, tetapi juga merupakan energi vital, sebagai nafas, spirit, roh, yang dalam mitos-mitos muncul sebagai kekuatan dahsyat mengusir kejahatan.
Simbol yang ada dalam mitos ini diungkapkan dalam antropologi, dan psikologi mengungkapkan dalam penafsiran mimpi. Tetapi agama tidak pernah mengungkapkan secara tegas dalam ritualnya. Demikian pula dua elemen simbol yang lain, yaitu tanah dan api. Dalam kepercayaan masyarakat Asia, air, tanah, angin dan api biasa digunakan sebagai instrumen/ sakramen ritual, dan bukan sekedar benda-benda kosmik yang mati, tetapi juga mempunyai sifat yang tidak diketahui atau tidak disadari. Air yang selalu menyatu sebagai kesatuan kelompok (cohessiveness), tanah tempat perpijak sebagai pertahanan (resistance), merupakan simbol perempuan. Api yang panas dan terang sebagai pemanas dan cahaya, serta angin merupakan udara yang bergerak sebagai penggerak aktivitas, merupakan simbol dari laki-laki.
Keempat elemen tersebut bekerja bersama saling kait mengkait dalam kosmik untuk kehidupan semua mahluk. Keempat elemen simbol tersebut muncul atas dasar pengalaman hidup manusia yang disadari secara sangat mendalam, lalu dijadikan simbol. Namun
23 Kesalahan manusia melihat alam semesta dengan orientasi manusia (human oriented) ini sudah disadari oleh para aktivis lingkungan ketika melihat lingkungan alam dirusak oleh manusia. Kemudian para aktivis lingkungan merubah pandangannya terhadap kosmik dengan earth oriented, orientasi pada alam. Namun para feminis lingkungan belum puas karena earth oriented belum sampai pada kesadaran gyne-ecological oriented
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
69 69 69Komnas Perempuan
kesadaran ini menjadi kacau ketika bahasa manusia dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya (gender).
Agama metakosmik menggeser kesadaran mendasar ini kealam bawah sadar manusia lewat ajaran-ajarannya bahwa Allah maskulin. Seperti misalnya Musa menerima kehadiran Allah sebagai angin topan dan api yang membakar semak. Angin dan api adalah simbol laki-laki. Semua ini lalu dijadikan pembenaran bahwa laki-laki adalah penyelamat dan perempuan diselamatkan (ajaran tentang Keselamatan). Materialisasi kosmik ini terwujud dalam sakramen atau instrumen/tanda yang dibuat oleh laki-laki, diwujudkan sebagai pranata kehidupan, termasuk pranata kehidupan beragama. Pandangan kosmik yang mengandung misteri, yang tidak diketahui, tidak disadari, dan hanya bisa ditangkap dengan bahasa batin, bahasa roh, menjadi tertutup di belakang sakramen yang bersifat material.
Sementara itu, dalam teologi Islam, agama yang semestinya membawa keadilan, khususnya bagi perempuan, mendefinisikan persoalan tafsir atas kitab suci menjadi sumber penghalang bagi tercapainya kesetaraan gender. Sejumlah kalangan Islam menyadari bahwa tidak sedikit yang memandang negatif terhadap kata Feminisme. Feminisme dianggap sebagai pengetahuan dari barat yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Namun berdasarkan bacaan dalam buku Women Islam and Everyday Life (2009: 4) 24, Feminisme disefinisikan sebagai “kesadaran akan adanya penindasan atau subordinasi terhadap perempuan atas dasar jenis kelaminnya dan sebagai upaya untuk menghilangkan penindasan atau subordinasi tersebut serta untuk mencapai relasi gender yang setara antara laki-laki dan perempuan”.
Sementara dalam kategorisasi Azza M Karam pada bukunya Women, Islamism and the State: Contemporary Feminisms in Egypt (1998) 25, mengelompokan para feminis di Mesir kepada kategori Feminis sekuler, Feminis Muslim dan feminis Islamis26, Feminis Muslim memandang pentingnya dilakukan reinterpretasi terhadap Al-Qur’an karena mereka percaya bahwa Al-Qur’an merupakan sumber dan pendukung utama kesetaraan gender, yang selama ini lebih banyak diinterpretasikan dengan perspektif patriarkis sehingga produk tafsirpun kental dengan nilai-nilai patriarkis yang merendahkan perempuan.
24 Nina Nurmila, PhD dalam Islam Agama Keadilan, www.komnasperempuan.or.id, 201525 Seperti dikutip oleh Nina Nurmila, PhD dalam Islam Agama Keadilan, Komnas Perempuan, 201526 Menurut Karam, feminis Islamis adalah para perempuan yang aktif di organisasi Islamis seperti
Ikhwanul Muslimin. Mereka sebenarnya menolak dikatakan sebagai feminis. Sedangkan feminis sekuler adalah mereka, baik Muslim atau bukan, yang lebih menggunakan instrumen hukum international seperti CEDAW atau DUHAM, bukan agama, sebagai dasar perjuangan mereka mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
70 Komnas Perempuan
Lantas seperti apa tafsir yang tidak bias gender atau tafsir yang dikategorikan adil gender? Tafsir Nasaruddin Umar terhadap suatu ayat bisa merupakan salah satu contohnya. Dalam bukunya yang berjudul “Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an”, Umar menjelaskan penemuan penelitiannya bahwa Al-Qur’an ketika menjelaskan tentang biologis/ kodrat, digunakan kata dzakar (male) untuk jenis kelamin laki-laki dan untsa’ (female) untuk jenis kelamin perempuan. Sementara untuk gender, digunakan kata rijaal (masculine) dan mar’ah atau nisa’ (feminine). Kata yang digunakan dalam QS 4: 34 di atas adalah rijaal dan nisa’. Rijaal artinya seseorang yang memenuhi kriteria tertentu.
Dalam kepemimpinan rumah tangga, seseorang bisa menjadi rijaal jika ia memenuhi dua kriteria yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu: (1) memiliki keunggulan dibanding pasangannya; dan
(2) menafkahkan hartanya. Keunggulan tersebut, di masa sekarang bisa dalam bentuk tingkat pendidikan ataupun penghasilan. Jadi seorang yang terlahir berjenis kelamin laki-laki (dzakar) akan tetap menjadi dzakar, bukan rijaal jika tidak memenuhi kriteria tersebut. Sebaliknya, walaupun berjenis kelamin perempuan (untsa’), namun jika ia dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka ia bisa menjadi rijaal. Jadi, menjadi rijaal itu dicapai, bukan terlahir begitu saja seperti yang diasumsikan oleh Ibn Kathir dan musafir lainnya. Dalam realitas sekarang, tidak sedikit perempuan yang berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi dari pasangannya dan menjadi pencari nafkah bagi keluarganya. Terlahir sebagai laki-laki tidak secara otomatis dapat memiliki kemauan dan kemampuan untuk menafkahi atau selalu berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi dari perempuan.
Memang pada umumnya rijaal itu laki-laki. Namun tidak semua laki-laki bisa menjadi rijaal. Dalam ilmu hadis, kata rijaal juga tidak selalu bermakna laki-laki, misalnya dalam istilah rijaal al-hadis (para ahli/ periwayat hadis), yang termasuk di dalamnya bukanlah hanya laki-laki, melainkan juga perempuan. Salah satu ahli hadis yang terkenal adalah `Aisyah, istri Nabi SAW.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pula banyak bukti, bahwa ketika suami, kepala keluarga tidak mampu menghidupi keluarganya (akibat PHK, misal), para istri menggunakan pikiran dan hatinya, menyingsingkan lengan baju berusaha keras agar seluruh keluarga tetap hidup. Kekuatan batin dan pikirannya menghasilkan akal dan ide untuk menyelamatkan keluarga. Pekerjaan apapun dilakukan seperti membuka warung makan, mencuci pakaian tetangga, menjadi buruh untuk pekerjaan apapun, jualan hasil produk apapun, dan lain-lain. Ada saja yang bisa dilakukan perempuan yang mempunyai mata batin kuat untuk menyelamatkan kehidupan keluarga. Mysticism (kebatinan) perempuan memberikan kepadanya kemampuan untuk menerobos men’s sacara mentalism
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
71 71 71Komnas Perempuan
yang berorientasi seksis dalam ajaran pernyelamatan dunia. Karya penyelamatan Allah bukan tanda-tanda buatan manusia yang hanya nampak lewat sakramen, tetapi harus dilihat, dialami, dirasakan dan kemudian dilanjutkan dengan menafsirkan relasi kosmik sebagai perempuan dan metakosmik sebagai laki-laki. Patriakhalisasi dalam Agama, merupakan pengingkaran dari realitas tanda-tanda (sacrament) dari alam semesta yang hanya dapat ditangkap dengan mata batin, hati nurani. Pengingkaran ini perlu dikembalikan melalui perubahan pandangan.
kosmik – Manusia –Metakosmik adalah sebuah rangkaian
Rahim dalam tubuh perempuan adalah kosmik bagi awal kehidupan manusia, merupakan mikro kosmik. Alam semesta sebagai rahim kehidupan semua ciptaan adalah makro kosmik. Manusia hidup berada dalam kosmik, baik mikro kosmik maupun mikro kosmik.
Hidup dalam kosmik, manusia berpikir, berkhayal, berimajinasi tentang tempat diluar kosmik, kejadian dan kehidupan di alam lain. Manusia berpikir tentang spiritualitas, religiositas, relasi transenden (relasi manusia dengan Sang Pencipta) yang mereka alami dan berimajinasi tentang keselamatan umat manusia. Hasil pengalaman berimajinasi ini merupakan pengetahuan metakosmik, kemudian berproses menjadi agama dari langit. Maka dibuatlah tanda, sakramen, instrumen, pranata kehidupan sosial, budaya dan agama dan ritual.
Dari analisis tersebut, keberadaan manusia berawal dalam micro kosmik, kemudian beralih kedalam macro kosmik melaksanakan hasil pengetahuannya tentang metakosmik dalam macro kosmik. Manusia sama sekali tidak pernah berada “di luar” kosmik. Jadi relasi kosmik, manusia, metakosmik adalah merupakan rangkaian yang menyatu (wholistic). Metakosmik adalah kekuatan hati manusia yang muncul dari mimpi kita, melalui imajinasi, kita gapai melalui intuisi, kita tentukan strateginya melalui pikiran dan kita laksanakan dalam kehidupan melalui usaha sendiri atau usaha kolektif. Kekuatan ini merupakan power within setiap manusia. Jadi keselamatan manusia dapat dimengerti sebagai rangkaian kosmik – manusia – metakosmik yang menyatu. Metakosmik harus diakui sebagai “hari depan yang tersembunyi” dari saat kini, berada diluar batas aktivitas manusia, namun berada dalam kosmik. Power within ini merupakan kapasitas relasi tansenden seseorang yang akan mempengaruhi relasi imanen (relasi manusia dengan sesama dan ciptaan lain). Kekuatan relasi imanen merupakan power to, dan akan berproses membentuk kekuatan kolektif (power with) dalam komunitas.
Menurut Pieris, ada perbedaan relasi manusia dengan kosmik antara laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan mikro kosmik dan makro kosmik berangkai, karena ketika perempuan lahir, masuk kedalam makro kosmik, ia membawa mikro kosmik (rahim)nya.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
72 Komnas Perempuan
Berbeda dengan laki-laki, ketika laki-laki lahir masuk kedalam makro kosmik, ia terputus dengan mikro kosmik ibunya. Perbedaan ini membuat perempuan mempunyai kekuatan batin yang mampu menembus sacramen27 buatan laki-laki. Perbedaan ini bukan perbedaan yang dikotomi (dipertentangkan), tetapi merupakan perbedaan yang berkesinambungan, seperti halnya rangkaian air, tanah, api dan angin, saling berkaitan, saling membantu, saling mengisi dan berperan kolektif.
Penutup
Dengan menarik benang merah dari uraian tentang Feminisme di atas, kita dapat memahami pengertian Feminist potential. Feminist potential ada di dalam diri seorang perempuan yang sungguh-sungguh menyadari dirinya sebagai Jejer Wadon 28. Jejer Wadon adalah bahasa Jawa yang berarti perempuan sejati, perempuan sungguhan, perempuan yang sadar bahwa dirinya perempuan, bukan perempuan hasil konstruksi sosial budaya patriakhat, bukan pula perempuan yang sama dengan laki-laki atau perempuan yang mengambil alih pandangan serta cara berpikir laki-laki. Istilah jejer wadon sangat sarat mengandung filosofi, jadi untuk memahami pengertiannya dibutuhkan sentuhan batin, refleksi mendalam. Perempuan sejati mempunyai kesadaran menyeluruh, kesadaran spiritual, psikologis dan biologis (tubuh perempuan). Ia sudah pulih dari gyne-phobia, dan mengubah ketakutan menjadi kekuatan; phobi perempuan (=rahim) dirubah menjadi kekuatan rahim. Ia memahami bahwa ketegangan antara air dan api merupakan ketegangan antara perempuan dan laki-laki. Kosmik memberi simbol api untuk laki-laki berkaitan dengan awal mula manusia mencari makanan bagi laki-laki adalah berburu dan menangkap ikan. Api merupakan kebutuhan sangat penting bagi mereka untuk memelihara senjata. Air simbol perempuan karena air kebutuhan penting untuk perempuan haid dan melahirkan. Ketegangan yang membuat sublimasi ketakutan ini merupakan kekuatan perempuan (air) dan ketakutan laki-laki (gelap). Ketakutan laki-laki ini tersublimasi dan memunculkan api sebagai gairah seksual, untuk menguasai perempuan. Ceritera semacam ini terungkap dalam mitos-mitos yang dipelajari dalam antrophologi. Psikologi mempelajari hal ini dalam tafsir mimpi, tetapi umat beragama tidak pernah menyebutnya dalam upacara agama. Pulih terhadap phobi (ketakutan) ini berarti ia mampu mengelola api (gairah seks laki-laki) ini29 .
27 Sacramen disini dimaksudkan pranata kehidupan ciptaan sosial budaya (Gender) perspektif maskulin.28 Penulis sengaja memilih istilah ini. Istilah “Jejer Wadon” dipilih oleh kawan-kawan feminis dari Solo
sebagai nama komunitasnya.29 Dalam mitos diceriterakan bahwa perempuan dapat mengelola/ memanipulasi api menjadi alat
memasak, menyiapkan masakan matang
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
73 73 73Komnas Perempuan
Perempuan sejati sadar karena mengalami dan mampu merasakan relasi kosmik – manusia meta kosmik sebagai sebuah rangkaian yang tidak putus. Ia mampu menerapkannya dalam kehidupan secara konkrit sebagai siklus kehidupan mati-bangkit. Kesadaran tersebut membuat ia mampu melakukan relasi transenden (meta kosmik) melalui hati nurani, sekaligus melakukan relasi imanen dengan isi kosmik.
Feminist potential ini memberi ciri pada perjuangan Feminisme mulai dengan mimpi, berimajinasi, kemudian menggapainya dengan intuisi (refleksi mendalam menggunakan hati nurani), kemudian menentukan strategi dengan nalarnya dan melakukan usaha kolektif untuk mencapai tujuan. Oleh karena ciri Feminisme adalah permanen, maka tujuan akhirnya adalah keselamatan seluruh umat manusia dan seluruhciptaan.
*********
APM. Agustus, 2014
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
74 Komnas Perempuan
DAFTAR PUSTAkA
Bun, H (2009) ‘300 Game Kreatif Team, untuk membangun dan membentuk tim yang solid’. Yogyakarta: Gradien Mediatama.
Pedoman P2KP – III, (2005). Pemberdayaan. Membuka Hati Nurani. www.p2kp.org. Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya. Jakarta.
Papu, J. (2004 ) Teamwork. Retrieve: www.e-psikologi.com.
Ruhi Foundation, (1995). Reflections on the Life of the Spirit. Florida, USA. Palabra Publications.
Seligman & Peterson (2004).Character Strenghts and Virtues, A Handbook and Classifications. American Psychological Association. New York, Oxford University Press.
Sihombing & Aminah (2011.), The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), www.mitrahukum.or.id , www.indonesiatoleran.or.id. Jakarta.
Simamora. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Widjaja, HP. (2008). Integritas antara Sense of Belonging dan Integritas pada Karyawan yang Bekerja di Perusahaan Milik Keluarga Sendiri. Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Wong.p. (2011). The Positive Psychology of Meaning in Life and Well Being, E-Mail: http;//drpaulwong.com.
Materi dan bahan-bahan modul Perkuliahan (2010), Fakultas Magister Profesi Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Http://www.hujangede.com/2012/02/kata-kata-motivasi-2012-motivasi-cinta.htm
Words of wisdom www.google.com
Golden Rules dari Kitab-Kitab Suci semua Agama dan Kepercayaan.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
75 75 75Komnas Perempuan
Baha’i Holy Writings and Principles- (Loh Hikmat)
Aloysius Pieris, SJ, “Fire & Water , Basic issues in Asian Buddhism and Christianity”, Orbis Book, Maryknoll, New York (1996).
Anne M. Clifford, “Memperkenalkan Teologi Feminis”, (terjemahan), Penerbit Ledalero, Maumere, (2002)
Virginia Fabella, editor, “Asia’s Struggle for Full Humanity”, Orbis Book, Maryknoll, New York (1979)
Dokumen APM, Agustus, (2014)
Dokumen RUMAH BELAJAR, FLC – SP, Oktober (2014)
Modul Healing of Memories edisi Kedua Juli (2005)
Nina Nurmila, PhD (2015). Islam Agama Keadilan. Makalah yang dipublikasikan di website Komnas Perempuan; www.komnasperempuan.or.id
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
76 Komnas Perempuan
Lampiran 1
Jaminan Perlindungan Hak kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan kontradiksinya30
a. Landasan Perlindungan
Kebebasan beragama/ berkeyakinan adalah hak asasi manusia yang fundamental, yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable right). Dalam hal ini, Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menjamin hak fundamental tersebut, yang secara eksplisit disebutkan dalam beberapa pasal, yaitu:
• Pasal 28 E Ayat 1 menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beriba-dat menurut agamanya Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali….”
• Pasal 28 E Ayat 2, bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
• Pasal 28 I Ayat 1 menyebutkan bahwa “(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun....hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
• Pasal 29 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Di samping itu, Indonesia juga memiliki sejumlah Undang-Undang yang dapat memperkuat pengakuan dan perlindungan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005
30 Dicuplik dari Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama, Jakarta: Komnas Perempuan, 2015.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
77 77 77Komnas Perempuan
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Instrumen Hak Asasi Manusia lainnya yang mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan adalah, Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan dan juga UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Konstitusi, khususnya Pasal 28I Ayat 4 memandatkan ”Perlindungan, pemajuan, penega-kan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah.” Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan jaminan kepada setiap individu untuk bebas berkeyakinan, dan memberikan kebebasan beribadah bagi setiap individu maupun kelompok. Kewajiban negara ini juga kembali ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Pasal 8 disebutkan
”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah,” dan Pasal 71 “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.”
Selintas, pengakuan dan jaminan Konstitusional atas hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, senafas dengan pengakuan internasional terhadap hak tersebut. Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948) menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain di muka umum maupun ruang privat, untuk memanifestasikan agama atau keyakinan itu dalam pengajaran, praktik, ibadah dan pengamalannya.”
Agama atau keyakinan yang dimaksud di dalam DUHAM tidak hanya sebatas pada agama dalam pengertian sempit. Baik agama langit maupun yang muncul di bumi (dalam disiplin Islam disebut agama samawi dan agama ardhi), yang monoteistik maupun politeistik dan nonteistik, semuanya memiliki hak yang sebanding untuk memperoleh perlindungan dari negara. Bahkan, yang tidak mempunyai agama atau keyakinan pun mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini ditegaskan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), yang telah disahkan dalam hukum nasional melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Lebih lanjut, dalam Komentar Umum No. 22 (1993) Komite HAM PBB tentang Pasal 18 dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan mencakup:
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
78 Komnas Perempuan
(1) Kebebasan menganut atau memilih agama atas kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pengamalan, pelaksanaan dan pengajaran;
(2) Kebebasan dari pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya;
(3) Kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan hanya apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain;
(4) Kebebasan orang tua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Instrumen lain yang mengatur jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ keyakinan (Declaration on The Elimination of all Form of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981. Sekalipun jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dalam Deklarasi ini diatur dengan lebih rinci, namun karena bentuknya deklarasi, maka sifatnya tidak mengikat (non binding) bagi negara pihak. Meskipun demikian, deklarasi ini memiliki kekuatan moral dalam praktek hubungan internasional pada umumnya, karena mencerminkan konsensus yang luas dari komunitas internasional.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
79 79 79Komnas Perempuan
Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi atas Dasar Agama atau Keyakinan (1981):
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Hak ini termasuk kebebasan memeluk agama atau keyakinan apapun sesuai dengan pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu atau berkelompok, secara tertutup atau terbuka, mengejawantahkan agama atau keyakinannya dalam bentuk ibadat, ritual, praktik dan pengajaran;
(2) Tak seorangpun boleh mendapat paksaan yang bisa mengganggu kebebasannya memeluk agama atau keyakinan pilihannya;
(3) Kebebasan seseorang untuk menjalankan agama atau keyakinannya hanya bisa dibatasi oleh ketetapan hukum dan penting untuk melindungi keselamatan, ketentraman dan moral publik serta hak dan kebebasan dasar orang lain.
Dalam konteks intolerasi, perlu ada perhatian khusus pada perlindungan hak-hak asasi perempuan. Sebagai anggota komunitas minoritas misalnya, perempuan mengalami diskriminasi berlapis, baik karena sebagai warga komunitas minoritas, juga karena ia perempuan. Karenanya, peningkatan intensitas intoleransi dan kekerasan terhadap komunitas minoritas agama, juga akan berbanding lurus dengan bertambahnya kerentanan perempuan anggota komunitas tersebut terhadap diskriminasi dan kekerasan.
Di tingkat internasional, pengakuan hak perempuan sebagai hak asasi manusia berakar pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang muncul pada tahun 1947 dan disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Sementara itu, konvensi spesifik utama yang berkenaan dengan kaum perempuan adalah Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang ditandatangani pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara menyetujuinya. Sebelum itu, pada tahun 1967, Perserikatan Bangsa-Bangsa merespon diskriminasi terhadap perempuan yang masih saja terus berlangsung, dengan mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan yang berdasarkan Resolusi 22/ 2263. Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi pengakuan secara universal dan hukum terhadap persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Menurut CEDAW, yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, faktor yang mempengaruhi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan adalah
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
80 Komnas Perempuan
prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan yang berdasarkan pada stereotip berbasis gender, yaitu konstruksi sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi, dalam Pasal 1 CEDAW didefinisikan sebagai:
“...pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin yang memiliki dampak atau dengan tujuan untuk mengurangi atau mengabaikan pengakuan, penikmatan dan penggunaan oleh perempuan, terlepas dari status perkawinannya, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi dan kemerdekaan fundamental mereka di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan lainnya.”
Pasal dua Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menyebutkan bahwa negara-negara yang menjadi para pihak bersepakat untuk dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda mengupayakan satu kebijaksanaan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan itu:
a. Memuat prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan di dalam Undang-Undang Dasar mereka, atau perundang-undangan yang lain yang relevan dan menjamin melalui ketentuan lainnya, pelaksanaan praktis dari prinsip ini;
b. Mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang tepat, termasuk pemberian sanksi bila perlu, untuk melarang segala macam diskriminasi terhadap perempuan;
c. Membangun perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan dengan laki-laki dan memastikan melalui pengadilan yang kompeten dan insitusi publik lainnya perlindungan yang efektif bagi perempuan dari segala bentuk diskriminasi;
d. Menahan diri untuk tidak melibatkan diri pada tindakan atau praktik yang mendiskriminasikan perempuan dan memastikan otoritas dan institusi publik bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
e. Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi yang dilakukan oleh seseorang, organisasi atau perusahaan;
f. Mengambil segala langkah yang tepat, termasuk legislasi untuk mengubah atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan dan praktek yang ada, yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan;
g. Mencabut pengaturan dalam hukum pidana yang mendiskriminasikan perempuan
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
81 81 81Komnas Perempuan
Pasal-pasal CEDAW selanjutnya (3-16) mengelaborasi isu dan sektor yang perlu menjadi perhatian dan intervensi negara untuk memastikan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan terwujudnya keadilan gender. Untuk mencapai keadilan gender yang substantif, maka arah intervensi harus menukik tidak saja pada diskriminasi yang tertuang dalam hukum (diskriminasi de jure), tetapi juga dalam realitas kehidupan sehari-hari (diskriminasi de facto), yang menyebabkan perempuan secara langsung maupun tidak langsung mengalami pembedaan dalam penikmatan hak-hak asasinya yang setara dengan laki-laki.
Dalam pemahaman tentang Konvensi ini, sebagaimana dijelaskan dalam Rekomendasi Umum No. 19 (1992), definisi tentang diskriminasi juga memuat pemaknaan pada kekerasan terhadap perempuan. Pemaknaan ini dipandang penting karena tidak secara serta-merta negara menangkap keterkaitan yang erat antara diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan berbasis gender, dengan pelanggaran hak-hak asasi dan kemerdekaan fundamental yang dialami perempuan. Pemaknaan ini awalnya diadopsi dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan, yang pada Pasal 1 menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah:
“setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.
b. kebijakan Diskriminatif karena dan Berakibat Intoleransi dan Pelanggaran Hak kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Berangkat dari instrumen hak asasi manusia tersebut di atas, maka pengertian kebebasan beragama/ berkeyakinan meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya sendiri, kebebasan secara sendiri maupun bersama orang lain untuk menjalankan ibadah agama atau keyakinan sesuai yang dipercayainya, serta mematuhi, mengamalkan dan mengajarkan secara terbuka atau tertutup, termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, bahkan untuk tidak memeluk agama atau keyakinan sekalipun. Indonesia sebagai negara pihak dalam hukum internasional hak asasi manusia, berkewajiban untuk menghormati dan melindungi kebebasan setiap orang atas agama atau keyakinan, tanpa kecuali.
Dalam kenyataannya, kewajiban negara atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, tidak dapat diwujudkan secara utuh. Hambatan utama terletak pada payung hukum yang
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
82 Komnas Perempuan
multitafsir dalam menjamin hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Dalam hal ini Konstitusi Indonesia, UUD Tahun 1945 Pasal 29 Ayat 1 menyebutkan, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Ayat 2 menyebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal ini kerap ditafsirkan sebagai kewajiban bagi setiap warga negara untuk beragama monoteistik dan negara harus dikelola dengan prinsip-prinsip ke-Tuhanan.
Situasi ini diperburuk dengan diberlakukannya Penetapan Presiden Republik Indonesia tahun 1959, yang kemudian dikukuhkan sebagai Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, sebagai tafsir dari Pasal 29 UUD 1945. Peraturan ini mempidan akan orang/ pihak yang dianggap melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgu-naan agama atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Kriminalisasi perbuatan ini diadopsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156a, yang menyebutkan:
“Barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan rakyat Indonesia dimuka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
UU No. 1/PNPS/1965 ini bermasalah, karena menjadi landasan untuk membedakan antara “agama resmi” negara Indonesia dengan agama lainnya. Pada penjelasan Pasal 1 dari peraturan ini disebutkan, bahwa agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu (Confusius). Keenam agama ini selain mendapatkan jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, juga mereka mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Pemilihan agama resmi ditegaskan melalui Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 dan Surat Mendagri nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990 yang menyatakan bahwa hanya lima agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Karena dianggap “tidak resmi”, maka bukan saja agama-agama di luar keenam agama tersebut di atas tidak mendapat fasilitas negara, bahkan ada agama yang dianggap ilegal dan karenanya tidak boleh hidup di Indonesia. Sebagai contoh, antara 1967 – 2000 Confusius pernah dinyatakan terlarang berdasarkan Inpres No. 14 Tahun 1967. Larangan tersebut akhirnya dicabut melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
83 83 83Komnas Perempuan
Berlandaskan UU No. 1/PNPS/1965, negara juga memiliki pandangan yang bukan saja membedakan, tetapi merendahkan badan/aliran kebatinan, karena “Pemerintah menganggap perlu menyalurkannya ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Dalam administrasi kependudukan, penganut aliran kebatinan dan agama leluhur, diatur secara berbeda dan ditangani oleh instansi yang berbeda pula. Dari sini terlihat, bahwa tafsir negara terhadap Pasal 29 Konstitusi yang hanya
mengakui agama resmi, telah menimbulkan terjadinya diskriminasi terhadap pemeluk dan menganut agama/ keyakinan di luar agama/ keyakinan resmi Negara, dan berarti berlangsung tindak pelanggaran HAM terhadap umat beragama di Indonesia.
Pada paska Orde Baru, upaya memperbaiki inkonsistensi negara dalam pelaksanaan kewajiban perlindungan hak kebebasan beragama, belum juga berhasil. Permohonan Judicial Review UU No.1/PNPS/1965 berujung pada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 yang menyebutkan bahwa, dengan satu dissenting opinion, UU tersebut konstitusional. Keputusan tersebut mengacu pada Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pembatasan yang diperbolehkan adalah
“...Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pembatasan-pembatasan inilah yang sering dipakai sebagai alasan pembenaran untuk menghakimi kelompok minoritas dengan tuduhan melanggar nilai-nilai agama dan mengganggu ketertiban umum. Hal ini tentunya berbeda dari makna pembatasan serupa bila membaca penjelasan dari Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Dengan tetap berlakunya UU No.1/PNPS/1965, maka tindak pelarangan penyebarluasan ajaran agama, bahkan kriminalisasi pada kelompok minoritas agama, dapat terus berlangsung. Dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah misalnya, inkonsistensi negara diikuti tindak kekerasan yang berujung pada penghilangan nyawa dan pengusiran paksa, yang akan lebih banyak dielaborasi pada bagian berikutnya dari laporan ini.
Inkonsitensi negara juga tampak dalam hal pengaturan pendirian rumah ibadah. Pada September tahun 1969, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri No.1/BER/MDN-MAD/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. SKB
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
84 Komnas Perempuan
ini memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memberikan ijin pembangunan rumah ibadah. Sekalipun berlaku untuk semua, namun SKB ini memberikan dampak berbeda bagi kelompok minoritas agama. Situasi ini memunculkan tuntutan masyarakat kepada pemerintah agar merevisi SKB No. 1/1969. Hasil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 2006 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutan disebut PB 2 Menteri).
Peraturan bersama 2 Menteri mendapat tentangan dari sejumlah pihak, baik organisasi keagamaan maupun kemasyarakatan karena multitafsir sehingga dapat menjadi alasan untuk melakukan tindak intoleransi dengan cara menghalangi pendirian, menutup dan merusak rumah ibadah kelompok minoritas agama. Upaya menghalangi pendirian juga dilakukan melalui jalur administrasi yang sengaja dipersulit, dengan cara mengulur-ulur waktu untuk mengeluarkan surat ijin mendirikan bangunan (IMB). Sejumlah persoalan di dalam Peraturan bersama 2 Menteri dapat dibaca dalam penjelasan boks 1.
Boks 1Lokus Diskriminasi dalam Pasal-pasal Peraturan Bersama 2 Menteri No 8 & 9
Tahun 2006 terkait aturan pendirian rumah ibadah:
1. Peraturan Bersama 2 Menteri yang terdiri dari 30 pasal dengan mengacu pada 15 produk hukum sebagai landasan yuridisnya ini, menimbulkan kontroversi di dalamnya. Misalnya dalam pasal 13 (1) disebutkan: pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang ber-sangkutan di wilayah kelurahan/ desa. Hal ini mengandung makna membatasi pendirian rumah ibadah dengan alasan “keperluan nyata dan sungguh-sungguh” yang tidak jelas kualifikasinya.
2. Pada pasal 4 ayat 3 SKB No. 1/1969 tentang aturan pendirian rumah ibadah disebutkan (3). “apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/ rohaniawan setempat.” Ayat 3 tersebut ditafsirkan berbeda-beda oleh kelompok-kelompok tertentu, dan pada prakteknya Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota serta organisasi keagamaan memakai ayat 3 ini untuk menghalangi pendirian rumah ibadah. Kata “setempat” di dalam ayat 3
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
85 85 85Komnas Perempuan
tersebut juga tidak dijelaskan ruang lingkupnya, sehingga yang terjadi di lapangan, organisasi yang menghalangi pendirian rumah ibadah justru datang dari Kecamatan atau Kabupaten lain.
3. Pasal 14 ayat 1 terkait syarat administrasi dan teknis yang meliputi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang dan didukung masyarakat setempat paling sedikit 60 orang, yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Pasal ini perlu mendapat perhatian: pertama, jumlah KTP pengguna rumah ibadah boleh dalam wilayah satu desa/kelurahan. Jika jumlah 90 orang tidak tercapai di satu desa atau kelurahan, maka batas wilayah diperluas menjadi kecamatan, jika batas kecamatan tidak terpenuhi maka diperluas menjadi kabupaten/kota. Dan ayat 2 huruf d yang menyebutkan syarat rekomendasi tertulis dari FKUB Kabupaten/Kota menunjukkan, bahwa negara menyerahkan otoritas administrasi pendirian rumah ibadah kepada forum atau institusi non negara, dalam prakteknya FKUB justru sebagai pihak pertama yang menghalangi-halangi pendirian rumah ibadah.
4. Pasal 17 menyebutkan, pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah. Inkonsistensi pembentukan peraturan ini mencampuradukkan antara pengaturan pendirian rumah ibadah dengan soal tata ruang. Jika ijin mendirikan rumah ibadah adalah soal tata ruang maka seharusnya tidak diperlukan adanya persetujuan warga dengan bukti tanda tangan, tapi seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memeriksa perencanaan tata ruang sebuah wilayah.
5. Pasal 18,19,20 yang mengatur ijin sementara pemanfaatan bangunan gedung ibadah, seharusnya tidak perlu ada ijin lagi, apalagi kalau ijinnya harus dikeluarkan oleh Bupati/ Walikota, karena pada prakteknya proses pengurusan gedung bangunan ini membutuhkan waktu yang lama sekali, bahkan ada yang ijinnya tidak pernah diberikan.
Sumber Mengenal lokus diskriminasi dalam PBM 2 Menteri, Setara Institute, 23 September 2010
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
86 Komnas Perempuan
Lampiran 2
Pengalaman kekerasan dan Diskriminasi Perempuan Minoritas Agama dan Hak-Hak konstitusional yang Dilanggar31
Dalam situasi intoleransi yang diwarnai dengan berbagai tindak intimidasi dan juga penyerangan, kerentanan atas kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama (lihat Diagram 1). Seperti juga anggota komunitas yang laki-laki, mereka harus menghadapi situasi penyerangan dan intimidasi yang memposisikan mereka berhadapan dengan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Namun, perempuan juga berhadapan dengan bentuk dan dampak kekerasan yang khas karena jenis kelamin dan gendernya. Posisinya di dalam keluarga dan di komunitas juga membedakan pengalamannya akan kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak konstitusional kebebasan beragama.
31 Muatan dalam lampiran ini adalah ringkasan dari Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konsti-tusional Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama, Jakarta: Komnas Perempuan, 2015.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
87 87 87Komnas Perempuan
Diagram 1
Ranah dan Bentuk kerentanan Perempuan Minoritas Agama pada kekerasan dan Diskriminasi secara umum maupun yang khas berbasis gender
• KekerasanPsikis:TerordanIn midasi• KekerasanSeksual:EjekandanAncaman
BernuansaSeksual• KekerasanFisik:dipukul,dilempar,didorong• Pemiskinan:pemerasan,pengrusakan
proper danpenjarahan,digangguruangusaha
• S gmadanPengucilan• Pengusiran
KekerasanPsikis:• diancamdenganperceraianataupoligami• dikucilkan
KekerasanPsikis:• In midasi• Pembiaran ndakkekerasan
KEKERASAN
Negara
Publik
Personal
• Dibedakandalamhakkemerdekaanberagama,termasukuntukmemelukkeyakinanmelaluikebijakanmaupunsikap&perilakuaparat
• Dihalangiuntukmemilikitempatibadah• Diabaikandalampengurusan
administrasikependudukan,termasukpencatatanperkawinan
• Dibedakandalammengakseslayananpublik,termasuklayanankesehatanreproduksi
• DicerabutSumberNa ah:Dimutasi,dipersulituntukmengaksesasetdidaerahasal
• Dibedakandalamaksespekerjaan:dipecat
DISKRIMINASI
Dalam pemantauan Komnas Perempuan, seluruh perempuan komunitas minoritas agama rentan menjadi korban kekerasan fisik saat terjadi penyerangan, terutama dilempari dan didorong-dorong. Perempuan pemimpin komunitas rentan menjadi target penganiayaan fisik; misalnya seorang pendeta perempuan melaporkan pemukulan yang ia alami ketika hendak membantu seorang pimpinan gereja yang menjadi korban penusukan. Juga, menjadi target penaklukan, misalnya dengan pemaksaan tanda tangan menyetujui
Kekerasan Psikis: Negara• Intimidasi• Pembiaran tindak kekerasan
Kekerasan Psikis: • Kekerasan Psikis: Teror dan Intimidasi• Kekerasan Seksual: Ejekan dan Ancaman
Bernuansa Seksual• Kekerasan Fisik: dipukul, dilempar,
didorong• Pemiskinan: pemerasan, pengrusakan
properti dan penjarahan, diganggu ruang usaha
• Stigma dan Pengucilan• Pengusiran Publik
Kekerasan Psikis: • Diancam dengan perceraian atau poligami• Dikucilkan
Personal
Kekerasan Psikis: • Dibedakan dalam hak kemerdekaan
beragama, termasuk untuk memeluk keyakinan melalui kebijakan maupun sikap dan perilaku aparat
• Dihalangi untuk memiliki tempat ibadah • Diabaikan dalam pengurusan administrasi
kependudukan, termasuk pencatatan perkawinan
• Dibedakan dalam mengakses layanan publik, termasuk layanan kesehatan reproduksi
• Dicerabut dari sumber nafkah: Dimutasi, dipersulit untuk mengakses aset di daerah asal
Dibedakan dalam akses pekerjaan: dipecat
KEKERASAN DISKRIMINASI
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
88 Komnas Perempuan
kehendak intoleran untuk tidak menghentikan ibadah bersama, baik di lokasi ibadah yang disengketakan maupun di rumah. Perempuan juga mengalami pemiskinan akibat pem-erasan, penjarahan dan perampasan sumber penghidupan yang hadir bersamaan dengan tindak intoleransi itu. Karena keyakinannya, perempuan yang bekerja sebagai guru dimutasi/dipecat dan ruang usahanya diganggu. Mereka yang mengungsi juga kemudian kehilangan seluruh akses pada aset dan hak milik di kampung asal.
Karena jenis kelaminnya dan posisinya sebagai simbol kesucian serta objek perlindungan komunitasnya, perempuan juga rentan kekerasan seksual, yaitu dalam bentuk ancaman perkosaan dan pelecehan seksual. Perempuan pengungsi, utamanya juga penyandang disabiltias, menjadi semakin rentan kekerasan karena situasi pengungsian yang serba penuh keterbatasan. Dalam posisinya sebagai istri, perempuan berhadapan dengan kekerasan rumah tangga dalam bentuk ancaman perceraian atau poligami jika tidak mau mengubah keyakinannya sesuai dengan kehendak suami atau keluarga besar. Akibat serangan ataupun kriminalisasi yang menyebabkan pasangannya meninggal dunia, cacat ataupun luka, perempuan dalam posisinya sebagai istri menjadi pencari nafkah utama dan/atau orang tua tunggal.
Situasi intoleransi juga dapat menempatkan perempuan minoritas agama menghadapi diskriminasi berlapis. Perempuan Ahmadiyah dan Bah’ai, khususnya, tidak dapat menikmati hak yang setara dalam layanan hukum dan pemerintahan, terutama dalam bentuk kesulitan memperoleh Kartu Tanda Penduduk dan dihambat untuk mencatatkan pernikahan. Meski ini dialami juga oleh laki-laki, dampaknya menjadi berbeda bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Apalagi, ketika mereka juga menjadi pengungsi. Ketiadaan KTP menyebabkan perempuan juga kesulitan mengakses layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Perempuan juga harus berhadapan dengan stigma “perempuan tidak bermoral” dan kehilangan perlindungan hukum dalam perkawinan yang tidak dicatat.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
89 89 89Komnas Perempuan
Diagram 2
Dampak kekerasan dan Diskriminasi yang Dialami Perempuan komunitas Minoritas Agama
Seluruh pengalaman kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi menyebabkan perempuan kehilangan rasa aman (lihat Diagram 2). Di tingkat personal, rasa aman terguncang karena terus diganggu keyakinannya dan/atau ibadahnya, mengalami trauma akibat penyerangan, luka fisik- bahkan ada yang keguguran-, dan juga pemiskinan. Di tengah trauma dan rasa takut akan adanya serangan berulang, perempuan korban intoleransi banyak menyuarakan kecemasan mereka pada pendidikan dan keselamatan anak, hubungan keluarga yang terganggu serta relasi sosial yang terkoyak. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pembakuan peran perempuan sebagai ibu yang didaulat memegang tanggungjawab utama atas pengasuhan anak dan merawat keluarga dan lingkungan.
Rasa aman semakin terguncang akibat posisi aparat negara dan aparat hukum yang kerap dinilai meneguhkan diskriminasi dan intoleransi berbasis agama, yaitu dengan turut menyegel rumah ibadah, tidak sigap dalam menghadapi kekerasan dengan alasan kekurangan personel, pendekatan keamanan yang menekankan pada kepatuhan kelompok minoritas pada kehendak kelompok intoleran, serta kriminalisasi atas dasar keyakinan seseorang. Apalagi, negara juga secara aktif melanggengkan diskriminasi berbasis agama lewat kebijakan di tingkat nasional maupun daerah dalam hal menghakimi keyakinan
Warga Negara* Kehilangan pengakuan dan perlindungan hukum
* Didiskriminasi saat mengurus administrasi* Tidak ada jaminan keamanan
Dalam Keluarga (Ibu-Istri)* Cemas pada pendidikan dan keselamatan anak
* Ancaman perceraian/ poligami* Terganggunya keharmonisan keluarga
* Pengucilan
Anggota Masyarakat
* Stigma, dikucilkan, diusir* Pemiskinan: dimutasi, dipecat, diganggu ruang usahanya* Tidak dapat beribadah bersama-sama
Pribadi
* Dipaksa pindah keyakinan dan/ atau diganggu saat ibadah* Keguguran, luka, sakit berkepanjangan, sedih* Trauma, terus merasa cemas akan ada serangan/ kekerasan* Pemiskinan: kehilangan aset akibat penjarahan dan pengrusakan
Hilangnya Rasa Aman
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
90 Komnas Perempuan
dan membatasi ruang untuk mendirikan rumah ibadah. Sikap negara yang cenderung berpihak pada kelompok intoleran juga tampil dalam hal penanganan pengungsi yang mensyaratkan korban mengubah keyakinan jika mau pulang ke kampung halaman, mengakses hak-hak miliknya di sana dan untuk memperoleh jaminan keamanan.
Dalam situasi ini dan dengan menggunakan bingkai hak konstitusional, yaitu hak-hak warga negara yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat diidentifikasi setidaknya ada 31 hak Konstitusional dari 12 rumpun Hak Konstitusional yang dilanggar (Lihat Diagram 3). Hal-hak yang dimaksud adalah:
1. Hak beragama yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, Pasal 28I Ayat 1
2. Hak atas bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, Pasal 28E Ayat 1
3. Hak atas kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu, Pasal 29 Ayat 2
4. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya, Pasal 28E Ayat 2
5. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, Pasal 28 I Ayat 16. Hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,
pasal 28E Ayat 2 7. Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, Pasal
28 dan Pasal 28E Ayat 3 8. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang tidak dapat dikurangi
dalam kondisi apapun, Pasal 28I Ayat 19. Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, Pasal 27
Ayat 1 10. Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, Pasal 28 D
Ayat 311. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
Pasal 28D Ayat 1 12. Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pasal 28D Ayat 113. Hak atas rasa aman, Pasal 28 G Ayat 114. Hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, Pasal 28 G Ayat 1
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
91 91 91Komnas Perempuan
15. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, Pasal 28G Ayat 2
16. Hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28A, 28I Ayat 1
17. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, Pasal 28 G Ayat 1
18. Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun, Pasal 28I Ayat 2
19. Hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, Pasal 28I Ayat 2
20. Hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, Pasal 28H Ayat 2
21. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 27 Ayat 2
22. Hak untuk bekerja dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, Pasal 28D Ayat 2
23. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, Pasal 28B Ayat 1
24. Hak hidup sejahtera lahir dan batin, Pasal 28H Ayat 1 25. Hak untuk bertempat tinggal, Pasal 28H Ayat 1 26. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Pasal 28H
Ayat 1 27. Hak memperoleh pelayanan kesehatan, Pasal 28H Ayat 128. Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat, Pasal 28H Ayat 329. Hak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun, Pasal 28H Ayat 430. Hak atas bebas memilih pendidikan dan Pengajaran, pasal 28E Ayat 131. Hak atas pendidikan, Pasal 31
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
92 Komnas Perempuan
Diagram 3
31 Hak konstitusional Perempuan Minoritas Agama yang Dilanggar Diagram 3
31 Hak Konstitusional Perempuan Minoritas Agama yang Dilanggar
Hak-hak Konstitusional tersebut di atas juga dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun 199 tentan Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Dalam konteks pelanggaran hak-hak tersebut, negara menjadi pelaku baik secara langsung melalui aksi aparatnya maupun secara tidak langsung, baik melalui kebijakan maupun pembiaran tindak intoleransi, kekerasan dan diskriminasi berkelanjutan.
78 Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan.
Modul Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi dalam Kontek Intoleransi dan Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
93 93 93Komnas Perempuan
Hak-hak Konstitusional tersebut di atas juga dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun 199 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Dalam konteks pelanggaran hak-hak tersebut, negara menjadi pelaku baik secara langsung melalui aksi aparatnya maupun secara tidak langsung, baik melalui kebijakan maupun pembiaran tindak intoleransi, kekerasan dan diskriminasi berkelanjutan.