odsrudq nkxvxv - pengadilan tinggi agamatera di direktori putusan kemudahan atau komitmen...

76

Upload: others

Post on 19-Jan-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Media Komunikasi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Edisi September Tahun 2013

laporan khususSelamat Ulang TahunMahkamah Agung

Opini WTP MA: Upaya Tak Kenal LelahSejarah itu Terukir di Tenggarong

DAFTAR ISI

- No. 2 Edisi September 2013 | 1

No. 2 Edisi September 2013

LAPORAN UTAMA5

WAWANCARA40

LAPORAN KHUSUS30

Sejarah terukir di Tenggarong ketika Ke tua MA meresmikan 39 pengadilan secara simbolis

Dr. Ahmad Kamil, SH, M.Hum: “Profesional itu mesti bermoral.”

Gegap gempita kemeriahan ulang tahun Mahkamah Agung yang ke-68 tahun.

Tunas Baru Pendekar Keadilan ..........................................36

KAMARBersiap Maksimal untuk Putusan TUN ...............................48

BUKUMencari Terobosan Pemberantasan Korupsi .....................50HAM adalah Anugerah Tuhan ............................................53

PUSTAKASosialisasi Pemberdayaan Perpustakaan ..........................54

TIRTAKembali pada Fitrah ...........................................................56Terapi Puasa sebagai Media Meraih Kemenangan ............57

OBITUARISelamat Berpulang, Hakim yang Rendah Hati ...................59

KOLOMKompetensi Pengadilan TUN dalam Sistem Peradilan di Indonesia ............................................................................62Kriminalisasi Hakim dalam UU no. 11 Tahun 2012 pasca- Putusan MK ........................................................................65

BERANDATak Seperti yang Mereka Kira ............................................67

RAGAMHarmonisasi Hukum menuju Masyarakat ASEAN 2015 .....68Menuju Transparansi Badan Peradilan ..............................71

Foto cover: Gedung Mahkamah Agung

SALAM REDAKSI

- No. 2 Edisi September 20132 |

PELINDUNGDR. H.M. HATTA ALI, SH., MH.DR. H. MOHAMMAD SALEH, SH., MH.DR. H. AHMAD KAMIL, SH., M.Hum.PEMBINAWIDAYATNO S. HARDJONO, SH., MSC.NURHADI, SH.,MH.DR. DRS. ACO NUR, MH.

PENANGGUNG JAWABKEPALA BIRO HUKUM DAN HUMAS

MAHKAMAH AGUNG RIPEMIMPIN REDAKSI

DR. RIDWAN MANSYUR, SH.,MH.REDAKSI

ASEP NURSOBAHLILIK MULYADIHIRFAN HILMI

ANDRI TATENGKENGKARTIKA SANDY TAURUS

DWI LISTIANINUR AZIZAH

IFAH ATUREDITOR

JOKO UPOYO PRIBADI, SH.M.E.R HERKI ARTANI R, SH.,MH.

SEKRETARIS REDAKSIDEWA NYOMAN SWASTIKA, SH.,MSi.

FOTOGRAFERDEVI SUGARA

PEPPY NOFRIANDISONNY FEBIANTO

KONTRIBUTOR DAERAHPENGADILAN NEGERI BANDA ACEH

PENGADILAN NEGERI MAKASARPENGADILAN NEGERI DENPASAR

SIRKULASI DAN DISTRIBUSIHIDAYAT, SH.

MUHAMMAD UDIN

DITERBITKAN OLEHBIRO HUKUM DAN HUMASBADAN URUSAN ADMINISTRASIMAHKAMAH AGUNG RIJl. Merdeka Utara No. 9-13JAKARTA 10010Telepon: 3843348, 3810350, 3457661www.mahkamahagungri.go.id

Selamat Ulang Tahun MA

Assalamualaikum wr.wb. TIADA kata yang paling indah yang bisa kami ucapkan pertama kali, selain bersyukur kepada Allah SWT atas segala hidayah dan taufik yang telah dianugerahkan kepada kita semua. Pada edisi ini, kami menyajikan Laporan Khusus tentang kegiatan ulang tahun Mahkamah Agung, yang pada 19 Agustus 2013 berusia 68 tahun. Ulang tahun kali ini diberi tema “Dengan semangat keterbukaan dan kebersamaan mewujudkan badan peradilan modern dan agung”. Aca-ra dimulai dengan kegiatan senam bersama dan dimeriahkan dengan door prize, yang diikuti oleh pimpinan MA, hakim agung, hakim ad hoc, hakim yustisial, dan seluruh pegawai MA. Majalah Mahkamah Agung edisi kedua ini juga menyajikan Laporan Uta-ma tentang peresmian beberapa gedung peradilan di Tenggarong. Selain me-ngetengahkan berita tentang gedung dan sarana prasarana pengadilan yang baru, tak kalah pentingnya meretas kembali keberadaan dan perkembangan Sistem Informasi Penelusuran Perkara atau Case Tracking System serta kese-riusan kerja pada pengadilan untuk mempermudah akses pelayanan publik, khususnya pada manajemen perkara berbasis informasi tekhnologi (IT). Tim redaksi berusaha memberikan beragam informasi teknologi bagi para pemba-ca yang budiman, untuk memperoleh segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang peradilan. Memang, mengubah suatu keadaan menjadi jauh lebih baik bu-kan perkara mudah. Butuh kerja keras serta kerja sama antarpemangku kepentingan. Tapi di MA, komitmen dan keseriusan kerja tersebut terbukti telah membuahkan hasil, predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan Mahkamah Agung. Itu membuktikan “Kita pasti bisa ka-lau bila bekerja sama dan tetap pada komitmen untuk menuju peradilan yang agung”. Terakhir, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang memba-ngun dari pembaca sekalian. Semoga karya yang sederhana ini tidak ha-nya sederhana manfaatnya, tetapi memiliki manfaat yang besar bagi kita semua dan nilai tinggi terutama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Selamat membaca. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pemimpin Redaksi

- No. 2 Edisi September 2013 | 3

KAMI sampaikan selamat dan apresiasi atas terbitnya Media Komunikasi Mahkamah Agung RI “MAHKAMAH AGUNG” No. 1 Edisi Mei Tahun 2013 di bawah komando Bapak Dr. Ridwan Mansyur, SH., MH. Majalah ini, sekecil apapun, akan memiliki nilai informasi dan komunikasi, terlebih tatkala terbi-tan tersebut dapat bermutu akan menjadi referensi yang baik bagi pembacanya. Semoga media MA dapat mendorong teman-teman seprofesi untuk rajin menulis, yang sangat ber-manfaat bagi pengembangan dirinya, karier maupun untuk kepentingan kantor sendiri. Kata orang bijak, sesungguhnya menulis adalah ketrampilan dasar yang mestinya dimiliki se-tiap orang dan merupakan satu paket “catur tunggal”, yaitu ketrampilan: mendengar, berbicara, membaca dan menulis.

Supriyanto (Pustakawan Utama, Perpustakaan Nasional RI)

Saya ucapkan selamat atas diterbitkannya Majalah Mah-kamah Agung edisi pertama. Barangkali, inilah jalannya Mahkamah Agung memberi jawab an positif terhadap ma-syarakat yang memiliki kesan bahwa Mahkamah Agung itu hidup di menara gading. Majalah ini dapat menggambar-kan peng adilan yang baru di bawah kepemimpinan yang baru. Saya usulkan, untuk meningkatkan mutunya, sebai-knya Redaksi menerima naskah dari pihak luar Mahkamah Agung sendiri. Dan kalau bisa, isinya diperkaya dan hala-mannya ditambah.

Julius Barus (editor di sebuah penerbitan)

Saya ucapkan selamat atas terbitnya edisi perdana majalah Mahkamah Agung. Selain sebagai media komunikasi bagi seluruh aparatur peradilan, majalah ini dapat menjadi sarana pembinaan dan sarana pembelajaran. Terbitnya majalah ini menambah ruang kreativitas bagi aparatur peradilan. Maka alang kah baiknya bila semua aparatur peradilan memanfaat-kan ruang ini untuk berkarya. Saran saya, mungkin ada baik-nya, jika pimpinan MA memberikan apresiasi bagi para penu-lis dengan memasukkan keberhasilan mereka memasukkan karya tulis di majalah ini sebagai credit point. Dengan demiki-an, aparatur peng adilan akan berlomba-lomba menulis.Dr. Marsudin Nainggolan (Wakil Ketua PN Bogor)

Selamat kepada Redaksi atas keberhasilannya menerbit-kan Majalah Mahkamah Agung. Semoga majalah ini se-nantiasa hadir mewujudkan misi Mahkamah Agung menuju peradilan yang benar-benar agung. Terbitnya majalah ini tentunya akan memberikan manfaat bagi aparatur peng-adilan. Dra. Starlita (dosen di Jakarta)

Apreasi dan kegembiraan saya atas terbit majalah Mah-kamah Agung sebab akan sangat membantu sosialisasi kinerja Mahkamah Agung RI selaku pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Khususnya bagi seluruh hakim di Indonesia, majalah ini dapat menjadi media informasi, ko-munikasi, peningkatan profesionalitas. Harapan saya dapat lebih ditingkatkan isi, materi, keterlibatan hakim se-Indone-sia. Sukses selalu.

Drs. Anshoruddin, MA (hakim Pengadilan Tinggi Agama Semarang)

Keluarga besar Pengadilan Tinggi Agama Semarang beserta segenap jajaran MEDIASI (Media Komunikasi dan Informa-si) Pengadilan Tnggi Semarang mengucapkan selamat dan sukses atas terbitnya nomor pertama majalah Mahkamah Agung. Diharap kan majalah ini mampu memberikan pence-rahan dalam rangka terwujudnya peradilan yang agung yang kita dambakan. Drs. H. Wildan Suyuthi, SH., MH. (Ke-tua Pengadilan Tinggi Agama Semarang)

Saya mengucapkan selamat atas launching majalah Mah-kamah Agung. Kami warga masyarakat ikut mendukung ide positif ini dalam rangka pembangunan hukum nasional. Alangkah baiknya kalau kami sebagai warga masyarakat diberi ruang dalam majalah ini untuk berbagi wacana, meskpun majalah ini forum para hakim.

Yusron Trisno (Surakarta)

Majalah Mahkamah Agung merupakan sebuah langkah maju bagi perkembangan informasi di lingkungan Mahka-mah Agung. Warga MA bisa saling membangun dengan

SURAT PEMBACA

- No. 2 Edisi September 20134 |

berbagi informasi, peng alaman, maupun penyelesaian masalah hukum melalui media ini. Semoga media ini bisa terbit secara kontinu.

Agus Yudo W. (Pustakawan Politeknik Kese-hatan Bandung)

Pertama, kami mengucapkan selamat atas terbit nya ma-jalah MA RI. Majalah ini tentu akan sangat bermanfaat sebagai sarana komunikasi inter stakeholders di MA dan antara stakeholders di luar MA.

Ketika kami berkunjung ke MA membawa sejumlah maha-siswa kami sangat terkesan karena ternyata di MA tersedia perpustakaan yang sangat bagus dan majalah MA. Kami berharap ke depan akan ada kerjasama lain antara institusi kami Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogya-karta dan Mahkamah Agung. Bentuknya dapat kerjasama penyelenggara seminar, penelitian, atau apa saja. Sobirin Malian, SH.,M.Hum (Dekan FH UP 45 Yogyakarta)

Redaksi menerima artikel ilmiah tentang hukum dan laporan kegiatan di lingkungan peradilan. Naskah harus asli dan belum pernah dimuat di media manapun. Naskah dikirim ke alamat redaksi:

Perpustakaan Mahkamah Agung RIJl. Medan Merdeka Utara no. 9-13

JAKARTA 10010Telepon: 3843348, 3810350, 3457661

- No. 2 Edisi September 2013 | 5

S

EJARAH ITU TERUKIR DITENGGARONG

PAGI Itu sejarah baru terukir di Tenggarong, Kalimantan Timur. Di kota kaya minyak itu, sebuah bangun an megah berdiri dan meng-undang banyak perhatian, bahkan kekaguman. Bangunan yang menja-di pusat perhatian itu adalah gedung Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong. Ia tidak saja megah, tetapi juga men-jadi tempat penting. Penting karena dipilih Mahkamah Agung untuk me-resmikan secara simbolis 39 gedung

peradilan umum, agama, militar, maupun Tata Usaha Negara (TUN), yang tersebar di seluruh Indonesia. Tentu bukan tanpa alasan MA memilih PN Tenggarong sebagai tempat istimewa. Salah satu ala-sannya, gedung ini kini menjadi salah satu gedung pengadilan terbaik di In-donesia. Pembangunannya menelan biaya Rp10.7 miliar, terbesar ketiga dari 39 gedung pengadilan yang baru selesai dibangun dan pagi itu dires-

mikan Ketua MA Hatta Ali. Total dana pembangunan 39 gedung itu meng-habiskan Rp.273,5 miliar. Padahal, setahun yang lalu, ge-dung PN Tenggarong adalah gedung dengan infrastruktur yang tidak me-madai. Tapi, justru kekurangan itu dijadikan cambuk dan spirit untuk berbenah. Pemerintah daerah Teng-garong juga ikut memberikan hibah dalam bentuk perabotan.

Penandatanganan prasasti secara simbolis oleh Ketua MA RI, Hatta Ali

LAPORAN UTAMA

Tak percuma hasilnya, gedung itu kini membanggakan bagi para pe negak hukum di Tenggarong mau-pun ma syarakat secara umum. Ini penting, karena wajah gedung peng-adilan adalah cermin bagaimana ta-ngan-tangan hukum bekerja. Itulah yang disampaikan Hatta Ali dalam sambutan peresmian 39 gedung pengadilan, 22 Mei silam di PN Tenggarong. “Gedung-gedung bagus perlu jiwa dan semangat kerja yang bagus pula, dan itu tergantung pada kita semua, segenap warga pengadilan, untuk mengisinya. Ge-dung-gedung bagus ini bukan untuk sekadar dinikmati dan diduduki, na-mun menjadi wadah kita semua un-tuk memberikan pelayanan terbaik bagi para pencari keadilan,” katanya. Menurut Hatta, memang kuali-tas pelayanan pengadilanlah, bukan gedung, yang akan menjadi cermin dari wajah pengadilan. Tapi, gedung yang bagus akan menginspirasi para hakim bekerja dengan serius, den-gan bagus pula. Peresmian itu antara lain dihadiri Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, para ketua kamar MA, para hakim agung, para pejabat eselon 1 MA, gubernur Kalimantan Timur, bupati Kutai Kartanegara, walikota Samarin-da dan walikota Balikpapan. Hatta mengingatkan, bahwa pembangunan 39 gedung pengadilan tidak akan mungkin bisa dilakukan di masa lalu. Ia menjelaskan, seluruh dana pembangunan itu berasal dari DIPA Mahkamah Agung. Sepuluh ta-hun lalu misalnya, MA tidak mungkin bisa memperbaiki gedung-gedung pengadilan yang ada. Waktu itu, ang-garan untuk MA hanya setara dengan

anggaran Dinas Pertamanan DKI Ja-karta. Artinya, sangat kecil.

Rekam jejak hakim dan pani­tera di direktori putusan Kemudahan atau komitmen pe-merintah untuk mengabulkan pem-bangunan itu membuktikan betapa Negara sangat mendukung pemba-ngunan peradilan yang benar-benar lebih baik, bermartabat, dan berwiba-wa. Karena itu, komitmen Negara mestinya jangan disia-siakan oleh para penegak hukum, terutama para hakim. Sekarang, penghasilan hakim dengan remunerasinya sudah rela-tif tinggi. Karena itu, kata Hatta Ali, sungguh amat disesalkan jika warga pengadilan masih ada yang gagal memahami pengorbanan Negara untuk membuat pengadilan yang be-nar-benar bermartabat. Kita semua juga tahu, bahwa melalui Peraturan Pemerintah No. 94/2012, kini kesejahteraan hakim pun sudah jauh lebih meningkat, dan untuk non-hakim sedang dalam proses penyesuaian. Menurut Ke-tua Bidang Urusan Administrasi MA, Dr. Aco Nur, MH, seorang hakim muda kini bergaji Rp.10 juta rupiah. Sementara gaji Kepala Pengadilan Tinggi mencapai Rp.45 juta. Menurut Aco Nur, jika dibandingkan dengan hakim di Asia Tenggara, gaji hakim di Indonesia yang terbaik. Maka wajar jika Ketua MA meng-ingatkan kepada warga pengadilan, khususnya kepada 9.000 hakim yang berada di bawah naungan MA, un-tuk tidak melancungi amanat rakyat mengenai peradilan yang bersih. Sungguh tidak layak, apabila ma-

sih ada di antara warga pengadilan yang terus-menerus gagal memaha-mi pengorbanan Negara dan terus melakukan perbuatan tidak terpuji, seolah-olah hal tersebut lumrah bela-ka. Pimpinan MA, kata Hatta, juga tidak segan akan mengambil tinda-kan tegas jika masih ada jajarannya yang melakukan pelanggaran. “Hen-daknya dipahami, bahwa kode etik, kode perilaku, aturan kedisiplinan dan lain sebagainya hendaknya jangan hanya dibaca, dimengerti, dan dipahami. Namun harus dilak-sanakan sepenuhnya! Karena justru itulah yang membuat perbedaan an-tara pengamat dan pelaksana. Kita semua adalah pelaksana, bukan pengamat, jadi camkan itu!” tegas Hatta. Aturan bagus memang tidak selalu dilaksanakan dengan bagus. Maka Hatta mengajak jajaran Mah-kamah Agung untuk mengubur da-lam-dalam stereotip masa lalu, yakni kerja lambat, berkas putusan salah atau hilang, akibatnya lama diterima para pihak. Ketidakmampuan bekerja disembunyikan lewat berbagai cara tak terpuji: bekerja dilambat-lam-batkan, berkas dihilangkan, atau di-salah-salahkan. Ini, kata Hatta Ali, tak boleh terjadi lagi. Hatta juga mengintruksikan pada segenap jajaran peradilan un-tuk memasukkan indikator-indikator penilaian kinerja para pimpinan peng-adilan, para hakim, para panitera, maupun aparatur pengadilan lainnya. Temuan yang sering terjadi, menurut Hatta, adalah pengadilan tidak memasukkan dokumen putusanpengadilan ke direktori putusan Mah-

- No. 2 Edisi September 20136 |

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 7

kamah Agung. Alasannya pun ber-macam-macam. Padahal, putusan pengadilan adalah dokumen negara, bukan milik pribadi. “Saya kira sudah waktunya Mahkamah Agung menja-dikan berkas di direktori putusan se-bagai rujukan rekam jejak para hakim dan panitera yang akan mengalami proses promosi dan mutasi. Argu-mentasinya sederhana. Bagaimana kita bisa menilai bahwa seseorang memang berkualitas dan memiliki kualifikasi serta pengalaman dalam menangani perkara kalau buktinya –berkas putusan– tidak tersedia?” tanya Hatta Ali.

Kemudahan akses informasi DALAM urusan publik, Hatta me-nekankan, jajaran Mahkamah Agung jangan abai terhadap hak-hak para pencari keadilan yang tinggal di da-erah-daerah terpencil, yang jauh dari lokasi gedung-gedung pengadilan. Pencari keadilan tidak hanya tinggal di kota-kota. Banyak warga yang tinggal jauh di pelosok. Banyak yang karena jarak dan masalah biaya memiliki kesulitan untuk mengakses pengadilan. Mungkin perlu wak-tu berhari-hari melintasi hutan dan menyeberangi sungai atau bahkan laut untuk bisa mengakses keadilan di pengadilan. Untuk itu, Hatta me-minta, pengadilan juga harus proaktif mendekatkan diri kepada kelompok masyarakat ini. Sehingga mereka bisa mengakses layanan pengadilan untuk menyelesaikan persoalan-per-soalan hukum yang mereka ala-mi. Demikian pula pelayanan bagi kelompok masyarakat disabilitas yang mengalami keterbatasan fisik. Karena itu, amat penting peng-

adilan memanfaatkan tempat-tempat bersidang (zitting splatsen) dan pos layanan hukum (dulu pos bantu-an hukum) dan meja informasi untuk melayani mereka. Menurut Hatta, akses informasi merupakan persoalan klasik peng-adilan di seluruh dunia. Karena itu, katanya, jangan sampai kita memiliki gedung-gedung megah, tapi minim informasi. Hatta menyarankan, agar

PN Tenggarong dan 38 pengadilan lainnya memasang spanduk besar di halaman gedung yang menginfor-masikan perkara dan putusan peng-

adilan sudah tersedia di situs internet pengadilan. Hatta meminta segenap warga pengadilan secara bersama-sama merawat dan menjaga kehormatan penegakan hukum, sehingga bisa mengisi gedung-gedung megah de-ngan jiwa yang luhur bagi pelayanan para pencari keadilan di Indonesia. “Mari kita jadikan peresmian ge-dung-gedung baru ini juga sekaligus sebagai momen untuk menetapkan wajah baru pengadilan. Pengadilan yang lebih ramah, sigap dan tidak berpihak dalam melayani para pen-cari keadilan,” kata Hatta di akhir sambutannya.

Capaian WTP Selain peresmian 39 gedung pen-gadilan, hal yang harus diakui sebagai capaian positif Mahkamah Agung adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Seperti dikatakan Kepa-la Badan Urusan Administrasi, Aco Nur, hasil audit BPK terhadap laporan keuangan MA pada 2012 adalah WTP (wajar tanpa pengecualian). Dilihat begitu saja, capaian WTP bukan prestasi luar biasa, karena be-gitulah seharusnya institusi negara mengelola asetnya. Tapi, mengingat MA mempunyai begitu banyak satu-an kerja (satker), menurut Aco Nur, capaian ini perlu disyukuri. Karena MA mempunyai begitu banyak satu-an kerja (satker), 842 buah, dengan mengelola anggaran Rp.7,2 triliun (plus APBNP. Terlebih menurut BPK,MA sesungguhnya mempunyai 1.603 satker karena setiap pengadilan mempunyai dua DIPA. Hanya MA in-stitusi negara yang mempunyai begi-tu banyak DIPA.

LAPORAN UTAMA

Selain begitu banyak satker, menurut Aco Nur, capaian itu juga terlihat amat jelas grafik naiknya. Pada 2009 dan 2010, misalnya, berdasarkan pemeriksaan BPK, MA dinyatakan disclaimer (Tidak me nyatakan pendapat). Setahun berikutnya, MA mendapat penilaian

WDP (wajar dengan pengecualian), yang ibarat orang sakit harus masuk ICU. Baru pada 2012 tercapai WTP. Menurut Karo Keuangan Su-tisna, S.Sos, M.Pd, opini WTP ada-lah mimpi dan obsesi seluruh jajaran MA. Hal ini sejalan dengan misi MA dalam menciptakan badan peradilan yang agung. Di situ di butuhkan jajar-an sekretariat untuk bekerja lebih baik. Salah satunya dalam meng-gunakan keuangan negara secara transparan dan akuntabel, yang salah satu unsurnya adalah meraih WTP. (Selengkapnya baca wa­wancara dengan Sutisna hlm. 18)

Untuk mencapai opini WTP, kata Sutisna, pertama harus meran-cang strategi untuk meraih WTP itu. Strategi itu antara lain adanya komit-men dari seluruh jajaran MA, bukan hanya dari jajaran pimpinan atau sekretariat, tetapi semua, termasuk ketua pengadilan tingkat banding

dan tingkat pertama di seluruh In-donesia untuk menyatukan tekad meraih WTP. Ini perlu tercipta iklim kerja yang harmonis, komunikatif, dan koordinatif. Bukan hanya in-ternal MA tetapi juga dengan pihak eks ternal. Kedua, menciptakan sis-tem untuk mencapai WTP. Ada beberapa sistem yang tel-ah diciptakan MA. Pertama, sistem Komdanas (komunikasi data nasi-onal). Sistem ini merupakan satu upaya untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan MA. Tanpa ada Komdanas yang berbasis teknologi, mustahil untuk meningkatkan kuali-

tas laporan keuangan MA. Dengan Komdanas, penyusunan laporan ke uangan bisa menjadi lebih cepat, mulai dari tingkat pertama, tingkat banding, tingkat korwil sampai ke MA. Dalam hal ini yang menghim-pun laporan keuangan adalah Biro Keuangan dari sisi akuntansinya. Komdanas menciptakan kecepatan dan ketepatan dalam penyusunan laporan keuangan MA. Kedua, sistem Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan. Diharapkan adanya penyeragaman mulai dari tingkat pertama hingga MA. Tentu saja acuannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Di-rektorat Perbendaharaan Kemente-rian Keuangan. Ketiga, Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE). Sistem ini diharapkan bisa menciptakan layanan pengadaan yang transparan dan akuntabel. Kare-na, salah satu penilaian reformasi bi-rokrasi adalah pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Keempat, nota kesepahaman antara MA dan BPKP dalam hal pen dampingan untuk mendapatkan opi-ni WTP, terutama dalam hal penyu-sunan laporan keuangan. Dan yang tidak kalah penting dari semua itu adalah koordinasi dengan Badan Pengawasan MA, karena setiap kegiatan yang terkait dengan laporan keuangan, baik ke-giatan supervisi, validasi maupun kegiatan rapat koordinasi akuntansi dengan seluruh jajaran MA, selalu melibatkan Badan Pengawasan MA. “Karena Badan Pengawasan MA juga memiliki kewajiban untuk me review laporan keuangan MA, se-

- No. 2 Edisi September 20138 |

Andi Roosdiaty, pembina Darmayukti Karini, pada peresmian gedung PN Tenggarong

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 9

belum laporan keuangan MA di-serahkan kepada Direktoral Jender-al Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Baik itu audited maupun unaudited, lapor an itu harus diperik-sa terlebih dahulu oleh badan peme-riksa keuangan internal MA, dalam hal ini Badan Peng awasan MA,” kata Sutisna.

Langkah-langkah itulah, lanjut-nya, yang telah dilakukan MA. Se-gala sesuatu bisa diraih asalkan ada niat untuk berusaha, kerja keras, team work, dan koordinasi menjadi-kan jajaran MA semakin semangat untuk meraih WTP. Kini WTP sudah diraih MA. Semua itu adalah berkat andil semua pihak, pimpinan, jajaran sekreta-riat hingga ke jajaran yang paling bawah. Dan, capaian di sebuah institusi dengan begitu banyak sat-ker, memang tidak mudah. Karena lebih kompleks dan rumit. Wajar ini perlu disyukuri. Syukur untuk te-

rus bekerja lebih baik dengan ting-kat akuntabilitas yang kian tinggi.

Penyerapan Anggaran Selain WTP, pada 2012 sebe-narnya MA mendapat penghargaan lain. Yakni penyerapan anggaran yang mencapai 95,07 persen. Ini arti-nya manajemen pengelolaan anggar-

an di MA merupakan yang terbaik. (Baca wawancara dengan Aco Nur, hlm. 22) Anggaran yang cukup besar me-mang tidak saja butuh manajemen pengelolaan yang baik, tapi juga ha-rus dibarengi peningkatan pelayanan kepada publik. Penghargaan masya-rakat yang telah menggaji tinggi para hakim harus membuat MA punya kesadaran tinggi memberikan pela-yanan terbaik kepada para pencari keadilan. Karena itu, Aco Nur mengingat-kan, jajaran MA harus berpegang pada empat misi yang diembannya.

Pertama, menjaga independensi peradilan. Kedua, memberi keadilan pada masyarakat pencari keadilan. Ketiga, meningkatkan kualitas kepe-mimpinan pengadilan. Keempat, me-ningkatkan kredibilitas dan transpa-ransi badan peradilan. “Ini harus dilaksanakan MA tan-pa tawar-menawar lagi, karena tun-jangan hakim sudah tinggi dan pe-jabat MA diberikan remunerasi. Baru MA institusi yang diberikan tunjangan plus. Institusi lain masih terbatas re-munerasinya,” beber Aco Nur. Yang harus diingatkan adalah capaian itu tak boleh membuat MA menepuk dada tanda berpuas diri. Justru harus terus berupaya mening-katkan diri. Apa yang dikatakan Ketua MA Hatta Ali dalam sambutan peresmian 39 gedung pengadilan, bahwa para hakim tak boleh melancungi keper-cayaan rakyat, harus selalu mendekat dengan pencari keadilan, membuka akses informasi pada warga, semua itu haruslah menjadi pegangan kerja para hakim. Pada akhirnya, publik menung-gu hasil konkret berbagai capaian MA itu. Sebab semua itu haruslah bermuara positif. Selain bagi jajaran MA, yang lebih penting justru pada pelayanan bagi para pencari keadilan itu sendiri, yakni masyarakat. Mereka menunggu. (Tim MMA)

Jumpa pers sebelum peresmian 39 gedung pengadilan baru. Tampak hadir Ketua MA Hatta Ali, Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, Karo Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur.

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 201310 |

Daftar Pengadilan yang DiresmikanPeradilan Umum PN Tenggarong Rp 10.692.522.000,-

PN Balikpapan Rp 10.409.213.000,-PN Parigi Rp 7.441.941.000,-PN Labuan Bajo Rp 6.430.131.000,-PN Oelamasi Rp 4.190.514.000,-PN Wamena Rp 20.911.464.000,-PN Malili Rp 6.338.500.000,-PN Balige Rp 5.457.360.000,-

Pengadilan Tipikor dan PHI Pengadilan Tipikor dan PHI Surabaya Rp 8.117.011.000,-Pengadilan Tipikor dan PHI Yogyakarta Rp 5.173.786.000,-Pengadilan Tipikor Kendari Rp 4.941.904.000,-Pengadilan Tipikor Kupang Rp 5.768.987.000,-Pengadilan Tipikor dan PHI Samarinda Rp 6.791.358.000,-

Peradilan Agama PA Jakarta Pusat Rp 18.814.331.000,-PA Palu Rp 5.373.903.000,-PA Tilamuta Rp 4.195.911.000,-PA Bengkalis Rp 4.680.181.000,-PA Luwuk Rp 4.477.830.000,-PA Negara Rp 5.594.716.000,-PA Selong Rp 6.442.347.000,-PA Stabat Rp 3.967.894.000,-PA Tanjung Pinang Rp 5.537.109.000,-PA Tual Rp 6.479.917.000,-PA Wates Rp 4.500.000.000,-PA Karanganyar Rp 3.144.797.000,-PA Kendal Rp 2.783.159.000,-PA Indramayu Rp 8.622.387.000,-PA Bekasi Rp 7.611.984.000,-PA Tigaraksa Rp 5.333.200.000,-Mahkamah Syar’iyah Kualasimpang Rp 6.400.000.000,-

Peradilan TUN Pengadilan TUN Surabaya Rp 6.846.869.000,-Pengadilan TUN Medan Rp 5.712.200.000,-

Peradilan Militer Pengadilan Militer Surabaya Rp 7.151.995.000,-Pengadilan Militer Bandung Rp 10.072.549.000,-Pengadilan Militer Kupang Rp 7.506.080.000,-Pengadilan Militer Makassar Rp 6.310.780.000,-Pengadilan Militer Madiun Rp 6.907.027.000,-Pengadilan Militer Medan Rp 8.692.750.000,-Pengadilan Militer Banjarmasin Rp 7.764.001.000,-

LAPORAN UTAMA

Tantangan Menegakkan Keadilan di Benua Etam

Profil Pengadilan Tipikor/PHI Samarinda

BENUA Etam, sebuah wilayah yang begitu kaya dengan sumber daya alam, tentu mem-bawa tantangan tersendiri bagi para penegak hukumnya, tak terkecuali bagi Pengadilan Ting-gi Samarinda. Hal ini mengingat sengketa mengenai kepemilikan tanah merupakan perkara yang lebih dominan di kawasan ini. Dengan berpegang teguh pada hukum dan hati nurani, ja-jaran Pengadilan Tinggi Samarin-da yakin akan mampu menegak-kan keadilan di Bumi Etam ini. Di bawah kepemimpinan H.Surya Dharma Belo, SH, Pengadilan Tinggi Samarinda terus berusaha untuk melayani para pencari keadilan dengan pelayanan prima demi terwujud-nya peradilan yang transparan, akuntabel, dan profesional. Pelayanan prima itulah yang mau diwujudkan dengan pembangunan gedung Pengadilan Tipikor dan PHI Sama-rinda, bersebelahan dengan gedung Pengadilan Negeri Samarinda. Gedung lama Pengadilan Negeri Samarinda sendiri dibangun pada tahun 1978. Karena ada kebutuhan mendesak untuk pembangunan gedung Pengadilan Tipi-kor dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Samarinda sebagai skala prioritas, maka bangunan lama dibongkar. Demikian pula, untuk memenuhi kebutuhan lahan parkir, 2 unit rumah dinas hakim tipe B 120 di bagian belakang ge-dung dibongkar untuk digunakan sebagai halaman parkir mobil tahanan dan kendaraan pengunjung sidang. Selanjutnya di atas lahan tersebut dibangun gedung Pengadilan Tipikor dan PHI Samarinda. Pembangunan-nya selesai pada tahun 2012, kemudian diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI (Dr. H. M. Hatta Ali, SH., MH.) pada tanggal 22 Mei 2013.

Peresmian dipusatkan di Tenggarong (Kalimantan Timur) bersama-sama dengan 38 gedung pengadilan di 4 lingkungan peradilan se-Indonesia. Gedung Pengadilan Tipikor dan PHI Samarinda dibangun di atas lahan seluas ± 25 x 35 m di Jalan M. Yamin, tepat bersebelahan dengan Pengadilan Negeri Samarinda. Luas bangunan sesuai prototipe Mahkamah Agung RI, yaitu lebar 18 m dan panjang 30 m, terdiri dari 2 lantai sehingga luas keseluruhan bangunan 1.080 m2. Pembangunan gedung Pengadilan Tipikor dan PHI Samarinda dilakukan 2 tahap. Tahap I berdasarkan DIPA Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2011 dengan pagu anggaran sebesar Rp. 5.384.158.000,00 Nilai Realisasi sebesar Rp. 5.192.974.450,00. Sedang pemba-ngunan Tahap II berdasarkan DIPA Pengadilan Tinggi Kali-mantan Timur Tahun Anggaran 2012 dengan pagu angga-ran sebesar Rp. 1.654.095.000,00 Nilai Realisasi sebesar Rp. 1.598.383.000,00. (IFH, MMA)

- No. 2 Edisi September 2013 | 11

LAPORAN UTAMA

HAWA dingin AC langsung terasa begitu menginjak-kan kaki di lobi Pengadilan Agama Balikpapan. Dua orang staf berdiri sigap di sudut ruangan, siap mengarah kan para tamu yang datang ke pengadilan. Senyum keduanya mengembang. “Kalau membutuhkan informasi, kami langsung arah-kan ke bagian layanan informasi yang berada di belakang gedung. Sementara untuk persidangan, masyarakat yang menunggu disilakan menuju ruang tunggu. Khusus untuk yang membawa anak atau bayi dapat dititipkan kepada petugas di ruang anak. Jadi, sementara orang tuanya menjalani persidangan, sang anak dapat bermain dengan nyaman di ruangan ini,” kata salah satu di antara mereka. Sebuah ruangan, yang didesain khusus menyerupai taman bermain, dilengkapi dengan aneka mainan seperti perosotan, kursi goyang, bahkan ruang menyusui. “Bagus, bagus, saya percaya pelayanannya bakal meningkat,” ucap Sekretaris MA, Nurhadi, dalam kunjungannya ke Pengadilan Agama Balikpapan pada 23 Mei 2013.

Nurhadi didampingi para pejabat eselon I dan eselon II. Pada kesempatan itu ia menyampaikan pentingnya pe-layanan prima di pengadilan. “Kalau begini, para pencari keadilan ’kan merasa terlayani,” sambung Pak Sekretaris, yang diamini oleh para pejabat lainnya. Dalam wawancara terpisah dengan Mahkamah Agung, untuk urusan pelayanan informasi, Pengadilan Aga ma Balikpapan patut diacungi jempol. Menurut Hairiah, Wakil Panitera Pengadilan Agama Balikpapan, pelayanan prima memang kerap digaungkan dalam pelayanan terha-dap para pencari keadilan. “Alhamdulilah, kami di sini sudah menggunakan sistem elektronik antrean. Misalnya, kalau ada yang ingin bersidang dan ingin mengetahui jadwal sidangnya, cukup masukkan nomor perkara, dan klik, nomor antrean akan keluar. Untuk permohonan informasi, pengunjung harus mengambil nomor antrean sesuai dengan loket yang ditu-ju. Misalnya, loket 1 untuk informasi pembuatan akta, dan loket nomor 2 untuk pengajuan perkara,” paparnya man-tap. Sementara itu, para pencari keadilan juga diminta untuk mengisi survei kepuasan pelayanan yang terse-dia. “Kami sengaja buatkan aplikasinya, sehingga kami bisa mengukur sejauh mana masyarakat puas terhadap layanan pengadilan,” sahutnya lagi. Rupanya pelayanan prima tengah digalakkan di semua pengadilan sebagai bentuk reformasi birokrasi. Pelayanan yang murah, cepat, dan akurat memang menjadi harapan dari seluruh warga pengadilan. Semoga pengadilan yang agung dapat benar-benar diwujudkan. (IFH, MMA)

Layanan Prima Jadi Landasan Bekerja

Profil PA Balikpapan

- No. 2 Edisi September 201312 |

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 13

KESAN tegas langsung terasa begitu memasuki pelataran gedung Pengadilan Militer I-02 Medan. Seper-ti umumnya gedung pengadilan militer, para pegawainya pun memakai seragam dinas rapi berwarna hijau. Peng-adilan Militer I-02 Medan memiliki tugas pokok mendukung tugas komando dalam menyelesaikan pelanggaran pidana oleh prajurit TNI yang bertugas di Kodam I/BB, Lantamal Belawan, Kosek Hanudnas-III Medan dan Lanud Soewon-do. Tugas ini didukung oleh SDM (Sumber Daya Manusia) yang terdiri dari 7 hakim militer, 3 panitera, dan 13 staf TNI/Sipil, serta 10 tenaga honorer. Di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Chk. Adil Karo-Karo, SH, saat ini pengadilan militer I–02 Medan bertekad memberikan pelayanan hukum sebaik mungkin kepada anggota TNI yang melakukan pelanggaran pidana. Pengadilan Militer I-02 Medan berupaya memberikan infor-masi terhadap pencari keadilan. Mereka dapat mengakses jadwal persidangan dan hasil-hasil persidangan yang su-dah berkekuatan hukum tetap. Cara ini jelas amat men-dukung tercapainya penegakan hukum secara transparan. Para Komandan Satuan yang bertugas di wilayah hukum Sumatera Utara dan juga masyarakat Sumatera Utara sangat mendukung keberadaan Pengadilan Militer I-02 Medan di Jalan Ngumban Surbakti No. 45 Medan. Keberadaannya dapat membantu para Komandan Satuan dalam penegakan hukum, khususnya percepatan penyele-saian perkara, juga terhadap masyarakat umum yang diru-gikan oleh oknum prajurit TNI. (IFH, MMA)

Mewujudkan Transparansi Penegakan Hukum

Profil Dilmil Medan

Gedung Pengadilan Militer, Medan

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 201314 |

ORANG bijak mengatakan, tidak ada yang abadi di dunia ini ke-cuali per ubahan. Dan, perubahan yang paling utama haruslah menuju kebajikan. Itu sebabnya, begitu ba-nyak upaya perbaikan adalah hasil dari upaya mereka yang tak pernah nyaman berdiam diri. Mere ka terus bergerak, berubah. Melihat ke belakang sebelum tahun 2005, misalnya, Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga yang terhimpun dari beberapa lemba-ga besar seperti Kementerian Hu-

kum dan HAM yang membawahi Peradilan Umum dan Kementerian Agama yang membawahi Peradilan Agama. Setelah undang-undang menyatakan seluruh peradilan di In-donesia berada di bawah MA (satu atap), MA memi liki banyak sekali warisan “pekerjaan rumah” yang ha-rus diselesaikan. Misalnya saja doku-men kepemilikan berbagai aset. PR inilah yang kemudian memberikan andil MA berkali-kali mendapatkan opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) dari Badan Pemeriksaan

Keuangan RI (BPK). Sulit sekali men-capai opini Wajar Tanpa Pengecuali-an (WTP). Padahal, terkait dengan reformasi birokrasi yang sedang di-galakkan oleh seluruh kementerian/lembaga (K/L), pencapaian WTP dalam lapor an keuangan adalah se-buah kewajiban. Untuk itulah, MA berbenah diri di berbagai lini untuk mencapai opini tersebut. Salah satu hasil pembenahan itu, pada 24 Juni 2013 MA mendapat opini WTP dari BPK. Ini capaian yang selama 10 tahun terakhir memang

Nurhadi, sekretaris Mahkamah Agung RI

Opini WTP MA:Upaya Tak Kenal Lelah

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 15

diupayakan MA. Tak berlebihan kata Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Non Yudisial, Dr. H. Ahmad Kamil, SH., MH., “Tahun ini adalah tahun bersejarah bagi Mahkamah Agung. Bisa disebut tahun yang ajaib. Karena setelah bertahun-tahun mendapat opini kurang memuaskan dari BPK, dalam waktu yang cukup singkat, MA meraih capaian fenome-nal opini teratas mengenai laporan keuangan, yaitu WTP.”

Kenapa Harus WTP Opini Wajar Tanpa Pengecuali-an diberikan kepada lembaga atau kementerian yang telah melakukan standardisasi yang telah ditetapkan oleh BPK. Selain WTP, BPK memiliki opini lainnya, yaitu Tidak Wajar (TW), Tidak Memberikan Pendapat (TMP, disclaimer), Wajar Dengan Penge-cualian (WDP), dan terakhir Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). MA sendiri sudah melewati semua opini itu. Dari tahun 2006-2009 MA berkubang di pusaran disclaimer. Baru pada tahun 2010 MA naik ke-las menjadi WDP, tetapi masih kritis seperti pasien di ICU. Tahun 2011 bertahan di opini WDP, baru pada ta-hun 2012 MA bisa keluar dari ICU dan mendapatkan opini teratas, WTP. Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, dalam wawancara dengan tim Majalah Mahkamah Agung, men-jelaskan berbagai faktor eksternal dan internal yang mengharuskan se-buah K/L mencapai opini WTP. Salah satunya reformasi keuangan negara, tuntutan untuk melakukan tata kelo-la pemerintahan yang baik, tuntutan untuk memberikan pelayanan yang prima, pasti, kecepatan, transparan,

dan SDM yang profesional. Semua harus dilaksanakan efektif efesien serta akuntabel. Payung hukumnya adalah UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU no 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan UU no 15 tahun 2004 Tentang Mengatur Pengelelolaan Keuangan. Dalam hal pengelolaan keuang-an ini, menurut Nurhadi, kita harus memperhatikan asas-asas penge-lolaan keuangan yang baik, apalagi jika ending yang diharapkan adalah WTP. “Kita harus memperhatikan asas kepastian, asas tertib mengelo-la keuang an itu sendiri, asas kepen-tingan umum, keterbukaan, profe-sionalisme dan proposionalitas, serta akuntabel. Ini adalah rambu-rambu yang harus menjadi perhatian.” MA berpijak kepada regulasi dan asas-asas tersebut. MA juga me ngaitkannya dengan penciptaan good and clean government (pe-merintahan yang baik dan bersih). Sementara jika bicara akuntabilitas orientasinya adalah hasil. Good and clean government juga mengisyarat-kan adanya transparansi, adanya lembaga mandiri yang memeriksa pengelolaan keuangan, dalam hal ini BPK. Semua ini harus dipahami se-bagai dasar untuk berpijak. Dalam mencapai WTP, setiap K/L memiliki kendala masing-masing. Begitu juga dengan MA yang dulu merupakan “kumpulan” beberapa kementerian besar. “Kondisi lembaga peradilan sebelum tahun 2005 boleh dibilang masih karut-marut karena terdiri dari dua lembaga besar, yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). Tetapi, sesudah

periode 2005, sesuai dengan un-dang-undang, badan peradilan Indo-nesia satu atap di bawah Mahkamah Agung. Artinya, mulai tahun 2005 pengelolaan keuangan berpusat di MA,” kata Nurhadi. Perlu diketahui kenapa MA tidak bisa mencapai opini terbaik. Itu kare-na MA memiliki problem yang sangat besar terhadap pengelolaan IP (In-ventarisasi dan Penilaian). Di akhir tahun 2011 posisi aset MA selisih IP-nya Rp. 806,8 miliar, sifatnya materiil, sangat menentukan opini. Untuk meminimalisasi IP hingga mendapatkan opini WTP, pada Ja-nuari 2012, Sekretaris MA (sebagai koordinator) mulai bekerja bersa-ma tim yg terdiri dari seluruh eselon satu serta jajaran di bawahnya. Tim ini membuat langkah kerja, memo-tret–baik pusat maupun daerah–dari sisi kesekretariatan tentang berbagai macam persoalan: tata kelola aset dan tata kelola keuangan, mulai dari perencanaan, monitoring, hingga evaluasinya. Setelah bekerja berdasarkan langkah-langkah itu, tim mengakui keadaannya memang complicated. Keuangan MA karut-marut. Kare-na itu, tim bersepakat tata kelola keuangan MA diprioritaskan untuk ditangani. Dan ditekadkan, apa pun keadaannya, pada 2012 MA harus mendapat opini WTP. Tim pun segera menyusun strategi, dengan memper-tahankan yang baik yang tidak men-jadi catatan, lalu menyelesaikan yang menjadi catatan. Catatannya adalah tim berkonsentrasi untuk mengatasi masalah aset ini. Satuan kerja yang berkaitan de-ngan aset adalah Biro Perlengkapan.

LAPORAN UTAMA

Maka Nurhadi bersama tim mem-buat kontrak kerja dengan Kepala Biro Perlengkapan untuk menyele-saikan masalah ini. Kepala Biro Pe-rencanaan diminta untuk membuat rencana kerja satu tahun ke de-

pan, Januari-Desember 2012 untuk melakukan verifikasi dan validasi (verval) terhadap aset. Cara nya: Pertama, memberdayakan SDM yang ada untuk disebar ke daerah. Kedua, mengklasterisasi satuan ker-

ja yang besar yang memiliki andil da-lam memberikan selisih IP yang be-sar. Ketiga, membuat rencana kerja satu tahun. Dan keempat, mendis-kusikan dengan DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara).

“Niat Istikamahkan Jangan Berubah”Wawancara dengan Ketua BPK, Hadi Poernomo

MAHKAMAH Agung resmi meraih opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK. Penyerahan opi-ni berlangsung secara resmi di auditorium BPK RI pada hari ini Senin, 24 Juni 2013, pada acara penyampaian opini hasil pemeriksaan atas laporan keuangan lemba-ga-lembaga negara tahun 2012 kepada para pimpinan lembaga negara. Ketua BPK Hadi Poernomo mengapresiasi capai-an MA itu. “Yang membuat istimewa capaian WTP bagi Mahkamah Agung adalah karena Mahkamah Agung ter-diri dari 1.633 satker, sementara lembaga yang lain ha-nya terdiri dari paling banyak 70 satker, yaitu BPK. Yang lain, seperti DPR, MPR, MK, dan KY, hanya memiliki satu satker,” kata Hadi Poernomo dalam sambutannya yang disambut aplaus meriah dari para undangan. “Dengan WTP-nya MA, maka semua lembaga tinggi negara pada tahun ini sudah mendapatkan opi-ni Wajar Tanpa Pengecualian. Untuk itu saya ucapkan selamat dan tetap lakukan yang terbaik untuk mem-pertahankan opini ini,” kata Hadi Purnomo pada acara yang juga dihadiri oleh seluruh ketua Lembaga Tinggi Negara itu. Sedangkan ketua DPR, Marzuki Ali, dalam sam-butannya mengatakan, “Capaian opini WTP tidak serta merta mengindikasikan bahwa lembaga terbebas dari penyimpangan penggunaan uang negara. Untuk itu saya mengimbau kepada kepala tinggi negara lainnya untuk tetap menggunakan uang negara secara efektif dan efesien, tetap transparan dan tetap menjaga dan mempertahankan opini WTP ini.”

Pada acara yang bersejarah bagi MA itu, tim Ma­jalah Mahkamah Agung menyempatkan diri un-tuk mewawancarai Ketua BPK seputar apa itu WTP, tantangan BPK dalam memberikan opini tersebut ke-pada MA, dan pesan Ketua BPK untuk MA dalam mem-pertahankan opini tersebut. Berikut petikannya.

Apakah WTP itu? BPK, dalam pemeriksaan keuangan, memberikan empat opini kepada lembaga atau kementerian yang diperiksa, sesuai dengan hasil laporannya. Yang perta-ma, Wajar Tanpa Pengecualian; kedua, Wajar Dengan Pengecualian; ketiga, Tidak Memberikan Pendapat; dan keempat, Tidak Wajar. Dalam hal MA, karena terlalu banyak aset MA yang belum dinilai, banyak hal yang belum diakui BPK se-bagi sistem pengelolaan yang baik. Tetapi kini dengan penilaian yang cukup secara standar akuntansi peme-rintahan, maka opininya naik. Dasar opini ini adalah penyajiannya terbuka, standar pengendalian internal-nya bagus, dan standar akuntansi pemerintahan dalam pemeriksaannya bagus. Apakah WTP ini mengindikasikan bahwa lemba-ga tersebut bebas dari korupsi, tentu saja tidak. Tetapi nanti, setelah 1.633 satker terakses oleh BPK, maka sifat pemeriksaannya akan lebih luas, sehingga bukan sampling lagi, melainkan populasi keseluruhan. Itulah yang kita harapkan. Tetapi, tadi Ketua MA berjanji un-tuk memudahkan akses ini, sehingga mudah-mudahan bisa membantu secara preventif. Nah, nanti pada ta-

- No. 2 Edisi September 201316 |

LAPORAN UTAMA

DJKN menyambut baik sinergi ini, sehingga setiap melakukan ver-val, DJKN selalu dilibatkan. Setiap tim melakukan verval, hasilnya selalu sesuai dengan verval yang dilaku-kan oleh DJKN. Hasil yang diperoleh

kemudian, selisih IP pada periode 30 April 2012 ‘terjun payung’ dari Rp. 806,8 miliar menjadi Rp.73,5 miliar. Ini terdapat di 32 wilayah pada 788 satuan kerja. Untuk mencapainya bisa dika-

takan sangat sulit. Sa ngat compli-cated, karena terkadang catatannya ada, tetapi fisiknya tidak ada. Atau sebaliknya, fisiknya sudah milik MA, tetapi dokumennya masih atas nama kementerian. Asetnya bukan hanya

hun berjalan, jika aksesnya sudah aktif, BPK bisa tahu, antara catatan saldo dan laporannya sesuai atau tidak. Jika tidak sesuai, kami mohon dicek. Setelah dicek, MA memberikan alasannya. Dan BPK memeriksa lagi apa-kah kuat dengan alasan yang telah diutarakan. Jika cocok, kami langsung katakan sesuai, dan jika tidak, kami akan langsung mengadakan pemeriksaan lapang-an. Inilah sifat preventifnya, sehingga tidak perlu ada post audit atau curreant audit.

Menurut Anda, apa tantangannya? Jumlah satker MA melebihi jumlah satker lembaga lain. Dari 1.633 satker di bawah MA, mungkin saja ada beberapa pimpinan pengadilan yang tidak mematuhi perintah ketua MA. Ini bisa menjadi tantangan. Jika dibandingkan dengan lembaga lain yang hanya terdiri dari satu satker, tentu saja lebih mudah mendapatkan opini WTP karena mudah untuk dipantau. Untuk itulah MA kini sudah memiliki laporan keuang an online. Tidak ada pilihan, harus begitu. Itu-lah mengapa Bank Mandiri yang nasabahnya ribuan di seluruh Indonesia bisa mendapatkan WTP, itu karena sistem mereka online, jadi mudah untuk dimonitor.

Apa pesan Anda untuk MA? Komitmen. Istikamah. Niatnya jangan berubah. Semangatnya harus sama. Kita harus konsisten dalam mempertahankan prestasi ini. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan MA untuk mempertahankan WTP. Pertama, memperbaiki sistem dan meningkatkan pengawasan, pengendalian, serta koordinasi penyu-sun an laporan keuangan di seluruh unit akuntansi, ser-ta meningkatkan pelaksanaan review oleh Badan

Pengawasan MA atas laporan keuangan MA yang akan datang. Kedua, memperbaiki pengelolaan, pertanggung-jawaban, dan pelaporan aset tetap dan barang perse-diaan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Yaitu, dengan meningkatkan pembinaan, koordinasi, dan pengendalian terhadap pengelolaan aset tetap dan persediaan di seluruh satker MA. Ketiga, berkoordinasi dengan lembaga donor un-tuk mendapatkan dokumen yang diperlukan sebagai dasar pengakuan belanja yang berasal dari hibah. Keempat, memperbaiki sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban pendapatan dan belanja negara, serta mematuhi seluruh ketentuan terkait dengan per-tanggungjawaban APBN. Kelima, meningkatkan pengawasan atas penge-lolaan dan pertanggungjawaban pendapatan, belanja, dan barang milik negara dengan melibatkan peng-awasan internal (Badan Pengawasan MA), termasuk mempercepat penyelesaian tindak lanjut hasil peme-riksaan. (Azz/MMA)

- No. 2 Edisi September 2013 | 17

LAPORAN UTAMA

dari MA, tetapi juga aset dari Depar-temen Kehakiman untuk Peradilan Umum dan aset dari Departemen Aga ma untuk Peradilan Agama. Meskipun tantangannya datang dari sana-sini, MA berkomitmen un-tuk meningkatkan opini dari WDP

ke WTP. Dengan berpatokan pada temuan BPK di tahun 2011 dan ta-hun sebelumnya, tim menentukan langkah strategi. Temuan BPK antara lain: Pertama, temuan SPI (Sistem Pengendalian Intern) berupa aset tetap. Kedua, temuan kepatuhan, an-

tara lain BNBP dan hibah. Karena selisih IP merupakan temuan SPI, tim sangat concern untuk menyelesaikannya. Tim terus bekerja keras, karena obsesi tim dan keinginan bersama warga MA adalah selisih IP menjadi zero dan mencapai

Wawancara dengan Sutisna (Kepala Biro Keuangan MA)

WTP Andil Semua Pihak

Apa saja yang telah dilakukan Biro Keu­ang an MA dan tim dalam meraih WTP? Perlu saya sampaikan di sini, sejak saat saya dilan-tik sebagai Kepala Biro Keuangan pada 30 April 2011, Sekretaris MA menekankan bahwa target utama yang harus diraih adalah mencapai opini WTP atas laporan keuangan MA, karena pelaksanaan reformasi birokrasi erat kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Obsesi untuk mencapai opini WTP adalah harapan seluruh jajaran MA dan hal ini sejalan juga dengan misi MA untuk menciptakan badan peradilan yang agung. Memang jalan dalam meraih WTP tidaklah mudah. Tetapi dengan arahan dari Sekretaris MA, kami bersa-ma tim melakukan banyak hal untuk mewujudkan WTP tersebut. Di sini dapat saya sebutkan beberapa hal yang kami lakukan. Pertama, merancang strategi untuk meraih WTP

itu. Dalam hal ini, salah satu hal yang sangat penting adalah komitmen dari seluruh jajaran MA, khususnya pimpinan MA, para eselon I di bawah koordinasi Se-kretaris MA, serta semua tingkat banding dan tingkat pertama di seluruh Indonesia untuk menyatukan tekad, semangat dan kerja tim dalam meraih WTP. Sekretaris selalu menekankan kepada kami di jajar an Biro Keuangan untuk menciptakan iklim ker-ja yang harmonis dan kondusif, serta komunikasi dan koordinasi yang efektif di semua lini, tidak hanya di ting-kat biro, tapi juga di tingkat jajaran sekretariat eselon I. Selain itu juga perlu koordinasi dan komunikasi yang efektif serta sinergi lintas lembaga, antara lain dengan Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuang-an dan Pembangunan (BPKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, menciptakan sistem untuk mencapai pre-dikat WTP, antara lain sistem komunikasi data nasional (Komdanas). Sistem ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan MA. Tanpa sistem yang berbasis teknologi, sangat mustahil untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan MA, karena penyusunan laporan keuangan memerlukan kecepatan dan ketepatan. Dengan Komdanas, penyusunan lapor-an keuangan menjadi lebih cepat dan tepat, mulai dari tingkat pertama, tingkat banding dan korwil, sampai ke MA, dihimpun oleh Biro Keuangan dari sistem akuntan-sinya (SAKPA) dan oleh Biro Perlengkapan dari sisteminformasi manajemen akuntansi barang milik negara (SIMAK BMN).

- No. 2 Edisi September 201318 |

LAPORAN UTAMA

WTP. Potensi yang ada digerakkan semua. Verifikasi dan validasi dilaku-kan te rus dengan dibantu DJKN ke da erah-daerah yang memiliki selisih IP yang besar. Pada 12 April 2013 selisih IP zero. Satu persatu masalah yang mengganjal untuk meraih WTP

terselesaikan. Selisih IP MA “terjun payung” dari Rp. 806,8 miliar ke Rp. 73,5 mi-liar, dan “lompat indah” menjadi zero dalam waktu yang singkat. Langkah menuju WTP semakin jelas. Tetapi masih ada beberapa lang-

kah lagi yang digalakkan demi men-capai opini teratas dalam laporan keuang an itu. Antara lain: Pertama, internalisasi yang efektif. Strategi pertama, tim melaku-kan monitoring dan eva luasi, moni-toring ke wilayah yang memiliki per-

Ketiga, menyusun pedoman akuntansi dan pelapor-an keuangan MA dan badan peradilan di bawahnya. Dengan pedoman tersebut dibangun keseragaman dalam hal penyusunan pelaporan keuangan, mulai dari tingkat pertama, tingkat banding sampai tingkat MA. Tentu pedoman yang kita keluarkan mengacu kepada regulasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Per-bendaharaan Kementerian Keuangan. Keempat, mengefektifkan nota kesepahaman an-tara MA dan BPKP dalam hal pendampingan, antara lain pendampingan dalam penyusunan laporan keuang-an menuju opini WTP. BPKP melakukan pendampingan dalam hal penyusunan laporan keuangan, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Yang tidak kalah penting adalah koordinasi de-ngan aparat pengawas internal, dalam hal ini Badan Pengawasan MA. Setiap kegiatan yang terkait dengan penyusun laporan keuangan, baik kegiatan supervisi dan validasi, kegiatan rekonsiliasi laporan keuangan dengan seluruh jajaran unit kerja eselon I dan seluruh korwil, maupun kegiatan rapat koordinasi akuntansi dan SIMAK BMN, selalu melibatkan Badan Pengawasan MA. Badan Pengawasan, sebagai aparat pengawas internal, memiliki kewajiban untuk melakukan review terhadap laporan keuangan MA sebelum laporan MA diserahkan kepada Kementerian Keuangan, khususnya laporan keuangan semester I unaudited dan tahunan. Demikian langkah-langkah yang telah kami lakukan untuk meraih WTP. Dengan dorongan dari Sekretaris MA, yang memberikan motivasi begitu kuat kepada kami bahwa segala sesuatu bisa diraih asalkan ada niat untuk bekerja keras, melakukan koordinasi dan komu-nikasi yang efektif dan membangun team work, kami semakin bersemangat untuk mewujudkan opini WTP. Kini sudah terbukti laporan keuangan MA mendapat

opini WTP. Semua ini adalah berkat andil semua pihak, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.

Upaya apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan opini WTP? Upaya peningkatan kualitas laporan keuangan untuk mempertahankan WTP sangat tergantung dari peningkatan kualitas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Dan itu mutlak dilakukan secara terus-menerus. Perlu komitmen yang tinggi dari pimpinan unit akuntansi dari tingkat satuan kerja, tingkat korwil, tingkat Eselon I dan tingkat lemba-ga secara konsisten. Peningkatan kualitas peran APIP (Badan Pengawasan) melalui review memberi kontribu-si dalam hal peningkatan opini BPK. Selain itu, perlu adanya peningkatan kompetensi sumber daya manu-sia penyusun laporan keuangan. Oleh karena itu, SDM perlu diperkuat dengan para operator yang menguasai teknologi informasi di tingkat korwil dan pusat, khusus-nya di Biro Keuangan dan Biro Perlengkapan. Perlu disampaikan bahwa Biro Keuangan telah berhasil menyusun Pedoman Pelaksanaan dan Per-tanggungjawaban Belanja Negara di lingkungan MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya melalui Peraturan Sekretaris MA Nomor 002 Tahun 2013. Ini salah satu upaya peningkatan kualitas pelaksanaan ang garan dalam mempertahankan WTP.

Apa harapan Anda? Harapan kami, khususnya Biro Keuangan, kita bisa mempertahankan opini WTP. Yang penting kita semua mau bekerja keras, berkoordinasi dan berkomunikasi secara efektif dan lebih baik lagi dengan semua unsur, baik di tingkat internal MA maupun lintas lembaga.

- No. 2 Edisi September 2013 | 19

LAPORAN UTAMA

masalahan yang kompleks. Kedua, melakukan pembinaan terhadap SAI. Strategi ketiga, melakukan verifikasi dan validasi inventarisasi penilaian aset ke daerah-daerah yang memili-ki perbedaan hasil inventarisasi dan penilaian. Keempat, rekonsiliasi data dengan melakukan langkah-langkah kerja ke daerah-daerah yang memiliki data SIMAK, TGR, SAKPAN, SAPP, dan lain-lain. Strategi kelima, menyu-sun laporan keuangan konsolidasi, menghimpun laporan keuangan ting-kat wilayah dan tingkat pusat. Kedua, building compe­tency. Strateginya adalah menyu-sun pedoman akuntansi dan lapor-an keuangan untuk MA dan badan peradilan yang di bawahnya. Ketiga, pendampingan yang terarah. MA membuat MOU dengan BPK di bidang manajemen keuang-an, pendampingan dalam pengelo-laan keuangan yang baik dan pen-dampingan untuk me-review laporan keuangan.

Keempat, konsolidasi yang baik. Ada tiga langkah yang dilaku-kan oleh tim. Pertama, bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, menyelesaikan warisan harta gono gini dari Kementerian Hukum dan HAM pasca satu atap. Sebab, warisan tersebut bukan hanya aset tetapi juga berbagai permasalahan-nya. Kedua, bekerja sama dengan BPK, antara lain menyediakan doku-men sumber yang diperlukan untuk keperluan audit BPK, lalu menindak-lanjuti temuan-temuan BPK. Personil BPK yg mengaudit keuangan MA ditempatkan di titik-titik strategis di pusat maupun di daerah. Tim segera menindaklanjuti temuan-temuan BPK secara komprehensif. Ketiga, bekerja sama dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Kare-na MA ingin melaksanakan perce-patan bukti kepemilikan atas tanah-tanah yang dimiliki pemerintah cq Mahkamah Agung. Tidak hanya sampai di lang-

kah-langkah tersebut, lalu rintangan datang. Selisih IP hasil yang su-dah fix menurut MA yang diperkuat oleh DJKN, ternyata tidak sesuai dengan BPK. Menurut BPK, selisih IP MA ma-sih ada Rp.67 miliar. Kabar itu menga getkan tim. Harus ke mana lagi meminta penilaian mengenai pengelolaan aset? Lembaga mana lagi yang kompeten se-lain DJKN? Tim terus melakukan perbaikan. Versi BPK

didalami dan dipelajari lagi. Satker yang mengelola SIMAK dipanggil un-tuk mendiskusikannya. Tim melaku-kan tata ulang verval sesuai dengan versi BPK, hingga selisih IP mencapai Rp.5 juta saja. Itu diselesaikan hanya dalam beberapa minggu. Sekali lagi, kerja keras dan komitmen bersama untuk berubah membuahkan hasil. Keajaiban terjadi ketika BPK melakukan rapat exit meeting pada Mei 2013 di gedung MA. Dr. Agung Firman Sampurna, SE., M.SI., salah satu perwakilan BPK yang ha dir pada rapat tersebut, mengatakan dalam sambutannya, “ MA bukan hanya luar biasa tetapi ajaib, karena: pertama, MA me ngelola keuangan yang tidak sedikit, 50,57 T (tahun 2012); kedua, satuan kerjanya ba nyak, yaitu 842 satuan kerja, dan mengelola DIPA seba nyak 830; ketiga, MA mengelola infrastruktur dalam jumlah besar, ya-itu 861 gedung, 4.544 rumah dinas, 6.490 kendaraan dinas roda dua, dan 3.833 kendaraan dinas roda empat.

- No. 2 Edisi September 201320 |

Sambutan Sekretaris MA, Nurhadi, pada acara penyerahan opini WTP MA di gedung BPK

LAPORAN UTAMA

Ini bukan main-main, sangat compli-cated, apalagi beberapa aset adalah warisan dari Kemenkumham. Tetapi semua itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang sangat singkat, kurang lebih satu tahun dan men-capai opini laporan keuangan yang terbaik, yaitu WTP. Inilah prestasi fenome nal. Kenapa? Karena yang dikelola dari seluruh permasalahan yang ada bisa diselesaikan dalam waktu yang sa ngat singkat” Sambut-an Agung Firman disambut aplaus meriah dari semua hadirin.

Mempertahankan Wibawa Lembaga Setelah memperoleh WTP, wajar jika seluruh warga MA ingin mem-pertahankan prestasi ini. Menurut Nurhadi, di tahun 2013 ini, semua harus bekerja lebih keras lagi. Harus melebihi prestasi tahun 2012. Capaian MA di tahun 2012 bu-kan hanya WTP. Ada capaian lain dari hasil kerja keras semua pihak. Pertama, penyerapan anggaran 2012 mencapai 95,07%. Mengingat jumlah satker yg besar, realisasi penyerapan pengelolaan keuangan MA itu adalah yang terbaik dari seluruh lembaga dan kementerian dari Kementerian Keuangan. Kedua, MA keluar dari daftar perawatan (ICU) BPK dan BPKP. MA dianggap sudah mampu berdiri sendiri. Capaian ini sudah memberikan kontribusi terhadap kewibawaan lembaga, setidaknya dari sisi kesekretariatan. Mencapai hasil baik memang sulit. Tapi mempertahankannya juga tak mudah. Untuk itu seluruh kom-ponen (SDM) bergerak untuk beker-ja lebih keras lagi. Di tahun 2013 ini

tantangan nya lebih berat, karena kendala DIPA bertaburan bintang, sehingga baru bisa start di bulan ke-enam. Sedangkan tahun 2012 kegiat-an sudah mulai sejak awal tahun. Capaian WTP tidak serta-mer-ta menyelesaikan PR. BPK masih memiliki catatan-catatan kecil. Tim bertekad dan berkomitmen, di sam-ping mempertahankan opini WTP, juga akan menghilangkan catatan-catatan kecil BPK tersebut, meski-pun kecil dan sifatnya immateriil, arti nya tidak akan mempengaruhi opini. Catatan-catatan kecil tersebut mi salnya kurang tertib melaporkan saldo BMN. Atau BNBP, masih ada laporan realisasi keuangan yang ti-dak sesuai dengan tupoksi MA. Catatan-catatan kecil, jika tidak diselesaikan, tidak akan mempe-ngaruhi apa-apa. Tetapi tim mem-punyai standar bahwa semua harus excellence, harus rapi. Pengalaman masa lalu menjadi pembelajaran, karena mengabaikan yang sepele la-ma-lama menjadi besar. MA memiliki rencana jangka panjang dan jangka pendek. Jika melihat ke cetak biru, pembaruan MA menuju peradilan yang agung dalam 25 tahun. Sekretariat sendiri memiliki obsesi capaian dari segi infrastruktur selesai tahun 2018. Artinya, lima ta-hun ke depan, mulai tahun 2014, bisa selesai. Infrastruktur yang pertama adalah gedung; kedua, rumah dinas; dan ketiga, kendaraan dinas. Sekre-taris sudah melakukan budgeting ang garan yang akan digunakan seki-tar 6,8 triliun dalam jangka 5 tahun. Nilai itu mengacu pada rata-rata be-lanja modal MA, yang di tahun 2012 sekitar 950 miliar.

Sedangkan jangka pendek, MA mencanangkan CTS/SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) bekerja sama dengan C4J. Seluruh pengadilan umum 352 satker wajib hukumnya menggunakan SIPP. Arti-nya, peradilan umum di tahun 2013 sudah otomatis online. Pada 2013 untuk memperbaiki infra-struktur, untuk urusan jaringan, MA bekerja sama dengan Telkom. MA berusaha untuk mengatasai masalah besar terhadap jaringan ini. Semua itu untuk perbaikan dan transparansi lembaga ini. Dan, yang tetap diperjuangkan dan dipertahankan adalah keingin an untuk menciptakan good and clean government, harus akuntabel, trans-paran. Semua hal, termasuk DIPA, tidak ada yang ditutupi. Ukur annya adalah MA periode 2012. Ini perta-ma kalinya MA transparans, karena RKAKL MA 2012, baik di pusat mau-pun daerah, sudah dimasukkan ke website. Baik besarannya maupun pemakaiannya tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Semua pihak bisa mengetahui pagu MA, cukup dengan melihat website. “Let’s create a good and clean government. Semoga kerja keras kita bersama bisa memberikan andil yang berarti untuk menciptakan Mahkamah Agung sebagai peradilan yang agung,” kata Nurhadi. Rakyat menunggu! (Azz)

- No. 2 Edisi September 2013 | 21

LAPORAN UTAMA

TAHUN 2012 Mahkamah Agung memperoleh dua penghar-gaan dari pemerintah. Pertama, penghargaan atas pelaksanaan an-ggaran dan penyerapan anggaran MA. Kedua, opini WTP (Wajar Tanpa Pengecuali an) dari BPK. Penghargaan pertama didapat atas pelaksanaan anggaran dan penyerapan anggaran MA yang men-capai 95,07%. Capaian itu menem-patkan MA di posisi urutan pertama di antara K/L yang sentral. Adapun penghargaan kedua, opini WTP (Wa-jar Tanpa Pengecualian), diperoleh setelah BPK melakukan audit keuan-gan dan audit SIMAK-BMN. WTP yang diperoleh MA adalah WTP mur-ni tanpa melalui tahapan WTP-DPP, loncat dua kali. Hal ini jarang didapat-

kan oleh instansi yang lain. Kedua penghargaan itu me-nyangkut anggaran. Dan di internal MA, Badan Urusan Administrasi (BUA) adalah bagian yang sangat menentukan dalam proses peren-canaan dan pelaksanaan anggar-an. Oleh karena itu, layak disoroti bagaimana seluk-beluk BUA mena-ngani bidang yang sensitif ini. BUA, di bawah pimpinan Dr. Drs. Aco Nur, M.H., membawahi 7 biro: Perencanaan dan Orga nisasi, Per-lengkapan, Keuangan, Kepegawaian, Hukum dan Humas, Kese kretariatan Pimpinan, dan Biro Umum. Khusus menyangkut anggaran, BUA mempu-nyai tugas memproses dan memper-juangkan anggar an di delapan ratus empat puluh dua (842) satker (pen-

gadilan) di seluruh Indonesia. Tugas itu dilaksanakan berdasarkan ren-cana anggaran yang diajukan oleh masing-masing satker (pengadilan). Struktur anggaran MA setiap ta-hun didapatkan berdasarkan penga-juan rencana anggaran dari seluruh pengadilan di empat lingkungan peradilan, yang dituangkan dalam RKA-K/L dari seluruh satker. RKA-K/L diajukan ke MA melalui BUA c.q. Biro Perencanaan untuk dilakukan koreksi/evaluasi rencana anggaran, kemudian disampaikan kepada Di-rektorat Jenderal Anggaran di Ke-menterian Keuangan. BUA, c.q. Biro Perencanaan, berperan sebagai ko-rektor sekaligus fasilitator dalam hal pembahasan anggaran di Kemen-terian Keuangan bersama Biro Pe-

Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran MA

- No. 2 Edisi September 201322 |

Dr. Drs. Aco Nur, MH.

Rapat koordinasi dan konsultasi anggaran 2014 di Hotel Seruni, Bogor.

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 23

rencanaan dan Panitera/Sekretaris dan Wakil Sekretaris tingkat banding seluruh Indonesia. Menurut Aco Nur, mereka inilah yang berusaha meya-kinkan Kementerian Keuangan dan mempertahankan anggaran yang diajukan oleh masing-masing satker (pengadilan). “Hasil penyampaian mereka menjadi dasar Kementerian Keuangan untuk memberikan ang-garan kepada MA dan pengadilan di empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia,” jelas Aco Nur. Proses memperjuangkan dan mempertahankan anggaran ini bu-kan hanya melalui Kementerian Keuangan, tapi juga Bappenas dan Komisi III DPR. Dari hasil perjuang-an melalui tiga instansi ini keluarlah apa yang dinamakan “pagu indika-tif” (pagu sementara). Pagu indikatif ini kemudian dikomunikasikan dan

dikonsultasikan serta dibagikan ke semua pengadilan di seluruh Indo-nesia berdasarkan pengajuan yang tertuang dalam RKA-K/L ma sing-masing satker. Kementerian Keuangan tidak pernah mengabulkan seluruh ren-cana anggaran yang telah diajukan oleh MA dan satker di bawahnya. Menurut Aco Nur, biasanya, dari nilai anggaran yang diajukan MA, paling tinggi 60% yang disetujui oleh Ke-menterian Keuangan, Bappenas dan Komisi III DPR. Maka dalam pemba-gian pagu indikatif yang telah disetu-jui oleh Kementerian Keuang an dan Bappenas digunakan skala prioritas. Dipilah antara rencana kerja yang perlu diberikan dan yang harus di-tunda untuk tahun berikut nya ber-dasarkan hasil komunikasi dengan satker empat lingkungan peradilan.

Begitulah struktur dan prosedur pen-gajuan ang garan MA dan satker di bawahnya sampai mendapat angga-ran definitif. Alokasi anggaran MA dan sat-ker di bawahnya setiap tahun se-lalu berbeda besarannya, tergan-tung kualitas dari perencanaan dan data dukung dari anggaran yang kita rencanakan serta kemampuan keuangan negara (APBN). Sebagai contoh, pada tahun 2012, rencana anggaran yang diajukan oleh MA dan pengadilan di bawahnya sebesar Rp. 9.363.720.822.000, sedang ang-garan yang disetujui pemerintah se-banyak Rp.5.107.469.009.000.000. Tahun 2013 diajukan sebesar Rp.9.227.340.234.000, disetujui se-besar Rp.5.325.898.740.000, belum termasuk APBN-P tahun 2013 sebe-

NO PERIHAL RIIL/USULAN DISETUJUI PEMERINTAH1 Belanja Pegawai 3. 942.427. 369. 000 3. 095. 920. 086. 0002 Belanja Barang a. Operasional 635. 694. 027. 000 435. 047. 000. 000 b. Non Operasional 632. 128. 014. 000 607. 502. 425. 0003 Belanja Modal (sarana dan prasarana) 4. 153. 468. 717. 000 968. 999. 578. 000 Jumlah 9. 363. 720. 822. 000 5. 107. 469. 009. 000

TAHUN 2012

NO PERIHAL RIIL/USULAN DISETUJUI PEMERINTAH1 Belanja Pegawai 3. 615. 062. 775. 000 3. 299. 671. 397. 0002 Belanja Barang a. Operasional 602. 789. 783. 000 413. 295. 472. 000 b. Non Operasional 755. 260. 203. 000 673. 073. 899. 0003 Belanja Modal (sarana dan prasarana) 4. 254. 227. 653. 000 939. 857. 972. 000 Jumlah 9. 227. 340. 234. 000 5. 325. 898. 740. 000

TAHUN 2013 (termasuk APBN-P sebesar Rp1,9 triliun untuk memenuhi PP 94/2013 dan Perpres 05/2013)

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 201324 |

NO PERIHAL RIIL/USULAN DISETUJUI PEMERINTAH1 Belanja Pegawai 5. 670. 130. 665. 000 5. 387. 042. 849. 000 2 Belanja Barang a. Operasional 593. 985. 573. 000 413. 295. 500. 000 b. Non Operasional 806. 513. 631. 000 599. 752. 800. 0003 Belanja Modal (sarana dan prasarana) 4. 899. 392. 986. 000 825. 000. 000. 000 Jumlah 11. 970. 022. 855. 000 7. 225. 091. 149. 000

TAHUN 2014

Tahun Belanja Barang dan modal Total Anggaran2012 2.011.548.923.000 5.107.469.009.0002013 2.026.227.343.000 5.325.898.740.0002014 1.838.048.300.000 7.225.091.149.000

sar 1,9 triliun rupiah yang disebabkan adanya PP No.94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim dan Perpres No. 05 tahun 2013 ten-tang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ad hoc. Tahun 2014, diajukan sebesar Rp.11.970.022.855.000, tapi hanya Rp.7.225.091.149.000 yang disetujui. Anggaran MA dan peng-adilan di bawahnya yang diajukan ke Menteri Keuangan dalam 3 (tiga) tahun berturut-turut. Minim Anggaran Belanja Ba­rang dan Modal Seperti disampaikan di atas, ti-dak pernah rencana anggaran yang te lah diajukan oleh MA dan satker di bawahnya disetujui 100%. Biasanya, paling tinggi 60% yang disetujui oleh Kementerian Keuangan, Bappenas dan Komisi III DPR. Dan menurut Aco Nur, dari total anggaran definitif, pemerintah selalu mengeluarkan ke-bijakan pemotongan, rata-rata 10% setiap tahun. Dari anggaran definitif

yang disetujui Pemerintah, anggaran belanja yang paling dominan (besar) adalah belanja pegawai, yaitu sekitar 80%. Sisanya 20% dibagikan pada belanja barang dan belanja modal. “Rata-rata belanja barang mendapat-kan 11%, sedang belanja modal mendapatkan 9%,” jelas Aco Nur. Belanja modal yang hanya 9% itu diperuntukkan terutama bagi pembangunan pengadilan baru, ter-masuk Pengadilan Tipikor, PHI, dan pembentukan pengadilan baru yang disebabkan pembentukan kabupat-en/kota dan propinsi baru, yang me-merlukan dana yang cukup besar. Ini dalam rangka penerapan peraturan perundang-undangan tentang pem-bentukan pengadilan khusus di se-tiap provinsi. Selain itu, ada pemba-ngunan prototipe pengadilan, rehab pengadilan, rehab serta pembangu-nan rumah dinas dan sarana trans-portasi. “Terjadi keterlambatan dalam proses pembangunan gedung pen-gadilan, pembentukan peng adilan

baru maupun pembangunan rehab gedung kantor, rumah dinas dan pro-totipe pengadilan serta sarana trans-portasi,” keluh Aco Nur me nyangkut kecilnya anggaran belanja modal yang digelontorkan pemerintah. Political Will Pemerintah dan DPR Dari minimnya anggaran be-lanja barang dan modal, tampak bahwa political will dari Pemerintah maupun DPR kurang mendukung pembangun an pengadilan. Padahal Pemerintah dan DPR mengeluar-kan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan MA untuk mem-bentuk pengadilan khusus di seluruh provinsi. Pemerintah dan DPR tidak konsisten untuk menerapkan regulasi yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain, Pemerintah dan DPR menggu-nakan rasionalitas terbalik. “Pemerin-tah dan DPR mendesak MA dengan tenggang waktu tertentu untuk mem-bentuk pengadilan khusus di seluruh provinsi, tetapi anggaran yang men-jadi kebutuhan dalam proses pemba-ngunan peradilan tidak didukung. Ini sangat menyulikan bagi MA,” tegas Aco Nur. Akan tetapi, menghadapi keadaan itu, MA tidak tinggal diam.

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 25

NO PERIHAL ALOKASI

1 Belanja Barang Operasional- Kebutuhan sehari-hari perkantoran Antara lain: ATK, perlengkapan fotokopi atau komputer,

biaya keamanan dan kebersihan- Langganan daya dan jasa Antara lain: Langganan listrik, telepon, air, jasa pos- Pemeliharaan Kantor Antara lain: Pemeliharaan gedung, sarana prasarana kantor,

pemeliharaan kendaraan bermotor.- Pembayaran terkait operasional kantor

Antara lain: Pelantikan/pengambilan sumpah jabatan, Ke-protokoleran, pemeriksaan kesehatan

- Layanan Perkantoran Antara lain: Pembayaran gaji, tunjangan, uang makan2 Belanja Barang Non Operasional

Antara lain : Bimtek PersuratanBimtek KepegawaianBimtek PerlengkapanBimtek Keuangan Bimtek Perencanaan dan Anggaran

3 Belanja Modal - Pengadaan Sarana dan Prasarana di Lingkungan MA- Kendaraan Bermotor

Antara lain: Kendaraan Pejabat Negara, kendaraan pejabat eselon 1, kendaraan pejabat eselon II, kendaraan eselon III, kendaraan roda 6, kendaraan roda 4 dan kendaraan roda 2

- Perangkat Pengolahan DataAntara lain: Laptop, komputer, printer, scanner, LCD/proyektor

- Peralatan Fasilitas KantorAntara lain: Meubelair, AC, lemari berkas, genzet, brankas, lift, dll.

- Gedung/BangunanAntara lain: Gedung, taman, tempat parkir, pagar, pos peng-amanan

ALOKASI ANGGARAN BELANJA BARANG DAN MODAL

MA melakukan pendekatan ke Menteri Keuangan, Bappenas, Komisi III DPR untuk memberikan gambaran tentang keadaan yang sebenarnya. “Kita menjelaskan bah-wa seharusnya MA tidak dikenai

pemotongan karena MA telah melak-sanakan peng anggaran yang baik,” kata Aco Nur. Aco Nur benar. Terbukti untuk tahun 2012 MA mendapat urut-an nomor 1 dalam hal penyerapan anggaran di antara instansi-instansi

sentral (yang mempunyai satker de-ngan jumlah yang banyak). Kalaupun ada temuan dari BPK, itu tidak bersi-fat materiil.

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 201326 |

Wawancara dengan Dr. Drs. Aco Nur, M.H. (KaBUA)

Apakah anggaran MA yang disetujui Peme rintah setiap tahun mencukupi? Tidak mencukupi. Anggaran yang kita ajukan untuk setiap tahunnya hanya disetujui sekitar 60%. Padahal ang garan yang kita ajukan itu berdasarkan kebutuhan riil, sesuai dengan saran Menteri Keuan-gan. Akibatnya, ada kegiatan pada tahun berjalan untuk sementara di-pending. Apakah kegiatan yang di­pending itu ti­dak bisa diajukan pada tahun berikutn­ya? Bisa. Rencana kegiatan yang di-pending untuk tahun 2012 karena anggaran yang disetujui sangat terbatas, kita ajukan lagi pada tahun 2013 atau tahun berikutnya untuk kesinambungan proses pembangu-nan pengadilan yang kita sama-sama harapkan.

Menghadapi pemotongan anggaran, apa yang dilakukan MA? Memberikan penjelasan dan meyakinkan Kemente-rian Keuangan, Bappenas, dan Komisi III, bahwa pemo-tongan tidak sesuai dengan aturan main yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. MA pada tahun 2012 seharusnya mendapatkan reward tidak dipotong, karena MA mampu melakukan penyerapan anggaran sebesar 95,07%, nomor urut satu dari jumlah satker terbanyak dan instansi yang masih sentral. Dengan prestasi itu, seharusnya MA terle-pas dari pemotongan, sesuai dengan regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Ini yang kami sampaikan, sehingga pemotongan yang semula jumlahnya 147 miliar rupiah dikurangi menjadi 19,9 miliar rupiah untuk tahun ang garan 2013.

Dengan anggaran sebesar itu, pos mana

yang paling besar alokasinya?Alokasi anggaran setiap tahun yang paling besar adalahbelanja pegawai, yaitu sebesar 80%. Sisanya 20% dibagikan pada belanja barang dan belanja modal. Se-harusnya pemerintah menambah anggaran untuk belanja barang dan modal untuk membuktikan tingkat konsistensi terhadap kebijakan yang telah diambil dalam rangka pem-bentukan pengadilan khusus dan pengadilan baru akibat dari pembentukan provinsi, kota dan kabupaten yang baru.

Biro apa yang memberikan dukungan kepa­da Bapak dan bagaimana pembinaan dan koordinasinya? Semua biro mendukung keberhasilan tugas dan fung-si BUA. Khusus menyangkut anggaran, ada 2 unit yang terkait erat, yaitu Biro Perencanaan dan Biro Keuangan. Kedua unit ini yang melakukan pembinaan terhadap pe-rencanaan dan pelaksanaan anggaran. sehingga pada ta-hun 2012 penyerapan anggaran di MA mencapai 95,07%

Anggaran dalam Website

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 27

dari 842 satker. Itu berarti MA dan badan peradilan di bawahnya sudah menerapkan ketentuan menyangkut penganggaran yang baik. Lagipula, laporan keuangan MA sudah dinilai oleh BPK dan tidak ditemukan hal-hal yang sifatnya menghambat untuk memperoleh opini WTP (Wa-jar Tanpa Pengecualian). Ini menunjukkan bahwa telah terjalin komunikasi, koordinasi, kerjasama dan komitmen untuk membangun peradilan yang lebih baik.

Mengenai opini WTP dari hasil audit BPK, apa pendapat Bapak? Opini WTP yang diperoleh MA pada tahun 2012 me-rupakan hasil kerja keras semua unsur yang ada di MA dan badan peradilan di bawahnya. Keberhasilan ini su-dah lama kita idam-idamkan, tapi baru sekarang MA mendapat kannya, sedangkan instansi yang lain sudah lebih dulu mendapatkan WTP. MA termasuk yang terakhir. WTP baru diperoleh MA tahun 2012 karena sebelumnya kita mewarisi banyak problem setelah adanya kebijakan satu atap peradilan di bawah MA. Dari tahun 2006 sampai 2012, kami mengelola warisan SIMAK BMN dari Depar-temen Kehakiman dan Departemen Agama yang mem-punyai masalah yang banyak, namun kami kelola dengan baik sampai mencapai WTP.

Menurut bapak, WTP itu suatu prestasi atau sesuatu yang biasa? Menurut saya, itu merupakan prestasi yang luar biasa dan hasil kerja keras seluruh elemen yang ada di MA dan badan peradilan di bawahnya. Coba kita lihat opini dari tahun 2007 sampai dengan 2009 laporan MA disclaimer, 2010 dan 2011 opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Tahun 2012 sudah WTP tanpa melalui WTP-DPP. Jadi, kalau kita bandingkan dengan institusi atau K/L yang lain, hasil itu adalah prestasi yang luar biasa karena kita me-ngelola aset 10 triliun rupiah lebih dan punya problem be-sar akibat dari warisan Departemen Aga ma, Hukum dan HAM, dan Pertahanan dan Keamanan, ditambah meng-koordinasi 842 satker di seluruh Indonesia. Bahkan, waktu Ketua dan Sekretaris MA menerima opini WTP kemarin, BPK mengatakan bahwa MA sebenarnya bukan hanya mengelola 842 satker (DIPA), melainkan mengelola 1.603 DIPA karena setiap peng adilan mempunyai 2 DIPA. BPK tidak hanya melihat jumlah satkernya, melainkan memerik-

sa DIPA. Jadi, ini prestasi yang luar biasa. Tidak ada satker di Indonesia ini yang mempunyai 1.603 DIPA.

Mengenai koordinasi penghematan dan pe­ngendalian anggaran di lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya, Bapak bisa menjelaskannya? Koordinasi yang dimaksudkan sebenarnya bukan sekedar penghematan anggaran, melainkan optimalisasi pemanfaatan anggaran. Apabila ada anggaran yang tidak bisa direalisasikan, maka anggaran tersebut harus cepat diajukan untuk direvisi agar bisa digunakan satker lain yang membutuhkannya, sehingga penyerapan anggaran dan efisiensi anggaran dapat berjalan dengan baik. Di sini perlu evaluasi dan pengawasan untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan anggaran. Deteksi dini terhadap permasalahan sangat diperlukan. Apabila kita menemukan hambatan yang tak bisa diatasi, anggaran harus cepat direvisi, diinformasikan ke Biro Per-encanaan bahwa ada anggaran yang tidak mampu direal-isasikan, sehingga BUA dapat melakukan revisi anggaran untuk digunakan satker lain yang membutuhkan, sehingga manfaat dari anggaran tersebut dirasakan oleh pengadilan.

Di kementerian ada pengawasan internal yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal. Bagaimana dengan pengawasan internal di lingkungan MA? Mengenai pengawasan internal dalam hal pelaksa-naan anggaran, kita selalu berkoordinasi dan dievaluasi oleh Badan Pengawas MA. Badan ini melakukan peme-riksaan rutin atau pemeriksaan insidental berdasarkan laporan adanya pelaksanaan anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pengawasan memberikan manfaat yang luar bisa untuk meminimalkan pelaksanaan anggar an yang meny-impang dari rencana atau yang tidak sesuai dengan keten-tuan atau perencanaan yang sudah ditentukan sehingga kita dapat mencegah penyimpangan yang dilakukan oleh satker. Jika ada temuan Badan Pengawas, itu akan ditin-daklanjuti dengan melakukan pemeriksaan, kemudian ha-sil pemeriksaan itulah yang menjadi rekomendasi sebagai dasar untuk penindakan lebih lanjut.

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 201328|

Sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam pengelolaan anggaran MA, apa­kah yang Bapak lakukan apabila ada penye­lewengan dalam pemakaiannya? Kalau ada laporan dari pengadilan atau siapapun ten-tang adanya penyimpangan pelaksanaan anggaran, kami akan membentuk tim untuk melakukan pengawasan dan evaluasi untuk melihat secara internal permasalahan ini, apakah permasalahan ini bisa diselesaikan secara internal atau tidak. Seandainya tidak bisa, maka akan kami sam-paikan kepada Badan Pengawas (Bawas) untuk melakukan pemeriksaan, apakah memang ada penyimpangan atau tidak. Kalau ada penyimpangan, Bawas memberikan re-komendasinya, sehingga jelas apa yang harus dilakukan. Pada 23 Mei 2013 yang lalu, MA meresmikan sekaligus 39 Pengadilan Negeri di seluruh In­donesia secara simbolis di PN Tenggarong. Apakah ini suatu bentuk penghematan? Benar, dan itu merupakan kebijakan Ketua MA sehing-ga peresmian kami pusatkan di PN Tenggarong. Itu untuk efisiensi anggaran. Yang penting, dengan adanya gedung baru, pengadilan melayani masyarakat pencari keadilan dengan baik. Pembangunan ini didanai dengan uang rakyat melalui pemerintah, maka harus ada imbalannya untuk rakyat, yaitu pelayanan yang baik. Apalagi sekarang hakim mempunyai tunjangan yang cukup besar. Hal ini ber arti hakim harus melayani masyarakat pencari keadilan dengan memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Bagaimana tunjangan hakim dan pegawai MA ke depan? Sudah ada political will dari pemerintah untuk mem-berikan kesejahteraan kepada MA. Sekarang ada tunjang-an pejabat negara yang diberikan kepada para hakim. Sta-tus hakim dijadikan pejabat negara dengan tunjangan yang sangat tinggi. Hakim pengangkatan pertama penerimaan-nya sudah mencapai 10 juta rupiah. Ketua Pengadilan Tinggi sudah mencapai 45 juta rupiah, berarti naik bebera-pa kali lipat dari tunjangan sebelumnya. Ini penghargaan dari masyarakat dan pemerintah kita. Karena itu, MA ha-rus punya kesadaran yang tinggi dalam pelaksanaan pe-layanan kepada masyarakat pencari keadilan. Berdasarkan PP No.94 tahun 2012 dan Perpres No.

05 Tahun 2013, tunjangan hakim dan hakim ad hoc sebagai pejabat negara sudah cukup besar. Tinggal bagaimana kita memperjuangkan tunjangan remunerasi bagi panitera, ju-rusita, pejabat struktural dan staf sehingga perbedaan jum-lah yang diterima hakim, pejabat kepaniteraan dan pejabat kesekretariatan serta staf tidak terlalu jauh, dan tidak me-nimbulkan suasana yang tidak nyaman/sehat. Kenaikan remunerasi telah diperjuangkan oleh KMA dan Sekma. Konsep usulan telah disampaikan ke Menteri Keuangan. Tinggal menunggu persetujuan dari Presiden. Sambil menunggu persetujuan tersebut, kita harus dapat meningkatkan kinerja dengan baik, meminimalkan ke-salahan pelaksanaan kegiatan seperti pelaporan keuang-an, pencatatan SIMAK BMN dan pelayanan kepada ma-syarakat pencari keadilan serta memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Apakah pelayanan sudah bagus selama ini? Sudah sangat bagus. Dalam pelayanan MA dan peng-adilan di bawahnya telah digunakan teknologi informasi seperti website, desk info, dan CTS. Masyarakat pencari keadilan tidak perlu lagi bertatap muka dengan pegawai. Sudah ada transparansi dan akuntabilitas kepada publik. Itulah sebabnya survei yang dilaksanakan KPK pada ta-hun 2011 tentang integritas MA mendapatkan peringkat ketiga, dan survei KIP tahun 2011 tentang transparansi MA mendapat peringkat keenam. Ini membuktikan bahwa MA dan jajarannya telah melayani masyarakat dengan baik, sesuai dengan regulasi SK Ketua MA Nomor 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan dan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 026 Tahun 2012 me-ngenai Standar Pelayanan Peradilan. Usaha MA ini adalah untuk menjawab tuntutan dari masyarakat pencari keadilan agar terwujud keadilan dan kepastian hukum.

Bapak tentu punya target capaian. Apakah capaian di bidang anggaran telah sesuai dengan yang seharusnya? Sebenarnya para pejabat Eselon I dan Sekretaris MA mempunyai harapan yang tinggi , khususnya dalam hal peningkatan di bidang anggaran belanja modal dan barang untuk membangun sarana dan prasarana pengadilan yang lebih baik, akan tetapi anggaran yang diberikan pemerin-tah ini kenyataannya sangat kecil sehingga pembangunan

LAPORAN UTAMA

- No. 2 Edisi September 2013 | 29

sarana dan prasarana menjadi tersendat tidak sesuai de-ngan yang diharapan. Semoga anggaran untuk tahun 2015 sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan.

Jadi, apa yang menjadi target Bapak? Target kami 5 tahun ke depan, semua gedung peng-adilan kita sudah sesuai dengan prototipe. Kemudian, ru-mah dinas yang rusak kita perbaiki sehingga bisa ditempati oleh hakim. Begitu juga sarana dan prasarana lainnya.

Jadi selama ini belum sesuai dengan proto­tipe? Masih ada yang belum sesuai dengan prototipe, kare-na keterbatasan anggaran belanja modal. Untuk itu para pejabat Eselon I bersama dengan Sekretaris MA selalu berusaha untuk meyakinkan pemerintah dan DPR bahwa MA sangat membutuhkan peningkatan anggaran belan-ja modal dan barang untuk menjalankan roda organisasi peng adilan dengan baik.

Termasuk sarana perpustakaan pengadilan? Ya, termasuk. Setiap pengadilan harus punya ruangan perpustakaan dengan buku-buku keperluan sehari-hari para hakim dalam rangka mendukung proses penyelesai-an perkara. Perpustakaan sangat penting bagi suatu or-ganisasi apalagi bagi peradilan berkembang dengan dina-mis yang sangat membutuhkan literatur yang baru.

Apakah benar di setiap pengadilan itu ada perpustakaan? Benar. Perpustakaan itu kebutuhan karena itu bak ilmu. Dan ukuran suatu peradaban manusia adalah sejauh mana menguasai ilmu. Karena itu, setiap pengadilan selalu pu nya perpustakaan, walaupun ruangannya terbatas tapi tetap mempunyai buku. Sebab, buku-buku itulah yang memberi daya dukung dalam proses penyelesaian perkara.

Terakhir, masyarakat tentu berharap MA se­bagai institusi penegak hukum, berada di barisan paling depan dalam hal transparan­si. Dalam konteks ini mungkinkah laporan pemakaian anggaran di MA kami muat dalam majalah MA ini? MA sudah bertekad untuk transparan, bukan hanya di majalah MA. Anggaran tahun ini telah dimuat dalam web-site MA sebagai wujud keterbukaan pada publik, sesuai dengan undang-undang tentang transparansi dan keterbu-kaan. Sebagai catatan, MA sendiri selangkah lebih maju dari pemerintah dalam hal keterbukaan. MA sudah menge-luarkan SK Ketua MA nomor 144 Tahun 2007 mengenai keterbukaan informasi di pengadilan sebelum Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 ten-tang Keterbukaan Informasi Publik.

GEGAP gempita kemeriahan bulan Agustus ikut dirasakan Mahkamah Agung. Senin, 19 Agustus 2013, MA genap memasuki usia 68 tahun. Hari jadi ini ditetapkan oleh Surat Keputusan Ketua MA nomor KMA/043/SSK/VIII/1999. Namun, rasa suka cita sudah mulai dirasakan war­ga pengadilan sejak Minggu, 18 Agustus 2013. Tepat di tanggal itu, MA mengadakan acara jalan santai bertajuk “Dengan semangat keterbukaan dan kebersamaan mewu­judkan badan peradilan modern dan agung” yang diikuti oleh pimpinan MA, hakim agung, hakim ad hoc, hakim yus­tisial, dan seluruh pegawai MA. Jalan santai sengaja dipilih karena merupakan olahraga yang mudah dilakukan oleh

semua kalangan dan usia. Acara dimulai dengan kegiat­an senam bersama. Selain sebagai pemanasan sebelum jalan santai, kegiatan senam ini bertujuan pula mendekat­kan unsur pimpinan dan seluruh pegawai. Dipandu oleh instruktur senam profesional dan artis­artis ibukota, maka lengkaplah sudah kemeriahan acara senam pagi bersama ini. Jangan bayangkan senam aerobik dengan keringat bercucuran. Cukup gerakkan kepala ke kanan dan kiri, pinggang berputar, tangan melingkar. Selebihnya dominan tawa dan teriakan lepas para peserta. “Otot yang tegang kini sudah menjadi lemas,” begitu seloroh ketua MA, Hatta Ali, yang disambut tawa para hakim agung.

Terbuka dan Modern di Usia 68 Tahun

LAPORAN KHUSUS

­ No. 2 Edisi September 201330 |

Seorang hakim agung pun ikut bergoyang aerobik.Donor darah, salah satu kegiatan ulang tahun MA RI

keras mewujudkan peradilan yang lebih baik melalui per-baikan terhadap semua lini lembaga peradilan, sebagai wujud dari kesatuan perencanaan dan komitmen langkah MA,” tandas Hatta Ali lagi. Semangat keterbukaan dalam pengadilan juga men-jadi satu hal yang digarisbawahi pada HUT MA tahun 2013 ini. Itu ditandai dengan ikhtisar-ikhtisar strategis untuk mewujudkan peradilan yang agung melalui upaya mo-dernisasi proses kerja. Keterbukaan pengadilan ditandai dengan sistem pelacakan perkara (Case Tracking System/CTS) yang dipergunakan untuk peradilan umum. Dalam kebersamaan dan keterbukaan, MA mewujud-kan peradilan modern dalam arti seluas-luasnya. Modern tidak hanya dalam arti harfiah, perangkat modern, melain-kan juga cara berpikir. Hal ini penting, karena ke depan peradilan dituntut untuk beroperasi lebih efektif dan efisien, baik secara teknis yudisial maupun manajemen.

Gerakan Bersih­Bersih Seluruh peserta yang hadir untuk merayakan ulang tahun Mahkamah Agung ada 7.000 orang. Jumlah yang cu kup besar itu berasal dari warga MA dan Peradilan Se-jabodetabek. Setelah jalan santai diselenggarakan kerja bakti “Gerakan Bersih-bersih” lingkungan Monas dan Mah-kamah Agung oleh para peserta senam pagi dan jalan san-tai. Semua peserta mendapatkan snack dan makan siang yang dibawa masing-masing wilayah peng adilan. “Coba bayangkan sampahnya, apabila dalam waktu

LAPORAN KHUSUS

Penampilan formal para pimpinan yang sehari-hari kini berganti dengan kaos putih dan celana training plus sepatu kets. “Mensana in corpore sano, ya Bapak-Ibu. Biar kita semua fresh,” sambung ketua MA lagi di sela-sela senam pagi. Bahkan beberapa hakim agung terlihat ber-penampilan nyentrik dengan mengenakan kacamata hitam berbingkai lebar dan topi berwarna mencolok. “Kacamata saya ini tembus pandang, lho,” canda hakim agung Abdul Ghani Abdullah. Keriangan dan keceriaan juga terpancar jelas di wajah para pegawai dan keluarga. Di sebelah panggung utama tampak Indra Brugman, Kiki Fatmala, Merriam Belina, dan Trio Macan laris manis melayani permintaan para peserta senam. “Gak nyangka, yang jadi instruktur senam artis-ar-tis, jadi sekalian foto bareng saja untuk kenang-kenangan,” ujar Ida, salah satu pegawai MA. Kemeriahan ulang tahun kian terasa saat pemba-wa acara menyampaikan hadiah utama doorprize 3 unit sepeda motor. Jadi, sambil berolahraga juga mendapatkan hadiah. Hadiah doorprize berasal dari warga pengadilan sendiri. Sebagian besar hasil sumbangan dari para hakim agung dan pengadilan di wilayah Jabodecitabek. “Jadi dari kita, oleh kita, dan untuk kita,” tandas Kepala Biro Umum, Ramdhani Dudung. Kebersamaan menjadi satu tema besar dari HUT MA tahun ini. “Semangat kebersamaan harus terus dibangun dan dijaga dengan baik di antara kita. Kebersamaan inilah yang membuat kita menyatukan langkah untuk berusaha

Keriangan dan keceriaan terpan-car jelas di wajah para pegawai dan keluarga.

- No. 2 Edisi September 2013 | 31

- No. 2 Edisi September 201332 |

MAHKAMAH AGUNG genap berumur 68 ta-hun pada 19 Agustus 2013 ini. Selama 68 tahun itu, beragam suka-duka dialaminya dalam menjalankan roda benteng terakhir keadilan. Berikut sekelumit se-jarah lembaga yang berawal dari Hooggerechtshof ini. Hari jadi Mahkamah Agung terhitung sejak pe-ngangkatan Ketua Mahkamah Agung yang pertama, yaitu Mr. Dr. RSE Koesoemah Atmadja, oleh presi-den pertama RI, Ir. Soekarno, pada 19 Agustus 1945. Meskipun badan peradilan telah ada jauh sejak masa kolonial, secara resmi hari jadi Mahkamah Agung ada-lah tanggal tersebut. Hal ini diperkuat oleh Surat Kepu-tusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/043/SSK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahka-mah Agung tanggal 19 Agustus 1945. Mahkamah Agung berawal dari Hooggerechtshof, pengadilan tertinggi masa kolonial yang berkeduduk-an di Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh wilayah Indonesia. Hooggerechtshof terdiri dari se-orang ketua dan 2 orang anggota, seorang pokrol jen-

LAPORAN KHUSUS

Sumber foto: Dody Gimbal

yang hampir bersamaan 7.000 orang makan snack atau-pun makan siang bareng,” kata salah satu panitia, Kartika. Sudah benar, panitia mengantisipasi tumpukan sampah ini dengan “gerakan bersih-bersih.” Tanpa mengandalkan para petugas kebersihan. Sejak pagi panitia memang membagi-bagikan kantong plastik hitam berukuran besar dan kaos tangan plastik. “Si-lakan Ibu-ibu, Bapak-bapak, adik-adik ini kantong sampah, jika ada sampah berserakan silakan dimasukkan ke sini,” kata mereka dengan ramah. Respons dari peserta macam-macam, ada yang antu-sias langsung dan memunguti sampah dan memasukkan nya ke dalam kantong. Ada yang biasa-biasa saja, kantongnya diambil tapi tidak memungut sampah yang berserakan. Ada yang menolak kantongnya, karena lebih memilih menikmati olahraga jalan santai bersama keluarga dan sahabat. Ketika waktu makan siang tiba, di penghujung acara, panitia dengan sigap meletakkan kantong-kantong sampah di sekitar peserta yang sedang menikmati makan siang. Jika tidak, tak terbayangkan betapa menumpuknya sampah siang itu kalau harus menunggu petugas kebersihan bekerja. Gerakan bersih-bersih jelas sebuah upaya bagus. Se-cara harfiah mengajak masyarakat, terutama kalangan ke­luarga besar MA, untuk memulai hidup bersih secara fisik. Spirit bersih seperti ini pada akhirnya semoga akan mera-suki jiwa keluarga besar Mahkamah Agung. Semoga gerakan bersih-bersih bisa menjadi kultur hidup sehat di lingkungan keluarga besar MA. Sebuah ke-hendak untuk menanamkan tekad: “Bersih di luar, bersih di dalam.” (IFAH/TIM MA)

Dari Hooggerechtshof ke Mahkamah Agung

- No. 2 Edisi September 2013 | 33

deral dan 2 orang advokat jenderal, serta seorang panite ra yang jika perlu dibantu seorang panitera muda atau lebih. Jika perlu, Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hooggerechtshof tersebut dengan seorang wakil ketua dan seorang anggota lagi atau lebih. Pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia, tidak ada badan kehakiman yang tertinggi. Satu-satunya ketentuan yang menunjuk ke arah badan kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Un-dang-Undang Dasar 1945. Dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946, ditunjuklah kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Per-aturan tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Pene-tapan tersebut pada alinea II berbunyi: “Menunjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota DJAKARTA-RAJA.” Baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan

Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada 3 Maret 1947. Undang-Undang itu kemudian diganti dengan Un-dang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 menyatakan Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat di-adakan dengan undang-undang federal, dengan penger-tian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang meng-adili dalam tingkat pertama, dan sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat apel. Setelah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tahun 1965 dibuat undang-undang yang mencabut Undang-Undang No. 19 tahun 1948 dan No. 1 tahun 1950, yang sudah tidak sesuai dengan keadaan. Lahirlah Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mah-kamah Agung.

LAPORAN KHUSUS

ADVERTORIAL

- No. 2 Edisi September 201334 |

- No. 2 Edisi September 2013 | 35

“HIDUP ha nya menunda kematian,” kata para sufi. Sebuah renungan kehidupan dan kematian yang dalam. Tetapi, kematian, meski dalam garis nasib yang telah di-tulis oleh-Nya, selalu mengagetkan. Selalu menggoreskan duka yang dalam bagi yang ditinggalkan. Terlebih jika ia seorang yang punya peran penting bagi publik, dan rendah hati pula! Mantan hakim agung Prof. Dr. Paulus Effendi Lotu-lung pastilah sosok yang punya peran penting itu dalam pembangunan hukum di Indonesia, khususnya hukum administrasi. Ia berpulang pada Kamis (29 Agustus 2013) siang di Rumah Sakit MMC, Jakarta, karena sakit jantung dan komplikasi darah tinggi. Sebelumnya, sela-ma beberapa hari, Prof. Paulus koma dan dirawat di RS Rafflesia, Singapura. Kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 9 Maret 1943 ini meninggal-kan seorang istri, Sri Murtinah Widodo. Tentu saja, meski keluar-ga besar MA sebagian telah tahu hakim yang aktif menga-jar di Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran ini men-derita sakit, tapi duka tetap mengge-layuti. Seorang dengan pengabdian yang panjang di dunia peradilan dipanggil pulang oleh Sang Pemiliknya. Ia seorang pakar hukum administrasi yang amat menguasai sengketa niaga. Wajar, ia pernah diberi kepercayaan sebagai Ketua Tim Pembaharuan Mahkamah Agung. Banyak yang mengatakan Paulus ada-lah duta Mahkamah Agung. Paulus mengawali kariernya sebagai CPNS di PN Malang, Jawa Timur, 1963. Tiga tahun kemudian, lulus-an S-1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu diangkat menjadi PNS ketika berdinas di PN Gresik. Kemudian ia bertugas sebagai hakim yustisial di PT Surabaya, hakim di PN Jakarta Pusat, hakim PTUN Jakarta, wakil ketua PTUN Jakarta, dan hakim yustisial pada Puslitbang MA. Dari 1996 hingga 2000, lulusan Universitas Sorbone Prancis ini

menduduki jabatan sebagai Kepala Penelitian Puslitbang MA, hakim tinggi PTUN Jakarta, hakim agung, dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan TUN. Sejak 2009 ia menjadi Ketua Muda Tata Urusan Negara hingga purna-bakti 1 April 2003. Ia bukan saja pribadi dengan semangat belajar dan menulis yang kuat, tapi juga narasumber dan pengajar profesional dengan penguasaan ilmu yang kuat dan cara mengajar yang spesifik, sehingga menjadi kenangan tersendiri bagi para hakim, law society dan akademisi. Peranannya mewakili Mahkamah Agung pada lem-baga-lembaga dan komunitas internasional sangat pen-

ting bagi MA. Kemampuan dan penguasaan-nya yang komprehensif di berbagai

bidang keilmuan maupun hukum tersebut sungguh sulit terganti-

kan oleh orang lain. Pengabdiannya yang panjang, spiritnya untuk te rus belajar, loyalitasnya pada institusi, dan dedi-

kasinya yang kuat dalam penegakan hukum, Paulus

jelas sebuah oasis. Pria yang menguasai bahasa Inggris, Pran-

cis, dan Belanda ini mestinya men-jadi motivasi dan inspirasi bagi para hakim

lain. Sebab, posisi hakim amat menentukan dalam menghitamputih kan hukum di sebuah negara. Itulah sebabnya, pada peluncuran 3 buku Paulus (1 April 2013) menjelang masa purnabaktinya, Laicha Mar-zuki berharap Tuhan terus menjaga para hakim. “Jangan pernah pergi Tuhan. Tetaplah berada di tengah-tengah kami,” kata Laicha waktu itu. Tuhan memang tak akan pernah pergi. Sang hakimlah yang pergi menghadap Sang Penciptanya. Tak se orang pun bisa mencegahnya. Juga Paulus Effendi Lotulung. Selamat berpulang, Pak Paulus, hakim yang mulia, sang penegak keadilan.

Selamat Berpulang, Hakim yang Rendah Hati

Oleh Dr. Ridwan Mansyur, SH., MH.

OBITUARI

MUDA

- No. 2 Edisi September 201336 |

Tunas Baru PendekarKeadilan

PAGI itu, Rabu 12 Juni 2013, gedung Mahkamah Agung RI ramai dipadati calon hakim dan orang tua calon hakim. Sejak pukul 07.00 WIB kedatangan mereka sudah mulai terlihat, padahal acara baru dimulai pukul 10.00 WIB. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 08.00, kesibukan semakin meningkat di lobby gedung Mahkamah Agung. Sebanyak 8 meja registrasi yang tersedia dijejali para calon hakim. Mereka mengisi daftar hadir dan mengambil stiker sebagai tanda masuk orang tua atau keluar-

ga mereka. Kehadiran mereka lebih awal tentu saja untuk mengantisipa-si keterbatasan tempat duduk yang disediakan panitia, khususnya bagi orang tua atau keluarga yang hadir. Sementara itu, di ruang Kusu-maatmadja, tempat acara akan ber-langsung, berbagai persiapan dilaku-kan panitia. Pemandu acara (master of ceremony) dan beberapa staf pro-tokoler sibuk mengatur posisi duduk para calon hakim, mentor dan ketua pengadilan tempat magang mereka. Hari itu memang Mahkamah

Agung RI sedang melaksanakan per-helatan besar. Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggara menggelar upacara pengukuhan kelulusan calon hakim setelah mereka mengikuti Pendi-dikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu Angkatan Pertama selama kurun waktu 2 tahun lebih. Sebanyak 199 orang calon hakim dilantik hari itu oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Tepat pukul 10.00 WIB, pimpinan Mahkamah Agung RI masuk ke ruang upacara, diiringi para pejabat eselon

MUDA

- No. 2 Edisi September 2013 | 37

I dan beberapa undangan lainnya. Setelah melewati serangkaian acara, satu persatu calon hakim berbaris se-suai dengan rangking dan lingkungan peradilannya, berjalan ke arah Ketua Mahkamah Agung, menerima medali serta sertifikat kelulusan. Inilah kali pertama Mahkamah Agung RI melaksanakan upacara pelantikan kelulusan calon hakim sejak pendidikan dan pelatihan calon hakim diselenggarakan oleh Mahka-mah Agung RI tahun 2006 silam. Se-belumnya, pendidikan dan pelatihan calon hakim dilakukan oleh Departe-men Kehakiman (sekarang Kemente-rian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Menurut Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI., Ny. Siti Nurdjanah, SH., MH., perhelat an ini tidak terlepas dari upa ya Mahkamah Agung RI melaku-kan pembaharuan atau reformula-si sistem pendidikan dan pelatihan hakim, khususnya bagi calon hakim, yang dilakukan sejak diluncurkannya reorganisasi Mahkamah Agung RI sebagai konsekuensi dari kebijakan satu atap (one roof system) ta-hun 2006. Reformulasi sistem pen-didikan dan pelatihan calon hakim tersebut bertujuan untuk membentuk hakim muda yang profesional dan berintegritas. Dengan reformulasi itu diharapkan tercipta keseimbangan antara kemampuan intelektualitas dan moralitas dalam diri para cakim. Untuk itu, mereka dipersiapkan dan diperkenalkan sejak awal pada reali tas dunia kerja. Dengan demiki-an, setelah menyelesaikan seluruh tahapan diklat dan magang, mereka diharapkan telah siap untuk bekerja pada level kualitas yang ideal.

Dalam sambutan Ketua Mahkamah Agung RI. Dr. H.M. Hatta Ali, SH., MH, saat upacara pelantikan ter-ungkap komitmen serius Mahkamah Agung RI untuk mengembangkan sumber daya peradilan, khususnya hakim. “Pengukuhan ini tidak sema-ta-mata merupakan kegiatan yang bersifat seremonial belaka, tetapi merupakan suatu refleksi bahwa kita telah berusaha secara serius mewujudkan komitmen kita untuk membangun sumber daya manusia peradilan, khususnya hakim, dengan keseimbangan antara kemampuan intelektualitas dan integritas (hard competency and soft compe­tency),” ungkapnya. Upaya memperbaharui sistem pendidikan dan pelatihan ini tentu saja bukan persoalan mudah. Berba-gai langkah dan kebijakan untuk itu telah diambil oleh Mahkamah Agung sejak 2008 lalu. Dengan dukungan

The Indonesia-Netherlands Nation-al Legal Reform Program (NLRP), Badan Litbang Diklat Kumdil Mah-kamah Agung melakukan serang-kaian agenda pembaruan di bidang pendidikan dan pelatihan hakim. Agenda dimulai dengan melakukan analisis kebutuhan pelatihan (AKP) hakim (calon hakim) yang melibat-kan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Penyusunan AKP tersebut guna mengetahui kedalaman kompe-tensi hakim. Pelaksanaannya melalui gabungan metode analisis kompeten-si, analisis tugas, dan analisis kiner-ja, serta melibatkan para pemangku kepentingan peradilan, seperti aka-demisi, ahli hukum, pengacara, para hakim dan masyarakat. Hasil AKP kemudian dijadikan pedoman penyu-sunan kurikulum, silabus, satuan acara perkuliahan (SAP) dan modul pengajaran yang dilakukan secara partisipatif penuh di bawah arahan

Peserta program PPC Terpadu Angkatan I menerima pengalungan me-dali kelulusan dari Ketua Mahkamah Agung RI

PROGRAM PPC Terpadu merupakan integrasi dari kurikulum pembelajaran yang diberikan saat berada di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung dan magang yang dilakukan di masing-masing Pengadilan Tingkat Pertama (pengadilan magang). Kedua kegiatan itu tidak dapat dipisahkan karena untuk menghasilkan hakim muda yang baik dalam waktu cepat, metode yang paling efektif adalah belajar sambil berbuat (learning by doing). Program PPC Terpadu yang berdurasi 106 ming-gu itu menganut konsep dengan tahapan (fase) sebagai berikut. DIKLAT I Orientasi. Pada fase ini, calon hakim (cakim) dipersiapkan untuk dapat menjalankan tu-gas magang I sebagai administrator. Cakim diberi penge-tahuan tentang tugas pokok dan fungsi masing-masing bagian dan kepaniteraan pada pengadilan, dengan durasi diklat selama 2 minggu. Magang I sebagai administrator. Se-lama 22 minggu, cakim ditempatkan pada masing-masing bagian dan kepaniteraan di pengadilan untuk jangka wak-tu tertentu (+/- satu bulan pada masing-masing bagian). Mereka diharuskan untuk melakukan tugas-tugas kese-harian agar dapat memahami administrasi pengadilan dengan baik dan benar.

Diklat II. Ini adalah fase persiapan cakim untuk menjalankan tugas magang II sebagai panitera pengganti. Pada fase ini, selama 13 minggu cakim diberi penjelasan secara mendalam mengenai seluruh proses acara persi-dangan dan tugas pokok dan fungsi panitera pengganti serta keterampilan-keterampilan awal yang harus dimili-ki oleh seorang hakim muda. Hal-hal ini diberikan agar cakim dapat merefleksikannya dengan keadaan praktek yang ditemuinya pada saat magang. Magang II sebagai Panitera Pengganti. Pada fase ini, selama 26 minggu cakim bertugas sebagai pani-tera pengganti lokal dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi panitera pengganti. Selaku panitera pengganti lokal, mereka menangani perkara sejumlah yang telah ditentukan dalam PPC. Perkara-perkara tersebut mening-kat tingkat kesulitannya, dari yang mudah hingga yang kompleks. Diklat III. Fase ini adalah persiapan cakim un-tuk menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai asisten hakim dan memberikan pemahaman yang mendalam atas tugas hakim, khususnya dalam merumuskan putus-an. Lama diklat 13 minggu. Magang III sebagai Asisten Hakim. Pada fase ini cakim bertugas sebagai asisten hakim dan membantu hakim senior untuk menganalisis perkara dan

Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu

kelompok kerja pendidikan dan pela-tihan. Kerjasama Belanda-Indone-sia juga ditandai dengan keterlibatan 2 (dua) orang ahli pendidikan hakim, yaitu Charlotte Keijzer (Long Term Expert), seorang hakim dari Pusat Pendidikan Hakim Belanda (Stichting Studiecentrum Rechtspleging/SSR), dan Dr. Henriette Schatz (Short Term Expert). Ini bermanfaat untuk pertu-karan pengalaman dengan Belanda dalam mendidik calon hakimnya. Pada akhirnya kerja keras yang dilakukan oleh Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI mem-

buahkan hasil. Pada Oktober 2010 diluncurkan sistem pendidikan dan pelatihan calon hakim yang baru melalui Surat Keputusan Ketua Mah-kamah Agung RI Nomor: 169/ KMA/SK/X/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Penetapan dan Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu). Sejak April 2011, Badan Litbang Diklat Kumdil mulai menerapkan Pro-gram PPC Terpadu untuk angkatan I secara komprehensif. Jumlah peser-ta sebanyak 200 orang, terdiri dari 97 orang calon hakim dari lingkung-

an peradilan umum, 78 orang calon hakim dari lingkungan peradilan agama dan 25 orang calon hakim dari lingkungan peradilan tata usaha negara. Ke-200 orang tersebut meru-pakan hasil rekrutmen calon hakim tahun 2010. Usai mengikuti seluruh tahap-an, peserta PPC Terpadu angkat an I mendapatkan penilaian akhir dari Kelompok Kerja Pendidikan dan Pelatihan serta Badan Litbang Diklat Kumdil, dengan hasil seba nyak 199 orang calon hakim dinyatakan lulus, di antaranya sebanyak 30 peserta

MUDA

- No. 2 Edisi September 201338 |

merumuskan putusan. Cakim, sebagaimana yang telah diatur dalam magang II, juga harus menangani sejum-lah perkara sebagaimana ditentukan dalam PPC. Seiring dengan meningkatnya kesulitan perkara, meningkat pula pengetahuan dan keterampilannya. Program intensif selama 2 tahun ini memadukan metode in-class training dan on-the job training dan merupakan bagian dari sistem pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (long career leraning process). “Tujuannya untuk meningkatkan standar calon hakim dan memper-siapkan calon hakim untuk benar-benar siap menjalan-kan tugas sebagai seorang hakim”, ungkap IG Agung Su-manatha, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI yang saat ini telah menjadi hakim agung. Saat pembelajaran di Badan Litbang Diklat Kumdil, para calon hakim memperoleh pengetahuan untuk men-dukung kegiatan magang, mencakup kegiatan tugas ma-gang yang dilaksanakan pada Pengadilan Tingkat Perta-ma. Hal ini bertujuan untuk membuat program pendidikan calon hakim lebih fokus dalam topik pembelajaran. Topik yang diutamakan adalah hal-hal yang relevan untuk calon hakim pada saat diangkat menjadi hakim. Sementara itu, topik-topik yang relevan dengan masa jabatan sebagai hakim senior dapat diberikan lebih mendalam pada pelatih-an hakim berkelanjutan (continuing judicial education).

Ketika menjalani tahapan magang, calon hakim memperoleh keterampilan dalam menjalankan tugas hakim sambil bekerja berdasarkan tugas yang telah diberi-kan, dan belajar menghadapi masalah yang akan sering ditemui di lingkungan kerja yang sebenarnya. Dengan belajar pada lingkungan yang sebenarnya, pemahaman terhadap tugas hakim dan kesempatan untuk mengoreksi hal-hal yang salah dapat dilakukan sebelum ia menjadi hakim. Selama mengikuti tahapan pemusatan pelatihan di Badan Litbang Diklat Kumdil, para calon hakim mendapat penilaian dari tutor dan narasumber. Sedangkan keti-ka menjalani tahapan magang, evaluasi dan penilaian dilakukan oleh masing-masing mentor di tempat magang. Untuk memastikan magang dilaksanakan sesuai dengan program yang telah ditetapkan, tutor/hakim yustisial yang ada di Badan Litbang Diklat melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik ke pengadilan tempat magang. Menyusul disahkannya program tersebut, Badan Litbang Diklat Kumdil telah melengkapinya dengan berb-agai kebijakan dan perangkat aturan agar pelaksanaan program dapat berjalan terarah dan konsisten sesuai dengan pedoman pelaksanaan yang telah dicanangkan. Di antara nya penunjukan 21 pengadilan magang serta penunjukan tutor dan mentor Program PPC Terpadu.

memperoleh nilai terbaik, ma sing-masing 10 peserta dari lingkung an perailan umum, agama, dan tata usa-ha negara. Bagi calon hakim yang memperoleh predikat terbaik itu, Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil mengusulkan kepada pimpinan Mah-kamah Agung RI agar mereka diberi-kan reward yang layak, misal nya penempatan yang memungkin kan mereka mengembangkan kemam-puan dan potensinya secara optimal. Kini, para calon hakim program PPC Terpadu angkatan pertama te-lah menyelesaikan seluruh proses

pendidikan dan pelatihan. Banyak pengetahuan, keterampilan, kemam-puan dan nilai sikap perilaku telah mereka peroleh. Sebagai angkatan pertama dari suatu program yang strategis dan komprehensif yang mengubah secara signifikan program sebelumnya, kepada mereka tentu banyak harapan digantungkan. Salah satunya adalah harapan yang disam-paikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI pada upacara pelantikan. Yaitu, bahwa di samping harus mempu-nyai nilai pioneership (kepeloporan), mereka harus mampu mengawal

pembaharuan peradilan di Indonesia, baik secara individual maupun kolek-tif. Ibarat sebuah kapal, para calon hakim adalah jangkar yang mem-perkokoh pengadilan dan penggerak keadilan dalam penegakan hukum. “You are the anchor to strengthen the court and the propeller of the justice”, ungkap Ketua Mahkamah Agung RI menutup sambutannya.

MUDA

- No. 2 Edisi September 2013 | 39

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 201340 |

Wawancara Ekslusif denganWakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-YudisialDr. H. Ahmad Kamil, SH, M.Hum

“ProfesionalItu Mesti

Bermoral”

DENGAN adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, struktur organisasi Mahkamah Agung mengala-

mi perubahan. Sebelumnya hanya satu, sekarang ada dua wakil ketua, yaitu bidang yudisial dan

non-yudisial. Wakil Ketua MA Bidang Yudisial dijabat Dr. Mohammad Saleh, SH, MA. Ada-

pun Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial dijabat Dr. H. Ahmad Kamil, SH, M.Hum. Untuk edisi kedua majalah Mahkamah Agung ini disepakati mewawancarai Ahmad Kamil. Pemilihan tokoh ini un-tuk diwawancarai bukan asal memi-lih. Kami menilai, selama ini banyak masyarakat yang belum mengetahui dan memahami ruang lingkup tu-gas Wakil Ketua Ketua MA Bidang Non-Yudisial. Lahir di Pamekasan, Madura, 28 Januari 1946, Ahmad Kamil dilan-tik sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial pada Februari 2009. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial membawahi bidang organisasi, finansial, sa-rana, prasarana, dan sebagainya. Sebelumnya, tugas ini ditangani in-stitusi di luar MA. ”Tugas baru Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial merupa-kan implementasi Undang-undang

Nomor 5 tahun 2004 yang dikenal one roof system atau sistem satu

atap,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Malang dan Fakultas Hu-

kum Universitas Muhammadiyah Jakar-ta ini. Hampir satu setengah jam kami

berbincang dengan pria yang memulai tu-gas sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama

Bondowoso pada 1976 ini. Berpenampilan kalem, kariernya terus menanjak.

- No. 2 Edisi September 2013 | 41

WAWANCARA

Dr. H. Ahmad Kamil, SH, M.Hum

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 201342 |

Berbagai jabatan dipercayakan padanya, antara lain Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang (2000), Wakil Se-kretaris Jenderal MA (2002), Hakim Agung (2003), Ke tua Muda Bidang Pembinaan (2006). Berikut petikan wa wancara dengan pria yang semula bercita-cita menjadi seorang pen-didik ini. Mahkamah Agung mempunyai dua wakil ketua, ya itu bidang Yudisial dan Non-Yudisial.Apa ruang lingkup tugas keduanya, khususnya bidang Non-Yudisial? Sebelum menjawab itu, saya ingin mengucapkan se-lamat kepada pemimpin redaksi dan semua kru yang mem-bidani lahirnya Majalah Mahkamah Agung. Mudah-mudahan lancar, lahir yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Bagaimana-pun juga, dengan adanya majalah ini, warga peradilan dan juga masyarakat luar bisa lebih memahami berbagai hal yang telah dan sedang dilakukan Mahkamah Agung. Karena sebuah majalah merupakan alat transformasi informasi atas yang telah dilaksanakan Mahkamah Agung untuk orang luar. Bukannya kita ingin gagah-gagahan. Barangkali, dengan cara seperti ini, ada masukan dari luar yang membawa kita menuju lembaga yang lebih baik. Mungkin juga di antara kita ada yang memiliki kemauan untuk memajukan lembaga ini melalui tulisan-tulisan di ma-jalah.

(Tim pewawancara langsung menyambut dengan mengatakan: ”Terima kasih, Pak. Apresiasi ini semoga kian mendorong se­mangat kami.”) Sekarang, tentang wakil ketua Mahkamah Agung. Dengan adanya Undang-undang tentang Perubahan Mahkamah Agung yang pertama pada 2004, salah satu pasalnya menyatakan bahwa ada dua wakil ketua, yaitu wakil ketua yudisial dan wakil ketua non-yudisial. Memang strategis sekali di Mahkamah Agung ada dua wakil. Yang satu membidangi hal-hal yang sangat substansial, yakni pelaksanaan tugas pokok yang berkaitan dengan teknis perkara. Dan itu ciri khas lembaga pengadilan, lembaga kekuasaan kehakiman. Inilah yang ditangani Wakil Ketua Mahkamah Agung Yudisial. Saya sendiri ditunjuk sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung Non-Yudisial. Wilayah tu-gasnya meliputi pekerjaan dari dua “ketua kamar” yang dalam undang-undang disebut “ketua muda”. Saya meng-koordinasi pelaksanaan tugas Ketua Muda Pengawasan dan Ketua Muda Pembinaan, yang sekarang menjadi “Ke-

tua Kamar Pengawasaan” dan “Ketua Kamar Pembinaan”. Adanya kewenangan atau tugas baru wakil Ketua Bidang Non-yudisial ini merupakan implementasi perubah-an Mahkamah Agung berdasarkan Undang-undang No-mor 5 tahun 2004, yang dikenal dengan istilah one roof system atau sistem satu atap. Makna satu atap itu, Mah-kamah Agung diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengatur masalah organisasi, finansial, sarana, prasarana, dan sebagainya, yang sebelumnya ditangani masing-masing departemen, termasuk Panglima Angkatan Bersenjata bagi lingkungan peradilan militer.

Jadi, sekarang semua di bawah MA? Betul. Lahirnya undang-undang itu membawa perubah-an pada Mahkamah Agung. Tadinya MA hanya mengurus masalah yudisial. Sekarang MA diberi tiga kewenangan oleh undang-undang baru itu. Pada waktu itu, muncul ke-galauan di kalangan para pakar hukum. Ber bagai tang-

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 2013 | 43

gapan muncul di media massa elektronik maupun cetak. Pertanyaan mereka, mampukah Mahkamah Agung melak-sanakan tugas dan kewenangan yang baru itu? Begitulah pendapat masyarakat ketika waktu itu. Mung kin sekarang masih ada yang seperti itu, hanya saja kita menganggap-nya sebagai hal positif. Mahkamah Agung menjadi sorotan, bahkan dikatakan sarang mafia. Kita sendiri tidak membantah, tapi tidak juga mengiyakan. Membantah tidak bisa, karena memang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat. ada rasa keadilan yang terlukai oleh keputusan-keputusan kita. Tetapi mau mengiyakan, mana buktinya? Adanya penilaian MA se-bagai mafia menunjukkan bahwa masyarakat memperhatikan kita. Sekarang pun kadang-kadang masih muncul kondisi sep-erti itu. Maka, tanggapi secara positif saja, bahwa masyarakat sebetulnya menginginkan kita menjadi lebih baik dan bagus.

Jika dalam tugas pokok saja terjadi kondisi seperti itu, bagaimana dengan ditambahkan­nya tugas dan kewenangan baru? Begitulah pertanyaan masyarakat. Empat lingkungan peradilan dijadikan satu, di-manage dalam satu atap: sarana, keuangan, finansial, organisasi dan sebagainya. Timbul per-tanyaan, mampukah MA? Apakah tidak terlalu berat tugas yang diberikan, apalagi jika melihat kondisi MA? Tantangan terhadap kondisi inilah yang dirasakan pimpinan Mahkamah Agung saat itu. Jika dalam pelaksanaan tugas pokok saja sudah ada ”stempel” seperti itu dari masyarakat, jangan-ja ngan dalam pelaksanaan tugas bantuan nantinya akan ada juga stempel seperti itu. Kalau terjadi seperti itu, apalah artinya Mahkamah Agung? Tugas pokoknya begini, tugas bantuannya seperti itu juga.

Tugas Wakil Ketua MA Bidang Non­Yudisial menjawab keraguan masyarakat? Betul. Sadar atas kondisi itu, pimpinan Mahkamah Agung berkomitmen bahwa kita harus benar-benar mem-punyai spirit kolektif dalam pelaksanaan tugas non-yudi-sial. Kita mulai dari pemecahan masalah-masalah yang penting pada waktu itu. Kita tahu, sebelum kita satu atap, tahun 2003 sudah dibuat sebuah rancang bangun, cetak biru Mahkamah Agung. Itu merupakan guidance atau pe-tunjuk arah ke depan. Walaupun dibuat sebelum sistem satu atap, itu bermanfaat sekali. Mahkamah Agung sudah mempunyai pedoman. Bagaimanapun juga, jika bekerja

tanpa pedoman, tidak ada standardisasi, kita tidak bisa mengukur sampai ke mana kita berjalan menuju tujuan. Orang tidak bisa mengevaluasi kondisi kita yang sebenar-nya. Itulah momen yang sangat positif saat memulai sistem satu atap. Selain tentunya komitmen pimpinan bahwa tu-gas baru itu kita terima dengan baik. Sistem satu atap ini sebenarnya sebuah perjuangan lama yang diinginkan lembaga peradilan. Kita tahu, se-jak tahun 1960-an, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) telah memperjuangkan satu atap, artinya kemandirian lembaga peradilan. Itu kemandirian dalam segalanya: kemandirian dalam memutus perkara, manajemen, dan sebagainya. Itu diperjuangkan berpuluh-puluh tahun sebelumnya oleh Ikahi. Alhamdulillah, pada 2005, selain benar-benar diberi kewenangan untuk memutuskan perkara secara mandiri, kita juga berwenang mengelola keuangan, finansial, dan organisasi secara mandiri. Jadi, sebetulnya kita patut ber-syukur. Perjuangan para pendahulu kita kini menjadi ke nyataan walaupun masyarakat menyangsikan kemampuan kita. Karena itu, kita sebagai personel yang melaksanakan tugas-tugas non-yudisial sepakat meletakkan dasar. Ada kesadaran bersama: mari kita bikin sistemnya.

Hal itu dilakukan pada era awal? Ya, di awal kita berjuang membuat sistem. Yang pa-ling pokok membangun persaudaraan di antara keempat lingkungan peradilan sebagai satu jadi puncak manajerial pelaksanaan tugas baru.

Walaupun masih ada kerikil­kerikil? Ya, itu sebuah perjalanan panjang. Yang penting kita sudah mempunyai wadah. Kita sudah mempunyai perundang-undangan, sistem yang kita bikin bersama, dan akhir nya merupakan milik kita bersama. Dalam Un-dang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, hal paling signifikan adalah tentang satu atap itu. Jelas, dengan era satu atap, banyak sekali kewenangan pengadilan baru yang diberikan kepada Mahkamah Agung, seperti penanganan kasus hak asasi manusia, kasus tin-dak pidana korupsi, dan sebagainya.

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 201344 |

Apa target yang Anda canangkan sebagai Wakil Ketua Non­Yudisial? Membuat sebuah buku pedoman, kemudian mem-buat sistem-sistem, lalu membuat kelompok kerja dalam mengimplementasikan program. Sebenarnya bukan target, tapi keinginan. Kalau target sepertinya milestone, tonggak sejarah. Kalau saya, mengalir sajalah. Hal pertama yang diinginkan semua warga Mah-kamah Agung adalah keempat lingkungan peradilan itu merasa memiliki lembaga Mahkamah Agung. Dengan merasa memiliki, tidak mungkin kita merusak atau akan mengkhianatinya. Kita inginkan rasa persatuan dan ke-satuan, saling merasa memiliki. Jika sudah memiliki jiwa yang sama, banyak masalah yang bisa diatasi. Dalam tiga kewenangan baru itu, kita mesti membuat pelbagai aturan dan sistem secara bersama-sama. Dasarnya adalah peng-alaman masa lalu, di saat kita berada di departemen ma-sing-masing, dalam perspektif ke depannya akan dibawa ke mana Mahkamah Agung. Karena itu, pada 2010 disepakati kita membuat blue print atau cetak biru, lanjutan cetak biru 2003. Ini pokok pondasi. Cetak biru 2003, muatannya tidak sampai ke tingkat bawah, hanya Mahkamah Agung. Hal-hal yang meng atur kepegawaian, sistem keuangan dan sebagainya sudah dimuat di cetak biru itu. Meski muatannya masih se-cara umum, itu pun sudah membantu kita. Kita juga masih berkeinginan akan kedaulatan dalam mengatur masalah sumber daya manusia. Sekarang ini belum memungkinkan kita lepas dari aturan-aturan umum kepegawaian di negara ini. Tapi ada kewenangan khusus yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Jadi, kita ma-sih berjuang dan berjuang, termasuk dalam hal kedaulatan keuangan, masalah anggaran, bangunan, dan sebagainya. Buku pedoman itu tertuang di mana? Kita punya buku dua. Selain itu, kita membuat sistem. Dulu, ketika menyongsong era satu atap, kurang-lebih setahun kita membangun sistem. Tim bekerja di bawah koordinasi almarhum Pak Gunanto Suryono. Eselon I, Ese-lon II, dan kadang-kadang Eselon III diikutkan di situ. Kita membahas pelaksanaan setelah sistem satu atap itu be-nar-benar diserahkan kepada kita. Jadi, secara embrional kita sudah membuat pedoman-pedoman. Lalu setelah satu atap, diperbaikilah hal-hal yang perlu diperbaiki. Sekarang

sudah settled, sudah ada sistem keuangan, standardisasi perlengkapan, penelitian pengembangan, pengawasan, dan lainnya, walaupun harus diakui semua tetap dalam perbaikan. Apakah target­target tersebut sudah terwu­jud sesuai dengan visi dan misi Mahkamah Agung? Misi yang dibuat pada 2010, yakni terwujudnya peng-adilan yang agung, ditargetkan akan terwujud pada 2035. Misi tercapai, baik masalah teknis yang berkaitan de-ngan masalah perkara, maupun masalah non-teknis yang non-yudisial. Dalam bidang yudisial, dapat dikatakan, secara fundamental kita sudah on the track. Contohnya, masa lah moralitas pelaksanaan non-yudisial ini, baik di daerah maupun di pusat. Dulu mungkin hanya Rp 500 miliar uang yang dikelola. Sekarang sudah lebih dari Rp 5 triliun. Selama delapan tahun ini, saya belum pernah men-dengar adanya masalah moralitas. Mungkin ada satu dua kasus. Alhamdulillah, Mahkamah Agung, entah pimpinan Mahkamah Agung sendiri, tingkat banding, ataupun tingkat pertama tidak tersangkut. Sepertinya tidak terdengar ada ketua pengadilan pajak, ketua pengadilan agama, atau ke-tua pengadilan negeri yang masuk penjara karena meng-korupsi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), apalagi di Mahkamah Agung. Ini masalah moralitas dalam pelaksa-naan. Saya, kalau bicara mengenai hal ini, terharu betul.Tapi bukan berarti kita sudah puas. Belum. Masih banyak kantor pengadilan yang belum bagus. Di Mahkamah Agung sendiri, yang sudah dibenahi baru kantor ese lon I, kantor diklat, dan litbang. Kalau kita bandingkan dengan Mahka-mah Agung di luar negeri, masih banyak yang perlu disem-purnakan. Sebenarnya, kalau bicara target, maka hal yang mendasar adalah kesejahteraan. Bagaimanapun juga, tanpa peningkatan kesejahteraan, kerja itu tidak optimal. Dengan adanya remunerasi dan sebagainya, gaji hakim di Indonesia sekarang ini adalah yang tertinggi di Asia Teng-gara. Memang yang naik baru hakim tingkat banding dan tingkat pertama. Hakim agung dan non-hakim belum. Mu-dah-mudahan tidak terlalu lama.

Apa dengan capaian itu Anda puas? Bukan puas. Tapi seperti yang saya katakan tadi, di awal

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 2013 | 45

orang lain meragukan kita dengan tiga tugas pelengkap yang baru. Namun ternyata capaian kita di luar perkiraan. Tahun ini, saya mendengar dari Sekreta ris MA bahwa kita sudah mencapai penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Itu berarti lepas dari masalah. Secara sederhana saya katakan, sekarang kita sudah merdekaMerdeka, maksudnya bagaimana? Merdeka dari hal yang negatif, dari temuan ”ini” dan ”itu”. Tidak ada yang mengatakan ”ini” dan ”itu”. Dari segi anggaran kita juga betul-betul merdeka. Kalau sudah WTP, kita sudah optimal. Dengan tenggang waktu delapan ta-hun, kawan-kawan yang bekerja di bidang ini betul-betul berjalan di atas sebuah sistem, berjalan di atas sebuah rel. Ada kesamaan dan ada tujuan yang sama. Meski begitu, dari segi non-yudisial masih banyak yang perlu diselesaikan. Misalnya, perpustakaan. Apa-kah perpustakaan di sini sudah tersambung secara online dengan perpustakaan perguruan tinggi? Itulah yang harus disempurnakan. Contoh lain, gedung diklat kita sekarang sebetulnya yang terbaik di Asia Tenggara. Malah orang Australia, Amerika, dan Belanda menganggap gedung diklat di MA lebih baik daripada diklat di negaranya. Ting-gal sekarang bagaimana agar muatan-muatannya menjadi yang terbaik. Bagaimanapun juga diklat berperan untuk membina SDM. Dan kita ini kan pengadilan, jadi yang pa-ling utama itu adalah hakim. Baru kemarin kita menyele-saikan pola pendidikan hakim terbaru dua tahun. Ini berha-sil dengan baik, terutama dari segi moralitas para hakim. Dalam dua tahun itu mereka tanpa pengawasan langsung dari Mahkamah Agung. Mereka cuma diawasi para ketua pengadilan. Ternyata, dalam laporannya tidak ada yang terkena masalah ini atau itu. Ini satu poin lagi bagi Mahkamah Agung dari segi SDM.

Kesejahteraan hakim agung sudah memadai. Bagaimana dengan pegawai non­hakim? Ini dalam proses. Maklum, kondisi keuangan negara sedang begini. Tapi komitmen DPR, Insya Allah, pada ang-garan yang akan datang itu diprioritaskan.

Diprioritaskan menuju kenaikan 100%? Ya. Pertama menuju kenaikan remunerasi 70 persen dulu. Kalau 100 persen, pelaksanaan reformasi birokrasi harus bagus dulu. Tapi dengan 70 persen yang diterima

Eselon III di sini nominalnya mungkin akan sama dengan yang diterima Eselon III di BPK. Hampir sama. Sekarang, yang diterima oleh Eselon III atau Eselon II Mahkamah Agung berbeda dengan yang diterima eselon yang sama di BPK dan yang lainnya. Dari segi nominal, kita paling kecil, padahal sama-sama Eselon III, II, atau I. Memang masa-lahnya berbeda sekali. Karena apa? Bukannya pemerin-tah tidak memberikan hak yang sama. Cuma, sebelumnya Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung, Hakim Agung, itu dulu yang dimasukkan dalam komponen remunerasi, baru kemudian Eselon I. Kalau di departemen lain, Eselon I itu grade 1, sedang di kita grade 5. Tapi kalau sudah ada remunerasi, hakimnya sudah menjadi pejabat negara, maka Eselon I menjadi sama dengan instansi lain, menjadi grade 1, sehingga naik dengan sendirinya, sama dengan BPK. Aturannya memang begitu.Ada kendala serius dalam mewujudkan tar­

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 201346 |

get atau bahkan menjadi momok? Tidak ada kendala yang serius. Karena kita semua sudah mengerti hal yang harus dikerjakan, terutama yang ada dalam cetak biru itu. Beda dengan cetak biru yang lalu (2003-2009), banyak yang tidak mengerti, karena memang proses pembuatannya hanya untuk MA. Sedangkan cetak biru yang sekarang ini pembuatannya lintas generasi dari keempat lingkungan peradilan. Jadi, ada estafet generasi. Sampai ke PN pun terwakili waktu pembuatannya. Apalagi stakeholders yang di luar banyak sekali yang memban-tu kita, misalnya dari Kejaksaan, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan sebagainya. Lagipula, kita tahu seka-rang ini pengawasan masyarakat terhadap kita ini intens. Sekali lagi, tidak ada kendala yang serius. Hanya ham-batan-hambatan kecil, dan itu biasa. Hambatan-hambatan juga terjadi di sektor lain. Misalnya, saat kita sudah mem-bangun dan membuat begini-begitu, ternyata kekurangan dana Cuma, kadang-kadang masyarakat sekarang minta didekati, serba ingin cepat, dan lain sebagainya. Padahal, sebetulnya asas kita ini terbuka untuk umum dalam pelak-sanaan tugas pokok. Kalau dulu hal seperti itu tak pernah menjadi sebuah hambatan bagi masyarakat. Sekarang terjadi perubah-an masyarakat. Keterbukaan yang diinginkan oleh mas-yarakat sudah tidak seperti dulu lagi. Pada era reformasi, masalah transparansi itu dekat sekali dengan masalah IT, masalah teknologi informasi.Sebetulnya sejak 1998 sudah ada penggunaan sistem informasi online di Mahkamah Agung, yang dikenal dengan istilah Access 121 yang ber-fokus pada sistem informasi perkara. Sistem itu kemudi-an berkembang dan terintegrasi dengan sistem informasi keuangan dan lain yang dinamai SIMARI. Sampai akhir nya Pak Ketua mencanangkan Desember 2013 semua peng-adilan sudah harus ada information desk-nya. Arti nya, MA sudah mempergunakan perangkat Informatika dan Teknologi (IT). Dan sekarang luar biasa perkembangan IT di Mahkamah Agung, yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Dalam hal IT, kita lebih baik daripada kelembagaan yang lain. Sekarang, baik kepaniteraan maupun kese-kretariatan sudah berjalan baik. Terus terang, dalam ma-salah IT, masih ada keinginan untuk membuat sebuah ce-tak biru IT agar semuanya terkoneksi. Pada 2005 sampai 2008 masih sistem manual. Komputer dipakai hanya untuk

mengetik surat. Komputer baru ditaruh di lemari, dikunci. Tapi sejak 2009 kita sudah mulai sadar akan IT. Sekarang kita meninggalkan alam manual menuju cara kerja comput-erized. Bahkan, daerah-daerah mempunyai sistem sendi-ri-sendiri. Pengadilan umum mempunyai sistem sendiri, pengadilan agama pun bikin sistem sendiri. Biar saja dulu. Yang penting ada perubahan cara kerja, budaya kerja. Nanti kalau sudah betul-betul computerized minded, baru dibikin cetak biru, rancang bangun satu pohon, yang con-necting semua empat lingkungan. Kesejahteraan hakim sudah bagus. Tapi mengapa masih saja ada hakim yang nakal? Untuk menghabisi hakim nakal sampai bersih, itu tak mungkin. Cuma kita memang sangat prihatin, kok ma-sih ada hakim yang begitu, walaupun makin lama makin mengecil. Tetapi kita jangan kehilangan akal. Bagaimana-pun kita harus berjalan. Bidang pengawasan berjalan terus. Pengawasan sekarang bukan hanya fokus di MA. Pengawasan sudah didelegasikan pada tingkat banding. Pengadilan tingkat banding pun sudah bisa menindak. Anggarannya juga sudah didelegasikan dengan anggaran MA. Bagaimana dengan kesejahteraan non­hakim? Mudah-mudahan bisa secepatnya ditingkatkan. Mah-kamah Agung tidak pernah membedakan untuk memper-juangkannya. Karena bagaimanapun juga, kurir surat atau apa pun sebetulnya andilnya sama, pengabdiannya sama di Mahkamah Agung. Yang membedakan hanyalah tugas-pokok-dan-fungsi (tupoksi). Pengabdiannya sama. Satu organ tidak jalan, organ-organ lain terganggu. Apa yang harus dilakukan untuk mening­katkan profesionalisme dan integritas para hakim? Saya kadang-kadang tidak membedakan antara mo-ralitas dan profesionalisme, karena orang yang profesion-al itu mesti bermoral. Coba saja lihat petinju profesional. Dia mesti tahu aturan main, tidak akan memukul dae rah-daerah terlarang. Bermoral betul. Pernah ada sebuah khasanah tentang hakim dari dunia Islam. Katanya, hakim itu harus kuat jasmaninya, kuat semangatnya, dan kuat il-

WAWANCARA

- No. 2 Edisi September 2013 | 47

munya. Minimal tiga hal ini harus dijaga seorang hakim. Dan kekuatan itu makin lama harus makin dibina. Ilmu dan semangatnya ditingkatkan, kesehatannya juga harus dija-ga. Karena itu, yang profesional itu moralnya dijaga terus, integritasnya dijaga, ilmunya juga ditingkatkan.

Di mana peran pembinaan dari pimpinan? Tadi yang saya bicarakan baru kekuatan internal dari diri hakim itu sendiri, atau moralitas. Bagaimana ekster-nalnya dari lembaga? Bisa melalui badan-badan pembi-naan, pendidikan dan pelatihan, buku pedoman, dan lain sebagainya. Tapi bagaimana cara membina moralitas?

Mengenai moralitas, kita tidak bisa meminta bantuan orang lain. Kalau masalah kemampuan, kita masih bisa. Karena itu, yang pokok sebetulnya memang moralitas, yang harus dimiliki para hakim. Dan itu tidak bisa dari orang lain. Dari luar cuma ada instrumen pengawasan. Yang paling pokok itu pengawasan yang timbul dari dalam diri hakim itu sendiri. Ini tidak ada sistemnya. Kalau yang di luar, ada sistemnya. Ada rekrutmen, ada punishment dan reward. Itu yang akan membut para hakim bisa memper-baiki kualitas diri. Sekali lagi, kita tak boleh lelah berupaya (TIM MMA)

BIODATANama : DR. H AHMAD KAMIL, SH., M.Hum

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : SR.N, Pamekasan lulus tahun 1959SMP : PGAN, Pamekasan lulus tahun 1963SMA : PHIN, Yogyakarta lulus tahun 1966S1 : SL IAIN, Surabaya lulus tahun 1976S2 : STIH, Malang lulus tahun 1986S3 : Konsentrasi Ilmu Hukum Malang 1999

RIWAYAT JABATAN

1966 : CPNS 1966 : PBO.PERDAG Pamekasan 1973 : PNS Depag Pamekasan 1976 : WKPA Bondowoso 1980 : KPA Bondowoso 1984 : KPA Blitar 1989 : KPA Kediri 1992 : KPA Jakarta Selatan 1995 : KPTA Kupang 1999 : KPTA Padang 2001 : KPTA Bandung

2001 : WaSekjen MA-RI 2003 : Hakim Agung 2004 : Ketua Muda Pembinaan MA-RI 2009 : Wakil Ketua MA-RI Bidang Non-Yudisial

RIWAYAT PENGHARGAAN

Satya Lencana Penegak 1973Satya Lencana Dwi Sistha 1973Satya Lencana Kesehatan 8Satya Lencana Kesehatan 16Satya Lencana Kesehatan 24

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Penataran Pejabat Pelaksana UU.I / 74 - JakartaPenataran P4 Tipe A - BondowosoPenyuluhan Hakim oleh MA - SurabayaKarpatnas - JakartaPelatihan Penemuan Hakim Oleh MA - JakartaSpadya Depag - JakartaPendalaman Materi -Mahkamah AgungSimposium Keluarga Sejahtera - SurabayaPenataran Hakim - JakartaHukum Waris Islam - PonorogoPengorbitan Uu No.7 / 1989Peradilan Agama Sebagai Peradilan Keluarga

KAMAR

- No. 2 Edisi September 201348 |

Bersiap Maksimal untuk Putusan TUN

“Demi Allah, saya bersumpah akan menjalankan tugas saya sebagai Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung

dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”

HENING, ruang Kusumah Atmadja menjadi saksi pada Selasa, 11 Juni 2013, bagi Hakim Agung Imam Soe-bechi. Sejak sumpahnya diambil oleh Ketua Mahkamah Agung, maka sejak itu pulalah amanah sebagai Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung resmi bertengger di kedua pundaknya. Sebuah kebanggaan dan sekaligus tantangan. “Saya berterima kasih dan bersyukur atas keper-cayaan amanah ini,” ungkap Imam Soebechi membuka percakapan singkatnya usai pelantikan di ruang kerjanya. Tak muluk-muluk jawaban pria kelahiran 29 Januari ini kala

ditanya mengenai strategi dan langkah apa yang akan dilakukan pasca dilantik. “Ketua MA sudah berpesan kepada saya supaya saya bekerja maksimal membantu beliau dalam penyelesaian perkara, khususnya perkara-perkara TUN. Memang se-jauh ini tunggakan perkara TUN itu kecil.” Selain dalam hal memutus perkara, doktor hukum lu-lusan Universitas Padjajaran ini juga akan berfokus pada pelaksanaan putusan TUN itu sendiri. “ Saya menghim-bau kepada para pejabat negara untuk ikhlas dalam men-jalankan putusan MA. Diperlukan kebesaran hati dan rasa

KAMAR

- No. 2 Edisi September 2013 | 49

legowo untuk menerima dan menjalankan putusan TUN,” ungkapnya. Sebuah rencana telah disusun oleh hakim yang dilantik menjadi hakim agung tahun 2004 itu, yakni memanfaatkan IT dalam persidangan kasus TUN. “Se-perti di MK itu, di mana usai sidang putusannya langsung tersedia dan yang berperkara bisa mengetahui langsung isi putusannya secara lengkap dan ditampilkan. Hal ini telah dirintis dengan menjadikan beberapa pengadilan sebagai pilot project, sekitar 50 persen sudah tersedia, selanjutnya disosialisasikan ke seluruh pengadilan TUN supaya peng adilan terus membenahi diri dan keterampil-an,” pungkasnya. Sementara itu, dalam kesempatan yang sama terja-di juga mutasi dan rotasi yang juga terjadi di jajaran ke-tua pengadilan tingkat banding. Ini merupakan hal positif yang dilakukan MA. “Hal ini sebagai langkah memberikan aneka wawasan dan pengalaman kepada para ketua pengadilan tingkat banding. Langkah ini dilakukan untuk lebih memaksimalkan peran para ketua tingkat banding di mana MA menyebut pengadilan tingkat banding sebagai kawal depan dari MA,” kata Kepala Humas MA, Ridwan Mansyur. Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua MA bidang Yudi-sial, Wakil Ketua MA bidang Non-Yudisial, para hakim agung, para pejabat eselon I dan II pada MA, para ketua Peng adilan Tingkat Banding, dan undangan lainnya. (If­fah, MMA)

Nama-nama Ketua Pengadilan Ting-kat Banding yang dilantik:

1. Made Rawa AryawanSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Jakarta

2. A. TH Pudjiwahono, SH., M.HumSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Medan

3. H. Suryadarma Belo, SHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Makassar

4. Dr. H. Cicut Sutiarso, SH., MHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Semarang

5. Husni Rizal, SHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Bengkulu

6. H. Abdul Kadir, SH., MHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Kendari

7. Maruap Dohmatiga Pasaribu, SH., M.HumSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Samarinda

8. Mabruq Nur, SH., MHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Manado

9. H. Arwan Byrin, SH., MHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Jayapura

10. Aljaman Sutopo, SHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi / Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding Bangka Belitung

11. Drs. Mansur Nasir, SHSebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogya-karta

12.Kolonel laut (KH) Bambang Angkoso Wahyono, SH., MH.Sebagai Ketua Pengadilan Militer Tinggi III Sura-baya

13. Kolonel CHK. Dr. Djodi Suranto, SH., MHSebagai Kepala Pengadilan Militer Tinggi I Medan

BUKU

- No. 2 Edisi September 201350 |

Mencari Terobosan Pemberantasan Korupsi

KORUPSI seperti tak ada ha-bis-habisnya di negara kita. Hampir tak ada hari tanpa korupsi di media kita. Silih berganti para pejabat publik diseret KPK ke pengadilan. Di depan publik, mereka kadang tersenyum, sesekali melambaikan tangan, seper-ti para pesohor. Seperti tak ada rasa malu bagi mereka. Apa yang salah dengan sistem hukum kita? Kenapa sistem hukum kita tidak bisa mem-buat orang takut korupsi? Masih ada-kah solusi untuk keadaan ini? Topik solusi itulah yang dibahas dalam Buku Merampas Aset Korup-tor. Ia mengupas sebuah pendekat-an baru dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi. Pendekatan baru itu dike-nal dengan istilah “Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture”, per-ampasan aset tanpa tuntutan pidana. Materinya termuat dalam United Na-tions Convention Against Corruption (UNCAC), Konvensi PBB Anti Korup-si, yang telah diratifikasi oleh pemer-intah Indonesia dalam UU 7/2006. Gagasan baru ini disambut baik oleh Ketua KPK, Abraham Samad. KPK, katanya dalam sambutan tertu-lisnya, menyambut baik jika pembe-rantasan korupsi melalui perampas-an aset tanpa tuntutan pidana dapat diterapkan di Indonesia. Di luar pendahuluan dan penu-tup, Muhammad Yusuf, penulisnya, membagi tulisannya atas empat ba-gian. Pertama-tama, dalam Bab II,

ia meninjau teori-teori tentang pe-rampasan aset tindak pidana korupsi. Kemudian, ia membahas perampas-an aset tanpa tuntutan pidana ber-dasarkan UNCAC 2003, mulai dari latar belakang lahirnya konvensi PBB itu hingga contoh-contoh penerapan-nya di beberapa negara. Pada bab berikut, ia mengulas dasar hukum dan praktik pengembalian kerugian negara di Indonesia, lengkap dengan analisis terhadap beberapa putusan pengadilan Indonesia yang sudah berkekuatan tetap. Terakhir, pada Bab V, ia menguraikan kebijakan hu-kum perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Melihat perkembangan keadaan pemberantasan korupsi di Indonesia, ada dua kesimpulan yang diambil penulis. Pertama, perampasan aset berdasarkan UU 31/1999 (dan UU 20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mem-berikan hasil maksimal dalam pene-rapannya. Karena itu, diperlukan suatu terobosan baru dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Kedua, terobosan baru itu adalah kebijakan hukum perampas-an aset tanpa tuntutan pidana (NCB Asset Forfeiture) sesuai dengan Kon-vensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003.

Tumpulnya UU 31/1999 dan UU 20/2001 Berdasarkan UU 31/1999 ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana

Judul : Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberatasan Korupsi di

IndonesiaPenulis : Dr. Muhammad Yusuf

Penerbit : KompasCetakan pertama : 2013

Tebal : 274 + xxii

BUKU

- No. 2 Edisi September 2013 | 51

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, ada tiga cara perampasan aset hasil tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Yakni, peram-pasan melalui jalur pidana, jalur gugatan perdata, dan UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Jalur pertama, perampasan aset berdasarkan sistem hukum pidana, harus melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Ca-ranya konvensional, hasilnya juga begitu-begitu saja. Terbukti dari beberapa putusan pengadilan yang dianalisis oleh penulis, pendekatan hukum pidana yang didasarkan pada adanya ke-salahan terdakwa tidak efektif. Ini akibat sulitnya pembuktian dalam pidana, yaitu pembuktian mencari kebenaran materiil. Demikian juga halnya dengan pendekatan hukum perdata konvensional. Hasilnya tidak maksimal, karena proses perdata menganut sistem pembuktian formal. Da-lam prakteknya, pembuktian formal malahan bisa lebih sulit daripada pembuktikan material. Jadi, mekanisme pengembalian aset tindak pidana yang berlaku saat ini di Indonesia belum memadai. Kare-na itu, perlu adanya ketentuan khusus yang mengatur-nya. Tanpa upaya merampas hasil dan instrumen tindak pidana, maka kegiatan mengungkap tindak pidana de-ngan pendekatan konvensional tidak cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan. Sebenarnya, dalam UU 31/1999 (+ UU 20/2001) sudah ada ketentuan mengenai pembalikan beban pem-buktian terhadap perolehan harta kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan sumber tambahan kekayaannya, maka hal itu dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti tentang tindak pidana korupsi yang telah dilakukan terdakwa. Na-mun, ketentuan pembuktian terbalik tersebut dilakukan dalam proses perkara pidananya dan dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Dan apabila terdakwa dibebas-kan dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim. Menurut penulis buku, ada beberapa faktor peng-hambat UU 31/1999 (+ UU 20/2001). Pertama, kewenang-an jaksa dalam kaitan dengan penyitaan terhadap harta terpidana belum secara tegas diatur. Kedua, bentuk dan batasan harta yang dapat disita oleh jaksa juga belum diatur secara terinci. Ketiga, belum ada aturan rinci me-ngenai mekanisme pembuktian terbalik dalam rangka pe-

rampasan aset. Untungnya, untuk mengatasi persoalan tersebut, ter-dapat terobosan baru mengenai mekanisme perampasan aset hasil kejahatan korupsi. Sumbernya adalah United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003), yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam UU 7/2006. Di situ ada aturan mengenai penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, termasuk kerja sama internasional dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana. Itulah yang dikenal dengan sebutan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture.

Efektivitas NCB Asset Forfeiture Menurut penulis, kebijakan hukum perampasan aset tanpa tuntutan pidana (NCB Asset forfeiture) dapat digu-nakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi per-ampasan aset tindak pidana. Sebab, kebijakan hukum tersebut membuka kesempatan luas untuk merampas se-gala aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana serta aset lain yang terkait. Dengan mekanisme ini, adanya putusan peng-adilan bukan lagi prasyarat yang harus dipenuhi guna melakukan perampasan. Terbuka kesempatan luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pi-dana dan aset-aset lain yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Mekanisme baru ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi atas kerugian negara. Sekalipun ada hasil korupsi yang baru ditemukan di kemudian hari – maka tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht – aset itu tetap dapat dirampas. Adanya ketentuan mengenai perampasan aset tanpa tuntutan pidana mengatasi kendala pengembalian aset melalui sebuah mekanisme. Dengan mekanisme itu, pe-rampasan aset hasil pidana tetap dapat dilakukan, walau-pun tersangka atau terdakwa meninggal sebelum adanya putusan pidana terhadapnya, sakit permanen, melarikan diri, atau tak diketahui keberadaannya. Begitu juga dalam kasus pelaku tindak pidana yang semasa hidupnya be-gitu berkuasa sampai-sampai penyelidikan kriminal atau penuntutan tidak mungkin dilakukan. Dengan mekanisme NCB Asset Forfeiture, penyitaan

BUKU

- No. 2 Edisi September 201352 |

dan perampasan aset hasil tindak pidana itu tetap melalui pemeriksaan pengadilan dengan menjunjung tinggi due process of law. Maka dalam perkembangannya, bebera-pa negara telah menerapkan sistem NCB Asset Forfeiture tanpa didasarkan pada kesalahan pemilik aset tersebut.

Perma tentang Hukum Acara Sehubungan dengan kesimpulan tersebut di atas, penulis menyarankan beberapa hal. Menurutnya, untuk lebih meng-efektifkan upaya perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, harus ada semacam hukum acara dalam bentuk Pera-turan Mahkamah Agung. Ini sebagai pedoman bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam penerapan UU tersebut. Selain itu, ia menyarankan percepatan pengesah-an RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Pemerintah, menurutnya, perlu mendorong agar pembahasan RUU itu dengan DPR diprioritaskan. Itu berarti UU tentang korupsi akan bertambah lagi. Tapi memang Yusuf benar. UU perlu ditambah. Se-perti dikatakan Tacitus, seorang penulis sejarah Romawi, “The more corrupt the state, the more numerous the laws.” Buku ini terlalu sayang untuk dilewatkan. “Patut di-baca hingga tuntas,” kata Ketua Mahkamah Agung RI, Hatta Ali. Dikatakan dalam sambutan tertulisnya, buku ini dapat menjadi rujukan bagi para praktisi hukum, khusus-nya institusi kehakiman, agar tidak hanya mengedepan-kan aspek penghukuman fisik terhadap koruptor, tapi juga pengembalian kerugian negara. Pembangunan rezim pe-rampasan aset tanpa tuntutan pidana, kata Hatta, terkait erat dengan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi, yang bertugas menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat, dan benar. Ia juga mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup di-atur dalam undang-undang. Kalau ada yang perlu dikritik pada buku ini, barangka-li hanya soal bahasa. Di sana-sini bertebaran kalimat-ka-limat kompleks, bahkan kalimat superkompleks, yang ter-diri dari 120-an kata. Mungkin, karena buku ini bersumber dari disertasi penulis. Tapi, sekali lagi, buku ini jangan Anda lewatkan. (V. Pane)

Judul : Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban

Penulis : Prof. Artidjo Al KostarPenerbit : Pusham UII, Jl. Suroto 14 Kotabaru,

Yogyakarta, IndonesiaCetakan pertama : 2013

Tebal : 180

BUKU

- No. 2 Edisi September 2013 | 53

HAM Adalah Anugerah Tuhan PEMENUHAN hak asasi merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia di belahan bumi mana pun. Se-bab, hak asasi manusia (HAM) adalah hak natural dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Hak itu bu-kan pemberian peraturan, undang-undang, rezim, apa pun atau siapa pun juga. Oleh karena itu, tidak ada satu pun pihak yang boleh mengambilnya, apalagi merampasnya. Dan perjuangan menegakkan HAM merupakan tugas suci untuk memenuhi anugerah bagi umat manusia. Namun, ada banyak bukti mengenai terjadinya krisis pemenuhan hak asasi manusia. Banyaknya piagam, doku-men, deklarasi, dan perjanjian yang berkaitan dengan pe-langgaran hak, menjadi bukti bahwa HAM masih menjadi masalah, karena menjadi bahasa dan bahasan universal bagi seluruh manusia di seluruh dunia. Di negeri tercinta Indonesia, masalah HAM sampai saat ini juga masih saja terjadi. Perbedaan suku, aga ma, dan ras bisa saja menjadi salah satu alasannya. Pelanggar an HAM terjadi di Aceh, Irian Jaya, Timor Timur, Sampit, Sampang, Jakarta, dan lain-lain. Karena beberapa kejadian tersebut, Indonesia pernah dikritik oleh Komunitas Internasional da-lam konteks perlakuan tidak manusiawi dan penyiksaan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal-hal tersebut mengemuka dalam buku yang di-tulis Prof. Artidjo Al Kostar ini. Dan ia menegaskan sikap-nya mengenai kewajiban Indonesia untuk menghormati HAM. Menurut Artidjo, karena Indonesia tergabung dalam Konvensi Anti Penyiksaan, seharusnya Indonesia bisa mematuhi setiap peraturan yang telah disepakati bersa-ma, seperti pasal 16.1 yang menyebutkan bahwa “Setiap negara peserta harus melakukan pencegahan di seluruh wilayah yurisdiksinya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan.” Dalam buku 180 halaman tersebut, Artidjo juga men-jelaskan hak asasi dalam berbagai aspek, mulai dari per-spektif budaya, agama, dan politik. Secara khusus ia me-nyoroti peran penting Pancasila bagi Indonesia. Indonesia mengakui bahwa penghormatan akan HAM itu berasal dari

Pancasila. Sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, mengharuskan setiap umat manusia diper-lakukan dengan rasa hormat sebagai makhluk Tuhan. Sila ini juga menekankan bahwa rakyat Indonesia tidak men-tolerir tekanan fisik atau mental terhadap manusia oleh manusia lainnya ataupun oleh negara lain. Menurut Artidjo, filosofi dan prinsip negara yang sesuai dengan nilai­nilai adat, budaya dan tradisi rakyat Indonesia ini menjadi tong-gak terpenting dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Lelaki kelahiran Sitobondo ini juga menjelaskan se-cara detail pelanggaran HAM yang terjadi di beberapa negara, seperti di Jerman oleh Nazi, di Afrika Selatan oleh penganut apartheid, di Bosnia Herzegovina oleh Rezim Slobodan Milosevic, dan di Rwanda oleh Suku Hutu yang berusaha menghapuskan Suku Tutsi. Hakim Agung di bidang Pidana ini juga menjelaskan hubungan antara HAM dan peradaban. Baginya, bangsa yang menjunjung tinggi HAM adalah bangsa yang ber-peradaban tinggi. Buku yang diterbitkan oleh PUSHAM UII ini menjadi lebih menarik karena penulisnya tidak sekadar menulis. Ia menulis sesuatu yang amat ia ketahui. Ia pernah menja-di koordinator tim pembela untuk kasus-kasus subversi di Yogyakarta, tim pembela untuk kasus Santa Cruz, di Dili, Timor Leste, tim pembela untuk kasus wartawan Udin me-lawan Kepala Polisi Republik Indonesia, dan lain-lain. Buku yang berawal dari makalah ini memiliki banyak sekali informasi yang perlu diketahui oleh siapa pun, khu-susnya para penggiat HAM. Apalagi, selaiknya cerita, buku ini memikat kita untuk terus membacanya.*** (AZZ)

HAL perpustakaan sudah lama menjadi perhatian para pendiri bangsa (founding fathers), khususnya per-hatian terhadap keberadaan perpustakaan khusus instan-si pemerintah. Sejak diterbitkan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 1961 tentang Tugas Kewajiban dan Lapangan Pekerjaan Dokumentasi dan Perpustakaan dalam Lingkun-gan Pemerintahan, dikehendaki keberadaan perpustakaan instansi/lembaga pemerintah sebagai salah satu dukungan strategis bagi tugas pokok dan fungsi instansi/lembaga. Yang menarik, sebelum ditetapkan pada 26 Desember 1961 oleh Presiden RI Sukarno dan diundangkan di Jakarta oleh Sekretaris Negara Moch. Ichsan, Perpres itu dalam kon-sideransnya menyatakan “Mendengar: Musyawarah kabinet kerja pada 15 November 1961.” Artinya, sebelum ditetapkan sebagai Perpres, dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam sidang kabinet kerja tentang arti pentingnya dokumentasi dan perpustakaan dalam lingkungan pemerintahan. Sekarang sudah lengkap dengan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, bahkan dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan an-tara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pe-merintahan Daerah Kabupaten/Kota. Perpustakaan bukan lagi sebagai urusan pilihan, melainkan urusan wajib.

Sosialisasi di Semarang MA RI, dengan visi “Terwujudnya badan peradilan In-donesia yang agung,” sudah sepantasnya didukung dengan refe rensi yang memadai bagi peradilan dan keadilan di repu-blik ini. Dan salah satu referensi terbaik ada di perpustakaan. Maka pada 2-5 Juni 2013 di Semarang diselengga-rakan sosialisasi pemberdayaan perpustakaan bagi para wakil sekretaris dan pengelola perpustakaan pada empat lingkungan peradilan di wilayah Jawa Tengah dan DI Yog-yakarta. Acara ini diselenggarakan Biro Hukum dan Hu-mas Mahkamah Agung RI. Kali ini sosialisasi pemberdayaan perpustakaan di-buka oleh Kepala Badan Urusan Administrasi MA, Dr. H. Aco Nur, MH. Menarik, dalam sambutannya ia berkata, “Tatkala penyusunan anggaran, kami tidak melupakan per-pustakaan dan setiap pembangunan gedung baru harus dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan.” Sebelum pemaparan materi perpustakaan, para pe-serta dirangsang dan dimotivasi dengan pemutaran video eksistensi Perpustakaan MA. Tampak wawancara ekslusif dengan beberapa Hakim Agung yang memberikan apresi-asi bagi eksistensi Perpustakaan MA. Penyajian materi perpustakaan diawali Kepala Biro Hu-kum dan Humas, Dr. Ridwan Mansyur, SH., MH., dengan materi “Strategi Perpustakaan MA dan Badan Peradilan di bawahnya menuju Perpustakaan Digital.” Kemudian menyu sul Drs. Supriyanto, M.Si., (Pustakawan Utama Per-pustakaan Nasional RI) dengan materi “Posisi Strategis Kepustakawanan dalam rangka Mendukung Kinerja Lem-baga Peradilan”; Drs. Erwin Widanarko, SH., S.AP., M.Pd. (Kabag Administrasi Jabatan Fungsional) dengan “Pembi-naan Karier Jabatan Fungsional Pustakawan di Lingkun-gan MA dan Badan Peradilan”; Drs. Darwis, M.Eng. (Kabag Pengembang an Sistem Informasi) dengan “Pengenalan Sistem Informasi Perpustakaan”; M.E.R. Herki Artani Rich-miani, SH., MH., tentang “Profil, Pengembangan dan Akses Pemanfaatan Perpustakaan Mahkamah Agung RI”; dan akhirnya Dra. Adriati, M.Hum, (Pustakawan Madya Perpus-takaan Nasional) tentang “Pengorganisasi Informasi.”

PUSTAKA

- No. 2 Edisi September 201354 |

Sosialisasi Pemberdayaan Perpustakaan

Sambutan pembukaan oleh Karo Hukum dan Humas MA sebagai pe-nanggung jawab kegiatan

PUSTAKA

- No. 2 Edisi September 2013 | 55

Institusi Profesional Pekerjaan kepustakawanan tidak sekadar pekerjaan teknis perpustakaan, tetapi mencakup juga upaya pengem-bangan perpustakaan. Keberadaan bahan perpustakaan dewasa ini tidak saja berupa bahan-bahan tercetak (printed) seperti buku, tetapi juga dilengkapi dengan koleksi terekam (recorded), bahkan sudah pula waktunya dilengkapi dengan koleksi terpasang (on-line). Diawali dari layanan paling se-derhana “simpan-pinjam buku” dengan istilah layanan sirku-lasi, kemudian meningkat ke layanan referensi, layanan pe-nelusuran sederhana, layanan pe nelusuran kompleks dan seterusnya, didukung dengan bahan referensi yang diperlu-kan bagi pengambilan keputusan. Sepantasnya pengambilan keputusan dalam kepatutan peradilan yang adil wajib dilengkapi dengan referensi yang baku dan bermutu. Berarti perlu dilengkapi dengan alat-alat bantu penelusuran seperti bibliografi, baik bibliografi umum seperti biliografi hukum; juga bibliografi subyek seperti biblio­grafi hukum perdata, bibliografi hukum pidana, dan sub yek­subyek lain yang cukup banyak dan menarik. Belum lagi ke-beradaan abstraksi, baik yang bersifat sederhana, indikatif maupun informatif yang sangat berguna bagi kepentingan pengambilan keputusan dan/atau kebijakan lanjut. Kalau saja kita menengok perpustakaan sebagaimana dikehendaki dalam UU No. 43 Tahun 2007, yang dimaksud dengan “perpustakaan” adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara pro-fesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebu-tuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Artinya, sudah sepantasnya per-pustakaan menjadi institusi profesional, berarti layak pula pengelolanya adalah orang-orang yang profesional, se-bagaimana dikehendaki UU Perpustakaan, “pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diper-oleh dari pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.” Sekilas wajah dari beberapa perpustakaan yang saya kunjungi nampak belum menjadi bagian integral dari sebuah sistem organisasi, tetapi baru menjadi bagian pelengkap.

Strategi Pengembangan Perpustakaan yang sudah ada kiranya dapat ditum-buhkembangkan dengan mencermati lebih baik kehadiran Ranganathan, yang melahirkan lima hukum dasar per-pustakaan, yakni: pertama, buku adalah untuk digunakan; kedua, semua pembaca harus mendapat buku yang diper-lukan; ketiga, setiap buku harus mendapat pembacanya; keempat, pembaca harus cepat dilayani; dan kelima, per-pustakaan harus ditumbuhkembangkan.Untuk itu perlu strategi pengembangan perpustakaan, yang meliputi tiga aspek. Pertama, penguatan SDM/tenaga pengelola, melalui diklat seperti diklat teknis bagi pengelola perpustakaan, diklat CPTA (calon pustakawan tingkat ahli) bagi calon pustakawan, diklat Kepala Perpustakaan, dan diklat Tena-ga Ahli Perpustakaan. Saran penguatan SDM prioritas di lingkungan Perpustakaan MA (Pusat) dan Pengadilan Tingkat Banding. Kedua, penguatan TIK (Teknologi Informasi dan Ko-munikasi), mengingat bukan saja tuntutan perkembangan TIK, tetapi juga empat lingkungan peradilan di bawahnya meliputi satuan kerja yang jumlahnya cukup banyak, se-hingga penguatan TIK lebih efisien dibandingkan mod-el-model konvensional. Ketiga, penguatan organisasi, sesuai dengan Peratur-an Presiden No. 20 Tahun 1961, UU No. 43 Tahun 2007, PP No. 38 Tahun 2007, SNI Bidang Perpustakaan Khusus Instansi Pemerintah dan sebagainya layak perpustakaan dikembangkan secara mandiri. (Drs. Supriyanto, M.Si., Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI)

Sosialisasi pemberdayaan perpustakaan sewilayah PT Semarang dan PT Yogyakarta diselenggarakan di Semarang. Muhammad Azim

Rozi dari PA Salatiga dalam sesi tanya jawab.

TIRTA

- No. 2 Edisi September 201356 |

Kembali pada Fitrah

MENUNAIKAN ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, yang ditutup dengan hari raya Idul Fitri, mengandung makna yang begitu mendalam un-tuk direnungkan ulang dalam kehidupan pasca Ramadan dengan pertanyaan, apa yang kita peroleh dari rangkaian peristiwa tersebut dan bagaimana posisi kita setelah semua itu berlalu. Puasa yang diperintahkan kepada orang yang ber-iman sudah menjadi tradisi sejak awal kehidupan manusia di muka bumi, apa pun agama yang mereka anut. Puasa adalah proses pelatihan terencana dengan kurikulum Ilahi-ah, karena itu sifatnya bukan hanya sekedar berlapar diri, tetapi sekali lagi, sebuah pelatihan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Dalam bahasa Al-Qur’an, puasa adalah untuk mewu-judkan ketakwaan dan orang yang bertakwa adalah orang yang mempunyai kemampuan secara maksimal melak-sanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi sega-la yang dilarang-Nya. Karena itu, tidak mengherankan bila-mana Al Qur’an menyebutkan sejumlah kelebihan orang yang bertakwa, seperti orang yang paling mulia, orang yang paling dikasihi Allah, orang yang baginya disediakan

surga kelak di hari akhirat, orang yang selalu dimudahkan urusannya dan mendapatkan rezki yang tidak disang-ka-sangka. Upaya untuk mewujudkan itu tentu bukan hanya seke-dar menahan makan-minum yang hanya akan menghasil-kan lapar dan haus. Untuk mencapai tujuan tersebut diper-lukan kepedulian khusus dan keseriusan dalam menjalani ibadah tersebut. Dan tidak semua orang memperoleh hasil yang sama, walaupun mereka sama-sama melakukan ritu-al yang sama. Ada yang berhasil penuh, ada yang ha nya berhasil sekedarnya, ada pula yang hanya dapat menikmati sedikit, dan tpidak mustahil ada pula yang tidak mendapat-kan apa-apa kecuali hanya kelelahan. Karena itu, setiap tahun diperlukan adanya kesiapan khusus untuk menyambut kedatangan bulan puasa, men-jalaninya secara terprogram, memanfaatkan momentum khusus, dan tentunya bersiap kembali untuk menyambut Ramadan yang akan datang secara lebih optimal. Akhir Ramadan ditandai dengan Hari Raya Idul Fitri yang makna harfiahnya “kembali fitrah” dalam artian kem-bali pada manusia yang suci bagaikan bayi yang baru lahir. Dengan demikian, ibadah puasa adalah proses mengem-balikan manusia pada kesucian awalnya. Idul Fitri ditandai dengan kegiatan saling memaafkan lahir dan bathin sehingga tidak ada rasa dendam di antara sesama manusia. Terbina persaudaraan di antara sesama sebagai bekal hidup damai dan sejahtera. Hal terpenting untuk kita perhatikan bersama, hasil yang kita raih dalam menjalani puasa jangan dirusak dan dinodai dengan hal yang tidak baik, betapapun kecilnya. Begitu beratnya upaya kita untuk meraih ketakwaan dan fitrah hidup, hendaknya itu tidak dikorbankan untuk kepen­tingan yang tidak bermakna dan perbuatan kedosaan yang memang selalu menggoda dalam berbagai momentum ke-hidupan.

Oleh Dr. H. Abdurrahman, SH., MH. (hakim agung)

Halal bi halal di Mahkamah Agung RI

TIRTA

- No. 2 Edisi September 2013 | 57

TERAPI PUASA SEBAGAI MEDIA MERAIH KEMENANGAN

Oleh Dr. H. M. Fauzan, SH., MM., MH

MANUSIA sejatinya makhluk Tu-han terbaik dan paling sempurna, karena dalam diri manusia terdapat dua kekua-tan yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu “Nafsu dan Nalar” (2N). Makhluk malaikat hanya memiliki nalar saja, tidak memiliki nafsu, sehingga pekerjaannya hanyalah bertasbih dan menjalankan perintah Tu-han semata. Makhluk syaithan hanya memiliki nafsu saja, tidak dianugerahi nalar, sehing ga kerjaan syaithan hanyalah menyesatkan manusia dari hidayah dan jalan yang diridhai Tuhan. Nalar mengan-daikan perilaku positif yang membaha-giakan, sedangkan nafsu mengandaikan perilaku negatif yang menyengsarakan. Makhluk manusia yang secara an-tropologi evolutif tercipta dalam keadaan yang terbaik dan sempurna, namun dalam evolusinya berubah menja-di makhluk yang rendah dan hina, bahkan menurut berita suci dikabarkan ”manusia bisa berubah menjadi makhluk yang lebih hina dari binatang”. Evolusi perubahan karak-ter manusia tersebut disebabkan oleh dominasinya nafsu mengendalikan nalar dalam kehidupan sehari-hari. Akibat-nya nalar tidak berdaya dan telah mengalami kekalahan dalam kancah peradaban. Ritual ibadah puasa adalah sebuah media Ilahiyah yang sengaja disiapkan oleh Tuhan untuk mengembalikan karakter jati diri manusia kepada habitatnya (fitrahnya). Puasa Ramadhan sejatinya adalah medan peperangan, di mana nalar dan nafsu bertempur antara hidup atau mati, kalah atau menang.

Memaknai Puasa Puasa, yang dalam bahasa Arab disebut”al-imsak”

yang artinya menahan, mengandung makna, bahwa orang yang berpuasa wajib “menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai waktu terbe namnya matahari”, menahan dari makan, minum, hubungan seks di siang hari walaupun selama 11 bulan semuanya itu halal. Lebih dari itu, orang berpuasa juga berjuang untuk menahan diri dari perkataan kotor, perkata-an sia-sia, bohong, gunjing, penghinaan, caci maki, maksi-at, dan lain-lain sebagainya. Menahan dan mengendalikan gejolak nafsu ammarah yang menjelma dalam bentuk keserakahan makan-minum, kesembronoan lidah dalam berkata, dan liarnya mata ada-lah esensi ritual ibadah puasa. Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam), sesuatu yang berlebihan akan berdampak negatif. Makanan dan minuman yang kita konsumsi mele-bihi takaran akan memproduksi embrio ragam penyakit jasmani dan rohani. Demikian juga, liarnya pandangan mata dan diumbarnya perkataan kotor akan menjadi em-brio permusuhan dan perpecahan.

Buka puasa bersama di Masjid Al-Mahkamah MA RI

TIRTA

Pertempuran antara Nafsu Amarah dan Nalar Pernahkah anda merenungkan bahwa pikiran yang terus bekerja siang malam mempengaruhi seluruh aspek kehidupan anda? Sejatinya pikiran kita telah membuat arsip dalam akal yang kemudian melahirkan cara pan-dang (mindset), dan bergerak cepat mempengaruhi daya intelektualitas, fisik, perasaan, sikap, citra diri, harga diri, rasa percaya diri, kondisi jiwa, kondisi kesehatan, dan lain-lain. Jack Canfield dan Mark Viktor Hansen, sebagaimana dikutip Ibrahim El-Fiky, mengatakan, ”Setiap hari manu-sia menghadapi lebih dari 60.000 pikiran. Satu-satunya yang dibutuhkan sejumlah besar pikiran tersebut adalah pengarahan. Jika arah yang ditentukan bersifat negatif, maka sekitar 60.000 pikiran akan keluar dari memori ke arah negatif. Sebaliknya, jika pengarahannya positif, maka sejumlah pikiran yang sama juga akan keluar dari ruang memori ke arah yang positif.” Temuan tersebut menunjukkan betapa eratnya ke-terkaitan dua variabel, nalar dan nafsu. Nalar yang posi-tif bersinergi dengan daya intelektualitas, fisik, perasaan, sikap, citra diri, harga diri, rasa percaya diri, kondisi jiwa, kondisi kesehatan seorang pemimpin. Sebaliknya, betapa berbahayanya jika nafsu menguasai nalar menjadi nalar negatif yang bergelayutan mengendalikan seorang manu-sia. Sebuah penelitian Fakultas Kedokteran di Francis-co menemukan fakta bahwa 80% pikiran manusia telah tercemar dan berubah menjadi nalar negatif (pikiran yang menyesatkan). Temuan tersebut membuktikan kebenaran berita suci dalam Surah Yusuf, ayat 53, di mana Tuhan ber-firman, ”Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” Sebanyak 80% pikiran manusia cenderung negatif, itulah wilayah hukum nafsu ’ammarah. Sedangkan 20% pikiran manusia yang cenderung positif dikendalikan oleh nafsu al-mutmainnah. Mari kita coba berhitung secara sederhana. Jika 80% dari 60.000 pikiran, berarti setiap hari setiap manusia memiliki 40.000 problem yang dikendalikan oleh pikiran negatif, yang berkontribusi mempengaruhi perasaan, pe-rilaku, serta penyakit yang mendera jiwa dan raga. Jika demikian halnya, maka seorang manusia atau kelompok

harus ekstra hati-hati dalam memilih pikiran di benaknya, yaitu pikiran yang positif. Puasa adalah pertempuan antara nafsu amarah dan nalar positif. Puasa sesungguhnya perjuangan nalar positif untuk merebut 80% wilayah yang telah dikuasai oleh naf-su nalar negatif, untuk kembali ke pangkuannya. Dominasi nafsu nalar negatif menguasai pikiran, perasaan, ucapan, ketetapan dan keputusan, perilaku kejahatan sangat luar biasa, dan melumpuhkan sendi-sendi pikiran nalar positif manusia. Mengingat beratnya pertempuran itu, dapatlah kita mengerti ketika Nabi Muhammad SAW, sekembali dari pertempuran terdahsyat sepanjang sejarah hidupnya, menyeru kepada pasukannya, ”Wahai pasukanku, kalian baru saja menyelesaikan pertempuran kecil, dan kita akan berhadapan dengan pertempuran yang lebih dahsyat.” Seorang prajurit mengangkat tangan sambil bertanya, ”Ya Rasul, apa yang dimaksud jihad besar itu?” Nabi men-jawab, ”Yaitu jihad melawan hawa nafsu diri Anda sendiri.” Jadi, sejatinya puasa adalah hari pertempuran ter-dahsyat seorang manusia melawan dirinya sendiri untuk meraih kemenangan. Maka orang berpuasa akan berakhir kepada kalah atau menang, dan kemenangan itu hanya diraih oleh orang-orang muttaqin. Memang tujuan puasa adalah untuk meraih predikat muttaqiin, dan hanya orang-orang yang muttaqiin saja yang akan memperoleh ke-menangan. Tuhan berfirman dalam Surah An­Naba, ayat 31, ”Inna lilmuttaqiina mafaza,” artinya ”Sesungguhnya kemenangan itu hanya milik orang-orang yang bertaqwa.” Sebuah kemenangan dipastikan akan memancarkan rasa gembira, damai sejahtera, nyenyak, sehat, dan ba-hagia. Nah, 1 Syawal adalah waktu penentuan siapa-sia-pa yang memperoleh kemenangan dan siapa-siapa yang kalah. Manusia yang memperoleh kemenangan melalui pu asa digambarkan sebagai sehat wal’afiyat tanpa beban, bagaikan bayi yang lahir dari rahim ibunya, dan ’idul fitri, kembali kepada fitrah sebagai manusia yang sempurna.

- No. 2 Edisi September 201358 |

ADVERTORIAL

- No. 2 Edisi September 2013 | 59

KOLOM

- No. 2 Edisi September 201360 |

Menuju Sistem HukumPro-Penyandang DiffabilitasOleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.*

HAK asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Hak itu bersifat univer-sal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan. Negara Republik Indonesia adalah negara yang ber-dasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Konstitusi negara sudah tepat dan benar berkomit-men menjamin hak yang sama bagi warga negara. Akan tetapi pada kenyataannya warga negara lahir ke dunia ti-dak mempunyai nasib yang sama. Ada yang lahir normal, sempurna jasmani dan rohaninya. Ada pula yang lahir tidak normal, dalam arti tidak sempurna jasmani dan rohaninya. Bagi yang lahir tidak normal, tentu mereka tidak minta untuk lahir seperti itu, dan dalam menjalani hidup pun me-reka tidak minta dikasihani, karena sesungguhnya mereka terlahir sudah sesuai dengan fitrahnya, dan oleh Tuhan dianugerahi kemampuan yang berbeda. Oleh sebab itu penyebutan nama (nomenklatur) bagi mereka yang terla-hir tidak normal adalah kelompok “diffabilitas” (beda ke-mampuan). Dahulu mereka disebut “disabilitas” (kurang mampu). Sebelumnya kebanyakan orang menyebutnya penyandang cacat, tetapi sebutan ini sudah ditinggalkan karena terkesan tidak manusiawi. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang diffabilitas, Pemerin-tah RI telah membentuk berbagai peraturan perundang-un-dangan mengenai perlindungan terhadap penyandang diffabilitas. Salah satu bentuk komitmen Pemerintah ada-lah dengan menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Pe nyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Kemudian, konvensi tersebut telah diratifikasi de ngan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Kon-vensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dalam konvensi tersebut, penyandang disabilitas, yai-tu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelek-

tual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat-nya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Dengan demikian, yang ha-rus dilakukan Negara adalah pemberdayaan penyandang diffabilitas, perbaikan lingkungan penunjang, termasuk in-frastruktur dan mekanisme, serta peningkatan kepedulian dan sensitivitas masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif menuju kesetaraan martabat.

Charity­based Approach Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial terus berupaya untuk mensosial-isasikan para penyandang cacat agar dapat diterima baik di instansi pemerintah maupun swasta yang lebih mengede-pankan kredibilitas dan kemampuan dalam menjalankan pekerjaan tanpa memandang faktor fisik, mengingat jum-lah penyandang cacat di Indonesia semakin meningkat. Data Pusdatin Depsos tahun 2008 jumlah penyandang cacat sebanyak 1.554.184 jiwa, faktor ini sangat menjadi perhatian cukup besar dari pemerintah. Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dr. Makmur Sunusi, PhD, paradigma penanganan ma salah kecacatan dan penyandang cacat telah bergeser dari pendekatan berdasarkan belas kasihan (Charity Based Approach), yakni pendekatan yang lebih mengedepan kan pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Ap-proach) ke pendekatan ini sudah tentu perlu dikembang-kan untuk meningkatkan terobosan-terobosan yang berpi-hak pada penyandang cacat.

Perlindungan Hukum Upaya untuk memberikan perlindungan hukum ter-hadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para pe-nyandang diffabilitas, di samping dengan Undang-Undang

KOLOM

- No. 2 Edisi September 2013 | 61

tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain be-berapa peraturan tentang ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi penyandang ca-cat, sebagai berikut:a. Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1)b. UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1c. UU No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 (1)d. UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Ang-kutan Jalan, Pasal 49 (1)e. UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 42 Persoalannya, dari beberapa peraturan tersebut, ne-gara masih memberlakukan kelompok diffabilitas dengan pendekatan berdasarkan belas kasihan (charity based approach). Buktinya, dalam undang-undang kelompok dif-fabilitas ditangani oleh Kementerian Sosial. Seharusnya ditangani secara multi sektoral. Di sini terdapat ketidak-sinkronan antara jiwa UUD 1945 dan praktek penyeleng-garaan negara. Sesungguhnya adalah kewajiban negara menye-diakan sarana dan prasarana hidup bagi kelompok diffa-bilitas agar mereka bisa hidup sejajar dengan warga yang normal fisiknya.

Aksesibilitasi bagi Penyandang Diffabilitas Pemberian aksesibilitasi terhadap penyandang dif-fabilitas di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwu-jud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Un-dang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, upaya perlindungan belum memadai. Padahal ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang. Pada kenyataannya, betapa sulit seorang penyan-dang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hu-kum, pendidikan, informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan.

Salah satu diskriminasi bagi para penyandang cacat terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra ti-dak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Ia tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, ia harus mengua-sakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.

Kesamaan Hak dan Kesempatan Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, termasuk hak-hak para penyandang cacat. Dan kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan sosial pe-nyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahte-raan bagi penyandang cacat. Kewajiban itu tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-undangan), namun juga pada kebijakan aplikatif serta eksekutif. As-pek substansi hukum yang menjamin aksesibilitasi bagi penyandang diffabilitas dari sejumlah peraturan perun-dang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Na-mun, perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak-hak bagi para penyandang cacat. Sederetan undang-undang yang menyangkut pe-nyandang diffabilitas di atas baru merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyan-dang diffabilitas, guna mewujudkan kemandirian dan ke-sejahteraan penyandang diffabilitas. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan merupakan tanggung-jawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang diffabilitas sendiri. Tetapi hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung. Penanganan masalah penyandang diffabilitas harus bergeser dari pendekatan berdasarkan belas kasihan (charity based approach) kepada pendekatan yang lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang diffa-bilitas (right based approach). Dengan adanya pendekat-an ini sudah tentu dari aspek hukum, formulasi substansi peraturan yang ada perlu diaplikasikan yang lebih konkret yang berpihak pada penyandang diffabilitas.

* Hakim Agung pada MA-RI

Kompetensi Pengadilan TUN dalam Sistem Peradilan

di IndonesiaOleh H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH.

DALAM Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 se-karang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa: 1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan; 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi. Ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman kita sekarang, selain diseleng-garakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan, juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kedudukan Mahkamah Agung tetap sama, baik se-belum dan sesudah amanden UUD 1945, yaitu sebagai puncak dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Keempat lingkungan peradilan tersebut ma sing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat per-tama dan banding. Bagi lingkungan peradilan tata usaha negara, ber-dasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah ter-akhir dengan Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun), Pasal

47 mengatur kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia, yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang/badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengke-ta tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan PTTUN, selain selaku pengadilan tingkat banding, juga sebagai peng adilan tingkat pertama bagi sengketa-sengketa tata us-aha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU Peratun dan sengketa tata usaha negara Pemilihan Umum Legislatif. Kompetensi Absolut PTUN Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Ada dua jenis KTUN berdasarkan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 3 UU Peratun. Pada Pasal 1 angka 9 UU Peratun, KTUN ialah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara tentang tindak an hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, indi-vidual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseo-rang atau badan hukum perdata.

KOLOM

- No. 2 Edisi September 201362 |

Sedangkan pada Pasal 3 UU Peratun dikatakan, “Apa-bila badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak menge-luarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajiban-nya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.” Jadi, jika jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undang an atau telah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan, dan badan atau pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut diang-gap telah menolak mengeluarkan KTUN. Sikap pasif badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan. Keputu-san demikian disebut keputusan fiktif­negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat diang-gap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan. Tidak semua KTUN merupakan obyek sengketa PTUN. KTUN yang termuat dalam ketentuan Pasal 2, Pas-al 48, Pasal 49 dan Pasal 142 UU Peratun serta KTUN dalam sengketa Pemilu Legislatif bukan obyek sengketa PTUN. Berdasarkan Pasal 2 UU Peratun, KTUN berikut tidak bisa digugat, yakni:a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbu-

at an hukum perdatab. Keputusan tata usaha negara yang merupakan peng-

aturan yang bersifat umumc. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan

persetujuand. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan ber-

dasarkan KUHP atau KUHAP atau peraturan perun-dang-undangan lain yang bersifat hukum pidana

e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Ten-tara Nasional Indonesia

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat mau-pun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Menurut ketentuan Pasal 48 UU Peratun, juga tidak dapat diadili keputusan tata usaha Negara yang terhadap-

nya harus ditempuh terlebih dahulu upaya administratif.Demikian juga KTUN yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, keadaan luar bi-asa yang membahayakan, atau keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-un-dangan yang berlaku (Pasal 49 UU Peratun). Pasal 142 ayat (1) menentukan bahwa sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU No. 5 Tahun 1986 belum diputus oleh Peng-adilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Adapun KTUN sengketa pemilu legislatif berupa KTUN verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan DPRD sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 259 ayat (3), Pasal 269 ayat (1) sampai dengan (7) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemi-lihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif).

Rancangan Undang-Undang Adminis-trasi Pemerintahan (RUU-AP) RUU-AP memperluas kompetensi PTUN. Berdasar-kan Undang-Undang Peratun, kompetensi PTUN hanya sebatas KTUN. Sedangkan menurut RUU-AP, kompetensi PTUN mencakup:a. Keputusan administrasi pemerintahan, yang juga dise-

but keputusan tata usaha negara atau keputusan admin-istrasi negara, yaitu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam penye-lenggaraan pemerintahan;

b. Tindakan administrasi pemerintahan, yaitu sikap pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan faktual dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Selain itu, ada kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk menentukan pejabat Tata Usaha Negara melakukan penyalahgunaan wewenang atau tidak dalam kaitannya dengan perkara pidana (korupsi). Dibandingkan dengan UU Peratun, kompetensi PTUN dalam RUU AP sangat luas. PTUN akan dapat meng-adili semua tindakan pemerintahan, baik tindakan hukum (rechts handeling) maupun tindakan nyata (feitelijk handel-ing) di bidang hukum publik.

KOLOM

- No. 2 Edisi September 2013 | 63

Dengan perluasan kompetensi Peratun, perlu ada-nya harmonisasi dan sinkronisasi bagi UU Peratun tentang bagaimana cara menguji tindakan administrasi dari badan atau pejabat Administrasi Pemerintahan apabila dikaitkan dengan kompetensi absolut PTUN terhadap keputusan tata usaha negara. Demikian juga, pengertian keputusan TUN menurut UU Peratun lebih sempit daripada keputusan admi-nistrasi pemerintahan yang diatur dalam RUU AP. Dan dalam UU Peratun belum diatur prosedur permohonan ada tidaknya penyalahgunaan wewenang kaitannya dengan perkara pi-dana (korupsi).

Dukungan DPR untuk optimalisasi Peranan PTUN Kompetensi PTUN dalam sistem peradilan kita ma-sih relatif kecil. Volume perkara PTUN masih ada yang di bawah 25 perkara per tahun, seperti di PTUN Banda Aceh, Bengkulu, Kupang, Palangkaraya, dan Yogya-karta. Hal ini menunjukkan belum optimalnya peranan PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap peme-rintah. Adanya upaya pemerintah mereformasi birokrasi dengan merancang RUU-AP kiranya mendapat dukung-an dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerbitkan UU Administrasi Pemerintahan yang akan memperluas kom-petensi PTUN. Dengan demikian, eksistensi peradilan tata usaha negara akan dapat lebih bermanfaat bagi pe-merintah maupun masyarakat. Setelah RUU-AP menjadi UU-AP, hal itu perlu ditin-daklanjuti dengan penyelarasan menyangkut kompeten-si mengadili PTUN. Tidak kalah pentingnya, juga harus dipersiapkan Sumber Daya Manusia, terutama hakim peratun yang mempunyai kemampuan menangani per-luasan kompetensi PTUN. Sekarang sudah ada 28 PTUN di 28 propinsi. Masih perlu dibentuk minimal 6 PTUN baru di 6 propinsi, yakni Gorontalo, Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka-Belitung, Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Sedang-kan untuk tingkat banding minimal ada tambahan pemben-tukan 2 PTTUN.*) Penulis, Hakim Tinggi/Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dan Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara pada Ditjen Badilmiltun MARI.

- No. 2 Edisi September 2013 | 1

KOLOM

Selayang Pandang UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pi-dana Anak (SPPA) yang diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 (TLNRI 2012-153) merupakan pengganti UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang efektif mulai berlaku 2 (dua) tahun setelah tanggal diundangkan. Apabila ditelusuri, alasan utama penggantian UU tersebut adalah UU Nomor 3 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena secara komprehensif belum memberikan perlindungan ke-pada anak yang berhadapan dengan hukum. Dikaji dari perspektif masyarakat internasional terhadap perlindungan hak-hak anak, antara lain terlihat dari adanya Resolusi PBB 44/25 – Convention on the Rights of the Child (CRC) (diratifikasi dengan Keppres 36 Tahun 1990), Resolusi PBB 40/33 – UN Stan­dard Minimum Rules for the Administrations of Juvenile Justice (The Beijing Rules), Resolusi PBB 45/113 – UN Standard for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, Resolusi PBB 45/112 – UN Guidelines for the Prevention of Junivele Delinquency (The Riyadh Guidelines) dan Resolusi PBB 45/110 – UN Standard Min­imum Rules for Custodial Measures 1990 (The Tokyo Rules). Hal demikian didasarkan pada pemikiran bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia se-utuhnya. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 hasil amandemen. Dikatakan bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak

- No. 2 Edisi September 201364 |

- No. 2 Edisi September 2013 | 1

Kriminalisasi Hakim dalam UU no. 11 Tahun 2012 pasca-Putusan MK

atas perlindungan dari kekerasan dan diskrimi­nasi. Pengaturan mengenai hak-hak anak tersebut kemu-dian diwujudkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Kriminalisasi Hakim dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 UU SPPA mengatur ketentuan pidana bagi hakim dan pejabat pengadilan yang terdapat ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101. Terhadap perumusan norma kriminalisasi hakim dan pejabat pengadilan ini, ada beber-apa catatan penting yang dapat dijadikan bahan renungan serta atensi, yaitu: Pertama, rumusan ketentuan pasal tersebut, apabi-la dilihat dari perspektif labeling, terlihat bahwa pembentuk UU telah memberi label terhadap perbuatan hakim dan pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melak-sanakan kewajibannya (menjalankan prosedur hukum acara) sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Kon-sekuensi logisnya, terlihat jelas keputusan pembentuk UU melakukan kriminalisasi dalam melaksanakan tugas justisialnya tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach) maupun pada nilai (value judgment ap-proach), melainkan lebih ditekankan pada penilaian emo-sional (the emosionally laden value judgment approach). Kedua, implikasi politik kriminalisasi dalam Pa sal 100 UU SPPA pada hakikatnya merupakan perbuatan yang dapat dikategorisasikan bersifat diskriminatif, seh-ingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak be-bas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dari perspektif normatif, atas dasar ketentuan hukum acara pidana yang berlaku (ius constitutum), apabila hakim melakukan pena-hanan terhadap terdakwa anak, kemudian masa pena-hanan tersebut telah berakhir, maka terdakwa anak de-ngan sendirinya harus dikeluarkan demi hukum.

Ketiga, implikasi politik kriminalisasi dalam Pasal 101 UU SPPA melanggar Prinsip Indepedensi Peradilan dan Independensi Hakim, sehingga bertentangan de-ngan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. Terhadap hakim yang dengan sengaja melakukan pelanggaran prosedural hukum acara pidana formil anak mengenai kewajiban “pemberian petikan putusan pada hari putusan diucapkan” dalam rumusan ketentuan Pasal 101 juncto Pasal 62 ayat (1) UU SPPA, yang dipaksakan melalui perspektif hukum pidana tersebut, dikenakan se-cara kumulatif 2 (dua) jenis ancaman sekaligus, yaitu sank-si pidana dan sanksi administratif (ketentuan Pasal 95 UU SPPA).

Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012 Terhadap kriminalisasi tersebut, Ikatan Hakim Indo-nesia (Ikahi), melalui Ketua Umumnya Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H. beserta pengurus IKAHI lainnya, lalu menunjuk Teguh Satya Bakti, Rr. Andy Nurvita, dan penulis sendiri selaku kuasa hukum untuk melakukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohon-an tersebut, maka Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 110/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013, menya-takan bahwa ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi pada (3.18) halaman 122 menyebutkan bahwa: Menimbang, Pasal 96, Pasal 100, dan Pa­sal 101 UU 11/2012 yang menentukan ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penye­lenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat peng­adilan, penyidik, dan penuntut umum, menurut Mahkamah, bukan saja tidak merumuskan ketentuan­ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan inde­pendensi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut umum, dan penyidik anak), yakni mem­

Oleh Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.

KOLOM

- No. 2 Edisi September 2013 | 65

berikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pe­langgaran administratif dalam penyelenggaraan SPPA yang tentu memberikan dampak negatif terhadap pejabat­pejabat khusus yang menye­lenggarakan SPPA. Dampak negatif tersebut adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yak­ni berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara. Hal demikian menimbulkan ketidak­pastian hukum dan ketidakadilan yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontra produktif dengan maksud un­tuk menyelenggarakan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan restoratif.

Kriminalisasi pasca Putusan MK Sebenarnya, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013, ketentuan UU SPPA masih menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, yang dibatalkan karena bertentangan den-gan UUD NRI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuat an hukum mengikat serta dilakukan judicial review adalah ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA. Lalu, bagaimana implikasinya terhadap ketentuan Pasal 98, 99 yang mengatur kriminalisasi terhadap penyidik dan penun-tut umum sebagai satu kesatuan dalam integrated crimi­nal justice system? Aspek dan dimensi ini sebenarnya selintas telah dising gung dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada butir (3.14) halaman 120, akan tetapi sayangnya lebih lan-jut tidak dipertimbangkan dalam ratio decidensi yang ber-bunyi sebagai berikut:

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahannya adalah apa­kah ketentuan ancaman pidana kepada hakim dan pejabat pengadilan sebagai pejabat khu­sus dalam penyelenggaraan SPPA dalam Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 ber­tentangan dengan UUD 1945, dan bagaimana

pula dengan pejabat khusus yang lain dalam pasal tersebut, yaitu penyidik dan penuntut umum anak dalam SPPA. Aspek dan dimensi “bagaimana pula dengan pejabat khusus yang lain dalam pasal tersebut, yaitu penyidik dan penuntut umum anak dalam SPPA” sebenarnya selesai apabila Mahkamah Konstitusi mau melakukan ultra petita sebagaimana lazim dilakukannya, terlebih lagi “pintu ma-suk” terhadap ultra petita tersebut ada, yaitu dalam per-mohonan a quo dimintakan juga melalui asas aquo et bono. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 96 UU SPPA dibatalkan dan tidak mempu-nyai kekuatan hukum mengikat. Problemanya, ketentuan Pasal 96 UU SPPA juga berhubungan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) tentang diversi. Pertanyaannya adalah, pasca berlaku efektifnya UU SPPA tahun 2014, apakah masih mungkin dilakukan diversi dalam perkara anak atau-kah tidak. Terlepas dari persoalan tersebut di atas, ternyata Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara tersebut se-cara tepat, benar dan adil serta pula telah menempatkan independensi hakim dan peradilan sesuai dengan kerang-ka Negara Hukum menurut UUD NRI 1945.

KOLOM

- No. 2 Edisi September 201366 |

BERANDA

Tak Seperti yang Mereka Kira

SERAM dan angker. Itulah yang ada di benak Magdhalena, mahasiswa semester dua Fakultas Komu-nikasi Universitas Indonesia, ketika menginjakkan kaki di halaman parkir gedung Mahkamah Agung Jakarta. Namun, bayangan itu segera pecah tatkala mema suki ruangan Media Center Harifin A. Tumpa. Rombongan mahasiswa UI itu disambut para pejabat bagian Hubung-an Antar Lembaga (Hubla) Biro Hukum dan Humas MA. Siang 7 Mei 2013 itu, sebanyak 41 mahasiswa memadati ruang media center untuk berbagi ilmu dan pengalaman mengenai kehumasan di MA. Per-temuan yang dipimpin langsung oleh Kabag Hub-la, David MT Simanjuntak, SE, ini berlangsung ha-ngat, sesekali diselingi pertanyaan dan senda gurau. “Pak, bagaimana komentar Bapak mengenai pem-beritaan perilaku buruk para hakim di media mas-

sa?” tanya salah seorang mahasiswa yang disam-but tepuk tangan oleh para mahasiswa lainnya. “Wah, ternyata Anda pemerhati bidang hukum juga, yah,” ujar Kasubbag Humas dan Profesi, Rudi Sudiyanto, SH, MM. “Perlu ditegaskan bahwa itu ada-lah oknum, bukan semua hakim,” tambahnya lagi. Para peserta begitu antusias mengacung-kan tangan untuk bertanya dan berbagi pengalam-an. “Aduh, sayang waktunya sebentar banget, jadi nanyanya belum puas,” komentar peserta yang lain.Selanjutnya rombongan mahasiswa diajak untuk me-ngunjungi ruang sidang utama Kusumah Atmadja, layanan Desk Info, dan perpustakaan MA. Para ma-hasiswa pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan momen dengan berfoto bersama. (IFH/MMA)

- No. 2 Edisi September 2013 | 67

RAGAM

UCAPAN selamat disampaikan Ketua MA RI, Hatta Ali, SH., MH, kepada Ketua MA Singapura, Sundaresh Me-non, atas terselenggaranya Governing Council Meeting yang ke-35 di Singapura. Dalam sambutan pembukaannya sebagai Presiden ASEAN Law Association (ALA), di Begonia Ball-room, Marina Bay Sands, Singapura pada Sabtu, 24 Agustus 2013, Hatta Ali memuji hasil kerja rekannya itu. “Pertemuan hari ini adalah tonggak sejarah, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah ALA kesepuluh negara ASEAN, yaitu Singapu-ra, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipi-na, Vietnam, Lao PDR, Kambodja, dan Myanmar, bertemu dalam satu forum,” ucapnya bangga.

IT dan Pelayanan Publik

PELAYANAN publik berbasis teknologi informa-si kini dijadikan sebuah solusi praktis. Pelayanan berbasis teknologi merupakan sebuah inovasi yang terus berkem-bang demi melayani kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan akan informasi. Tak terkecuali di pengadilan, hampir di seluruh peng-adilan tengah bekerja keras untuk dapat membangun sistem informasi perkaranya berbasis teknologi. Peng-adilan negeri dan pengadilan telah memiliki layanan in-formasi penelusuran perkaranya (Case Tracking System/

CTS) dan pada pengadilan agama disebut SIADPA. Pelayanan seperti ini juga telah diterapkan di Mahka-mah Agung Singapura dengan sangat representatif sebagai peradilan modern. Layanan ini memberikan aspek layanan publik yang sangat ideal bagi manajemen perkara yang ce-pat, akurat, dan mudah. Dianggap ideal, karena masyarakat diberikan akses untuk mendapatkan informasi perkara melalui teknologi informasi terpadu. Mahkamah Agung Singapura terus melakukan pengembangan teknologi informasi dengan membangun sebuah sistem di mana berkas disajikan dalam bentuk elek-tronik. Berkas dapat diakses juga oleh para hakim, panitera, maupun staf di waktu yang bersamaan. Jadi, kalau hakim ingin mempelajari berkas dan staf melakukan pendataan, itu dapat dilakukan bersamaan di waktu yang sama. Tidak perlu berkas berkeliling dari ruangan yang satu ke ruangan lain dan harus menunggu untuk dikerjakan. Hal ini disampaikan oleh Ye ong Zee Kin, Senior As-sistant Registrar, dalam pemaparannya kepada pimpinan delegasi ASEAN Law Association di Mahkamah Agung Sin-gapura, pada Jumat, 23 Agustus 2013, sebagai rangkaian konferensi ALA yang digelar pada 22-25 Agustus 2013.

- No. 2 Edisi September 201368 |

Harmonisasi Hukum menuju Masyarakat ASEAN 2015

RAGAM

Sebagai presiden ALA, Hatta Ali mengaku merasa terhormat atas kepercayaan masyarakat ASEAN, khu-susnya dalam bidang hukum. “ALA memiliki peran yang sangat strategis di ASEAN. Menjadi tanggung jawab ALA untuk terus menciptakan harmonisasi pada sistem hukum di kawasan ASEAN. Bahkan, kini saya sedang membangun hubungan yang lebih akrab lagi dengan China. Melalui hubungan yang harmonis ini ke depan-nya saya berharap akan lebih banyak lagi forum–forum untuk saling berdiskusi, seminar, workshop, penelitian bersama dalam bidang hukum, antarnegara ASEAN dan tentunya China.” Governing Council Meeting yang ke-35 ini dihadiri oleh 250 peserta dari 10 negara ASEAN. Selain para ketua Mahkamah Agung, hadir pula dalam acara ini para panitera, akademisi, dan para praktisi hukum.

Sistem IT terbaru yang digunakan di MA Singapura adalah elitigation. Melalui sistem ini, selain para hakim dan staf, para pengacara juga dapat memiliki akses untuk melihat berkas. Lebih lanjut, Yeong Zee Kin mengatakan, untuk dapat mengakses berkas-berkas tersebut harus memiliki pass-word yang diberikan oleh Mahkamah Agung Singapura setelah mengisi formulir dan memenuhi persyaratan. Khusus untuk pengacara, syarat utamanya adalah harus terdaftar terlebih dahulu pada law firm. Konferen ALA itu juga dihadiri oleh Mahkamah Agung RI, diwakili oleh Hakim Agung Syamsul Maarif dan Kepa-la Biro Hukum dan Humas Ridwan Mansyur. Mengenai kerja sama antara MA Indonesia dan MA Singapura, Rid-wan menilainya sangat baik. “Kita selalu saling berbagi pengalaman dalam hal meningkatkan pelayanan publik di bidang hukum,” ujatnya.

Layanan Informasi di Website ALA Memilih Singapura sebagai tuan rumah konferensi Asean Law Association tahun ini bukan sebuah kebetul-an. “10 tahun yang lalu, Singapura pernah menjadi tuan rumah ALA. Jadi, memang sekarang giliran Singapura kembali menjadi tuan rumah. Dalam pelaksanaannya ALA dibantu oleh Mahkamah Agung Singapura,” papar

- No. 2 Edisi September 2013 | 69

Swandy Halim, Sekjen ALA saat diwawancara di sela-sela rapat. Singapura kini menjadi negara dengan perkembang-an teknologi yang paling maju dibandingkan dengan ne-gara lainnya. Maka Swandy berharap semoga para negara ASEAN yang lain akan terpacu untuk terus mengembang-kan teknologi di negaranya masing-masing, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang hukum. Swandy mengambil contoh pembuatan website. Seka-rang setiap lembaga maupun instansi sudah memiliki web-site sebagai media informasi. Tak terkecuali ALA. Sebagai organisasi internasional, ALA menggunakan website untuk berkomunikasi dengan para anggotanya. Resmi diluncur-kan 24 November 2005 silam dengan alamat www.aseanl-awassociation.org , kini website ALA sudah dikunjungi oleh 18.432 setiap bulan dengan rata-rata 607 pengunjungan setiap harinya. Menurut Wendy Yap, delegasi Singapura, menu yang paling banyak diunduh dalam website ALA adalah buku-buku elektronik, khususnya mengenai sistem hu-kum di ASEAN. Itu artinya, masyarakat ASEAN memiliki ketertarik an pada bidang hukum, dan informasi pada web-site ALA dapat dijadikan referensi. Ke depannya ALA berharap para anggota ALA turut aktif untuk menyumbangkan karya-karyanya. (RM - II)

RAGAM

Harmonisasi adalah Kunci Hadirnya sepuluh ketua Mahkamah Agung ASEAN merupakan sebuah kesempatan baik untuk kian menjalin hubung an kerja sama antarnegara ASEAN di bidang hukum. Pada pertemuan kali ini dibahas sejumlah isu, di antaranya me ngenai akses terhadap keadilan, teknologi informasi, dan sejumlah kerja sama lainnya antarnegara ASEAN. Sehari sebelum konferensi ALA (Jumat/23-08-2013), para Ketua MA meng adakan pertemuan khusus untuk membahas aturan-aturan hukum di kawasan ASEAN. Per-temuan ini bertujuan untuk membangun hubungan yang lebih akrab dan saling meng untungkan antara negara-neg-ara ASEAN, saling berbagi isu dan pengalaman dalam bidang hukum, dan menguatkan kerja sama di bidang hukum untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN dalam hal per aturan hukum. Pertemuan ini menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya berbagi isu, berdiskusi dalam pertemuan antar-negara, mengadakan pelatihan bersama bagi para hakim dan praktisi hukum melalui kerja sama bidang pendidikan dan pertukaran di antara pengadilan, memfasilitasi dan membangun Pusat Jaringan Informasi Hukum ASEAN.

Keselarasan Membangun Hukum di ASEAN Di luar forum resmi konferensi ASEAN Law Associ-

ation, rupanya kedatangan Hatta Ali juga telah ditunggu para kalangan akademisi dan mahasiswa hukum Nation-al University Singapura (NUS). Usai membuka konferensi ALA (Minggu, 25 Agustus 2013), Ketua MA Indonesia itu diundang memberikan sambutan pembukaan dalam semi-nar peraturan hukum pada komunitas ASEAN. Bertempat di Grand Copthorne Hotel, para mahasiswa NUS, akademisi, praktisi hukum dan delegasi ALA berparti-sipasi aktif dalam seminar dan diskusi. Dalam pemaparannya, Ketua MA Singapura, Sunda-resh Menon, menyampaikan rasa senangnya karena Ke-tua MA Indonesia yang sekaligus Ketua ALA itu berkenan untuk memberikan sambutan pembukaannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa peraturan hukum di kawasan ASEAN perlu segera disusun untuk memberikan perlindungan ke-pada masyarakat ASEAN. “Tahun 2015, akan terbangun masyarakat ekonomi ASEAN, di mana tentunya diperlukan aturan hukum yang jelas untuk memberikan rasa aman bagi para pelaku ekonomi,” ungkap lulusan hukum NUS tahun 1986 ini. Hatta Ali sendiri menekankan pentingnya kegiatan semacam ini dalam rangkaian pertemuan ALA. Ia ber-harap, para delegasi akan mendapatkan wawasan baru dengan saling berdiskusi dan berbagi pengalaman. (RM ­ II).

- No. 2 Edisi September 201370

RAGAM

Sistem Informasi Perkara:

Menuju Transparansi Badan Peradilan

KUALITAS pelayanan publik yang prima merupa-kan muara dari pelaksanaan reformasi birokrasi. Terdapat sinergi positif dan hubungan kualitas yang sangat erat an-tara reformasi birokrasi dan penyelenggaraan pelayanan publik. Hal itu didasarkan pada satu prinsip utama bahwa setiap penyelenggara negara merupakan pelayan publik, dari level tinggi sampai dengan jajaran paling bawah demi terwujudnya good governance. Dengan Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung RI menggerakkan reformasi se-bagai upaya merevitalisasi fungsi Mahkamah Agung se-bagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga kesatu an hukum, dan revitalisasi fungsi pengadilan dalam rangka

meningkatkan akses masyarakat pada keadilan (access to justice). Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu program utama MA adalah Program Penguatan Akses terhadap Pengadilan. Ini sesuai dengan salah satu misi utama untuk mencapai badan peradilan yang agung, yaitu meningkat-kan kredibiltitas dan transparansi badan peradilan. Dengan adanya keterbukaan ini, masyarakat menjadi lebih mudah mengetahui kinerja dari pejabat publik. SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara)/CTS (Case Tracking System) merupakan aplikasi sistem infor-masi untuk penerlusuran alur perkara yang berbasis web pada peradilan umum. Sejalan pula dengan itu, peradilan

- No. 2 Edisi September 2013 | 71

CTS (Case Tracking System)

agama di Indonesia telah menggunakan aplikasi SIADP-TA (untuk Pengadilan Tinggi Agama) dan SIADPA (untuk Pengadilan Agama). Semua aplikasi yang dibangun akan bisa dilak-sanakan dengan baik apabila ada 3 (tiga) unsur yang sa-ling berkaitan, yaitu komitmen dengan kebijakan pimpinan yang mendukung (policy), sarana dan prasarana yang memadai (hardware dan software), serta user yang mau belajar dan menggunakan aplikasi (brainware). Hingga Agustus 2013, jumlah pengadilan yang sudah memiliki CTS sejumlah 336 pengadilan negeri; hanya 16 yang belum terimplementasi dengan baik. Sementara SI-ADPA pada semua pengadilan agama sudah memilikinya. Ke depannya, semoga pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara dapat segera menyusul. “Tidak ada yang tidak mungkin dengan usaha. Kita pasti bisa!” tegas Dr. Ridwan Mansyur, SH, Kepala Biro Hukum dan Humas. (IFAH/MA)

SIADPA Apikasi SIADPA ada sebelum aplikasi SIPP/CTS. Apli kasi SIADPA mempunyai peran penting dalam meng-optimalkan penerapan Pola Bindalmin di lingkungan peradilan agama. Sebagai sebuah sistem manajemen per-kara (case management system), aplikasi SIADPA te lah dirasakan manfaatnya di bidang administrasi peradilan. Proses pengolahan dokumen perkara menjadi le-bih cepat, efektif dan efisien sehingga pelayanan kepa-da masyarakat pencari keadilan bisa lebih ditingkatkan. Aplikasi SIADPA terbukti mampu menjawab kebutuhan administrasi perkara peradilan agama melalui solusi do-kumen dan solusi data. Spesifikasi minimum untuk Aplika-si SIADPA adalah Processor Intel Pentium IV, Windows Server, Memory 500 MB, Harddisk 80 GB.

RAGAM

CTS merupakan program kerjasama Mahkamah Agung melalui Ditjen Badan Peradilan Umum dengan USAID. Programnya – disebut program C4J (Changes For Justice) – memberikan bantuan kepada Mahkamah Agung dalam peningkatan kapasitas pelayanan Sistem Informasi Penelusuran Perkara di Pengadilan berbasis Teknologi Informasi. Ditjen Badilum membagikan Source Program aplikasi ini ke satker-satker yang akan mener-apkan CTS. Source Program juga bisa diunduh dari link yang telah disediakan.

CTS Versi 01 ini diluncurkan di Pengadilan Negeri Palembang pada tanggal 23 Maret 2011 bersama de-ngan 3 (tiga) pengadilan lainnya, yaitu Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Samarinda oleh Ketua Mahkamah Agung pada

saat itu, Harifin A. Tumpa. Aplikasi ini melibatkan seluruh elemen pengadilan, mulai dari staf, panitera penggan-ti sampai ketua Pengadilan. Masing-masing memiliki peran sama pentingnya untuk memaksimalkan aplikasi CTS. Spesifikasi minimum untuk CTS Versi 01 adalah Processor Intel Core 2 Duo 2.4 Ghz, Memory 2 GB, Harddisk 320 GB, Maximum Client Access berjumlah 5 Client.

CTS Versi 02 ini diluncurkan di Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 17 Desember 2012 oleh Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali. Sesuai dengan namanya, CTS versi 02 merupakan pengembangan dari CTS versi 01. Spesifikasi minimum untuk CTS Versi 02 adalah Pro-cessor Intel i3 3.3 Ghz, Memory 2 GB, Harddisk 500 GB, Maximum Client Access berjumlah 5 client.

- No. 2 Edisi September 201372 |

Media Komunikasi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Edisi September Tahun 2013

laporan khususSelamat Ulang TahunMahkamah Agung

Opini WTP MA: Upaya Tak Kenal LelahSejarah itu Terukir di Tenggarong