menyikapi lahirnya perpu sebagai acuan pengawasan mahkamah konsitusi dalam tinjauan hukum tata...

44
MENYIKAPI LAHIRNYA PERPU SEBAGAI ACUAN PENGAWASAN MAHKAMAH KONSITUSI DALAM TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA (Suatu Kajian Mengenai Persoalan Tangkap Tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia) 1 OLEH : ERLANDA JULIANSYAH PUTRA 2 A. Latar Belakang Pada Tanggal 17 Oktober 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2013 tetang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Perpu ini bertujuan untuk memberikan pengaturan mengenai pertama, persyaratan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, kedua, proses seleksi hakim dan ketiga, sistem pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi. 3 Hal ini bermula dari penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya yang terletak di Komplek Widya Candra, Jakarta Selatan, terkait dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan sengketa Pilkada Lebak Banten. 4 1 Disampaikan Pada Makalah Perkuliahan Politik Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia 2 Mahasiswa Pascasarjana Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia 3 Presiden SBY Terbitkan Perpu Mahkamah Konstitusi, www.detiknews.com , diakses pada hari Kamis, Tanggal 17 Oktober 2013, Pukul 19.50 WIB 4 Ini Kronologi Dua Kasus yang Menjerat Akil, www.nasional.sindonews.com, diakses pada hari Jumat, Tanggal 18 oktober

Upload: erlanda-juliansyah-p

Post on 20-Oct-2015

102 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MENYIKAPI LAHIRNYA PERPU SEBAGAI ACUAN PENGAWASAN MAHKAMAH KONSITUSI DALAM TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA(Suatu Kajian Mengenai Persoalan Tangkap Tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia)[footnoteRef:1] [1: Disampaikan Pada Makalah Perkuliahan Politik Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia]

OLEH : ERLANDA JULIANSYAH PUTRA[footnoteRef:2] [2: Mahasiswa Pascasarjana Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia]

A. Latar Belakang

Pada Tanggal 17 Oktober 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tetang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Perpu ini bertujuan untuk memberikan pengaturan mengenai pertama, persyaratan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, kedua, proses seleksi hakim dan ketiga, sistem pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi.[footnoteRef:3] [3: Presiden SBY Terbitkan Perpu Mahkamah Konstitusi, www.detiknews.com , diakses pada hari Kamis, Tanggal 17 Oktober 2013, Pukul 19.50 WIB]

Hal ini bermula dari penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya yang terletak di Komplek Widya Candra, Jakarta Selatan, terkait dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan sengketa Pilkada Lebak Banten.[footnoteRef:4] [4: Ini Kronologi Dua Kasus yang Menjerat Akil, www.nasional.sindonews.com, diakses pada hari Jumat, Tanggal 18 oktober 2013,Pukul 11.30 WIB]

Sebelum kasus ini mencuat, Mahkamah Konstitusi yang lahir dari semangat reformasi dikenal sebagai lembaga peradilan yang bersih karena setiap putusan, diambil oleh sembilan hakim konstitusi dengan menjunjung asas nir-intervensi.[footnoteRef:5] [5: Hikmah di Balik Kasus Akil, http://news.liputan6.com, diakses pada hari Jumat, Tanggal 18 Oktober 2013, Pukul 11.32 WIB.]

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, perubahan ketiga, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang menegaskan bahwa, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingakat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.[footnoteRef:6] [6: Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingakat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum]

Dengan adanya Mahkamah Konstitusi yang berwenang memeriksa dan memutus empat kewenangan diatas, maka dapat dicatat bahwa kini terdapat dua kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, kewenangan dua lembaga tersebut secara kategori konflik masih terasa kurang sinkron, idealnya konflik antarorang atau antar lembaga ditangani oleh satu Mahkamah, yakni Mahkamah Agung, sedangkan konflik antar peraturan perundang-undangan ditangani oleh suatu Mahkamah tersendiri, yakni Mahkamah Konstitusi yang khusus mengatur konsistensi peraturan untuk melaksanakan Undang Undang Dasar. Artinya, akan lebih baik seandainya semua konflik peraturan diletakkan di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi, sedangkan semua konflik orang atau badan hukum diletakkan dibawah kompetensi Mahkamah Agung.[footnoteRef:7] [7: Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, Jakarta,Rajawali Pers, 2010, hlm. 134.]

Pandangan ini dirasa tepat untuk mengambarkan posisi Mahkamah Konstitusi yang pada awalnya tidak memiliki pengawasan secara eksternal dalam kelembagaan negara, hal ini dikarenakan lembaga Mahkamah Konsitusi pernah memutuskan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar melalui Putusan No.005/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-Undang No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang menganggap lembaga Mahkamah Konstitusi tidak termasuk lembaga yang dimaksudkan di dalam Undang Undang Dasar untuk diawasi,karena lembaga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menyelesaikan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, dan tidak mungkin Mahkamah Konstitusi memutuskan perkaranya sendiri,namun dengan adanya kasus tangkap tangan Akil Mochtar yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi maka Presiden menilai perlu adanya fungsi pengawasan yang diperuntukan untuk Mahkamah Konstitusi melalui kebijakan pemerintah dalam penerbitan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tetang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.Oleh karena itu melalui persoalan diatas maka penulis dalam hal ini ingin memberikan identifikasi mengenai keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam hal pemberian kewenangan kepada Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memberikan pengawasan kepada Mahkamah Konstitusi

B.Identifikasi Masalah1. Apakah yang melatar belakangi lahirnya perpu penyelamatan Mahkamah Konstitusi?2. Bagaimana implikasi kehadiran perpu dalam sistem pengawasan di Mahkamah Konstitusi?C. Maksud dan TujuanMakalah ini mempunyai maksud dan tujuan untuk : 1. Untuk mengetahui sejauh mana perpu tersebut dapat dilaksanakan dalam hal pengawasan hakim di Mahkamah Konstitusi Indonesia2. Untuk mengetahui pengaturan pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi yang di atur di dalam perpu3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum

PEMBAHASAN

I. Landasan Teoritis

a. Konsep Hukum dan Keadilan

Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang prilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal (rule) yang memiliki kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.[footnoteRef:8] [8: Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russell & Russell, 1961, hlm. 3. Butir ke 6 dihimpun oleh Satya Arinanto, Politik Hukum II, Program Pascasarjana Fakultas Hukum universitas Indonesia, Jakarta]

Pernyataan bahwa hukum adalah suatu aturan tentang prilaku manusia tidak berarti bahwa tata hukum (legal order) hanya terkait dengan prilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan prilaku manusia. Obyek dari ilmu hukum adalah norma hukum yang didalamnya mengatur perbuatan manusia, baik sebagai kondisi atau sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut. Hubungan antara manusia hanya menjadi objek dari ilmu hukum sepanjang hubungan tersebut diatur diatur didalam norma hukum.Masalah hukum sebagai ilmu adalah masalah teknik sosial, bukan masalah moral. Tujuan dari suatu sistem hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan cara yang ditentukan oleh aturan hukum.[footnoteRef:9] [9: Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safaat, Teori Hans kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 13.]

Membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena terus menerus dicampur adukan secara politis terkait dengan tedensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai keadilan. Jika hukum dan keadilan identik, jika hanya aturan yang adil itu disebut sebagai hukum, maka suatu tata aturan sosial yang disebut hukum adalah adil, yang berarti suatu justifikasi sosial.[footnoteRef:10] [10: Ibid.,hlm. 17]

Philippe Nonet dan Philip Selznick menjelaskan bahwasanya hukum yang otonom responsif dan represif dapat dipahami sebagai tanggapan terhadap tiga dilema integritas dan keterbukaan. ciri hukum represif dan pasif, adalah terhadap lembaga hukum yang oportunistik terhadap lingkungan sosial dan politik.[footnoteRef:11] [11: Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition : Toward Responsive Law (New York: Harper & Row, 1978), at 29-133, Butir ke 7 dihimpun oleh Satya Arinanto, Politik Hukum II, Program Pascasarjana Fakultas Hukum universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 120.]

Sistem norma yang disebut sebagai tata hukum adalah suatu sistem dinamis. Validitas norma hukum tidak karena dirinya sendiri atau karena norma dasar memilikinya dan memiliki kekuatan mengikat dengan sendirinya. Validitas norma hukum tidak dapat dipertanyakan atas dasar isinya tidak sesuai dengan beberapa nilai moral atau politik. Suatu norma adalah norma hukum yang valid oleh nilai fakta bahwa norma tersebut telah dibuat sesuai dengan aturan tertentu.Norma dasar menetapkan otoritas tertentu yang dapat memberikan kekuasaan pembuatan norma kepada beberapa otoritas lainnya. Norma dengan sistem dinamis harus dibuat melalui tindakan individual yang telah diotoritaskan untuk membuat norma, oleh norma yang lebih tinggi. Otoritas ini adalah suatu delegasi. Norma yang menciptakan kekuasaan di delegasikan dari satu otoritas ke otoritas lain, dimana otoritas yang pertama lebih tinggi dan kedua lebih rendah.[footnoteRef:12] [12: Kelsen, General Theory, Op.Cit., hlm. 113.]

II. Urgensi Perpu dalam proses penyelamatan Mahkamah Konstitusi

UUD 1945 di dalam Pasal 22 menegaskan, Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah harus dicabut. Ketentuan dalam Pasal 22 tersebut mengisyaratkan apabila keadaannya lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan lebih dahulu oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya dan darurat.[footnoteRef:13] [13: Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 140.]

Hakikat lahirnya Perpu adalah untuk antisipasi keadaan yang genting dan memaksa. Jadi ada unsur paksaan keadaan untuk segera diantisipasi tetapi masih dalam koridor hukum yakni melalui Perpu, dan Perpu tersebut harus segera dibahas dipersidangan berikutnya untuk disetujui atau tidak menjadi undang-undang. Jika Perpu tidak disetujui dalam persidangan DPR maka Perpu tersebut harus dicabut.[footnoteRef:14] [14: Nimatul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 60.]

Perpu adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dalam arti pembentukannya memerlukan alasan-alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau darurat yang dapat dirumuskan sebagai keadaan yang sukar atau sulit dan tidak tersangka-sangka yang memerlukan penanggulangan yang segera. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang.[footnoteRef:15] [15: I Gde Pantja Astawa, Ruang Lingkup dan Pelaksanaan Wewenang Presiden Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung, Thesis Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1992, hlm. 178- 179. Dalam dan Suprin Naa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni Bandung, 2008, hlm. 99-100]

Keadaan bahaya tidak boleh berlama-lama, karena fungsi utama hukum negara darurat (staatsnoodrecht) ialah menghapuskan segera bahaya itu sehingga kembali normal. Bila terjadi keadaan berlama-lama, nood (bahaya) itu maka menyalahi tujuan diadakan hukum negara darurat. Keadaan bahaya dengan upaya luar biasa harus ada keseimbangan, supaya kewenangan itu tidak berkelebihan sekaligus mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar. Keadaan bahaya itu adalah sesuatu yang abnormal, untuk mengatasi bahaya itu hukumnya pun dalam keadaan biasa pun harus dipandang abnormal dan luar biasa, mungkin dalam keadaan normal tindakan penguasa itu masuk dalam kategori onrechtmatig, namun karena keadaan bahaya atau abnormal, maka tindakan Penguasa itu adalah sah dan dapat dibenarkan.[footnoteRef:16] [16: R. Kranenburg, De Grondslagen der Rechtswetenschap, Cetakan ketiga, 1951, hlm. 94-96, sebagaimana dikutip kembali oleh Herman Sihombing dalam Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hlm. viii.]

Unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu: (1) Ada krisis (crisis), dan (2) Kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness) apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.[footnoteRef:17] [17: Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 158-159.]

Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto,[footnoteRef:18]karena Perpu ini merupakan PP yang menggantikan kedudukan undang-undang, materi-muatannya adalah sama dengan materi-muatan dari undang-undang. Hal yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan,[footnoteRef:19] yang dimaksud dengan pengganti undang-undang adalah bahwa materi muatan Perpu merupakan materi muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur dengan undang-undang. [18: Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 131.] [19: Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 50.]

Menurut Jimly Asshiddiqie, syarat materiil untuk penetapan Perppu itu ada tiga, yaitu:[footnoteRef:20] [20: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm. 282.]

a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity;b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; danc. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.

Dari sudut pandang kekuasaan Presiden, hak untuk menetapkan Perppu atas dasar penilaian Presiden sendiri yang bersifat sepihak mengenai adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa itu, dapat dikatakan bahwa hal itu bersifat subjektif. Artinya, ketika Perppu ditetapkan oleh Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, penentuan adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat dapat dikatakan semata-mata didasarkan atas penilaian yang bersifat subjektif, yaitu berdasarkan subjektivititas kekuasaan Presiden sendiri. Penilaian mengenai hak ikhwal kegentingan yang memaksa itu baru menjadi objektif setelah hal itu dinilai dan dibenarkan adanya oleh DPR berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.[footnoteRef:21] [21: Ibid., hlm. 13.]

Tidak setiap kali Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang berarti negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama dengan hal ikhwal yang membahayakan, atau sebaliknya, hal ikhwal yang membahayakan juga merupakan keadaan yang membahayakan. Hal ikhwal keadaan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan. Segala sesuatu yang membahayakan tentu selalu bersifat kegentingan yang memaksa, tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12, Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan, tetapi, penetapan Perpu oleh Presiden tidak selalu harus berarti ada keadaan bahaya lebih dulu. Artinya, dalam kondisi negara dalam keadaan normal pun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu Perpu.[footnoteRef:22] [22: Ibid., hlm. 207]

Perkataan kegentingan yang memaksa dapat dikatakan berkaitan dengan kendala ketersediaan waktu yang sangat terbatas untuk menetapkan suatu undang-undang yang dibutuhkan mendesak sehingga sebagai jalan keluarnya Presiden diberikan hak dan fasilitas konstitusional untuk menetapkan Perppu untuksementara waktu. Hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini hanya mengutamakan unsur: (i) kebutuhan hukum yang bersifat mendesak (proporsional legal necessity), sementara (ii) waktu yang tersedia sangat terbatas (limited time) dan tidak memungkinkan untuk ditetapkannya undang-undang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hukum itu. Sementara itu, soal ancamannya terhadap keselamatan jiwa, raga, kekayaan, ataupun lingkungan hidup tidak dipersoalkan.[footnoteRef:23] [23: Ibid., hlm. 309.]

Pada hakekatnya Perppu sama dan sederajat dengan Undang-Undang, hanya syarat pembentukannya yang berbeda. Oleh karena itu, penegasan dalam Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang. Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagai konsekuensi telah bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, maka kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas. Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu kepada Undang-Undang dan UUD, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri seperti Keputusan Presiden di masa lalu. Satu-satunya peraturan yang dikeluarkan Presiden/Pemerintah yang dapat bersifat mandiri dalam arti tidak untuk melaksanakan perintah UU adalah berbentuk Perppu yang dapat berlaku selama-lamanya 1 tahun. Untuk selanjutnya Perppu tersebut harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika DPR menolak menyetujui Perppu tersebut, maka menurut ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Presiden harus mencabutnya kembali dengan tindakan pencabutan. Ketentuan pencabutan ini agar lebih tegas, sebaiknya disempurnakan menjadi tidak berlaku lagi demi hukum.[footnoteRef:24] [24: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm.273-274.]

Di dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 ditentukan, peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Bagaimana pembatasan harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan yang berikut ditentukan? Hal ini tergantung pada pembagian masa harus diajukan ke DPR pada masa sidang kedua. Jika dalam dalam sidang tersebut DPR tidak menyetujui Perppu yang diajukan Pemerintah, maka Perppu tersebut harus dicabut. Apakah bentuk hukum yang dipergunakan untuk mencabut Perppu?Pembatasan jangka waktu dan persetujuan DPR mengandung berbagai makna:1) kewenangan membuat Perpu memberikan kekuasaan luar biasa kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perpu sebagai sarana;2) telah dikemukakan, materi muatan Perpu merupakan materi muatan UU. Karena itu, harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU;3) Perpu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perpu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi.[footnoteRef:25] [25: 13 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Naa, Dinamika Hukum.... Op.,Cit., hlm. 101-102]

Menurut Bagir Manan, di sini tidak berlaku adagium dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi. Perppu tidak dicabut dengan Perppu (serupa) karena.[footnoteRef:26] [26: Bagir Manan, Lembaga, op.Cit., hlm. 162-163.]

a. Perppu yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sedangkan Perppu yang ada perlu dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang karena tidak ada lagi hal ikhwal kegentingan yang memaksa.b. Perppu yang dibuat harus juga diajukan ke DPR, yaitu Perppu tentang ppencabutan Perppu. Hal ini tidak praktis.Untuk mengatasi kesulitan di atas, setiap Perppu hendaknya dicabut dengan undang-undang. Jadi, apakah Perppu akan disetujui menjadi undang-undang atau akan dicabut harus diajukan ke DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang dan diberi bentuk undang-undang.[footnoteRef:27] [27: Ibid ]

Dengan menggunakan kewenangan itu, Presiden secara sepihak dapat mencabut undang-undang yang masih berlaku atau mengatur sesuatu hal yang seharusnya ditetapkan dengan undang-undang. Mengingat bahwa, dalam instansi pertama, tidak ada jabatan lain yang berwenang menguji apakah betul terdapat gejala darurat atau tidak sehingga pengeluaran Perppu itu tergantung sepenuhnya kepada penilaian subjektif Presiden. Artinya apabila kita melihat upaya penyelamatan Mahkamah Konstitusi dengan menerbitkan Perpu sepenuhnya penilaian subjektif presiden yang menganggap hal tersebut merupakan hal yang dianggap ikhwal dan genting.

III. Sejarah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Pengaturan Pengawasan Mahkamah Konstitusi yang tertuang di dalam Perpu No. 1 Tahun 2003

Landasan hukum Mahkamah Konstitusi melakukan Constitutional Review diatur dalam pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945. Kemudian dalam BAB II pasal 2 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juga disebutkan bahwa: Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Kedua landasan hukum yang ada memperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang mandiri di bidang yudisial. Kedudukan mahkamah konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem kelembagaannegara di Indonesia dimaksudkan sebagai lembaga yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan terhadap perkara-perkara ketatanegaraan tertentu yang diatur menurut ketentuan pasal 7B jo pasal 24C perubahan ketiga UUD 1945.[footnoteRef:28] [28: Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi; Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hlm 25.]

Pasca perubahan ketiga UUD 1945 kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Artinya antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar.[footnoteRef:29] Kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sering disebut juga sebagai constitutional review (CR) atau pengujian konstitusional. Konsep constitutional review merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). [29: Pasca perubahan ketiga UUD 1945 kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Artinya antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar.10 Kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sering disebut juga sebagai constitutional review (CR) atau pengujian konstitusional. Konsep constitutional review merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights).]

Dalam Constitusional Review tercakup dua tugas pokok, yaitu pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau interpaly antar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Constitusional Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan. kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.Posisi kasus sengketa kewenangan Berawal dari permohonan tiga puluh satu Hakim Agung yang mengajukan judicial review atas beberapa pasal dalam Undang- Undang No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Para pemohon menilai bahwa pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya mengenai pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sehingga menyebabkan adanya hak konstitusional yang dirugikan.Melalui putusan No.005/PUU-IV/2006 Mahkamah Konstitusi memberikan jawaban atas permohonan sebagai berikut :Pertama, permohonan para pemohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara; Kedua, permohonan para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut Hakim Agung tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim agung; Ketiga Menyangkut fungsi pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Bahkan dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan diri sebagai lembaga untouchable di negeri ini dengan memutuskan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk sebagai pihak yang diawasi oleh Komisi Yudisial.[footnoteRef:30] [30: Abdul Malik, Perspektif fungsi pengawasan komisi Yudisial pasca putusan MK No.005/PUU-IV/2006, Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.6, 2008, hlm. 4]

Akibatnya kontroversi yang timbul dalam putusan ini terlihat ketika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memutus perkara yang menyangkut hubungan dengan dirinya sendiri secara kelembagaan. Walaupun pada prinsipnya, Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menguji konstitusionalitas sebuah Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945 sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tetapi di dalam perkara ini ada prinsip imparsialitas yang perlu dipersoalkan, terkait permohonan yang menyangkut dengan kepentingan hakim-hakim konstitusi. Karena sistem hukum Indonesia menganut asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te treden, bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri.Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidak-berpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi keadilan. Prinsip ini merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi, dalam hal ini Hakim Konstitusi sebagai pihak yang diharapkan dapat memberikan pemecahan terhadap perkara konstitusional yang diajukan kepadanya. Prinsip imparsialitas melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya. Imparsialitas hakim harus terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri. Imparsialitas hakim konstitusi telah diatur dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009, Undang-Undang No.24 tahun 2003 dan juga dalam kode etik (sapta Karsa Hutama). Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara, karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas[footnoteRef:31] dengan demikian argumentasi ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex idoneus in propria causa. [31: Ibid]

Pengesampingan asas hukum acara nemo judex idoneus in propria causa merupakan buah hasil dari kontruksi penafsiran para hakim konstitusi secara komprehesif. Karena disisi lain Mahkamah Kontitusi menganut sebuah asas Ius curia novit yang mengamanatkan untuk memberikan penyelesaian masalah hukum yang diajukan kepadanya. Bersandar dari aturan tersebut, maka menjadi sebuah kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan permasalahan konstitusional yang diajukan kepadanya. Menariknya disini adalah dalam perkara ini tampak terjadi sebuah benturan asas hukum acara yang kesemuanya dianut oleh Mahkamah Konstitusi. Ketika Mahkamah Konstitusi mencoba menyelesaikan kasus ini dengan menggunakan asas ius curia novit, disisi lain Mahkamah Konstitusi berhadapan dengan asas hukum acaranya juga yakni asas nemo judex idoneus in propria causa.Dengan demikian, penerapan asas nemo judex idoneus in propria causa dalam perkara ini, bisa dilakukan pengecualian. Maksud pengecualian disini adalah asas hukum nemo judex idoneus in propria causa tidak bisa diterapkan disegala lini proses peradilan hukum. Ada beberapa alasan, antara lain: Pertama, Bersandar dari kewenangannya Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban menyelesaikan permasalahan konstitusional, jika asas ini diterapkan maka ditafsirkan akan menghalangi Mahkamah Konstitusi memutus perkara ini, karena menyangkut imparsialitas Mahkamah Konstitusi; Kedua, Lembaga peradilan adalah jalan terakhir bagi para pencari keadilan (justibelen) mencari keadilan, bilamana Mahkamah Konstitusi tidak memutus perkara ini maka sudah dipastikan perkara ini tidak memiliki kejelasan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Ketiga, Imparsialitas hakim disini harus diartikan adanya kepentingan baik secara langsung ataupun tidak langsung hakim terhadap perkara. Sedangkan dalam kasus ini bisa dilihat bahwa tidak ada kepentingan hakim secara langsung atau tidak langsung, karena perkara yang diajukan adalah perkara yang menyangkut masalah konstitusional, melainkan putusan ini nantinya berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dan menyelesaikan benturan aturan dibawah konstitusi dengan konstitusi.[footnoteRef:32] [32: Yanis Maladi, Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit (Telaah Yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006) Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.7, 2010, hlm. 13.]

Melihat pada pandangan tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam hal ini telah memberikan suatu putusan yang yang memperlihatkan ketidak berpihakkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Namun dengan adanya Perpu No. 1 Tahun 2013 maka secara tidak langsung sedikit mengkaburkan putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut dengan memasukkan kembali Komisi Yudisial sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi Mahkamah Konstitusi yang dimana kewenangan tersebut di batasi oleh perpu itu sendiri.Adapun pengaturan terbaru di dalam perpu No 1 Tahun 2013 adalah adanya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.[footnoteRef:33] Selanjutnya adanya Panel Ahli sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.[footnoteRef:34] [33: Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. yang berbunyi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi] [34: Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Yang berbunyi Panel Ahli sebagai perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden]

Panel Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18C ayat (1) berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri atas:a. 1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;b. 1 (satu) orang diusulkan oleh DPR; c. 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dand. 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.Selanjutnya, pada BAB IV A diatur mengenai Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim Konstitusi Serta Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dimana terdapat perubahan pada Pasal 27 A yang berbunyi :(1)Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.(2)Dalam menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dapat mengikutsertakan pihak lain yang berkompeten.(3)Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh hakim konstitusi.(4)Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.(5)Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur:a. 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi;b. 1 (satu) orang praktisi hukum;c. 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dand. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.(6)Anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;b. adil; c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dand. tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.(7)Masa jabatan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) selama 5 (lima) tahun dan tidak dapat dipilih kembali.(8)Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi mempunyai wewenang untuk:a. memanggil hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; danc. memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik.(9)Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersidang secara terbuka untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi.(10)Ketentuan bersidang secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku terhadap pemeriksaan yang terkait dengan perbuatan asusila dan pemeriksaan yang dapat mengganggu proses penegakkan hukum yang sedang berjalan.(11)Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat final dan mengikat.(12)Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.(13)Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, tata cara pemilihan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, susunan organisasi dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi diatur dengan Peraturan Bersama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.(14)Untuk mendukung pelaksanaan tugas Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk sekretariat yang berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.Isi perpu tersebut mempertegas posisi Komisi Yudisial yang memiliki fungsi pengawasan namun tidak secara langsung melainkan kewenangan tersebut di delegasikan dalam bentuk pembentukan panel ahli disini sedangkan pengawasan secara langsung dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam hal pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi.Komisi Yudisial pada dasarnya diatur didalam Pasal 24B Undang Undang Dasar 1945 yang terdiri dari empat ayat. Komisi ini bersifat mandiri dan berwenang untuk mengusulkan penangkatan hakim agung dan melakukan pengawasan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.Pasal 24B UUD 1945 memuat empat ayat, yaitu:(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.(4) Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.[footnoteRef:35] [35: Undang-Undang No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4415 diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2004.]

Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan meneggakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim. Jika hakim dihormati karena integritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh-sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya.[footnoteRef:36] [36: Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 139.]

Dengan adanya penambahan kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang secara eksplisit memberikan kewenangan pengawasan baru kepada Hakim Mahkamah Konstitusi.IV. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji PerpuYang menjadi persoalan adalah adanya pro dan kontra terhadap adanya perpu sebagai langkah penyelamatan Mahkamah Konstitusi, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menilai pembentukkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) tak mendesak dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, niat baik yang harus dilakukan pemerintah dan elemen lain adalah dengan penyelamatan MK sebagai intitusi yang terpisah dari kasus Akil Mochtar.[footnoteRef:37] [37: Bagi Jimly, Perpu bukan solusi atasi persoalan MK. http://nasional.sindonews.com/ diakses pada hari Sabtu, Tanggal 19 Oktober 2013, Pukul 08.32 WIB]

Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak di-judicial review. Presiden menilai apabila hal itu dilakukan tidak ada yang bisa dilakukan perbaikan.[footnoteRef:38] [38: Terbitkan Perpu Pengawasan Hakim MK, SBY Minta Tidak di-Judicial Review, http://news.detik.com/ diakses pada hari Sabtu, Tanggal 19 Oktober 2013, Pukul 08.40 WIB]

Sedangkan Menurut Hamdan Zulva yang juga Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi menilai keputusan mengeluarkan Perpu sepenuhnya kewenangan Presiden, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 22. Mahkamah Konstitusi tidak dalam kapasitas menilai Perpu, DPR yang berhak apakah Perpu itu ditetapkan menjadi Undang-Undang atau tidak, selanjutnya adanya kemungkinan dilakukannya judicial review terhadap Perpu, maka akan dilakukan sebagai sebuah proses peradilan biasa. Bukan hal istimewa, kalau ada judicial review berarti ada proses peradilan untuk menentukan diterima tidaknya.[footnoteRef:39] [39: MK Berharap Bisa Peroleh Penjelasan Presiden SBY Soal Perpu http://setkab.go.id/ diakses pada hari Sabtu, Tanggal 19 Oktober 2013, Pukul 08.45 WIB.]

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian Perpu diuraikan pertama kali atas dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mendalilkan adanya wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Perppu. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah mendalilkan bahwa:Perppu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perppu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perppu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perppu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.[footnoteRef:40] [40: Lihat kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Dalam Jurnal Konstitusi, Volume ke 7, Nomor 5, Oktober 2010 oleh Nimatul Huda]

Kemudian, terhadap permohonan pengujian Perppu No. 4 Tahun 2008 yang diterbitkan Pemerintah pada tanggal 15 Oktober 2008, menurut Mahkamah pertimbangan hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon yakni Perppu No. 4 Tahun 2008.Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam memutuskan berwenang tidaknya Mahkamah Konstitusi menguji Perpu terhadap UUD, mayoritas hakim konstitusi memiliki pendapat yang sama yakni bahwa Mahkamah Konstitusi memang berwenang menguji Perpu terhadap UUD. Dari sembilan hakim konstitusi, delapan diantaranya menyetujui kewenangan MK tersebut dengan satu (1) hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dan satu (1) hakim memiliki pendapat berbeda(dissenting opinion).[footnoteRef:41] Perbedaan pendapat diantara para hakim konstitusi, terlepas dari berapapun perimbangannya adalah sesuatu yang wajar, dan sebenarnyalah lebih bersumber dari perbedaan teori maupun dalil hukum yang dianut maupun digunakan.[footnoteRef:42] Namun demikian, apapun perbedaan yang mungkin muncul di masyarakat terkait segala sengketa konstitusionalitas sebuah undang-undang yang kemudian pula tercermin dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menjadi berakhir manakala sengketa tersebut telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. [41: Concurring opinion maupun dissenting opinion pada hakikatnya adalah pendapat yang berbeda, yakni berbeda dari yang menjadi pendapat mayoritas hakim dalam memutus. Hanya saja dalam concurring opinion, pendapat tersebut sama dengan putusan, sedangkan dissenting tidak menjadi putusan.] [42: Moh.Mahfud M.D., Putusan MK Belum Tentu Benar, Seputar Indonesia, 14 Agustus 2007. Dalam Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 2, April 2010. ]

Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai konstitusionalitas Perpu 4/2009 menegaskan eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga sebagai penafsir konstitusi yang otoritatif (the authoritative interpreter of the constitution).[footnoteRef:43] Terhitung sejak putusan dibacakan, pintu gerbang uji konstitusionalitas Perpu terhadap Undang Undang Dasar 1945 melalui lembaga Mahkamah Konstitusi menjadi terbuka. Putusan ini tak pelak menjadi sumber hukum ketatanegaraan yang berkedudukan amat kuat, karena sesuai Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah final, yang artinya langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.[footnoteRef:44] [43: Mengenai authoritative interpreter of the constitution ini bacalah misalnya Veli-Pekka Hautamaki, Authoritative Interpretation of The Constitution: A Comparison of Argumentation in Findland and Norway, artikel dari thesis doktoral Perustusla Auktoritatiivenen tulk inta, (Helsinski: 2002), dapat diakses pada http://www.ejcl.org/63/art63-1.pdf.] [44: Lihat penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi juga kerapkali dipertanyakan misalnya Pemerintah mengeluarkan PP yang mengatur ketenagalistrikan padahal UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sudah dibatalkan oleh MK. Lihat hal ini dalam Solly Lubis, Mahkamah Konstitusi dan Putusannya: Antara Harapan dan Kenyataan, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, Desember 2008), hlm. 66; Ahmad Syahrizal, Problem Implementasi Putusan MK, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, Maret 2007), hlm 106-124.]

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses penyelamatan Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan langkah yang diangkap genting dan darurat oleh Presiden melalui Penafsiran subjektif Presiden yang memasukkan pengaturan mengenai tiga langkah penyelamatan Mahkamah Konstitusi pertama, mengenai persyaratan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, kedua, mengenai proses seleksi hakim dan ketiga,mengenai sistem pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi, hal ini bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga yang terlahir pasca reformasi ini.Mengenai pro dan kontra dalam penerbitan perpu ini, penulis menilai pandangan para ahli tersebut didasari oleh landasan hukum dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengenai Komisi Yudisial yang tidak berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi dan kemudian pengaturan tersebut dilahirkan kembali melalui Perpu dan memberikan wewenang pengawasan Komisi Yudisial melalui Pembentukan Panel Ahli.

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu meskipun secara yuridis UUD 1945 tidak memberikan kewenangan secara tegas untuk mengujinya. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim konstitusi untuk menguji Perpu adalah faktor teleologis dan sosiologis karena kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Kewenangan baru yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu melalui putusannya, dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi telah melakukan perubahan konstitusi dengan cara judicial interpretation.

DAFTAR PUSTAKABUKU DAN JURNAL

Arinanto,Satya,Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russell & Russell, 1961, hlm. 3. Butir ke 6 dihimpun oleh Satya Arinanto, Politik Hukum II, Program Pascasarjana Fakultas Hukum universitas Indonesia, Jakarta

, Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition : Toward Responsive Law (New York: Harper & Row, 1978), at 29-133, Butir ke 7 dihimpun oleh Satya Arinanto, Politik Hukum II, Program Pascasarjana Fakultas Hukum universitas Indonesia, Jakarta

Asshiddiqie, Jimly dan M Ali Safaat, Teori Hans kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

, , Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007

,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004

, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta, Konstitusi Press, 2006

Astawa, I Gde Pantja Ruang Lingkup dan Pelaksanaan Wewenang Presiden Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung, Thesis Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1992, hlm. 178- 179. Dalam dan Suprin Naa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni Bandung, 2008

Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan Mahkamah Konstitusi; Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2006

Huda,Nimatul Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2003

, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005

Malik,Abdul Perspektif fungsi pengawasan komisi Yudisial pasca putusan MK No.005/PUU-IV/2006, Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.6, 2008

MD,Mahfud Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, Jakarta,Rajawali Pers, 2010

Manan,Bagir Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999 , Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992Maladi Yanis, Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit (Telaah Yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006) Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.7, 2010

R. Kranenburg, De Grondslagen der Rechtswetenschap, Cetakan ketiga, 1951, hlm. 94-96, sebagaimana dikutip kembali oleh Herman Sihombing dalam Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hlm. viii.

Soeprapto, Maria Farida Indrati Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998

PERATURAN PERUNDANG UNDANGANUndang Undang Dasar 1945Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah KonstitusiUndang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi YudisialPerpu No. 1 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

INTERNETPresiden SBY Terbitkan Perpu Mahkamah Konstitusi, www.detiknews.com , diakses pada hari Kamis, Tanggal 17 Oktober 2013, Pukul 19.50 WIB

Ini Kronologi Dua Kasus yang Menjerat Akil, www.nasional.sindonews.com, diakses pada hari Jumat, Tanggal 18 oktober 2013,Pukul 11.30 WIB

Hikmah di Balik Kasus Akil, http://news.liputan6.com, diakses pada hari Jumat, Tanggal 18 Oktober 2013, Pukul 11.32 WIB.

Bagi Jimly, Perpu bukan solusi atasi persoalan MK. http://nasional.sindonews.com/ diakses pada hari Sabtu, Tanggal 19 Oktober 2013, Pukul 08.32 WIB

Terbitkan Perpu Pengawasan Hakim MK, SBY Minta Tidak di-Judicial Review, http://news.detik.com/ diakses pada hari Sabtu, Tanggal 19 Oktober 2013, Pukul 08.40 WIB