mengurai benang kusut irak

74
Mengurai Benang Kusut Irak Luki Aulia Dalam satu tahun terakhir, hampir tidak ada perkembangan positif di Irak. Gejolak kekerasan makin parah. Perang saudara di ambang pintu. Kehidupan rakyat memburuk karena kebutuhan sehari-hari tak terpenuhi. Perkembangan Irak jelas jauh dari harapan. Demokrasi tak kunjung menunjukkan hasil. Justru julukan negara gagal (failed state) telah menanti. ”Tidak ada listrik dan air. Sulit cari pekerjaan. Kami tidak tahan begini terus,” keluh Abdul Hussein Sachid kepada Reuters, yang terpaksa memindahkan keluarganya ke kamp pengungsian di pinggiran kota Baghdad karena takut diculik dan dibunuh kelompok milisi. Sachid hanyalah salah satu dari 420.000 warga Baghdad yang mengungsi ke daerah dan negara lain. Gelombang pengungsi meningkat sejak pengeboman masjid dan tempat ziarah Syiah di Samarra, sembilan bulan yang lalu. Sejak peristiwa itu, gejolak kekerasan sektarian semakin tak terkendali hingga tercatat setidaknya 3.709 warga sipil tewas. Konflik di antara berbagai kelompok di Irak lantas menimbulkan perdebatan mengenai apakah Irak sudah dilanda perang saudara atau belum. Perdebatan yang sebenarnya kurang penting ini, terutama di AS, justru mengaburkan persoalan yang sebenarnya dan memperlambat proses penyelesaiannya. Terlepas apakah itu perang saudara atau bukan—karena sampai sekarang pun definisi perang saudara masih diperdebatkan— faktanya adalah AS telah memicu konflik Irak. Namun, tampaknya AS tak lagi berdaya untuk menyelesaikan persoalan di Irak. Saat ini Pemerintah AS terlalu sibuk mencari cara

Upload: bagian-kerjasama-pemkot-surakarta

Post on 05-Jul-2015

207 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengurai Benang Kusut Irak

Mengurai Benang Kusut Irak

Luki Aulia

Dalam satu tahun terakhir, hampir tidak ada perkembangan positif di Irak. Gejolak kekerasan makin parah. Perang saudara di ambang pintu.

Kehidupan rakyat memburuk karena kebutuhan sehari-hari tak terpenuhi. Perkembangan Irak jelas jauh dari harapan. Demokrasi tak kunjung menunjukkan hasil. Justru julukan negara gagal (failed state) telah menanti.

”Tidak ada listrik dan air. Sulit cari pekerjaan. Kami tidak tahan begini terus,” keluh Abdul Hussein Sachid kepada Reuters, yang terpaksa memindahkan keluarganya ke kamp pengungsian di pinggiran kota Baghdad karena takut diculik dan dibunuh kelompok milisi.

Sachid hanyalah salah satu dari 420.000 warga Baghdad yang mengungsi ke daerah dan negara lain. Gelombang pengungsi meningkat sejak pengeboman masjid dan tempat ziarah Syiah di Samarra, sembilan bulan yang lalu.

Sejak peristiwa itu, gejolak kekerasan sektarian semakin tak terkendali hingga tercatat setidaknya 3.709 warga sipil tewas. Konflik di antara berbagai kelompok di Irak lantas menimbulkan perdebatan mengenai apakah Irak sudah dilanda perang saudara atau belum.

Perdebatan yang sebenarnya kurang penting ini, terutama di AS, justru mengaburkan persoalan yang sebenarnya dan memperlambat proses penyelesaiannya.

Terlepas apakah itu perang saudara atau bukan—karena sampai sekarang pun definisi perang saudara masih diperdebatkan—faktanya adalah AS telah memicu konflik Irak. Namun, tampaknya AS tak lagi berdaya untuk menyelesaikan persoalan di Irak. Saat ini Pemerintah AS terlalu sibuk mencari cara untuk keluar dari Irak dengan elegan dan ”kepala tegak”. Karena AS sibuk dengan dirinya sendiri, Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki memutuskan mencari jalan keluar sendiri.

PM Maliki kemudian meminta bantuan Iran dan Suriah untuk menyelesaikan konflik Irak. Kepada Iran dan Suriah, PM Maliki meminta agar mereka bisa meningkatkan upaya mereka untuk mencegah milisi menyeberang masuk ke wilayah Irak. Selama ini berkembang kecurigaan bahwa mayoritas anggota kelompok perlawanan yang ada di Irak berasal dari dua negara tetangga Irak itu.

Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menilai langkah PM Maliki untuk menjadikan Iran dan Suriah menjadi ”bagian dari solusi” itu tepat. Bantuan dari kedua negara itu penting mengingat saat ini AS telah ”terperangkap atau terjebak” di dalam benang kusut konflik Irak. Di satu sisi, AS diminta untuk segera menarik pasukannya keluar dari Irak. Sementara, di sisi lain, AS dituntut untuk memulihkan stabilitas keamanan terlebih

Page 2: Mengurai Benang Kusut Irak

dahulu sebelum keluar. ”AS mengalami dilema tidak bisa tinggal lebih lama sekaligus tidak bisa keluar,” kata Annan.

Berbeda dengan PM Maliki dan Annan yang menilai Irak perlu meminta bantuan Iran dan Suriah, pemerintahan Presiden AS George W Bush mengaku tidak yakin kedua negara itu akan tulus tanpa pamrih membantu Irak. Bahkan, pemerintahan Bush curiga dua negara itu hanya ingin mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri.

Kedua negara itu diyakini akan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu sebagai imbalannya. Suriah akan menuntut agar diperbolehkan kembali masuk ke Lebanon, sementara Iran juga diyakini akan menuntut agar diberi kebebasan mengembangkan program nuklirnya.

Terlepas benar atau tidak kecurigaan AS, hubungan pemerintahan Bush dengan dua negara itu memang kurang harmonis. Bahkan, Bush pernah menuding Iran sebagai bagian dari ”poros kejahatan” (axis of evil).

Namun, rupanya sikap pemerintahan Bush itu berbeda dengan Kelompok Kajian Irak (Iraq Study Group) pimpinan James Baker yang justru menilai kebijakan Bush di Irak telah gagal. Karena itu, kelompok Baker merekomendasikan agar negara-negara tetangga Irak membantu menyelesaikan konflik Irak.

Tak hanya itu. Pasukan keamanan AS juga dianjurkan untuk segera memulai proses keluar dari Irak tahun 2007. Sebelumnya, PM Maliki juga telah meyakinkan AS bahwa pasukan keamanan Irak akan siap mengambil alih seluruh tanggung jawab pengamanan di Irak pada Juni 2007 mendatang. Karena itu, PM Maliki dan Bush kemudian sepakat mempercepat program pelatihan pasukan Irak.

Selain meminta bantuan Suriah dan Iran, PM Maliki memutuskan untuk sedikit merombak kabinet Irak. Terdesak tuntutan AS untuk segera melucuti kelompok-kelompok milisi yang dicurigai digerakkan oleh para politisi Syiah, PM Maliki meminta beberapa politisi Syiah untuk mundur.

Sebelumnya, para politisi Sunni mengancam akan menarik diri dari pemerintahan jika PM Maliki tidak serius mewujudkan rekonsiliasi nasional. Salah satu wujud rekonsiliasi nasional itu adalah melucuti senjata kelompok milisi. ”Krisis yang kita alami ini bukan karena kegagalan aparat keamanan, tetapi semata-mata karena persoalan politik,” katanya.

Posisi PM Maliki menjadi semakin sulit ketika tokoh radikal Syiah, Moqtada al-Sadr, bersama dengan kelompoknya yang terdiri dari 30 anggota parlemen dan lima menteri kabinet, memutuskan menarik diri dari pemerintahan. Kelompok Sadr memprotes keputusan PM Maliki bertemu dengan Bush di Jordania. Sadr tidak mau PM Maliki bertemu Bush karena selama ini Bush menuntut kelompok milisi Syiah dibubarkan.

Page 3: Mengurai Benang Kusut Irak

Desakan kuat dari Sunni, Syiah, dan AS itu mempersempit ruang gerak pemerintah baru Irak. Perpecahan dalam pemerintahan memicu keraguan akan kemampuan PM Maliki mempersatukan berbagai kelompok etnis yang ada.

Memecah Irak

Meningkatnya konflik sektarian—khususnya antara Syiah dan Sunni—kembali memunculkan ide untuk menjadikan Irak negara federal dengan membagi wilayah berdasarkan etnis menjadi tiga wilayah, yakni Sunni, Syiah, dan Kurdi. Usulan ini sejak lama diperjuangkan Syiah sekaligus ditentang keras Sunni. Pembagian ini dianggap tidak akan adil karena hanya ada dua etnis yang akan menikmati hasil sumber minyak bumi Irak, yakni Syiah (selatan) dan Kurdi (utara).

Daerah utara dan selatan memang dikenal kaya akan sumber minyak bumi, berbeda dengan wilayah Sunni yang kering. Politisi Sunni di dalam pemerintahan mati-matian menentang usulan itu karena pembagian itu dikhawatirkan akan semakin mengucilkan golongan minoritas Sunni.

Melihat gelagat tidak baik dari Sunni itu krisis di Irak tidak akan bisa selesai hanya dengan membagi wilayah menjadi tiga. Banyak pihak justru khawatir hal itu akan memperparah konflik Irak. Mantan PM Irak, Iyad Allawi, juga khawatir saat ini bukan waktu yang tepat untuk membagi wilayah Irak berdasarkan etnis atau agama.

Pembagian wilayah seperti itu, kata Allawi, hanya bisa dilakukan jika telah tercapai kesepakatan damai di antara kelompok-kelompok yang bertikai. ”Keputusan harus diambil melalui cara-cara demokrasi. Biarkan rakyat yang memutuskan apa yang mereka inginkan, tetapi tidak sekarang,” ujarnya.

Namun, Menteri Pendidikan Irak Khudair Khuzai (Syiah) memiliki pandangan yang berbeda. Khuzai menilai, dengan sistem federalisme proses pengamanan Irak akan menjadi lebih mudah. Dengan federalisme, wilayah yang kerap dilanda gejolak kekerasan dan menjadi arena peperangan berbagai kelompok akan diisolasi agar tidak menular ke wilayah lain yang justru sedang berkembang. Hal ini membuat berang Sunni karena wilayah yang diminta untuk diisolasi adalah wilayah Sunni, yakni di utara dan barat.

Sulit bagi pemerintahan PM Maliki untuk memutuskan apakah akan menerima usulan itu atau tidak. Jika federalisme gagal, situasi keamanan Irak akan semakin kacau dan memaksa negara-negara tetangga Irak seperti Iran, Suriah, Arab Saudi, dan Turki untuk ikut campur tangan. Apa yang terjadi di Irak akan memengaruhi atmosfer di seluruh kawasan.

Karena itu, perlu ada suatu kesepakatan akan kebijakan khusus Timur Tengah untuk menanggulangi ekstremisme dan terorisme.

Ketika Bara Irak Menggelegak

Page 4: Mengurai Benang Kusut Irak

Oleh: Satrio Arismunandar

Konflik internasional yang mendominasi pemberitaan media massa sejak tahun 2003 hingga sekarang, tak pelak lagi, adalah konflik di Irak. Mulai dari penyerbuan ilegal (tanpa dukungan resolusi PBB) oleh pasukan Amerika Serikat dan Inggris, 19 Maret 2003, jatuhnya ibu kota Baghdad, disusul pendudukan militer di Irak, semua berlangsung cepat. Namun, perang yang sebenarnya justru baru dimulai kemudian, sesudah rezim Saddam Hussein jatuh, dengan bangkitnya perlawanan rakyat terhadap pasukan pendudukan yang dipimpin AS.

Dalam kaitan perkembangan di Irak khususnya dan Timur Tengah umumnya, tiga buku karya Trias Kuncahyono, wartawan senior dan Redaktur Pelaksana Harian Kompas, ini bisa dibilang terbit pada momen yang tepat. Trias tidak menyebut karyanya sebagai ”trilogi”, tetapi mungkin bisa kita perlakukan demikian. Rasanya kurang lengkap jika hanya membaca satu buku tanpa membaca yang lain.

Buku pertama, Dari Damascus ke Baghdad, bukan merupakan analisis politik ketat tentang konflik di sana. Namun, lebih merupakan laporan jurnalistik yang disertai dengan perenungan berwawasan historis- budaya. Separuh buku ini membahas negara tetangga Irak yang juga didominasi Partai Baath, Suriah. Buku kedua, Bulan Sabit di Atas Baghdad, membahas proses jatuhnya Irak ke tangan pasukan gabungan pimpinan AS, penangkapan Saddam, dan kondisi negeri itu sesudah tamatnya rezim Saddam. Sementara buku ketiga, Irak Korban Ambisi Kaum ”Hawkish”, memaparkan berbagai propaganda, strategi, dan latar belakang keputusan AS untuk menyerbu Irak. Serta, yang terpenting, prospek masa depan Irak.

Pendudukan Irak oleh pasukan asing telah menimbulkan berbagai implikasi, baik terhadap rakyat Irak sendiri maupun terhadap pasukan pendudukan. Operasi yang oleh para perencana militer AS semula dibayangkan akan berlangsung cepat dan mudah ternyata berubah menjadi neraka. Menundukkan dan mengatur rakyat Irak ternyata jauh lebih berat daripada menundukkan Saddam. Asumsi bahwa jika Saddam tertangkap, perlawanan akan berhenti, terbukti keliru besar.

Ancaman disintegrasi

Perlawanan rakyat sekarang justru makin menghebat dan terorganisasikan dengan baik. Di luar puluhan atau ratusan ribu rakyat Irak yang tewas (angka persisnya sulit terdata) sejak invasi tahun 2003, jumlah pasukan AS yang tewas sendiri sampai Agustus 2005 sudah melampaui 1.820 orang. Militer AS tidak siap dengan agenda rekonstruksi pasca-invasi.

Dalam bukunya, Trias mengungkapkan, negara dan masyarakat Irak telah mengalami suatu transformasi besar, dari suatu negara sekuler yang dipimpin secara otoriter oleh Saddam menjadi negara yang (maunya) demokratis. Namun, bagaimana persisnya wujud Irak di masa depan masih merupakan bayangan kabur. Nyatanya, Irak yang kita lihat saat

Page 5: Mengurai Benang Kusut Irak

ini adalah negara yang remuk redam oleh konflik. Ledakan bom, pembunuhan, penculikan, dan kekerasan menjadi santapan sehari-hari.

Negeri dengan tiga etnis utama—kaum Sunni, Syiah, dan Kurdi—ini juga terancam mengalami disintegrasi, seperti telah terjadi pada Yugoslavia di Balkan. Kini Irak bagai bara atau lahar yang menggelegak.

Warga Syiah, etnis mayoritas yang tertindas di era Saddam, mulai menegaskan keberadaannya dengan menguasai parlemen dan pemerintahan. Namun, etnis Kurdi tidak mau menerima dominasi Syiah. Pihak Kurdi khawatir, kelompok Syiah akan mengarahkan Irak menjadi negara Islam, seperti Republik Islam Iran. Perdebatan tentang konstitusi Irak pasca-Saddam, yang akan menentukan bentuk negara Irak masa depan, saat ini belum mencapai kata putus.

Di sisi lain, golongan Sunni, yang secara tradisional mendominasi politik Irak di era Saddam, merasa terancam dengan konstelasi baru ini. Karena tak mau disisihkan begitu saja, mereka melakukan pemboikotan politik dengan tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum Irak yang didukung AS. Kelompok Sunni inilah yang paling sengit menentang pasukan pendudukan AS.

Identifikasi peran Islam

Penyerbuan dan pendudukan ilegal di Irak terkait dengan tiga kepentingan strategis AS di Timur Tengah. Pertama, mengamankan suplai minyak dari kawasan kaya minyak itu untuk kelangsungan ekonomi dan industri AS. Kedua, mengamankan dan melindungi kepentingan Israel sebagai sekutu utama AS. Ketiga, melakukan penangkalan (containment) terhadap Irak dan Iran, dua negara yang belum mau tunduk kepada AS. Namun, isu yang lebih penting bagi rakyat Irak adalah prospek masa depan negaranya.

Akankah Irak menjadi negara demokratis? Atau justru terjerumus dalam anarki tak berkesudahan dan terpecah belah berdasarkan garis etnis dan agama? Trias cukup realistis ketika mengatakan, ”… Yang pasti, demokrasi model AS tidak bisa begitu saja dipaksakan untuk diterapkan di Irak. Demokrasi tidak bisa muncul secara mendadak, secara tiba-tiba. Ia membutuhkan suatu proses….” (hal xlvi, buku ketiga).

Sinyalemen penting tentang prospek masa depan Irak dari Trias adalah bahwa sistem pemerintahan demokratis hanya dapat hidup jika rakyat Irak memiliki keyakinan atau bahkan kepercayaan bahwa demokrasi dapat menjawab tiga tantangan fundamental. Yaitu, pemulihan keamanan, menjamin terpeliharanya persatuan nasional, dan mengidentifikasi peranan yang cocok bagi Islam dalam kehidupan politik (hal 182, buku ketiga).

Tiga buku yang terbit beruntun dari Februari 2004 sampai Juli 2005 ini menggarisbawahi keseriusan Trias untuk tidak tanggung-tanggung dalam mengeksplorasi berbagai aspek dari konflik Irak. Trias, yang kebetulan lulusan Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM, memang punya cukup bekal untuk melakukannya. Berbeda dengan para pengamat

Page 6: Mengurai Benang Kusut Irak

di Indonesia, yang biasa mengulas hanya berdasarkan pemberitaan media massa, Trias telah mengunjungi daerah konflik dan merasakan ”aura” konflik tersebut. Artinya, Trias memiliki sense dan perspektif berdasarkan pengamatan langsung di lapangan. Hal ini memberi warna dan aksentuasi khas pada tulisan dan ulasannya.

Kehadiran buku yang disunting secara cermat ini amat bermanfaat bagi kalangan jurnalis, akademisi, ataupun mahasiswa yang meminati politik Timur Tengah. Apresiasi perlu diberikan kepada penulisnya karena melengkapi bukunya dengan daftar pustaka, dari buku, koran, majalah, jurnal, bahkan sumber internet! Kalaupun ada yang bisa dikritik dari tiga buku ini adalah desain kulit mukanya yang terkesan konvensional dan konservatif. Meski begitu, pencantuman sejumlah foto di halaman dalam diharapkan bisa menyegarkan pembaca dan mengurangi kesan berat dalam analisisnya.

Dewan Lima, Perancang Pemerintahan Baru di Irak

TANGGAL 5 Mei 2003, keluar lima nama-nama oposisi Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein. Banyak pihak yang skeptis akan kemampuan mereka. Bukan karena mereka tidak cerdas, tetapi lebih karena Dewan Lima itu adalah orang-orang yang diduga kuat merupakan rancangan dari AS.

DEWAN Lima itu disebut sebagai pengurus sementara pemerintahan di Irak. Belum tentu salah satu dari mereka itu akan tampil sebagai pemimpin Irak, karena mereka hanya bertugas untuk sementara.

Amerika Serikat (AS) merancang tugas mereka untuk mera- kit komposisi pemerintahan baru di Irak. Kriteria yang disusun AS yang sudah tersusun rapi dan menjadi acuan mereka adalah, pemerintahan Irak tidak boleh mengandung unsur Partai Baath, tidak boleh dari kelompok agamis, kelompok ekstremis tetapi berpikiran modern dan bervisi demokrasi.

Itu bagus dari sisi AS dan mungkin juga dari sisi sebagian warga Irak. Akan tetapi, melihat kondisi Irak-dan sebagaimana warga Arab lainnya- yang merupakan komunitas kolektif, sangat meragukan apakah mereka akan berhasil memilih pemerintahan Irak yang disukai rakyatnya.

Mereka diharapkan sudah bisa melahirkan pemerintahan sipil baru di Irak pertengahan Mei, sebagaimana dijanjikan AS. Mereka bekerja dan berada di bawah L Paul Bremer (disebut sebagai pemerintahan sipil AS di Irak).

Mereka-mereka itu sudah dikontak oleh AS, sebelum invasi AS ke Irak 20 Maret 2003. Hal itu sekaligus menunjukkan indikasi bahwa AS memang sudah ingin menggusur Saddam Hussein sejak awalnya.

AS diduga hanya menjadikan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal sebagai kedok semata. Hal serupa sudah berulangkali disuarakan Saddam, bahwa AS memang ingin menjungkalkan dirinya.

Page 7: Mengurai Benang Kusut Irak

Lepas dari kesemuanya itu berikut adalah (riwayat" orang- orang yang masuk dalam Dewan Lima.

Abdul Aziz al-Hakim

Dia adalah juru bicara dan Wakil Ketua Supreme Council of the Islamic Revolution in Iraq (SCIRI). Dia baru saja kembali dari pengasingan di Iran, persis- nya tanggal 16 April 2003. Abdul Aziz adalah adik Ayatollah Mohammed Baqir al-Hakim, Ketua SCIRI (yang bermarkas di Iran). SCIRI merupakan oposisii Irak yang paling berpenga- ruh. SCIRI memiliki posisi dominan di Iraqi National Congress (INC), payung organisasi dari kelompok oposisi Irak yang tinggal di pengasingan.

Abdul Aziz al-Hakim, sebagai Kepala Sayap Militer CSIRI, sudah pernah bertemu dengan President George W Bush di Gedung Putih, 22 Januari 2003.

Namun demikian, SCIRI tidak memiliki hubungan yang terlalu mesra dengan AS, kecuali saat menghadapi Saddam. Terpilihnya tokoh ini, diduga merupakan sekadar kedok bagi AS untuk memainkan kartu Syiah di Irak yang merupakan 60 persen dari total populasi Irak sebanyak 24 juta jiwa itu.

Massoud Barzani

Sekali waktu, dia pernah bersekutu dengan Saddam Hussein untuk menghadapi pesaing sesama Kurdi yakni Persatuan Patriotis Kurdi (Patriotic Union of Kurdistan/PUK).

PUK adalah pesaing utama KDP di Irak utara. Setelah itu, Barzani memutus hubungan dengan Saddam Hussein dan membangun hubungan dengan AS dan organisasi lainnya. Di jajaran partai, Barzani sebagai pemimpin Partai Demokratis Kurdi (Kurdistan Democratic Party /KDP).

KDP masih merupakan kekuatan dominan di politik Kurdi Irak selama lebih dari 50 ta- hun. Setelah kematian ayahnya, Mullah Mustafa Barzani tahun 1979, Barzani memimpin KDP selama konflik bertahun-tahun dengan pemerintahan pusat Irak dan dengan pesaing lokal di daerah Kurdi (PUK).

KDP memimpin ribuan milisi, dikenal sebagai Peshmergas. KDP mengontrol kawasan luas di barat laut Irak. Pemerintahan regional KDP berbasis di Arbil. KDP mengklaim jurisdiksi di semua kawasan Kurdi Irak, meski di dalam kenyataan, kontrol kawasan Kurdi itu terpecah antara PUK dan KDP.

Seperti bapaknya, Barzani mencoba memelihara keseimbangan dengan kelompok Kurdi dan pemerintahan pusat Irak, dengan mengandalkan kekuatan militer dengan keahlian dalam perundingan. Namun, KDP adalah musuh pemerintah pusat Irak.

Page 8: Mengurai Benang Kusut Irak

Tentara Irak, meski melakukan upaya besar, tidak pernah bisa mengalahkan kekuatan KDP. Hal itu disebabkan, Barzani mendapatkan dukungan kuat dari kekuatan regional. Selama perang Iran-Irak, Iran memberikan kesempatan bagi KDP untuk beroperasi secara bebas di pedesaan Iran.

Tahun 1990, KDP membuka perundingan dengan Turki, yang menghasilkan perbaikan dalam perdagangan, komunikasi, perjalanan internasional, dan menghasilkan pendapatan lewat pemajakan angkutan tanker Turki, yang berbatasan langsung dengan kawasan utara Irak, yang merupakan lokasi utama Kurdi Irak.

KDP juga menghadapi musuh lokal yakni PUK. Setelah bertahun-tahun KDP berperang dengan PUK. Barzani pernah memohon bantuan kepada Saddam untuk melawan PUK pada bulan Agustus 1996. Dengan bantuan tentara Irak, pasukan KDP merebut Kota Arbil pada bulan September 1996 dari cengkeraman PUK.

Namun, dua kekuatan Kurdi itu mencapai kesepakatan Damai di Washington tahun 1998. Upaya damai itu hanya berlangsung sampai Oktober 2002. Setelah itu PUK dan KDP selalu berebutan pengaruh di Dewan Nasional Kurdi. Hanya invasi AS, 20 Maret 2003 ke Irak, yang telah kembali mampu membuat dua kubu bersatu, setidaknya untuk sementara.

Barzani sendiri adalah seorang ahli strategi militer dan seorang yang terus bisa bertahan dan bisa memainkan berbagai peran. Tahun 1980-an, tentara Irak pernah membunuh tiga saudaranya, membunuh 29 kerabat keluarga dan sekitar 8.000 klan Barzani.

Barzani mewariskan kepemimpinan dari bapaknya Mullah Mustafa Barzani-seorang pejuang hebat dan karismatik Kurdi-yang meluncurkan gerakan nasionalis Kurdi di seluruh Irak tahun 1961.

Ayahnya itu adalah seorang pejuang Kurdi. Sejarah keluar- ga Barzani juga penuh dengan tipu daya AS atas Kurdi. Sete- lah menggunakan pejuang Kurdi untuk menekan Baghdad, lalu mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger berpaling dan menegosiasikan kesepakatan antara Iran dan Irak tahun 1975.

Kesepakatan itu membiarkan Hussein menggempur gerakan yang diluncurkan ayahnya Barzani, yang kemudian dipaksa mengasingkan diri di luar nege- ri. Usai Perang Teluk tahun 1991-setelah pemberontakan Kurdi menentang Saddam Hussein-AS mengizinkan Saddam untuk meredam pemberontakan Barzani.

Hal itu menyebabkan ribuan pengikut dan kelompoknya mati dan lebih dari satu juta warga Kurdi melarikan diri ke perba- tasan Turki dan Iran. Markas Barzani adalah di Salahuddin, sebuah daerah pegunungan di dekat Arbil. Berbicara soal pertikaiannya PUK, Barzani me- ngatakan hal itu adalah sebagai sesuatu yang sangat disayangkan.

Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu. Tentang Irak dan kemerdekaan Kurdi, Barzani mengatakan tidak juga mendesak kemerdekaan karena akan mengusik kepentingan Turki.

Page 9: Mengurai Benang Kusut Irak

Dia mengatakan, Turki khawatir bahwa suku Kurdi Turki juga akan meminta hal serupa jika kurdi Irak merdeka. Selain itu, kemerdekaan Kurdi Irak juga mengkhawatirkan kelompok Assirya. Jadi, katanya, ada banyak yang terusik jika Kurdi Irak merdeka.

"Karena itu, saya hanya me- nginginkan sekadar otonomi lebih luas, dan hal itu biasa dila- kukan menjadi Irak semacam negara federal. Artinya, persatuan Irak juga harus tetap dija- ga karena kami adalah warga Irak bersama-sama dengan kelompok warga lainnya," katanya.

Meski sudah sering ditipu AS, dia tidak ragu akan keberpihakan AS pada kelompok pasca-invasi. "Saya tidak tahu, alasan apa lagi yang membuat AS atau pihak mana pun untuk menolak peran Kurdi di Irak," katanya. Posisi Kirkuk yang menjadi tempat minyak, adalah perjuangan kelompok ini.

"Akan tetapi, Kirkuk tidak ada bedanya dengan Basra atau Baghdad. Kirkuk adalah kota di Irak, dan di sana ada keturunan Kurdi, Turkmenistan, dan Syiah," katanya.

"Misi saya adalah untuk membuat Kurdi Irak relatif merdeka dan bebas di lahannya. Kini Kurdi telah bebas dan saya kira misi saya sudah berakhir. Kurdi diharapkan tidak lagi menjadi kelompok terpinggirkan tetapi menjadi bagian yang mendapatkan dan memiliki peran di Irak, tetapi bukan kemerdekaan mutlak Kurdi sebagai sebuah negara. Saya telah 40 tahun berjuang, sejak saya umur 16 tahun," katanya.

Jalal Talabani

Dia adalah kartu Kurdi lain, yang dimainkan AS untuk menggusur Saddam Hussein juga. Antara Perang Teluk 1991 dan Invasi AS ke Irak tahun 2003, PUK memiliki otonomi di timur laut Irak. Talabani seka- rang menjadi pemimpin Patriotic Union of Kurdistan (PUK).

PUK, sama seperti KDP adalah sahabat lama AS dan pemerintahan Eropa Barat. AS menjanjikan kelompok ini untuk mendapatkan peran dalam pemerintahan Irak pasca-Saddam. PUK juga memiliki hubungan pahit dengan pesaingnya KDP dan juga loyalis Saddam, yang pernah menyerang Kurdi periode 1991 dan 1996.

Talabani lahir tahun 1933 di Desa Kalkan, terletak di Irak utara. Kemudian dia pindah ke Arbil dan Kirkuk, tempat dia menyelesaikan pendidikan dan ke sekolah hukum di Universitas Baghdad selama tiga tahun. Pada tahun ke-empat dia dipaksa meninggalkan universitas saat dicari Tentara Irak karena aktivitas politiknya.

Setelah revolusi 14 Juli 1958, dia kembali ke universitas dan menolak gelar kehormatan-bagi semua mahasiswa karena mendapatkan tekanan politik selama pemerintahan Monarkhi Irak. Tahun 1947, dia menjadi anggota KDP dan pada tahun 1961 menjadi Kepala Biro Militer KDP. Pada tahun itu juga dia menentang pemerintahan Abdal-Karim Qasim.

Page 10: Mengurai Benang Kusut Irak

Setelah kudeta yang menjungkalkan Qasim, delegasi Kurdi berbicara dengan Presiden Irak Abd-al-Salam Arif pada tahun 1963. Dia pernah me- ngunjungi Mesir, Aljeria, Jerman, Inggris, dan Perancis, dengan tujuan menjadikan isu Kurdi sebagai isu internasional.

Dia berhasil menjadikan masalah Kurdi dan hak asasi soal Kurdi sebagai isu internasional. Akan tetapi, dia gagal meraih otonomi kurdi yang dia impikan. Dia menghadapi banyak kendala dari pemerintahan Irak. PUK menderita kemunduran ketika pemerintahan Irak menggunakan senjata kimia untuk membantai suku Kurdi.

Setelah itu Talabani dipaksa meninggalkan Irak dan mengungsi ke Iran. Tanggung jawabnya, bertarung meraih hak-hak Kurdi untuk menentukan nasib sendiri bagi orang Kurdi, membangun perekonomian baru Kurdi, bertarung dengan kekuatan militer untuk menghadapi kekuatan apa pun, seperti Saddam Hussein yang mencoba menekan Kurdi.

Talabani juga berperan menahan kekejaman pemerintahan Baath di Baghdad dan membangun komunitas Kurdi yang baru dengan demokrasi. Karena itu, dia mencoba untuk meraih semua tujuan itu lewat cara-cara militer dan dengan membangun hubungan baik bersama sejumlah negara.

Talabani juga memiliki sekutu utama di Iran dan Suriah. Dia mencoba memenangkan dukungan AS untuk mendapatkan otonomi Kurdi atau pengaturan diri sendiri. Sama seperti nasib rekannya KDP, PUK juga mengalami tipu daya AS. Dia pernah berkunjung ke Washington untuk pertama kali 28 Juli hingga 8 Agustus 1997.

Dia bernegosiasi dengan mantan Menlu AS Madeleine Al Bright soal masalah Kurdi di Irak utara dan berhasil mendapatkan janji dari AS untuk menyelesaikan persoalan Kurdi. Akan tetapi, Talabani juga memiliki musuh utama, yakni Barzani sejak tahun 1976, saat Talabani mendirikan PUK. PUK dipandang sebagai alternatif radikal bagi KDP.

Sejak 1991, ada sejumlah konflik antara PUK dan KDP tentang keseimbangan dalam alokasi dana dan jasa-jasa yang diterima dari PBB. Itu merupakan faktor yang mengkontribusikan konflik antara kedua belah pihak. Musuh Talabani juga datang dari Peshmerga yang juga dimiliki KDP.

Pada Mei 1994, sebuah pertempuran KDP dan PUK daerah selatan yang berpusat di Sulaymaniya. Dengan kata lain, banyak konflik yang terjadi antara Talabani dengan KDP di bawah Barzani.

Itu disebabkan strategi Talabani berbeda dari Barzani. Pertemanan Barzani dengan Saddam tidak disukai Talabani, yang memilih untuk tidak mempercayai Saddam Hussein. Talabani, sebaliknya bekerja sama dengan Iran untuk berjuang meraih kemerdekaan penuh Kurdi di Irak.

Page 11: Mengurai Benang Kusut Irak

Di lingkungannya, Talabani dikenal sebagai Mam (paman) Jalal, dan paling lama berkutat dalam politik kontemporer Kurdi Irak. Dia piawai menggalang aliansi dan pengaruh dari teman-temannya.

Dari basisnya di Sulaymaniah, dia mengontrol bagian timur kawasan Kurdi Irak, sementara KDP menguasai barat Kurdi, dan selatan Irak dikuasai Pemerintah Pusat Irak. PUK memiliki 20.000 milisi yang juga memainkan peran bersama AS mengubah rezim Irak.

Ahmad Chalabi

Dia adalah Ketua Iraqi National Congress (INC), sebuah payung organisasi kelompok oposisi Irak. Chalabi disebut-sebut sebagai pemimpin Irak selanjutnya meski Chalabi menekankan bahwa dia bukanlah calon tepat untuk itu. Dia adalah anggota kelompok Syiah Irak, yang tersiksa selama rezim Saddam Hussein.

Chalabi kembali ke Irak setelah beberapa tahun tinggal di pengasingan. INC berdiri tahun 1991 setelah Perang Teluk. INC menyatakan diri sebagai perwakilan penuh kelompok religius dan etnis.

INC yang bermarkas di London itu, mendapatkan dukungan besar dari AS tetapi sebenarnya ditentang para oposisi Irak sendiri.

Soalnya, pada dirinya melekat faktor Israel yang sangat di- benci Arab. Meski Saddam Hussein menuduhnya sebagai pendukung Palestina, dan Chalabi menuduh Israel sebagai entitas Yahudi, Chalabi justru pernah mengunjungi Israel. Dia bahkan pernah berpidato di lembaga Yahudi untuk Masalah-masalah Keamanan Nasional, yang bermarkas di Washington.

Tidak heran jika dia dilihat sebagai bentukan dari Paul Wolfowitz (mantan Dubes AS untuk Jakarta), yang keturunan Yahudi itu. Bagi Irak dia sebenarnya merupakan misteri. Dia lahir sekitar tahun 1944 dari sebuah keluarga di Baghdad dan anggota pemerintahan senior di Irak. Sekitar tahun 1956 dia meninggalkan Irak menuju AS dan belajar di MIT dan University of Chicago.

Dia lulusan doktor matematika. Walau cerdas, kemampuannya memimpin Irak diragukan. Dia tidak dikenal banyak orang, tetapi seperti tiba-tiba mendadak muncul. Dia pernah mengajar di American University di Beirut hingga pecah perang di Lebanon tahun 1975 dan dia pergi ke Amman.

Di sana, dibantu Putra Mahkota Yordania bernama Pangeran Hassan-saudara Raja Hussein-untuk mendirikan Petra Bank dan menjadi bank terbesar kedua di Yordania. Bank itu bangkrut dan dia mengasingkan diri ke Suriah. Tahun 1991 dia tinggal di London dan menjadi warga negara Inggris. Di sanalah dia mendirikan INC, wadah bagi kelompok oposisi Irak yang percaya akan sistem pemerintahan demokrasi di Irak di masa depan.

Page 12: Mengurai Benang Kusut Irak

Dia didukung kuat oleh AS. Pada tahun 1995, kepada Presiden AS saat itu Bill Clinton, dia mengatakan Saddam Hussein seharusnya dijungkalkan lewat pemberontakan Kurdi di Irak utara. Dia memang seringkali dilibatkan dalam menjungkalkan Saddam oleh AS.

Adnan Pachachi

Pria ini adalah penganut Muslim Sunni-sebagaimana juga semua Presiden Irak sejak berakhirnya Mornakhi tahun 1958.

Sebagai keturunan Sunni, dia juga dinilai sebagai personifikasi kelompok Sunni. Saddam adalah keturunan Sunni. Pria berusia 80 tahun itu menjadi favorit AS, termasuk karena memiliki hubungan baik dengan negara-negara Teluk. Dia seorang nasionalis dengan pandangan liberal yang sekuler.

Beberapa kalangan melihat dia, karena usianya, hanya akan berperan sebagai pemimpin sementara saja. Dia diyakini menjadi pilihan Departemen Luar Negeri AS.

Adnan Pachachi berasal dari Gerakan Demokrasi Independen Irak (Iraqi Independent Democrats Movement).

Pachachi adalah Menlu Irak periode 1959-1969. Diplomat Barat menilai Pachachi sebagai orang yang tepat untuk pemerintahan Pasca-Saddam. Dia mengatakan, warga Irak tidak akan pernah menerima pemerintahan militer atau sipil AS di Irak.

Selama bertahun-tahun, Pachachi mewakili figur pimpinan Irak. Dia meninggalkan Irak setelah Partai Baath naik ke tampuk pimpinan dan tinggal di Dubai, Eni Emirat Arab. Di sana dia menjabat selama 20 tahun pada dewan eksekutif sebagai penasihat dekat dengan Presiden Uni Emirat Arab, Za-yed bin Sultan al-Nahyan.

Utusan khusus Presiden AS George Walker Bush bernama Zalmay Khalilzad, menemui Pachachi di Abu Dhabi 11 Februari. Menurut Pachachi, itu bukan pertama kali pejabat AS mendekatinya untuk memberi pandangan soal pasca-Saddam. Dia dilirik karena memiliki profil tinggi dan dijuluki intelektu- al Irak sebagai pemilik integri- tas tinggi. Oposisi Irak juga sering mengundangnya untuk me- rencanakan pemerintahan oposisi Irak di pengasingan, meski dia menolak. Dia mengatakan, sebaiknya AS menjaga persatuan Irak dan tidak menduduki Irak.

Dia mengatakan, lebih memi- lih pemerintahan kolektif di Irak ketimbang pemerintahan individual. (mon)

Membuang Undi Nasib Irak

trias kuncahyono

Page 13: Mengurai Benang Kusut Irak

Sepanjang pekan lalu secara simultan berlangsung pertemuan-pertemuan penting di kawasan Timur Tengah. Di Teheran, Iran, Presiden Irak Jalal Talabani bertemu dengan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Di Amman, Presiden AS George W Bush bertemu dengan Raja Jordania Abdullah.

Selain bertemu dengan Raja Abdullah, di Amman, Bush juga bertemu dengan PM Irak Nouri al-Maliki. Semula dijadwalkan akan ada konferensi tingkat tinggi antara Bush, Abdullah, dan Maliki, tetapi rencana itu dibatalkan. Maliki hanya bertemu dengan Raja Abdullah dan kemudian secara terpisah bertemu dengan Bush. Semua pertemuan itu tujuannya satu: mencari solusi atas krisis yang kini semakin membelit Irak dan juga krisis Israel-Palestina.

Sulit dimungkiri bahwa saat ini Irak dicengkeram krisis yang teramat pelik dan berat. Media-media internasional, baik cetak maupun elektronik, menyebut apa yang terjadi di Irak saat ini sebagai "perang saudara"; yang lain menyebut "Irak di ambang perang saudara", yang lain lagi menyebut Irak terjerembap dalam "konflik sektarian".

Pemerintah Bush dan sekutunya, Inggris, pun menggunakan istilah "perang saudara". Sementara itu, Sekjen PBB Kofi Annan secara lebih hati-hati menyebut situasi di Irak sebagai "hampir ke sana (perang saudara)". Annan cenderung lebih hati-hati dalam menggunakan terminologi itu karena pertimbangan-pertimbangan politik.

Sejarawan Inggris John Keegan dalam tulisannya yang dimuat di majalah Prospect (Desember 2006) menyatakan bahwa perang Irak tidak memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai perang saudara. Apa pun istilahnya, yang pasti apa yang terjadi di Irak saat ini memprihatinkan. Lingkaran kekacauan, pembunuhan, perang antarkelompok, dan perlawanan terhadap keberadaan tentara AS semakin menjadi-jadi.

Sunni-Syiah

Hingga saat ini belum jelas bagaimana caranya menghentikan dan memutus lingkaran konflik antarkelompok itu: antara kelompok Sunni dan Syiah. Sementara itu, di kelompok Syiah juga terpecah, ada yang menganut garis moderat dan ada yang memilih jalur keras.

Bagaimana menghentikan perseteruan dan peperangan antara kelompok Sunni dan Syiah yang membuat negeri itu semakin limbung, tetap menjadi pertanyaan besar. Meskipun, menurut Peter W Galbraith dalam bukunya The End of Iraq (2006), perpecahan sektarian antara Sunni dan Syiah bukannya tidak dapat dijembatani.

Galbraith berpendapat, agama tidak pernah menjadi bagian penting dari politik Irak seperti sekarang ini (ini berbeda dengan nasionalis yang merupakan fakta konstan dan dominan dari politik Kurdi). Kaum profesional, usahawan, dan elite birokratik telah lama sekuler, dan kini banyak dari mereka yang dibingungkan oleh kenyataan adanya benturan sektarian yang begitu kental itu: apakah mereka Sunni atau Syiah.

Page 14: Mengurai Benang Kusut Irak

Pertanyaannya tetap sama: mengapa benturan di antara keduanya terjadi? Di zaman Saddam Hussein, kelompok Sunni memperoleh tempat istimewa kini di segala posisi, termasuk pemerintahan. Tetapi, kini mereka merasa disingkirkan oleh Syiah dan Kurdi yang mendominasi pemerintahan dan juga dalam penyusunan konstitusi.

Kelompok Syiah sendiri tidak sepenuhnya bersatu, bulat. Ada kelompok pimpinan Moqtada al-Sadr, ulama garis keras yang mengambil sikap berseberangan dengan kaum Syiah yang ada di pemerintahan.

Kelompok Al-Sadr, misalnya, terang-terangan anti-AS. Mereka menginginkan agar AS menyerahkan lebih banyak kontrol operasional pasukan keamanan Irak. Sementara AS sendiri masih ragu jika menyerahkan sepenuhnya, apakah akan terjamin keamanan atau justru mendorong terjadinya perang antarkelompok?

Sikap keras kelompok Al-Sadr itu merepotkan pemerintahan Maliki. Sementara itu, Maliki membutuhkan dukungan Al-Sadr untuk keselamatan dan berlangsungnya pemerintahannya. Karena itu, ketika kelompok Al-Sadr mengancam akan meninggalkan pemerintahannya—menarik enam menterinya dari kabinet Maliki dan 30 anggota legislatifnya—kalau Maliki bertemu Bush di Baghdad, Maliki pun segera membatalkan rencana KTT-nya dengan Presiden AS itu.

Pemerintah lemah

Di lapangan, pemerintah pimpinan Perdana Menteri Nouri al-Maliki (dari Partai Dawa, Syiah) juga tidak mampu mengontrol keadaan sehingga situasi bertambah pelik dan buruk. Bom bunuh diri terus berledakan. Saling serang tidak pernah berhenti antara kelompok Sunni dan Syiah, seperti berbalas pantun saja layaknya.

Banyak kelompok bersenjata yang beroperasi memanfaatkan situasi keamanan yang kacau. Pada saat yang bersamaan, kelompok Ba’athis (partai sosialis-sekuler yang berkuasa di zaman Saddam Hussein) mulai bangkit lagi dan ikut bermain, membuat situasi tambah keruh dan kacau.

Kantor berita Reuters memberitakan, pada Oktober 2006 saja tercatat 3.709 orang tewas, yang berarti 120 orang tewas setiap hari karena serangan kelompok bersenjata, milisi, atau pemberontak. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada September 2006 yang tercatat 3.345 orang. Sebagian besar dari mereka dibunuh di Baghdad, dengan luka tembak atau disiksa.

John Cherian dalam artikelnya berjudul Wages of Iraq (Frontline, Volume 23, 23 November-18 Desember 2006) yang mengutip laporan Departemen Pertahanan AS menulis, 6.000 polisi Irak telah dibunuh sejak awal pendudukan AS, 2003. Selain itu, 20 persen polisi telah mengundurkan diri setiap tahun dan lebih dari 40 persen tidak masuk kerja, takut menjadi sasaran pembunuhan. Sementara Reuters menulis, separuh dari polisi yang ada, 5.000 orang dan 13.000 tentara tidak masuk kerja karena alasan yang sama.

Page 15: Mengurai Benang Kusut Irak

Rawannya situasi keamanan di Irak, terutama di Baghdad, telah mendorong banyak rakyat Irak meninggalkan negerinya. Lebih dari 418.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak Februari lalu dan 1,6 juta orang Irak telah meninggalkan negerinya sejak invasi AS 2003. Sebagian besar dari 100.000 orang Irak yang meninggalkan negerinya setiap bulan mencari keselamatan di Suriah dan Jordania.

Cepat atau lambat, kalau situasi tersebut tidak dapat dikendalikan, bisa dipastikan akan membawa Irak jatuh ke jurang keterpurukan. Negeri itu bisa hancur. Saran dari Kelompok Studi Irak yang dipimpin James A Baker III, antara lain, penyelesaian krisis Irak melibatkan Suriah dan Iran, penarikan mundur pasukan AS, tidak bisa segera dilaksanakan.

Bush sendiri masih enggan untuk melibatkan Iran dan Suriah. Jika Iran, misalnya, terlibat dalam penyelesaian krisis Irak, hal ini akan merupakan kemenangan Teheran dan sekaligus kekalahan Washington. Ini yang kiranya memberatkan Bush.

Padahal, keberanian Washington untuk mengakui kegagalannya di Irak dan kemudian disusul dengan penarikan mundur tentaranya—meski secara bertahap—akan membantu penyelesaian krisis Irak. Negara-negara lain, seperti AS, Iran, Suriah, Jordania, dan bahkan Indonesia, hanya memberikan bantuan penyelesaian, tidak bisa memaksakan kehendaknya.

Pada akhirnya, memang, hanya rakyat Irak sendiri yang tahu persis bagaimana menyelesaikan persoalan mereka.

Apakah mereka akan lahir sebagai negara baru: Irak Bersatu, atau apakah akan memilih bentuk negara federal dengan otonomi khusus tiap-tiap wilayah, yakni bagian utara di tangan Kurdi, bagian tengah tanpa Baghdad di tangan kaum Sunni, dan bagian selatan di tangan kaum Syiah.

Meskipun tidak tertutup kemungkinan, pembagian Irak menjadi tiga tersebut bisa menjadi awal berakhirnya Irak sekarang ini.

Irak Pasca-invasi ASDi Ujung Ketidakpastian

AKANKAH rakyat Negeri 1.001 Malam itu hidup tenteram, aman, sejahtera pascainvasi AS ini? Jawabannya tidak mudah mengingat posisi rezim Partai Baath yang selama ini berkuasa masih belum jelas. Nasib Presiden Saddam Hussein bersama pasukan setianya, 60.000-100.000 personel Pengawal Republik, dan 15.000-25.000 personel pasukan khusus Pengawal Republik, masih misterius.

Bagaimana pula posisi 20.000-25.000 perisai hidup Fedi’in, 15.000-25.000 polisi rahasia dan intelijen, serta pasukan sukarela Al-Quds yang jumlahnya belum diketahui. Kelompok-kelompok ini tentunya tidak akan rela apabila tiba-tiba muncul pemerintahan

Page 16: Mengurai Benang Kusut Irak

baru yang kini tengah dirancang AS. Sebab, dari awal, mereka ditempa jadi pasukan berkemampuan lebih dengan loyalitas yang tinggi sehingga tidak mudah membangkang.

Lalu, bagaimana posisi rakyat, terutama golongan bawah, yang selama ini mengagumi Saddam? Ingat, figur Saddam memang totaliter, tetapi dia sangat memperhatikan nasib rakyat kecil dan tidak korup.

"Demokrasi memang dia buang, tapi untuk rakyat kecil, dia peduli betul, misalnya dengan sekolah gratis dan rumah sakit gratis untuk kelas miskin," ujar Ketua The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Riza Sihbudi. Ini seperti Presiden Hafez al-Assad di Suriah. Dia disebut totaliter dan diktator, tetapi ketika dia meninggal, jutaan rakyat melayat dan menangisinya.

Mungkin saja AS menggandeng kelas menengah yang selama ini membenci Saddam. Akan tetapi, kelas menengah akan menuntut demokrasi, sesuatu yang mustahil diberikan AS. Ini merupakan kerumitan sendiri di dalam pemerintahan boneka pascainvasi yang kini tengah digodok di Pentagon maupun di kubu Colin Powell, Departemen Luar Negeri (Deplu) AS. Selain itu, ulama Irak pendukung Saddam, atau setidaknya terpaksa mendukung, akan ikut mewarnai perjalanan sejarah Irak.

Pemimpin agama masih punya posisi yang tinggi dalam kehidupan sosial, bahkan di dalam rezim Saddam Hussein. Sebagaimana diketahui, ada dua kelompok besar Islam di sana, Sunni dan Syiah. "Pascainvasi diyakini ulama tetap akan penting, berpengaruh, terutama secara keagamaan. Sebab, rakyat Irak, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah, adalah rakyat yang taat kepada pemimpin agamanya," ungkap Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin.

Meskipun ada juga ulama yang terkesan beroposisi terhadap Saddam, mereka juga setuju dengan Saddam yang anti-Israel. Sebagaimana tampak pada minggu-minggu pertama perang, mereka sudah bersuara di masjid-masjid, yang isinya meminta rakyat Irak melawan invasi AS. Ini bukti dukungan kepada Saddam, termasuk Syiah yang menguasai Irak Selatan.

Bahwa kemudian di dalam satu bagian umat Islam di sana ada yang anti-Saddam, itu sangat mungkin, bahkan mungkin pernah jadi korban pemerintahan Saddam. Mungkin juga mereka tidak kecewa secara politik, tetapi mereka adalah masyarakat yang marjinal secara ekonomi. Ketika lebih dari satu dasawarsa Irak di bawah embargo ekonomi, hidup mereka amat kesulitan. Sangat mungkin mereka ini benci kepada Saddam yang mereka anggap sebagai biang kerok dari kemiskinan mereka.

"Saya membayangkan suatu konflik horizontal yang ada dimensi vertikal. Artinya, horizontal sekaligus vertikal pascakejatuhan Baghdad ini. Apalagi tiadanya penegakan hukum dan ada pembiaran dari pasukan pendudukan. Antara pro dan anti-Saddam lalu berimpitan dengan kelompok-kelompok politik dari tokoh-tokoh yang ingin tampil. Ini bisa menggiring Irak ke ambang perang saudara," ujar Din.

Page 17: Mengurai Benang Kusut Irak

Maka, pada tingkat ini terjadilah kekacauan di Timur Tengah. Kondisi Irak yang dilumpuhkan juga akan membuka peluang bagi Israel untuk lebih mencengkeramkan dominasinya di dunia Arab. Sebab, Irak adalah satu dari sedikit negara di Timur Tengah yang keras terhadap Israel, malah skala Irak lebih banyak dan lebih besar daripada Libya dan Suriah karena Irak punya tentara Mujahidin.

Maka, dengan dilumpuhkannya Irak, juga bisa dipahami sebagai bagian dari pemenangan Israel. Kejatuhan Baghdad ini juga mencerminkan berjalannya skenario dominasi Israel di Timur Tengah.

SECARA arogan, AS pascainvasi Irak berencana membentuk pemerintahan transisi yang sebenarnya adalah pemerintahan boneka. Salah satu calon kuat yang akan diajukan adalah Jenderal Nizar al-Khazraji, mantan Kepala Angkatan Darat Irak. Itu yang akan dijadikan Hamid Karzai (Presiden Afganistan) di Irak.

Di atas itu ada seorang pensiunan militer AS yang akan menjadi gubernur jenderal. Menurut Reuters, Office of Humanitarian and Reconstruction (OHR) Pentagon, dikepalai oleh pensiunan Jenderal Jay Garner, akan beroperasi di Umm Qasr.

Sebelumnya, media terkemuka Inggris, The Guardian, pekan lalu melaporkan, setiap Kamis pagi, lingkaran dalam pemerintahan Presiden George W Bush memang rapat di Ruang Oval, Gedung Putih. Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld, dan beberapa pejabat senior Badan Intelijen Pusat AS (CIA) membahas perkembangan di Irak. "Setelah Saddam disingkirkan, apa yang akan kita lakukan dengan Irak?"

Akhirnya, rencana tiga langkah mengerucut di antara mereka. Pertama, Irak akan diatur oleh militer AS. Tahap kedua, masa transisi dengan gubernur militer AS akan berkuasa berdampingan dengan pemimpin sipil yang disepakati internasional. Tahap ketiga, pemerintahan akan diserahkan kepada rezim yang disukai dan berada dalam pemeliharaan AS.

Awalnya, bentuk pemerintahan Irak pascaperang akan serupa dengan rekonstruksi Jepang di bawah Jenderal Douglas MacArthur. Namun, Deplu AS menganggap bentuk ini terlalu bersifat kolonialisme dan akan menyinggung negara-negara Arab. Akhirnya, bentuk yang dipakai adalah de-nazi-fikasi di Jerman. Serupa dengan Nazi, Partai Baath di Irak mendominasi berbagai fungsi administrasi negara. Menyingkirkan mereka semua akan mengakibatkan kelumpuhan sistem.

Pada tahap pertama ini, calon gubernur militer AS yang sudah disebut-sebut adalah Jenderal Tommy Franks, Komandan Pasukan AS di Teluk. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa Rumsfeld kurang sreg dengan strategi Jenderal Franks yang dianggapnya konservatif. Tahap pertama ini diperkirakan akan berlangsung 6-18 bulan dan anggota pasukan gabungan lain seperti Inggris juga akan diberi peranan.

Page 18: Mengurai Benang Kusut Irak

Tahap kedua, diilhami oleh apa yang terjadi di Kosovo, pemerintahan akan dijalankan oleh kalangan sipil internasional dengan dukungan militer. Saat ini AS mengharapkan dukungan dari PBB, terutama dalam menciptakan kondisi damai di kawasan Irak.

Tahap ini juga memiliki beberapa titik kritis, terutama siapa yang akan mewakili sipil internasional yang akan memerintah bersama dengan militer AS. Negara adikuasa ini menginginkan pemimpin sipil ini berasal dari AS. Nama George Mitchell, salah seorang juru damai di Irlandia dan Timur Tengah, disebut-sebut sebagai calon kuat. Juga disebut-sebut nama Norman Schwarzkopf, pemimpin pasukan saat perang 1991 yang kini telah menjadi masyarakat sipil biasa. Schwarzkopf dianggap dekat dengan keluarga Bush.

Pihak Dewan Keamanan sendiri lebih menyukai jika ditunjuk seseorang dari Uni Eropa untuk mengimbangi kekuasaan AS. Selain itu, salah satu kriteria penting dari sosok pemimpin sipil ini adalah beragama Islam. Nama Lakhdar Brahimi, juru damai di Afganistan, disebut-sebut sebagai calon yang memenuhi kriteria ini.

Tahap ketiga adalah tahap yang paling penuh kontroversi dan hingga saat ini belum ada rencana rinci mengenainya. Namun, dua tahun dari sekarang, diharapkan telah ada pemerintahan Irak yang pro-AS. Pemerintahan baru ini diharapkan sama sekali lepas dari pengaruh masa lalu dan akan memusnahkan senjata biologi pemusnah massal.

Akan tetapi, rekonsiliasi antara Sunni yang kuat, Syiah yang miskin, dan Kurdi yang semimerdeka diakui sangat sulit. Apalagi, tugas yang utama adalah meyakinkan masyarakat Irak bahwa pemerintahan yang baru bukan pemerintahan boneka AS.

WAKIL Presiden AS Dick Cheney dan Pentagon menginginkan peranan lebih dari Kongres Nasional Irak (INC), kelompok oposisi di bawah pimpinan Ahmed Chalabi. Namun, CIA dan Deplu AS tidak percaya kepada INC. Apalagi, INC dianggap tidak memiliki kredibilitas di mata rakyat Irak. Deplu AS mempertimbangkan beberapa figur dari Partai Baath sebagai pemimpin yang baru. Karena itu, mereka tengah mengupayakan amnesti dan rekonsiliasi dan berencana hanya akan menghukum segelintir pembesar partai pendukung Saddam itu.

"Ini problem serius karena yang akan muncul pertama adalah legitimasi dari pemerintahan itu sendiri. Apakah pemerintah itu aspiratif, yaitu memperhatikan aspirasi masyarakat Irak yang heterogen," ujar Riza Sihbudi. Problem lain adalah perbedaan pandangan antara AS dan negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa ingin melibatkan PBB, sementara AS tetap hanya memberikan peran terbatas nonpolitik.

Karena itu, diperkirakan akan muncul resistensi rakyat Irak, terutama yang menganggap ini adalah pemerintahan yang mewakili kepentingan AS, bukan kepentingan rakyat Irak. Pascainvasi ini, tujuan utama AS adalah mengeksploitasi minyak karena dibutuhkan untuk biaya rekonstruksi. Dari situ akan muncul beragam persoalan karena di Irak sudah ada perusahaan-perusahaan minyak asing lain seperti Perancis dan Jerman yang menolak invasi AS.

Page 19: Mengurai Benang Kusut Irak

Selain itu, kalau AS mengandalkan semacam pemilihan untuk menciptakan pemerintahan demokrasi, hal itu juga akan menciptakan problem. Sebab, komposisi masyarakat Irak terbesar adalah kelompok Syiah, hampir 58 persen, kelompok Sunni 17 persen, dan Kurdi 20 persen. Kalau orang Syiah yang tampil sebagai penguasa, pasti tidak disukai AS.

Bagi AS, satu negara Syiah saja, yaitu Iran, sudah tidak pernah bersahabat dengan AS, apalagi jika muncul negara Syiah kedua, yaitu Irak. Demikian juga kalau Kurdi sebagai mayoritas kedua yang menang pemilu.

Pemerintahan boneka AS ini diperkirakan akan ditolak negara-negara tetangga Irak, terutama dari negara-negara yang sejak awal menentang perang, yaitu Suriah dan Iran. Invasi AS ke Irak tetaplah dibenci oleh Iran. Iran yang beraliran Syiah, kendati anti-Saddam, belum tentu senang dengan kedatangan AS ke Irak.

Perang delapan tahun Irak-Iran sesungguhnya juga karena dorongan AS di kawasan ini. AS yang tidak senang kepada Iran dan sejarah revolusinya berusaha mencarikan musuh bagi Iran.

Jadi, ketika perang delapan tahun terjadi, Saddam adalah sekutu AS. Konflik Irak-Iran itu sendiri, yang berbentuk konflik perbatasan, sebenarnya juga merupakan warisan dari akhir periode kolonial Inggris di kawasan Teluk.

Seandainya orang Kurdi diberi kekuasaan atau merdeka, juga bakal bermasalah. Di Turki banyak orang Kurdi dan Turki sangat khawatir, demikian juga Iran.

Mereka khawatir penguasa dari suku Kurdi akan menimbulkan potensi konflik Irak-Iran-Turki. Kunjungan Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharazi beberapa waktu lalu ke Turki adalah untuk menyatukan pendapat bahwa mereka tidak setuju akan kemungkinan dinaikkannya orang Kurdi sebagai penguasa di Irak atau terbentuknya sebuah negara Kurdi merdeka di Irak Utara.

Karena itu, pascainvasi ini, Irak penuh dengan ketidakpastian karena problemnya akan jauh lebih kompleks. Di satu sisi, AS menambah jumlah sekutu di Timur Tengah, tetapi akan memunculkan konflik internal atau regional.

Regional dalam hal ini Turki dan Iran akan menentang pemerintahan oleh Kurdi, sementara Iran dan Suriah akan menentang semua bentuk pemerintahan boneka AS di Irak. Bentuk penentangan ini bisa macam-macam karena, kalau hubungan sudah tegang, tinggal mencari pemicunya untuk meledak. Artinya, stabilitas kawasan ini akan rentan.

JIKA pascainvasi pemerintah di Irak militeristik, itu sama artinya bagi rakyat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut macan. Di mana-mana pemerintahan militer tidak akan menolerir oposisi. Sementara kalau sipil yang memimpin akan timbul masalah juga. Biasanya pemerintahan sipil sulit mengendalikan negara dalam masa transisi, terutama dalam komposisi yang heterogen.

Page 20: Mengurai Benang Kusut Irak

Namun, pemerintahan militer akan diberlakukan untuk meredam resistensi keras, baik dari kelompok mayoritas Syiah maupun Kurdi. Apalagi keduanya tidak akan mendapat porsi pemerintahan pascainvasi. Dulu mereka anti-Saddam, tetapi sekarang mereka agak goyah dan lihat-lihat dulu. Ingat tahun 1991, ketika orang Kurdi dibasmi Saddam, AS diam saja.

Belum lagi kalau nanti negara-negara Eropa tak ke- bagian dan mulai saling mendukung. Mereka mendukung Kurdi, Syiah, atau Suriah untuk merongrong pemerintahan boneka AS yang berkuasa di Irak. Negara-negara Eropa sangat berkepentingan di Irak. Mereka menentang invasi bukan karena tidak setuju AS bertindak secara unilateral, tetapi karena proyek-proyek mereka terganggu.

Ini terbukti setelah Baghdad jatuh, Presiden Perancis Jacques Chirac dan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder buru-buru menyatakan kegembiraannya atas jatuhnya diktator Saddam Hussein. Chirac mengharapkan suatu pertempuran yang cepat dan efektif. Ini bentuk kemunafikan Barat terhadap negara-negara Arab.

Menarik diperhatikan, apakah pascainvasi ini AS akan memberikan porsi minyak kepada Inggris dan negara-negara yang mendukung. Atau AS memonopoli sepenuhnya potensi minyak Irak ditambah Israel yang merasa berjasa saat ini. Israel diam-diam mulai mengatur pipa minyaknya. Konstelasi politik Timur Tengah pascainvasi ini akan sangat menguntungkan Israel. Irak selama ini dianggap sebagai negara yang paling mengancam Israel, selain Iran. Walau sebetulnya, pasca-1991, Irak sudah jauh melemah.

Namun, pascainvasi, kelihatannya Inggris pun akan dibuang karena yang sekarang lebih rajin membikin skenario macam- macam adalah Israel. Israel rajin menyuplai data ke AS, memberi advis di bidang militer, misalnya bagaimana perang kota, bagaimana menghadapi bom bunuh diri karena mereka sudah berpengalaman. Jangan lupa, kelompok garis keras Pentagon sangat pro-Israel. Karena itu, yang akan mengambil hasil invasi ini adalah Israel, bukan Inggris.

Stabilitas kawasan Teluk akan semakin kisruh kalau AS meneruskan ambisinya menyerang Iran. Kemungkinan itu sangat besar. Tandanya, Iran mulai diungkit dengan nuklir dalam negeri dan mendukung Irak. Perlu diingat, motif utama invasi militer AS ini adalah minyak sehingga logis kalau Irak bukan tujuan terakhir. Iran, Arab Saudi, dan Libya punya minyak cukup besar, dan kalau ia kuasai, paling tidak 60 persen minyak dunia ada di situ semua. Minyak punya beberapa aspek, selain sumber energi industri yang belum tergantikan, juga alat menjaga stabilitas ekonomi dunia.

Kalau AS menguasai seluruh potensi minyak di Timur Tengah, ditambah minyaknya di Alaska, berarti AS sudah menguasai 80 persen cadangan minyak dunia. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) saat ini hanya menguasai 50-60 persen. Kalau sekarang AS sudah menguasai Irak, berarti dia menguasai Irak, Arab Saudi, dan Kuwait. Itu sudah cukup bagi AS untuk bisa mengatur harga dan suplai minyak ke Barat.

Page 21: Mengurai Benang Kusut Irak

Sementara itu, Presiden Bush berjanji, setelah masalah Irak beres, ia akan mendukung proklamasi Palestina. Kalau janji itu tidak ditepati, pasti akan timbul sikap anti-AS yang sangat keras karena akan muncul perlakuan yang tidak fair antara Irak dan Israel. Padahal, keduanya sama-sama rezim yang menindas.

"Bush kecil kemungkinan menepati janjinya karena ia akan mendapat tekanan dari kelompok Yahudi. Padahal, dia butuh dukungan lobi-lobi dan dana untuk pemilihan Presiden AS 2004," ungkap Riza.

Pergolakan yang lebih rumit di Irak dan kawasan Timur Tengah umumnya akan terus muncul. Berbagai konflik yang sudah ada seperti di Palestina akan lebih mengeras dan berkepanjangan. Inilah awal sekaligus ujung dari ketidakpastian masa depan kawasan itu. (EDN/ODY/DMU)

Giliran Tokoh Sunni Temui Bush

BAGHDAD, SENIN - Pejabat paling senior yang mewakili kelompok Sunni Arab di Irak, Wakil Presiden Tareq al-Hashimi, telah berangkat ke Washington untuk melakukan pembicaraan dengan Presiden George W Bush.

"Dia telah pergi untuk bertemu Bush dan keduanya akan bertemu dalam beberapa jam mendatang," ungkap juru bicara Hashimi, Mohammed Fayeq, Senin (11/12), sambil menyebutkan bahwa pemimpin Sunni itu berangkat dari Irak hari Minggu.

Hashimi menjadi pemimpin Irak ketiga yang bertemu Bush dalam waktu dua minggu terakhir, setelah sebelumnya Bush bertemu dengan Perdana Menteri Nuri al-Maliki di Amman dan pemimpin serta politisi Syiah, Abdel Aziz al-Hakim, di Gedung Putih, Washington.

Bush akhir-akhir ini memang aktif melakukan pembicaraan dengan para pemimpin komunitas Sunni dan Syiah Irak sebagai upaya untuk menghentikan kekerasan sektarian yang telah menewaskan ribuan orang di Irak.

Tekanan yang besar terhadap kelompok Sunni di Irak akhirnya disikapi sejumlah ulama terkemuka Saudi dengan menyampaikan seruan kepada warga Muslim Sunni di seluruh dunia untuk melakukan mobilisasi melawan Syiah Irak.

Pernyataan itu muncul di sebuah situs internet Islam Saudi, kemarin, yang menyebutkan bahwa warga Muslim Sunni dibunuh dan dimarjinalkan oleh Syiah Irak, yang didukung oleh Iran dan pasukan pimpinan AS.

Di Irak, 10 orang tewas dalam beberapa tindak kekerasan sepanjang Senin, termasuk seorang perempuan hamil dan tiga anaknya yang tanpa kenal ampun ditembak di Salaja, 75 kilometer selatan kota Kirkuk, utara Irak. Militer AS juga melaporkan, sebuah bom

Page 22: Mengurai Benang Kusut Irak

meledak di pinggir jalan dan menewaskan empat prajurit, Minggu, dalam dua kejadian terpisah.

Tekanan besar

Perdana Menteri Irak kian menghadapi tekanan besar dari dalam koalisi pemerintahannya, yang meminta agar segera diambil langkah-langkah untuk melucuti para milisi sektarian yang merobek-robek negara itu.

Beberapa anggota parlemen mengungkapkan, pembicaraan tengah dilakukan untuk membangun sebuah aliansi parlemen baru antara faksi-faksi Sunni, Kurdi, dan Syiah yang menentang kekerasan.

Nuri al-Maliki telah menjanjikan sebuah perombakan kabinet untuk menempatkan tim yang lebih kuat, yang mampu menurunkan kekerasan dan memulai program rekonsiliasi nasional meski banyak pihak menilai hal itu sudah terlambat.

Para politisi yang tengah berunding berupaya membentuk sebuah blok pemimpin yang baru, yang siap untuk mengendalikan milisi aliansi mereka dan memaksakan sebuah "perdamaian sipil" antara Sunni, Syiah, dan Kurdi.

Ditekankan, upaya ini bukanlah untuk menjatuhkan Maliki meski memang aliansi ini akan mengikutsertakan para pengkritik keras Maliki yang kecewa atas ketidakberdayaan Perdana Menteri Irak itu dalam mengatasi kekerasan sektarian.

Menurut hasil jajak pendapat terbaru Newsweek, 68 persen rakyat AS meyakini bahwa AS kalah perang di Irak dan hanya 21 persen yang percaya terhadap adanya kemajuan.

Sekitar 39 persen mendukung rekomendasi-rekomendasi yang diberikan Kelompok Studi Irak, sedangkan 20 persen tak setuju. (AP/AFP/Reuters/OKI)

"Daftar Hitam" Baru IrakAnggota Parlemen dari Kelompok Sunni Memboikot Parlemen

Baghdad, minggu - Setelah muncul dengan ide rekonsiliasi nasional, Pemerintah Irak, Minggu (2/7), mengumumkan "daftar hitam" baru berisi 41 nama-nama orang yang paling dicari dan diyakini terkait berbagai aksi terorisme Irak. Dari 41 nama itu terdapat nama istri pertama dan anak perempuan tertua Saddam Hussein.

Istri pertama Saddam Hussein, Sajida Khairallah Tulfah, beserta anak perempuannya, Raghad, ada di dalam "daftar hitam" nama-nama orang yang paling dicari dan diyakini membidani berbagai aksi kekerasan dan teror. Baik Sajida maupun Raghad tidak tinggal di Irak, tetapi masing-masing di Qatar dan Jordania.

Page 23: Mengurai Benang Kusut Irak

Dua nama itu berada di urutan teratas "daftar hitam" baru Irak bersama dengan orang kepercayaan Saddam, Izzat Ibrahim al-Douri, dan Abu Ayyub al-Masri yang kini diyakini memimpin Al Qaeda di Irak menggantikan Abu Musab al-Zarqawi.

"Orang-orang inilah yang kami yakini bertanggung jawab atas mayoritas peristiwa ledakan bom dan pembunuhan warga sipil untuk memicu konflik sektarian antara komunitas Syiah dan Sunni. Mereka berasal dari beragam kelompok etnis. Mereka ini tokoh kunci yang kita cari-cari. Jika kita bisa menangkap mereka, gejolak kekerasan Irak pasti menurun," kata Penasihat Keamanan Nasional Irak Muwaffaq al-Rubaie.

"Daftar hitam" itu disebutkan akan dikirim ke berbagai lembaga pemerintah, masjid, dan tempat umum lain untuk memudahkan pencarian. Saat mengumumkan "daftar hitam" itu, Al-Rubaie juga meminta bantuan negara-negara tetangga Irak untuk menyerahkan teroris-teroris yang ada di dalam "daftar hitam" dan tinggal di wilayah mereka kepada Irak.

Pemerintah Irak yakin nama- nama teroris dalam "daftar hitam" itu selama ini memberikan bantuan logistik, persenjataan, dan bantuan lain yang dibutuhkan kelompok perlawanan di Irak. Seperti Raghad yang diyakini membiayai operasional kelompok perlawanan Irak. Sementara Sajida diyakini menjadi sumber utama dalam hal pemberian petunjuk, dukungan logistik, dan juga pembiayaan operasional dari aset-aset yang telah dicuri oleh Saddam.

Selain Sajida, Raghad, Al-Masri, dan Al-Douri terdapat pula nama mantan Ketua Majelis Mujahidin Shura Abdullah al-Janabi, Muhammad Yunis Al-Ahmad Al-Mohali (orang yang membangun kembali Partai Baath), mantan Direktur Badan Intelijen pada masa rezim Saddam, Tahir Jalal Habbush al-Tikrit, dan pemimpin kelompok Ansar al-Sunna, yakni Abu Abdullah al-Shafi dan Mullah Halgurd Ahmadi.

66 tewas

Pengumuman "daftar hitam" baru itu muncul satu hari setelah terjadi ledakan bom yang dahsyat dan menewaskan 66 orang dan melukai 114 orang. Ledakan terjadi ketika truk bermuatan penuh dinamit meledak ketika ada patroli polisi lewat pasar Al-Ula, Sadr City, yang tengah padat pembeli. Tokoh serta pemimpin Sunni dan Syiah pun saling tuding.

Anggota parlemen Syiah, Jalaleddin al-Saghir, menuding ledakan itu termasuk bentuk konspirasi dengan musuh di luar Irak, seperti Arab Saudi dan Jordania. Sebaliknya, asisten senior Moqtada al-Sadr, Riyadh al-Nuri, menuding serangan itu dilakukan oknum pemerintah yang menjadi kaki tangan teroris, seperti kaum Sunni. Namun, beberapa jam setelah ledakan terjadi kelompok bernama Pendukung Rakyat Sunni mengaku bertanggung jawab atas ledakan itu. Alasannya, untuk balas dendam kepada kaum Syiah. Selain bom Sadr City, tiga ledakan bom mobil terjadi di Baghdad, Minggu. Akibatnya, tiga orang tewas dan 16 terluka.

Boikot parlemen

Page 24: Mengurai Benang Kusut Irak

Blok politik Sunni menyatakan memboikot parlemen berkaitan dengan peristiwa penculikan anggota parlemen Sunni oleh kelompok bersenjata. Taiseer Najeh Awad al-Mashhadani, anggota parlemen dari blok Sunni terbesar di parlemen, yakni Front Kerukunan Nasional, diculik sekelompok orang bersenjata bersama dengan ketujuh pengawal pribadinya, Sabtu.

Hingga kini belum ada kejelasan tentang nasib Al-Mashhadani. "Kami akan boikot parlemen sampai dia dibebaskan," kata pemimpin Sunni Adnan al-Dulaimi.

Kepolisian menyebutkan, saat diculik Taiseer tengah berada dalam perjalanan ke Baghdad dari rumahnya yang berada di daerah Provinsi Diyala. Rekan-rekan satu blok Taiseer menyalahkan Kementerian Penerangan dan Kementerian Pertahanan Irak karena telah gagal memulihkan keamanan Irak.

Para politisi yang ada di blok lainnya meminta agar blok Sunni tidak memboikot parlemen karena hal itu hanya akan semakin memberikan alasan kepada kelompok perlawanan untuk menggagalkan proses politik. Politisi Sunni Hussein al-Falluji menegaskan, kubu Sunni akan tetap memboikot parlemen.

Selain Taiseer, pada hari yang sama dua anggota parlemen lainnya dari kelompok Syiah juga tiba-tiba diserang kelompok tak dikenal. Selain itu, ada pula tokoh Syiah, Iyad Jamal al-Din, yang nyaris tewas dalam serangan bom di Baghdad. Al-Din yang berasal dari blok mantan PM Irak Iyad Allawi itu mengaku diserang. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Problem Arab Sunni dalam Pemerintah Baru Irak

AROMA kurang sedap segera tercium dalam komposisi pemerintah baru Irak pimpinan PM Ibrahim Jaafari yang telah mendapat pengesahan Majelis Nasional (parlemen) hari Kamis (28/4) pekan lalu.

SEBANYAK 180 dari 185 anggota parlemen yang hadir saat itu memberi suara setuju atas pemerintah baru pimpinan PM Jaafari itu. Seluruh anggota parlemen Irak hasil pemilu 30 Januari lalu sebanyak 275 anggota.

Pemerintah baru Irak tersebut terdiri dari seorang perdana menteri, 4 deputi perdana menteri, 32 menteri, di antaranya 7 wanita. Namun, masih ada lima kementerian dan dua jabatan deputi perdana menteri kosong yang dijatahkan untuk kaum Arab Sunni, yaitu pertahanan, perminyakan, perindustrian, pengadaan listrik, dan hak asasi manusia.

Lima kementerian tersebut sementara dijabat rangkap. PM Jaafari, misalnya, sementara menjabat rangkap menteri pertahanan. Adapun Deputi PM Ahmad Chalabi untuk sementara merangkap jabatan menteri perminyakan. Pemerintah baru itu mengemban tugas dalam masa periode yang sangat pendek, yakni hingga digelar pemilu akhir tahun ini atau sekitar tujuh bulan.

Page 25: Mengurai Benang Kusut Irak

Di antara tugas utama pemerintah tersebut adalah mengontrol dan menyukseskan penyusunan konstitusi permanen negara, mengatasi situasi keamanan yang buruk, dan memperkuat persatuan nasional di tengah konflik etnis, sekte, dan mazhab agama.

Aroma kurang sedap tersebut berasal dari problem Arab Sunni yang belum terpecahkan sejak tumbangnya rezim Saddam Hussein dua tahun lalu dan kini menjangkit pula pemerintah baru pimpinan PM Jaafari. Pada gilirannya proses politik di Irak menjadi terancam mendapat nilai kurang legitimatif.

Jika tidak segera ada solusinya, bukan hanya berakibat situasi keamanan semakin buruk, tetapi juga akan terjadi perpecahan yang kian mendalam di antara tokoh-tokoh dan kekuatan-kekuatan politik yang telah menerima proses politik di tengah pendudukan AS.

Misalnya beberapa pekan terakhir ini, yakni menjelang dan setelah pembentukan pemerintah baru, eskalasi kekerasan meningkat tajam secara mengejutkan. Hanya sehari setelah pemerintah baru mendapat pengesahan parlemen terjadi ledakan 10 bom mobil secara beruntun di Baghdad yang membawa korban lebih dari 100 antara tewas dan luka-luka.

Berita utama harian berbahasa Arab Al Hayat edisi hari Sabtu lalu (30/4) bahkan memberi judul "Abu Musab al-Zarqawi memberi hadiah PM Ibrahim Jaafari dengan 10 bom mobil di Baghdad". Ledakan 10 bom mobil tersebut tentu adalah sebuah isyarat bahwa gerakan perlawanan Irak masih mampu melancarkan serangan mematikan, kapan saja dan di mana pun.

Dalam pentas politik telah terjadi pula hubungan kurang harmonis di antara para elite politik, khususnya antara kubu Arab Sunni dan Aliansi Irak Bersatu yang didominasi Arab Syiah akibat tidak puasnya kubu Sunni atas cara pembentukan pemerintah baru pimpinan PM Jaafari.

Skenarionya mengulang kasus pemilihan ketua parlemen awal April lalu, ketika Aliansi Irak Bersatu memaksakan calonnya, Hajim al-Hassani, dari Arab Sunni untuk menjadi ketua parlemen dan mendepak calon yang diajukan kalangan Arab Sunni sendiri, yaitu Maan al-Jabbouri.

PM Jaafari kini juga dituduh memaksakan calon-calonnya untuk duduk dalam kabinet yang dipimpinnya dengan mengabaikan aspirasi kekuatan politik lainnya. Para politikus Arab Sunni pun merasa dikecewakan dua kali, yaitu kasus pemilihan ketua parlemen dan pembentukan pemerintah baru sementara.

Harapan besar yang tercurahkan pada pemerintah baru itu, yang dilukiskan sebagai pemerintah terpilih pertama secara demokratis di Irak sejak lebih dari 50 tahun, segera buyar pula.B Seperti dimaklumi bahwa pemerintah baru Irak itu lahir setelah terjadi perdebatan alot di antara partai pemenang pemilu lalu, yaitu Aliansi Irak Bersatu (146 kursi), Koalisi

Page 26: Mengurai Benang Kusut Irak

Kurdistan (77 kursi), dan Daftar Irak pimpinan mantan PM Iyad Allawi (40 kursi). Sejumlah partai Sunni kemudian turut terlibat dalam perdebatan beberapa pekan terakhir ini.

Maka, gambaran utama yang menjadi sorotan dalam proses pembentukan pemerintah baru itu adalah kesulitan pembentukan pemerintah tersebut yang mencerminkan potret negeri itu sejak invasi AS ke Irak tahun 2003. Yakni sebuah potret tentang beragamnya persepsi, perbedaan sikap, berubah-ubahnya koalisi dan kepentingan, serta campur tangan asing, khususnya AS, dalam mengendalikan proses politik dan keamanan.

Kunjungan mendadak Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld ke Irak pertengahan April lalu tak terlepas dari perkembangan pembentukan pemerintah baru yang sulit itu. Kunjungan Menhan AS itu disinyalir terkait dengan posisi jabatan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri yang notabene bertanggung jawab atas keamanan Irak. AS konon memberi kriteria tertentu untuk pejabat menteri pertahanan dan menteri dalam negeri bisa bekerja sama dengan pasukan multinasional.

PM Jaafari dan Aliansi Irak Bersatu ternyata tidak mampu mengatasi perbedaan tersebut. Hal itu terlihat bahwa pemerintah baru tersebut dibentuk dengan setengah hati karena gagalnya PM Jaafari menentukan pejabat menteri pada lima kementerian itu. Masalahnya lebih rumit setelah Front Kekuatan Arab Sunni dan Dewan Dialog Nasional menarik para kandidat menterinya sebagai protes terhadap sikap tidak komitmen PM Jaafari atas kesepakatan dengan mereka.

Sikap tidak komitmen PM Jaafari itulah yang rupanya menuai kritik dari berbagai kalangan, baik di dalam negeri maupun negara-negara tetangga.

Tajuk rencana harian setengah resmi Mesir Al Ahram dengan judul "Demi Menyelamatkan Irak" mengatakan, upaya setiap golongan, etnis, dan sekte untuk meraih bagian dari kue kekuasaan merupakan hal yang sah dan sah, tetapi dengan syarat tidak merugikan kemaslahatan nasional.

Terus berlanjutnya polemik tentang jabatan kabinet pascapemilu 30 Januari menimbulkan kekecewaan dan pesimisme rakyat di tengah semakin memburuknya situasi keamanan serta jatuhnya korban tewas dan luka-luka setiap hari.

"Ironisnya, kini dipaksakan diumumkan susunan kabinet yang parsial setelah terjadi polemik dan perdebatan cukup lama. Lebih dari itu, menurut Wakil Presiden Ghazi al-Yawar, jabatan kabinet yang mencapai 37 jabatan dan terbagi atas dasar etnis dan mazhab agama merupakan pembagian setengah hati dan tidak mencerminkan keadilan. Bagian Arab Sunni seharusnya tidak kurang dari 12 menteri mengingat jumlah Arab Sunni adalah sepertiga penduduk Irak. Namun, ternyata Arab Sunni hanya mendapat jatah tujuh kursi kabinet. Bagian Syiah Arab seharusnya 17 kursi kabinet dengan jumlah Arab Syiah 47 persen dari penduduk Irak, tetapi Arab Syiah hanya mendapat 12 kursi kabinet dan ditambah jabatan PM yang memiliki kekuasaan terbesar dalam sistem politik di Irak pascatumbangnya rezim Saddam Hussein. Adapun kaum Kurdi yang merupakan 16

Page 27: Mengurai Benang Kusut Irak

persen dari penduduk Irak yang seharusnya mendapat jatah tidak lebih dari enam menteri, tetapi memperoleh delapan jabatan menteri, termasuk jabatan menteri strategis seperti menteri luar negeri yang dijabat Hoshyar Zebari, ditambah jabatan presiden yang dijabat Jalal Talabani," lanjut Al Ahram.

"Sangat keliru persepsi bahwa mengabaikan peran Arab Sunni dalam sistem politik Irak saat ini akan mewujudkan stabilitas. Sebaliknya, upaya mereduksi peran kaum Arab Sunni, akan memicu instabilitas. Sebagian mulai cemas bahwa situasi buruk di Irak akan menyeret negara itu ke dalam perang saudara, seperti yang terjadi di Lebanon pada tahun 1975 dengan dalih adanya keserupaan antara Irak dan Lebanon, yakni sama-sama menggunakan dasar etnis dan mazhab agama dalam pembagian kekuasaan," demikian tulis Al Ahram.

"Oleh karena itu, para pimpinan Irak sekarang sangat diimbau mengambil pelajaran dari Lebanon agar tidak terjerumus ke dalam perang saudara dengan mematahkan upaya fitnah dari berbagai pihak serta segera menyempurnakan susunan kabinetnya. Stabilitas Irak ke depan sangat bergantung pada proses pembangunan sistem politik yang berkeadilan dan komprehensif dengan menjunjung kebebasan dan hak asasi manusia," tulis Al Ahram lagi.

Sementara itu, menurut Imam Masjid Abu Hanifah al-Nu’man di kawasan Adhamiyah, Baghdad, Sheikh Muayyad al-Adhamiyah, kaum Arab Sunni adalah sebuah unsur kekuatan yang efektik dalam percaturan politik di Irak saat ini. "Oleh karena itu, tidak mungkin mengabaikan kaum Arab Sunni sebab mereka harus tahu bahwa proses politik di Irak yang dibangun pascatumbangnya rezim Saddam Hussein tidak akan berhasil tanpa partisipasi kaum Arab Sunni. Maka, kaum Arab Sunni harus diikutkan dalam penyusunan konstitusi permanen karena konstitusi itu adalah masa depan negara bukan golongan, etnis, atau partai tertentu," kata Sheikh Muayyad.

Menurut pengamat Arab Adil Darwish, telah tercium informasi tentang perbedaan sengit di kalangan elit politik hingga PM Ibrahim Jaafari tertunda membentuk pemerintah baru. "Kendala utama adalah cara terbaik merekrut Arab Sunni dalam kabinet. Kendala kedua, faksi Daftar Irak pimpinan mantan PM Iyad Allawi yang mendapat 40 kursi parlemen memberi syarat mendapat empat kementerian strategis, termasuk menteri dalam negeri dan lembaga intelijen, dalam pemerintah PM Jaafari," ujar Darwish.

Wapres Irak Ghazi al-Yawar juga mengatakan, komposisi kabinet baru pimpinan PM Jaafari tidak sesuai dengan impian rakyat Irak. Ia mengimbau agar susunan kabinet baru itu segera disempurnakan dengan menunjukkan menteri dari Arab Sunni. "Komposisi kabinet baru berdasarkan atas jatah etnis bukan pemerintah persatuan nasional. Ia mengakui, kesediaan kaum Sunni menerima komposisi kabinet itu adalah di bawah standar impian dan masih menunggu tentang siapa yang ditunjuk sebagai menteri pertahanan. Kaum Sunni tidak akan menerima seseorang mendikte mereka tentang seorang calon meskipun calon itu dari kalangan Sunni sendiri," kata Al-Yawar.

Page 28: Mengurai Benang Kusut Irak

Sekjen partai Islam Irak yang beraliran Sunni, Tareq Hasyim juga menegaskan, kabinet baru tidak mewakili rakyat Irak dan tidak dibentuk sesuai dengan aspirasi parlemen yang meminta dibentuk pemerintah persatuan nasional.

Ia menuduh PM Jaafari telah memaksakan calon tertentu masuk dalam kabinet yang dipimpinnya tanpa memperdulikan suara Front dialog nasional dan partai Islam Irak. Terbentuknya pemerintah baru Irak itu juga mendapat sorotan pertemuan tingkat menteri luar negeri negara-negara tetangga Irak di Istanbul, Turki, Sabtu lalu. Salah satu butir rekomendasi pertemuan itu menyerukan agar kaum Arab Sunni disertakan dan mendapat porsi yang layak dalam proses politik.

(Musthafa Abd Rahman dari Cairo)

AS Rancang Pemerintahan di Irak

Washington, Minggu - Ada satu lagi kekonyolan Amerika Serikat (AS) setelah mengaveling bisnis-bisnis di Irak. Meski invasi belum selesai, AS sudah mulai merancang pemerintahan baru di Irak. AS menyebutnya sebagai pemerintahan sipil. Rincian rencana itu akan dibeberkan pekan ini juga. Mulai Senin (7/4) ini, Presiden AS George Walker Bush akan membahas Irak pasca-invasi dengan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Seiring dengan itu, Iran juga akan membicarakan masalah Irak dengan Turki.

BBC News, Minggu, 6 April melaporkan, AS akan menetapkan tahap pertama pemerintahan sipil Irak dalam pekan ini. Dikatakan, AS kemungkinan menunjuk Jenderal (purn) Jay Garner sebagai Ketua Tim Pembentukan Pemerintahan Sipil Baru di Irak. Garner diharapkan bisa memberikan jumpa pers di Kuwait, hari ini, Senin, 7 April.

Hari Selasa besok, anggota tim Garner akan meninggalkan Kuwait menuju kota pelabuhan Umm Qasr, di Irak selatan. Rencananya, pembentukan pemerintahan sipil itu akan dimulai di wilayah selatan. Kemudian, secara bertahap, AS akan memperluas pemerintahan itu ke seluruh negara.

Jenderal Garner mempunyai tugas utama untuk mempersiapkan dasar pemerintahan baru yang disebut sebagai IIA (Iraqi Interim Authority) atau pemerintahan interim Irak.

Dalam pandangan AS, Garner akan membantu rakyat Irak, hingga pada saatnya nanti mereka akan mengambil alih pemerintahan tersebut. Militer AS diharapkan hanya akan memerintah dalam periode tiga bulan.

Persiapan AS itu dilakukan meski belum ada pengakuan resmi akan kemenangan mereka dalam invasi ke Irak. Bahkan, Pemerintah Irak membantah klaim kemenangan AS tersebut. Namun sudah mulai menggema, soal keinginan AS untuk segera membentuk pemerintahan baru di Irak itu, walau invasi masih berlangsung.

Page 29: Mengurai Benang Kusut Irak

Karena itu, meski Jenderal Garner akan segera memulai pekerjaannya di Irak selatan, BBC News mengingatkan, masih banyak masalah penting yang belum terselesaikan. Misalnya, bagaimana peran PBB kemudian, lalu siapa warga Irak yang harus memimpin?

Namun yang lebih penting, apakah pemerintahan ini nantinya akan benar-benar menjadi pemerintahan sipil yang demokratis atau hanya bentuk lain dari dominasi asing?

Berbagai pertanyaan itu, hingga saat ini belum terjawab. Tentang peran PBB, misalnya, masih ada perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Menlu AS Colin Powell dengan Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza Rice.

Powell berpendapat, masalah peran PBB sudah mulai dibahas dalam dialog pragmatis. PBB, kata Powell, akan menjadi mitra AS selama proses pengelolaan Irak. Bahkan Powell belakangan mengatakan, PBB pun akan berperan dalam pembentukan pemerintahan interim Irak.

Sebaliknya, Rice bersikeras, peran PBB hingga saat ini sama sekali belum dibahas. Rice menegaskan, Irak adalah masalah unik. Karena itu, mereka yang telah mengorbankan darah dan hidupnya harus menjadi pemeran utama dalam pengelolaan Irak. Ia menekankan, PBB hanya bisa berperan setelah pemerintahan Irak terbentuk.

Jenderal Nizar al-Khazraji

Tentang calon pemimpin Irak, AS belum membeberkan dengan jelas. Namun, Harian Denmark Politiken, kemarin menyebutkan mantan Jenderal Irak Nizar al-Khazraji-sekarang telah berada di Kuwait-sebagai calon pengganti Saddam.

Bulan lalu, ia berhasil melarikan diri dari Denmark atas bantuan CIA, Agen Intelijen AS. Informasi itu diperoleh Politiken dari salinan laporan mantan Ketua CIA bidang Kontra-terorisme. Dikatakan, Departemen Keamanan AS melihat Khazraji sebagai calon pengganti Saddam. Menurut Politiken, pandangan itu disetujui Pentagon.

Mantan CIA itu menyelesaikan laporannya pada 28 Maret lalu. Ia mengatakan, intelijen AS diam-diam memanfaatkan Khazraji yang belakangan membantu serangan ke Irak.

Tanggal 22 Maret, muncul laporan, CIA diperkirakan berada di belakang gerakan Khazraji yang dipercaya sebagai Jenderal tertinggi di luar kelompok Saddam yang tinggal di luar Irak. Anggota CIA yang menulis laporan tanggal 22 Maret itu, Vincent Cannistraro, tak mau berkomentar soal itu.

Khazraji pernah dituduh melakukan kejahatan perang karena menggunakan senjata kimia terhadap suku Kurdi di Irak utara, sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu, ia menjabat sebagai Komandan Pasukan Irak.

Tahun 1995, ia terbang ke Jordania. Tiga tahun kemudian, Khazraji meminta suaka politik di Denmark. Namun, tanggal 15 Maret lalu, ia tiba-tiba menghilang dari rumah

Page 30: Mengurai Benang Kusut Irak

penahannya di Denmark. Pencalonan Khazraji juga pernah dilaporkan harian berbahasa Arab dan berbasis di London, Al-Hayat, Februari lalu. Dikatakan, AS memilih Khazraji sebagai calon pengganti Saddam.

Lepas dari itu, perbedaan pandangan soal pengelolaan Irak pasca-invasi juga terjadi antardepartemen dalam pemerintahan Bush.

OneWorld.net melaporkan, soal pengelolaan Irak-yang akan menjadi proyek milyaran dollar AS itu-memicu silang pendapat antara Pentagon dan Departemen Pertahanan AS, juga dengan kelompok kemanusiaan, Kongres AS, dan Uni Eropa.

Pentagon mendesak, seluruh program pengembangan Irak harus berada di bawah payung operasi militer. Namun, departemen lain menolak tegas rencana itu. Termasuk, Uni Eropa dan PBB.

Bush-Blair

Namun, ia tidak menyinggung kemungkinan kedua pemimpin membeberkan "peta perdamaian" untuk mengatasi masalah Israel dan Palestina. Colin Powell pernah mengatakan, negara Palestina akan segera terbentuk tahun 2005.

Kemarin Menlu Iran, Kamal Kharazi, tiba di Turki untuk membahas masalah Irak, terutama suku Kurdi di Irak utara, yang dikhawatirkan kedua negara. Kantor berita Turki Anatolia mengatakan, Kharazi akan berbicara dengan Menlu Abdullah Gul dan PM Turki Recep Tayyip Erdogan. (AFP/AP/Reuters/rie)

Disetujui, Dasar-dasar Pemerintahan Baru Irak

Ur, Irak, Rabu - Delegasi Irak yang terdiri dari berbagai faksi baru pada tahap menyetujui prinsip dasar pemerintahan Irak pasca-Saddam Hussein, belum mencapai tahap menentukan pemimpin baru Irak. Sebab itu, mereka sepakat untuk bertemu kembali dalam waktu 10 hari lagi.

Sementara itu, negara-negara Arab mendesak Amerika Serikat (AS) menghentikan ancamannya kepada Suriah. Namun, ketegangan justru melebar ke Rusia setelah menuduh AS membangun kekuatan militer di dekat perbatasannya.

Untuk membentuk pemerintahan baru Irak, AS mencoba mempertemukan sekitar 80 tokoh Irak dari berbagai faksi, Kurdi, Syiah, maupun Sunni, baik dari dalam maupun luar Irak, di Kota Ur, Irak selatan, kota kelahiran Nabi Ibrahim, Selasa (15/4).

Pertemuan dibuka Jenderal (Purn) Jay Garner, yang secara khusus diangkat oleh AS untuk mendampingi pembentukan pemerintahan baru Irak, dan dihadiri Utusan Khusus Gedung Putih Zalmay Khalilzad. Namun, Ahmad Chalaby, Ketua Kongres Nasional Irak

Page 31: Mengurai Benang Kusut Irak

(INC), calon utama dari AS, justru tidak hadir dalam pertemuan itu. Ia hanya mengirimkan wakil INC.

Dunia internasional sebenarnya masih memperdebatkan masalah pembentukan pemerintahan baru Irak ini. Mayoritas anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dan Uni Eropa (UE) mendesak agar PBB yang memegang peran utama.

Dalam pertemuan informal di Athena, kemarin, dua sekutu utama AS, yaitu Spanyol dan Inggris, menegaskan dukungannya pada posisi Jerman, Rusia, dan Perancis. Dukungan itu membuat UE mampu mengeluarkan deklarasi yang menekankan PBB harus memiliki peranan penting atau esensial.

Namun, di tengah perdebatan internasional itu, AS berusaha terus melangkah dengan mengadakan berbagai pertemuan. Dalam pertemuan di Ur ini dikeluarkan 13 butir kerangka pemerintahan baru. Namun, mereka baru pada tahap menyetujui prinsip dasar sebuah negara baru. Yaitu, pemerintahan harus demokratis dan sama sekali tidak melibatkan Partai Baath pimpinan Saddam Hussein. Selain itu, pemerintahan baru Irak harus terbuka bagi seluruh kelompok politik dan suku di Irak.

Namun, ketika pembahasan mencapai masalah cara penerapan aspek itu secara politis, beberapa wakil dari kelompok Muslim langsung memboikot pertemuan. Mereka dengan tegas menolak rencana AS untuk menempatkan Jenderal Garner sebagai pemimpin pemerintahan sementara.

Tindakan itu diperkuat sekitar 20.000 warga Irak mayoritas Syiah yang berdemonstrasi di sekitar tempat pertemuan. Dengan tegas mereka meneriakkan, "Tidak untuk Amerika dan tidak untuk Saddam."

"Kami menolak berada di bawah kekuasaan Amerika atau negara lain karena itu tidak mewakili kepentingan rakyat Irak," kata Abdul Aziz al-Hakim, pejabat senior Dewan Tertinggi Revolusi Irak yang berbasis di Iran.

"Irak memang memerlukan pemerintahan interim, tetapi jika tidak dibentuk dengan menjunjung tinggi hak rakyat Irak, itu hanya akan kembali ke zaman kolonialisasi," lanjutnya.

Tokoh Syiah lainnya dari Nassiriyah, Syeh Ayad Jamal Al-Din, menegaskan, Pemerintah Irak nanti harus tetap sekuler. "Komunitas Islam hanya bisa terjadi di alam kebebasan jika memisahkan agama dengan politik. Dengan demikian, para diktator tidak bisa lagi berbicara atas nama Islam," ujarnya.

Namun, pendapat itu ditentang peserta lain yang hanya dikenal sebagai seorang guru, Nassar Hussein Musawi. "Mereka yang ingin memisahkan antara agama dan negara hanya bermimpi," tegasnya. Walau begitu, peserta lain menekankan, unsur demokrasi utama dalam pemerintahan baru ini adalah kemampuannya menerima perbedaan.

Page 32: Mengurai Benang Kusut Irak

"AS sama sekali tidak berniat memerintah Irak," tegas Zalmay Khalilzad.

Masalah Suriah

Seiring dengan meruncingnya masalah Suriah, enam negara Teluk, yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), dan Iran, salah satu negara yang oleh AS disebut axis of evil, mendesak AS menghentikan ancamannya kepada Suriah. Ke-6 negara itu terdiri atas Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE), Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Oman.

"Ancaman kepada Suriah harus dihentikan. Kami menolak tiap pelanggaran pada keamanan Suriah," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar Syeh Hamad bin Jassim al-Thani, mewakili GCC, seperti dikutip BBC News. "GCC sedang membahas masalah penjajahan Irak ini dan berharap pemerintahan Irak secepatnya dikuasai sipil," lanjutnya.

"Saran kami untuk Amerika, hentikan ancaman semacam itu," tegas Presiden Iran Mohammad Khatami. "Kami menolak ancaman dan tuduhan AS kepada kami dan Suriah," lanjutnya.

Sementara itu, Menlu AS Colin Powell menegaskan, Washington tidak mempunyai rencana untuk menyerang negara lain di Timur Tengah (Timteng) setelah Irak. "Sekarang ini tidak ada rencana perang untuk menyerang negara lain," tegas Powell.

Namun, ia melanjutkan, "Tetapi kami berharap, Suriah memahami bahwa sekarang ada lingkungan baru di wilayah itu dengan berakhirnya rezim Saddam Hussein. Kami berharap Suriah meninjau kembali kebijakan politiknya."

Suriah menolak tuduhan AS bahwa mereka melindungi rezim Saddam Hussein dan mengembangkan senjata pemusnah massal. Untuk itu, kemarin, Suriah mengajukan kerangka resolusi kepada DK PBB tentang kawasan bebas senjata pemusnah massal di Timteng.

"Jika AS dan yang lain mengkhawatirkan tentang senjata pemusnah massal kimia, nuklir, atau biologi sampai ke tangan teroris, kami ingin masalah ini diajukan secara resmi melalui kerangka resolusi," kata Bussaina Shaaban, Direktur Kementerian Informasi Suriah. Dikatakan, Suriah juga menyampaikan kerangka resolusi itu kepada negara-negara di DK dan akan segera disampaikan ke DK.

Rusia tuduh AS

Setelah berselisih dengan Timteng dan PBB, hubungan AS-Rusia pun menegang. Kemarin, parlemen Rusia menuduh AS berniat membangun kekuatan militer di perbatasan Rusia, tepatnya di Republik Georgia, bekas Uni Soviet. "Tujuannya adalah untuk pangkalan militer resmi sehingga AS bisa menempatkan pasukannya di wilayah Georgia," demikian pernyataan parlemen Rusia.

Page 33: Mengurai Benang Kusut Irak

AS-Georgia mengadakan kerja sama militer yang memungkinkan tentara, pesawat, kapal, dan kendaraan AS menggunakan fasilitas pangkalan Georgia. "Langkah ini tidak bersahabat dan tidak mengindahkan asas diplomasi bertetangga baik," lanjutnya.

Rusia sangat sensitif dengan kehadiran pasukan AS di sekitarnya. Namun, Georgia semakin mempererat kerja sama tersebut. (AFP/AP/Reuters/rie)

Benang Kusut Irak di Balik Tragedi Baghdad dan Karbala

SEPULUH bulan sejak tumbangnya rezim Saddam Hussein, potret negeri Irak sekarang ternyata ibarat kaca pecah berkeping-keping. Hikayat negeri Irak saat ini adalah cerita tentang pertarungan yang makin meruncing antara kekuatan-kekuatan politik yang berasal dari berbagai etnis, mazhab agama, dan ideologi. Pemerintah Amerika Serikat tidak hanya gagal menciptakan keamanan dan perdamaian, tetapi malah berandil cukup besar memperpuruk hubungan kekuatan- kekuatan politik tersebut.

TRAGEDI serangan bunuh diri di Baghdad dan Karbala hari Selasa (2/3) yang merenggut hampir 200 nyawa dan melukai sekitar 500 lainnya adalah akibat runtuhnya pilar-pilar yang menyangga bangunan sosial di Irak itu pascarezim Saddam Hussein. Ironisnya, tragedi tersebut terjadi pada hari suci Ashura bagi kaum Syiah di kota suci Syiah, Karbala (tempat tewas dan dikuburnya cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Hussein bin Ali) dan distrik Syiah, Khadhimiyah di Baghdad.

Tragedi yang menelan korban terbesar dari kaum Syiah itu tentu merupakan pukulan politik paling telak bagi kaum Syiah sejak tumbangnya rezim Saddam Hussein. Pukulan politik itu setara telaknya dengan peristiwa tewasnya Pemimpin Dewan Revolusi Islam Irak yang beraliran Syiah, Muhammad Bakir Al Hakim, beserta sekitar 80 pengikutnya awal September tahun lalu.

Tidak mengherankan bila sempat timbul kecemasan cukup kuat akan meletusnya perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni di Irak. Maka dinilai sangat bijak seruan ulama besar Syiah, Ayatollah Ali al-Sistani, agar rakyat Irak memelihara persatuan, segera setelah terjadi tragedi tersebut. Ulama Sunni pun menyerukan persatuan dan mengutuk tragedi Karbala dan Baghdad. Juru bicara Lembaga Ulama Muslimin yang beraliran Sunni, Dr Muhammad Bashar Faidi, menegaskan, tragedi Karbala dan Baghdad justru harus lebih menyatukan rakyat Irak karena arsitek tragedi itu ingin memecah belah rakyat Irak.

Massa Sunni dan Syiah pun menggelar unjuk rasa bersama di berbagai wilayah di kota Baghdad menyerukan persatuan dan mengecam pendudukan AS yang tidak mampu mewujudkan keamanan di Irak.

Meski demikian, tragedi Baghdad dan Karbala itu tidak dapat dimungkiri akibat tipisnya rasa saling percaya antara satu dan lain etnis (Arab dan Kurdi) atau golongan mazhab agama (Syiah dan Sunni) atau antara rakyat Irak dan pendudukan AS. Bahkan, terjadi

Page 34: Mengurai Benang Kusut Irak

hubungan segitiga yang buruk pula antara negara tetangga Irak (Arab, Iran, dan Turki) dan kekuatan-kekuatan politik di Irak serta pemerintah pendudukan AS.

Syiah-Sunni

Kaum Syiah dan Sunni, misalnya, setelah berbeda pendapat soal penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) sebagai mekanisme peralihan kekuasaan dari AS pada rakyat Irak pada 30 Juni nanti, saat ini terpecah lagi mengenai jalan keluar dari alternatif tidak bisanya digelar pemilu sebelum 30 Juni itu.

Seperti dimaklumi, utusan khusus Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) Lakhdar Brahimi setelah mengunjungi Irak pertengahan bulan Februari lalu menegaskan, penyelenggaraan pemilu Irak untuk memilih anggota legislatif transisi sangat penting, tetapi tidak dapat digelar sebelum 30 Juni nanti. Setidaknya kini ada tiga faksi yang memberi alternatif berbeda atas krisis politik di Irak terakhir ini akibat tidak dapat dilaksanakannya pemilu sebelum 30 Juni itu.

Faksi pertama diwakili sebagian besar kaum Syiah yang tetap bersikeras bahwa pemilu merupakan mekanisme ideal untuk menyerap aspirasi mayoritas rakyat yang akan melahirkan pemerintahan transisi baru yang sah.

Karena itu, kaum Syiah masih berharap pemilu tetap digelar meski mengalami penundaan.

Pemimpin tertinggi kaum Syiah, Ayatollah Ali al-Sistani, seperti dikutip harian Al Hayat edisi hari Jumat dua pekan lalu, mengusulkan menunda penyelenggaraan pemilu hingga akhir tahun ini dan waktunya ditetapkan Dewan Keamanan (DK) PBB.

Al-Sistani menyatakan bersedia menerima perpanjangan masa jabatan Dewan Pemerintah Irak (DPI) empat bulan lagi (hingga bulan Oktober nanti) dan pihak DPI yang akan menerima kedaulatan dari AS, tetapi dengan dua syarat.

Syarat pertama, menciutkan wewenang DPI dengan terbatas pada urusan administrasi. Adapun urusan negara dan persiapan penyelenggaraan pemilu ditangani pemerintah transisi baru yang akan dibentuk.

Kedua, DK PBB menentukan hari dan tanggal pemilu Irak.

Faksi kedua menginginkan mempertahankan DPI, namun keanggotaannya diperluas hingga menjadi 150 orang. DPI saat ini hanya memiliki 25 anggota. DPI yang diperluas itu yang akan menerima kedaulatan dari AS pada 30 Juni nanti.

Inisiatif DPI yang diperluas itu didukung mayoritas kaum Sunni. Ketua bergilir Dewan Pemerintahan Irak Mohsen Abdul Hamid yang beraliran Sunni dalam wawancara dengan harian Asharq Al Awsat edisi hari Sabtu (7/2) menyatakan, "Kami semua mengakui pentingnya pemilu secara menyeluruh yang merupakan cara paling demokratis.

Page 35: Mengurai Benang Kusut Irak

"Namun, masalahnya sekarang waktu yang tersedia tidak cukup. Irak belum melakukan sensus penduduk serta belum memiliki Undang-Undang Pemilu dan Partai. Pemilu membutuhkan lingkungan politik, keamanan dan administrasi yang kondusif. Lingkungan itu saat ini tidak dimiliki Irak," kata Abdul Hamid.

Faksi ketiga diwakili oleh kaum cendekiawan yang tidak berafiliasi ke faksi-faksi politik. Mereka berpendapat, diadakan kongres nasional yang melibatkan semua faksi politik, perwakilan etnis dan mazhab agama, utusan kabilah, dan para intelektual dari berbagai profesi-semacam pakar hukum, politik, dan ekonomi. Kongres nasional itu yang akan memilih anggota dewan legislatif transisi baru.

Perbedaan pendapat itu juga mewarnai penyusunan konstitusi sementara Irak. Anggota DPI butuh waktu berhari-hari sebelum mencapai jalan kompromi atas konstitusi itu. Jajak pendapat oleh Al Jazeera Net selama tiga hari (1-4 Maret) dengan melibatkan 47.985 responden menunjukkan, sebagian besar responden, yakni 78,3 persen, berpendapat konstitusi interim Irak tidak mengakomodasi semua aspirasi dan hak- hak segmen masyarakat Irak. Hanya 21,7 persen responden yang mengatakan konstitusi tersebut menjamin semua hak rakyat Irak.

Kesalahan AS

Sementara penguasa sipil AS di Irak Paul Bremer juga melakukan sejumlah kekeliruan hingga situasi makin memburuk di Irak.

Kesalahan pertama, Bremer berasumsi bahwa keberadaan pasukan AS dan sekutunya dalam jumlah besar di Irak bisa menjamin terciptanya keamanan dan memaksa rakyat Irak bersedia bekerja sama dengan AS. Berdasarkan asumsi itu, Bremer berani mengambil keputusan membubarkan militer dan Departemen Penerangan Irak segera setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Pembubaran lembaga militer Irak malah menyulutkan api perlawanan yang diduga kuat banyak dipimpin mantan perwira Irak yang frustrasi.

Kedua, Bremer gagal mencari solusi tepat dalam mengatasi gerakan perlawanan di kantong-kantong Sunni yang dikenal dengan kawasan segitiga Sunni itu. Ia sebelum ini menuduh sisa-sisa loyalis Saddam Hussein berada di balik gerakan perlawanan tersebut yang bisa diakhiri dengan cara menangkap Saddam Hussein. Namun, setelah Saddam Hussein tertangkap pertengahan Desember lalu, gerakan perlawanan Sunni malah makin membara. AS kini mencari kambing hitam baru dengan menuduh aktivis Al Qaeda yang dipimpin Abu Musab al-Zarqawi berada di balik aksi kekerasan di Irak. Namun, belum tentu pula al-Zarqawi berada di balik aksi kekerasan di Irak terakhir ini.

Ketiga, Bremer mengalami kekeliruan dalam berhubungan dengan kekuatan-kekuatan politik Syiah. Ia kini mengabaikan pemimpin muda potensial Syiah, Muqtada Al Sadr, yang dianggap lawan politik AS. Ia juga cenderung tidak mempedulikan peran kaum

Page 36: Mengurai Benang Kusut Irak

Syiah sekuler yang membuat mereka kini terpaksa bergabung dengan kaum Syiah agamis.

Bremer pun sempat mengalami hubungan tegang dengan kelompok Syiah menyusul perbedaan pendapat antara AS dan ulama besar Syiah Ayatollah Ali al-Sistani soal pemilu sebagai mekanisme peralihan kekuasaan dari AS pada rakyat Irak.

Krisis kepercayaan antara AS dan kaum Syiah itu memaksa Ayatollah Ali al-Sistani meminta bantuan PBB turun tangan ikut memutuskan soal kemungkinan penyelenggaraan pemilu sebelum 30 Juni nanti.

Rentan infiltrasi

Akibat bangunan sosial Irak yang tercabik-cabik itu dan ditambah sejumlah kekeliruan yang dilakukan AS, negeri Irak menjadi sangat rentan dengan infiltrasi asing.

Tak heran bila Pemerintah AS menuduh tokoh Tanzim Al Qaeda kelahiran Jordania, Abu Musab al-Zarqawi, berada di belakang serangkaian serangan bom bunuh diri di Irak. Tokoh ini juga dituduh berada di belakang serangan terhadap kelompok Syiah Irak dalam rangka memprovokasi terjadinya perang saudara.

Panglima AS di Timur Tengah Jenderal John Abizaid hari Rabu lalu menegaskan bahwa al-Zarqawi telah melakukan aktivitas terorisme di Irak.

Pemerintah pendudukan AS pun memutuskan meningkatkan patroli di sepanjang perbatasan Irak dengan semua negara tetangganya (Suriah, Turki, Iran, Arab Saudi, Jordania, dan Kuwait) untuk mencegah penyusupan dari negara tetangga tersebut ke wilayah Irak.

Harian berbahasa Arab Al Hayat edisi hari Kamis, 12 Februari, menurunkan dokumen yang meminta bantuan Osama bin Laden dan Aiman Thawahiri memicu perang saudara di Irak. Diduga kuat dokumen itu ditulis oleh Abu Musab al-Zarqawi. Menurut dokumen itu, terdapat empat musuh di Irak saat ini yang harus dilawan, yaitu pemerintah pendudukan AS, suku Kurdi, polisi Irak ciptaan AS, dan kaum Syiah.

Namun, tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok perlawanan di Irak. Dalam pernyataan yang dikeluarkan kelompok yang menyebut dirinya sebagai "Kepemimpinan Mujahedeen", hari Kamis lalu, disebutkan bahwa al-Zarqawi telah lama tewas di Pegunungan Sulaimaniyah di sebelah utara Irak dalam pengeboman yang dilakukan pasukan pendudukan AS.

Kelompok ini justru menuduh AS memalsukan status keberadaan al-Zarqawi untuk memenuhi kepentingan politiknya.

Dilema Arab

Page 37: Mengurai Benang Kusut Irak

Dunia Arab pun kini dalam situasi dilematik menghadapi isu Irak. Negara-negara Arab merasa mendapat ancaman bahaya dari Irak yang harus mereka hindari. Namun, negara- negara Arab tidak memiliki konsep terpadu yang mengakomodasi semua kepentingan mereka menyangkut isu Irak.

Negara-negara Arab tidak menginginkan situasi Irak semakin memburuk yang mengancam kesatuan teritorial dan rakyat negeri itu. Situasi instabilitas di Irak, khususnya bila dilatarbelakangi sentimen mazhab agama, bisa segera menjalar atau minimal berdampak ke negara Arab lain, terutama negara Arab yang mempunyai penduduk penganut mazhab Syiah cukup besar, seperti Lebanon, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan wilayah pesisir timur Arab Saudi.

Selain itu, negara-negara Arab khawatir meletusnya konflik mazhab agama dalam lingkup luas mengundang intervensi negara tetangga, seperti Iran dan Turki.

Di samping itu, berhasilnya proses demokrasi di Irak akan meningkatkan kapasitas negeri itu yang bisa mengembalikan pengaruh Irak di dunia Arab, seperti pada era pra-Perang Teluk I tahun 1990.

Negara-negara Arab sesungguhnya tidak menginginkan pula AS berhasil di Irak yang mendorong Washington tergiur mengulang pengalamannya di Irak di negara-negara Arab lain. Dunia Arab kini ingin melihat AS gagal di Irak, yang memaksa Washington menyadari bahwa intervensi militer untuk menumbangkan suatu rezim dan memaksakan sistem demokrasi dari luar tidak membawa manfaat.

Sebaliknya, negara-negara Arab tidak ingin melihat pula AS gagal total di Irak yang memaksa Washington mundur karena akan menyemai gerakan radikalisme di Timur Tengah yang pada gilirannya juga akan mengancam rezim-rezim Arab.

Negara-negara Arab tampaknya hanya menghendaki keberadaan AS di Irak dalam keadaan dilematik terus-menerus tanpa meraih suatu keberhasilan signifikan dan juga tanpa mengalami kegagalan total. Oleh karena itu, kepentingan negara-negara Arab di Irak saat ini terefleksi dalam dua kepentingan yang kontradiktif, yakni terjadinya situasi instabilitas di Irak terus-menerus dan tetap utuhnya kesatuan negeri Irak.

Itulah potret benang kusut Irak akibat pertarungan berbagai kepentingan. (Musthafa Abd Rahman,dari Cairo)

IrakKomunitas Syiah Unjuk Kekuatan di Jalanan

baghdad, rabu - Ribuan warga sipil Syiah—mayoritas anak muda—turun ke jalanan ibu kota Irak untuk unjuk kekuatan demi membangkitkan semangat perlawanan rakyat, Rabu (2/8).

Page 38: Mengurai Benang Kusut Irak

Ribuan warga Syiah itu berteriak-teriak mengajak rakyat Irak untuk menumpas "teroris" dan pengikut setia Saddam Hussein, yang kerap dituding menjadi otak berbagai aksi dan serangan kelompok perlawanan Sunni terhadap pemerintah baru Irak yang mayoritas warga Syiah.

"Unjuk kekuatan" itu juga diikuti anggota-anggota dari the Badr Organisation, salah satu kelompok bersenjata Syiah. Sunni kerap menuding kelompok bersenjata itu mengoperasikan kelompok milisi "unit pembantai".

Namun, tudingan Sunni itu telah dibantah Syiah. "Kita harus bisa mengambil keuntungan dari banyaknya dukungan rakyat yang menginginkan kedamaian. Rakyat dan pemerintah harus membentuk semacam komite regional untuk melawan terorisme," kata Abdul Aziz al-Hakim, salah satu pemimpin tertinggi di Syiah.

Komite regional ini diharapkan bisa melindungi seluruh rakyat Irak tanpa memandang suku, etnis, dan agama. Dari segi konsep, bentuk komite regional ini akan seperti Pamswakarsa.

"Komite ini tidak akan membeda-bedakan orang seperti kondisi yang terjadi saat ini di negeri kita. Komite ini juga akan bertugas menyediakan bantuan bagi pasukan keamanan pemerintah," kata Hakim.

Usulan akan pembentukan komite regional ini sekaligus untuk menagih janji Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki. Sejak dilantik, Maliki selalu sesumbar akan memulihkan keamanan Irak dan mewujudkan perdamaian.

Untuk itu Maliki berjanji akan melucuti kelompok milisi. Namun, hingga kini hal itu belum terjadi. Rencana rekonsiliasi Maliki juga dinilai tidak berhasil mengatasi konflik sektarian. "Musuh utama kita anggota Baath dan pengikut setia Saddam," kata Hakim.

Sebenarnya aksi turun ke jalan itu untuk memperingati tiga tahun kematian kakak Hakim, yakni Ayatollah Mohammed Baqer al-Hakim, yang tewas saat terjadi ledakan bom di Najaf, tetapi dalam pidato-pidato yang terlontar bukan hanya isu ledakan bom di Irak, tetapi juga tentang isu federalisme yang ditentang Sunni yang khawatir jika federalisme itu diterapkan, Sunni tidak akan kebagian kekayaan alam minyak di wilayah Irak tengah.

"Kami yakin implementasi dari sistem federal di Irak itu akan bisa memperoleh keadilan dan membangun kembali Irak serta menjamin persatuan tanah dan rakyat Irak," kata Hakim.

Tiga bom

Beberapa jam sebelum "unjuk kekuatan" itu terlaksana, terjadi tiga ledakan bom di pusat kota Baghdad. Bom itu meledak di dekat sekelompok orang yang sedang menunggu dan mencari pekerjaan, menewaskan tiga orang dan melukai sembilan orang.

Page 39: Mengurai Benang Kusut Irak

Insiden itu terjadi hanya satu hari setelah peristiwa pengeboman dan penembakan yang ditujukan kepada tentara Irak. Lebih dari 61 orang tewas di berbagai daerah di Irak, termasuk sedikitnya 26 tentara.

Untuk menangani berbagai gejolak kekerasan itu, Presiden Irak Jalal Talabani memperkirakan pasukan Irak akan bisa mengambil alih keamanan di seluruh wilayah di Irak dari tangan pasukan AS pada akhir tahun ini. "Secara bertahap, pasukan Irak akan mengambil alih tanggung jawab keamanan di seluruh provinsi akhir tahun ini," ujarnya. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Lima Skenario Jalan Keluar

SEJAK semula, invasi militer pasukan gabungan pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Irak menimbulkan berbagai kejutan, kontroversi, serta sikap pro dan kontra. Invasi itu, yang oleh AS diatasnamakan sebagai upaya untuk mencegah pengembangan senjata pemusnah massal dan menyingkirkan ancaman terhadap perdamaian dan kedamaian dunia, tidak mendapat dukungan negara-negara sekutu AS. Selain itu, invasi juga tidak mendapat dukungan PBB.

Setelah perang berlangsung, orang pun tidak pernah menduga bahwa Saddam Hussein dan Baghdad jatuh begitu cepat dan mudah. Padahal, semula, para ahli militer selalu mengatakan bahwa Saddam memiliki pasukan istimewa, pasukan khusus seperti Garda Republik yang akan mempertahankan Kota Baghdad. Yang terjadi adalah di luar semua perkiraan. Baghdad jatuh tanggal 9 April 2003.

Setelah Saddam jatuh, rezimnya hancur. Partainya, Partai Ba’ath, sebagai alat kekuasaannya berantakan, namun Irak tidak segera muncul sebagai sebuah negeri demokratik baru. Pun pula di Irak tidak segera lahir perdamaian. Hidup rakyat bahkan di bawah kecemasan. Angka kriminalitas tinggi. Dan, pasukan penjajah pimpinan AS tidak juga segera menyimpan senjata mereka, sebab aksi perlawanan terus berlangsung.

Setiap hari ada berita tentang penyerangan terhadap pasukan AS. Setiap hari tersiar kabar ada tentara AS yang mati tertembak. Bahkan, belakangan ini, helikopter AS pun terus berjatuhan menjadi sasaran kelompok bersenjata yang tidak mau menyerah begitu saja. Sementara persaingan antar-kelompok di Irak makin mengental.

Menghadapi kenyataan seperti itu, Washington pun mengambil keputusan yang juga terbilang mengejutkan. AS akan mempercepat penyerahan kedaulatan dan penyerahan kontrol wilayah dan keamanan kepada Irak, Juni 2004. Dengan keluarnya kebijakan itu, tertangkap kesan bahwa AS sudah kehabisan tenaga; AS tak berdaya lagi menghadapi perlawanan kelompok bersenjata karena itu ingin segera keluar.

Sebelum sampai kepada keputusan itu, sebelumnya sudah ada beberapa skenario untuk keluar dari Irak. Menurut Carla Anne Robbins dan Yochi J Dreazen dalam tulisannya di

Page 40: Mengurai Benang Kusut Irak

The Asian Wall Street Journal (17/11/2003) secara teoretis ada empat skenario yang dapat dipilih AS berkait dengan Irak.

SKENARIO pertama: membagi Irak. Dasar pemikiran dari skenario ini adalah kenyataan bahwa Irak secara nyata terbagi ke dalam tiga kelompok besar: Kurdi (di utara), Muslim Sunni (di tengah), dan Muslim Syiah (di selatan). Ada keyakinan bahwa ketiga kelompok besar itu tidak dapat disatukan bagi pembentukan pemerintahan baru Irak. Karena itu, dibuatlah skenario pembagian Irak berdasarkan garis sektarian yang akan memisahkan ketiganya.

Pembagian berdasarkan garis sektarian ini akan mudah mendorong pecahnya perang saudara. Muslim Sunni di Irak Tengah, yang di zaman Saddam Hussein berkuasa menjadi kelompok berkuasa, sudah memiliki pemimpin-pemimpin nasional. Mereka juga memiliki akses ke kekuasaan dan menguasai sebagian besar fasilitas militer. Di lihat dari aspek ini, peluang Muslim Sunni untuk berkuasa sangat besar. Sebab, mereka memiliki mesin politik.

Akan tetapi, kekayaan ada di tangan Muslim Syiah. Banyak ladang minyak ada di wilayah Irak Selatan (juga utara). Di wilayah itulah mereka berada. Karena itu, bisa terjadi konflik antara kelompok yang memiliki kekayaan (minyak) dan kekuasaan.

Bukan tidak mungkin pula bahwa pembagian Irak akan mengundang masuknya kekuasaan luar, misalnya Iran, ke wilayah selatan yang sama-sama Syiah; juga Turki masuk ke wilayah Irak Utara yang kini menjadi wilayah Kurdi. Bila demikian, persoalannya akan menjadi lebih rumit lagi.

Skenario kedua: menarik seluruh tentara AS. Jika tentara AS terus-menerus menjadi sasaran serangan kelompok-kelompok bersenjata di berbagai kota di Irak, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan mereka adalah menarik keluar. Pasukan AS secara serentak ditarik keluar dari Irak. Bila hal itu dilakukan maka sasaran kelompok bersenjata hilang. Tetapi, bukan mustahil akan terjadi konflik senjata antar-kelompok di Irak.

Bila skenario ini dipilih, kemungkinan terjadinya chaos dan kembalinya Partai Ba’ath untuk berkuasa terbuka lebar atau bahkan Saddam sendiri bisa kembali berkuasa. Ada banyak bukti bahwa para pendukung Saddam memiliki cadangan persenjataan dan perlengkapan militer dalam jumlah banyak. Bila hal itu terjadi maka ambisi AS untuk mendemokrasikan Irak tidak terjadi.

Skenario ketiga: meningkatkan kehadiran militer AS. Ini merupakan kebalikan dari skenario kedua. Meningkatnya serangan dari kelompok-kelompok bersenjata, berdasarkan skenario ini, dijawab AS dengan menambah atau meningkatkan kehadiran militernya. Atau, paling tidak, AS tetap mempertahankan kehadiran militernya dengan jumlah 130.000 personel seperti sekarang ini.

Bila skenario ketiga ini dipilih, beban militer AS begitu berat. Karena, sampai saat ini, AS masih mempertahankan kehadiran militernya di Afganistan, Bosnia, dan Korea

Page 41: Mengurai Benang Kusut Irak

Selatan untuk menghadapi kemungkinan meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea. Hal itu akan memancing reaksi dari dalam negeri AS. Apalagi kalau makin banyak korban jatuh.

Skenario keempat: menginternasionalisasikan masalah Irak. Sekarang ini, Irak memang sudah menjadi masalah internasional. Tetapi, menurut skenario ini, AS bisa lempar handuk dan lepas tangan dengan menyeret PBB masuk untuk membangun Irak serta melibatkan NATO dan negara-negara sekutu AS untuk menjaga keamanan di negeri itu.

Kemungkinan skenario ini bisa berjalan. Persoalannya, Bush masih tetap menginginkan kehadiran AS di Irak dan ikut merancang pembentukan Pemerintah Irak baru yang demokratis. Masalah lainnya adalah hingga kini negara-negara sekutu AS masih kurang tertarik ikut memanggul beban Irak.

Akhirnya, pemerintahan Bush memilih skenario kelima, yakni mempercepat penyerahan kedaulatan dan kontrol keamanan kepada Irak yang kemudian disusul pemilihan anggota majelis nasional untuk membentuk pemerintahan sementara.

Dapatkan skenario kelima itu berjalan? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Sebab, segala hal bisa terjadi di lapangan. Siapa tahu ada kejutan baru lagi di Irak, yang membuat semua pihak terkejut-kejut termasuk AS. (ias)

Ledakan Bom Kembali Goyang Baghdad, 19 Orang Tewas

BAGHDAD, RABU - Tiga ledakan bom mobil kembali menggoyang Baghdad, Rabu (13/12) pagi. Akibatnya, 10 orang tewas dan 26 orang terluka. Tiga kendaraan itu meledak di pasar yang tengah padat pembeli dan terletak dekat Masjid Al-Kamaliyah. Padahal, sehari sebelumnya juga terjadi dua ledakan bom bunuh diri di tengah kerumunan pencari kerja. Akibatnya, 70 orang tewas dan 200 orang terluka.

Selain ledakan bom di pasar di Distrik Kamaliyah, dua truk bermuatan bom juga meledak di sebuah markas pasukan pelindung infrastruktur minyak Irak di kota Riyadh yang menewaskan sembilan tentara Irak dan 10 orang terluka. Brigade Pelindung Infrastruktur yang terdiri dari warga lokal bertugas melindungi ladang minyak dan pipa-pipa minyak sepanjang ratusan kilometer di utara.

Gejolak kekerasan di Irak meningkat menjelang konferensi rekonsiliasi nasional yang akan diselenggarakan Sabtu mendatang. Rekonsiliasi nasional usulan Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki itu akan menjadi kesempatan terakhir bagi PM Maliki untuk memulihkan keamanan di Irak.

Dalam konsep rekonsiliasi nasional, para pemimpin kelompok dan faksi politik diharapkan bisa menyelesaikan persoalan secara bersama-sama tanpa melibatkan kelompok-kelompok milisi.

Page 42: Mengurai Benang Kusut Irak

Namun, Asosiasi Ulama Muslim—organisasi Sunni—menyatakan akan memboikot konferensi. Menanggapi rencana boikot itu, anggota komite rekonsiliasi nasional sekaligus anggota parlemen dari Kurdi, Mahmud Othman, menegaskan, tidak ada gunanya mengundang organisasi itu. "Mereka selalu menolak ikut bergabung dalam proses politik. Karena itu kita tidak perlu lagi mengundang mereka," ujarnya.

Rencana boikot dari Sunni itu akan makin menekan posisi PM Maliki. Saat ini PM Maliki tengah mengalami tekanan dan desakan dari koalisi Syiah. PM Maliki dinilai gagal memulihkan stabilitas keamanan Irak, khususnya Baghdad. Bahkan, gejolak kekerasan yang semakin meningkat dikhawatirkan akan meluas ke negara lain sehingga menjadi konflik regional yang lebih parah.

Dukungan Arab

Jika gejolak kekerasan di Irak terus berlanjut hingga setelah pasukan AS keluar dari Irak, Arab Saudi bertekad akan memberikan dukungan kepada Sunni. Harian The New York Times menyebutkan, Raja Abdullah dari Arab Saudi menyampaikan peringatan itu kepada Wakil Presiden Dick Cheney dua pekan lalu saat Cheney berkunjung ke Riyadh. "Jika kondisi Irak memburuk seperti terjadi pembantaian etnis kita tentu akan ikut terlibat," kata seorang diplomat Arab di Washington kepada harian itu.

Tekad Arab Saudi untuk membantu Irak muncul karena ada kecurigaan bahwa selama ini Iran telah mempersenjatai kelompok milisi Syiah untuk melawan kelompok minoritas Sunni. Namun Pemerintah Iran berkali-kali membantah kecurigaan dan tudingan Arab Saudi itu.

Mengantisipasi situasi yang makin memburuk, Gedung Putih menyatakan, Presiden AS George W Bush akan mengumumkan rencana strategi Irak yang baru pada awal tahun 2007. Bush berharap strategi baru itu akan mampu menangani gejolak kekerasan antarsektarian.

"Strategi ini baru akan terlaksana tahun depan. Namun, kepastian waktunya belum tahu," kata juru bicara Gedung Putih, Tony Snow.

Untuk meyakinkan Baghdad bahwa AS masih akan tetap membantu pemerintah dan rakyat Irak, Bush telah bertemu dengan Wakil Presiden Irak Tareq al-Hashemi dari Sunni, Selasa. "AS ingin membantu menangani ekstremis dan mendukung mayoritas rakyat Irak yang menginginkan perdamaian. Ini saat sulit bagi kita. Tetapi kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini," kata Hashemi. (AFP/LUK)

Di Irak, Anarki Tetap Mencuat

MEDIA massa Irak selama Juli didominasi oleh tema-tema tentang peralihan kedaulatan. Isu tentang pengadilan mantan Presiden Irak Saddam Hussein bersama 11 pembantu

Page 43: Mengurai Benang Kusut Irak

dekatnya, pengumuman Undang- Undang Keselamatan Nasional, situasi keamanan yang terus memburuk, dan isu sandera warga asing juga menjadi topik utama.

PENTAS politik Irak sejak akhir Juni hingga Juli ini memang diwarnai oleh serangkaian peristiwa dramatik tersebut yang barangkali tidak tergambarkan terjadi sebelum ini. Pada 28 Juni lalu dilakukan peralihan kedaulatan dari penjajah Amerika Serikat (AS) kepada pemerintah interim baru Irak.

Pada 1 Juli, mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan 11 pembantu dekatnya mendengarkan tuduhan dalam forum pengadilan Irak. Pada 7 Juli, pemerintah interim Irak mengumumkan Undang-Undang (UU) tentang Keselamatan Nasional.

Sejak pertengahan Juli hingga akhir Juli ini, Perdana Menteri (PM) Irak Iyad Allawi dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Hozyar Zebari mengadakan lawatan ke negara-negara Arab sebagai diplomasi untuk meminta dukungan negara-negara Arab untuk membantu menciptakan keamanan di Irak.

Puncak dari misi diplomasi Irak itu, PM Allawi dan Menlu Zebari menghadiri konferensi negara-negara tetangga Irak tingkat menlu di Cairo hari Rabu (21/7). Semua gerakan politik Irak tersebut bertujuan untuk mengakhiri atau setidaknya mengurangi tingkat kekerasan yang mengguncang Irak selama 15 bulan terakhir ini.

Dalam pertemuan negara-negara tetangga Irak itu disepakati untuk diadakan pertemuan tingkat menteri dalam negeri negara-negara tetangga Irak dalam waktu dekat untuk membahas situasi keamanan di Irak. Di negara-negara Arab, urusan keamanan dalam negeri ditangani menteri dalam negeri.

Isu utama media massa Irak pun saat ini terfokus pada tokoh-tokoh yang dituduh terlibat di balik aksi kekerasan tersebut, seperti keluarga Saddam Hussein dan tokoh militan asal Jordania, Abu Musab Al Zarqawi. Harian Al Mada edisi hari Selasa (6/7) menurunkan berita utama, yang intinya mengatakan bahwa keluarga Saddam Hussein mengendalikan aksi teroris dari luar negeri dengan menggunakan harta rakyat Irak yang dicuri.

Menurut Al Mada, ada jaringan dari keluarga Saddam Hussein yang mengendalikan aksi kekerasan dari Suriah dan Jordania. Disebutkan, keluarga Saddam Hussein melakukan penyelundupan senjata, manusia, dan dana ke Irak untuk mendukung aksi militer melawan pasukan pendudukan AS.

Harian itu lebih jauh mengungkapkan, ada tiga sepupu Saddam Hussein dari keluarga Al Majid yang berdomisili di Eropa dan Suriah sebagai aktor intelektual dan penyandang dana gerakan perlawanan di Irak. Tiga sepupu Saddam Hussein itu adalah Sulaiman Al Majid (mantan perwira satuan keamanan khusus), Fatka Al Majid, dan Izzuddin Al Majid. Loyalis Saddam yang melancarkan perlawanan saat ini diperkirakan sekitar 5.000 personel.

Page 44: Mengurai Benang Kusut Irak

Namun diakui juga, ada gerakan perlawanan potensial pula yang tidak ada kaitan dengan Saddam Hussein, seperti milisi Al Mahdi yang loyal pada tokoh muda Syiah Moqtada Al Sadr dan kelompok Islam militan pimpinan Abu Musab Al Zarqawi.

Figur Abu Musab Al Zarqawi, misalnya, tiba-tiba muncul sebagai figur menakutkan yang membawa petaka terhadap negeri Irak. Para pejabat dan sebagian besar media massa Irak selalu menyebut Al Zarqawi sebagai musuh rakyat Irak yang paling berbahaya saat ini.

Media massa Irak menurunkan berita besar tentang naiknya hadiah dari Pemerintah AS pada siapa pun yang bisa menangkap Al Zarqawi, dari 10 juta dollar AS menjadi 25 juta dollar AS, yakni setara dengan hadiah penangkapan Saddam Hussein.

Dalam upaya mengatasi memburuknya situasi keamanan di Irak, pemerintah interim awal Juli lalu memang telah mengumumkan secara resmi UU tentang Keselamatan Nasional. UU tersebut memberi legitimasi pada PM Iyad Allawi untuk memberlakukan UU darurat guna meredam gelombang kekerasan di negeri itu. Pengumuman UU tersebut disampaikan sendiri oleh Menteri Peradilan Irak Malik Dohan Hassan dan Menteri Urusan HAM Bahtiar Amin.

Akan tetapi, pemerintah interim Irak hingga saat ini belum memberlakukan secara resmi UU darurat itu. Bahkan lebih tepat dikatakan, UU itu tidak ada pengaruhnya sama sekali di lapangan, alias gagal menurunkan tingkat kekerasan. Demikian pula isu peralihan kedaulatan serta pengadilan Saddam Hussein, telah hilang dari peredaran dan tidak mampu menenggelamkan isu-isu kekerasan di Irak.

Adapun situasi keamanan di Irak terus memburuk dan tidak dapat dikendalikan lagi. Gerakan perlawanan Irak semakin kencang. Kasus penyanderaan warga Filipina, Angelo de la Cruz, yang dibebaskan pertengahan Juli, memaksa Pemerintah Filipina menarik pasukan dari Irak. Filipina menjadi negara kelima, setelah Spanyol, Nikaragua, Republik Dominika, dan Honduras, yang menarik pasukan dari Irak.

Gerakan perlawanan Irak kini menyandera lagi tujuh warga asing asal Kenya, India, dan Mesir yang bekerja untuk perusahaan Kuwait di Irak. Gerakan perlawanan tersebut meminta perusahaan itu segera menutup aktivitas bisnis di Irak, sebagai syarat pembebasan tujuh warga asing itu.

Akhiri penjajahan

Berbeda dengan sikap pemerintah interim, kekuatan utama Irak dari kaum Syiah dan Sunni menghendaki penjajahan AS di Irak diakhiri. Menurut kaum Syiah, tidak akan ada keamanan dan stabilitas di Irak selama penjajahan masih bercokol di negeri ini. Sikap kaum Syiah itu disampaikan juru bicara tokoh muda Syiah Moqtada Al Sadr, Sheikh Ali Shibani, dan murid ulama besar Ali Al Sistani, Sayyid Ghisham Shubbar.

Page 45: Mengurai Benang Kusut Irak

Sementara itu, kaum Sunni menyampaikan aspirasinya melalui khotbah-khotbah shalat Jumat. Sheikh Ahmed Abdul Ghofur Samarrai dari Lembaga Ulama Muslimin yang beraliran Sunni dalam khotbah Jumat di Masjid Ummul Qura menyerukan, tentara asing segera meninggalkan Irak dan tidak bertameng di balik nama pasukan multinasional. Ia juga meminta segera dibebaskan tawanan Irak di penjara Um Qasr di Irak Selatan.

Sheikh Akram Abied dalam khotbah Jumat di Masjid Fatimah Al Zahra menyerukan jihad melawan AS. Ia meminta kaum Syiah dan kelompok lain di Irak bekerja sama melakukan jihad untuk mengusir tentara penjajah dari Irak.

Juru bicara Al Sadr, Sheikh Ali Shibani, menegaskan, kelompok Moqtada Al Sadr menolak ikut dalam sistem politik selama sistem itu tidak transparan karena masih di bawah penjajahan. "Kami ingin sistem politik yang benar-benar mewakili aspirasi politik rakyat Irak dan tidak berada di bawah penjajahan," tegas Sheikh Shibani.

Wakil dari Al Sistani, Sayyid Ghisham Shubbar, menegaskan, kedaulatan yang telah diserahkan dari penjajah AS kepada pemerintah interim Irak tidak sesuai dengan harapan. "Tetapi kami berharap pemerintah interim sekarang berusaha mewujudkan kondisi yang bisa melahirkan kedaulatan yang hakiki, yaitu harus menyiapkan pemilu secara baik dan profesional, serta menciptakan keamanan dan kesejahteraan rakyat," lanjut Sayyid Shubbar.

Menurut Sayyid Shubbar, peralihan kedaulatan yang hakiki ke tangan rakyat Irak harus melalui proses pemilu. Pemerintah yang dipilih lewat pemilu itu, lanjutnya, penerima dan pemilik kedaulatan yang hakiki.

"Saya berharap pemilu sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Tetapi apa yang terjadi di Irak di masa mendatang kami tentu tidak tahu dan tidak berani memprediksi," kata Sayyid Shubbar.

Seperti diketahui, utusan khusus PBB, Lakhdar Brahimi, menetapkan tanggal 31 Januari 2005 bagi penyelenggaraan pemilu Irak untuk membentuk Dewan Nasional (parlemen). Dewan Nasional tersebut akan membentuk pemerintah transisi baru untuk masa jabatan selama satu tahun hingga penyelenggaraan pemilu pada akhir tahun 2005.

"Al Sistani punya hubungan baik dengan pemerintah mana pun, sejak pemerintah Saddam Hussein, pemerintah pendudukan AS hingga pemerintah interim saat ini. Al Sistani sangat independen dalam berpendapat karena dia adalah mandiri dalam sosial, politik, dan ekonomi," kata Sayyid Shubbar.

"Ketenangan dan keamanan di Kota Najaf sekarang adalah tentu keinginan semua kelompok Syiah. Keamanan sekarang lebih baik dengan hilangnya pemandangan bersenjata dan penarikan pasukan AS dari Najaf," lanjutnya lagi.

Sheikh Ali Shibani membantah isu-isu politik yang dilansir media massa menyangkut Moqtada Al Sadr terakhir ini. "Moqtada Al Sadr diberitakan telah minta AS agar

Page 46: Mengurai Benang Kusut Irak

berunding dengannya dan meminta AS mengampuni milisi Al Mahdi dan minta AS mengizinkannya masuk ke dunia politik. Tetapi semua berita itu tidak benar. Moqtada Al Sadr tidak pernah meminta apa pun pada siapa pun," tegasnya.

Sheikh Shibani menambahkan, milisi Al Mahdi adalah tentara perlawanan bukan penjahat, dan hak mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah. "Gencatan senjata yang dicapai saat ini sesungguhnya adalah kehendak dari kedua pihak sesuai dengan kepentingan mereka. AS ternyata tidak mampu masuk Kota Najaf dan membasmi milisi Al Mahdi serta menangkap Moqtada Al Sadr. Sayyid Moqtada Al Sadr lalu mengajukan usulan cerdik, yakni gencatan senjata sepihak, untuk menunjukkan pada dunia bahwa Al Sadr cinta perdamaian dan AS setuju semua syarat yang diminta Moqtada Al Sadr," kata Sheikh Shibani.

Syarat-syarat itu, ungkap Sheikh Shibani, adalah gencatan senjata, hilangnya pemandangan bersenjata, penarikan pasukan penjajah ke wilayah tertentu, dan perundingan yang kini tengah berlangsung di rumah Bahrul Ulum (anggota pemerintah interim dari Kota Najaf).

Tentang masa depan politik di Irak, Sheikh Shibani menegaskan, politik harus transparan, yakni penjajah tidak boleh ikut campur dalam urusan politik Irak seperti pelaksanaan kongres nasional, pemilu, penentuan anggota dewan nasional dan redaksional konstitusional. "Jika semua itu ditangani Irak sepenuhnya tanpa ada campur tangan asing, maka Moqtada Al Sadr akan ikut serta dalam proses politik di Irak," katanya lagi.

Akan tetapi, Moqtada Al Sadr telah menolak undangan Fuad Maksum (Ketua Pelaksana Kongres Nasional) untuk ikut serta dalam kongres nasional karena adanya kelemahan dalam mekanisme pelaksanaan seperti tidak terlibatnya semua kekuatan politik dan tidak adanya keadilan dalam jatah kursi sesuai dengan kekuatan masing-masing.

Kepala Biro Politik Dewan Tinggi Revolusi Islam Irak yang beraliran Syiah, Redha J Taki, menegaskan, peralihan kedaulatan adalah penting dan merupakan langkah awal menuju kemerdekaan hakiki. "Memang tidak sepenuhnya sesuai dengan idealisme kita. Tugas utama pemerintah interim adalah menciptakan keamanan, memberi pelayanan kepada rakyat seperti listrik, air, dan jalan raya, menyukseskan kongres nasional yang akan membentuk dewan konsultatif, dan pengawas yang akan berfungsi seperti parlemen, serta terakhir pemilu," kata J Taki.

"Pertarungan hakiki antara kekuatan-kekuatan politik di Irak adalah dalam pemilu yang harus sukses. Sebagian besar kekuatan politik mendukung pemilu karena pemilu akan melahirkan stabilitas politik yang akan menciptakan keamanan. Kami nanti ingin pemerintahan yang nasionalis bukan agama dan sekuler," lanjut J Taki lagi.

Tampaknya jalan masih panjang menemukan negeri Irak yang penuh damai, tenteram, dan sejahtera. Irak dengan segala potensinya harus bekerja keras untuk mencapai kesepakatan kompromi. Soalnya, sesuatu yang ideal mustahil dicapai di negeri itu saat ini

Page 47: Mengurai Benang Kusut Irak

lantaran polarisasi kepentingan dan aspirasi yang masih sangat tajam antara kekuatan-kekuatan politik di Irak.(mth)

InternasionalIrak, Potret Tragedi Kemanusiaan

Trias Kuncahyono

Irak adalah ladang pembantaian. Ratusan ribu orang harus menemui ajal secara sia-sia. Ada yang ditembak oleh penembak gelap. Ada yang meninggal karena kena bom. Ada yang tewas karena disiksa. Ada yang menjadi korban perang, dan banyak lagi yang meninggal karena sebab-sebab lain.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim kesehatan dari John Hopkins Bloomberg School of Public Health membuktikan semua itu. Menurut penelitian itu, lebih dari 655.000 warga sipil Irak tewas sejak invasi AS, Rabu (19/3/2003). Artinya, dalam satu bulan ada 15.500 orang tewas atau dalam satu hari 514 orang tewas. Hasil penelitian itu dipublikasikan oleh jurnal kesehatan Inggris, The Lencet (Kompas, 12/10).

Harian The Washington Post (11/10) menulis, jumlah korban tewas itu 20 kali lebih besar dari perkiraan Presiden AS George W Bush. Bush dalam sebuah pidatonya bulan Desember 2005 mengatakan, jumlah penduduk sipil Irak yang tewas sekitar 30.000 orang. Hasil penelitian terakhir itu juga memperkirakan jumlah korban tewas 10 kali lebih besar dari perkiraan kelompok riset Iraq Body Count yang berpusat di Inggris. Lembaga ini memperkirakan jumlah korban tewas 50.000 orang.

Tahun 2004 John Hopkins Bloomberg School of Public Health memperkirakan jumlah korban tewas selama 18 bulan sejak invasi mencapai 100.000 orang. Ketika itu, hasil perkiraan tersebut dinilai terlalu tinggi dibanding yang diharapkan dan dinilai kontroversial.

Sekadar sebagai perbandingan: Perang Dunia II (1939-1945) menewaskan 62 juta orang; Perang Vietnam, fase AS (1960-1973) menelan korban 1,75 juta-2,1 juta jiwa, jumlah tersebut belum termasuk korban tewas dalam fase Perang Rahasia (1962-1975) yang mencapai 175.000-1,15 juta orang dan fase akhir (1973-1975) yakni 170.000 orang; Perang Afganistan (1979-2001) menewaskan 1,5 juta-2 juta orang; Perang Irak-Iran (1980-1988) menewaskan 1 juta orang; Perang Teluk (1991) menelan 100.000 korban jiwa.

Dosa Washington

Siapa yang harus bertanggung jawab? Tragedi itu bermula dari invasi militer yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) dan konco-konconya. Tidak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan invasi militer AS atas Irak itu. Semula AS selalu menyatakan bahwa Irak harus dihukum karena memiliki senjata pemusnah massal.

Page 48: Mengurai Benang Kusut Irak

Akan tetapi, alasan sekaligus tuduhan itu tidak pernah bisa dibuktikan. Demikian pula, motif sebenarnya yang melatari penggulingan Saddam Hussein pun pada akhirnya tidak beralasan. Sangkaan Washington bahwa Saddam mempunyai hubungan atau sekurang-kurangnya memberi tempat pada Al Qaeda tak terbukti pula.

Berapa pun jumlah korban tewas akibat invasi pimpinan AS, yang oleh Presiden AS George W Bush dianggap sebagai "dilebih-lebihkan dan tidak akurat", sudah cukup memberikan gambaran bahwa apa yang disebut "Operasi Pembebasan Irak" oleh AS tidak memberikan hasil kecuali tragedi kemanusiaan.

Invasi militer AS sama sekali tidak menghasilkan perdamaian dan kedamaian di Irak. Penyingkiran Saddam tidak memberikan kedamaian, ketenteraman, keamanan, dan kenyamanan hidup (Bulan Sabit di Atas Baghdad, Penerbit Kompas).

Sejak Saddam tersingkir hingga kini, Irak tidak pernah sepi dari pertumpahan darah. Situasi dan keadaan Irak justru lebih pelik, lebih kompleks. Yang terjadi bukan hanya konflik senjata antara pasukan gabungan pimpinan AS dan kelompok nasionalis, melainkan juga antar-anak bangsa.

Setiap hari selalu muncul berita tentang penembakan atau peledakan bom di Irak. Hari-hari setelah tragedi pengeboman sebuah masjid milik komunitas Syiah di Samarra terjadi rangkaian saling serang, saling bunuh, antara komunitas Syiah dan Sunni. Harian The Washington Post yang dikutip The Wall Street Journal (10-12 Maret) memberitakan lebih dari 1.300 orang tewas menjadi korban penembakan hanya dalam tempo enam hari setelah tragedi Samarra yang menewaskan lebih dari 500 orang.

Dengan kata lain, tumbangnya Presiden Irak Saddam Hussein juga tidak membawa negeri itu ke keadaan yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, Irak makin terpecah-belah dan terseret pada perang saudara. Perseteruan dan pertarungan antara kaum Sunni dan Syiah makin terang-terangan terjadi dan makin sengit. Saling balas menyerang di antara mereka tidak pernah henti. Ibaratnya, di Irak berlaku hukum seperti di zaman Hammurabi berkuasa Babilonia dahulu: Codex Hammurabi yang salah satu hukumnya menyatakan "utang mata ganti mata".

Gilbert Burnham, pemimpin penelitian, mengatakan ia menemui dan menyaksikan kematian di seluruh Irak. Baghdad merupakan wilayah kekerasan di Irak. Provinsi Diyala dan Salahuddin, sebelah utara Baghdad, dan Anbar sebelah barat Baghdad, tercatat sebagai tempat yang paling berbahaya dibanding ibu kota Irak (International Herald Tribune, 12/10).

Vietnamisasi ke Irakisasi

Lalu, di mana "pembebasan" itu? Irak dibebaskan dari apa? Impian AS untuk menjadikan Irak sebagai negara demokrasi di kawasan itu, yang pada akhirnya akan memberikan angin pembaruan di seluruh kawasan, juga tidak membuahkan hasil.

Page 49: Mengurai Benang Kusut Irak

Stephen Biddle dalam Foreign Affairs, Maret/April 2006, menyatakan strategi AS di Irak saat ini sama dengan yang diterapkan di Vietnam dahulu yang disebut "Vietnamisasi". Strategi ini yang berujung pada penarikan seluruh Angkatan Darat AS dari Vietnam pada tahun 1973.

Untuk memenangi perang, Bush menyarankan agar ditempuh tiga strategi paralel: politik, ekonomi, dan keamanan. Dua yang pertama adalah reformasi demokrasi dan rekonstruksi ekonomi. Tujuannya adalah membujuk rakyat agar berpihak kepada pemerintah baru di Baghdad dukungan AS. Yang ketiga adalah pembangunan kembali militer dan polisi yang tujuannya adalah untuk menghadapi para "pemberontak". Proyek inilah yang disebut "Irakisasi".

Akan tetapi, Washington mengulangi lagi kesalahan. Sama seperti Vietnamisasi, Irakisasi juga tidak memberikan hasil seperti diharapkan. Misalnya, pemerintahan baru dukungan AS juga tidak sepenuhnya mendapat dukungan, terutama dari kelompok Sunni. Polisi juga kerap menjadi sasaran penyerangan kelompok-kelompok bersenjata. Ribuan polisi tewas. Dan keamanan semakin tak bisa dikontrol.

Pada akhirnya, AS harus berani mengakui bahwa "misi" mereka gagal. Dan, AS harus angkat kaki. Sementara itu, kondisi Irak semakin kusut. Sulit diurai dan ancaman perang saudara semakin nyata. Inilah hasil invasi AS ke Irak tahun 2003!