maudhu'_ii

Upload: moentela

Post on 02-Mar-2016

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

maudhu'

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahAl-Quran sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak yang mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal, mutlak, dan am. Oleh karenanyakehadiran hadist berfungsi untuk tabyin wa taudhih terhadap ayat-ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadist umat Islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Quran secara mendalam. Ini menunjukkan hadist menduduki posisi yang sangat penting dalam literature sumber hukum Islam.

Sungguh pun hadist mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar. Namun hadist tidak seperti Al-Quran yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq. Hadist baru baru ditulis dan dibukukan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (abad ke-2 H) melalui perintahnya kepada Gubernur Abu Bakar Muhammad bin Amr bi Hazm dan bahkan kepada tabiin wanita amrah binti Abdul Rahman.

Kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah SAW dengan waktu pembukuan hadist (hampir 1 abad) merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasul dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasul seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan hadist palsu atau Hadist Maudhu.

Hadist Maudhu ini sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadist, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadist yang bias disandarkan kepada Nabi SAW. Lain halnya dengan hadist dhaif yang diperkirakan masih ada kemungkinan ittishal pada Nabi. Hadist maudhu sudah ada kejelasan untuk akan kepalsuannya sementara hadist dhaif belum jelas, hanya samar-samar. Sehingga karena kesamaran ini, hadist tersebut disebut dengan dhaif. Tapi ada juga yang memasukkan pembahasan hadist maudhu ini kedalam bahasan hadist dhaif.

Berbagai hadist maudhu dan dhaif ini, sebagaimana hadist shahih telah banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat, dan diaku sebagai sebuah hadist yang berasal dari Nabi. Disinilah kemudian hadist maudhu perlu dimasukkan kedalam kedalam kajian ilmu hadist ini, meskipun sebenarnya ia bukanlah sebuah hadist.B. Rumusan Masalah

Dalam hal ini yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:1. Bagaimana pengertian hadist maudhu?

2. Bagaimana latar belakang munculnya hadist maudhu?3. Bagaimana kaidah-kaidah untuk mengetahui hadist maudhu?4. Bagaimana upaya untuk penyelamatan dari hadist maudhu?5. Apa saja contoh hadist maudhu (palsu)?C. Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui tentang pengertian hadist maudhu

2. Untuk mengetahui tentang latar belakang munculnya hadist maudhu

3. Untuk mengetahui tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hadist maudhu

4. Untuk mengetahui tentang upaya penyelematan dari hadist maudhu

5. Untuk mengetahui tentang apa saja contoh hadist maudhu

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist Maudhu

Al-maudhu adalah isim maful dari wa-dhaa, ya-dha-u, wadh-an, yang mepunyai arti al-istqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-baut); dan al-tarku (ditinggal).

Sedangkan pengertian hadist maudhu menurut istilah adalah:

Artinya: Hadist yang disandarkan kepada Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat, ataupun menetapkannya.Sebagian mereka mengatakn bahwa yang dimaksud dengan hadist maudhu ialah:

Artinya: Hadist yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.

Jika hadist maudhu itu adalah bukan hadist yang bersumber dari Rasul atau dengan kata lain buka hadist Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alas an kemudian dinisbatkan kepada Rasul.

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadist. Berikut ini akan dikemukan pendapat mereka, yakni:

1. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadist maudhu telah tejadi pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah:

Artinya: Bagi siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka.

Menurutnya, dengan dikeluarkannya sabda tersebut, rasulullah mengira telah ada pihak-pihak yang ingin berbuat bohong kepada dirinya. Oleh karena itu, hadist tersebut merupakan respon terhadap fenomena yang ada saat itu, berarti menggambarkan bahwa kemungkinan besar pada zaman Rosul telah terjadi pemalsuan hadist. Sehingga Rosul ,emgancam kepada para pihak yang membuat hadist palsu.

Ahmad Amin juga memaprkan satu hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwasanya suatu waktu Basyir Al-Adwy menemui Ibnu Abbas, kemudian mereka berincang-bincang dan Basyir berkata dengan telah bersabda Rasulullah SAW Akan tetapi Ibnu Abbas mengacuhkan hadiastnya dan tidak memperhatikan apa yang dikatakannya. Kemudian ia berkata Wahai Putra Abbas, perhatikanlah aku. Tak maukah engkau mendengarkan hadistku? Aku beritahukan kepadamu hadist dari Rasulullah SAW, tapi engkau tidak mendengarkanku! Ibnu Abbas berkata: Kita itu hidup dalam satu masa. Jika ada seseorang berkata Telah bersabda Rasulullah maka aku akan bersegera kesana, perhatian dan keinginanku akan mengarah kesana. Maka ketika seseorang itu tidak bias menjangkaunya maka ia tidak akan meriwayatkannya kecuali ia benar-benar sudah tahu. Ahmad amin juga memaprkan bahwa semenjak Islam melakukan penaklukan ke berbagai daerah Islam meulai meluas ke berbagai daerah dan mereka bonding masuk Islam, maka sebenranya dari situ potensi melakukan pemalsuan (wadhu) hadist muncul.

2. Shalah Al-Din Al-Dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadist berkenaan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah. Alasan yang dia kemukakan adalah hadist riwayat Al-Thahawi (w. 321H/933 M) dan Al-Thabrani (w. 360 H/971 M). Dalam kedua hadist tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang telah membuat berita bohong mengatasnamakan Nabi. Orang itu mengaku telah diberi wewenang Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah disuatu kelompok masyarakat disekitar Madinah. Kemudian seseorang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasikan berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh seorang yang mengatasnamakan beliau itu. Nabi lalu menyuruh sahabatnya untuk membunuh orang yang berbohong, seraya berpesan, apabila ternyata orang yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka jasad orang itu agar dibakar. Dalam hadist ini, baik yang diriwayatkan Thahawy atau Al-Thabrany ternyata sanadnya lemah (dhaif). Karena itu kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.

3. Menurut jumhur al-muhadditsin bahwa pemalsuan hadist itu terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka beralasan bahwa keadaan hadist sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan (w. 60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Zaman Nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadist. Sedangkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan juga belum terjadi pemalsuan hadits. Hal ini dapat dibuktikan betapa gigih, hati-hati, dan waspada mereka terhadap hadist. Sebagai bukti dapat dikemukakan bahwa Abu Bakar sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadist, bahkan beliau pernah membakar catatan-catatan miliknya. Putri beliau, Siti Aisyah menyatakan bahwa ayahnya telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Sikap Abu Bakar ini disebabkan karena beliau khawatir salah dalam meriwayatkan hadist. Umar bin Khattab juga sangat dikenal sebagai salah seorang yang sangat waspada dan hati-hati dalam meriwayatkan dan menerima periwayatan hadist. Dalam kaitannya dengan ini, Abu Hurairah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadist pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar. Sikap Abu Bakar dan Umar ini juga diikuti oleh Utsman bin Affan. Dalam suatu kesempatan khutbah, beliau pernah meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadist yang mereka tidak pernah mendengar hadist itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Utsman ini memperlihatkan bahwa beliau mengakui dan membenarkan sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya dan sekaligus ingin melanjutkan sikap tersebut.

Berlainan dengan masa ketiga khalifah tersebut, pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib telah terjadi perpecahan politik antara golongan Ali dan pendukung Muawiyah. Upaya ishlah melalui tahkim tidak mampu melaraikan pertentangan mereka, bahkan semakin menambah ruwetnya masalah dengan keluarnya sebagian pengikut Ali (khawarij) dengan membentuk kelompok sendiri. Golongan yang terakhir ini kemudian tidak hanya memusuhi Ali dan pengikutnya akan tetapi juga melawan Muawiyah dan pengikutnya.

Masing-masing golongan, selain berusaha saling mengalahkan lawannya, juga berupaya mempengaruhi orang-orang yang tidak berada dalam perpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh ialah dengan membuat hadist palsu. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama-tama membuat hadist palsu adalah golongan Syiah. Dan yang paling banyak diantara mereka adalah dari golongan Syiah Rafidhah.

B. Latar Belakang Munculnya Hadist Maudhu

Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadist tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadist palsu, antara lain:

a. Pertentangan Politik

Perpecahan umat Islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umat kedalam beberapa golongan dan kemunculan hadist-hadist palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang dengan membawa Al-Quran dan sunnah. Sungguh sangat disayangkan! Konflik-konflik politik telah menyeret permasalahan keagamaan masuk kedalam arena perpolitikan dan membawa pengaruh juga pada madzhab-madzhab keagamaan. Pada akhirnya masing-masing kelompok berusaha mencari dalilnya kedalam Al-Quran dan sunnah, dalam rangka mengungkap kelompok atau madzhabnya masing-masing. Ketika tidak ditemuinya, maka mereka mulai membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah hadist palsu mulai berkembang. Materi hadist palsu yang pertama mengangkat tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya.

Menurut Ibnu Abi Al-Haddad dalam Syarah Nahj Al-Balaghah, sebagaimana dikutip oleh Musthafa Al-Sibai, bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadist palsu adalah dari golongan Syiah, dan kelompok Ahlu Al-Sunnah menandinginya dengan hadist-hadist yang juga maudhu.

Ibnu Al-Mubarak mengatakan:

Agama itu untuk ahli hadist, percakapan dan menghayal untuk ahli al-rayi, dan kebohongan itu untuk golongan rafidhah.

b. Usaha Kaum Zindiq

Kaum Zindiq termasuk kaum golongan yang membenci Islam, baik Islam sebagai agama atau atau sebagai dasar pemerintahan. Mereka tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Quran, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadist, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam. Abd Al-Karim ibn Auja yang dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin Ali, wlai wilayah Basrah, ketika hukuman akan dilakukan dia mengatakan Demi Allah saya telah membuat hadist palsu sebanyak 4.000 hadist. Seorang Zindiq telah mengaku dihadapan khalifah Al-Mahdi bahwa dirinya membuat ratusan hadist palsu. Hadist palsu ini telah tersebar di kalangan masyarakat. Hammad bin Zaid mengatakan hadist yang dibuat kaum Zindiq ini berjumlah 12.000 hadist. Contoh hadist yang dibuat oleh golongan Zindiq:

Melihat wajah cantik termasuk ibadah.c. Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan

Mereka membuat hadist palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatic buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain. Golongan Al-Syuubiyah yang fanatic terhadap bahasa Persi mengatakan:

Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang maka akan menurunkannya dengan bahasa Persi.

Sebaliknya orang Arab yang fanatik terhadap bahasanya mengatakan:

Apabila Allah murka, menurunkan wahyu dengan bahasa Persi dan apabila senang menurunkannya dengan bahasa Arab.

Golongan yang fanatik kepada madzhab Abu Hanifah pernah memuat hadist palsu Dikemudian hari aka nada seorang umatku yang bernama Abu Hanifah bin Numan. Ia ibarat obor bagi umat-Ku.

Demikia pula golongan yang fanatic menentang Imam Syafii membuat hadist palsu, seperti Dikemudian hari aka nada seorang umat-Ku yang bernama Muhammad bin Idris. Ia akan lebih menimbulkan madharat kepada umat-Ku daripada Iblis.

d. Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat

Mereka melakukan pemalsuan hadist ini ini guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadist yang mereka katakana terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh dapat dilihat pada hadist berikut:

Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seeokor burung (sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang separuhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan.

Imam Suyuthi mengatakan: salah seorang pawing yang berkediaman di Baghdad menafsirkan firman Allah SWT:

Dengan arti bahwa Nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arasy-Nya. Riwayat ini sampai kepada Muhammad bin Jarir Al-Thabary dan beliau menjadi marah karenanya. Untuk menunjukkan kemarahannya itu, beliau menulis pada pintu rumahnya Maha suci Allah yang tidak memerlukan teman yang baik dan tidak pula seorangpun yang duduk menemani-Nya di Arasy-Nya.

e. Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam

Munculnya hadist-hadist palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadist karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.

Diantara hadist-hadist palsu tentang masalah ini adalah:

1) Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak syah.

2) Jibril menjadi Imamku dalam shalat di Kabah, ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.

3) Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.

4) Semua yang ada di bumi dan langit serta diantara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan Al-Quran. Dan kelak akan ada diantara umatku yang menyatakan Al-Quran itu makhluk. Barangsiapa yang menyatakan demikian, niscaya ia telah kufur kepada Allah yang Maha Agung dan saat itu pula jatuhlah talak kepada isterinya.

f. Membangkitkan Gairah Beribadat, tanpa Mengerrti Apa yang dilakukan

Banyak diantara para ulama yang membuat hadist palsu dengan dan bahkan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya. Nuh bin Abi Maryam telah membuat hadist berkenaan dengan fadhilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Quran. Ghulam Al-Khail (dikenal ahli Zuhud) membuat hadist tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia.

Dalam kitab tafsir Al-Tsalaby, Zamakhsyari dan Baidhawy terdapat banyak hadist palsu.

g. Menjilat Penguasa

Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadist sebagai pemalsu hadist tentang perlombaan. Matan asli sabda Rasulullah berbunyi:

Kemudian Ghiyats menambahkan kata dalam akhir hadist tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari khalifah Al-Mahdy. Setelah mendengar hadist tersebut, Al-Mahdy memberikan hadiah sepuluh ribu dirham, namun ketika Ghiyas membalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurnya, seraya berkata aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasulullah. Menyadari akan hal itu, saat itu juga khalifah memerintahkan untuk menyembelih burung merpatinya.

Dari beberapa motif yang karena sengaja; kedua ada yang tidak sengaja merusak agama; ketiga ada yang karena keyakinannya bahwa membuat hadist palsu diperbolehkan; dan keempat ada yang karena tidak tahu bahwa dirinya membuat hadist palsu.

Dapat juga dikatakan bahwa tujuan mereka membuat hadist palsu ada yang negatif dan ada yang menganggap mempunyai nilai positif. Sekalipun demikian, tetap harus dikatakan apapun alas an yang mereka kemukakan, bahwa membuat dan meriwayatkan hadist palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan, karena hal ini sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW seperti yang telah disebutkan terdahulu.

C. Kaidah-Kaidah Untuk Mengetahui Hadist Maudhu

Ada beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadist itu palsu atau shahih, diantaranya:

1. Dalam Sanad

1) Atas dasar pengakuan para pembuat hadist palsu, sebagaimana pengakuan Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadist tentang Fadhilah membaca Al-Quran, surat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan masalah ini Al-Suyuthi menyatakan, bahwa surat-surat Al-Quran yang didapati dlam hadist-hadist shahih mengenai keutamaannya hanyalah surat Fatihah, Al-Baqarah, Ali-Imran, Al-Anam, dan tujuh surat yang panjang (dari surat Al-Baqarah hingga surat Al-Baraah), surat Al-Kahfi, surat Yaasin, Al-Dhukhan, Al-Mulk, Al-Zalzalah, Al-Nur, Al- Kafirun, Al-Ikhlash, dan Al-Muawidzatain. Selain terhadap surat-surat tersebut hadistnya bukanlah hadist shahih.

2) Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti menurut pengakuaannya ia meriwayatkan dari seorang syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung; atau pernah menerima hadist disuatu (perjalanan) ke daerah tersebut; atau pernah menerima hadist dari syeikh tapi syeikh tersebut diketahui telah meninggal ketika ia masih kecil; dan lain sebagainya.3) Meriwayatkan hadist sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Sementara itu tidak ditemukan dalam riwayat lain. Maka yang demikian ini ditetapkan sebagai hadist maudhu.

2. Dalam Matan

1) Buruknya redaksi hadist, padahal Nabi Muhammad adalah seorang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun, dan enak dirasakan. Dari redaksi yang jelek ini akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadist Nabi SAW. Kecuali bila si perawi menjelaskan bahwa hadist itu benar-benar menunjukkan dating dari Nabi SAW.

2) Maknanya rusak, Ibnu Hajar menerangkan bahwa lafadz ini dititikberatkan pada kerusakan arti, sebab dalam sejarah tercatat periwayatan hadist tidak mesti bi al-lafdzi akan tetapi ada yang bi al-mana, terkecuali bila dikatakan bahwa lafdznya dari Nabi, baru dikatakan hadist palsu.3) Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Al-Quran atau hadist yang lebih kuat, atau ijma. Seperti hadist yang menyebutkan bahwa umur dunia 7000 tahun. Hadist ini bertentangan Q.S Al-Araf (7):187, yang intinya bahwa umur dunia hanya diketahui oleh Allah.4) Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil. Seperti hadist yang menyatakan bahwa anak hasil perzinahan tidak masuk syurga hingga tujuh turunan. Ini menyalahi Q.S Al-Anam (6): 164 yang menyatakan bahwa:

Tidaklah seseorang (yang bersalah) memikul dosa orang lain.

5) Hadist yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW, dan jelas tempak kebohongannya, seperti hadist tentang ketentuan jizyah (pajak) pada penduduk Khaibar. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan hadist tersebut. Pertama, dikatakan bahwasanya hal itu diriwayatkan dari Saad ibn Muadz, padahal Saad telah meninggal sebelum perang Khandaq. Kedua, kewajiban jizyah saat itu belum diterapkan.6) Hadist yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat, seperti hadist:

bahwasanya Nabi SAW memegang tangan Ali bin Abi Thalib di suatu majlis diantara para sahabat yang lain. Kemudian Nabi bersabda: inilah wasiatku dan saudaraku, dan khalifah setelahku.. Kemudian sahabat yang lainnya sepakat. Hadist tersebut jelas kepalsuannya.

D. Upaya Penyelamatan HadistUntuk menyelamatkan hadist Nabi SAW ditengah-tengan gencarnya pembuatan hadist palsu, ulama hadist menyusun berbagai kaidah penelitian hadist. Lebih rincinya langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:

Pertama, meneliti sistem penyandaran hadist. Para sahabat dan tabiin tidak sembarangan mengambil hadist dari seseorang. Mereka meneliti dengan seksama proses penukilan dan periwayatan hadist. Pada masa sahabat memang hamper tidak ada penyelewengan dalam periwayatan hadist, sehingga ketika mereka mendapatkan dari sahabat lain mereka tidak akan menanyakan dari mana hadist ini didapat. Tapi semenjak terjadinya fitnat al-kubra, mereka mulai menyeleksi hadist-hadist yang didapat dari orang lain.

Kedua, memilih perawi-perawi hadist yang terpercaya. Para ulama menanyakan hadist-hadist yang dipandang kabur atau tidak jelas asal-usulnya kepada para sahabat, tabiin, dan pihak-pihak yang menekuni bidang ini. Mereka tidak akan sembarangan untuk meriwayatkan hadist. Mereka akan memilih dari orang-orang tertentu yang dipandang menguasai dan mengetahui persoalan ini.

Ketiga, studi kritik rawi, yang tampaknya leboh dikonsenkan pada sifat kejujuran atau kebohongannya. Oleh karena itu, mereka tidak akan mengambil dari orang-orang yang dikenal suka berbohong baik didalam kehidupan umumnya, suka berbuat bidah dan mengikuti hawa nafsunya, orang-orang fasik, zindiq, dan orang-orang yang tidak menguasai apa yang disampaikannya, dan lain-lain.

Keempat, menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadist-hadist tersebut. Misalnya saja dengan mengetahui batasan-batasan hadist sahih, hasan, dan dha;if.

Mulai saat itu perkembangan ilmu hadist melaju begitu cepat, demi menyelamatkan hadist-hadist Rasul ini. Jadi pada akhirnya, tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui keadaan matan hadist. Maka disusunlah kaidah-kaidah kesahihan sanad hadist beserta matannya. Bersamaan dengan ini muncullah berbagai macam ilmu hadist. Khusus ilmu hadist yang dikaitkan dengan penelitian sanad hadist, antara lain ialah ilmu Rijal Al-Hadits dan ilmu Al-Jarh wa Tadil.

Dengan berbagai kaidah dan ilmu hadist, disamping telah dibukukannya hadist, mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadist palsu yang sangat sempit. Selain itu, hadist-hadist yang berkembang di masyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya. Dengan menggunakan berbagai kaidah dan ilmu hadist itu, ulama telah berhasil menghimpun berbagai hadist palsu dalam kitab-kitab khusus.

Seperti Al-Maudhu Al-Kubra, karangan Abu Al-Fari Abd Al-Rahman bin Al-Jauzi (508-597 H) dalam empat jilid; Al-Baits ala Al-Khalas min Hawadits Al-Qishash, oleh Al-Hafidz Zain Al-Din Abd Al-Rahman Al-Iraqi (725-806 H); Tanzih Al-Syaiah l-Marfuah min Al-Ahbar Al-Syamiati Al-Maudhuat, oleh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Kanany (w. 963 H); Al-Qawaid Al-Majmuah fi Hadits Al-Maudhuat, oleh Qadhi Abu Abdullah Muhammad bi Ali As-Syanhani (117-1255 H); Abdullah Muhammad bi Ali as-Syanhani (1173-1255 H).E. Contoh Hadist Maudhu (Palsu)

Hadist 1: Shalat Tiang Agama Sholat itu adalah tiang agama, maka barangsiapa yang mendirikannya sesungguhnya dia menegakkan agamanya, dan barangsiapa yang merubuhkannya, maka sesungguhnya dia telah merubuhkan agama.Penjelasan: Hadist ini adalah dhaif. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari jalan Umar bin al-Khattab r.a. Puncak kedha'ifan hadist ini adalah terletak pada rawinya yang bernama Ikramah. Beliau dikatakan telah menerima hadist ini daripada Umar al-Khattab r.a, padahal beliau tidak pernah mendengar hadist ini daripada Umar al-Khattab r.a. Oleh itu, sanad hadist ini adalah munqathi (terputus).Hadist 2: Khusyuk Dalam Shalat Seandainya hati orang ini khusyuk nescaya akan khusyuk juga anggota badannya.Penjelasan: Hadist ini maudhu (palsu). Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi (2/285). Diriwayatkan juga oleh al-Hakim, al-Tirmidzi dalam Nawadirul Ushul dari jalan Soleh bin Muhammad dari Sulaiman bin Amr dari Ibn Ajlan dari Maqbari dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah melihat seseorang yang bermain-main dengan janggutnya saat (mengerjakan) solat), maka Rasulullah bersabda dengan lafaz di atas.

Sumber kecacatan hadist ini kerana pada sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Sulaiman bin Amr, dia itu orang yang disepakati atas kelemahannya, bahkan berkata Ibn Adi: Para ulama sepakat bahawa dia itu memalsukan hadist. Apa yang benar bahwa hadist ini adalah ucapan Said bin Musayyib. Hadist 3: Qashar Shalat Apabila Melepasi 4 Barid Atau 2 Marhalah Wahai penduduk Mekah, janganlah kamu sekalian mengqasarkan solat (bagi jarak perjalanan) yang kurang dari 4 barid (2 marhalah) yaitu dari Mekah ke Asfan.Penjelasan: Hadist ini maudhu. Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir (1/112) dan al-Daruquthni dalam Sunan dengan sanad dari Ismail bin Iyasy dari Abdul Wahab bin Mujahid dari ayahnya dari Atha' bin Abi Rabah dari Ibn Abbas r.a. Syeikh al-Albani menjelaskan di dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadith Al-Dha'ifah wa Al-Maudhuah (no.439).BAB III

PENUTUPHadits maudhu adalah segala sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja atau pun tidak sengaja.

Sebagian ulama mendefinisikan Hadits Maudlu adalah Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu dikatakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak.Faktor-faktor yang melatarbelakangi hadits maudhu, yaitu: (1) Polemik politik, (2) Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. (3) Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan. Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.

DAFTAR PUSTAKAAhmad, Muhammad. 2004. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.M. Solahuddin. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka SetiaMudasir. 1999. Ilmu Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Suparta, Mundzir. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

http://abdulhadielyamani.blogspot.com/2012/09/makalah-hadits-maudhu.html/ diakses pada Kamis, 24 Oktober 2013 Jam 21.00

Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadist, Ulumuha wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981),Cet. Ke-4, hal. 415.

Mahmud Abu Rayyah, Adwa ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyah, Cet. Ke-3, (Mekkah: Dar Al-Maarif) hal. 119.

Hadist ini mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 60 sahabat, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 200 sahabat.

Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, (Kairo: Maktabat Al-Nahdhah Al- Mishriyah, 1975), Cet. Ke-11, hal. 210-211)

Ibid

Sahudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadist, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 92-93.

Ajjaj Al-Khatib, op. cit., hlm. 416-417 dan Subhi Al-Shalih, op. cit., hlm. 266-267.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1974), hlm. 92-100 dan jilid II, (Jakarta: BulaN Bintang, 1974), hlm. 31.

Ajjaj Al-Khatib, op cit., hlm. 418-420.

Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qobla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al- Fikr, 1997), hlm. 129

Musthofa Al-Sibai, op. cit., hlm. 79.

Ibid.

Ibid, hlm. 207-208

Musthafa Al-Sibai, op. cit., hlm. 86-87

Musthafa Al-Sibai. hlm. 87

Ibid, hlm. 89

Ajjaj Al-Khatib, op. cit hlm. 215

Ahmad Mahmud Syakir, op. cit. hlm. 72.

Jalil Al-Din Abd Rahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi, Al-Lail Al-Mausuah fi Hadist Al-Maudhuah, (Mesir, Al-Makatabah Al-Islamiyah)., Juz II, hlm. 276-277.

Masih banyak tanda-tanda yang bias dijadikan indikasi ke-maudhuan sebuah hadist. Lihat Ajjaj Al-Khati, op. cit., hlm. 432-436

Musthafa Al-Sibai, op. cit., hlm. 91-95

4